Disusun Oleh :
RUANG 13
Semester VII
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
2016
DAFTAR NAMA ANGGOTA RUANG 13
2
1. Jelaskan secara singkat tentang:
a. Korea Huntington
Penyakit Huntington (korea Huntington) adalah suatu penyakit yang diturunkan,
dimana sentakan atau kejang dan hilangnya sel-sel otak secara bertahap mulai timbul
pada usia pertengahan dan berkembang menjadi korea, atetosis serta kemunduran
mental. Penyakit ini awalnya muncul secara samar-samar, sehingga usia pertama kali
terjadinya penyakit ini sulit ditentukan. Gejala biasanya mulai muncul pada usia 35-
40 tahun. Penyakit Huntington disebabkan oleh adanya degenerasi bagian otak. Gen
untuk penyakit Huntington bersifat dominan; anak-anak dari orang tua yang
menderita penyakit ini memiliki peluang sebesar 50% untuk menderita penyakit
Huntington.
Pada stadium awal penyakit ini, gerakan abnormal bercampur dengan gerakan
yang sedang dilakukan oleh penderita sehingga gerakan abnormal tersebut hampir
tidak diperhatikan. Tetapi lama-lama gerakan abnormal ini semakin jelas. Pada
akhirnya gerakan abnormal yang terjadi akan mempengaruhi seluruh tubuh, sehingga
hampir tidak mungkin penderita melakukan kegiatan makan, berpakaian, dan bahkan
duduk diam.
Perubahan mental yang terjadi pada awalnya samar-samar. Penderita secara
bertahap menjadi mudah tersinggung dan mudah gembira, mereka bisa kehilangan
minat terhadap aktivitas sehari-harinya. Selanjutnya penderita menjadi tidak
bertanggungjawab dan seringkali bepergian tanpa tujuan yang pasti. Penderita
kehilangan kendali terhadap hasratnya dan menjadi promiskuitas (melakukan
hubungan seksual dengan siapa saja). Bertahun-tahun kemudian, penderita akan
kehilangan ingatan dan kehilangan kemampuannya untuk berpikir secara rasional.
Penderita mengalami depresi berat dan bisa melakukan usaha bunuh diri.
Pada stadium lanjut, hampir semua fungsi mengalami gangguan, sehingga
penderita memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan fungsinya. Kematian
seringkali dipicu oleh pneumonia atau karena terjatuh, yang biasanya terjadi 13-15
tahun setelah timbulnya gejala pertama.
3
b. Ataksia spinoserebelaris
Ataksia spinoserebelaris merupakan suatu penyakit yang bersifat degeneratif dan
progresif, artinya timbul dan memburuk seiring dengan bertambahnya usia. Penyakit
ini dapat timbul dan menyerang orang usia berapa saja. Spinocerebellar degeneration
timbul oleh karena adanya faktor keturunan, disebabkan oleh mutasi genetik yang
diturunkan dari orang tua ke anak. Kadang-kadang orang tua dapat tidak menyadari
memiliki penyakit ini hingga memiliki anak yang menunjukan gejala-gejala dari
kondisi ini. Penyakit ini mempengaruhi spinal cord (saraf tulang belakang) dan
cerebellum (otak kecil), sehingga mempengaruhi koordinasi saraf dan otot tubuh.
Gejala yang timbul diantaranya :
- hilang koordinasi tubuh
- sering terjatuh dan mengalami kesulitan dalam melangkah
- sulit berbicara
- kesulitan mengkoordinasikan gerakan tangan
- kehilangan koordinasi bola mata
- kesulitan menelan
- kapasitas mental tetap normal
Sampai dengan saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit
ini, sehingga pengobatan yang diberikan oleh dokter biasanya bersifat untuk
meringankan/ mengontrol gejala yang timbul. Penanganan yang diberikan bagi setiap
penderita akan berbeda tergantung dari kondisi dan gejala yang dialaminya.
Penanganan yang mungkin diberikan oleh dokter dapat berupa obat-obatan, terapi
fisik (fisioterapi), serta penanganan suportif lainnya.
c. Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Charcot-Marie-Tooth (CMT) adalah nama sekelompok penyakit yang menyerang
saraf periferal karena faktor genetik. Nama penyakit Charcot-Marie-Tooth (CMT)
berasal dari tiga dokter yang menemukannya untuk kali pertama. Penyakit ini
menyebabkan sakit di otot kaki, tangan, lemah otot atau kehilangan kemampuan
merasakan. CMT adalah penyakit turunan, tapi bukan termasuk gejala yang sering
4
muncul secara tiba-tiba yang biasanya menyerang orang berusia 10-20 tahun. Namun,
ada juga orang yang berusia 60 tahun yang terkena penyakit ini. Persentase pasien
CMT pria 3 kali lipat lebih banyak daripada pasien CMT wanita. Walaupun penyakit
ini dapat mempengaruhi aktivitas harian tapi CMT tidak berbahaya dan tidak
memperpendek usia.
Charcot-Marie-Tooth (CMT) tidak memiliki gejala setelah kelahiran. Penyakit
pasien tidak dapat terdeteksi sampai gejala muncul. Gejala paling umum yaitu:
- Lemah otot
- Kehilangan bentuk otot, otot tidak mampu berkontraksi sampai ke lutut
- Kelainan bentuk kaki (lengkungan tinggi, telapak kaki yang melengkung
- Kesulitan berjalan mundur
- Kram otot
- Nyeri tulang dan otot
- Bisul kaki yang tidak dapat sembuh
- Perubahan bentuk telapak kaki
- Pergelangan kaki yang tidak dapat digerakkan
- Kehilangan kemampuan merasakan (seperti panas, dingin, atau sentuhan)
- Rasa kaku yang ekstrem
- Merasa goyah atau kehilangan keseimbangan
5
Diagnosis Charcot-Marie-Tooth dengan mengadakan tes neurotransmitter dan
tes electrical impulse conduction (EMG) atau biopsi saraf untuk menemukan mutasi
genetic.
Ada dua metabolite utama triptofan, yang dihasilkan oleh kynurenine shunt: asam quinolinic dan
asam kynurenic. Asam quinolinic adalah agonis kuat (potent agonist) di reseptor glutamate
tertentu, dan bertindak melalui reseptor glutamate menyebabkan hilangnya sel (cell loss) dan
kejang (convulsion). Sebaliknya, kynurenine adalah suatu antagonis pada berbagai reseptor ini.
Senyawa-senyawa ini adalah fokus kajian utama pada berbagai gangguan neuropsikiatris.
Berbagai neuron melepaskan sinyal neurokimiawi, termasuk glutamate dan ion potassium
(K+), yang mencapai astrosit melalui cairan ekstraseluler. Aktivitas neuronal memicu
beberapa perubahan di astrosit termasuk influks ion-ion K+, meningkatkan volume sel,
aktivasi metabolisme glukosa, peningkatan konsentrasi intraseluler dari ion-ion kalsium
(Ca2+). Beragam astrosit ini, pada gilirannya, menyediakan glukosa dan laktat untuk
mendukung (mensupport) metabolisme energi pada neuron-neuron.
6
Mereka juga mengatur lingkungan kecil di persarafan (neuronal microen- vironment),
dengan memindahkan glutamate dan transmiter neurokimiawi lain dari sinaps dan
melakukan buffering extracellular K+ untuk memelihara rang- sang persarafan (neuronal
excitability), mencegah akumulasi amonia dengan cara mensintesis glutamine dari
glutamate, dan melepaskan substansi-substansi vasodilator, seperti: nitric oxide, yang
meningkatkan aliran darah setempat sebagai respon terhadap aktivitas neu- ronal. Astrosit
saling berkomunikasi satu sama lain melalui gap junctions dan pembebasan ATP. Jadi,
astrosit berperan penting dalam memelihara penggabungan erat (tight coupling), di antara
aktivitas neuronal metabolisme energi dan aliran darah otak (cerebral blood flow), yang
diperlukan untuk fungsi sistem persarafan.
Sebagian besar proses komunikasi di otak, melibatkan transmisi cepat pada sinaps-sinaps
excita- tory yang diperantarai (dimediasi) asam amino L-glutamate. Sekitar 80% ATP
dikonsumsi oleh ion sodium (Na+), K+-ATPase, suatu pompa membran yang
memperbaiki atau memulihkan gradien ionik dan potensial membran yang diubah oleh
transmisi excitatory. Pompa tergantung ATP (ATP-de- pendent pump) ini, juga
mencegah akumulasi berlebihan glutamat di ruang sinaptik dan aktivasi berlebihan dari
reseptor- reseptor postsynaptic, yang dapat menghasilkan akumulasi Ca2+ yang
berlebihan di sitosol.
ATP juga penting untuk mencegah akumulasi glutamate yang berlebihan di ruang
sinaptik dan akumulasi kelebihan Ca2+ di sitosol.
Neuromodulasi
Kelas kedua reseptor neurotransmiter, G protein-coupled receptors, menengahi (memediasi)
efek-efek monoamin, neu- ropeptide, dan beberapa efek asetilkolin, glutamate, serta GABA.
7
neurons menjadi didepolarisasi. Ini menimbulkan hilangnya “neuronal excitability” dan
pembebasan (release) glutamate secara besar-besaran (masif).
Kekurangan energi juga mengurangi uptake glutamate yang dilakukan oleh astrosit. Timbunan
(build-up) glutamate yang berlebihan di sinaps, mempercepat kematian nekrotik dari berba- gai
neuron yang merupakan target sinaps. Akibat kegagalan energi pada mulanya fungsional dan
berpotensi bersifat reversible.
Jika penyebabnya tidak dikoreksi, berbagai perubahan ini diikuti oleh akumulasi Ca2+ di sitosol
dan mitokondria, yang memicu perubahan irreversible seperti: kerusakan seluler, mitokondria,
dan membran-membran lainnya; disorganisasi sitoskeleton, dan degradasi DNA.
Akumulasi Ca2+ di mitokondria mengganggu rantai respirasi dan produksi ATP, serta memacu
pembentukan radikal bebas oksigen. Kalsium mengaktivasi beberapa fosfolipase, yang bersama
dengan “oxidative stress”, merusak membran fosfolipid. Kalsium mengaktifkan produksi nitric
oxide, yang bereaksi dengan radikal bebas oksigen dan menghasilkan oksidasi dan nitrasi lebih
lanjut, serta proses nitrasi dari beberapa protein esensial. Kalsium juga mengaktifkan calpain, di
mana proteases merusak submembrane cytoskeleton, mikrotubuli, neurofilamen, dan
endonuklease yang menyebabkan kerusakan DNA.
Akumulasi laktat dari glukolisis anaerobik memicu penurunan pH intraseluler, yang menekan
aktivitas neuronal, menimbulkan pembengkakan sel, dan meningkatkan produksi radikal bebas.
Nekrosis melibatkan mekanisme glutamate-in- duced excitotoxicity.
c. Reseptor kainate.
Seperti reseptor-reseptor AMPA dan NMDA, ada dua ago- nist-binding sites di setiap reseptor
yang berkaitan erat dengan ion channel. Keduanya, reseptor dengan afinitas rendah mau pun
tinggi, telah teridentifikasi. Semua reseptor secara luas didistribusikan dengan level ekspresi
tinggi di beberapa area forebrain. Forebrain adalah nama nonteknis untuk prosen- cephalon, yaitu
segmen otak dewasa yang berkembang dari forebrain embrionik dan termasuk serebrum,
talamus, dan hipotalamus.
2. Reseptor metabotropic glutamate (mGlu) adalah reseptor yang menyebabkan efek sinaptik
yang lebih lambat, berkaitan dengan perubahan kimiawi.Berbagai reseptor ini secara kuat
mempengaruhi induksi, propagasi, dan terminasi aktivitas epilepsi di dalam sistem saraf pusat.
Sebagian karena peran mereka dalam regulasi neurotrans- misi glutamatergic dan GABA-ergic.
Berbagai reseptor mGlu, berkaitan dengan protein-protein G dan terdiri dari tiga kelompok:
a. Kelompok I, terdiri dari mGlu1 dan mGlu5, terkait dengan aktivasi fosfolipase C dan
menyebabkan peningkatan konsentrasi inositol trisphosphate intraseluler dan mobilisasi kalsium.
Kelompok ini secara umum berkaitan erat dengan respon-respon sinaptik excitatory.
b. Kelompok II (mGlu2 dan mGlu3)
9
c. Kelompok III (mGlu4, mGlu6, mGlu7, dan mGlu8), yang menghambat aktivitas adenylyl
cyclase, menghasilkan penurunan konsentrasi cAMP intraseluler.
Kelompok II dan III berkaitan erat dengan depression berbagai respon sinaptik, melalui inhibisi
dari pelepasan glutamate. Sedangkan berbagai kelompok subunit protein spesifik yang telah
teridentifikasi, yang mendasari berbagai subtipe reseptor iGlu dan mGlu yang berbeda, dapat
dilihat pada skema di atas.
Berbagai subtipe reseptor mGlu dan iGlu spesifik, terbukti berperan penting dalam bermacam-
macam proses sinaptik. Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada uraian berikut:
Kelompok I reseptor mGlu di LTP (long-term potentiation) dan LTD (long-term depression) di
pathway hipokampus CA3– CA1, dalam asosiasinya dengan berbagai reseptor iGlu AMPA dan
NMDA yang sebelumnya teridentifikasi, juga mGlu5 sebagai
subtipe khusus yang terlibat di dalam “tripping” suatu molekular yang diusulkan sebagai
pengganti (switch), yang diperlukan untuk induksi dari bentuk LTP ini.
Kelompok II reseptor mGlu (yaitu: mGlu2 dan mGlu3) sebagai pengendali pelepasan transmiter
(control of transmitter release), termasuk glutamate, GABA (gamma-aminobutyric acid), dan
5HT (5-hydroxytryptamine). Berbagai agonis dan modulator alosterik positif dari reseptor-
reseptor ini, memiliki aplikasi potensial di gangguan yang terkait dengan cemas dan
schizophrenia.
Kelompok III reseptor mGlu, termasuk mGlu8, pada depresi sinaptik di sumsum tulang belakang
(spinal cord). Bukti terkini menunjukkan bahwa cemas (anxiety) dan gangguan yang terkait
dengan stres, merupakan target terapeutik yang bermanfaat untuk agonis mGlu8. Subtipe mGlu7
terbukti terlibat dalam kontrol pelepasan glutamate (the control of glutamate release) di sel- sel
cerebellar granule, melalui inhibisi PICK1 coupled dari P/Q Ca2+ channels.
Reseptor GluR5 (kainate) iGlu pada NMDA receptor-inde- pendent form dari LTP di “serabut
berlumut” mossy fibre/CA3 synapse yang berada di hipokampus, dan keterlibatan protein
reseptor glutamate ini juga pada proses modulasi transmisi excitatory dan inhibitory.
Antagonisme subtipe reseptor ini beserta LY382884, berpotensi untuk terapi nyeri kronis,
epilepsi, iskemia serebral, dan migrain.
Dewasa ini, klasifikasi / skema glutamate telah berkembang pesat. Berbagai antagonis dan
agonis selektif untuk subtipe reseptor iGlu dan mGlu spesifik,telah berkembang dengan progresif
(lihat tabel di bawah ini). Hal ini memicu identifikasi berbagai subtipe reseptor yang berlainan
(discrete receptor subtypes), yang terlibat dalam rangkaian proses dan pathways (siklus kecil)
neuronal (persarafan) yang bersifat particular (teliti).
Aspek Klinis
Glutamate dan aspartat penting pada patofisiologi berbagai penyakit dan kelainan neurologis,
yang berkaitan dengan kematian neuronal dan glial. Gangguan sawar darah-otak (blood- brain
barrier), kerusakan metabolik dan fungsional dari astrosit, neuron, serta lisis sel yang
memungkinkan peningkatan glutamate dan aspartate ekstraseluler serta menyebabkan edema
sitotoksik dan vasogenik spinal atau serebral.
10
Glutamate dan aspartate meningkat dua kali lipat (doubled) pada kondisi meningitis viral,
multipel sklerosis akut, dan mielopati dibandingkan dengan subjek kontrol dan pasien dengan
palsi nervus fasial perifer. Kondisi ini tidak berhubungan dengan lisis sel. Juga tidak bertepatan
dengan terjadinya gang- guan sawar darah-otak (blood-brain barrier), namun indepen- den
(bebas) dari prekursor-prekursor mereka (yaitu: glutamine, asparagine), seperti diestimasikan
oleh rasio albumin.
Pada keadaan pembengkakan sel yang diinduksi glutamate (glutamate-induced cell swell- ing),
taurine dilepaskan, sece- patnya bertindak sebagai marker untuk kerusakan yang berkaitan
dengan eksitotoksin (excitotoxin- related damage). Terjadinya kerusakan sel memicu pening-
katan kadar cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid, CSF) dari transmiter eksitatori dan
inhibitori, yang ditentukan oleh pengukuran laktat dehidrogenase (LDH), mar- ker yang populer
pada kematian sel dan lisis sel.
Secara klinis, pemberian glutamate receptor-modulating agents bermanfaat untuk penderita yang
memperlihatkan peningkatan kadar eksitotoksin CSF. Saling ketergantungan glutamate dan
taurin, dijumpai pada penderita multipel sklerosis akut, meningitis viral dan mielopati
mensugesti interaksi fungsional, terutama pada keadaan in vitro. Peningkatan kadar glutamate
merangsang (overstimulate) neuron dan astrosit, mempengaruhi pembengkakan sel. Hal ini dapat
memicu kondisi “counter-regulatory release” dari berbagai transmiter inhibitor dan pengaturan
volume, yang bertujuan memelihara homeostasis seluler dan mencegah menyebarnya kerusakan
glial dan neuronal.
Tidak berubahnya kadar glutamine dan asparagine di CSF serta tidak adanya korelasi kebalikan,
membuat kadar glutamate dan aspartate meningkat dimungkinkan karena transformasi
enzimatik.
4. Soal Kasus:
Seorang laki-laki, 50 tahun, memperlihatkan gambaran korea progresif, gangguan
emosi, dan demensia. Dia kemudian dicurigai menderita Korea Huntington.
Meskipun demikian riwayat keluarganya tidak jelas menunjukkan penyakit ini
dalam keluarga.
12
a. Jika masalah kepastian diagnosis penting, pemeriksaan apa yang anda
anjurkan untuk mendukung diagnosis korea Huntington?
Laboratorium :
Bila memungkinkan laboratorium genotyping khusus untuk PH (triplet expansi CAG pada
kromosom 4)
Radiologis :
Pada CT dan MRI terlihat atrofi berat pada capud cauda dan putamen, atrofi sedang globus
palidus, korteks, substansia nigra, nucleus subthalamus, dan locus coerulus
Patologi anatomi :
Pada PH atrofi berat pada caput cauda dan putamen, atrofi sedang globus pallidus, korteks,
substansia nigra, nucleus subthalamus, dan locus coerulus.
b. Penderita tersebut memiliki dua orang anak laki-laki. Hal apa saja yang
perlu anda sampaikan pada mereka berdua terkait penyakit yang diderita
ayahnya?
Penyakit ini adalah penyakit yang diturunkan, gen untuk penyakit hutington bersifat dominan,
anak-anak dari orang tua yang menderita penyakit ini memiliki peluang sebesar 50% untuk
menderita penyakit hutington. Untuk keluarga dengan riwayat penyakit hutington sebaiknya
melakukan pemeriksaan genetik karena memiliki resiko untuk terkena penyakit ini.
5. Bacalah buku ajar Adams&Victor Principles of Neurology edisi ke-8 tahun 2005,
tentang “Multiple Sclerosis and Allied Demyelinative Diseases” (hal. 771). Carilah
kriteria patologis untuk penyakit demielinisasi!
Kriteria patologis untuk penyakit demielinisasi menurut Buku Ajar Adams & Victor Principles
of Neurology edisi ke-8 tahun 2005, tentang “Multiple Sclerosis and Allied Demyelinative
Disease” (hal 771)
13
(1) destruction of the myelin sheaths of nerve fibers with relative sparing of the other elements of
nervous tissue, i.e., of axons, nerve cells, and supporting structures, as reflected by a relative lack
of wallerian or secondary degeneration of fiber tracts;
(3) a distribution of lesions that is primarily in white matter, either in multiple small
disseminated foci or in larger foci spreading from one or more centers.
(1) penghancuran selubung mielin serabut saraf dengan sparing relatif dari unsur-unsur lain dari
jaringan saraf, yaitu, akson, sel-sel saraf, dan struktur pendukung, seperti tercermin dari relatif
kurangnya degenerasi wallerian atau sekunder saluran serat;
(2) infiltrasi sel inflamasi dalam distribusi perivaskular dan khususnya paravenous;
(3) distribusi lesi yang terutama dalam materi putih, baik dalam beberapa fokus disebarluaskan
kecil atau di fokus yang lebih besar menyebar dari satu atau lebih pusat.
Penyakit Devic adalah penyakit radang sistem saraf pusat di mana terdapat episode
peradangan dan kerusakan pada myelin (lemak pelindung yang menutupi saraf) yang hampir
secara eksklusif mempengaruhi optik (mata) saraf dan sumsum tulang belakang. Ini biasanya
menyebabkan kebutaan sementara, kadang-kadang tetap, dalam satu atau kedua mata. Dapat juga
mengakibatkan berbagai derajat kelemahan atau kelumpuhan di kaki atau lengan, kehilangan
sensasi, dan / atau kandung kemih dan usus disfungsi dari kerusakan saraf tulang belakang.
Sedangkan multiple sclerosis adalah salah satu penyakit sistem saraf pusat (otak dan jaringan
syaraf sumsum tulang belakang) akibat kerusakan myelin. Pada MS, kerusakan myelin
(demyelinasi) menyebabkan gangguan kemampuan serabut saraf untuk menghantarkan ‘pesan’
ke dan dari otak. Lokasi terjadinya kerusakan myelin (plak atau lesi) tampak seperti area
(parut/luka) yang mengeras, parut-parut/luka-luka ini tampak pada otak dan tulang belakang.
Multiple sclerosis memiliki kondisi yang sangat variabel dan gejala-gejalanya bergantung pada
area sistem syaraf pusat yang terserang.
14
Dalam kasus lanjut penyakit Devic, biasanya dapat secara akurat dibedakan dengan MS.
Namun, pada gejala awal mereka mungkin sulit untuk secara definitif memisahkan kedua
kondisi. Namun, ada beberapa perbedaan:
- Penyakit Devic hanya mempengaruhi saraf optik dan saraf tulang belakang, sedangkan
MS mempengaruhi otak juga.
- Serangan dari penyakit Devic cenderung lebih sering dan parah daripada di MS,
meskipun hal ini tidak selalu terjadi.
- Sebuah MRI otak biasanya normal pada penyakit Devics, meskipun hal ini tidak selalu
terjadi; di MS MRI otak biasanya menunjukkan banyak daerah peradangan.
- Sebuah MRI tulang belakang menunjukkan area yang luas besar peradangan tulang
belakang sedangkan di MS biasanya daerah jauh lebih kecil.
- Spinal studi fluida cenderung tidak menunjukkan ketinggian khas antibodi terdeteksi
pada pasien dengan MS, walaupun kadang-kadang pasien dapat menunjukkan pola yang
abnormal ini antibodi.
Sklerosis Multipel (MS) adalah penyakit autoimun yang terutama menyerang perempuan usia
muda, tergolong penyakit langka di Indonesia. Meskipun demikian, penyakit ini dapat
mengakibatkan kecacatan dan menurunkan kualitas hidup. Penegakan diagnosis yang akurat
sangat diperlukan agar pasien MS bisa mendapatkan pengobatan yang adekuat sedini mungkin.
Tata laksana pasien MS perlu memperhatikan tipe MS dan gejala yang menyertai.
Patologi :
Multiple Sclerosis merupakan penyakit demyelinasi idiopatik dan berulang yang melibatkan
substantia alba pada sistem saraf pusat. Penyakit ini menyerang selubung myelin akson.
Kerusakan pada selubung myelin akson ini menyebabkan terganggunya hubungan antar
akson dalam susunan saraf pusat pada otak dan chorda spinalis. Walaupun begitu dapat juga
terjadi kerusakan daripada akson itu sendiri. Kerusakan mielin diakibatkan oleh aktifnya
limfosit T. Limfosit T pada MS mengalami autoreaktivitas dan mampu mengenali protein
target pada mielin. Kerusakan myelin berhubungan dengan proses infiltrasi sel mononuklear
perivaskular lokal diikuti terjadinya kerusakan myelin yang disebabkan makrofag. Pada
tahap selanjutnya secara khas terjadi proliferasi astrosit yang disertai terbentuknya jaringan
fibroglial. Oleh karena kemampuannya untuk merusak substantia alba dimana pun letaknya
pada sistem saraf pusat, terdapat berbagai macam variasi abnormalitas motorik okular,
dimana tak satupun gejala Multiple Sclerosis yang khas atau patognomonis. Gejala yang
muncul pada Multiple Sclerosis dapat berupa gejala okular maupun non okular. Lesi
sklerotik yang terbentuk akan tampak menyerupai gambaran beberapa plak pada permukaan
otak. Gambaran tersebut biasanya terletak pada substansia alba yang terdapat pada batas
ventricular, n. II, kiasma n. II, corpus callosum, korda spinalis, batang otak, dan pedunkel
serebellar. Plak demyelinisasi ini merupakan gambaran patognomonik MS. Pada fase akut,
tampak sebukan sel radang, hilangnya mielin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase
15
kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan sel-sel makrofag di sekitarnya disertai
kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit. Patofisiologi Multiple Sclerosis yang pasti
sampai saat ini masih belum jelas penyebabnya. Kemungkinan pemicu serangan Multiple
Sclerosis berhubungan dengan faktor imun, infeksi, trauma, stress, kelelahan, peningkatan
suhu tubuh, reaksi abnormal dari obat atau vaksinasi, dan faktor-faktor herediter.
Manifestasi klinis :
Gejala awal MS yang paling sering adalah gangguan penglihatan yang disertai rasa nyeri
(neuritis optika). Pasien akan mengeluhkan pandangan yang berangsur-angsur atau
mendadak menjadi kabur. Umumnya keluhan ini hanya mengenai satu mata (monokular)
disertai rasa nyeri di bagian belakang mata. Keluhan dapat memberat apabila pasien terpajan
pada suhu panas (fenomena Uthoff ). Keluhan penglihatan lainnya adalah pandangan ganda
(diplopia) akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus. Gejala lain meliputi gejala
neurologis seperti :
Kelemahan otot dengan atau tanpa gangguan koordinasi dan keseimbangan
Kejang otot, kelelahan, mati rasa, dan rasa kesemutan
Hipoestesi atau anestesi, kesulitan bicara, gemetaran dan pening
50% mengalami perubahan mental seperti :
Gangguan berkonsentrasi
Kehilangan memori
Ketidakmampuan melakukan tugas secara berurutan
Gangguan dalam pengambilan keputusan/pertimbangan
Gejala lain yang dapat terjadi seperti depresi, paranoid atau suatu dorongan yang tidak
terkontrol untuk tertawa atau menangis.
Ketika keadaan memburuk pasien mungkin mengalami gangguan seksual, gangguan kontrol
vesika urinaria. Panas dapat memperparah gejala MS pada 60% pasien. Pada MS yang
menyerang medulla spinalis bisa ditemukan tanda Lhermitte (sensasi listrik dari leher ke
bawah yang dirasakan pada fleksi leher).
Multiple sclerosis juga dapat menyerang medula spinalis dan mengakibatkan gejala, seperti
mielitis. Multiple sclerosis yang mengenai medula spinalis perlu dibedakan dengan
neuromielitis optika (NMO) atau Devic’s disease. NMO awalnya dikategorikan sebagai
varian dari MS. Akan tetapi, saat ini telah diketahui bahwa NMO adalah suatu penyakit
autoimun yang berbeda dengan MS. Membedakan MS dan NMO menjadi penting karena
pengobatan kedua penyakit ini berbeda. Sebagaimana MS, NMO yang merupakan penyakit
autoimun dapat memperlihatkan gejala dengan episode remisi dan eksaserbasi. Gejala
utamanya adalah gangguan penglihatan yang umumnya lebih berat dibandingkan MS dan
gejala mielitis. Gambaran MRI kepala NMO bisa normal atau apabila ditemukan lesi, lesi
tersebut haruslah tidak memenuhi kriteria MS. Sedangkan gambaran lesi myelitis pada MRI
memperlihatkan lesi hiperintens yang mengenai medula spinalis sepanjang lebih dari 3
segmen vertebra (longitudinally extensive spinal cord lesion). Diagnosis NMO ditegakkan
dengan menggunakan kriteria Wingerchuck
16
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan diagnosis,
tetapi menyingkirkan kemungkinan infeksi otak.
Pemeriksaan oligoclonal band tidak lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis
MS
Pemeriksaan MRI kepala dapat ditemukan lesi hiperintens di periventrikular,
jukstakortikal, infratentorial, dan medula spinalis. Gambaran yang cukup khas pada
lesi MS adalah ovoid lesion dan dawson finger
Pemeriksaan funduskopi pada fase awal akan memperlihatkan papil edema,
sedangkan pada fase lanjut akan tampak papil yang sudah mengalami atrofi.
Pengobatan MS :
1. Pengobatan Relaps Pada kondisi relaps perlu dipastikan terlebih dahulu kemungkinan
penyebab lain. Selain itu infeksi yang umumnya dapat menjadi pencetus relaps perlu
ditatalaksana dengan baik pula.3 Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian
metilprednisolon 500-1000 mg IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali
pada pagi hari dalam saline normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon
lebih dari 5 hari tidak memberikan hasil yang lebih baik.3,8 Pengobatan lainnya
bersifat simptomatik dan suportif
2. Disease Modifying Drugs Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk mendapatkan
terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Beta interferon dapat
17
mengurangi jumlah lesi infl amasi 50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga
direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.
3. Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian
Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan frekuensi relaps pada
RRMS.8
4. Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral.
Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan
berikutnya apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil
yang memuaskan.
5. Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS yang
agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil optimal dengan Interferon
Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab, atau pada
kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong
dalam obat lini kedua dalam terapi MS.
6. Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan progresifi tas
MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang
sangat progresif. Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS.
7. Terapi Simptomatik dan Terapi Suportif
Spastisitas sering didapatkan pada pasien MS. Sebelum memulai terapi farmakologi
untuk mengatasi spastisitas, pastikan terlebih dahulu kemungkinan penyebab lain
yang dapat memperberat spastisitas tersebut. Infeksi saluran kemih ataupun infeksi
lainnya perlu ditatalaksana dengan adekuat. Pasien MS yang mengalami spastisitas
membutuhkan latihan fi sik atau fisioterapi di bawah pengawasan dokter. Keluarga
perlu diajari teknik-teknik untuk mengurangi spastisitas. Terapi farmakologi yang
direkomendasikan untuk mengurangi spastisitas adalah Baklofen dan Gabapentin.
Keluhan lain, seperti nyeri, juga perlu ditata laksana. Untuk nyeri neuropatik, dapat
diberikan antiepilepsi seperti gabapentin atau karbamazepin. Pasien MS memerlukan
latihan fisik sesuai kondisinya. Diet tinggi serat dan asupan cairan yang cukup akan
membantu mengatasi masalah buang air besar. Jika perlu, dapat diberikan laksatif
pada kondisi konstipasi
18
ADEM merupakan penyakit peradangan monofasik demyelinating yang jarang dijumpai
dan tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi klinis pleitropic yang biasanya termasuk
ensefalopati tetapi diikuti dengan variasi fokal atau multi fokal sindroma dari peradangan sistem
saraf pusat termasuk optic neuritis dan myelitis. ADEM lebih sering terjadi pada masa anak-anak
daripada orang dewasa.
Banyak laporan yang mengatakan kasus ADEM yang fatal disebabkan oleh meningitis
jenis limfositik. Beberapa manifestasi klinis lainnya ialah ensefalopati, kejang, demam, sakit
kepala dan tanda rangsan meningeal positif. Ensefalopati sudah dijadikan ciri klinis pada anak
dengan ADEM. Terjadinya optic neuritis secara bilateral pada penderita ADEM menjadi salah
satu yang dipertimbangkan untuk membedakan dengan MS
Bukti dari terjadinya ADEM yang disebabkan infeksi sering dikaitkan dengan musim
semi dan dingin. Infeksi mungkin terjadi karena dipacu oleh proses otoimun. Agen infeksi paling
banyak ialah virus dan yang lainnya seperti proses imunnologi setelah pemberian vaksin.
bawah
pengawasan dokter. Keluarga perlu diajari teknik-teknik untuk mengurangi spastisitas. Pasien
MS memerlukan latihan fisik sesuai kondisinya. Diet tinggi serat dan asupan cairan yang cukup
akan membantu mengatasi masalah buang air besar. Jika perlu, dapat diberikan laksatif pada
kondisi konstipasi.
mempercepat pemulihan dari serangan akut dan mengurangi angka kekambuhan, selain
19
memperlambat ketunadayaan dan pemunculan lesi baru. Tujuan ini dicapai melalui sarana
mendukung fungsi tubuh yang telah berubah, mempertahankan tonus dan kekuatan otot,
memperbaiki fungsi dan mencegah komplikasi, seperti jatuh, konstipasi, infeksi saluran kemih,
stress dan pencegahan keletihan merupakan komponen penatalaksanaan yang penting. Fisioterapi
untuk menguatkan otot dan melatih keseimbangan, mengurangi spastisitas dan membuat jadwal
nyeri.
9. Soal kasus:
Perempuan, 21 tahun, datang dengan keluhan utama kelemahan tungkai kanan.
Kelemahan tungkai kanan dirasakan pertama kali satu tahun lalu. Saat itu
penderita mengeluh sering keseleo tungkai kanan karena kaki kanannya menjadi
lemah. Tidak ada riwayat trauma saat itu. Kelemahan ini berangsur-angsur
membaik dalam dua minggu dan penderita dapat kembali berjalan. Sejak itu,
penderita pernah sekali mengalami kelemahan tungkai kanan yang ringan sekitar
tiga bulan dengan pola yang sama. Satu minggu lalu, setelah bekerja di lapangan
seharian, penderita beristirahat tidur. Pagi harinya, penderita terbangun dan
merasa tungkai kanannya baal. Rasa baal diikuti oleh kelemahan kaki kanan yang
kemudian diikuti kelemahan tungkai kanan. Kelemahan ini dirasakan makin
memberat. Dua hari berikutnya, tungkai kiri penderita juga terasa baal dan sulit
digerakkan. Pada pemeriksaan didapatkan paraparesis dengan tonus otot sedikit
meningkat, refleks patologis Babinski (+) di kedua kaki. Terdapat hipestesi mulai
dari lipat paha ke bawah untuk modalitas raba halus dan nyeri. Tes Lhermitte (-).
Pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal.
20
a. Jika anda mencurigai ini sebagai MS, pemeriksaan apa yang anda
sarankan?
Pemeriksaan penunjang
21