Anda di halaman 1dari 5

CERPEN

MITOS IBU

Oleh: Rifan Nazhib

Terpaksa aku mengelus dada ketika ibu mertua menyuruhku dan istri harus tinggal di
rumahnya selama kehamilan istri.  Ada-ada saja! Padahal rumah ibu mertua cukup jauh dari
kantor. 

"Ini penting demi keselamatan istrimu!" ketus ibu mertua ketika menjemput kami. Wajahnya
masam karena aku sempat mengeluhkan jarak tempuh dari rumahnya ke kantorku lumayan
lama. Itu artinya, aku harus lebih pagi bangun. Lebih pagi bersiap-siap ke kantor. Dan lebih
ngebut menggeber motor.

"Kalian sedang menanti anak pertama. Jadi, harus hati-hati! Kalian tak mengerti apa yang
boleh dan tidak dilakukan oleh perempuan hamil. Nanti kalau terjadi apa-apa, aku pasti
menyesal karena tak mengajari kalian."

Kepalaku pening. Kubantu ibu mertua memasukkan pakaian ke dalam tas. Ocehannya terbiar
mengalir, dan tak kukomentari lagi. Istri hanya menanggapi dengan desah atau anggukan
kepala. Dia juga sama sepertiku tak sanggup menolak kehendak ibu. Padahal di rumah
kontrakan kami masih banyak yang harus dikerjakan. Seperti pesanan kue dari pelanggan
setia. Menurut ibu mertua, semua itu tak perlu diurusi dulu. Menunggu kelahiran anak
pertama kamilah yang harus diperhatikan lebih cermat.

***

Hari pertama yang menjemukan di rumah ibu mertua. Ada-ada saja mitos yang dikerjakannya
sehingga membuatku geleng-geleng kepala. Istri disuruh menggantungkan gunting kecil di
bh-nya, yang sebelumnya berpengait peniti. Aku takut sewaktu-waktu kulit dada istri terluka
tertusuk mata gunting. Ibu mertua langsung menggeram. Dia menyalahkan pasangan muda
sekarang selalu menganggap semua petuah orangtua hanyalah mitos.

"Ini demi kebaikan kalian!" Ibu mertua berlalu ke dapur. Istri menendang kakiku, sebagai
pertanda menyuruhku diam. Dia tak ingin kekesalan ibu berujung emosi yang meledak-ledak.
Bila demikian, tingkah sang ibu seperti anak kecil. Di usia menjelang enam puluh lima tahun
ini, dia mulai pikun.

***

Maryani, staff personalia di kantorku, manggut-manggut ketika kuceritakan tentang perilaku


ibu mertua. Mulutnya berdecap-decap karena kepedasan menikmati rujak mangga muda. Dia
juga seperti istriku, sedang hamil. Hanya saja usia kehamilannya sudah mendekati sembilan
bulan, sedangkan istriku baru dua bulanan.

"Apakah kondisi seperti yang kualami itu terjadi juga kepadamu dan suami?" kejarku. Dia
mengelap keringat di kening. Menatap lurus ke penjual es krim, dan memesan dua mangkok.

"Apa yang kau alami tak terjadi kepadaku dan suami. Kau tak ingat, papaku seorang
pengusaha burung walet, dan mamaku dokter umum? Mereka tak memiliki pemikiran tentang
mitos-mitos. Semua harus real, harus sesuai dengan medis. Jadi saranku, boyonglah istrimu
kembali ke rumah kontrakanmu. Pertama, agar kau dan istrimu tak pening mendengar ocehan
seorang ibu yang sangat memercayai mitos-mitos. Kedua, agar kau bisa tepat waktu tiba di
kantor. Ingat, Hand. Bos bisa marah besar karena kau sudah dua hari ini terlambat masuk
kerja. Bisa-bisa kau diberi surat peringatan. Kau mau?" ujung perkataannya setengah
mengancam. Bos memang keterlaluan ketika memberi surat peringatan. Dan tak tanggung-
tanggung, peringatan ketiga seringkali dijatuhkan tanpa melewati jenjang peringatan kesatu
dan kedua.

"Tapi ibu mertua pasti marah. Aku tak ingin dikutuk menjadi mantu yang durhaka. Posisi ibu
mertua sama saja dengan ibu kandung. Artinya, dosa durhaka kepada kedua perempuan itu,
serupa."

"Ya, terserah kaulah! Yang penting semua berjalan aman-aman."

Aku menggerutu. Heran! Apakah semua pasangan yang sedang menunggu kelahiran anak
pertama selalu dikelilingi mitos-mitos? Kecuali Maryani tentunya. 

Apakah ibu mertua-ibu mertua selalu memperlakukan anak-anak mereka seperti bayi yang
belajar berjalan? Uh, aku tak sadar menggebrak meja. Piring, mangkok dan gelas
berlompatan di situ. Untung ketiga perangkat makanan tersebut telah kosong-melompong.
Jadi tak mengotori pakaian Maryani. Perempuan itu hanya melotot kesal.

"Sorry! Biar kutraktir saja kau atas nasehatmu tadi," ucapku merasa bersalah.

"Terima kasih!" Wajah tegang Maryani kembali mengendur.

***

Apa yang selalu kukeluhkan sejak ibu mertua memboyong aku dan istri ke rumahnya,
akhirnya mencapai titik nadir. Ibu mertua menginginkan istriku melahirkan bayi laki-laki.
Karena kelak laki-laki itulah yang akan membela adik-adik, juga orangtuanya. Tapi bukan
pasal itu yang membuat keluhanku berkepanjaangan. Melainkan syarat untuk mendapatkan
bayi laki-laki itu.

Setiap kali bangun tidur, dan kala istri menyambutku pulang kantor, tak ada lagi aura
keindahan yang ditunjukkannya kepadaku. Dia selalu mengenakan daster belel warisan ibu
mertua. Wajah tak lagi berbedak, bibir tiada bergincu. Deodoran yang biasanya selalu
menyinggahi pangkal bawah lengannya, pun tak pernah digunakan, sehingga membuarkan
bau kurang sedap. Apalagi sehabis dia mengupas bawang merah atau putih misalnya.

"Ini kehendak ibu!" katanya saat kami rebahan di kasur dengan mata yang tak mau diajak
terpejam. 

"Kehendak bagaimana?"

"Ya, itu, tuh! Karena ibu ingin aku melahirkan bayi laki-laki."

Aku terperanjat. Aku duduk dan memperhatikan wajah istri yang terlihat samar-samar
diterangi cahaya lampu lima watt. "Apa hubungan bayi laki-laki dengan penampilanmu yang
tak menarik ini? Kau tak takut kalau tiba-tiba aku tergoda perempuan lain tersebab kau
berubah kucel dan maaf, beraroma kurang sedap?"

Istri terperanjat. Dia duduk, dan balas memerhatikan wajahku yang terlihat samar diterangi
cahaya lampu lima watt. "Jadi, ada niatmu ingin berselingkuh, Mas? Setelah aku hampir
memberimu seorang anak!" Dia emosi. Aku langsung mengguncang kedua bahunya.

"Bukan, Fe! Bukan niatku begitu. Aku hanya kesal, kenapa semua menjadi begini. Ibu telah
membuat kita kacau-balau," keluhku.

"Ibu mengatakan aku tak boleh bersolek dan mempercantik diri kalau ingin melahirkan bayi
laki-laki. Bila kulanggar, kita bisa memperoleh bayi perempuan," jelasnya.

"Apa ibu tukang ramal? Apa dia mau menyaingi Tuhan?" geramku. Istri buru-buru menutup
mulutku dengan telapak tangan kanannya. "Pokoknya besok kau harus bersolek sehingga rasa
cinta dan nafsuku tak padam kepadamu."

Benar saja, besok pagi telah kutemukan istri dengan pakaian daster baru, dan rambutnya di
sisir rapi. Dia berbedak tipis-tipis, serta membuar aroma menggoda dari pangkal bawah
lengannya. Benar pula ibu mertua tak setuju. Dia hanya menggeram sekali. Kemudian
sepulang dari kantor aku menemukan barang-barangku dan istri telah disusun di ruang tamu.
Ibu menyuruh kami pulang saja ke rumah kontrakan. Dia kecewa karena kami tak mau
menuruti petuahnya.

"Tapi ibu tak menganggapku mantu durhaka?"

"Tidak! Aku tak sampai menganggap demikian. Mungkin aku yang salah telah memaksakan
kehendak kepada kalian. Pulanglah!"

Aku bersorak dalam hati. Akhirnya terbebas dari ocehan ibu mertua. Akhirnya terlepas dari
mitos-mitos yang membuat kepalaku seperti komidi putar. Segera aku dan istri kembali ke
rumah kontrakan dan menata hidup seperti dulu, sebelum ibu mertua mengacaukannya.
***

Tujuh bulan usia kehamilan istriku, akhirnya kandungannya di-scan. Ibu mertua turut serta
karena ingin mengetahui jenis kelamin bakal cucunya. Aku hanya mesem-mesem. 

"Nah, ini gambar anak Bapak! Kelihatannya sehat-sehat!" kata dokter.

"Jenis kelaminnya apa, Pak Dokter?" Ibu mertua tak sabaran.

"Perempuan!" jawab dokter.

Ibu mertua langsung memelototiku. "Itulah kalau tak mau mendengar petuah orangtua. Sudah
kukatakan jangan bersolek-solek, malah membangkang. Jadinya, calon cucuku perempuan,
kan?

"Laki-laki dan perempuan sama saja kok, Bu!" Dokter tersenyum-senyum tanpa mengerti
arah pembicaraan ibu mertua. Sementara aku hanya membisu. Aku berpikir semuanya
berjalan sesuai kehendak Tuhan.

--sekian—

Ringkasan Cerpen

Cerpen ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang harus pindah ke rumah orang tua istri,
karena Ibu mertua ingin mengajari anaknya yang sedang hamil di rumahnya. Suami merasa
keberatan karena rumahnya mertuanya jauh dari kantor hal ini hanya akan membuat dia terlambat
dating kekantor dan juga banyak pesanan kue dari pelanggan.

Sejak hari pertama di rumah mertua telah membuat suami merasa tidak nyaman dengan mitos-
mitos selama kehamilan. Seperti pada saat Ibu mertua meminta istrinya menggantungkan gunting
kecil di BH yang berpengait peniti, sepasang suami istri tersebut terpaksa menuruti karna takut
dianggap anak durhaka. Kemudian, mitos jika ingin anak lelaki maka istrinya harus memakai daster
lama warisan ibu mertuanya dan tidak berdandan sama sekali.

Suami tidak tahan dengan kondisi istrinya yang tampak tidak menarik dan beraroma tidak sedap.
Sehingga suami mengancam akan berselingkuh, Istri akhirnya menurutinya. Ibu mertua yang
mengetahui anaknya tidak menuruti perintahnya merasa geram kemudian mempersilahkan
sepasang suami istri itu kembali kerumahnya.

Pada saat usia tujuh bulan kehamilan, sepasang suami istri memeriksakan kandungan istrinya
ditemani Ibu Mertua. Dan hasil scan menyatakan bahwa bayi yang dikandung adalah perempuan.
Mertuanya geram dan memelototi dan menyalahkan mereka karena tidak mau menuruti
perintahnya.
Pesan dan amanat yan terkandung

para orang tua agar jangan terlalu mengutamakan mitos tanpa memperhatikan ajaran Agama dan
kemaslahatannya.

bagi pasangan suami istri, jangan terlalu frontal menghadapi perbedaan pendapat dengan orang tua,
karena salah atau benarnya orang tua dia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya oleh sebab itu
dibicarakan dengan baik karena setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

Dalam ceprn ini mengandung banyak pesan moral terutama bagi pasangan yang baru menikah dan
akan memiliki bayi.

Anda mungkin juga menyukai