Anda di halaman 1dari 18

Pendahuluan

Film 3 doa 3 cinta menceritakan tentang tiga orang santri yang sedang menempuh pendidikan
agama khususnya agama Islam di sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren yang masih
bersifat tradisional, jauh dari kesan modern dan bertempat di daerah pelosok Yogyakarta.
Tiga orang santri ini memiliki mimpi dan impian yang berbeda-beda, yakni; Huda yang
diperankan oleh Nicholas Saputra mempunyai cita-cita setelah menamatkan pendidikannya di
pesantren tersebut, ia ingin bertemu dengan ibunya, setelah beberapa tahun lamanya ia tidak
bertemu dengan ibunya. Huda berkomunikasi dengan ibunya terakhir kali melalui surat yang
ia terima dari ibunya setahun yang lalu. Kemudian Rian yang diperankan oleh Yoga Pratama,
setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren tersebut, ia bercita-cita ingin merintis
kembali usaha ayahnya yaitu usaha studio foto. Terakhir Syahid yang diperankan oleh Yoga
Bagus, adalah anak seorang dari petani miskin. Syahid bercita-cita setelah menyelesaikan
pendidikannya di pesantren tersebut, ia ingin mati syahid di jalan Allah dengan jalan menjadi
seorang Mujahid.
Seperti pada umumnya, pondok pesantren ini memiliki seorang pemimpin atau kyai. Para
santri sering menyebutnya dengan panggilan Romo. Sang Romo secara rutin tiap malam
memberikan pengajian kepada para santrinya. Dalam memberikan materi dari berbagai kitabkitab kuning yang ia dapatkan, Romo selalu mengeraskan dan melantangkan suaranya di
hadapan para santrinya. Kitab-kitab kuning tersebut terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam
Bahasa Jawa oleh Romo dan kemudian para santrinya menulis ulang serta menyimak
penjelasan kandungan yang terdapat di dalam kitab tersebut.
Setiap hari para santri melakukan kegiatannya yang berlandaskan serta bernafaskan
pendidikan agama Islam seperti mengaji, belajar kitab-kitab kuning, dan ibadah. Kamar para
santri pun terlihat sederhana jauh dari kata mewah dengan beberapa lemari kecil yang
dijadikan rak kitab-kitab atau buku-buku serta beberapa pakaian. Mereka tidur hanya
beralaskan tikar saja. Terlihat pemandangan pemondokan pesantren yang bersih dan suci agar
kelak para santri dapat memiliki sifat mandiri serta akhlak yang baik di dalam kehidupan
sehari-hari.
Pola pendidikan pesantren yang masih kental dengan nilai-nilai luhur keislaman, senantiasa
menjaga ketauhidan, hanya berpedoman kepada Al-Quran dan As-Sunnah menjadi sebuah

pendidikan dasar untuk mengarungi kehidupan dunia yang fana serta sarat godaan. Sang
Romo selalu memberikan nilai-nilai keislaman, saling menghormati dan menghargai dengan
mengajarkan bahwa agama Islam merupakan agama pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Dalam menjalankan kegiatan pendidikan di pesantrennya, Romo dibantu oleh dua orang
Ustadz. Ustadz yang pertama mempunyai pandangan bahwa Islam merupakan agama satusatunya di muka bumi ini. Agama selain Islam adalah kafir dan jihad adalah jalan satusatunya untuk mencapai kejayaan umat Muslim. Begitu lah sekiranya ustadz ini memberikan
semacam doktrin kepada para santrinya, sangat berbeda dengan Romo yang sealu
mengajarkan saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Kemudian ustadz yang
kedua adalah yang mengelola dan bertanggung jawab atas kesediaan pangan para santri atau
dapur para santri. Selain itu, ustadz ini juga mengajar serta melatih para santri bermain rebana
atau membentuk grup Qasidah. Akan tetapi, ustadz ini memiliki kelainan seksual yakni
menyukai sesame jenis atau homoseksual. Salah seorang santri sendiri mengalami pelecehan
seksual yang dilakukan oleh ustadz tersebut ketika ia sedang tidur di bilik kamarnya.
Berbagai peraturan pesantren yang ketat dan disiplin seperti dilarang membawa peralatan
elektronik, merokok, tidak boleh berbuat perbuatan tercela seperti mencuri, berbohong, serta
perbuatan dosa lainnya tidak membuat ketiga santri yakni Huda, Rian dan Syahid patuh akan
aturan tersebut. Mereka menjelma menjadi remaja yang ingin memuaskan masa-masa
mudanya yang sangat indah. Sebuah tempat unik dimiliki oleh ketiga santri tersebut yang
dimana mereka menuliskan serta mencatat impian atau pun cita-cita setiap tahunnya di
sebuah tembok kusam. Di tempat tersebut mereka saling bertukar pikiran dan saling berbagi
satu sama lain.
Kegiatan keluar di malam hari menjadi aktivitas sesekali mereka untuk membuang rasa jenuh
dan penat di dalam pondok pesantren. Pada tahun terakhir di pondok pesantren, mereka
bertiga bukan hanya untuk memfokuskan menamatkan pendidikan agamanya, tetapi mereka
pun memfokuskan diri masing-masing apa yang dicita-citakan setelah lulus dari pondok
pesantren tersebut. Huda yang terlihat semakin bertekad kuat ingin sekali bertemu dengan
ibunya di Jakarta dimudahkan jalannya saat bertemu dengan Dona Satelit yang diperankan
oleh Dian Sastrowardhoyo seorang penyanyi dangdut cantik nan seksi asal Jakarta yang
sedang manggung di daerah sekitar pondok pesantren Huda. Di daerah ini pula Dona Satelit
dilahirkan dan tempat ibunya dimakamkan. Huda sebagai sosok santri yang lugu dan polos
meminta bantuan Dona Satelit untuk mencarikan dimana ibunya berada di Jakarta. Dona
menyanggupi permintaan tersebut dengan syarat yaitu ia harus menerima imbalan.
2

Adapun Rian yang mempunyai cita-cita membangun usaha ayahnya berupa studio foto,
kisahnya berawal dengan bertemu tukang layar tancep yang diperankan oleh Butet Kertarajsa.
Ia belajar banyak dari sang tukang layar tancap tersebut. Dan Syahid, anak seorang petani
miskin yang mempunyai impian mati syahid di jalan Allah dengan menempuh menjadi
mujahid, sebenarnya alasan dari impian Syahid adalah namanya, karena namanya Syahid jadi
dirinya pun harus meninggal dunia dalam keadaan syahid.
Pada saat yang bersamaan pula Ayah Syahid mengalami ganguan ginjal dan harus dioperasi.
Karena membutuhkan biaya sangat besar, dengan kondisi sebagai petani miskin sangatlah
berat untuk membiayai itu semua, akhirnya harapan satu-satunya adalah menjual sawah,
sawah yang dijual diketahui Syahid, ternyata terjual kepada orang bule dengan harga yang
sangat rendah. Di saat itu pula Syahid bimbang akan cita-citanya menjadi mujahid karena
disisi lain orang bule yang dianggap Syahid orang kafir itu membantu seluruh biaya operasi
dan pengobatan ayahnya.
Beberapa cerita tersebut mengangkat kisah kehidupan para santri di pesantren tradisional,
dimana antara cita-cita, norma agama, dan realita kehidupan sosial yang saling berbenturan,
dan yang menjadi masalah dihadapkan kepada ketiga santri tersebut.
Pembahasan

Proses pendewasaan
Gambaran kehidupan sebuah Pondok Pesantren yang disajikan dalam film 3Doa 3Cinta,
membuka kembali kenangan saya enam tahun silam, pada saat umur sebelas tahun saya
tinggal disebuah pondok pesantren, meskipun hanya tiga tahun tapi pengalaman itu masih
3

berbekas dalam benak ini. Karakter sang Romo sebagai Pondok Pesantren dimana tempat
saya menjadi pesantren dulu, dimana seluruh dedikasi beliau yang pernah saya terima baik
langsung atau tidak, tak pernah sanggup tuk dilupakan. Pelajaran toleransi antar umat
keberagamaan, kebersamaan, dan ibadah ritual baik wajib ataupun sunnah selalu beliau
contohkan didepan para santrinya. Indahnya suasana pesantren yang pernah saya rasakan,
dan benar-benar menjadikan sebuah proses pendewasaan yang menjadi bekal setelah saya
menghadapi kehidupan yang sekarang ini.
Memang tak semua ada yang di film 3Doa 3Cinta aku alami, tak pernah ada pelajaran
tentang jihad, tetapi tidak bisa dipungkiri dibeberapa pesantren mungkin diajarkan tentang
jihad. Banyak interpretasi tentang jihad, mungkin kedengaran sangat konyol bila jihad
diinterpretasikan dengan berani mengorbankan diri melawan kaum kafir. Jihad dapat
diinterpretasikan dengan berbagai bentuk positif, sebagai contoh, menuntut ilmu adalah salah
satu bentuk jihad, dan apabila meninggal dalam menuntut ilmu, dalam hadist dijanjikan
InsyaAllah surga.
Dan juga Ustadz yang kelainan seksual tak pernah saya alami hal demikian, tetapi tidak bisa
dipungkiri, pada saat saya pesantren ada seorang teman yang mempunyai kelainan seksual.
Memang hal seperti ini tidak bisa diwajarkan baik dalam norma sosial dan juga agama, dan
hal seperti ini pula dapat mengganggu psikologis korban pelaku pelecehan seksual. Tetapi hal
ini kenapa terjadi?, banyak factor tentunya, mungkin salah satunya adalah pelampisan nafsu,
ketika seseorang tak dapat mengkontrol nafsunya. Yang jelas kelainan seksual adalah sesuatu
hal yang dilaknat oleh Allah SWT.
Pendidikan pesantren membangun jati diri setiap insan dalam menjawab tantangan zaman,
bukan hanya itu, pendidikan pesantrenpun seharusnya mampu membangun zaman dengan
ruh keislaman, dengan berpedoman pada Alquran dan Alhadist, menunjukan Islam sebagai
Rahmatan lil Alamin(Rahmat bagi seluruh alam). Jebolan(baca:lulusan) pesantren dizaman
sekarang bukan hanya mampu membaca kitab kuning, melainkan juga mampu membaca
kemajuan dunia baik dalam literasi, teknologi, dan sains, yang diharapkan sebagai
penyeimbang antara keduniawian dan akhirat, Karena jebolan pesantren ditanamkan segala
sesuatu apa yang akan dikerjakan atau dipikirkan diawali dengan Bismillah dengan
mengaharap ridha Allah SWT. Meskipun yang digambarkan dalam film tersebut adalah
pesantren abangan atau tradisonal, kumuh, dan sebagainya, tetapi hal tersebut adalah sebuah

proses panjang menjadi dewasa, mandiri, dan juga bersikap sesuai dengan tuntunan Islam,
karena ini adalah salah satu bentuk cerminan pesantren yang ada di Indonesia.
Apa yang dikisahkan oleh Huda dengan kedua orang temannya dalam film ini, adalah salah
satu bentuk cerminan santri atau pelajar dalam menghadapi tantangan zaman. Ketika mimpi
dan cita-cita mereka harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang tidak mudah, dan selalu
mengoyahkan apa yang diimpikan dan dicita-citakannya. Begitu pula ketika menjalankan
impian dan cita tersebut dengan bentuk ikhtiar(usaha) yang terus mereka lakukan, selalu akan
ada

godaan

yang

menggoyahkan

itu

semua,

tetapi

dengan

keteguhan

hati,

istiqomah(konsisten), dan doa yang selalu mengiri usaha mereka dalam memperoleh citacita dan impian.
Kehidupan pesantren yang penuh warna persahabatan, cinta, ibadah, dan nilai kemanusian
seperti yang digambarkan dalam film ini, mengungkapkan sungguh indah kehidupan di
pesantren itu. Persahabatan menjadi sebuah nilai yang dimana kita mengenal manusia satu
dan manusia lainnya (person to person) lebih dekat, terjadinya hubungan interpersonal,
terjadinya hubungan interpersonal yang satu sama lainnya saling mengenal, memahami, dan
membentuk ukhuwah(ikatan) persaudaraan. Warna cinta adalah bentuk implementasi
anugerah yang satu sama lainnya sling mengenal, memahami, dan membentuk
ukhuwah(ikatan) persaudaraan. Warna cinta adalah bentuk anugerah yang Allah berikan
kepada manusia, yang menjadikan adanya rasa sayang, saling memberi dan menerima, antar
sesama manusia. Warna ibadah adalah warna yang dimana kita mengakui kita adalah
makhluk Sang Khalik, ibadah adalah rasa syukur kita sebagai manusia yang telah diciptakan
dengan kesempurnaan, tanpa ibadah kita akan disebut sebagai makhluk yang sombong, dan
mengingkari nikmat utama yang telah Allah berikan yaitu diciptakan dimuka bumi ini. Dan
warna nilai-nilai kemanuasian adalah bentuk implementasi dari semua warna kehidupan, nilai
kemanusian adalah cerminan manusia sebagai makhluk yang memiliki persahabatan, cinta,
dan

mengakui

Tuhannya.

Dalam

Islam

sendiri

diajarkan

bukan

hanya

habluminallah(hubungan dengan Allah), melainkan juga habluminannas(hubungan dengan


manusia), saling memberi, menghormati, menghargai, dan tolong-menolong adalah nilai-nilai
kemanunisiaan yang membentuk persahabatan dan perdamaian diatas muka bumi ini.
Nurman Hakim sungguh apik dalam mengemas film 3Doa, 3 Cinta, sebagai penulis dan
sutradara, Nurman mengangkat realita yang pernah dialaminya. Bekal pengalaman
merasakan sebagai santri yang pernah dilalui Nurman dan kegelisahan akan fenomena
5

dikotomi islam terutama pesantren menjadi bekal Nurman menulis dan menggarap film ini,
(www.21cineplex.com). Lanjut Nurman, Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di
Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan
bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal, dalam film ini ini kita dapat
melihat potret kehidupan di pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah, dan
nilai kemanusiaan. Selanjutnya, film yang bercerita tentang proses pendewasaan atau coming
of

age

santri

yang

dididik

secara

Islam

dalam

memahami

kehidupan

diluar

pesantren(www.3doa3cinta.com/pressrelease_1). Inilah sebuah film yang akan kita dapat


memahami arti dari menjadi dewasa, bukan hanya dalam fisik, tetapi juga hati dan pekiran
yang menjadi lebih bijak. Dan film inipun memberikan kita arti dari kehidupan beragama,
meskipun latar dari film ini adalah kehidupan pesantren, tetapi film ini memberikan kesan
kepada kita bahwasannya semua agama itu mengajarkan kebaikan, seperti yang disampaikan
dalam film Kingdom of Heaveni, tidak ada permusuhan dan peperangan yang
mengatasnamakan Tuhan, karena semua agama mengajarkan kasih sayang dan perdamaian.
Jadi, silahkan tonton film buatan anak bangsa ini, dan ambil manfaatnya dari film ini, serta
stop pembajakan. Waallahu Alam.
* penulis adalah Mahasiswa FIKOM UNISBA angkatan 2006.

Sutradara: Nurman Hakim

Pemain: Nicholas Saputra, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Dian Sastrowardoyo, Jajang C. Noer,
Butet Kertarajasa

Tahun Rilis: 2008


Judul Internasional: 3 Wishes 3 Loves

Problematik Industri Film Indonesia

SEMENJAK masa (yang katanya) kebangkitan perfilman Indonesia dari tidur panjang, sudah
berapa kali tema Islam dieksploitasi oleh pekerja industri film? Tentu masih ingat dengan
Ayat-ayat Cinta yang bisa dikatakan pelopor film-film bernapas Islami. Sayangnya,
ketimbang memberikan potret jujur tentang Islam, Ayat-ayat Cinta malah menampilkan
romantisme dramatisir sinetronik dengan bumbu-bumbu Islam (Islam cuma jadi bumbu di
sini). Tapi tidak bisa dipungkiri kedahsyatan booming Ayat-ayat Cinta, untuk ukuran film
Indonesia, mampu membuat beberapa pelakon industri film lainnya menelan liur. Efek
lanjutan dari bombastisme itu munculah film-film ekoran seperti: Syahadat Cinta dan
Mengaku Rasul. Sayangnya, dua judul itu tidak mampu menyaingi fenomena Ayat-ayat
Cinta. Ditinjau dari segi kualitas ataupun cara penyajian film pun, dua judul itu tidak pula
bisa dibilang berhasil. Tapi pihak industri, yang umunya pasti cuma mikirin rupiah ketimbang
mutu, tidak kehabisan ide, mereka menggunakan formula yang sama dengan Ayat-ayat
Cinta: mengadaptasi novel Islami ternama dari pengarang terkenal. Lalu muncul judul:
Ketika Cinta Bertasbih 1 dan Ketika Cinta Bertasbih 2. Lagi-lagi, dua judul film ini pun
hanya menjadi anak-anak dari Ayat-ayat Cinta: tidak mampu memberikan potret Islam
yang jujur, masuk akal, realistis, dan yang paling penting tidak mampu memberi potret
bersahaja. Tapi perlu diakui, bombatisme Ketika Cinta Bertasbih 1 dan Ketika Cinta
Bertasbih 2 ini tidak bisa dianggap enteng.

Apakah ini artinya penonton Indonesia gampang terbuai nilai komersil sehingga tidak mampu
menuntut nilai seni yang lebih tinggi lagi dari itu?
7

Potret Islam dalam Layar Kaca yang Paling Jujur, Paling Realistis, Paling Masuk Akal, dan
Paling Bersahaja dari semua Film tentang Islam dari Indonesia Sejauh Ini

Dari semua judul film Islami yang saya sebut di atas, muncul judul 3 Doa 3 Cinta yang
tidak diembel-embeli novel bestseller ala Ayat-ayat Cinta ataupun Ketika Cinta
Bertasbih. Pertanyaannya pertama: Mampukah 3 Doa 3 Cinta ini menyaingi kedahsyatan
penerus-penerusnya. Tidak! Pertanyaan kedua: Mampukah 3 Doa 3 Cinta memberikan
potret jujur, potret realistis, potret masuk akal, dan potret bersahaja tentang Islam? Iya!
Bahkan berkali-kali lebih mampu ketimbang para pendahulunya itu.

Kenapa saya bilang begitu?

Pertama, 3 Doa 3 Cinta melakukan pendekatan realisme yang cukup intensif dalam tiaptiap adegannya, jadi beda dengan Ayat-ayat Cinta ataupun Ketika Cinta Bertasbih yang
lebih menggunakan pendekatan dramatisme (malahan berlebihan). Pendekatan realisme ini
bisa dilihat dari emosi dan ekspresi yang diampilkan para pemain, sound effect, kecepatan
alur, hingga arah pengembangan ceritanya. Memang, sebagai konsekuensinya, film-film
dengan pendekatan realisme kental selalu menjadi momok bagi penonton awam yang
umumnya menuntut dramatisme dalam film.

Kedua, tema yang diusung lebih tersentral ke pola kehidupan muslim (potret Islam)
ketimbang menitik beratkan pada opera sabun percintaan. Jadi sudah bisa dipastikan,
dibanding Ayat-ayat Cinta ataupun Ketika Cinta Bertasbih, film ini jauh lebih
memberikan potret nyata tentang Islam. Temanya tepatnya: film ini mencoba memberikan
gambaran Islam melalui pengalaman-pengalaman tiga orang santri.

Ketiga, film ini tidak mencoba menampilkan lingkungan muslim (dalam kasus ini lingkungan
pesantren) sebagai lingkungan yang sempurna. Atau bisa juga dikatakan, film ini tidak hanya
menampilkan potret baik-baiknya saja dari lingkungan pesantren, tapi juga, dengan jujur,
menampilkan potret buruknya.

Keempat, film ini tidak men-judge dan tidak menggurui. Tidak ada pihak-pihak, prilakuprilaku, kejadian-kejadian, ataupun tata-cara yang dihakimi secara Islam oleh film ini. Seperti
yang saya bilang di awal-awal, film ini memberikan pesan berupa potret jujur, bukan
penghakiman, bukan pula ceramah. Menurut saya, faktanya, film dengan pesan berupa potret
seperti ini yang jauh lebih efektif untuk menggambarkan Islam, ketimbang ceramah (atau
malah penghakiman).

Lengkap sudah!

Pengalaman Tiga Santri dengan Tiga Doa Masing-masing

Masuk ke cerita, film ini menceritakan pengalaman suka-duka kehidupan pesantren dari bola
mata tiga tokoh utamanya (yang pasti Dian Sastro bukan tokoh utama di sini). Dengan cukup
baik, film ini memotret intrik ketiga tokoh itu dalam menelaah nilai-nilai Islam yang mereka
dapat di pesantren, lalu menanamkannya bukan hanya pada kehidupan dalam pesantren tapi
juga kehidupan luar yang sarat aroma globalisme. Ketiga santri yang dipampang pun, seperti
yang saya bilang sebelumnya, tidak digambarkan sebagai makhluk Tuhan yang paling
sempurna, tapi sebagai peremajaan tiga orang santri dengan sifat dan pemahaman masingmasing. Lebih tepatnya, Nurman Hakim juga menyajikan gambaran coming-age di film ini.
Yap, satu poin lagi, Nurman Hakim juga membahas pertabrakan nilai-nilai Islam yang
dipegang santri itu dengan globalisme yang mereka temui di luar.

Mari bahas satu persatu quest tiga santri ini secara terpisah.

Ketika Tertabrak Fakta Sensualitas dalam Globalisme

Santri pertama Huda, diperankan oleh Nicholas Saputra, merupakan santri yang paling
disukai Kyai Wahab (pemimpin pesantren). Tokoh Huda ini diceritakan mempunyai konflik
kerinduan dengan sang ibu yang karena masalah moral telah meninggalkannya di pesantren
tersebut. Misi pencarian alamat ibu mempertemukan Huda dengan Donna Satelit, penyanyi
dangdut di sebuah pasar malam yang dimainkan oleh Dian Sastro.

Singkat cerita, Huda pun berkenalan dengan penynyi dangdut seksi yang selalu ziarah ke
makam itu. Huda meminta bantuan Donna untuk mencari alamat ibunya di Jakarta. Donna
tidak mau gratisan. Terpakailah uang tabungan Huda. Tapi, kalau penonton mau menilik lebih
dalam lagi, bukan misi pencarian sang ibu sebenarnya konflik utama tokoh Huda ini,
melainkan hubungan sekilas yang terjalin antara Donna dan Huda. Bukan cinta ala remaja
penuh gelora seperti yang ditampilkan di Ada Apa Dengan Cinta?, melainkan hanya
sebatas hubungan intens sekilas.

Mungkin penonton yang lebih kritis (bukan penonton yang cuma berharap film ini dibawa ke
arah romantis-romantisan) bakal lebih menangkap maksud sang sutradara ketika menyimak
adegan intens antara Huda dan Donna di belakang panggung. Perhatikan bagaimana air muka
Huda ketika melihat paha telanjang Donna. Atau ketika Donna tiba-tiba melumat bibir Huda.
Itulah sebenarnya puncak klimaks dari tokoh Huda ini: pertabrakan dengan fakta sensualitas
dalam masyarakat global.

Untungnya, Nurman Hakim tetap bisa konsisten pada pace dan pada idealismenya dalam
adegan ini. Beliau tidak membuat tokoh Huda menodongkan jari pada tokoh Donna Satelit.
Beliau juga tidak menjatuhkan penghakiman pada Huda. Malahan, di ending-nya, tokoh
Huda yang sudah pernah melihat paha mulus Donna bahkan dilumat bibirnya, tetap menikahi
anak Kyai Wahab dan meneruskan pesantren tempat dia belajar. Saya rasa, kalau saja
10

penonton mau berpikir kritis ketika menyimak adegan itu, maka dapatlah baik pesan maupun
inti cerita dari tokoh pertama ini.

Menyikapi Globalisme

Bicara tentang tokoh kedua, Rian, yang diperankan oleh Yoga Pratama, berarti bicara tentang
keterbukaan Islam terhadap budaya di luar Islam. Tokoh Rian digambarkan sebagai tokoh
yang paling periang dari ketiganya, obsesif, dan paling open minded bila berbicara tentang
globalisme.

Mungkin ada yang masih ingat tentang gossip-gossip bahwa bioskop itu haram yang sempat
beredar dulu. Bagian Rian ini mengingatkan saya pada gossip itu. Tokoh Rian ini juga
mengingakan pada tokoh Salvatore Di Vita dalam Nuovo Cinema Paradiso (tapi bukan
berarti plot bagian Rian ini mencontek). Sinema. Cerita tentang tokoh Rian ini berputar
mengenai obsesinya tentang kamera. Rian mendapat hadiah sebuah handycam dari sang ibu.
Dengan handycam itu, tiga sahabat itu pun merekam pengalaman sehari-hari mereka di
pesantren. Bukan hanya pada handycam, Rian pun berkenalan dengan seorang pemutar layar
tancap, yang diperankan Butet Kertarajasa, di pasar malam (tempat Donna Satelit
manggung). Dengan penuh semangat, Rian menumpahkan semua ketertarikannya pada
pemilik layar tancap itu. Bahkan, Rian sendiri sempat menyatakan keinginannya untuk ikut
serta dalam rombongan ketika lulus dari pesantren kelak.

Lantas, kira-kira apa yang ingin disampaikan Nurman Hakim dari drama obsesi tokoh Rian
ini? Andai saja penonton awam mau berpikir sedikit lebih kritis, pastilah bakal menangkap
pesan seputar menyikapi globalisme dari tokoh ini. Kenapa handycam harus diharamkan (dari
adegannya di film)? Kenapa sinema harus diharamkan? Kenapa bioskop harus diharamkan?
Apakah alasannya hanya karena hal-hal tersebut berbau-bau Amerika? Berbau-bau Barat?
Begitulah kira-kira pesan yang dibebankan pada tokoh video-holic ini.

11

Kritik Tentang Pemahaman Terorisme

Syahid, tokoh ketiga yang diperankan Yoga Bagus. Seperti namanya Syahid (yang diambil
dari kata mati syahid), tokoh ini merupakan tokoh kontras dari tokoh Rian tadi. Pendiam.
Anti terhadap hal-hal yang tidak Islami. Nurman Hakim sendiri tidak serta merta berat
sebelah dalam membahas masalah-masalah terorisme melalui kacamata Syahid ini. Beliau,
dengan cukup pintar, malahan melayangkan kritiknya pada dua pihak sekaligus: pihak yang
menuding semua Islam adalah teroris sekaligus pihak teroris.

Terlibat kemiskinan merupakan alasan utama tokoh Syahid untuk kemudian menjerumukan
diri pada dunia terorisme. Tokoh-tokoh dililit kemiskinan seperti Syahid ini memang rentan
terjatuh pada dunia-dunia terorisme, setidaknya begitulah yang terjadi di Indonesia. Apalagi
kebencian ekstrim Syahid terhadap kaum-kaum non-Islam menjadi nilai jual tersendiri bagi
terorisme. Tanah bapaknya yang dibeli murah oleh orang Amerika malah memperparah
kebencian Syahid terhadap umat-umat kafir. Tetapi pemahaman moral Syahid ahirnya diuji
ketika orang Amerika, yang membeli tanahnya itu, malahan melunasi semua biaya
pengobatan. Lantas apa tindakan yang dilakukan Syahid ketika mendapati fakta itu? Mungkin
sebaiknya silahkan disimak sendiri di film. Mungkin lebih baik tanyakan kembali pada diri
masing-masing dilema yang dihadapi Syahid itu.

Tetek Bengek Lainnya

Selain tiga fokus utama itu, tentu ada spicing-spicing lain yang ditabur Nurman Hakim di
film ini. Ada menu utama, ada bumbu pastinya. Hakikatnya, bumbu ini ibarat cabai atau
garam yang tidak bakal nikmat bila terlalu sedikit dan tidak akan sedap bila berlebihan.
Untungnya, bumbu-bumbu yang ditabur di film ini tidak melenceng dan dapat disatukan
dengan baik oleh Nurman Hakim. Salah satunya yang menarik perhatian saya: isu
homoseksual dan poligami, meskipun hanya dibahas sekilas karena cuma berposisi sebagai
bumbu.

12

Penampilan ketiga pemain yang memerankan ketiga tokoh itu pun bisa dibilang pas. Saya
bahakn memberi ekstra applause pada Yoga Pratama yang memerankan Rian dengan cukup
sempurna.

Satu kritik kecil. Entah bagaimana ceritanya, mungkin hanya trik pemasaran pihak produser,
kenapa poster film ini harus menampilkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Sekalipun itu
trik pemasaran, tentu hasilnya malah menimbulkan ekspektasi menyimpang dari tema
sebenarnya (dan saya pun merasakannya sebelum menonton film ini). Padahal kalau ditilik,
Dian Sastro hanyalah pemeran pembantu di film ini.

Sangat disayangkan, film bermutu seperti ini malah tertutup esensinya di mata penonton
awam hanya karena trik pemasaran itu. Apakah ini menegaskan bahwa pada film bermutu
sekalipun, nilai komersil masih harus dikejar-kejar?

FILM 3 DOA 3 CINTA DAN BOM MARRIOT

13

July 18, 2009 by Agamfat Bookmark the permalink.

Tak dinyana, sebagian penjelasan sosiologis mengapa orang mau membawa bom bunuh diri,
seperti pengeboman Marriot, ada di film 3 Doa 3 Cinta yang baru saya beli minggu lalu.

Film ini bercerita tentang 3 sekawan santri di pondok pesantren tradisional di Yogya. Huda
dimainkan oleh Nicholas Saputra berdoa agar segera dapat mencari ibunya di Jakarta selepas
lulus. Tokoh kedua, Rian, ingin meneruskan usaha bapaknya dengan membuka kembali
studio foto dan video kampung. Tokoh ketiga, Sahid yang suka mengikuti berita Palestina,
ingin mati sahid setelah mengikuti pengajian gelap radikal. Cerita memang tidak khusus
mengikuti Sahid, karena film ini membagi perhatian ke ketiga orang di atas, dengan prioritas
pada Huda.

Diceritakan kiai pondok yang gelisah karena belum mendapat anak lelaki untuk meneruskan
pondoknya. Sempat tergoda untuk kawin lagi, tapi akhirnya memantapkan diri dengan
memilih Huda, sang santri pintar dan baik budi, sebagai menantu.

Ini sejalan dengan disertasi mantan Rektor IAIN Semarang, Zamakhsari Dhofier, mengenai
kehidupan di pesantren dan proses pewarisan pondok melalui kawin mawin antara satu kiai
dengan kiai lain, atau dengan santri terbaiknya (Sarwo Edhie Wibowo sebagai Gubernur
Akabri juga melakukan hal yang sama).

Berbeda dengan film islami romantis sebangsa Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih,
yang menurut Eric Sasono memilih setting di Mesir karena bisa steril dari kehidupan riil umat
Islam, seperti kebodohan, kemiskinan, terorisme, radikalisme, kebobrokan pondok, film ini,
juga seperti Perempuan Berkalung Sorban, justru ingin mengangkat persoalan-persoalan riil
tersebut.

14

Salah satunya adalah pendidikan model sorogan, model pengajaran pesantren tradisional,
dimana kiai mengajar di masjid dengan kurikulum yang hanya kiai itu yang tahu, dengan
sistem ujian yang sangat personal, semuanya tergantung pada wit & wisdom dari kiai.
Sorogan ini biasanya mengajarkan kitab kuning yang berasal dari abad pertengahan dulu,
ditulis dalam bahasa arab atau tulisan Jawi (bahasa jawa atau melayu, tulisan arab).
Reformasi pendidikan Islam yang di awakan kiai Ahmad Dahlan adalah mengadopsi sistem
klasikal modern dari Belanda. Pondok dibuat berjenjang sesuai dengan sistem pendidikan
modern (6 tahun pendidikan dasar, 6 tahun pendidikan menengah) agar transmisi ilmu
berlangsung dengan terarah. Saat ini hampir semua pondok sudah menganut sistem klasikal,
tapi masih banyak pondok kecil yang masih model tradisional sorogan.

Pondok modern dan tradisional dahulu memang berbeda dari isi yang diajarkan. Pondok
modern dulu mengajarkan warisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, bahwa kebangkitan
Islam dapat diraih dengan meraih ilmu pengetahuan dengan kembali ke dasar dan merujuk
langsung ke Quran dan Hadis. Hanya saja, sejarah menunjukkan bahwa reformasi pemikiran
Islam ini bercabang dua, satu ke arah neomodernisme Islam yang didukung oleh pemikiran
sebangsa Ismail R Alfaruqi, Nurcholis Madjid, Gus Dur, Kuntowijoyo, buya Syafii Maarif.
Mereka berpandangan bahwa kebangkitan Islam itu sejalan dengan modernisme kehidupan.
Demokrasi dan konsep-konsep modern lainnya, seperti penghormatan terhadap perempuan
dan koeksistensi antar umat, itu sesuai dengan ajaran dasar agama Islam. Apa itu? Menurut
Kuntowijoyo, tiap orang, kelompok, ilmu, terutama Ilmu Sosial membawa misi profetik
(kenabian), secara bebas 1) Humanisasi, amar makruf, menyeru kebaikan dan bahwa tiap
manusia itu merupakan manusia yang sama dihadapan Penciptanya. Mereka punya hak-hak
yang tak bisa dipisahkan dari kodrat sebagai manusia, seperti hak hidup layak, hak
berkembang dari segi pendidikan, dsb. 2) Liberasi, pembebasan, dimana kebodohan dan
kemiskinan harus disingkirkan, serta dan 3) Transedensi, semuanya berlandaskan pada
keimanan.

Huda maupun romo kiai digambarkan berada dalam kelompok ini. Dalam akhir cerita, Huda
menjadi pemimpin pondok, dan mengajarkan humanisasi, liberasi dan transendensi dalam
bahasa awam ke santrinya.

15

Cabang kedua yang berinduk dari Abduh adalah mereka yang percaya bahwa kebangkitan
Islam bisa dicapai dengan kembali ke dasar/fondasi, Quran dan Hadis. Bedanya mereka
melihat bahwa keterpurukan umat Islam ini dalam world view yang khas sangat teori
konspirasi, bahwa Yahudi dan Amerika bertanggung jawab atas kemunduran umat. Pemikiran
ini pada diadopsi dengan berbagai tingkatan oleh kelompok semacam Ikhwanul Muslimin
(PKS di Indonesia), HTI, juga Abu Bakar Baasyir. Pada level yang ekstrem, ini digamvarkan
di film dimana Syahid mengikuti pengajian rahasia yang kebencian atas Yahudi selalu
diperdengarkan, dan jihad dengan bom adalah salah satu solusi. Syahid yang ingin mati sahid
dan suka memakai simbol-simbol Arab, sempat ingin mengambil jalan pintas ke surga
dengan (secara implisit) berjihad bom bunuh diri. Tetapi ketika melihat bahwa ada bule yang
baik hati, melunasi biaya rumahsakit bapaknya, jadi goyah keyakinan jalan pintas itu.

Apakah pengebom bunuh diri Marriot-Carlton ini mengalami hal yang sama? Beberapa tahun
lalu saya pernah mengikuti diskusi dan membaca riset-riset Sydney Jones, pengamat HAM
Indonesia dan dewasa ini meneliti radikalisme kelompok jihad di Indonesia. Sydney ini
sungguh menarik. Akhir tahun 70-an dia membela dan berkampanye secata internasional agar
Abu Bakar Baasyir dkk mendapatkan pengadilan yang adil ketika Orba sangat kuat. Dia
mengumpulkan dokumen, termasuk BAP dan dokumentasi persidangan hampir 30 tahun lalu.
Ketika bom mulai marak sejak 2000-an, Sydney adalah orang pertama dengan pengetahuan
mendalam mengenai Abu Bakar Baasyir dan alumni Afghanistan dan menguak jaringan
Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. Polisi pun menaruh hormat pada Sydney. Saya kira
pengamat abal-abal semacam Rohan Gunaratna dari Singapura tidak pernah terjun langsung
ke berbagai markas polisi, mewawancarai yang ditangkap, penangkap dan petinggi polisi.
Kemarin Sydney berkeyakinan dengan melihat informasi awal dan pola teror, bahwa teroris
Marriot-Carlton ini masih bagian dari jaringan JI faksi Noordin M Top. Tentu sangat berbeda
dengan Bapak Lanjutkan yang curhat bahwa pengebom adalah capres/cawapres kalah.

Dalam beberapa risetnya, Sydney atau ICG memaparkan bahwa rekrutmen jihadis atau
islamis ini masih berlangsung secara klandestin. Seperti model hubungan kekeluargaan antar
kiai di pesantren, jihadis ini juga saling mengikat diri melalui hubungan perkawinan.
16

Kembali ke film, dibalik kamar di pondok pesantren seperti pengalaman Emha Ainun Najib,
terjadi praktek homoseksual, penghormatan yang berlebihan pada kiai, atau justru
mendudukkan kiai pada tempatnya? Diceritakan ketika habis kelas tafsir, salah satu murid
segera berlari ke depan agar sandal sang kiai yang tadinya menghadap ke masjid, dibalik
menjadi menghadap ke arah jalan.

Film ini memang belum sempurna. Plotnya kadang membosankan. Sudah bermalam-malam
saya ketiduran ketika menontonnya, tapi dengan adanya pengeboman Marriot-Carlton yang
bukti awal menunjukkan jaringan Noordin M Top, film ini menemukan raison detre, bahwa
Islam itu adalah rahmat. Islam itu mengajarkan humanisasi, liberasi dan transendensi. Islam
itu bukan pengeboman. Islam itu tidak anti modernisme. Huda bahkan sempat menaksir Dona
penyanyi dangdut dimainkan Dian Sastro. Bahwa penyanyi dangdut kelas Sekaten juga punya
hak hidup. Islam bukan sekedar sekolah ke Mesir dan kemudian kawin dengan anak orang
kaya.

17

18

Anda mungkin juga menyukai