Anda di halaman 1dari 31

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Organizational Learning


2.2.1 Definisi

Beberapa definisi pembelajaran organisasi menurut beberapa ahli adalah

sebagai berikut :

1. Pembelajaran organisasi merupakan deteksi dan koreksi terhadap kesalahan

(Argyris and Schon, 1978)


2. Pembelajaran organisasi adalah pengembangan pengetahuan atau wawasan

yang berpotensi mempengaruhi perilaku (Slater & Narver, 1994, in Bontis et

al., 2002)
3. Pembelajaran organisasi merupakan proses di dalam organisasi di mana

pengetahuan mengenai hubungan tindakan-hasil dan pengaruh lingkungan

terhadap hubungan tersebut dikembangkan (Wood, 1998).


4. Pembelajaran organisasi adalah kesengajaan menggunakan proses-proses

pembelajaran pada tingkat individu, kelompok dan sistem untuk

mentransformasi organisasi secara berkelanjutan yang mengarah pada

meningkatnya kepuasan stakeholdernya (Dixon, 1994)


5. Pembelajaran organisasi pada esensinya adalah proses kreatif dan interaktif.

Hal ini terkadang dicapai dengan mendapatkan dan menerapkan

pengetahuan yang ada dan kadang dengan membangkitkan pengetahuan

baru. Pada kedua situasi tersebut, kreatifitas dibutuhkan karena perpindahan

pengetahuan dari satu hubungan ke hubungan yang lain tidak pernah

merupakan suatu proses imitasi yang sederhana (Antal, 2002).

Dari beberapa definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa pembelajaran

organisasi adalah suatu proses pemilikan dan aplikasi pengetahuan baik yang
2

diperoleh dari dalam maupun dari luar organisasi yang dioptimalkan secara

terpadu pada tingkat individu, kelompok dan organisasi untuk tujuan

pengembangan organisasi.

2.1.2 Tipe Organizational Learning

Menurut Curtis and Philip (2001) ada 4 (empat) tipe organizational

learning, yaitu:

1. Competence Acquistion;

Pembelajaran organisasi diperoleh melalui peningkatan kompetensi untuk

menumbuhkan kemampuan baru dalam tim maupun kemampuan individu

termasuk sumber daya, proses dan nilai-nilai. Organisasi mempunyai komitmen

bersama untuk belajar terus menerus dengan mencari cara baru untuk bekerja dan

dengan menempatkan pembelajaran sebagai sesuatu yang penting dari strategi

pengembangan organisasi tersebut.

2. Experimentation;

Pembelajaran organisasi diperoleh dengan mencoba ide yang baru. Anggota

organisasi adalah inovator yang berusaha untuk menjadi yang pertama dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat. Inovasi sangat diperlukan oleh organisasi

pelayanan kesehatan untuk mendapatkan problem solving dari permasalahan yang

ada, baik dalam hal pelayanan maupun pelaksanaan program kesehatan.

3. Continous Improvement;

Pembelajaran organisasi didapatkan dengan melakukan proses perbaikan

secara terus-menerus. Proses akreditasi Puskesmas merupakan salah satu cara


3

untuk menjamin proses pembelajaran untuk perbaikan proses pelayanan dan

program kesehatan yang dilakukan secara terus-menerus.

4. Boundary Spanning;

Pembelajaran organisasi dilakukan dengan belajar pada organisasi lain, yang

dianggap sebagai pesaing. Banyak organisasi yang belajar dari orang lain. Porche

mengirim tim teknik ke pabrik mobil Jepang untuk membandingkan perakitan

untuk kemudian dikembangkan cara untuk meningkatkan proses mereka sendiri.

Berdasarkan penelitian, organisasi yang belajar dengan eksperimen lebih mampu

bertahan pada perubahan daripada organisasi yang mengandalkan metode belajar

lainnya. Ini tidak berarti tipe eksperimen adalah yang terbaik untuk semua

organisasi. Untuk memaksimalkan daya saing, dominasi pembelajaran organisasi

harus sesuai budaya.

2.1.3 Organizational Learning Capability dan Organizational Learning Process

Organizational Learning bisa diukur sebagai :

1. Organizatioanl Learning Capability :

Definisi organizational learning capability menurut beberapa ahli:

a. Karakteristik organisasi dan manajerial yang memfasilitasi proses

pembelajaran organisasi atau mengizinkan organisasi untuk belajar (Chiva

et al., 2007).
b. Pentingnya peran fasilitasi dari pembelajaran organisasi atau kecenderungan

organisasi untuk belajar (Dibella et al., 1996; Goh and Richards, 1997;

Yeung et al., 1999; Jerez-Gomez et al., 2005).


4

Dari kedua definisi di atas bias kita simpulkan bahwa Organizational learning

capability merupakan karakteristik organisasi yang memfasilitasi organisasi untuk

terus belajar. Berikut dimensi Organizational Learning Capability menurut

beberapa ahli :

Tabel 2.1 Dimensi Organizational Learning Capability

No Jerez_Gomez et al. Chiva et al. (2007)


Gelard and Mirsalehi
(2005) (2010)
1 Managerial Experimentation Open environment and
commitment experimentation
2 System perspective Risk taking Risk taking
3 Openes and Interaction with the Interactionwith
experimentation external environment external environment
4 Knowledge transfer Dialogue Distribution and
and integration sharing internal
knowledge
5 Participative Participative decision
decision making making
6 Ongoing training
7 System thinking
Sumber : Gomez et al.(2005), Chiva et al. (2007), Gelard and Mirsalehi

(2010)

Pengukuran organizational learning capability bisa menggunakan beberapa

model (misal Jerez-Gomes et al., 2005; Chiva et al., 2007). Model yang

disampaikan oleh Chiva et al (2007) dianggap lebih sintetis dan komprehensif

dalam waktu yang bersamaan, sehingga model inilah yang digunakan dalam

penelitian ini. Chiva et al menyatakan ada lima dimensi dalam organizational

learning capability yaitu: experimentation, risk taking, interaction with external

environment, dialogue dan participative decision making. Penjelasan dari dimensi

tersebut adalah sebagai berikut:


1. Experimentation, merupakan suatu tingkat dimana ide dan saran baru,

dipelajari dan ditangani dengan simpatik.


5

2. Risk taking, merupakan toleransi terhadap perbedaan/ ambiguitas,

ketidakpastian, dan kesalahan.


3. Interaction with the external environment, merupakan ruang lingkup

hubungan dengan lingkungan luar, yaitu faktor yang berada di luar kendali

langsung dan pengaruh organisasi.


4. Dialogue, merupakan keingintahuan kolekif yang berkelanjutan melalui

proses, asumsi, dan kepastian yang membentuk pengalaman keseharian,


5. Participative decision making, merupakan tingkatan dari pengaruh dan

keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan.

2. Organizational Learning Process

Organizational Learning Process merupakan sebuah proses pembelajaran

yang ada dalam suatu organisasi, yang terdiri dari beberapa fase atau proses. Ada

beberapa perspektif terkait proses yang banyak dipakai sebagai dasar dalam

berbagai studi di area organizational learning yaitu : Huber (1991) dan Crossan

et al. (1999).

Tabel 2.2 Organizational Learning Process menurut Huber (1991) dan Crossan et
al., (1999)
No Huber (1991) (Crossan et al. (1999)
1 Knowledge acquisition Intuiting
2 Information distribution Interpreting
3 Information interpretation Integrating
4 Organizational memory Institutionalizing
Sumber : Huber (1991), Crossan et al. (1999)

Huber menekankan pada beberapa aspek, yang disepakati oleh beberapa

peneliti, bahwa ada beberapa kondisi khusus sehingga organizational learning

merupakan sebuah proses sadar atau proses yang intensif, dan bahwa
6

pembelajaran terkadang tidak meningkatkan efektivitas ataupun potensial

efektivitas dari organisasi, apabila proses pembelajaran tidak dilakukan dengan

cara yang benar. Huber juga menyatakn bahwa pembelajaran tidak selalu

menghasilkan perubahan perilaku yang cukup berarti. Pembelajaran merupakan

kombinasi dari perspektif kognitif dan perilaku. Pembelajaran mungkin akan

mengubah pada kesadaran dan cara pandang yang baru, tetapi perilaku belum

tentu berubah. Pembelajaran menjadi bermakna apabila selama dalam proses

informasi (knowledge acquisition sampai dengan organizational memory), ada

perubahan perilaku yang cukup bermakna (Huber, 1991).

Crossan et al, (1999) menyatakan bahwa proses organizational learning

terdiri dari empat perspektif yaitu: intuiting, interpreting, integrating dan

institutionalizing. Proses organizational learning melibatkan level individu,

kelompok, serta organisasi. Organizational learning menekankan pada asimilasi

dari pengetahuan yang baru (exploration) dan pemanfaatan dari apa yang sudah

dipelajari (exploitation) (Crossan et al., 1999).

Intuiting merupakan suatu proses alam bawah sadar, yang mengenali pola

tentang sesuatu. Interpreting merupakan sisi sadar dari proses organizational

learning, yang merupakan level dimana seorang individu mengembangkan

cognitive maps. Integrating merupakan aksi yang terintegrasi pada beberapa level.

Instititionalizing merupakan proses pembelajaran organisasi, yang berkaitan

dengan proses pembelajaran individu maupun kelompok (Crossan et al., 1999).

Gabungan dari empat proses (intuiting, interpreting, integrating dan

institutionalizing) dengan tiga level (individual, grup dan organisasi), dibagi


7

dalam beberapa level berikut ini: intuiting pada level individu, interpreting pada

level individu dan kelompok, integrating pada kelompok dan organisasi,

institutionalizing pada level organisasi.

Penelitian ini menggunakan konsep yang disampaikan oleh Huber (1991),

karena lebih sesuai dengan proses akreditasi yang ada di Puskesmas.

Organizational Learning Process menrut Huber (1991) ada empat tahap

yaitu:

1. Knowledge Acquisition

Knowledge acquisition adalah sebuah proses dalam memperoleh suatu

pengetahuan. Beberapa organisasi formal berusaha dengan serius untuk

memperoleh informasi ataupun pengetahuan. Sebagai contoh, melakukan survei

pelanggan, penelitian dan pengembangan, review kinerja, dan melakukan analisis

terhadap produk competitor. Beberapa aktivitas informal juga bisa dilakukan

untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, misalnya membaca berita terkini,

atau melihat Indeks Harga Saham Gabungan (untuk sektor keuangan). Proses

untuk Knowledge Acquisition bisa dilakukan dengan :

a. Congenital Learning

Congenital Learning merupakan kombinasi antara pengetahuan yang

diwariskan (inherited) pada saatorganisasi tersebut dilahirkan, serta tambahan

pengetahuan yang diperoleh pada awal kelahirannya.

b. Experimental Learning

Setelah lahir, sebuah organisasi mendapatkan pengetahuannya melalui

pengalaman langsung. Kadangkala pembelajaran ini dilakuakan melalui usaha


8

yang intensif dan sistematis. Beberapa kali pengetahuan diperoleh dengan

kebetulan.

c. Vicarious Learning: Acquiring Second-Hand Experience

Organisasi pada umumnya belajar tentang strategi, kegiatan administratif dan

pemanfaatan teknologi dari organisasi yang lain. Corporate intelligence adalah

istilah yang berkaitan dengan kegiatan untuk mencari informasi tentang apa yang

dilakukan oleh organisasi keompetitor dan bagaimana mereka melakukannya.

d. Grafting

Organisasi seringkali meningkatkan pengetahuannya dengan melakukan

grafting pada anggota organisasi yang baru yang sebelumnya tidak ada pada

organisasi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan cara akuisisi ataupun joint

venture pada perusahaan swasta.

e. Searching and Noticing


Searching berhubungan dengan upaya sebuah organisasi untuk memperoleh

pengetahuan dengan melakukan pengamatan terhadap lingkungan ekternal dan

internalnya. Hal ini dilakukan dengan cara:


1) Scanning : memperhatikan secara luas pada perkembangan lingkungan

eksternal
2) Focused search : anggota organisasi atau unit organisasi secara aktif melihat

bagaimana respon dari segmen internal organisasi ataupun lingkungan

eksternal terhadap permasalahan dan peluang yang ada.


3) Performance monitoring : gabungan antara scanning dan focused search

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi serta yang telah

diharapkan oleh stakeholder.


2. Information Distribution
9

Information Distribution merupakan cara (sistem) yang digunakan oleh

sebuah organisasi untuk menyebarkan pengetahuan yang diperoleh individu atau

unit organisasi ke seluruh komponen organisasi. Information distribution

merupakan penentu dari kelancaran dari proses Organizational Learning.

Komponen organisasi seringkali mengembangkan informasi baru dengan

menggabungkan potongan-potongan informasi yang diperoleh dari unit organisasi

yang lain, seperti misalnya departemen logistik yang mempelajari permasalahan

yang ada dengan membandingkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh

departemen keuangan dan pemasaran, dan bagaimana mereka mengatasi

permasalahan tersebut.

3. Information Interpretation

Information interpretation merupakan proses untuk menerjemahkan

kejadian dan mengembangkan pemahaman, konsep dan skema yang disepakati

bersama. Beberapa pengetahuan yang didapat oleh unit organisasi

diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh unit organisasi yang lain.

4. Organizational Memory
Merupakan cara sebuah organisasi untuk menyimpan dan mengelola data

dan informasi yang ada, sehingga dengan mudah bisa diakses oleh seluruh

komponen organisasi. Hal ini bisa dilakukan dengan :


a. Storing and retrieving information
Merupakan cara yang rutin dilakukan oleh sebuah organisasi dalam

mengelola hard information, biasanya berhubungan dengan operasional

rutin, ataupun pemenuhan kebutuhan pemenuhan laporan oleh unit atau

organisasi lain.
b. Computer-based organizational memory
10

Merupakan cara organisasi untuk menyimpan dan mengelola soft

information

2.1.4 Hubungan antara Organizational Learning dengan Kinerja Organisasi

Kinerja organisasi dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari efek

organizational learning. Beberapa penelitian telah menyatakan adanya hubungan

antara organizational learning process ataupun organizational learning capability

terhadap kinerja organisasi (contohnya, Bontis et al., 2002; Tippins & Sohi, 2003;

Lopis Sanchez et al., 2010; Bhatnagar, 2006; Jyothibabu et al, 2010). Pengetahuan

yang terakumulasi melalui organizational learning, menghasilkan dasar bagi

pengetahuan dalam level yang lebih tinggi, yang bisa dikaitkan dengan high

performances pada level organisasi (Curado, 2006; Senge, 1990; Garvin, 1998).

Hubungan antara organizational learning dengan kinerja organisasi bersifat

kompleks, tetapi dengan mengunakan sistem manajemen yang baik maka akan

memperbesar kemungkinan untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.

Berikut konsep hubungan antara organizational learning dengan kinerja

organisasi:
M3
M2
M1
Organizational
Organizational The process of performance
Learning organizational
Capability learning

Gambar 2.2 Konsep hubungan organizational learning dan kinerja


organisasi (Luciana, 2013)

Keterangan :
11

M1 = manajemen yang menghubungkan organizational learning


process dan kinerja organisasi
M2 = value dari human capital
M3 = keunikan dari human capital

Organizational learning capability akan mempengaruhi terjadinya

proses organizational learning. Organisasi yang mempunyai kemampuan

belajar yang baik, dalam level individu, kelompok maupun organisasi, akan

mampu melakukan proses pembelajaran yang baik pula. Proses pembelajaran

yang baik akan memberikan hasil kerja yang baik dalam organisasi tersebut.

Bisa dikatakan bahwa, kinerja organisasi dapat dianggap sebagai bagian dari

peran organizational learning.

2.2 Learning Organization


2.2.1 Definisi

Definisi organisasi pembelajar menurut beberapa ahli adalah sebagai

berikut:

1. Organisasi Pembelajar adalah tempat dimana orang secara terus menerus

memperluas kemampuannya untuk menciptakan hasil yg benar-benar

diinginkan, dimana pola pikir baru (new mindset) dan ekspansif

dikembangkan, dimana aspirasi bersama ditetapkan secara bebas dan

dimana orang secara berkesinambungan belajar bagaimana cara belajar

(Senge, 1990)
2. Organisasi pembelajar adalah sebuah organisasi yang belajar (Ortenblad,

2001)
3. Organisasi pembelajar merupakan keterampilan berorganisasi pada

menciptakan, menawarkan dan mentransfer pengetahuan, dan memodifikasi


12

perilakunya untuk merefleksikan pengetahuan dan wawasan baru yang

mendalam. ( Garvin, 1993)


4. Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus-menerus menguji

pengalaman, mentransformasi pengalaman menjadi pengetahuan, yang

dapat diakses oleh seluruh organisasi dan relevan terhadap tujuan utama

organisasi (Ross, 1999).


5. Organisasi pembelajar adalah suatu kondisi ideal yang dituju oleh organisasi

untuk berevolusi agar tanggap terhadap berbagai takanan yang dihadapinya

(Finger and Brand, 1999). Hal ini dicirikan dengan adanya pembelajaran

individu dan kelompok sebagai kunci menuju terwujudnya organisasi

pembelajar.
6. Organisasi pembelajar adalah sebuah organisasi yang mengimplementasikan

struktur struktur, proses, dan budaya organisasi yang membantu

perkembangan bagi pembelajaran individu, kelompok dan organisasi dan

menghasilkan perubahan permanen pada perilaku dan proses organisasi

(Watkins and Marsick, 2003)


Dari beberapa definisi tersebut, definisi yang disampaikan oleh Senge

(1990) paling sesuai dengan kondisi proses akreditasi Puskesmas. Senge (1990)

menyatakan bahwa learning organization adalah adalah tempat dimana orang

secara terus menerus memperluas kemampuannya untuk menciptakan hasil yg

benar-benar diinginkan, dimana pola pikir baru (new mindset) dan ekspansif

dikembangkan, dimana aspirasi bersama ditetapkan secara bebas dan dimana

orang secara berkesinambungan belajar bagaimana cara belajar. Learning

Organization merupakan konsep yang menyatakan bahwa organisasi mampu

untuk terus melakukan self learning sehingga mampu berpikir dan bertindak
13

dengan cepat untuk merespon berbagai perubahan dan menghasilkan perubahan

yang permanen pada perilaku seluruh anggota organisasi.

2.2.2 Unsur pembentuk Learning Organization

Konsep learning organization mulai diperkenalkan oleh Peter Senge pada

tahun 1990, dan sampai sekarang banyak digunakan oleh organisasi maupun

perusahaan untuk dijadikan acuan tentang pentingnya pembelajaran dalam suatu

organisasi dan perusahaan. Menurut Senge, ada lima disiplin yang dikembangkan

oleh Peter Senge sebagai kunci sukses perkembangan dan perubahan organisasi:

1. Berpikir sistem (system thinking)

2. Penguasaan diri (personal mastery)

3. Model mental (mental model)

4. Visi bersama (building shared vision)

5. Pembelajaran Tim (Team learning)

Penjelasan dari lima disiplin yang disampaikan oleh Peter Senge adalah sebagai

berikut:

1. Berpikir sistem (System Thinking)

Yaitu suatu cara berpikir, dan suatu bahasa untuk menjelaskan dan

memahami tentang kekuatan dan keterkaitan yang membentuk perilaku pada

sistem-sistem di sebuah organisasi. Disipilin ini membantu melihat bagaimana

merubah sistem yang ada agar lebih efektif, dan untuk melakukan aksi secara

lebih terarah pada proses yang lebih besar.

2. Penguasaan diri (Personal mastery)


14

Penguasaan diri/ Personal mastery merupakan fondasi dari kreativitas dan inovasi

dalam organisasi pembelajar, yang meliputi :

a. Kapasitas seseorang unutk mencapai fungsi mereka, atau kemampuan

seseorang untuk menciptakan kehidupan seperti yang ia inginkan

b. Hal hal yang terkait serangkaian prinsip dan praktek

c. Mendasari kompetensi dan keterampilan

Pada Personal Mastery bisa dilakukan dengan cara:

a. mempertajam dan memperdalam visi pribadi secara terus menerus


b. mengembangkan kemampuan dan kesabaran untuk melihat realitas secara

obyektif

Beberapa karakteristik dasar pada Personal Mastery:

a. Selalu ingin tahu, memiliki komitmen secara terus-menerus melihat realitas

yang lebih akurat

b. Merasa terkait satu dengan yang lainnya

c. Belajar berkesinambungan tapi tidak pernah arrive

d. Punya rasa tanggung jawab luas di bidangnya

e. Sungguh-sungguh percaya diri

f. Menyadari ketidaktahuan dan ketidakmampuan

Ciri-ciri seseorang mempunyai Personal Mastery yang tinggi:

a. Visi pribadi yang jelas

b. Mempunyai komitmen yang tinggi

c. Berinisiatif dan kreatif

d. Memiliki percaya diri yang dalam

e. Mempunyai rasa tanggung jawab yang dalam


15

f. Selalu berusaha mengembangkan diri

g. Mampu melihat realitas secara obyektif

Pentingnya Personal Mastery dalam Organisasi:

a. Pendorong organisasi untuk berkembang

b. Organisasi Pembelajaran dapat terjadi apabila setiap individu dalam organisasi

melakukan pembelajaran

c. Pencapaian keunggulan organisasi

3. Visi bersama (building Shared Vision)


Yaitu membangun rasa memiliki komitmen di dalam grup, dengan

mengembangkan gambaran bersama atas masa depan yang ingin diwujudkan, dan

prinsip serta petunjuk praktis untuk mencapainya. Visi ini memberikan fokus, arah

dan kekuatan bagi anggota dari sebuah organisasi. Pembelajaran adalah sebuah

cara berjuang untuk mencapai visi tersebut.

4. Mental Model

Mental model adalah sikap mental (mind-set) kita yang berisi nilai dan

keyakinan yang kita junjung tinggi sebagai dasar atau pedoman acuan kita

berperilaku atau mengambil keputusan. Nilai dan keyakinan tersebut merujuk

pada cara pandang kita (paradigma) terhadap dunia nyata.

5. Pembelajaran Tim (Team learning)

Yaitu suatu proses menggabungkan dan mengembangkan kapasitas tim

dalam menciptakan pembelajaran dan mencapai hasil yang diinginkan oleh

anggotanya. Tim yang terlibat harus belajar utuk memberi kesempatan kepada

banyak pemikiran yang potensial sehingga memberikan hasil yang lebih baik

daripada satu pemikiran saja. Tim ini mampu untuk mentransformasikan


16

percakapan dan ketrampilan berpikir kolektif, sehingga setiap anggota kelompok

dapat mengembangkan kecerdasan dan kemampuannya, sehingga mendapatkan

hasil yang lebih baik daripada penjumlahan dari kecakapan individu.

Marquardt (2002) mengidentifikasi ciri organisasi pembelajar:

1) Belajar dilakukan melalui sistem organisasi secara keseluruhan dan organisasi

seakan-akan mempunyai satu otak;

2) Semua anggota organisasi menyadari betapa pentingnya organisasi belajar

secara terus menerus untuk keberhasilan organisasi pada waktu sekarang dan

akan datang;

3) Belajar merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus serta

dilakukan berbarengan dengan kegiatan bekerja;

4) Berfokus pada kreativitas dan generative learning;

5) Menganggap berpikir system adalah sangat penting,

6) Dapat memperoleh akses ke sumber informasi dan data untuk keperluan

keberhasilan organisasi;

7) Iklim organisasi mendorong, memberikan imbalan, dan mempercepat masing-

masing individu dan kelompok untuk belajar;

8) Orang saling berhubungan dalam suatu jaringan yang inovatif sebagai suatu

komunitas di dalam dan di luar orgaisasi;

9) Perubahan disambut dengan baik, kejutan-kejutan dan bahkan kegagalan

dianggap sebagai kesempatan belajar;

10) Mudah bergerak cepat dan fleksibel;

11) Setiap orang terdorong untuk meningkatkan mutu secara terus menerus;
17

12) Kegiatan didasarkan pada aspirasi, reffleksi, dan konseptualisasi;

13) Memiliki kompetensi inti (core competence) yang dikembangkan dengan baik

sebagai acuan untuk pelayanan dan produksi; dan

14) Memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi, pembaharuan, dan

revitalisasi sebagai jawaban atas lingkungan yang berubah.

Chang R.Y. (1999) mengidentifikasi ciri tim pembelajaran yang dinamis sebagai

berikut:

a) Menyatakan secara jelas Visi, Misi dan Strategi

b) Beroperasi secara kreatif

c) Memfokuskan pada hasil

d) Memperjelas peran dan tanggung jawab

e) Diorganisir secara baik

f) Dibangun diatas kekuatan individu

g) Saling mendukung kepemimpinan anggorta yang lain

h) Mengembangkan iklim tim

i) Menyelesaikan ketidak sepakatan

j) Berkomunikasi secara terbuka

k) Membuat keputusan secara objektif

l) Mengevaluasi efektivitasnya sendiri

Selain Senge, beberapa ahli lain telah mencoba membuat instrument/ tools

untuk menilai bagaimana kondisi learning organization pada sebuah organisasi.

Diantaranya adalah Garvin et al. (2008) yang menciptakan alat analisis yang

dikenal dengan Three building blocks of the learning organization, serta Watkins
18

and Marsick (1997) yang menciptakan Dimensions of Learning Orgaizations

Questionnaire (DLOQ). Kelebihan dari DLOQ ini adalah, bahwa ini mencakup

komponen yang komprehensif dari konstruksi organisasi pembelajar,

menyediakan konsep yang terintegrasi dari organisasi pembelajar berdasarkan tiga

pendekatan yaitu:

1) Untuk System Thinking, generativitas organisasi


2) Untuk perspektif pembelajaran, aspek komprehensif dari pembelajaran
3) Untuk perspektif strategis, latihan manajerial

Beberapa kelebihan dari DLOQ yang telah dijelaskan sebelumnya, membuat

peneliti menggunakan konsep yang disampaikan oleh Watkins and Marsick ini

dalam penelitian. Selain itu, konsep ini merupakan hasil modifikasi dan pelengkap

dari konsep yang sebelumnya sudah disampaikan oleh Senge (1994). DLOQ

menilai kekuatan dan kelemahan dari kualitas, inovasi, partisipasi, fleksibilitas

dan komitmen dari masing-masing individu maupun organisasi sebagai satu

kesatuan. Individu merupakan komponen fungsional yang bisa dengan mudah

diinterpretasikan secara obyektif. Versi asli DLOQ terdiri dari 43 items untuk

mengukur tujuh dimensi, tetapi kemudian melalui validasi empiris dari instrument

tersebut, maka sekarang ada versi yang lebih singkat, yang terdiri dari 21 items.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa versi yang lebih singkat ini sudah cukup

mewakili Learning Organization di sebuah institusi.

Berikut tujuh dimensi dari karakteristik sebuah organisasi yang bertujuan

untuk menjadi organisasi pembelajar menurut Watkins and Marsick (1997):

Tabel 2.3 Dimensi Learning Organization menurut Watkins and Marsick (1997)
19

No Dimensi Definisi
1 Create continuous learning Pembelajaran didesain ke dalam pekerjaan
opportununities sehingga orang bisa belajar pada saat bekerja;
adanya kesempatan untuk pendidikan dan
perkembangan yang berkelanjutan
2 Promote inquiry Orang mendapatkan ketrampilan produktif untuk
opportunities mengekspresikasn pandangan dan kapasitas
mereka untuk mendengarkan dan mencari tahu
pandangan orang lain; adanya perubahan budaya
yang mendukung pertanyaan, umpan balik dan
eksperimen
3 Encourage collaboration Pekerjaan didesain untuk menggunakan
and team learning kelompok untuk mengakses berbagai macam
model berfikir; kelompok diharapkan untuk
belajar dan bekerja bersama; kolaborasi dinilai
oleh budaya dan penghargaan.
4 Create system to capture and Menciptakan system, teknologi untuk share
share learning learning, menyediakan akses, sistem dipelihara
5 Empower people toward a Semua orang dilibatkan pada pembentukan,
collective vision kepemilikan dan implementasi dari visi bersama;
masing-masing orang diberi anggung jawab
untuk mengambil keputusan sehingga orang akan
termotivasi untuk belajar tentang apa yang harus
mereka pertanggungjawabkan
6 Connect the organization to Semua orang dibantu untuk melihat efek dari
its environment pekerjaan mereka pada organisasi; orang akan
memindai lingkungan dan menggunakan
informasi untuk menyesuaikan dengan
pekerjaannya; organisasi tertaut dengan
masyarakat di sekitarnya
7 Provide strategic leadership Model/ contoh dan dukungan pemimpin;
for learning kepemimpinan menggunakan pembelajaran
strategis untuk hasil organisasi.
Sumber : Watkins and Marsick (1997)
20

Pada dasaranya, dimensi learning organization menurut Senge (1990)

serta Watkins & Marsick adalah hampir sama. Berikut kita bandingkan dimensi

learning organization menurut Senge dan Watkins & Marsick :

Tabel 2.4 Perbandingan antara Learning Organization menurut Peter Senge (1990)
dan Watkins & Marsick (1997)
No Peter Senge (1990) Watkins & Marsick (1997)
1 System thinking Create system to capture and share learning
Connect the organization to its environment
2 Personal mastery Create continuous learning opportununities
Promote inquiry opportunities
3 Building Shared Vision Empower people toward a collective vision
4 Mental model
5 Team learning Encourage collaboration and team learning
Provide strategic leadership for learning
Sumber : Senge (1990), Watkins & Marsick (1997)

Dimensi learning organization yang dinyatakan oleh Senge dan Watkins &

Marsick hampir sama. Ada sedikit perbedaan pada:

1. Dimensi Mental model dari Senge, tidak didapatkan pada dimensi Watkins &

Marsick
2. Dimensi Provide strategic leadership for learning dari Watkins & Marsick

tidak didapatkan pada dimensi Senge


Penelitian ini menggunakan dimensi menurut Watkins & Marsick dengan

alasan sebagai berikut:

1. Dimensi ini lebih sesuai dengan proses akreditasi yang ada di Puskesmas
2. Dimensi yang dinyatakan oleh Senge (1991) sudah sering digunakan dalam

berbagai penelitian
3. Dimensi Watkins & Marsick merupakan penyempurnaan dari dimensi yang

dinyatakan oleh Senge (1991).


2.2.3 Hubungan antara learning organization dengan kinerja organisasi
21

Konsep learning organization telah dikaitkan dengan inovasi dan kinerja di

organisasi dalam beberapa penelitian (Power & waddle, 2004; Watkins & Marsick

1993). Kemampuan untuk berubah dan melaksanakan upaya continuous

improvement untuk mengatasi tantangan dari lingkungan, dimana organisasi

beroperasi sesuai dengan kemampuan organisasi untuk belajar (Armstrong 7

Foley, 2003; Senge, 1990). Organisasi yang mengalami proses pembelajaran akan

mampu setara dengan pengembangan dan perbaikan yang ada di lingkungan

(pesaing/ kompetitor) untuk menuju ke arah kesuksesan.

2.2.4 Perbedaan antara organizational learning dan learning organization


Istilah organizational learning dan learning organization sering digunakan

dalam literatur, akan tetapi penggunaannya seringkali tertukar dalam pengertian

dan maknanya. Pada pertengahan tahun 1990 perbedaan antara organizational

learning dan learning organization muncul. Organizational learning process

dikenal sebagai hal yang bersifat deskriptif, berkembang dari psikologi sosial dan

kognitif, serta berkaitan dengan proses pembelajaran dalam suatu organisasi.

Sedangkan organizational learning capability dipandang sebagai sesuatu yang

bersifat praktis, dan sebagai suatu cara yang berkaitan dengan kemampuan

organisasi dalam mewujudkan perubahan perilaku dari organisasi tersebut.


Learning organization mendefinisikan sebuah tipe atau bentuk dari

organisasi yang memiliki karakteristik tertentu yang mencerminkan kemampuan

untuk adaptasi dan bertahan hidup pada lingkungan yang kompetitif. Senge

(1994) mendefinisikan learning organization sebagai organisasi dimana semua

karyawan terus meningkatkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang benar-


22

benar diinginkan, dimana karyawan terus belajar bagaimana untuk belajar

bersama.
Yeo (2005) membedakan antara organizational learning dan learning

organization, dimana organizational learning digunakan untuk menjelaskan

proses pembelajaran, sedangkan learning organization mengacu pada sebuah tipe

atau karakteristik organisasi, bukan sebuah proses. Ortenblad (2001) dan beberapa

peneliti lain telah mencoba membedakan definisi dari keduanya. Cara yang paling

sering dilakukan adalah bahwa organizational learning merupakan sebuah

aktivitas atau proses pembelajaran dalam organisasi, sedangkan learning

organization lebih menekankan pada ciri organisasi yang siap untuk belajar ke

arah yang lebih baik. Perbedaan lainnya adalah, bahwa organizational learning

terjadi tanpa suatu upaya, sedangkan learning organization memerlukan berbagai

upaya untuk mewujudkannya.


Easterby-Smith dan Araujo (1999) menjelaskan bahwa organizational

learning fokus pada obsevasi dan analisis pada proses pembelajaran pada level

individu maupun kolektif di organisasai, sedangkan learning organization

menekankan pada penggunaan instrumen diagnostik dan evaluasi yang bisa

membantu untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan mengevaluasi kualitas

dari proses pembelajaran pada sebuah organisasi. Dengan kata lain, organizational

learning adalah tentang bagaiamana orang belajar di sebuah organisasi, sedangkan

learning organization lebih menjelaskan pada apa yang harus dilakukan oleh

organisasi untuk memfasilitasi proses pembelajaran dari anggotanya.


Organizational learning adalah proses atau aktivitas pembelajaran dalam

suatu organisasi, sementara learning organization adalah sebuah bentuk dari

organisasi itu sendiri. Dengan kata lain organizational learning merupakan sebuah
23

konsep untuk menjelaskan jenis-jenis tertentu dari aktivitas yang berlangsung

pada suatu organisasi, sedangkan learning organization mengacu pada jenis

tertentu dari organisasi itu sendiri.(Tsang, 1997, dikutip oleh Ortenblad, 2001).

Perbedaan antara organizational learning dan learning organization dijelaskan

dalam tabel 2.5 sebagai berikut:

Tabel 2.5 Perbedaan antara organizational learning dan learning organization


No Aspek Organizational Learning Learning Organization
1. Karakter isi Proses Bentuk organisasi
2. Ukuran normatif Bersifat deskriptif Bersifat normatif
Eksis secara alami Perlu adanya aktivitas
Netral Memungkinkan berpihak
Dapat diperoleh Tidak dapat dicapai
Diketahui Tidak diketahui
3. Kelompok target Akademisi Praktisi
Konsultan
Sumber : Ortenblad (2001)

Tabel 2.5 menyebutkan perbedaan antara organizational learning dan

learning organization, dari tiga aspek, yaitu karakter isi, ukuran normatif dan

kelompok target. Karakter isi dan ukuran normatif sudah dijelaskan sebelumnya.

Aspek kelompok target, pada organizational learning lebih menekankan pada

sifat akademik, atau pendidikan (pembelajaran, proses manajemen pengetahuan),

sedangkan learning organization lebih menekankan pada ciri pembelajaran pada

organisasi yang anggotanya merupakan praktisi dan konsultan.

2.3 Kinerja Organisasi

2.3.1 Pengertian Kinerja

Pengertian kinerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:


24

1. Robbins (1996) menyatakan kinerja sebagai fungsi interaksi antara

kemampuan atau ability (A), Motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan

atau opportunity (O), yaitu:

Kinerja = f (A, M, O)

Artinya, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, dan

kesempatan.

2. Ilyas (2012) menyatakan kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik

kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja merupakan

penampilan individu maupun kelompok kerja. Penampilan hasil kinerja tidak

terbatas pada individu yang memangku jabatan fungsional maupun structural,

tetapi juga pada keseluruhan anggota organisasi.

3. Dale (1992) menyatakan bahwa kinerja seseorang tergantung pada kombinasi

dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang diperoleh. Lingkungan kerja

yang menyenangkan mungkin menjadi kunci pendorong bagi karyawan untuk

menghasilkan kinerja puncak.

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi kinerja

Maslow (1984) dalam Ivancevich et al., (2006) mengungkapkan bahwa

keberhasilan kerja seseorang dipengaruhi oleh motivasi yang berasal dari diri

orang tersebut. Motivasi tersebut adalah beberapa sikap dan nilai tertentu yang

mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan

individu. Sikap dan nilai tersebut merupakan suatu kekuatan untuk mendorong

individu bertingkah laku dalam mencapai tujuan. Motivasi ini timbul apabila

terdapat sebuah kebutuhan yang muncul disebabkan oleh kekurangan yang


25

dirasakan seseorang pada waktu tertentu. Maslow menegaskan bahwa kebutuhan

manusia tersusun dalam satu hirarki yaitu kebutuhan fisiologis (makan, minum,

tempat tinggal, dan bebas dari rasa sakit), kebutuhan keselamatan dan keamanan

(safety and security), kebutuhan rasa memiliki, sosial, dan cinta, kebutuhan

terhadap harga diri atau penghargaan diri dan orang lain, dan yang terakhir adalah

kebutuhan akan aktualisasi diri (Ivancevich, et al., 2006).

Menurut model Partner-layer (Donnelly, et al., 1996) yang dikutip oleh

Notoatmojo (2010) mengatakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor sebagai

berikut:

1. Harapan mengenai imbalan


2. Dorongan
3. Kemampuan, kebutuhan, dan sifat
4. Persepsi terhadap tugas
5. Imbalan internal dan eksternal
6. Persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja.

Teori lain yaitu teori ACHIEVE yang menyatakan bahwa kinerja

dipengaruhi oleh Ability (kemampuan dan ilmu), Capacity (kemampuan yang

dapat dikembangkan), Help (bantuan untuk dapat terwujudnya kinerja), Incentive

(imbalan baik material maupun non material), Environment (lingkungan), Validity

(valid), dan Evaluation (evaluasi) (Notoatmojo, 2010). Seorang ahli yang lain,

Gibson (1996) menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis

terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu

yaitu seperti Gambar 2.3.


26

VARIABEL INDIVIDU PERILAKU INDIVIDU (apa yang dikerjakan


VARIABEL
orang) PSIKOLOGIS
Kemampuan dan keterampilan
KINERJA (Hasil yang diharpkan) Persepsi
Mental Sikap
Fisik Kepribadian
Latar belakng Belajar
Keluarga
Tingkat sosial
Demografis
Umur
Jenis kelamin VARIABEL ORGANISASI
etnis Sumber daya
Imbalan
kepemimpinan
Struktur
Job design

Sumber : Ilyas (2012)

Gambar 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja (Gibson, 1996)

Dari Gambar 2.3 Gibson menyampaikan bahwa ada beberapa variabel

yang mepengaruhi perilaku individu dan kinerjanya. Yaitu terdiri dari variabel

individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Variabel individu

dipengaruhi oleh sub variabel kemampuan dan keterampilan (yang terdiri dari

fisik dan mental), latar belakang (yang terdiri dari keluarga dan tingkat sosial),

dan variabel demografis (yang terdiri dari umur, jenis kelamin, dan etnis).

Variabel organisasi menurut Gibson terdiri dari sub variabel sumber daya,

imbalan, kepemimpinan, struktur, dan job design. Dan variabel psikologis

dipengaruhi dari sub variabel persepsi, sikap, kepribadian dan belajar.

Teori kinerja lainnya adalah teori dari Kopelman (1986) yang menyatakan

bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja seorang pegawai dan organisasi adalah

karakteristik individu, karakteristik organisasi, dan yang terakhir adalah


27

karakteristik pekerjaan (Kopelman, 1986). Teori ini dapat dilihat pada Gambar 2.4

berikut ini:

Gambar 2.4 faktor penentu produktivitas dalam organisasi melalui pendekatan


ilmu perilaku menurut Kopelman. (Kopelman, 1986)

Dijelaskan oleh Kopelman karakteristik organisasi akan mempengaruhi

karakteristik individu yang nantinya akan memberi efek pada kinerja organisasi.

Karakteristik organisasi ini antara lain reward sistem, seleksi, pelatihan dan

pengembangan (training and development), leadership, dan struktur organisasi.

Selain karakteristik organisasi, karakteristik kerja juga sangat berpengaruh pada

karakteristik individu dalam organisasi yaitu pandangan dan tujuan kinerja

organisasi yang tertuang dalam job description, job design, dan work schedule

(jadwal kerja).
28

Karakteristik individu yang telah terbentuk ini (yang terdiri dari

knowledge (pengetahuan), skills (keterampilan), ability (kemampuan), sikap, dan

believes and values (keyakinan dan nilai) akan dapat mempengaruhi budaya kerja,

kinerja, dan efektifitas organisasi.

Sedangkan faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi menurut

Mahmudi (2000) adalah sebagai berikut:

a. Faktor personal/ individu, pengetahuan, ketrampilan, kemauan, kepercayaan

diri, motivasi, komitmen yang dimiliki semua individu.

b. Faktor kepemimpinan merupakan kualitas dalam mendorong semangat

arahan/dukungan manajer dan stakeholder.

c. Faktor tim meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan

dalam satu tim.

d. Faktor sistem merupakan sistem kerja, fasilitas kerja/infrastruktur yang

diberikan organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja.

e. Faktor kontekstual (situasional) merupakan tekanan dan perubahan lingkungan

eksternal dan internal.

Teori kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kinerja dari

Gibson (1996), dimana kinerja dipengaruhi oleh variabel individu, organisasi dan

psikologis. Teori ini lebih sesuai dengan proses akreditasi Puskesmas, dimana

proses dan keberhasilan akreditasi Puskesmas sangat dipengaruhi oleh tiga

variabel tersebut. Pada variable organisasi, peneliti menambahkan variabel

organizational learning dan learning organization sebagai salah satu faktor yang

ikut mempengaruhi kinerja akreditasi Puskesmas.


29

4.6 Teknik dan Prosedur pengumpulan data

4.7.1 Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang

dibacakan dan menggunakan lembar studi dokumen. Prosedur pengumpulan data

ini dilakukan dengan tahapan awal yaitu menjelaskan maksud dan tujuan dari

penelitian yang dilakukan, dilanjutkan dengan memaparkan manfaat yang

diperoleh oleh responden saat mengikuti penelitian ini. Selanjutnya setiap

responden diwajibkan untuk mengisi lembar kesediaan menjadi responden

(informed consent) yang kemudian ditandatangani oleh responden yang

bersangkutan. Setelah itu, maka pengisian kuesioner bisa dilaksanakan.

Pada variabel kinerja akreditasi Puskesmas, data yang diambil adalah data

self assessment akreditasi Puskesmas. Data ini kemudian dilakukan verifikasi oleh

tim pendamping akreditasi Puskesmas yang ada di Kota Mojokerto. Hal ini

dilakukan untuk menjamin validitas data terkait hasil kinerja akreditasi di setiap

Puskesmas.

Untuk pengelolaan kuesioner, setelah terkumpul, maka langkah berikutnya

adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik individu tim akreditasi Puskesmas


2. Menganalisis organizational learning capability dan organizational learning

process di Puskesmas
3. Menganalisis learning organization di Puskesmas
4. Menganalisis kinerja akreditasi Puskesmas dengan melakukan pengukuran

terhadap hasil akreditasi Puskesmas


5. Menganalisis pengaruh organizational learning capability dan organizational

learning process terhadap learning organization di Puskesmas


30

6. Menganalisis korelasi learning organization terhadap kinerja akreditasi

Puskesmas di Kota Mojokerto.


7. Menyusun isu strategis
8. Melakukan FGD untuk membuat kesepakatan tentang isu strategis
9. Melakukan telaah peneliti untuk menghubungkan isu strategis yang disepakati

dengan teori yang ada.


10. Menyusun rekomendasi upaya peningkatan kinerja akreditasi Puskesmas

dengan pendekatan organizational learning dan learning organization.

4.7.2 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk

mengumpulkan data primer. Kuesioner yang digunakan peneliti termasuk jenis

kuesioner tertutup (rating scale), artinya pertanyaan yang jawabannya sudah

disediakan, sehingga responden tinggal memilih salah satu jawaban yang sudah

disediakan dengan memberi tanda chek (v) pada kolom yang sudah disediakan.

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur variabel learning organization

merupakan kuesioner baku yaitu Dimension of Learning Organization

Questionnaire (DLOQ), yang diciptakan oleh Watkins & Marsick (1997), serta

organizational learning capability oleh Chiva (2007). Selanjutnya, variabel

organizational learning process diukur dengan kuesioner yang nantinya

dikembangkan sendiri oleh penulis dengan memodifikasi dasar teori yang

disampaikan oleh Huber (1991).

Semua perntanyaan dalam variabel bebas ini menilai persepsi atau penilaian

responden terhadap organisasi, yaitu Puskesmas dalam hal organizational

learning dan learning organization. Jadi yang dinilai adalah Puskesmas

berdasarkan persepsi dari responden, yang diwakili oleh Kepala Puskesmas serta
31

tim akreditasi. Responden yang ditunjukini dianggap yang paling mengetahi

proses pembelajaran dalam proses akreditasi Puskesmas.

Variabel kinerja akreditasi Puskesmas diukur dengan menggunakan check

list assessment akreditasi Puskesmas. Check list ini sesuai dengan yang ada di

buku Pedoman Akreditasi Puskesmas. Cara pengisian adalah dengan memberi

tanda check (v) pada kolom yang paling sesuai dengan kondisi di Puskesmas

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai