Anda di halaman 1dari 23

MODUL

MANAJEMEN SDM RUMAH SAKIT


(ARS 104)

MODUL SESI 6

MSDM STRATEJIK MELALUI LEARNING


ORGANIZATION DAN MANAJEMEN
PENGETAHUAN
DISUSUN OLEH
RINA ANINDITA
6097

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 23
Definisi Learning
Learning menurut Greenberg and Baron (2008:111-12) adalah perubahan
yang relatif permanen dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman sebelumnya.
Pengertian ini merupakan pengembangan dari konsep Argirys (1982) yang
menyatakan bahwa learning adalah suatu lingkaran aktivitas di mana seseorang
menemukan suatu masalah, mencoba menemukan solusi atasnya, menghasilkan
atau melaksanakan solusi itu dan mengevaluasi hasil akhir yang diperoleh tersebut.
Hal senada diungkapkan oleh Chang and Lee (2007:158) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa learning is the power of growth and individual learning is
the resources of business gorwth. Learning atau pembelajaran merupakan suatu
proses perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Proses
pembelajaran yang dilakukan oleh individu akan menjadi aset bagi perusahaan
atau organisasi untuk berkembang ke arah pertumbuhan Jika dalam suatu
organisasi setiap individu melakukan proses pembelajaran maka akan berdampak
pada perubahan yang dicapai oleh organsiasi.
Hal yang berbeda, diungkapkan oleh Rebelo dan Gomez (2005 : 296),
mengembangkan teori dari Wright (1936) dan Arrow (1962) yang mengenalkan
mengenai Learning by Doing di tempat kerja, dimana learning dilakukan sambil
atau pada saat yang bersamaan dengan melakukan pekerjaan, dan seiring
berjalannya waktu, kemampuan sesorang dalam melakukan pekerjaan akan
menjadi semakin cepat dan ahli. Beberapa studi dari Buchanan (1991), Luthans
(1989), Weiss (1990) dan Kolb (1984) dalam Tsang (2007:75) mengkaitkan
Learning dengan konteks organisasi. Mereka mengeksplorasi dalam penelitiannya
mengenai bagaimana anggota organisasi belajar di dalam organisasi. Brown
(1991) dan Yanow (1993) dalam Tsang (2005:76) menambahkan faktor budaya
sebagai hal penting dalam Learning di organisasi dan mempengaruhi bagaimana
anggota organisasi belajar.
Learning selalu dikonotasikan dalam hal positif terkait dengan perbaikan
ke arah yang lebih baik (tsang, 2007:83). Terkait dengan Organisasi pendidikan,
Learning menurut Veisi (2010 : 22-3), khususnya dalam pendidikan tinggi,
merupakan central work. Arti learning sebagai central work adalah learning
merupakan bagian keseharian dalam pekerjaan, diterapkan oleh individu, tim dan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 23
organisasi, bagian dari proses pemecahan masalah organisasi, dan fokus kepada
berbagi pengetahuan diantara anggota organisasi.

Definisi Organizational Learning


Pemikiran mengenai Organizational Learning telah berkembang sejak
pertengahan tahun 1960 dan 1970an, dimana pada saat itu telah menjadi kajian
oleh beberapa manajer di Amerika dan Eropa, dimana pada saat itu mereka
berpikir bahwa suatu organisasi sangat membutuhkan perbaikan dan perubahan
yang terus menerus (Yeo; 2005:368). Rebelo dan Gomez (2005:298)
menambahkan bahwa pada tahun 1963 sampai 1991 telah banyak publikasi ilmiah
yang mengangkat masalah dan topik Organizational Learning. Dimana hampir
60% publikasi ilmiah mengenai Organizational Learning diterbitkan sebelum
pertengahan tahun 1990an.
Konsep Organizational Learning berkembang sejak Argrys dan Schon
(1978) dalam Rowley dan Gibbs (2005 : 359) mengkaitkan Organizational
Learning dengan konsep pembelajaran single and double loop learning. Single
loop learning adalah konsep dimana individu merespon perubahan dalam
organisasi tanpa mengubah norma organisasi secara keseluruhan. Sedangkan
double loop learning adalah organisasi merespon terhadap perubahan di
lingkungannya dengan cara mengubah seluruh asumsi dan norma dalam
organisasinya, dimana dalam double loop learning merupakan kemampuan
organisasi beradaptasi dengan perubahan melalui proses belajar dan
mengendalikan bagaimana proses belajar tersebut berlangsung.
Senge (1990) kemudian mengkaitkan Organizational Learning dengan
orang atau kelompok dalam suatu orgnisasi sebagai “system thinkers” dan selalu
mengembangkan “personal mastery”, untuk mempelajari “mental model” secara
bersama-sama (Yeo: 2005 : 373). Dimana system thinker adalah setiap karyawan
berpikir bagaimana mengembangkan kekuatan untuk melakukan perubahan secara
lebih efektif, personal mastery adalah mengembangkan kapasitas individu untuk
meningkatkan kinerja dan mental model adalah melihat pada orang lain atau
melakukan benchmarking.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 23
Dari sejarah tersebut berkembang berbagai definisi dari Organizational
Learning. Menurut Robelo dan Gomez (2005 : 294) mengatakan bahwa
Organizational Learning is a Theory of Action Perspective. Sebuah teori yang
digunakan sebagai dasar untuk melakukan suatu tindakan. Dilengkapi Akhtar dan
Khan (2011 : 259) Organizational Learning merupakan tindakan jangka panjang
yang merupakan salah satu cara dalam meningkatkan competitive advantage dan
membutuhkan komitmen, perhatian dan usaha dari seluruh anggota organisasi.
Dalam penelitiannya belum lama ini, hal yang serupa dikatakan oleh Akhtar dan
Khan (2011: 261) yang menyatakan bahwa “Organizational Learning is a Activity
of Process” sebuah aktifitas dari proses dalam organisasi yang memaksimalkan
input di dalam organisasi untuk pengembangan dan meningkatkan kapasitas yang
diperlukan bagi organisasi.
Disamping sebuah proses sebagai bagian aktifitas perusahaan,
Organizational Learning juga menggambarkan bagaimana hubungan antara
anggota organisasinya, seperti diungkapkan oleh Jones (2005: 376-77),
Organizational Learning adalah ‘the process through which managers seeks to
improve organization members capacity to understand and manage the
organizatioan so that they can make decisions that continuously raise
organizational effectiveness’, yaitu sebuah proses yang dilakukan oleh manajer
dalam perusahaan dalam meningkatkan kapasitas dari anggota organisasi untuk
memahami dan mengatur organisasi sehingga mereka dapat membuat keputusan
yang meningkatkan tingkat efektifitas organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang
ditulis oleh Brahan (1993) dalam Yeo (2005 : 373) bahwa Organizational
Learning adalah organisasi yang melakukan pembelajaran dimana didalamnya
terdapat hubungan antara pekerja atau karyawan dengan pekerjaannya.
Kemudian untuk membedakan dengan definisi Organisasi pembelajar,
Yeo (2003) dalam Yeo (2005 ; 369) mengatakan bahwa dalam Organizational
Learning terdapat pertanyaan “how”, yaitu bagaimana proses pembelajaran di
kembangkan dalam suatu organisasi? Sehingga dapat dikatakan bahwa
Organizatioan Learning merupakan tipe atau jenis dari organisasi bukan
merupakan suatu proses. Lebih jauh Rebelo dan Gomez (2005 : 299) mengatakan
bahwa pandangan mengeani Organizational Learning merupakan sumber dari

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 23
keunggulan bersaing perusahaan dimana ini adalah suatu visi yang
mentransformasi organisasi tipe lama menjadi organisasi tipe baru yang
didalamnya anggota-anggotanya terus menerus melakukan pembelajaran.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Organizational
Learning adalah aktifitas atau proses pembelajaran dari setiap anggota di dalam
organisasi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan competitive advantage dan
kapasitasnya dengan cara melakukannya secara terus menerus yang dilakukan
oleh seluruh elemen dalam organisasi dengan memaksimalkan sumber daya yang
ada.

Definisi dan perkembangan Learning Organization

Berdasarkan hasil studi literatur dari Lyle (2012:216) Learning


Organization merupakan salah satu konsep pengembangan organisasi yang
pertama kali dikemukakan pada tahun 1980an, yang mengacu kepada proses
pembelajaran dalam organisasi yang bertujuan untuk pertumbuhan perusahaan,
hanya istilah ini baru dipopulerkan oleh Peter Senge (1990) dalam bukunya Fifth
Disciplines. Learning Organization menurut Peter Senge (1990) dan Ali
(2012:55-7), adalah suatu organisasi yang didalamnya para anggotanya secara
terus menerus mengembangkan kapasitasnya untuk memenuhi keinginan,
mengembangkan pola pikir, bisa memberikan aspirasi secara bebas dan
anggotanya selalu melakukan pembelajaran secara terus menerus secara bersama-
sama. Selanjutnya Yang,et.al (2004: 32) mengatakan bahwa Learning
Organization adalah proses yang tidak saja menyesuaikan kapasitas yang dimiliki
tetapi juga menambahkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan suatu
perubahan di masa depan.
Menambahkan dan mendukung apa yang telah diutarakan Senge
sebelumnya, Grieves (2008 : 465) dan Yang et.al (2004: 33) mengungkapkan
pengertian dari Learning Organization adalah sebuah organisasi yang
memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus
mengtransformasikan diri. Selanjutnya Peddler dalam Yeo (2005:374) kembali
menambahkan, “Learning Organization is like a fountain tree where image of

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 23
energy and life characteristics of growth and survival”, atau Learning
Organization mencerminkan energi yang tidak habis-habis, terus menerus
berusaha bertahan dan tetap tumbuh.
Beberapa definisi di bawah ini mengkaitkan learning pada tingkat individu
yang terintegrasi dengan learning pada level manajemen atau organisasi, yang
pertama datang dari Watkins dan Marsick (1992) dan Grieves (2006:466), bahwa
bagi sebuah Learning Organization untuk mentrasformasikan diri secara terus
menerus akan tercermin dari totalitas karyawan yang terlibat dalam proses yang
secara kolektif yang diatur oleh pimpinan organisasi. Artinya, terdapat
pembelajaran dari individu yang terintegrasi dengan pembelajaran pada level
organisasi. Kedua, diungkapkan oleh Garvin (1993) seperti yang dikutip oleh
Yen (2011:2), bahwa organisasi pembelajar merupakan ketrampilan dalam
berorganisasi yang mengkreasikan, membutuhkan dan membagi pengetahuan dan
untuk selanjutnya memodifikasi perilaku setelah mendapatkan pengetahuan dan
wawasan yang baru yang dilakukan dari sisi karyawan secara individu dan pihak
manajemen yang mewakili struktur organisasi. Ketiga, definisi dari Murray (2002)
yang hasil penemuannya sama dengan apa yang diungkapkan oleh Braham (1996),
Learning Organization adalah suatu proses yang didalamnya terdapat berbagi dan
memberi atau mendapatkan pengetahuan dengan cara melakukan transfer ilmu
melalui organisasi yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang strategis baik
secara individu maupun secara kelompok (Yeo: 2005:371).
Pada perkembangan berikutnya, definisi Learning Organization yang
disimpulkan dari berbagai definisi yang ada sebelumnya, disarikan oleh Moilanen
(2005: 75-6), adalah organisasi yang secara konsisten menerapkan “Belajar’
dalam komponen vitalnya, seperti nilai perusahaan, tujuan dan visi dalam operasi
kesehariannya dan dalam setiap penilaiannya, dimana Learning Organization
menghilangkan hambatan dalam learning dan mengembangkan struktur yang
mendukung learning and development. Dalam hal ini pemimpin dapat mendorong
setiap individu untuk menemukan tujuannya, menghilangkan hambatan individu
dan mengfasilitasi struktur bagai pembelajaran personal dan mendapatkanan
feedback serta keuntungan dari proses learning itu sendiri. Apa yang diungkapkan
oleh Moilanen ditambahkan oleh Lyle (2012: 217), dimana Lyle melakukan telaah

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 23
dari berbagai teori, Learning Organization merupakan suatu kerangka dalam
organisasi yang mengaplikasikan teori dari Organizational Learning.
Dengan menyimpulkan dari berbagai definisi organisasi pembelajar di atas,
maka dapat diambil beberapa simpulan yang dikatakan sebagai “new perspective”,
yang diungkapkan oleh Watkins and Marsick (2004:32-35), Ji et.al (2009:42045),
dan Weldy et.al (2010:456), bahwa definisi dari Organisasi Pembelajar dari
berbagai studi, dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu :
1. System Thingking Perspective, merupakan perspektif dari Senge (1990)
Mendefinisikan sebagai suatu organisasi yang memiliki tidak hanya
kemampuan beradaptasi, tetapi juga kemampuan untuk berkembang , yaitu
kemampuan untuk mencipatkan berbagai alternatif untuk dimasa yang akan
datang. Kelima disiplin yang dikembangkan oleh Senge, yaitu team learning,
mencakup aktifitas pembelajaran dalam suatu kelompok. Shared vision-
kemampuan untuk dapat berbagai visi di masa yang akan datang. Mental
models-melihat lebih dalam bagaimana industri bekerja. Personal mastery:
secara berkelanjutan terus memperbaiki diri secara indvidu, meningkatkan
energi, dan bersikap objektif terhadap organisasi. Dan terakhir system
thingking: kemampuan untuk melihat keterkaitan antara suatu fungsi dengan
fungsi. Kelima prinsip ini adalah lima prinsip dasar yang diyakini dibutuhkan
dalam membentuk sebuah organisasi pembelajar.

2. Learning Perspective. Pedler, burgonye dan Biydell (1991), mendefinisikan


sebagai suatu organisasi yang memfasilitasi pembelajaran bagi seluruh
anggotanya secara terus menerus dalam mencapai tujuan organisasi. Di
dalamnya terdapat 7 dimensi, yaitu : A learning approach to strategy, internal
exchange, reward flexibility, enabling structures, boundary worker as
environmental scanner, intercompany learning, learning climate and self-
development for everyone. Learning Perspective dari Pedler et.al ini
memberikan aspek yang komprehensif aspek pada seluruh level organisasi.
Hanya saja sama seperti dimensi dari Senge, ke-tujuh instrumen ini, lebih
banyak digunakan untuk bimbingan kearah menjalankan organisasi pembelajar,
bukan sebagai alat untuk penelitian.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 23
3. Strategic Perspective. Garvin (1993) mendefinisikan Learning Organization
sebagai kemampuan organisasi dalam menciptakan dan mentransfer
pengetahuan serta memodifikasi pengetahuan sesuai dengan pengetahuan baru
yang didapat tersebut. Ditambahkan dari Sisi strategic perspective oleh goh
(1998) bahwa organisasi pembelajar memiliki lima dimensi: Clarity and
support for mission and vision, shared leadership and involvement, a culture
that encourages experimentation, the ability to transfer knowledge accross
organizational boundaries and teamwork and cooperations. Dalam strategic
perspective ini, kemampuan manajerial dibutuhkan bagi suatu organisasi untuk
menjadi sebuah organisasi pembelajar. Hanya saja dalam starategic
perspective ini ada beberapa elemen yang tidak dimasukkan seperti faktor
individu dan proses pembelajaran yang terus menerus. Dan kelima dimensi ini
seringkali tidak dianggap sebagai sesuatu yang paralel karena beberapa dari
kelima dimensi tersebeut merefleksikan budaya organisasi (experimentation,
teamwork dan cooperation) sedangkan sebagian lagi merefleksikan
kemampuan organisasi (transfer of knowledge).

4. Integrative Perspective. Marsick dan Watkins (1993, 2003, 2004) membagi


organisasi menjadi sebuah prinsip yang didalamnya terdapat tiga komponen
kunci, yaitu : (1)system level, continous learning (2) create and manage
knowledge outcomes (3) lead to improvements in the organization’s
performance. Prinsip dari Marsick dan Watkins ini, mengintegrsaikan dua hal
penting yaitu people dan structure, yang dipandang sebagai komponen
interaktif dalam perubahan dan pengembangan organisasi sehingga people level
dan structure level menjadi variabel yang terpisah. Selanjutnya Marsick dan
Watkins mengembangkan tujuh dimensi dalam learning organization, dimana
tiga dimensi masuk dalam variabel Learning Organization People Level dan
empat dimensi masuk ke dalam variabel learning organization strcture level,
ketuju dimensi tersebut, yaitu: Continous Learning, merepresentasikan usaha
dari organisasi untuk menciptakan pembelajaran terus menerus dan kesempatan
bagi seluruh anggotanya untuk melakukan pembelajaran. Yang kedua adalah

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 23
inquiry dan dialogue, yang mencerminkan usaha dari organisasi untuk
menciptakan suatau budaya dalam bertanya, memmberikan umpan balik dan
melakukan percobaan. Dimensi yang ketiga team learning, mencerminkan
semangat bekerja sama dan kemampuan dalam bekerjasama sehingga dapat
menjadi suatu timkerja yang efektif. Dimensi keempat, empowerment,
memperlihatkan proses organisasi untuk menciptakan dan berbagai visi
bersama dan mendapatkan umpan balik dari seluruh anggota organisasi
mengenai kesenjangan antara visi yang sekarang dengan visi baru yang akan
dikembangkan. Dimensi kelima, embedded system, mengindikasikan adanya
usaha untuk membangun sistem yang mencakup keseluruhan dan berbagi
proses pembelajaran. Dimensi keenam, system connection, merefleksikan
pemikiran global dan tindakan yang menghubungkan antara internal organisasi
dengan lingkungan eksternal. Dan dimensi terakhir adalah strategic leadership,
memperlihatkan para pemimpin yang dapat berpikir secara strategis dan
mampu menggunakan learning untuk menciptakan perubahan dan berubah
menjadi organisasi dengan arah yang baru.
Memadukan dari keempat persepektif diatas, Ortenbald (2007:110)
mengatakan, pertama adalah Learning perspective, yang fokus kepada
pengetahuan pada berbagai level organisasi. Yang kedua adalah learning at work
perspective, yaitu memandang setiap individu melakukan pembelajaran di tempat
kerja. Yang ketiga adalah learning climate perspective, memandang sebuah
organisasi sebagai organisasi yang memfasilitasi anggotanya untuk terus
melakukan pembelajaran. Dan yang keempat adalah learning structure
perspective, yang memandang learning sebagai suatu kesatuan yang sifatnya
fleksibel.
Dengan melihat berbagai definisi di atas, dapat dikatakan bahwa Learning
Organization merupakan suatu bentuk organisasi yang ideal untuk meningkatkan
kemampuan perusahaan dalam memenangkan persaingan dimana organisasi
tersebut berusaha untuk selalu bertransformasi ke arah yang lebih baik, dengan
memberikan fasilitas pembelajaran bagi anggota organisasi, dan organisasi harus
memapu menciptakan budaya menciptakan dan mentransfer pengetahuan di dalam
organisasi tersebut. Di dalam penelitian ini, Learning Organization mengacu

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 23
kepada sebuah bentuk organisasi pada pendidikan tinggi yang didalamnya lebih
cenderung kepada integrative perspective, dimana Learning Organization dibagi
atas perspektif learning di people level, yang didalamnya terjadi pembelajaran
terus menerus, dialog dan umpan balik, pembelajaran secara berkelompok, dan
pemberdayaan anggota organisasi. Kemudian learning pada level organisasi dan
manajemen yang terdiri dari sistem yang teritegrasi, memiliki kerjasama dengan
lingkungan eksternal di luar organisasi, dan kepemimpinan yang strategis yang
dapat menunjang proses pembelajaran.
Learning Organization, dapat menjadi sebuah tujuan, proses ataupun
strategi yang digunakan oleh organisasi dalam mencapai tujuan akhir. Apabila
tujuan sebuah organisasi adalah meningkatkan kinerja, maka learning
organization adalah bisa menjadi cara yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut.
(Watkins and Marsick, 2003; White and Wheattersby, 2005)

Ukuran Learning Organization


Perkembangan ukuran untuk Learning Organization dari tahun ke tahun
terurai dalam tabel berikut ini:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 23
Tabel 1
Ukuran Learning Organization

No Penulis Ukuran Sumber


dan Individu Team Organisasi
Tahun
1 Senge • Mental • Team • Shared Senge, The 5th
(1990) Model Learning Vision Diciplines The art and
• Personal • System the Practice of Learning
Mastery Thingking Organization

2 Peddler • Self development • Approach to Revisiting the roots of


(1991, • Reward flexibility strategy Learning Organization.
1998) • Enviromental workers • Participate
policy The learning
making Organization Vol.12
• Learning No. 4, 2005, Roland
Climate Yeo

3 Hawkins • Efficiency • Effectiveness • Evolutionary The Spiritual


(1991) Operations Strategy needs Dimensions of
Learning Organization
Management Education
and Development . Vol.
22 No.3 , 1991

4 Garvin • Continous • Teamwork • Transfer of Yang, Watkins and


(1993) Learning • Cooperation knowledge Marsick, The Construct
of the Learning
Organization
Dimension,
Measurement, and

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 23
Validation.
Human Resources
Development Quarters.
Vol. 15 No.01. 2004

5 Garrat • Rules and • Changing • Company’s Garrat, The Learning


(1995) system Rules and Vision Organization 15 years
• Routine systems • Comples and on, some personal
and • Nonroutine deal with reflections. The
repetitive and complex external Leaqrning
environment ORganization Vo. 6
No. 5, 1995
6 Griffey • Personal • Personal • Transpersonal Conceptual framework
(1998) Learning Wisdom Enlightment beyond the Learning
Organization. The
Learning Organization
Vol. 5 No.2, 1998

7 Goh •Ability to • Clarity and support for Akhtar and Khan,


(1998) transfer support mission and vision Exploring the Paradox
knowledge • Shared leadership of Organizational
•Teamwork • Culture Learning
and Interdiclipinary Journal
cooperatio of Contemporary
n Research Business.
Vol. 2 No. 9, 2011
8 Watkins • Continous • Team • Embedded Yang, Watkins and
Marsick Learning Learning System Marsick,
(2003) • Inquiry and • Empowerment • System The Construct of the
Dialog Connection Learning Organization
• Strategic Dimension,
Leadership Measurement, and

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 23
Validation.
Human Resources
Development Quarters.
Vol. 15 No.01. 2004
9 Ortenbald • Individual • Storage knowledge in Sicilia and Lytras.
(2004, learn at organization The Semantic Learning
2010) work • Facilitate learning for all Organization,
place employee The Learning
• Flexible ORganization Vol. 12
entity for No.5, 2005
learning

Dari uraian tabel diatas terlihat bahwa hasil dari setiap studi menghasilkan
dimensi yang berbeda namun dalam pembagian sub yang hampir sama, dimana,
sebenarnya setiap dimensi dibagi menjadi tiga bagian, dimensi yang masuk ke
dalam individual, dimensi team level dan dimensi organization atau structure
level. Ada beberapa ahli yang menggabungkan level individu dengan tim, yang
disebut sebagai people level dimana menurut Watkins dan Marsick ( 2004 :33-5)
ini menjadi sebuah variabel tersendiri., dan structure level menjadi variabel yang
lain.
Menurut Jones (2005: 376-77) didalam Learning Organization terdapat
berbagai level, yaitu: a) individual, dimana pada level ini, manajer harus
menyediakan seluruh fasilitas yang diperlukn oleh seorang individu untuk belajar
ketrampilan, norma dan nilai baru sehingga setiap individu mampu untuk
meningkatkan kemampuannya. ; b) group, pada level ini, manajer wajib untuk
mendorong pembelajaran melalui kerja-kerja kelompok sehingga setiap individu
dapat berbgai ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya, disamping sebuah
kelompok mampu memberikan sinergi dalam setiap ide ; c) organizational, pada
level tertinggi ini, manajer akan memberikan sebuah pembelajaran organisasi
melalui sebuah struktur dan budaya organisasi yang baru, sehingga sebuah desain
organisasi yang baru diharapkan dapat meemfasilitasi pembelajaran yang
dibutuhkan organisasi tersebut.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 23
Dalam Individual Level, Senge (1990) mengatakan bahwa organisasi
hanya fokus pada tindakan perbaikan individu, dimana setiap individu berusaha
untuk menambahkan kapabilitas dan ketrampilannya tanpa memperhatikan apakah
hal yang dilakukannya akan memperbaiki kinerja kelompok kerja dan organisasi
atau tidak. Pada fase ini, setiap individu akan mengalami improving. Dalam Team
Level, proses pembelajaran yang dilakukan oleh setiap individu mulai memikirkan
apa dampak terhadap kelompok dan organisasinya dan mulai melibatkan tim kerja,
setiap individu berusaha memahami kelompok kerja dan organisasinya. Fase ini
disebut sebagai fase improving dan understanding. Pada tahap terahir, Structure
Level, menggabungkan antara inividu dan organisasi, dimana pada fase ini baik
organisasi dan invidu belajar bagaimana melakukan sebuah pembelajaran, dan
organisasi diharapkan untuk dapat melakukan transformasi dalam pembelajaran.
Organisasi belajar bagaimana terus melakukan pembelajaran dari waktu ke waktu
sehingga organisasi akan berusaha untuk memfasilitasi setiap anggotanya untuk
melakukan pembelajaran (peddler, 1991, Garvin 1993). Pada fase ini, sebuah
organisasi berada pada improving, understanding dan transforming.
Pada penelitian ini, konsep Learning Organization yang digunakan adalah
konsep dari Watkins dan Marsick yang membedakan pembelajaran pada people
dan structure level.

Salah satu bentuk pemberdayaan karyawan yang saat ini sering dilakukan adalah
dengan aktifitas berbagi pengetahuan, yang merupakan bagian dari pengelolaan
manajemen pengetahuan.

Pengertian Knowledge Sharing


Ekonomi global telah berubah dari orientasi industri murni menjadi
fokus pada layanan dan pengetahuan. Tidak ada organisasi yang dapat bertahan
tanpa pengetahuan, dan sangat penting bagi organisasi yang sukses untuk
membagikannya (Ellahi dan Mushtaq, 2011). Knowledge telah dikenal sebagai
sumber utama untuk menciptakan keunggulan kompetitif berkelanjutan
organisasi (Fang Y et al.2010). Knowledge adalah kebiasaan, keahlian, atau

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 23
kepakaran, keterampilan, pemahaman atau pengertian yang diperoleh dari
pengalaman, latihan atau melalui proses belajar, atau bahkan keahlian seseorang
yang diperoleh melalui usaha dan bakat tertentu seseorang (Yusuf, 2012)

Knowledge sharing berarti proses mendapatkan pengalaman dari orang


lain. Winkelen dan Jane (2011) percaya bahwa knowledge sharing adalah salah
satu aspek kunci dari peran individu dalam lingkungan sosial dan organisasi.
Dalam lingkungan organisasi, knowledge sharing berarti berbagi perilaku dan
pengalaman organisasi dengan informasi penting dan keyakinan manajerial atau
praktik kerja di antara karyawan (Lin, 2007). Oleh karena itu, knowledge
sharing adalah tentang menyiapkan informasi pekerjaan, mengetahui cara
berkolaborasi dengan orang lain untuk memfasilitasi pekerjaan, menyelesaikan
masalah, menerapkan kebijakan atau mengembangkan ide-ide baru (Pulakos,
Dorsey, dan Borman, 2003) dan dapat digunakan untuk penciptaan, akuisisi dan
pemeliharaan proses bisnis (Witherspoon et al. 2013).
Knowledge sharing merupakan proses yang sistematis dalam
mengirimkan, mendistribusikan, dan mendiseminasikan pengetahuan dan
konteks multidimensi dari seorang atau organisasi kepada orang atau organisasi
lain yang membutuhkan melalui metode dan media yang variatif (Lumantobing,
2011). Winkelen dan Jane (2011) percaya bahwa knowledge sharing adalah
salah satu aspek kunci dari peran individu dalam lingkungan sosial dan
organisasi. Dalam lingkungan organisasi, knowledge sharing berarti berbagi
perilaku dan pengalaman organisasi dengan informasi penting dan keyakinan
manajerial atau praktik kerja di antara karyawan (Lin, 2007). Islam et al. (2010)
menyatakan aktivitas knowledge sharing membantu organisasi dalam
mentransfer ide-ide baru dan solusi-solusi.
Adanya aktivitas knowledge sharing menyebabkan anggota organisasi
bisa mengaktualisasi visi-visi organisasi (Olatokun dan Nneamaka, 2012).
Sedangkan Ling et al. (2009) mendefinisikan knowledge sharing sebagai
diseminasi informasi dan pengetahuan ke seluruh organisasi. Knowledge
sharing juga dapat didefinisikan sebagai aktivitas bagaimana individu bekerja
bersama, saling menukar pengetahuan, melakukan pembelajaran, dan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 23
meningkatkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan-tujuan individu dan
organisasi (Zawawi et al. 2011). Dapat dinyatakan bahwa knowledge sharing
adalah berbagi informasi, ide-ide, saran-saran, dan pengalaman dari satu
individu ke individu lain (Arabshahi et al. 2013).
Knowledge sharing adalah kegiatan bekerjasama yang dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar tercapai tujuan individu serta
organisasi. Knowledge sharing merupakan interaksi sosial yang melibatkan
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan antara karyawan untuk
meningkatkan kompetensi yang dimiliki (Pramono dan Susanty, 2015). Hal itu
dimaksudkan bahwa melalui kegiatan knowledge sharing, maka seseorang akan
mendapatkan pemahaman, wawasan baru terhadap suatu hal, dan peningkatan
tersebut merupakan salah satu bentuk dari adanya pembelajaran (Elizabeth,
2014).

Dimensi Knowledge Sharing


Menurut Swift (2013) mengatakan bahwa terdapat tiga dimensi
knowledge sharing yaitu:
1. Membagikan secara sukarela pengetahuan yang dimiliki kepada karyawan
lain. Sehingga pengetahuan tersebut akan di nilai bermanfaat sehingga
dapat menjadi bekal untuk dapat meningkatkan hasil suatu kerja.
2. Berkomunikasi dengan semua orang. Hal ini sangat berpengaruh daalam
sebuah aktifitas sebuah organisasi, karena dengan adanya komunkasi
yang baik akan berpengaruh terhadap kemajuan dan keberhasilan suatu
organinisasi.

3. Menerima dan mendapatkan semua informasi dengan mudah dan bebas.


Ketika setiap karyawan dapat dengan mudah menerima dengan mudah
informasi yang dibutuhkan sehingga akan mempermudah dalam
menerapkan apa yang telah diperoleh tersebut.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Knowledge Sharing

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 23
Faktor-Faktor knowledge sharing pada dasarnya, faktor-faktor knowledge
sharing dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Sonata, 2017), yaitu:
1. Faktor Organisasional
Faktor organisasi merupakan faktor yang tidak berasal dari individu
pribadi. Hal ini dapat disebabkan oleh lingkungan atau individu lain
untuk merangsang sikap knowledge sharing. Sistem insentif, budaya
organisasi dan sistem manajemen diklasifikasikan sebagai faktor
eksternal.

2. Faktor Individu
Faktor individu adalah faktor yang berasal dari pertimbangan penggerak
individual. Itu berarti bahwa itu berasal dari internal seseorang. Contoh
faktor internal adalah keyakinan, persepsi, harapan, sikap dan perasaan.

3. Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan teknologi manajemen pengetahuan,
seperti perangkat lunak dan perangkat keras yang digunakan dalam
kegiatan sharing. Menurut choi (2010) teknologi informasi dapat
meningkatkan kemampuan anggota dalam suatu kelompok dalam proses
knowledge sharing.

Hambatan Knowledge Sharing


Sangkala (2007) menyatakan hambatan terbesar di dalam upaya organisasi
melakukan knowledge sharing, yakni adanya kultur penghambat yang dinamakan
dengan pertentangan (friction). Pertentangan akan memperlambat dan dapat
mencegah berlangsungnya proses knowledge sharing dan kemungkinan mengikis
pengetahuan yang sudah ada. Beberapa bentuk pertentangan :
1. Kurangnya kepercayaan.
2. Perbedaan kultur, bahasa, dan referensi.
3. Tiada nya waktu tempat pertemuan;ide sempit mengenai bekerja produktif.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 23
4. Status penghargaan terhadap pemilik pengetahuan.
5. Kurangnya kapasitas menyerap dari penerima.

Manfaat Knowledge Sharing : Meningkatkan Perilaku Inovatif di Tempat


Kerja

Pengertian Innovative Work Behavior


Perilaku terbagi tiga dalam organisasi diantaranya perilaku individu,
kelompok, dan organisasi (Robbins dan Judge, 2012). Dalam perspektif psikologi
organisasi, aktivitas - aktivitas tersebut dinamakan innovative work behavior atau
perilaku inovatif (Janssen, 2000). Innovative work behavior terdapat pada perilaku
organisasi yang terdapat pada level sistem organisasi dan masuk pada budaya
organisasi.Konsep inovasi dikenal secara luas sebagai tujuan utama kegiatan
ekonomi, oleh karena itu inovasi telah menjadi instrumen utama untuk mencapai
dan melestarikan keunggulan daya saing (Sutrisno, 2010). Innovative behavior
menunjukkan penciptaan yang disengaja, pengenalan dan penerapan ide-ide baru
yang menguntungkan kinerja-peran, kelompok atau organisasi (De Jong dan den
Hartog, 2010).
Innovative Work Behavior adalah seperangkat perilaku yang dibutuhkan
untuk mengembangkan, peluncuran dan menerapkan ide-ide dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja pribadi maupun organisasi (de Jong dan den Hartog, 2010;
Farr dan Ford, 1990; Saeed, 2014). Dalam pemahaman praktis, innovative work
behavior merupakan kontinum perilaku yang melibatkan proses berfikir kreatif
(intra personal) hingga meyakinkan orang lain (interpersonal) dalam setiap
pelaksanaan ide pada situasi pekerjaan ( De jong dan Hartog, 2010). Innovative
Behavior juga telah ditemukan secara luas sebagai perilaku kerja dan inisiatif
pribadi sebagaimana yang disampaikan oleh Frese, Kring, Soose, dan Zempel
(2014), yang fokus pada kecenderungan individu untuk melaksanakan ide-ide
secara proaktif.
Innovative work behavior (IWB) mengacu pada penciptaan, pengenalan,
dan penerapan ide-ide baru secara sengaja di tempat kerja, dalam kelompok atau
di dalam organisasi untuk tujuan peningkatan kinerja (Janssen, 2000).Demikian

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
17 / 23
juga, ini adalah proses multi-tahap dimana individu menghadapi masalah dan
kemudian menghasilkan ide yang mengarah ke solusi untuk masalah spesifik
dengan inovasi dan dukungan yang dibutuhkan dari tenaga kerja (Kemp, 2016).
Oleh karena itu, innovative work behavior dapat didefinisikan sebagai temuan,
saran, dan implementasi karyawan tentang tugas-tugas terkait pekerjaan yang
bermanfaat bagi kinerja organisasi (Akram, Lei, Haider, dan Hussain,
2018).Menurut Yuan dan Woodman (2010) dikatakan bahwa innovative work
behavior adalah keinginan anggota organisasi untuk memperkenalkan,
mengajukan serta mengaplikasikan ide-ide, produk, proses, serta prosedur baru ke
dalam pekerjaannya, unit kerja atau bahkan organisasi tempat bekerja. Yuan dan
Woodman (2010) memberikan contoh innovative work behavior bisa berupa
menemukan teknologi baru, memberikan saran mengenai cara-cara baru untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, mengaplikasikan metode kerja yang baru
serta menginvestigasi dan mengamankan sumber daya untuk
mengimplementasikan ide-ide baru.
Menurut Yuan dan Woodman (2010) mengacu dari pendapat Kanter
(1988), Jansen (2000) serta Scott dan Bruce (1994) mengatakan bahwa innovative
work behavior sebagai suatu perilaku yang kompleks, yang terdiri dari aktifitas-
aktifitas yang berhubungan dengan memperkenalkan atau menghasilkan ide-ide
baru serta implementasi atau realisasi dari ide-ide baru tersebut. Menurut Yuan
dan Woodman (2010), inovasi seringkali dihubungkan dengan perspektif efisiensi,
di mana terdapat asumsi bahwa organisasi membuat suatu keputusan yang
rasional dalam mengadopsi inovasi untuk memaksimumkan tingkat efisiensinya.

Dimensi Innovative Work Behavior


Berdasarkan sumber studi dari (Damanpour dan Schneider, 2009; de Jong
dan den Hartog, 2010; Yuan dan Woodman, 2010) menyebutkan terdapat 4
(empat) dimensi innovative work behavior, yaitu:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
18 / 23
1) Idea Exploration, proses Inovatif ditentukan oleh kesempatan.
Kesempatan akan memicu individu untuk mencari cara untuk
meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, atau berusaha memikirkan
sebuah alternatif baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan.

2) Idea Generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan.


Menemukan Ide merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep
yang telah ada untuk meningkatkan performansi. Individu yang tinggi
dalam level ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan
cara pikir yang berbeda.

3) Idea Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan


membangun koalisi, seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan atau
manajemen, dan bernegoisasi mengenai suatu solusi.

4) Idea Implementation, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif


terhadap suatu hal tapi juga mengaplikasikan ide tersebut ke dalam
tindakan nyata, Ide ide kreatif individu di lindungi oleh undang undang
hak cipta.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Innovative Work Behavior

Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya


innovative work behavior. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor
eksternal maupun faktor internal yaitu :

1) Faktor Internal
a) Interaksi dengan atasan (kepemimpinan)

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
19 / 23
Karyawan yang memiliki hubungan yang positif dengan
atasan mereka lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku
inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan bahwa perilaku
inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja.
b) Interaksi dengan grup rekan kerja
Karyawan yang memiliki hubungan baik dengan rekan
kerja lebih mungkin memudahkan mereka mengimplementasikan
ide baru mereka juga meningkatkan idea generation di dalam
sebuah grup rekan kerja mereka. Dan hal ini memudahkan
perilaku inovatif kerja untuk berkembang.

2) Faktor Eksternal
a) Competitive pressures
Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi mampu
mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki efek
positif untuk munculnya perilaku inovatif.
b) Social – Political pressures
Organisasi yang memiliki dukungan dari pemerintah harus
terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap ingin
mendapat dukungan. Sehingga pemimpin dan karyawan harus
memunculkan perilaku inovasi agar tetap memberi hasil kerja
yang terus berkembang dan lebih baik.

Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif


menurut pendapat Etikariena dan Muluk (2014) : yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor tersebut adalah:

a. Faktor Internal
1. Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah
orang yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu
dan berani mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di
buat.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
20 / 23
2. Gaya individu dalam memecahkan masalah,karyawan yang
memiliki gaya pemecahan masalah yang intuitif dapat
menghasilkan ide-ide sehingga menghasilkan solusi yang baru.

b. Faktor Eksternal
1. Kepemimpinan, banyak bawahan yang kurang dapat menjaga
hubungannya dengan pemimpinnya, dan hal tersebut dapat
membuat perilaku inovatif seseorang tidak terlihat, namun
karyawan yang memiliki hubungan yang positif dengan
pemimpinnya, cenderung memunculkan perilaku inovatif pada
karyawan. Harapan yang tinggi dari pemimpin agar karyawannya
menjadi inovatif juga dapat mempengaruhi munculnya perilaku
inovatif pada karyawan (Scott dan Bruce, 2013).

2. Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar


individu sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam
menciptakan suatu perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan
dari orang dalam organisasi tersebut juga bisa memunculkan
perilaku inovatif bagi karyawan tersebut. (Scott dan Bruce, 2013).

3. Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung


meningkatkan semangat para karyawan nya untuk berperilaku
inovatif. Tuntutan tersebut menjadi dorongan bagi karyawan
tersebut. Salah satu hal yang muncul akibat adanya tingkat tuntutan
pekerjaan yang tinggi tersebut adalah perilaku inovatif (Etikariena
dan Muluk , 2014).

4. Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana


lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh
karyawan (Etikariena dan Muluk, 2014).

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
21 / 23
https://www.researchgate.net/publication/280490126_KNOWLEDGE_MANAGE
MENT_A_REVIEW

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
22 / 23

Anda mungkin juga menyukai