Anda di halaman 1dari 4

Mairil, Tradisi Seks-sejenis di Pesantren

Judul :Mairil, Sepenggal Kisah Biru di Pesantren

Penulis : Syarifuddin

Penerbit : P_Idea, Jogjakarta

Cetakan 1 : 2005

Tebal : viii + 254

Selama ini dunia pesantren dikenal sangat lekat dengan nuansa agama. Setiap
pagi, siang, sore hingga malam hari kegiatan-kegiatan yang diajarkan di pesantren
selalu berkaitan dengan (pendalaman) agama. Ngaji, tadarus, shalat berjamaah
adalah beberapa kegiatan rutin di dalamnya.

Namun, siapa yang mengira di balik kentalnya nuansa agama yang ada di
pesantren ternyata menyimpan cerita-cerita miris yang sangat bertentangan
dengan (doktrin) agama? Buku dengan judul Mairil, Sepenggal Kisah Biru di
Pesantren yang ditulis oleh Syarifuddin ini mengungkap secara transparan perilaku-
perilaku menyimpang di dunia pesantren, terutama yang berkaitan dengan
penyimpangan seksual santri.
Ibarat lokalisasi, pesantren sering dijadikan tempat untuk menyalurkan hasrat libido
santri pada santri lain. Bedanya, kalau di lokalisasi berlaku hukum pasar, yaitu
terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Di pesantren kegiatan itu dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan umumnya dilakukan di tengah malam ketika
“korban” sedang tertidur lelap.

Yang lebih mencengangkan, praktik seperti ini dilakukan antarsesama jenis kelamin
(laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). Seks antarsesama
jenis kelamin inilah yang menjadi titik tekan buku ini. Di pesantren budaya ini
bukanlah hal yang tabu, bahkan sudah mentradisi secara turun-temurun hingga
kini. Sehingga sukar menghilangkan budaya itu karena sang pelaku dalam
menjalankan aksinya sangat rapi, di luar pengetahuan orang lain.

Jangankan orang lain, kadang yang menjadi korban sendiri tidak menyadari kalau
dirinya pernah dijadikan pelampiasan nafsu seks orang lain. Biasanya korban baru
menyadari kalau dirinya telah menjadi pelampiasan seksual orang lain ketika
bangun tidur. Karena hubungan seks ala pesantren bukan didasarkan suka sama
suka tetapi secara sembunyi-sembunyi, ketika korban sudah terlelap.

Budaya itu kemudian dikenal dengan istilah nyempet dan mairil. Menurut penulis,
nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin
sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak,
sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang sejenis
(hlm. 25).

Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil
dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil
mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam hubungan seksual
satu jenis kelamin.

Kondisi sosiologis dunia pesantren dengan pembinaan moral dan akhlak secara
otomatis interaksi antara santri putra dan putri begitu ketat. Keseharian santri
dalam komunitas sejenis, mulai bangun tidur, belajar, hingga tidur kembali. Santri
bisa bertemu dengan orang lain jenis ketika sedang mendapat tamu. Itu pun jika
masih ada hubungan keluarga.

Praktis, ketika ada di pesantren –terutama pesantren salaf (tradisional)– tidak ada
kesempatan untuk bertemu dan bertutur sapa dengan santri beda kelamin.

Di samping tempat asrama putra dan putri berbeda, hukuman yang harus
dijalankan begitu berat, bisa-bisa dikeluarkan dari pesantren, jika ada santri putra
dan putri ketahuan bersama. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan perilaku
nyempet di kalangan santri di pesantren begitu marak (hlm. 31).

Perilaku nyempet dan mairil biasnya dilakukan oleh santri tua (senior), tidak jarang
pula para pengurus atau guru muda yang belum menikah. Dari hasil penelitian
penulis, kegiatan nyempet hanya terjadi ketika masih menetap di pesantren tetapi
ketika sudah lulus dari pesantren budaya seperti itu ditinggalkan.

Terbukti, kehidupan mereka normal dan tidak ditemukan kasus mereka menjadi
homo atau lesbi. Mereka semua berkeluarga dan mempunyai anak. Karena orang
yang melakukan itu hanya iseng bukan tergolong homoseksual (bagi kaum laki-laki)
atau lesbian (bagi kaum wanita). Mereka melakukan penyimpangan seks itu sekadar
menyalurkan libido seksualnya yang memuncak.

Umumnya yang menjadi korban nyempet dan mairil adalah santri yang memiliki
wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face. Hampir pasti santri (baru) yang
memiliki wajah baby face selalu menjadi incaran dan rebutan santri-santri senior.
Bahkan tidak jarang antara santri yang satu dan santri yang lain terlibat saling
jotos, adu mulut, bertengkar (konflik) untuk mendapatkannya.

Di pesantren berlaku hukum tidak tertulis yang harus dijalankan bagi orang yang
memiliki mairil. Misalnya jika si A sudah menjadi mairil orang, maka si mairil
tersebut akan dimanja, diperhatikan, diberi uang jajan, uang makan, dicucikan
pakainnya, dan sebagainya; layaknya sepasang kekasih (pacaran). Jika si mairil
dekat dengan orang lain pasti orang yang merasa memiliki si mairil tersebut akan
cemburu berat.

Kelebihan buku ini adalah penulis mampu menceritakan pelaku nyempet dan mairil
dalam suasana santai, kocak, tetapi serius. Gaya penulisanya bertutur hampir
menyerupai novel. Misalnya ketika penulis menceritakan tentang santri bernama
Subadar yang akan nyempet santri lain.

Di beranda joglo masjid tanpa penerangan lampu, Subadar sambil berpura-pura


tidur, terus merangsek mendekati santri yang masih kecil yang beberapa hari
terakhir menjadi incarannya. “Harus bisa,” gumam Subadar dalam hati.

Namun naas nasibnya kali ini, baru saja mulai angkat sarung korban, tiba-tiba
lampu beranda joglo dinyalakan petugas piket yang seketika itu membuat Subadar
terkejut bukan kepalang…

Penulis buku ini tentu paham betul tentang budaya nyempet dan mairil yang ada di
pesantren. Karena dia juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren Wonorejo
dan Jombang, Jawa Timur.

Boleh dikatakan buku ini adalah hasil temuannya langsung saat dia hidup di dunia
pesantren selama kurang lebih enam tahun lamanya. Membaca buku ini kita akan
terkejut dan mengernyitkan dahi, “Ah yang bener aja.”

Meski peristiwa yang diceritakan dalam buku ini lebih mengandalkan inprovisasi
penulis, pembaca bisa melacak sendiri bahwa peristiwa seperti ini dalam dunia
pesantren, terutama saat malam menjelang, benar adanya. Atau boleh jadi mereka
yang pernah dibesarkan di pesantren akan tersenyum kecut atau mengakui dan
menyangkal peristiwa kebenaran cerita ini. (Ditulis oleh Zamaahsari A. Ramzah,
mahasiswa FISIPOL, Universitas Muhammdiyah Yogyakarta, alumnus Pondok
Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo/ http://www.jawapos.co.id/index.php?
act=detail_c&id=176607/http://www.indonesia.faithfreedom.org)

Anda mungkin juga menyukai