Konflik Sosialdan Dampak Legal Formal Solusi Penyelesaian Informaldi Aras Lokal
Konflik Sosialdan Dampak Legal Formal Solusi Penyelesaian Informaldi Aras Lokal
Oleh:
Wahid Mustofa (3312415002)
Asalamualaikum wr.wb
Puji syukur alhamdulilah senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberi taufiq serta hidayahnya sehingga dalam kesempatan ini penulis
dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas pengganti ujian akhir semester mata
kuliah Manajemen Konflik.
Makalah ini disusun dalam rangka meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
menulis, serta meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bidang yang diambil.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang, serta
menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan baik dalam penulisan atau isi, untuk itu penulis meminta maaf. Penulis
mengharapkan kritiik dan saran yang membangun dari pembaca demi menyempurnakan
dan memperbaiki makalah ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
Semarang, 22 Juni 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Isi
2.1 Kronologi 12
2.2 Analisis 13
Bab 3 Penutup
3.1 Kesimpulan 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Konflik selalu mewarnai kehidupan, dari konflik yang sangat kecil hingga
sampai kepada konflik yang sangat besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik
merupakan fakta yang tidak dapat dihindari. Konflik ada yang bisa diselesaikan secara
tuntas, ada yang setengah tuntas, dan ada juga yang berlarut-larut tanpa solusi yang
jelas.1
Manajemen dapat didefinisikan melalui banyak cara. Mary Parker Follet, salah
satu tokoh ilmu manajemen mendefinisikan manajemen sebagai seni mencapai sesuatu
melalui orang lain. Dengan definisi tersebut, manajemen tidak menghendaki seseorang
untuk bekerja sendiri, melainkan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan
tertentu.
1
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, hal. 1
pemecahan masalah, dan sesuatu hal yang dapat mendorong meningkatnya
produktivitas apabila konflik tersebut dapat dikelola dengan baik. Namun, konflik
biasanya dianggap sebagai sesuatu yang salah (disfungsional) yang dapat merusak dan
menyebabkan produktivitas menurun.
Seperti yang dikatakan Leonard Greenhalgh yang dikutip oleh A. Dale Timpe 3
dalam bukunya yang berjudul “Managing People”, konflik pada dasarnya berawal dari
hal-hal yang bersifat abstrak, tapi kemudian konflik juga dapat berakibat buruk sampai
ke tingkat nyata, berupa benturan fisik antara orang-orang yang berkonflik. Hal inilah
yang terjadi di Desa Karanggede, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, dimana
seorang kakek yang tidak terima dengan tanggul pembatas antara sawah milik orang
lain dengan miliknya kemudian bagian tanggul miliknya diambil atau dikeruk. Yang
menjadikannya menarik adalah bagaimana masalah sepele tersebut kemudian menjadi
besar hingga dibawa ke meja hijau.
2
Jefri Heridiansyah, “Manajemen Konflik dalam Sebuah Organisasi”, Jurnal STIE Semarang, Volume 6
No.1, 2014, hal. 28
3
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, hal. 1
2. Bagaimana proses penyelesaian konflik tersebut?
3. Bagaimana konflik tersebut dikaji menggunakan teori-teori konflik?
Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang berarti
saling berbenturan atau semua bentuk bennturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
ketidaksetaraan, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang
antagonistis atau saling bertentangan. Kata tersebut diserap ke dalam bahasa
Inggris menjadi conflict, yang berarti a fight, a collision, a struggle, a controversy,
an opposition of interest, opinions of purposes (Khaerul, 2012: 261). Sedangkan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata konflik berarti pertentangan atau
percecokan.4
Banyak sekali definisi konflik yang dikemunkakan oleh para pakar dan ahli.
Stephen P. Robbins dalam bukunya Perilaku Organisasi (Organizational
Behaviour) menjelaskan bahwa terdapat banyak definisi konflik. Menurut Stoner,
konflik didefinisikannya sebagai: “Organizational conflict is a desagrement
between two or more organization members or groups arising the fact that they
4
Thomas, Agus Sikwan, dan Syf. Ema Rahmaniah, Konflik Sosial antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT.
Borneo Ketapang Permai dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten
Sanggau, Jurnal Thesis PMIS-UNTAN-PSS, Universitas Tanjungpura, 2015, hal. 3
must share scare resources or work activities and / or from the fact that they have
different status, goals, values, or perceptions.5
Konflik juga dapat diartikan sebagai interaksi antar individu, kelompok, dan
organisasi yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa
orang lain sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.
5
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, 2015, hal. 2
6
Agus Sjafari, “ Pemetaan Konflik Sosial di Kota Tengerang Privinsi Banten”, Jurnal of Government,
Volume 2 No.2, 2017, hal. 139
7
Ibid
8
Mohamad Muspawi, “ Manajemen Konflik (Upaya Penyelesaian Konflik dalam Organisasi)”, Jurnal
Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, Volume 16 No.2, 2014, hal. 46
Menurut James A.F Stoner dan Charles Wankel9 terdapat 5 (lima) jenis
konflik yaitu: a) Konflik Intrapersonal. Konflik Intrapersonal adalah konflik
seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama
seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. b)
Konflik Interpersonal. Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang
dengan orang lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering
terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja, dan lain-lain.
Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam
perilaku organisasi, karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan
dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut. c) Konflik antar individu-individu dan
kelompok-kelompok. Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu
menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada
mereka oleh sekelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa
seseoraang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat
mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada. d) Konflik
antara kelompok dalam organisasi yang sama. Konflik ini merupakan tipe konflik
yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf,
pekerja dan pekerja-manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar
kelompok. e) Konflik antara organisasi. Konflik ini berdasarkan pengalaman
ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan dari kedua organisasi yang
bersangkutan.
9
Ibid
(antecedent conditions) yang meliputi: 1) persaingan terhadap sumber-sumber
(competition resources), 2) ketergantungan terhadap tugas, 3) kekaburan deskripsi
tugas (task interdependence), 4) masalah status (status problem), 5) rintangan
komunikasi (communication barriers), 6) sifat-sifat individu (individual traits).10
Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum, sistem, dan aparatnya.
Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama, karena ketidakadilan
telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari, Mereka yang selama ini diam, tiba-
tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat sudah tidak dipercaya
lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alihkendali hukum. Keadaan
masyarakat yang beranekaragam inilah yang membuat masyarakat itu mengambil
kesimpulan dan memutuskan apa yang harus mereka lakukan sendiri, walaupun itu
bertentangan dengan hukum yang ada.
10
Dedi Kurniawan, Abdul Syani, “Faktor Penyebab, Dampak, dan Strategi Penyelesaian Konflik Antar
Warga di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan”, Jurnal Sosiologi, Volume 15 No.1, 2014,
hal. 3
11
Ibid., hal. 4
seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan tentunya berbeda dengan
seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian ini, tentunya membawa
perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu yang dapat menyebabkan
terjadinya pertentangan antarkelompok manusia. c) Bentrokan Kepentingan.
Umumnya kepentingan menunjuk keinginan atau kebutuhan akan sesuatu hal.
Seorang mampu melakukan apa saja untuk mendapatkan kepentingannya guna
mencapai kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu, apabila terjadi benturan antara
dua kepentingan yang berbeda, dapat dipastikan munculnya konflik sosial.
Contohnya benturan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kepentingan buruh
adalah mendapatkan gaji sebagaimana mestinya setiap bulannya. Namun,
berkenaan dengan meruginya sebuah perusahaan maka perusahaan itu enggan
memenuhi kepentingan buruh. Akibatnya, konflik baru terbentuk antara majikan
dan buruh. Buruh menggelar aksi demo dan mogok kerja menuntut perusahaan
tersebut. d) Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang berlangsung cepat untuk
sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan pendirian antargolongan dalam menyikapi
perubahan yang terjadi. Situasi dan kondisi ini mampu memunculkan konflik baru.
Misalnya semakin maju dan tinggi teknologi, para ahli pun berusaha melibatkan
para balita untuk ikut menikmati teknologi tersebut yang tentunya bermanfaat bagi
perkembangan intelektual bayi. Karena alasan itu, dibuatlah baby channel. Namun,
perubahan ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat (Dahrendorf,
1986 ).12
Dalam prosesnya suatu konflik tidak terjadi secara mendadak tanpa sebab
dan proses, akan tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu. Hendricks, W. 14
mengidentifikasi proses terjadinya konflik terdiri dari tiga tahap. 1) Peristiwa
sehari-hari; ditandai adanya individu merasa tidak puas dan jengkel terhadap
lingkungan kerja. Perasaan tidak puas kadang-kadang berlalu begitu saja dan
muncul kembali saat individu merasakan adanya gangguan. 2) Adanya tantangan;
apabila terjadi masalah, individu saling mempertahankan pendapat dan
menyalahkan pihak lain. Tiap anggota menganggap perbuatan yang dilakukan
sesuai dengan standar dan aturan organisasi. Kepentingan individu maupun
kelompok lebih menonjol daripada kepentingan organisasi. 3) Timbulnya
pertentangan; masingmasing individu atau kelompok bertujuan untuk menang dan
mengalahkan kelompok lain.
13
Wisnu Suhardono, “Resolusi Konflik”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Volume II No.2, 2015, hal. 13
14
Syairal Fahmy Dalimunthe, Manajemen Konflik dalam Organisasi, Universitas Negeri Medan, 2016 hal.
3
15
Dalam Jakiatin Nisa, “Resolusi Konflik dalam Prespektif Komunikasi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i,
Volume II No.1, 2015, hal. 22
muncul karena kedua belah pihak tidak bersikeras memenuhi keinginannya
masing-masing. Disinilah konflik dikatakan bersifat laten, yaitu berpotensi untuk
muncul, tapi dalam kenyataannya bisa saja tidak terjadi.
Perceived conflict, agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus
menyadari bahwa mereka dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu.
Tanpa rasa terancam ini, salah satu pihak dapat saja melakukan sesuatu yang
berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak disadari sebagai ancaman. Namun,
jika perilaku yang terjadi menimbulkan perselisihan, proses konflik itu akan
cenderung berlanjut.
Felt conflict, persepsi berkaitan erat dengan perasaan, karena itulah jika
orang merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial,
ketegangan, frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah.
Disinilah mulai diragukannya kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala
sesuatu dianggap sebagai ancaman, dan orang mulai berpikir bagaimana untuk
mengatasi situasi dan ancaman tersebut.
Kemudian yang terakhir adalah conlict aftermath. Fase ini adalah fase
sesudah konflik diolah. Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik hasilnya
berpengaruh baik pada organisasi (fungsional) atau sebaliknya (disfungsional).
1.4.5 Penyelesaian Konflik
Resolusi konflik memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang
fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine
adalah 1) tindakan mengurai suatu permasalahan, 2) pemecahan, 3) penghapusan
atau penghilangan permasalahan.
16
Wisnu Suhardono, “Konflik dan Resolusi”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Volume II No.1, 2015, hal.
14
17
Ibid
18
Ibid
Salah satu tokoh teori resolusi konflik, John Burton 19, menyebutkan bahwa
resolusi konflik tidak berakhir sebatas di meja perundingan, tetapi lebih jauh lagi
menciptakan struktur baru yang lebih kondusif.
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara
individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain
secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang
lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan
kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka
oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan
adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.
19
Suryawan Setianto, “Konflik Sosial dalam Pembangunan Infrastruuktur SDA Kasus Waduk Jatigede”,
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Volume 6 No.3, 2014, hal. 183
BAB 2
ISI
3.1 Kronologi
Konflik yang terjadi antara Durokhim yang merupakan seorang kakek berusia
enam puluh sembilan tahun dengan Mudaim yang merupakan seorang kyai sebenarnya
merupakan masalah kecil, namun akhirnya bertambah besar. Awal permasalahan yang
menyebabkan kedua belah pihak berkonflik adalah Mudaim yang pada saat itu sedang
berada disawah pada pukul 05.30 WIB tengah memperbaiki pematang sawah yang
berbatasan langsung dengan sawah milik Durokhim. Pada saat itulah Durokhim datang
dan langsung tersulut emosi hingga marah-marah. Akibat emosi yang meluap-luap itu
menyebabkan Mudaim dihina-hina.
Pada saat itu, Mudaim yang tidak merasa bersalah membantah tudingan
Durokhim dan berkata bahwa dirinya sudahlah benar. Durokhim yang saat itu
kondisinya sedang tersulut emosi akhirnya bertambah naik emosinya hingga berlanjut
tindak kekerasan fisik. Seketika mendengar hal tersebut Durokhim kemudian
membanting badan Mudaim yang kemudian ia benamkan ke dalam lumpur sawah.
Akibatnya, Mudaim terkunci dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Tak lama setelah hal tersebut terjadi, salah seorang warga yang bernama
Munandir datang dan mencoba melerai pertengkaran tersebut. Setelah mereka
dipisahkan dan Mudaim mendapat pertolongan, walaupun sudah diperlakukan
sedemikian rupa namun Mudaim mengatakan bahwa dirinya tidak akan membalas
perbuatan Durokhim. Namun, Durokhim yang masih berada di ujung emosi malah
mengambil cangkul dan mengacungkannya kepada Mudaim dan mengancam hendak
membunuhnya. Karena Mudaim ketakutan dan terancam, akhirnya dia pun berlari jauh.
Konflik yang sudah dipaparkan diatas, yang terjadi antara Durokhim dan
Mudaim jika di analisis menggunakan teori jenis konflik diatas termasuk dalam jenis
konflik interpersonal. Dalam hal ini berarti konflik tersebut terjadi antara dua orang,
karena memang dari informasi dan berita yang beredar mengatakan bahwa kedua orang
tersebutlah yang memiliki permasalahan utama.
Konflik tersebut terjadi juga karena tujuan yang berbeda. Mudaim yang
mengatur tanggul pembatas antara sawah miliknya dengan milik Mudaim mempunyai
tujuan mengatur agar sesuai atau sebagaimana mestinya. Namun, disisi lain Durokhim
merasa diakali oleh Mudaim karena hal yang dilakukan nya tidak benar dan tidak sesuai
sebagaimana mestinya. Disisi lain, penyebab konflik ini juga karena faktor kebutuhan.
Akibat dari kemarahan Durokhim adalah dari tanggal tersebut yang dikeruk menjadi
kecil oleh Mudaim yang menyebabkan luas sawah miliknya menjadi berkurang. Hal ini
juga menjadi masalah serius bagi para petani dan terutama masyarakat yang berprofesi
sebagai petani, karena hal semacam ini dianggap mempengaruhi harga jual sawah dan
hasil dari pertanian yang menjadi tidak banyak seperti sebelumnya.
Komunikasi yang tidak baik juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan
konflik ini menjadi lebih besar. Komunikasi yang tidak berjalan baik ini dipengaruhi
juga oleh karakter dari masing-masing individu, seperti Durokhim yang sudah terlanjur
emosi sehingga sulit untuk diajak berunding dan berbicara secara baik-baik. Jika,
dianalisa menggunakan teori yang digagas oleh Franz Magnis-Suseno diatas berada
pada poin budaya kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan masyarakat Mirit
yang kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah,
namun juga hal ini tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Mirit secara
keseluruhan.
Jika dilihat dari tipenya, konflik ini termasuk dalam jenis effective conflict dan
substantive conflict. Dikatakan affective konflik karena konflik ini terjadi salah satunya
karena Durokhim yang gampang tersulut emosinya sehingga membuatnya marah.
Kemudian dikatakan substantive conflict karena pendapat atau ukuran benar terkait
tanggul pembatas tersebut jelas saja berbeda, Mudaim mengatakan bahwa dirinya sudah
benar, namun disisi lain Durokhim juga merasa benar karena membela haknya dan
karena luas sawah miliknya berkurang akibat ulah Mudaim.
Disamping itu, konflik yang terjadi ini jika dianalisis menggunakan teori dari
Fisher merupakan tipe konflik permukaan, karena akar permasalahan dari konflik ini
dapat dikatakan dangkal dan bermula dari kesalahpahaman.
Dalam prosesnya, tentunya konflik tidak terjadi secara tiba-tiba dan melalui
tahapan-tahapan tertentu. Berdasarkan teori dari Hendricks W, konflik yang terjadi
antara Durohkim dan Mudaim melalui proses sebagai berikut: 1) Adanya konfllik
tersebut yang terjadi di sawah dapat dikatakan karena permasalahan yang menyangkut
kegiatan sehari-hari dan Duokhim yang merasa jengkel dan tidak puas terhadap apa
yang telah dilakukan Mudaim. 2) Masalah yang sudah terjadi tersebut terjadi juga
karena masing-masing individu mempertahankan pendapat dan menyalahkan pihak lain,
sehingga kedua belah pihak tidak sulit diajak berunding baik-baik. 3) Karena mereka
yang saling menganggap dirinya benar, akibatnya muncullah tindakan agresif dari
Durokhim yang bertujuan untuk mengalahkan Mudaim.
Proses terjadinya konflik ini seperti yang sudah digagas oleh Louis R. Pondy
diatas, jika diurutkan menggunakan teori proses terjadinya konflik diatas adalah sebagai
berikut: konflik bermula ketika Mudaim yang sedang mengatur tanggul sawah miliknya
dengan milik Durokhim. Sebenarnya masalah ini meruapakan masalah sepele dan dapat
dibicarakan baik-baik. Namun, karena merasa luas sawahnya terancam Durokhim
akhirnya marah, sehingga terjadi percekcokandiantara keduanya sampai terjadi
perkelahian. Kemudian karena Mudaim yang tidak mau mengerti atau tidak sepaham
dengan dirinya membuatnya lebih marah dan berujung adanya tindak agresif dari
Durokhim dengan mengacungkan cangkul dan hendak membunuh Mudaim.
Akhirnya masalah ini berujung pada meja hijau. Setelah lari dari amukan
Durokhim, kemudian Mudaim memprosesnya di persidangan dengan bukti yang
dibawanya adalah hasil visum yang menyatakan adanya luka-luka pada sebagian tubuh
Mudaim, sehingga Durokhim diperjarakan. Penyelesaian konflik yang semacam ini
termasuk dalam jenis ajudikasi.
Penutup
3.1 Kesimpulan
Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh
seseorang terhadap dirinya, orang lain, dan organisasi dengan kenyataan apa yang
diharapkannya. Konflik juga merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sosial di dalam masyarakat. Konflik sebenarnya banyak jenisnya dan dapat
dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat
dikelompokkan berdasarkan latar terjadinya konflik, pihak yang terkait dengan konflik,
dan substansi konflik, diantaranya adalah konflik personal dan konflik interpersonal,
konflik interes (conflict of interest), konflik realitas dan konflik non-reaalitas, konflik
destruktif dan konflik konstruktif, dan konflik menurut bidang kehidupan
Resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga
menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk
menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang
berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan
melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil untuk membantu pihak-pihak yang
berkonflik memecahkan masalahnya.
Setelah masalah dari konflik diatas dianggap selesai maka seharusnya tidak ada
masalah dikemudian hari dan dapat dikatakan hal ini sebagai “resolusi konflik”. Namun,
hal tersebut juga bisa sewaktu-waktu berubah (transformasi konflik) manakala
Durokhim yang masih menyimpan dendam kepada Mudaim dan hendak
melampiaskannya kembali, ataupun terjadi konflik lain seperti rusaknya hubungan
kedua orang tersebut, saling menjelek-jelekkan dibelakang yang dapat membuat orang
lain terbawa suasana. Hal tersebut ditengarai karakteristik masyarakat Mirit yang
memang mudah terbawa emosi dan kerapkali bertindak agresif.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Z., 2016. Resolusi Konflik dalam Prespektif Kepribadian, Malang: Psychology
Forum UMM.
Bakri, H., 2015. Resolusi Konflik melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pala Gandong di
Kota Ambon. Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(1), pp.
51-60.
Dalimunthe, S. F., 2016. Manajemen Konflik dalam Organisasi, Medan: Universitas
Negeri Medan.
Heridiansyah, J., 2014. Manajemen Konflik dalam Sebuah Organisasi. Jurnal STIE
Semarang, 6(1), pp. 28-41.
Khaerul, U., 2012. Manajemen Organisasi, cetakan ke satu. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Kurniawan, D. & Syani, A., 2014. Faktor Penyebab, Dampak, dan Strategi Penyelesaian
Konflik Antar Warga di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan.
Jurnal Sosiologi, 15(1), pp. 1-12.
Ramadlan, M. F. S. & Wahyudi, T. H., 2016. Pembiaran Pada Potensi Konflik dan
Kontestasi Semu Pemilukada Kota Blitar: Analisis Institusionalisme Pilihan
Rasional. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review, 1(2), pp. 136-
153.