Sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan-hubungan antara semua
pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial. Kajian sosiologi pendidikan harus
terus dilakukan oleh pemerintah, institusi-institusi yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan,
khususnya sekolah dan para guru. Hal ini karena perkembangan dan perubahan sosial setiap saat selalu
berubah. Tanpa diimbangi oleh kajian yang terus menerus untuk meningkatkan pendidikan mustahil
kiranya tujuan pendidikan akan tercapai.
Sosiologi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berkembang di awal abad 20 dan
mengalami hambatan dalam perkembangannya. Bidang kajian sosiologi pendidikan sendiri, berangkat
dari keinginan para sosiologi untuk meyumbangkan pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan.
Dalam pandangan mereka, pada saat itu sosiologi pendidikan diasosiakan dengan konsep ”Educational
Sociology.” Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga pendidikan menyajikan
mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat
bahasan mengenai ”Educational Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara
sosiologi dengan pendidikan. Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi pendidikan
berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan ditandai dengan diangkatnya Sir Fred
Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke menganggap
sosiologi mampu menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
Adapun perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka,
namun seiring timbulnya perguruan tinggi dan kesadaran bahwa sosiologi sangat penting dalam
menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi yang salah satunya adalah
sosiologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi
di seluruh Indonesia.
Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu:
a. Fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat
umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
b. Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan
pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya
keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
c. Sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama
kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat. Sedangkan Saint Simon
dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-
Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-
1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d. Pada fase yang terakhir ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas
yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode
sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18
dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.