Anda di halaman 1dari 7

Penatalaksanaan

Terapi wicara adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gangguan bahasa, wicara dan
suara yang bertujuan untuk digu-nakan sebagai landasan membuat diagnosis dan penanganan.
Dalam perkembangannya terapi wicara memiliki cakupan penger-tian yang lebih luas dengan
mempelajari hal-hal yang terkait dengan proses berbicara, termasuk di dalamnya adalah
proses menelan, gangguan irama/kelancaran dan gangguan neuromotor organ artikulasi
(articulation) lainnya.
Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapi wicara baik di dalam
maupun luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Peraturan MENKES RI No: 867/MENKES/PER/VIII/2004).34 Terapis wicara memiliki
tugas, tanggung jawab, kewenangan serta memi-liki hak secara penuh untuk melaksanakan
pelayanan terapi wicara secara profesional di sarana pelayanan kesehatan.
Prosedur kerja terapi wicara secara lebih terperinci diuraikan sebagai berikut: 1) Asesmen,
bertujuan untuk mendapatkan data awal sebagai bahan yang harus dikaji dan dianalisa untuk
mem-buat program selanjutnya. Asesmen ini meliputi tiga cara, yaitu melalui anamnesa,
observasi, dan melakukan tes, di samping itu juga diperlukan data penunjang lainnya seperti
hasil pemeriksaan dari ahli lain. 2) Diagnosis dan prognosis, setelah terkumpul data,
selanjutnya data tersebut digunakan sebagai bahan untuk mene-tapkan diagnosis dan jenis
gangguan/gangguan untuk membuat prognosis tentang sejauh mana kemajuan optimal yang
bisa dicapai oleh penderita. 3) Perencanaan terapi wicara, perenca-naan terapi wicara ini
secara umum terdiri dari: (a) Tujuan dan program (jangka panjang, jangka pendek dan
harian), (b) Peren-canaan metode, teknik, frekuensi dan durasi, (c) Perencanaan penggunaan
alat, (d) Perencanaan rujukan (jika diperlukan), (e) Perencanaan evaluasi. 4) Pelaksanaan
terapi wicara, pelaksanaan terapi harus mengacu pada tujuan, teknik/metode yang digunakan
serta alat dan fasilitas yang digunakan. 5) Evaluasi, kegiatan ini terapis wicara menilai
kembali kondisi pasien dengan memban-dingkan kondisi, setelah diberikan terapi dengan
data sebelum diberikan terapi. Hasilnya kemudian digunakan untuk membuatprogram
selanjutnya. 6) Pelaporan hasil, pelaporan pelaksanaan dari asesmen sampai selesai program
terapi dan evaluasi.

Metode ABA
Metode ABA adalah metode yang terstruktur dan mudah diukur hasilnya, sebagaimana
metode ABA. Dengan demikian metode ini dapat dengan mudah di ajarkan kepada para calon
pasien terapi. Selain untuk penyandang autisme, metode ABA yang tegas dan tanpa
kekerasan ini sangat baik bila diterapkan kepada anak-anak dengan kelainan perilaku lainnya,
bahkan anak normal.
Prinsip dasar metode ABA merupakan cara pendekatan dan penyampaian materi kepada anak
yang harus dilakukan seperti berikut ini:
1. Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus, untuk menjaga kontak mata yang
lama dan konsisten

2. Tegas (tidak dapat ditawar-tawar anak)

3. Tanpa kekerasan dan tanpa marah

4. Prompt (Bantuan, arahan) secara tegas tapi lembut.

5. Apresiasi anak dengan imbalan yang efektif, sebagai motivasi agar selalu bergairah

Dalam menciptakan suasanan yang kondusif dalam mendidik anak, terapis menggunakan
prinsip menciptakan suasana yang penuh kehangatan dan kedamaian. Diusahakan terapis
tidak me-libatkan emosi marah/jengkel dan kasihan sewaktu mengajar anak. Dengan begitu
nantinya dengan sendirinya tidak menyukai keke-rasan dalam bersosialisasi dengan yang
lain. Selain itu anak akan berkembang menjadi individu yang toleran terhadap perbedaan
pendapat dan sekaligus kreatif.
ABA terdiri dari tiga kata. Yaitu Applied yang berarti terapan, Behavior yang berarti perilaku
sedangkan Analysis memiliki pengertian: mengurai/memecah menjadi bagian-bagian kecil,
mempelajari bagian-bagian tersebut, melakukan dan memodi-fikasi. Dari tiga kata tersebut
ABA dapat diartikan sebagai ilmu terapan yang mengurai, mempelajari dan memodifikasi
perilaku. Menurut Sutady: Terapi ABA merupakan suatu bentuk modifikasi perilaku melalui
pendekatan perilaku secara langsung, dengan lebih mem-fokuskan pada perubahan secara
spesifik. Baik berupa interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri sendiri. Adapun teknik ABA
menurut Handojo sebagai berikut:
1. DTT (Discrete Trial Training). Adalah salah satu tehnik utama dari ABA, sehingga kadang
ABA disebut juga DTT. Arti harfiah dari DTT adalah latihan uji coba yang jelas/nyata. DTT
terdiri dari “siklus” yang dimulai dengan intruksi, prompt, dan di akhiri dengan imbalan.
2. Discrimination Training atau Discriminating. Teknik membe-dakan ini dipakai untuk
melabel atau identifikasi. Tahap ko-gnitif atau kemmapuan reseptif ini digunakan untuk
menamai atau mengenal hal-hal seperti huruf, warna, bentuk, tempat, orang dan sebagainya.
Untuk meyakinkan bahwa anak benar-benar memahami/mengenali hal secara konsisten,
diperlukan pembanding. Apabila anak tetap dapat mengidentifikasi hat tersebut tanpa ragu,
maka anak telah benar-benar mengenal-nya.
3. Matching atau Mencocokkan. Teknik ini dapat dipakai seba-gai pemantap identifikasi
maupun sebagai permulaan latihan identifikasi. Mencocokkan dapat dipakai juga untuk
melatih ketelitian anak, yaitu dengan memberikan beberapa/banyak hal yang dicocokkan.
Menurut terapis wicara, jumlah hal yang dicocokkan jangan lebih dari 25 buah.
4. Fading berarti meluntur. Yang dilunturkan adalah prompt ke-pada anak. Dari prompt
penuh kemudian dikurangi secara bertahap sampai anak berhasil melakukan tanpa prompt
lagi.
5. Shaping berarti pembentukan. Teknik ini biasanya dipakai saat mengajarkan kata-kata
verbal.
6. Chaining adalah menguraikan perilaku kompleks menjadi beberapa mata rantai perilaku
yang paling sederhana. Tiap mata rantai diajarkan tersendiri dengan siklus DTT. Apabila
anak menguasai tiap mata rantai, maka diadakan pengga
bungan kembali sehingga menjadi perilaku yang utuh. Teknik ini dipakai sewaktu terapis
mengajarkan memasang kaos kaki, melepaskan kaos kaki, memakai baju kaos, melepaskan
baju kaos dan sebagainya.
Materi program kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus dikelompokkan ke dalam
kategori, materi dan aktivitas yang terdiri dari 3 tingkatan yaitu tingkat dasar, tingkat
intermediate dan tingkat advanced. Tingkat dasar intermediate dan tingkat advan-ced.
Tingkat dasar dan intermediate terdiri dari enam kategori:
1. Kemampuan mengikuti pelajaran, kepatuhan dan kontak mata adalah kunci masuk ke
metode ABA. Tetapi menurut penulis, kedua kemampuan ini adalah kunci setiap kali kita
ingin mengajarkan sesuatu kepada anak. Tanpa kedua hal itu mustahil kita dapat mengajarkan
sesuatu kepada anak secara efektif.
2. Kemampuan imitasi, Kemampuan menirukan adalah kemam-puan perilaku dasar seorang
anak. Kemampuan menirukan harus dimiliki oleh seorang anak, maka terapis harus
mengajarkannya sejak awal. Kemampuan meniru di mulai dengan latihan motorik kasar,
kemudian motorik halus, dan terakhir motorik mulut. Latihan motorik kasar berguna untuk
meningkatkan kemampuan fisik anak yang dapat meningkatkan rasa percaya dirinya.
Sedangkan motorik halus terutama ditujukan untuk melatih konsentrasi dan koordinasi.
Tujuan utama dari latihan motorik halus adalah memampukan anak untuk menulis. Motorik
mulut berguna untuk membentuk kemampuan berbicara, di mana akhirnya bertujuan untuk
memberikan kemampuan berbahasa yaitu bicara yang dipakai untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Goal terkhir yang ingin dicapai adalah kemampuan berkomunikasi dua arah.
3. Kemampuan bahasa reseptif (kognitif), Kemampuan bahasa reseptif (kognitif) adalah
kemampuan mengenalkan akan beragam benda atau hal. Kemampuan ini disebut juga iden-
tifikasi dan dapat berlanjut ke kemampuan melabel, kemudian kemampuan bahasa ekspresif.
Bagi anak-anak dengan daya tangkap yang baik, pada saat diajarkan kemampuan bahasa
reseptif, dapat langsung dilanjutkan dengan kemampuan ekspresif. Akan tetapi pada anak-
anak dengan daya tangkap lemah sebaiknya kedua kemampuan ini diajarkan terpisah.

4. Kemampuan bahasa ekspresif, Mengajarkan bahasa ekspresif adalah memberikan


kemampuan pada anak untuk mengingat hal-hal yang sudah terekam dalam memori untuk
diekspresikan. Oleh karena itu kemampuan ini harus diajarkan setelah konsep meniru dan
konsep bahasa kognitif sudah cukup dikuasai anak.
5. Kemampuan pre-akademik, Kemampuan Pra-akademik diin-dikasikan dengan adanya
kemampuan mengenal warna, bentuk, angka, huruf, deskripsi orang, tempat, profesi dan lain-
lain. Di sini dibutuhkan banyak alat perega, untuk membantu anak menggunakan kemampuan
visualnya. Mereka akan lebih mudah mengingatnya. Sebaiknya alat peraga yang digunakan
tidak terlalu kecil dan juga jangan terlalu besar. Minimal 6x6 cm2 dan maksimal 8x8 cm2.
Oleh karena penggunaannya tidak terlalu lama dan jumlahnya sangat banyak, sebaiknya
memakai alat peraga yang semurah mungkin.
6. Kemampuan bantu diri, Kemampuan membantu diri ber-tujuan untuk memampukan anak
hidup mandiri melakukan kegiatan rutin sehari-hari, yaitu makan, minum, mandi, buang ait
besar, buang air kecil, memakai dan melepas baju, memakai dan melepas kaos kaki, dan
kegiatan-kegiatan rutin lainnya. Untuk melengkapi semuanya ini peranan guru dan orang tua
sangat mempercepat kemampuan seorang anak.
Untuk kemampuan advanced ada tiga tambahan kategori yaitu kemapuan sosialisasi dan
kemampuan bahasa abstrak serta kesiapan masuk sekolah. Kepatuhan dan kontak mata yang
termasuk dalam kategori A merupakan kunci masuk metode Loovas. Tanpa penguasaan
kedua kemampuan ini, anak autisma atau gangguan yang lain termasuk terlambat bicara akan
sangat sulit sekali diajarkan aktivitas-aktivitas perilaku yang lain. Setelah kedua hal ini
dikuasai anak, kemudian dapat dilanjutkan dengan mengajarkan kemampuan bahasa reseptif,
bahasa ekspresif, kemampuan pre akademik, kemampuan bantu diri, kemampuan bahasa
abstrak dan kemampuan sosialisasi dapat diajarkan secara bertahap dan teratur.
Terapi Sensori Integrasi
Sejarah sensori Integrasi (SI) diterbitkan kepada publik pertama kali tahun 1966 oleh Jean
Ayres Phd OTR tentang intervensi metode SI dan peran OT dalam metode tersebut. Ayres
mengembangkan teori Sensori Iintegrasi untuk menjelaskan masalah penginterpretasian
sensasi dari tubuh dan lingkungan serta kesulitan pada akademik dan motor learning dalam
memenuhi tuntutan lingkungan yang mempengaruhi manusia untuk melakukan occupation.
Perlu diketahui bahwa terapi sensori integrasi hanya merupakan sebagian dari pendekatan
terapi okupasi. Seorang terapis okupasi berperan dalam mengevaluasi dan memberi terapi,
bila seseorang tidak dapat melakukan tugas hariannya dengan baik. Pada anak-anak, okupasi
untuk mereka mancakup: kemandirian, kemampuan untuk mengikuti perkembangan anak,
dan kemampuan untuk mendapatkan kegem-biraan, kepuasan, dan pengembangan diri dari
aktivitas bermain dan semua hal tersebut diperhitungkan sesuai dengan umur anak yang
bersangkutan. Beberapa pendekatan dalam memberikan terapi okupasi bisa juga disertakan
dalam memberikan terapi sensori integrasi pada anak-anak.
Sensori integrasi merupakan proses neurobiologi yang me-ngacu pada pengintegrasian dan
penafsiran stimulus sensori dari lingkungan oleh otak. Sedangkan disfungsi sensori integrasi
adalah suatu kekacauan dimana input sensori tidak terintegrasi atau tertata sewajarnya di
dalam otak sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembangan, pengolahan
informasi serta perilaku.
Sensory Integration Disfunction (SID) adalah proses fungsi kerja otak yang tidak semestinya,
dari saat penerimaan input hingga dilanjutkannya ke sistem syaraf perasa untuk diterjemah-
kan mengalami gangguan.40 Disfungsi sensori integrasi terjadi pa-da sistem susunan saraf
pusat di dalam otak, menyebabkan otak tidak mampu melakukan analisis, pengorganisasian,
dan tidak mampu melakukan hubungan atau integrasi pesan-pesan sensoris. Akibat
ketidakberfungsian integrasi sensoris, seorang anak tidakdapat melakukan respon atau
menanggapi informasi sensoris untuk dijadikan sesuatu yang bermakna secara konsisten.
Anak tersebut memperoleh kesulitan dalam menggunakan informasi sensoris untuk dibuat
rencana atau diorganisasi dengan apa yang semestinya ia lakukan. Jadi, tidak belajar secara
mudah.
Sensori integrasi terpusat di tiga dasar yaitu tactile, vestibular dan proprioceptive, ketiganya
terbentuk dan terhubung sebelum seseorang dilahirkan dan akan terus berkembang ketika
seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Tactile, vestibular dan propri-oceptive tidak
hanya saling berhubungan, tetapi juga terhubung dengan sistem lain di dalam otak, sistem
yang saling terhubung ini akan membantu seseorang untuk survive, dan proses timbal
baliknya akan dapat menginterpretasikan dan bereaksi terhadap stimulus yang datang dari
tubuh dan lingkungan.42 Sensori integrasi membantu secara memadai proses sensorik
seorang anak agar tercapai: kemampuan dalam mengolah informasi secara tepat, kemampuan
dalam berkonsentrasi, kemampuan organisasi, self-esteem, kemampuan kontrol diri, percaya
diri, kemampuan aka-demis, kemampuan berpikir abstrak, kemampuan spesialisasi dari
masing-masing sisi tubuh dan otak.
Sensori integrasi disini dapat diartikan sebagai proses kerja otak yang tidak semestinya dalam
mengolah informasi dan menginterpretasikannya sehingga tidak dapat memberikan respon
yang sesuai. Sistem yang ada pada sensori integrasi meliputi:
1. Sistem Vestibular (Keseimbangan)

Sistem vestibular terletak pada bagian dalam telinga dan berfungsi mendeteksi gerakan dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada posisi kepala, apakah tegak lurus atau dimiringkan,
dan kelainan pada sistem ini terwujud dalam dua cara yang berbeda, beberapa anak
hipersensitif terhadap rangsangan vestibular dan bereaksi berlebihan terhadap aktivitas
gerakan yang biasa. Sebagian yang lain berperilaku undersensitif, sehingga seringkali mereka
menunjukkan perilaku yang berlebih seperti melompat dan memutar tubuh. Vestibular sense
adalah indera yang memproses infor-masi tentang pergerakan (movement), gaya berat
(gravitasi), keseimbangan (balance) yang diterima melalui telinga.44 Dan memberi info
tentang aktivitas yang berhubungan grafitasi (seperti ketika berputar, melompat, naik atau
turun, berayun), pergerakan dan mempertahankan posisi berdiri, seberapa cepat dan arah serta
ketika seseorang berada dalam ruang. Sistem vestibular berfungsi untuk: mempertahankan
tonus otot dan postur sehingga bila ada yang bergerak maka posisi tubuh akan mendukung,
membantu mempertahankan visul field secara stabil oleh mata dan otot leher untuk
mengkompensasi gerakan kepala dan tubuh, dapat melakukan aktivitas dengan menggunakan
ke-2 sisi tubuh secara bersamaan, memacu cara belajar yang lebih baik.45 Gejala dari
gangguan vestibular bisa terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku, dan kemungkinan anak
memiliki satu atau beberapa dari ciri perilaku di bawah ini:
a. Sistem vestibular juga berfungsi untuk memberikan keseimbangan pada tubuh, anak
dengan gangguan pada keseimbangan menunjukkan perilaku sebagai berikut: mudah jatuh
atau hilangnya keseimbangan ketika memanjat tangga, mengendarai sepeda, melompat,
berdiri dengan satu kaki, dan ketika menutup kedua matanya, bergerak dengan tidak teratur,
canggung, kaku dan geli-sah.46
b. Anak yang mengalami gangguan vestibular akan menunjukkan sikap tubuh yang lemah
dan tidak berdaya, hal ini dikarenakan tonus otot yang lemah, sehingga menunjukkan
perilaku-perilaku sebagai berikut: tubuh kendur dan lemas, terasa lemas atau lesu saat
diangkat, merasa pincang ketika berjalan, membantu keseimbangan tubuh ketika berjalan
dengan cara berjalan terhuyung-huyung, cenderung untuk merosot ketika duduk, lebih suka
berbaring dari pada duduk, dan terus menerus menyandarkan kepalanya pada salah satu
tangannya, duduk di lantai dengan posisi “W”, yaitu lutut-lututnya bengkok dan kakinya
memperluas ke luar sisi-sisinya, saat
tengkurap sulit menegakkan kepala, kaki, mempunyai kesukaran memutar tombol pintu atau
sesuatu yang memerlukan tekanan, genggamannya mudah lepas ketika memegang pensil,
gunting, atau sendok, menggenggam dengan sangat suatu benda karena takut untuk
melepaskannya, mempunyai masalah dengan pencernaan, seperti kurang bisa mengendalikan
kandung kemihnya, mudah lelah pada aktivitas-aktivitas fisik.

Anda mungkin juga menyukai