Anda di halaman 1dari 26

Pemerintahan Dan Pengakuan Dari Negara Lain

( Khusus NKRI )

Dosen Pengampuh : Frans Aditia Wiguna M.Pd

Nama : Ragil Putro Prasongko

Nim : 01.2.19.00701

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RS. BAPTIS KEDIRI

ILMU KEPERAWATAN STRATA 1

SEPTEMBER 2020/2021

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami naikan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
anugerahNya sehingga makalah dengan judul “Urgensi Identitas Nasional & Unsur Pembentuk
Identitas Nasional” ini dapat terselesaikan dengan baik adanya. Tak lupa juga kami ucapkan
terima kasih kepada Frans Aditia Wiguna, S.Pd., M.Pd selaku dosen pembimbing kami sehingga
makalah ini dapat dibuat.

Kami memohon maaf kepada setiap pembaca makalah ini, karena kami merasa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, pembaca sekalian diharapkan dapat
memberikan kritik dan saran kepada kami supaya makalah ini dapat diperbaiki dan menjadi
makalah yang dapat dipercaya sehingga setiap pembaca mendapat banyak pembelajaran dari
makalah ini.

Penulis

Kediri, 25 September 2020

2
Daftar Isi

Cover...........................................................................................................................................1

Kata Pengantar............................................................................................................................2

Daftar Isi.....................................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan
Penulisan………………………………………………………………………………..4
D. Manfaat Penulisan...........................................................................................................5

Bab II Pembahasan

A. Pemerintahan dan Pengakuan Negara Lain………………………................................6


B. Pentingnya Pemerintahan dan Pengakuan Negara Lain................................................21

Bab III Penutup

A. Kesimpulan...................................................................................................................25
B. Saran..............................................................................................................................25

Daftar Pustaka...........................................................................................................................26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara-negara yang termasuk kedalam massyarakat internasional selalu tidak


tetap dan berubah-ubah, perjalanan sejarah yang panjang membuahkan banyak perubahan
tersebut. Negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan dengan negara lain unutk
kemudian membentuk sebuah Negara baru, atau terpecah menjadi beberapa Negara baru,
atau wilayah-wilayah koloni atau wilayah-wilayah jajahan melalui proses emansipasi
memperoleh status Negara.
Perubahan-perubahan seperti ini telah meyebabkan persoalan-persoalan bagi
massyarakat internasional salah satu dari persoalan tersebut adalah pengakuan
(recognition) terhadap Negara baru atau pemerintah baru atau hal-hal yang berkaitan
dengan perubahan status lainya.
Masalah pengakuan lama-kelamaan mau tidak mau harus dihadapi oleh beberapa
Negara terutama apabila hubungan diplomatik dengan Negara-negara atau pemerintah-
pemerintah yang diakui itu dianggap perlu untuk dipertahankan. Oleh karna itu dalam
penulian makalah ini, penulis berupaya untuk mengupas fakta dan permasalahan yang
terjadi yang berkaitan erat dengan pengakuan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pemerintahan dan pengakuan dari negara lain ?
2. Mengapa pemerintahan dan pengakuan dari negara lain itu penting ?
3. Bagaimana pemerintahan dan pengakuan dari negara lain?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pemerintahan dan pengakuan dari negara lain.
2. Mengetahui pentingnya pemerintahan dan pengakuan dari negara lain.

4
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang pemerintahan dan pengakuan dari


negara lain.

2. Bagi pembaca

Menambah pengetahuan tentang pemerintahan dan pengakuan dari negara lain.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemerintahan dan Pengakuan Negara Lain


1. Pemerintahan

Indonesia adalah negara berbentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi


daerah yang luas. Negara kesatuan adalah bentuk negara berdaulat yang
diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal. Negara kesatuan menempatkan
pemerintah pusat sebagai otoritas tertinggi sedangkan wilayah-wilayah administratif
di bawahnya hanya menjalankan kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat untuk
didelegasikan.  Wilayah administratif di dalam negara Indonesia saat ini terbagi
menjadi 34 provinsi.

Bentuk pemerintahan negara Indonesia adalah republik konstitusional, sedangkan


sistem pemerintahan negara Indonesia adalah sistem presidensial. Bentuk
pemerintahan republik merupakan pemerintahan yang mandat kekuasaannya berasal
dari rakyat, melalui mekanisme pemilihian umum dan biasanya dipimpin oleh
seorang presiden.

Sistem presidensial adalah sistem negara yang dipimpin oleh presiden. Presiden
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden dalam
menjalankan pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri. Presiden berhak
mengangkat dan memberhentikan para menteri. Para menteri atau biasa disebut
sebagai kabinet bertanggung jawab terhadap presiden.Presiden dalam menjalankan
pemerintahannya diawasi oleh parlemen.

Pemerintah Indonesia memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Pada


pengertian lebih luas, dapat merujuk secara kolektif pada tiga cabang kekuasaan
pemerintah yakni cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain itu juga diartikan
sebagai Eksekutif dan Legislatif secara bersama-sama, karena kedua cabang
kekuasaan inilah yang bertanggung jawab atas tata kelola bangsa dan pembuatan

6
undang-undang. Sedangkan pada pengertian lebih sempit, digunakan hanya merujuk
pada cabang eksekutif berupa Kabinet Pemerintahan karena ini adalah bagian dari
pemerintah yang bertanggung jawab atas tata kelola pemerintahan sehari-hari.

Sejak sebelum kemerdekaan, sebagian besar para pemimpin bangsa Indonesia


mengidealkan sistem pemerintahan presidensil. Hal itu tercermin dalam perumusan
UUD 1945 yang menentukan bahwa kekuasaan pemerintahan menurut undang-
undang dasar dipegang oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 4 ayat 1 dan 2 jo Pasal 7 UUD 1945). Tidak
seperti dalam sistem pemerintahan parlementer, Presiden ditegaskan dalam Pasal 7C
UUD 1945, yang mana tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat. Bahkan ditegaskan pula bahwa dalam menjalankan tugas dan
kewajiban konstitusionalnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dan bertanggungjawab hanya kepada Presiden (Pasal 17
ayat 1 dan 2 UUD 1945). Dalam sistem pemerintahan yang diidealkan, tidak dikenal
adanya ide mengenai jabatan Perdana Menteri ataupun Menteri Utama dalam
pemerintahan Indonesia merdeka berdasarkan undang-undang dasar yang dirancang
oleh BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan
kemudian disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada
tanggal 18 Agustus 1945.

Namun demikian, dalam praktik sesudah kemerdekaan pada tanggal 14 November


1945, yaitu hanya dalam waktu 3 bulan kurang dari 4 hari sejak pengesahan naskah
UUD 1945 atau hanya dalam waktu 3 bulan kurang dari 5 hari sejak proklamasi
kemerdekaan, Presiden Soekarno telah membentuk jabatan Perdana Menteri dengan
mengangkat Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama dalam sejarah Indonesia
merdeka. Sejak itu, sistem pemerintahan Republik Indonesia dengan diselingi oleh
sejarah bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, selalu menerapkan
sistem pemerintahan parlementer atau setidaknya sistem pemerintahan campuran
sampai terbentuknya pemerintahan Orde Baru. Sebagian terbesar administrasi
pemerintahan yang dibentuk bersifat ‘dual executive’, yaitu terdiri atas kepala negara

7
yang dipegang oleh Presiden dan kepala pemerintahan yang dipegang oleh Perdana
Menteri atau yang disebut dengan istilah Menteri Utama ataupun dengan dirangkap
oleh Presiden atau oleh Wakil Presiden.

Dalam suasana praktik sistem parlementer itulah pada awal tahun 1946,
Penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Soepomo dan diumumkan melalui Berita
Repoeblik pada bulan Februari 1946 memuat uraian tentang kedudukan kepala negara
dan kepala pemerintahan yang kemudian disalah-pahami seakan dua jabatan yang
dapat dibedakan satu sama lain sampai sekarang. Karena itu, sampai sekarang masih
banyak sarjana yang beranggapan bahwa jabatan Sekretaris Negara adalah jabatan
sekretaris Presiden sebagai kepala negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah
sekretaris Presiden sebagai kepala pemerintahan. Akibatnya muncul tafsir yang salah
kaprah bahwa seakan-akan semua rancangan keputusan Presiden sebagai kepala
negara harus dipersiapkan oleh Sekretariat Negara sedangkan rancangan keputusan
Presiden sebagai kepala pemerintahan dipersiapkan oleh Sekretariat Kabinet. Padahal,
dalam sistem pemerintahan presidential yang bersifat murni, yang ada adalah sistem
‘single executive’, di mana fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan
terintegrasi, tidak dapat dipisah-pisahkan dan bahkan tidak dapat dibedakan satu
dengan yang lain. Dalam sistem presidential murni, keduanya menyatu dalam
kedudukan Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya tidak perlu dibedakan, apalagi
dipisah-pisahkan.

Namun demikian, sistem pemerintahan presidential yang dianut oleh UUD 1945
itu sendiri sebelum reformasi, sebenarnya tidak bersifat murni. Salah satu prinsip
penting dalam sistem presidential adalah bahwa tanggung jawab puncak kekuasaan
pemerintahan negara berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan bertanggung
jawab kepada parlemen. Misalnya, dalam sistem presidential Amerika Serikat,
Presiden hanya bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya melalui
mekanisme pemilihan umum dan melalui kewajiban menjalankan tugas-tugas
pemerintahan secara transparan dan akuntabel. Presiden Indonesia menurut UUD
1945 sebelum reformasi, harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan
memberhentikannya menurut undang-undang dasar. Presiden menurut UUD 1945
8
sebelum reformasi adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban kepada MPR
ini justru memperlihatkan adanya unsur parlementer dalam sistem pemerintahan
presidential yang dianut. Karena dapat dikatakan bahwa sistem presidentil yang
dianut bersifat tidak murni, bersifat campuran, atau ‘quasi-presidentil’.

Inilah yang menjadi satu alasan mengapa UUD 1945 kemudian diubah pada
masa reformasi. Karena itu, salah satu butir kesepakatan pokok yang dijadikan
pegangan dalam membahas agenda perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999
adalah bahwa perubahan undang-undang dasar dimaksudkan untuk memperkuat
sistem pemerintahan presidential. Dengan perkataan lain, istilah memurnikan sistem
presidential atau purifikasi sistem pemerintahan presidential sebagai salah satu ide
yang terkandung dalam keseluruhan pasal-pasal yang diubah atau ditambahkan dalam
rangka Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga
(2001) dan Perubahan Keempat (2002) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Sesudah reformasi, Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh UUD 1945
harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR untuk memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden dibatasi hanya sebagai pengecualian, yaitu apabila terdapat
lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil presiden. Pengucapan sumpah
jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden memang dapat dilakukan di depan sidang
paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali tidak melantik Presiden
atau Wakil Presiden sebagai bawahan. MPR hanya mengadakan persidangan untuk
mempersilakan Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji
jabatannya sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden
tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR seperti
masa sebelum reformasi, dimana oleh Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa
Presiden harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Presiden adalah
mandataris MPR yang mandate kekuasaannya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali
oleh MPR. Sedangkan dalam sistem yang baru, Presiden hanya dapat diberhentikan
oleh MPR melalui proses ‘impeachment’ yang melibatkan proses hukum melalui
peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
9
Sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan
karenanya tunduk dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya.
Inilah ciri penting upaya pemurnian dan penguatan yang dilakukan terhadap sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Namun demikian,
dalam praktik pada masa reformasi dewasa ini, sering timbul anggapan umum bahwa
sistem presidential yang dianut dewasa ini masih beraroma parlementer. Bahkan ada
juga orang yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang sekarang kita anut
justru semakin memperlihatkan gejala sistem parlementer. Jika pada masa Orde Baru,
pusat kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Presiden, maka sekarang pusat
kekuasaan itu dianggap telah beralih ke DPR. Sebagai akibat pendulum perubahan
dari sistem yang sebelumnya memperlihatkan gejala “executive heavy”, sekarang
sebaliknya timbul gejala “legislative heavy” dalam setiap urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan fungsi parlemen.

a. Legislatif

1) Majelis Permusyawaratan Rakyat


Keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi
negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan
tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang dianut saat ini tidak
dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga
kamar (trikameralisme), perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka
struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal
sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara
struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang
mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari
unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip
perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional
representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural
tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan

10
fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang
memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu
kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar.

2) Dewan Perwakilan Rakyat


Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahan keempat, fungsi
legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat
dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-
Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-
Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat
4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak
rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang
tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.

3) Dewan Perwakilan Daerah


Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan UUD 1945
pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain
sebagai kamar kedua parlemen Indonesia pada masa depan. Akan tetapi, salah
satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua kamar yang
dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya.
Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan
apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul,
ataupun saran. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD.
Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai
bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa jika
kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat
bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama
11
kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD
1945 pasca perubahan keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak
dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya sama
kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’
sekalipun.

DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan


UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu
(ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU
APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan
atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya
memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR. Sehingga
DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena
kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.

b. Eksekutif

Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar


1945 sering dikatakan menganut sistem presidensil. Akan tetapi, sifatnya tidak
murni karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer.
Percampuran itu antara lain tercermin dalam konsep
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang termasuk ke dalam
pengertian lembaga parlemen dengan kemungkinan pemberian kewenangan
kepadanya untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya, meskipun bukan
karena alasan hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan,
terutama dikaitkan dengan pengalaman ketatanegaraan ketika Presiden
Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan
itu adalah munculnya keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan
Republik Indonesia yang bersifat Presidensil dipertegas dalam kerangka
perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Selain alasan yang bersifat kasuistis itu, dalam perkembangan praktik


ketatanegaraan Indonesia selama ini memang selalu dirasakan adanya
kelemahan-kelemahan dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan

12
Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata
para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam
konotasi negatif, karena dianggap banyak mengandung distorsi apabila
dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya
mekanisme hubungan checks and balances yang lebih efektif di antara
lembaga-lembaga negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan
pertama UUD 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan
Presiden langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional
terhadap kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem
pemerintahan Indonesia semakin tegas sebagai sistem pemerintahan
Presidensil.

c. Yudikatif

Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi


yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak
pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan
prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak
boleh diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya,
terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni yang berlaku saat ini adalah
UU Nomor 48 tahun 2009, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD
1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi
oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD
1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu
jenis mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung. Lembaga baru
tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajat dengan
Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional
court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar
kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Indonesia merupakan negara
ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan
Jerman pada tahun 1948.
13
Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi
ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas
konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang
Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu
dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d)
memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan
(e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik

Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas,


dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan
yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang
berasal dari 3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang
yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh
Presiden. Seseorang yang berminat untuk menjadi hakim konstitusi,
dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi dan kualitas
anggotanya yang demikian. Diharapkan bahwa Mahkamah Konstitusi itu
kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari
kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut.

d. Inspektif

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga berkaitan dengan fungsi pengawasan


khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan Negara. Karena itu,
kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan ini sesungguhnya
berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang kurangnya

14
berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan atau
disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.

Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, Pemerintah Indonesia


merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya seperti:
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional
secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis,
konservasi dan standardisasi nasional.

2. Pengakuan Negara Lain

Pentingnya Pengakuan Suatu Negara dari Negara Lain Diadakannya pengakuan


oleh negara lain terhadap negara baru bertujuan untuk mengawali dilaksanakannya
hubungan secara formal antara negara yang mengakui dengan negara yang diakui.
Dipandang dari sudut hukum internasional, pengakuan negara lain sangat penting
bagi negara baru karena pengakuan negara lain dapat menimbulkan akibat–akibat
hukum yaitu : Negara baru dapat diterima secara penuh sebagai anggota dalam
pergaulan antar bangsa. 2. Negara baru dapat melakukuan hubungan internasional
atau dapat melaksanakan hubungan kerjasama dengan negara lain. 3. Negara baru
dapat dikatakan sebagai Internasional Person (Pribadi internasional) atau sebagai
subyek hukum internasional. Menurut Moore, suatu negara tanpa pengakuan
bukanlah berarti negara itu tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya,
melainkan peranan pengakuan negara lain mengakibatkan negara yang diakui dapat
menggunakan atribut negara yang bersangkuatan.

15
Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah
mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemam-
puannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat
internasional.

Pengakuan negara ini mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintah negara


yang diakui dan berisikan kesediaan negara yang mengakui untuk mengadakan
hubungan dengan pemerintah yang baru itu.

Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali,
sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintah dapat dicabut sewaktu-waktu. Bila
suatu pengakuan ditolak atau dicabut setelah terbentuknya suatu pemerintah baru,
maka negara yang menolak atau mencabut pengakuan tersebut tidak lagi mempunyai
hubungan resmi dengan negara tersebut. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut,
maka personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu
pemerintah tidak mempengaruhi personalitas internasional suatu negara.

Mengenai pengakuan de jure yang mungkin diberikan kepada pemerintah pelarian


(government in exile), hal seperti ini hanya terjadi dalam keadaan perang, yaitu
apabila suatu negara diduduki oleh suatu kekuasaan asing dan beberapa pemimpin
dari negara  tersebut melarikan diri keluar wilayahnya. Di luar negeri mereka
membentuk suatu pemerintah pelarian, seperti contoh pemerintah Belanda yang
dibentuk di London ketika Nederland diduduki oleh Nazi Jerman selama Perang
Dunia ke II.
Pengakuan de jure seperti ini biasanya diberikan oleh negara lain yang juga sedang
berperang dengan negara yang menduduki wilayah negara yang bersangkutan.

Pengakuan negara menandakan keputusan dari sebuah negara berdaulat untuk


memberlakukan kesatuan lain juga menjadi sebuah negara berdaulat. Pengakuan
dapat berupa dinyatakan atau tersirat dan biasanya berlaku surut dalam dampaknya.
Itu tidak selalu menandakan keinginan untuk membangun atau mempertahankan
hubungan diplomatik. Tidak ada definisi yang mengikat semua anggota masyarakat
bangsa-bangsa pada kriteria kenegaraan. Dalam praktik yang sebenarnya, kriterianya

16
terutama politik, bukan hukum. L. C. Green mengutip pengakuan
negara Polandia dan Cekoslowakia yang belum lahir dalam Perang Dunia I dan
menjelaskan bahwa "sejak pengakuan kenegaraan adalah masalah kebijaksanaan, itu
terbuka untuk semua negara yang ada untuk menerima sebagai sebuah negara dengan
setiap entitas itu berupa keinginan, terlepas dari keberadaan wilayah atau dari yang
ditetapkan pemerintah." Namun, dalam hukum internasional ada beberapa teori
ketika sebuah negara harus diakui sebagai negara berdaulat.

1. Teori konstituti

Teori kenegaraan konstitutif mendefinisikan negara sebagai pribadi


hukum internasional jika, dan hanya jika, hal ini diakui sebagai negara
oleh negara-negara lain. Teori pengakuan ini dikembangkan pada abad ke-
14. Di bawah ini, sebuah negara menjadi berdaulat jika negara berdaulat
lain mengakui seperti itu. Karena ini, negara-negara baru tidak bisa segera
menjadi bagian dari masyarakat internasional atau terikat oleh hukum
internasional, dan diakui negara-negara yang tidak menghormati hukum
internasional dalam hubungan mereka dengan mereka. Pada tahun 1815
di Kongres Wina, Tindakan Akhir mengakui hanya 39 negara-negara
berdaulat dalam sistem diplomatik Eropa, dan sebagai hasilnya itu tegas
menetapkan bahwa di masa depan negara-negara baru harus diakui oleh
negara-negara lain, dan itu berarti praktik pengakuan dilakukan oleh salah
satu atau lebih dari kekuatan-kekuatan besar.

Salah satu kritik utama dari undang-undang ini adalah kebingungan


yang disebabkan ketika beberapa negara mengakui entitas baru, tetapi
negara-negara lain tidak. Hersch Lauterpacht, salah satu pendukung utama
teori, menyarankan bahwa negara yang mengakuilah yang menjadi negara
yang bertugas untuk memberikan pengakuan sebagai solusi yang
mungkin. Namun, suatu negara dapat menggunakan kriteria ketika menilai
jika mereka harus memberikan pengakuan dan mereka tidak memiliki
kewajiban untuk menggunakan kriteria tersebut. Banyak negara mungkin

17
hanya mengakui negara lain jika hal tersebut adalah untuk keuntungan
mereka.

Pada tahun 1912, L. F. L. Oppenheim mengatakan seperti berikut


untuk berbicara mengenai teori konstitutif:

Hukum Internasional tidak mengatakan bahwa sebuah negara tidak ada


selama negara tersebut tidak diakui, namun negara tersebut tidak
mendapatkan pemberitahuannya sebelum diakui. Hanya dan secara
eksklusif melalui pengakuan saja sebuah negara menjadi seorang Pribadi
Internasional dan sebuah subjek Hukum Internasional.

2. Teori deklaratif

teori kenegaraan deklaratif mendefinisikan negara sebagai pribadi


dalam hukum internasional jika memenuhi kriteria sebagai berikut: 1)
wilayah yang ditetapkan; 2) populasi permanen; 3) pemerintah, dan 4)
kemampuan untuk masuk ke dalam hubungan dengan negara-negara lain.
Menurut teori deklaratif, suatu entitas kenegaraan adalah lepas dari
pengakuan oleh negara-negara lain. Model deklaratif yang paling terkenal
dinyatakan dalam tahun 1933 pada Konvensi Montevideo.

Pasal 3 dari Konvensi Montevideo menyatakan bahwa politik


kenegaraan lepas dari pengakuan oleh negara-negara lain, dan negara tidak
dilarang untuk membela dirinya sendiri. Sebaliknya, pengakuan ini
dianggap sebagai persyaratan untuk kenegaraan oleh teori kenegaraan
konstutif.

Pendapat serupa tentang "kondisi di mana suatu entitas merupakan


negara" diungkapkan oleh Pendapat Komite Arbitrasi Badinter Mayarakat
Ekonomi Eropa yang menngemukakan bahwa penemuan sebuah negara
didefinisikan dengan memiliki wilayah, penduduk, dan kekuasaan politik.

3. Pengakuan negara

Praktik negara yang berkaitan dengan pengakuan dari negara-negara


biasanya jatuh di suatu tempat antara pendekatan deklarator dan

18
konstitutif. Hukum Internasional tidak mengharuskan suatu negara untuk
mengakui negara-negara lain. Pengakuan ini sering dipotong ketika negara
baru dipandang sebagai tidak sah atau telah terjadi pelanggaran terhadap
hukum internasional. Tidak diakuinya oleh hampr seluruh masyarakat
internasional dunia terhadap Rhodesia dan Siprus Utara adalah contoh
yang baik dari ini, mantan Rhodesia hanya telah diakui oleh Afrika
Selatan, dan Siprus Utara hanya diakui oleh Turki. Dalam kasus Rhodesia,
pengakuan itu banyak dipotong ketika minoritas kulit putih merebut
kekuasaan dan berusaha untuk membentuk negara di sepanjang
garis Apartheid Afrika Selatan, sebuah gerakan yang menjelaskan Dewan
Keamanan PBB sebagai penciptaan "rezim minoritas rasis tak sah". Dalam
kasus Siprus Utara, pengakuan itu dipotong dari negara yang dibuat di
Siprus Utara. Hukum Internasional tidak mengandung larangan deklarasi
kemerdekaan dan pengakuan suatu negara adalah masalah politik. Sebagai
hasilnya, Siprus Turki memperoleh "status pengamat" dalam
KECEPATAN, dan wakil-wakil mereka yang terpilih di Majelis Siprus
Utara; dan Siprus Utara menjadi pengamat anggota OKI dan OKSE.

Formosa atau Taiwan juga bersituasi yang sama. Hanya 21 negara di


dunia mengakui Republik Tiongkok (nama resmi dari Formosa). Republik
Rakyat China menyatakan bahwa Formosa adalah bagian darinya.

4. Negara de facto dan de jure

Sebagian besar negara-negara berdaulat adalah negara de jure dan de


facto (yaitu, mereka yang ada baik dalam hukum maupun dalam
kenyataan). Namun, suatu negara dapat diakui hanya sebagai negara de
jure yangdalam hal ini diakui sebagai pemerintah yang sah dari sebuah
wilayah di mana ia tidak memiliki kontrol sebenarnya. Sebagai contoh,
selama Perang Dunia Kedua, pemerintah dalam pengasingan dari sejumlah
negara-negara Eropa kontinental terus menikmati hubungan diplomatik
dengan Sekutu, terlepas bahwa negara mereka berada di bawah
pendudukan Nazi. OPP dan Otoritas Palestina mengklaim bahwa Negara

19
Palestina adalah sebuah negara berdaulat, klaim yang telah diakui oleh
sebagian besar negara, meskipun wilayah yang diklaim tersebut secara de
facto  berada di bawah kendali Israel. Kesatuan lain mungkin memiliki
kontrol de facto atas suatu wilayah tetapi tidak memiliki pengakuan
internasional; ini mungkin dianggap oleh masyarakat internasional untuk
menjadi hanya negara de facto. Mereka dianggap secara de jure negara
hanya sesuai dengan hukum mereka sendiri dan oleh negara-negara yang
mengenali mereka. Misalnya, Somaliland ini umumnya dianggap sebagai
keadaan seperti itu. Untuk daftar kesatuan yang ingin secara universal
diakui sebagai negara berdaulat, tetapi tidak memiliki pengakuan
diplomatik lengkap seluruh dunia, lihat daftar negara dengan pengakuan
terbatas.

Untuk tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan


internasional.Untuk menjamin kelanjutan hubungan internasional dengan jalan
mencagah adanya kekosongan hukum yang dapat merugikan bagi kepentingan
individu maupun hubungan antar bangsa.Pengakuan dari negara lain lebih
menekankan pada permasalahan politik dari pada permasalahan hukum ..Dengan kata
lain, Negara lebih menekankan pada permasalahan politik dari pada hukum ..Misal
nya ,tentang perdagangan dan strategi. Pengakuan terhadap negara baru adalah suatu
tindakan bebas dari negara lain yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu yang
terorganisir secara politik yang tidak terikat pada negara lain, serta mempunyai
kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional, dan
menganggap wilayah yang diakuinya sebagai satu anggota masyarakat internasional

Pengakuan adalah salah satu bagian hukum internasional yang penting


sekaligus tersulit, bukan hanya dari segi asas-asas tetapi dari persoalan yang timbul
dalam praktek. Terdapat sejumlah asas yang digunakan oleh negara-negara sebagai
dasar pengakuan .terhadap suatu negara. Dalam praktek, terdapat dinamika yang
tinggi dalam tumbuh, berkembang, dan lenyapnya negara. Terjadinya revolusi,
misalnya, dapat menimbulkan perubahan dimana pemerintahan baru terbentuk dari

20
negara yang sudah ada. Hal ini membawa konsekuensi bagi negara lain untuk
mengakui atau tidak mengakui keberadaan pemerintahan yang baru tersebut: Dalam
hal mi, dapat dianggap bahwa persoalan pengakuan lebih merupakan persoalan
politik daripada hukum. Misalnya, Negara Palestina sampai saat ini masih belum ada
kepastian. Sebagian besar wilayahnya masih berada dalam pendudukan Israel
sementara sejumlah negara lain (Indonesia, Malaysia) telah mengakui Palestina
sebagai negara yang merdeka sedangkan negara lain (Amerika Serikat, Inggris)
belum mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka.

Contoh Pengakuan Suatu Negara Terhadap Negara Lain :

Pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Hal
ini dikarenakan dipengaruhi oleh berbagai factor, yaitu:

a. Faktor PolitikFaktor politik ini menentukan entitas, dihubungkan dengan


kepentingan nasional.Contoh: Sampai dengan saat ini kepentingan Indonesia
tidak menengahi Indonesia untuk mengakui Israel sebagai negara.

b. Tidak ada ketentuan yang pasti atau tegas dalam hukum internasional yang
mengatur tentang pengakuan. Sehingga masalah “pengakuan” merupakan
kehendak bebas (free act). Negara bebas untuk bertindak, apakah akan
memberikan pengakuan atau tidak, itu merupakan kehendak bebas.

B. Pentingnya pemerintahan dan pengakuan negara Lain

Meskipun istilah "negara" dan "pemerintah" sering digunakan secara bergantian,


hukum internasional membedakan antara negara nonfisik dan pemerintahnya; dan pada
kenyataannya, konsep "pemerintah dalam pengasingan" didasarkan atas perbedaan itu.
Negara adalah kesatuan yuridis nonfisik, dan bukan organisasi apapun. Namun, biasanya,

21
hanya pemerintah suatu negara dapat mewajibkan atau mengikat negara, misalnya
dengan perjanjian.

Setiap tanggal 17 Agustus masyarakat Indonesia larut


dalam euphoria kemerdekaan negara Indonesia. Perayaan kemerdekaan ini diadakan
bertujuan untuk mengingatkan kembali momen-momen perjuangan para leluhur dalam
memperjuangkan bangsa Indonesia untuk merdeka dari jajahan Negara asing. Puncak
dari perjuangan tersebut pun bertepatan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan dibacanya
Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Presiden Soekarno.
Proklamasi tersebut sekaligus menandakan berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai salah satu Negara berdaulat seperti Negara-negara lainnya yang ada di
dunia.

Pengakuan kedaulatan kepada suatu Negara oleh Negara lain menjadi salah satu
syarat berdirinya sebuah Negara. Hal ini masih erat kaitannya dengan tiga poin
sebelumnya yaitu kepemilikan terhadap wilayah, memiliki rakyat dan tentunya
pemerintahan. Adanya pengakuan dari Negara lain berarti tiga komponen di atas sudah
diakui eksistensinya. Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut ini:

1. Diakui Wilayah Kedaulatannya

Pengakuan yang didapatkan Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki


makna yang penting dalam eksistensi Indonesia di dunia. Hal ini berarti
Indonesia diakui sebagai salah satu dari Negara berdaulat di dunia yang
mengikuti system tatanan dunia internasional ketika saat itu. Sama halnya
dengan Negara-negara dunia maju ketika itu yang harus dihormati wilayah
kedaulatannya (seperti tidak boleh dicaplok, diserang, dilanggar batas
wilayahnya). Untuk itu Indonesia layak diperlakukan sebagaimana Negara
berdaulat lain yang harus dihormati eksistensinya. Indonesia memiliki batas
wilayah yang harus dihormati, oleh karena itu segala bentuk pelanggaran
batas wilayah kedaulatan, maka Indonesia berhak membela diri dengan
memberikan perlawanan.

22
Pasca Proklamasi Kemerdekaan oleh Presiden Soekarno perlu diingat
bahwasanya penjajah tidak diam begitu saja dan mencoba mengambil alih
beberapa wilayah Indonesia. Belanda sebagai penjajah Indonesia tidak mau
mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan memutuskan untuk
melakukan agresi ke wilayah kedaulatan Indonesia. Kenyataan ini
mengharuskan Indonesia mempertahankan kedaulatannya melalui perang.
Salah satu Perang pasca kemerdekaan yang sangat dikenang tentunya perang
untuk membebaskan Irian Barat. Perlawanan Indonesia ketika itu adalah
bentuk mempertahankan wilayah kedaulatan dan eksistensinya sebagai
Negara berdaulat. Bahan baca lainnya di sini.

2. Diakui Warga Negaranya

Sebelum merdeka, masyarakat yang tinggal di suatu wilayah dianggap


belum memiliki kewarganegaraan. Hal ini membebaskan Negara-negara
penjajah untuk mengambil rakyat dari Negara tersebut untuk kemudian
digunakan sesuai dengan kepentingannya seperti budak dan tentara. Dalam
prakteknya banyak Negara-negara penjajah ketika itu menggunakan metode
ini untuk meraih keuntungan seperti mengambil masyarakat local untuk
dijadikan budak yang dipekerjakan paksa. Atau dengan menjadikan beberapa
dari mereka tentara untuk membantu ekspansi Negara penjajah dan tentunya
ditempatkan di barisan paling depan agar mati duluan. Kondisi-kondisi
terserbut adalah hal yang umum terjadi ketika jaman penjajahan.

Pengakuan Indonesia sebagai Negara berdaulat secara tidak langsung


mengakui eksistensi Warga Negara Indonesia yang terikat pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (meskipun pada saat itu belum ada e-KTP).
Segala tindakan yang mengancam eksistensi Warga Negara di suatu wilayah
tentunya sudah tidak dapat dibenarkan lagi. Kondisi ini tentunya mengganggu
serta merugikan Negara penjajah karena tidak bisa mengambil keuntungan
lebih. Kesadaran rakyat Indonesia saat itu menjadi penting karena menjadi
salah satu modal awal untuk melawan segala bentuk penjajahan. Hal seperti

23
ini juga berlaku di Negara lain dan menjadi alasan munculnya gerakan-
gerakan Nasionalis.

3. Diakui Pemerintahannya

Kemerdekaan sebuah Negara tentu harus diisi dengan adanya


pemerintahan yang mengatur seluk-beluk kehidupan berbangsa dan bernegara
di dalamnya. Terlepas dari system apa yang digunakan dalam
pemerintahannya, Negara tetap membutuhkan sekelompok orang yang
tergabung dalam sebuah lembaga untuk kemudian mengatur dan menjalankan
tugas serta fungsi Negara. Mulai dari kepala pemerintahan, militer, ekonomi,
pemerintahan daerah dan sebagainya. Pemerintahan di Negara yang baru
berdiri inilah kemudian yang berhak memutuskan arah tujuan dari bangsa ini
ke depannya.

Adanya pemerintahan di dalam suatu Negara juga berguna untuk


menghalangi Negara dari upaya penjajah dalam mendirikan “pemerintahan
boneka” yang akan digunakan untuk kepentingan-kepentingan dari Negara
penjajah. Karena sejatinya pemerintahan di suatu Negara dibentuk untuk
tujuan kemakmuran Negara itu sendiri bukan Negara lain apalagi penjajah.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bentuk pemerintahan negara Indonesia adalah republik konstitusional, sedangkan
sistem pemerintahan negara Indonesia adalah sistem presidensial. Bentuk
pemerintahan republik merupakan pemerintahan yang mandat kekuasaannya berasal
dari rakyat, melalui mekanisme pemilihian umum dan biasanya dipimpin oleh
seorang presiden.

Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah
mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemam-
puannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat
internasional.

B. Saran
Meskipun Indonesia mengklaim kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tetapi
pengakuan dari Belanda sebagai Negara penjajah baru datang pada 27 Desember
1949. Kemerdekaan suatu Negara tidak cukup hanya melalui perjuangan di level
domestic saja, tetapi juga membutuhkan perjuangan di level internasional.
Mendapatkan pengakuan dari Negara lain adalah salah satu perjuangan Indonesia di
level Internasional.

25
Daftar Pustaka

https://www.negarahukum.com/hukum/perbedaan-antara-pengakuan-negara-dan-
pemerintah.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia

https://www.hubunganinternasional.id/main/blog/3?
title=Pentingnya+Pengkuan+Sebagai+Negara+Berdaulat

https://slideplayer.info/slide/2798459/

https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_berdaulat

26

Anda mungkin juga menyukai