1. TERANG BULAN
RESO: “Terang Bulan! --- Aku tidak bisa tidur. --- Hampir terang tanah.
--- Rasanya, aku seperti mengambang di alam mimpi, padahal mata
melek tak bisa tidur. --- Hm! Tidak bisa tidur karena sedang bermimpi.
Mimpi buruk lagi. --- Aku bermimpi wajah bulan tertikam pedang. Persis
di mata kirinya. Darah mengucur, membanjiri. Membanjiri istana si Raja
Tua. --- Asyik! --- Gagak-gagak menyerbu Balai Penghadapan. Ada yang
bertengger di tahta. --- Ular-ular juga menyerbu masuk istana. Para selir
raja pada menjerit. Berlarian kian kemari. Kacau. Ada seekor ular yang
berhasil masuk ke dalam kain seorang selir. Karuan saja ia menjerit
seperti orang gila, lalu pingsan. --- Asyik! --- Sepasukan ketonggeng dan
lipan mengerumuni tubuh raja yang sedang beradu dan langsung
menyengat tubuhnya. Ada juga yang masuk ke dalam lubang hidung dan
telinganya. --- Sang Raja menjerit-jerit, mengaduh, mengerang. --- Ia lari
kian kemari. Tetapi, tak seorang pun mau menolongnya. --- Syukur! ---
Akhirnya ia mati. Lima belas menit sebelum mati, ia sempat gila. ---
Semua orang bersorak. Rakyat bergembira. Bendera dikibarkan. Tidak
setengah tiang, tapi seluruh tiang! --- Wah!--- Gila! Dasar mimpi! Cuma
Rendra: Panembahan Reso 2
***
RESO: “Rupanya Raja Tua sudah tidak lagi tajam dalam melihat
kenyataan….. Anda ingin menjadi raja? --- Tidak, bukan?”
PANJI TUMBAL: “Tentu saja tidak”.
RESO: “Memang sudah saya duga. Lalu siapa calon Anda?”
PANJI TUMBAL: “Terserah kepada para pangeran nanti.
Hari ini mereka akan berbincang”.
RESO: “Penting. Itu penting”.
PANJI TUMBAL: “Itulah sebabnya Anda harus merestui saya”.
RESO: “Saya akan mengirim seribu tail emas Cina kepada Anda”.
PANJI TUMBAL: “Aduh, sungguh tidak saya sangka. Inilah
sikap yang jelas dan nyata”.
RESO: “Saya orang yang tegas”.
PANJI TUMBAL: “Memang! Aduh, Panji Reso, saya sangat
terharu dan sangat berterima kasih. Saya tidak akan melupakan
budi Anda untuk selama-lamanya”.
RESO: “Tapi, saya punya syarat”.
PANJI TUMBAL: “Apa itu?”
RESO: “Rahasiakan hubungan Anda dengan saya. Rahasiakan
semuanya ini. Sebab saya masih ingin main di dalam permainan
edan ini. --- Emas itu akan segera saya sampaikan kepada Anda”.
PANJI TUMBAL: “Saya paham dan setuju. Secara rahasia saya
akan menghubungi Anda lagi”.
Rendra: Panembahan Reso 10
***
***
Rendra: Panembahan Reso 19
***
5. PANGERAN KEMBAR DAN RATU KENARI
Rendra: Panembahan Reso 21
***
***
***
otakku. --- Haaah! Aku melihat telaga darah dengan bunga teratai
putih yang mengapung di permukaannya. --- Aku melihat lima
bidadari mandi di telaga darah. Mereka bercengkerama. Tubuh
mereka seperti gading yang halus, licin, dan mengkilat. Dan,
wajah mereka kelimanya sama. Mirip. Serupa. Lima bidadari
kembar. --- Wajah mereka seperti wajah yang sudah aku kenal. Ya,
wajah yang aku kenal, entah di mana. Ah! Kecantikan yang nyata
tapi tak terjamah! --- Hai! Ini tata warna birahi ataukah suasana
medan laga? --- Merah, kuning, ungu, jingga, lila. Oooo, indah!
Merah. Merah. Telaga merah. Langit merah. Apa pula itu? Astaga!
Aku lihat tahta mengambang di telaga berdarah. --- Oh! Pesona
yang mengagumkan! --- Tahta itu menuju kemari. Ia melaju ke
arahku. Dihembus angin ke arahku! Aaak” ---
“Mimpiku sirna. Dahsyat. Apakah arti mimpiku ini? Telaga darah,
teratai, bidadari, dan tahta. Apakah arti semuanya ini? --- Tahta!
Siapa yang tidak menginginkan tahta? Aku menginginkan tahta!
Sri Baginda Raja telah tua. Ia mulai pikun. Pikun dan ngawur!
Para senapati resah. Para adipati resah. Pemberontakan terjadi.
Dan, para pangeran itu tak akan becus mengatasi keadaan”.
“Aku akan lebih becus menjadi raja. Sayang, aku cuma seorang
panji! --- Tetapi, aku punya akal. Kekacauan di negara ini justru
akan memberi jalan kepadaku. Rintanganku yang utama hanyalah
para pangeran. --- Nanti, aku cari jalan!”
Rendra: Panembahan Reso 30
***
***
Rendra: Panembahan Reso 34
***
Pagi hari yang cerah. Reso dilayani Nyi Reso minum teh.
NYI RESO: “Kakanda tidak tidur di rumah semalam”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Para panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu
kota”.
RESO: “Hm”.
Rendra: Panembahan Reso 36
NYI RESO: “Biasanya, kalau ada badai dan topan orang berteduh
dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan
perjalanannya”.
RESO: “Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan
bahan”.
NYI RESO: “Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda
dengan jantung yang berdebar-debar”.
RESO: “Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan”.
NYI RESO: “Sungguh sayang kandunganku gersang”.
RESO: “Siapa tahu justru benihku yang gersang. --- Tidak punya
anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku”.
NYI RESO: “Sangat sering Kakanda duduk melamun”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan
pertanyaan di dalam diri saya. --- Kakanda akhir-akhir ini sangat
sering bersemadi, padahal Kakanda tidak suka bergaul dengan
para resi dan tidak betah diajak bicara masalah kebatinan”.
RESO: “Aku semadi untuk menyerahkan diri. Tidak ada
urusannya dengan kebatinan”.
NYI RESO: “Saya mendapat kesan, sepertinya Kakanda prihatin
besar……. atau sedang kecewa ---Apakah Kakanda kecewa
kepada saya?”
Rendra: Panembahan Reso 37
***
12. PANJI RESO MENGHADAP RAJA
Rendra: Panembahan Reso 39
saya. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara, saya tak kuat lagi
menanggung malu”.
RAJA TUA: “Nanti dulu!!”
RESO: “Yang Mulia, ada lagi penderitaan batin saya. Di rumah
saya berkaca. Saya kaget, kok kenyataannya saya sudah berubah
tua. Di dalam diri saya masih menggelegak jiwa kesatria yang
selalu membela raja, sebagaimana pernah saya buktikan di
pelbagai medan laga. Sebenarnya, saya pun sangat bernafsu untuk
memenggal kepala Panji Tumbal. Tetapi, apa boleh buat, bintang-
bintang yang lebih muda banyak yang muncul sehingga Sri
Baginda tak perlu lagi memakai pengalaman orang tua seperti
saya”.
RAJA TUA: “Salah! Salah! --- Orang tua dalam banyak hal lebih
hebat dari orang muda. Satu, karena pengalaman. Dua, karena
sudah teruji! --- Kamu lihat tidak, bagaimana dengan gampang aku
merobohkan putraku?”
RESO: “Hamba memang melihat bagaimana usia makin membuat
Baginda tenang dan matang”.
RAJA TUA: “Tentu saja. Itu akibat dari godokan waktu”.
RESO: “Yang tidak bisa dicapai oleh orang muda”.
RAJA TUA: “Sebab belum sampai pengalamannya”.
RESO: “Betul Yang Mulia. Orang tua memang merupakan
kekayaan negara”.
Rendra: Panembahan Reso 41
RAJA TUA: “Tepat, Reso! Tepat! --- jadi tidak mungkin kamu
tidak saya pakai karena usiamu. Apalagi, sebetulnya, kamu kan
belum terlalu tua”.
RESO: “Memang belum matang dan mengkilat seperti Yang
Mulia”.
RAJA TUA: “Kalau kamu tekun menghayati kehidupan, kamu
pun akan bisa seperti saya”.
RESO: “Tetapi, kenapa hamba sekarang kena hukuman, Yang
Mulia!”
RAJA TUA: “Tidak! Tidak! Kamu tidak dihukum. Soalnya, aku
lagi marah-marah waktu itu. Kalau aku lagi marah jangan kamu
suka nimbrung. Sebab kamu kan melihat sendiri bagaimana kalau
aku marah”.
RESO: Hal itu akan menjadi pelajaran bagi hamba. Hamba tidak
akan mengulangi lagi. --- Tetapi, sekarang bagaimana nasib
hamba?”
RAJA TUA: “Kamu diampuni. Kamu sudah bebas seperti biasa. -
-- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Jelas, ya, Panji Reso sudah aku ampuni”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia!”
Rendra: Panembahan Reso 42
lebih terbuka kepada hamba, dan lalu akan mengutarakan isi hati
yang sebenarnya”.
RAJA TUA: “Kalau begitu kamu saja yang aku serahi tugas
menyelidiki”.
RESO: “Sanggup, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus! Coba juga kamu telaah seberapa jauh
pengaruh Ratu Dara kepadanya. --- Kamu tahu ibunya itu sangat
keras kemauannya, dan, juga, orangnya penuh dengan cita-cita.
Banyak wawasannya yang bagus, tetapi sangat sering ia,
kelihatannya, asal mau menang sendiri”.
RESO: “Apakah Sri Baginda mencurigai Sri Ratu Dara?”
RAJA TUA: “Aku tak tahu bagaimana merumuskannya, tetapi
jelas ia ingin anaknya nanti menggantikan aku menjadi raja. Aku
cuma khawatir kalau-kalau ia kurang sabar dalam mewujudkan
cita-citanya”.
RESO: “Hamba paham maksud paduka. Tetapi, apakah sudah ada
gejala yang menunjukkan ketidaksabaran seperti itu?”
RAJA TUA: “Lho, itulah tugasmu untuk menyelidikinya!”
RESO: “Hamba sanggup, Yang Mulia! Hanya saja, bila
diperkenankan hamba mohon Panji Sekti membantu hamba”.
RAJA TUA: “Panji Sekti?”
Rendra: Panembahan Reso 46
RESO: “Seorang panji istana juga, urusan jaga gerbang dan ronda
istana. Hamba berani menanggung dengan mempertaruhkan
kepala hamba bahwa ia patuh dan setia kepada Paduka”.
RAJA TUA: “Kalau kamu sudah berani menanggung, aku pun
membebaskannya juga. --- Baik, biar ia membantu kamu”.
RESO: “Terima kasih, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Sekalian bantu aku mengawasi para panji itu! ---
Aryo Bungsu, catat semua keputusanku ini!”
BUNGSU: “Hamba perhatikan, Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Panji Reso, segera mulailah bekerja! Sewaktu-
waktu kamu bebas menghadap aku!”
RESO: “Hamba merasa syukur dan bangga, Sri Baginda.
***
patuh dan setia kepada Sri Baginda. Jauhi hubungan dengan para
senapati dan pangeran yang resah. Tolak semua pendekatan dan
ajakan mereka. Tegaskan, akulah pusat pimpinan gerakan para
panji. Aba-aba yang harus dipatuhi hanyalah aba-aba dari aku! ---
Jelas?”
SEKTI: “Jelas, dan sudah saya hafalkan seketika. --- sebelum
saya berangkat, saya akan menyampaikan pesan dari Aryo Gundu.
Ia menunggu Anda di Serambi Balai Senjata. Sekarang giliran dia
untuk memimpin ronda dan jaga istana”.
RESO: “Aku akan mampir ke sana”.
SEKTI: “Sampai jumpa!
RESO: “Sampai jumpa! Sekarang menghadapi macan. Terhadap
macan harus aku pakai cara yang lain lagi”.
***
***
REBO: “Laporan dari Panji Tumbal, Panji Simo, dan Panji Ombo
sudah bertubi-tubi dipersembahkan kepada Sri Baginda. Semua
menyangkut saran mengenai kebijaksanaan yang seyogyanya
diterapkan di Kadipaten untuk memperbaiki keadaan”.
RESO: “Dan, saran-saran itu semuanya masuk di akal. Bagus
untuk kesehatan negara”.
REBO: “Tetapi, Sri Baginda hanya menyukai orang seperti
Pangeran Bindi. Suka olahraga dan selalu meng-iya-kan kata-kata
raja. --- Banyak orang mengira dialah calon raja untuk putra
mahkota”.
REBO: “Tetapi, ia bukan putra tertua”.
RESO: “Namun, dari istri yang pertama”.
REBO: “Menurut ibundaku, Baginda sudah mengumumkan ke
seluruh negara bahwa di antara para istri tak ada yang mempunyai
kedudukan pertama”.
RESO: “Itu betul. Antara lain sayalah saksinya. --- pangeran Rebo,
Anda merasa lebih berhak menjadi putra mahkota, bukan?”
REBO: “Ini bukan masalah keinginanku. Tetapi, dalam urusan
negara, segala sesuatu harus ada dasar dan alasannya”.
RESO: “Begitulah juga dasar pemikiran para Panji dan Adipati. --
- kami lebih menyukai Anda sebagai putra mahkota”.
REBO: “Kita harus hati-hati berpendapat dalam hal ini. Jangan
sampai terdengar raja dan beliau salah tangan”.
Rendra: Panembahan Reso 54
***
***
***
***
RESO: “Saya yakin kita bersama lebih kuat dari mereka. Sebagai
prajurit kita lebih utuh, tanpa noda, dan rakyat lebih suka kepada
kita”.
***
***
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Sebenarnya saya kaget”.
RESO: “Kaget lagi?”
SEKTI: “Karena saya diangkat menjadi Senapati Pasukan
Berkuda”.
RESO: “Syukuri kesempatan yang baik”.
SEKTI: “Tetapi, seumur hidup saya belum pernah naik kuda”.
RESO: “Hm. Tadi pagi Anda berkata, ada masalah yang akan
Anda utarakan”.
SEKTI: “Ya, ada! Selama saya menjalankan tugas yang Anda
berikan saya dibantu oleh seorang pembunuh bayaran”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Ia sangat ahli mengintai, menyelinap, mencuri, dan
membunuh. Tanpa meninggalkan jejak! Sudah sejak dulu ia
membantu saya. Dan, sekarang, kalau Anda menganggap perlu,
jangan ragu-ragu memakai tenaganya. Ia bisa dipercaya”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Pangeran Bindi….. Sri Baginda……”
RESO: “Hm. --- Siapa namanya?”
SEKTI: “Kalau Anda mau, bahkan Anda bisa bertemu orangnya”.
RESO: “Di mana?”
SEKTI: “Di sini”.
RESO: “Mana dia?”
Rendra: Panembahan Reso 84
***
22. ADA LAGI YANG TAK TERDUGA
Di kamar tidur Ratu Dara, di dalam kaputren, di istana. --- Ratu
Dara duduk di tempat tidur yang memakai undakan. Aryo Reso
masuk.
RATU DARA: “Ah! Aryo Reso!”
RESO: “Inang Anda menyuruh saya masuk ke sini”.
RATU DARA: “Memang, begitu maksud saya”.
RESO: “Kok di sini?”
RATU DARA: “Di mana lagi tempat yang lebih bebas dari
pengawasan? Bahkan, orang ronda juga tidak akan masuk kemari”.
RESO: “Oh!”
***
Rendra: Panembahan Reso 89
Di rumah Aryo Reso. Pagi hari. Aryo Reso terbaring tidur. Nyi
Reso berdiri di dekatnya, membawa selimut.
NYI RESO: “Karena capek ia tertidur di sini. Tampak tenang dan
pulas ia. Tak perlu lagi saya bangunkan. Tak akan saya ganggu
ketenangannya”. (menyelimuti Aryo Reso, lalu bersimpuh di sisi
tubuhnya). “Sekarang ia menjadi senapati. Seorang aryo. Memang
hebat dia. Seorang biasa yang bisa mendorong nasibnya sehingga
menjadi bangsawan. Barangkali bisa juga akhirnya ia menjadi raja.
--- Lalu, bagaimana saya? Akan menjadi permaisuri? Saya tidak
tahu bagaimana menjadi ratu. Saya akan makin tersisih dari
pikirannya. Saya makin tak mampu ia ajak bicara karena
urusannya semakin tinggi. Sedangkan, sekarang saja saya sudah
mulai tak tahu apa-apa. --- Dan, juga, saya tidak punya anak. Nanti,
kalau ia menjadi raja, ia pasti ingin punya putra mahkota. Lalu,
barangkali ia akan kawin lagi. --- Oh! Saya tak akan tahan
dimadu!” (membelai suaminya) “Kakanda, saya sangat
mencintaimu. Tak mungkin saya bisa hidup tanpa Kakanda. Tetapi,
saya tidak berdaya memiliki Kakanda seluruhnya. Itulah sebabnya
saya menderita. --- Saya mau minggat tidak bisa. Saya mau bunuh
diri juga tidak bisa. Soalnya, karena saya tidak ikhlas melepaskan
Kakanda dari tangan saya”. (mengeluarkan botol kecil dari
kembennya) “Lihatlah, ini racun yang tidak jadi saya minum.
Apakah Kakanda akan tega kalau melihat saya bunuh diri?”
Rendra: Panembahan Reso 91
***
Rendra: Panembahan Reso 92
***
Rendra: Panembahan Reso 96
RAJA TUA: “Ya! Cita-cita! --- Tetapi, apa perlu kepala mereka
dipenggal? Apa tidak cukup kita penjara atau kita asingkan ke luar
kerajaan?”
RESO: “Lalu, nanti, akan ada lagi yang untung-untungan
mencontoh mereka kalau memang taruhannya tidak seberapa”.
RAJA TUA: “Oh! Penderitaan kekuasaan! Aku telah menyuruh
membantai anak-anakku sendiri!” (minum lagi) “Kenapa kamu
tidak minum?”
RESO: (minum) “Dari tadi hamba minum, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Bagus. --- Kamu pernah membunuh”.
RESO: “Hamba sering berperang, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Di luar perang?”
RESO: “Belum pernah sebenarnya”.
RAJA TUA: “Aku juga sering berperang. --- Tetapi, sekarang di
luar perang aku terpaksa membunuh. --- Aku merasa berdosa”.
RESO: (terengah-engah) “Jadi, Anda akan mencabut hukuman
penggal?”
RAJA TUA: “Hahahaha! Aku berputar-putar, berkejar-kejaran
dengan diriku sendiri. --- Ayo, raja, kamu telah memulai cita-cita
dengan pedang, kini harus kamu pertahankan dengan pedang juga!
Kalau tidak, pedang orang yang akan memakan kamu! --- Kenapa
kamu, aryo? Kamu seperti orang sakit”.
Rendra: Panembahan Reso 99
***
***
***
***
***
“Tapi nasib Kalian sudah baik. Lahir sebagai pangeran dan pandai
menjalankan kewajiban. Sudah itu saja cukup. Jangan Kalian ikut
gerakan yang mokal-mokal. Serahkan hal yang tidak beres kepada
yang berhak dan berkewajiban mengatur. Kalian urus saja bagian
Kalian baik-baik dan lalu pulang, beristirahat, dan bergembira
bersama Ibu. Yang mau jadi pahlawan biarkan saja menjadi
pahlawan, tetapi Kalian cukup menjadi pangeran. Syukurilah nasib
Kalian yang baik ini. Tidak semua orang lahir sebagai pangeran.
Duh Gusti, saya terima nasibku sebagai istri raja yang kesepian.
Saya cukup bahagia asal saja saya tidak kehilangan putra-putra
saya. Tetapi sekarang ini, Duh Gusti, saya merasa ngeri di sini”.
***
***
***
***
RAJA: “Ah, ya! Aku hampir lupa karena hadiah itu sifatnya
hanya gelar belaka. Namun meskipun itu gelar, sifatnya resmi dan
juga menurun kepada anak-anakmu. --- Kini sebagai raja, aku
mengucapkan firman: Panji Simo, Panji Ombo, Panji Wongso,
Panji Bondo dan Panji Bolo, mulai sekarang aku beri gelar: Aryo
Adipati Simo, Aryo Adipati Ombo, Aryo Adipati Wongso, Aryo
Adipati Bondo, Aryo Adipati Bolo. Inilah Firmanku sebagai Raja”.
RESO: “Ratu Kenari, saya kira bukan begitu maksud Yang Mulia.
Yang dimaksud ialah supaya surat-menyurat itu lebih baik
melewati orang saya”.
RAJA: “Begitu! Memang begitu jalan keluarnya”.
RESO: “Ratu Kenari, melalui siapa biasanya Anda berkirim surat
kepada putra-putra Anda?”
KENARI: “Melalui seorang abdi anak-anakku yang ikut
menemaninya ke medan perang”.
RESO: “Sekarang di mana abdi itu?”
KENARI: “Di medan perang”.
RESO: “Kapan terakhir dia datang?”
KENARI: “Sehari setelah Baginda Raja yang dulu wafat”.
RESO: “Lain kali, kalau ia datang lagi, Anda wajib memberitahu
saya”.
KENARI: “Tentu saja saya akan berlaku begitu. Kalau itu
perintah Sri Baginda”.
RAJA: “Ya! Begitulah perintahku”.
DARA: “Sri Baginda, mungkin perlu diberitahu kepada Ratu
Kenari bahwa ia di sini akan saya temani. Saya dan dia sama-sama
janda. Janda sama janda harus bekerjasama. Ia tak perlu khawatir
karena saya akan membela perkaranya”.
Rendra: Panembahan Reso 132
RAJA: “Nah, kamu dengar itu? --- tunjukkan kalau kamu benar-
benar bisa patuh dan setia. Ikutilah perintah saya, tinggallah di
sini!”
KENARI: “Baik, yang mulia”.
RAJA: “Nah, rupanya tak ada lagi yang aku lupakan, marilah
sekarang kita santap bersama”.
***
SEKTI: “Saya setuju dengan isi semangat dan maksud Aryo Bolo.
--- Aryo Reso, kenapa sampai sejauh ini kita meleset dalam
menilai orang?”
OMBO: “Betul! Terus terang saja memang meleset jauh. Lantas
kenapa jadi begini?”
RESO: “Rupanya, tahta memang bukan tempat duduk
sembarangan. Orang yang duduk di atas tahta itu menjadi pusat
perhatian. Semua sifat baik dan buruknya, semua kelebihan dan
kekurangannya akan lebih kelihatan daripada biasanya, karena
menjadi sasaran dan sorotan berjuta manusia”.
OMBO: “Saya kira memang begitu. Tidak semua orang kuat
mampu menjadi sasaran sorot mata”.
SIMO: “Tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kita harus
menghadapinya dengan gagah. Kita harus punya tekad untuk
memperbaiki keadaan buruk ini. --- Aryo Reso, kami yakin Anda
akan sanggup membina Sri Baginda”.
RESO: “Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi,
kenapa kita tidak percayakan saja kepada Ratu Dara”.
WONGSO: “Pengaruh Ratu Dara sebagai seorang ibu terhadap
Sri Baginda memang besar, tetapi beliau tidak begitu memahami
masalah yang hidup di kadipaten”.
BOLO: “Andalah yang lebih memahami masalah kenegaraan,
yang sesuai dengan cita-cita kami”.
Rendra: Panembahan Reso 135
Ombo pergi.
BOLO: “Aryo Reso dan Aryo Sekti, selamat tinggal. --- Saya
mencium ada masalah gawat. Ini saya ucapkan dengan kegagahan.
Saya tidak hanya memprihatinkan Sri Baginda, tetapi saya kaget
melihat perkembangan diri teman-teman. Cacat-cacat yang dulu
tidak tampak di saat hidup dalam tekanan, kini muncul justru di
saat kita sudah menang. Banyak orang yang kuat menghadapi
tekanan, tetapi berantakan di dalam kemenangan”.
RESO: “Anda meragukan diriku?”
BOLO: ”Saya mendapat firasat bahwa kita harus sama-sama
waspada. Apakah Anda tersinggung oleh ucapan saya?”
RESO: “Tidak! Anda telah merumuskan pikiran Anda dengan
baik. Aku memahami”.
BOLO: “Terima kasih. Kita sama-sama berdoa!”
RESO: “Tepat!”
SEKTI: “Saya sangat terkesan pada ucapan Aryo Bolo. Wataknya
baik”.
RESO: “Ya! Ia orang baik”.
SEKTI: “Sungguh berat tanggung jawab Anda”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Apakah Anda merasa kesepian sesudah hidup sendirian
sebagai duda selama beberapa hari ini?”
RESO: “Tidak”.
Rendra: Panembahan Reso 138
***
Raja masuk.
Raja: “Ibu! --- Oh, Aryo Reso!”
RESO: “Salam, Sri Baginda!”
RAJA: “Salam. --- Ibu memanggil saya?”
DARA: “Betul, Yang Mulia. Duduk!”
RAJA: “Ada apa Ibu?”
DARA: “Saya ingin berbicara mengenai masalah kerajaan”.
RAJA: “Tetapi, lebih dulu aku akan menyatakan……
bahwa ……… hatiku terguncang-guncang”.
Rendra: Panembahan Reso 142
RESO: “Katakan ‘ya’, Yang Mulia. Sebab, kalau tidak, lebih baik
hamba meletakkan jabatan dan pergi bertani”.
DARA: “Ke mana Anda pergi akan saya ikuti”.
RAJA: “Oh, jadi aku dipojokkan! --- Baiklah, kalau memang
demi kerajaan Kalian aku kawinkan”.
RESO: “Terima kasih, yang Mulia!”
DARA: “Untuk selanjutnya, kita bertiga akan merupakan
persekutuan yang kuat yang memimpin kerajaan”.
RAJA: “Ternyata, menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan.
Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba-tiba. Dan,
membawaku ke alam yang ganjil yang aku tidak mengerti sama
sekali. --- Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang
terperanjat”.
***
menjadi raja yang menguasai kerajaan yang luas dan besar ini.
Sebab, aku dibantu sepenuhnya oleh Aryo Reso, pahlawan besar
kerajaan, yang kini menjadi ayahku. Kini, tahta raja akan lebih
teguh dan sentosa. --- Sebagai penasihat dan pemangku raja, Aryo
Reso tidak lagi bernama Aryo Reso. Aku, kini, menganugerahinya
gelar yang sesuai dengan kedudukannya sebagai ayahku. Sekarang,
nama dan gelarnya adalah Panembahan Reso. --- Sedang untuk
diriku sendiri, kini aku juga mengambil keputusan yang baru.
Sejak kini, namaku bukan lagi Mahesa Kapuranta, tetapi aku ganti
menjadi Maharaja Gajah Jenar. --- Sudah saatnya, aku menyadari
dengan tegas bahwa aku raja satu-satunya di wilayah kerajaan
yang luas ini. Adanya kekuasaan tandingan tidak aku izinkan. ---
Oleh karena itu, aku mendesak perlu segera adanya tanggapan
yang tegas dari Panji Tumbal, Pangeran Bindi, dan Pangeran
Kembar terhadap tahtaku. Kalau mereka mengakui kewibawaan
tahtaku, maka harus segera datang menghadap kemari dan
menyatakan pengakuannya. Sedangkan, kalau mereka melawan
tahta, kepala mereka akan dipenggal. Tugas untuk menyampaikan
firmanku ini aku serahkan kepada Panembahan Reso yang akan
menunjuk para utusan”.
RESO: “Baik. Hamba sanggup, Yang Mulia”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba akan berkirim surat kepada putra
kembar hamba dengan melewati utusan Panembahan Reso, sesuai
Rendra: Panembahan Reso 145
***
Rakyat tak pernah punya hak bicara! ---Astaga! Kita semua telah
bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi
untuk kedaulatan tahta semata!”
***
***
Rendra: Panembahan Reso 159
akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk yang kita harus
berani menanggung atau mensyukuri”.
SEKTI: “Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya
hubungan asmara dengan Ratu Dara! --- Lalu, istri Anda
wafat………”.
RESO: “Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya”.
SEKTI: “Dan, lalu, kita bersama-sama merencanakan
pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! ---
Tetapi, siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun
oleh istri Anda”.
RESO: “Memang. Asasin yang mengungkapkan rahasia ini! ---
Istriku, karena ketakutan menentang cita-citaku untuk menjadi
raja”.
SEKTI: “Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada
istri?”
RESO: “Itulah kelemahanku! --- Semakin ketakutan, tingkah-laku
istriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia cita-citaku.
Lalu aku bunuh dia”.
SEKTI: “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah
sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota”.
RESO: “Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata
bersimbah darah dan berlumur noda”.
Rendra: Panembahan Reso 163
RESO: “Terima kasih. --- Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan
hanya antara kita berdua”.
SEKTI: “Baik. --- Saya akan menemani Anda di dalam kesepian
Anda”.
RESO: “Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja Gajah
Jenar!”
SEKTI: “Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu”.
RESO: “Tunggu saja aba-aba dari aku”.
SEKTI: “Siap, Panembahan”.
***
***
Mereka bertukar salam, dan keempat Aryo itu pun pergi. Tinggal
Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Aryo Sekti.
DARA: “Tidak akan aku bisa memaafkan Si Rebo yang telah
memberi rasa malu seberat ini. Ah! Kandunganku terasa berkerut-
kerut dengan penuh penyesalan”.
RESO: “Istriku, tenangkan dulu pikiranmu”.
DARA: “Bagaimana bisa tenang?! Ia tidak hanya menjijikkan,
tetapi juga menjadi berbahaya untuk kita. Apa yang kita bina bisa
Rendra: Panembahan Reso 176
***
Masuk Aryo Bolo, Aryo Bondo, Aryo Ombo, dan Aryo Wongso.
Mereka saling bertukar salam dengan yang sudah hadir lebih
dahulu.
BOLO: “Di manakah Sri Baginda?”
RESO: “Sebentar lagi akan muncul. Kami semua menunggu.
Kami sudah menerima laporan dari Aryo Simo, dan kami
memahaminya”.
BOLO: “Anda tidak akan bertindak tanpa persetujuan Sri
Baginda?”
RESO: “Tentu saja”.
BOLO: “Tetapi, dari jauh saya sudah bisa membaca. Anda orang
yang tangkas bertindak dan cepat bisa menilai keadaan. Bahwa,
dalam hal ini ada terjadi kelambanan. Itu pasti terjadi karena sikap
Sri Baginda. Sikap apakah itu?”
RESO: “Ada yang Baginda pertimbangkan”.
Rendra: Panembahan Reso 182
Anda lebih cepat dari aku. Aku tadi lamban karena didorong
perasaan jijik dan ngeri, begitu menyadari bahwa istriku ternyata
tega mengkhianati raja yang juga putranya. --- Pengawal!
Singkirkan jenazah ini. Uruslah baik-baik bersama jenazah raja.
Ada urusan negara yang lebih utama untuk kami bereskan di sini”.
PENGAWAL: “Baik, Yang Mulia!”
Jenazah disingkirkan.
BOLO: “Saya kagum pada kekuatan Anda untuk menerima ujian
batin yang berat ini. Tidak perlu memberikan kata-kata hiburan
dan peringatan. Karena, Anda sudah bisa menguasai diri dan
menyadari adanya tugas kita bersama yang mendesak di depan
mata, ialah: tugas membela negara!”
LEMBU: “Seperti Anda, saya pun telah mengalami puluhan
pertempuran. Kita telah puluhan kali menyaksikan sahabat karib,
atau bahkan saudara, gugur di dekat kita, dan kita tetap bisa
menguasai diri. Oleh karena itu, meskipun kelihatan kejam, saya
tega untuk meminta kepada Anda, marilah kita terus bekerja
sekarang juga. Pimpinlah kami agar bisa bertindak hari ini juga
membela negara yang sedang dilanda bencana”.
SIMO: “Panembahan, saya juga memohon. Di Watu Songo, saat
ini juga, terjadi banyak bencana yang sama besarnya dengan
bencana yang menimpa hidup pribadi Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 186
Tamat
Depok-Bandung
10 Juli 1986
Rendra: Panembahan Reso 195
***
***
RAJA TUA: “Tidak aku duga! --- Ini surat dari Panji Tumbal. Ia
tidak datang dan menyatakan diri telah memberontak. Kadipaten
Tegalwurung telah ia kuasai”.
“Pangeran Rebo! Jangan kamu beranjak dari ibu kota, dan setiap
hari kamu harus melapor ke Balai Penghadapan sebagaimana para
panji! --- Pangeran Bindi! Laksanakan tugasmu. Tumpas
pemberontakan Panji Tumbal. Dan, amankan setiap kadipaten
yang kamu lewati di sepanjang jalan”.
***
4. PANGERAN BINDI MOHON DIRI KEPADA IBUNDA
RATU PADMI: “Ketegaranku telah luntur karena sakit-sakitan.
Ayahandamu Sri Baginda Raja, kurang menaruh perhatian lagi
kepadaku. Aku tidak lagi menjadi sumber daya hidupnya. Tetapi,
Baginda sangat mengindahkan kamu. Aku bersyukur karena itu.
Dan, sekarang, Baginda telah memberimu tugas yang penting dan
mulia. Laksanakan tugasmu dengan baik”.
BINDI: “Dengan restu ibu saya akan berusaha sekuat tenaga.
Yang aku perhatikan hanyalah keadaan ibu”.
RATU PADMI: “Jangan kamu kehilangan semangat. Dari hari
pertama perkawinanku dengan Sri Baginda Raja, aku telah sadar
bahwa aku tidak kawin dengan kepala rumah tangga, tetapi kawin
dengan kekuasaan. Ternyata, tidak ada bakatku untuk bermain
dengan kekuasaan. Aku hanya memahami, tetapi tanpa naluri. Dan,
bersikap diam terhadap permainan kekuasaan. --- Sekarang, aku
lihat kamu dan adik-adikmu, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot,
Rendra: Panembahan Reso 213
***
5. PANGERAN KEMBAR DAN RATU KENARI
RATU KENARI: “Kamu berdua berjuanglah baik-baik.
Pertahankan tahta ayahmu. Tahta itu keramat, sebab ia pusat
kehidupan seluruh negara. Oleh karena itu, tahta raja harus
mencerminkan kekuasaan”.
KEMBAR I: “Ibu, kami akan menjadi pahlawan”.
KEMBAR II: “Ibu akan bangga melihat kami naik kuda”.
RATU KENARI: “Aku ini keturunan bangsawan yang mengabdi
kepada raja, dan akhirnya mendapat anugerah untuk menjadi istri
raja. Aku sangat bangga akan kedudukan ini. Meskipun untuk
beberapa tahun aku merasa sedih karena terlambat mengandung.
Waktu itu, Baginda Raja sangat gelisah karena Ratu Padmi dan
aku tidak mampu memberinya keturunan. Lalu, Baginda kawin
lagi dengan Ratu Dara yang ternyata bisa melahirkan Pangeran
Rebo. Baginda Rasja sangat berbahagia, dan kami pun juga ikut
berbahagia. Kemudian, ternyata, Ratu Padmi pun bisa melahirkan
tiga putra berturut-turut selama tiga tahun. Dan, selanjutnya,
Rendra: Panembahan Reso 215
***
REBO: “Ibuku! Saya tidak peduli dengan harga diri. Semua yang
ada harganya bisa dibeli, bisa dihias, dan bisa dirias! --- Saya
terluka. Sri Baginda tidak adil terhadap saya”.
RATU DARA: “Jangan main pikiran separuh-separuh. Harga diri
bisa saja dikaitkan dengan nilai yang tidak pasaran. Seperti halnya
kamu, kamu kaitkan dengan rasa keadilan. Tapi, masalah yang
ingin aku bicarakan sebetulnya ini: kamu muram, kamu terpukul,
dan alasannya ada. Tetapi, jangan terlalu lama, anakku! Kamu
tidak boleh terlalu lama kehilangan daya. Lihatlah di alam raya.
Semua tumbuh-tumbuhan berebut cahaya matahari. Di hutan dan
di pekarangan tumbuhan yang kena lindung tumbuhan lain akan
kerdil untuk selama-lamanya. Pendeknya, alam mengajarkan kita
untuk berani bergulat. Kita harus kuat, karena yang kuat akan
menetapkan aturan di dalam kehidupan”.
REBO: (tertawa kecil tapi cerah, dan penuh rasa sayang kepada
ibunya) “Ibu tidak perlu mengkhawatirkan diri saya. Kalau orang
punya ibu seperti ibundaku, tak perlu ia khawatir akan jadi lemah.
Dengan segenap cara ibu akan membangkitkan semangat saya”.
“Ibunda, saya gundah. Saya tidak setuju dengan cara ayahanda
memerintah. Terlalu kasar ungkapan kekuasaannya sehingga
menimbulkan kesan menantang. Padahal, cukup banyak orang
perkasa di negeri kita. Menurut pendapat saya, kekuasaan bisa
Rendra: Panembahan Reso 217
***
***
***
***
GADA: “Demi rakyat dan demi negara aku siap menjadi raja dan
menegakkan keadilan”.
GUNDU: “Kalau begitu kita harus segera bergabung dengan Panji
Tumbal”.
RONIN: “Bagaimana dengan para panji dan adipati yang lain?”
GUNDU: “Menurut Panji Tumbal mereka semua berada di
belakangnya. Tetapi, sekarang mereka dilarang meninggalkan ibu
kota”.
RONIN: “Kalau memang sudah bertekad untuk berontak, kenapa
mereka tidak kita ajak merat dari ibu kota?”
GUNDU: “Semua tergantung Panji Reso. Di dalam saat seperti ini,
dialah yang mampu menggerakkan para panji”.
DODOT: “Kenapa ia tidak dihubungi?”
GUNDU: “Kita harus waspada. Ia dan para panji yang lain sedang
diawasi. Tetapi, saya akan berusaha menghubungi. Sesudah itu
akan kita tetapkan bagaimana siasat kita”.
GADA: “Baik. Usahakan Anda berhasil memastikan dia ke pihak
kita. Banyak orang menaruh rasa segan kepadamu. Sampai di sini
dulu. Bila terlalu lama kita bersama, bisa orang menaruh curiga”.
***
Pagi hari yang cerah. Reso dilayani Nyi Reso minum teh.
NYI RESO: “Kakanda tidak tidur di rumah semalam”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Para panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu
kota”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Biasanya, kalau ada badai dan topan orang berteduh
dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan
perjalanannya”.
RESO: “Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan
bahan”.
NYI RESO: “Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda
dengan jantung yang berdebar-debar”.
RESO: “Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan”.
NYI RESO: “Sungguh sayang kandunganku gersang”.
RESO: “Siapa tahu justru benihku yang gersang. --- Tidak punya
anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku”.
NYI RESO: “Sangat sering Kakanda duduk melamun”.
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan
pertanyaan di dalam diri saya. --- Kakanda akhir-akhir ini sangat
Rendra: Panembahan Reso 230
***
12. PANJI RESO MENGHADAP RAJA
sudah teruji! --- Kamu lihat tidak, bagaimana dengan gampang aku
merobohkan putraku?”
RESO: “Hamba memang melihat bagaimana usia makin membuat
Baginda tenang dan matang”.
RAJA TUA: “Tentu saja. Itu akibat dari godokan waktu”.
RESO: “Yang tidak bisa dicapai oleh orang muda”.
RAJA TUA: “Sebab belum sampai pengalamannya”.
RESO: “Betul Yang Mulia. Orang tua memang merupakan
kekayaan negara”.
RAJA TUA: “Tepat, Reso! Tepat! --- jadi tidak mungkin kamu
tidak saya pakai karena usiamu. Apalagi, sebetulnya, kamu kan
belum terlalu tua”.
RESO: “Memang belum matang dan mengkilat seperti Yang
Mulia”.
RAJA TUA: “Kalau kamu tekun menghayati kehidupan, kamu
pun akan bisa seperti saya”.
RESO: “Tetapi, kenapa hamba sekarang kena hukuman, Yang
Mulia!”
RAJA TUA: “Tidak! Tidak! Kamu tidak dihukum. Soalnya, aku
lagi marah-marah waktu itu. Kalau aku lagi marah jangan kamu
suka nimbrung. Sebab kamu kan melihat sendiri bagaimana kalau
aku marah”.
Rendra: Panembahan Reso 235
RESO: Hal itu akan menjadi pelajaran bagi hamba. Hamba tidak
akan mengulangi lagi. --- Tetapi, sekarang bagaimana nasib
hamba?”
RAJA TUA: “Kamu diampuni. Kamu sudah bebas seperti biasa. -
-- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Jelas, ya, Panji Reso sudah aku ampuni”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia!”
RESO: “Hamba sangat berterima kasih, Yang Mulia! --- Lalu,
bagaimana dengan para panji yang lain? Mereka semuanya setia
dan kagum kepada Sri Baginda”.
RAJA TUA: “Soal itu nanti dulu. --- Reso, ini masalah ‘langkah
pengamanan’. Mereka akan diselidiki dan diperiksa dulu, sesudah
terbukti beres, mereka pun akan dibebaskan”.
RESO: “Apakah hamba akan diperiksa juga?”
RAJA TUA: “Lho, kamu kan sudah diperiksa. Langsung oleh aku
sendiri”.
RESO: “Maaf, hamba tidak menyadari”.
RAJA TUA: “Baru saja tadi, sambil lalu, kamu sudah aku periksa.
Kalau memang sudah ahli memeriksa, yang diperiksa tidak akan
tahu. --- Lha, ini lagi bedanya antara anak muda yang belum
berpengalaman dan orang tua yang sudah kenyang asam dan
garam. Kalau anak muda, matanya pencilakan, belum melihat apa-
Rendra: Panembahan Reso 236
apa. Kalau orang tua yang matang, dengan sekali melirik, ia sudah
melihat semuanya”.
RESO: “Hamba kagum, Yang Mulia. --- Lalu, kapan para panji
itu akan selesai diperiksa?”
RAJA TUA: “Lha, itu makan waktu. Biasa kan, sebab Aryo
Bungsu masih muda, ia memerlukan lebih banyak waktu untuk
bekerja. --- Dan lagi, kenapa tergesa-gesa? Biar mereka istirahat
dulu di ibukota. --- Kamu mengerti, bukan?”
RESO: “Tentu, Yang Mulia. Sebetulnya, ini langkah yang
bijaksana. Saat ini negara sedang gawat. Orang yang setia itu lebih
terjaga dan aman di ibu kota”.
RAJA TUA: “Tepat! Tepat! Jadi, mereka itu sebetulnya tidak
ditahan, tetapi dijaga demi keamanan mereka sendiri. --- Nah,
nanti kalau kepala Panji Tumbal sudah dipenggal dan di Kadipaten
yang lain terbukti tidak ada keterlibatan apa-apa, mereka boleh
pulang, menjalankan tugas mereka seperti biasa. Sementara itu,
aku sudah memerintahkan agar besok pagi Aryo Lembu, Aryo
Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu berangkat, untuk
memeriksa dan mengamankan Kadipaten dengan membawa
pasukan mereka masing-masing. --- Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Keadaan para panji baik-baik saja, bukan?”
Rendra: Panembahan Reso 237
***
Rendra: Panembahan Reso 240
***
***
***
***
RESO: “Hm”.
NYI RESO: “Apakah Kakanda menganggap wajar semua
pertanyaan dan omongan saya?”
RESO: “Memang, agak kacau isi pikiran kalimat-kalimatmu”.
NYI RESO: “Apakah Kakanda tidak akan bertanya apakah saya
lagi cemburu?”
RESO: “Hm. Apakah kamu lagi cemburu”.
NYI RESO: “Duh Gusti, begitu tidak acuhnya Kakanda bertanya.
Saya kira Kakanda tidak peduli, apakah saya dalam keadaan
cemburu atau tidak. Kakanda laju saja terus dengan urusan
Kakanda! Apakah ucapan saya ini akan Kakanda tanggapi lagi
dengan ‘hm’?”
RESO: “Barangkali kamu lagi mules. Salah makan, barangkali?”
NYI RESO: “Bagaimana bisa salah makan, kalau seharian saya
tidak bisa makan?”
RESO: “Kalau begitu, itu hawa orang lapar”.
NYI RESO: “Duh Gusti! Saya kacau, saya putus asa, saya
bertingkah jelek karena saya butuh perhatian”.
RESO: “Hm. --- Nyi Mas! Kemari kamu!”
NYI RESO: “Saya ingin dekat dengan Kakanda”. (mendekat ke
suaminya)
Rendra: Panembahan Reso 253
***
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Saya melawan pencalonan Pangeran Bindi
menjadi putra mahkota kalau hal itu terjadi”.
RESO: “Belum tentu terjadi, tetapi bisa terjadi. Pangeran Bindi
memang ingin menjadi raja”.
RATU DARA: “Kenapa para panji lebih menyukai Pangeran
Rebo untuk naik tahta?”
RESO: “Meskipun Pangeran Rebo kelihatan ragu dan kurang
mencerminkan tekad yang kuat. Tetapi, beliau tidak
membayangkan bahaya bagi rakyat dan negara. Dan lagi, di
belakang beliau ada Anda dan para panji”.
RATU DARA: “Kenapa para panji tidak bergabung saja dengan
Panji Tumbal?”
RESO: “Semula memang begitu niat mereka. Tetapi, Anda
mencegah. Dan, juga, saya ikut mencegah mereka. Saya tidak
setuju dengan pemberontakan dari daerah. Itu memecah-belah
keutuhan negara”.
RATU DARA: “Jadi, lebih tepat pemberontakan dari istana”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Setelah lebih dulu menyiapkan kekuatan dan
memastikan dengan cermat adanya jalan menuju tahta”.
RESO: “Betul”.
RATU DARA: “Kita berdua ada miripnya”.
Rendra: Panembahan Reso 261
RESO: “Itulah firasat yang saya dapatkan sejak tadi pertama kita
berjumpa”.
RATU DARA: “Ini bukan pertama kalinya kita berjumpa”.
RESO: “Tetapi, tadi serasa untuk pertama kali”.
RATU DARA: “Aneh”.
RESO: “Mungkin juga, saya dipengaruhi mimpi”.
RATU DARA: “Mimpi?”
RESO: “Saya kemarin mimpi melihat Anda menjadi kembar
lima”.
RATU DARA: “Terus?”
RESO: “Anda mandi di telaga”.
RATU DARA: “Anda melihat saya mandi?”
RESO: “Cuma dalam mimpi. --- Mimpi itu kiriman alam. Tak ada
manusia yang bisa merancang mimpinya”.
RATU DARA: “Saya tidak merasa mendapat firasat buruk. ---
Saya merasa baru mereguk arak yang lembut dan berbau bunga
tanjung. --- Roh dan badan saya bersih dan segar. Saya merasa
aman. Terbebas dari segala beban”.
RESO: “Saya akan selalu melindungi Sri Ratu. Rakyat dan para
panji menaruh hormat kepada Ratu Dara yang terkenal berani
bebas bicara kepada raja”.
RATU DARA: “Para panji tidak dendam kepada saya karena
tertahan di ibu kota?”
Rendra: Panembahan Reso 262
RESO: “Kapan saja, bila ada pesan dari Anda. --- Salam,
Pangeran”.
REBO: “Salam”.
RESO: “Salam, Sri Ratu”.
RATU DARA: “Salam! --- Nanti malam aku kirimkan pesan”.
***
***
RAJA TUA: “Bagus. Aku suka ini. Ternyata para panji masih
tertib dan rapi. Kamu semua aku bebaskan”.
“Panji Reso!”
RESO: “Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aturlah supaya para panji dan adipati kembali ke
Kadipaten mereka masing-masing”.
RESO: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aryo Bungsu!”
BUNGSU: “Yang Mulia!”
RAJA TUA: “Beri hadiah semua panji. Masing-masing dua ekor
kuda, emas 100 tail, satu ekor ayam jago aduan, dua ekor merak,
dan dua ekor perkutut yang sudah terlatih”.
BUNGSU: “Baik, Yang Mulia”.
***
RESO: “Racun?”
ASASIN: “Bisa juga”.
RESO: “Apa senjata andalanmu?”
ASASIN: “Tusuk konde”.
RESO: “Di mana kamu tinggal?”
ASASIN: “Bisa dihubungi melewati Aryo Sekti”.
RESO: “Barangkali aku akan memerlukan bantuanmu”.
ASASIN: “Bisa”.
RESO: “Kalau tugasmu gagal?”
ASASIN: “Jangan dibayar. Saya bekerja tanpa uang muka”.
RESO: “Bagus! Orang tidak akan menyangka perempuan cantik
dan lembut seperti kamu bisa berbahaya. Belum apa-apa kamu
sudah menang satu-dua langkah. Sekarang aku pergi dulu. Aryo
Sekti, pamit. Besok pagi kita berjumpa di istana. Selamat sore”.
SEKTI: “Selamat sore”.
***
22. ADA LAGI YANG TAK TERDUGA
Di kamar tidur Ratu Dara, di dalam kaputren, di istana. --- Ratu
Dara duduk di tempat tidur yang memakai undakan. Aryo Reso
masuk.
RATU DARA: “Ah! Aryo Reso!”
RESO: “Inang Anda menyuruh saya masuk ke sini”.
Rendra: Panembahan Reso 279
***
dekat aku kepada tahta. Bukankah itu cita-citaku? --- Oh! Apakah
cita-citaku harus terwujud dengan berlumur dosa? Tahta yang
terapung di danau darah! Apakah aku ada nyali untuk meraihnya?
--- Oh! Duh Gusti Jagat Dewa Batara!” (Berlutut dan akhirnya
rebah ke tanah).
***
***
ASASIN: “Tahu. Besok pagi akan saya titipkan Sri Ratu Dara. ---
Mohon diri, Aryo Reso”.
RESO: “Ya! Selamat! --- Aku diracun orang! Dunia memang
mengajar aku untuk kejam. --- Ataukah aku sudah terlanjur masuk
ke alam kekejaman? Setan atau hantu, aku tandingi kamu!”
***
RESO: “Tiga hari perjalanan ke sana, dan tiga hari lagi ke mari.
Ditambah satu hari istirahat di hutan setelah mereka bertempur,
sambil meramu obat untuk mengawetkan kepala-kepala yang
mereka penggal”.
RAJA TUA: “Ya!” (minum lagi) “Kepala-kepala pengkhianat itu!
Aku ingat bagaimana dulu aku melakukan perjalanan untuk
menyatukan negara. Ada saja pihak yang menginginkan
pemisahan. Jadi, sebentar-sebentar aku harus berperang. Sampai
akhirnya, kini, negara kuat dan satu”.
RESO: “Sekarang sudah tidak ada lagi yang menginginkan
pemisahan. --- Kecuali si tumbal yang cupat pikiran itu”.
RAJA TUA: “Karena itu, kita harus keras dan tegas terhadap
pikiran yang neko-neko. Bukannya aku kejam kepada rakyat,
tetapi aku belajar dari pengalaman”.
(minum lagi) “Oh, aku sangat mencintai rakyat! Aku suka
menikmati alam desa, makan jagung, dan gaplek bersama mereka.
--- Oh, aku tak akan lupa bahwa ketika aku luka-luka sehabis
pertempuran, aku dirawat oleh orang desa. Aku merasa berhutang
budi kepada rakyat. Dan, kini, aku membalas dengan menciptakan
dunia yang tertib, rapi, aman, dan sejahtera. Paham kamu?”
(minum lagi)
RESO: “Paham, yang Mulia”.
Rendra: Panembahan Reso 291
***
DARA: “Sukar aku bayangkan bahwa dengan mudah hal itu kamu
lakukan! Bukankah rumahnya dijaga?”
ASASIN: “Tidak seberapa, Sri Ratu”.
DARA: “Aku kagum. Sungguh kagum. Kamu cantik, luwes, dan
lengkap sopan-santunmu. --- Dan, bagaimana kamu memastikan
bahwa ia yang meracuni suaminya?”
ASASIN: “Ketika badannya jatuh, keluarlah dari kembennya botol
ini”. (mencium baunya) “Dari baunya hamba bisa mengenal, inilah
racun sari daun beludru. Racun yang bersarang di tubuh Aryo
Reso”. (menyimpan kembali racun itu, dan mengeluarkan botol
yang lain dari kembennya) “Dan, ini pemusnahnya. Sebelum
kemari hamba sempatkan mengambilnya agar lewat Anda bisa
disampaikan kepada Aryo Reso”. (menyampaikan botol pemunah
racun).
DARA: “Apakah kamu punya suami?”
ASASIN: “Tidak, Sri Ratu. Seorang pembunuh lebih baik tidak
berkeluarga”.
DARA: “Tetapi, tentu banyak lelaki yang berminat kepada kamu”.
ASASIN: “Itu kurang hamba perhatikan”.
DARA: “Apa kamu tidak senang lelaki?”
ASASIN: “Senang juga”.
DARA: “Apakah Aryo Reso berminat kepada kamu”.
Rendra: Panembahan Reso 295
***
Rendra: Panembahan Reso 297
***
***
DARA: “Belum”.
RAJA TUA: “Tolong masakkan aku lidah sapi besok pagi”.
DARA: “Baik, Yang Mulia”.
RAJA TUA: “Aku juga kepingin ikan bandeng”.
DARA: “Besok akan saya masakkan”.
***
***
***
***
***
RAJA: “Ah, ya! Aku hampir lupa karena hadiah itu sifatnya
hanya gelar belaka. Namun meskipun itu gelar, sifatnya resmi dan
juga menurun kepada anak-anakmu. --- Kini sebagai raja, aku
mengucapkan firman: Panji Simo, Panji Ombo, Panji Wongso,
Panji Bondo dan Panji Bolo, mulai sekarang aku beri gelar: Aryo
Adipati Simo, Aryo Adipati Ombo, Aryo Adipati Wongso, Aryo
Adipati Bondo, Aryo Adipati Bolo. Inilah Firmanku sebagai Raja”.
RESO: “Ratu Kenari, saya kira bukan begitu maksud Yang Mulia.
Yang dimaksud ialah supaya surat-menyurat itu lebih baik
melewati orang saya”.
RAJA: “Begitu! Memang begitu jalan keluarnya”.
RESO: “Ratu Kenari, melalui siapa biasanya Anda berkirim surat
kepada putra-putra Anda?”
KENARI: “Melalui seorang abdi anak-anakku yang ikut
menemaninya ke medan perang”.
RESO: “Sekarang di mana abdi itu?”
KENARI: “Di medan perang”.
RESO: “Kapan terakhir dia datang?”
KENARI: “Sehari setelah Baginda Raja yang dulu wafat”.
RESO: “Lain kali, kalau ia datang lagi, Anda wajib memberitahu
saya”.
KENARI: “Tentu saja saya akan berlaku begitu. Kalau itu
perintah Sri Baginda”.
RAJA: “Ya! Begitulah perintahku”.
DARA: “Sri Baginda, mungkin perlu diberitahu kepada Ratu
Kenari bahwa ia di sini akan saya temani. Saya dan dia sama-sama
janda. Janda sama janda harus bekerjasama. Ia tak perlu khawatir
karena saya akan membela perkaranya”.
Rendra: Panembahan Reso 325
RAJA: “Nah, kamu dengar itu? --- tunjukkan kalau kamu benar-
benar bisa patuh dan setia. Ikutilah perintah saya, tinggallah di
sini!”
KENARI: “Baik, yang mulia”.
RAJA: “Nah, rupanya tak ada lagi yang aku lupakan, marilah
sekarang kita santap bersama”.
***
SEKTI: “Saya setuju dengan isi semangat dan maksud Aryo Bolo.
--- Aryo Reso, kenapa sampai sejauh ini kita meleset dalam
menilai orang?”
OMBO: “Betul! Terus terang saja memang meleset jauh. Lantas
kenapa jadi begini?”
RESO: “Rupanya, tahta memang bukan tempat duduk
sembarangan. Orang yang duduk di atas tahta itu menjadi pusat
perhatian. Semua sifat baik dan buruknya, semua kelebihan dan
kekurangannya akan lebih kelihatan daripada biasanya, karena
menjadi sasaran dan sorotan berjuta manusia”.
OMBO: “Saya kira memang begitu. Tidak semua orang kuat
mampu menjadi sasaran sorot mata”.
SIMO: “Tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kita harus
menghadapinya dengan gagah. Kita harus punya tekad untuk
memperbaiki keadaan buruk ini. --- Aryo Reso, kami yakin Anda
akan sanggup membina Sri Baginda”.
RESO: “Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi,
kenapa kita tidak percayakan saja kepada Ratu Dara”.
WONGSO: “Pengaruh Ratu Dara sebagai seorang ibu terhadap
Sri Baginda memang besar, tetapi beliau tidak begitu memahami
masalah yang hidup di kadipaten”.
BOLO: “Andalah yang lebih memahami masalah kenegaraan,
yang sesuai dengan cita-cita kami”.
Rendra: Panembahan Reso 328
Ombo pergi.
BOLO: “Aryo Reso dan Aryo Sekti, selamat tinggal. --- Saya
mencium ada masalah gawat. Ini saya ucapkan dengan kegagahan.
Saya tidak hanya memprihatinkan Sri Baginda, tetapi saya kaget
melihat perkembangan diri teman-teman. Cacat-cacat yang dulu
tidak tampak di saat hidup dalam tekanan, kini muncul justru di
saat kita sudah menang. Banyak orang yang kuat menghadapi
tekanan, tetapi berantakan di dalam kemenangan”.
RESO: “Anda meragukan diriku?”
BOLO: ”Saya mendapat firasat bahwa kita harus sama-sama
waspada. Apakah Anda tersinggung oleh ucapan saya?”
RESO: “Tidak! Anda telah merumuskan pikiran Anda dengan
baik. Aku memahami”.
BOLO: “Terima kasih. Kita sama-sama berdoa!”
RESO: “Tepat!”
SEKTI: “Saya sangat terkesan pada ucapan Aryo Bolo. Wataknya
baik”.
RESO: “Ya! Ia orang baik”.
SEKTI: “Sungguh berat tanggung jawab Anda”.
RESO: “Hm”.
SEKTI: “Apakah Anda merasa kesepian sesudah hidup sendirian
sebagai duda selama beberapa hari ini?”
RESO: “Tidak”.
Rendra: Panembahan Reso 331
***
Raja masuk.
Raja: “Ibu! --- Oh, Aryo Reso!”
RESO: “Salam, Sri Baginda!”
RAJA: “Salam. --- Ibu memanggil saya?”
DARA: “Betul, Yang Mulia. Duduk!”
RAJA: “Ada apa Ibu?”
DARA: “Saya ingin berbicara mengenai masalah kerajaan”.
RAJA: “Tetapi, lebih dulu aku akan menyatakan……
bahwa ……… hatiku terguncang-guncang”.
Rendra: Panembahan Reso 335
RESO: “Katakan ‘ya’, Yang Mulia. Sebab, kalau tidak, lebih baik
hamba meletakkan jabatan dan pergi bertani”.
DARA: “Ke mana Anda pergi akan saya ikuti”.
RAJA: “Oh, jadi aku dipojokkan! --- Baiklah, kalau memang
demi kerajaan Kalian aku kawinkan”.
RESO: “Terima kasih, yang Mulia!”
DARA: “Untuk selanjutnya, kita bertiga akan merupakan
persekutuan yang kuat yang memimpin kerajaan”.
RAJA: “Ternyata, menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan.
Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba-tiba. Dan,
membawaku ke alam yang ganjil yang aku tidak mengerti sama
sekali. --- Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang
terperanjat”.
***
menjadi raja yang menguasai kerajaan yang luas dan besar ini.
Sebab, aku dibantu sepenuhnya oleh Aryo Reso, pahlawan besar
kerajaan, yang kini menjadi ayahku. Kini, tahta raja akan lebih
teguh dan sentosa. --- Sebagai penasihat dan pemangku raja, Aryo
Reso tidak lagi bernama Aryo Reso. Aku, kini, menganugerahinya
gelar yang sesuai dengan kedudukannya sebagai ayahku. Sekarang,
nama dan gelarnya adalah Panembahan Reso. --- Sedang untuk
diriku sendiri, kini aku juga mengambil keputusan yang baru.
Sejak kini, namaku bukan lagi Mahesa Kapuranta, tetapi aku ganti
menjadi Maharaja Gajah Jenar. --- Sudah saatnya, aku menyadari
dengan tegas bahwa aku raja satu-satunya di wilayah kerajaan
yang luas ini. Adanya kekuasaan tandingan tidak aku izinkan. ---
Oleh karena itu, aku mendesak perlu segera adanya tanggapan
yang tegas dari Panji Tumbal, Pangeran Bindi, dan Pangeran
Kembar terhadap tahtaku. Kalau mereka mengakui kewibawaan
tahtaku, maka harus segera datang menghadap kemari dan
menyatakan pengakuannya. Sedangkan, kalau mereka melawan
tahta, kepala mereka akan dipenggal. Tugas untuk menyampaikan
firmanku ini aku serahkan kepada Panembahan Reso yang akan
menunjuk para utusan”.
RESO: “Baik. Hamba sanggup, Yang Mulia”.
KENARI: “Yang Mulia, hamba akan berkirim surat kepada putra
kembar hamba dengan melewati utusan Panembahan Reso, sesuai
Rendra: Panembahan Reso 338
***
Rakyat tak pernah punya hak bicara! ---Astaga! Kita semua telah
bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi
untuk kedaulatan tahta semata!”
***
***
Rendra: Panembahan Reso 352
akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk yang kita harus
berani menanggung atau mensyukuri”.
SEKTI: “Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya
hubungan asmara dengan Ratu Dara! --- Lalu, istri Anda
wafat………”.
RESO: “Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya”.
SEKTI: “Dan, lalu, kita bersama-sama merencanakan
pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! ---
Tetapi, siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun
oleh istri Anda”.
RESO: “Memang. Asasin yang mengungkapkan rahasia ini! ---
Istriku, karena ketakutan menentang cita-citaku untuk menjadi
raja”.
SEKTI: “Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada
istri?”
RESO: “Itulah kelemahanku! --- Semakin ketakutan, tingkah-laku
istriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia cita-citaku.
Lalu aku bunuh dia”.
SEKTI: “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah
sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota”.
RESO: “Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata
bersimbah darah dan berlumur noda”.
Rendra: Panembahan Reso 356
RESO: “Terima kasih. --- Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan
hanya antara kita berdua”.
SEKTI: “Baik. --- Saya akan menemani Anda di dalam kesepian
Anda”.
RESO: “Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja Gajah
Jenar!”
SEKTI: “Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu”.
RESO: “Tunggu saja aba-aba dari aku”.
SEKTI: “Siap, Panembahan”.
***
***
Mereka bertukar salam, dan keempat Aryo itu pun pergi. Tinggal
Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Aryo Sekti.
DARA: “Tidak akan aku bisa memaafkan Si Rebo yang telah
memberi rasa malu seberat ini. Ah! Kandunganku terasa berkerut-
kerut dengan penuh penyesalan”.
RESO: “Istriku, tenangkan dulu pikiranmu”.
DARA: “Bagaimana bisa tenang?! Ia tidak hanya menjijikkan,
tetapi juga menjadi berbahaya untuk kita. Apa yang kita bina bisa
Rendra: Panembahan Reso 369
***
Masuk Aryo Bolo, Aryo Bondo, Aryo Ombo, dan Aryo Wongso.
Mereka saling bertukar salam dengan yang sudah hadir lebih
dahulu.
BOLO: “Di manakah Sri Baginda?”
RESO: “Sebentar lagi akan muncul. Kami semua menunggu.
Kami sudah menerima laporan dari Aryo Simo, dan kami
memahaminya”.
BOLO: “Anda tidak akan bertindak tanpa persetujuan Sri
Baginda?”
RESO: “Tentu saja”.
BOLO: “Tetapi, dari jauh saya sudah bisa membaca. Anda orang
yang tangkas bertindak dan cepat bisa menilai keadaan. Bahwa,
dalam hal ini ada terjadi kelambanan. Itu pasti terjadi karena sikap
Sri Baginda. Sikap apakah itu?”
RESO: “Ada yang Baginda pertimbangkan”.
Rendra: Panembahan Reso 375
Anda lebih cepat dari aku. Aku tadi lamban karena didorong
perasaan jijik dan ngeri, begitu menyadari bahwa istriku ternyata
tega mengkhianati raja yang juga putranya. --- Pengawal!
Singkirkan jenazah ini. Uruslah baik-baik bersama jenazah raja.
Ada urusan negara yang lebih utama untuk kami bereskan di sini”.
PENGAWAL: “Baik, Yang Mulia!”
Jenazah disingkirkan.
BOLO: “Saya kagum pada kekuatan Anda untuk menerima ujian
batin yang berat ini. Tidak perlu memberikan kata-kata hiburan
dan peringatan. Karena, Anda sudah bisa menguasai diri dan
menyadari adanya tugas kita bersama yang mendesak di depan
mata, ialah: tugas membela negara!”
LEMBU: “Seperti Anda, saya pun telah mengalami puluhan
pertempuran. Kita telah puluhan kali menyaksikan sahabat karib,
atau bahkan saudara, gugur di dekat kita, dan kita tetap bisa
menguasai diri. Oleh karena itu, meskipun kelihatan kejam, saya
tega untuk meminta kepada Anda, marilah kita terus bekerja
sekarang juga. Pimpinlah kami agar bisa bertindak hari ini juga
membela negara yang sedang dilanda bencana”.
SIMO: “Panembahan, saya juga memohon. Di Watu Songo, saat
ini juga, terjadi banyak bencana yang sama besarnya dengan
bencana yang menimpa hidup pribadi Anda”.
Rendra: Panembahan Reso 379
Tamat
Depok-Bandung
10 Juli 1986
Rendra: Panembahan Reso 388