Anda di halaman 1dari 22

KONFLIK SOSIAL DAN DAMPAK LEGAL FORMAL: SOLUSI

PENYELESAIAN INFORMAL DI ARAS LOKAL


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Konflik

Oleh:
Wahid Mustofa (3312415002)

PRODI ILMU POLITIK


JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR

Asalamualaikum wr.wb

Puji syukur alhamdulilah senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberi taufiq serta hidayahnya sehingga dalam kesempatan ini penulis
dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas pengganti ujian akhir semester mata
kuliah Manajemen Konflik.
Makalah ini disusun dalam rangka meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
menulis, serta meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bidang yang diambil.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang, serta
menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan baik dalam penulisan atau isi, untuk itu penulis meminta maaf. Penulis
mengharapkan kritiik dan saran yang membangun dari pembaca demi menyempurnakan
dan memperbaiki makalah ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
Semarang, 22 Juni 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Landasan Teori 3

Bab 2 Isi

2.1 Kronologi 12
2.2 Analisis 13
Bab 3 Penutup

3.1 Kesimpulan 15

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik merupakan suatu hal yang lazim ditemui dalam sebuah komunitas
sosial. Konflik akan terjadi apabila terdapat perbedaan pemahaman antara dua orang
atau lebih terhadap berbagai perselisihan, ketegangan, kesulitan-kesulitan diantara para
pihak yang tidak sepaham. Konflik juga bisa memicu adanya sikap berseberangan
(oposisi) antara kedua belah pihak dimana masing-masing pihak memandang satu sama
lainnya sebagai lawan atau penghalang dan diyakini akan mengganggu upaya
tercapainya tujuan dan tercukupinya kebutuhan masing-masing. Terlepas dari
banyaknya penyebab terjadinya konflik, perbedaan kepentingan diantara individu dalam
kelompok atau masyarakat yang kesemuanya saling terkait dalam realita sosial yang
kompleks.

Konflik selalu mewarnai kehidupan, dari konflik yang sangat kecil hingga
sampai kepada konflik yang sangat besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik
merupakan fakta yang tidak dapat dihindari. Konflik ada yang bisa diselesaikan secara
tuntas, ada yang setengah tuntas, dan ada juga yang berlarut-larut tanpa solusi yang
jelas.1

Manajemen dapat didefinisikan melalui banyak cara. Mary Parker Follet, salah
satu tokoh ilmu manajemen mendefinisikan manajemen sebagai seni mencapai sesuatu
melalui orang lain. Dengan definisi tersebut, manajemen tidak menghendaki seseorang
untuk bekerja sendiri, melainkan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan
tertentu.

Setelah muncul konsep manajemen, maka muncullah istilah manajemen konflik.


Manajemen konflik adalah proses mengidentifikasi dan menangani konflik secara
bijaksana, adil, dan efisien dengan tiga bentuk metode pengelolaan konflik yaitu
stimulasi konflik, pengurangan atau penekanan konflik dan penyelesaian konflik.
Pengelolaan konflik membutuhkan keterampilan seperti berkomunikasi yang efektif,

1
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, hal. 1
pemecahan masalah, dan sesuatu hal yang dapat mendorong meningkatnya
produktivitas apabila konflik tersebut dapat dikelola dengan baik. Namun, konflik
biasanya dianggap sebagai sesuatu yang salah (disfungsional) yang dapat merusak dan
menyebabkan produktivitas menurun.

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku


maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi
(termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang
berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat
tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi
jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.2

Seperti yang dikatakan Leonard Greenhalgh yang dikutip oleh A. Dale Timpe 3
dalam bukunya yang berjudul “Managing People”, konflik pada dasarnya berawal dari
hal-hal yang bersifat abstrak, tapi kemudian konflik juga dapat berakibat buruk sampai
ke tingkat nyata, berupa benturan fisik antara orang-orang yang berkonflik. Hal inilah
yang terjadi di Desa Karanggede, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, dimana
seorang kakek yang tidak terima dengan tanggul pembatas antara sawah milik orang
lain dengan miliknya kemudian bagian tanggul miliknya diambil atau dikeruk. Yang
menjadikannya menarik adalah bagaimana masalah sepele tersebut kemudian menjadi
besar hingga dibawa ke meja hijau.

Untuk mempermudah dalam mendalami konflik tersebut, maka penulis


membingkainya menggunakan beberapa teori berserta analisis serta penyelesaiannya.

1.2 Rumusan Masalah

Setelah penulis menjelaskan pengertian konflik dan manajemen konflik secara


singkat maka timbullah pertanyaan:

1. Bagaimana kronologi terjadinya konflik?

2
Jefri Heridiansyah, “Manajemen Konflik dalam Sebuah Organisasi”, Jurnal STIE Semarang, Volume 6
No.1, 2014, hal. 28
3
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, hal. 1
2. Bagaimana proses penyelesaian konflik tersebut?
3. Bagaimana konflik tersebut dikaji menggunakan teori-teori konflik?

1.3 Tujuan Penulisan


Dengan adanya rumusan masalah diatas, maka makalah ini disusun dengan tujuan:
1. Menjelaskan kronologi terjadinya konflik tersebut.
2. Menjelaskan proses terjadinya konflik tersebut.
3. Menjelaskan konflik tersebut dan menganalisisnya menggunakan teori-teori
manajemen konflik.

1.4 Landasan Teori


1.4.1 Pengertian Konflik

Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang berarti
saling berbenturan atau semua bentuk bennturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
ketidaksetaraan, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang
antagonistis atau saling bertentangan. Kata tersebut diserap ke dalam bahasa
Inggris menjadi conflict, yang berarti a fight, a collision, a struggle, a controversy,
an opposition of interest, opinions of purposes (Khaerul, 2012: 261). Sedangkan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata konflik berarti pertentangan atau
percecokan.4

Banyak sekali definisi konflik yang dikemunkakan oleh para pakar dan ahli.
Stephen P. Robbins dalam bukunya Perilaku Organisasi (Organizational
Behaviour) menjelaskan bahwa terdapat banyak definisi konflik. Menurut Stoner,
konflik didefinisikannya sebagai: “Organizational conflict is a desagrement
between two or more organization members or groups arising the fact that they

4
Thomas, Agus Sikwan, dan Syf. Ema Rahmaniah, Konflik Sosial antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT.
Borneo Ketapang Permai dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten
Sanggau, Jurnal Thesis PMIS-UNTAN-PSS, Universitas Tanjungpura, 2015, hal. 3
must share scare resources or work activities and / or from the fact that they have
different status, goals, values, or perceptions.5

Menurut Minnery, mendefinisikan konflik sosial sebagai interaksi antara


dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh
perbedaan tujuan di mana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut
menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut
(Minnery 1986, hal 35).6

Dalam sosiologi konflik sosial disebut juga pertikaian atau pertentangan.


Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini
berarti satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau ber- usaha menyingkirkan
pihak lainnya. Dengan kata lain, pertikaian merupakan usaha penghapusan
keberadaan pihak lain. Pengertian ini senada dengan pendapat Soedjono. Menurut
Soedjono (2002:158), pertikaian adalah suatu bentuk interaksi sosial di mana pihak
yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain atau berusaha mengenyahkan
rivalnya.7

Konflik juga dapat diartikan sebagai interaksi antar individu, kelompok, dan
organisasi yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa
orang lain sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.

1.4.2 Jenis-jenis Konflik

Konflik sebenarnya banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan


berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokkan berdasarkan latar
terjadinya konflik, pihak yang terkait dengan konflik, dan substansi konflik,
diantaranya adalah konflik personal dan konflik interpersonal, konflik interes
(conflict of interest), konflik realitas dan konflik non-reaalitas, konflik destruktif
dan konflik konstruktif, dan konflik menurut bidang kehidupan.8

5
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, 2015, hal. 2
6
Agus Sjafari, “ Pemetaan Konflik Sosial di Kota Tengerang Privinsi Banten”, Jurnal of Government,
Volume 2 No.2, 2017, hal. 139
7
Ibid
8
Mohamad Muspawi, “ Manajemen Konflik (Upaya Penyelesaian Konflik dalam Organisasi)”, Jurnal
Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, Volume 16 No.2, 2014, hal. 46
Menurut James A.F Stoner dan Charles Wankel9 terdapat 5 (lima) jenis
konflik yaitu: a) Konflik Intrapersonal. Konflik Intrapersonal adalah konflik
seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama
seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. b)
Konflik Interpersonal. Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang
dengan orang lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering
terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja, dan lain-lain.
Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam
perilaku organisasi, karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan
dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut. c) Konflik antar individu-individu dan
kelompok-kelompok. Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu
menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada
mereka oleh sekelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa
seseoraang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat
mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada. d) Konflik
antara kelompok dalam organisasi yang sama. Konflik ini merupakan tipe konflik
yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf,
pekerja dan pekerja-manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar
kelompok. e) Konflik antara organisasi. Konflik ini berdasarkan pengalaman
ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan dari kedua organisasi yang
bersangkutan.

1.4.3 Faktor Penyebab Konflik

Yang menjadi penyebab timbulnya suatu konflik dikarenakan kurangnya


kontrol sosial masyarakat yang tidak diikuti dengan tindakan para penegak hukum
sehingga para pelanggar peraturan ini tidak akan merasakan ketakutan karena telah
memahami ketika melakukan pelanggaran tidak akan mendapatkan hukuman yang
tercantum dalam peraturan.

Menurut Robin, Walton, dan Duton (dalam Wijono 2012) menjelaskan


tentang sumber konflik antarpribadi atau kelompok melalui kondis-kondisi pemula

9
Ibid
(antecedent conditions) yang meliputi: 1) persaingan terhadap sumber-sumber
(competition resources), 2) ketergantungan terhadap tugas, 3) kekaburan deskripsi
tugas (task interdependence), 4) masalah status (status problem), 5) rintangan
komunikasi (communication barriers), 6) sifat-sifat individu (individual traits).10

Sedangkan menurut Franz Magnis-Suseno (2003:121) yang melatar


belakangi konflik timbul adalah: 1) modernisasi dan globalisasi, 2) akumulasi
kebencian dalam masyarakat, 3) budaya kekerasan, 4) sistem politik.11

Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum, sistem, dan aparatnya.
Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama, karena ketidakadilan
telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari, Mereka yang selama ini diam, tiba-
tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat sudah tidak dipercaya
lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alihkendali hukum. Keadaan
masyarakat yang beranekaragam inilah yang membuat masyarakat itu mengambil
kesimpulan dan memutuskan apa yang harus mereka lakukan sendiri, walaupun itu
bertentangan dengan hukum yang ada.

Konflik juga dapat terjadi karena, a) Perbedaan Antarorang. Pada dasarnya


setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan ini mampu
menimbulkan konflik sosial. Perbedaan pendirian dan perasaan setiap orang dirasa
sebagai pemicu utama dalam konflik sosial. Lihat saja berita-berita media massa
banyak pertikaian terjadi karena rasa dendam, cemburu, iri hati, dan sebagainya.
Selain itu, banyaknya perceraian keluarga adalah bukti nyata perbedaan prinsip
mampu menimbulkan konflik. Umumnya perbedaan pendirian atau pemikiran lahir
karena setiap orang memiliki cara pandang berbeda terhadap masalah yang sama.
b) Perbedaan Kebudayaan. Kebudayaan yang melekat pada seseorang mampu
memunculkan konflik manakala kebudayaan – kebudayaan tersebut berbenturan
dengan kebudayaan lain. Pada dasarnya pola kebudayaan yang ada memengaruhi
pembentukan serta perkembangan kepribadian seseorang. Oleh karena itu,
kepribadian antara satu individu dengan individu lainnya berbeda-beda. Contoh,

10
Dedi Kurniawan, Abdul Syani, “Faktor Penyebab, Dampak, dan Strategi Penyelesaian Konflik Antar
Warga di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan”, Jurnal Sosiologi, Volume 15 No.1, 2014,
hal. 3
11
Ibid., hal. 4
seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan tentunya berbeda dengan
seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian ini, tentunya membawa
perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu yang dapat menyebabkan
terjadinya pertentangan antarkelompok manusia. c) Bentrokan Kepentingan.
Umumnya kepentingan menunjuk keinginan atau kebutuhan akan sesuatu hal.
Seorang mampu melakukan apa saja untuk mendapatkan kepentingannya guna
mencapai kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu, apabila terjadi benturan antara
dua kepentingan yang berbeda, dapat dipastikan munculnya konflik sosial.
Contohnya benturan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kepentingan buruh
adalah mendapatkan gaji sebagaimana mestinya setiap bulannya. Namun,
berkenaan dengan meruginya sebuah perusahaan maka perusahaan itu enggan
memenuhi kepentingan buruh. Akibatnya, konflik baru terbentuk antara majikan
dan buruh. Buruh menggelar aksi demo dan mogok kerja menuntut perusahaan
tersebut. d) Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang berlangsung cepat untuk
sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan pendirian antargolongan dalam menyikapi
perubahan yang terjadi. Situasi dan kondisi ini mampu memunculkan konflik baru.
Misalnya semakin maju dan tinggi teknologi, para ahli pun berusaha melibatkan
para balita untuk ikut menikmati teknologi tersebut yang tentunya bermanfaat bagi
perkembangan intelektual bayi. Karena alasan itu, dibuatlah baby channel. Namun,
perubahan ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat (Dahrendorf,
1986 ).12

1.4.4 Tipe-tipe Konflik

Banyak sekali penggolongan tipe-tipe konflik yang ada berdasarkan


klasifikasi tertentu, salah satunya menurut Fisher. Menurutnya, berkaitan dengan
persoalan sikap, perilaku, dan situasi konflik, suatu konflik dapat dibagi menjadi 4
(empat) tipe. Tipe-tipe tersebut antara lain: a). Tanpa konflik; menggambarkan
situasi yang relatif stabil, hubungan-hubungan antar kelompok bisa saling
memenuhi dan damai. b). Konflik laten; menggambarkan situasi di mana konflik
yang ada sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan untuk ditangani.
12
Agus Sjafari, “ Pemetaan Konflik Sosial di Kota Tengerang Privinsi Banten”, Jurnal of Government,
Volume 2 No.2, 2017, hal. 141
c). Konflik terbuka; menggambarkan situasi konflik yang nyata dan telah muncul
ke permukaan, berakar kuat, serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi
akar penyebabnya. d). Konflik di permukaan; memiliki akar yang dangkal atau
bahkan tidak berakar, dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai
sasaran.13

1.4.4 Proses Konflik

Dalam prosesnya suatu konflik tidak terjadi secara mendadak tanpa sebab
dan proses, akan tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu. Hendricks, W. 14
mengidentifikasi proses terjadinya konflik terdiri dari tiga tahap. 1) Peristiwa
sehari-hari; ditandai adanya individu merasa tidak puas dan jengkel terhadap
lingkungan kerja. Perasaan tidak puas kadang-kadang berlalu begitu saja dan
muncul kembali saat individu merasakan adanya gangguan. 2) Adanya tantangan;
apabila terjadi masalah, individu saling mempertahankan pendapat dan
menyalahkan pihak lain. Tiap anggota menganggap perbuatan yang dilakukan
sesuai dengan standar dan aturan organisasi. Kepentingan individu maupun
kelompok lebih menonjol daripada kepentingan organisasi. 3) Timbulnya
pertentangan; masingmasing individu atau kelompok bertujuan untuk menang dan
mengalahkan kelompok lain.

Menurut Louis R. Pondy15 merumuskan lima tahap konflik yang disebut


“Pondys Model of Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang
melalui lima fase secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt
Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict Aftermath.

Laten conflict, merupakan kondisi yang berpotensi untuk menyebabkan,


atau mengawali sebuah episode atau babak konflik. Atecedent condition tidak dapat
dilihat atau tidak jelas dipermukaan. Perlu diingat bahwa kondisi-kondisi ini belum
tentu mengawali proses suatu konflik. Namun demikian, konflik belum tentu

13
Wisnu Suhardono, “Resolusi Konflik”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Volume II No.2, 2015, hal. 13
14
Syairal Fahmy Dalimunthe, Manajemen Konflik dalam Organisasi, Universitas Negeri Medan, 2016 hal.
3
15
Dalam Jakiatin Nisa, “Resolusi Konflik dalam Prespektif Komunikasi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i,
Volume II No.1, 2015, hal. 22
muncul karena kedua belah pihak tidak bersikeras memenuhi keinginannya
masing-masing. Disinilah konflik dikatakan bersifat laten, yaitu berpotensi untuk
muncul, tapi dalam kenyataannya bisa saja tidak terjadi.

Perceived conflict, agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus
menyadari bahwa mereka dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu.
Tanpa rasa terancam ini, salah satu pihak dapat saja melakukan sesuatu yang
berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak disadari sebagai ancaman. Namun,
jika perilaku yang terjadi menimbulkan perselisihan, proses konflik itu akan
cenderung berlanjut.

Felt conflict, persepsi berkaitan erat dengan perasaan, karena itulah jika
orang merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial,
ketegangan, frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah.
Disinilah mulai diragukannya kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala
sesuatu dianggap sebagai ancaman, dan orang mulai berpikir bagaimana untuk
mengatasi situasi dan ancaman tersebut.

Manifest conflict, persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi


terhadap situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada
tahap ini adalah berbagai argumentasi, tidakan agresif, atau bahkan munculnya niat
baik yang menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.

Kemudian yang terakhir adalah conlict aftermath. Fase ini adalah fase
sesudah konflik diolah. Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik hasilnya
berpengaruh baik pada organisasi (fungsional) atau sebaliknya (disfungsional).
1.4.5 Penyelesaian Konflik

Ketika menghadapi situasi konfllik, seringkali orang berperilaku atau


melakukan hal tertentu untuk menghadapi lawannya ataupun menyelesaikan konflik
tersebut. Perilaku mereka membentuk suatu pola tertentu. Pola perilaku orang-
orang dalam menghadapi atau menyelesaiakan konflik disebut sebagai manajemen
konflik. Penyelesaian konflik tersebut antara lain: 1) Koersi, yaitu suatu bentuk
akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak suatu pihak terhadap pihak
lain yang lebih lemah. 2) Kompromi, yaitu suatu bentuk akomodasi ketika pihak-
pihak yang terlibat perselisihan saling menguraangi tuntutan agar tercapai
suatupenyelesaian. 3) Arbitrasi, yaitu terjadi apabila pihak-pihak yang berselisih
tidak sanggup mencapai kompromi sendiri. 4) Mediasi, seperti arbitrasi namun
pihak ketiga hanya sebagai penengah atau juru damai. 5) Konsiliasi, merupakan
upaya mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi
tercapainya seuatu persetujuan bersama. 6) Toleransi, yaitu bentuk akomodasi
tanpa persetujuan yang resmi. 7) Stalemate, terjadi ketika kelompok yang terlibat
pertentangan mempunyai kekuatan seimbbang. Kemudian keduanya sadar untuk
mengakhiri pertentangan. 8) Ajudikasi, yaitu penyelesaian masalah melalui
pengadilan.16

1.4.6 Resolusi Konflik

Resolusi konflik memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang
fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine
adalah 1) tindakan mengurai suatu permasalahan, 2) pemecahan, 3) penghapusan
atau penghilangan permasalahan.

Sedangkan Weitzman mendefinisikan resolusi konflik sebagai suatu


tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Lain halnya
dengan Fisher et.al yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha
menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa
tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru.17

Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan untuk


menyesuaikan perbedaan denagn yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam
pembangunan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk
bernegosiasi, kompromi, serta mengembangkan rasa keadilan.18

16
Wisnu Suhardono, “Konflik dan Resolusi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Volume II No.1, 2015, hal.
14
17
Ibid
18
Ibid
Salah satu tokoh teori resolusi konflik, John Burton 19, menyebutkan bahwa
resolusi konflik tidak berakhir sebatas di meja perundingan, tetapi lebih jauh lagi
menciptakan struktur baru yang lebih kondusif.

Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara
individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain
secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang
lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan
kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka
oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan
adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.

19
Suryawan Setianto, “Konflik Sosial dalam Pembangunan Infrastruuktur SDA Kasus Waduk Jatigede”,
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Volume 6 No.3, 2014, hal. 183
BAB 2

ISI

3.1 Kronologi

Konflik yang terjadi antara Durokhim yang merupakan seorang kakek berusia
enam puluh sembilan tahun dengan Mudaim yang merupakan seorang kyai sebenarnya
merupakan masalah kecil, namun akhirnya bertambah besar. Awal permasalahan yang
menyebabkan kedua belah pihak berkonflik adalah Mudaim yang pada saat itu sedang
berada disawah pada pukul 05.30 WIB tengah memperbaiki pematang sawah yang
berbatasan langsung dengan sawah milik Durokhim. Pada saat itulah Durokhim datang
dan langsung tersulut emosi hingga marah-marah. Akibat emosi yang meluap-luap itu
menyebabkan Mudaim dihina-hina.

Pada saat itu, Mudaim yang tidak merasa bersalah membantah tudingan
Durokhim dan berkata bahwa dirinya sudahlah benar. Durokhim yang saat itu
kondisinya sedang tersulut emosi akhirnya bertambah naik emosinya hingga berlanjut
tindak kekerasan fisik. Seketika mendengar hal tersebut Durokhim kemudian
membanting badan Mudaim yang kemudian ia benamkan ke dalam lumpur sawah.
Akibatnya, Mudaim terkunci dan tidak dapat berbuat apa-apa.

Tak lama setelah hal tersebut terjadi, salah seorang warga yang bernama
Munandir datang dan mencoba melerai pertengkaran tersebut. Setelah mereka
dipisahkan dan Mudaim mendapat pertolongan, walaupun sudah diperlakukan
sedemikian rupa namun Mudaim mengatakan bahwa dirinya tidak akan membalas
perbuatan Durokhim. Namun, Durokhim yang masih berada di ujung emosi malah
mengambil cangkul dan mengacungkannya kepada Mudaim dan mengancam hendak
membunuhnya. Karena Mudaim ketakutan dan terancam, akhirnya dia pun berlari jauh.

Sesampainya Mudaim di rumahnya langsung melapor kepada Polsek Mirit dan


dilanjutkan visum. Hasil visum tersebut membuktikan bahwa terdapat luka memar
kebiru-biruan di bahu kanan Mudaim yang disebabkan kekerasan benda tumpul. Setelah
itu kasus inipun berujung pada pengadilan, dan akhirnya Durokhim dinyatakan bersalah
dan divonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan tidak ditahan.
3.2 Analisis

Konflik yang sudah dipaparkan diatas, yang terjadi antara Durokhim dan
Mudaim jika di analisis menggunakan teori jenis konflik diatas termasuk dalam jenis
konflik interpersonal. Dalam hal ini berarti konflik tersebut terjadi antara dua orang,
karena memang dari informasi dan berita yang beredar mengatakan bahwa kedua orang
tersebutlah yang memiliki permasalahan utama.

Faktor penyebab terjadinya konflik tersebut meliputi 2 (dua) hal, yaitu: 1)


Perbedaan antara individu dengan individu lain. Hal ini dilihat dari sikap, pendirian,
perilaku, kepemahaman dari Durokhim dan Mudaim yang berbeda. Durokhim dengan
sikap yang merasa benar karena telah dicurangi. Karena merasa dirinya benar maka
Durokhimpun akhirnya membela diri dan hak nya. Selain itu, 2) dari sisi psikologi,
Durokhim merupakan orang yang tempramental dan bahkan bisa bertindak nekad demi
membela hak nya. Disisi lain Mudaim juga hampir sama. Dirinya merasa juga sudah
benar dengan mengatur tanggul pembatas sawah miliknya. Yang berbeda antara dirinya
dan Durokhim adalah sikapnya yang cenderung tidak mudah emosi dan melakukan
tindakan-tindakan agresif. Selain itu dirinya juga sebagai seorang kyai juga menjadi
alasan dibalik sikapnya yang tidak mudah emosi dan melakukan tindakan-tindakan
agresif tersebut.

Konflik tersebut terjadi juga karena tujuan yang berbeda. Mudaim yang
mengatur tanggul pembatas antara sawah miliknya dengan milik Mudaim mempunyai
tujuan mengatur agar sesuai atau sebagaimana mestinya. Namun, disisi lain Durokhim
merasa diakali oleh Mudaim karena hal yang dilakukan nya tidak benar dan tidak sesuai
sebagaimana mestinya. Disisi lain, penyebab konflik ini juga karena faktor kebutuhan.
Akibat dari kemarahan Durokhim adalah dari tanggal tersebut yang dikeruk menjadi
kecil oleh Mudaim yang menyebabkan luas sawah miliknya menjadi berkurang. Hal ini
juga menjadi masalah serius bagi para petani dan terutama masyarakat yang berprofesi
sebagai petani, karena hal semacam ini dianggap mempengaruhi harga jual sawah dan
hasil dari pertanian yang menjadi tidak banyak seperti sebelumnya.

Komunikasi yang tidak baik juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan
konflik ini menjadi lebih besar. Komunikasi yang tidak berjalan baik ini dipengaruhi
juga oleh karakter dari masing-masing individu, seperti Durokhim yang sudah terlanjur
emosi sehingga sulit untuk diajak berunding dan berbicara secara baik-baik. Jika,
dianalisa menggunakan teori yang digagas oleh Franz Magnis-Suseno diatas berada
pada poin budaya kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan masyarakat Mirit
yang kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah,
namun juga hal ini tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Mirit secara
keseluruhan.

Jika dilihat dari tipenya, konflik ini termasuk dalam jenis effective conflict dan
substantive conflict. Dikatakan affective konflik karena konflik ini terjadi salah satunya
karena Durokhim yang gampang tersulut emosinya sehingga membuatnya marah.
Kemudian dikatakan substantive conflict karena pendapat atau ukuran benar terkait
tanggul pembatas tersebut jelas saja berbeda, Mudaim mengatakan bahwa dirinya sudah
benar, namun disisi lain Durokhim juga merasa benar karena membela haknya dan
karena luas sawah miliknya berkurang akibat ulah Mudaim.

Disamping itu, konflik yang terjadi ini jika dianalisis menggunakan teori dari
Fisher merupakan tipe konflik permukaan, karena akar permasalahan dari konflik ini
dapat dikatakan dangkal dan bermula dari kesalahpahaman.

Dalam prosesnya, tentunya konflik tidak terjadi secara tiba-tiba dan melalui
tahapan-tahapan tertentu. Berdasarkan teori dari Hendricks W, konflik yang terjadi
antara Durohkim dan Mudaim melalui proses sebagai berikut: 1) Adanya konfllik
tersebut yang terjadi di sawah dapat dikatakan karena permasalahan yang menyangkut
kegiatan sehari-hari dan Duokhim yang merasa jengkel dan tidak puas terhadap apa
yang telah dilakukan Mudaim. 2) Masalah yang sudah terjadi tersebut terjadi juga
karena masing-masing individu mempertahankan pendapat dan menyalahkan pihak lain,
sehingga kedua belah pihak tidak sulit diajak berunding baik-baik. 3) Karena mereka
yang saling menganggap dirinya benar, akibatnya muncullah tindakan agresif dari
Durokhim yang bertujuan untuk mengalahkan Mudaim.

Proses terjadinya konflik ini seperti yang sudah digagas oleh Louis R. Pondy
diatas, jika diurutkan menggunakan teori proses terjadinya konflik diatas adalah sebagai
berikut: konflik bermula ketika Mudaim yang sedang mengatur tanggul sawah miliknya
dengan milik Durokhim. Sebenarnya masalah ini meruapakan masalah sepele dan dapat
dibicarakan baik-baik. Namun, karena merasa luas sawahnya terancam Durokhim
akhirnya marah, sehingga terjadi percekcokandiantara keduanya sampai terjadi
perkelahian. Kemudian karena Mudaim yang tidak mau mengerti atau tidak sepaham
dengan dirinya membuatnya lebih marah dan berujung adanya tindak agresif dari
Durokhim dengan mengacungkan cangkul dan hendak membunuh Mudaim.

Akhirnya masalah ini berujung pada meja hijau. Setelah lari dari amukan
Durokhim, kemudian Mudaim memprosesnya di persidangan dengan bukti yang
dibawanya adalah hasil visum yang menyatakan adanya luka-luka pada sebagian tubuh
Mudaim, sehingga Durokhim diperjarakan. Penyelesaian konflik yang semacam ini
termasuk dalam jenis ajudikasi.

Setelah masalah dianggap selesai maka seharusnya tidak ada masalah


dikemudian hari dan dapat dikatakan hal ini sebagai “resolusi konflik”. Namun, hal
tersebut juga bisa sewaktu-waaktu berubah (transformasi konflik) manakala Durokhim
yang masih menyimpan dendam kepada Mudaim dan hendak melampiaskannya
kembali, ataupun terjadi konflik lain seperti rusaknya hubungan kedua orang tersebut,
saling menjelek-jelekkan dibelakang yang dapat membuat orang lain terbawa suasana.
Hal tersebut ditengarai karakteristik masyarakat Mirit yang memang mudah terbawa
emosi dan kerapkali bertindak agresif.
BAB 3

Penutup

3.1 Kesimpulan

Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh
seseorang terhadap dirinya, orang lain, dan organisasi dengan kenyataan apa yang
diharapkannya. Konflik juga merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sosial di dalam masyarakat. Konflik sebenarnya banyak jenisnya dan dapat
dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat
dikelompokkan berdasarkan latar terjadinya konflik, pihak yang terkait dengan konflik,
dan substansi konflik, diantaranya adalah konflik personal dan konflik interpersonal,
konflik interes (conflict of interest), konflik realitas dan konflik non-reaalitas, konflik
destruktif dan konflik konstruktif, dan konflik menurut bidang kehidupan

Penyebab terjadinya konflik bermacam-macam, antara lain: 1) persaingan


terhadap sumber-sumber, 2) ketergantungan terhadap tugas, 3) kekaburan deskripsi
tugas, 4) masalah status, 5) rintangan komunikasi, 6) sifat-sifat individu. Proses konflik
bisa berbeda-beda dan bermacam-macam, salah satunya dalah sebagai berikut: 1) Laten
Conflict. 2) Perceived Conflict. 3) Felt Conflict. 4) Manifest Conflict. 5) Conflict
Aftermath.

Adanya berbagai konflik dapat diselesaikan menggunakan cara-cara atau pola


sebagai berikut: 1) Koersi. 2) Kompromi. 3) Arbitrasi. 4) Mediasi. 5) Konsiliasi. 6)
Toleransi. 7) Stalemate. 8) Ajudikasi.

Resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga
menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk
menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang
berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan
melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil untuk membantu pihak-pihak yang
berkonflik memecahkan masalahnya.
Setelah masalah dari konflik diatas dianggap selesai maka seharusnya tidak ada
masalah dikemudian hari dan dapat dikatakan hal ini sebagai “resolusi konflik”. Namun,
hal tersebut juga bisa sewaktu-waktu berubah (transformasi konflik) manakala
Durokhim yang masih menyimpan dendam kepada Mudaim dan hendak
melampiaskannya kembali, ataupun terjadi konflik lain seperti rusaknya hubungan
kedua orang tersebut, saling menjelek-jelekkan dibelakang yang dapat membuat orang
lain terbawa suasana. Hal tersebut ditengarai karakteristik masyarakat Mirit yang
memang mudah terbawa emosi dan kerapkali bertindak agresif.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Z., 2016. Resolusi Konflik dalam Prespektif Kepribadian, Malang: Psychology
Forum UMM.
Bakri, H., 2015. Resolusi Konflik melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pala Gandong di
Kota Ambon. Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(1), pp.
51-60.
Dalimunthe, S. F., 2016. Manajemen Konflik dalam Organisasi, Medan: Universitas
Negeri Medan.
Heridiansyah, J., 2014. Manajemen Konflik dalam Sebuah Organisasi. Jurnal STIE
Semarang, 6(1), pp. 28-41.
Khaerul, U., 2012. Manajemen Organisasi, cetakan ke satu. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Kurniawan, D. & Syani, A., 2014. Faktor Penyebab, Dampak, dan Strategi Penyelesaian
Konflik Antar Warga di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan.
Jurnal Sosiologi, 15(1), pp. 1-12.
Ramadlan, M. F. S. & Wahyudi, T. H., 2016. Pembiaran Pada Potensi Konflik dan
Kontestasi Semu Pemilukada Kota Blitar: Analisis Institusionalisme Pilihan
Rasional. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review, 1(2), pp. 136-
153.

Muspawi, M., 2014. Manajemen Konflik (Upaya Penyelesaian Konflik dalam


Organisasi). Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, 16(2), pp. 41-
46.
Nisa, J., 2015. Resolusi Konflik dalam Prespektif Komunikasi. Jurnal Sosial dan
Budaya Syar'i, II(1), pp. 17-31.
Rahman, N. E., 2013. Konflik dan Kecemburuan Sosial antara Etnis Tionghoa dan
Masyarakat Pandhalungan di Daerah Besuki-Situbondo. Jember, Prosiding The
5th International Conference on Indonesian Studies: "Ethnicity and
Globalization".
Rahmat, S. S. d. A., 2013. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konflik Sosial. Jurnal
Penelitian Komunikasi, 16(1), pp. 13-20.
Setianto, S., 2014. Konflik Sosial dalam Pembangunan Infrastruktur SDA Kasus Waduk
Jatigede. Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, 6(3), pp. 140-221.
Sjafari, A., 2017. Pemetaan Konflik Sosial di Kota Tangerang Provinsi Banten. Jurnal
of Government, 2(2), pp. 135-157.
Suhardono, W., 2015. Konflik dan Resolusi. Jurnal Sosial dan Budaya Syar'i, II(1), pp.
1-17.
Sulastriono, 2014. Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis
Pranata Adat. Jurnal Media Hukum, 21(2), pp. 213-224.
Thomas, Sikwan, A. & Rahmaniah, S. E., 2015. Konflik Sosial antara Perusahaan
Perkebunan Sawit PT. Borneo Ketapang Permai dengan Masyarakat Desa
Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau. Jurnal Tesis PMIS-
UNTAN-PSS, pp. 1-9.
Wahyudi, A., 2015. Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan, s.l.: s.n.

Anda mungkin juga menyukai