( Khusus NKRI )
Nim : 01.2.19.00701
SEPTEMBER 2020/2021
1
Kata Pengantar
Puji syukur kami naikan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
anugerahNya sehingga makalah dengan judul “Urgensi Identitas Nasional & Unsur Pembentuk
Identitas Nasional” ini dapat terselesaikan dengan baik adanya. Tak lupa juga kami ucapkan
terima kasih kepada Frans Aditia Wiguna, S.Pd., M.Pd selaku dosen pembimbing kami sehingga
makalah ini dapat dibuat.
Kami memohon maaf kepada setiap pembaca makalah ini, karena kami merasa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, pembaca sekalian diharapkan dapat
memberikan kritik dan saran kepada kami supaya makalah ini dapat diperbaiki dan menjadi
makalah yang dapat dipercaya sehingga setiap pembaca mendapat banyak pembelajaran dari
makalah ini.
Penulis
2
Daftar Isi
Cover...........................................................................................................................................1
Kata Pengantar............................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan
Penulisan………………………………………………………………………………..4
D. Manfaat Penulisan...........................................................................................................5
Bab II Pembahasan
A. Kesimpulan...................................................................................................................25
B. Saran..............................................................................................................................25
Daftar Pustaka...........................................................................................................................26
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pemerintahan dan pengakuan dari negara lain ?
2. Mengapa pemerintahan dan pengakuan dari negara lain itu penting ?
3. Bagaimana pemerintahan dan pengakuan dari negara lain?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pemerintahan dan pengakuan dari negara lain.
2. Mengetahui pentingnya pemerintahan dan pengakuan dari negara lain.
4
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
2. Bagi pembaca
5
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem presidensial adalah sistem negara yang dipimpin oleh presiden. Presiden
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden dalam
menjalankan pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri. Presiden berhak
mengangkat dan memberhentikan para menteri. Para menteri atau biasa disebut
sebagai kabinet bertanggung jawab terhadap presiden.Presiden dalam menjalankan
pemerintahannya diawasi oleh parlemen.
6
undang-undang. Sedangkan pada pengertian lebih sempit, digunakan hanya merujuk
pada cabang eksekutif berupa Kabinet Pemerintahan karena ini adalah bagian dari
pemerintah yang bertanggung jawab atas tata kelola pemerintahan sehari-hari.
7
yang dipegang oleh Presiden dan kepala pemerintahan yang dipegang oleh Perdana
Menteri atau yang disebut dengan istilah Menteri Utama ataupun dengan dirangkap
oleh Presiden atau oleh Wakil Presiden.
Dalam suasana praktik sistem parlementer itulah pada awal tahun 1946,
Penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Soepomo dan diumumkan melalui Berita
Repoeblik pada bulan Februari 1946 memuat uraian tentang kedudukan kepala negara
dan kepala pemerintahan yang kemudian disalah-pahami seakan dua jabatan yang
dapat dibedakan satu sama lain sampai sekarang. Karena itu, sampai sekarang masih
banyak sarjana yang beranggapan bahwa jabatan Sekretaris Negara adalah jabatan
sekretaris Presiden sebagai kepala negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah
sekretaris Presiden sebagai kepala pemerintahan. Akibatnya muncul tafsir yang salah
kaprah bahwa seakan-akan semua rancangan keputusan Presiden sebagai kepala
negara harus dipersiapkan oleh Sekretariat Negara sedangkan rancangan keputusan
Presiden sebagai kepala pemerintahan dipersiapkan oleh Sekretariat Kabinet. Padahal,
dalam sistem pemerintahan presidential yang bersifat murni, yang ada adalah sistem
‘single executive’, di mana fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan
terintegrasi, tidak dapat dipisah-pisahkan dan bahkan tidak dapat dibedakan satu
dengan yang lain. Dalam sistem presidential murni, keduanya menyatu dalam
kedudukan Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya tidak perlu dibedakan, apalagi
dipisah-pisahkan.
Namun demikian, sistem pemerintahan presidential yang dianut oleh UUD 1945
itu sendiri sebelum reformasi, sebenarnya tidak bersifat murni. Salah satu prinsip
penting dalam sistem presidential adalah bahwa tanggung jawab puncak kekuasaan
pemerintahan negara berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan bertanggung
jawab kepada parlemen. Misalnya, dalam sistem presidential Amerika Serikat,
Presiden hanya bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya melalui
mekanisme pemilihan umum dan melalui kewajiban menjalankan tugas-tugas
pemerintahan secara transparan dan akuntabel. Presiden Indonesia menurut UUD
1945 sebelum reformasi, harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan
memberhentikannya menurut undang-undang dasar. Presiden menurut UUD 1945
8
sebelum reformasi adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban kepada MPR
ini justru memperlihatkan adanya unsur parlementer dalam sistem pemerintahan
presidential yang dianut. Karena dapat dikatakan bahwa sistem presidentil yang
dianut bersifat tidak murni, bersifat campuran, atau ‘quasi-presidentil’.
Inilah yang menjadi satu alasan mengapa UUD 1945 kemudian diubah pada
masa reformasi. Karena itu, salah satu butir kesepakatan pokok yang dijadikan
pegangan dalam membahas agenda perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999
adalah bahwa perubahan undang-undang dasar dimaksudkan untuk memperkuat
sistem pemerintahan presidential. Dengan perkataan lain, istilah memurnikan sistem
presidential atau purifikasi sistem pemerintahan presidential sebagai salah satu ide
yang terkandung dalam keseluruhan pasal-pasal yang diubah atau ditambahkan dalam
rangka Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga
(2001) dan Perubahan Keempat (2002) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sesudah reformasi, Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh UUD 1945
harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR untuk memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden dibatasi hanya sebagai pengecualian, yaitu apabila terdapat
lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil presiden. Pengucapan sumpah
jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden memang dapat dilakukan di depan sidang
paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali tidak melantik Presiden
atau Wakil Presiden sebagai bawahan. MPR hanya mengadakan persidangan untuk
mempersilakan Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji
jabatannya sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden
tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR seperti
masa sebelum reformasi, dimana oleh Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa
Presiden harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Presiden adalah
mandataris MPR yang mandate kekuasaannya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali
oleh MPR. Sedangkan dalam sistem yang baru, Presiden hanya dapat diberhentikan
oleh MPR melalui proses ‘impeachment’ yang melibatkan proses hukum melalui
peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
9
Sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan
karenanya tunduk dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya.
Inilah ciri penting upaya pemurnian dan penguatan yang dilakukan terhadap sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Namun demikian,
dalam praktik pada masa reformasi dewasa ini, sering timbul anggapan umum bahwa
sistem presidential yang dianut dewasa ini masih beraroma parlementer. Bahkan ada
juga orang yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang sekarang kita anut
justru semakin memperlihatkan gejala sistem parlementer. Jika pada masa Orde Baru,
pusat kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Presiden, maka sekarang pusat
kekuasaan itu dianggap telah beralih ke DPR. Sebagai akibat pendulum perubahan
dari sistem yang sebelumnya memperlihatkan gejala “executive heavy”, sekarang
sebaliknya timbul gejala “legislative heavy” dalam setiap urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan fungsi parlemen.
a. Legislatif
10
fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang
memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu
kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar.
b. Eksekutif
12
Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata
para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam
konotasi negatif, karena dianggap banyak mengandung distorsi apabila
dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya
mekanisme hubungan checks and balances yang lebih efektif di antara
lembaga-lembaga negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan
pertama UUD 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan
Presiden langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional
terhadap kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem
pemerintahan Indonesia semakin tegas sebagai sistem pemerintahan
Presidensil.
c. Yudikatif
d. Inspektif
14
berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan atau
disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.
15
Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah
mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemam-
puannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat
internasional.
Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali,
sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintah dapat dicabut sewaktu-waktu. Bila
suatu pengakuan ditolak atau dicabut setelah terbentuknya suatu pemerintah baru,
maka negara yang menolak atau mencabut pengakuan tersebut tidak lagi mempunyai
hubungan resmi dengan negara tersebut. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut,
maka personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu
pemerintah tidak mempengaruhi personalitas internasional suatu negara.
16
terutama politik, bukan hukum. L. C. Green mengutip pengakuan
negara Polandia dan Cekoslowakia yang belum lahir dalam Perang Dunia I dan
menjelaskan bahwa "sejak pengakuan kenegaraan adalah masalah kebijaksanaan, itu
terbuka untuk semua negara yang ada untuk menerima sebagai sebuah negara dengan
setiap entitas itu berupa keinginan, terlepas dari keberadaan wilayah atau dari yang
ditetapkan pemerintah." Namun, dalam hukum internasional ada beberapa teori
ketika sebuah negara harus diakui sebagai negara berdaulat.
1. Teori konstituti
17
hanya mengakui negara lain jika hal tersebut adalah untuk keuntungan
mereka.
2. Teori deklaratif
3. Pengakuan negara
18
konstitutif. Hukum Internasional tidak mengharuskan suatu negara untuk
mengakui negara-negara lain. Pengakuan ini sering dipotong ketika negara
baru dipandang sebagai tidak sah atau telah terjadi pelanggaran terhadap
hukum internasional. Tidak diakuinya oleh hampr seluruh masyarakat
internasional dunia terhadap Rhodesia dan Siprus Utara adalah contoh
yang baik dari ini, mantan Rhodesia hanya telah diakui oleh Afrika
Selatan, dan Siprus Utara hanya diakui oleh Turki. Dalam kasus Rhodesia,
pengakuan itu banyak dipotong ketika minoritas kulit putih merebut
kekuasaan dan berusaha untuk membentuk negara di sepanjang
garis Apartheid Afrika Selatan, sebuah gerakan yang menjelaskan Dewan
Keamanan PBB sebagai penciptaan "rezim minoritas rasis tak sah". Dalam
kasus Siprus Utara, pengakuan itu dipotong dari negara yang dibuat di
Siprus Utara. Hukum Internasional tidak mengandung larangan deklarasi
kemerdekaan dan pengakuan suatu negara adalah masalah politik. Sebagai
hasilnya, Siprus Turki memperoleh "status pengamat" dalam
KECEPATAN, dan wakil-wakil mereka yang terpilih di Majelis Siprus
Utara; dan Siprus Utara menjadi pengamat anggota OKI dan OKSE.
19
Palestina adalah sebuah negara berdaulat, klaim yang telah diakui oleh
sebagian besar negara, meskipun wilayah yang diklaim tersebut secara de
facto berada di bawah kendali Israel. Kesatuan lain mungkin memiliki
kontrol de facto atas suatu wilayah tetapi tidak memiliki pengakuan
internasional; ini mungkin dianggap oleh masyarakat internasional untuk
menjadi hanya negara de facto. Mereka dianggap secara de jure negara
hanya sesuai dengan hukum mereka sendiri dan oleh negara-negara yang
mengenali mereka. Misalnya, Somaliland ini umumnya dianggap sebagai
keadaan seperti itu. Untuk daftar kesatuan yang ingin secara universal
diakui sebagai negara berdaulat, tetapi tidak memiliki pengakuan
diplomatik lengkap seluruh dunia, lihat daftar negara dengan pengakuan
terbatas.
20
negara yang sudah ada. Hal ini membawa konsekuensi bagi negara lain untuk
mengakui atau tidak mengakui keberadaan pemerintahan yang baru tersebut: Dalam
hal mi, dapat dianggap bahwa persoalan pengakuan lebih merupakan persoalan
politik daripada hukum. Misalnya, Negara Palestina sampai saat ini masih belum ada
kepastian. Sebagian besar wilayahnya masih berada dalam pendudukan Israel
sementara sejumlah negara lain (Indonesia, Malaysia) telah mengakui Palestina
sebagai negara yang merdeka sedangkan negara lain (Amerika Serikat, Inggris)
belum mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka.
Pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Hal
ini dikarenakan dipengaruhi oleh berbagai factor, yaitu:
b. Tidak ada ketentuan yang pasti atau tegas dalam hukum internasional yang
mengatur tentang pengakuan. Sehingga masalah “pengakuan” merupakan
kehendak bebas (free act). Negara bebas untuk bertindak, apakah akan
memberikan pengakuan atau tidak, itu merupakan kehendak bebas.
21
hanya pemerintah suatu negara dapat mewajibkan atau mengikat negara, misalnya
dengan perjanjian.
Pengakuan kedaulatan kepada suatu Negara oleh Negara lain menjadi salah satu
syarat berdirinya sebuah Negara. Hal ini masih erat kaitannya dengan tiga poin
sebelumnya yaitu kepemilikan terhadap wilayah, memiliki rakyat dan tentunya
pemerintahan. Adanya pengakuan dari Negara lain berarti tiga komponen di atas sudah
diakui eksistensinya. Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut ini:
22
Pasca Proklamasi Kemerdekaan oleh Presiden Soekarno perlu diingat
bahwasanya penjajah tidak diam begitu saja dan mencoba mengambil alih
beberapa wilayah Indonesia. Belanda sebagai penjajah Indonesia tidak mau
mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan memutuskan untuk
melakukan agresi ke wilayah kedaulatan Indonesia. Kenyataan ini
mengharuskan Indonesia mempertahankan kedaulatannya melalui perang.
Salah satu Perang pasca kemerdekaan yang sangat dikenang tentunya perang
untuk membebaskan Irian Barat. Perlawanan Indonesia ketika itu adalah
bentuk mempertahankan wilayah kedaulatan dan eksistensinya sebagai
Negara berdaulat. Bahan baca lainnya di sini.
23
ini juga berlaku di Negara lain dan menjadi alasan munculnya gerakan-
gerakan Nasionalis.
3. Diakui Pemerintahannya
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bentuk pemerintahan negara Indonesia adalah republik konstitusional, sedangkan
sistem pemerintahan negara Indonesia adalah sistem presidensial. Bentuk
pemerintahan republik merupakan pemerintahan yang mandat kekuasaannya berasal
dari rakyat, melalui mekanisme pemilihian umum dan biasanya dipimpin oleh
seorang presiden.
Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah
mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemam-
puannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat
internasional.
B. Saran
Meskipun Indonesia mengklaim kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tetapi
pengakuan dari Belanda sebagai Negara penjajah baru datang pada 27 Desember
1949. Kemerdekaan suatu Negara tidak cukup hanya melalui perjuangan di level
domestic saja, tetapi juga membutuhkan perjuangan di level internasional.
Mendapatkan pengakuan dari Negara lain adalah salah satu perjuangan Indonesia di
level Internasional.
25
Daftar Pustaka
https://www.negarahukum.com/hukum/perbedaan-antara-pengakuan-negara-dan-
pemerintah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia
https://www.hubunganinternasional.id/main/blog/3?
title=Pentingnya+Pengkuan+Sebagai+Negara+Berdaulat
https://slideplayer.info/slide/2798459/
https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_berdaulat
26