Anda di halaman 1dari 388

Rendra: Panembahan Reso 1

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

1. TERANG BULAN

Seorang peronda lewat dan memukul kentongannya. Saat itu


menjelang terang tanah. Begitu peronda pergi, muncullah Panji
Reso.

RESO: “Terang Bulan! --- Aku tidak bisa tidur. --- Hampir terang tanah.
--- Rasanya, aku seperti mengambang di alam mimpi, padahal mata
melek tak bisa tidur. --- Hm! Tidak bisa tidur karena sedang bermimpi.
Mimpi buruk lagi. --- Aku bermimpi wajah bulan tertikam pedang. Persis
di mata kirinya. Darah mengucur, membanjiri. Membanjiri istana si Raja
Tua. --- Asyik! --- Gagak-gagak menyerbu Balai Penghadapan. Ada yang
bertengger di tahta. --- Ular-ular juga menyerbu masuk istana. Para selir
raja pada menjerit. Berlarian kian kemari. Kacau. Ada seekor ular yang
berhasil masuk ke dalam kain seorang selir. Karuan saja ia menjerit
seperti orang gila, lalu pingsan. --- Asyik! --- Sepasukan ketonggeng dan
lipan mengerumuni tubuh raja yang sedang beradu dan langsung
menyengat tubuhnya. Ada juga yang masuk ke dalam lubang hidung dan
telinganya. --- Sang Raja menjerit-jerit, mengaduh, mengerang. --- Ia lari
kian kemari. Tetapi, tak seorang pun mau menolongnya. --- Syukur! ---
Akhirnya ia mati. Lima belas menit sebelum mati, ia sempat gila. ---
Semua orang bersorak. Rakyat bergembira. Bendera dikibarkan. Tidak
setengah tiang, tapi seluruh tiang! --- Wah!--- Gila! Dasar mimpi! Cuma
Rendra: Panembahan Reso 2

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

mimpi! Semuanya serba gampang dan sempurna! --- Apakah aku


bermimpi karena pengaruh bulan purnama? --- Ini bulan memang cantik,
tetapi berhawa candu. Wajahnya yang molek memancarkan bius yang
mesum, dan juga sesuatu yang… yang berbau maut. (Menguap) Aku
sudah mulai mengantuk. Tandanya mimpi sudah habis. Aku perlu tidur
sedikit. Besok hari ulang tahun raja. Aku mesti pergi ke istana.”

***

2. MENCEGAT PARA PANGERAN DI GERBANG

Panji Tumbal menunggu kedatangan para pangeran yang akan


menghadiri pesta ulang tahun raja di depan gerbang istana yang
dijaga oleh dua orang pengawal.
Aryo Sumbu dan Aryo Jambu lewat, masuk ke dalam gerbang.
Panji Sakti dan Siti Asasin lewat, masuk ke dalam gerbang.
Aryo Bungsu lewat, masuk ke dalam gerbang.
Muncul Pangeran Rebo. Ia dicegat Panji Tumbal.

PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, apa boleh saya bicara?”


PANGERAN REBO: (berhenti dan menanggapi) “Ah! Panji
Tumbal! Tentu saja. Tetapi, kenapa mesti di sini?”
PANJI TUMBAL: “Ini mendesak. Dan…. Darurat”.
Rendra: Panembahan Reso 3

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANGERAN REBO: “Oh!”


PANJI TUMBAL: “Begini, Pangeran Rebo. Baginda sudah tua.
Apakah Anda tidak ingin menjadi raja?”
PANGERAN REBO: “Lho, apa ini?”
PANJI TUMBAL: “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam
kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat
maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih
kekuasaan.”
PANGERAN REBO: “Jangan kita terburu nafsu!”
PANJI TUMBAL: “Apakah Anda tidak melihat?”
PANGERAN REBO: “Saya melihat dan mendengar tetapi
pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa
kita hindarkan.”
PANJI TUMBAL: “Tiba-tiba ucapan Anda lain dari biasanya”.
PANGERAN REBO: “Jangan salah paham. Saya tidak suka
bertindak dengan mata gelap. Semua harus mempunyai penalaran
yang teliti. Bicaralah dulu dengan para pangeran yang lain, baru
nanti kita bertemu lagi. Ayahanda Paduka Raja memang sudah
rusak. Tetapi, perkara mencari gantinya, kita harus teliti dan
waspada. Salah-salah kepala kita hilang lebih dulu”. (sambil pergi)
“Saya pergi”. (Masuk ke dalam gerbang)
Rendra: Panembahan Reso 4

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Muncullah Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo Gundu.


Mereka dicegat oleh Panji Tumbal. Semua berhenti dan
menanggapi.

PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, selamat pagi”.


PANGERAN GADA: “Panji Tumbal! Selamat pagi”.
PANJI TUMBAL: “Pangeran Dodot, selamat pagi”.
PANGERAN DODOT: (merangkul) “Selamat pagi. Sudah lama
tidak berjumpa”.
PANJI TUMBAL: “Saya dan istri saya selalu membicarakan
Anda, Pangeran. Kunjungan Anda ke pondok kami masih kami
rasakan sebagai satu impian yang indah dan langka”.
PANGERAN DODOT: “Mengunjungi rumah pahlawan
Tegalwurung merupakan suatu kehormatan bagi saya”.
PANJI TUMBAL: “Ah, Anda membuat saya malu. --- Aryo
Gundu, selamat pagi!”
ARYO GUNDU: “Selamat pagi, Panji Tumbal! --- Sejak
kemenangan Anda yang gilang-gemilang waktu menindas
pemberontak di Tegalwurung, baru sekarang kita berjumpa”.
PANJI TUMBAL: “Makanan basi kenapa mesti dihidangkan lagi.
Kegiatan Anda dalam melatih pasukan cadangan yang baru selalu
saya ikuti”.
Rendra: Panembahan Reso 5

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ARYO GUNDU: “Kegiatan Anda dalam membangun kembali


Kadipaten Tegalwurung pun selalu saya ikuti. Yang ini pasti
bukan makanan basi”.
PANJI TUMBAL: “Aduh, belum lagi saya berhasil
mengungkapkan isi hati, sudah terpukul rasa jengah lebih dulu”.
PANGERAN GADA: “Ada masalah apa, Tumbal? Mari kita
bicarakan di Balai Para Pangeran”.
PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, saya tidak masuk ke dalam”.
(semua kaget)
ARYO GUNDU: “Jangan sembrono, ini hari pesta ulang tahun
raja”.
PANJI TUMBAL: “Para Pangeran, saya pamit untuk berontak”.
(semua terpana)
PANJI TUMBAL: “Anda semua termasuk orang yang saya
hormati dan saya percaya. Anda pasti tidak buta terhadap keadaan
yang nyata. --- Saya tidak ingin menjadi raja. Tetapi, saya
menyiapkan jalan untuk munculnya raja baru”.
PANGERAN GADA: “Laporan yang masuk pada saya dari
Kadipaten Watu Songo, Sawojajar, dan Winongo sangat gawat.
Perdagangan yang macet dan usaha yang gulung tikar telah
membuat para adipati jadi goyah. Mereka telah membina
hubungan yang erat dengan para pedagang yang merasa dikekang
dan ditekan oleh raja”.
Rendra: Panembahan Reso 6

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANGERAN DODOT: “Para adipati punya sarana dari daya,


sedang para pedagang punya uang, bahan makanan, dan juga lebih
dekat ke masyarakat”.
ARYO GUNDU: “Saya baru pulang dari Kadipaten Sendang Pitu
dan Watu Limo. Keadaannya sama seperti yang diutarakan oleh
Pangeran Gada. --- Seharusnya, Baginda mempelajari betul-betul
laporan kita”.
PANGERAN GADA: “Ayahanda Baginda Raja sudah tidak
mengindahkan nasihat lagi. Kekuasaan dan harga diri sudah
bercampur-aduk sehingga nalar tidak lagi dipakai, tetapi diganti
dengan kekuatan dan kekerasan semata-mata.
PANGERAN DODOT: “Saya akan mencoba berbicara kepada
Ayahanda sekali lagi”.
ARYO GUNDU: “Hati-hati Pangeran”.
PANGERAN DODOT: “Tentu saja”.
PANGERAN GADA: “Seusai upacara dan pesta kita bertemu lagi
di serambi Balai Senjata”.
ARYO GUNDU: “Panji Tumbal, kepada siapa saja Anda sudah
pamit untuk berontak?”
PANJI TUMBAL: “Seluruh panji dan adipati merestui saya. Lalu,
Anda bertiga. --- Dan, baru saja tadi, saya berbicara tentang
ketidakpuasan kepada Pangeran Rebo. Beliau kelihatan
menghindar”.
Rendra: Panembahan Reso 7

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ARYO GUNDU: “Pangeran Gada dan Pangeran Dodot, saya


mohon jangan Pangeran Rebo dibawa di dalam pembicaraan
semacam ini. Juga tidak, nanti, di serambi Balai Senjata”.
PANGERAN GADA: “Saya setuju”.
PANGERAN DODOT: “Saya paham”.
ARYO GUNDU: “Perkenankan saya memilih siapa-siapa yang
akan kita ajak bermusyawarah nanti”.
PANGERAN GADA: “Baik”.
ARYO GUNDU: “Sekarang kita berpisah. --- Selamat bekerja,
Panji Tumbal”.
PANJI TUMBAL: “Terima kasih. --- Mohon restu, Pangeran”.
PANGERAN GADA: “Saya beri restu baik, selamat tinggal!”
(berjalan pergi)
PANGERAN DODOT: “Selamat, sahabatku, selamat!” (berjalan
pergi)
ARYO GUNDU: “Hormat saya pada Anda sangat besar”.
(berjalan pergi)

Ketiga orang itu masuk gerbong. Dua Pangeran Kembar muncul


dengan hiruk-pikuk lalu beramai-ramai pula masuk gerbang.
Panji Reso muncul. Ia dicegat oleh Panji Tumbal.

PANJI TUMBAL: “Panji Reso, hormat saya untuk Anda”.


Rendra: Panembahan Reso 8

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Astaga! Panji Tumbal! Kapan datang dari


Tegalwurung?”
PANJI TUMBAL: “Sudah seminggu. --- Saya mau bicara dengan
Anda”.
RESO: “Kalau muncul bintang kemukus pasti akan banyak
penyakit mencret”.
PANJI TUMBAL: “Anda anggap saya bintang kemukus?”
RESO: “Jelas Anda bukan rembulan. Di saat bumi gonjang-
ganjing dan zaman jadi edan, orang yang tetap waras seperti Anda
pasti akan dianggap satu gejala alam yang aneh”.
PANJI TUMBAL: “Saya pamit untuk berontak”.
RESO: “Nah, apa kataku! Negara kena mencret”.
PANJI TUMBAL: “Kita dulu telah sama-sama berjuang di
medan laga Tegalwurung”.
RESO: “Dan, sekarang apakah saya akan merestui Anda?”
PANJI TUMBAL: “Begitu maksud saya”.
RESO: “Yang terpenting adalah para pangeran dan senapati”.
PANJI TUMBAL: “Saya sudah bicara dengan mereka”.
RESO: “Siapa saja?”
PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo
Gundu. Mereka menanggapi dengan baik. Lalu, Pangeran Rebo.
Beliau menghindar. Dan, semua panji dan adipati akan
mendukung saya”.
Rendra: Panembahan Reso 9

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Rupanya Raja Tua sudah tidak lagi tajam dalam melihat
kenyataan….. Anda ingin menjadi raja? --- Tidak, bukan?”
PANJI TUMBAL: “Tentu saja tidak”.
RESO: “Memang sudah saya duga. Lalu siapa calon Anda?”
PANJI TUMBAL: “Terserah kepada para pangeran nanti.
Hari ini mereka akan berbincang”.
RESO: “Penting. Itu penting”.
PANJI TUMBAL: “Itulah sebabnya Anda harus merestui saya”.
RESO: “Saya akan mengirim seribu tail emas Cina kepada Anda”.
PANJI TUMBAL: “Aduh, sungguh tidak saya sangka. Inilah
sikap yang jelas dan nyata”.
RESO: “Saya orang yang tegas”.
PANJI TUMBAL: “Memang! Aduh, Panji Reso, saya sangat
terharu dan sangat berterima kasih. Saya tidak akan melupakan
budi Anda untuk selama-lamanya”.
RESO: “Tapi, saya punya syarat”.
PANJI TUMBAL: “Apa itu?”
RESO: “Rahasiakan hubungan Anda dengan saya. Rahasiakan
semuanya ini. Sebab saya masih ingin main di dalam permainan
edan ini. --- Emas itu akan segera saya sampaikan kepada Anda”.
PANJI TUMBAL: “Saya paham dan setuju. Secara rahasia saya
akan menghubungi Anda lagi”.
Rendra: Panembahan Reso 10

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tidak usah! --- Saya yang akan menghubungi Anda”.


(berjalan pergi masuk ke gerbang)

***

3. JEJER DI ISTANA RAJA TUA


Pesta-pora. Pangeran Kembar memamerkan keahlian silat
mereka. Para pangeran, para putri, para senapati, semua hadir.
Raja Tua bertarung dengan Pangeran Kembar untuk
memamerkan sebagaimana jauh kejagoannya.
RAJA TUA: “Kamu sekalian lihat, dengan gampang aku
gulingkan satu persatu putra-putraku yang perkasa ini”.

Semua bertepuk tangan. Minuman dihidangkan.

PANGERAN REBO: “Yang Mulia Ayahandaku, Sri Baginda


Raja, atas nama semua pangeran hamba mengaturkan selamat
ulang tahun yang ke 85. Kami kagum bahwa Sri Baginda tetap
tegar dan perkasa dalam usia yang setua itu”.
RAJA TUA: “Terima kasih, anakku. Pangeran Rebo. Kamu lihat
aku masih tegar, ya? Tahu, apa rahasianya? Olahraga! --- Aku
Rendra: Panembahan Reso 11

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

lihat kamu pucat. Kurang olahraga. Terlalu banyak membaca.


Seorang pemimpin harus banyak olahraga! Mengerti kamu!”
PANGERAN REBO: “Akan hamba ingat, Yang Mulia!”
RATU DARA: “Yang Mulia, meskipun hamba istri Paduka yang
paling muda, tetapi hamba diminta mewakili Ratu Padmi dan Ratu
Kenari, istri Paduka yang lebih tua, untuk mengucapkan selamat
ulang tahun dan menyampaikan doa semoga Paduka bisa panjang
usia”.
RAJA TUA: “Terima kasih, Ratu Dara. Apakah para istriku juga
mengakui bahwa aku masih tetap tegar? --- Lho, kok diam saja?
Ini masalah perasaan atau apa? --- Ratu Padmi, ayo jawab! Apa
pendapatmu?”
RATU PADMI: “Paduka memang tetap tegar. Hambalah yang
kewalahan”.

Semua orang bertepuk tangan.

RAJA TUA: “Dan, kamu, Ratu Kenari, apa katamu?”


RATU KENARI: “Paduka tegar luar biasa. Seperti batang pohon
cemara. Seperti gada dari besi. Untunglah hamba bisa
mengimbangi, dan melahirkan Pangeran Kembar!”
RAJA TUA: “Dasar Kenari! Kamu puji aku sambil memuji
dirimu sendiri”.
Rendra: Panembahan Reso 12

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU KENARI: “Mohon ampun, Yang Mulia. Tetapi, maksud


hamba bukan hendak menekankan kemampuan sendiri, tetapi
justru hendak menonjolkan bagaimana saktinya benih Tuanku, dan
tampak jelas buktinya bila jatuh ke tanah yang subur.
RAJA TUA: “Sudah cukup. Kembali lagi kamu memuji diri
sendiri. Dan, kamu, Ratu Dara, coba nyatakan pendapatmu”.
RATU DARA: “Sudah jelas! Semua orang bisa melihat! Paduka
memang tegar. Tetapi, Yang Mulia, hamba sangsi akan
kemampuan hamba mendampingi Anda. Dan, apa masih ada
gunanya diri hamba di sisi Paduka”.
RAJA TUA: “Kesangsian semacam itu lumrah timbul”.
RATU DARA: “Justru karena itu, sekarang hamba ingin
mendengar jawaban Paduka yang nyata. Apakah hamba ini juga
cukup tegar dan berharga bagi Paduka?”
RAJA TUA: “Mari, kamu kemari! Hapuskan kesangsianmu.
Kamu ini pusaka keraton. Kamu justru menjadi sumber dari
ketegaranku”.
ARYO LEMBU: “Yang Mulia, mewakili para Aryo Senapati
hamba mengaturkan sembah. Selamat ulang tahun semoga panjang
usia”.

Semua orang bertepuk tangan.


Rendra: Panembahan Reso 13

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Terima kasih, Aryo Lembu. Kita telah bersama-


sama membangun negeri ini. Kita dulu bersama-sama mengusir
penjajahan bangsa asing dari tanah air kita. --- Di hari ini saya
tegaskan, janganlah kita mengurangi kewaspadaan. Bahaya
penyusupan asing masih selalu mengancam. Karena itu, para
senapati harus mampu mendampingi aku dalam menjaga keutuhan
negara. Ingatlah pedoman pembangunan negara yang telah kita
tetapkan: tertib, rapi, aman, dan sejahtera”.
ARYO LEMBU: “Tertib, rapi, aman, dan sejahtera!”
RESO: “Yang Mulia, sebagai tetua dari semua panji, hamba
mengaturkan selamat ulang tahun, semoga panjang umur, selalu
jaya dan sentosa. Tadi malam bulan purnama. Hamba bermimpi
bulan turun ke atap istana. Lalu, bunga-bunga bertaburan di atas
peraduan Sri Baginda. Dan, burung dara putih hinggap di atas
tahta. Inilah firasat kemuliaan Paduka”.
RAJA TUA: “Bagus. Terima kasih. Pahlawan perang seperti
kamu memang sudah jelas jasanya. Sumbanganmu kepada negara
dalam menundukkan pemberontakan di Tegalwurung bersama
dengan Panji Tumbal telah kami beri anugerah sepantasnya. --- Di
mana Panji Tumbal?”
RESO: “Barangkali ia terlambat datang, Yang Mulia. Maklum
tugasnya berat di Tegalwurung, dan ia punya sifat yang tekun”.
Rendra: Panembahan Reso 14

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Memang tekun, tetapi juga sedikit keras kepala.


Kalau ia datang aku ingin ia melapor panjang-lebar kepadaku”.

Lima orang Panji menghadap Raja.


PANJI SIMO: “Yang Mulia, Panji Simo dari Kabupaten Watu
Songo, mengaturkan selamat ulang tahun”.
PANJI OMBO: “Hamba Panji Ombo dari Kadipaten Sawojajar,
mengucapkan dirghayu dan selamat berulang tahun”.
PANJI WONGSO: “Panji Wongso, Adipati Winongo, atas nama
seluruh rakyat Kadipaten mengaturkan selamat ulang tahun”.
PANJI BONDO: “Panji Bondo, Adipati Sendang Pitu,
menghormat Raja dan mengucapkan selamat ulang tahun”.
PANJI BOLO: “Hamba Paduka, Panji Bolo, Adipati watu Limo,
mengaturkan selamat ulang tahun”.
RAJA TUA: “Bagus! Bagus! Terima kasih. Aku sangat gembira.
Ayo, kita minum dan berpesta!”

Orang bersorak-sorai. Minum. Berpesta. Jagavaya masuk


membawa surat.
JAGABAYA: “Yang Mulia, hamba menghadap untuk
mempersembahkan surat”.
RAJA TUA: “Reso, bawa dia kemari”.
RESO: “Baik, Yang Mulia. Kemari kamu! Bicara!”
Rendra: Panembahan Reso 15

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

JAGABAYA: “Hamba memimpin pasukan pengawal istana hari


ini. Seorang utusan datang menggebu dengan kuda. Ia datang dari
Tegalwurung membawa surat dari Panji Tumbal untuk Sri
Baginda. Katanya surat yang sifatnya sangat penting. Ia mohon
tolong agar hamba yang menyampaikan kepada Sri Baginda,
sedangkan ia sendiri begitu selesai bicara terus melompat ke
punggung kuda, dan setelah mohon maaf karena diburu oleh
urusan yang maha gawat lalu pergi melaju ditelan debu”.
RAJA TUA: “Bawa kemari surat itu!”

Reso memungut surat itu dari Jagabaya, lalu


mempersembahkannya kepada raja. Raja Tua membaca surat dan
terus berubah wajahnya dari kaget menjadi murka. Ia meremas
surat dengan gemasnya.

RESO: “Ada berita apa, Yang Mulia?”


RAJA TUA: “Tidak aku duga! --- Ini surat dari Panji Tumbal. Ia
tidak datang dan menyatakan diri telah memberontak. Kadipaten
Tegalwurung telah ia kuasai”.

Ada yang kaget dan ada yang pura-pura kaget.


Rendra: Panembahan Reso 16

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANGERAN REBO: “Kita harus berbuat sesuatu. Tahta dan


negara harus kita selamatkan. Kita dalam bahaya”.
RESO: “Tenang, Pangeran!”
PANGERAN REBO: “Ayahanda, apa yang dia inginkan!”
RAJA TUA: “Apa maksudmu? Apa yang dia inginkan?”
PANGERAN REBO: “Maksud saya, ia masih bisa diajak bicara
dan dicegah”.
RAJA TUA: “Tolol! Apa maksudmu, kita akan mengajak
pemberontak itu untuk berunding? Hah? --- Lemah! Itulah pikiran
orang yang kurang olahraga. Apa jadinya nanti dengan
kewibawaan tahtaku? Nantinya, setiap orang bisa memberontak
dan akan diajak berunding! --- Tidak! --- Kewibawaan tahta tidak
boleh diragukan sedikit pun. Setiap pemberontakan harus
ditumpas, dan si pemberontak harus dipenggal kepalanya. Sayang,
ia harus mati. Pahlawan yang gagah dan setia. Kenapa tiba-tiba ia
jadi begini?”
RATU DARA: “Kenapa Baginda mesti kaget? Laporan tentang
keadaan yang memburuk di beberapa Kadipaten sudah sering kita
dengar. --- Yang Mulia, sekarang kita tidak boleh terlambat. Para
Adipati yang berada di sini jangan boleh meninggalkan ibu kota!
Dan, juga semua panji!”
RAJA TUA: “Hah!”
Rendra: Panembahan Reso 17

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Kita harus mencegah jangan sampai ada


kadipaten lagi yang bergabung dengan Kadipaten Tegalwurung.
Ingat, kerawanan keadaan di Kadipaten Watu Songo, Sawojajar,
dan Winongo sangat mirip dengan kerawanan keadaan di
Tegalwurung”.
RESO: “Yang Mulia, kecurigaan ini tanpa alasan”.
RAJA TUA: “Panji Reso! Kamu dan semua Panji tidak boleh
meninggalkan ibu kota. Setiap hari semua panji harus melapor di
Balai Penghadapan. Bila ada yang melanggar firmanku ini, ia akan
dianggap memberontak dan kepalanya dipenggal”.
RESO: “Sebelum kami ditindak, kenapa kami tidak diperiksa dan
diselidiki lebih dahulu”.
RAJA TUA: “Tidak! --- Ditindak lebih dulu baru kemudian
diselidiki. Inilah yang disebut “langkah pengamanan”. Apakah
kamu akan memberontak?”
RESO: “Tidak, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Bagus! --- Aryo Bungsu!”
ARYO BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Kamu bertanggung jawab terhadap kepatuhan para
panji”.
ARYO BUNGSU: “Daulat Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Pangeran Bindi, kemari kamu, Nak!”
PANGERAN BINDI: “Yang Mulia”.
Rendra: Panembahan Reso 18

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Kamu saya serahi tugas menyapu pemberontakan si


Panji Tumbal. Kamu akan dibantu Pangeran Kembar”.
PANGERAN BINDI: “Sanggup, Yang Mulia”.
RATU DARA: “Yang Mulia, kenapa tugas ini tidak Paduka
berikan kepada Pangeran Rebo? Ia lebih tua dan lebih banyak
pengalamannya”.
RAJA TUA: “Jangan kamu asal membela putra sendiri saja. ---
Aku tak akan memberikan tugas semacam ini kepada si Rebo,
yang baru saja mengusulkan untuk berunding dengan
pemberontak”.
RATU DARA: “Paduka mencurigai putraku? Padahal, saya baru
saja membuktikan kesetiaan kepada tahta dan negara”.
RAJA TUA: “Aku tidak menyangsikan kamu dan tidak
melupakan jasamu. Aku juga tidak mencurigai Pangeran Rebo.
Tetapi, ini langkah pengamanan. Jangan kamu memohon lebih
jauh lagi untuk putramu!” ---
“Pangeran Rebo! Jangan kamu beranjak dari ibu kota, dan setiap
hari kamu harus melapor ke Balai Penghadapan sebagaimana para
panji! --- Pangeran Bindi! Laksanakan tugasmu. Tumpas
pemberontakan Panji Tumbal. Dan, amankan setiap kadipaten
yang kamu lewati di sepanjang jalan”.

***
Rendra: Panembahan Reso 19

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

4. PANGERAN BINDI MOHON DIRI KEPADA IBUNDA


RATU PADMI: “Ketegaranku telah luntur karena sakit-sakitan.
Ayahandamu Sri Baginda Raja, kurang menaruh perhatian lagi
kepadaku. Aku tidak lagi menjadi sumber daya hidupnya. Tetapi,
Baginda sangat mengindahkan kamu. Aku bersyukur karena itu.
Dan, sekarang, Baginda telah memberimu tugas yang penting dan
mulia. Laksanakan tugasmu dengan baik”.
BINDI: “Dengan restu ibu saya akan berusaha sekuat tenaga.
Yang aku perhatikan hanyalah keadaan ibu”.
RATU PADMI: “Jangan kamu kehilangan semangat. Dari hari
pertama perkawinanku dengan Sri Baginda Raja, aku telah sadar
bahwa aku tidak kawin dengan kepala rumah tangga, tetapi kawin
dengan kekuasaan. Ternyata, tidak ada bakatku untuk bermain
dengan kekuasaan. Aku hanya memahami, tetapi tanpa naluri. Dan,
bersikap diam terhadap permainan kekuasaan. --- Sekarang, aku
lihat kamu dan adik-adikmu, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot,
sangat asyik dengan permainan kekuasaan itu. Ibu tidak bisa
membantu apa-apa. Hanya bisa menyaksikan dengan hati yang
berdebar-debar. Tetapi, jiwaku pasrah”.

Muncul Pangeran Gada dan Pangeran Dodot.

RATU PADMI: “Itulah adik-adikmu datang kemari”.


Rendra: Panembahan Reso 20

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

GADA dan DODOT: “Ibu!” (melakukan sungkem)


RATU PADMI: “Ibu merestui kamu semua, Nak! --- Semula aku
mengira diriku mandul. Setelah ke dukun, ternyata, aku
dianugerahi tiga putra. Ya, anugerah!”
GADA: “Kakanda, selamat bertugas”.
BINDI: “Terima kasih”.
DODOT: “Heran, kenapa kami berdua tidak diberi tugas apa-apa
oleh ayahanda!”
BINDI: “Kamu berdua hidup tanpa juntrungan. Terlalu banyak
bergaul dengan orang-orang yang resah. Ini membuat pandangan
ayahanda pada Kalian menjadi kurang mantap”.
GADA: “Bukankah keresahan harus didengarkan agar segala
sesuatu yang tidak beres di masyarakat bisa dibenahi?”
BINDI: “Jangan mengorbankan kedudukan secara konyol. Nanti,
kalau kita sudah berkuasa apa yang tidak beres baru bisa kita
benahi”.

Suara bende bertalu.


RATU PADMI: “Damai, anugerah-anugerahku, damai! Saatnya
telah tiba. Entah apalagi yang bakal terbentang di depan mataku”.

***
5. PANGERAN KEMBAR DAN RATU KENARI
Rendra: Panembahan Reso 21

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU KENARI: “Kamu berdua berjuanglah baik-baik.


Pertahankan tahta ayahmu. Tahta itu keramat, sebab ia pusat
kehidupan seluruh negara. Oleh karena itu, tahta raja harus
mencerminkan kekuasaan”.
KEMBAR I: “Ibu, kami akan menjadi pahlawan”.
KEMBAR II: “Ibu akan bangga melihat kami naik kuda”.
RATU KENARI: “Aku ini keturunan bangsawan yang mengabdi
kepada raja, dan akhirnya mendapat anugerah untuk menjadi istri
raja. Aku sangat bangga akan kedudukan ini. Meskipun untuk
beberapa tahun aku merasa sedih karena terlambat mengandung.
Waktu itu, Baginda Raja sangat gelisah karena Ratu Padmi dan
aku tidak mampu memberinya keturunan. Lalu, Baginda kawin
lagi dengan Ratu Dara yang ternyata bisa melahirkan Pangeran
Rebo. Baginda Rasja sangat berbahagia, dan kami pun juga ikut
berbahagia. Kemudian, ternyata, Ratu Padmi pun bisa melahirkan
tiga putra berturut-turut selama tiga tahun. Dan, selanjutnya,
Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, aku diperkenankan melahirkan
bayi kembar! Wah, waktu itu suka cita raja bukan main. Kelahiran
Kalian, bukti wahyu raja. Apa yang semula dikira tidak mungkin
terjadi, telah terjadi berlipat ganda”.
KEMBAR I: “Kata orang kami anak ajaib”.
KEMBAR II: “Sebelum bisa membaca kami sudah bisa bersilat”.
Rendra: Panembahan Reso 22

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU KENARI: “Oleh karena itu, pertahankan diri Kalian baik-


baik. Jagalah keselamatan diri Kalian lahir dan batin. Berilah
pelajaran kepada Panji Tumbal. Buktikan bahwa wahyu berada di
pihak ayahanda Kalian, Sri Baginda Raja”.

Suara bende bertalu-talu.

RATU KENARI: “Pergilah, anak-anakku! Membela raja adalah


mengabdi ketertiban dunia”.

***

6. PANGERAN REBO DAN RATU DARA


RATU DARA: “Kamu muram karena harga dirimu sebagai lelaki
dan sebagai pangeran terpukul habis”.
REBO: “Ibuku! Saya tidak peduli dengan harga diri. Semua yang
ada harganya bisa dibeli, bisa dihias, dan bisa dirias! --- Saya
terluka. Sri Baginda tidak adil terhadap saya”.
RATU DARA: “Jangan main pikiran separuh-separuh. Harga diri
bisa saja dikaitkan dengan nilai yang tidak pasaran. Seperti halnya
kamu, kamu kaitkan dengan rasa keadilan. Tapi, masalah yang
ingin aku bicarakan sebetulnya ini: kamu muram, kamu terpukul,
dan alasannya ada. Tetapi, jangan terlalu lama, anakku! Kamu
Rendra: Panembahan Reso 23

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

tidak boleh terlalu lama kehilangan daya. Lihatlah di alam raya.


Semua tumbuh-tumbuhan berebut cahaya matahari. Di hutan dan
di pekarangan tumbuhan yang kena lindung tumbuhan lain akan
kerdil untuk selama-lamanya. Pendeknya, alam mengajarkan kita
untuk berani bergulat. Kita harus kuat, karena yang kuat akan
menetapkan aturan di dalam kehidupan”.
REBO: (tertawa kecil tapi cerah, dan penuh rasa sayang kepada
ibunya) “Ibu tidak perlu mengkhawatirkan diri saya. Kalau orang
punya ibu seperti ibundaku, tak perlu ia khawatir akan jadi lemah.
Dengan segenap cara ibu akan membangkitkan semangat saya”.
“Ibunda, saya gundah. Saya tidak setuju dengan cara ayahanda
memerintah. Terlalu kasar ungkapan kekuasaannya sehingga
menimbulkan kesan menantang. Padahal, cukup banyak orang
perkasa di negeri kita. Menurut pendapat saya, kekuasaan bisa
dipergunakan dengan lebih halus, tetapi toh tetap mengandung
kekuatan. Kekuasaan harus dikawinkan dengan kebijaksanaan”.
RATU DARA: “Tenangkan dulu pikiranmu. Nanti, kalau kamu
sudah menjadi raja, kamu bisa menempuh jalan yang kamu
kehendaki. Sementara itu, pendam dulu pikiran itu. Semakin tua
Sri Baginda semakin sukar dinasihati. Memang, itulah gejala
kekuatan jiwa yang memudar karena usia tua. Ia hanya mampu
bertahan, tidak lagi mampu membuka dan berkembang. Jadi,
Rendra: Panembahan Reso 24

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

pakailah siasat. Tunggu waktumu. Orang yang hanya bertahan


tidak akan bisa bertahan lama”.
REBO: “Benarkah saya akan bisa menjadi raja?”
RATU DARA: “Dahulu, Sri Baginda mengambil aku menjadi
istrinya karena Ratu Padmi dan Ratu Kenari tidak bisa berputra.
Terhadap diriku Sri Baginda sangat mabuk asmara. Setiap
menghadapi diriku Baginda selalu tidak bisa menguasai dirinya.
Aku menyadari kekuasaan diriku ini. Dan, aku memainkan
kekuasaan itu. Aku menuntut agar antara ketiga istri
kedudukannya sama. Tidak ada yang pertama, ke dua, atau ke tiga.
Baginda menyetujui dan memaklumkan hal itu ke seluruh negara.
Baru sesudah itu, aku menyerahkan diri, lalu mengandung, dan
akhirnya membuahkan dirimu: putra raja yang pertama”.
REBO: “Saya pun juga sudah mendengar hal itu. Tetapi,
kemudian, Ratu Padmi dan Ratu Kenari juga melahirkan para
pangeran!”
RATU DARA: “Tetapi, kamu toh pangeran yang pertama dan
tertua! Sedangkan, kedudukan permaisuri tidak ada. --- Yah,
kemungkinan rintangan memang ada. Pada intinya, dasar untuk
menentukan pewaris tahta dari semula goyah. Akulah yang
membuatnya goyah. Namun, justru di sinilah letak serba
kemungkinannya. Kita akan bermain di sini. Kita harus kuat.
Rendra: Panembahan Reso 25

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Seperti trembesi perkasa di dalam rimba, kita akan merebut sinar


matahari. Kamu harus menjadi raja!”
REBO: “Darahku bergelora. Aku harus menjadi raja! --- sebelum
menyatakan pemberontakannya, Panji Tumbal menawarkan tahta
yang akan ia rebut kepadaku”.
RATU DARA: “Apakah kamu terima tawarannya?”
REBO: “Saya biarkan tawaran itu mengambang. Saya bersikap
mengambil jarak”.
RATU DARA: “Benar. Jangan keburu nafsu! Jangan membuang
tenaga dalam permulaan pergulatan. Mulai sekarang, kita
mengatur siasat untuk merebut tahta dari siapa saja yang menang”.

Suara bende bertalu-talu.

RATU DARA: “Nah, waktunya tiba untuk bersiasat. Tunjukkan


wajah yang cerah. Kepada Sri Baginda berkatalah serba ‘ya’. Ini
akan memuaskan jiwanya yang sudah lemah, dan tidak lagi tahan
akan perbedaan. Kepada pembangkang berilah kata-kata yang
serba mengambang. Jangan kamu berbicara apa-apa tentang tahta.
Itulah bagianku untuk memperdebatkannya. --- Sekarang, dengan
manis mari kita elu-elukan para pangeran yang akan berangkat ke
Tegalwurung. Semoga riwayat mereka tamat di sana”.
Rendra: Panembahan Reso 26

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

7. DUA PANGERAN YANG SAKIT HATI

Pasukan berangkat dengan segenap kebesaran. Genderang. Nafiri.


Panji-panji. --- Sesudah semuanya berlalu, tinggallah Pangeran
Gada dan Pangeran Dodot dengan wajah yang muram.

GADA: “Wajahmu muram”.


DODOT: “Begitu juga wajah Kakanda”.
GADA: “Keadaan buruk”.
DODOT: “Ya, keadaan memang buruk”.
GADA: “Keadaan tidak bisa diteruskan seperti ini. Laporan para
adipati harus diindahkan. Kebutuhan setiap kadipaten harus
dipenuhi. Kalau tidak, keutuhan justru akan berantakan. Kepala
memang penting, tetapi kaki dan tangan tak boleh diabaikan.
Kalau kaki dan tangan rusak, biarpun kepala tetap utuh, diri kita
menjadi lumpuh”.
DODOT: “Sudah jelas. Terlalu jelas”.
GADA: “Rupanya kita sepaham”.
DODOT: “Cara berpikir kita serupa”.
GADA: “Tetapi, Sri Baginda Raja, ayahanda kita, sangat berbeda
sikap dan pendapatnya”.
Rendra: Panembahan Reso 27

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DODOT: “Sri Baginda salah. Beliau akan tumbang”.


GADA: “Siapa yang akan menggantikannya menjadi raja?”
DODOT: “Pangeran Rebo lemah. Dan, ayahanda telah
mencurigainya. Karena kurang siasat kartunya hampir mati”.
GADA: “Kakanda Pangeran Bindi punya harapan terbesar.
Padahal pandangannya lain dari kita. Ia sekadar buntut ayahanda”.
DODOT: “Saya juga tidak suka apabila ia menjadi raja”.
GADA: “Tetapi. Toh ia yang punya harapan terbesar untuk
mengganti ayahanda menjadi raja”.
DODOT: “Kalau ia tidak gugur di Tegalwurung”.
GADA: “Apakah Panji Tumbal cukup kuat?”
DODOT: “Harus dibikin kuat”.
GADA: “Apakah kita akan membantu Panji Tumbal?”
DODOT: “Saya tidak ragu-ragu. Apakah kakanda ragu-ragu?”
GADA: “Baik. Kita akan membantu Panji tumbal. Bagaimana
cara dan siasatnya akan kita bicarakan dengan Aryo Gundu dan
senapati yang lain yang sependirian dengan kita. Kita bicarakan
semuanya ini di dalam rapat, di Serambi Balai Senjata yang
sedang diatur oleh Aryo Gundu”.
DODOT: “Saya setuju tanpa ragu”.
GADA: “Tetapi --- nanti dulu --- kalau usaha kita berhasil, siapa
yang akan menjadi raja?”
Rendra: Panembahan Reso 28

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DODOT: “Tentu saja kakandalah yang punya peluang terbesar,


sedang saya cukup menjadi Raja Muda”.
GADA: “Raja Muda? Apa itu artinya?”
DODOT: “Artinya, putra Kakanda tidak akan menjadi putra
mahkota. Tetapi, sayalah yang akan menggantikan kakanda
menjadi raja kalau …………….”
GADA: “Kalau saya mati?”
DODOT: “Ah, jangan terlalu jauh Kakanda berpikir. --- Kita tidak
boleh saling mencurigai”.

Keduanya tertawa dengan seribu macam isi.

***

8. MIMPI DI HARI SENJA


Senjakala. Cahaya merah bercampur dengan warna keemasan. ---
Muncul Panji Reso.
RESO: “Senja merah padam. Seperti darah yang muncrat dari
luka. Gunung menjadi serupa tembaga. Alam menjadi bersifat
jantan. --- Ah, apa yang aku lihat ini? --- Rupanya aku bermimpi
lagi. Kau, mimpi, selalu menyergapku selagi aku berjaga. Candu
mimpi yang gaib, mari, kuhisap kamu. Biar penuh paru-paruku
dengan hawamu, dan lalu meresap ke dalam darah, sumsum, dan
Rendra: Panembahan Reso 29

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

otakku. --- Haaah! Aku melihat telaga darah dengan bunga teratai
putih yang mengapung di permukaannya. --- Aku melihat lima
bidadari mandi di telaga darah. Mereka bercengkerama. Tubuh
mereka seperti gading yang halus, licin, dan mengkilat. Dan,
wajah mereka kelimanya sama. Mirip. Serupa. Lima bidadari
kembar. --- Wajah mereka seperti wajah yang sudah aku kenal. Ya,
wajah yang aku kenal, entah di mana. Ah! Kecantikan yang nyata
tapi tak terjamah! --- Hai! Ini tata warna birahi ataukah suasana
medan laga? --- Merah, kuning, ungu, jingga, lila. Oooo, indah!
Merah. Merah. Telaga merah. Langit merah. Apa pula itu? Astaga!
Aku lihat tahta mengambang di telaga berdarah. --- Oh! Pesona
yang mengagumkan! --- Tahta itu menuju kemari. Ia melaju ke
arahku. Dihembus angin ke arahku! Aaak” ---
“Mimpiku sirna. Dahsyat. Apakah arti mimpiku ini? Telaga darah,
teratai, bidadari, dan tahta. Apakah arti semuanya ini? --- Tahta!
Siapa yang tidak menginginkan tahta? Aku menginginkan tahta!
Sri Baginda Raja telah tua. Ia mulai pikun. Pikun dan ngawur!
Para senapati resah. Para adipati resah. Pemberontakan terjadi.
Dan, para pangeran itu tak akan becus mengatasi keadaan”.
“Aku akan lebih becus menjadi raja. Sayang, aku cuma seorang
panji! --- Tetapi, aku punya akal. Kekacauan di negara ini justru
akan memberi jalan kepadaku. Rintanganku yang utama hanyalah
para pangeran. --- Nanti, aku cari jalan!”
Rendra: Panembahan Reso 30

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Zaman sudah menjadi edan! Jangan mengharap orang edan bisa


diinsyafkan. Biarlah mereka sekalian didorong untuk semakin
edan. Sehingga, akhirnya, mereka nanti gampang aku mainkan”.

***

9. PERSEKUTUAN PARA PANJI


Panji Reso dan para panji.
SIMO: “Kita tak bisa berkumpul terlalu lama”.
RESO: “Tenang, Panji Simo! Sebelum terang tanah, kita sudah
bubar”.
OMBO: “Kita teliti dulu, apa ada mata-mata di antara kita. Kalau
ada, kita bunuh dia di sini sekarang juga!”
RESO: “Tenang, Panji Ombo! Aku menyiapkan rapat ini dengan
teliti. Semua yang hadir di sini aku dapat namanya dari Panji
Tumbal. --- Dengar, Anda semua telah setuju untuk mendukung
pemberontakan Panji Tumbal”.
WONGSO: “Tapi, kita telah kalah langkah berkat Ratu Dara
keparat itu”.
BONDO: “Aku masih berani minggat dari sini dan terang-
terangan menyusul pemberontakan”.
RESO: “Jangan! Panji Bondo, tahan dulu semangat Anda. ---
Menurut pendapatku, salah langkah sudah terjadi waktu Panji
Rendra: Panembahan Reso 31

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

tumbal mengirim surat ke istana. Pada intinya, pemberontakan


harus dimulai dari ibu kota, tidak dari kadipaten. Dan, harus
langsung merebut tahta, mengganti pemerintahan. Baru kemudian,
semua kadipaten mendukung pemberontakan ini dengan serentak.
Bila pemberontakan dimulai dari kadipaten, maka pemberontakan
semacam itu hanya bersifat memisahkan diri dari kerajaan. Ini
lemah! Ini hanya sekadar menentang raja, tetapi belum tentu
mampu mengganti pemerintahan. Dan, hasilnya hanya akan
memecah-belah kerajaan! Inilah alasanku, kenapa aku berkata
bahwa pemberontakan Panji Tumbal salah siasat dari mula
pertama”.
BONDO: “Jadi, sekarang kita akan mencetuskan pemberontakan
di sini?”
RESO: “Sabar! Sekarang belum saatnya kita berontak. Para aryo
dan senopati belum tentu berada di pihak kita. Dan, juga para
pangeran masih belum kita perhitungkan”.
SEKTI: “Jadi, bagaimana dengan Panji Tumbal? Apakah ia akan
kita biarkan seorang diri?”
RESO: “Apa boleh buat! Panji Sekti, kita pilih kehilangan satu
jari atau seluruh tangan kita?”
SEKTI: “Ya, rupanya kenyataan perjuangan memang pahit.
Tetapi, ini akan menjadi pelajaran bagi kita semua”.
Rendra: Panembahan Reso 32

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Panji Sekti, apakah Anda sanggup memimpin kami


semua di dalam gerakan ini?”
SEKTI: “Lho, jangan bikin kaget”.
RESO: “Jangan gampang kaget. Kita membutuhkan satu
pimpinan. Gerakan kita, gerakan Dewan Panji, sudah cocok satu
cita-cita dan satu pikiran. Kita tidak akan mengundang orang dari
golongan lain yang belum jelas kepentingannya untuk memimpin
kita. Hanya para panji yang tahu kepentingan kadipaten”.
SIMO: “Kalau begitu kenapa tidak Panji Reso saja yang
memimpin kita?”
OMBO: “Saya juga setuju begitu”.
RESO: “Kenapa bukan Anda, Panji Simo?”
SIMO: “Tidak! Kami para adipati sudah punya tempat dan tugas
yang lebih cocok. Sebaliknya, Anda punya wawasan yang lebih
luas dari kami. Kehebatan Anda memimpin sudah Anda buktikan
waktu perang di Tegalwurung bersama dengan Panji Tumbal. Dan,
lagi, sebagai Panji Istana Anda lebih bebas bersiasat di ibu kota”.
BONDO: “Memang, menurut bukti dan kenyataan hanya ada dua
pemimpin yang ada di antara kaum panji. Yaitu: Panji Reso dan
Panji Tumbal! --- Tetapi, sekarang Panji Tumbal sudah tidak bisa
kita harapkan lagi karena ia terlalu keburu nafsu”.
Rendra: Panembahan Reso 33

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Jangan terlalu disalahkan dia. Dia bukan seorang


negarawan. Wawasannya, wawasan seorang satria medan laga.
Jiwanya suci dan murni”.
BONDO: “Tapi, Anda punya wawasan kenegaraan, di samping
juga unggul di medan perang”.
SIMO: “Memang Andalah yang pantas memimpin kami”.
SEKTI: “Setuju”.
RESO: “Baik. Tegas saja, aku terima pimpinan ini! Sekarang
dengar! Pulihkan kepercayaan raja pada Anda semua. Jangan
dibantah kemauan orang pikun itu. Bila nanti Anda semua sudah
kembali ke kadipaten masing-masing, galang kembali kekuatan
Anda secara diam-diam. Jangan bergerak sebelum aku beri aba-
aba. Aku akan mengadu siasat di istana. Panji Sekti akan menjadi
mata-mata dan penghubung antara kita”.
SEKTI: “Itu tugas yang cocok untuk saya”.
RESO: “Kelelawar sudah mulai terbang ke arah barat. Hari
hampir terang tanah. Selamat berpisah, teman-teman. Ingat, kita
semua sudah penuh dengan tekad dan semangat, tetapi kita hanya
akan menang bila memakai siasat”. --- “Selamat!”

***
Rendra: Panembahan Reso 34

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

10. RAPAT DI SERAMBI BALAI SENJATA

Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Gundu, dan Aryo Ronin.


GADA: “Begitulah. Aku kira sudah cukup panjang-lebar aku
menerangkan. Pendeknya, tanpa ragu-ragu, aku dan Pangeran
Dodot akan membantu Panji Tumbal”.
GUNDU: “Memang harus begitu. Dan, kita tidak boleh terlambat.
Bagaimana pendapat Anda, Aryo Ronin?”
RONIN: “Pemerintahan Sri Baginda Raja memang tak bisa
dipertahankan lagi. Kerajaan memburuk, sedangkan Sri Baginda
hanya kukuh pada caranya sendiri. Siapa lagi yang akan berani
memberi saran dan kecaman kalau akibatnya malah akan dicurigai
dan disingkirkan? Keadaan memang sudah buntu”.
DODOT: “Karena itu, tembok pembuntu harus kita robohkan”.
GUNDU: “Pangeran Gada, jadi Anda sudah siap kami rajakan?”
GADA: “Demi rakyat dan demi negara aku siap menjadi raja dan
menegakkan keadilan”.
GUNDU: “Kalau begitu kita harus segera bergabung dengan Panji
Tumbal”.
RONIN: “Bagaimana dengan para panji dan adipati yang lain?”
GUNDU: “Menurut Panji Tumbal mereka semua berada di
belakangnya. Tetapi, sekarang mereka dilarang meninggalkan ibu
kota”.
Rendra: Panembahan Reso 35

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RONIN: “Kalau memang sudah bertekad untuk berontak, kenapa


mereka tidak kita ajak merat dari ibu kota?”
GUNDU: “Semua tergantung Panji Reso. Di dalam saat seperti ini,
dialah yang mampu menggerakkan para panji”.
DODOT: “Kenapa ia tidak dihubungi?”
GUNDU: “Kita harus waspada. Ia dan para panji yang lain sedang
diawasi. Tetapi, saya akan berusaha menghubungi. Sesudah itu
akan kita tetapkan bagaimana siasat kita”.
GADA: “Baik. Usahakan Anda berhasil memastikan dia ke pihak
kita. Banyak orang menaruh rasa segan kepadamu. Sampai di sini
dulu. Bila terlalu lama kita bersama, bisa orang menaruh curiga”.

***

11. RUMAH PANJI RESO

Pagi hari yang cerah. Reso dilayani Nyi Reso minum teh.
NYI RESO: “Kakanda tidak tidur di rumah semalam”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Para panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu
kota”.
RESO: “Hm”.
Rendra: Panembahan Reso 36

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: “Biasanya, kalau ada badai dan topan orang berteduh
dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan
perjalanannya”.
RESO: “Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan
bahan”.
NYI RESO: “Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda
dengan jantung yang berdebar-debar”.
RESO: “Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan”.
NYI RESO: “Sungguh sayang kandunganku gersang”.
RESO: “Siapa tahu justru benihku yang gersang. --- Tidak punya
anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku”.
NYI RESO: “Sangat sering Kakanda duduk melamun”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan
pertanyaan di dalam diri saya. --- Kakanda akhir-akhir ini sangat
sering bersemadi, padahal Kakanda tidak suka bergaul dengan
para resi dan tidak betah diajak bicara masalah kebatinan”.
RESO: “Aku semadi untuk menyerahkan diri. Tidak ada
urusannya dengan kebatinan”.
NYI RESO: “Saya mendapat kesan, sepertinya Kakanda prihatin
besar……. atau sedang kecewa ---Apakah Kakanda kecewa
kepada saya?”
Rendra: Panembahan Reso 37

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Jangan cengeng. Aku tidak kecewa kepada apa saja.---


Aku prihatin. --- Aku punya cita-cita”.
NYI RESO: “Semua cita-cita sudah Kakanda capai. Kakanda
sudah mulia dan jaya. Semua orang menaruh rasa segan dan
hormat kepada Kakanda. Sekarang masih kurang apa?”
RESO: “Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada
cakrawala”.
NYI RESO: “Apakah yang Kakanda lihat di sana?”
RESO: “Tahta raja”.
NYI RESO: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara!”
RESO: “Astaga! Kenapa kamu harus tahu! --- Cita-cita itu seperti
rajawali galak yang menggelepar-gelepar di dalam dadaku. Kini,
akhirnya lepas terbang, keluar dari kerongkonganku. --- Nyi Mas,
kalau kamu ingin aku selamat, jangan kamu buka rahasia batinku
ini”.
NYI RESO: “Hati-hati, Kakanda! Saya tidak bisa membayangkan
apa-apa, tetapi perasaan saya keruh dan rasa kecut mengalir ke
dalam mulut saya. --- Di depan Kakanda terbentang kenyataan ada
enam orang pangeran berdiri di sekeliling tahta, sedang di atas
tahta duduk seorang raja yang sakti mandraguna. Dan, mereka
semua dijaga oleh para senapati. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara!
Kini terbayang oleh saya banjir darah dan kilatan pedang”.
Rendra: Panembahan Reso 38

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Gambaran yang terbentang di depanmu itu pakem-pakem


yang tak ada kenyataannya. Rajanya pikun, para pangerannya
saling berlaga, dan para senapatinya buyar berantakan tidak
mampu mengatur barisan. Kalau aku yang bisa menyelamatkan
negara kenapa aku tidak menyelamatkannya sebagai raja? ---
Cukup! Aku akan bersemadi. Jangan diganggu olah-tapaku!”
(keluar)
NYI RESO: (seorang diri. Sepi) “Cita-cita demi cita-cita
menjauhkan kakanda dari saya”.
“Cita-cita demi cita-cita mengubah pribadi suami sehingga saya
harus berulang kali belajar mengenalnya kembali. Duh, Gusti,
pikiran dan kehendak saya terlalu sederhana. Ibarat ayam yang
hanya mengenal pekarangan. Kakanda bagaikan rajawali, bisa
melihat pemandangan yang sukar saya bayangkan. Ini membuat
saya merasa putus asa. --- Sekarang kakanda terbang sudah terlalu
tinggi. Apakah masih mungkin saya menjangkau kakanda? ---
Dengan pedih saya menyadari keterbatasan diri saya. Dan, jauh di
dalam hati, saya merasa: barangkali, sekali ini, saya tidak mampu
mendampingi kakanda”.

***
12. PANJI RESO MENGHADAP RAJA
Rendra: Panembahan Reso 39

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Raja Tua, Aryo lembu, Aryo Bungsu, dan Panji Reso.


RAJA TUA: “Reso! Menurut Aryo Bungsu kamu mohon
menghadap aku karena ada soal yang akan kamu ajukan yang
sangat mendesak sifatnya”.
RESO: “Memang demikian, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Soal apa itu?”
RESO: “Hamba mohon untuk diizinkan meletakkan jabatan dan
pergi bertani”.
RAJA TUA: “Apa?!”
RESO: “Mohon maaf kalau dianggap tidak penting soal semacam
ini, tetapi bagi hamba memang mendesak sifatnya”.
RAJA TUA: “Nanti dulu! Tenang! --- Kamu ingin meletakkan
jabatan”.
RESO: “Hamba ingin bertani saja”.
RAJA TUA: “Sabar dulu! Kenapa begitu?”
RESO: “Hamba merasa sangat malu. Di jalan semua orang
memandang kepada hamba seakan-akan hamba ini pengkhianat
negara. Barangkali, mereka berpikir: “Kenapa Panji Reso tidak
ikut memadamkan pemberontakan Panji Tumbal? Apakah ia
sudah tidak dipercaya Sri Baginda? --- Sri Baginda itu banyak
pengalamannya dan tajam pengamatannya. Kalau ia tak dipercaya
lagi oleh Sri Baginda, pasti sangat kuat alasannya.” --- Begitulah
seakan-akan tuduhan pandangan mata semua orang terhadap diri
Rendra: Panembahan Reso 40

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

saya. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara, saya tak kuat lagi
menanggung malu”.
RAJA TUA: “Nanti dulu!!”
RESO: “Yang Mulia, ada lagi penderitaan batin saya. Di rumah
saya berkaca. Saya kaget, kok kenyataannya saya sudah berubah
tua. Di dalam diri saya masih menggelegak jiwa kesatria yang
selalu membela raja, sebagaimana pernah saya buktikan di
pelbagai medan laga. Sebenarnya, saya pun sangat bernafsu untuk
memenggal kepala Panji Tumbal. Tetapi, apa boleh buat, bintang-
bintang yang lebih muda banyak yang muncul sehingga Sri
Baginda tak perlu lagi memakai pengalaman orang tua seperti
saya”.
RAJA TUA: “Salah! Salah! --- Orang tua dalam banyak hal lebih
hebat dari orang muda. Satu, karena pengalaman. Dua, karena
sudah teruji! --- Kamu lihat tidak, bagaimana dengan gampang aku
merobohkan putraku?”
RESO: “Hamba memang melihat bagaimana usia makin membuat
Baginda tenang dan matang”.
RAJA TUA: “Tentu saja. Itu akibat dari godokan waktu”.
RESO: “Yang tidak bisa dicapai oleh orang muda”.
RAJA TUA: “Sebab belum sampai pengalamannya”.
RESO: “Betul Yang Mulia. Orang tua memang merupakan
kekayaan negara”.
Rendra: Panembahan Reso 41

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Tepat, Reso! Tepat! --- jadi tidak mungkin kamu
tidak saya pakai karena usiamu. Apalagi, sebetulnya, kamu kan
belum terlalu tua”.
RESO: “Memang belum matang dan mengkilat seperti Yang
Mulia”.
RAJA TUA: “Kalau kamu tekun menghayati kehidupan, kamu
pun akan bisa seperti saya”.
RESO: “Tetapi, kenapa hamba sekarang kena hukuman, Yang
Mulia!”
RAJA TUA: “Tidak! Tidak! Kamu tidak dihukum. Soalnya, aku
lagi marah-marah waktu itu. Kalau aku lagi marah jangan kamu
suka nimbrung. Sebab kamu kan melihat sendiri bagaimana kalau
aku marah”.
RESO: Hal itu akan menjadi pelajaran bagi hamba. Hamba tidak
akan mengulangi lagi. --- Tetapi, sekarang bagaimana nasib
hamba?”
RAJA TUA: “Kamu diampuni. Kamu sudah bebas seperti biasa. -
-- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Jelas, ya, Panji Reso sudah aku ampuni”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia!”
Rendra: Panembahan Reso 42

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Hamba sangat berterima kasih, Yang Mulia! --- Lalu,


bagaimana dengan para panji yang lain? Mereka semuanya setia
dan kagum kepada Sri Baginda”.
RAJA TUA: “Soal itu nanti dulu. --- Reso, ini masalah ‘langkah
pengamanan’. Mereka akan diselidiki dan diperiksa dulu, sesudah
terbukti beres, mereka pun akan dibebaskan”.
RESO: “Apakah hamba akan diperiksa juga?”
RAJA TUA: “Lho, kamu kan sudah diperiksa. Langsung oleh aku
sendiri”.
RESO: “Maaf, hamba tidak menyadari”.
RAJA TUA: “Baru saja tadi, sambil lalu, kamu sudah aku periksa.
Kalau memang sudah ahli memeriksa, yang diperiksa tidak akan
tahu. --- Lha, ini lagi bedanya antara anak muda yang belum
berpengalaman dan orang tua yang sudah kenyang asam dan
garam. Kalau anak muda, matanya pencilakan, belum melihat apa-
apa. Kalau orang tua yang matang, dengan sekali melirik, ia sudah
melihat semuanya”.
RESO: “Hamba kagum, Yang Mulia. --- Lalu, kapan para panji
itu akan selesai diperiksa?”
RAJA TUA: “Lha, itu makan waktu. Biasa kan, sebab Aryo
Bungsu masih muda, ia memerlukan lebih banyak waktu untuk
bekerja. --- Dan lagi, kenapa tergesa-gesa? Biar mereka istirahat
dulu di ibukota. --- Kamu mengerti, bukan?”
Rendra: Panembahan Reso 43

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tentu, Yang Mulia. Sebetulnya, ini langkah yang


bijaksana. Saat ini negara sedang gawat. Orang yang setia itu lebih
terjaga dan aman di ibu kota”.
RAJA TUA: “Tepat! Tepat! Jadi, mereka itu sebetulnya tidak
ditahan, tetapi dijaga demi keamanan mereka sendiri. --- Nah,
nanti kalau kepala Panji Tumbal sudah dipenggal dan di Kadipaten
yang lain terbukti tidak ada keterlibatan apa-apa, mereka boleh
pulang, menjalankan tugas mereka seperti biasa. Sementara itu,
aku sudah memerintahkan agar besok pagi Aryo Lembu, Aryo
Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu berangkat, untuk
memeriksa dan mengamankan Kadipaten dengan membawa
pasukan mereka masing-masing. --- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Keadaan para panji baik-baik saja, bukan?”
BUNGSU: “Semuanya baik. Masing-masing menempati
pesanggrahan yang cukup mewah”.
RAJA TUA: “Bagus! Biar mereka gembira dan kerasan di sini.
Besok pagi kepada mereka masing-masing, kirimkan seekor lembu
dan tiga tong arak! Biar mereka berpesta. Katakan, itu hadiah
pertanda cinta dari saya!”
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia. Semua akan hamba laksanakan”.
RESO: “Yang mulia, mohon dimaafkan kalau hamba lancang,
tetapi hamba sebagai panji istana benar-benar ikut prihatin
Rendra: Panembahan Reso 44

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

terhadap keamanan negara. Hamba terpaksa menyatakan bahwa


hamba bingung terhadap tingkah laku Pangeran Rebo”.
RAJA TUA: “Yah, ini soal lain lagi. Bagiku memang pelik sekali.
--- Tetapi, apa maksudmu sebenarnya?”
RESO: “Hamba tidak percaya bahwa ia berbahaya, tetapi kenapa
ia mengusulkan untuk berunding dengan bangsat pemberontak itu?
Apakah karena alasan persahabatan? Apakah karena alasan
kemanusiaan? Apakah karena pengertian siasat yang berbeda?
Atau apa?”
RAJA TUA: “Hal itu mengganggu pikiranku. --- Aryo Lembu!”
LEMBU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Kamu yang saya serahi tugas untuk menyelidiki dia.
Bagaimana hasilnya?”
LEMBU: “Sampai sekarang ia tidak mengutarakan isi pikiran
yang bersifat membangkang”.
RESO: “Barangkali ia terlalu sadar kalau sedang diselidiki, bila
yang bertanya-tanya itu orang yang sudah dikenal sebagai tokoh
kepercayaan Sri Baginda”.
RAJA TUA: “Barangkali begitu”.
LEMBU: “Hamba kira memang begitu”.
RESO: “Orang toh belum tahu bahwa hari ini hamba telah
diampuni. Pangeran Rebo juga belum tahu hal ini. Ia akan tetap
mengira bahwa hamba senasib dengannya. Jadi, barangkali ia akan
Rendra: Panembahan Reso 45

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

lebih terbuka kepada hamba, dan lalu akan mengutarakan isi hati
yang sebenarnya”.
RAJA TUA: “Kalau begitu kamu saja yang aku serahi tugas
menyelidiki”.
RESO: “Sanggup, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus! Coba juga kamu telaah seberapa jauh
pengaruh Ratu Dara kepadanya. --- Kamu tahu ibunya itu sangat
keras kemauannya, dan, juga, orangnya penuh dengan cita-cita.
Banyak wawasannya yang bagus, tetapi sangat sering ia,
kelihatannya, asal mau menang sendiri”.
RESO: “Apakah Sri Baginda mencurigai Sri Ratu Dara?”
RAJA TUA: “Aku tak tahu bagaimana merumuskannya, tetapi
jelas ia ingin anaknya nanti menggantikan aku menjadi raja. Aku
cuma khawatir kalau-kalau ia kurang sabar dalam mewujudkan
cita-citanya”.
RESO: “Hamba paham maksud paduka. Tetapi, apakah sudah ada
gejala yang menunjukkan ketidaksabaran seperti itu?”
RAJA TUA: “Lho, itulah tugasmu untuk menyelidikinya!”
RESO: “Hamba sanggup, Yang Mulia! Hanya saja, bila
diperkenankan hamba mohon Panji Sekti membantu hamba”.
RAJA TUA: “Panji Sekti?”
Rendra: Panembahan Reso 46

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Seorang panji istana juga, urusan jaga gerbang dan ronda
istana. Hamba berani menanggung dengan mempertaruhkan
kepala hamba bahwa ia patuh dan setia kepada Paduka”.
RAJA TUA: “Kalau kamu sudah berani menanggung, aku pun
membebaskannya juga. --- Baik, biar ia membantu kamu”.
RESO: “Terima kasih, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Sekalian bantu aku mengawasi para panji itu! ---
Aryo Bungsu, catat semua keputusanku ini!”
BUNGSU: “Hamba perhatikan, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Panji Reso, segera mulailah bekerja! Sewaktu-
waktu kamu bebas menghadap aku!”
RESO: “Hamba merasa syukur dan bangga, Sri Baginda.

***

13. BERTUKAR PESAN DI HALAMAN ISTANA


Panji Reso bertemu dengan Panji Sekti di halaman istana.
SEKTI: “Salam, Panji Reso”.
RESO: “Salam, Panji Sekti. Hari cerah, bukan?”
SEKTI: “Kita tidak bisa bicara di sini terlalu lama. Mereka
mengamati kita”.
RESO: “Tidak. Kita sudah bebas sekarang”.
SEKTI: “Jangan bikin kaget”.
Rendra: Panembahan Reso 47

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Anda selalu gampang kaget. Tetapi, begitulah


kenyataannya. Aku dan Anda sudah bebas dari pengawasan dan
pemeriksaan”.
SEKTI: “Luar biasa. Saya kagum. Bagaimana Anda bisa
meyakinkan orang semacam Sri Baginda?”
RESO: “Gampang! Untuk menginsyafkan orang sinting aku
bicara juga seperti orang sinting. Semakin sinting aku bicara
semakin ia percaya. --- Orang yang lemah itu selalu hanya mau
bicara dengan bayangannya sendiri. Demikian juga si raja pikun.
Begitu aku menjadi bayangannya, ia mau mendengar apa saja
yang aku katakan. Bahkan, aku dan Anda ditugaskan untuk
mengawasi Pangeran Rebo, Ratu Dara, dan para panji semua. ---
Nah, sekarang jalan telah terbuka. Kita akan malang-melintang
dengan siasat kita”.
SEKTI: “Wah! Saya kagum. Saya kagum. Anda memang pantas
memimpin!”
RESO: “Hm! Anda ini lain lagi macamnya. --- Dengar Panji Sekti,
sekarang juga Anda hubungi semua panji. Katakan, besok pagi
Baginda akan mengutus empat orang senapati untuk
mengamankan dan memeriksa kadipaten masing-masing.
Perintahkan kepada para sekutu mereka di Kadipaten agar
mengubah siasat. Bekukan dulu semua gerakan pembangkangan,
sambut para senapati dengan wajah cerah. Tunjukkan sikap yang
Rendra: Panembahan Reso 48

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

patuh dan setia kepada Sri Baginda. Jauhi hubungan dengan para
senapati dan pangeran yang resah. Tolak semua pendekatan dan
ajakan mereka. Tegaskan, akulah pusat pimpinan gerakan para
panji. Aba-aba yang harus dipatuhi hanyalah aba-aba dari aku! ---
Jelas?”
SEKTI: “Jelas, dan sudah saya hafalkan seketika. --- sebelum
saya berangkat, saya akan menyampaikan pesan dari Aryo Gundu.
Ia menunggu Anda di Serambi Balai Senjata. Sekarang giliran dia
untuk memimpin ronda dan jaga istana”.
RESO: “Aku akan mampir ke sana”.
SEKTI: “Sampai jumpa!
RESO: “Sampai jumpa! Sekarang menghadapi macan. Terhadap
macan harus aku pakai cara yang lain lagi”.

***

14. RUBAH DAN MACAN


Di Serambi Balai Senjata. Aryo Gundu didatangi Panji Reso.
RESO: “Salam, Aryo Gundu”.
GUNDU: “Salam, Panji Reso”.
RESO: “Mencari aku?”
GUNDU: “Ya, memang! --- Di sini kita aman bicara. Saya sudah
menyiapkan semuanya”.
Rendra: Panembahan Reso 49

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Urusan apa?”


GUNDU: “Saya dan beberapa teman merasa resah dengan sikap
raja yang tidak adil terhadap Anda dan para panji sebagai adipati
di kadipaten-kadipaten”.
RESO: “Hm”.
GUNDU: “Secara terbuka saya bicara. Kami memihak kepada
Panji Tumbal. Kami setuju terhadap pemberontakannya”.
RESO: “Begitu! --- Setuju atau tidak, apa bedanya?”
GUNDU: “Apa maksud Anda?”
RESO: “Aku kecewa!”
GUNDU: “Kecewa?”
RESO: “Kenapa para aryo, senapati hanya bisa setuju dan tidak
setuju? --- Kami para panji bergerak dan bertindak. Tetapi, apa
yang dilakukan para senapati kecuali setuju dan tidak setuju?”
GUNDU: Kami terlambat, itu kami akui. Tetapi, kami tidak
tinggal diam. Kami telah memutuskan untuk bergabung dengan
Panji Tumbal.
RESO: “Kami? Siapa kami?”
GUNDU: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Ronin, dan
saya”.
RESO: “Bagus! Ini baru aku hargai”.
GUNDU: “Kami justru akan mengajak Anda dan semua panji
untuk bergerak serentak bersama kami”.
Rendra: Panembahan Reso 50

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Apakah kedua pangeran itu bisa kami percaya? Mereka


saudara kandung Pangeran Bindi, yang justru sedang menumpas
pemberontakan”.
GUNDU: “Jelas bisa dipercaya. Pangeran Gada bersedia menjadi
raja untuk membela rakyat dan menegakkan keadilan. Panji
Tumbal juga akan mendukungnya. Sebelum berangkat untuk
berontak kami sudah saling ketemu dengan dia, dan berunding
secara singkat di depan gerbang istana”.
RESO: “Tidak aku sangka ia punya tulang dan keberanian”.
GUNDU: “Jangan disangka kami tak punya cakar dan taring!”
RESO: “Hm! Macan!”
GUNDU: Ya! Macan yang siap bertempur untuk membela
keadilan. --- Ayo, kita buktikan. Mari kita sama-sama merat dari
ibu kota. Lalu seluruh Kadipaten bergolak melawan tahta. ---
Bagaimana jawaban Anda?”
RESO: “Aku mulai tertarik pada pembicaraan Anda”.
GUNDU: “Sudah saya duga”.
RESO: “Tetapi, aku memerlukan waktu untuk menghadapi para
panji yang sekarang dengan ketat diawasi”.
GUNDU: “Kalau begitu kami akan berangkat lebih dulu malam
ini”.
RESO: “Beri aku waktu satu hari. Tunggu aku di mata air di hutan
Roban. --- Mudah-mudahan aku bisa menginsyafkan para panji
Rendra: Panembahan Reso 51

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

bahwa pangeran Gada dan Pangeran Dodot betul-betul di pihak


kita”.
GUNDU: “Tidak akan sulit. (mengeluarkan sebuah surat) Ini ada
surat untuk para panji dari Pangeran Gada. Di sini disebutkan
bahwa kami berempat sudah bertekad untuk berontak bersama
Panji Tumbal, dan minta dukungan mereka untuk merajakan
Pangeran Gada”. (menyerahkan surat)
RESO: “Tidak aku sangka akan segampang ini”.
GUNDU: “Mudah-mudahan memang lancar. --- Jadi, bagaimana
siasatnya agar para panji bisa merat dari ibu kota, saya serahkan
kepada Anda”.
RESO: “Beres. Itu memang urusanku. --- yang pasti aku akan
menyusul Anda”.
GUNDU: “Kami tunggu di mata air hutan Roban”.
RESO: “Baik. --- Sekarang aku pergi”.
GUNDU: “Hati-hati!”
RESO: “Tentu saja”.

***

15. RUBAH DAN PANGERAN


Rendra: Panembahan Reso 52

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Di rumah Pangeran Rebo, Panji Reso diantar duduk oleh


Pangeran Rebo.
RESO: “Maafkan. Saya terlalu mendesak untuk ketemu Anda”.
REBO: “Anda memang terlalu mendesak. Kita sedang diawasi.
Kita harus berhati-hati. Saya yakin pasti ada sesuatu yang gawat,
yang perlu Anda sampaikan kepada saya dengan segera”.
RESO: “Memang”.
REBO: “Apakah itu?”
RESO: “Saya diperintahkan oleh Sri Baginda untuk mengawasi
dan menyelidiki Anda”.
REBO: “Apa?”
RESO: “Ya! Begitulah!”
REBO: “Apa yang telah saya lakukan?”
RESO: “Menurut hemat saya tidak ada yang berarti”.
REBO: “Lalu, apa yang dikehendaki Sri Baginda?”
RESO: “Banyak tindakan Sri Baginda yang tidak masuk akal. Ini
menggelisahkan rakyat, membuat ketegangan di masyarakat, dan
sangat membahayakan negara. --- Tetapi, Anda tidak perlu
khawatir. Saya berada di pihak Anda”.
REBO: “Kenapa?”
RESO: “Karena saya menyukai pikiran yang benar. Saya setuju
dengan pendapat Anda bahwa pemberontakan Panji Tumbal
sebenarnya bisa dihindarkan”.
Rendra: Panembahan Reso 53

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Laporan dari Panji Tumbal, Panji Simo, dan Panji Ombo
sudah bertubi-tubi dipersembahkan kepada Sri Baginda. Semua
menyangkut saran mengenai kebijaksanaan yang seyogyanya
diterapkan di Kadipaten untuk memperbaiki keadaan”.
RESO: “Dan, saran-saran itu semuanya masuk di akal. Bagus
untuk kesehatan negara”.
REBO: “Tetapi, Sri Baginda hanya menyukai orang seperti
Pangeran Bindi. Suka olahraga dan selalu meng-iya-kan kata-kata
raja. --- Banyak orang mengira dialah calon raja untuk putra
mahkota”.
REBO: “Tetapi, ia bukan putra tertua”.
RESO: “Namun, dari istri yang pertama”.
REBO: “Menurut ibundaku, Baginda sudah mengumumkan ke
seluruh negara bahwa di antara para istri tak ada yang mempunyai
kedudukan pertama”.
RESO: “Itu betul. Antara lain sayalah saksinya. --- pangeran Rebo,
Anda merasa lebih berhak menjadi putra mahkota, bukan?”
REBO: “Ini bukan masalah keinginanku. Tetapi, dalam urusan
negara, segala sesuatu harus ada dasar dan alasannya”.
RESO: “Begitulah juga dasar pemikiran para Panji dan Adipati. --
- kami lebih menyukai Anda sebagai putra mahkota”.
REBO: “Kita harus hati-hati berpendapat dalam hal ini. Jangan
sampai terdengar raja dan beliau salah tangan”.
Rendra: Panembahan Reso 54

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Anda sudah berhati-hati, tetapi toh tetap beliau curigai. --


- Bahkan, Sri Baginda juga menaruh curiga kepada Ratu Dara”.
REBO: “Lalu apa yang harus kami lakukan?”
RESO: “Anda sudah betul, berhati-hati. Tetapi, dengan sikap yang
wajar dan hati yang tenang. Namun, bagaimanapun kita tidak
boleh menyerah kepada keadaan, kita harus tetap berusaha. ---
Demi negara! Sebab kalau tidak, negara akan jatuh ke tangan
pemuda ingusan yang otaknya tumpul, yang bisanya cuma perang
dan olah raga”.
REBO: “Panji Reso, percayalah! Maksud baik saya banyak, tetapi
keadaan saya terjepit, dan jiwa saya putus asa”.
RESO: “Pangeran! Kuasai diri! Anda dituntut oleh kewajiban. ---
sekarang saya mohon pertolongan. Pertemukan saya dengan Ratu
Dara besok pagi, ketika matahari terbit, di sini. Pesankan pada
beliau ini penting dan tidak bisa ditunda. --- Jangan lupa!
Ceritakan kepada beliau semua isi pembicaraan kita”.
REBO: “Baik. Malam ini saya akan ke ibu”.
RESO: “Siapa tahu pertemuan saya dan Ratu Dara besok pagi bisa
mengubah nasib kita dan nasib negara”.
REBO: “Akan saya sampaikan hal itu juga”.
RESO: “Terima kasih. Sekarang saya mohon diri”.
REBO: “Salam”.
Rendra: Panembahan Reso 55

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

16. KONON SITI ASASIN


Di rumah Panji Sekti. Seorang abdi membawa Siti Asasin
menghadap Panji Sekti.

ABDI: “Hamba kembali, Raden”!


SEKTI: “Sudah kamu jumpai Siti Asasin?”
ABDI: “Tugas sudah saya selesaikan. Hadiah dari Raden sudah
saya sampaikan. Bahkan, sekarang orangnya ikut bersama saya”.
SEKTI: “Siapa?”
ABDI: “Siti Asasin, pembunuh bayaran itu, raden. Ia menunggu di
Pringgitan”.
SEKTI: “Sekarang kamu pergi, dan suruh ia masuk kemari”.
ABDI: “Baik, Raden”.

Abdi pergi. Panji Sekti membenahi dandanannya. Siti Asasin


masuk.
ASASIN: “Hormat saya, Raden”.
SEKTI: “Siti Asasin, kamu bikin saya kaget”.
ASASIN: “Bukankah Raden memanggil saya?”
SEKTI: “Betul! Betul! --- Tetapi, tidak saya duga secepat ini
kamu datang. Wah, saya telah merepotkan kamu”.
Rendra: Panembahan Reso 56

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ASASIN: “Tidak, Raden. Segala keperluan Raden mempunyai


kedudukan yang utama di dalam hidup saya”.
SEKTI: “Terima kasih. Tidak saya duga, seorang pembunuh
bayaran mempunyai kesetiaan yang besar terhadap diri saya. ---
Saya sangat menghargai persahabatan ini. Dan, juga, saya tidak
akan melupakan jasamu yang besar di masa lampau”.
ASASIN: “Jasa yang dibayar namanya bukan jasa, Raden”.
SEKTI: “Sudah lama kita tidak berjumpa”.
ASASIN: “Saya selalu ingat Raden. Tetapi, kalau tidak karena
keperluan barangkali Raden sudah melupakan saya”.
SEKTI: “Tidak, betul! Tidak, betul!! Soalnya kita sama-sama
repot”.
ASASIN: “Abdi Raden menyampaikan hadiah dari Raden. Saya
sangat berterima kasih. --- Seratus tail emas. Itu jumlah yang besar,
Raden. Siapa yang harus saya selesaikan?”
SEKTI: “O, belum segawat itu! --- Begini, sekarang ini saya
sedang sibuk melakukan tugas yang gawat dan rahasia. Sewaktu-
waktu saya akan memerlukan bantuanmu. --- Malam ini, kamu
saya minta menyelinap ke beberapa pesanggrahan para panji yang
dengan ketat diawasi untuk menyampaikan surat berisi pesan dari
saya”.
ASASIN: “Itu bukan soal, Raden”.
Rendra: Panembahan Reso 57

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Tugasmu yang sekarang, menjadi penghubung dan


mata-mata. Tetapi, kemudian hari nanti, mungkin, seperti biasanya,
saya akan mendapat tugas untuk melenyapkan orang. Dalam hal
ini jelas saya memerlukan bantuanmu”.
ASASIN: “Jangan sungkan. Itu memang pekerjaan saya”.
SEKTI: “Terima kasih. --- Karena sifat tugasku yang gawat ini,
saya minta untuk jangka waktu sampai tugasku selesai, jangan
kamu punya urusan lain dulu”.
ASASIN: “Baik, Raden! Seperti dulu?”
SEKTI: “Ya, seperti dulu”. (memegang tangan Asasin)
ASASIN: “Saya belum mandi, Raden”.
SEKTI: “O, ya?”

***

17. SUASANA RUMAH TANGGA


Rumah Panji Reso di waktu malam. Nyi Reso sedang membuat
‘wiron’ dua atau tiga kain. Panji Reso pulang.
RESO: “Belum tidur, Nyi Mas? Hari sudah lewat tengah malam”.
NYI RESO: “Ada kain yang harus saya wiru. Apakah makan
malam saya hidangkan sekarang, ataukah Kakanda mau mandi
dulu?”
RESO: “Aku sudah makan dan mandi di istana”.
Rendra: Panembahan Reso 58

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: “Jadi, sudah ada yang mengurus Kakanda”.


RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Cantikkah ia?”
RESO: “Dua lelaki tua, si Kuncung dan si Bagong, pelayan di
Bangsal Kepanjen”.
NYI RESO: “Lalu pijat di mana?”
RESO: “Tidak pijat”.
NYI RESO: “Kadang-kadang saya tergoda untuk pergi jauh-jauh ke
luar dari rumah. Berjalan ke mana saja hati saya mau. Tak perlu ada
tujuan yang nyata. Masuk hutan, keluar hutan. Masuk pasar, keluar
pasar”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Apakah Kakanda menganggap wajar semua
pertanyaan dan omongan saya?”
RESO: “Memang, agak kacau isi pikiran kalimat-kalimatmu”.
NYI RESO: “Apakah Kakanda tidak akan bertanya apakah saya
lagi cemburu?”
RESO: “Hm. Apakah kamu lagi cemburu”.
NYI RESO: “Duh Gusti, begitu tidak acuhnya Kakanda bertanya.
Saya kira Kakanda tidak peduli, apakah saya dalam keadaan
cemburu atau tidak. Kakanda laju saja terus dengan urusan
Kakanda! Apakah ucapan saya ini akan Kakanda tanggapi lagi
dengan ‘hm’?”
Rendra: Panembahan Reso 59

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Barangkali kamu lagi mules. Salah makan, barangkali?”


NYI RESO: “Bagaimana bisa salah makan, kalau seharian saya
tidak bisa makan?”
RESO: “Kalau begitu, itu hawa orang lapar”.
NYI RESO: “Duh Gusti! Saya kacau, saya putus asa, saya
bertingkah jelek karena saya butuh perhatian”.
RESO: “Hm. --- Nyi Mas! Kemari kamu!”
NYI RESO: “Saya ingin dekat dengan Kakanda”. (mendekat ke
suaminya)
RESO: “Bagus! Itupun menyenangkan hatiku”. (memijat dan
mengurut pundak istrinya) “Tenang, Nyi Mas. Pejamkan matamu.
--- Apakah kepalamu pening”?
NYI RESO: “Berat dan pening”.
RESO: “Lehermu kaku. Sabarlah. Jangan terlalu banyak pikiran”.
NYI RESO: “Hari-hari ini hati saya selalu khawatir”.
RESO: “Khawatir apa?”
NYI RESO: “Khawatir hubungan kita putus”.
RESO: “Kok aneh!”
NYI RESO: “Kakanda rasanya semakin jauh”.
RESO: “Omong kosong. Tidak ada perempuan lain. Dan, aku juga
sering rindu kamu”.
Rendra: Panembahan Reso 60

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: “Saya sangat cemburu kepada cita-cita yang


menguasai Kakanda. Ia membuat Kakanda semakin jauh dari
saya”.
RESO: “Tanpa cita-cita, hidup manusia tidak akan maju. Nyi Mas,
aku tidak suka kehidupan yang datar. Tanpa cita-cita hidupku akan
kering dan mati. Lalu, kamu nanti akan bersuamikan mayat hidup.
Bayangkan! Pikirkan!”
NYI RESO: “Semakin saya bayangkan semakin tidak saya lihat
jalan ke luar untuk diri saya. Saya tidak tahan hidup seperti ini!”
(Panji Reso berhenti memijat) “Istri petani hidupnya punya
sangkutan dengan sawah. Istri pandai besi punya kaitan dengan
tungku dan landasan. --- Tetapi, saya tidak bisa membantu
Kakanda apa-apa. Saya hanya akan menjadi beban yang
merepotkan. Hidup saya di sini tidak punya makna”. (menangis)
RESO: “Nyi Mas”.
NYI RESO: “Saya tidak mau hidup sebagai pajangan. Saya tidak
mau sekadar menjadi embel-embel. Kakanda sendiri tidak mau
hidup hanya sekadar menjadi pajangan keraton. Kakanda berhak
dan bisa punya cita-cita, tetapi saya? Kemampuan saya terbatas.
Saya tidak bisa bertani, saya tidak bisa menjadi tukang patri. --- O,
jiwa saya hampa. Hidup saya tidak berguna.
RESO: “Nyi Mas”.
Rendra: Panembahan Reso 61

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: (reda menangis. Menyusut air mata) “Kakanda,


antarkan saya kembali ke orang tua saya. Saya ingin segera pergi
dari sini.”
RESO: “Apa maksudmu?”
NYI RESO: “Di sini, pikiran saya kacau. Biarkan saya pulang ke
orang tua dulu untuk sementara lamanya. Setelah pikiran saya
tenang, saya akan kembali lagi kemari”.
RESO: “Hm. Baiklah. Besok biar kamu diantar pulang ke
orangtuamu. --- Semoga kamu mendapatkan kedamaian di sana.
Sebenarnya, di mana pun kamu tidak akan mendapatkan
kedamaian sebelum kamu berdamai dengan dirimu sendiri. Tetapi,
barangkali, perpisahan badan yang sebenarnya antara kita akan
membuat kamu lebih bisa punya bahan pertimbangan dan
perbandingan”.
NYI RESO: (menghambur, memeluk suaminya) “Kakanda,
suamiku, saya tidak akan mungkin meninggalkan Kakanda untuk
selama-lamanya. Saya sangat mencintai Kakanda. Tidak mungkin
saya membayangkan untuk berpisah dengan Kakanda. Bahkan,
saya selalu takut Kakanda akan meninggalkan saya. --- Oh! Saya
tidak jadi pulang ke orang tua. Lebih baik saya menanggulangi
masalah batin saya di sini”.
RESO: “Nyi Mas?”
Rendra: Panembahan Reso 62

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: “Saya akan puasa dan semadi sambil senantiasa


mendampingi hidup Kakanda”.
RESO: “Akan banyak gunanya kalau rajin masuk ke alam
semadi”.
NYI RESO: “Saya akan mencoba apa saja asal tidak kehilangan
Kakanda”.
RESO: “Nyi Mas, aku ingin begitu-begitu”.
NYI RESO: (melepaskan diri) “Saya capek, Kanda. Saya tidak
makan seharian. Kepala saya terasa berat. Saya tidak akan kuat”.
RESO: “Hm. Kamu lihat, ini tidak untuk pertama kali terjadi.
Sangat sering aku harus berdamai dengan berahiku karena kamu
menolak ajakanku. Jadi, sebenarnya sudah terbukti bahwa saya
tidak menjauh dari kamu, tetapi kamu yang menjauh dari aku”.
NYI RESO: “Kakanda hanya mendekat karena kebutuhan berahi
semata”.
RESO: “Tidak betul! Saya ingin berbagi pikiran dan berbicara
tentang cita-cita dengan kamu. Tetapi, selalu berakhir dengan
pertengkaran melulu! --- Dan, bila terjadi kamu berkenan
melayani aku, kamu bersikap dingin seperti batang pisang. ---
kamu lihat, aku pun punya tekanan batin, tetapi aku mampu
berdamai dengan diriku”.
NYI RESO: “Cobalah berpikir adil. Bagaimana saya harus
bersikap hangat kalau saya merasa seperti tidur dengan orang
Rendra: Panembahan Reso 63

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

asing? Tidak sadarkah bahwa sudah lama Kakanda menjadi orang


asing bagi saya?! Cita-cita Kakanda dari yang dulu-dulu membuat
Kakanda menjadi orang lain. Saya tidak lagi mengenal bahasa dan
peribahasa Kakanda. Asing! Asing! --- Apalagi cita-cita Kakanda
yang terakhir ini! Oh, itu membuat saya membayangkan telaga
darah”.
RESO: “Telaga darah?”
NYI RESO: “Ya, telaga darah! Dan, tahta yang Kakanda cita-
citakan adalah tahta yang mengambang di telaga darah”.
RESO: “Nyi Mas! --- Kamu ngelindur atau mimpi?!”
NYI RESO: “Oh, saya mempunyai firasat buruk! Kakanda,
jadilah panji biasa saja. Jangan bercita-cita tentang tahta. Apa
gunanya tahta yang terapung di telaga berdarah?”
RESO: “Kenapa kita harus takut pada hantu pikiran? Jangan
kekacauan pikiranmu kambuh lagi! Sejak lahir manusia penuh
dengan ujian. Siapa yang tidak tahan uji akan menjadi kerdil,
pikirannya cuma bisa berkhayal, hatinya penuh iri dan dengki.
Tegak, Nyi Mas, tegak! Manusia harus sanggup menentang hantu,
jin, dan siluman di dalam pikirannya. Setiap hantu toh diimbangi
oleh teratai dan bidadari”.
NYI RESO: “Apa maksud Kakanda? Bukankah pesona teratai dan
bidadari itu bisa juga jelmaan mambang dan peri? Artinya,
siluman juga?”
Rendra: Panembahan Reso 64

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Baik! Pesona rembulan, pesona senjakala, pesona


mambang, dan siluman harus kita lawan juga! Itu aku setuju!
Tetapi, jangan kita kehilangan tekad dan keberanian. Aku bukan
batu yang hadir di dunia untuk menerima apa adanya. Aku suka
berjuang. Cita-cita itu untuk diperjuangkan tidak hanya sekadar
dikhayalkan”.
NYI RESO: (memegang kepala) “Kakanda, manusia itu penuh
dengan nafsu”.
RESO: “Benar, Nyi Mas. Aku akan waspada”.
NYI RESO: “Aduh, kepalaku! Percakapan ini terlalu berat buat
saya”.
RESO: “Pergilah tidur”.
NYI RESO: “Saya ingin berada di dekat Kakanda”.
RESO: “Kemari! Rebahkan kepalamu ke pangkuanku”.
NYI RESO: (sambil merebahkan kepala ke pangkuan Panji Reso)
“Gusti, apakah saya pengecut, bodoh, atau sekadar sial nasib
saya?!”
RESO: “Rasa khawatir dan gamang adalah racun yang berbahaya
bagi hidup manusia. Barangkali tidak mematikan, tetapi
melumpuhkan. --- Pejamkan matamu, Nyi Mas. Apa yang telah
terjadi sepanjang hari ini justru kebalikan dari kekhawatiranmu,
semuanya serba lancar. Namun, jangan kamu ragukan
kewaspadaanku. --- Nyi Mas! Cita-citaku bukan sekadar untuk diri
Rendra: Panembahan Reso 65

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

sendiri. Negara sedang merosot pamornya. Hanya para panji dan


adipati yang masih sadar harus memberi kehidupan kepada rakyat.
Kami berani hidup prihatin dan sederhana. Kami ingin jujur di
dalam mengurusi perbendaharaan negara! Itulah, Nyi Mas, latar
belakang cita-citaku. --- Pahamkah kamu? --- Nyi Mas! --- Kamu
tidur? Bagus. Tidurlah kamu istriku. Tidur ialah saat libur yang
kita perlukan”.

Kang para hapsari sapta


Samya hyu kang warna
Wimbuh mandra kongas
Gandes luwes raras
Prasaja semunira
Sreseh karya brangta
Tan hana kang winaonan ….

***

18. RUBAH DAN MUSANG SALING BERPANDANGAN


Di rumah Pangeran Rebo. Saat matahari terbit. Ratu Dara dan
Pangeran Rebo bertemu dan berhadapan dengan Panji Reso. Ratu
Dara dan Panji Reso saling berhadapan dan bertatapan pandang
untuk seketika lamanya. Saling terpesona tanpa mengucapkan
Rendra: Panembahan Reso 66

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

kata-kata. Lalu, dengan penuh suasana kikuk pecahlah suasana


tanpa kata-kata itu.

RATU DARA: “Selamat pagi, Panji”.


RESO: “Selamat pagi, Sri Ratu”.
REBO: “Selamat pagi, Panji”.
RESO: “Selamat pagi, Pangeran”. (seperti tertarik magnet, Reso
mendekati Ratu Dara)
RATU DARA: “Apakah saya terlambat?
RESO: “Tidak. Tepat pada waktunya. Terima kasih atas kebaikan
hati Ratu untuk keluar dari Kaputren datang menemui saya”.
RATU DARA: “Kata Pangeran Rebo ada persoalan mengenai
tahta”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Saya melawan pencalonan Pangeran Bindi
menjadi putra mahkota kalau hal itu terjadi”.
RESO: “Belum tentu terjadi, tetapi bisa terjadi. Pangeran Bindi
memang ingin menjadi raja”.
RATU DARA: “Kenapa para panji lebih menyukai Pangeran
Rebo untuk naik tahta?”
RESO: “Meskipun Pangeran Rebo kelihatan ragu dan kurang
mencerminkan tekad yang kuat. Tetapi, beliau tidak
Rendra: Panembahan Reso 67

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

membayangkan bahaya bagi rakyat dan negara. Dan lagi, di


belakang beliau ada Anda dan para panji”.
RATU DARA: “Kenapa para panji tidak bergabung saja dengan
Panji Tumbal?”
RESO: “Semula memang begitu niat mereka. Tetapi, Anda
mencegah. Dan, juga, saya ikut mencegah mereka. Saya tidak
setuju dengan pemberontakan dari daerah. Itu memecah-belah
keutuhan negara”.
RATU DARA: “Jadi, lebih tepat pemberontakan dari istana”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Setelah lebih dulu menyiapkan kekuatan dan
memastikan dengan cermat adanya jalan menuju tahta”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Kita berdua ada miripnya”.
RESO: “Itulah firasat yang saya dapatkan sejak tadi pertama kita
berjumpa”.
RATU DARA: “Ini bukan pertama kalinya kita berjumpa”.
RESO: “Tetapi, tadi serasa untuk pertama kali”.
RATU DARA: “Aneh”.
RESO: “Mungkin juga, saya dipengaruhi mimpi”.
RATU DARA: “Mimpi?”
RESO: “Saya kemarin mimpi melihat Anda menjadi kembar
lima”.
Rendra: Panembahan Reso 68

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Terus?”


RESO: “Anda mandi di telaga”.
RATU DARA: “Anda melihat saya mandi?”
RESO: “Cuma dalam mimpi. --- Mimpi itu kiriman alam. Tak ada
manusia yang bisa merancang mimpinya”.
RATU DARA: “Saya tidak merasa mendapat firasat buruk. ---
Saya merasa baru mereguk arak yang lembut dan berbau bunga
tanjung. --- Roh dan badan saya bersih dan segar. Saya merasa
aman. Terbebas dari segala beban”.
RESO: “Saya akan selalu melindungi Sri Ratu. Rakyat dan para
panji menaruh hormat kepada Ratu Dara yang terkenal berani
bebas bicara kepada raja”.
RATU DARA: “Para panji tidak dendam kepada saya karena
tertahan di ibu kota?”
RESO: “Hal itu remeh bagi mereka dibanding dengan pentingnya
urusan negara”.
RATU DARA: “Kalau begitu kita harus sungguh-sungguh
bekerja”.
RESO: “Ada surat yang penting untuk Anda baca”. (menyerahkan
surat)
RATU DARA:
(membaca surat. Pelan-pelan berubah wajahnya. Pangeran Rebo
ikut membaca) “Dari mana Anda dapatkan surat ini?”
Rendra: Panembahan Reso 69

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Dari Aryo Gundu. Ia mengajak saya untuk ikut berontak”.


RATU DARA: “Ini senjata yang ampuh untuk menghabiskan
saingan kita”.
RESO: “Anda bawa surat itu kepada raja pagi ini juga. Anda
katakan bahwa Anda mendapat surat ini dari Panji Simo dan Panji
Ombo lewat dayang atau inang. Mereka takut menyerahkannya
kepada saya karena kurang percaya. Dan, juga, mereka ingin
membuktikan kepada Anda bagaimana salah dugaan Anda kepada
mereka. Dengan begitu kecurigaan Baginda kepada para panji bisa
dihapuskan dan memperkuat pengaruh Anda kepada raja”.
REBO: “Tetapi, ibu harus tetap waspada”.
RATU DARA: “Tugasmu, diam! Ini semua urusanku. Semakin
kuasa dan besar pengaruhku kepada raja, semakin gampang aku
mendudukkan kamu di atas tahta”.
RESO: “Saya telah memasang jebak untuk empat sekawan itu.
Saya pura-pura bersedia menyusul dan meminta mereka untuk
menunggu saya di mata air hutan Roban”.
RATU DARA: “Di sana mereka akan gampang disergap oleh raja.
RESO: “Mohon kepada raja kalau bisa, agar Panji Ombo dan
Panji Simo yang dititahkan untuk menyergap dan memenggal
kepala empat sekawan itu. --- Itu berarti memulihkan kedudukan
karena kesetiaan telah dibuktikan”.
Rendra: Panembahan Reso 70

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Inilah yang sudah lama saya tunggu. Rencana


yang jelas dan berani seperti itu”.
RESO: “Bila kepala mereka telah terpenggal, tinggal kita
menghadapi Pangeran Bindi, Pangeran Kembar, dan para
senapati”.
RATU DARA: “Panji, Anda membawa gairah dan harapan saya”.
RESO: “Gairah dan harapan Anda akan saya jaga sebagai mustika
yang berharga. --- Sebagai prajurit kerajaan saya bersedia diuji dan
dicoba”.
RATU DARA: “Nama tenar Anda sebagai perwira ternyata ada
lagi buktinya”.
RESO: “Itu tergantung dari segi mana orang memandang. ---
Tetapi, sekarang kita bekerja. Saya pergi dari sini dan Anda harus
segera ke istana”.
RATU DARA: “Kita akan segera bertemu lagi”.
RESO: “Kapan saja, bila ada pesan dari Anda. --- Salam,
Pangeran”.
REBO: “Salam”.
RESO: “Salam, Sri Ratu”.
RATU DARA: “Salam! --- Nanti malam aku kirimkan pesan”.

(Keduanya bertatapan sejenak, lalu Panji Reso pergi)


Rendra: Panembahan Reso 71

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Sikap ibu agak ganjil kepadanya”.


RATU DARA: “Orang ganjil selalu melihat semuanya serba
ganjil. --- Lebih berguna kamu perhatikan dirimu. Bila kamu gagal
menjadi raja, siapa pun yang menjadi raja akan memenggal kepala
kita. Itulah kenyataan kekuasaan. Bagi kamu hal itu menakutkan.
Tetapi, bagiku justru menggugah gairahku”.

***

19. PARA PANJI BERKUMPUL LAGI


Pagi hari itu juga. Di rumah Panji Sekti. --- Panji Reso, dan
semua panji.
SEKTI: “Nah, semua sudah berada di sini. Tugas sudah saya
laksanakan”.
SIMO: “Perkembangan begitu cepat. Ini semua di luar dugaan”.
OMBO: “Gusti Yang Murbeng Jagat ternyata memberkati
perjuangan yang benar”.
SEKTI: “Dan, juga berkat usaha ahli dari Panji Reso”.
BONDO: “Hal itu harus diakui”.
WONGSO: “Kita sudah memilih pimpinan yang benar”.
RESO: “Hal itu jangan dilebih-lebihkan. Kesediaan Anda semua
untuk mematuhi semua rencana dengan setia merupakan
sumbangan yang lebih menentukan. --- Tetapi, kita bukan orang
Rendra: Panembahan Reso 72

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

lemah yang suka saling memuji. Yang memuaskan kita adalah


melihat terlaksananya cita-cita menjadi kenyataan. Sekarang, hal
itu belum tercapai. Kita masih berada di ambang permulaan”.
SIMO: “Panji Reso, apakah Anda ingin menjadi raja?”

(Semua terkesima oleh pertanyaan yang serta-merta itu)


RESO: “Kenapa bertanya begitu?”
SIMO: “Tidak ada salahnya bila Anda, saya dan semuanya
bersikap waspada. Sebentar akan terjadi kekacauan kekuasaan.
Tahta akan menjadi godaan bagi siapa saja. Mulai sekarang harus
kita tentukan bagaimana sikap kita di dalam kekacauan kekuasaan
semacam itu. Siapa calon raja kita. --- Maaf. Saya tahu pertanyaan
saya tadi membuat Anda kaget, Panji Reso. Bahkan, mungkin juga,
menyinggung perasaan Anda. Tetapi, ungkapan maksud yang jelas
adalah gaya bicara Anda juga. Lebih baik pahit kedengarannya,
tetapi baik maksudnya”.
RESO: “Lebih baik pahit kedengarannya, tetapi baik maksudnya!
Aku bertanya, apakah Anda ingin menggantikan aku untuk
memimpin Gerakan Para Panji?”
SIMO: “Sama sekali tidak. Saya hanya bermaksud mengingatkan
kepada kita semua sampai di mana batas cita-cita kita. Kita akan
memperbaiki keadaan negara dan mengganti raja. Tetapi, kita
harus menyadari bahwa kita bukan pangeran, dan mulai dari
Rendra: Panembahan Reso 73

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

sekarang kita harus menentukan pangeran yang mana yang akan


kita angkat menjadi raja. --- Pangeran menjadi raja itulah dasar
pikiran yang bisa diterima oleh semua orang”.
SEKTI: “Tentu saja. Apa di antara kita yang punya pikiran
berbeda?”
SIMO: “Saya bertanya, kenapa Panji Reso menentang pangeran
Gada untuk menjadi raja dan menolak ajakannya bergabung
dengan Panji Tumbal? Siapakah calon raja yang ia bayangkan?
Bukankah Pangeran Gada punya perhatian besar terhadap urusan
kadipaten?”
RESO: “Itu rupanya inti uneg-uneg Anda. --- Calon raja yang
saya bayangkan tentu saja seorang pangeran. Tetapi, bukan
Pangeran Gada karena ia bukan pangeran pertama dan juga bukan
putra tertua dari istri tertua. Yang punya perhatian pada urusan
kadipaten tidak hanya ia seorang. Pangeran Rebo juga punya
perhatian yang sama. Kenapa kita menolak untuk terlibat dengan
Panji Tumbal yang sudah kita bicarakan kemarin dulu”.
SEKTI: “Pangeran Gada ingin memperalat Panji Tumbal untuk
kepentingan hasrat pribadinya. Padahal, hasrat pribadi itu tak
punya dasar. Jelas sekarang. Jadi, jangan sampai ada salah pikiran
bahwa Panji Reso lupa daratan. Sudah sekian banyak jasanya
kepada negara, tetapi hidupnya tetap sederhana. Apakah kita ini?
Kenapa berani menyangsikan mutu pikiran seorang pahlawan?”
Rendra: Panembahan Reso 74

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Cukup! Luapan perasaan akan menjadi kabut bagi pikiran.


Aku setuju dengan langkah waspada Panji Simo. Dan, tidak aku
dengar kalimat dari siapa juga yang menyangsikan
kepemimpinanku”.
SIMO: “Tidak”.
SEMUA: “Tidak”.
RESO: “Baik. Aku akan tetap memimpin Gerakan Para Panji ini. -
-- Jangan aku disiram dengan puji-pujian lagi. Tetapi, beri aku
keterlibatan kerja. --- Dan, sekarang kita akan menetapkan
pangeran yang mana yang akan kita calonkan menjadi raja. Ada
dua calon yang punya dasar untuk bisa diterima oleh rakyat.
Pertama Pangeran Rebo, ke dua Pangeran Bindi. Sekarang mari
kita bicara”.
SIMO: “Panji Tumbal pernah mengusulkan kepada saya untuk
merajakan Pangeran Rebo”.
WONGSO: “Tetapi, para senapati lebih dekat kepada Pangeran
Bindi”.
OMBO: “Itu karena mereka sama-sama kotor di dalam hal
keuangan”.
BONDO: “Hanya saja sifat Pangeran Rebo yang tidak gagah
harus kita pertimbangkan”.
Rendra: Panembahan Reso 75

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SIMO: “Benar. Tetapi, beliau mempunyai ibu yang gagah dan


tajam pikirannya. Ratu Dara dengan sendirinya akan menjadi
pendamping yang memberi kekuatan dan kewibawaan”.
BONDO: “Ratu Dara memang mengagumkan. Sebetulnya, sampai
sekarang ia juga yang menjadi sumber kekuatan Raja Tua. Tanpa
Ratu Dara, Sri Baginda hanya akan menjadi berhala yang lucu”.
WONGSO: “Dan, jangan lupa! Pangeran Rebo belum terlambat
untuk dibina”.
SIMO: “Sebagai Panji Istana, Panji Reso, dan Panji Sekti bisa
langsung membinanya”.
RESO: “Gagasan yang bagus. Pangeran Rebo memang
mempunyai dasar untuk naik tahta. Sri Baginda pernah
mengumumkan bahwa permaisurinya tidak ada. Dan,
kenyataannya sekarang, Pangeran Rebo putra pertama, tangannya
bersih dari kekotoran keuangan, jiwanya penuh kewaspadaan. Aku
kira rakyat akan bisa menerima hal ini”.

Semua mengeluarkan suara setuju.


RESO: “Kalau begitu, Pangeran Rebo calon yang akan kita
rajakan. --- Tepat seperti dugaanku. --- Adapun, perkara Pangeran
Bindi dan para senapati serahkan kepadaku untuk menyingkirkan
mereka. Beri aku waktu dan tetaplah patuh pada rencana dan aba-
aba. --- sekarang ini sebagaimana sudah dilaporkan oleh Panji
Rendra: Panembahan Reso 76

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Sekti, jalan terbuka untuk menyingkirkan dua pangeran tandingan


dan dua senapati yang harus diperhitungkan. --- Panji Simo dan
Panji Ombo, Anda sudah paham peran apa yang harus Anda
mainkan di depan raja?”
SIMO: “Sudah”.
OMBO: “Jangan khawatir. Saya akan berperan sebaik-baiknya”.
RESO: “Kalau begitu kita akan menunggu di sini sesuai dengan
rencana”.
SIMO: “Sungguh sayang Panji Tumbal tidak bersama kita”.
RESO: “Kalau ia sanggup bertahan sampai kita punya raja baru,
dan ia mau menerima raja baru kita, akan tertolong nasibnya”.
SEKTI: “Panji Reso, ada sesuatu yang akan saya utarakan.
Bisakah Anda nanti sore mampir lagi kemari?”
RESO: “Tentu saja”.

Masuk Abdi dengan tergesa.


ABDI: (Di depan Panji Sekti) “Maaf, Raden, di luar ada Aryo
Bungsu, Senapati Istana, ingin bertemu dengan Anda”.
RESO: “Tepat pada waktunya. Sebagaimana telah aku duga. ---
Biarkan ia kemari”.
SEKTI: “Bawa ia kemari”.
ABDI: “Baik, Raden”. (pergi)
Rendra: Panembahan Reso 77

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Saya yakin kita bersama lebih kuat dari mereka. Sebagai
prajurit kita lebih utuh, tanpa noda, dan rakyat lebih suka kepada
kita”.

Aryo Bungsu masuk.


BUNGSU: “Salam!”
SEMUA: “Salam!”
BUNGSU: “Lihatlah, semua panji berada di sini”.
RESO: “Aku yang mengumpulkan mereka”.
“Rupanya mereka menyimpan rahasia yang baru sekarang aku
ketahui”.
BUNGSU: “Tentang pengkhianatan Pangeran Gada, Pangeran
Dodot, dan dua orang senapati?”
RESO: “Ya! Dan, dua orang senapati!”
BUNGSU: “Saya membawa perintah dari raja. Para Panji
dititahkan menghadap ke istana”.
RESO: “Kapan?”
BUNGSU: “Sekarang. Bersama saya!”
RESO: “Teman-teman, kita berangkat bersama”.

***

20. BERHALA YANG MURKA


Rendra: Panembahan Reso 78

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Di Balai Penghadapan. Para panji dan Aryo Bungsu sudah siap di


situ. Raja Tua masuk diiringi Ratu Dara dan Pangeran Rebo.
RAJA TUA:
(mengacung-acungkan surat) “Khianat! Aku, raja, yang sudah
membebaskan negeri ini dari anjing-anjing Portugis, sekarang
harus menghadapi anak-anakku sendiri yang tidak tahu membalas
budi! --- Para panji, aku tidak akan melupakan bukti kesetiaan
kamu semua. Kesetiaan akan selalu aku beri ganjaran. Dan,
kesetiaan akan selalu tampak meskipun tertimbun oleh batu ujian.
Sebaliknya, pengkhianatan akan selalu berbau juga pada akhirnya.
Sebab aku tidak bisa ditipu. Aku punya seribu mata dan seribu
telinga. Jadi, aku tahu banyak rahasia dan niat yang
disembunyikan. Dan, sekarang ini, aku tahu keempat pengkhianat
itu sedang di mana! Mereka sedang berkemah di mata air Hutan
Roban! --- Panji Simo dan Panji Ombo! Sebagai bukti bahwa aku
menghargai kesetiaanmu maka aku tugaskan kamu berdua untuk
membawa pasukan secukupnya dan mengepung para pengkhianat
di mata air itu”.
SIMO & OMBO: “Baik, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Percaya saja padaku. Mereka pasti di sana”.
SIMO: “Hamba patuh, Yang Mulia!”
OMBO: “Hamba juga”.
Rendra: Panembahan Reso 79

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Inilah satu kehormatan bagi kamu berdua. Karena


dengan begitu kedudukanmu aku pulihkan”.
SIMO: “Hamba bersyukur kepada Sri Baginda”.
OMBO: “Hamba juga”.
RAJA TUA: “Baik. Aku puas. Sekarang pergilah kamu berdua
saat ini juga. Penggallah kepala keempat pengkhianat itu dan
bawalah kemari. Aku akan memajang kepala-kepala itu di alun-
alun”.
SIMO: “Baik, Yang Mulia. Hamba mohon diri”.
OMBO: “Hamba juga!”
RAJA TUA: “Berangkatlah, aku berkati!”

Keduanya menyembah dan pergi.


RAJA TUA: “Bagus. Aku suka ini. Ternyata para panji masih
tertib dan rapi. Kamu semua aku bebaskan”.
“Panji Reso!”
RESO: “Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aturlah supaya para panji dan adipati kembali ke
Kadipaten mereka masing-masing”.
RESO: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
Rendra: Panembahan Reso 80

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Beri hadiah semua panji. Masing-masing dua ekor


kuda, emas 100 tail, satu ekor ayam jago aduan, dua ekor merak,
dan dua ekor perkutut yang sudah terlatih”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia”.

Semua Panji mengucapkan rasa terima kasih.


RAJA TUA: “Begitulah. Aku puas, kamu puas. Sekarang
mundurlah kamu semua ke Bangsal Kepanjen! Berpestalah di sana.
Akan aku kirimkan hidangan makanan, arak, dan perempuan”.

Semua Panji menyembah pamitan dan pergi. Yang tinggal Raja


Tua, Ratu Dara, Pangeran Rebo dan Aryo Bungsu.
RAJA TUA: “Bagaimana pendapatmu, Ratu Dara?
Kebijaksanaanku cukup baik, bukan?”
RATU DARA: “Hamba bangga akan tindakan Sri Baginda.
RAJA TUA: “Sayang Panji Reso dan Panji Sekti bukan keturunan
raja dan pangeran, aku tidak bisa mengganjar mereka dengan
mengangkat menjadi senapati. Bila aku punya senapati seperti
mereka aku akan merasa aman dengan tahtaku”.
RATU DARA: “Kenapa tidak? Sri Baginda adalah Raja Binatara.
Raja yang disembah bagaikan Dewa. Kenapa tidak mampu
mengangkat seorang biasa menjadi seorang Aryo? Firman Raja itu
sakti dan kuasa”.
Rendra: Panembahan Reso 81

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Kenapa tidak! --- Aryo Bungsu, umumkan nanti


dalam pesta di Bangsal Kepanjen bahwa berdasarkan kuasa firman
Raja, Panji Reso dan Panji Sekti telah aku angkat menjadi aryo.
Aryo Reso menjadi senapati ibu kota. Dan, Aryo Sekti
menggantikan Aryo Ronin menjadi Senapati Pasukan Berkuda”.
BUNGSU: “Akan hamba umumkan, Yang Mulia! Paduka mampu
berpikir cepat. Sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi bahwa
pasukan Aryo Gundu dan Aryo Ronin akan menyusul komandan
mereka. Sebab komandan mereka sudah diganti oleh aryo-aryo
yang baru”.
RAJA TUA: “Itulah siasat! Kamu lihat, pengalamanku yang
matang telah membuat aku dengan cepat bisa menguasai keadaan.
--- ini yang harus kamu contoh, Pangeran Rebo! Jangan kamu
meniru contoh yang sesat dan keliru. Jiwaku terpukul oleh
kelakuan Pangeran Gada dan Pangeran Dodot. Begitu tega kepada
ayahnya sendiri. Ini contoh buruk. Padahal abangnya, Pangeran
Bindi, ialah tokoh teladan. Tirulah dia! Silatnya bagus,
semangatnya besar, dan tidak mau diremehkan orang. Begitulah
sikap orang yang bisa memimpin. Ia mampu membuat aku
berbangga. --- contohlah ia baik-baik, anakku!”
REBO: “Hamba akan berusaha, Ayahanda”.
Rendra: Panembahan Reso 82

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Tetapi, ia pernah mengamuk di pasar dan juga


suka menodai istri orang! --- Apakah anakku harus juga
mencontoh hal itu?”
RAJA TUA: “Ah, itu hanyalah hiasan kekuasaan! Yang penting,
orang takut kepadanya. Musuh negara juga akan gentar
menghadapinya. --- Sekarang temani aku mengadu ayam”.

***

21. ARYO RESO DAN ARYO SEKTI


Sore hari di rumah Aryo Sekti --- Aryo Reso, Aryo Sekti.
RESO: “Tanpa diduga kita mendapatkan sesuatu yang baik yang
tidak kita rancangkan. Sedangkan, yang kita rancangkan berhasil
pula kita dapatkan”.
SEKTI: “Itulah namanya nasib baik”.
RESO: “Nasib itu naik turun seenak pantatnya. Tetapi, usaha
manusia membuahkan perkembangan. Terkadang, perkembangan
itu di luar dugaan. Jadi, kita tidak boleh berhenti memperjuangkan
cita-cita. Aku bukan orang yang gampang melepaskan cita-cita!
Aryo Sekti, halangan yang berada di depan kita masih cukup
besar”.
SEKTI: “Betul, tetapi toh apa yang kita dapatkan secara tak
terduga ini sangat menimbulkan harapan”.
Rendra: Panembahan Reso 83

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Hm”.
SEKTI: “Sebenarnya saya kaget”.
RESO: “Kaget lagi?”
SEKTI: “Karena saya diangkat menjadi Senapati Pasukan
Berkuda”.
RESO: “Syukuri kesempatan yang baik”.
SEKTI: “Tetapi, seumur hidup saya belum pernah naik kuda”.
RESO: “Hm. Tadi pagi Anda berkata, ada masalah yang akan
Anda utarakan”.
SEKTI: “Ya, ada! Selama saya menjalankan tugas yang Anda
berikan saya dibantu oleh seorang pembunuh bayaran”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Ia sangat ahli mengintai, menyelinap, mencuri, dan
membunuh. Tanpa meninggalkan jejak! Sudah sejak dulu ia
membantu saya. Dan, sekarang, kalau Anda menganggap perlu,
jangan ragu-ragu memakai tenaganya. Ia bisa dipercaya”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Pangeran Bindi….. Sri Baginda……”
RESO: “Hm. --- Siapa namanya?”
SEKTI: “Kalau Anda mau, bahkan Anda bisa bertemu orangnya”.
RESO: “Di mana?”
SEKTI: “Di sini”.
RESO: “Mana dia?”
Rendra: Panembahan Reso 84

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Asasin! Kemari!”

Siti Asasin muncul.


RESO: “Dia?”
SEKTI: “Ya. --- Anda kaget! Namanya Siti Asasin”.
ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”
RESO: “Salam. --- Siti Asasin?”
ASASIN: “Ya, betul!”
RESO: “Banyak pengalamanmu?”
ASASIN: “Sudah sepuluh tahun”.
RESO: “Kamu memakai panah?”
ASASIN: “Bisa juga”.
RESO: “Sumpitan?”
ASASIN: “Bisa juga”.
RESO: “Racun?”
ASASIN: “Bisa juga”.
RESO: “Apa senjata andalanmu?”
ASASIN: “Tusuk konde”.
RESO: “Di mana kamu tinggal?”
ASASIN: “Bisa dihubungi melewati Aryo Sekti”.
RESO: “Barangkali aku akan memerlukan bantuanmu”.
ASASIN: “Bisa”.
RESO: “Kalau tugasmu gagal?”
Rendra: Panembahan Reso 85

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ASASIN: “Jangan dibayar. Saya bekerja tanpa uang muka”.


RESO: “Bagus! Orang tidak akan menyangka perempuan cantik
dan lembut seperti kamu bisa berbahaya. Belum apa-apa kamu
sudah menang satu-dua langkah. Sekarang aku pergi dulu. Aryo
Sekti, pamit. Besok pagi kita berjumpa di istana. Selamat sore”.
SEKTI: “Selamat sore”.

***
22. ADA LAGI YANG TAK TERDUGA
Di kamar tidur Ratu Dara, di dalam kaputren, di istana. --- Ratu
Dara duduk di tempat tidur yang memakai undakan. Aryo Reso
masuk.
RATU DARA: “Ah! Aryo Reso!”
RESO: “Inang Anda menyuruh saya masuk ke sini”.
RATU DARA: “Memang, begitu maksud saya”.
RESO: “Kok di sini?”
RATU DARA: “Di mana lagi tempat yang lebih bebas dari
pengawasan? Bahkan, orang ronda juga tidak akan masuk kemari”.
RESO: “Oh!”

Keduanya bertatapan. Ratu Dara melangkah mendekat. Wajah


mereka tampak intens. Napas mereka memburu. Tiba-tiba Aryo
Reso berlutut.
Rendra: Panembahan Reso 86

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Anda seorang Aryo, seorang Ratu, sedang saya orang


biasa”.
RATU DARA: “Anda juga seorang Aryo sekarang”. (membelai
kepala Aryo Reso)
RESO: “Aaaah! (terduduk bersila di lantai) Berada di alam apa
aku ini? Telaga berdarah………. Bunga-bunga teratai……….
dan …….. lima bidadari kembar yang serupa Ratu Dara….”
RATU DARA: (menyusul duduk di sebelahnya) “Itukah
gambaran yang pernah Anda impikan?”
RESO: “Kenapa telaga darah?”
RATU DARA: “Karena kita tidak gentar melakukan tindakan
yang berakibat mengalirkan darah. Satu persatu musuh akan kita
singkirkan”.
RESO: “Dan, teratai?”
RATU DARA: “Itulah cita-cita kita. Memperjuangkan cita-cita
dengan menempuh marabahaya adalah gairah orang gagah. ---
Kita berdua punya sifat yang sama. Penampilan Anda menggugah
saya. Keberanian Anda memabukkan saya. Belum pernah ada
lelaki yang berani menatap Ratu seperti Anda tadi pagi menatap
saya. Dan, juga, tidak sembarang lelaki berani memasuki kaputren
di dalam istana, apalagi masuk ke kamar seorang ratu. Kelenjar
saya bergolak, melihat keberanian seorang lelaki”.
Rendra: Panembahan Reso 87

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Jangan saya disiram dengan puji-pujian. Sejak usia muda


puji-pujian sudah menjadi kasur dan bantalku. Akhirnya, menjadi
sampah dan beban yang tidak berguna”.
RATU DARA: “Saya tenggelam di dalam kepribadian Anda. ---
Tadi pagi Anda datang dengan buah pikiran dan tindakan yang
menimbulkan gairah dan akhirnya menjadi berahi”.
RESO: “Anda juga menimbulkan gairah dan berahi saya. ---
Tetapi saya juga melihat di dalam mimpi saya tahta yang
mengapung di telaga darah”.
RATU DARA: “Itulah tahta yang akan kita rebut untuk anakku”.
RESO: “Pada akhirnya, bila semua pangeran yang menjadi lawan
sudah kita singkirkan, kita harus membunuh raja”.
RATU DARA: “Tentu saja! Bunuhlah dia untuk saya. Oh! Di
dalam hati dia bukan lagi raja, juga bukan lagi suami saya. Tadi
siang, dia mengungkapkan bahwa pikirannya penuh dengan
Pangeran Bindi. Setinggi langit dipujinya bangsat itu. Seakan-akan
sudah ia pastikan bahwa si Bindi akan mengganti menjadi raja”.
RESO: “Saya akan mengirim seorang pembunuh bayaran kemari.
Ia seorang wanita tetapi sakti. Pelihara untuk sementara di sini. ---
Pada saat Panji Ombo datang membawa kepala pemberontak itu,
Sri Baginda, sesuai dengan kebiasaannya, pasti akan berpesta.
Bikinlah Baginda mabuk seberat-beratnya sampai tumbang, lalu
tidurkan dia. Selanjutnya, biar pembunuh yang saya kirimkan
Rendra: Panembahan Reso 88

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

mencabut nyawanya. Ingat! Harus sampai tumbang! Sebab ilmu


silatnya tinggi. Bila tidak tumbang, biar pun mabuk, dia masih
berbahaya. --- Nanti, sesudah Sri Baginda wafat, Pangeran Rebo
kita naikkan ke tahta. Para Panji masih saya minta tinggal di ibu
kota. Mereka akan membantu kita melakukan gerakan
pembersihan yang diperlukan. --- Bila Pangeran Bindi melawan
penobatan, biar ditumpas oleh raja yang baru, sesuai dengan
wewenangnya”.

Selama mendengar Aryo Reso bicara, Ratu Dara tampak bergolak


dan menjadi cepat napasnya.
RATU DARA: “Oh! Aku patuhi rencana ini. Sementara,
mendengar Anda menguraikan rencana, hasrat hidupku meningkat.
Oh, lihat, jari-jariku gemetar. Peganglah! Oh, rasakan…..arus gaib
yang mengalir dalam darahku! Oooh!” --- (Ia menarik Aryo Reso
berdiri dan membimbing ke ranjang. Di sisi ranjang Aryo Reso
berdiri dengan tegar. Pegangan tangan mereka lepas. Ratu Dara
tergolek di ranjang). “Jangan ragu-ragu. Sudah berabad-abad saya
mimpikan ini”.
RESO: (Naik berdiri di ranjang) “He, Ratu, aku ambil kamu”.

***
Rendra: Panembahan Reso 89

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

23. BULAN DI SAAT TERANG TANAH


Di suatu tempat, di saat terang tanah. Aryo Reso berdiri
mengangkang. Kepala tunduk menatap tanah. Napasnya terengah-
engah. Tangannya terkepal. Badannya tegang. Lalu, pada
puncaknya badannya tergeliat, dan dari mulutnya ke luar suara
seperti lenguhan lembu. --- Kini tubuhnya melemas. Lalu,
kepalanya mendongak ke langit.

“Bulan sudah tergeser ke Barat. --- Sudah terang tanah. ---


Bagaimana aku akan memperhitungkan tindakanku? Betul juga
kata istriku: “mimpi itu hantu atau peri sekalian.” --- Oh, tubuh
dan payudara yang sintal bagai berlapis suasa! Rambut yang
menguapkan bau kesturi! --- Haaaah! Aku telah bernoda dosa, ---
tetapi bila raja terbunuh aku bisa menjadi suaminya. Bayangkan,
dari panji menjadi aryo, lalu menjadi ayah tiri raja! Akan semakin
dekat aku kepada tahta. Bukankah itu cita-citaku? --- Oh! Apakah
cita-citaku harus terwujud dengan berlumur dosa? Tahta yang
terapung di danau darah! Apakah aku ada nyali untuk meraihnya?
--- Oh! Duh Gusti Jagat Dewa Batara!” (Berlutut dan akhirnya
rebah ke tanah).
***

24. TIDUR DENGAN PULASNYA


Rendra: Panembahan Reso 90

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Di rumah Aryo Reso. Pagi hari. Aryo Reso terbaring tidur. Nyi
Reso berdiri di dekatnya, membawa selimut.
NYI RESO: “Karena capek ia tertidur di sini. Tampak tenang dan
pulas ia. Tak perlu lagi saya bangunkan. Tak akan saya ganggu
ketenangannya”. (menyelimuti Aryo Reso, lalu bersimpuh di sisi
tubuhnya). “Sekarang ia menjadi senapati. Seorang aryo. Memang
hebat dia. Seorang biasa yang bisa mendorong nasibnya sehingga
menjadi bangsawan. Barangkali bisa juga akhirnya ia menjadi raja.
--- Lalu, bagaimana saya? Akan menjadi permaisuri? Saya tidak
tahu bagaimana menjadi ratu. Saya akan makin tersisih dari
pikirannya. Saya makin tak mampu ia ajak bicara karena
urusannya semakin tinggi. Sedangkan, sekarang saja saya sudah
mulai tak tahu apa-apa. --- Dan, juga, saya tidak punya anak. Nanti,
kalau ia menjadi raja, ia pasti ingin punya putra mahkota. Lalu,
barangkali ia akan kawin lagi. --- Oh! Saya tak akan tahan
dimadu!” (membelai suaminya) “Kakanda, saya sangat
mencintaimu. Tak mungkin saya bisa hidup tanpa Kakanda. Tetapi,
saya tidak berdaya memiliki Kakanda seluruhnya. Itulah sebabnya
saya menderita. --- Saya mau minggat tidak bisa. Saya mau bunuh
diri juga tidak bisa. Soalnya, karena saya tidak ikhlas melepaskan
Kakanda dari tangan saya”. (mengeluarkan botol kecil dari
kembennya) “Lihatlah, ini racun yang tidak jadi saya minum.
Apakah Kakanda akan tega kalau melihat saya bunuh diri?”
Rendra: Panembahan Reso 91

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

(mengusap wajah suaminya) “Ia sangat tenang kalau tidur begini.


Kalau ia seperti ini saya akan bisa memilikinya seluruhnya, dan
selama-lamanya”. (menusuk leher suaminya pelan dengan jari)
“Kalau saya tusuk di sini, akan mati dan tidak bisa lari lagi dari
tanganku. --- Begitu pulas Kakanda tidur sehingga walau dibunuh
tak merasa apa-apa”. (memandangi botol racun dengan tegang)
“Duh Gusti Jagat Dewa Batara, hanya bila ia mati saya bisa bulat-
bulat memilikinya”. (dengan tegang dan pelan-pelan ia buka tutup
botol racun, lalu membuka bibir bawah Aryo reso dan meneteskan
beberapa tetes cairan racun ke mulutnya. Aryo Reso bereaksi
sedikit dengan mengecap-ngecapkan mulutnya dan secara refleks
menelan racun itu) --- “Cukup tiga tetes dulu. Rasanya manis. Ia
akan bermimpi minum madu. Kalau saya bunuh dia seketika, akan
ketahuan orang. Setiap hari akan saya tuang tiga tetes ke dalam
minumannya. Itu akan membuat ia pelan-pelan sakit, dan lalu,
akhirnya akan mati dengan kelihatan wajar”. (membelai-belai
suaminya) “Maaf, Kakanda berani membulatkan tekad untuk
mengejar cita-cita, yaitu tahta. Saya juga sudah membulatkan
tekad untuk mengejar cita-cita, yaitu memiliki Kanda seluruhnya”.

***
Rendra: Panembahan Reso 92

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

25. MEMINJAM TANGAN


Di suatu tempat. Siang hari. Aryo Reso muncul, dan dari jurusan
lain muncullah Siti Asasin.
ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”
RESO: “Salam. Kamu datang tepat pada waktunya”.
ASASIN: “Itu kebiasaan saya”.
RESO: “Aryo Sekti sudah menerangkan bahwa kamu saya
perlukan untuk dua atau tiga hari?”
ASASIN: “Sudah”.
RESO: “Mana bekalmu?”
ASASIN: “Ada”.
RESO: “Apakah kamu selir Aryo Sekti?”
ASASIN: “Bukan”.
RESO: “Kenapa ia tak punya selir dan tak punya istri”.
ASASIN: “Tidak tahu”.
RESO: “Barangkali itu baik untuk pekerjaannya. Lelaki yang
selalu sibuk bekerja lebih baik tak usah berkeluarga”.
ASASIN: “Begitu juga perempuan yang selalu sibuk seperti saya.
RESO: “Tetapi, apakah kamu punya hubungan gelap dengan Aryo
Sekti?”
ASASIN: “Hubungan gelap yang kadang-kadang”.
RESO: “Kamu kelihatan mencintainya”.
ASASIN: “Yah, timbal balik sekadarnya”.
Rendra: Panembahan Reso 93

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Apakah ia tahu semua rahasia pekerjaanmu”.


ASASIN: “Tidak. Hanya yang menyangkut tugas yang datangnya
dari beliau”.
RESO: “Tugas yang aku berikan kepadamu harus kamu
rahasiakan terhadap siapa saja”.
ASASIN: “Tentu! Sudah lumrah begitu”.
RESO: “Juga terhadap Aryo Sekti”.
ASASIN: “Tak usah dipesankan. Itu sudah di dalam wilayah mutu
pekerjaan saya”.
RESO: (mengusap-usap dada kirinya, lalu menghembuskan napas
dari mulutnya) “Dengarkan baik-baik”.
ASASIN: “Anda sakit”.
RESO: (menyeka keringat dari jidat) “Tidak!” (membasahi
bibirnya yang kering) “Aku sehat, tenang, dan berbahaya”.
ASASIN: “Apakah tugas saya?”
RESO: “Malam ini bunuhlah istri saya”.
ASASIN: “Baik”.
RESO: “Kamu tidak kaget?”
ASASIN: “Tidak. Ia istri Anda bukan istri saya”.
RESO: “Bahan keterangan apa yang kau perlukan untuk masuk
rumah dan mencapai istriku?”
ASASIN: “Tidak ada”.
Rendra: Panembahan Reso 94

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Malam ini aku akan begadang di Bangsal Kepanjen


bersama dengan para panji. Kalau selesai tugasmu, tidak usah
kamu melapor kepadaku. Tetapi, langsunglah kamu pergi
menghadap Ratu Dara di Kaputren, di dalam istana. Laporkan
semuanya kepada Sri Ratu. Lalu, kamu akan tinggal bersama Ratu
Dara untuk dua atau tiga hari. Dan, pada saat yang ditentukan, dan
jalan sudah disiapkan, bunuhlah Sri Baginda Raja”.
ASASIN: “Membunuh raja?”
RESO: “Sekarang kamu kaget”.
ASASIN: “Tidak saya duga akan mendapat kesempatan semacam
ini. Ini justru tantangan yang menggiurkan. Inilah kesempatan baik
bagi saya untuk mendapatkan kepuasan bekerja”.
RESO: (kembali mengurut dada kirinya, menghembuskan napas
lewat mulut, menyeka dahi, dan membasahi bibirnya yang kering)
“Berapa upah yang kamu minta?”
ASASIN: “Banyak”.
RESO: “Seribu tail emas cukup”.
ASASIN: “Itu banyak sekali”.
RESO: “Tidak apa”.
ASASIN: “Terima kasih. --- Dada kiri Anda nyeri?”
RESO: “Sedikit saja”.
ASASIN: “Sedikit sesak? Dan mulut Anda terasa kering? Anda
sakit?”
Rendra: Panembahan Reso 95

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Ah, tidak. Semalam aku begadang. Barangkali, sekarang


sedikit mau masuk angin”.
ASASIN: (mengulurkan tangan) Boleh saya memeriksa nadi
Anda?”
RESO: (terlambat menolak) “Apa yang salah?”
ASASIN: “Nanti dulu”. (setelah memeriksa nadi dan kuku-kuku)
“Anda diracun orang”.
RESO: “Racun?”
ASASIN: “Sedikit. Tetapi, kalau tidak diobati bisa melumpuhkan
separo badan. --- Paling lambat dalam waktu tiga hari Anda harus
minum obat pemusnahnya. Anda diracun dengan sari daun
beludru”.
RESO: “Siapa berani meracun saya?”
ASASIN: “Itu teka-teki Anda, bukan teka-teki saya”.
RESO: “Kamu tahu obatnya?”
ASASIN: “Tahu. Besok pagi akan saya titipkan Sri Ratu Dara. ---
Mohon diri, Aryo Reso”.
RESO: “Ya! Selamat! --- Aku diracun orang! Dunia memang
mengajar aku untuk kejam. --- Ataukah aku sudah terlanjur masuk
ke alam kekejaman? Setan atau hantu, aku tandingi kamu!”

***
Rendra: Panembahan Reso 96

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

26. BERHALA YANG RETAK


Di Balai Penghadapan. Raja Tua dan Aryo Reso minum arak
bersama. Malam hari.
RAJA TUA: (sambil minum) “Aku puas dengan kesetiaan para
panji. Tadi pagi, datang utusan yang membawa surat dari Aryo
Lembu. Ia melaporkan bahwa Kadipaten Watu Limo, Sendang
Pitu, dan Winongo dalam keadaan baik”.
RESO: “Hamba sudah dengar hal itu. Hamba ikut gembira”.
RAJA TUA: “Aku dengar para adipati masih di sini”.
RESO: “Justru karena mereka mendengar bahwa di kadipaten
mereka dalam keadaan baik-baik saja, maka mereka masih ingin
menikmati ibu kota”.
RAJA TUA: “Bagus. Bagus. --- Ayo, minum. Panji Simo dan
Panji Ombo belum juga kembali dari Hutan Roban”.
RESO: “Tiga hari perjalanan ke sana, dan tiga hari lagi ke mari.
Ditambah satu hari istirahat di hutan setelah mereka bertempur,
sambil meramu obat untuk mengawetkan kepala-kepala yang
mereka penggal”.
RAJA TUA: “Ya!” (minum lagi) “Kepala-kepala pengkhianat itu!
Aku ingat bagaimana dulu aku melakukan perjalanan untuk
menyatukan negara. Ada saja pihak yang menginginkan
pemisahan. Jadi, sebentar-sebentar aku harus berperang. Sampai
akhirnya, kini, negara kuat dan satu”.
Rendra: Panembahan Reso 97

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Sekarang sudah tidak ada lagi yang menginginkan


pemisahan. --- Kecuali si tumbal yang cupat pikiran itu”.
RAJA TUA: “Karena itu, kita harus keras dan tegas terhadap
pikiran yang neko-neko. Bukannya aku kejam kepada rakyat,
tetapi aku belajar dari pengalaman”.
(minum lagi) “Oh, aku sangat mencintai rakyat! Aku suka
menikmati alam desa, makan jagung, dan gaplek bersama mereka.
--- Oh, aku tak akan lupa bahwa ketika aku luka-luka sehabis
pertempuran, aku dirawat oleh orang desa. Aku merasa berhutang
budi kepada rakyat. Dan, kini, aku membalas dengan menciptakan
dunia yang tertib, rapi, aman, dan sejahtera. Paham kamu?”
(minum lagi)
RESO: “Paham, yang Mulia”.
RAJA TUA: “Dan, kini, anak-anakku sendiri yang akan
menghancurkan cita-citaku! Aku cintai mereka. Aku ajari sendiri
mereka memanah, ilmu silat, dan naik kuda, tapi hasilnya kok
begini! (minum) Di mana salahnya?”
RESO: “Ibarat telur yang busuk, sebentar lagi mereka akan
dihancurkan”.
RAJA TUA: “Katakan, Reso, apa sudah betul kalau kusuruh
penggal kepala mereka?”
RESO: “Yang kita pertahankan keutuhan negara, Yang Mulia! Ini
masalah cita-cita padukan”.
Rendra: Panembahan Reso 98

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Ya! Cita-cita! --- Tetapi, apa perlu kepala mereka
dipenggal? Apa tidak cukup kita penjara atau kita asingkan ke luar
kerajaan?”
RESO: “Lalu, nanti, akan ada lagi yang untung-untungan
mencontoh mereka kalau memang taruhannya tidak seberapa”.
RAJA TUA: “Oh! Penderitaan kekuasaan! Aku telah menyuruh
membantai anak-anakku sendiri!” (minum lagi) “Kenapa kamu
tidak minum?”
RESO: (minum) “Dari tadi hamba minum, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus. --- Kamu pernah membunuh”.
RESO: “Hamba sering berperang, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Di luar perang?”
RESO: “Belum pernah sebenarnya”.
RAJA TUA: “Aku juga sering berperang. --- Tetapi, sekarang di
luar perang aku terpaksa membunuh. --- Aku merasa berdosa”.
RESO: (terengah-engah) “Jadi, Anda akan mencabut hukuman
penggal?”
RAJA TUA: “Hahahaha! Aku berputar-putar, berkejar-kejaran
dengan diriku sendiri. --- Ayo, raja, kamu telah memulai cita-cita
dengan pedang, kini harus kamu pertahankan dengan pedang juga!
Kalau tidak, pedang orang yang akan memakan kamu! --- Kenapa
kamu, aryo? Kamu seperti orang sakit”.
Rendra: Panembahan Reso 99

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tidak, Yang Mulia, hamba……….. Ah, barangkali


sekadar masuk angin. Tadi malam hamba begadang”.
RAJA TUA: “Minumlah lagi, supaya terusir itu angin. --- Nah,
bagus! --- Kamu main perempuan tadi malam?”
RESO: “Betul, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus. Asmara itu menyehatkan badan! Kalau
kamu sakit itu tandanya kamu salah main!”

Keduanya tertawa. Seorang Punggawa masuk.


PUNGGAWA: “Maaf, Yang Mulia, seorang abdi Aryo Reso
datang kemari. Ia mengabarkan bahwa istri Aryo Reso meninggal
dunia”.
RESO: “Istriku!”
RAJA TUA: “Apa ia sudah lama sakit?”
RESO: “Setahu hamba tidak. Tetapi, hamba sibuk sekali akhir-
akhir ini”.
PUNGGAWA: “Kata abdi itu, almarhumah sudah beberapa hari
ini kelihatan pucat, sering pening, dan tidak suka makan.
Kelihatannya, almarhumah kejang jantung tiba-tiba, lalu wafat
karena tak kuasa minta tolong. --- Ketahuannya wafat baru saja.
Lalu, segera seorang abdi berlari-lari mencari Aryo Reso ke
istana”.
Rendra: Panembahan Reso 100

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: (memberi isyarat kepada punggawa untuk pergi)


“Sudahlah, Aryo Reso! Aku ikut berduka cita. Pergilah pulang.
Urus jenazah istrimu. Akan aku suruh istri-istriku dan Pangeran
Rebo untuk melayat. Biaya penguburan akan ditanggung oleh
perbendaharaan istana”.
RESO: “Banyak terima kasih untuk perhatian Yang Mulia.
Sekarang hamba mohon diri”. (menyembah dan pergi)
RAJA TUA: (sendiri dan sepi) “Hari apa sekarang?” (menenggak
arak sampai tuntas dari botolnya)

***

27. MUSANG DAN ULAR


Di keputren, di kamar Ratu Dara. Waktu malam. --- Ratu Dara
duduk bersama Siti Asasin.
DARA: “Sukar aku bayangkan bahwa dengan mudah hal itu kamu
lakukan! Bukankah rumahnya dijaga?”
ASASIN: “Tidak seberapa, Sri Ratu”.
DARA: “Aku kagum. Sungguh kagum. Kamu cantik, luwes, dan
lengkap sopan-santunmu. --- Dan, bagaimana kamu memastikan
bahwa ia yang meracuni suaminya?”
ASASIN: “Ketika badannya jatuh, keluarlah dari kembennya botol
ini”. (mencium baunya) “Dari baunya hamba bisa mengenal, inilah
Rendra: Panembahan Reso 101

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

racun sari daun beludru. Racun yang bersarang di tubuh Aryo


Reso”. (menyimpan kembali racun itu, dan mengeluarkan botol
yang lain dari kembennya) “Dan, ini pemusnahnya. Sebelum
kemari hamba sempatkan mengambilnya agar lewat Anda bisa
disampaikan kepada Aryo Reso”. (menyampaikan botol pemunah
racun).
DARA: “Apakah kamu punya suami?”
ASASIN: “Tidak, Sri Ratu. Seorang pembunuh lebih baik tidak
berkeluarga”.
DARA: “Tetapi, tentu banyak lelaki yang berminat kepada kamu”.
ASASIN: “Itu kurang hamba perhatikan”.
DARA: “Apa kamu tidak senang lelaki?”
ASASIN: “Senang juga”.
DARA: “Apakah Aryo Reso berminat kepada kamu”.
ASASIN: “Jangan khawatir, Sri Ratu, hamba tidak punya
hubungan gelap dengan Aryo Reso”.
DARA: “Jangan khawatir? Apa maksudmu?”
ASASIN: “Hamba tahu, ada hubungan antara Anda dan Aryo
Reso. Tidak mungkin hamba diminta melaporkan rahasia
pribadinya yang besar kepada Anda kalau hubungan itu tidak ada.
Tetapi, apa yang hamba tahu ini, orang lain tidak tahu”.
DARA: “Apa yang rahasia harus tetap rahasia”.
Rendra: Panembahan Reso 102

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ASASIN: “Kemampuan memegang rahasia ialah syarat nomor


satu untuk menjadi pembunuh bayaran. Kemampuan membunuh
hanya nomor tiga. Yang nomor dua, kemampuan tanpa ada
jejaknya”.
DARA: “Setiap kali kamu bicara mengenai pekerjaanmu, dan
bagaimana kamu menyelesaikan tugasmu, aku merasa ada arus
gaib melanda tubuhku”.
ASASIN: “Syaraf-syaraf Anda bergetar. Bibir Anda terbuka dan
mengering, napas memburu, bola mata sedikit berair, pinggir
kelopak mata yang bawah mengkilat. Tandanya gairah Anda
bangkit”.
DARA: “Kenapa begitu?”
ASASIN: “Kekerasan menimbulkan gairah Anda. Sama dengan
hamba. Bagi kita kekerasan bisa menjadi keindahan. Hamba tidak
mau membunuh tanpa gaya yang indah”.
DARA: (berpindah duduk, mendekati Siti Asasin) “Kata-katamu
menarik sekali. --- Apakah Aryo Reso juga sama dengan kita?”
ASASIN: “Tidak. Beliau seorang prajurit. Beliau hanya memuja
kegagahan. Terhadap kekerasan sikap beliau tidak tuntas. Beliau
berperang hanya untuk menang. Beliau melakukan kekerasan
tanpa keindahan”.
DARA: “Aku mencintainya”.
ASASIN: “Pancaran kepribadiannya memang kuat”.
Rendra: Panembahan Reso 103

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: “Pasti ada cacatnya”.


ASASIN: “Bagi kami, beliau terlalu kasar”.
DARA: “Dan, kelemahannya?”
ASASIN: “Dewasa ini batinnya kelihatan tergoncang, tetapi
kepalanya membatu. Beliau sedang menyihir dirinya sendiri”.
DARA: “Aku tertarik pada caramu mengamati orang”.
ASASIN: “Itu lirikan mata seorang pembunuh, Sri Ratu”.
DARA: “Peganglah tanganku. --- Kamu rasakan getaran arus gaib
itu?”
ASASIN: “Ya, Sri Ratu”.
DARA: “Malam ini temanilah aku. --- Tidurlah kamu di sini, di
ranjangku”.

***

28. PERTANYAAN ARYO SEKTI


Di rumah Aryo reso. Ada tanda berkabung. Aryo Reso tampak
bersila seperti patung di tempat biasa duduk. Pangeran Rebo
masuk mendadak.
REBO: “Aryo Reso! --- Maaf, saya masuk menerobos begitu saja.
Saya menghindari perhatian orang, termasuk abdi-abdi Anda”.
RESO: “Oh! Tidak apa-apa. Silakan”!
Rendra: Panembahan Reso 104

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Saya tidak bisa berlama-lama. Ini ada surat dan


bingkisan dari ibunda Ratu Dara. Pesannya, harus disampaikan
kepada Anda dengan segera”.
RESO: “Terima kasih”.
REBO: “Kami berdua menyampaikan ucapan berkabung, ikut
berduka cita”.
RESO: “Terima kasih”.
REBO: “Saya bisa membayangkan, betapa sedih hati Anda
ditinggalkan seorang istri yang mendampingi Anda sejak Anda
masih belum menjadi panji”.
RESO: “Memang berat kegelisahan batin saya saat ini”. (Gejala
serangan racun muncul lagi)
REBO:
“Maaf, saya harus segera pergi ke gandok berkumpul dengan yang
lain. Ratu Dara sedang ikut mendampingi jenazah. --- Salam”.
(pergi)
RESO: “Salam! --- Ini pasti bingkisan pemunah racun”.
(memasukkan bingkisan kecil ke angkinnya. Sesudah itu ia
membaca surat) “Gila!” (meremas surat) “Tidak aku duga! Jadi,
aku diracun oleh istriku sendiri! Tangan dewa atau tangan iblis
yang telah membimbing aku untuk membunuhnya? Pendeknya,
entah dewa, entah iblis ia telah menolong aku untuk
Rendra: Panembahan Reso 105

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

menyingkirkan orang yang menghendaki nyawaku”. (merobek-


robek surat)
SEKTI: (mendadak muncul) “Maaf, saya mengganggu Anda”.
RESO: “Orang yang gampang kaget sekarang membuat kaget”.
(menggenggam sobekan surat)

Keduanya bertatapan agak tajam.


SEKTI: “Saya menghindari abdi-abdi Anda dengan sengaja”.
RESO: “Ada suatu rahasia yang hendak Anda sampaikan?”
SEKTI: “Suatu percakapan yang baiknya tidak didengar orang
lain”.
RESO: “Apa itu?” (gejala serangan racun lagi)
SEKTI: “Saya sudah mengirimkan Siti Asasin sesuai dengan
pesan Anda”.
RESO: “Kami sudah bertemu”. (memasukkan sobekan surat ke
angkinnya)
SEKTI: “Ia menguasai banyak senjata rahasia yang beracun”.
RESO: “Kami akan membunuh Raja. Percayakan hal ini
kepadaku”.
SEKTI: “Saya tak akan berani mencampuri. --- Maaf, saya tadi
mengganggu Anda membaca surat”.
RESO: (gejala serangan racun tampak lagi, yang juga diamati
oleh Aryo Sekti) “Surat ucapan berduka cita”.
Rendra: Panembahan Reso 106

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Anda sobek?”


RESO: “Bunyinya cengeng”.
SEKTI: “Tadi sempat saya lihat Pangeran Rebo ke luar dari sini”.
RESO: “Ya. Menyampaikan surat dari raja”.
SEKTI: “Saya mengerti sekarang. --- Ah, ya, ini yang paling
penting, saya ikut berduka cita”.
RESO: “Terima kasih”.
SEKTI: “Boleh saya bicara lancang?”
RESO: “Sebetulnya tidak boleh”.
SEKTI: “Antara sahabat saya berani nekad, karena terbit dari
maksud baik”.
RESO: “Silakan”.
SEKTI: “Jangan Anda kawin lagi. Seperti saya saja. --- Orang
seperti Anda sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa bercita-
cita mana mungkin masyarakat bisa maju? Tetapi, hidup rumah
tangga manusia yang bercita-cita, biasanya penuh dengan
ketegangan. Kasihan istrinya!”

Keduanya bertatapan tajam. Reso tampak terserang racun lagi.


Sekti waspada.

SEKTI: “Anda terserang racun”.


RESO: “Bagaimana Anda tahu?”
Rendra: Panembahan Reso 107

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Mata-mata, pekerjaan saya. Membunuh dengan segala


macam racun termasuk cabang keahlian saya”.
RESO: “Siapa meracuni aku?”
SEKTI: “Itu akan saya selidiki dan nanti obat pemusnahnya akan
segera saya bawa kemari. --- Anda terkena racun sari daun
beludru”.
RESO: “Terima kasih”.
SEKTI: “Istri Anda juga wafat karena racun”.
RESO: “Apa? Bukan karena penyakit sedih akibat dari cita-cita
saya?”
SEKTI: “Kurang bijaksana juga kalau istri dibawa berbicara soal
cita-cita, apalagi yang bersifat rahasia”.
RESO: “Aku tak pernah membuka rahasia kepada istriku”.
SEKTI: “Orang lain tidak akan tahu. Tetapi, saya tahu dari
melihat daun telinga dan kuku jenazah bahwa almarhumah terkena
racun akar Pasopati”.
RESO: “Wah, ruwet!”
SEKTI: “Gairah saya terangsang. Saya akan menyelidiki semua
ini. --- Sekarang saya mohon diri”.
RESO: “Salam! --- Sudah begini jauh. Apakah terlalu jauh? ---
Nyi Mas, rupanya kamu juga melihat sesuatu yang lebih berharga
dari nyawa manusia, bahkan lebih berharga dari nyawa suamimu
sendiri. Kalau kamu tega, kenapa aku tidak? Bunuh-membunuh ini
Rendra: Panembahan Reso 108

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ternyata sama wajarnya dengan jilat-menjilat atau sogok-


menyogok, sebagai bayaran untuk tercapainya satu tujuan. ---
Sudah begitu jauh. Apakah terlalu jauh? Alangkah dalam luka
batinku. Tetapi, aku bukan anak kemarin sore! Biarpun hancur aku
tak akan mundur. Seandainya pun dikalahkan tidak mungkin aku
ditundukkan”.

***

29. MEMPERSEMBAHKAN KEPALA KEPADA RAJA


Genderang dan nafiri. Suasana kemenangan. Panji-panji, tombak,
dan segala macam senjata. --- Di Balai Penghadapan para panji
siap duduk di lantai, lalu masuklah Raja Tua diiringi Ratu Dara
dan Pangeran Rebo.
RAJA TUA: “Selamat datang, pahlawanku! Dari suara genderang
dan gaya tingkah lakumu aku tahu bahwa Kalian telah menang.
Tugas telah Kalian tunaikan”.
SIMO: “Pertama-tama, hamba mengaturkan hormat kepada Sri
Baginda Raja. Sesudah itu kami memang ingin melaporkan bahwa
tugas telah kami tunaikan. Empat buah kepala yang Paduka
titahkan untuk dipenggal telah kami bawa”.
RAJA TUA: “Pancangkan kepala-kepala itu di atas tombak dan
pajanglah di alun-alun. Supaya rakyat tahu bagaimana jadinya
Rendra: Panembahan Reso 109

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

kalau menentang raja. Sesudah itu berpestalah kamu semua di


Bangsal Kepanjen. --- Aku puas dan berterima kasih kepada
kesetiaanmu. --- Aryo Reso!”
RESO: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Setelah mengasingkan diri karena berkabung atas
kematian istrimu, akhirnya kamu perlukan muncul juga hari ini”.
RESO: “Kemenangan ini harus disambut dengan gembira dan rasa
syukur, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus juga. Rupanya semangatmu masih ada
meskipun baru terpukul oleh bencana keluarga”.
RESO: “Kalau semangat luntur hanya karena bencana, mana bisa
kita maju dalam hidup ini? Semua kemajuan harus ada bayarannya,
Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Ada apa kamu ini? Terakhir aku lihat kamu pucat
dan sakit. Sekarang aku lihat kamu seperti terlalu banyak makan
obat akar perangsang. --- tetapi tak apa. Toh kamu punya banyak
teman yang bisa menjagamu. --- Panji Simo, apakah di perjalanan
kamu mendengar berita mengenai anak-anakku di Tegalwurung?”
SIMO: ”Ada hamba bertanya kepada pedagang dan orang yang
melakukan perjalanan, bagaimana keadaan di Tegalwurung. Kata
mereka Kota Kadipaten sudah dikepung, tetapi perlawanannya
masih tegar”.
Rendra: Panembahan Reso 110

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Panji Tumbal memang orang tangguh. Tetapi, ini


justru tantangan bagi Pangeran Bindi. Sudah saatnya ia
menghadapi tantangan serupa itu”.
REBO: “Sri Baginda, mungkin, adinda Pangeran Bindi perlu
didampingi senapati yang ahli siasat, yang dengan segera bisa
dikirim kepadanya”.
RAJA TUA: “Sekadar untuk menghadapi Tumbal? Kalau anakku
tidak ada yang bisa menghadapi Tumbal, berarti aku tidak akan
punya putra andalan. Panji Tumbal memang ahli bertempur, tetapi
ia bukan ahli berperang. Tarafnya, taraf jagoan, bukan taraf
panglima. Pemberontakannya tak akan tahan lama. --- Pangeran
Rebo, baca saja buku-bukumu supaya kamu bisa jadi resi. Soal ini
di luar bidangmu. Ini soal membela kerajaan. --- Jangan Kalian
khawatir tentang keadaan di Tegalwurung. Sudah benar apa yang
dilakukan anakku, Pangeran Bindi. Kalau si Tumbal terus
dikepung, lama-lama ia akan jadi ngawur dan bingung. ---
Sekarang mundurlah Kalian dan pergilah berpesta sepuasnya”.
SIMO: “Yang Mulia, apakah Paduka tidak akan memeriksa dulu
kepala para pemberontak ini?’
RAJA TUA: “Tidak! Aku tidak tega melihat kepala anak-anakku
sendiri terpenggal, karena mengkhianati raja, aku tega memenggal
kepala mereka, tetapi aku tidak bisa menikmatinya. (semua hening)
Rendra: Panembahan Reso 111

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Ayo, jangan canggung dan ragu! Pergilah berpesta dan


bergembira”.

***

30. NYANYIAN ANGSA SANG BERHALA


Di kamar tidur Raja Tua. Waktu malam. Raja Tua minum arak
ditemani Ratu Dara.
RAJA TUA: (sambil minum) “Dari semua istriku hanya kamu
yang bisa diajak bicara. Kadang-kadang kita bertentangan, tetapi
cukup banyak pikiranmu yang aku pergunakan. --- Sekarang,
ngomonglah terus terang, apa ada dendammu atau keluh kesahmu
padaku yang belum kamu ungkapkan”.
DARA: “Ada, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Jelaskan”.
DARA: “Paduka sudah agak jarang memanggil hamba”.
RAJA TUA: “Hohoho! Aku mohon maaf, Sri Ratu. Itu terjadi
karena ini!” (mengacungkan botol arak) “Sayang aku tidak bisa
omong-omong dengan cucu! Karena tidak punya cucu, aku
terpaksa suka minum arak. --- Arak bisa diajak omong-omong! Eh!
Mungkin begini, arak bisa membuat aku omong-omong dengan
diri sendiri”.
Rendra: Panembahan Reso 112

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: “Tetapi, Paduka tadi berkata bahwa hamba orang yang


bisa diajak bicara”.
RAJA TUA: “Ya! Itu betul! Itu jujur! Tetapi, kalau omong
dengan kamu harus omong secara dewasa. Padahal omong-omong
yang aku maksud, omongan anak-anak. --- O, ya, aku punya
kebutuhan untuk omong seperti anak-anak. Omongan
yang ……… tidak cengeng, ………tidak dengki, tidak………
tidak ada kebencian, ……… tidak canggih……… ya………
seperti anak-anak! Seperti ayam berkotek. Atau……… kamu
paham?” (minum lagi)
DARA: “Paham sekali, Yang Mulia! Paduka ingin memurnikan
diri kembali”.
RAJA TUA: “Begitukah? --- Nah, kamu lihat? Omongan antara
kita selalu berisi penyadaran. Penyadaran akhirnya membawa aku
ke persoalan kerajaan. Siapa yang harus dipasang, siapa yang
harus ditendang. Siapa yang harus dipenggal kepalanya!” (minum
lagi)

Ratu Padmi muncul tiba-tiba sambil menangis terisak-isak.


PADMI: “Maaf, Yang Mulia, hamba datang menerobos begitu
saja. Kalau Paduka murka biar kepala hamba dipenggal juga. ---
Yang Mulia, hamba tidak terima. Benar kedua anak hamba
berdosa, tetapi mereka masih remaja, masih bisa diinsyafkan. ---
Rendra: Panembahan Reso 113

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Ratu Dara, Anda tidak mencegah kekejaman ini? Apakah Anda


juga tidak punya putra?”
RAJA TUA: “Nanti dulu! Ratu Dara tidak punya sangkut-paut
apa-apa! Kamu kira aku punya kegemaran memenggal kepala
orang? Kalau kepala pemberontak itu tidak dipenggal, mereka
akan memenggal kepala raja! Kecuali, kalau si raja mau diajak
berunding dan lalu rela melepaskan tahta. Tetapi, aku sebagai raja,
demi negara, tidak akan mau melepaskan tahta!”
PADMI: “Hamba percaya anak-anak hamba sebetulnya bisa
diinsyafkan”.
RAJA TUA: “Diinsyafkan! Mereka ingin menyingkirkan putra
mahkota, sebab menjadi putra mahkota pun mereka tidak berhak,
apalagi menjadi raja. Tahukah kamu bahwa anakmu yang tertua,
Pangeran Bindi, itu yang akan aku jadikan Putra Mahkota?
Perempuan, sadarkah kamu! Raja memenggal kepala kedua
putramu untuk menjaga agar mereka tidak memenggal kepala
putramu yang tertua!”
PADMI: “Duh Gusti, apakah kita ini hidup di dalam rimba?”
RAJA TUA: “Memang, ini mirip rimba! Bukalah lebar-lebar
matamu! Di dalam rimba hutan belantara dan di dalam rimba
kekuasaan, hubungan darah itu sama tipisnya! Kenapa hal ini tidak
dulu-dulu kamu sadari begitu aku ambil kamu ke atas
ranjangku?!”
Rendra: Panembahan Reso 114

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PADMI: “Sebetulnya, setengah hamba sadari. Tidak hamba tahu


akan sebegini jauh. Hamba tidak kuat menanggungnya. Bahwa
Pangeran Bindi akan menjadi putra mahkota, seharusnya itu
menjadi hiburan bagi hamba. Tetapi, ia juga sama seperti Paduka.
Di dalam hidup sehari-hari hamba, ia tidak pernah menjadi
kenyataan. Ia seperti kelana sebatang kara yang perkasa. Seakan-
akan hamba bukan bundanya, sebab ia berbunda kepada cakrawala.
Lelaki seperti itu hanya bisa berbicara dengan langit. Sebagai
suami atau sebagai anak tidak pernah menjadi kenyataan”.
(hening……… lalu menyembah) “Hamba mohon diri ……… Sang
Raja”. (keluar)
RAJA TUA: (pelan-pelan menenggak arak, dan dengan tenang
berkata) “Minumlah arakmu”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Kamu sudah makan?”
DARA: “Belum”.
RAJA TUA: “Aku juga belum. Nanti saja kita makan. Belum
lapar, kan?”
DARA: “Belum”.
RAJA TUA: “Tolong masakkan aku lidah sapi besok pagi”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aku juga kepingin ikan bandeng”.
DARA: “Besok akan saya masakkan”.
Rendra: Panembahan Reso 115

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Dari jauh terdengar orang berseru: “Tolong! Tolong!”


RAJA TUA: “Apa itu?”
DARA: “Tidak jelas, Yang Mulia”.

Teriakan “Tolong! Tolong!” makin menjadi dan diteriakkan oleh


beberapa orang. Lalu disusul oleh derap kaki orang berlari
menuju kamar. Akhirnya, seorang punggawa masuk, napasnya
terengah-engah.
RAJA TUA: “Ada apa?”
PUNGGAWA: “Ratu Padmi wafat!”
RAJA TUA: “Apa?”
PUNGGAWA: “Sehabis ke luar dari sini kami lihat Sri Ratu
berjalan gontai. Sampai di halaman beliau memegang pohon.
Beliau menepuk-nepuk pohon itu, lalu bersandar ke batangnya.
Tiba-tiba beliau mengeluarkan keris kecil dan menikam
jantungnya sendiri”.
DARA: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara”!
RAJA TUA: “Aaaaak!” (menubruk punggawa mau
membantingnya tapi tak jadi) “Bangsat!” (kemudian dengan
lunglai ia mengambil botol arak dan menenggaknya sampai tuntas.
Ratu Dara memberinya satu botol lagi. Sambil menerima botol ia
berjalan menuju ranjang. Hampir sampai ia keburu jatuh. Lalu
Rendra: Panembahan Reso 116

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dengan susah-payah bangkit lagi dan merayap ke ranjang.


Kemudian, duduk di tepi ranjang) “Uruslah jenazahnya”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.

Raja Tua menenggak botol lagi sampai tuntas, lalu merebahkan


diri ke ranjang.
RAJA TUA: “Boleh aku tidur?”

***

31. DUKA CITA RATU KENARI


Di dalam kamarnya, malam itu, Ratu Kenari bersimpuh dan
berdoa.
KENARI: “Duh Gusti, lindungilah anak-anakku. Mereka anak
yang baik. Patuh dan setia. Mereka menghormati ayahanda mereka
dan juga menyayangi saya sebagai ibu. --- Duh, anak-anakku,
surat Kalian sudah Ibu terima. Ibu senang Kalian kenangkan di
dalam pertempuran. Selama Kalian pergi Ibu puasa dan semadi.
Tunaikan tugas Kalian baik-baik secara wajar. Janganlah Kalian
punya keserakahan! Jangan Kalian mengejar kedudukan. Kita
sudah punya derajat yang tinggi. Apa adanya saja kita terima.
Orang yang bernasib jelek berusaha memperbaiki nasibnya”.
Rendra: Panembahan Reso 117

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Tapi nasib Kalian sudah baik. Lahir sebagai pangeran dan pandai
menjalankan kewajiban. Sudah itu saja cukup. Jangan Kalian ikut
gerakan yang mokal-mokal. Serahkan hal yang tidak beres kepada
yang berhak dan berkewajiban mengatur. Kalian urus saja bagian
Kalian baik-baik dan lalu pulang, beristirahat, dan bergembira
bersama Ibu. Yang mau jadi pahlawan biarkan saja menjadi
pahlawan, tetapi Kalian cukup menjadi pangeran. Syukurilah nasib
Kalian yang baik ini. Tidak semua orang lahir sebagai pangeran.
Duh Gusti, saya terima nasibku sebagai istri raja yang kesepian.
Saya cukup bahagia asal saja saya tidak kehilangan putra-putra
saya. Tetapi sekarang ini, Duh Gusti, saya merasa ngeri di sini”.

***

32. KETEGANGAN DI BANGSAL KEPANJEN


Sementara para prajurit berpesta, tokoh Gerakan Panji
berkumpul menunggu waktu.
SIMO: “Jelas sudah. Sri Baginda menginginkan Pangeran Bindi
menjadi putra mahkota”.
RESO: “Tenang! Rencana akan berjalan sebagaimana
dijadwalkan”.
SIMO: “Bagus. --- Meskipun agak terlambat saya mengucapkan
rasa berduka cita atas wafatnya Nyi Mas Reso”.
Rendra: Panembahan Reso 118

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Terima kasih”.


OMBO: “Juga ucapan duka cita dari saya”.
RESO: “Terima kasih”.
SIMO: “Kemudian, saya ucapkan selamat atas pengangkatan
Anda sebagai Aryo dan Senapati. Ucapan selamat yang sama
untuk Aryo Sekti”.
OMBO: “Saya menyertai ucapan selamat itu”.
RESO: “Terima kasih”.
SEKTI: “Banyak-banyak terima kasih”.
SIMO: “Tanjakan Anda ini sungguh tak terduga!”
RESO: “Memang. Ada manfaatnya juga untuk gerakan kita”.
OMBO: “Heran juga, kenapa kita? Yang lain tidak diangkat
menjadi Aryo?”
SIMO: “Sudah jelas Sri Baginda rabun ayam”.
RESO: “Tetapi, raja kita yang baru pasti akan mengangkat Anda
semua menjadi aryo juga”.
SIMO: “Saya tidak ingin menjadi Aryo Senapati. Saya ingin
menjadi Aryo Adipati”.
RESO: “Tentu saja para adipati akan bergelar Aryo Adipati”.
WONGSO: “Ibu saya akan bangga kalau ternyata anaknya bisa
menjadi aryo”.
Rendra: Panembahan Reso 119

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BONDO: “Sesudah kita rajakan Pangeran Rebo, baiknya ia juga


kita kawinkan. Jangan sampai terlambat kawin dan terlambat
punya anak seperti ayahnya”.
WONGSO: “Saya kira betul juga pikiran itu. Dan, putri sulung
Anda terkenal di seluruh negeri”.
BONDO: “Ya, daripada dikawinkan dengan Pangeran Bindi yang
tampak sudah mengincarnya, lebih suka saya bila ia kawin dengan
Pangeran Rebo”.
OMBO: “Tentu saja! Karena, dengan begitu Anda menjadi mertua
raja!”
RESO: “Itu kalau Pangeran Rebo sudah menjadi raja!”
SEKTI: “Tidak seharusnya kita bicara seperti ini. Urusan negara
belum selesai. Keberhasilan kerja masih harus kita buktikan”.
RESO: “Kita harus mendoakan supaya yang kini bekerja bisa
selamat. Sebab, tadi saya lihat Sri Baginda lain dari biasanya”.
SEKTI: “Matanya tampak lebih tajam. Ucapannya tampak lebih
mengandung pikiran”.
SIMO: “Barangkali ia sudah punya firasat akan wafat. Tetapi,
tidak jelas sekali. Katanya sebelum mati orang menjadi terbuka
pikirannya”.

Tiba-tiba muncul abdi dari Aryo Sekti.


SEKTI: “Bagaimana hasilnya?”
Rendra: Panembahan Reso 120

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ABDI: “Baginda wafat. Ratu Padmi juga wafat”.


RESO: “Kenapa begitu?”
ABDI: “Ratu Padmi wafat lebih dulu. Karena prihatin akibat
kedua putranya kehilangan kepala. Lalu, Baginda mengurung diri
di kamar. Di waktu orang mau mengantar santapan, ternyata
arwah beliau telah tiada”.

Terdengar gong dan kentongan tanda ada kematian.


RESO: “Teman-teman, inilah saat kita untuk bekerja. Masing-
masing pada tugasnya. Selamat!”

Semua saling mengucapkan selamat.

***

33. GAIRAH ANGKATAN MUDA


Pagi hari. Perkemahan Barisan Kerajaan, di medan perang di
Tegalwurung. --- Aryo Bindi, Pangeran Kembar, dan beberapa
orang serdadu.
Rendra: Panembahan Reso 121

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Hari cerah. Badanku merasa segar, dan jiwaku bergelora.


Hari-hari kekalahan Panji Tumbal sudah membayang. Bala
tentaranya tidak kuat bertahan di dalam pertempuran”.
KEMBAR I: “Mereka terlalu mengandalkan kekuatan barisan.
Tetapi, satu persatu mereka kurang keuletan. Mereka cepat
menyerang, tetapi juga cepat kabur berlari”.
KEMBAR II: “Banyak serdadu musuh yang terlalu gemuk.
Penampilan dan gaya mereka seperti jagal. Tetapi, bila melihat
satu dua temannya ada yang mati, mereka cepat patah semangat
dan lalu buyar kalang-kabut. Dari belakang gerak pantat mereka
yang gemuk tampak lucu”.
BINDI: “Tetapi, kita tetap tidak boleh sembrono. Kita tetap harus
menjaga jangan sampai Panji Tumbal bisa langsung berhadapan
dengan kita. Setiap langkah dari gerakannya harus diikuti oleh
mata-mata kita, dan di medan pertempuran biar ia selalu
berhadapan dengan pasukan berpanah yang khusus kita siapkan
untuk menguntit dan menghadangnya”.
KEMBAR I: “Tampaknya, dari hari ke hari makin bertambah rasa
penasarannya karena selalu dihadang oleh pasukan berpanah, dan
tak mampu mendekati kita”.
KEMBAR II: “Memang, enak melawan orang tua yang sudah
besar namanya. Ibarat ia seekor harimau, kalau kita bakar ekornya,
ia akan berkelakuan seperti ayam yang tanpa pikiran”.
Rendra: Panembahan Reso 122

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Terus kita tingkatkan rasa penasarannya. Kita harus rajin


mengganggu. Saya lihat ia sudah mulai sembrono dan kedodoran.
--- Siasat kita terus begini saja. Pengepungan kita jalankan dengan
kuat dan ketat, dan serangan yang kita lancarkan cuma bersifat
ganggu dan lari”.
KEMBAR I: “Sampai sekarang sudah ada tujuh lumbung
makannya yang saya bakar”.
KEMBAR II: “Dan, saya sudah berhasil mencuri berpuluh-puluh
kuda mereka”.
BINDI: “Kemarin malam saya menyusup dan meracuni beberapa
sumur mereka”.
KEMBAR I: “Kanda Bindi, apakah itu tidak merugikan juga
rakyat biasa?”
BINDI: “Tidak apa-apa! Rakyat si pemberontak bukanlah rakyat
kita”.
KEMBAR I: “Ibundaku akan marah kalau saya mengganggu
penduduk biasa”.
BINDI: “Ini perang! Ibumu mana tahu apa itu artinya berperang”.
KEMBAR II: “Saya percaya kepada hukum karma. Siapa tahu
anak-cucu saya nanti ada yang bukan prajurit. Jangan sampai
mereka nanti diganggu oleh prajurit yang lain”.
BINDI: “Ah, anak prajurit pasti akan jadi prajurit”.
Rendra: Panembahan Reso 123

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Ayahanda kita seorang prajurit besar, tetapi di


antara para putranya ada juga yang seperti Pangeran Rebo!”
KEMBAR II: “Kanda Bindi, saya lihat ilmu silat Panji Tumbal
masih berada di bawah kita. Bagaimana menurut Anda?”
BINDI: “Begitu juga pendapat saya. Ia terlalu mengandalkan
tenaganya yang besar”.
KEMBAR I: “Kalau begitu saya dan adik saya akan menjebak
dan menawannya”.
KEMBAR II: “Ya, kenapa tidak? Saya punya bakat untuk
membuat kejutan”.
BINDI: “Hati-hati! Keberanian orang itu sangat besar. Jangan ia
diburu untuk ditawan. Kalian hanya boleh mencoba menawan
kalau ia sudah terjebak jauh ke dalam wilayah kita”.
KEMBAR I: “Jangan khawatir. Saya paham maksud Kakanda”.
KEMBAR II: “Bagi saya, Panji Tumbal seperti kitab yang
gampang dibaca”.
BINDI: “Bagus! Makin cepat tugas kita selesai makin bagus. Saya
sudah kangen kepada Ayahanda Sri Baginda Raja. --- Nanti, kalau
kepala si Tumbal sudah kita penggal, saya akan tidur dengan
istrinya”.

Ia tertawa besar dengan puasnya, sedang Pangeran Kembar


terpaku diam dengan rasa tak suka.
Rendra: Panembahan Reso 124

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

34. PANJI TUMBAL TERPUKUL LAGI


Pagi hari. Di Kadipaten Tegalwurung. Panji Tumbal duduk di
tahta Kadipaten dihadap mata-mata.
TUMBAL: “Mata-mata, kedatanganmu aku sambut dengan
gembira. Juga aku terharu akan keadaanmu”.
MATA-MATA: “Jangan dipikirkan keadaan saya, Raden. Saya
ikhlas dan gembira di dalam menjalankan kewajiban”.
TUMBAL: “Sudah tampak besar kandunganmu”.
MATA-MATA: “Tetapi, justru kandungan saya ini yang
memudahkan saya untuk menyelinap ke sana kemari”.
TUMBAL: “Aku tidak akan melupakan jasamu, Mata-mata”.
MATA-MATA: “Terima kasih, Raden”.
TUMBAL: “Sekarang apa yang hendak kamu katakan?”
MATA-MATA: “Aryo Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada, dan
Pangeran Dodot sebenarnya akan bergabung dengan Anda”.
TUMBAL: “Memang, begitulah janji mereka. Dan, sekarang
dalam keadaan gawat ini aku menunggu kedatangan mereka”.
MATA-MATA: “Mereka tak akan datang. Panji Reso menjebak
dan mengkhianati mereka”.
Rendra: Panembahan Reso 125

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

TUMBAL: “Panji Reso? Ia berjanji memihak kepadaku dan akan


mengirim 1000 tail emas dengan segera”.
MATA-MATA: “Panji Reso dan semua Adipati ternyata tetap
memihak kepada Sri Baginda Raja Tua. --- Panji Simo dan Panji
Ombo dengan membawa pasukan yang kuat, memburu Aryo
Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot yang
sedang menuju kemari. Kepala mereka dipenggal”.
TUMBAL: “Meleset. Semua meleset dari dugaanku. Justru karena
semua adipati tadinya bersedia bersekutu dengan aku, maka aku
berani memberontak kepada raja”.
MATA-MATA: “Begitu surat Anda dibaca oleh Sri Baginda,
segera beliau menitahkan agar semua adipati ditahan di ibukota
untuk mencegah mereka bergabung dengan Anda. Lalu, sementara
mereka berada di ibu kota, mereka dipengaruhi oleh Panji Reso
untuk tetap setia kepada raja”.
TUMBAL: “Kenapa Panji Reso bersikap seperti itu? Padahal ia
juga tidak puas terhadap pemerintahan Baginda Raja. Kenapa ia
tiba-tiba berbalik mengkhianati diriku?!”
MATA-MATA: “Saya kira ia mempunyai rencananya sendiri.
Sekarang, ia diangkat Sri Baginda menjadi aryo”.
TUMBAL: “Diangkat menjadi aryo? --- Mungkinkah ia punya
cita-cita yang akan ia kejar walaupun dengan mengorbankan
teman-temannya?”
Rendra: Panembahan Reso 126

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MATA-MATA: “Kekuasaan itu jorok dan cemar. Dibungkus


dengan unggah-ungguh dan tata-cara, dihias dengan keangkeran,
supaya tidak kelihatan seperti kotoran.
TUMBAL: “Aku mengejar perbaikan, aku tidak mengejar
kekuasaan”.
MATA-MATA: “Rupa-rupanya Panji Reso mengejar kekuasaan.
Sekarang ia semakin dekat dengan raja”.
TUMBAL: “Sekarang ia sudah aryo. Apakah nantinya ia ingin
menjadi raja?”
MATA-MATA: “Itu sekadar dugaan. Tetapi, memang
mengandung kemungkinan. Ia kelihatan secara berencana akan
menyingkirkan para senapati”.
TUMBAL: “Gila! Seorang pahlawan yang perkasa tiba-tiba bisa
menjadi hantu yang mengerikan”.
MATA-MATA: “Tabahkan iman Anda, Raden”.
TUMBAL: “Aku tabah. Biarpun keadaanku berantakan”.
MATA-MATA: Pasukan yang dibawa Pangeran Bindi dan
Pangeran Kembar memang pasukan pilihan”.
TUMBAL: “Jangan memberikan hiburan yang tidak diperlukan.
Pasukan mereka biasa-biasa saja. Tetapi, ketiga pangeran itu
biarpun masih muda, ternyata sangat pandai memimpin
pengepungan”.
Rendra: Panembahan Reso 127

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MATA-MATA: “Saya akan istirahat dua hari. Sesudah itu saya


akan kembali ke ibu kota”.
TUMBAL: “Jangan kamu memaksakan diri”.
MATA-MATA: “Tidak, Raden. Saya melakukannya dengan sadar,
tulus, dan ikhlas”.
TUMBAL: “Terima kasih. Sementara aku menghadapi
pengkhianatan, kamu memberi kesetiaan yang tulus tanpa pamrih”.
MATA-MATA: “Pikiran Anda baik, cita-cita Anda juga menjadi
cita-cita saya. --- Sekarang saya pamit. Salam, Raden”.
TUMBAL: “Salam!”

***

35. RAJA BONEKA


Di Balai Penghadapan. Pangeran Rebo duduk di atas tahta.
Semua tokoh ada kecuali yang sedang berada di luar kota.
RAJA: “Inilah acara Penghadapan Besar yang pertama kali aku
alami sejak tiga hari yang lalu aku menjadi raja. --- aku berterima
kasih kepada kamu semua yang sudah memberi dukungan,
terutama kepada ibuku Ratu Dara dan Aryo Reso. Aku umumkan
juga pada saat ini bahwa sebagai raja namaku bukan lagi Rebo. Itu
nama pemberian almarhum ayah saya, raja yang dulu, yang
sekarang telah wafat. Karena, waktu aku lahir beliau dalam
Rendra: Panembahan Reso 128

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

keadaan mabuk. Beliau menyangka saat itu hari Rebo, padahal


hari Kamis. Sebagai raja namaku sekarang Mahesa Kapuranta”.

Aryo Reso bertepuk tangan. Yang lain ikut bertepuk tangan.


RAJA: “Tentu saja, aku juga tidak lupa berterima kasih kepada
para panji dan adipati. Kepada kamu semua aku beri hadiah yang
akan disampaikan oleh Aryo sekti yang kini menjadi Senapati
Istana, menggantikan Aryo Bungsu. Adapun Aryo Bungsu
sekarang menjadi purnawirawan. Jasanya di masa lampau aku
kenangkan dengan ucapan terima kasih. --- Sekarang aku undang
Kalian untuk ikut dalam acara santap bersama”.
SIMO: “Yang Mulia Sri Baginda Mahesa Kapuranta, hamba
berterima kasih untuk hadiah dari istana yang sudah sekian
banyaknya. Sebetulnya, hadiah kebendaan ini sudah terlalu banyak
bagi hamba. Di kadipaten hamba sendiri barang-barang itu sudah
ada”.
RAJA: “Tidak apa-apa. Nanti di rumah benda-benda itu bisa
kamu bagi-bagikan kepada sanak keluargamu. Sebab aku juga
tidak lupa untuk memperhatikan kesejahteraan keluarga para
pembantuku”.
RESO: “Maaf, Yang Mulia, Paduka hampir lupa menyebut
penghargaan yang lain untuk para adipati yang telah banyak
membantu Paduka”.
Rendra: Panembahan Reso 129

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA: “Ah, ya! Aku hampir lupa karena hadiah itu sifatnya
hanya gelar belaka. Namun meskipun itu gelar, sifatnya resmi dan
juga menurun kepada anak-anakmu. --- Kini sebagai raja, aku
mengucapkan firman: Panji Simo, Panji Ombo, Panji Wongso,
Panji Bondo dan Panji Bolo, mulai sekarang aku beri gelar: Aryo
Adipati Simo, Aryo Adipati Ombo, Aryo Adipati Wongso, Aryo
Adipati Bondo, Aryo Adipati Bolo. Inilah Firmanku sebagai Raja”.

Semua bertepuk tangan gembira.


RAJA: “Semua sudah puas sekarang. Saya puas, kamu puas.
Marilah sekarang kita santap bersama”.
RESO: “Yang Mulia, hamba mohon maaf. Tetapi, Ratu Kenari
tampaknya akan mohon penjelasan”.
RAJA: “Ah, ya! --- Bibi Ratu Kenari, mohon maaf karena saya
dibawa oleh kesibukan. --- Ah, ya! --- Ratu Kenari, Anda mohon
izin untuk pulang ke rumah orangtua berhubung Anda sudah
menjadi janda. Aku tidak bisa mengizinkan permintaanmu. Sebab,
aku ingin kalau anak-anakmu pulang nanti, mereka pulang kemari.
Tidak ke rumah orangtuamu”.
KENARI: “Tentu saja, Yang Mulia! Anak-anak saya abdi Paduka.
Mereka saya didik untuk patuh dan setia kepada Raja”.
RAJA: “Itu raja yang dulu. Tetapi, sekarang kerajaan ini sudah
berganti raja”.
Rendra: Panembahan Reso 130

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KENARI: “Hamba paham, Yang Mulia. Mereka tidak pernah


ingin menjadi raja. Saya mendidik mereka begitu. Mereka tidak
punya bakat untuk menjadi pemberontak sebab jiwa mereka
lembut. Saya nanti akan lebih menginsyafkan mereka”.
RAJA: “Aku lihat kamu sangat mencintai putra-putramu. Aku
bisa memahami seluruh isi perasaanmu. Kamu seorang ibu yang
sederhana meskipun seorang ratu. Dari dulu kamu dan anak-
anakmu ingin yang wajar-wajar saja”.
RESO: “Tetapi, Yang Mulia, mungkin yang belum jelas bagi ratu
kenari ialah bahwa kalau beliau pulang ke rumah orangtuanya,
para putranya bisa punya salah paham. Mereka bisa menyangka
bahwa Anda telah mengusir ibu mereka dari istana”.
RAJA: “Ya! Ya! Aku bisa celaka! --- Jangan! Jangan sampai
terbit salah paham seperti itu”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba berjanji akan menulis surat
kepada mereka agar mereka patuh dan setia pada Paduka”.
RESO: “Yang Mulia, hamba tidak menduga bahwa Ratu Kenari
suka bersurat-suratan kepada para putranya”.
RAJA: “Ratu Kenari, jangan lagi kamu bersurat-suratan dengan
putramu”.
KENARI: “Kenapa, Yang Mulia?”
Rendra: Panembahan Reso 131

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Ratu Kenari, saya kira bukan begitu maksud Yang Mulia.
Yang dimaksud ialah supaya surat-menyurat itu lebih baik
melewati orang saya”.
RAJA: “Begitu! Memang begitu jalan keluarnya”.
RESO: “Ratu Kenari, melalui siapa biasanya Anda berkirim surat
kepada putra-putra Anda?”
KENARI: “Melalui seorang abdi anak-anakku yang ikut
menemaninya ke medan perang”.
RESO: “Sekarang di mana abdi itu?”
KENARI: “Di medan perang”.
RESO: “Kapan terakhir dia datang?”
KENARI: “Sehari setelah Baginda Raja yang dulu wafat”.
RESO: “Lain kali, kalau ia datang lagi, Anda wajib memberitahu
saya”.
KENARI: “Tentu saja saya akan berlaku begitu. Kalau itu
perintah Sri Baginda”.
RAJA: “Ya! Begitulah perintahku”.
DARA: “Sri Baginda, mungkin perlu diberitahu kepada Ratu
Kenari bahwa ia di sini akan saya temani. Saya dan dia sama-sama
janda. Janda sama janda harus bekerjasama. Ia tak perlu khawatir
karena saya akan membela perkaranya”.
Rendra: Panembahan Reso 132

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA: “Nah, kamu dengar itu? --- tunjukkan kalau kamu benar-
benar bisa patuh dan setia. Ikutilah perintah saya, tinggallah di
sini!”
KENARI: “Baik, yang mulia”.
RAJA: “Nah, rupanya tak ada lagi yang aku lupakan, marilah
sekarang kita santap bersama”.

***

36. LAGU LAMA DIMAINKAN LAGI


Di Bangsal Kepanjen, Aryo Reso, Aryo Sekti, dan para Aryo yang
baru berkumpul lagi.
RESO: “Anda semua kini sudah menjadi Aryo Adipati. Aku harap
Anda semua kembali ke kadipaten masing-masing dengan hati
yang puas”.
SIMO: “Hampir saja Sri Baginda lupa memberi gelar itu. Ada-ada
saja”.
OMBO: “Saya lihat Baginda masih banyak memerlukan
pembinaan”.
BONDO: “Kelihatannya Baginda masih belum pantas”.
SEKTI: “Belum pantas apa?”
BONDO: “Tidak jelas bagaimana. Tetapi, ada sesuatu yang jauh
di luar bayangan kita. Apakah Anda tidak melihat itu?”
Rendra: Panembahan Reso 133

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Ya, kurang lebih begitu. Rasanya ia kurang bisa


bermain”.
WONGSO: “Rasanya,… kurang tampak seperti raja”.
OMBO: “Memang agak susah untuk menyelaraskan dia dengan
tahtanya”.
BOLO: “Maaf. Saya kira penting untuk mengutarakan pendapat
saya sejelasnya. --- Aryo Reso, teman-teman, saya khawatir bahwa
kita telah salah memilih raja” (semua terdiam). “Memang betul,
Baginda tidak membayangkan bahaya sebagai raja yang kejam.
Tetapi, Baginda membayangkan sebagai raja yang tak tahu
berbuat apa-apa. Ini tidak kalah berbahayanya bagi negara. Betul
Baginda bisa dibina, tetapi kalau terlalu banyak dibina, artinya,
Baginda menjadi boneka”.
RESO: “Tentu ada cara pembinaan yang tepat, yang bisa
merangsang kekuatan pribadinya yang asli”.
BOLO: “Mudah-mudahan. Namun, saat ini, kita tidak boleh
terlambat menyadari bahwa raja yang lemah sama berbahayanya
dengan raja yang kejam”.
SIMO: “Dari dulu kita berpendapat bahwa Aryo Reso dan Ratu
Dara akan bisa menanggulangi persoalan yang waktu itu sudah
bisa sedikit kita bayangkan”.
BOLO: “Ya, kita bayangkan. Tetapi, tidak sejauh ini. --- Sekarang,
kita harus membicarakan hal itu dengan lebih teliti”.
Rendra: Panembahan Reso 134

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Saya setuju dengan isi semangat dan maksud Aryo Bolo.
--- Aryo Reso, kenapa sampai sejauh ini kita meleset dalam
menilai orang?”
OMBO: “Betul! Terus terang saja memang meleset jauh. Lantas
kenapa jadi begini?”
RESO: “Rupanya, tahta memang bukan tempat duduk
sembarangan. Orang yang duduk di atas tahta itu menjadi pusat
perhatian. Semua sifat baik dan buruknya, semua kelebihan dan
kekurangannya akan lebih kelihatan daripada biasanya, karena
menjadi sasaran dan sorotan berjuta manusia”.
OMBO: “Saya kira memang begitu. Tidak semua orang kuat
mampu menjadi sasaran sorot mata”.
SIMO: “Tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kita harus
menghadapinya dengan gagah. Kita harus punya tekad untuk
memperbaiki keadaan buruk ini. --- Aryo Reso, kami yakin Anda
akan sanggup membina Sri Baginda”.
RESO: “Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi,
kenapa kita tidak percayakan saja kepada Ratu Dara”.
WONGSO: “Pengaruh Ratu Dara sebagai seorang ibu terhadap
Sri Baginda memang besar, tetapi beliau tidak begitu memahami
masalah yang hidup di kadipaten”.
BOLO: “Andalah yang lebih memahami masalah kenegaraan,
yang sesuai dengan cita-cita kami”.
Rendra: Panembahan Reso 135

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Baik. Bagaimanapun aku tetap ikhlas menerima tugas


yang Anda serahkan padaku. Tetapi, jelas di dalam hal mendekati
pribadi Sri Baginda aku sangat memerlukan bantuan Ratu Dara”.
SIMO: “Tentu saja. Saya yakin, Anda tidak akan kesulitan dalam
hal bekerjasama dengan Sri Ratu”.
OMBO: “Betul. Kelihatannya Sri Ratu menaruh rasa segan
kepada Anda”.
RESO: “Mudah-mudahan Anda tidak salah memandang.
Bagaimanapun aku membutuhkan kepastian bahwa Sri Ratu akan
membantu usahaku”.
SEKTI: “Kalau ada kesulitan saya akan membantu menyadarkan
Sri Ratu”.
RESO: “Baik teman-teman, dengan ikhlas akan aku pikul
tanggung jawab untuk membina Sri Baginda selama Sri Ratu
memberikan bantuannya”.
SIMO: “Sekarang, dengan lega hati kami bisa pulang ke kadipaten
masing-masing. Besok fajar kami akan meninggalkan ibu kota.
Sekarang, saya akan ke pesanggrahan untuk berkemas-kemas.
Aryo Reso dan Aryo Sekti selamat tinggal”. (pergi)
RESO & SEKTI: “Selamat jalan!”
OMBO: “Saya juga akan pergi”.
SEKTI: “Hati-hati di jalan”.
Rendra: Panembahan Reso 136

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

OMBO: “Aryo Reso, selamat tinggal. Jangan ragu-ragu dekatilah


Sri Ratu Dara. Beliau pasti membantu Anda”.
RESO: “Baiklah. Terima kasih”.

Ombo pergi.

WONGSO: “Aryo Sekti dan Aryo Reso, saya ucapkan selamat


tinggal. Anda berdua telah membantu meningkatkan hidup saya.
Saya yakin ibu saya juga akan ikut berterima kasih kepada Anda
berdua”. (pergi)
SEKTI & RESO: “Syukur. Itu bagus!”
BONDO: “Selamat tinggal, Aryo Sekti”.
SEKTI: “Selamat jalan”.
BONDO: “Aryo Reso, dalam membina Sri Baginda jangan lupa
menekankan pentingnya untuk segera menikah”.
“Aku relakan putri sulungku untuk menjadi istri Sri Baginda.
Selanjutnya, saya akan mendukung segala kemajuan yang Anda
cita-citakan”.
RESO: “Aku hanya punya cita-cita untuk kerajaan, tidak untuk
diriku sendiri”.
BONDO: “Itulah yang saya maksud. Untuk kerajaan! --- Nah,
selamat tinggal”. (pergi)
RESO: “Selamat”.
Rendra: Panembahan Reso 137

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BOLO: “Aryo Reso dan Aryo Sekti, selamat tinggal. --- Saya
mencium ada masalah gawat. Ini saya ucapkan dengan kegagahan.
Saya tidak hanya memprihatinkan Sri Baginda, tetapi saya kaget
melihat perkembangan diri teman-teman. Cacat-cacat yang dulu
tidak tampak di saat hidup dalam tekanan, kini muncul justru di
saat kita sudah menang. Banyak orang yang kuat menghadapi
tekanan, tetapi berantakan di dalam kemenangan”.
RESO: “Anda meragukan diriku?”
BOLO: ”Saya mendapat firasat bahwa kita harus sama-sama
waspada. Apakah Anda tersinggung oleh ucapan saya?”
RESO: “Tidak! Anda telah merumuskan pikiran Anda dengan
baik. Aku memahami”.
BOLO: “Terima kasih. Kita sama-sama berdoa!”
RESO: “Tepat!”
SEKTI: “Saya sangat terkesan pada ucapan Aryo Bolo. Wataknya
baik”.
RESO: “Ya! Ia orang baik”.
SEKTI: “Sungguh berat tanggung jawab Anda”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Apakah Anda merasa kesepian sesudah hidup sendirian
sebagai duda selama beberapa hari ini?”
RESO: “Tidak”.
Rendra: Panembahan Reso 138

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Bukankah almarhumah Nyi Mas Reso berasal dari


Karang Anyar?”
RESO: “Memang. --- Kenapa?”
SEKTI: “Anu. --- Saya kaget”.
RESO: “Kaget lagi?”
SEKTI: “Ingatkah musibah keracunan sari daun beludru yang
menimpa diri Anda?”
RESO: “Ya”.
SEKTI: “Ternyata, di wilayah kerajaan kita tumbuhan daun
beludru hanya bisa tumbuh di sekitar Karang Anyar”.
RESO: “Apakah Anda mengira aku diracun oleh istriku?”
SEKTI: “Rasanya tidak mungkin bukan?”
RESO: “Jangan gampang kita mengada-ada”.
SEKTI: “Ya, memang! Tetapi, di dalam hidup saya, sebagai
seorang mata-mata banyak saya jumpai kenyataan dari hal-hal
yang sebenarnya tidak mungkin terjadi”.
RESO: “Hati-hati. Jangan Anda mampus karena selalu dibikin
pusing oleh rasa curiga”.
SEKTI: “Jangan khawatir. Saya cukup tegar. Dan, tidak mudah
putus asa”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Salam!” (pergi)
Rendra: Panembahan Reso 139

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Salam! --- (kini sendirian) --- Semakin jelas sekarang


bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkan kerajaan. Percuma
saja membina si Rebo yang lahir pada hari Kamis itu! Tulang
punggungnya bukan tulang punggung raja! --- Wahai, induk angin
puting beliung, aku butuh bantuanmu kini! Batara Surya, akan aku
sedot racun hawa panasmu! Kepalsuan wajah rembulan akan aku
tekuni, dan hawa tenung Sang Dewi Malam akan aku resapi di
dalam semadi malamku. --- Wahai, Jagat Dewa Batara, demi
keutuhan dan kejayaan kerajaan aku tidak akan berhenti berusaha
sebelum aku menjadi raja! Panembahan Reso ialah aku!”

***

37. RUBAH DAN MUSANG MENEKAN RAJA


Malam hari. Di kamar Ratu Dara, Aryo Reso duduk bersila di
dekat ranjang. Ratu Dara duduk di atas ranjang.
RATU DARA: “Jago kita sudah duduk di atas tahta. Tetapi, masih
banyak ganjalan yang terasa di dalam hati”.
RESO: “Semua pangeran harus kita lenyapkan, baru betul-betul
kuat kedudukan raja kita”.
DARA: “Sekarang tinggal Pangeran Bindi dan Pangeran Kembar”.
RESO: “Aku akan membunuh mereka semua”.
DARA: “Bagaimana caranya?”
Rendra: Panembahan Reso 140

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Sekarang aku lagi tekun mengintai. Lama-lama, akan


muncul saatnya dan akan terbayang pula caranya”.
DARA: “Keyakinan Anda pada diri sendiri sangat besar sehingga
saya pun selalu yakin akan keberhasilan segala rencana Anda.
Tetapi, keyakinan saya kepada Sri Baginda goyah, semakin hari
semakin kehilangan tumpuan”.
RESO: “Hm”.
DARA: “Bagaimanakah pendapat khalayak ramai terhadap Sri
Baginda? Apakah para adipati pernah melahirkan perasaan mereka
terhadap Sri Baginda?”
RESO: “Mereka kecewa!”
DARA: “Sudah bisa diduga”.
RESO: “Ada yang berkata bahwa raja yang lemah sama
berbahayanya dengan raja yang kejam bagi kerajaan”.
DARA: “Betul juga pendapat itu!”
RESO: “Tetapi, mereka tetap setia kepada Sri Baginda, karena
percaya bahwa kita akan bisa membina dan mendampingi Sri
Baginda”.
DARA: “Selama Sri Baginda mendengarkan Anda pasti
kedudukannya aman. Sebab, pengaruh Anda besar terhadap para
aryo dan para panji”.
RESO: “Sri Ratu!”
DARA: “Ada apa Aryo?”
Rendra: Panembahan Reso 141

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Aku ingin segera menikah dengan Anda”.


DARA: “Begitu pula keinginan saya. Tetapi, saat berkabung kita
masing-masing belum lewat”.
RESO: “Kalau raja yang menikahkan kita berdasarkan firmannya,
apa pula yang bisa dikatakan masyarakat? Aku, yang tadinya
menurut kebiasaan masyarakat bukan aryo, karena firman raja bisa
menjelma menjadi aryo”.
DARA: “Alasan itu memang kuat”.
RESO: “Kita harus segera menikah, semata-mata demi
kepentingan kerajaan. Sebagai orangtuanya aku akan lebih leluasa
membina dan juga mempertahankannya”.
DARA: “Ya, tepat kata Anda. Saya nanti akan meyakinkan Sri
Baginda. --- Nah, itu dia! Saya dengar suara langkah jalannya”.

Raja masuk.
Raja: “Ibu! --- Oh, Aryo Reso!”
RESO: “Salam, Sri Baginda!”
RAJA: “Salam. --- Ibu memanggil saya?”
DARA: “Betul, Yang Mulia. Duduk!”
RAJA: “Ada apa Ibu?”
DARA: “Saya ingin berbicara mengenai masalah kerajaan”.
RAJA: “Tetapi, lebih dulu aku akan menyatakan……
bahwa ……… hatiku terguncang-guncang”.
Rendra: Panembahan Reso 142

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: “Kenapa Yang Mulia?”


RAJA: “Aku tidak menduga bahwa di kamar tidur Ibu ada
seorang lelaki”.
DARA: “Beliau bukan “sekadar seorang lelaki”, beliau adalah
Aryo Reso, penasihat dan pemangku raja!”
RAJA: “Tetapi, ini kamar tidur, Ibu!”
DARA: “Di sini, kami berbincang-bincang mengenai urusan
kerajaan”.
RAJA: “Tetapi, toh tetap ganjil! Ganjil!”
DARA: “Baik! Supaya tidak ganjil kawinkanlah kami berdua
dengan segera”.
RAJA: “Lho! Ini kan lebih ganjil lagi! --- Anda berdua belum lagi
lengkap seratus hari menjadi duda dan janda. Apa kata orang nanti?
DARA: “Orang tidak akan berkata apa-apa kalau hal itu
berdasarkan firman raja”.
RESO: “Yang Mulia! Hubungan kami memang punya dasar cinta,
tetapi kami mendesak untuk segera dinikahkan pada saat yang
ganjil ini karena dorongan pengorbanan. Apabila kami menikah,
persekutuan kita bertiga akan lebih kukuh dan punya hubungan
nalar yang lebih bisa diterima orang banyak. Apalagi, bila raja
berfirman bahwa Bagindalah yang menghendaki pernikahan ini”.
REBO: “Sekarang apa yang harus aku katakan?”
Rendra: Panembahan Reso 143

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Katakan ‘ya’, Yang Mulia. Sebab, kalau tidak, lebih baik
hamba meletakkan jabatan dan pergi bertani”.
DARA: “Ke mana Anda pergi akan saya ikuti”.
RAJA: “Oh, jadi aku dipojokkan! --- Baiklah, kalau memang
demi kerajaan Kalian aku kawinkan”.
RESO: “Terima kasih, yang Mulia!”
DARA: “Untuk selanjutnya, kita bertiga akan merupakan
persekutuan yang kuat yang memimpin kerajaan”.
RAJA: “Ternyata, menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan.
Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba-tiba. Dan,
membawaku ke alam yang ganjil yang aku tidak mengerti sama
sekali. --- Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang
terperanjat”.

***

38. DIBAWA BADAI KE SANA KEMARI


Siang hari. Di Balai Penghadapan. Ratu Kenari, Aryo Sekti, dan
beberapa pembesar ada di situ menghadap raja yang didampingi
Ratu Dara dan Aryo Reso.
RAJA: “Perkawinan Aryo Reso dan Ratu Dara yang terjadi tiga
hari yang lalu, sebagaimana telah aku katakan, atas kehendakku.
Aku masih muda, tetapi aku tidak merasa kikuk atau gentar untuk
Rendra: Panembahan Reso 144

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

menjadi raja yang menguasai kerajaan yang luas dan besar ini.
Sebab, aku dibantu sepenuhnya oleh Aryo Reso, pahlawan besar
kerajaan, yang kini menjadi ayahku. Kini, tahta raja akan lebih
teguh dan sentosa. --- Sebagai penasihat dan pemangku raja, Aryo
Reso tidak lagi bernama Aryo Reso. Aku, kini, menganugerahinya
gelar yang sesuai dengan kedudukannya sebagai ayahku. Sekarang,
nama dan gelarnya adalah Panembahan Reso. --- Sedang untuk
diriku sendiri, kini aku juga mengambil keputusan yang baru.
Sejak kini, namaku bukan lagi Mahesa Kapuranta, tetapi aku ganti
menjadi Maharaja Gajah Jenar. --- Sudah saatnya, aku menyadari
dengan tegas bahwa aku raja satu-satunya di wilayah kerajaan
yang luas ini. Adanya kekuasaan tandingan tidak aku izinkan. ---
Oleh karena itu, aku mendesak perlu segera adanya tanggapan
yang tegas dari Panji Tumbal, Pangeran Bindi, dan Pangeran
Kembar terhadap tahtaku. Kalau mereka mengakui kewibawaan
tahtaku, maka harus segera datang menghadap kemari dan
menyatakan pengakuannya. Sedangkan, kalau mereka melawan
tahta, kepala mereka akan dipenggal. Tugas untuk menyampaikan
firmanku ini aku serahkan kepada Panembahan Reso yang akan
menunjuk para utusan”.
RESO: “Baik. Hamba sanggup, Yang Mulia”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba akan berkirim surat kepada putra
kembar hamba dengan melewati utusan Panembahan Reso, sesuai
Rendra: Panembahan Reso 145

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dengan peraturan yang telah difirmankan. Di dalam surat itu


hamba minta agar segera pulang sesuai dengan ajakan Sri Baginda
yang penuh dengan kemurahan hati”.
RAJA: “Itu pikiran yang bagus”.
DARA: “Yang Mulia, sampai sekarang Aryo Lembu, Aryo Jambu,
Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu belum juga kembali ke ibu kota.
Sejak mereka ditugaskan untuk berkeliling mengamankan
kadipaten-kadipaten oleh almarhum Baginda Raja Tua. Utusan
mereka pun tidak dikirimkan. Saya bisa membayangkan
bagaimana kesepian istri-istri mereka. Ada baiknya bila para istri
itu dipanggil untuk sementara tinggal di dalam istana. Menemani
Ratu Kenari yang juga sedang kesepian”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba tidak tahu lagi apa itu kesepian.
Hamba sudah merasa puas bisa bersemadi di dalam kamar. Hamba
tidak perlu teman”.
RAJA: “Ratu Kenari, jangan kamu menolak maksud baik ibuku. -
-- Aryo Sekti hari ini juga jemputlah para istri aryo itu ke istana.
Biarlah mereka hidup tenang dan mewah di sini sampai suami
mereka pulang melaporkan diri kepada tahta”.
SEKTI: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA: “Bagus! Sekarang, marilah kita bersama-sama berdoa
untuk kejayaan kerajaan. Acara Penghadapan hari ini aku
bubarkan”.
Rendra: Panembahan Reso 146

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

39. PERANG BATIN DI MEDAN PERTEMPURAN


Siang hari. Perkemahan Barisan Kerajaan di Tegalwurung. ---
Aryo Bindi tampak duduk termenung seperti patung batu yang
lumutan. Pangeran Kembar masuk. Di situ ada juga serdadu
pengawal.
KEMBAR I: “Kakanda Bindi, saya membawa kabar gembira.
Panji Tumbal berhasil kami tawan”.
BINDI: “Apa?” (tangannya menggenggam surat)
KEMBAR II: “Kami berhasil menjebaknya sampai jauh masuk ke
wilayah kita. Ia kami kepung. Waktu ujung iga kanannya kena
sabet tongkat saya, ia pingsan”.
KEMBAR I: “Begitulah ia kami tawan. Kami kurung dan
kurungannya kami tambatkan pada pohon randu alas di sana.
Sekarang ini, pasukan kami sedang bersuka-ria menari
mengitarinya”.
BINDI: “Inilah salah satu kemenangan yang penting di dalam
hidup kita. Adinda kembarku, aku sangat bangga pada Kalian
berdua. Sepanjang hidup aku akan rela mengikat tali persekutuan
yang erat dengan Kalian”.
Rendra: Panembahan Reso 147

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Isi kalimat Anda penuh dengan penghargaan dan


maksud persaudaraan, tetapi wajah Anda dan nada suara Anda
mencerminkan keprihatinan yang belum Anda katakan”.
KEMBAR II: “Ya! Kakanda tampak bermuram durja!”
BINDI: “Kebanggaan Kalian sudah pada tempatnya, tetapi kita
sekarang menghadapi kenyataan bahwa nasib baik dan nasib buruk
bisa bergandengan tangan”.
KEMBAR II: “Apakah Kakanda ditimpa malapetaka?”
BINDI: “Kita semua terlanda bencana selagi di tangan kita
menggenggam keberuntungan. --- Ayahanda Sri Baginda Raja
wafat!”
KEMBAR I: “Duh, Gusti!”
KEMBAR II: “Apa?”

Hening. Bindi mengacungkan surat yang sejak tadi tergenggam di


tangannya.
BINDI: “Seorang utusan dari mata-mata kita di ibu kota
mengirimkan surat ini. --- Kedua saudara kandungku Pangeran
Gada dan Pangeran Dodot memberontak terhadap Sri Baginda. ---
Lalu kepala mereka dipenggal. --- Ibundaku Sri Ratu Padmi
berduka cita. Kemudian beliau bunuh diri di halaman istana. ---
Tak lama kemudian Sri Baginda juga wafat”.
Rendra: Panembahan Reso 148

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Kita bertiga kehilangan raja dan bapak. Tetapi,


kemalangan Anda ditambah dengan kehilangan ibunda dan adik
kandung”.
BINDI: “Tidak hanya itu! Karena, ternyata, aku juga kehilangan
tahta!” (kedua Pangeran Kembar tertegun) --- “Panji Reso dan
para adipati telah merajakan Pangeran Rebo. Si dungu yang
seharusnya duduk di keranjang sampah itu kini duduk di atas
tahta”.
KEMBAR II: “Saya bisa membayangkan betapa ibu Anda
sebelum akhirnya bunuh diri. Kedua putra kandungnya wafat
dipancung bersama-sama”.
BINDI: “Tetapi, memang begitulah hukuman untuk orang yang
memberontak kepada Raja! --- Diam-diam rupanya mereka juga
menginginkan tahta, yang menurut orang banyak sudah
dicadangkan oleh ayahanda untuk diriku”. (Kedua Pangeran
Kembar tertegun lagi) “Adinda Pangeran Kembar apakah Kalian
mendukung aku untuk menjadi raja?”
KEMBAR I: “Tentu saja. Memang, hanya Kakandalah yang
pantas untuk dibayangkan mengganti ayahanda”.
KEMBAR II: “Dibanding Pangeran Rebo kakanda jauh lebih
memadai”.
BINDI: “Jadi, Kalian mau bersumpah bahwa Kalian akan mati-
matian membantu aku agar bisa duduk di atas tahta?”
Rendra: Panembahan Reso 149

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Pasti, kakanda! Itu pasti!”


KEMBAR II: “Jangan Kakanda ragu-ragu dalam hal itu”.
KEMBAR I: “Tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi kita untuk
membicarakannya. Ini saat berkabung. Empat anggota keluarga
kita baru saja meninggal dunia”.
BINDI: “Urusan hidup dan mati bukanlah urusan orang gagah
seperti kita untuk direntang-panjangkan! --- Ayahanda sudah
sangat tua. Teman-teman Baginda seumur sudah wafat semuanya.
Ibuku seharusnya menyadari bahwa sudah selayaknya kedua
adikku kehilangan kepala karena memberontak terhadap raja.
Ibuku bunuh diri karena itu, sebenarnya sangat mengecewakan.
Rasa kecewa melebihi rasa dukaku. Baiklah! Yang lewat biarlah
lewat! Kewajiban kita yang nyata sebagai pangeran, pada saat ini
ialah menyelamatkan tahta dari tangan orang yang dungu. Ini
penting demi kelangsungan kejayaan kerajaan. --- Sekarang aku
minta Kalian bersumpah”.
KEMBAR I: “Saya bersumpah!”
KEMBAR II: “Saya bersumpah!”
BINDI: “Bagus! Aku puas! --- Coba, bawa Panji Tumbal kemari”.
KEMBAR II: “Baik. Saya ambil dia” (pergi).
KEMBAR I: “Kakanda, saya memikirkan ibuku Ratu Kenari.
Bagaimana nasib beliau di dalam pergolakan kekuasaan di ibu
kota”.
Rendra: Panembahan Reso 150

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Setiap orang punya kemampuan menyelamatkan dirinya.


Jangan kamu bersikap seperti bayi yang masih menyusu. Urusan
kerajaan yang lebih besar terbentang di depan mata kita”.
KEMBAR I: “Di samping kewajiban sebagai pangeran, saya juga
punya kewajiban sebagai seorang putra”.
BINDI: “Hati-hati, Adinda! Jangan-jangan kamu akan sukar
maju”.
KEMBAR I: “Hal itu sudah lama saya renungkan. Rupanya saya
memang tidak tertarik untuk maju. Kewajaran saya ialah sehari-
hari sebagai manusia biasa”.
BINDI: “Bagi saya, omonganmu ini tidak terasa sederhana, tetapi
justru ganjil kedengarannya”.

Muncul Pangeran Kembar II dengan membawa Panji Tumbal


yang terikat tangan dan badannya.
KEMBAR II: “Kakanda Pangeran Bindi, inilah tawanan kita,
Panji Tumbal, si pemberontak, saya bawa menghadap Anda”.
BINDI: “Terima kasih. --- Panji Tumbal, hari ini terbukti bahwa
aku telah mengalahkan Anda”.
TUMBAL: “Silakan berbangga sepuas Anda. Kekalahan ini saya
akui. Tetapi, kebenaran tetap berada di pihak saya. Sampai detak
jantung saya yang terakhir, saya tetap memberontak kepada
berhala kekuasaan”.
Rendra: Panembahan Reso 151

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Kunyah-kunyahlah sendiri anggapan Anda mengenai


kebenaran itu. Aku tidak tertarik untuk memperdebatkannya”.
TUMBAL: “Kalau begitu, kenapa tidak Anda selesaikan saja
tugas Anda sampai tuntas? Kenapa tidak segera Anda penggal
kepala saya?”
BINDI: “Kenapa Anda tergesa-gesa untuk kehilangan kepala?”
TUMBAL: “Kenapa saya mesti menikmati waktu yang penuh
dengan penghinaan ini?”
BINDI: “Raja yang menghendaki kepala Anda sudah tidak ada”.
TUMBAL: “Apa?”
BINDI: “Raja yang Anda tentang dengan pemberontakan telah
wafat”.
TUMBAL: “Ah! --- Lalu bagaimana maksud Anda sekarang?”
BINDI: “Seandainya saat ini Anda menang, Anda akan segera
meraih tahtanya, bukan?”
TUMBAL: “Tidak! --- Tidak ada minat saya untuk naik tahta.
Aku memberontak untuk menuntut pemerataan keadilan”.
BINDI: “Aku punya minat dan bakat untuk naik tahta. Maukah
Anda mendukung aku?”
TUMBAL: “Pikiran saya tertegun, Pangeran”.
BINDI: “Lumrah. --- Sekarang aku bantu Anda berpikir. Yang
berhak menjadi raja adalah seorang pangeran. Nah, kecuali kedua
Pangeran Kembar ini, keempat pangeran selebihnya, semua,
Rendra: Panembahan Reso 152

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

berminat untuk menjadi Raja. Gada dan Dodot sudah dipancung


oleh almarhum ayahku. Tinggal dua pangeran lagi, Rebo dan aku.
Si Rebo orang yang lemah, dungu, dan masih menyusu ibunya.
Tinggal aku. Aku telah membuktikan bisa unggul di medan perang.
Di bawah kekuasaanku ada jaminan bahwa kerajaan akan tetap
utuh dan sentosa”.
TUMBAL: “Anda seperti Sri Baginda Raja Tua. Seandainya,
Anda menjadi raja Anda hanya tertarik pada kekuasaan yang utuh
semu. Tetapi, nanti Anda juga akan kecolongan, tidak tahu bahwa
rakyat Anda, dari para pangeran, para senapati, dan para adipati
sebenarnya berantakan, gelisah, dan penuh ketidakpuasan. Anda
akan gampang tertipu oleh keutuhan semu dari keseragaman. Dan,
Anda akan gamang terhadap keselarasan dari keanekaan”.
BINDI: “Jadi, Anda pengagum dari keanekaan? --- sadarkah Anda
bahwa rakyat kita belum dewasa? Keanekaan akan meruwetkan
pikiran mereka! Kekacauan di dalam masyarakat lalu akan terjadi”.
TUMBAL: “Tetapi, hanya keanekaan yang memungkinkan
pikiran orang jadi berkembang dan dewasa!”
BINDI: “Memang betul, Anda tidak berbakat menjadi raja.
Keanekaan itu sumber perpecahan. Apa gunanya raja berkuasa
kalau ia tidak bisa menciptakan keseragaman yang tertib, rapi,
aman, dan sejahtera!”
Rendra: Panembahan Reso 153

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

TUMBAL: “Anda akan menjadi raja yang mengingkari naluri


pikiran manusia! Kalau Anda hanya berminat pada keseragaman,
kenapa Anda tidak menjadi pembuat batu bata saja?”
BINDI: “Jadi, Anda tidak punya selera untuk ketertiban?”
TUMBAL: “Tentu saja saya setuju kepada ketertiban! Tetapi,
seharusnya, sumber ketertiban itu adalah daulat hukum yang
mengatur keselarasan dari naluri pikiran yang beraneka. Inilah
dasar kelestarian hidup bersama. Sebaliknya, dasar ketertiban gaya
Anda hanyalah kelestarian kekuasaan”.
BINDI: “Tentu saja! Sebab keuasaan yang benar-benar kuatlah
yang bisa membuat negara menjadi kukuh”.
TUMBAL: “Anda hanya tertarik kepada yang kukuh dan beku,
Anda tidak tertarik kepada yang ulet dan hidup!”
BINDI: “Bah! --- Sekarang Rebo yang duduk di atas tahta.
Barangkali ini akan lebih cocok dengan selera Anda”.
TUMBAL: “Tidak! Anda dan beliau pilihan yang jelek!
Sedangkan, pilihan lain tidak ada. Kemiskinan pilihan dalam
kehidupan bangsa kita adalah akibat dari kekukuhan dan kebekuan
yang diciptakan oleh Bapak Anda, Sri Baginda Raja Tua. Sungguh
menyedihkan! Baru di saat terakhir aku menyadari bahwa aku,
Anda, Reso, Raja Tua, dan juga semua pangeran dan panji,
mengira dirinya berjuang untuk rakyat. Semua mengaku membela
rakyat. Tetapi, sebenarnya rakyat tak pernah kita ajak bicara.
Rendra: Panembahan Reso 154

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Rakyat tak pernah punya hak bicara! ---Astaga! Kita semua telah
bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi
untuk kedaulatan tahta semata!”

***

40. PARA ARYO MENGHADAP PANEMBAHAN


Di rumah Panembahan Reso. Pagi hari. Aryo Lembu, Aryo Jambu,
Aryo Bambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, Ratu Dara, dan
Panembahan Reso.
SEKTI: “Panembahan Reso, saya datang kemari untuk mengantar
teman-teman aryo, yang dulu diutus oleh almarhum Sri Baginda
Raja Tua untuk keliling ke kadipaten-kadipaten menghadap
kepada Anda”.
RESO: “Selamat datang, para Aryo. Kedatangan Anda di ibu kota
sangat kami nantikan. Terutama oleh Sri Baginda Maharaja”.
LEMBU: “Sebelum menghadap Sri Baginda Raja………”.
SEKTI: “Maaf, Maharaja, bukan raja”.
LEMBU: “Ah, ya! Ampun seribu ampun! --- Sebelum kami
menghadap Sri Baginda Maharaja, kami dahulu menghadap Anda
dan juga……… Sri……… Ratu Dara?”
SEKTI: “Ya, betul! Sri Ratu Dara!”
Rendra: Panembahan Reso 155

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

LEMBU: “Oh! ……… Kami lebih dahulu menghadap Anda dan


Sri Ratu Dara untuk meyakinkan diri bahwa kami tidak akan
membuat kesalahan yang sama sekali tidak kami maksudkan”.
BAMBU: “Selama kami bertugas telah banyak perubahan terjadi
dengan cara yang sah. Kami akan menyesuaikan diri dengan
perubahan ini”.
JAMBU: “Pendeknya, kami mengakui kedaulatan Sri Mahara
Gajah Jenar dan tunduk kepada semua keputusan yang telah
difirmankan oleh Sri Baginda”.
SUMBU: “Kami telah menjalankan tugas yang justru kami anggap
penting untuk mempertahankan keutuhan kerajaan. Sekarang,
kami tetap patuh dan bersedia untuk membela keutuhan kerajaan
di bawah naungan Sri Baginda Maharaja Gajah Jenar”.
RESO: “Bagus! Bagus! --- dengan cepat saya bisa menyimpulkan
bahwa Anda berempat Abdi Raja yang tahu diri dan tahu akan
kewajiban. --- Bagus! Bagus! Sri Baginda pasti akan ikhlas
menerima bakti Anda semua”.
JAMBU: “Syukurlah kalau begitu. Kami juga sangat berterima
kasih kepada Sri Baginda. Karena, beliau telah memberikan
perhatian besar kepada para istri kami. --- Bagaimanakah keadaan
mereka? Saya sendiri sudah merasa sangat kangen dengan istri
saya setelah sekian lama dipisahkan oleh tugas demi kerajaan”.
Rendra: Panembahan Reso 156

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Jangan khawatir. Keadaan mereka sangat mewah dan


sejahtera. Mereka dibawa ke istana demi keamanan mereka sendiri.
Jangan sampai mereka menjadi korban dari pancaroba perubahan.
Nanti, setelah Anda menghadap Maharaja, pasti istri Anda akan
diantar ke rumah kembali. --- Sri Ratu Dara dan Sri Ratu Kenari
selalu bermain-main dengan mereka”.
DARA: “Kami sering bermain bersama sampai agak larut malam.
Kami saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing”.
JAMBU: “Sungguh kami sangat berhutang-budi untuk kebaikan
hati semacam itu”.
RESO: “Jadi, kerajaan dalam keadaan kurang lebih utuh!”
LEMBU: “Begitulah. Kecuali keadaan di Tegalwurung! --- Panji
Tumbal berhasil ditawan oleh Pangeran Kembar. Kepalanya
dipenggal. Pangeran Bindi menduduki seluruh Kadipaten
Tegalwurung dan menyatakan menentang kedaulatan Maharaja
kita, serta menobatkan dirinya sendiri menjadi raja. Pangeran
Kembar mendukungnya”.
RESO: “Hm! --- Ini bukan persoalan remeh”.
DARA: “Ia bukan putra tertua dari almarhum Sri Baginda Raja
yang dulu. Atas dasar apa ia menobatkan dirinya menjadi raja?”
RESO: “Atas dasar kekuatan! Setiap orang yang merasa dirinya
kuat boleh saja menobatkan dirinya menjadi raja. Seperti juga, raja
yang dulu mendirikan kerajaan ini. Tinggal soalnya, apakah ia
Rendra: Panembahan Reso 157

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

akan bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar yang terkuat di


seluruh negara. Bisa tidak, ia menundukkan semua tandingan yang
ada”.
DARA: “Jadi, ia menantang kekuasaan Maharaja kita?”
RESO: “Sanggupkah Maharaja kita menyingkirkan dia? Atau
sanggupkah dia menyingkirkan Maharaja kita? Itu saja
persoalannya”.
BAMBU: “Dengan dukungan Anda sebagai pemangku, Maharaja
kita pasti akan bisa menumpas tandingannya di Tegalwurung!”
JAMBU: “Besar kepercayaan kami kepada Anda untuk bisa
mengatasi keadaan ini, Panembahan”.
LEMBU: “Dari sejak masih tinggal di istana, Pangeran Bindi
sangat mengerikan tingkah lakunya. Tanpa ragu-ragu saya akan
membantu Anda untuk membela Maharaja kita”.
RESO: “Aryo Sumbu, apakah Anda juga mempunyai kemantapan
seperti itu?”
SUMBU: “Jelas dan tegas, ya, Panembahan!”
RESO: “Setelah Anda semua beristirahat beberapa hari, bantulah
Sri Baginda untuk memerangi para pemberontak. Anda semua
mempunyai pengalaman yang luas di dalam pertempuran”.
LEMBU: “Di bawah pimpinan Anda kami semua patuh dan setia”.
RESO: “Silakan pulang dulu dan nanti sore menghadap Maharaja
di istana”.
Rendra: Panembahan Reso 158

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Keempat Aryo mohon diri lalu keluar.


SEKTI: “Pengaruh Anda terhadap para aryo, para panji, dan para
senapati sungguh sangat besar. --- Memang hanya Anda yang bisa
menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. --- Sekarang
saya pamit dulu, Panembahan. Di rumah saya ada tamu yang
menginap. Setelah minum kopi sore hari dengan tamu itu, saya
akan menghadap Maharaja ke istana”.
RESO: “Apakah tamu itu akan tinggal lama di rumah Anda?”
SEKTI: “Seperti biasanya, agak lama juga. --- Salam Ratu Dara. -
-- salam Panembahan”. (pergi)
DARA: “Anakku seorang diri tak akan bisa mempertahankan
tahtanya”.
RESO: “Itulah sebabnya kita harus membantu Baginda”.
DARA: “Maharaja boneka itu mulai memuakkan saya”.
RESO: “Tidak baik berkata begitu, sementara Baginda adalah
darah dagingmu sendiri”.
DARA: “Panembahan suamiku, ternyata Anda begitu kuat dan
kuasa, kenapa Anda tidak ingin menjadi raja?”
RESO: “Hahahaha! Apa kurang enaknya menjadi orangtua dan
pemangku raja?”

***
Rendra: Panembahan Reso 159

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

41. PERTEMUAN DARI HATI KE HATI


Sore hari. Di rumah Aryo Sekti. Panembahan Reso duduk
berembuk dengan Aryo Sekti.
RESO: “Anda tadi, di rumah saya, berkata bahwa hanya aku yang
bisa menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. Benarkah
itu?”
SEKTI: “Tentu saja. Apakah Anda berpura-pura tidak menyadari
kenyataan itu? Itu bukan kerendahan hati!”
RESO: “Bukannya tidak menyadari, tetapi kurang meyakini”.
SEKTI: “Ya, begitulah kenyataannya. Orang boleh suka atau
tidak suka kepada Anda, tetapi toh harus mengakui kenyataan
bahwa Anda sangat dibutuhkan oleh negara untuk mengatasi
perpecahan”.
RESO: “Jadi, Anda menganggap aku dibutuhkan oleh negara!
Tetapi, mengenai suka atau tidak suka terhadap diriku itu
bagaimana? Anda termasuk orang yang suka atau tidak suka?”
SEKTI: “Termasuk yang suka dan tidak suka”.
RESO: “Apa yang Anda tidak suka pada diriku?”
SEKTI: “Ada satu rahasia yang menyelubungi diri Anda yang
membuat diri saya penasaran”.
RESO: “Hm. Begitu. Memang ada sikap Anda yang agak
mengganggu hubungan kita berdua. Tetapi, rupanya bukan soal
Rendra: Panembahan Reso 160

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

yang menyangkut rasa tidak suka. Melainkan menyangkut rasa


curiga”.
SEKTI: “Ya! Ya! Memang betul! Betul! Saya punya rasa curiga
pada diri Anda”.
RESO: “Nah, sekarang jangan lagi ada rasa sungkan. Aku ingin
ada pertemuan dari hati ke hati dengan Anda”.
SEKTI: “Ini suatu kehormatan bagi saya”.
RESO: “Syukurlah. Sekarang tuntaskan, uraikan seluruh
kecurigaan Anda terhadap diriku”.
SEKTI: “Panembahan! Sebetulnya Anda ingin menjadi raja,
bukan?”
RESO: “Betul!”
SEKTI: “Sejak permulaan gerakan para panji?”
RESO: “Ya! --- Tepatnya, sejak Panji Tumbal mengajak aku ikut
berontak. Waktu itu, kita semua mulai menyadari bahwa keadaan
kerajaan yang buruk harus diubah. Aku melihat Baginda Raja Tua
sudah pikun, tetapi ia masih lebih baik dari semua calon pengganti
yang ada. Pada saat itu meskipun aku masih panji, aku sudah sadar
bahwa akulah yang bisa menyelamatkan negara”.
SEKTI: “Jadi, penilaian terhadap Anda yang sekarang saya
ucapkan, waktu itu, sudah Anda sadari?”
RESO: “Ya. Betul”.
Rendra: Panembahan Reso 161

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Di dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, ini


disebut kepongahan”.
RESO: “Aku menyadari kekuranganku, aku menyadari
kelebihanku. Itu saja!”
SEKTI: “Takaran Anda memang bukan takaran manusia biasa”.
RESO: “Penyadaran akan kelebihan diriku menerbitkan cita-cita
untuk menjadi raja dan menyelamatkan negara! Lalu, cita-cita itu
aku perjuangkan dengan rencana dan usaha”.
SEKTI: “Itulah sebabnya, Anda mengingkari pemberontakan
Panji Tumbal”.
RESO: “Ya, untuk menguasai semua adipati dan menghindari
perpecahan wilayah di dalam kerajaan. Karena, aku tidak sekadar
ingin duduk di atas tahta, tetapi ingin membela dan
menyelamatkan seluruh kerajaan”.
SEKTI: “Jadi, Anda memilih merajakan Rebo karena ia paling
lemah di antara para calon yang ada, dan bisa diterka akan
membutuhkan seorang pemangku?”
RESO: “Betul! Ya!”
SEKTI: “Dan, hubungan dengan Ratu Dara yang sampai sejauh
itu?”
RESO: “Itu, bukan rencanaku dari semula. Itu suatu unsur yang
tidak terduga yang ternyata sangat membantu rencanaku. --- Anda
lihat, setiap rencana dan usaha kalau benar-benar diperjuangkan
Rendra: Panembahan Reso 162

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk yang kita harus
berani menanggung atau mensyukuri”.
SEKTI: “Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya
hubungan asmara dengan Ratu Dara! --- Lalu, istri Anda
wafat………”.
RESO: “Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya”.
SEKTI: “Dan, lalu, kita bersama-sama merencanakan
pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! ---
Tetapi, siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun
oleh istri Anda”.
RESO: “Memang. Asasin yang mengungkapkan rahasia ini! ---
Istriku, karena ketakutan menentang cita-citaku untuk menjadi
raja”.
SEKTI: “Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada
istri?”
RESO: “Itulah kelemahanku! --- Semakin ketakutan, tingkah-laku
istriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia cita-citaku.
Lalu aku bunuh dia”.
SEKTI: “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah
sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota”.
RESO: “Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata
bersimbah darah dan berlumur noda”.
Rendra: Panembahan Reso 163

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Apakah Anda berpikir bahwa dunia akan memaafkan


cara Anda yang bernoda, karena cita-cita Anda bermanfaat dan
bersifat mulia?”
RESO: “Dunia yang mana? Dunia lahir manusia sudah
berlumuran bedak dan gincu. Tetapi, dunia nurani manusia
termasuk nuraniku, tidak akan pernah memaafkan noda-nodaku.
SEKTI: “Saya merasa kagum dan sekaligus kasihan kepada
Anda”.
RESO: “Cukup! Aku telah membukakan diriku. Dari hari ke hari
kita telah bertemu. Bagaimanakah sekarang sikap Anda
kepadaku?”
SEKTI: “Saya akan membantu Anda menjadi raja dan
menyelamatkan kerajaan”.
RESO: “Sebagai jantan dengan jantan: tuluskah Anda?”
SEKTI: “Tulus dan sadar. --- Beribu-ribu pendeta dan orang
beragama juga pernah mendukung Asoka Wardana yang jalan
kekuasaannya bersimbah darah, tetapi pada akhirnya, lalu menjadi
raja yang mulia”.
RESO: “Aku tidak akan menghibur nuraniku dengan persamaan
seperti itu. Aku tetap ingin menjadi raja dan membela negara,
tetapi juga dengan rela menanggung akibat dari dosa-dosaku”.
SEKTI: “Saya bersumpah setia kepada Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 164

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Terima kasih. --- Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan
hanya antara kita berdua”.
SEKTI: “Baik. --- Saya akan menemani Anda di dalam kesepian
Anda”.
RESO: “Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja Gajah
Jenar!”
SEKTI: “Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu”.
RESO: “Tunggu saja aba-aba dari aku”.
SEKTI: “Siap, Panembahan”.

***

42. JEJER RAJA TANDINGAN DI TEGALWURUNG


Di Kadipaten Tegalwurung. Pangeran Bindi duduk di kursi
adipati, dihadapi oleh Pangeran Kembar dan beberapa serdadu.
BINDI: “Kurang ajar! Jadi, rupanya, si Dungu itu memakai gelar
maharaja! Dan, ia berani memerintahkan kita untuk tunduk kepadanya!
Apakah matanya tidak melek, dan melihat ada gunung di depan
hidungnya. Pasukan gabungan yang kita pimpin kini sudah kenyang
asam dan garam pertempuran. Tidak ada yang lebih dahsyat dari tentara
kita di seluruh wilayah kerajaan. Dalam tempo singkat setelah lengkap
perbekalan yang diperlukan, kita akan segera menyerbu ke ibu kota”.
Rendra: Panembahan Reso 165

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Perhitungan kita harus benar-benar matang lebih


dulu. Di sana ada Panembahan Reso”.
BINDI: “Tinggal dia satu-satunya jago di kerajaan. Jago yang satu
yang dulu sangat ditakuti, si Panji Tumbal, telah berhasil kita
kalahkan tanpa kesulitan. Bahwa Reso terkenal hebat, itu kan
tempo dulu ketika kita belum muncul ke permukaan. Ia belum
pernah mendapat tanding yang setimpal. Tetapi, sekarang, aku
meragukan mutu dia yang sebenarnya”.
KEMBAR I: “Tetapi, di sana, juga ada Aryo Lembu yang
meskipun sudah tua tetap selalu jaya di medan laga”.
BINDI: “Jangan khawatir! Almarhum ayahanda sudah banyak
bercerita kepadaku mengenai kekuatan dan kelemahan cara
bertempur Aryo Lembu”.
KEMBAR II: “Kakanda Bindi, pasukan khusus Anda sudah
menduduki desa di Watu Songo yang dekat dengan perbatasan
Tegalwurung”.
BINDI: “Bagus! Sebelum menyerbu ibu kota, kita memang, akan
lebih dulu menduduki dan menguasai beberapa wilayah
Kadipaten”.
“Pasukan mereka akan kita gabungkan dengan pasukan kita seperti
halnya pasukan Tegalwurung di sini”.
KEMBAR II: “Tetapi, mereka juga merampok desa-desa yang
mereka duduki itu”.
Rendra: Panembahan Reso 166

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Jangan kamu rewel dengan segala macam ukuran hidup,


di dalam masyarakat aman! Ini suasana darurat, dan kita butuh isi
perbekalan. Setelah kita jaya, mana yang rusak akan kita bangun
kembali”.
KEMBAR II: “Sering saya tidak tega kalau melihat orang desa
ikut menderita”.
BINDI: “Sudah lumrah kalau mereka membantu kita, sebab kita
nantinya akan menjadi penguasa yang melindungi mereka, kalau
perlu dengan nyawa kita juga! Oleh karena itu, makin cepat
peperangan selesai, entah dengan cara apa itu, makin bagus.
Karena, mengurangi pengorbanan rakyat dan jerih payah kita
adalah lebih baik”.
KEMBAR I: “Kakanda Bindi, ibu kami berkirim surat dan
meminta agar kami menyerah kepada si Rebo. --- Jangan khawatir!
Saya sudah segera membalas menulis surat, dan mengingatkan ibu
untuk berhati-hati kepada tipu daya si Rebo. Sejak dari zaman
kanak-kanak ia bersifat licik dan pengecut. Ia gampang menipu,
gampang menangis, dan gampang pingsan. Bagaimana mungkin
orang semacam itu bisa diandalkan sebagai seorang raja?
Bagaimana mungkin kita tunduk pada orang tak berguna semacam
itu? Kalau kami datang, jangan-jangan kami diracun, dan dipenggal
kepala kami”.
BINDI: “Sudah betul pikiran kamu”.
Rendra: Panembahan Reso 167

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Tetapi, saya khawatir bagaimana nasib ibu kami


selama disandera”.
BINDI: “Jangan khawatir! Selama Kalian selamat, sandera yang
dipasang sebagai umpan Kalian pasti juga akan selamat. Kecuali
untuk memancing, guna sandera itu untuk mematahkan semangat.
Jadi, tabahkan hati! Jangan Kalian biarkan niat si Rebo terlaksana.
Begitu nanti kita akan mengepung ibu kota, pasukan khususku
akan secara mendadak menyerbu tempat ibumu ditawan. Dengan
begitu akan kita bebaskan ia”.
KEMBAR II: “Saya harus ikut dalam penyerbuan itu”.
BINDI: “Boleh saja! --- Nah, sekarang marilah kita tilik kembali
kemampuan pasukan kita. Dalam tempo singkat akan kita serbu
dan duduki Kadipaten Watu Songo. Istri Aryo Simo sudah tua,
tetapi putri-putrinya ada tiga. Satu persatu akan aku tiduri mereka
semua.

***

43. BONEKA YANG NGADAT


Sore hari. Di Balai Penghadapan. Maharaja, Ratu Dara, Ratu
Kenari, Pangeran Reso, Aryo Sekti, Aryo Lembu, Aryo Bambu,
Aryo Jambu, beberapa Punggawa, dan aryo Sumbu berada di situ.
Rendra: Panembahan Reso 168

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MAHARAJA: “Selamat datang semuanya. Terutama aku


menyambut kedatangan Aryo Lembu, Aryo Bambu, Aryo Jambu,
dan Aryo Sumbu, yang dulu menjadi sahabat baik almarhum
ayahku. Aku sudah dengar bagaimana Kalian menjalankan tugas
meninjau keadaan kadipaten-kadipaten. Aku puas dengan laporan
yang dibawa oleh utusan Kalian kepada almarhum ayahanda. Dan,
kini, Kalian datang menghadapku. Baik, sekarang apa katamu?”
LEMBU: “Hamba, Aryo Lembu, menghadap Sri Baginda
Maharaja untuk menyatakan kepatuhan dan kesetiaan”.
BAMBU: “Hamba, Aryo Bambu, mengucap setia kepada Sri
Baginda Maharaja Gajah Jenar”.
JAMBU: “Aryo Jambu bersumpah tunduk dan setia kepada Sri
Baginda Maharaja Gajah Jenar”.
SUMBU: “Hamba, Aryo Sumbu, menyatakan tunduk dan patuh
kepada Sri Baginda Mahara Gajah jenar”.
MAHARAJA: “Ini menyenangkan sekali. Aku pun juga akan
menyenangkan hati Kalian. Istri-istri Kalian akan segera
dibebaskan. Lho, maksudku, dibebaskan untuk hidup berbahagia
di rumah masing-masing bersama Kalian. Dan, Kalian aku beri
anugerah kuda, emas, dan senjata! --- Nah, aku puas, kamu puas”.
RESO: “Yang mulia, mereka juga membawa berita tentang apa
yang terjadi di Tegalwurung”.
Rendra: Panembahan Reso 169

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MAHARAJA: “Ah, ya! Inilah berita yang aku tunggu-tunggu.


Apakah Panji Tumbal menang? Ia dulu pernah meminta aku untuk
menjadi raja”.
LEMBU: “Yang Mulia, Panji Tumbal telah ditawan”.
MAHARAJA: “Ditawan?”
LEMBU: “Ditawan oleh Pangeran Kembar. Lalu, kepalanya
dipenggal”.
MAHARAJA: “Begitu dahsyat mereka?”
SEKTI: “Di medan laga, Pangeran Kembar itu bersifat seperti dua
ekor naga, dan Pangeran Bindi mengamuk bagaikan seekor singa”.
MAHARAJA: “Jadi, mereka menang dengan gilang-gemilang?”
LEMBU: “Pangeran Bindi menduduki kota kadipaten dan seluruh
wilayah Kadipaten Tegalwurung”.
MAHARAJA: “Kenapa ia tidak mengirim utusan kemari untuk
melaporkan kejadian penting ini? Dan, lagi, aku sudah mengirim
utusan dengan surat kepadanya?”
LEMBU: “Yang Mulia! Pangeran Bindi menyatakan menolak
kedaulatan paduka, dan menobatkan dirinya menjadi raja”.
MAHARAJA: “Ini namanya pemberontakan! --- Kenapa ia begitu
benci kepadaku? --- dan, bagaimana Pangeran Kembar?”
LEMBU: “Mereka mendukung Pangeran Bindi. Kini, pasukan
mereka digabung dengan pasukan Panji Tumbal yang telah
Rendra: Panembahan Reso 170

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dikalahkan. Pangeran Kembar menjadi panglima dari seluruh


pasukan gabungan”.
MAHARAJA: “Pengkhianatan! Pemberontakan! Kita harus
berbuat sesuatu”.
SEKTI: “Kami semua siap menunggu titah Yang Mulia Sri
Baginda Maharaja Gajah Jenar!”
MAHARAJA: “Ratu Kenari! Kenapa putra-putramu jadi begini?
Ternyata, sudah terbukti bahwa mereka tidak jinak seperti katamu
dulu!”
KENARI: “Yang Mulia! Hamba yakin mereka sekadar terbawa
oleh suasana dan mendapat pengaruh buruk dari Pangeran Bindi.
Hamba yakin hamba masih bisa berbicara dan menginsyafkan
mereka ke jalan yang benar”.
MAHARAJA: “Baik! Marilah kita membuat Panitia Perundingan
dengan Bibi Ratu Kenari di dalamnya”.
DARA: “Apa yang akan dirundingkan? Mereka menghendaki
tahta dan kepala Paduka!”
KENARI: “Yang Mulia! Setidak-tidaknya, saya yakin akan bisa
menginsyafkan kedua putraku, Pangeran Kembar”.
MAHARAJA: “Betul! Setiap kesempatan untuk perdamaian
harus kita manfaatkan”.
DARA: “Yang Mulia. Jangan lengah! Pertahankan Kepala dan
Tahta Paduka”.
Rendra: Panembahan Reso 171

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MAHARAJA: “Belum tentu itu yang mereka inginkan”.


DARA: “Dari dulu Pangeran Bindi ingin menjadi raja!”
MAHARAJA: “Siapa tahu sekarang ia bisa puas dengan
Kadipaten Tegalwurung saja!”
RESO: “Yang Mulia! Apakah Paduka akan membiarkan kerajaan
pecah dan terbagi?”
MAHARAJA: “Apakah gunanya peperangan? Peperangan
membuat rakyat menderita. Dan, lagi, mereka masih saudaraku
sendiri. Kenapa mereka tidak boleh mendapat bagian dari
kejayaanku!”
RESO: “Yang Mulia! Keutuhan kerajaan harus dipertahankan.
Kalau tidak anjing-anjing Portugis itu akan menyusup kembali.
Yang Mulia! Bila ada orang berani berontak, kita harus
memenggal kepalanya”.
MAHARAJA: “Apa? Memenggal kepala saudara-saudaraku
sendiri?”
RESO: “Tetapi, beberapa waktu yang lalu, Paduka sendiri yang
mengumumkan akan memenggal kepala orang yang berontak!
Sekarang, di mana wibawa firman Sri Baginda Raja?”
MAHARAJA: “Aku toh bisa membuat firman yang baru!
Sekarang, pikiranku sudah berkembang! Apa tidak boleh
pikiranku berkembang? Aku mulai melihat kemungkinan akan
adanya perundingan”.
Rendra: Panembahan Reso 172

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KENARI: “Betul, Yang Mulia! Dengan mengandalkan pengaruh


hamba yang kuat kepada anak-anak hamba, hamba pasti bisa
meyakinkan bahwa Pangeran Bindi bisa mendapatkan
Tegalwurung, tetapi tidak sebagai raja, cukup sebagai adipati saja”.
MAHARAJA: “Ya! Betul! Oh, betul! Kenapa tidak! Itu pikiran
yang bagus dan bisa dicoba”.
KENARI: “Hamba bersedia untuk dikirim sebagai utusan”.
DARA: “Ratu Kenari! Begitukah cara Anda untuk lari dari sini
dan bergabung dengan para pemberontak?”
MAHARAJA: “Lho! Ibu! Kenapa begitu cara berpikir ibu?”
DARA: “Seperti Paduka sudah lupa naluri kekuasaan saja!”

Seorang punggawa tiba-tiba masuk.


PUNGGAWA: “Yang Mulia! Maaf, Yang Mulia!”
MAHARAJA: “Ada apa?”
PUNGGAWA: “Ada berita penting dibawa oleh anggota mata-
mata kerajaan. Pasukan Pangeran Bindi menyerbu, menerobos
perbatasan Kadipaten Watu Songo dan menduduki beberapa desa
di dekat perbatasan itu. Selanjutnya, memaklumkan sumpah
bahwa ia akan melaju melabrak ibu kota dan merebut tahta Sri
Baginda Maharaja”.
MAHARAJA: “Kurang ajar! Ini benar-benar bencana!”
DARA: “Nah, apa kata hamba, Yang Mulia!”
Rendra: Panembahan Reso 173

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Bertindaklah tegas kepada mereka, Yang Mulia! Sebelum


terlambat”.
KENARI: “Sebelum terlambat, Yang Mulia. Segeralah berunding
dengan mereka”.
DARA: “Ratu Kenari, Anda begitu tega mengorbankan keutuhan
kerajaan. Begitu tega pula menjatuhkan wibawa tahta putraku.
Semata-mata karena ingin membela putra Anda yang sudah jelas
mengumumkan pemberontakan”.
MAHARAJA: “Ibu! Apakah ibu tidak menyadari bahwa Bibi
Ratu Kenari berusaha menegakkan perdamaian antara sesama
saudara dan mencegah penderitaan rakyat yang terancam untuk
dilanda peperangan?
DARA: “Omong kosong apa pula ini! Mana bisa kerajaan akan
diperlakukan seperti nasi kenduri!”
MAHARAJA: “Oh! Ibu!”
RESO: “Yang Mulia, apakah nasihat hamba sebagai Pemangku
Paduka masih ada harganya? Atau, Paduka akan menyingkirkan
hamba ke desa untuk bertani?”
MAHARAJA: “Aduh! Kepalaku! Oh, perutku! Aku mau
muntah!” (muntah hawa) --- “Oh, tak ada yang keluar! --- Oh,
dadaku sesak!”
RESO: “Pengawal, bawa Sri Baginda masuk ke dalam! Biarkan
Baginda beristirahat dulu!”
Rendra: Panembahan Reso 174

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Dua orang pengawal bertindak cekatan.


MAHARAJA: “Ya! Persidangan ditunda satu minggu! Aku perlu
menenangkan batin dan perutku lebih dulu”.
KENARI: “Panembahan Reso, begitu tega Anda menekan
Maharaja yang masih suci dan muda dengan gagasan yang ganas
tanpa peri kemanusiaan. Mana mungkin Anda membela kerajaan
tanpa membela nilai-nilai yang luhur di dalam kehidupan?”
MAHARAJA: “Bibi! Sudah, Bibi! --- Antarkan aku masuk ke
dalam. Kita tunda dulu masalah yang buas dan kasar ini”.

Maharaja dan ratu Kenari masuk dengan para Pengawal.


Suasana hening. Ratu Dara tertunduk dengan rasa hancur dan
malu.
DARA: “Maaf, para Aryo, maaf! Sihir yang jahat telah menimpa
Maharaja kita. Tidak biasanya Baginda bertingkah seperti ini”.
JAMBU: “Jauhkan Baginda dari Ratu Kenari. Usul-usulnya serba
tidak masuk akal dan melemahkan semangat Baginda”.
DARA: “Saran Anda sangat perlu saya perhatikan.
RESO: “Cukup! Sekarang, silakan Anda berempat pulang. Istri
Anda akan segera kami susulkan”.
Rendra: Panembahan Reso 175

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BAMBU: “Baik. Kami akan pulang, tetapi berjanjilah Anda tidak


akan terlambat mengambil tindakan untuk membela keutuhan
kerajaan”.
SUMBU: “Keutuhan kerajaan tidak bisa dikorbankan begitu saja.
Kami mohon, janganlah Anda berdiam diri di dalam hal ini”.
LEMBU: “Sedikit saja ada kelemahan di dalam wilayah kerajaan,
anjing-anjing Portugis pasti akan melakukan pendudukan. Dan,
mungkin juga, kalau Pangeran Bindi dibiarkan leluasa agak terlalu
lama, ia justru akan mengundang bantuan orang Portugis untuk
menerjang ibu kota merebut tahta. Lalu, sebagai imbalan, ia akan
membuka dua atau tiga bandar bagi mereka”.
RESO: “Jangan khawatir! Kepercayaan Anda semua tidak akan
aku lalaikan. --- Sampai ketemu”.

Mereka bertukar salam, dan keempat Aryo itu pun pergi. Tinggal
Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Aryo Sekti.
DARA: “Tidak akan aku bisa memaafkan Si Rebo yang telah
memberi rasa malu seberat ini. Ah! Kandunganku terasa berkerut-
kerut dengan penuh penyesalan”.
RESO: “Istriku, tenangkan dulu pikiranmu”.
DARA: “Bagaimana bisa tenang?! Ia tidak hanya menjijikkan,
tetapi juga menjadi berbahaya untuk kita. Apa yang kita bina bisa
Rendra: Panembahan Reso 176

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

runtuh tanpa ia pedulikan. Dan, bila terancam ketakutan ternyata


ia tega mengkhianati kita”.
RESO: “Sudahlah! Sabar! Marilah kita sendiri pulang. Besok pagi
kita garap lagi masalah ini dengan segera”.
DARA: “Saya lupa, siapakah pembunuh yang dulu membantu kita
menyingkirkan Raja Tua?”
RESO: “Siti Asasin”.
DARA: “Tolong, saya ingin ketemu dia”.
RESO: “Astaga! Untuk apa?”
DARA: “Kalau kita sudah tega menyingkirkan satu raja, apa
sulitnya untuk menyingkirkan satu raja lagi?”
SEKTI: “Begitu besarkah tekad Anda?”
DARA: “Kenapa tidak? Akan saya buktikan bahwa wanita yang
tegas lebih pantas duduk di atas tahta”.
RESO: “Duh Gusti! Kamu bisa lebih mampu mengatur negara itu
aku tak ragu. Tetapi, jangan kamu bertindak kejam kepada putra
kita”.
DARA: “Ia bukan putra Anda. Dan, bukan lagi putra saya”.
RESO: “Jadi, kamu benar-benar bertekad untuk menobatkan diri
menjadi raja?”
DARA: “Kenapa tidak, bila saya merasa kuat dan bisa
membuktikan bahwa kuat? Bukankah Anda bisa menjadi andalan
saya yang utama? --- Bila Anda ragu-ragu untuk memanggil
Rendra: Panembahan Reso 177

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

pembunuh itu, saya bisa bertindak sendiri dengan cara saya!”


(pergi)
RESO: “Aryo Sekti, Anda menyaksikan sendiri sekarang
bagaimana unsur yang tidak terduga telah membantu usaha ke
arah cita-cita kita!”
SEKTI: “Ya. Memang! Dan, saya juga menyaksikan bagaimana
mengerikannya sihir gaib dari tahta. --- Sebenarnya, sekarang ini,
hati saya menjadi kecut. Tetapi, demi keutuhan dan kejayaan
kerajaan, saya tidak akan mundur dalam membantu usaha Anda”.

***

44. SIHIR CANDU KEKUASAAN


Pagi hari. Di Balai Penghadapan Istana Raja. Aryo Lembu, Aryo
Bambu, Aryo Jambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, dan Panembahan
Reso duduk berkumpul di situ. Tahta raja kosong.
SUMBU: “Masih berapa lama lagi kita harus menunggu?
Panembahan, apakah tidak sebaiknya Anda menyusul Sri Baginda
ke kamarnya?”
“Baginda harus menentukan sikap hari ini. Kalau terlambat, makin
besar kerugian yang akan diderita oleh masyarakat. Dari hari ke
hari semakin kuat persiapan Pangeran Bindi”.
Rendra: Panembahan Reso 178

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Lebih baik kita bersabar sebentar. Kalau merasa terlalu


ditekan Baginda akan semakin kacau jalan pikirannya”.
JAMBU: “Pasukan saya sudah saya siapkan kembali. Kami siap
untuk menerima perintah dari Anda, Panembahan”.
RESO: “Tetapi, langkahku harus lebih dulu disetujui oleh Sri
Baginda”.
BAMBU: “Pasukan saya juga sudah siap. Yang gelisah menunggu
perintah bukan hanya saya, tetapi juga seluruh prajurit pasukan.
Bahkan, kuda-kuda kami yang di istal ikut gelisah dengan bulu
suri yang berdiri”.
RESO: “Sebelum aku duduk di sini aku mencoba menemuinya.
Tetapi, Baginda tidak mau menerima kunjungan siapa pun.
Kemudian, ibu Baginda, istriku, mendesak, berseru dari balik
pintu memohon menghadap. Akhirnya, Baginda sudi menerima
ibundanya”.

Tiba-tiba punggawa masuk.


PUNGGAWA: “Mohon ampun, Panembahan! Aryo Simo datang
terburu-buru, mendesak untuk diperkenankan masuk ke Balai
Penghadapan”.
RESO: “Biarkan ia masuk”.
PUNGGAWA: “Baik, tuanku”. (pergi lagi)
Rendra: Panembahan Reso 179

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SUMBU: “Kadipaten Watu Songo, wilayah Aryo Simo, mulai


menjadi sasaran pasukan Pangeran Bindi. Mereka menyerbu
bertubi-tubi”.

Masuk Simo setengah berlari.


SIMO: “Salam, para Aryo! Salam, Panembahan! Di manakah Sri
Baginda?”
RESO: “Masih di kamarnya. Kami semua menunggu Sri Baginda.
--- Tetapi, kenapa keadaan Anda seperti ini? Anda tampak seperti
baru saja dilabrak prahara”.
SIMO: “Bencana, Panembahan! Bencana! Lebih enak dilabrak
prahara rasanya. Saya dilabrak oleh pasukan Pangeran Bindi.
Mereka telah menduduki Kota Kadipaten”.
RESO: “Astaga!”
SIMO: “Pasukan mereka kuat dan buas. Saya tidak merasa malu
melarikan diri. Sesudah bertahan selama mungkin dan sempat
mengungsikan seluruh keluarga saya, akhirnya saya mundur dan
lari kemari. Tiga hari perjalanan tanpa berhenti. Sekarang,
keadaan saya, antara hidup dan mati”.
RESO: “Apakah Anda meninggalkan wilayah Watu Songo tanpa
pertahanan sama sekali?
SIMO: “Tentu saja tidak. Pasukan saya tarik mundur dari Kota
Kadipaten untuk membuat pertahanan di Hutan Roban. Di situ
Rendra: Panembahan Reso 180

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

membuat pertahanan yang kuat lebih dimungkinkan. Lebih baik


kita yang lebih dulu menduduki hutan itu daripada mereka. Jadi,
kami mundur dari Kota Kadipaten agar bisa lebih kuat bertahan.
Dan, dengan begitu pula kami menghadang jalan mereka ke arah
ibu kota”.
RESO: “Syukurlah. Aku membenarkan pertimbangan Anda”.
JAMBU: “Bagaimanapun pasukan Aryo Simo pasti memerlukan
bantuan”.
SIMO: “Pangeran Bindi telah memperkosa gadis-gadis desa.
Pernah terjadi, dalam tempo sehari sepuluh gadis ia perawani”.
LEMBU: “Jahanam!”
RESO: “Tenang, Aryo Lembu. Lebih baik kita mati di medan
perang dari pada mati karena hati yang penasaran”.
LEMBU: “Sekarang juga kita harus bergerak”.
RESO: “Tidak sekarang! Tetapi, hari ini kita pasti bergerak.
Percayalah kepada janjiku ini”.

Punggawa masuk lagi.


PUNGGAWA: “Maaf, Panembahan. Aryo Bolo, Aryo Ombo,
Aryo Bondo, Aryo Wongso mohon masuk ke Balai Penghadapan.
Menurut mereka, persoalan yang mereka bawa bersifat gawat dan
harus segera diutarakan kepada Sri Baginda”.
RESO: “Biarkan mereka masuk dengan segera”.
Rendra: Panembahan Reso 181

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PUNGGAWA: “Baik. Panembahan”. (keluar)


RESO: “Di dalam keadaan gawat ini, kita tidak boleh terburu
nafsu, dan akhirnya membuat kesalahan tanpa kita sadari.
Tenangkan diri! Keadaan yang lebih gawat dari ini pernah kita
alami, di kala kita melawan penindas Portugis, di masa remaja
dulu. Toh, waktu itu, kita bisa mengatasinya. Apalagi sekarang
dalam keadaan sudah lebih banyak pengalaman”.

Masuk Aryo Bolo, Aryo Bondo, Aryo Ombo, dan Aryo Wongso.
Mereka saling bertukar salam dengan yang sudah hadir lebih
dahulu.
BOLO: “Di manakah Sri Baginda?”
RESO: “Sebentar lagi akan muncul. Kami semua menunggu.
Kami sudah menerima laporan dari Aryo Simo, dan kami
memahaminya”.
BOLO: “Anda tidak akan bertindak tanpa persetujuan Sri
Baginda?”
RESO: “Tentu saja”.
BOLO: “Tetapi, dari jauh saya sudah bisa membaca. Anda orang
yang tangkas bertindak dan cepat bisa menilai keadaan. Bahwa,
dalam hal ini ada terjadi kelambanan. Itu pasti terjadi karena sikap
Sri Baginda. Sikap apakah itu?”
RESO: “Ada yang Baginda pertimbangkan”.
Rendra: Panembahan Reso 182

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SUMBU: “Baginda punya pikiran untuk berunding dengan


Pangeran Bindi!”
BONDO: “Apa?”
SIMO: “Setelah puluhan desa dirampok dan puluhan gadis
diperawani?”
OMBO: “Sadarkah Baginda bahwa Pangeran Bindi merasa dalam
keadaan yang lebih kuat dan akan melecehkan tawaran untuk
perundingan?”
BONDO: “Apa-apaan ini! Kita rajakan Baginda toh tidak untuk
membiarkan sepertiga kerajaan dimakan anjing!”
RESO: “Cukup! --- Bahwa keadaan gawat, sudah cukup jelas bagi
kita. Dan, aku sudah berjanji akan punya jalan keluar dari keadaan
yang buruk ini. Tetapi, sesuai dengan kedudukanku sebagai
Pemangku, aku membutuhkan restu Baginda untuk menjalankan
siasatku. Sekarang ini, istriku, Ibunda Sri Baginda, sedang
berusaha untuk membujuk agar sudi menemui kita”.
BOLO: “Saya telah mengingatkan bahwa hal semacam ini bisa
terjadi”.
WONGSO: “Terus, bagaimana bila Panembahan Reso
mengajukan tindakan jalan keluar, tetapi Sri Baginda tidak
merestuinya? Lalu apa yang pantas dilakukan?”
BOLO: “Panembahan Reso harus berani menentang raja”.
RESO: “Apa?”
Rendra: Panembahan Reso 183

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BOLO: “Ya! Demi keselamatan kerajaan!”


RESO: “Nanti dulu! Pengandaian Anda terlalu jauh. Bila Baginda
bimbang tidak berarti Baginda tidak bisa diinsyafkan. Tetapi,
kalau hal mokal-mokal kiranya toh terjadi juga, maka
sebagaimana pernah aku buktikan, aku akan menempatkan
kepentingan kerajaan di tempat utama, lalu bertindak dengan cara
yang paling bijaksana. Dalam hal ini, restu Anda semua yang aku
minta”.
BOLO: “Kami akan memberi restu semacam itu kepada Anda.
Teman-teman setuju dengan saya?”
SIMO: “Jelas setuju!”
SEMUA: “Setuju! Setuju!”

Muncul Ratu Dara dalam keadaan yang kumuh dan lusuh.


Tangannya berlumur darah.
RESO: “Istriku, apa yang terjadi?”
DARA: “Jangan sentuh aku! --- Aku telah membunuh Sri Baginda
Maharaja”.

Semua orang kaget dan membatu.


DARA: “Aku telah menikam jantung putra tunggalku dengan
kerasnya. Ia bukan lelaki yang sejati. Ia tak mampu
Rendra: Panembahan Reso 184

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

mempergunakan kerisnya. Jadi, biarlah keris itu terhunjam di


dadanya”.
“Ia membuat aku merasa malu. Kita dudukkan ia di atas tahta, dan
di atas tahta itu ia akan mencincang negara, didorong oleh rasa
takutnya. Sekarang, aku merasa seperti mengambang di telaga
darah. Apakah aku telah menjadi hantu? Apakah aku berada di
alam gaib? Bau amis memenuhi udara. --- Suamiku, membunuh
orang ternyata tidak gampang. Begitu batang keris menancap ke
badan korban, serasa darah mengucur dari tubuhku sendiri.
Seluruh diriku serasa menjadi ada dan tiada. Suamiku, pahamkah
Anda? --- Suamiku”.
SEKTI: (tiba-tiba mencabut keris dan menikam mati Ratu Dara)
“Pengkhianat!”

Semua orang terkesiap. Panembahan Reso pelan-pelan


membungkuk meraba mayat istrinya.
SEKTI: “Maaf, panembahan, saya bunuh istri Anda karena ia
telah membunuh Maharaja kita”.
RESO: “Anda tidak bersalah. Anda menjatuhkan hukuman pada
orang yang benar-benar telah berdosa. Tugasnya sebenarnya
seperti tugasku, yaitu menjadi Pemangku Raja. Seorang yang
dipercaya memangku tidak boleh menyirnakan yang dipangku. ---
Seharusnya, aku sendirilah yang menjatuhkan hukuman, tetapi
Rendra: Panembahan Reso 185

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Anda lebih cepat dari aku. Aku tadi lamban karena didorong
perasaan jijik dan ngeri, begitu menyadari bahwa istriku ternyata
tega mengkhianati raja yang juga putranya. --- Pengawal!
Singkirkan jenazah ini. Uruslah baik-baik bersama jenazah raja.
Ada urusan negara yang lebih utama untuk kami bereskan di sini”.
PENGAWAL: “Baik, Yang Mulia!”

Jenazah disingkirkan.
BOLO: “Saya kagum pada kekuatan Anda untuk menerima ujian
batin yang berat ini. Tidak perlu memberikan kata-kata hiburan
dan peringatan. Karena, Anda sudah bisa menguasai diri dan
menyadari adanya tugas kita bersama yang mendesak di depan
mata, ialah: tugas membela negara!”
LEMBU: “Seperti Anda, saya pun telah mengalami puluhan
pertempuran. Kita telah puluhan kali menyaksikan sahabat karib,
atau bahkan saudara, gugur di dekat kita, dan kita tetap bisa
menguasai diri. Oleh karena itu, meskipun kelihatan kejam, saya
tega untuk meminta kepada Anda, marilah kita terus bekerja
sekarang juga. Pimpinlah kami agar bisa bertindak hari ini juga
membela negara yang sedang dilanda bencana”.
SIMO: “Panembahan, saya juga memohon. Di Watu Songo, saat
ini juga, terjadi banyak bencana yang sama besarnya dengan
bencana yang menimpa hidup pribadi Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 186

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Aku berdiri di sini, di antara Anda semua, justru untuk


melaksanakan kewajiban. --- Tetapi, lebih dulu kita harus
menyadari bahwa Pangeran Bindi yang Anda semua bermaksud
memerangi, sekarang ini, Pangeran yang memang berhak atas
tahta, setelah Sri Baginda Maharaja kita wafat”.
BOLO: “Dengan tegas saya menolak merajakan orang yang
sangat berbahaya itu”.
OMBO: “Belum menjadi raja saja ia sudah merampok rakyat dan
memperkosa gadis-gadis yang tidak berdaya. Lalu, bagaimana
jadinya nanti kalau ia menjadi raja!”
RESO: “Kalau begitu kita akan merajakan salah satu dari
Pangeran Kembar”.
BONDO: “Tidak mungkin! Mereka dengan sadar sudah memihak
Pangeran Bindi, berarti mereka dengan sadar telah memihak
kepada kejahatan”.
SUMBU: “Jangan sampai kita salah memilih raja lagi. Contoh
yang baru saja terjadi jangan sampai terlupakan, karena kita,
terutama Anda telah membayarnya dengan harga sangat mahal”.
RESO: “Tetapi, kita harus memilih raja di antara para Pangeran!
BOLO: “Tidak selamanya harus begitu. --- Yang utama
bagaimana baiknya untuk negara. --- Sekali lagi, ingatlah pada
pelajaran mahal yang baru saja kita alami”.
Rendra: Panembahan Reso 187

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

JAMBU: “Jangan lagi kita memilih raja seperti berjudi untung-


untungan. Kita harus memilih orang yang sudah terbukti mutu dan
kemampuannya untuk kita rajakan”.
BOLO: “Tepat! Tepat! Marilah kita rajakan orang yang telah
terbukti sanggup memimpin, telah terbukti diakui pengaruh
kewibawaan pribadinya, telah terbukti punya wawasan kenegaraan,
telah terbukti ahli mengatur siasat perang, dan juga telah terbukti
ikhlas melakukan pengorbanan pribadi demi negara, serta sampai
sekarang kehidupan pribadinya bersih dari pencemaran noda.
Marilah kita rajakan Panembahan Reso!”
SIMO: “Setuju!”
SEMUA: “Setuju! Setuju!”
LEMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”
SIMO: (berlutut) ”Salam, Raja!”
OMBO: (berlutut) “Salam, Raja!”
BONDO: (berlutut) “Salam, Raja!”
WONGSO: (berlutut) “Salam, Raja!”
SEKTI: (berlutut) “Salam, Raja!”
BAMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”
JAMBU: (berlutut) “Salam, raja!”
SUMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”
Rendra: Panembahan Reso 188

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Aryo Lembu membimbing Panembahan Reso, didudukkan di atas


tahta. Lalu, ia pun dirajakan oleh orang.
LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Raja, siapakah nama dan
gelar Paduka sebagai Raja?”
RESO: “Kamu rajakan aku ketika namaku Panembahan Reso.
Sekarang biarlah tetap begitu namaku sebagai raja”.
LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Panembahan Reso, karena
hamba yang tertua di sini, maka atas nama yang hadir di sini
hamba menyatakan sumpah patuh dan setia kepada Paduka.
Sesudah itu, hamba menanti firman yang pertama dari Paduka
sebagai raja”.
RESO: “Inilah firman yang pertama sebagai raja: Aryo Sekti aku
angkat menjadi Senapati Istana dan Ibu kota. Aryo Lembu aku
angkat menjadi Senapati Medan Perang. Aryo Sumbu menjadi
Senapati Perlengkapan Perang. Sedangkan, yang lain tetap pada
tugasnya yang sudah ada”.
“Terima kasih aku ucapkan untuk kepercayaan dan kesetiaan yang
telah Kalian berikan sehingga aku telah Kalian angkat menjadi
raja”.
“Karena kerajaan dalam keadaan darurat, maka tak usah sekarang
aku bicara tentang tetek-bengek lainnya. Tapi, marilah sekarang
kita langsung berbicara mengenai tindakan apa yang akan kita
lakukan hari ini juga untuk mempertahankan keutuhan kerajaan”.
Rendra: Panembahan Reso 189

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Aryo Adipati Ombo, sebelum kamu datang kemari apakah yang


kamu lakukan di Kadipatenmu?”
OMBO: “Sebelum hamba kemari hamba kirim pasukan panah
hamba untuk memperkuat pasukan Aryo Adipati Simo di Hutan
Roban. Tentara Kadipaten Sawojajar, digabung dengan Pasukan
Kadipaten Watu Songo akan mampu mencegat jalan Pasukan
Pemberontak ke arah ibu kota”.
RESO: “Bagus! Biarlah siasat Aryo Simo dan kamu dipersatukan
dan diteruskan. Tentu kamu semua juga menyadari bahwa
kerajaan kita terbagi dari Laut Utara ke Selatan oleh pegunungan
yang tinggi. Di sebelah Timur pegunungan terdapat Kadipaten
Winongo, Sendang Pitu, dan Watu Limo. Sedang di sebelah Barat
pegunungan terdapat Kadipaten Tegalwurung, Watu Songo dan
Sawojajar. Pemberontak telah menduduki Kadipaten Tegalwurung
dan sebagian besar Kadipaten Watu Songo. Gerakan mereka ke
Selatan bisa ditahan oleh pasukan Watu Songo dan Sawojajar di
Hutan Roban. Aku memuji siasat Aryo Simo ini. Musuh sukar
menduga berapa besar kekuatan tentara yang berada di dalam
hutan. Dan, mereka akan susah mendekati hutan, mereka akan
dihajar oleh hujan anak panah. Untuk menunjang siasat semacam
itu maka aku minta Aryo Sumbu untuk melengkapi pasukan
gabungan di Hutan Roban dengan anak panah sebanyak-
banyaknya”.
Rendra: Panembahan Reso 190

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Gerakan musuh ke Timur akan terhalang oleh pegunungan yang


tinggi. Pasukan dari Kadipaten Winongo, Sendang Pitu, dan Watu
Limo bertanggung jawab agar musuh tidak menyeberangi
pegunungan. Cegatlah mereka dari tempat yang lebih tinggi.
Gerakan musuh ke Barat tak akan mereka lakukan, sebab di situ
ada laut dan mereka tak punya kapal. Jadi, sebenarnya orang sial
itu hanya mampu bergerak ke Selatan, sedangkan di Selatan
mereka akan tertahan di Hutan Roban. Aku ingin cadangan pangan,
senjata dan anak panah yang kuat untuk yang bertahan di Hutan
Roban. Tidak usah memburu lawan ke Utara. --- Selanjutnya,
pasukan yang kuat dari Aryo Bambu, Aryo Jambu, dan Pasukan
Berkuda Cadangan dari ibu kota supaya menyerbu ke Kadipaten
Tegalwurung dari Timur Laut. Tentu saja dengan menyeberangi
Pegunungan dari arah Kadipaten Winongo. Kalian tidak akan
sukar merebut kembali Tegalwurung karena si Bindi memusatkan
kekuatannya di Watu Songo. --- Kemudian, dari arah Tegalwurung
desaklah orang sial itu ke arah Selatan, supaya akhirnya nanti,
dihabisi oleh Pasukan Gabungan yang bermarkas di Hutan Roban.
--- Aku minta Aryo Lembu membawa pasukannya ke Hutan
Roban juga, dan memimpin peperangan dari hutan itu. --- Karena
Kalian semua cekatan dan perkasa, maka Kalian akan bisa
memenangkan peperangan dan memulihkan kembali keutuhan
Rendra: Panembahan Reso 191

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

kerajaan dalam tempo empat puluh hari. --- Apakah ada


pertanyaan?”
LEMBU: “Hamba kira sudah jelas semuanya”.
RESO: “Bagus. Berangkatlah Kalian ke pos masing-masing
malam ini juga”.
LEMBU: “Atas nama semua bala tentara hamba memohon restu
Sri Baginda Raja”.
RESO: “Restu aku berikan.

Semua memohon diri dan pergi.


Tinggallah Aryo Sekti dan Panembahan Reso.
SEKTI: “Yang Mulia, hamba merasa bangga melihat Paduka
duduk di atas tahta. Kita telah mengadakan pertemuan dari hati ke
hati, dan dari hati ke hati pula hamba berkata bahwa
sesungguhnyalah Paduka pantas menjadi Raja”.
RESO: “Terima kasih karena kamulah yang telah mempersiapkan
jalan terakhir menuju tahta. Kalau istriku tidak kamu tikam, entah
apa pula yang bakal ia ocehkan. Barangkali rahasia kebusukanku
bakal terbuka”.
SEKTI: “Jangan terlalu menyesalkan noda di masa lampau.
Karena, nyatanya, tahta telah mampu membentuk Paduka menjadi
manusia baru”.
Rendra: Panembahan Reso 192

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tahta memang bukan tempat duduk biasa. Begitu aku


duduk di sini aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan
besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik
yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah
mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. ---
Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan
kepada rakyatku”
SEKTI: “Paduka sudah memiliki kewibawaan secara wajar
sehingga Paduka tidak mengesankan sebagai orang yang gila
wibawa. Itulah maksud hamba waktu mengatakan bahwa Paduka
pantas menjadi Raja”.

Suara perempuan menembang.


RESO: “Suara wanita menembang?
SEKTI: “Hamba kira begitu, Yang Mulia”
RESO: “Oh! Apakah yang aku lihat ini? Aku melihat istriku Sang
Ratu Dara mencuci rambut di telaga darah. --- Itu! Aku juga
melihat diriku duduk di atas tahta yang terapung di telaga darah! --
- Apakah aku bermimpi lagi?”
SEKTI: “Paduka capek, Yang Mulia”
“an, terpengaruh oleh suara wanita menembang itu”
RESO: “Biarkan aku! --- Pimping-pimping tembaga ditiup angin
senjakala. Langit merah dan kini tubuhku mengucurkan darah”
Rendra: Panembahan Reso 193

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Yang Mulia, jangan dibiarkan nurani Paduka tersiksa


tanpa ada gunanya. Jasa Paduka di masa depan akan mampu
menebus dosa-dosa Paduka”.
RESO: “Aku melihat pedesaan sekarang. Sepi dan ditinggalkan
orang. Rumpun bambu. Sumur lumutan. Pekuburan. Burung-
burung gagak hinggap di pohon randu”.

Masuklah Ratu Kenari yang dianggap seperti telanjang. Berjalan


pelan sambil menembang.
SEKTI: “Ratu Kenari! Kenapa Anda?” (memalingkan muka)
“Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang?”
RESO: “Kenapa kamu menangis, anakku? --- Kenapa kamu
berdarah, anakku?”

Ratu kenari berjalan sambil menembang menuju Reso.


RESO: “Kenapa kamu tergeletak di atas debu jalanan desa?

Reso bangkit berjalan menuju Kenari.


RESO: “Kenapa ubun-ubunmu berdarah dan badanmu penuh
dihinggapi serangga? Aku melihat kabut merayap di atas padang
belukar. O, anakku di mana sekarang kamu?” (membelai kepala
Kenari)
Rendra: Panembahan Reso 194

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Kenari menikam Reso dengan keris. Sekti melihat, tetapi sudah


terlambat mencegah. --- Reso tertegun. Kenari menikam dada
sendiri dengan keris itu.
KENARI: “Kerisku beracun!” (roboh berlutut) “Penjinah!
Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega!” (mati)
SEKTI: (menghambur ke arah Reso) “Yang Mulia!”

Ia tertegun karena Reso dengan gerakan tangan mengisyaratkan


agar ia tidak mendekat.
Sekti jatuh berlutut karena terpana.
Reso merintih dengan suara dari alam yang ganjil.

Tamat
Depok-Bandung
10 Juli 1986
Rendra: Panembahan Reso 195

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

mimpi! Semuanya serba gampang dan sempurna! --- Apakah aku


bermimpi karena pengaruh bulan purnama? --- Ini bulan memang cantik,
tetapi berhawa candu. Wajahnya yang molek memancarkan bius yang
mesum, dan juga sesuatu yang… yang berbau maut. (Menguap) Aku
sudah mulai mengantuk. Tandanya mimpi sudah habis. Aku perlu tidur
sedikit. Besok hari ulang tahun raja. Aku mesti pergi ke istana.”

***

2. MENCEGAT PARA PANGERAN DI GERBANG

Panji Tumbal menunggu kedatangan para pangeran yang akan


menghadiri pesta ulang tahun raja di depan gerbang istana yang
dijaga oleh dua orang pengawal.
Aryo Sumbu dan Aryo Jambu lewat, masuk ke dalam gerbang.
Panji Sakti dan Siti Asasin lewat, masuk ke dalam gerbang.
Aryo Bungsu lewat, masuk ke dalam gerbang.
Muncul Pangeran Rebo. Ia dicegat Panji Tumbal.
Rendra: Panembahan Reso 196

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, apa boleh saya bicara?”


PANGERAN REBO: (berhenti dan menanggapi) “Ah! Panji
Tumbal! Tentu saja. Tetapi, kenapa mesti di sini?”
PANJI TUMBAL: “Ini mendesak. Dan…. Darurat”.
PANGERAN REBO: “Oh!”
PANJI TUMBAL: “Begini, Pangeran Rebo. Baginda sudah tua.
Apakah Anda tidak ingin menjadi raja?”
PANGERAN REBO: “Lho, apa ini?”
PANJI TUMBAL: “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam
kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat
maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih
kekuasaan.”
PANGERAN REBO: “Jangan kita terburu nafsu!”
PANJI TUMBAL: “Apakah Anda tidak melihat?”
PANGERAN REBO: “Saya melihat dan mendengar tetapi
pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa
kita hindarkan.”
PANJI TUMBAL: “Tiba-tiba ucapan Anda lain dari biasanya”.
PANGERAN REBO: “Jangan salah paham. Saya tidak suka
bertindak dengan mata gelap. Semua harus mempunyai penalaran
yang teliti. Bicaralah dulu dengan para pangeran yang lain, baru
nanti kita bertemu lagi. Ayahanda Paduka Raja memang sudah
Rendra: Panembahan Reso 197

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

rusak. Tetapi, perkara mencari gantinya, kita harus teliti dan


waspada. Salah-salah kepala kita hilang lebih dulu”. (sambil pergi)
“Saya pergi”. (Masuk ke dalam gerbang)

Muncullah Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo Gundu.


Mereka dicegat oleh Panji Tumbal. Semua berhenti dan
menanggapi.

PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, selamat pagi”.


PANGERAN GADA: “Panji Tumbal! Selamat pagi”.
PANJI TUMBAL: “Pangeran Dodot, selamat pagi”.
PANGERAN DODOT: (merangkul) “Selamat pagi. Sudah lama
tidak berjumpa”.
PANJI TUMBAL: “Saya dan istri saya selalu membicarakan
Anda, Pangeran. Kunjungan Anda ke pondok kami masih kami
rasakan sebagai satu impian yang indah dan langka”.
PANGERAN DODOT: “Mengunjungi rumah pahlawan
Tegalwurung merupakan suatu kehormatan bagi saya”.
PANJI TUMBAL: “Ah, Anda membuat saya malu. --- Aryo
Gundu, selamat pagi!”
ARYO GUNDU: “Selamat pagi, Panji Tumbal! --- Sejak
kemenangan Anda yang gilang-gemilang waktu menindas
pemberontak di Tegalwurung, baru sekarang kita berjumpa”.
Rendra: Panembahan Reso 198

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANJI TUMBAL: “Makanan basi kenapa mesti dihidangkan lagi.


Kegiatan Anda dalam melatih pasukan cadangan yang baru selalu
saya ikuti”.
ARYO GUNDU: “Kegiatan Anda dalam membangun kembali
Kadipaten Tegalwurung pun selalu saya ikuti. Yang ini pasti
bukan makanan basi”.
PANJI TUMBAL: “Aduh, belum lagi saya berhasil
mengungkapkan isi hati, sudah terpukul rasa jengah lebih dulu”.
PANGERAN GADA: “Ada masalah apa, Tumbal? Mari kita
bicarakan di Balai Para Pangeran”.
PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, saya tidak masuk ke dalam”.
(semua kaget)
ARYO GUNDU: “Jangan sembrono, ini hari pesta ulang tahun
raja”.
PANJI TUMBAL: “Para Pangeran, saya pamit untuk berontak”.
(semua terpana)
PANJI TUMBAL: “Anda semua termasuk orang yang saya
hormati dan saya percaya. Anda pasti tidak buta terhadap keadaan
yang nyata. --- Saya tidak ingin menjadi raja. Tetapi, saya
menyiapkan jalan untuk munculnya raja baru”.
PANGERAN GADA: “Laporan yang masuk pada saya dari
Kadipaten Watu Songo, Sawojajar, dan Winongo sangat gawat.
Perdagangan yang macet dan usaha yang gulung tikar telah
Rendra: Panembahan Reso 199

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

membuat para adipati jadi goyah. Mereka telah membina


hubungan yang erat dengan para pedagang yang merasa dikekang
dan ditekan oleh raja”.
PANGERAN DODOT: “Para adipati punya sarana dari daya,
sedang para pedagang punya uang, bahan makanan, dan juga lebih
dekat ke masyarakat”.
ARYO GUNDU: “Saya baru pulang dari Kadipaten Sendang Pitu
dan Watu Limo. Keadaannya sama seperti yang diutarakan oleh
Pangeran Gada. --- Seharusnya, Baginda mempelajari betul-betul
laporan kita”.
PANGERAN GADA: “Ayahanda Baginda Raja sudah tidak
mengindahkan nasihat lagi. Kekuasaan dan harga diri sudah
bercampur-aduk sehingga nalar tidak lagi dipakai, tetapi diganti
dengan kekuatan dan kekerasan semata-mata.
PANGERAN DODOT: “Saya akan mencoba berbicara kepada
Ayahanda sekali lagi”.
ARYO GUNDU: “Hati-hati Pangeran”.
PANGERAN DODOT: “Tentu saja”.
PANGERAN GADA: “Seusai upacara dan pesta kita bertemu lagi
di serambi Balai Senjata”.
ARYO GUNDU: “Panji Tumbal, kepada siapa saja Anda sudah
pamit untuk berontak?”
Rendra: Panembahan Reso 200

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANJI TUMBAL: “Seluruh panji dan adipati merestui saya. Lalu,


Anda bertiga. --- Dan, baru saja tadi, saya berbicara tentang
ketidakpuasan kepada Pangeran Rebo. Beliau kelihatan
menghindar”.
ARYO GUNDU: “Pangeran Gada dan Pangeran Dodot, saya
mohon jangan Pangeran Rebo dibawa di dalam pembicaraan
semacam ini. Juga tidak, nanti, di serambi Balai Senjata”.
PANGERAN GADA: “Saya setuju”.
PANGERAN DODOT: “Saya paham”.
ARYO GUNDU: “Perkenankan saya memilih siapa-siapa yang
akan kita ajak bermusyawarah nanti”.
PANGERAN GADA: “Baik”.
ARYO GUNDU: “Sekarang kita berpisah. --- Selamat bekerja,
Panji Tumbal”.
PANJI TUMBAL: “Terima kasih. --- Mohon restu, Pangeran”.
PANGERAN GADA: “Saya beri restu baik, selamat tinggal!”
(berjalan pergi)
PANGERAN DODOT: “Selamat, sahabatku, selamat!” (berjalan
pergi)
ARYO GUNDU: “Hormat saya pada Anda sangat besar”.
(berjalan pergi)
Rendra: Panembahan Reso 201

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Ketiga orang itu masuk gerbong. Dua Pangeran Kembar muncul


dengan hiruk-pikuk lalu beramai-ramai pula masuk gerbang.
Panji Reso muncul. Ia dicegat oleh Panji Tumbal.

PANJI TUMBAL: “Panji Reso, hormat saya untuk Anda”.


RESO: “Astaga! Panji Tumbal! Kapan datang dari
Tegalwurung?”
PANJI TUMBAL: “Sudah seminggu. --- Saya mau bicara dengan
Anda”.
RESO: “Kalau muncul bintang kemukus pasti akan banyak
penyakit mencret”.
PANJI TUMBAL: “Anda anggap saya bintang kemukus?”
RESO: “Jelas Anda bukan rembulan. Di saat bumi gonjang-
ganjing dan zaman jadi edan, orang yang tetap waras seperti Anda
pasti akan dianggap satu gejala alam yang aneh”.
PANJI TUMBAL: “Saya pamit untuk berontak”.
RESO: “Nah, apa kataku! Negara kena mencret”.
PANJI TUMBAL: “Kita dulu telah sama-sama berjuang di
medan laga Tegalwurung”.
RESO: “Dan, sekarang apakah saya akan merestui Anda?”
PANJI TUMBAL: “Begitu maksud saya”.
RESO: “Yang terpenting adalah para pangeran dan senapati”.
PANJI TUMBAL: “Saya sudah bicara dengan mereka”.
Rendra: Panembahan Reso 202

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Siapa saja?”


PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo
Gundu. Mereka menanggapi dengan baik. Lalu, Pangeran Rebo.
Beliau menghindar. Dan, semua panji dan adipati akan
mendukung saya”.
RESO: “Rupanya Raja Tua sudah tidak lagi tajam dalam melihat
kenyataan….. Anda ingin menjadi raja? --- Tidak, bukan?”
PANJI TUMBAL: “Tentu saja tidak”.
RESO: “Memang sudah saya duga. Lalu siapa calon Anda?”
PANJI TUMBAL: “Terserah kepada para pangeran nanti.
Hari ini mereka akan berbincang”.
RESO: “Penting. Itu penting”.
PANJI TUMBAL: “Itulah sebabnya Anda harus merestui saya”.
RESO: “Saya akan mengirim seribu tail emas Cina kepada Anda”.
PANJI TUMBAL: “Aduh, sungguh tidak saya sangka. Inilah
sikap yang jelas dan nyata”.
RESO: “Saya orang yang tegas”.
PANJI TUMBAL: “Memang! Aduh, Panji Reso, saya sangat
terharu dan sangat berterima kasih. Saya tidak akan melupakan
budi Anda untuk selama-lamanya”.
RESO: “Tapi, saya punya syarat”.
PANJI TUMBAL: “Apa itu?”
Rendra: Panembahan Reso 203

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Rahasiakan hubungan Anda dengan saya. Rahasiakan


semuanya ini. Sebab saya masih ingin main di dalam permainan
edan ini. --- Emas itu akan segera saya sampaikan kepada Anda”.
PANJI TUMBAL: “Saya paham dan setuju. Secara rahasia saya
akan menghubungi Anda lagi”.
RESO: “Tidak usah! --- Saya yang akan menghubungi Anda”.
(berjalan pergi masuk ke gerbang)

***

3. JEJER DI ISTANA RAJA TUA


Pesta-pora. Pangeran Kembar memamerkan keahlian silat
mereka. Para pangeran, para putri, para senapati, semua hadir.
Raja Tua bertarung dengan Pangeran Kembar untuk
memamerkan sebagaimana jauh kejagoannya.
RAJA TUA: “Kamu sekalian lihat, dengan gampang aku
gulingkan satu persatu putra-putraku yang perkasa ini”.

Semua bertepuk tangan. Minuman dihidangkan.


Rendra: Panembahan Reso 204

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PANGERAN REBO: “Yang Mulia Ayahandaku, Sri Baginda


Raja, atas nama semua pangeran hamba mengaturkan selamat
ulang tahun yang ke 85. Kami kagum bahwa Sri Baginda tetap
tegar dan perkasa dalam usia yang setua itu”.
RAJA TUA: “Terima kasih, anakku. Pangeran Rebo. Kamu lihat
aku masih tegar, ya? Tahu, apa rahasianya? Olahraga! --- Aku
lihat kamu pucat. Kurang olahraga. Terlalu banyak membaca.
Seorang pemimpin harus banyak olahraga! Mengerti kamu!”
PANGERAN REBO: “Akan hamba ingat, Yang Mulia!”
RATU DARA: “Yang Mulia, meskipun hamba istri Paduka yang
paling muda, tetapi hamba diminta mewakili Ratu Padmi dan Ratu
Kenari, istri Paduka yang lebih tua, untuk mengucapkan selamat
ulang tahun dan menyampaikan doa semoga Paduka bisa panjang
usia”.
RAJA TUA: “Terima kasih, Ratu Dara. Apakah para istriku juga
mengakui bahwa aku masih tetap tegar? --- Lho, kok diam saja?
Ini masalah perasaan atau apa? --- Ratu Padmi, ayo jawab! Apa
pendapatmu?”
RATU PADMI: “Paduka memang tetap tegar. Hambalah yang
kewalahan”.

Semua orang bertepuk tangan.


Rendra: Panembahan Reso 205

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Dan, kamu, Ratu Kenari, apa katamu?”


RATU KENARI: “Paduka tegar luar biasa. Seperti batang pohon
cemara. Seperti gada dari besi. Untunglah hamba bisa
mengimbangi, dan melahirkan Pangeran Kembar!”
RAJA TUA: “Dasar Kenari! Kamu puji aku sambil memuji
dirimu sendiri”.
RATU KENARI: “Mohon ampun, Yang Mulia. Tetapi, maksud
hamba bukan hendak menekankan kemampuan sendiri, tetapi
justru hendak menonjolkan bagaimana saktinya benih Tuanku, dan
tampak jelas buktinya bila jatuh ke tanah yang subur.
RAJA TUA: “Sudah cukup. Kembali lagi kamu memuji diri
sendiri. Dan, kamu, Ratu Dara, coba nyatakan pendapatmu”.
RATU DARA: “Sudah jelas! Semua orang bisa melihat! Paduka
memang tegar. Tetapi, Yang Mulia, hamba sangsi akan
kemampuan hamba mendampingi Anda. Dan, apa masih ada
gunanya diri hamba di sisi Paduka”.
RAJA TUA: “Kesangsian semacam itu lumrah timbul”.
RATU DARA: “Justru karena itu, sekarang hamba ingin
mendengar jawaban Paduka yang nyata. Apakah hamba ini juga
cukup tegar dan berharga bagi Paduka?”
RAJA TUA: “Mari, kamu kemari! Hapuskan kesangsianmu.
Kamu ini pusaka keraton. Kamu justru menjadi sumber dari
ketegaranku”.
Rendra: Panembahan Reso 206

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ARYO LEMBU: “Yang Mulia, mewakili para Aryo Senapati


hamba mengaturkan sembah. Selamat ulang tahun semoga panjang
usia”.

Semua orang bertepuk tangan.

RAJA TUA: “Terima kasih, Aryo Lembu. Kita telah bersama-


sama membangun negeri ini. Kita dulu bersama-sama mengusir
penjajahan bangsa asing dari tanah air kita. --- Di hari ini saya
tegaskan, janganlah kita mengurangi kewaspadaan. Bahaya
penyusupan asing masih selalu mengancam. Karena itu, para
senapati harus mampu mendampingi aku dalam menjaga keutuhan
negara. Ingatlah pedoman pembangunan negara yang telah kita
tetapkan: tertib, rapi, aman, dan sejahtera”.
ARYO LEMBU: “Tertib, rapi, aman, dan sejahtera!”
RESO: “Yang Mulia, sebagai tetua dari semua panji, hamba
mengaturkan selamat ulang tahun, semoga panjang umur, selalu
jaya dan sentosa. Tadi malam bulan purnama. Hamba bermimpi
bulan turun ke atap istana. Lalu, bunga-bunga bertaburan di atas
peraduan Sri Baginda. Dan, burung dara putih hinggap di atas
tahta. Inilah firasat kemuliaan Paduka”.
RAJA TUA: “Bagus. Terima kasih. Pahlawan perang seperti
kamu memang sudah jelas jasanya. Sumbanganmu kepada negara
Rendra: Panembahan Reso 207

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dalam menundukkan pemberontakan di Tegalwurung bersama


dengan Panji Tumbal telah kami beri anugerah sepantasnya. --- Di
mana Panji Tumbal?”
RESO: “Barangkali ia terlambat datang, Yang Mulia. Maklum
tugasnya berat di Tegalwurung, dan ia punya sifat yang tekun”.
RAJA TUA: “Memang tekun, tetapi juga sedikit keras kepala.
Kalau ia datang aku ingin ia melapor panjang-lebar kepadaku”.

Lima orang Panji menghadap Raja.


PANJI SIMO: “Yang Mulia, Panji Simo dari Kabupaten Watu
Songo, mengaturkan selamat ulang tahun”.
PANJI OMBO: “Hamba Panji Ombo dari Kadipaten Sawojajar,
mengucapkan dirghayu dan selamat berulang tahun”.
PANJI WONGSO: “Panji Wongso, Adipati Winongo, atas nama
seluruh rakyat Kadipaten mengaturkan selamat ulang tahun”.
PANJI BONDO: “Panji Bondo, Adipati Sendang Pitu,
menghormat Raja dan mengucapkan selamat ulang tahun”.
PANJI BOLO: “Hamba Paduka, Panji Bolo, Adipati watu Limo,
mengaturkan selamat ulang tahun”.
RAJA TUA: “Bagus! Bagus! Terima kasih. Aku sangat gembira.
Ayo, kita minum dan berpesta!”
Rendra: Panembahan Reso 208

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Orang bersorak-sorai. Minum. Berpesta. Jagavaya masuk


membawa surat.
JAGABAYA: “Yang Mulia, hamba menghadap untuk
mempersembahkan surat”.
RAJA TUA: “Reso, bawa dia kemari”.
RESO: “Baik, Yang Mulia. Kemari kamu! Bicara!”
JAGABAYA: “Hamba memimpin pasukan pengawal istana hari
ini. Seorang utusan datang menggebu dengan kuda. Ia datang dari
Tegalwurung membawa surat dari Panji Tumbal untuk Sri
Baginda. Katanya surat yang sifatnya sangat penting. Ia mohon
tolong agar hamba yang menyampaikan kepada Sri Baginda,
sedangkan ia sendiri begitu selesai bicara terus melompat ke
punggung kuda, dan setelah mohon maaf karena diburu oleh
urusan yang maha gawat lalu pergi melaju ditelan debu”.
RAJA TUA: “Bawa kemari surat itu!”

Reso memungut surat itu dari Jagabaya, lalu


mempersembahkannya kepada raja. Raja Tua membaca surat dan
terus berubah wajahnya dari kaget menjadi murka. Ia meremas
surat dengan gemasnya.

RESO: “Ada berita apa, Yang Mulia?”


Rendra: Panembahan Reso 209

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Tidak aku duga! --- Ini surat dari Panji Tumbal. Ia
tidak datang dan menyatakan diri telah memberontak. Kadipaten
Tegalwurung telah ia kuasai”.

Ada yang kaget dan ada yang pura-pura kaget.

PANGERAN REBO: “Kita harus berbuat sesuatu. Tahta dan


negara harus kita selamatkan. Kita dalam bahaya”.
RESO: “Tenang, Pangeran!”
PANGERAN REBO: “Ayahanda, apa yang dia inginkan!”
RAJA TUA: “Apa maksudmu? Apa yang dia inginkan?”
PANGERAN REBO: “Maksud saya, ia masih bisa diajak bicara
dan dicegah”.
RAJA TUA: “Tolol! Apa maksudmu, kita akan mengajak
pemberontak itu untuk berunding? Hah? --- Lemah! Itulah pikiran
orang yang kurang olahraga. Apa jadinya nanti dengan
kewibawaan tahtaku? Nantinya, setiap orang bisa memberontak
dan akan diajak berunding! --- Tidak! --- Kewibawaan tahta tidak
boleh diragukan sedikit pun. Setiap pemberontakan harus
ditumpas, dan si pemberontak harus dipenggal kepalanya. Sayang,
ia harus mati. Pahlawan yang gagah dan setia. Kenapa tiba-tiba ia
jadi begini?”
Rendra: Panembahan Reso 210

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Kenapa Baginda mesti kaget? Laporan tentang


keadaan yang memburuk di beberapa Kadipaten sudah sering kita
dengar. --- Yang Mulia, sekarang kita tidak boleh terlambat. Para
Adipati yang berada di sini jangan boleh meninggalkan ibu kota!
Dan, juga semua panji!”
RAJA TUA: “Hah!”
RATU DARA: “Kita harus mencegah jangan sampai ada
kadipaten lagi yang bergabung dengan Kadipaten Tegalwurung.
Ingat, kerawanan keadaan di Kadipaten Watu Songo, Sawojajar,
dan Winongo sangat mirip dengan kerawanan keadaan di
Tegalwurung”.
RESO: “Yang Mulia, kecurigaan ini tanpa alasan”.
RAJA TUA: “Panji Reso! Kamu dan semua Panji tidak boleh
meninggalkan ibu kota. Setiap hari semua panji harus melapor di
Balai Penghadapan. Bila ada yang melanggar firmanku ini, ia akan
dianggap memberontak dan kepalanya dipenggal”.
RESO: “Sebelum kami ditindak, kenapa kami tidak diperiksa dan
diselidiki lebih dahulu”.
RAJA TUA: “Tidak! --- Ditindak lebih dulu baru kemudian
diselidiki. Inilah yang disebut “langkah pengamanan”. Apakah
kamu akan memberontak?”
RESO: “Tidak, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Bagus! --- Aryo Bungsu!”
Rendra: Panembahan Reso 211

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ARYO BUNGSU: “Yang Mulia!”


RAJA TUA: “Kamu bertanggung jawab terhadap kepatuhan para
panji”.
ARYO BUNGSU: “Daulat Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Pangeran Bindi, kemari kamu, Nak!”
PANGERAN BINDI: “Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Kamu saya serahi tugas menyapu pemberontakan si
Panji Tumbal. Kamu akan dibantu Pangeran Kembar”.
PANGERAN BINDI: “Sanggup, Yang Mulia”.
RATU DARA: “Yang Mulia, kenapa tugas ini tidak Paduka
berikan kepada Pangeran Rebo? Ia lebih tua dan lebih banyak
pengalamannya”.
RAJA TUA: “Jangan kamu asal membela putra sendiri saja. ---
Aku tak akan memberikan tugas semacam ini kepada si Rebo,
yang baru saja mengusulkan untuk berunding dengan
pemberontak”.
RATU DARA: “Paduka mencurigai putraku? Padahal, saya baru
saja membuktikan kesetiaan kepada tahta dan negara”.
RAJA TUA: “Aku tidak menyangsikan kamu dan tidak
melupakan jasamu. Aku juga tidak mencurigai Pangeran Rebo.
Tetapi, ini langkah pengamanan. Jangan kamu memohon lebih
jauh lagi untuk putramu!” ---
Rendra: Panembahan Reso 212

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Pangeran Rebo! Jangan kamu beranjak dari ibu kota, dan setiap
hari kamu harus melapor ke Balai Penghadapan sebagaimana para
panji! --- Pangeran Bindi! Laksanakan tugasmu. Tumpas
pemberontakan Panji Tumbal. Dan, amankan setiap kadipaten
yang kamu lewati di sepanjang jalan”.

***
4. PANGERAN BINDI MOHON DIRI KEPADA IBUNDA
RATU PADMI: “Ketegaranku telah luntur karena sakit-sakitan.
Ayahandamu Sri Baginda Raja, kurang menaruh perhatian lagi
kepadaku. Aku tidak lagi menjadi sumber daya hidupnya. Tetapi,
Baginda sangat mengindahkan kamu. Aku bersyukur karena itu.
Dan, sekarang, Baginda telah memberimu tugas yang penting dan
mulia. Laksanakan tugasmu dengan baik”.
BINDI: “Dengan restu ibu saya akan berusaha sekuat tenaga.
Yang aku perhatikan hanyalah keadaan ibu”.
RATU PADMI: “Jangan kamu kehilangan semangat. Dari hari
pertama perkawinanku dengan Sri Baginda Raja, aku telah sadar
bahwa aku tidak kawin dengan kepala rumah tangga, tetapi kawin
dengan kekuasaan. Ternyata, tidak ada bakatku untuk bermain
dengan kekuasaan. Aku hanya memahami, tetapi tanpa naluri. Dan,
bersikap diam terhadap permainan kekuasaan. --- Sekarang, aku
lihat kamu dan adik-adikmu, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot,
Rendra: Panembahan Reso 213

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

sangat asyik dengan permainan kekuasaan itu. Ibu tidak bisa


membantu apa-apa. Hanya bisa menyaksikan dengan hati yang
berdebar-debar. Tetapi, jiwaku pasrah”.

Muncul Pangeran Gada dan Pangeran Dodot.

RATU PADMI: “Itulah adik-adikmu datang kemari”.


GADA dan DODOT: “Ibu!” (melakukan sungkem)
RATU PADMI: “Ibu merestui kamu semua, Nak! --- Semula aku
mengira diriku mandul. Setelah ke dukun, ternyata, aku
dianugerahi tiga putra. Ya, anugerah!”
GADA: “Kakanda, selamat bertugas”.
BINDI: “Terima kasih”.
DODOT: “Heran, kenapa kami berdua tidak diberi tugas apa-apa
oleh ayahanda!”
BINDI: “Kamu berdua hidup tanpa juntrungan. Terlalu banyak
bergaul dengan orang-orang yang resah. Ini membuat pandangan
ayahanda pada Kalian menjadi kurang mantap”.
GADA: “Bukankah keresahan harus didengarkan agar segala
sesuatu yang tidak beres di masyarakat bisa dibenahi?”
BINDI: “Jangan mengorbankan kedudukan secara konyol. Nanti,
kalau kita sudah berkuasa apa yang tidak beres baru bisa kita
benahi”.
Rendra: Panembahan Reso 214

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Suara bende bertalu.


RATU PADMI: “Damai, anugerah-anugerahku, damai! Saatnya
telah tiba. Entah apalagi yang bakal terbentang di depan mataku”.

***
5. PANGERAN KEMBAR DAN RATU KENARI
RATU KENARI: “Kamu berdua berjuanglah baik-baik.
Pertahankan tahta ayahmu. Tahta itu keramat, sebab ia pusat
kehidupan seluruh negara. Oleh karena itu, tahta raja harus
mencerminkan kekuasaan”.
KEMBAR I: “Ibu, kami akan menjadi pahlawan”.
KEMBAR II: “Ibu akan bangga melihat kami naik kuda”.
RATU KENARI: “Aku ini keturunan bangsawan yang mengabdi
kepada raja, dan akhirnya mendapat anugerah untuk menjadi istri
raja. Aku sangat bangga akan kedudukan ini. Meskipun untuk
beberapa tahun aku merasa sedih karena terlambat mengandung.
Waktu itu, Baginda Raja sangat gelisah karena Ratu Padmi dan
aku tidak mampu memberinya keturunan. Lalu, Baginda kawin
lagi dengan Ratu Dara yang ternyata bisa melahirkan Pangeran
Rebo. Baginda Rasja sangat berbahagia, dan kami pun juga ikut
berbahagia. Kemudian, ternyata, Ratu Padmi pun bisa melahirkan
tiga putra berturut-turut selama tiga tahun. Dan, selanjutnya,
Rendra: Panembahan Reso 215

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, aku diperkenankan melahirkan


bayi kembar! Wah, waktu itu suka cita raja bukan main. Kelahiran
Kalian, bukti wahyu raja. Apa yang semula dikira tidak mungkin
terjadi, telah terjadi berlipat ganda”.
KEMBAR I: “Kata orang kami anak ajaib”.
KEMBAR II: “Sebelum bisa membaca kami sudah bisa bersilat”.
RATU KENARI: “Oleh karena itu, pertahankan diri Kalian baik-
baik. Jagalah keselamatan diri Kalian lahir dan batin. Berilah
pelajaran kepada Panji Tumbal. Buktikan bahwa wahyu berada di
pihak ayahanda Kalian, Sri Baginda Raja”.

Suara bende bertalu-talu.

RATU KENARI: “Pergilah, anak-anakku! Membela raja adalah


mengabdi ketertiban dunia”.

***

6. PANGERAN REBO DAN RATU DARA


RATU DARA: “Kamu muram karena harga dirimu sebagai lelaki
dan sebagai pangeran terpukul habis”.
Rendra: Panembahan Reso 216

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Ibuku! Saya tidak peduli dengan harga diri. Semua yang
ada harganya bisa dibeli, bisa dihias, dan bisa dirias! --- Saya
terluka. Sri Baginda tidak adil terhadap saya”.
RATU DARA: “Jangan main pikiran separuh-separuh. Harga diri
bisa saja dikaitkan dengan nilai yang tidak pasaran. Seperti halnya
kamu, kamu kaitkan dengan rasa keadilan. Tapi, masalah yang
ingin aku bicarakan sebetulnya ini: kamu muram, kamu terpukul,
dan alasannya ada. Tetapi, jangan terlalu lama, anakku! Kamu
tidak boleh terlalu lama kehilangan daya. Lihatlah di alam raya.
Semua tumbuh-tumbuhan berebut cahaya matahari. Di hutan dan
di pekarangan tumbuhan yang kena lindung tumbuhan lain akan
kerdil untuk selama-lamanya. Pendeknya, alam mengajarkan kita
untuk berani bergulat. Kita harus kuat, karena yang kuat akan
menetapkan aturan di dalam kehidupan”.
REBO: (tertawa kecil tapi cerah, dan penuh rasa sayang kepada
ibunya) “Ibu tidak perlu mengkhawatirkan diri saya. Kalau orang
punya ibu seperti ibundaku, tak perlu ia khawatir akan jadi lemah.
Dengan segenap cara ibu akan membangkitkan semangat saya”.
“Ibunda, saya gundah. Saya tidak setuju dengan cara ayahanda
memerintah. Terlalu kasar ungkapan kekuasaannya sehingga
menimbulkan kesan menantang. Padahal, cukup banyak orang
perkasa di negeri kita. Menurut pendapat saya, kekuasaan bisa
Rendra: Panembahan Reso 217

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dipergunakan dengan lebih halus, tetapi toh tetap mengandung


kekuatan. Kekuasaan harus dikawinkan dengan kebijaksanaan”.
RATU DARA: “Tenangkan dulu pikiranmu. Nanti, kalau kamu
sudah menjadi raja, kamu bisa menempuh jalan yang kamu
kehendaki. Sementara itu, pendam dulu pikiran itu. Semakin tua
Sri Baginda semakin sukar dinasihati. Memang, itulah gejala
kekuatan jiwa yang memudar karena usia tua. Ia hanya mampu
bertahan, tidak lagi mampu membuka dan berkembang. Jadi,
pakailah siasat. Tunggu waktumu. Orang yang hanya bertahan
tidak akan bisa bertahan lama”.
REBO: “Benarkah saya akan bisa menjadi raja?”
RATU DARA: “Dahulu, Sri Baginda mengambil aku menjadi
istrinya karena Ratu Padmi dan Ratu Kenari tidak bisa berputra.
Terhadap diriku Sri Baginda sangat mabuk asmara. Setiap
menghadapi diriku Baginda selalu tidak bisa menguasai dirinya.
Aku menyadari kekuasaan diriku ini. Dan, aku memainkan
kekuasaan itu. Aku menuntut agar antara ketiga istri
kedudukannya sama. Tidak ada yang pertama, ke dua, atau ke tiga.
Baginda menyetujui dan memaklumkan hal itu ke seluruh negara.
Baru sesudah itu, aku menyerahkan diri, lalu mengandung, dan
akhirnya membuahkan dirimu: putra raja yang pertama”.
Rendra: Panembahan Reso 218

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Saya pun juga sudah mendengar hal itu. Tetapi,


kemudian, Ratu Padmi dan Ratu Kenari juga melahirkan para
pangeran!”
RATU DARA: “Tetapi, kamu toh pangeran yang pertama dan
tertua! Sedangkan, kedudukan permaisuri tidak ada. --- Yah,
kemungkinan rintangan memang ada. Pada intinya, dasar untuk
menentukan pewaris tahta dari semula goyah. Akulah yang
membuatnya goyah. Namun, justru di sinilah letak serba
kemungkinannya. Kita akan bermain di sini. Kita harus kuat.
Seperti trembesi perkasa di dalam rimba, kita akan merebut sinar
matahari. Kamu harus menjadi raja!”
REBO: “Darahku bergelora. Aku harus menjadi raja! --- sebelum
menyatakan pemberontakannya, Panji Tumbal menawarkan tahta
yang akan ia rebut kepadaku”.
RATU DARA: “Apakah kamu terima tawarannya?”
REBO: “Saya biarkan tawaran itu mengambang. Saya bersikap
mengambil jarak”.
RATU DARA: “Benar. Jangan keburu nafsu! Jangan membuang
tenaga dalam permulaan pergulatan. Mulai sekarang, kita
mengatur siasat untuk merebut tahta dari siapa saja yang menang”.

Suara bende bertalu-talu.


Rendra: Panembahan Reso 219

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Nah, waktunya tiba untuk bersiasat. Tunjukkan


wajah yang cerah. Kepada Sri Baginda berkatalah serba ‘ya’. Ini
akan memuaskan jiwanya yang sudah lemah, dan tidak lagi tahan
akan perbedaan. Kepada pembangkang berilah kata-kata yang
serba mengambang. Jangan kamu berbicara apa-apa tentang tahta.
Itulah bagianku untuk memperdebatkannya. --- Sekarang, dengan
manis mari kita elu-elukan para pangeran yang akan berangkat ke
Tegalwurung. Semoga riwayat mereka tamat di sana”.

***

7. DUA PANGERAN YANG SAKIT HATI

Pasukan berangkat dengan segenap kebesaran. Genderang. Nafiri.


Panji-panji. --- Sesudah semuanya berlalu, tinggallah Pangeran
Gada dan Pangeran Dodot dengan wajah yang muram.

GADA: “Wajahmu muram”.


DODOT: “Begitu juga wajah Kakanda”.
GADA: “Keadaan buruk”.
DODOT: “Ya, keadaan memang buruk”.
GADA: “Keadaan tidak bisa diteruskan seperti ini. Laporan para
adipati harus diindahkan. Kebutuhan setiap kadipaten harus
Rendra: Panembahan Reso 220

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dipenuhi. Kalau tidak, keutuhan justru akan berantakan. Kepala


memang penting, tetapi kaki dan tangan tak boleh diabaikan.
Kalau kaki dan tangan rusak, biarpun kepala tetap utuh, diri kita
menjadi lumpuh”.
DODOT: “Sudah jelas. Terlalu jelas”.
GADA: “Rupanya kita sepaham”.
DODOT: “Cara berpikir kita serupa”.
GADA: “Tetapi, Sri Baginda Raja, ayahanda kita, sangat berbeda
sikap dan pendapatnya”.
DODOT: “Sri Baginda salah. Beliau akan tumbang”.
GADA: “Siapa yang akan menggantikannya menjadi raja?”
DODOT: “Pangeran Rebo lemah. Dan, ayahanda telah
mencurigainya. Karena kurang siasat kartunya hampir mati”.
GADA: “Kakanda Pangeran Bindi punya harapan terbesar.
Padahal pandangannya lain dari kita. Ia sekadar buntut ayahanda”.
DODOT: “Saya juga tidak suka apabila ia menjadi raja”.
GADA: “Tetapi. Toh ia yang punya harapan terbesar untuk
mengganti ayahanda menjadi raja”.
DODOT: “Kalau ia tidak gugur di Tegalwurung”.
GADA: “Apakah Panji Tumbal cukup kuat?”
DODOT: “Harus dibikin kuat”.
GADA: “Apakah kita akan membantu Panji Tumbal?”
DODOT: “Saya tidak ragu-ragu. Apakah kakanda ragu-ragu?”
Rendra: Panembahan Reso 221

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

GADA: “Baik. Kita akan membantu Panji tumbal. Bagaimana


cara dan siasatnya akan kita bicarakan dengan Aryo Gundu dan
senapati yang lain yang sependirian dengan kita. Kita bicarakan
semuanya ini di dalam rapat, di Serambi Balai Senjata yang
sedang diatur oleh Aryo Gundu”.
DODOT: “Saya setuju tanpa ragu”.
GADA: “Tetapi --- nanti dulu --- kalau usaha kita berhasil, siapa
yang akan menjadi raja?”
DODOT: “Tentu saja kakandalah yang punya peluang terbesar,
sedang saya cukup menjadi Raja Muda”.
GADA: “Raja Muda? Apa itu artinya?”
DODOT: “Artinya, putra Kakanda tidak akan menjadi putra
mahkota. Tetapi, sayalah yang akan menggantikan kakanda
menjadi raja kalau …………….”
GADA: “Kalau saya mati?”
DODOT: “Ah, jangan terlalu jauh Kakanda berpikir. --- Kita tidak
boleh saling mencurigai”.

Keduanya tertawa dengan seribu macam isi.

***

8. MIMPI DI HARI SENJA


Rendra: Panembahan Reso 222

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Senjakala. Cahaya merah bercampur dengan warna keemasan. ---


Muncul Panji Reso.
RESO: “Senja merah padam. Seperti darah yang muncrat dari
luka. Gunung menjadi serupa tembaga. Alam menjadi bersifat
jantan. --- Ah, apa yang aku lihat ini? --- Rupanya aku bermimpi
lagi. Kau, mimpi, selalu menyergapku selagi aku berjaga. Candu
mimpi yang gaib, mari, kuhisap kamu. Biar penuh paru-paruku
dengan hawamu, dan lalu meresap ke dalam darah, sumsum, dan
otakku. --- Haaah! Aku melihat telaga darah dengan bunga teratai
putih yang mengapung di permukaannya. --- Aku melihat lima
bidadari mandi di telaga darah. Mereka bercengkerama. Tubuh
mereka seperti gading yang halus, licin, dan mengkilat. Dan,
wajah mereka kelimanya sama. Mirip. Serupa. Lima bidadari
kembar. --- Wajah mereka seperti wajah yang sudah aku kenal. Ya,
wajah yang aku kenal, entah di mana. Ah! Kecantikan yang nyata
tapi tak terjamah! --- Hai! Ini tata warna birahi ataukah suasana
medan laga? --- Merah, kuning, ungu, jingga, lila. Oooo, indah!
Merah. Merah. Telaga merah. Langit merah. Apa pula itu? Astaga!
Aku lihat tahta mengambang di telaga berdarah. --- Oh! Pesona
yang mengagumkan! --- Tahta itu menuju kemari. Ia melaju ke
arahku. Dihembus angin ke arahku! Aaak” ---
Rendra: Panembahan Reso 223

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Mimpiku sirna. Dahsyat. Apakah arti mimpiku ini? Telaga darah,


teratai, bidadari, dan tahta. Apakah arti semuanya ini? --- Tahta!
Siapa yang tidak menginginkan tahta? Aku menginginkan tahta!
Sri Baginda Raja telah tua. Ia mulai pikun. Pikun dan ngawur!
Para senapati resah. Para adipati resah. Pemberontakan terjadi.
Dan, para pangeran itu tak akan becus mengatasi keadaan”.
“Aku akan lebih becus menjadi raja. Sayang, aku cuma seorang
panji! --- Tetapi, aku punya akal. Kekacauan di negara ini justru
akan memberi jalan kepadaku. Rintanganku yang utama hanyalah
para pangeran. --- Nanti, aku cari jalan!”
“Zaman sudah menjadi edan! Jangan mengharap orang edan bisa
diinsyafkan. Biarlah mereka sekalian didorong untuk semakin
edan. Sehingga, akhirnya, mereka nanti gampang aku mainkan”.

***

9. PERSEKUTUAN PARA PANJI


Panji Reso dan para panji.
SIMO: “Kita tak bisa berkumpul terlalu lama”.
RESO: “Tenang, Panji Simo! Sebelum terang tanah, kita sudah
bubar”.
OMBO: “Kita teliti dulu, apa ada mata-mata di antara kita. Kalau
ada, kita bunuh dia di sini sekarang juga!”
Rendra: Panembahan Reso 224

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tenang, Panji Ombo! Aku menyiapkan rapat ini dengan


teliti. Semua yang hadir di sini aku dapat namanya dari Panji
Tumbal. --- Dengar, Anda semua telah setuju untuk mendukung
pemberontakan Panji Tumbal”.
WONGSO: “Tapi, kita telah kalah langkah berkat Ratu Dara
keparat itu”.
BONDO: “Aku masih berani minggat dari sini dan terang-
terangan menyusul pemberontakan”.
RESO: “Jangan! Panji Bondo, tahan dulu semangat Anda. ---
Menurut pendapatku, salah langkah sudah terjadi waktu Panji
tumbal mengirim surat ke istana. Pada intinya, pemberontakan
harus dimulai dari ibu kota, tidak dari kadipaten. Dan, harus
langsung merebut tahta, mengganti pemerintahan. Baru kemudian,
semua kadipaten mendukung pemberontakan ini dengan serentak.
Bila pemberontakan dimulai dari kadipaten, maka pemberontakan
semacam itu hanya bersifat memisahkan diri dari kerajaan. Ini
lemah! Ini hanya sekadar menentang raja, tetapi belum tentu
mampu mengganti pemerintahan. Dan, hasilnya hanya akan
memecah-belah kerajaan! Inilah alasanku, kenapa aku berkata
bahwa pemberontakan Panji Tumbal salah siasat dari mula
pertama”.
BONDO: “Jadi, sekarang kita akan mencetuskan pemberontakan
di sini?”
Rendra: Panembahan Reso 225

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Sabar! Sekarang belum saatnya kita berontak. Para aryo


dan senopati belum tentu berada di pihak kita. Dan, juga para
pangeran masih belum kita perhitungkan”.
SEKTI: “Jadi, bagaimana dengan Panji Tumbal? Apakah ia akan
kita biarkan seorang diri?”
RESO: “Apa boleh buat! Panji Sekti, kita pilih kehilangan satu
jari atau seluruh tangan kita?”
SEKTI: “Ya, rupanya kenyataan perjuangan memang pahit.
Tetapi, ini akan menjadi pelajaran bagi kita semua”.
RESO: “Panji Sekti, apakah Anda sanggup memimpin kami
semua di dalam gerakan ini?”
SEKTI: “Lho, jangan bikin kaget”.
RESO: “Jangan gampang kaget. Kita membutuhkan satu
pimpinan. Gerakan kita, gerakan Dewan Panji, sudah cocok satu
cita-cita dan satu pikiran. Kita tidak akan mengundang orang dari
golongan lain yang belum jelas kepentingannya untuk memimpin
kita. Hanya para panji yang tahu kepentingan kadipaten”.
SIMO: “Kalau begitu kenapa tidak Panji Reso saja yang
memimpin kita?”
OMBO: “Saya juga setuju begitu”.
RESO: “Kenapa bukan Anda, Panji Simo?”
SIMO: “Tidak! Kami para adipati sudah punya tempat dan tugas
yang lebih cocok. Sebaliknya, Anda punya wawasan yang lebih
Rendra: Panembahan Reso 226

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

luas dari kami. Kehebatan Anda memimpin sudah Anda buktikan


waktu perang di Tegalwurung bersama dengan Panji Tumbal. Dan,
lagi, sebagai Panji Istana Anda lebih bebas bersiasat di ibu kota”.
BONDO: “Memang, menurut bukti dan kenyataan hanya ada dua
pemimpin yang ada di antara kaum panji. Yaitu: Panji Reso dan
Panji Tumbal! --- Tetapi, sekarang Panji Tumbal sudah tidak bisa
kita harapkan lagi karena ia terlalu keburu nafsu”.
RESO: “Jangan terlalu disalahkan dia. Dia bukan seorang
negarawan. Wawasannya, wawasan seorang satria medan laga.
Jiwanya suci dan murni”.
BONDO: “Tapi, Anda punya wawasan kenegaraan, di samping
juga unggul di medan perang”.
SIMO: “Memang Andalah yang pantas memimpin kami”.
SEKTI: “Setuju”.
RESO: “Baik. Tegas saja, aku terima pimpinan ini! Sekarang
dengar! Pulihkan kepercayaan raja pada Anda semua. Jangan
dibantah kemauan orang pikun itu. Bila nanti Anda semua sudah
kembali ke kadipaten masing-masing, galang kembali kekuatan
Anda secara diam-diam. Jangan bergerak sebelum aku beri aba-
aba. Aku akan mengadu siasat di istana. Panji Sekti akan menjadi
mata-mata dan penghubung antara kita”.
SEKTI: “Itu tugas yang cocok untuk saya”.
Rendra: Panembahan Reso 227

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Kelelawar sudah mulai terbang ke arah barat. Hari


hampir terang tanah. Selamat berpisah, teman-teman. Ingat, kita
semua sudah penuh dengan tekad dan semangat, tetapi kita hanya
akan menang bila memakai siasat”. --- “Selamat!”

***

10. RAPAT DI SERAMBI BALAI SENJATA

Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Gundu, dan Aryo Ronin.


GADA: “Begitulah. Aku kira sudah cukup panjang-lebar aku
menerangkan. Pendeknya, tanpa ragu-ragu, aku dan Pangeran
Dodot akan membantu Panji Tumbal”.
GUNDU: “Memang harus begitu. Dan, kita tidak boleh terlambat.
Bagaimana pendapat Anda, Aryo Ronin?”
RONIN: “Pemerintahan Sri Baginda Raja memang tak bisa
dipertahankan lagi. Kerajaan memburuk, sedangkan Sri Baginda
hanya kukuh pada caranya sendiri. Siapa lagi yang akan berani
memberi saran dan kecaman kalau akibatnya malah akan dicurigai
dan disingkirkan? Keadaan memang sudah buntu”.
DODOT: “Karena itu, tembok pembuntu harus kita robohkan”.
GUNDU: “Pangeran Gada, jadi Anda sudah siap kami rajakan?”
Rendra: Panembahan Reso 228

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

GADA: “Demi rakyat dan demi negara aku siap menjadi raja dan
menegakkan keadilan”.
GUNDU: “Kalau begitu kita harus segera bergabung dengan Panji
Tumbal”.
RONIN: “Bagaimana dengan para panji dan adipati yang lain?”
GUNDU: “Menurut Panji Tumbal mereka semua berada di
belakangnya. Tetapi, sekarang mereka dilarang meninggalkan ibu
kota”.
RONIN: “Kalau memang sudah bertekad untuk berontak, kenapa
mereka tidak kita ajak merat dari ibu kota?”
GUNDU: “Semua tergantung Panji Reso. Di dalam saat seperti ini,
dialah yang mampu menggerakkan para panji”.
DODOT: “Kenapa ia tidak dihubungi?”
GUNDU: “Kita harus waspada. Ia dan para panji yang lain sedang
diawasi. Tetapi, saya akan berusaha menghubungi. Sesudah itu
akan kita tetapkan bagaimana siasat kita”.
GADA: “Baik. Usahakan Anda berhasil memastikan dia ke pihak
kita. Banyak orang menaruh rasa segan kepadamu. Sampai di sini
dulu. Bila terlalu lama kita bersama, bisa orang menaruh curiga”.

***

11. RUMAH PANJI RESO


Rendra: Panembahan Reso 229

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Pagi hari yang cerah. Reso dilayani Nyi Reso minum teh.
NYI RESO: “Kakanda tidak tidur di rumah semalam”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Para panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu
kota”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Biasanya, kalau ada badai dan topan orang berteduh
dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan
perjalanannya”.
RESO: “Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan
bahan”.
NYI RESO: “Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda
dengan jantung yang berdebar-debar”.
RESO: “Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan”.
NYI RESO: “Sungguh sayang kandunganku gersang”.
RESO: “Siapa tahu justru benihku yang gersang. --- Tidak punya
anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku”.
NYI RESO: “Sangat sering Kakanda duduk melamun”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan
pertanyaan di dalam diri saya. --- Kakanda akhir-akhir ini sangat
Rendra: Panembahan Reso 230

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

sering bersemadi, padahal Kakanda tidak suka bergaul dengan


para resi dan tidak betah diajak bicara masalah kebatinan”.
RESO: “Aku semadi untuk menyerahkan diri. Tidak ada
urusannya dengan kebatinan”.
NYI RESO: “Saya mendapat kesan, sepertinya Kakanda prihatin
besar……. atau sedang kecewa ---Apakah Kakanda kecewa
kepada saya?”
RESO: “Jangan cengeng. Aku tidak kecewa kepada apa saja.---
Aku prihatin. --- Aku punya cita-cita”.
NYI RESO: “Semua cita-cita sudah Kakanda capai. Kakanda
sudah mulia dan jaya. Semua orang menaruh rasa segan dan
hormat kepada Kakanda. Sekarang masih kurang apa?”
RESO: “Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada
cakrawala”.
NYI RESO: “Apakah yang Kakanda lihat di sana?”
RESO: “Tahta raja”.
NYI RESO: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara!”
RESO: “Astaga! Kenapa kamu harus tahu! --- Cita-cita itu seperti
rajawali galak yang menggelepar-gelepar di dalam dadaku. Kini,
akhirnya lepas terbang, keluar dari kerongkonganku. --- Nyi Mas,
kalau kamu ingin aku selamat, jangan kamu buka rahasia batinku
ini”.
Rendra: Panembahan Reso 231

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: “Hati-hati, Kakanda! Saya tidak bisa membayangkan


apa-apa, tetapi perasaan saya keruh dan rasa kecut mengalir ke
dalam mulut saya. --- Di depan Kakanda terbentang kenyataan ada
enam orang pangeran berdiri di sekeliling tahta, sedang di atas
tahta duduk seorang raja yang sakti mandraguna. Dan, mereka
semua dijaga oleh para senapati. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara!
Kini terbayang oleh saya banjir darah dan kilatan pedang”.
RESO: “Gambaran yang terbentang di depanmu itu pakem-pakem
yang tak ada kenyataannya. Rajanya pikun, para pangerannya
saling berlaga, dan para senapatinya buyar berantakan tidak
mampu mengatur barisan. Kalau aku yang bisa menyelamatkan
negara kenapa aku tidak menyelamatkannya sebagai raja? ---
Cukup! Aku akan bersemadi. Jangan diganggu olah-tapaku!”
(keluar)
NYI RESO: (seorang diri. Sepi) “Cita-cita demi cita-cita
menjauhkan kakanda dari saya”.
“Cita-cita demi cita-cita mengubah pribadi suami sehingga saya
harus berulang kali belajar mengenalnya kembali. Duh, Gusti,
pikiran dan kehendak saya terlalu sederhana. Ibarat ayam yang
hanya mengenal pekarangan. Kakanda bagaikan rajawali, bisa
melihat pemandangan yang sukar saya bayangkan. Ini membuat
saya merasa putus asa. --- Sekarang kakanda terbang sudah terlalu
tinggi. Apakah masih mungkin saya menjangkau kakanda? ---
Rendra: Panembahan Reso 232

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Dengan pedih saya menyadari keterbatasan diri saya. Dan, jauh di


dalam hati, saya merasa: barangkali, sekali ini, saya tidak mampu
mendampingi kakanda”.

***
12. PANJI RESO MENGHADAP RAJA

Raja Tua, Aryo lembu, Aryo Bungsu, dan Panji Reso.


RAJA TUA: “Reso! Menurut Aryo Bungsu kamu mohon
menghadap aku karena ada soal yang akan kamu ajukan yang
sangat mendesak sifatnya”.
RESO: “Memang demikian, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Soal apa itu?”
RESO: “Hamba mohon untuk diizinkan meletakkan jabatan dan
pergi bertani”.
RAJA TUA: “Apa?!”
RESO: “Mohon maaf kalau dianggap tidak penting soal semacam
ini, tetapi bagi hamba memang mendesak sifatnya”.
RAJA TUA: “Nanti dulu! Tenang! --- Kamu ingin meletakkan
jabatan”.
RESO: “Hamba ingin bertani saja”.
RAJA TUA: “Sabar dulu! Kenapa begitu?”
Rendra: Panembahan Reso 233

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Hamba merasa sangat malu. Di jalan semua orang


memandang kepada hamba seakan-akan hamba ini pengkhianat
negara. Barangkali, mereka berpikir: “Kenapa Panji Reso tidak
ikut memadamkan pemberontakan Panji Tumbal? Apakah ia
sudah tidak dipercaya Sri Baginda? --- Sri Baginda itu banyak
pengalamannya dan tajam pengamatannya. Kalau ia tak dipercaya
lagi oleh Sri Baginda, pasti sangat kuat alasannya.” --- Begitulah
seakan-akan tuduhan pandangan mata semua orang terhadap diri
saya. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara, saya tak kuat lagi
menanggung malu”.
RAJA TUA: “Nanti dulu!!”
RESO: “Yang Mulia, ada lagi penderitaan batin saya. Di rumah
saya berkaca. Saya kaget, kok kenyataannya saya sudah berubah
tua. Di dalam diri saya masih menggelegak jiwa kesatria yang
selalu membela raja, sebagaimana pernah saya buktikan di
pelbagai medan laga. Sebenarnya, saya pun sangat bernafsu untuk
memenggal kepala Panji Tumbal. Tetapi, apa boleh buat, bintang-
bintang yang lebih muda banyak yang muncul sehingga Sri
Baginda tak perlu lagi memakai pengalaman orang tua seperti
saya”.
RAJA TUA: “Salah! Salah! --- Orang tua dalam banyak hal lebih
hebat dari orang muda. Satu, karena pengalaman. Dua, karena
Rendra: Panembahan Reso 234

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

sudah teruji! --- Kamu lihat tidak, bagaimana dengan gampang aku
merobohkan putraku?”
RESO: “Hamba memang melihat bagaimana usia makin membuat
Baginda tenang dan matang”.
RAJA TUA: “Tentu saja. Itu akibat dari godokan waktu”.
RESO: “Yang tidak bisa dicapai oleh orang muda”.
RAJA TUA: “Sebab belum sampai pengalamannya”.
RESO: “Betul Yang Mulia. Orang tua memang merupakan
kekayaan negara”.
RAJA TUA: “Tepat, Reso! Tepat! --- jadi tidak mungkin kamu
tidak saya pakai karena usiamu. Apalagi, sebetulnya, kamu kan
belum terlalu tua”.
RESO: “Memang belum matang dan mengkilat seperti Yang
Mulia”.
RAJA TUA: “Kalau kamu tekun menghayati kehidupan, kamu
pun akan bisa seperti saya”.
RESO: “Tetapi, kenapa hamba sekarang kena hukuman, Yang
Mulia!”
RAJA TUA: “Tidak! Tidak! Kamu tidak dihukum. Soalnya, aku
lagi marah-marah waktu itu. Kalau aku lagi marah jangan kamu
suka nimbrung. Sebab kamu kan melihat sendiri bagaimana kalau
aku marah”.
Rendra: Panembahan Reso 235

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: Hal itu akan menjadi pelajaran bagi hamba. Hamba tidak
akan mengulangi lagi. --- Tetapi, sekarang bagaimana nasib
hamba?”
RAJA TUA: “Kamu diampuni. Kamu sudah bebas seperti biasa. -
-- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Jelas, ya, Panji Reso sudah aku ampuni”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia!”
RESO: “Hamba sangat berterima kasih, Yang Mulia! --- Lalu,
bagaimana dengan para panji yang lain? Mereka semuanya setia
dan kagum kepada Sri Baginda”.
RAJA TUA: “Soal itu nanti dulu. --- Reso, ini masalah ‘langkah
pengamanan’. Mereka akan diselidiki dan diperiksa dulu, sesudah
terbukti beres, mereka pun akan dibebaskan”.
RESO: “Apakah hamba akan diperiksa juga?”
RAJA TUA: “Lho, kamu kan sudah diperiksa. Langsung oleh aku
sendiri”.
RESO: “Maaf, hamba tidak menyadari”.
RAJA TUA: “Baru saja tadi, sambil lalu, kamu sudah aku periksa.
Kalau memang sudah ahli memeriksa, yang diperiksa tidak akan
tahu. --- Lha, ini lagi bedanya antara anak muda yang belum
berpengalaman dan orang tua yang sudah kenyang asam dan
garam. Kalau anak muda, matanya pencilakan, belum melihat apa-
Rendra: Panembahan Reso 236

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

apa. Kalau orang tua yang matang, dengan sekali melirik, ia sudah
melihat semuanya”.
RESO: “Hamba kagum, Yang Mulia. --- Lalu, kapan para panji
itu akan selesai diperiksa?”
RAJA TUA: “Lha, itu makan waktu. Biasa kan, sebab Aryo
Bungsu masih muda, ia memerlukan lebih banyak waktu untuk
bekerja. --- Dan lagi, kenapa tergesa-gesa? Biar mereka istirahat
dulu di ibukota. --- Kamu mengerti, bukan?”
RESO: “Tentu, Yang Mulia. Sebetulnya, ini langkah yang
bijaksana. Saat ini negara sedang gawat. Orang yang setia itu lebih
terjaga dan aman di ibu kota”.
RAJA TUA: “Tepat! Tepat! Jadi, mereka itu sebetulnya tidak
ditahan, tetapi dijaga demi keamanan mereka sendiri. --- Nah,
nanti kalau kepala Panji Tumbal sudah dipenggal dan di Kadipaten
yang lain terbukti tidak ada keterlibatan apa-apa, mereka boleh
pulang, menjalankan tugas mereka seperti biasa. Sementara itu,
aku sudah memerintahkan agar besok pagi Aryo Lembu, Aryo
Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu berangkat, untuk
memeriksa dan mengamankan Kadipaten dengan membawa
pasukan mereka masing-masing. --- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Keadaan para panji baik-baik saja, bukan?”
Rendra: Panembahan Reso 237

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BUNGSU: “Semuanya baik. Masing-masing menempati


pesanggrahan yang cukup mewah”.
RAJA TUA: “Bagus! Biar mereka gembira dan kerasan di sini.
Besok pagi kepada mereka masing-masing, kirimkan seekor lembu
dan tiga tong arak! Biar mereka berpesta. Katakan, itu hadiah
pertanda cinta dari saya!”
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia. Semua akan hamba laksanakan”.
RESO: “Yang mulia, mohon dimaafkan kalau hamba lancang,
tetapi hamba sebagai panji istana benar-benar ikut prihatin
terhadap keamanan negara. Hamba terpaksa menyatakan bahwa
hamba bingung terhadap tingkah laku Pangeran Rebo”.
RAJA TUA: “Yah, ini soal lain lagi. Bagiku memang pelik sekali.
--- Tetapi, apa maksudmu sebenarnya?”
RESO: “Hamba tidak percaya bahwa ia berbahaya, tetapi kenapa
ia mengusulkan untuk berunding dengan bangsat pemberontak itu?
Apakah karena alasan persahabatan? Apakah karena alasan
kemanusiaan? Apakah karena pengertian siasat yang berbeda?
Atau apa?”
RAJA TUA: “Hal itu mengganggu pikiranku. --- Aryo Lembu!”
LEMBU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Kamu yang saya serahi tugas untuk menyelidiki dia.
Bagaimana hasilnya?”
Rendra: Panembahan Reso 238

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

LEMBU: “Sampai sekarang ia tidak mengutarakan isi pikiran


yang bersifat membangkang”.
RESO: “Barangkali ia terlalu sadar kalau sedang diselidiki, bila
yang bertanya-tanya itu orang yang sudah dikenal sebagai tokoh
kepercayaan Sri Baginda”.
RAJA TUA: “Barangkali begitu”.
LEMBU: “Hamba kira memang begitu”.
RESO: “Orang toh belum tahu bahwa hari ini hamba telah
diampuni. Pangeran Rebo juga belum tahu hal ini. Ia akan tetap
mengira bahwa hamba senasib dengannya. Jadi, barangkali ia akan
lebih terbuka kepada hamba, dan lalu akan mengutarakan isi hati
yang sebenarnya”.
RAJA TUA: “Kalau begitu kamu saja yang aku serahi tugas
menyelidiki”.
RESO: “Sanggup, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus! Coba juga kamu telaah seberapa jauh
pengaruh Ratu Dara kepadanya. --- Kamu tahu ibunya itu sangat
keras kemauannya, dan, juga, orangnya penuh dengan cita-cita.
Banyak wawasannya yang bagus, tetapi sangat sering ia,
kelihatannya, asal mau menang sendiri”.
RESO: “Apakah Sri Baginda mencurigai Sri Ratu Dara?”
RAJA TUA: “Aku tak tahu bagaimana merumuskannya, tetapi
jelas ia ingin anaknya nanti menggantikan aku menjadi raja. Aku
Rendra: Panembahan Reso 239

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

cuma khawatir kalau-kalau ia kurang sabar dalam mewujudkan


cita-citanya”.
RESO: “Hamba paham maksud paduka. Tetapi, apakah sudah ada
gejala yang menunjukkan ketidaksabaran seperti itu?”
RAJA TUA: “Lho, itulah tugasmu untuk menyelidikinya!”
RESO: “Hamba sanggup, Yang Mulia! Hanya saja, bila
diperkenankan hamba mohon Panji Sekti membantu hamba”.
RAJA TUA: “Panji Sekti?”
RESO: “Seorang panji istana juga, urusan jaga gerbang dan ronda
istana. Hamba berani menanggung dengan mempertaruhkan
kepala hamba bahwa ia patuh dan setia kepada Paduka”.
RAJA TUA: “Kalau kamu sudah berani menanggung, aku pun
membebaskannya juga. --- Baik, biar ia membantu kamu”.
RESO: “Terima kasih, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Sekalian bantu aku mengawasi para panji itu! ---
Aryo Bungsu, catat semua keputusanku ini!”
BUNGSU: “Hamba perhatikan, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Panji Reso, segera mulailah bekerja! Sewaktu-
waktu kamu bebas menghadap aku!”
RESO: “Hamba merasa syukur dan bangga, Sri Baginda.

***
Rendra: Panembahan Reso 240

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

13. BERTUKAR PESAN DI HALAMAN ISTANA


Panji Reso bertemu dengan Panji Sekti di halaman istana.
SEKTI: “Salam, Panji Reso”.
RESO: “Salam, Panji Sekti. Hari cerah, bukan?”
SEKTI: “Kita tidak bisa bicara di sini terlalu lama. Mereka
mengamati kita”.
RESO: “Tidak. Kita sudah bebas sekarang”.
SEKTI: “Jangan bikin kaget”.
RESO: “Anda selalu gampang kaget. Tetapi, begitulah
kenyataannya. Aku dan Anda sudah bebas dari pengawasan dan
pemeriksaan”.
SEKTI: “Luar biasa. Saya kagum. Bagaimana Anda bisa
meyakinkan orang semacam Sri Baginda?”
RESO: “Gampang! Untuk menginsyafkan orang sinting aku
bicara juga seperti orang sinting. Semakin sinting aku bicara
semakin ia percaya. --- Orang yang lemah itu selalu hanya mau
bicara dengan bayangannya sendiri. Demikian juga si raja pikun.
Begitu aku menjadi bayangannya, ia mau mendengar apa saja
yang aku katakan. Bahkan, aku dan Anda ditugaskan untuk
mengawasi Pangeran Rebo, Ratu Dara, dan para panji semua. ---
Nah, sekarang jalan telah terbuka. Kita akan malang-melintang
dengan siasat kita”.
Rendra: Panembahan Reso 241

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Wah! Saya kagum. Saya kagum. Anda memang pantas


memimpin!”
RESO: “Hm! Anda ini lain lagi macamnya. --- Dengar Panji Sekti,
sekarang juga Anda hubungi semua panji. Katakan, besok pagi
Baginda akan mengutus empat orang senapati untuk
mengamankan dan memeriksa kadipaten masing-masing.
Perintahkan kepada para sekutu mereka di Kadipaten agar
mengubah siasat. Bekukan dulu semua gerakan pembangkangan,
sambut para senapati dengan wajah cerah. Tunjukkan sikap yang
patuh dan setia kepada Sri Baginda. Jauhi hubungan dengan para
senapati dan pangeran yang resah. Tolak semua pendekatan dan
ajakan mereka. Tegaskan, akulah pusat pimpinan gerakan para
panji. Aba-aba yang harus dipatuhi hanyalah aba-aba dari aku! ---
Jelas?”
SEKTI: “Jelas, dan sudah saya hafalkan seketika. --- sebelum
saya berangkat, saya akan menyampaikan pesan dari Aryo Gundu.
Ia menunggu Anda di Serambi Balai Senjata. Sekarang giliran dia
untuk memimpin ronda dan jaga istana”.
RESO: “Aku akan mampir ke sana”.
SEKTI: “Sampai jumpa!
RESO: “Sampai jumpa! Sekarang menghadapi macan. Terhadap
macan harus aku pakai cara yang lain lagi”.
Rendra: Panembahan Reso 242

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

14. RUBAH DAN MACAN


Di Serambi Balai Senjata. Aryo Gundu didatangi Panji Reso.
RESO: “Salam, Aryo Gundu”.
GUNDU: “Salam, Panji Reso”.
RESO: “Mencari aku?”
GUNDU: “Ya, memang! --- Di sini kita aman bicara. Saya sudah
menyiapkan semuanya”.
RESO: “Urusan apa?”
GUNDU: “Saya dan beberapa teman merasa resah dengan sikap
raja yang tidak adil terhadap Anda dan para panji sebagai adipati
di kadipaten-kadipaten”.
RESO: “Hm”.
GUNDU: “Secara terbuka saya bicara. Kami memihak kepada
Panji Tumbal. Kami setuju terhadap pemberontakannya”.
RESO: “Begitu! --- Setuju atau tidak, apa bedanya?”
GUNDU: “Apa maksud Anda?”
RESO: “Aku kecewa!”
GUNDU: “Kecewa?”
RESO: “Kenapa para aryo, senapati hanya bisa setuju dan tidak
setuju? --- Kami para panji bergerak dan bertindak. Tetapi, apa
yang dilakukan para senapati kecuali setuju dan tidak setuju?”
Rendra: Panembahan Reso 243

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

GUNDU: Kami terlambat, itu kami akui. Tetapi, kami tidak


tinggal diam. Kami telah memutuskan untuk bergabung dengan
Panji Tumbal.
RESO: “Kami? Siapa kami?”
GUNDU: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Ronin, dan
saya”.
RESO: “Bagus! Ini baru aku hargai”.
GUNDU: “Kami justru akan mengajak Anda dan semua panji
untuk bergerak serentak bersama kami”.
RESO: “Apakah kedua pangeran itu bisa kami percaya? Mereka
saudara kandung Pangeran Bindi, yang justru sedang menumpas
pemberontakan”.
GUNDU: “Jelas bisa dipercaya. Pangeran Gada bersedia menjadi
raja untuk membela rakyat dan menegakkan keadilan. Panji
Tumbal juga akan mendukungnya. Sebelum berangkat untuk
berontak kami sudah saling ketemu dengan dia, dan berunding
secara singkat di depan gerbang istana”.
RESO: “Tidak aku sangka ia punya tulang dan keberanian”.
GUNDU: “Jangan disangka kami tak punya cakar dan taring!”
RESO: “Hm! Macan!”
GUNDU: Ya! Macan yang siap bertempur untuk membela
keadilan. --- Ayo, kita buktikan. Mari kita sama-sama merat dari
Rendra: Panembahan Reso 244

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ibu kota. Lalu seluruh Kadipaten bergolak melawan tahta. ---


Bagaimana jawaban Anda?”
RESO: “Aku mulai tertarik pada pembicaraan Anda”.
GUNDU: “Sudah saya duga”.
RESO: “Tetapi, aku memerlukan waktu untuk menghadapi para
panji yang sekarang dengan ketat diawasi”.
GUNDU: “Kalau begitu kami akan berangkat lebih dulu malam
ini”.
RESO: “Beri aku waktu satu hari. Tunggu aku di mata air di hutan
Roban. --- Mudah-mudahan aku bisa menginsyafkan para panji
bahwa pangeran Gada dan Pangeran Dodot betul-betul di pihak
kita”.
GUNDU: “Tidak akan sulit. (mengeluarkan sebuah surat) Ini ada
surat untuk para panji dari Pangeran Gada. Di sini disebutkan
bahwa kami berempat sudah bertekad untuk berontak bersama
Panji Tumbal, dan minta dukungan mereka untuk merajakan
Pangeran Gada”. (menyerahkan surat)
RESO: “Tidak aku sangka akan segampang ini”.
GUNDU: “Mudah-mudahan memang lancar. --- Jadi, bagaimana
siasatnya agar para panji bisa merat dari ibu kota, saya serahkan
kepada Anda”.
RESO: “Beres. Itu memang urusanku. --- yang pasti aku akan
menyusul Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 245

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

GUNDU: “Kami tunggu di mata air hutan Roban”.


RESO: “Baik. --- Sekarang aku pergi”.
GUNDU: “Hati-hati!”
RESO: “Tentu saja”.

***

15. RUBAH DAN PANGERAN

Di rumah Pangeran Rebo, Panji Reso diantar duduk oleh


Pangeran Rebo.
RESO: “Maafkan. Saya terlalu mendesak untuk ketemu Anda”.
REBO: “Anda memang terlalu mendesak. Kita sedang diawasi.
Kita harus berhati-hati. Saya yakin pasti ada sesuatu yang gawat,
yang perlu Anda sampaikan kepada saya dengan segera”.
RESO: “Memang”.
REBO: “Apakah itu?”
RESO: “Saya diperintahkan oleh Sri Baginda untuk mengawasi
dan menyelidiki Anda”.
REBO: “Apa?”
RESO: “Ya! Begitulah!”
REBO: “Apa yang telah saya lakukan?”
RESO: “Menurut hemat saya tidak ada yang berarti”.
Rendra: Panembahan Reso 246

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Lalu, apa yang dikehendaki Sri Baginda?”


RESO: “Banyak tindakan Sri Baginda yang tidak masuk akal. Ini
menggelisahkan rakyat, membuat ketegangan di masyarakat, dan
sangat membahayakan negara. --- Tetapi, Anda tidak perlu
khawatir. Saya berada di pihak Anda”.
REBO: “Kenapa?”
RESO: “Karena saya menyukai pikiran yang benar. Saya setuju
dengan pendapat Anda bahwa pemberontakan Panji Tumbal
sebenarnya bisa dihindarkan”.
REBO: “Laporan dari Panji Tumbal, Panji Simo, dan Panji Ombo
sudah bertubi-tubi dipersembahkan kepada Sri Baginda. Semua
menyangkut saran mengenai kebijaksanaan yang seyogyanya
diterapkan di Kadipaten untuk memperbaiki keadaan”.
RESO: “Dan, saran-saran itu semuanya masuk di akal. Bagus
untuk kesehatan negara”.
REBO: “Tetapi, Sri Baginda hanya menyukai orang seperti
Pangeran Bindi. Suka olahraga dan selalu meng-iya-kan kata-kata
raja. --- Banyak orang mengira dialah calon raja untuk putra
mahkota”.
REBO: “Tetapi, ia bukan putra tertua”.
RESO: “Namun, dari istri yang pertama”.
Rendra: Panembahan Reso 247

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

REBO: “Menurut ibundaku, Baginda sudah mengumumkan ke


seluruh negara bahwa di antara para istri tak ada yang mempunyai
kedudukan pertama”.
RESO: “Itu betul. Antara lain sayalah saksinya. --- pangeran Rebo,
Anda merasa lebih berhak menjadi putra mahkota, bukan?”
REBO: “Ini bukan masalah keinginanku. Tetapi, dalam urusan
negara, segala sesuatu harus ada dasar dan alasannya”.
RESO: “Begitulah juga dasar pemikiran para Panji dan Adipati. --
- kami lebih menyukai Anda sebagai putra mahkota”.
REBO: “Kita harus hati-hati berpendapat dalam hal ini. Jangan
sampai terdengar raja dan beliau salah tangan”.
RESO: “Anda sudah berhati-hati, tetapi toh tetap beliau curigai. --
- Bahkan, Sri Baginda juga menaruh curiga kepada Ratu Dara”.
REBO: “Lalu apa yang harus kami lakukan?”
RESO: “Anda sudah betul, berhati-hati. Tetapi, dengan sikap yang
wajar dan hati yang tenang. Namun, bagaimanapun kita tidak
boleh menyerah kepada keadaan, kita harus tetap berusaha. ---
Demi negara! Sebab kalau tidak, negara akan jatuh ke tangan
pemuda ingusan yang otaknya tumpul, yang bisanya cuma perang
dan olah raga”.
REBO: “Panji Reso, percayalah! Maksud baik saya banyak, tetapi
keadaan saya terjepit, dan jiwa saya putus asa”.
Rendra: Panembahan Reso 248

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Pangeran! Kuasai diri! Anda dituntut oleh kewajiban. ---


sekarang saya mohon pertolongan. Pertemukan saya dengan Ratu
Dara besok pagi, ketika matahari terbit, di sini. Pesankan pada
beliau ini penting dan tidak bisa ditunda. --- Jangan lupa!
Ceritakan kepada beliau semua isi pembicaraan kita”.
REBO: “Baik. Malam ini saya akan ke ibu”.
RESO: “Siapa tahu pertemuan saya dan Ratu Dara besok pagi bisa
mengubah nasib kita dan nasib negara”.
REBO: “Akan saya sampaikan hal itu juga”.
RESO: “Terima kasih. Sekarang saya mohon diri”.
REBO: “Salam”.

***

16. KONON SITI ASASIN


Di rumah Panji Sekti. Seorang abdi membawa Siti Asasin
menghadap Panji Sekti.

ABDI: “Hamba kembali, Raden”!


SEKTI: “Sudah kamu jumpai Siti Asasin?”
ABDI: “Tugas sudah saya selesaikan. Hadiah dari Raden sudah
saya sampaikan. Bahkan, sekarang orangnya ikut bersama saya”.
SEKTI: “Siapa?”
Rendra: Panembahan Reso 249

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ABDI: “Siti Asasin, pembunuh bayaran itu, raden. Ia menunggu di


Pringgitan”.
SEKTI: “Sekarang kamu pergi, dan suruh ia masuk kemari”.
ABDI: “Baik, Raden”.

Abdi pergi. Panji Sekti membenahi dandanannya. Siti Asasin


masuk.
ASASIN: “Hormat saya, Raden”.
SEKTI: “Siti Asasin, kamu bikin saya kaget”.
ASASIN: “Bukankah Raden memanggil saya?”
SEKTI: “Betul! Betul! --- Tetapi, tidak saya duga secepat ini
kamu datang. Wah, saya telah merepotkan kamu”.
ASASIN: “Tidak, Raden. Segala keperluan Raden mempunyai
kedudukan yang utama di dalam hidup saya”.
SEKTI: “Terima kasih. Tidak saya duga, seorang pembunuh
bayaran mempunyai kesetiaan yang besar terhadap diri saya. ---
Saya sangat menghargai persahabatan ini. Dan, juga, saya tidak
akan melupakan jasamu yang besar di masa lampau”.
ASASIN: “Jasa yang dibayar namanya bukan jasa, Raden”.
SEKTI: “Sudah lama kita tidak berjumpa”.
ASASIN: “Saya selalu ingat Raden. Tetapi, kalau tidak karena
keperluan barangkali Raden sudah melupakan saya”.
Rendra: Panembahan Reso 250

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Tidak, betul! Tidak, betul!! Soalnya kita sama-sama


repot”.
ASASIN: “Abdi Raden menyampaikan hadiah dari Raden. Saya
sangat berterima kasih. --- Seratus tail emas. Itu jumlah yang besar,
Raden. Siapa yang harus saya selesaikan?”
SEKTI: “O, belum segawat itu! --- Begini, sekarang ini saya
sedang sibuk melakukan tugas yang gawat dan rahasia. Sewaktu-
waktu saya akan memerlukan bantuanmu. --- Malam ini, kamu
saya minta menyelinap ke beberapa pesanggrahan para panji yang
dengan ketat diawasi untuk menyampaikan surat berisi pesan dari
saya”.
ASASIN: “Itu bukan soal, Raden”.
SEKTI: “Tugasmu yang sekarang, menjadi penghubung dan
mata-mata. Tetapi, kemudian hari nanti, mungkin, seperti biasanya,
saya akan mendapat tugas untuk melenyapkan orang. Dalam hal
ini jelas saya memerlukan bantuanmu”.
ASASIN: “Jangan sungkan. Itu memang pekerjaan saya”.
SEKTI: “Terima kasih. --- Karena sifat tugasku yang gawat ini,
saya minta untuk jangka waktu sampai tugasku selesai, jangan
kamu punya urusan lain dulu”.
ASASIN: “Baik, Raden! Seperti dulu?”
SEKTI: “Ya, seperti dulu”. (memegang tangan Asasin)
ASASIN: “Saya belum mandi, Raden”.
Rendra: Panembahan Reso 251

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “O, ya?”

***

17. SUASANA RUMAH TANGGA


Rumah Panji Reso di waktu malam. Nyi Reso sedang membuat
‘wiron’ dua atau tiga kain. Panji Reso pulang.
RESO: “Belum tidur, Nyi Mas? Hari sudah lewat tengah malam”.
NYI RESO: “Ada kain yang harus saya wiru. Apakah makan
malam saya hidangkan sekarang, ataukah Kakanda mau mandi
dulu?”
RESO: “Aku sudah makan dan mandi di istana”.
NYI RESO: “Jadi, sudah ada yang mengurus Kakanda”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Cantikkah ia?”
RESO: “Dua lelaki tua, si Kuncung dan si Bagong, pelayan di
Bangsal Kepanjen”.
NYI RESO: “Lalu pijat di mana?”
RESO: “Tidak pijat”.
NYI RESO: “Kadang-kadang saya tergoda untuk pergi jauh-jauh ke
luar dari rumah. Berjalan ke mana saja hati saya mau. Tak perlu ada
tujuan yang nyata. Masuk hutan, keluar hutan. Masuk pasar, keluar
pasar”.
Rendra: Panembahan Reso 252

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Apakah Kakanda menganggap wajar semua
pertanyaan dan omongan saya?”
RESO: “Memang, agak kacau isi pikiran kalimat-kalimatmu”.
NYI RESO: “Apakah Kakanda tidak akan bertanya apakah saya
lagi cemburu?”
RESO: “Hm. Apakah kamu lagi cemburu”.
NYI RESO: “Duh Gusti, begitu tidak acuhnya Kakanda bertanya.
Saya kira Kakanda tidak peduli, apakah saya dalam keadaan
cemburu atau tidak. Kakanda laju saja terus dengan urusan
Kakanda! Apakah ucapan saya ini akan Kakanda tanggapi lagi
dengan ‘hm’?”
RESO: “Barangkali kamu lagi mules. Salah makan, barangkali?”
NYI RESO: “Bagaimana bisa salah makan, kalau seharian saya
tidak bisa makan?”
RESO: “Kalau begitu, itu hawa orang lapar”.
NYI RESO: “Duh Gusti! Saya kacau, saya putus asa, saya
bertingkah jelek karena saya butuh perhatian”.
RESO: “Hm. --- Nyi Mas! Kemari kamu!”
NYI RESO: “Saya ingin dekat dengan Kakanda”. (mendekat ke
suaminya)
Rendra: Panembahan Reso 253

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Bagus! Itupun menyenangkan hatiku”. (memijat dan


mengurut pundak istrinya) “Tenang, Nyi Mas. Pejamkan matamu.
--- Apakah kepalamu pening”?
NYI RESO: “Berat dan pening”.
RESO: “Lehermu kaku. Sabarlah. Jangan terlalu banyak pikiran”.
NYI RESO: “Hari-hari ini hati saya selalu khawatir”.
RESO: “Khawatir apa?”
NYI RESO: “Khawatir hubungan kita putus”.
RESO: “Kok aneh!”
NYI RESO: “Kakanda rasanya semakin jauh”.
RESO: “Omong kosong. Tidak ada perempuan lain. Dan, aku juga
sering rindu kamu”.
NYI RESO: “Saya sangat cemburu kepada cita-cita yang
menguasai Kakanda. Ia membuat Kakanda semakin jauh dari
saya”.
RESO: “Tanpa cita-cita, hidup manusia tidak akan maju. Nyi Mas,
aku tidak suka kehidupan yang datar. Tanpa cita-cita hidupku akan
kering dan mati. Lalu, kamu nanti akan bersuamikan mayat hidup.
Bayangkan! Pikirkan!”
NYI RESO: “Semakin saya bayangkan semakin tidak saya lihat
jalan ke luar untuk diri saya. Saya tidak tahan hidup seperti ini!”
(Panji Reso berhenti memijat) “Istri petani hidupnya punya
sangkutan dengan sawah. Istri pandai besi punya kaitan dengan
Rendra: Panembahan Reso 254

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

tungku dan landasan. --- Tetapi, saya tidak bisa membantu


Kakanda apa-apa. Saya hanya akan menjadi beban yang
merepotkan. Hidup saya di sini tidak punya makna”. (menangis)
RESO: “Nyi Mas”.
NYI RESO: “Saya tidak mau hidup sebagai pajangan. Saya tidak
mau sekadar menjadi embel-embel. Kakanda sendiri tidak mau
hidup hanya sekadar menjadi pajangan keraton. Kakanda berhak
dan bisa punya cita-cita, tetapi saya? Kemampuan saya terbatas.
Saya tidak bisa bertani, saya tidak bisa menjadi tukang patri. --- O,
jiwa saya hampa. Hidup saya tidak berguna.
RESO: “Nyi Mas”.
NYI RESO: (reda menangis. Menyusut air mata) “Kakanda,
antarkan saya kembali ke orang tua saya. Saya ingin segera pergi
dari sini.”
RESO: “Apa maksudmu?”
NYI RESO: “Di sini, pikiran saya kacau. Biarkan saya pulang ke
orang tua dulu untuk sementara lamanya. Setelah pikiran saya
tenang, saya akan kembali lagi kemari”.
RESO: “Hm. Baiklah. Besok biar kamu diantar pulang ke
orangtuamu. --- Semoga kamu mendapatkan kedamaian di sana.
Sebenarnya, di mana pun kamu tidak akan mendapatkan
kedamaian sebelum kamu berdamai dengan dirimu sendiri. Tetapi,
barangkali, perpisahan badan yang sebenarnya antara kita akan
Rendra: Panembahan Reso 255

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

membuat kamu lebih bisa punya bahan pertimbangan dan


perbandingan”.
NYI RESO: (menghambur, memeluk suaminya) “Kakanda,
suamiku, saya tidak akan mungkin meninggalkan Kakanda untuk
selama-lamanya. Saya sangat mencintai Kakanda. Tidak mungkin
saya membayangkan untuk berpisah dengan Kakanda. Bahkan,
saya selalu takut Kakanda akan meninggalkan saya. --- Oh! Saya
tidak jadi pulang ke orang tua. Lebih baik saya menanggulangi
masalah batin saya di sini”.
RESO: “Nyi Mas?”
NYI RESO: “Saya akan puasa dan semadi sambil senantiasa
mendampingi hidup Kakanda”.
RESO: “Akan banyak gunanya kalau rajin masuk ke alam
semadi”.
NYI RESO: “Saya akan mencoba apa saja asal tidak kehilangan
Kakanda”.
RESO: “Nyi Mas, aku ingin begitu-begitu”.
NYI RESO: (melepaskan diri) “Saya capek, Kanda. Saya tidak
makan seharian. Kepala saya terasa berat. Saya tidak akan kuat”.
RESO: “Hm. Kamu lihat, ini tidak untuk pertama kali terjadi.
Sangat sering aku harus berdamai dengan berahiku karena kamu
menolak ajakanku. Jadi, sebenarnya sudah terbukti bahwa saya
tidak menjauh dari kamu, tetapi kamu yang menjauh dari aku”.
Rendra: Panembahan Reso 256

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

NYI RESO: “Kakanda hanya mendekat karena kebutuhan berahi


semata”.
RESO: “Tidak betul! Saya ingin berbagi pikiran dan berbicara
tentang cita-cita dengan kamu. Tetapi, selalu berakhir dengan
pertengkaran melulu! --- Dan, bila terjadi kamu berkenan
melayani aku, kamu bersikap dingin seperti batang pisang. ---
kamu lihat, aku pun punya tekanan batin, tetapi aku mampu
berdamai dengan diriku”.
NYI RESO: “Cobalah berpikir adil. Bagaimana saya harus
bersikap hangat kalau saya merasa seperti tidur dengan orang
asing? Tidak sadarkah bahwa sudah lama Kakanda menjadi orang
asing bagi saya?! Cita-cita Kakanda dari yang dulu-dulu membuat
Kakanda menjadi orang lain. Saya tidak lagi mengenal bahasa dan
peribahasa Kakanda. Asing! Asing! --- Apalagi cita-cita Kakanda
yang terakhir ini! Oh, itu membuat saya membayangkan telaga
darah”.
RESO: “Telaga darah?”
NYI RESO: “Ya, telaga darah! Dan, tahta yang Kakanda cita-
citakan adalah tahta yang mengambang di telaga darah”.
RESO: “Nyi Mas! --- Kamu ngelindur atau mimpi?!”
NYI RESO: “Oh, saya mempunyai firasat buruk! Kakanda,
jadilah panji biasa saja. Jangan bercita-cita tentang tahta. Apa
gunanya tahta yang terapung di telaga berdarah?”
Rendra: Panembahan Reso 257

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Kenapa kita harus takut pada hantu pikiran? Jangan


kekacauan pikiranmu kambuh lagi! Sejak lahir manusia penuh
dengan ujian. Siapa yang tidak tahan uji akan menjadi kerdil,
pikirannya cuma bisa berkhayal, hatinya penuh iri dan dengki.
Tegak, Nyi Mas, tegak! Manusia harus sanggup menentang hantu,
jin, dan siluman di dalam pikirannya. Setiap hantu toh diimbangi
oleh teratai dan bidadari”.
NYI RESO: “Apa maksud Kakanda? Bukankah pesona teratai dan
bidadari itu bisa juga jelmaan mambang dan peri? Artinya,
siluman juga?”
RESO: “Baik! Pesona rembulan, pesona senjakala, pesona
mambang, dan siluman harus kita lawan juga! Itu aku setuju!
Tetapi, jangan kita kehilangan tekad dan keberanian. Aku bukan
batu yang hadir di dunia untuk menerima apa adanya. Aku suka
berjuang. Cita-cita itu untuk diperjuangkan tidak hanya sekadar
dikhayalkan”.
NYI RESO: (memegang kepala) “Kakanda, manusia itu penuh
dengan nafsu”.
RESO: “Benar, Nyi Mas. Aku akan waspada”.
NYI RESO: “Aduh, kepalaku! Percakapan ini terlalu berat buat
saya”.
RESO: “Pergilah tidur”.
NYI RESO: “Saya ingin berada di dekat Kakanda”.
Rendra: Panembahan Reso 258

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Kemari! Rebahkan kepalamu ke pangkuanku”.


NYI RESO: (sambil merebahkan kepala ke pangkuan Panji Reso)
“Gusti, apakah saya pengecut, bodoh, atau sekadar sial nasib
saya?!”
RESO: “Rasa khawatir dan gamang adalah racun yang berbahaya
bagi hidup manusia. Barangkali tidak mematikan, tetapi
melumpuhkan. --- Pejamkan matamu, Nyi Mas. Apa yang telah
terjadi sepanjang hari ini justru kebalikan dari kekhawatiranmu,
semuanya serba lancar. Namun, jangan kamu ragukan
kewaspadaanku. --- Nyi Mas! Cita-citaku bukan sekadar untuk diri
sendiri. Negara sedang merosot pamornya. Hanya para panji dan
adipati yang masih sadar harus memberi kehidupan kepada rakyat.
Kami berani hidup prihatin dan sederhana. Kami ingin jujur di
dalam mengurusi perbendaharaan negara! Itulah, Nyi Mas, latar
belakang cita-citaku. --- Pahamkah kamu? --- Nyi Mas! --- Kamu
tidur? Bagus. Tidurlah kamu istriku. Tidur ialah saat libur yang
kita perlukan”.

Kang para hapsari sapta


Samya hyu kang warna
Wimbuh mandra kongas
Gandes luwes raras
Prasaja semunira
Rendra: Panembahan Reso 259

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Sreseh karya brangta


Tan hana kang winaonan ….

***

18. RUBAH DAN MUSANG SALING BERPANDANGAN


Di rumah Pangeran Rebo. Saat matahari terbit. Ratu Dara dan
Pangeran Rebo bertemu dan berhadapan dengan Panji Reso. Ratu
Dara dan Panji Reso saling berhadapan dan bertatapan pandang
untuk seketika lamanya. Saling terpesona tanpa mengucapkan
kata-kata. Lalu, dengan penuh suasana kikuk pecahlah suasana
tanpa kata-kata itu.

RATU DARA: “Selamat pagi, Panji”.


RESO: “Selamat pagi, Sri Ratu”.
REBO: “Selamat pagi, Panji”.
RESO: “Selamat pagi, Pangeran”. (seperti tertarik magnet, Reso
mendekati Ratu Dara)
RATU DARA: “Apakah saya terlambat?
RESO: “Tidak. Tepat pada waktunya. Terima kasih atas kebaikan
hati Ratu untuk keluar dari Kaputren datang menemui saya”.
RATU DARA: “Kata Pangeran Rebo ada persoalan mengenai
tahta”.
Rendra: Panembahan Reso 260

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Saya melawan pencalonan Pangeran Bindi
menjadi putra mahkota kalau hal itu terjadi”.
RESO: “Belum tentu terjadi, tetapi bisa terjadi. Pangeran Bindi
memang ingin menjadi raja”.
RATU DARA: “Kenapa para panji lebih menyukai Pangeran
Rebo untuk naik tahta?”
RESO: “Meskipun Pangeran Rebo kelihatan ragu dan kurang
mencerminkan tekad yang kuat. Tetapi, beliau tidak
membayangkan bahaya bagi rakyat dan negara. Dan lagi, di
belakang beliau ada Anda dan para panji”.
RATU DARA: “Kenapa para panji tidak bergabung saja dengan
Panji Tumbal?”
RESO: “Semula memang begitu niat mereka. Tetapi, Anda
mencegah. Dan, juga, saya ikut mencegah mereka. Saya tidak
setuju dengan pemberontakan dari daerah. Itu memecah-belah
keutuhan negara”.
RATU DARA: “Jadi, lebih tepat pemberontakan dari istana”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Setelah lebih dulu menyiapkan kekuatan dan
memastikan dengan cermat adanya jalan menuju tahta”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Kita berdua ada miripnya”.
Rendra: Panembahan Reso 261

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Itulah firasat yang saya dapatkan sejak tadi pertama kita
berjumpa”.
RATU DARA: “Ini bukan pertama kalinya kita berjumpa”.
RESO: “Tetapi, tadi serasa untuk pertama kali”.
RATU DARA: “Aneh”.
RESO: “Mungkin juga, saya dipengaruhi mimpi”.
RATU DARA: “Mimpi?”
RESO: “Saya kemarin mimpi melihat Anda menjadi kembar
lima”.
RATU DARA: “Terus?”
RESO: “Anda mandi di telaga”.
RATU DARA: “Anda melihat saya mandi?”
RESO: “Cuma dalam mimpi. --- Mimpi itu kiriman alam. Tak ada
manusia yang bisa merancang mimpinya”.
RATU DARA: “Saya tidak merasa mendapat firasat buruk. ---
Saya merasa baru mereguk arak yang lembut dan berbau bunga
tanjung. --- Roh dan badan saya bersih dan segar. Saya merasa
aman. Terbebas dari segala beban”.
RESO: “Saya akan selalu melindungi Sri Ratu. Rakyat dan para
panji menaruh hormat kepada Ratu Dara yang terkenal berani
bebas bicara kepada raja”.
RATU DARA: “Para panji tidak dendam kepada saya karena
tertahan di ibu kota?”
Rendra: Panembahan Reso 262

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Hal itu remeh bagi mereka dibanding dengan pentingnya


urusan negara”.
RATU DARA: “Kalau begitu kita harus sungguh-sungguh
bekerja”.
RESO: “Ada surat yang penting untuk Anda baca”. (menyerahkan
surat)
RATU DARA:
(membaca surat. Pelan-pelan berubah wajahnya. Pangeran Rebo
ikut membaca) “Dari mana Anda dapatkan surat ini?”
RESO: “Dari Aryo Gundu. Ia mengajak saya untuk ikut berontak”.
RATU DARA: “Ini senjata yang ampuh untuk menghabiskan
saingan kita”.
RESO: “Anda bawa surat itu kepada raja pagi ini juga. Anda
katakan bahwa Anda mendapat surat ini dari Panji Simo dan Panji
Ombo lewat dayang atau inang. Mereka takut menyerahkannya
kepada saya karena kurang percaya. Dan, juga, mereka ingin
membuktikan kepada Anda bagaimana salah dugaan Anda kepada
mereka. Dengan begitu kecurigaan Baginda kepada para panji bisa
dihapuskan dan memperkuat pengaruh Anda kepada raja”.
REBO: “Tetapi, ibu harus tetap waspada”.
RATU DARA: “Tugasmu, diam! Ini semua urusanku. Semakin
kuasa dan besar pengaruhku kepada raja, semakin gampang aku
mendudukkan kamu di atas tahta”.
Rendra: Panembahan Reso 263

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Saya telah memasang jebak untuk empat sekawan itu.


Saya pura-pura bersedia menyusul dan meminta mereka untuk
menunggu saya di mata air hutan Roban”.
RATU DARA: “Di sana mereka akan gampang disergap oleh raja.
RESO: “Mohon kepada raja kalau bisa, agar Panji Ombo dan
Panji Simo yang dititahkan untuk menyergap dan memenggal
kepala empat sekawan itu. --- Itu berarti memulihkan kedudukan
karena kesetiaan telah dibuktikan”.
RATU DARA: “Inilah yang sudah lama saya tunggu. Rencana
yang jelas dan berani seperti itu”.
RESO: “Bila kepala mereka telah terpenggal, tinggal kita
menghadapi Pangeran Bindi, Pangeran Kembar, dan para
senapati”.
RATU DARA: “Panji, Anda membawa gairah dan harapan saya”.
RESO: “Gairah dan harapan Anda akan saya jaga sebagai mustika
yang berharga. --- Sebagai prajurit kerajaan saya bersedia diuji dan
dicoba”.
RATU DARA: “Nama tenar Anda sebagai perwira ternyata ada
lagi buktinya”.
RESO: “Itu tergantung dari segi mana orang memandang. ---
Tetapi, sekarang kita bekerja. Saya pergi dari sini dan Anda harus
segera ke istana”.
RATU DARA: “Kita akan segera bertemu lagi”.
Rendra: Panembahan Reso 264

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Kapan saja, bila ada pesan dari Anda. --- Salam,
Pangeran”.
REBO: “Salam”.
RESO: “Salam, Sri Ratu”.
RATU DARA: “Salam! --- Nanti malam aku kirimkan pesan”.

(Keduanya bertatapan sejenak, lalu Panji Reso pergi)

REBO: “Sikap ibu agak ganjil kepadanya”.


RATU DARA: “Orang ganjil selalu melihat semuanya serba
ganjil. --- Lebih berguna kamu perhatikan dirimu. Bila kamu gagal
menjadi raja, siapa pun yang menjadi raja akan memenggal kepala
kita. Itulah kenyataan kekuasaan. Bagi kamu hal itu menakutkan.
Tetapi, bagiku justru menggugah gairahku”.

***

19. PARA PANJI BERKUMPUL LAGI


Pagi hari itu juga. Di rumah Panji Sekti. --- Panji Reso, dan
semua panji.
SEKTI: “Nah, semua sudah berada di sini. Tugas sudah saya
laksanakan”.
SIMO: “Perkembangan begitu cepat. Ini semua di luar dugaan”.
Rendra: Panembahan Reso 265

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

OMBO: “Gusti Yang Murbeng Jagat ternyata memberkati


perjuangan yang benar”.
SEKTI: “Dan, juga berkat usaha ahli dari Panji Reso”.
BONDO: “Hal itu harus diakui”.
WONGSO: “Kita sudah memilih pimpinan yang benar”.
RESO: “Hal itu jangan dilebih-lebihkan. Kesediaan Anda semua
untuk mematuhi semua rencana dengan setia merupakan
sumbangan yang lebih menentukan. --- Tetapi, kita bukan orang
lemah yang suka saling memuji. Yang memuaskan kita adalah
melihat terlaksananya cita-cita menjadi kenyataan. Sekarang, hal
itu belum tercapai. Kita masih berada di ambang permulaan”.
SIMO: “Panji Reso, apakah Anda ingin menjadi raja?”

(Semua terkesima oleh pertanyaan yang serta-merta itu)


RESO: “Kenapa bertanya begitu?”
SIMO: “Tidak ada salahnya bila Anda, saya dan semuanya
bersikap waspada. Sebentar akan terjadi kekacauan kekuasaan.
Tahta akan menjadi godaan bagi siapa saja. Mulai sekarang harus
kita tentukan bagaimana sikap kita di dalam kekacauan kekuasaan
semacam itu. Siapa calon raja kita. --- Maaf. Saya tahu pertanyaan
saya tadi membuat Anda kaget, Panji Reso. Bahkan, mungkin juga,
menyinggung perasaan Anda. Tetapi, ungkapan maksud yang jelas
Rendra: Panembahan Reso 266

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

adalah gaya bicara Anda juga. Lebih baik pahit kedengarannya,


tetapi baik maksudnya”.
RESO: “Lebih baik pahit kedengarannya, tetapi baik maksudnya!
Aku bertanya, apakah Anda ingin menggantikan aku untuk
memimpin Gerakan Para Panji?”
SIMO: “Sama sekali tidak. Saya hanya bermaksud mengingatkan
kepada kita semua sampai di mana batas cita-cita kita. Kita akan
memperbaiki keadaan negara dan mengganti raja. Tetapi, kita
harus menyadari bahwa kita bukan pangeran, dan mulai dari
sekarang kita harus menentukan pangeran yang mana yang akan
kita angkat menjadi raja. --- Pangeran menjadi raja itulah dasar
pikiran yang bisa diterima oleh semua orang”.
SEKTI: “Tentu saja. Apa di antara kita yang punya pikiran
berbeda?”
SIMO: “Saya bertanya, kenapa Panji Reso menentang pangeran
Gada untuk menjadi raja dan menolak ajakannya bergabung
dengan Panji Tumbal? Siapakah calon raja yang ia bayangkan?
Bukankah Pangeran Gada punya perhatian besar terhadap urusan
kadipaten?”
RESO: “Itu rupanya inti uneg-uneg Anda. --- Calon raja yang
saya bayangkan tentu saja seorang pangeran. Tetapi, bukan
Pangeran Gada karena ia bukan pangeran pertama dan juga bukan
putra tertua dari istri tertua. Yang punya perhatian pada urusan
Rendra: Panembahan Reso 267

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

kadipaten tidak hanya ia seorang. Pangeran Rebo juga punya


perhatian yang sama. Kenapa kita menolak untuk terlibat dengan
Panji Tumbal yang sudah kita bicarakan kemarin dulu”.
SEKTI: “Pangeran Gada ingin memperalat Panji Tumbal untuk
kepentingan hasrat pribadinya. Padahal, hasrat pribadi itu tak
punya dasar. Jelas sekarang. Jadi, jangan sampai ada salah pikiran
bahwa Panji Reso lupa daratan. Sudah sekian banyak jasanya
kepada negara, tetapi hidupnya tetap sederhana. Apakah kita ini?
Kenapa berani menyangsikan mutu pikiran seorang pahlawan?”
RESO: “Cukup! Luapan perasaan akan menjadi kabut bagi pikiran.
Aku setuju dengan langkah waspada Panji Simo. Dan, tidak aku
dengar kalimat dari siapa juga yang menyangsikan
kepemimpinanku”.
SIMO: “Tidak”.
SEMUA: “Tidak”.
RESO: “Baik. Aku akan tetap memimpin Gerakan Para Panji ini. -
-- Jangan aku disiram dengan puji-pujian lagi. Tetapi, beri aku
keterlibatan kerja. --- Dan, sekarang kita akan menetapkan
pangeran yang mana yang akan kita calonkan menjadi raja. Ada
dua calon yang punya dasar untuk bisa diterima oleh rakyat.
Pertama Pangeran Rebo, ke dua Pangeran Bindi. Sekarang mari
kita bicara”.
Rendra: Panembahan Reso 268

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SIMO: “Panji Tumbal pernah mengusulkan kepada saya untuk


merajakan Pangeran Rebo”.
WONGSO: “Tetapi, para senapati lebih dekat kepada Pangeran
Bindi”.
OMBO: “Itu karena mereka sama-sama kotor di dalam hal
keuangan”.
BONDO: “Hanya saja sifat Pangeran Rebo yang tidak gagah
harus kita pertimbangkan”.
SIMO: “Benar. Tetapi, beliau mempunyai ibu yang gagah dan
tajam pikirannya. Ratu Dara dengan sendirinya akan menjadi
pendamping yang memberi kekuatan dan kewibawaan”.
BONDO: “Ratu Dara memang mengagumkan. Sebetulnya, sampai
sekarang ia juga yang menjadi sumber kekuatan Raja Tua. Tanpa
Ratu Dara, Sri Baginda hanya akan menjadi berhala yang lucu”.
WONGSO: “Dan, jangan lupa! Pangeran Rebo belum terlambat
untuk dibina”.
SIMO: “Sebagai Panji Istana, Panji Reso, dan Panji Sekti bisa
langsung membinanya”.
RESO: “Gagasan yang bagus. Pangeran Rebo memang
mempunyai dasar untuk naik tahta. Sri Baginda pernah
mengumumkan bahwa permaisurinya tidak ada. Dan,
kenyataannya sekarang, Pangeran Rebo putra pertama, tangannya
Rendra: Panembahan Reso 269

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

bersih dari kekotoran keuangan, jiwanya penuh kewaspadaan. Aku


kira rakyat akan bisa menerima hal ini”.

Semua mengeluarkan suara setuju.


RESO: “Kalau begitu, Pangeran Rebo calon yang akan kita
rajakan. --- Tepat seperti dugaanku. --- Adapun, perkara Pangeran
Bindi dan para senapati serahkan kepadaku untuk menyingkirkan
mereka. Beri aku waktu dan tetaplah patuh pada rencana dan aba-
aba. --- sekarang ini sebagaimana sudah dilaporkan oleh Panji
Sekti, jalan terbuka untuk menyingkirkan dua pangeran tandingan
dan dua senapati yang harus diperhitungkan. --- Panji Simo dan
Panji Ombo, Anda sudah paham peran apa yang harus Anda
mainkan di depan raja?”
SIMO: “Sudah”.
OMBO: “Jangan khawatir. Saya akan berperan sebaik-baiknya”.
RESO: “Kalau begitu kita akan menunggu di sini sesuai dengan
rencana”.
SIMO: “Sungguh sayang Panji Tumbal tidak bersama kita”.
RESO: “Kalau ia sanggup bertahan sampai kita punya raja baru,
dan ia mau menerima raja baru kita, akan tertolong nasibnya”.
SEKTI: “Panji Reso, ada sesuatu yang akan saya utarakan.
Bisakah Anda nanti sore mampir lagi kemari?”
RESO: “Tentu saja”.
Rendra: Panembahan Reso 270

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Masuk Abdi dengan tergesa.


ABDI: (Di depan Panji Sekti) “Maaf, Raden, di luar ada Aryo
Bungsu, Senapati Istana, ingin bertemu dengan Anda”.
RESO: “Tepat pada waktunya. Sebagaimana telah aku duga. ---
Biarkan ia kemari”.
SEKTI: “Bawa ia kemari”.
ABDI: “Baik, Raden”. (pergi)
RESO: “Saya yakin kita bersama lebih kuat dari mereka. Sebagai
prajurit kita lebih utuh, tanpa noda, dan rakyat lebih suka kepada
kita”.

Aryo Bungsu masuk.


BUNGSU: “Salam!”
SEMUA: “Salam!”
BUNGSU: “Lihatlah, semua panji berada di sini”.
RESO: “Aku yang mengumpulkan mereka”.
“Rupanya mereka menyimpan rahasia yang baru sekarang aku
ketahui”.
BUNGSU: “Tentang pengkhianatan Pangeran Gada, Pangeran
Dodot, dan dua orang senapati?”
RESO: “Ya! Dan, dua orang senapati!”
Rendra: Panembahan Reso 271

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BUNGSU: “Saya membawa perintah dari raja. Para Panji


dititahkan menghadap ke istana”.
RESO: “Kapan?”
BUNGSU: “Sekarang. Bersama saya!”
RESO: “Teman-teman, kita berangkat bersama”.

***

20. BERHALA YANG MURKA

Di Balai Penghadapan. Para panji dan Aryo Bungsu sudah siap di


situ. Raja Tua masuk diiringi Ratu Dara dan Pangeran Rebo.
RAJA TUA:
(mengacung-acungkan surat) “Khianat! Aku, raja, yang sudah
membebaskan negeri ini dari anjing-anjing Portugis, sekarang
harus menghadapi anak-anakku sendiri yang tidak tahu membalas
budi! --- Para panji, aku tidak akan melupakan bukti kesetiaan
kamu semua. Kesetiaan akan selalu aku beri ganjaran. Dan,
kesetiaan akan selalu tampak meskipun tertimbun oleh batu ujian.
Sebaliknya, pengkhianatan akan selalu berbau juga pada akhirnya.
Sebab aku tidak bisa ditipu. Aku punya seribu mata dan seribu
telinga. Jadi, aku tahu banyak rahasia dan niat yang
disembunyikan. Dan, sekarang ini, aku tahu keempat pengkhianat
Rendra: Panembahan Reso 272

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

itu sedang di mana! Mereka sedang berkemah di mata air Hutan


Roban! --- Panji Simo dan Panji Ombo! Sebagai bukti bahwa aku
menghargai kesetiaanmu maka aku tugaskan kamu berdua untuk
membawa pasukan secukupnya dan mengepung para pengkhianat
di mata air itu”.
SIMO & OMBO: “Baik, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Percaya saja padaku. Mereka pasti di sana”.
SIMO: “Hamba patuh, Yang Mulia!”
OMBO: “Hamba juga”.
RAJA TUA: “Inilah satu kehormatan bagi kamu berdua. Karena
dengan begitu kedudukanmu aku pulihkan”.
SIMO: “Hamba bersyukur kepada Sri Baginda”.
OMBO: “Hamba juga”.
RAJA TUA: “Baik. Aku puas. Sekarang pergilah kamu berdua
saat ini juga. Penggallah kepala keempat pengkhianat itu dan
bawalah kemari. Aku akan memajang kepala-kepala itu di alun-
alun”.
SIMO: “Baik, Yang Mulia. Hamba mohon diri”.
OMBO: “Hamba juga!”
RAJA TUA: “Berangkatlah, aku berkati!”

Keduanya menyembah dan pergi.


Rendra: Panembahan Reso 273

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Bagus. Aku suka ini. Ternyata para panji masih
tertib dan rapi. Kamu semua aku bebaskan”.
“Panji Reso!”
RESO: “Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aturlah supaya para panji dan adipati kembali ke
Kadipaten mereka masing-masing”.
RESO: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Beri hadiah semua panji. Masing-masing dua ekor
kuda, emas 100 tail, satu ekor ayam jago aduan, dua ekor merak,
dan dua ekor perkutut yang sudah terlatih”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia”.

Semua Panji mengucapkan rasa terima kasih.


RAJA TUA: “Begitulah. Aku puas, kamu puas. Sekarang
mundurlah kamu semua ke Bangsal Kepanjen! Berpestalah di sana.
Akan aku kirimkan hidangan makanan, arak, dan perempuan”.

Semua Panji menyembah pamitan dan pergi. Yang tinggal Raja


Tua, Ratu Dara, Pangeran Rebo dan Aryo Bungsu.
RAJA TUA: “Bagaimana pendapatmu, Ratu Dara?
Kebijaksanaanku cukup baik, bukan?”
Rendra: Panembahan Reso 274

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Hamba bangga akan tindakan Sri Baginda.


RAJA TUA: “Sayang Panji Reso dan Panji Sekti bukan keturunan
raja dan pangeran, aku tidak bisa mengganjar mereka dengan
mengangkat menjadi senapati. Bila aku punya senapati seperti
mereka aku akan merasa aman dengan tahtaku”.
RATU DARA: “Kenapa tidak? Sri Baginda adalah Raja Binatara.
Raja yang disembah bagaikan Dewa. Kenapa tidak mampu
mengangkat seorang biasa menjadi seorang Aryo? Firman Raja itu
sakti dan kuasa”.
RAJA TUA: “Kenapa tidak! --- Aryo Bungsu, umumkan nanti
dalam pesta di Bangsal Kepanjen bahwa berdasarkan kuasa firman
Raja, Panji Reso dan Panji Sekti telah aku angkat menjadi aryo.
Aryo Reso menjadi senapati ibu kota. Dan, Aryo Sekti
menggantikan Aryo Ronin menjadi Senapati Pasukan Berkuda”.
BUNGSU: “Akan hamba umumkan, Yang Mulia! Paduka mampu
berpikir cepat. Sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi bahwa
pasukan Aryo Gundu dan Aryo Ronin akan menyusul komandan
mereka. Sebab komandan mereka sudah diganti oleh aryo-aryo
yang baru”.
RAJA TUA: “Itulah siasat! Kamu lihat, pengalamanku yang
matang telah membuat aku dengan cepat bisa menguasai keadaan.
--- ini yang harus kamu contoh, Pangeran Rebo! Jangan kamu
meniru contoh yang sesat dan keliru. Jiwaku terpukul oleh
Rendra: Panembahan Reso 275

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

kelakuan Pangeran Gada dan Pangeran Dodot. Begitu tega kepada


ayahnya sendiri. Ini contoh buruk. Padahal abangnya, Pangeran
Bindi, ialah tokoh teladan. Tirulah dia! Silatnya bagus,
semangatnya besar, dan tidak mau diremehkan orang. Begitulah
sikap orang yang bisa memimpin. Ia mampu membuat aku
berbangga. --- contohlah ia baik-baik, anakku!”
REBO: “Hamba akan berusaha, Ayahanda”.
RATU DARA: “Tetapi, ia pernah mengamuk di pasar dan juga
suka menodai istri orang! --- Apakah anakku harus juga
mencontoh hal itu?”
RAJA TUA: “Ah, itu hanyalah hiasan kekuasaan! Yang penting,
orang takut kepadanya. Musuh negara juga akan gentar
menghadapinya. --- Sekarang temani aku mengadu ayam”.

***

21. ARYO RESO DAN ARYO SEKTI


Sore hari di rumah Aryo Sekti --- Aryo Reso, Aryo Sekti.
RESO: “Tanpa diduga kita mendapatkan sesuatu yang baik yang
tidak kita rancangkan. Sedangkan, yang kita rancangkan berhasil
pula kita dapatkan”.
SEKTI: “Itulah namanya nasib baik”.
Rendra: Panembahan Reso 276

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Nasib itu naik turun seenak pantatnya. Tetapi, usaha


manusia membuahkan perkembangan. Terkadang, perkembangan
itu di luar dugaan. Jadi, kita tidak boleh berhenti memperjuangkan
cita-cita. Aku bukan orang yang gampang melepaskan cita-cita!
Aryo Sekti, halangan yang berada di depan kita masih cukup
besar”.
SEKTI: “Betul, tetapi toh apa yang kita dapatkan secara tak
terduga ini sangat menimbulkan harapan”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Sebenarnya saya kaget”.
RESO: “Kaget lagi?”
SEKTI: “Karena saya diangkat menjadi Senapati Pasukan
Berkuda”.
RESO: “Syukuri kesempatan yang baik”.
SEKTI: “Tetapi, seumur hidup saya belum pernah naik kuda”.
RESO: “Hm. Tadi pagi Anda berkata, ada masalah yang akan
Anda utarakan”.
SEKTI: “Ya, ada! Selama saya menjalankan tugas yang Anda
berikan saya dibantu oleh seorang pembunuh bayaran”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Ia sangat ahli mengintai, menyelinap, mencuri, dan
membunuh. Tanpa meninggalkan jejak! Sudah sejak dulu ia
Rendra: Panembahan Reso 277

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

membantu saya. Dan, sekarang, kalau Anda menganggap perlu,


jangan ragu-ragu memakai tenaganya. Ia bisa dipercaya”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Pangeran Bindi….. Sri Baginda……”
RESO: “Hm. --- Siapa namanya?”
SEKTI: “Kalau Anda mau, bahkan Anda bisa bertemu orangnya”.
RESO: “Di mana?”
SEKTI: “Di sini”.
RESO: “Mana dia?”
SEKTI: “Asasin! Kemari!”

Siti Asasin muncul.


RESO: “Dia?”
SEKTI: “Ya. --- Anda kaget! Namanya Siti Asasin”.
ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”
RESO: “Salam. --- Siti Asasin?”
ASASIN: “Ya, betul!”
RESO: “Banyak pengalamanmu?”
ASASIN: “Sudah sepuluh tahun”.
RESO: “Kamu memakai panah?”
ASASIN: “Bisa juga”.
RESO: “Sumpitan?”
ASASIN: “Bisa juga”.
Rendra: Panembahan Reso 278

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Racun?”
ASASIN: “Bisa juga”.
RESO: “Apa senjata andalanmu?”
ASASIN: “Tusuk konde”.
RESO: “Di mana kamu tinggal?”
ASASIN: “Bisa dihubungi melewati Aryo Sekti”.
RESO: “Barangkali aku akan memerlukan bantuanmu”.
ASASIN: “Bisa”.
RESO: “Kalau tugasmu gagal?”
ASASIN: “Jangan dibayar. Saya bekerja tanpa uang muka”.
RESO: “Bagus! Orang tidak akan menyangka perempuan cantik
dan lembut seperti kamu bisa berbahaya. Belum apa-apa kamu
sudah menang satu-dua langkah. Sekarang aku pergi dulu. Aryo
Sekti, pamit. Besok pagi kita berjumpa di istana. Selamat sore”.
SEKTI: “Selamat sore”.

***
22. ADA LAGI YANG TAK TERDUGA
Di kamar tidur Ratu Dara, di dalam kaputren, di istana. --- Ratu
Dara duduk di tempat tidur yang memakai undakan. Aryo Reso
masuk.
RATU DARA: “Ah! Aryo Reso!”
RESO: “Inang Anda menyuruh saya masuk ke sini”.
Rendra: Panembahan Reso 279

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Memang, begitu maksud saya”.


RESO: “Kok di sini?”
RATU DARA: “Di mana lagi tempat yang lebih bebas dari
pengawasan? Bahkan, orang ronda juga tidak akan masuk kemari”.
RESO: “Oh!”

Keduanya bertatapan. Ratu Dara melangkah mendekat. Wajah


mereka tampak intens. Napas mereka memburu. Tiba-tiba Aryo
Reso berlutut.
RESO: “Anda seorang Aryo, seorang Ratu, sedang saya orang
biasa”.
RATU DARA: “Anda juga seorang Aryo sekarang”. (membelai
kepala Aryo Reso)
RESO: “Aaaah! (terduduk bersila di lantai) Berada di alam apa
aku ini? Telaga berdarah………. Bunga-bunga teratai……….
dan …….. lima bidadari kembar yang serupa Ratu Dara….”
RATU DARA: (menyusul duduk di sebelahnya) “Itukah
gambaran yang pernah Anda impikan?”
RESO: “Kenapa telaga darah?”
RATU DARA: “Karena kita tidak gentar melakukan tindakan
yang berakibat mengalirkan darah. Satu persatu musuh akan kita
singkirkan”.
RESO: “Dan, teratai?”
Rendra: Panembahan Reso 280

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RATU DARA: “Itulah cita-cita kita. Memperjuangkan cita-cita


dengan menempuh marabahaya adalah gairah orang gagah. ---
Kita berdua punya sifat yang sama. Penampilan Anda menggugah
saya. Keberanian Anda memabukkan saya. Belum pernah ada
lelaki yang berani menatap Ratu seperti Anda tadi pagi menatap
saya. Dan, juga, tidak sembarang lelaki berani memasuki kaputren
di dalam istana, apalagi masuk ke kamar seorang ratu. Kelenjar
saya bergolak, melihat keberanian seorang lelaki”.
RESO: “Jangan saya disiram dengan puji-pujian. Sejak usia muda
puji-pujian sudah menjadi kasur dan bantalku. Akhirnya, menjadi
sampah dan beban yang tidak berguna”.
RATU DARA: “Saya tenggelam di dalam kepribadian Anda. ---
Tadi pagi Anda datang dengan buah pikiran dan tindakan yang
menimbulkan gairah dan akhirnya menjadi berahi”.
RESO: “Anda juga menimbulkan gairah dan berahi saya. ---
Tetapi saya juga melihat di dalam mimpi saya tahta yang
mengapung di telaga darah”.
RATU DARA: “Itulah tahta yang akan kita rebut untuk anakku”.
RESO: “Pada akhirnya, bila semua pangeran yang menjadi lawan
sudah kita singkirkan, kita harus membunuh raja”.
RATU DARA: “Tentu saja! Bunuhlah dia untuk saya. Oh! Di
dalam hati dia bukan lagi raja, juga bukan lagi suami saya. Tadi
siang, dia mengungkapkan bahwa pikirannya penuh dengan
Rendra: Panembahan Reso 281

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Pangeran Bindi. Setinggi langit dipujinya bangsat itu. Seakan-akan


sudah ia pastikan bahwa si Bindi akan mengganti menjadi raja”.
RESO: “Saya akan mengirim seorang pembunuh bayaran kemari.
Ia seorang wanita tetapi sakti. Pelihara untuk sementara di sini. ---
Pada saat Panji Ombo datang membawa kepala pemberontak itu,
Sri Baginda, sesuai dengan kebiasaannya, pasti akan berpesta.
Bikinlah Baginda mabuk seberat-beratnya sampai tumbang, lalu
tidurkan dia. Selanjutnya, biar pembunuh yang saya kirimkan
mencabut nyawanya. Ingat! Harus sampai tumbang! Sebab ilmu
silatnya tinggi. Bila tidak tumbang, biar pun mabuk, dia masih
berbahaya. --- Nanti, sesudah Sri Baginda wafat, Pangeran Rebo
kita naikkan ke tahta. Para Panji masih saya minta tinggal di ibu
kota. Mereka akan membantu kita melakukan gerakan
pembersihan yang diperlukan. --- Bila Pangeran Bindi melawan
penobatan, biar ditumpas oleh raja yang baru, sesuai dengan
wewenangnya”.

Selama mendengar Aryo Reso bicara, Ratu Dara tampak bergolak


dan menjadi cepat napasnya.
RATU DARA: “Oh! Aku patuhi rencana ini. Sementara,
mendengar Anda menguraikan rencana, hasrat hidupku meningkat.
Oh, lihat, jari-jariku gemetar. Peganglah! Oh, rasakan…..arus gaib
yang mengalir dalam darahku! Oooh!” --- (Ia menarik Aryo Reso
Rendra: Panembahan Reso 282

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

berdiri dan membimbing ke ranjang. Di sisi ranjang Aryo Reso


berdiri dengan tegar. Pegangan tangan mereka lepas. Ratu Dara
tergolek di ranjang). “Jangan ragu-ragu. Sudah berabad-abad saya
mimpikan ini”.
RESO: (Naik berdiri di ranjang) “He, Ratu, aku ambil kamu”.

***

23. BULAN DI SAAT TERANG TANAH


Di suatu tempat, di saat terang tanah. Aryo Reso berdiri
mengangkang. Kepala tunduk menatap tanah. Napasnya terengah-
engah. Tangannya terkepal. Badannya tegang. Lalu, pada
puncaknya badannya tergeliat, dan dari mulutnya ke luar suara
seperti lenguhan lembu. --- Kini tubuhnya melemas. Lalu,
kepalanya mendongak ke langit.

“Bulan sudah tergeser ke Barat. --- Sudah terang tanah. ---


Bagaimana aku akan memperhitungkan tindakanku? Betul juga
kata istriku: “mimpi itu hantu atau peri sekalian.” --- Oh, tubuh
dan payudara yang sintal bagai berlapis suasa! Rambut yang
menguapkan bau kesturi! --- Haaaah! Aku telah bernoda dosa, ---
tetapi bila raja terbunuh aku bisa menjadi suaminya. Bayangkan,
dari panji menjadi aryo, lalu menjadi ayah tiri raja! Akan semakin
Rendra: Panembahan Reso 283

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dekat aku kepada tahta. Bukankah itu cita-citaku? --- Oh! Apakah
cita-citaku harus terwujud dengan berlumur dosa? Tahta yang
terapung di danau darah! Apakah aku ada nyali untuk meraihnya?
--- Oh! Duh Gusti Jagat Dewa Batara!” (Berlutut dan akhirnya
rebah ke tanah).
***

24. TIDUR DENGAN PULASNYA


Di rumah Aryo Reso. Pagi hari. Aryo Reso terbaring tidur. Nyi
Reso berdiri di dekatnya, membawa selimut.
NYI RESO: “Karena capek ia tertidur di sini. Tampak tenang dan
pulas ia. Tak perlu lagi saya bangunkan. Tak akan saya ganggu
ketenangannya”. (menyelimuti Aryo Reso, lalu bersimpuh di sisi
tubuhnya). “Sekarang ia menjadi senapati. Seorang aryo. Memang
hebat dia. Seorang biasa yang bisa mendorong nasibnya sehingga
menjadi bangsawan. Barangkali bisa juga akhirnya ia menjadi raja.
--- Lalu, bagaimana saya? Akan menjadi permaisuri? Saya tidak
tahu bagaimana menjadi ratu. Saya akan makin tersisih dari
pikirannya. Saya makin tak mampu ia ajak bicara karena
urusannya semakin tinggi. Sedangkan, sekarang saja saya sudah
mulai tak tahu apa-apa. --- Dan, juga, saya tidak punya anak. Nanti,
kalau ia menjadi raja, ia pasti ingin punya putra mahkota. Lalu,
barangkali ia akan kawin lagi. --- Oh! Saya tak akan tahan
Rendra: Panembahan Reso 284

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dimadu!” (membelai suaminya) “Kakanda, saya sangat


mencintaimu. Tak mungkin saya bisa hidup tanpa Kakanda. Tetapi,
saya tidak berdaya memiliki Kakanda seluruhnya. Itulah sebabnya
saya menderita. --- Saya mau minggat tidak bisa. Saya mau bunuh
diri juga tidak bisa. Soalnya, karena saya tidak ikhlas melepaskan
Kakanda dari tangan saya”. (mengeluarkan botol kecil dari
kembennya) “Lihatlah, ini racun yang tidak jadi saya minum.
Apakah Kakanda akan tega kalau melihat saya bunuh diri?”
(mengusap wajah suaminya) “Ia sangat tenang kalau tidur begini.
Kalau ia seperti ini saya akan bisa memilikinya seluruhnya, dan
selama-lamanya”. (menusuk leher suaminya pelan dengan jari)
“Kalau saya tusuk di sini, akan mati dan tidak bisa lari lagi dari
tanganku. --- Begitu pulas Kakanda tidur sehingga walau dibunuh
tak merasa apa-apa”. (memandangi botol racun dengan tegang)
“Duh Gusti Jagat Dewa Batara, hanya bila ia mati saya bisa bulat-
bulat memilikinya”. (dengan tegang dan pelan-pelan ia buka tutup
botol racun, lalu membuka bibir bawah Aryo reso dan meneteskan
beberapa tetes cairan racun ke mulutnya. Aryo Reso bereaksi
sedikit dengan mengecap-ngecapkan mulutnya dan secara refleks
menelan racun itu) --- “Cukup tiga tetes dulu. Rasanya manis. Ia
akan bermimpi minum madu. Kalau saya bunuh dia seketika, akan
ketahuan orang. Setiap hari akan saya tuang tiga tetes ke dalam
minumannya. Itu akan membuat ia pelan-pelan sakit, dan lalu,
Rendra: Panembahan Reso 285

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

akhirnya akan mati dengan kelihatan wajar”. (membelai-belai


suaminya) “Maaf, Kakanda berani membulatkan tekad untuk
mengejar cita-cita, yaitu tahta. Saya juga sudah membulatkan
tekad untuk mengejar cita-cita, yaitu memiliki Kanda seluruhnya”.

***

25. MEMINJAM TANGAN


Di suatu tempat. Siang hari. Aryo Reso muncul, dan dari jurusan
lain muncullah Siti Asasin.
ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”
RESO: “Salam. Kamu datang tepat pada waktunya”.
ASASIN: “Itu kebiasaan saya”.
RESO: “Aryo Sekti sudah menerangkan bahwa kamu saya
perlukan untuk dua atau tiga hari?”
ASASIN: “Sudah”.
RESO: “Mana bekalmu?”
ASASIN: “Ada”.
RESO: “Apakah kamu selir Aryo Sekti?”
ASASIN: “Bukan”.
RESO: “Kenapa ia tak punya selir dan tak punya istri”.
ASASIN: “Tidak tahu”.
Rendra: Panembahan Reso 286

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Barangkali itu baik untuk pekerjaannya. Lelaki yang


selalu sibuk bekerja lebih baik tak usah berkeluarga”.
ASASIN: “Begitu juga perempuan yang selalu sibuk seperti saya.
RESO: “Tetapi, apakah kamu punya hubungan gelap dengan Aryo
Sekti?”
ASASIN: “Hubungan gelap yang kadang-kadang”.
RESO: “Kamu kelihatan mencintainya”.
ASASIN: “Yah, timbal balik sekadarnya”.
RESO: “Apakah ia tahu semua rahasia pekerjaanmu”.
ASASIN: “Tidak. Hanya yang menyangkut tugas yang datangnya
dari beliau”.
RESO: “Tugas yang aku berikan kepadamu harus kamu
rahasiakan terhadap siapa saja”.
ASASIN: “Tentu! Sudah lumrah begitu”.
RESO: “Juga terhadap Aryo Sekti”.
ASASIN: “Tak usah dipesankan. Itu sudah di dalam wilayah mutu
pekerjaan saya”.
RESO: (mengusap-usap dada kirinya, lalu menghembuskan napas
dari mulutnya) “Dengarkan baik-baik”.
ASASIN: “Anda sakit”.
RESO: (menyeka keringat dari jidat) “Tidak!” (membasahi
bibirnya yang kering) “Aku sehat, tenang, dan berbahaya”.
ASASIN: “Apakah tugas saya?”
Rendra: Panembahan Reso 287

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Malam ini bunuhlah istri saya”.


ASASIN: “Baik”.
RESO: “Kamu tidak kaget?”
ASASIN: “Tidak. Ia istri Anda bukan istri saya”.
RESO: “Bahan keterangan apa yang kau perlukan untuk masuk
rumah dan mencapai istriku?”
ASASIN: “Tidak ada”.
RESO: “Malam ini aku akan begadang di Bangsal Kepanjen
bersama dengan para panji. Kalau selesai tugasmu, tidak usah
kamu melapor kepadaku. Tetapi, langsunglah kamu pergi
menghadap Ratu Dara di Kaputren, di dalam istana. Laporkan
semuanya kepada Sri Ratu. Lalu, kamu akan tinggal bersama Ratu
Dara untuk dua atau tiga hari. Dan, pada saat yang ditentukan, dan
jalan sudah disiapkan, bunuhlah Sri Baginda Raja”.
ASASIN: “Membunuh raja?”
RESO: “Sekarang kamu kaget”.
ASASIN: “Tidak saya duga akan mendapat kesempatan semacam
ini. Ini justru tantangan yang menggiurkan. Inilah kesempatan baik
bagi saya untuk mendapatkan kepuasan bekerja”.
RESO: (kembali mengurut dada kirinya, menghembuskan napas
lewat mulut, menyeka dahi, dan membasahi bibirnya yang kering)
“Berapa upah yang kamu minta?”
ASASIN: “Banyak”.
Rendra: Panembahan Reso 288

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Seribu tail emas cukup”.


ASASIN: “Itu banyak sekali”.
RESO: “Tidak apa”.
ASASIN: “Terima kasih. --- Dada kiri Anda nyeri?”
RESO: “Sedikit saja”.
ASASIN: “Sedikit sesak? Dan mulut Anda terasa kering? Anda
sakit?”
RESO: “Ah, tidak. Semalam aku begadang. Barangkali, sekarang
sedikit mau masuk angin”.
ASASIN: (mengulurkan tangan) Boleh saya memeriksa nadi
Anda?”
RESO: (terlambat menolak) “Apa yang salah?”
ASASIN: “Nanti dulu”. (setelah memeriksa nadi dan kuku-kuku)
“Anda diracun orang”.
RESO: “Racun?”
ASASIN: “Sedikit. Tetapi, kalau tidak diobati bisa melumpuhkan
separo badan. --- Paling lambat dalam waktu tiga hari Anda harus
minum obat pemusnahnya. Anda diracun dengan sari daun
beludru”.
RESO: “Siapa berani meracun saya?”
ASASIN: “Itu teka-teki Anda, bukan teka-teki saya”.
RESO: “Kamu tahu obatnya?”
Rendra: Panembahan Reso 289

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ASASIN: “Tahu. Besok pagi akan saya titipkan Sri Ratu Dara. ---
Mohon diri, Aryo Reso”.
RESO: “Ya! Selamat! --- Aku diracun orang! Dunia memang
mengajar aku untuk kejam. --- Ataukah aku sudah terlanjur masuk
ke alam kekejaman? Setan atau hantu, aku tandingi kamu!”

***

26. BERHALA YANG RETAK


Di Balai Penghadapan. Raja Tua dan Aryo Reso minum arak
bersama. Malam hari.
RAJA TUA: (sambil minum) “Aku puas dengan kesetiaan para
panji. Tadi pagi, datang utusan yang membawa surat dari Aryo
Lembu. Ia melaporkan bahwa Kadipaten Watu Limo, Sendang
Pitu, dan Winongo dalam keadaan baik”.
RESO: “Hamba sudah dengar hal itu. Hamba ikut gembira”.
RAJA TUA: “Aku dengar para adipati masih di sini”.
RESO: “Justru karena mereka mendengar bahwa di kadipaten
mereka dalam keadaan baik-baik saja, maka mereka masih ingin
menikmati ibu kota”.
RAJA TUA: “Bagus. Bagus. --- Ayo, minum. Panji Simo dan
Panji Ombo belum juga kembali dari Hutan Roban”.
Rendra: Panembahan Reso 290

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tiga hari perjalanan ke sana, dan tiga hari lagi ke mari.
Ditambah satu hari istirahat di hutan setelah mereka bertempur,
sambil meramu obat untuk mengawetkan kepala-kepala yang
mereka penggal”.
RAJA TUA: “Ya!” (minum lagi) “Kepala-kepala pengkhianat itu!
Aku ingat bagaimana dulu aku melakukan perjalanan untuk
menyatukan negara. Ada saja pihak yang menginginkan
pemisahan. Jadi, sebentar-sebentar aku harus berperang. Sampai
akhirnya, kini, negara kuat dan satu”.
RESO: “Sekarang sudah tidak ada lagi yang menginginkan
pemisahan. --- Kecuali si tumbal yang cupat pikiran itu”.
RAJA TUA: “Karena itu, kita harus keras dan tegas terhadap
pikiran yang neko-neko. Bukannya aku kejam kepada rakyat,
tetapi aku belajar dari pengalaman”.
(minum lagi) “Oh, aku sangat mencintai rakyat! Aku suka
menikmati alam desa, makan jagung, dan gaplek bersama mereka.
--- Oh, aku tak akan lupa bahwa ketika aku luka-luka sehabis
pertempuran, aku dirawat oleh orang desa. Aku merasa berhutang
budi kepada rakyat. Dan, kini, aku membalas dengan menciptakan
dunia yang tertib, rapi, aman, dan sejahtera. Paham kamu?”
(minum lagi)
RESO: “Paham, yang Mulia”.
Rendra: Panembahan Reso 291

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Dan, kini, anak-anakku sendiri yang akan


menghancurkan cita-citaku! Aku cintai mereka. Aku ajari sendiri
mereka memanah, ilmu silat, dan naik kuda, tapi hasilnya kok
begini! (minum) Di mana salahnya?”
RESO: “Ibarat telur yang busuk, sebentar lagi mereka akan
dihancurkan”.
RAJA TUA: “Katakan, Reso, apa sudah betul kalau kusuruh
penggal kepala mereka?”
RESO: “Yang kita pertahankan keutuhan negara, Yang Mulia! Ini
masalah cita-cita padukan”.
RAJA TUA: “Ya! Cita-cita! --- Tetapi, apa perlu kepala mereka
dipenggal? Apa tidak cukup kita penjara atau kita asingkan ke luar
kerajaan?”
RESO: “Lalu, nanti, akan ada lagi yang untung-untungan
mencontoh mereka kalau memang taruhannya tidak seberapa”.
RAJA TUA: “Oh! Penderitaan kekuasaan! Aku telah menyuruh
membantai anak-anakku sendiri!” (minum lagi) “Kenapa kamu
tidak minum?”
RESO: (minum) “Dari tadi hamba minum, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus. --- Kamu pernah membunuh”.
RESO: “Hamba sering berperang, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Di luar perang?”
RESO: “Belum pernah sebenarnya”.
Rendra: Panembahan Reso 292

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Aku juga sering berperang. --- Tetapi, sekarang di


luar perang aku terpaksa membunuh. --- Aku merasa berdosa”.
RESO: (terengah-engah) “Jadi, Anda akan mencabut hukuman
penggal?”
RAJA TUA: “Hahahaha! Aku berputar-putar, berkejar-kejaran
dengan diriku sendiri. --- Ayo, raja, kamu telah memulai cita-cita
dengan pedang, kini harus kamu pertahankan dengan pedang juga!
Kalau tidak, pedang orang yang akan memakan kamu! --- Kenapa
kamu, aryo? Kamu seperti orang sakit”.
RESO: “Tidak, Yang Mulia, hamba……….. Ah, barangkali
sekadar masuk angin. Tadi malam hamba begadang”.
RAJA TUA: “Minumlah lagi, supaya terusir itu angin. --- Nah,
bagus! --- Kamu main perempuan tadi malam?”
RESO: “Betul, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus. Asmara itu menyehatkan badan! Kalau
kamu sakit itu tandanya kamu salah main!”

Keduanya tertawa. Seorang Punggawa masuk.


PUNGGAWA: “Maaf, Yang Mulia, seorang abdi Aryo Reso
datang kemari. Ia mengabarkan bahwa istri Aryo Reso meninggal
dunia”.
RESO: “Istriku!”
RAJA TUA: “Apa ia sudah lama sakit?”
Rendra: Panembahan Reso 293

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Setahu hamba tidak. Tetapi, hamba sibuk sekali akhir-


akhir ini”.
PUNGGAWA: “Kata abdi itu, almarhumah sudah beberapa hari
ini kelihatan pucat, sering pening, dan tidak suka makan.
Kelihatannya, almarhumah kejang jantung tiba-tiba, lalu wafat
karena tak kuasa minta tolong. --- Ketahuannya wafat baru saja.
Lalu, segera seorang abdi berlari-lari mencari Aryo Reso ke
istana”.
RAJA TUA: (memberi isyarat kepada punggawa untuk pergi)
“Sudahlah, Aryo Reso! Aku ikut berduka cita. Pergilah pulang.
Urus jenazah istrimu. Akan aku suruh istri-istriku dan Pangeran
Rebo untuk melayat. Biaya penguburan akan ditanggung oleh
perbendaharaan istana”.
RESO: “Banyak terima kasih untuk perhatian Yang Mulia.
Sekarang hamba mohon diri”. (menyembah dan pergi)
RAJA TUA: (sendiri dan sepi) “Hari apa sekarang?” (menenggak
arak sampai tuntas dari botolnya)

***

27. MUSANG DAN ULAR


Di keputren, di kamar Ratu Dara. Waktu malam. --- Ratu Dara
duduk bersama Siti Asasin.
Rendra: Panembahan Reso 294

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: “Sukar aku bayangkan bahwa dengan mudah hal itu kamu
lakukan! Bukankah rumahnya dijaga?”
ASASIN: “Tidak seberapa, Sri Ratu”.
DARA: “Aku kagum. Sungguh kagum. Kamu cantik, luwes, dan
lengkap sopan-santunmu. --- Dan, bagaimana kamu memastikan
bahwa ia yang meracuni suaminya?”
ASASIN: “Ketika badannya jatuh, keluarlah dari kembennya botol
ini”. (mencium baunya) “Dari baunya hamba bisa mengenal, inilah
racun sari daun beludru. Racun yang bersarang di tubuh Aryo
Reso”. (menyimpan kembali racun itu, dan mengeluarkan botol
yang lain dari kembennya) “Dan, ini pemusnahnya. Sebelum
kemari hamba sempatkan mengambilnya agar lewat Anda bisa
disampaikan kepada Aryo Reso”. (menyampaikan botol pemunah
racun).
DARA: “Apakah kamu punya suami?”
ASASIN: “Tidak, Sri Ratu. Seorang pembunuh lebih baik tidak
berkeluarga”.
DARA: “Tetapi, tentu banyak lelaki yang berminat kepada kamu”.
ASASIN: “Itu kurang hamba perhatikan”.
DARA: “Apa kamu tidak senang lelaki?”
ASASIN: “Senang juga”.
DARA: “Apakah Aryo Reso berminat kepada kamu”.
Rendra: Panembahan Reso 295

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

ASASIN: “Jangan khawatir, Sri Ratu, hamba tidak punya


hubungan gelap dengan Aryo Reso”.
DARA: “Jangan khawatir? Apa maksudmu?”
ASASIN: “Hamba tahu, ada hubungan antara Anda dan Aryo
Reso. Tidak mungkin hamba diminta melaporkan rahasia
pribadinya yang besar kepada Anda kalau hubungan itu tidak ada.
Tetapi, apa yang hamba tahu ini, orang lain tidak tahu”.
DARA: “Apa yang rahasia harus tetap rahasia”.
ASASIN: “Kemampuan memegang rahasia ialah syarat nomor
satu untuk menjadi pembunuh bayaran. Kemampuan membunuh
hanya nomor tiga. Yang nomor dua, kemampuan tanpa ada
jejaknya”.
DARA: “Setiap kali kamu bicara mengenai pekerjaanmu, dan
bagaimana kamu menyelesaikan tugasmu, aku merasa ada arus
gaib melanda tubuhku”.
ASASIN: “Syaraf-syaraf Anda bergetar. Bibir Anda terbuka dan
mengering, napas memburu, bola mata sedikit berair, pinggir
kelopak mata yang bawah mengkilat. Tandanya gairah Anda
bangkit”.
DARA: “Kenapa begitu?”
ASASIN: “Kekerasan menimbulkan gairah Anda. Sama dengan
hamba. Bagi kita kekerasan bisa menjadi keindahan. Hamba tidak
mau membunuh tanpa gaya yang indah”.
Rendra: Panembahan Reso 296

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: (berpindah duduk, mendekati Siti Asasin) “Kata-katamu


menarik sekali. --- Apakah Aryo Reso juga sama dengan kita?”
ASASIN: “Tidak. Beliau seorang prajurit. Beliau hanya memuja
kegagahan. Terhadap kekerasan sikap beliau tidak tuntas. Beliau
berperang hanya untuk menang. Beliau melakukan kekerasan
tanpa keindahan”.
DARA: “Aku mencintainya”.
ASASIN: “Pancaran kepribadiannya memang kuat”.
DARA: “Pasti ada cacatnya”.
ASASIN: “Bagi kami, beliau terlalu kasar”.
DARA: “Dan, kelemahannya?”
ASASIN: “Dewasa ini batinnya kelihatan tergoncang, tetapi
kepalanya membatu. Beliau sedang menyihir dirinya sendiri”.
DARA: “Aku tertarik pada caramu mengamati orang”.
ASASIN: “Itu lirikan mata seorang pembunuh, Sri Ratu”.
DARA: “Peganglah tanganku. --- Kamu rasakan getaran arus gaib
itu?”
ASASIN: “Ya, Sri Ratu”.
DARA: “Malam ini temanilah aku. --- Tidurlah kamu di sini, di
ranjangku”.

***
Rendra: Panembahan Reso 297

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

28. PERTANYAAN ARYO SEKTI


Di rumah Aryo reso. Ada tanda berkabung. Aryo Reso tampak
bersila seperti patung di tempat biasa duduk. Pangeran Rebo
masuk mendadak.
REBO: “Aryo Reso! --- Maaf, saya masuk menerobos begitu saja.
Saya menghindari perhatian orang, termasuk abdi-abdi Anda”.
RESO: “Oh! Tidak apa-apa. Silakan”!
REBO: “Saya tidak bisa berlama-lama. Ini ada surat dan
bingkisan dari ibunda Ratu Dara. Pesannya, harus disampaikan
kepada Anda dengan segera”.
RESO: “Terima kasih”.
REBO: “Kami berdua menyampaikan ucapan berkabung, ikut
berduka cita”.
RESO: “Terima kasih”.
REBO: “Saya bisa membayangkan, betapa sedih hati Anda
ditinggalkan seorang istri yang mendampingi Anda sejak Anda
masih belum menjadi panji”.
RESO: “Memang berat kegelisahan batin saya saat ini”. (Gejala
serangan racun muncul lagi)
REBO:
“Maaf, saya harus segera pergi ke gandok berkumpul dengan yang
lain. Ratu Dara sedang ikut mendampingi jenazah. --- Salam”.
(pergi)
Rendra: Panembahan Reso 298

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Salam! --- Ini pasti bingkisan pemunah racun”.


(memasukkan bingkisan kecil ke angkinnya. Sesudah itu ia
membaca surat) “Gila!” (meremas surat) “Tidak aku duga! Jadi,
aku diracun oleh istriku sendiri! Tangan dewa atau tangan iblis
yang telah membimbing aku untuk membunuhnya? Pendeknya,
entah dewa, entah iblis ia telah menolong aku untuk
menyingkirkan orang yang menghendaki nyawaku”. (merobek-
robek surat)
SEKTI: (mendadak muncul) “Maaf, saya mengganggu Anda”.
RESO: “Orang yang gampang kaget sekarang membuat kaget”.
(menggenggam sobekan surat)

Keduanya bertatapan agak tajam.


SEKTI: “Saya menghindari abdi-abdi Anda dengan sengaja”.
RESO: “Ada suatu rahasia yang hendak Anda sampaikan?”
SEKTI: “Suatu percakapan yang baiknya tidak didengar orang
lain”.
RESO: “Apa itu?” (gejala serangan racun lagi)
SEKTI: “Saya sudah mengirimkan Siti Asasin sesuai dengan
pesan Anda”.
RESO: “Kami sudah bertemu”. (memasukkan sobekan surat ke
angkinnya)
SEKTI: “Ia menguasai banyak senjata rahasia yang beracun”.
Rendra: Panembahan Reso 299

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Kami akan membunuh Raja. Percayakan hal ini


kepadaku”.
SEKTI: “Saya tak akan berani mencampuri. --- Maaf, saya tadi
mengganggu Anda membaca surat”.
RESO: (gejala serangan racun tampak lagi, yang juga diamati
oleh Aryo Sekti) “Surat ucapan berduka cita”.
SEKTI: “Anda sobek?”
RESO: “Bunyinya cengeng”.
SEKTI: “Tadi sempat saya lihat Pangeran Rebo ke luar dari sini”.
RESO: “Ya. Menyampaikan surat dari raja”.
SEKTI: “Saya mengerti sekarang. --- Ah, ya, ini yang paling
penting, saya ikut berduka cita”.
RESO: “Terima kasih”.
SEKTI: “Boleh saya bicara lancang?”
RESO: “Sebetulnya tidak boleh”.
SEKTI: “Antara sahabat saya berani nekad, karena terbit dari
maksud baik”.
RESO: “Silakan”.
SEKTI: “Jangan Anda kawin lagi. Seperti saya saja. --- Orang
seperti Anda sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa bercita-
cita mana mungkin masyarakat bisa maju? Tetapi, hidup rumah
tangga manusia yang bercita-cita, biasanya penuh dengan
ketegangan. Kasihan istrinya!”
Rendra: Panembahan Reso 300

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Keduanya bertatapan tajam. Reso tampak terserang racun lagi.


Sekti waspada.

SEKTI: “Anda terserang racun”.


RESO: “Bagaimana Anda tahu?”
SEKTI: “Mata-mata, pekerjaan saya. Membunuh dengan segala
macam racun termasuk cabang keahlian saya”.
RESO: “Siapa meracuni aku?”
SEKTI: “Itu akan saya selidiki dan nanti obat pemusnahnya akan
segera saya bawa kemari. --- Anda terkena racun sari daun
beludru”.
RESO: “Terima kasih”.
SEKTI: “Istri Anda juga wafat karena racun”.
RESO: “Apa? Bukan karena penyakit sedih akibat dari cita-cita
saya?”
SEKTI: “Kurang bijaksana juga kalau istri dibawa berbicara soal
cita-cita, apalagi yang bersifat rahasia”.
RESO: “Aku tak pernah membuka rahasia kepada istriku”.
SEKTI: “Orang lain tidak akan tahu. Tetapi, saya tahu dari
melihat daun telinga dan kuku jenazah bahwa almarhumah terkena
racun akar Pasopati”.
RESO: “Wah, ruwet!”
Rendra: Panembahan Reso 301

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Gairah saya terangsang. Saya akan menyelidiki semua


ini. --- Sekarang saya mohon diri”.
RESO: “Salam! --- Sudah begini jauh. Apakah terlalu jauh? ---
Nyi Mas, rupanya kamu juga melihat sesuatu yang lebih berharga
dari nyawa manusia, bahkan lebih berharga dari nyawa suamimu
sendiri. Kalau kamu tega, kenapa aku tidak? Bunuh-membunuh ini
ternyata sama wajarnya dengan jilat-menjilat atau sogok-
menyogok, sebagai bayaran untuk tercapainya satu tujuan. ---
Sudah begitu jauh. Apakah terlalu jauh? Alangkah dalam luka
batinku. Tetapi, aku bukan anak kemarin sore! Biarpun hancur aku
tak akan mundur. Seandainya pun dikalahkan tidak mungkin aku
ditundukkan”.

***

29. MEMPERSEMBAHKAN KEPALA KEPADA RAJA


Genderang dan nafiri. Suasana kemenangan. Panji-panji, tombak,
dan segala macam senjata. --- Di Balai Penghadapan para panji
siap duduk di lantai, lalu masuklah Raja Tua diiringi Ratu Dara
dan Pangeran Rebo.
RAJA TUA: “Selamat datang, pahlawanku! Dari suara genderang
dan gaya tingkah lakumu aku tahu bahwa Kalian telah menang.
Tugas telah Kalian tunaikan”.
Rendra: Panembahan Reso 302

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SIMO: “Pertama-tama, hamba mengaturkan hormat kepada Sri


Baginda Raja. Sesudah itu kami memang ingin melaporkan bahwa
tugas telah kami tunaikan. Empat buah kepala yang Paduka
titahkan untuk dipenggal telah kami bawa”.
RAJA TUA: “Pancangkan kepala-kepala itu di atas tombak dan
pajanglah di alun-alun. Supaya rakyat tahu bagaimana jadinya
kalau menentang raja. Sesudah itu berpestalah kamu semua di
Bangsal Kepanjen. --- Aku puas dan berterima kasih kepada
kesetiaanmu. --- Aryo Reso!”
RESO: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Setelah mengasingkan diri karena berkabung atas
kematian istrimu, akhirnya kamu perlukan muncul juga hari ini”.
RESO: “Kemenangan ini harus disambut dengan gembira dan rasa
syukur, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus juga. Rupanya semangatmu masih ada
meskipun baru terpukul oleh bencana keluarga”.
RESO: “Kalau semangat luntur hanya karena bencana, mana bisa
kita maju dalam hidup ini? Semua kemajuan harus ada bayarannya,
Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Ada apa kamu ini? Terakhir aku lihat kamu pucat
dan sakit. Sekarang aku lihat kamu seperti terlalu banyak makan
obat akar perangsang. --- tetapi tak apa. Toh kamu punya banyak
Rendra: Panembahan Reso 303

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

teman yang bisa menjagamu. --- Panji Simo, apakah di perjalanan


kamu mendengar berita mengenai anak-anakku di Tegalwurung?”
SIMO: ”Ada hamba bertanya kepada pedagang dan orang yang
melakukan perjalanan, bagaimana keadaan di Tegalwurung. Kata
mereka Kota Kadipaten sudah dikepung, tetapi perlawanannya
masih tegar”.
RAJA TUA: “Panji Tumbal memang orang tangguh. Tetapi, ini
justru tantangan bagi Pangeran Bindi. Sudah saatnya ia
menghadapi tantangan serupa itu”.
REBO: “Sri Baginda, mungkin, adinda Pangeran Bindi perlu
didampingi senapati yang ahli siasat, yang dengan segera bisa
dikirim kepadanya”.
RAJA TUA: “Sekadar untuk menghadapi Tumbal? Kalau anakku
tidak ada yang bisa menghadapi Tumbal, berarti aku tidak akan
punya putra andalan. Panji Tumbal memang ahli bertempur, tetapi
ia bukan ahli berperang. Tarafnya, taraf jagoan, bukan taraf
panglima. Pemberontakannya tak akan tahan lama. --- Pangeran
Rebo, baca saja buku-bukumu supaya kamu bisa jadi resi. Soal ini
di luar bidangmu. Ini soal membela kerajaan. --- Jangan Kalian
khawatir tentang keadaan di Tegalwurung. Sudah benar apa yang
dilakukan anakku, Pangeran Bindi. Kalau si Tumbal terus
dikepung, lama-lama ia akan jadi ngawur dan bingung. ---
Sekarang mundurlah Kalian dan pergilah berpesta sepuasnya”.
Rendra: Panembahan Reso 304

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SIMO: “Yang Mulia, apakah Paduka tidak akan memeriksa dulu


kepala para pemberontak ini?’
RAJA TUA: “Tidak! Aku tidak tega melihat kepala anak-anakku
sendiri terpenggal, karena mengkhianati raja, aku tega memenggal
kepala mereka, tetapi aku tidak bisa menikmatinya. (semua hening)
Ayo, jangan canggung dan ragu! Pergilah berpesta dan
bergembira”.

***

30. NYANYIAN ANGSA SANG BERHALA


Di kamar tidur Raja Tua. Waktu malam. Raja Tua minum arak
ditemani Ratu Dara.
RAJA TUA: (sambil minum) “Dari semua istriku hanya kamu
yang bisa diajak bicara. Kadang-kadang kita bertentangan, tetapi
cukup banyak pikiranmu yang aku pergunakan. --- Sekarang,
ngomonglah terus terang, apa ada dendammu atau keluh kesahmu
padaku yang belum kamu ungkapkan”.
DARA: “Ada, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Jelaskan”.
DARA: “Paduka sudah agak jarang memanggil hamba”.
RAJA TUA: “Hohoho! Aku mohon maaf, Sri Ratu. Itu terjadi
karena ini!” (mengacungkan botol arak) “Sayang aku tidak bisa
Rendra: Panembahan Reso 305

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

omong-omong dengan cucu! Karena tidak punya cucu, aku


terpaksa suka minum arak. --- Arak bisa diajak omong-omong! Eh!
Mungkin begini, arak bisa membuat aku omong-omong dengan
diri sendiri”.
DARA: “Tetapi, Paduka tadi berkata bahwa hamba orang yang
bisa diajak bicara”.
RAJA TUA: “Ya! Itu betul! Itu jujur! Tetapi, kalau omong
dengan kamu harus omong secara dewasa. Padahal omong-omong
yang aku maksud, omongan anak-anak. --- O, ya, aku punya
kebutuhan untuk omong seperti anak-anak. Omongan
yang ……… tidak cengeng, ………tidak dengki, tidak………
tidak ada kebencian, ……… tidak canggih……… ya………
seperti anak-anak! Seperti ayam berkotek. Atau……… kamu
paham?” (minum lagi)
DARA: “Paham sekali, Yang Mulia! Paduka ingin memurnikan
diri kembali”.
RAJA TUA: “Begitukah? --- Nah, kamu lihat? Omongan antara
kita selalu berisi penyadaran. Penyadaran akhirnya membawa aku
ke persoalan kerajaan. Siapa yang harus dipasang, siapa yang
harus ditendang. Siapa yang harus dipenggal kepalanya!” (minum
lagi)

Ratu Padmi muncul tiba-tiba sambil menangis terisak-isak.


Rendra: Panembahan Reso 306

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PADMI: “Maaf, Yang Mulia, hamba datang menerobos begitu


saja. Kalau Paduka murka biar kepala hamba dipenggal juga. ---
Yang Mulia, hamba tidak terima. Benar kedua anak hamba
berdosa, tetapi mereka masih remaja, masih bisa diinsyafkan. ---
Ratu Dara, Anda tidak mencegah kekejaman ini? Apakah Anda
juga tidak punya putra?”
RAJA TUA: “Nanti dulu! Ratu Dara tidak punya sangkut-paut
apa-apa! Kamu kira aku punya kegemaran memenggal kepala
orang? Kalau kepala pemberontak itu tidak dipenggal, mereka
akan memenggal kepala raja! Kecuali, kalau si raja mau diajak
berunding dan lalu rela melepaskan tahta. Tetapi, aku sebagai raja,
demi negara, tidak akan mau melepaskan tahta!”
PADMI: “Hamba percaya anak-anak hamba sebetulnya bisa
diinsyafkan”.
RAJA TUA: “Diinsyafkan! Mereka ingin menyingkirkan putra
mahkota, sebab menjadi putra mahkota pun mereka tidak berhak,
apalagi menjadi raja. Tahukah kamu bahwa anakmu yang tertua,
Pangeran Bindi, itu yang akan aku jadikan Putra Mahkota?
Perempuan, sadarkah kamu! Raja memenggal kepala kedua
putramu untuk menjaga agar mereka tidak memenggal kepala
putramu yang tertua!”
PADMI: “Duh Gusti, apakah kita ini hidup di dalam rimba?”
Rendra: Panembahan Reso 307

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Memang, ini mirip rimba! Bukalah lebar-lebar


matamu! Di dalam rimba hutan belantara dan di dalam rimba
kekuasaan, hubungan darah itu sama tipisnya! Kenapa hal ini tidak
dulu-dulu kamu sadari begitu aku ambil kamu ke atas
ranjangku?!”
PADMI: “Sebetulnya, setengah hamba sadari. Tidak hamba tahu
akan sebegini jauh. Hamba tidak kuat menanggungnya. Bahwa
Pangeran Bindi akan menjadi putra mahkota, seharusnya itu
menjadi hiburan bagi hamba. Tetapi, ia juga sama seperti Paduka.
Di dalam hidup sehari-hari hamba, ia tidak pernah menjadi
kenyataan. Ia seperti kelana sebatang kara yang perkasa. Seakan-
akan hamba bukan bundanya, sebab ia berbunda kepada cakrawala.
Lelaki seperti itu hanya bisa berbicara dengan langit. Sebagai
suami atau sebagai anak tidak pernah menjadi kenyataan”.
(hening……… lalu menyembah) “Hamba mohon diri ……… Sang
Raja”. (keluar)
RAJA TUA: (pelan-pelan menenggak arak, dan dengan tenang
berkata) “Minumlah arakmu”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Kamu sudah makan?”
DARA: “Belum”.
RAJA TUA: “Aku juga belum. Nanti saja kita makan. Belum
lapar, kan?”
Rendra: Panembahan Reso 308

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: “Belum”.
RAJA TUA: “Tolong masakkan aku lidah sapi besok pagi”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aku juga kepingin ikan bandeng”.
DARA: “Besok akan saya masakkan”.

Dari jauh terdengar orang berseru: “Tolong! Tolong!”


RAJA TUA: “Apa itu?”
DARA: “Tidak jelas, Yang Mulia”.

Teriakan “Tolong! Tolong!” makin menjadi dan diteriakkan oleh


beberapa orang. Lalu disusul oleh derap kaki orang berlari
menuju kamar. Akhirnya, seorang punggawa masuk, napasnya
terengah-engah.
RAJA TUA: “Ada apa?”
PUNGGAWA: “Ratu Padmi wafat!”
RAJA TUA: “Apa?”
PUNGGAWA: “Sehabis ke luar dari sini kami lihat Sri Ratu
berjalan gontai. Sampai di halaman beliau memegang pohon.
Beliau menepuk-nepuk pohon itu, lalu bersandar ke batangnya.
Tiba-tiba beliau mengeluarkan keris kecil dan menikam
jantungnya sendiri”.
DARA: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara”!
Rendra: Panembahan Reso 309

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA TUA: “Aaaaak!” (menubruk punggawa mau


membantingnya tapi tak jadi) “Bangsat!” (kemudian dengan
lunglai ia mengambil botol arak dan menenggaknya sampai tuntas.
Ratu Dara memberinya satu botol lagi. Sambil menerima botol ia
berjalan menuju ranjang. Hampir sampai ia keburu jatuh. Lalu
dengan susah-payah bangkit lagi dan merayap ke ranjang.
Kemudian, duduk di tepi ranjang) “Uruslah jenazahnya”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.

Raja Tua menenggak botol lagi sampai tuntas, lalu merebahkan


diri ke ranjang.
RAJA TUA: “Boleh aku tidur?”

***

31. DUKA CITA RATU KENARI


Di dalam kamarnya, malam itu, Ratu Kenari bersimpuh dan
berdoa.
KENARI: “Duh Gusti, lindungilah anak-anakku. Mereka anak
yang baik. Patuh dan setia. Mereka menghormati ayahanda mereka
dan juga menyayangi saya sebagai ibu. --- Duh, anak-anakku,
surat Kalian sudah Ibu terima. Ibu senang Kalian kenangkan di
dalam pertempuran. Selama Kalian pergi Ibu puasa dan semadi.
Rendra: Panembahan Reso 310

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Tunaikan tugas Kalian baik-baik secara wajar. Janganlah Kalian


punya keserakahan! Jangan Kalian mengejar kedudukan. Kita
sudah punya derajat yang tinggi. Apa adanya saja kita terima.
Orang yang bernasib jelek berusaha memperbaiki nasibnya”.
“Tapi nasib Kalian sudah baik. Lahir sebagai pangeran dan pandai
menjalankan kewajiban. Sudah itu saja cukup. Jangan Kalian ikut
gerakan yang mokal-mokal. Serahkan hal yang tidak beres kepada
yang berhak dan berkewajiban mengatur. Kalian urus saja bagian
Kalian baik-baik dan lalu pulang, beristirahat, dan bergembira
bersama Ibu. Yang mau jadi pahlawan biarkan saja menjadi
pahlawan, tetapi Kalian cukup menjadi pangeran. Syukurilah nasib
Kalian yang baik ini. Tidak semua orang lahir sebagai pangeran.
Duh Gusti, saya terima nasibku sebagai istri raja yang kesepian.
Saya cukup bahagia asal saja saya tidak kehilangan putra-putra
saya. Tetapi sekarang ini, Duh Gusti, saya merasa ngeri di sini”.

***

32. KETEGANGAN DI BANGSAL KEPANJEN


Sementara para prajurit berpesta, tokoh Gerakan Panji
berkumpul menunggu waktu.
SIMO: “Jelas sudah. Sri Baginda menginginkan Pangeran Bindi
menjadi putra mahkota”.
Rendra: Panembahan Reso 311

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tenang! Rencana akan berjalan sebagaimana


dijadwalkan”.
SIMO: “Bagus. --- Meskipun agak terlambat saya mengucapkan
rasa berduka cita atas wafatnya Nyi Mas Reso”.
RESO: “Terima kasih”.
OMBO: “Juga ucapan duka cita dari saya”.
RESO: “Terima kasih”.
SIMO: “Kemudian, saya ucapkan selamat atas pengangkatan
Anda sebagai Aryo dan Senapati. Ucapan selamat yang sama
untuk Aryo Sekti”.
OMBO: “Saya menyertai ucapan selamat itu”.
RESO: “Terima kasih”.
SEKTI: “Banyak-banyak terima kasih”.
SIMO: “Tanjakan Anda ini sungguh tak terduga!”
RESO: “Memang. Ada manfaatnya juga untuk gerakan kita”.
OMBO: “Heran juga, kenapa kita? Yang lain tidak diangkat
menjadi Aryo?”
SIMO: “Sudah jelas Sri Baginda rabun ayam”.
RESO: “Tetapi, raja kita yang baru pasti akan mengangkat Anda
semua menjadi aryo juga”.
SIMO: “Saya tidak ingin menjadi Aryo Senapati. Saya ingin
menjadi Aryo Adipati”.
RESO: “Tentu saja para adipati akan bergelar Aryo Adipati”.
Rendra: Panembahan Reso 312

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

WONGSO: “Ibu saya akan bangga kalau ternyata anaknya bisa


menjadi aryo”.
BONDO: “Sesudah kita rajakan Pangeran Rebo, baiknya ia juga
kita kawinkan. Jangan sampai terlambat kawin dan terlambat
punya anak seperti ayahnya”.
WONGSO: “Saya kira betul juga pikiran itu. Dan, putri sulung
Anda terkenal di seluruh negeri”.
BONDO: “Ya, daripada dikawinkan dengan Pangeran Bindi yang
tampak sudah mengincarnya, lebih suka saya bila ia kawin dengan
Pangeran Rebo”.
OMBO: “Tentu saja! Karena, dengan begitu Anda menjadi mertua
raja!”
RESO: “Itu kalau Pangeran Rebo sudah menjadi raja!”
SEKTI: “Tidak seharusnya kita bicara seperti ini. Urusan negara
belum selesai. Keberhasilan kerja masih harus kita buktikan”.
RESO: “Kita harus mendoakan supaya yang kini bekerja bisa
selamat. Sebab, tadi saya lihat Sri Baginda lain dari biasanya”.
SEKTI: “Matanya tampak lebih tajam. Ucapannya tampak lebih
mengandung pikiran”.
SIMO: “Barangkali ia sudah punya firasat akan wafat. Tetapi,
tidak jelas sekali. Katanya sebelum mati orang menjadi terbuka
pikirannya”.
Rendra: Panembahan Reso 313

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Tiba-tiba muncul abdi dari Aryo Sekti.


SEKTI: “Bagaimana hasilnya?”
ABDI: “Baginda wafat. Ratu Padmi juga wafat”.
RESO: “Kenapa begitu?”
ABDI: “Ratu Padmi wafat lebih dulu. Karena prihatin akibat
kedua putranya kehilangan kepala. Lalu, Baginda mengurung diri
di kamar. Di waktu orang mau mengantar santapan, ternyata
arwah beliau telah tiada”.

Terdengar gong dan kentongan tanda ada kematian.


RESO: “Teman-teman, inilah saat kita untuk bekerja. Masing-
masing pada tugasnya. Selamat!”

Semua saling mengucapkan selamat.

***

33. GAIRAH ANGKATAN MUDA


Pagi hari. Perkemahan Barisan Kerajaan, di medan perang di
Tegalwurung. --- Aryo Bindi, Pangeran Kembar, dan beberapa
orang serdadu.
Rendra: Panembahan Reso 314

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Hari cerah. Badanku merasa segar, dan jiwaku bergelora.


Hari-hari kekalahan Panji Tumbal sudah membayang. Bala
tentaranya tidak kuat bertahan di dalam pertempuran”.
KEMBAR I: “Mereka terlalu mengandalkan kekuatan barisan.
Tetapi, satu persatu mereka kurang keuletan. Mereka cepat
menyerang, tetapi juga cepat kabur berlari”.
KEMBAR II: “Banyak serdadu musuh yang terlalu gemuk.
Penampilan dan gaya mereka seperti jagal. Tetapi, bila melihat
satu dua temannya ada yang mati, mereka cepat patah semangat
dan lalu buyar kalang-kabut. Dari belakang gerak pantat mereka
yang gemuk tampak lucu”.
BINDI: “Tetapi, kita tetap tidak boleh sembrono. Kita tetap harus
menjaga jangan sampai Panji Tumbal bisa langsung berhadapan
dengan kita. Setiap langkah dari gerakannya harus diikuti oleh
mata-mata kita, dan di medan pertempuran biar ia selalu
berhadapan dengan pasukan berpanah yang khusus kita siapkan
untuk menguntit dan menghadangnya”.
KEMBAR I: “Tampaknya, dari hari ke hari makin bertambah rasa
penasarannya karena selalu dihadang oleh pasukan berpanah, dan
tak mampu mendekati kita”.
KEMBAR II: “Memang, enak melawan orang tua yang sudah
besar namanya. Ibarat ia seekor harimau, kalau kita bakar ekornya,
ia akan berkelakuan seperti ayam yang tanpa pikiran”.
Rendra: Panembahan Reso 315

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Terus kita tingkatkan rasa penasarannya. Kita harus rajin


mengganggu. Saya lihat ia sudah mulai sembrono dan kedodoran.
--- Siasat kita terus begini saja. Pengepungan kita jalankan dengan
kuat dan ketat, dan serangan yang kita lancarkan cuma bersifat
ganggu dan lari”.
KEMBAR I: “Sampai sekarang sudah ada tujuh lumbung
makannya yang saya bakar”.
KEMBAR II: “Dan, saya sudah berhasil mencuri berpuluh-puluh
kuda mereka”.
BINDI: “Kemarin malam saya menyusup dan meracuni beberapa
sumur mereka”.
KEMBAR I: “Kanda Bindi, apakah itu tidak merugikan juga
rakyat biasa?”
BINDI: “Tidak apa-apa! Rakyat si pemberontak bukanlah rakyat
kita”.
KEMBAR I: “Ibundaku akan marah kalau saya mengganggu
penduduk biasa”.
BINDI: “Ini perang! Ibumu mana tahu apa itu artinya berperang”.
KEMBAR II: “Saya percaya kepada hukum karma. Siapa tahu
anak-cucu saya nanti ada yang bukan prajurit. Jangan sampai
mereka nanti diganggu oleh prajurit yang lain”.
BINDI: “Ah, anak prajurit pasti akan jadi prajurit”.
Rendra: Panembahan Reso 316

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Ayahanda kita seorang prajurit besar, tetapi di


antara para putranya ada juga yang seperti Pangeran Rebo!”
KEMBAR II: “Kanda Bindi, saya lihat ilmu silat Panji Tumbal
masih berada di bawah kita. Bagaimana menurut Anda?”
BINDI: “Begitu juga pendapat saya. Ia terlalu mengandalkan
tenaganya yang besar”.
KEMBAR I: “Kalau begitu saya dan adik saya akan menjebak
dan menawannya”.
KEMBAR II: “Ya, kenapa tidak? Saya punya bakat untuk
membuat kejutan”.
BINDI: “Hati-hati! Keberanian orang itu sangat besar. Jangan ia
diburu untuk ditawan. Kalian hanya boleh mencoba menawan
kalau ia sudah terjebak jauh ke dalam wilayah kita”.
KEMBAR I: “Jangan khawatir. Saya paham maksud Kakanda”.
KEMBAR II: “Bagi saya, Panji Tumbal seperti kitab yang
gampang dibaca”.
BINDI: “Bagus! Makin cepat tugas kita selesai makin bagus. Saya
sudah kangen kepada Ayahanda Sri Baginda Raja. --- Nanti, kalau
kepala si Tumbal sudah kita penggal, saya akan tidur dengan
istrinya”.

Ia tertawa besar dengan puasnya, sedang Pangeran Kembar


terpaku diam dengan rasa tak suka.
Rendra: Panembahan Reso 317

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

34. PANJI TUMBAL TERPUKUL LAGI


Pagi hari. Di Kadipaten Tegalwurung. Panji Tumbal duduk di
tahta Kadipaten dihadap mata-mata.
TUMBAL: “Mata-mata, kedatanganmu aku sambut dengan
gembira. Juga aku terharu akan keadaanmu”.
MATA-MATA: “Jangan dipikirkan keadaan saya, Raden. Saya
ikhlas dan gembira di dalam menjalankan kewajiban”.
TUMBAL: “Sudah tampak besar kandunganmu”.
MATA-MATA: “Tetapi, justru kandungan saya ini yang
memudahkan saya untuk menyelinap ke sana kemari”.
TUMBAL: “Aku tidak akan melupakan jasamu, Mata-mata”.
MATA-MATA: “Terima kasih, Raden”.
TUMBAL: “Sekarang apa yang hendak kamu katakan?”
MATA-MATA: “Aryo Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada, dan
Pangeran Dodot sebenarnya akan bergabung dengan Anda”.
TUMBAL: “Memang, begitulah janji mereka. Dan, sekarang
dalam keadaan gawat ini aku menunggu kedatangan mereka”.
MATA-MATA: “Mereka tak akan datang. Panji Reso menjebak
dan mengkhianati mereka”.
Rendra: Panembahan Reso 318

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

TUMBAL: “Panji Reso? Ia berjanji memihak kepadaku dan akan


mengirim 1000 tail emas dengan segera”.
MATA-MATA: “Panji Reso dan semua Adipati ternyata tetap
memihak kepada Sri Baginda Raja Tua. --- Panji Simo dan Panji
Ombo dengan membawa pasukan yang kuat, memburu Aryo
Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot yang
sedang menuju kemari. Kepala mereka dipenggal”.
TUMBAL: “Meleset. Semua meleset dari dugaanku. Justru karena
semua adipati tadinya bersedia bersekutu dengan aku, maka aku
berani memberontak kepada raja”.
MATA-MATA: “Begitu surat Anda dibaca oleh Sri Baginda,
segera beliau menitahkan agar semua adipati ditahan di ibukota
untuk mencegah mereka bergabung dengan Anda. Lalu, sementara
mereka berada di ibu kota, mereka dipengaruhi oleh Panji Reso
untuk tetap setia kepada raja”.
TUMBAL: “Kenapa Panji Reso bersikap seperti itu? Padahal ia
juga tidak puas terhadap pemerintahan Baginda Raja. Kenapa ia
tiba-tiba berbalik mengkhianati diriku?!”
MATA-MATA: “Saya kira ia mempunyai rencananya sendiri.
Sekarang, ia diangkat Sri Baginda menjadi aryo”.
TUMBAL: “Diangkat menjadi aryo? --- Mungkinkah ia punya
cita-cita yang akan ia kejar walaupun dengan mengorbankan
teman-temannya?”
Rendra: Panembahan Reso 319

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MATA-MATA: “Kekuasaan itu jorok dan cemar. Dibungkus


dengan unggah-ungguh dan tata-cara, dihias dengan keangkeran,
supaya tidak kelihatan seperti kotoran.
TUMBAL: “Aku mengejar perbaikan, aku tidak mengejar
kekuasaan”.
MATA-MATA: “Rupa-rupanya Panji Reso mengejar kekuasaan.
Sekarang ia semakin dekat dengan raja”.
TUMBAL: “Sekarang ia sudah aryo. Apakah nantinya ia ingin
menjadi raja?”
MATA-MATA: “Itu sekadar dugaan. Tetapi, memang
mengandung kemungkinan. Ia kelihatan secara berencana akan
menyingkirkan para senapati”.
TUMBAL: “Gila! Seorang pahlawan yang perkasa tiba-tiba bisa
menjadi hantu yang mengerikan”.
MATA-MATA: “Tabahkan iman Anda, Raden”.
TUMBAL: “Aku tabah. Biarpun keadaanku berantakan”.
MATA-MATA: Pasukan yang dibawa Pangeran Bindi dan
Pangeran Kembar memang pasukan pilihan”.
TUMBAL: “Jangan memberikan hiburan yang tidak diperlukan.
Pasukan mereka biasa-biasa saja. Tetapi, ketiga pangeran itu
biarpun masih muda, ternyata sangat pandai memimpin
pengepungan”.
Rendra: Panembahan Reso 320

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MATA-MATA: “Saya akan istirahat dua hari. Sesudah itu saya


akan kembali ke ibu kota”.
TUMBAL: “Jangan kamu memaksakan diri”.
MATA-MATA: “Tidak, Raden. Saya melakukannya dengan sadar,
tulus, dan ikhlas”.
TUMBAL: “Terima kasih. Sementara aku menghadapi
pengkhianatan, kamu memberi kesetiaan yang tulus tanpa pamrih”.
MATA-MATA: “Pikiran Anda baik, cita-cita Anda juga menjadi
cita-cita saya. --- Sekarang saya pamit. Salam, Raden”.
TUMBAL: “Salam!”

***

35. RAJA BONEKA


Di Balai Penghadapan. Pangeran Rebo duduk di atas tahta.
Semua tokoh ada kecuali yang sedang berada di luar kota.
RAJA: “Inilah acara Penghadapan Besar yang pertama kali aku
alami sejak tiga hari yang lalu aku menjadi raja. --- aku berterima
kasih kepada kamu semua yang sudah memberi dukungan,
terutama kepada ibuku Ratu Dara dan Aryo Reso. Aku umumkan
juga pada saat ini bahwa sebagai raja namaku bukan lagi Rebo. Itu
nama pemberian almarhum ayah saya, raja yang dulu, yang
sekarang telah wafat. Karena, waktu aku lahir beliau dalam
Rendra: Panembahan Reso 321

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

keadaan mabuk. Beliau menyangka saat itu hari Rebo, padahal


hari Kamis. Sebagai raja namaku sekarang Mahesa Kapuranta”.

Aryo Reso bertepuk tangan. Yang lain ikut bertepuk tangan.


RAJA: “Tentu saja, aku juga tidak lupa berterima kasih kepada
para panji dan adipati. Kepada kamu semua aku beri hadiah yang
akan disampaikan oleh Aryo sekti yang kini menjadi Senapati
Istana, menggantikan Aryo Bungsu. Adapun Aryo Bungsu
sekarang menjadi purnawirawan. Jasanya di masa lampau aku
kenangkan dengan ucapan terima kasih. --- Sekarang aku undang
Kalian untuk ikut dalam acara santap bersama”.
SIMO: “Yang Mulia Sri Baginda Mahesa Kapuranta, hamba
berterima kasih untuk hadiah dari istana yang sudah sekian
banyaknya. Sebetulnya, hadiah kebendaan ini sudah terlalu banyak
bagi hamba. Di kadipaten hamba sendiri barang-barang itu sudah
ada”.
RAJA: “Tidak apa-apa. Nanti di rumah benda-benda itu bisa
kamu bagi-bagikan kepada sanak keluargamu. Sebab aku juga
tidak lupa untuk memperhatikan kesejahteraan keluarga para
pembantuku”.
RESO: “Maaf, Yang Mulia, Paduka hampir lupa menyebut
penghargaan yang lain untuk para adipati yang telah banyak
membantu Paduka”.
Rendra: Panembahan Reso 322

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA: “Ah, ya! Aku hampir lupa karena hadiah itu sifatnya
hanya gelar belaka. Namun meskipun itu gelar, sifatnya resmi dan
juga menurun kepada anak-anakmu. --- Kini sebagai raja, aku
mengucapkan firman: Panji Simo, Panji Ombo, Panji Wongso,
Panji Bondo dan Panji Bolo, mulai sekarang aku beri gelar: Aryo
Adipati Simo, Aryo Adipati Ombo, Aryo Adipati Wongso, Aryo
Adipati Bondo, Aryo Adipati Bolo. Inilah Firmanku sebagai Raja”.

Semua bertepuk tangan gembira.


RAJA: “Semua sudah puas sekarang. Saya puas, kamu puas.
Marilah sekarang kita santap bersama”.
RESO: “Yang Mulia, hamba mohon maaf. Tetapi, Ratu Kenari
tampaknya akan mohon penjelasan”.
RAJA: “Ah, ya! --- Bibi Ratu Kenari, mohon maaf karena saya
dibawa oleh kesibukan. --- Ah, ya! --- Ratu Kenari, Anda mohon
izin untuk pulang ke rumah orangtua berhubung Anda sudah
menjadi janda. Aku tidak bisa mengizinkan permintaanmu. Sebab,
aku ingin kalau anak-anakmu pulang nanti, mereka pulang kemari.
Tidak ke rumah orangtuamu”.
KENARI: “Tentu saja, Yang Mulia! Anak-anak saya abdi Paduka.
Mereka saya didik untuk patuh dan setia kepada Raja”.
RAJA: “Itu raja yang dulu. Tetapi, sekarang kerajaan ini sudah
berganti raja”.
Rendra: Panembahan Reso 323

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KENARI: “Hamba paham, Yang Mulia. Mereka tidak pernah


ingin menjadi raja. Saya mendidik mereka begitu. Mereka tidak
punya bakat untuk menjadi pemberontak sebab jiwa mereka
lembut. Saya nanti akan lebih menginsyafkan mereka”.
RAJA: “Aku lihat kamu sangat mencintai putra-putramu. Aku
bisa memahami seluruh isi perasaanmu. Kamu seorang ibu yang
sederhana meskipun seorang ratu. Dari dulu kamu dan anak-
anakmu ingin yang wajar-wajar saja”.
RESO: “Tetapi, Yang Mulia, mungkin yang belum jelas bagi ratu
kenari ialah bahwa kalau beliau pulang ke rumah orangtuanya,
para putranya bisa punya salah paham. Mereka bisa menyangka
bahwa Anda telah mengusir ibu mereka dari istana”.
RAJA: “Ya! Ya! Aku bisa celaka! --- Jangan! Jangan sampai
terbit salah paham seperti itu”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba berjanji akan menulis surat
kepada mereka agar mereka patuh dan setia pada Paduka”.
RESO: “Yang Mulia, hamba tidak menduga bahwa Ratu Kenari
suka bersurat-suratan kepada para putranya”.
RAJA: “Ratu Kenari, jangan lagi kamu bersurat-suratan dengan
putramu”.
KENARI: “Kenapa, Yang Mulia?”
Rendra: Panembahan Reso 324

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Ratu Kenari, saya kira bukan begitu maksud Yang Mulia.
Yang dimaksud ialah supaya surat-menyurat itu lebih baik
melewati orang saya”.
RAJA: “Begitu! Memang begitu jalan keluarnya”.
RESO: “Ratu Kenari, melalui siapa biasanya Anda berkirim surat
kepada putra-putra Anda?”
KENARI: “Melalui seorang abdi anak-anakku yang ikut
menemaninya ke medan perang”.
RESO: “Sekarang di mana abdi itu?”
KENARI: “Di medan perang”.
RESO: “Kapan terakhir dia datang?”
KENARI: “Sehari setelah Baginda Raja yang dulu wafat”.
RESO: “Lain kali, kalau ia datang lagi, Anda wajib memberitahu
saya”.
KENARI: “Tentu saja saya akan berlaku begitu. Kalau itu
perintah Sri Baginda”.
RAJA: “Ya! Begitulah perintahku”.
DARA: “Sri Baginda, mungkin perlu diberitahu kepada Ratu
Kenari bahwa ia di sini akan saya temani. Saya dan dia sama-sama
janda. Janda sama janda harus bekerjasama. Ia tak perlu khawatir
karena saya akan membela perkaranya”.
Rendra: Panembahan Reso 325

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RAJA: “Nah, kamu dengar itu? --- tunjukkan kalau kamu benar-
benar bisa patuh dan setia. Ikutilah perintah saya, tinggallah di
sini!”
KENARI: “Baik, yang mulia”.
RAJA: “Nah, rupanya tak ada lagi yang aku lupakan, marilah
sekarang kita santap bersama”.

***

36. LAGU LAMA DIMAINKAN LAGI


Di Bangsal Kepanjen, Aryo Reso, Aryo Sekti, dan para Aryo yang
baru berkumpul lagi.
RESO: “Anda semua kini sudah menjadi Aryo Adipati. Aku harap
Anda semua kembali ke kadipaten masing-masing dengan hati
yang puas”.
SIMO: “Hampir saja Sri Baginda lupa memberi gelar itu. Ada-ada
saja”.
OMBO: “Saya lihat Baginda masih banyak memerlukan
pembinaan”.
BONDO: “Kelihatannya Baginda masih belum pantas”.
SEKTI: “Belum pantas apa?”
BONDO: “Tidak jelas bagaimana. Tetapi, ada sesuatu yang jauh
di luar bayangan kita. Apakah Anda tidak melihat itu?”
Rendra: Panembahan Reso 326

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Ya, kurang lebih begitu. Rasanya ia kurang bisa


bermain”.
WONGSO: “Rasanya,… kurang tampak seperti raja”.
OMBO: “Memang agak susah untuk menyelaraskan dia dengan
tahtanya”.
BOLO: “Maaf. Saya kira penting untuk mengutarakan pendapat
saya sejelasnya. --- Aryo Reso, teman-teman, saya khawatir bahwa
kita telah salah memilih raja” (semua terdiam). “Memang betul,
Baginda tidak membayangkan bahaya sebagai raja yang kejam.
Tetapi, Baginda membayangkan sebagai raja yang tak tahu
berbuat apa-apa. Ini tidak kalah berbahayanya bagi negara. Betul
Baginda bisa dibina, tetapi kalau terlalu banyak dibina, artinya,
Baginda menjadi boneka”.
RESO: “Tentu ada cara pembinaan yang tepat, yang bisa
merangsang kekuatan pribadinya yang asli”.
BOLO: “Mudah-mudahan. Namun, saat ini, kita tidak boleh
terlambat menyadari bahwa raja yang lemah sama berbahayanya
dengan raja yang kejam”.
SIMO: “Dari dulu kita berpendapat bahwa Aryo Reso dan Ratu
Dara akan bisa menanggulangi persoalan yang waktu itu sudah
bisa sedikit kita bayangkan”.
BOLO: “Ya, kita bayangkan. Tetapi, tidak sejauh ini. --- Sekarang,
kita harus membicarakan hal itu dengan lebih teliti”.
Rendra: Panembahan Reso 327

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Saya setuju dengan isi semangat dan maksud Aryo Bolo.
--- Aryo Reso, kenapa sampai sejauh ini kita meleset dalam
menilai orang?”
OMBO: “Betul! Terus terang saja memang meleset jauh. Lantas
kenapa jadi begini?”
RESO: “Rupanya, tahta memang bukan tempat duduk
sembarangan. Orang yang duduk di atas tahta itu menjadi pusat
perhatian. Semua sifat baik dan buruknya, semua kelebihan dan
kekurangannya akan lebih kelihatan daripada biasanya, karena
menjadi sasaran dan sorotan berjuta manusia”.
OMBO: “Saya kira memang begitu. Tidak semua orang kuat
mampu menjadi sasaran sorot mata”.
SIMO: “Tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kita harus
menghadapinya dengan gagah. Kita harus punya tekad untuk
memperbaiki keadaan buruk ini. --- Aryo Reso, kami yakin Anda
akan sanggup membina Sri Baginda”.
RESO: “Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi,
kenapa kita tidak percayakan saja kepada Ratu Dara”.
WONGSO: “Pengaruh Ratu Dara sebagai seorang ibu terhadap
Sri Baginda memang besar, tetapi beliau tidak begitu memahami
masalah yang hidup di kadipaten”.
BOLO: “Andalah yang lebih memahami masalah kenegaraan,
yang sesuai dengan cita-cita kami”.
Rendra: Panembahan Reso 328

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Baik. Bagaimanapun aku tetap ikhlas menerima tugas


yang Anda serahkan padaku. Tetapi, jelas di dalam hal mendekati
pribadi Sri Baginda aku sangat memerlukan bantuan Ratu Dara”.
SIMO: “Tentu saja. Saya yakin, Anda tidak akan kesulitan dalam
hal bekerjasama dengan Sri Ratu”.
OMBO: “Betul. Kelihatannya Sri Ratu menaruh rasa segan
kepada Anda”.
RESO: “Mudah-mudahan Anda tidak salah memandang.
Bagaimanapun aku membutuhkan kepastian bahwa Sri Ratu akan
membantu usahaku”.
SEKTI: “Kalau ada kesulitan saya akan membantu menyadarkan
Sri Ratu”.
RESO: “Baik teman-teman, dengan ikhlas akan aku pikul
tanggung jawab untuk membina Sri Baginda selama Sri Ratu
memberikan bantuannya”.
SIMO: “Sekarang, dengan lega hati kami bisa pulang ke kadipaten
masing-masing. Besok fajar kami akan meninggalkan ibu kota.
Sekarang, saya akan ke pesanggrahan untuk berkemas-kemas.
Aryo Reso dan Aryo Sekti selamat tinggal”. (pergi)
RESO & SEKTI: “Selamat jalan!”
OMBO: “Saya juga akan pergi”.
SEKTI: “Hati-hati di jalan”.
Rendra: Panembahan Reso 329

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

OMBO: “Aryo Reso, selamat tinggal. Jangan ragu-ragu dekatilah


Sri Ratu Dara. Beliau pasti membantu Anda”.
RESO: “Baiklah. Terima kasih”.

Ombo pergi.

WONGSO: “Aryo Sekti dan Aryo Reso, saya ucapkan selamat


tinggal. Anda berdua telah membantu meningkatkan hidup saya.
Saya yakin ibu saya juga akan ikut berterima kasih kepada Anda
berdua”. (pergi)
SEKTI & RESO: “Syukur. Itu bagus!”
BONDO: “Selamat tinggal, Aryo Sekti”.
SEKTI: “Selamat jalan”.
BONDO: “Aryo Reso, dalam membina Sri Baginda jangan lupa
menekankan pentingnya untuk segera menikah”.
“Aku relakan putri sulungku untuk menjadi istri Sri Baginda.
Selanjutnya, saya akan mendukung segala kemajuan yang Anda
cita-citakan”.
RESO: “Aku hanya punya cita-cita untuk kerajaan, tidak untuk
diriku sendiri”.
BONDO: “Itulah yang saya maksud. Untuk kerajaan! --- Nah,
selamat tinggal”. (pergi)
RESO: “Selamat”.
Rendra: Panembahan Reso 330

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BOLO: “Aryo Reso dan Aryo Sekti, selamat tinggal. --- Saya
mencium ada masalah gawat. Ini saya ucapkan dengan kegagahan.
Saya tidak hanya memprihatinkan Sri Baginda, tetapi saya kaget
melihat perkembangan diri teman-teman. Cacat-cacat yang dulu
tidak tampak di saat hidup dalam tekanan, kini muncul justru di
saat kita sudah menang. Banyak orang yang kuat menghadapi
tekanan, tetapi berantakan di dalam kemenangan”.
RESO: “Anda meragukan diriku?”
BOLO: ”Saya mendapat firasat bahwa kita harus sama-sama
waspada. Apakah Anda tersinggung oleh ucapan saya?”
RESO: “Tidak! Anda telah merumuskan pikiran Anda dengan
baik. Aku memahami”.
BOLO: “Terima kasih. Kita sama-sama berdoa!”
RESO: “Tepat!”
SEKTI: “Saya sangat terkesan pada ucapan Aryo Bolo. Wataknya
baik”.
RESO: “Ya! Ia orang baik”.
SEKTI: “Sungguh berat tanggung jawab Anda”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Apakah Anda merasa kesepian sesudah hidup sendirian
sebagai duda selama beberapa hari ini?”
RESO: “Tidak”.
Rendra: Panembahan Reso 331

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Bukankah almarhumah Nyi Mas Reso berasal dari


Karang Anyar?”
RESO: “Memang. --- Kenapa?”
SEKTI: “Anu. --- Saya kaget”.
RESO: “Kaget lagi?”
SEKTI: “Ingatkah musibah keracunan sari daun beludru yang
menimpa diri Anda?”
RESO: “Ya”.
SEKTI: “Ternyata, di wilayah kerajaan kita tumbuhan daun
beludru hanya bisa tumbuh di sekitar Karang Anyar”.
RESO: “Apakah Anda mengira aku diracun oleh istriku?”
SEKTI: “Rasanya tidak mungkin bukan?”
RESO: “Jangan gampang kita mengada-ada”.
SEKTI: “Ya, memang! Tetapi, di dalam hidup saya, sebagai
seorang mata-mata banyak saya jumpai kenyataan dari hal-hal
yang sebenarnya tidak mungkin terjadi”.
RESO: “Hati-hati. Jangan Anda mampus karena selalu dibikin
pusing oleh rasa curiga”.
SEKTI: “Jangan khawatir. Saya cukup tegar. Dan, tidak mudah
putus asa”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Salam!” (pergi)
Rendra: Panembahan Reso 332

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Salam! --- (kini sendirian) --- Semakin jelas sekarang


bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkan kerajaan. Percuma
saja membina si Rebo yang lahir pada hari Kamis itu! Tulang
punggungnya bukan tulang punggung raja! --- Wahai, induk angin
puting beliung, aku butuh bantuanmu kini! Batara Surya, akan aku
sedot racun hawa panasmu! Kepalsuan wajah rembulan akan aku
tekuni, dan hawa tenung Sang Dewi Malam akan aku resapi di
dalam semadi malamku. --- Wahai, Jagat Dewa Batara, demi
keutuhan dan kejayaan kerajaan aku tidak akan berhenti berusaha
sebelum aku menjadi raja! Panembahan Reso ialah aku!”

***

37. RUBAH DAN MUSANG MENEKAN RAJA


Malam hari. Di kamar Ratu Dara, Aryo Reso duduk bersila di
dekat ranjang. Ratu Dara duduk di atas ranjang.
RATU DARA: “Jago kita sudah duduk di atas tahta. Tetapi, masih
banyak ganjalan yang terasa di dalam hati”.
RESO: “Semua pangeran harus kita lenyapkan, baru betul-betul
kuat kedudukan raja kita”.
DARA: “Sekarang tinggal Pangeran Bindi dan Pangeran Kembar”.
RESO: “Aku akan membunuh mereka semua”.
DARA: “Bagaimana caranya?”
Rendra: Panembahan Reso 333

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Sekarang aku lagi tekun mengintai. Lama-lama, akan


muncul saatnya dan akan terbayang pula caranya”.
DARA: “Keyakinan Anda pada diri sendiri sangat besar sehingga
saya pun selalu yakin akan keberhasilan segala rencana Anda.
Tetapi, keyakinan saya kepada Sri Baginda goyah, semakin hari
semakin kehilangan tumpuan”.
RESO: “Hm”.
DARA: “Bagaimanakah pendapat khalayak ramai terhadap Sri
Baginda? Apakah para adipati pernah melahirkan perasaan mereka
terhadap Sri Baginda?”
RESO: “Mereka kecewa!”
DARA: “Sudah bisa diduga”.
RESO: “Ada yang berkata bahwa raja yang lemah sama
berbahayanya dengan raja yang kejam bagi kerajaan”.
DARA: “Betul juga pendapat itu!”
RESO: “Tetapi, mereka tetap setia kepada Sri Baginda, karena
percaya bahwa kita akan bisa membina dan mendampingi Sri
Baginda”.
DARA: “Selama Sri Baginda mendengarkan Anda pasti
kedudukannya aman. Sebab, pengaruh Anda besar terhadap para
aryo dan para panji”.
RESO: “Sri Ratu!”
DARA: “Ada apa Aryo?”
Rendra: Panembahan Reso 334

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Aku ingin segera menikah dengan Anda”.


DARA: “Begitu pula keinginan saya. Tetapi, saat berkabung kita
masing-masing belum lewat”.
RESO: “Kalau raja yang menikahkan kita berdasarkan firmannya,
apa pula yang bisa dikatakan masyarakat? Aku, yang tadinya
menurut kebiasaan masyarakat bukan aryo, karena firman raja bisa
menjelma menjadi aryo”.
DARA: “Alasan itu memang kuat”.
RESO: “Kita harus segera menikah, semata-mata demi
kepentingan kerajaan. Sebagai orangtuanya aku akan lebih leluasa
membina dan juga mempertahankannya”.
DARA: “Ya, tepat kata Anda. Saya nanti akan meyakinkan Sri
Baginda. --- Nah, itu dia! Saya dengar suara langkah jalannya”.

Raja masuk.
Raja: “Ibu! --- Oh, Aryo Reso!”
RESO: “Salam, Sri Baginda!”
RAJA: “Salam. --- Ibu memanggil saya?”
DARA: “Betul, Yang Mulia. Duduk!”
RAJA: “Ada apa Ibu?”
DARA: “Saya ingin berbicara mengenai masalah kerajaan”.
RAJA: “Tetapi, lebih dulu aku akan menyatakan……
bahwa ……… hatiku terguncang-guncang”.
Rendra: Panembahan Reso 335

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

DARA: “Kenapa Yang Mulia?”


RAJA: “Aku tidak menduga bahwa di kamar tidur Ibu ada
seorang lelaki”.
DARA: “Beliau bukan “sekadar seorang lelaki”, beliau adalah
Aryo Reso, penasihat dan pemangku raja!”
RAJA: “Tetapi, ini kamar tidur, Ibu!”
DARA: “Di sini, kami berbincang-bincang mengenai urusan
kerajaan”.
RAJA: “Tetapi, toh tetap ganjil! Ganjil!”
DARA: “Baik! Supaya tidak ganjil kawinkanlah kami berdua
dengan segera”.
RAJA: “Lho! Ini kan lebih ganjil lagi! --- Anda berdua belum lagi
lengkap seratus hari menjadi duda dan janda. Apa kata orang nanti?
DARA: “Orang tidak akan berkata apa-apa kalau hal itu
berdasarkan firman raja”.
RESO: “Yang Mulia! Hubungan kami memang punya dasar cinta,
tetapi kami mendesak untuk segera dinikahkan pada saat yang
ganjil ini karena dorongan pengorbanan. Apabila kami menikah,
persekutuan kita bertiga akan lebih kukuh dan punya hubungan
nalar yang lebih bisa diterima orang banyak. Apalagi, bila raja
berfirman bahwa Bagindalah yang menghendaki pernikahan ini”.
REBO: “Sekarang apa yang harus aku katakan?”
Rendra: Panembahan Reso 336

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Katakan ‘ya’, Yang Mulia. Sebab, kalau tidak, lebih baik
hamba meletakkan jabatan dan pergi bertani”.
DARA: “Ke mana Anda pergi akan saya ikuti”.
RAJA: “Oh, jadi aku dipojokkan! --- Baiklah, kalau memang
demi kerajaan Kalian aku kawinkan”.
RESO: “Terima kasih, yang Mulia!”
DARA: “Untuk selanjutnya, kita bertiga akan merupakan
persekutuan yang kuat yang memimpin kerajaan”.
RAJA: “Ternyata, menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan.
Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba-tiba. Dan,
membawaku ke alam yang ganjil yang aku tidak mengerti sama
sekali. --- Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang
terperanjat”.

***

38. DIBAWA BADAI KE SANA KEMARI


Siang hari. Di Balai Penghadapan. Ratu Kenari, Aryo Sekti, dan
beberapa pembesar ada di situ menghadap raja yang didampingi
Ratu Dara dan Aryo Reso.
RAJA: “Perkawinan Aryo Reso dan Ratu Dara yang terjadi tiga
hari yang lalu, sebagaimana telah aku katakan, atas kehendakku.
Aku masih muda, tetapi aku tidak merasa kikuk atau gentar untuk
Rendra: Panembahan Reso 337

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

menjadi raja yang menguasai kerajaan yang luas dan besar ini.
Sebab, aku dibantu sepenuhnya oleh Aryo Reso, pahlawan besar
kerajaan, yang kini menjadi ayahku. Kini, tahta raja akan lebih
teguh dan sentosa. --- Sebagai penasihat dan pemangku raja, Aryo
Reso tidak lagi bernama Aryo Reso. Aku, kini, menganugerahinya
gelar yang sesuai dengan kedudukannya sebagai ayahku. Sekarang,
nama dan gelarnya adalah Panembahan Reso. --- Sedang untuk
diriku sendiri, kini aku juga mengambil keputusan yang baru.
Sejak kini, namaku bukan lagi Mahesa Kapuranta, tetapi aku ganti
menjadi Maharaja Gajah Jenar. --- Sudah saatnya, aku menyadari
dengan tegas bahwa aku raja satu-satunya di wilayah kerajaan
yang luas ini. Adanya kekuasaan tandingan tidak aku izinkan. ---
Oleh karena itu, aku mendesak perlu segera adanya tanggapan
yang tegas dari Panji Tumbal, Pangeran Bindi, dan Pangeran
Kembar terhadap tahtaku. Kalau mereka mengakui kewibawaan
tahtaku, maka harus segera datang menghadap kemari dan
menyatakan pengakuannya. Sedangkan, kalau mereka melawan
tahta, kepala mereka akan dipenggal. Tugas untuk menyampaikan
firmanku ini aku serahkan kepada Panembahan Reso yang akan
menunjuk para utusan”.
RESO: “Baik. Hamba sanggup, Yang Mulia”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba akan berkirim surat kepada putra
kembar hamba dengan melewati utusan Panembahan Reso, sesuai
Rendra: Panembahan Reso 338

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dengan peraturan yang telah difirmankan. Di dalam surat itu


hamba minta agar segera pulang sesuai dengan ajakan Sri Baginda
yang penuh dengan kemurahan hati”.
RAJA: “Itu pikiran yang bagus”.
DARA: “Yang Mulia, sampai sekarang Aryo Lembu, Aryo Jambu,
Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu belum juga kembali ke ibu kota.
Sejak mereka ditugaskan untuk berkeliling mengamankan
kadipaten-kadipaten oleh almarhum Baginda Raja Tua. Utusan
mereka pun tidak dikirimkan. Saya bisa membayangkan
bagaimana kesepian istri-istri mereka. Ada baiknya bila para istri
itu dipanggil untuk sementara tinggal di dalam istana. Menemani
Ratu Kenari yang juga sedang kesepian”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba tidak tahu lagi apa itu kesepian.
Hamba sudah merasa puas bisa bersemadi di dalam kamar. Hamba
tidak perlu teman”.
RAJA: “Ratu Kenari, jangan kamu menolak maksud baik ibuku. -
-- Aryo Sekti hari ini juga jemputlah para istri aryo itu ke istana.
Biarlah mereka hidup tenang dan mewah di sini sampai suami
mereka pulang melaporkan diri kepada tahta”.
SEKTI: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA: “Bagus! Sekarang, marilah kita bersama-sama berdoa
untuk kejayaan kerajaan. Acara Penghadapan hari ini aku
bubarkan”.
Rendra: Panembahan Reso 339

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

***

39. PERANG BATIN DI MEDAN PERTEMPURAN


Siang hari. Perkemahan Barisan Kerajaan di Tegalwurung. ---
Aryo Bindi tampak duduk termenung seperti patung batu yang
lumutan. Pangeran Kembar masuk. Di situ ada juga serdadu
pengawal.
KEMBAR I: “Kakanda Bindi, saya membawa kabar gembira.
Panji Tumbal berhasil kami tawan”.
BINDI: “Apa?” (tangannya menggenggam surat)
KEMBAR II: “Kami berhasil menjebaknya sampai jauh masuk ke
wilayah kita. Ia kami kepung. Waktu ujung iga kanannya kena
sabet tongkat saya, ia pingsan”.
KEMBAR I: “Begitulah ia kami tawan. Kami kurung dan
kurungannya kami tambatkan pada pohon randu alas di sana.
Sekarang ini, pasukan kami sedang bersuka-ria menari
mengitarinya”.
BINDI: “Inilah salah satu kemenangan yang penting di dalam
hidup kita. Adinda kembarku, aku sangat bangga pada Kalian
berdua. Sepanjang hidup aku akan rela mengikat tali persekutuan
yang erat dengan Kalian”.
Rendra: Panembahan Reso 340

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Isi kalimat Anda penuh dengan penghargaan dan


maksud persaudaraan, tetapi wajah Anda dan nada suara Anda
mencerminkan keprihatinan yang belum Anda katakan”.
KEMBAR II: “Ya! Kakanda tampak bermuram durja!”
BINDI: “Kebanggaan Kalian sudah pada tempatnya, tetapi kita
sekarang menghadapi kenyataan bahwa nasib baik dan nasib buruk
bisa bergandengan tangan”.
KEMBAR II: “Apakah Kakanda ditimpa malapetaka?”
BINDI: “Kita semua terlanda bencana selagi di tangan kita
menggenggam keberuntungan. --- Ayahanda Sri Baginda Raja
wafat!”
KEMBAR I: “Duh, Gusti!”
KEMBAR II: “Apa?”

Hening. Bindi mengacungkan surat yang sejak tadi tergenggam di


tangannya.
BINDI: “Seorang utusan dari mata-mata kita di ibu kota
mengirimkan surat ini. --- Kedua saudara kandungku Pangeran
Gada dan Pangeran Dodot memberontak terhadap Sri Baginda. ---
Lalu kepala mereka dipenggal. --- Ibundaku Sri Ratu Padmi
berduka cita. Kemudian beliau bunuh diri di halaman istana. ---
Tak lama kemudian Sri Baginda juga wafat”.
Rendra: Panembahan Reso 341

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Kita bertiga kehilangan raja dan bapak. Tetapi,


kemalangan Anda ditambah dengan kehilangan ibunda dan adik
kandung”.
BINDI: “Tidak hanya itu! Karena, ternyata, aku juga kehilangan
tahta!” (kedua Pangeran Kembar tertegun) --- “Panji Reso dan
para adipati telah merajakan Pangeran Rebo. Si dungu yang
seharusnya duduk di keranjang sampah itu kini duduk di atas
tahta”.
KEMBAR II: “Saya bisa membayangkan betapa ibu Anda
sebelum akhirnya bunuh diri. Kedua putra kandungnya wafat
dipancung bersama-sama”.
BINDI: “Tetapi, memang begitulah hukuman untuk orang yang
memberontak kepada Raja! --- Diam-diam rupanya mereka juga
menginginkan tahta, yang menurut orang banyak sudah
dicadangkan oleh ayahanda untuk diriku”. (Kedua Pangeran
Kembar tertegun lagi) “Adinda Pangeran Kembar apakah Kalian
mendukung aku untuk menjadi raja?”
KEMBAR I: “Tentu saja. Memang, hanya Kakandalah yang
pantas untuk dibayangkan mengganti ayahanda”.
KEMBAR II: “Dibanding Pangeran Rebo kakanda jauh lebih
memadai”.
BINDI: “Jadi, Kalian mau bersumpah bahwa Kalian akan mati-
matian membantu aku agar bisa duduk di atas tahta?”
Rendra: Panembahan Reso 342

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Pasti, kakanda! Itu pasti!”


KEMBAR II: “Jangan Kakanda ragu-ragu dalam hal itu”.
KEMBAR I: “Tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi kita untuk
membicarakannya. Ini saat berkabung. Empat anggota keluarga
kita baru saja meninggal dunia”.
BINDI: “Urusan hidup dan mati bukanlah urusan orang gagah
seperti kita untuk direntang-panjangkan! --- Ayahanda sudah
sangat tua. Teman-teman Baginda seumur sudah wafat semuanya.
Ibuku seharusnya menyadari bahwa sudah selayaknya kedua
adikku kehilangan kepala karena memberontak terhadap raja.
Ibuku bunuh diri karena itu, sebenarnya sangat mengecewakan.
Rasa kecewa melebihi rasa dukaku. Baiklah! Yang lewat biarlah
lewat! Kewajiban kita yang nyata sebagai pangeran, pada saat ini
ialah menyelamatkan tahta dari tangan orang yang dungu. Ini
penting demi kelangsungan kejayaan kerajaan. --- Sekarang aku
minta Kalian bersumpah”.
KEMBAR I: “Saya bersumpah!”
KEMBAR II: “Saya bersumpah!”
BINDI: “Bagus! Aku puas! --- Coba, bawa Panji Tumbal kemari”.
KEMBAR II: “Baik. Saya ambil dia” (pergi).
KEMBAR I: “Kakanda, saya memikirkan ibuku Ratu Kenari.
Bagaimana nasib beliau di dalam pergolakan kekuasaan di ibu
kota”.
Rendra: Panembahan Reso 343

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Setiap orang punya kemampuan menyelamatkan dirinya.


Jangan kamu bersikap seperti bayi yang masih menyusu. Urusan
kerajaan yang lebih besar terbentang di depan mata kita”.
KEMBAR I: “Di samping kewajiban sebagai pangeran, saya juga
punya kewajiban sebagai seorang putra”.
BINDI: “Hati-hati, Adinda! Jangan-jangan kamu akan sukar
maju”.
KEMBAR I: “Hal itu sudah lama saya renungkan. Rupanya saya
memang tidak tertarik untuk maju. Kewajaran saya ialah sehari-
hari sebagai manusia biasa”.
BINDI: “Bagi saya, omonganmu ini tidak terasa sederhana, tetapi
justru ganjil kedengarannya”.

Muncul Pangeran Kembar II dengan membawa Panji Tumbal


yang terikat tangan dan badannya.
KEMBAR II: “Kakanda Pangeran Bindi, inilah tawanan kita,
Panji Tumbal, si pemberontak, saya bawa menghadap Anda”.
BINDI: “Terima kasih. --- Panji Tumbal, hari ini terbukti bahwa
aku telah mengalahkan Anda”.
TUMBAL: “Silakan berbangga sepuas Anda. Kekalahan ini saya
akui. Tetapi, kebenaran tetap berada di pihak saya. Sampai detak
jantung saya yang terakhir, saya tetap memberontak kepada
berhala kekuasaan”.
Rendra: Panembahan Reso 344

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Kunyah-kunyahlah sendiri anggapan Anda mengenai


kebenaran itu. Aku tidak tertarik untuk memperdebatkannya”.
TUMBAL: “Kalau begitu, kenapa tidak Anda selesaikan saja
tugas Anda sampai tuntas? Kenapa tidak segera Anda penggal
kepala saya?”
BINDI: “Kenapa Anda tergesa-gesa untuk kehilangan kepala?”
TUMBAL: “Kenapa saya mesti menikmati waktu yang penuh
dengan penghinaan ini?”
BINDI: “Raja yang menghendaki kepala Anda sudah tidak ada”.
TUMBAL: “Apa?”
BINDI: “Raja yang Anda tentang dengan pemberontakan telah
wafat”.
TUMBAL: “Ah! --- Lalu bagaimana maksud Anda sekarang?”
BINDI: “Seandainya saat ini Anda menang, Anda akan segera
meraih tahtanya, bukan?”
TUMBAL: “Tidak! --- Tidak ada minat saya untuk naik tahta.
Aku memberontak untuk menuntut pemerataan keadilan”.
BINDI: “Aku punya minat dan bakat untuk naik tahta. Maukah
Anda mendukung aku?”
TUMBAL: “Pikiran saya tertegun, Pangeran”.
BINDI: “Lumrah. --- Sekarang aku bantu Anda berpikir. Yang
berhak menjadi raja adalah seorang pangeran. Nah, kecuali kedua
Pangeran Kembar ini, keempat pangeran selebihnya, semua,
Rendra: Panembahan Reso 345

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

berminat untuk menjadi Raja. Gada dan Dodot sudah dipancung


oleh almarhum ayahku. Tinggal dua pangeran lagi, Rebo dan aku.
Si Rebo orang yang lemah, dungu, dan masih menyusu ibunya.
Tinggal aku. Aku telah membuktikan bisa unggul di medan perang.
Di bawah kekuasaanku ada jaminan bahwa kerajaan akan tetap
utuh dan sentosa”.
TUMBAL: “Anda seperti Sri Baginda Raja Tua. Seandainya,
Anda menjadi raja Anda hanya tertarik pada kekuasaan yang utuh
semu. Tetapi, nanti Anda juga akan kecolongan, tidak tahu bahwa
rakyat Anda, dari para pangeran, para senapati, dan para adipati
sebenarnya berantakan, gelisah, dan penuh ketidakpuasan. Anda
akan gampang tertipu oleh keutuhan semu dari keseragaman. Dan,
Anda akan gamang terhadap keselarasan dari keanekaan”.
BINDI: “Jadi, Anda pengagum dari keanekaan? --- sadarkah Anda
bahwa rakyat kita belum dewasa? Keanekaan akan meruwetkan
pikiran mereka! Kekacauan di dalam masyarakat lalu akan terjadi”.
TUMBAL: “Tetapi, hanya keanekaan yang memungkinkan
pikiran orang jadi berkembang dan dewasa!”
BINDI: “Memang betul, Anda tidak berbakat menjadi raja.
Keanekaan itu sumber perpecahan. Apa gunanya raja berkuasa
kalau ia tidak bisa menciptakan keseragaman yang tertib, rapi,
aman, dan sejahtera!”
Rendra: Panembahan Reso 346

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

TUMBAL: “Anda akan menjadi raja yang mengingkari naluri


pikiran manusia! Kalau Anda hanya berminat pada keseragaman,
kenapa Anda tidak menjadi pembuat batu bata saja?”
BINDI: “Jadi, Anda tidak punya selera untuk ketertiban?”
TUMBAL: “Tentu saja saya setuju kepada ketertiban! Tetapi,
seharusnya, sumber ketertiban itu adalah daulat hukum yang
mengatur keselarasan dari naluri pikiran yang beraneka. Inilah
dasar kelestarian hidup bersama. Sebaliknya, dasar ketertiban gaya
Anda hanyalah kelestarian kekuasaan”.
BINDI: “Tentu saja! Sebab keuasaan yang benar-benar kuatlah
yang bisa membuat negara menjadi kukuh”.
TUMBAL: “Anda hanya tertarik kepada yang kukuh dan beku,
Anda tidak tertarik kepada yang ulet dan hidup!”
BINDI: “Bah! --- Sekarang Rebo yang duduk di atas tahta.
Barangkali ini akan lebih cocok dengan selera Anda”.
TUMBAL: “Tidak! Anda dan beliau pilihan yang jelek!
Sedangkan, pilihan lain tidak ada. Kemiskinan pilihan dalam
kehidupan bangsa kita adalah akibat dari kekukuhan dan kebekuan
yang diciptakan oleh Bapak Anda, Sri Baginda Raja Tua. Sungguh
menyedihkan! Baru di saat terakhir aku menyadari bahwa aku,
Anda, Reso, Raja Tua, dan juga semua pangeran dan panji,
mengira dirinya berjuang untuk rakyat. Semua mengaku membela
rakyat. Tetapi, sebenarnya rakyat tak pernah kita ajak bicara.
Rendra: Panembahan Reso 347

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Rakyat tak pernah punya hak bicara! ---Astaga! Kita semua telah
bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi
untuk kedaulatan tahta semata!”

***

40. PARA ARYO MENGHADAP PANEMBAHAN


Di rumah Panembahan Reso. Pagi hari. Aryo Lembu, Aryo Jambu,
Aryo Bambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, Ratu Dara, dan
Panembahan Reso.
SEKTI: “Panembahan Reso, saya datang kemari untuk mengantar
teman-teman aryo, yang dulu diutus oleh almarhum Sri Baginda
Raja Tua untuk keliling ke kadipaten-kadipaten menghadap
kepada Anda”.
RESO: “Selamat datang, para Aryo. Kedatangan Anda di ibu kota
sangat kami nantikan. Terutama oleh Sri Baginda Maharaja”.
LEMBU: “Sebelum menghadap Sri Baginda Raja………”.
SEKTI: “Maaf, Maharaja, bukan raja”.
LEMBU: “Ah, ya! Ampun seribu ampun! --- Sebelum kami
menghadap Sri Baginda Maharaja, kami dahulu menghadap Anda
dan juga……… Sri……… Ratu Dara?”
SEKTI: “Ya, betul! Sri Ratu Dara!”
Rendra: Panembahan Reso 348

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

LEMBU: “Oh! ……… Kami lebih dahulu menghadap Anda dan


Sri Ratu Dara untuk meyakinkan diri bahwa kami tidak akan
membuat kesalahan yang sama sekali tidak kami maksudkan”.
BAMBU: “Selama kami bertugas telah banyak perubahan terjadi
dengan cara yang sah. Kami akan menyesuaikan diri dengan
perubahan ini”.
JAMBU: “Pendeknya, kami mengakui kedaulatan Sri Mahara
Gajah Jenar dan tunduk kepada semua keputusan yang telah
difirmankan oleh Sri Baginda”.
SUMBU: “Kami telah menjalankan tugas yang justru kami anggap
penting untuk mempertahankan keutuhan kerajaan. Sekarang,
kami tetap patuh dan bersedia untuk membela keutuhan kerajaan
di bawah naungan Sri Baginda Maharaja Gajah Jenar”.
RESO: “Bagus! Bagus! --- dengan cepat saya bisa menyimpulkan
bahwa Anda berempat Abdi Raja yang tahu diri dan tahu akan
kewajiban. --- Bagus! Bagus! Sri Baginda pasti akan ikhlas
menerima bakti Anda semua”.
JAMBU: “Syukurlah kalau begitu. Kami juga sangat berterima
kasih kepada Sri Baginda. Karena, beliau telah memberikan
perhatian besar kepada para istri kami. --- Bagaimanakah keadaan
mereka? Saya sendiri sudah merasa sangat kangen dengan istri
saya setelah sekian lama dipisahkan oleh tugas demi kerajaan”.
Rendra: Panembahan Reso 349

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Jangan khawatir. Keadaan mereka sangat mewah dan


sejahtera. Mereka dibawa ke istana demi keamanan mereka sendiri.
Jangan sampai mereka menjadi korban dari pancaroba perubahan.
Nanti, setelah Anda menghadap Maharaja, pasti istri Anda akan
diantar ke rumah kembali. --- Sri Ratu Dara dan Sri Ratu Kenari
selalu bermain-main dengan mereka”.
DARA: “Kami sering bermain bersama sampai agak larut malam.
Kami saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing”.
JAMBU: “Sungguh kami sangat berhutang-budi untuk kebaikan
hati semacam itu”.
RESO: “Jadi, kerajaan dalam keadaan kurang lebih utuh!”
LEMBU: “Begitulah. Kecuali keadaan di Tegalwurung! --- Panji
Tumbal berhasil ditawan oleh Pangeran Kembar. Kepalanya
dipenggal. Pangeran Bindi menduduki seluruh Kadipaten
Tegalwurung dan menyatakan menentang kedaulatan Maharaja
kita, serta menobatkan dirinya sendiri menjadi raja. Pangeran
Kembar mendukungnya”.
RESO: “Hm! --- Ini bukan persoalan remeh”.
DARA: “Ia bukan putra tertua dari almarhum Sri Baginda Raja
yang dulu. Atas dasar apa ia menobatkan dirinya menjadi raja?”
RESO: “Atas dasar kekuatan! Setiap orang yang merasa dirinya
kuat boleh saja menobatkan dirinya menjadi raja. Seperti juga, raja
yang dulu mendirikan kerajaan ini. Tinggal soalnya, apakah ia
Rendra: Panembahan Reso 350

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

akan bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar yang terkuat di


seluruh negara. Bisa tidak, ia menundukkan semua tandingan yang
ada”.
DARA: “Jadi, ia menantang kekuasaan Maharaja kita?”
RESO: “Sanggupkah Maharaja kita menyingkirkan dia? Atau
sanggupkah dia menyingkirkan Maharaja kita? Itu saja
persoalannya”.
BAMBU: “Dengan dukungan Anda sebagai pemangku, Maharaja
kita pasti akan bisa menumpas tandingannya di Tegalwurung!”
JAMBU: “Besar kepercayaan kami kepada Anda untuk bisa
mengatasi keadaan ini, Panembahan”.
LEMBU: “Dari sejak masih tinggal di istana, Pangeran Bindi
sangat mengerikan tingkah lakunya. Tanpa ragu-ragu saya akan
membantu Anda untuk membela Maharaja kita”.
RESO: “Aryo Sumbu, apakah Anda juga mempunyai kemantapan
seperti itu?”
SUMBU: “Jelas dan tegas, ya, Panembahan!”
RESO: “Setelah Anda semua beristirahat beberapa hari, bantulah
Sri Baginda untuk memerangi para pemberontak. Anda semua
mempunyai pengalaman yang luas di dalam pertempuran”.
LEMBU: “Di bawah pimpinan Anda kami semua patuh dan setia”.
RESO: “Silakan pulang dulu dan nanti sore menghadap Maharaja
di istana”.
Rendra: Panembahan Reso 351

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Keempat Aryo mohon diri lalu keluar.


SEKTI: “Pengaruh Anda terhadap para aryo, para panji, dan para
senapati sungguh sangat besar. --- Memang hanya Anda yang bisa
menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. --- Sekarang
saya pamit dulu, Panembahan. Di rumah saya ada tamu yang
menginap. Setelah minum kopi sore hari dengan tamu itu, saya
akan menghadap Maharaja ke istana”.
RESO: “Apakah tamu itu akan tinggal lama di rumah Anda?”
SEKTI: “Seperti biasanya, agak lama juga. --- Salam Ratu Dara. -
-- salam Panembahan”. (pergi)
DARA: “Anakku seorang diri tak akan bisa mempertahankan
tahtanya”.
RESO: “Itulah sebabnya kita harus membantu Baginda”.
DARA: “Maharaja boneka itu mulai memuakkan saya”.
RESO: “Tidak baik berkata begitu, sementara Baginda adalah
darah dagingmu sendiri”.
DARA: “Panembahan suamiku, ternyata Anda begitu kuat dan
kuasa, kenapa Anda tidak ingin menjadi raja?”
RESO: “Hahahaha! Apa kurang enaknya menjadi orangtua dan
pemangku raja?”

***
Rendra: Panembahan Reso 352

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

41. PERTEMUAN DARI HATI KE HATI


Sore hari. Di rumah Aryo Sekti. Panembahan Reso duduk
berembuk dengan Aryo Sekti.
RESO: “Anda tadi, di rumah saya, berkata bahwa hanya aku yang
bisa menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. Benarkah
itu?”
SEKTI: “Tentu saja. Apakah Anda berpura-pura tidak menyadari
kenyataan itu? Itu bukan kerendahan hati!”
RESO: “Bukannya tidak menyadari, tetapi kurang meyakini”.
SEKTI: “Ya, begitulah kenyataannya. Orang boleh suka atau
tidak suka kepada Anda, tetapi toh harus mengakui kenyataan
bahwa Anda sangat dibutuhkan oleh negara untuk mengatasi
perpecahan”.
RESO: “Jadi, Anda menganggap aku dibutuhkan oleh negara!
Tetapi, mengenai suka atau tidak suka terhadap diriku itu
bagaimana? Anda termasuk orang yang suka atau tidak suka?”
SEKTI: “Termasuk yang suka dan tidak suka”.
RESO: “Apa yang Anda tidak suka pada diriku?”
SEKTI: “Ada satu rahasia yang menyelubungi diri Anda yang
membuat diri saya penasaran”.
RESO: “Hm. Begitu. Memang ada sikap Anda yang agak
mengganggu hubungan kita berdua. Tetapi, rupanya bukan soal
Rendra: Panembahan Reso 353

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

yang menyangkut rasa tidak suka. Melainkan menyangkut rasa


curiga”.
SEKTI: “Ya! Ya! Memang betul! Betul! Saya punya rasa curiga
pada diri Anda”.
RESO: “Nah, sekarang jangan lagi ada rasa sungkan. Aku ingin
ada pertemuan dari hati ke hati dengan Anda”.
SEKTI: “Ini suatu kehormatan bagi saya”.
RESO: “Syukurlah. Sekarang tuntaskan, uraikan seluruh
kecurigaan Anda terhadap diriku”.
SEKTI: “Panembahan! Sebetulnya Anda ingin menjadi raja,
bukan?”
RESO: “Betul!”
SEKTI: “Sejak permulaan gerakan para panji?”
RESO: “Ya! --- Tepatnya, sejak Panji Tumbal mengajak aku ikut
berontak. Waktu itu, kita semua mulai menyadari bahwa keadaan
kerajaan yang buruk harus diubah. Aku melihat Baginda Raja Tua
sudah pikun, tetapi ia masih lebih baik dari semua calon pengganti
yang ada. Pada saat itu meskipun aku masih panji, aku sudah sadar
bahwa akulah yang bisa menyelamatkan negara”.
SEKTI: “Jadi, penilaian terhadap Anda yang sekarang saya
ucapkan, waktu itu, sudah Anda sadari?”
RESO: “Ya. Betul”.
Rendra: Panembahan Reso 354

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Di dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, ini


disebut kepongahan”.
RESO: “Aku menyadari kekuranganku, aku menyadari
kelebihanku. Itu saja!”
SEKTI: “Takaran Anda memang bukan takaran manusia biasa”.
RESO: “Penyadaran akan kelebihan diriku menerbitkan cita-cita
untuk menjadi raja dan menyelamatkan negara! Lalu, cita-cita itu
aku perjuangkan dengan rencana dan usaha”.
SEKTI: “Itulah sebabnya, Anda mengingkari pemberontakan
Panji Tumbal”.
RESO: “Ya, untuk menguasai semua adipati dan menghindari
perpecahan wilayah di dalam kerajaan. Karena, aku tidak sekadar
ingin duduk di atas tahta, tetapi ingin membela dan
menyelamatkan seluruh kerajaan”.
SEKTI: “Jadi, Anda memilih merajakan Rebo karena ia paling
lemah di antara para calon yang ada, dan bisa diterka akan
membutuhkan seorang pemangku?”
RESO: “Betul! Ya!”
SEKTI: “Dan, hubungan dengan Ratu Dara yang sampai sejauh
itu?”
RESO: “Itu, bukan rencanaku dari semula. Itu suatu unsur yang
tidak terduga yang ternyata sangat membantu rencanaku. --- Anda
lihat, setiap rencana dan usaha kalau benar-benar diperjuangkan
Rendra: Panembahan Reso 355

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk yang kita harus
berani menanggung atau mensyukuri”.
SEKTI: “Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya
hubungan asmara dengan Ratu Dara! --- Lalu, istri Anda
wafat………”.
RESO: “Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya”.
SEKTI: “Dan, lalu, kita bersama-sama merencanakan
pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! ---
Tetapi, siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun
oleh istri Anda”.
RESO: “Memang. Asasin yang mengungkapkan rahasia ini! ---
Istriku, karena ketakutan menentang cita-citaku untuk menjadi
raja”.
SEKTI: “Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada
istri?”
RESO: “Itulah kelemahanku! --- Semakin ketakutan, tingkah-laku
istriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia cita-citaku.
Lalu aku bunuh dia”.
SEKTI: “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah
sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota”.
RESO: “Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata
bersimbah darah dan berlumur noda”.
Rendra: Panembahan Reso 356

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Apakah Anda berpikir bahwa dunia akan memaafkan


cara Anda yang bernoda, karena cita-cita Anda bermanfaat dan
bersifat mulia?”
RESO: “Dunia yang mana? Dunia lahir manusia sudah
berlumuran bedak dan gincu. Tetapi, dunia nurani manusia
termasuk nuraniku, tidak akan pernah memaafkan noda-nodaku.
SEKTI: “Saya merasa kagum dan sekaligus kasihan kepada
Anda”.
RESO: “Cukup! Aku telah membukakan diriku. Dari hari ke hari
kita telah bertemu. Bagaimanakah sekarang sikap Anda
kepadaku?”
SEKTI: “Saya akan membantu Anda menjadi raja dan
menyelamatkan kerajaan”.
RESO: “Sebagai jantan dengan jantan: tuluskah Anda?”
SEKTI: “Tulus dan sadar. --- Beribu-ribu pendeta dan orang
beragama juga pernah mendukung Asoka Wardana yang jalan
kekuasaannya bersimbah darah, tetapi pada akhirnya, lalu menjadi
raja yang mulia”.
RESO: “Aku tidak akan menghibur nuraniku dengan persamaan
seperti itu. Aku tetap ingin menjadi raja dan membela negara,
tetapi juga dengan rela menanggung akibat dari dosa-dosaku”.
SEKTI: “Saya bersumpah setia kepada Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 357

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Terima kasih. --- Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan
hanya antara kita berdua”.
SEKTI: “Baik. --- Saya akan menemani Anda di dalam kesepian
Anda”.
RESO: “Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja Gajah
Jenar!”
SEKTI: “Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu”.
RESO: “Tunggu saja aba-aba dari aku”.
SEKTI: “Siap, Panembahan”.

***

42. JEJER RAJA TANDINGAN DI TEGALWURUNG


Di Kadipaten Tegalwurung. Pangeran Bindi duduk di kursi
adipati, dihadapi oleh Pangeran Kembar dan beberapa serdadu.
BINDI: “Kurang ajar! Jadi, rupanya, si Dungu itu memakai gelar
maharaja! Dan, ia berani memerintahkan kita untuk tunduk kepadanya!
Apakah matanya tidak melek, dan melihat ada gunung di depan
hidungnya. Pasukan gabungan yang kita pimpin kini sudah kenyang
asam dan garam pertempuran. Tidak ada yang lebih dahsyat dari tentara
kita di seluruh wilayah kerajaan. Dalam tempo singkat setelah lengkap
perbekalan yang diperlukan, kita akan segera menyerbu ke ibu kota”.
Rendra: Panembahan Reso 358

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Perhitungan kita harus benar-benar matang lebih


dulu. Di sana ada Panembahan Reso”.
BINDI: “Tinggal dia satu-satunya jago di kerajaan. Jago yang satu
yang dulu sangat ditakuti, si Panji Tumbal, telah berhasil kita
kalahkan tanpa kesulitan. Bahwa Reso terkenal hebat, itu kan
tempo dulu ketika kita belum muncul ke permukaan. Ia belum
pernah mendapat tanding yang setimpal. Tetapi, sekarang, aku
meragukan mutu dia yang sebenarnya”.
KEMBAR I: “Tetapi, di sana, juga ada Aryo Lembu yang
meskipun sudah tua tetap selalu jaya di medan laga”.
BINDI: “Jangan khawatir! Almarhum ayahanda sudah banyak
bercerita kepadaku mengenai kekuatan dan kelemahan cara
bertempur Aryo Lembu”.
KEMBAR II: “Kakanda Bindi, pasukan khusus Anda sudah
menduduki desa di Watu Songo yang dekat dengan perbatasan
Tegalwurung”.
BINDI: “Bagus! Sebelum menyerbu ibu kota, kita memang, akan
lebih dulu menduduki dan menguasai beberapa wilayah
Kadipaten”.
“Pasukan mereka akan kita gabungkan dengan pasukan kita seperti
halnya pasukan Tegalwurung di sini”.
KEMBAR II: “Tetapi, mereka juga merampok desa-desa yang
mereka duduki itu”.
Rendra: Panembahan Reso 359

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BINDI: “Jangan kamu rewel dengan segala macam ukuran hidup,


di dalam masyarakat aman! Ini suasana darurat, dan kita butuh isi
perbekalan. Setelah kita jaya, mana yang rusak akan kita bangun
kembali”.
KEMBAR II: “Sering saya tidak tega kalau melihat orang desa
ikut menderita”.
BINDI: “Sudah lumrah kalau mereka membantu kita, sebab kita
nantinya akan menjadi penguasa yang melindungi mereka, kalau
perlu dengan nyawa kita juga! Oleh karena itu, makin cepat
peperangan selesai, entah dengan cara apa itu, makin bagus.
Karena, mengurangi pengorbanan rakyat dan jerih payah kita
adalah lebih baik”.
KEMBAR I: “Kakanda Bindi, ibu kami berkirim surat dan
meminta agar kami menyerah kepada si Rebo. --- Jangan khawatir!
Saya sudah segera membalas menulis surat, dan mengingatkan ibu
untuk berhati-hati kepada tipu daya si Rebo. Sejak dari zaman
kanak-kanak ia bersifat licik dan pengecut. Ia gampang menipu,
gampang menangis, dan gampang pingsan. Bagaimana mungkin
orang semacam itu bisa diandalkan sebagai seorang raja?
Bagaimana mungkin kita tunduk pada orang tak berguna semacam
itu? Kalau kami datang, jangan-jangan kami diracun, dan dipenggal
kepala kami”.
BINDI: “Sudah betul pikiran kamu”.
Rendra: Panembahan Reso 360

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KEMBAR I: “Tetapi, saya khawatir bagaimana nasib ibu kami


selama disandera”.
BINDI: “Jangan khawatir! Selama Kalian selamat, sandera yang
dipasang sebagai umpan Kalian pasti juga akan selamat. Kecuali
untuk memancing, guna sandera itu untuk mematahkan semangat.
Jadi, tabahkan hati! Jangan Kalian biarkan niat si Rebo terlaksana.
Begitu nanti kita akan mengepung ibu kota, pasukan khususku
akan secara mendadak menyerbu tempat ibumu ditawan. Dengan
begitu akan kita bebaskan ia”.
KEMBAR II: “Saya harus ikut dalam penyerbuan itu”.
BINDI: “Boleh saja! --- Nah, sekarang marilah kita tilik kembali
kemampuan pasukan kita. Dalam tempo singkat akan kita serbu
dan duduki Kadipaten Watu Songo. Istri Aryo Simo sudah tua,
tetapi putri-putrinya ada tiga. Satu persatu akan aku tiduri mereka
semua.

***

43. BONEKA YANG NGADAT


Sore hari. Di Balai Penghadapan. Maharaja, Ratu Dara, Ratu
Kenari, Pangeran Reso, Aryo Sekti, Aryo Lembu, Aryo Bambu,
Aryo Jambu, beberapa Punggawa, dan aryo Sumbu berada di situ.
Rendra: Panembahan Reso 361

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MAHARAJA: “Selamat datang semuanya. Terutama aku


menyambut kedatangan Aryo Lembu, Aryo Bambu, Aryo Jambu,
dan Aryo Sumbu, yang dulu menjadi sahabat baik almarhum
ayahku. Aku sudah dengar bagaimana Kalian menjalankan tugas
meninjau keadaan kadipaten-kadipaten. Aku puas dengan laporan
yang dibawa oleh utusan Kalian kepada almarhum ayahanda. Dan,
kini, Kalian datang menghadapku. Baik, sekarang apa katamu?”
LEMBU: “Hamba, Aryo Lembu, menghadap Sri Baginda
Maharaja untuk menyatakan kepatuhan dan kesetiaan”.
BAMBU: “Hamba, Aryo Bambu, mengucap setia kepada Sri
Baginda Maharaja Gajah Jenar”.
JAMBU: “Aryo Jambu bersumpah tunduk dan setia kepada Sri
Baginda Maharaja Gajah Jenar”.
SUMBU: “Hamba, Aryo Sumbu, menyatakan tunduk dan patuh
kepada Sri Baginda Mahara Gajah jenar”.
MAHARAJA: “Ini menyenangkan sekali. Aku pun juga akan
menyenangkan hati Kalian. Istri-istri Kalian akan segera
dibebaskan. Lho, maksudku, dibebaskan untuk hidup berbahagia
di rumah masing-masing bersama Kalian. Dan, Kalian aku beri
anugerah kuda, emas, dan senjata! --- Nah, aku puas, kamu puas”.
RESO: “Yang mulia, mereka juga membawa berita tentang apa
yang terjadi di Tegalwurung”.
Rendra: Panembahan Reso 362

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MAHARAJA: “Ah, ya! Inilah berita yang aku tunggu-tunggu.


Apakah Panji Tumbal menang? Ia dulu pernah meminta aku untuk
menjadi raja”.
LEMBU: “Yang Mulia, Panji Tumbal telah ditawan”.
MAHARAJA: “Ditawan?”
LEMBU: “Ditawan oleh Pangeran Kembar. Lalu, kepalanya
dipenggal”.
MAHARAJA: “Begitu dahsyat mereka?”
SEKTI: “Di medan laga, Pangeran Kembar itu bersifat seperti dua
ekor naga, dan Pangeran Bindi mengamuk bagaikan seekor singa”.
MAHARAJA: “Jadi, mereka menang dengan gilang-gemilang?”
LEMBU: “Pangeran Bindi menduduki kota kadipaten dan seluruh
wilayah Kadipaten Tegalwurung”.
MAHARAJA: “Kenapa ia tidak mengirim utusan kemari untuk
melaporkan kejadian penting ini? Dan, lagi, aku sudah mengirim
utusan dengan surat kepadanya?”
LEMBU: “Yang Mulia! Pangeran Bindi menyatakan menolak
kedaulatan paduka, dan menobatkan dirinya menjadi raja”.
MAHARAJA: “Ini namanya pemberontakan! --- Kenapa ia begitu
benci kepadaku? --- dan, bagaimana Pangeran Kembar?”
LEMBU: “Mereka mendukung Pangeran Bindi. Kini, pasukan
mereka digabung dengan pasukan Panji Tumbal yang telah
Rendra: Panembahan Reso 363

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

dikalahkan. Pangeran Kembar menjadi panglima dari seluruh


pasukan gabungan”.
MAHARAJA: “Pengkhianatan! Pemberontakan! Kita harus
berbuat sesuatu”.
SEKTI: “Kami semua siap menunggu titah Yang Mulia Sri
Baginda Maharaja Gajah Jenar!”
MAHARAJA: “Ratu Kenari! Kenapa putra-putramu jadi begini?
Ternyata, sudah terbukti bahwa mereka tidak jinak seperti katamu
dulu!”
KENARI: “Yang Mulia! Hamba yakin mereka sekadar terbawa
oleh suasana dan mendapat pengaruh buruk dari Pangeran Bindi.
Hamba yakin hamba masih bisa berbicara dan menginsyafkan
mereka ke jalan yang benar”.
MAHARAJA: “Baik! Marilah kita membuat Panitia Perundingan
dengan Bibi Ratu Kenari di dalamnya”.
DARA: “Apa yang akan dirundingkan? Mereka menghendaki
tahta dan kepala Paduka!”
KENARI: “Yang Mulia! Setidak-tidaknya, saya yakin akan bisa
menginsyafkan kedua putraku, Pangeran Kembar”.
MAHARAJA: “Betul! Setiap kesempatan untuk perdamaian
harus kita manfaatkan”.
DARA: “Yang Mulia. Jangan lengah! Pertahankan Kepala dan
Tahta Paduka”.
Rendra: Panembahan Reso 364

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

MAHARAJA: “Belum tentu itu yang mereka inginkan”.


DARA: “Dari dulu Pangeran Bindi ingin menjadi raja!”
MAHARAJA: “Siapa tahu sekarang ia bisa puas dengan
Kadipaten Tegalwurung saja!”
RESO: “Yang Mulia! Apakah Paduka akan membiarkan kerajaan
pecah dan terbagi?”
MAHARAJA: “Apakah gunanya peperangan? Peperangan
membuat rakyat menderita. Dan, lagi, mereka masih saudaraku
sendiri. Kenapa mereka tidak boleh mendapat bagian dari
kejayaanku!”
RESO: “Yang Mulia! Keutuhan kerajaan harus dipertahankan.
Kalau tidak anjing-anjing Portugis itu akan menyusup kembali.
Yang Mulia! Bila ada orang berani berontak, kita harus
memenggal kepalanya”.
MAHARAJA: “Apa? Memenggal kepala saudara-saudaraku
sendiri?”
RESO: “Tetapi, beberapa waktu yang lalu, Paduka sendiri yang
mengumumkan akan memenggal kepala orang yang berontak!
Sekarang, di mana wibawa firman Sri Baginda Raja?”
MAHARAJA: “Aku toh bisa membuat firman yang baru!
Sekarang, pikiranku sudah berkembang! Apa tidak boleh
pikiranku berkembang? Aku mulai melihat kemungkinan akan
adanya perundingan”.
Rendra: Panembahan Reso 365

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

KENARI: “Betul, Yang Mulia! Dengan mengandalkan pengaruh


hamba yang kuat kepada anak-anak hamba, hamba pasti bisa
meyakinkan bahwa Pangeran Bindi bisa mendapatkan
Tegalwurung, tetapi tidak sebagai raja, cukup sebagai adipati saja”.
MAHARAJA: “Ya! Betul! Oh, betul! Kenapa tidak! Itu pikiran
yang bagus dan bisa dicoba”.
KENARI: “Hamba bersedia untuk dikirim sebagai utusan”.
DARA: “Ratu Kenari! Begitukah cara Anda untuk lari dari sini
dan bergabung dengan para pemberontak?”
MAHARAJA: “Lho! Ibu! Kenapa begitu cara berpikir ibu?”
DARA: “Seperti Paduka sudah lupa naluri kekuasaan saja!”

Seorang punggawa tiba-tiba masuk.


PUNGGAWA: “Yang Mulia! Maaf, Yang Mulia!”
MAHARAJA: “Ada apa?”
PUNGGAWA: “Ada berita penting dibawa oleh anggota mata-
mata kerajaan. Pasukan Pangeran Bindi menyerbu, menerobos
perbatasan Kadipaten Watu Songo dan menduduki beberapa desa
di dekat perbatasan itu. Selanjutnya, memaklumkan sumpah
bahwa ia akan melaju melabrak ibu kota dan merebut tahta Sri
Baginda Maharaja”.
MAHARAJA: “Kurang ajar! Ini benar-benar bencana!”
DARA: “Nah, apa kata hamba, Yang Mulia!”
Rendra: Panembahan Reso 366

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Bertindaklah tegas kepada mereka, Yang Mulia! Sebelum


terlambat”.
KENARI: “Sebelum terlambat, Yang Mulia. Segeralah berunding
dengan mereka”.
DARA: “Ratu Kenari, Anda begitu tega mengorbankan keutuhan
kerajaan. Begitu tega pula menjatuhkan wibawa tahta putraku.
Semata-mata karena ingin membela putra Anda yang sudah jelas
mengumumkan pemberontakan”.
MAHARAJA: “Ibu! Apakah ibu tidak menyadari bahwa Bibi
Ratu Kenari berusaha menegakkan perdamaian antara sesama
saudara dan mencegah penderitaan rakyat yang terancam untuk
dilanda peperangan?
DARA: “Omong kosong apa pula ini! Mana bisa kerajaan akan
diperlakukan seperti nasi kenduri!”
MAHARAJA: “Oh! Ibu!”
RESO: “Yang Mulia, apakah nasihat hamba sebagai Pemangku
Paduka masih ada harganya? Atau, Paduka akan menyingkirkan
hamba ke desa untuk bertani?”
MAHARAJA: “Aduh! Kepalaku! Oh, perutku! Aku mau
muntah!” (muntah hawa) --- “Oh, tak ada yang keluar! --- Oh,
dadaku sesak!”
RESO: “Pengawal, bawa Sri Baginda masuk ke dalam! Biarkan
Baginda beristirahat dulu!”
Rendra: Panembahan Reso 367

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Dua orang pengawal bertindak cekatan.


MAHARAJA: “Ya! Persidangan ditunda satu minggu! Aku perlu
menenangkan batin dan perutku lebih dulu”.
KENARI: “Panembahan Reso, begitu tega Anda menekan
Maharaja yang masih suci dan muda dengan gagasan yang ganas
tanpa peri kemanusiaan. Mana mungkin Anda membela kerajaan
tanpa membela nilai-nilai yang luhur di dalam kehidupan?”
MAHARAJA: “Bibi! Sudah, Bibi! --- Antarkan aku masuk ke
dalam. Kita tunda dulu masalah yang buas dan kasar ini”.

Maharaja dan ratu Kenari masuk dengan para Pengawal.


Suasana hening. Ratu Dara tertunduk dengan rasa hancur dan
malu.
DARA: “Maaf, para Aryo, maaf! Sihir yang jahat telah menimpa
Maharaja kita. Tidak biasanya Baginda bertingkah seperti ini”.
JAMBU: “Jauhkan Baginda dari Ratu Kenari. Usul-usulnya serba
tidak masuk akal dan melemahkan semangat Baginda”.
DARA: “Saran Anda sangat perlu saya perhatikan.
RESO: “Cukup! Sekarang, silakan Anda berempat pulang. Istri
Anda akan segera kami susulkan”.
Rendra: Panembahan Reso 368

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BAMBU: “Baik. Kami akan pulang, tetapi berjanjilah Anda tidak


akan terlambat mengambil tindakan untuk membela keutuhan
kerajaan”.
SUMBU: “Keutuhan kerajaan tidak bisa dikorbankan begitu saja.
Kami mohon, janganlah Anda berdiam diri di dalam hal ini”.
LEMBU: “Sedikit saja ada kelemahan di dalam wilayah kerajaan,
anjing-anjing Portugis pasti akan melakukan pendudukan. Dan,
mungkin juga, kalau Pangeran Bindi dibiarkan leluasa agak terlalu
lama, ia justru akan mengundang bantuan orang Portugis untuk
menerjang ibu kota merebut tahta. Lalu, sebagai imbalan, ia akan
membuka dua atau tiga bandar bagi mereka”.
RESO: “Jangan khawatir! Kepercayaan Anda semua tidak akan
aku lalaikan. --- Sampai ketemu”.

Mereka bertukar salam, dan keempat Aryo itu pun pergi. Tinggal
Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Aryo Sekti.
DARA: “Tidak akan aku bisa memaafkan Si Rebo yang telah
memberi rasa malu seberat ini. Ah! Kandunganku terasa berkerut-
kerut dengan penuh penyesalan”.
RESO: “Istriku, tenangkan dulu pikiranmu”.
DARA: “Bagaimana bisa tenang?! Ia tidak hanya menjijikkan,
tetapi juga menjadi berbahaya untuk kita. Apa yang kita bina bisa
Rendra: Panembahan Reso 369

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

runtuh tanpa ia pedulikan. Dan, bila terancam ketakutan ternyata


ia tega mengkhianati kita”.
RESO: “Sudahlah! Sabar! Marilah kita sendiri pulang. Besok pagi
kita garap lagi masalah ini dengan segera”.
DARA: “Saya lupa, siapakah pembunuh yang dulu membantu kita
menyingkirkan Raja Tua?”
RESO: “Siti Asasin”.
DARA: “Tolong, saya ingin ketemu dia”.
RESO: “Astaga! Untuk apa?”
DARA: “Kalau kita sudah tega menyingkirkan satu raja, apa
sulitnya untuk menyingkirkan satu raja lagi?”
SEKTI: “Begitu besarkah tekad Anda?”
DARA: “Kenapa tidak? Akan saya buktikan bahwa wanita yang
tegas lebih pantas duduk di atas tahta”.
RESO: “Duh Gusti! Kamu bisa lebih mampu mengatur negara itu
aku tak ragu. Tetapi, jangan kamu bertindak kejam kepada putra
kita”.
DARA: “Ia bukan putra Anda. Dan, bukan lagi putra saya”.
RESO: “Jadi, kamu benar-benar bertekad untuk menobatkan diri
menjadi raja?”
DARA: “Kenapa tidak, bila saya merasa kuat dan bisa
membuktikan bahwa kuat? Bukankah Anda bisa menjadi andalan
saya yang utama? --- Bila Anda ragu-ragu untuk memanggil
Rendra: Panembahan Reso 370

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

pembunuh itu, saya bisa bertindak sendiri dengan cara saya!”


(pergi)
RESO: “Aryo Sekti, Anda menyaksikan sendiri sekarang
bagaimana unsur yang tidak terduga telah membantu usaha ke
arah cita-cita kita!”
SEKTI: “Ya. Memang! Dan, saya juga menyaksikan bagaimana
mengerikannya sihir gaib dari tahta. --- Sebenarnya, sekarang ini,
hati saya menjadi kecut. Tetapi, demi keutuhan dan kejayaan
kerajaan, saya tidak akan mundur dalam membantu usaha Anda”.

***

44. SIHIR CANDU KEKUASAAN


Pagi hari. Di Balai Penghadapan Istana Raja. Aryo Lembu, Aryo
Bambu, Aryo Jambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, dan Panembahan
Reso duduk berkumpul di situ. Tahta raja kosong.
SUMBU: “Masih berapa lama lagi kita harus menunggu?
Panembahan, apakah tidak sebaiknya Anda menyusul Sri Baginda
ke kamarnya?”
“Baginda harus menentukan sikap hari ini. Kalau terlambat, makin
besar kerugian yang akan diderita oleh masyarakat. Dari hari ke
hari semakin kuat persiapan Pangeran Bindi”.
Rendra: Panembahan Reso 371

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Lebih baik kita bersabar sebentar. Kalau merasa terlalu


ditekan Baginda akan semakin kacau jalan pikirannya”.
JAMBU: “Pasukan saya sudah saya siapkan kembali. Kami siap
untuk menerima perintah dari Anda, Panembahan”.
RESO: “Tetapi, langkahku harus lebih dulu disetujui oleh Sri
Baginda”.
BAMBU: “Pasukan saya juga sudah siap. Yang gelisah menunggu
perintah bukan hanya saya, tetapi juga seluruh prajurit pasukan.
Bahkan, kuda-kuda kami yang di istal ikut gelisah dengan bulu
suri yang berdiri”.
RESO: “Sebelum aku duduk di sini aku mencoba menemuinya.
Tetapi, Baginda tidak mau menerima kunjungan siapa pun.
Kemudian, ibu Baginda, istriku, mendesak, berseru dari balik
pintu memohon menghadap. Akhirnya, Baginda sudi menerima
ibundanya”.

Tiba-tiba punggawa masuk.


PUNGGAWA: “Mohon ampun, Panembahan! Aryo Simo datang
terburu-buru, mendesak untuk diperkenankan masuk ke Balai
Penghadapan”.
RESO: “Biarkan ia masuk”.
PUNGGAWA: “Baik, tuanku”. (pergi lagi)
Rendra: Panembahan Reso 372

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SUMBU: “Kadipaten Watu Songo, wilayah Aryo Simo, mulai


menjadi sasaran pasukan Pangeran Bindi. Mereka menyerbu
bertubi-tubi”.

Masuk Simo setengah berlari.


SIMO: “Salam, para Aryo! Salam, Panembahan! Di manakah Sri
Baginda?”
RESO: “Masih di kamarnya. Kami semua menunggu Sri Baginda.
--- Tetapi, kenapa keadaan Anda seperti ini? Anda tampak seperti
baru saja dilabrak prahara”.
SIMO: “Bencana, Panembahan! Bencana! Lebih enak dilabrak
prahara rasanya. Saya dilabrak oleh pasukan Pangeran Bindi.
Mereka telah menduduki Kota Kadipaten”.
RESO: “Astaga!”
SIMO: “Pasukan mereka kuat dan buas. Saya tidak merasa malu
melarikan diri. Sesudah bertahan selama mungkin dan sempat
mengungsikan seluruh keluarga saya, akhirnya saya mundur dan
lari kemari. Tiga hari perjalanan tanpa berhenti. Sekarang,
keadaan saya, antara hidup dan mati”.
RESO: “Apakah Anda meninggalkan wilayah Watu Songo tanpa
pertahanan sama sekali?
SIMO: “Tentu saja tidak. Pasukan saya tarik mundur dari Kota
Kadipaten untuk membuat pertahanan di Hutan Roban. Di situ
Rendra: Panembahan Reso 373

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

membuat pertahanan yang kuat lebih dimungkinkan. Lebih baik


kita yang lebih dulu menduduki hutan itu daripada mereka. Jadi,
kami mundur dari Kota Kadipaten agar bisa lebih kuat bertahan.
Dan, dengan begitu pula kami menghadang jalan mereka ke arah
ibu kota”.
RESO: “Syukurlah. Aku membenarkan pertimbangan Anda”.
JAMBU: “Bagaimanapun pasukan Aryo Simo pasti memerlukan
bantuan”.
SIMO: “Pangeran Bindi telah memperkosa gadis-gadis desa.
Pernah terjadi, dalam tempo sehari sepuluh gadis ia perawani”.
LEMBU: “Jahanam!”
RESO: “Tenang, Aryo Lembu. Lebih baik kita mati di medan
perang dari pada mati karena hati yang penasaran”.
LEMBU: “Sekarang juga kita harus bergerak”.
RESO: “Tidak sekarang! Tetapi, hari ini kita pasti bergerak.
Percayalah kepada janjiku ini”.

Punggawa masuk lagi.


PUNGGAWA: “Maaf, Panembahan. Aryo Bolo, Aryo Ombo,
Aryo Bondo, Aryo Wongso mohon masuk ke Balai Penghadapan.
Menurut mereka, persoalan yang mereka bawa bersifat gawat dan
harus segera diutarakan kepada Sri Baginda”.
RESO: “Biarkan mereka masuk dengan segera”.
Rendra: Panembahan Reso 374

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

PUNGGAWA: “Baik. Panembahan”. (keluar)


RESO: “Di dalam keadaan gawat ini, kita tidak boleh terburu
nafsu, dan akhirnya membuat kesalahan tanpa kita sadari.
Tenangkan diri! Keadaan yang lebih gawat dari ini pernah kita
alami, di kala kita melawan penindas Portugis, di masa remaja
dulu. Toh, waktu itu, kita bisa mengatasinya. Apalagi sekarang
dalam keadaan sudah lebih banyak pengalaman”.

Masuk Aryo Bolo, Aryo Bondo, Aryo Ombo, dan Aryo Wongso.
Mereka saling bertukar salam dengan yang sudah hadir lebih
dahulu.
BOLO: “Di manakah Sri Baginda?”
RESO: “Sebentar lagi akan muncul. Kami semua menunggu.
Kami sudah menerima laporan dari Aryo Simo, dan kami
memahaminya”.
BOLO: “Anda tidak akan bertindak tanpa persetujuan Sri
Baginda?”
RESO: “Tentu saja”.
BOLO: “Tetapi, dari jauh saya sudah bisa membaca. Anda orang
yang tangkas bertindak dan cepat bisa menilai keadaan. Bahwa,
dalam hal ini ada terjadi kelambanan. Itu pasti terjadi karena sikap
Sri Baginda. Sikap apakah itu?”
RESO: “Ada yang Baginda pertimbangkan”.
Rendra: Panembahan Reso 375

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SUMBU: “Baginda punya pikiran untuk berunding dengan


Pangeran Bindi!”
BONDO: “Apa?”
SIMO: “Setelah puluhan desa dirampok dan puluhan gadis
diperawani?”
OMBO: “Sadarkah Baginda bahwa Pangeran Bindi merasa dalam
keadaan yang lebih kuat dan akan melecehkan tawaran untuk
perundingan?”
BONDO: “Apa-apaan ini! Kita rajakan Baginda toh tidak untuk
membiarkan sepertiga kerajaan dimakan anjing!”
RESO: “Cukup! --- Bahwa keadaan gawat, sudah cukup jelas bagi
kita. Dan, aku sudah berjanji akan punya jalan keluar dari keadaan
yang buruk ini. Tetapi, sesuai dengan kedudukanku sebagai
Pemangku, aku membutuhkan restu Baginda untuk menjalankan
siasatku. Sekarang ini, istriku, Ibunda Sri Baginda, sedang
berusaha untuk membujuk agar sudi menemui kita”.
BOLO: “Saya telah mengingatkan bahwa hal semacam ini bisa
terjadi”.
WONGSO: “Terus, bagaimana bila Panembahan Reso
mengajukan tindakan jalan keluar, tetapi Sri Baginda tidak
merestuinya? Lalu apa yang pantas dilakukan?”
BOLO: “Panembahan Reso harus berani menentang raja”.
RESO: “Apa?”
Rendra: Panembahan Reso 376

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

BOLO: “Ya! Demi keselamatan kerajaan!”


RESO: “Nanti dulu! Pengandaian Anda terlalu jauh. Bila Baginda
bimbang tidak berarti Baginda tidak bisa diinsyafkan. Tetapi,
kalau hal mokal-mokal kiranya toh terjadi juga, maka
sebagaimana pernah aku buktikan, aku akan menempatkan
kepentingan kerajaan di tempat utama, lalu bertindak dengan cara
yang paling bijaksana. Dalam hal ini, restu Anda semua yang aku
minta”.
BOLO: “Kami akan memberi restu semacam itu kepada Anda.
Teman-teman setuju dengan saya?”
SIMO: “Jelas setuju!”
SEMUA: “Setuju! Setuju!”

Muncul Ratu Dara dalam keadaan yang kumuh dan lusuh.


Tangannya berlumur darah.
RESO: “Istriku, apa yang terjadi?”
DARA: “Jangan sentuh aku! --- Aku telah membunuh Sri Baginda
Maharaja”.

Semua orang kaget dan membatu.


DARA: “Aku telah menikam jantung putra tunggalku dengan
kerasnya. Ia bukan lelaki yang sejati. Ia tak mampu
Rendra: Panembahan Reso 377

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

mempergunakan kerisnya. Jadi, biarlah keris itu terhunjam di


dadanya”.
“Ia membuat aku merasa malu. Kita dudukkan ia di atas tahta, dan
di atas tahta itu ia akan mencincang negara, didorong oleh rasa
takutnya. Sekarang, aku merasa seperti mengambang di telaga
darah. Apakah aku telah menjadi hantu? Apakah aku berada di
alam gaib? Bau amis memenuhi udara. --- Suamiku, membunuh
orang ternyata tidak gampang. Begitu batang keris menancap ke
badan korban, serasa darah mengucur dari tubuhku sendiri.
Seluruh diriku serasa menjadi ada dan tiada. Suamiku, pahamkah
Anda? --- Suamiku”.
SEKTI: (tiba-tiba mencabut keris dan menikam mati Ratu Dara)
“Pengkhianat!”

Semua orang terkesiap. Panembahan Reso pelan-pelan


membungkuk meraba mayat istrinya.
SEKTI: “Maaf, panembahan, saya bunuh istri Anda karena ia
telah membunuh Maharaja kita”.
RESO: “Anda tidak bersalah. Anda menjatuhkan hukuman pada
orang yang benar-benar telah berdosa. Tugasnya sebenarnya
seperti tugasku, yaitu menjadi Pemangku Raja. Seorang yang
dipercaya memangku tidak boleh menyirnakan yang dipangku. ---
Seharusnya, aku sendirilah yang menjatuhkan hukuman, tetapi
Rendra: Panembahan Reso 378

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Anda lebih cepat dari aku. Aku tadi lamban karena didorong
perasaan jijik dan ngeri, begitu menyadari bahwa istriku ternyata
tega mengkhianati raja yang juga putranya. --- Pengawal!
Singkirkan jenazah ini. Uruslah baik-baik bersama jenazah raja.
Ada urusan negara yang lebih utama untuk kami bereskan di sini”.
PENGAWAL: “Baik, Yang Mulia!”

Jenazah disingkirkan.
BOLO: “Saya kagum pada kekuatan Anda untuk menerima ujian
batin yang berat ini. Tidak perlu memberikan kata-kata hiburan
dan peringatan. Karena, Anda sudah bisa menguasai diri dan
menyadari adanya tugas kita bersama yang mendesak di depan
mata, ialah: tugas membela negara!”
LEMBU: “Seperti Anda, saya pun telah mengalami puluhan
pertempuran. Kita telah puluhan kali menyaksikan sahabat karib,
atau bahkan saudara, gugur di dekat kita, dan kita tetap bisa
menguasai diri. Oleh karena itu, meskipun kelihatan kejam, saya
tega untuk meminta kepada Anda, marilah kita terus bekerja
sekarang juga. Pimpinlah kami agar bisa bertindak hari ini juga
membela negara yang sedang dilanda bencana”.
SIMO: “Panembahan, saya juga memohon. Di Watu Songo, saat
ini juga, terjadi banyak bencana yang sama besarnya dengan
bencana yang menimpa hidup pribadi Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 379

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Aku berdiri di sini, di antara Anda semua, justru untuk


melaksanakan kewajiban. --- Tetapi, lebih dulu kita harus
menyadari bahwa Pangeran Bindi yang Anda semua bermaksud
memerangi, sekarang ini, Pangeran yang memang berhak atas
tahta, setelah Sri Baginda Maharaja kita wafat”.
BOLO: “Dengan tegas saya menolak merajakan orang yang
sangat berbahaya itu”.
OMBO: “Belum menjadi raja saja ia sudah merampok rakyat dan
memperkosa gadis-gadis yang tidak berdaya. Lalu, bagaimana
jadinya nanti kalau ia menjadi raja!”
RESO: “Kalau begitu kita akan merajakan salah satu dari
Pangeran Kembar”.
BONDO: “Tidak mungkin! Mereka dengan sadar sudah memihak
Pangeran Bindi, berarti mereka dengan sadar telah memihak
kepada kejahatan”.
SUMBU: “Jangan sampai kita salah memilih raja lagi. Contoh
yang baru saja terjadi jangan sampai terlupakan, karena kita,
terutama Anda telah membayarnya dengan harga sangat mahal”.
RESO: “Tetapi, kita harus memilih raja di antara para Pangeran!
BOLO: “Tidak selamanya harus begitu. --- Yang utama
bagaimana baiknya untuk negara. --- Sekali lagi, ingatlah pada
pelajaran mahal yang baru saja kita alami”.
Rendra: Panembahan Reso 380

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

JAMBU: “Jangan lagi kita memilih raja seperti berjudi untung-


untungan. Kita harus memilih orang yang sudah terbukti mutu dan
kemampuannya untuk kita rajakan”.
BOLO: “Tepat! Tepat! Marilah kita rajakan orang yang telah
terbukti sanggup memimpin, telah terbukti diakui pengaruh
kewibawaan pribadinya, telah terbukti punya wawasan kenegaraan,
telah terbukti ahli mengatur siasat perang, dan juga telah terbukti
ikhlas melakukan pengorbanan pribadi demi negara, serta sampai
sekarang kehidupan pribadinya bersih dari pencemaran noda.
Marilah kita rajakan Panembahan Reso!”
SIMO: “Setuju!”
SEMUA: “Setuju! Setuju!”
LEMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”
SIMO: (berlutut) ”Salam, Raja!”
OMBO: (berlutut) “Salam, Raja!”
BONDO: (berlutut) “Salam, Raja!”
WONGSO: (berlutut) “Salam, Raja!”
SEKTI: (berlutut) “Salam, Raja!”
BAMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”
JAMBU: (berlutut) “Salam, raja!”
SUMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”
Rendra: Panembahan Reso 381

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Aryo Lembu membimbing Panembahan Reso, didudukkan di atas


tahta. Lalu, ia pun dirajakan oleh orang.
LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Raja, siapakah nama dan
gelar Paduka sebagai Raja?”
RESO: “Kamu rajakan aku ketika namaku Panembahan Reso.
Sekarang biarlah tetap begitu namaku sebagai raja”.
LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Panembahan Reso, karena
hamba yang tertua di sini, maka atas nama yang hadir di sini
hamba menyatakan sumpah patuh dan setia kepada Paduka.
Sesudah itu, hamba menanti firman yang pertama dari Paduka
sebagai raja”.
RESO: “Inilah firman yang pertama sebagai raja: Aryo Sekti aku
angkat menjadi Senapati Istana dan Ibu kota. Aryo Lembu aku
angkat menjadi Senapati Medan Perang. Aryo Sumbu menjadi
Senapati Perlengkapan Perang. Sedangkan, yang lain tetap pada
tugasnya yang sudah ada”.
“Terima kasih aku ucapkan untuk kepercayaan dan kesetiaan yang
telah Kalian berikan sehingga aku telah Kalian angkat menjadi
raja”.
“Karena kerajaan dalam keadaan darurat, maka tak usah sekarang
aku bicara tentang tetek-bengek lainnya. Tapi, marilah sekarang
kita langsung berbicara mengenai tindakan apa yang akan kita
lakukan hari ini juga untuk mempertahankan keutuhan kerajaan”.
Rendra: Panembahan Reso 382

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Aryo Adipati Ombo, sebelum kamu datang kemari apakah yang


kamu lakukan di Kadipatenmu?”
OMBO: “Sebelum hamba kemari hamba kirim pasukan panah
hamba untuk memperkuat pasukan Aryo Adipati Simo di Hutan
Roban. Tentara Kadipaten Sawojajar, digabung dengan Pasukan
Kadipaten Watu Songo akan mampu mencegat jalan Pasukan
Pemberontak ke arah ibu kota”.
RESO: “Bagus! Biarlah siasat Aryo Simo dan kamu dipersatukan
dan diteruskan. Tentu kamu semua juga menyadari bahwa
kerajaan kita terbagi dari Laut Utara ke Selatan oleh pegunungan
yang tinggi. Di sebelah Timur pegunungan terdapat Kadipaten
Winongo, Sendang Pitu, dan Watu Limo. Sedang di sebelah Barat
pegunungan terdapat Kadipaten Tegalwurung, Watu Songo dan
Sawojajar. Pemberontak telah menduduki Kadipaten Tegalwurung
dan sebagian besar Kadipaten Watu Songo. Gerakan mereka ke
Selatan bisa ditahan oleh pasukan Watu Songo dan Sawojajar di
Hutan Roban. Aku memuji siasat Aryo Simo ini. Musuh sukar
menduga berapa besar kekuatan tentara yang berada di dalam
hutan. Dan, mereka akan susah mendekati hutan, mereka akan
dihajar oleh hujan anak panah. Untuk menunjang siasat semacam
itu maka aku minta Aryo Sumbu untuk melengkapi pasukan
gabungan di Hutan Roban dengan anak panah sebanyak-
banyaknya”.
Rendra: Panembahan Reso 383

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

“Gerakan musuh ke Timur akan terhalang oleh pegunungan yang


tinggi. Pasukan dari Kadipaten Winongo, Sendang Pitu, dan Watu
Limo bertanggung jawab agar musuh tidak menyeberangi
pegunungan. Cegatlah mereka dari tempat yang lebih tinggi.
Gerakan musuh ke Barat tak akan mereka lakukan, sebab di situ
ada laut dan mereka tak punya kapal. Jadi, sebenarnya orang sial
itu hanya mampu bergerak ke Selatan, sedangkan di Selatan
mereka akan tertahan di Hutan Roban. Aku ingin cadangan pangan,
senjata dan anak panah yang kuat untuk yang bertahan di Hutan
Roban. Tidak usah memburu lawan ke Utara. --- Selanjutnya,
pasukan yang kuat dari Aryo Bambu, Aryo Jambu, dan Pasukan
Berkuda Cadangan dari ibu kota supaya menyerbu ke Kadipaten
Tegalwurung dari Timur Laut. Tentu saja dengan menyeberangi
Pegunungan dari arah Kadipaten Winongo. Kalian tidak akan
sukar merebut kembali Tegalwurung karena si Bindi memusatkan
kekuatannya di Watu Songo. --- Kemudian, dari arah Tegalwurung
desaklah orang sial itu ke arah Selatan, supaya akhirnya nanti,
dihabisi oleh Pasukan Gabungan yang bermarkas di Hutan Roban.
--- Aku minta Aryo Lembu membawa pasukannya ke Hutan
Roban juga, dan memimpin peperangan dari hutan itu. --- Karena
Kalian semua cekatan dan perkasa, maka Kalian akan bisa
memenangkan peperangan dan memulihkan kembali keutuhan
Rendra: Panembahan Reso 384

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

kerajaan dalam tempo empat puluh hari. --- Apakah ada


pertanyaan?”
LEMBU: “Hamba kira sudah jelas semuanya”.
RESO: “Bagus. Berangkatlah Kalian ke pos masing-masing
malam ini juga”.
LEMBU: “Atas nama semua bala tentara hamba memohon restu
Sri Baginda Raja”.
RESO: “Restu aku berikan.

Semua memohon diri dan pergi.


Tinggallah Aryo Sekti dan Panembahan Reso.
SEKTI: “Yang Mulia, hamba merasa bangga melihat Paduka
duduk di atas tahta. Kita telah mengadakan pertemuan dari hati ke
hati, dan dari hati ke hati pula hamba berkata bahwa
sesungguhnyalah Paduka pantas menjadi Raja”.
RESO: “Terima kasih karena kamulah yang telah mempersiapkan
jalan terakhir menuju tahta. Kalau istriku tidak kamu tikam, entah
apa pula yang bakal ia ocehkan. Barangkali rahasia kebusukanku
bakal terbuka”.
SEKTI: “Jangan terlalu menyesalkan noda di masa lampau.
Karena, nyatanya, tahta telah mampu membentuk Paduka menjadi
manusia baru”.
Rendra: Panembahan Reso 385

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

RESO: “Tahta memang bukan tempat duduk biasa. Begitu aku


duduk di sini aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan
besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik
yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah
mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. ---
Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan
kepada rakyatku”
SEKTI: “Paduka sudah memiliki kewibawaan secara wajar
sehingga Paduka tidak mengesankan sebagai orang yang gila
wibawa. Itulah maksud hamba waktu mengatakan bahwa Paduka
pantas menjadi Raja”.

Suara perempuan menembang.


RESO: “Suara wanita menembang?
SEKTI: “Hamba kira begitu, Yang Mulia”
RESO: “Oh! Apakah yang aku lihat ini? Aku melihat istriku Sang
Ratu Dara mencuci rambut di telaga darah. --- Itu! Aku juga
melihat diriku duduk di atas tahta yang terapung di telaga darah! --
- Apakah aku bermimpi lagi?”
SEKTI: “Paduka capek, Yang Mulia”
“an, terpengaruh oleh suara wanita menembang itu”
RESO: “Biarkan aku! --- Pimping-pimping tembaga ditiup angin
senjakala. Langit merah dan kini tubuhku mengucurkan darah”
Rendra: Panembahan Reso 386

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

SEKTI: “Yang Mulia, jangan dibiarkan nurani Paduka tersiksa


tanpa ada gunanya. Jasa Paduka di masa depan akan mampu
menebus dosa-dosa Paduka”.
RESO: “Aku melihat pedesaan sekarang. Sepi dan ditinggalkan
orang. Rumpun bambu. Sumur lumutan. Pekuburan. Burung-
burung gagak hinggap di pohon randu”.

Masuklah Ratu Kenari yang dianggap seperti telanjang. Berjalan


pelan sambil menembang.
SEKTI: “Ratu Kenari! Kenapa Anda?” (memalingkan muka)
“Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang?”
RESO: “Kenapa kamu menangis, anakku? --- Kenapa kamu
berdarah, anakku?”

Ratu kenari berjalan sambil menembang menuju Reso.


RESO: “Kenapa kamu tergeletak di atas debu jalanan desa?

Reso bangkit berjalan menuju Kenari.


RESO: “Kenapa ubun-ubunmu berdarah dan badanmu penuh
dihinggapi serangga? Aku melihat kabut merayap di atas padang
belukar. O, anakku di mana sekarang kamu?” (membelai kepala
Kenari)
Rendra: Panembahan Reso 387

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Kenari menikam Reso dengan keris. Sekti melihat, tetapi sudah


terlambat mencegah. --- Reso tertegun. Kenari menikam dada
sendiri dengan keris itu.
KENARI: “Kerisku beracun!” (roboh berlutut) “Penjinah!
Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega!” (mati)
SEKTI: (menghambur ke arah Reso) “Yang Mulia!”

Ia tertegun karena Reso dengan gerakan tangan mengisyaratkan


agar ia tidak mendekat.
Sekti jatuh berlutut karena terpana.
Reso merintih dengan suara dari alam yang ganjil.

Tamat
Depok-Bandung
10 Juli 1986
Rendra: Panembahan Reso 388

Dunia Sastra || DuniaSastra.Net || Naskah Drama ||

Anda mungkin juga menyukai