Anda di halaman 1dari 35

TEAM LEARNING

Penyusun:
IKHSAN DWIANTO
NENENG SUNDARI
SUNDING TEHANGGA
SYAFRUDDIN
TASSYA ENGGARTINI INSANI

PASCSASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


STIKES MANDALA WALUYA
KENDARI
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat lllahi Rabbi, karena berkat Izin,
Limpahan Rahmat Dan Taufiq-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tugas ini dengan judul. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyajian makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, baik dalam struktur dan
sistematika penulisan. Hal tersebut terjadi akibat keterbatasan dalam pengontrolan
waktu, kemampuan serta sumber-sumber yang menjadi pedoman penulis dalam
mencermati setiap kejadian dan perubahan yang terjadi selama penyusunan tugas ini.
Oleh karena itu, masukan atas kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis
harapkan dari semua pihak yang terkait demi kesempurnaan tugas ini. Semoga tugas
ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Kendari, 25 Oktober 2018

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Organisasi pada dasarnya seperti mahluk hidup yang kelangsungan


hidupnya sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk beradapatasi dengan
lingkungan. Perubahan lingkungan strategis organisasi yang sangat cepat
dalam berbagai dimensi, seperti teknologi, sosial, ekonomi, perundangan,
globalisasi, dan lain-lain, menuntut organisasi untuk mampu beradaptasi pada
perubahan itu. Apabila organisasi terlambat untuk berubah maka sangat
besar kemungkinan organisasi akan mundur kinerjanya bahkan, dapat punah.
Oleh karena itu suatu hal yang harus dilakukan oleh organisasi untuk tetap
bertahan dan berkembang adalah organisasi senantiasa mempelajari
perubahan lingkungan strategis dan segera beradaptasi pada perubahan itu.
Dalam dinamika organisasi tersebut muncul istilah Organisasi
Pembelajaran/Belajar.

Organisasi pembelajaran (learning organization), memberikan


kontribusi yang positif bagi organisasi tentang pemecahan masalah yang
sistematis sebagai aktivitas awal yang menekankan pada filosofi dan metode
yang digunakan terhadap peningkatan kualitas, yang dilakukan melalui
program pelatihan tehnik pemecahan masalah, berupa latihan dan contoh
kasus sehingga anggota organisasi lebih berdisiplin dengan pemikirannya,
serta lebih memperhatikan detail sebuah pekerjaan. Akurat dan kecermatan
merupakan sesuatu yang esensial dalam pemahaman teori Teori Organisasi
Pembelajar (Organizational Learning Theory).

Pada hakekatnya proses belajar tidak mengenal perbedaan, apapun


latar belakang hidup seseorang. Manusia dan makhluk hidup lainnya dituntut
untuk tetap mampu beradaptasi agar mereka bisa bertahan.

Team Learning merupakan suatu proses menyelaraskan dan


membangun kapasitas tim untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Ini merupakan salah satu karakteristik dari sebuah Learning Organization.

3
Suatu kehidupan organisasi akan bertumbuh dengan baik jika para
anggotanya memiliki kesepahaman akan tujuan bersama dan sama-sama
meningkatkan diri dengan cara belajar secara terus-menerus menurut
kapasitas atau kompetensi masing-masing. Biasanya para anggota tim telah
memiliki potensi diri (personal mastery) dan mental model yang kuat, bisa
berpikir secara holistik atau sistemik serta berwawasan untuk mencapai visi
bersama.

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut,

1. Apakah defenisi Team Learning ?


2. Bagaimana sejarah perkembangan Team Learning ?
3. Bagaimana pembentukan Team Learning ?
4. Bagaimana kajian Team Learning menurut para ahli ?

C. Tujuan

Menjelaskan apakah defenisi, sejarah, tahap pembentukan Team


Learning, dan kajian Team Learning menurut para ahli.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Defenisi dan Sejarah Perkembangan Team Learning

Istilah 'Team Learning' diperkenalkan lebih luas di awal tahun sembilan


puluhan dengan buku terlaris Senge 'Disiplin Kelima' (1990; Edmondson,
Dillon, & Roloff, 2007). Yang berpendapat bahwa tidak belajar individu, tetapi
Team Learning adalah motor yang benar dalam menciptakan organisasi
belajar. Melalui dialog dan berpikir bersama tentang isu-isu yang kompleks,
tindakan yang inovatif dan terkoordinasi, dan komunikasi yang baik dengan
anggota dari tim lain dalam organisasi, tim dihipotesiskan untuk menciptakan
basis potensial untuk pertumbuhan dan perubahan organisasi yang
berkelanjutan.

Akan sangat menggoda untuk menyatakan bahwa istilah 'Team


Learning' hanyalah istilah modis yang baru digunakan oleh organisasi modern
untuk sesuatu yang telah menjadi bagian dari praktik pendidikan dan
penelitian untuk waktu yang sangat lama. Namun, ada sesuatu yang berbeda
tentang konsep Team Learning yang diperkenalkan Senge. Berbeda dengan
untaian pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, Team Learning diteorikan
dalam hal kondisi dan proses yang mengarah pada hasil pembelajaran di
tingkat tim, seperti kognisi yang dibagi bersama, visi bersama, produk tim
yang spesifik, inovasi, peningkatan tim. produktivitas, efikasi kelompok, dll.
Tentu saja pembelajaran kooperatif dan kolaboratif terutama tentang kondisi
dan proses yang mengarah pada hasil pembelajaran pada tingkat individu,
seperti pencapaian akademik, penalaran tingkat yang lebih tinggi, retensi,
kreativitas, motivasi berprestasi, motivasi intrinsik , transfer pembelajaran,
harga diri, kompetensi sosial, kesehatan psikologis, dll. (Johnson & Johnson,
2003).

Dalam 20 tahun terakhir, beberapa penulis telah berkontribusi secara


signifikan terhadap pengembangan teoritis konsep pembelajaran tingkat tim
ini. Seperti disebutkan di atas, kontribusi teoritis pertama yang penting adalah
karya Senge (1990; Edmondson et al., 2007), yang mengembangkan konsep
5
Team Learning dalam langkah disiplin yang muncul dari organisasi
pembelajaran. Ia membangun siklus belajar ganda, menghubungkan
pembelajaran individu (mencerminkan, menghubungkan, memutuskan dan
melakukan) untuk proses pembelajaran di tingkat tim (refleksi publik, berbagi
makna, perencanaan bersama dan tindakan terkoordinasi).

Pada tahun 1993, Dechant, Marsick, dan Kasl melakukan upaya


teoritis kedua untuk menangkap Team Learning, dan mengembangkan model
Team Learning dengan lima proses Team Learning pusat: framing, reframing,
bereksperimen, melintasi batas dan mengintegrasikan perspektif. Berbeda
dengan pekerjaan Senge, mereka tidak fokus pada pembelajaran di tingkat
organisasi, tetapi benar-benar fokus pada pembelajaran di tingkat tim. Juga,
mereka adalah yang pertama untuk memodelkan bagaimana Team Learning
berkembang dalam perjalanan waktu. Pada tahun yang sama
mengembangkan perspektif sistem multi-level pada Team Learning. Dia
membuka pintu menuju konsep pembelajaran 'learning curve' dari Team
Learning, di mana belajar dengan melakukan dianggap sebagai aspek yang
berharga dalam adaptasi kolektif bertahap menuju peningkatan kinerja tim.

Pada tahun 1994, Brooks meningkatkan pemahaman kita tentang


Team Learning dengan membedakan antara di satu sisi pekerjaan reflektif,
yang pada dasarnya tentang masalah berpose, berbagi pengetahuan dan
informasi, dan mengintegrasikan pengetahuan bersama, dan di sisi lain kerja
aktif, yang pada dasarnya tentang pengumpulan data dari luar batas tim.
Meskipun Senge (1990), Argote (1993), dan Dechant et al. (1993) membahas
hambatan untuk Team Learning, dia adalah orang pertama yang benar-benar
fokus pada peran kekuasaan.

Pada tahun 1998, Tannenbaum, Smith-Jentsch, dan Behson


mendeskripsikan proses Team Learning sebagai proses siklus pra-
pengarahan, aktivitas tim dan tinjauan pasca-tindakan. Selain itu, mereka
adalah yang pertama benar-benar fokus pada peran fasilitator dalam
mendukung Team Learning. Pada tahun 1999 Edmondson menulis artikel
yang berpengaruh tentang perilaku keamanan dan pembelajaran psikologis
dalam tim di mana ia juga mendeskripsikan Team Learning sebagai proses
6
aksi dan refleksi yang sedang berlangsung, yang dicirikan dengan
mengajukan pertanyaan, mencari umpan balik, bereksperimen, merefleksikan
hasil, dan mendiskusikan kesalahan atau hasil tindakan yang tidak
diharapkan. Kontribusi utama dari pekerjaannya adalah dia menunjukkan
bagaimana pemimpin tim dapat menciptakan lingkungan di mana anggota tim
tidak takut untuk menyumbangkan ide, mengajukan pertanyaan, mengakui
kesalahan, memberikan umpan balik, dll. Jika mereka ingin mendukung Team
Learning.

B. Tahap Pembentukan Team Learning

Beradaptasi membutuhkan inovasi dan kemampuan untuk berkreasi.


Dan ini semua bisa didapat dengan cara belajar, baik secara individual
maupun bersama.

Tahap pembentukan Team Learning:

1. Orientation; tahap yang dilandasi oleh semangat menggebu


dengan terkadang memiliki harapan yang kurang realistis dan
kurangnya kejelasan bagi anggota terhadap tujuan norma ataupun
visinya.
2. Dissatisfaction; adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan, semangat jadi menurun dan cenderung frustrasi akan
peran dan tujuan. Adanya kepercayaan yang rendah dan merasa tidak
mampu.
3. Integration; mulai ada kejelasan dan komitmen terhadap peran,
tugas dan visi. Timbul kepercayaan dan saling menghormati serta
cenderung menghargai perbedaan untuk menghindari konflik.
4. Production; fase dimana sudah ada kejelasan peran, nilai dan
tujuan. Sekalipun sudah produktif untuk menghasilkan suatu karya,
pembelajaran dan pemberdayaan tim tetap secara terus menerus
ditingkatkan.

Untuk kejelasan dan kepastian akan arah tujuan tim, visi yang
dibangun harus menjadi kesepakatan dan dipahami bersama. Peran anggota

7
yang berbeda dapat dilaksanakan namun tetap berada dalam satu koridor
tujuan yang sama. Kombinasi dan kolaborasi yang juga dibangun melalui
dialog dan diskusi baik pada fase dissatisfaction hingga ke production akan
menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

Proses belajar dalam satu tim akan menjadi efektif jika didasari oleh
keterbukaan terhadap perubahan yang sedang berkembang, up to date dan
aplikatif. Hal ini bisa diterapkan dalam kehidupan berorganisasi dalam rangka
pencapaian tujuan yang diinginkan bersama tersebut.

Inovasi akan dihasilkan dengan mengembangkan terus proses


pembelajaran baik di tingkat personal maupun tim. Jadi team learning bisa
menciptakan karya yang inovatif dan pada beberapa hal menjadi pelopor
pembaharuan terhadap nilai-nilai atau kelaziman yang berkembang pada
suatu masa.

Team learning dalam membentuk learning organization prosesnya


pastilah melalui serangkaian interaksi antar anggotanya. Bisa dalam bentuk
dialog, diskusi, seminar bahkan mungkin saja dengan adanya perdebatan.
Dialog merupakan komunikasi dua arah di mana pihak pertama mengajukan
pertanyaan dan pihak lainnya menjelaskan atau mengklarifikasi sehingga
tercapai pemahaman yang sama, terlepas dari setuju atau tidak. Sedangkan
Diskusi merupakan bentuk komunikasi multi arah, antar berbagai
komunikator untuk mendapatkan suatu konsensus dari topik yang
diperbincangkan.

Dalam kehidupan, baik sebagai personal maupun dalam berinteraksi


dengan lingkungan sosial, asal bisa mengembangkan personal mastery,
memiliki mental yang tangguh, berpikir secara sistemik, sepakat
menjalankan visi bersama serta mampu mengontrol untuk mengurangi
kelemahan dalam diri maupun tim, pastilah akan mendapatkan hasil yang luar
biasa. Dan niscaya penghargaan (reward) pun akan datang tanpa diharap
atau diminta. Dengan kata lain, aktifitas positif baik secara personal maupun
tim apalagi bermanfaat bagi orang lain, dengan sendirinya akan
mendatangkan juga penilaian dari orang atau kelompok lainnya. Cetusan

8
positif dari penilaian ini diwujudkan dengan suatu penghargaan. Jadi
penghargaan didapat sebagai konsekuensi dari hasil yang baik, bukan
merupakan buah dari harapan yang pasif.

C. Kajian Team Learning

Beberapa peneliti telah mencoba memodelkan Team Learning dalam


konteks profesional. Setidaknya ditemukan lima model yang mencoba
memahami proses di balik Team Learning :

1. Model of work-team learning (Edmondson, 1999)

Edmondson (1999) mempelajari tim kerja organisasi nyata dari


berbagai jenis,. Dia mengamati sebuah variabel sejauh mana tim terlibat
dalam perilaku Team Learning, menyediakan lingkungan yang sempurna
untuk menguji faktor Team Learning. Dia menyatakan bahwa perilaku Team
Learning adalah signifikan berhubungan positif dengan kinerja tim dan
keamanan psikologis itu secara signifikan memprediksi perilaku Team
Learning, seperti yang dapat dilihat pada

Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 menunjukkan variabel dalam model Team Learning, seperti


struktur tim, tim keamanan dan kemanjuran, perilaku Team Learning dan
kinerja tim

9
Hasil dari penelitian Edmondson mengungkapkan bahwa keamanan
psikologis tim terkait dengan perilaku Team Learning, bahwa keampuhan tim
dikaitkan dengan perilaku Team Learning dan bahwa kemanjuran tim
memprediksi perilaku Team Learning saat mengendalikan tim keamanan
psikologis. Konsep yang berbeda dari modelnya akan dibahas lebih
mendalam.

a. Team efficacy

Edmondson (1999) menunjukkan bahwa kemanjuran menstimulasi


kepercayaan di antara anggota tim, mempromosikan tim mempelajari perilaku
dan bekerja menuju pencapaian tujuan tim bersama. Kapan anggota tim ragu
tentang berbicara tentang kesalahan sebelumnya, hasil positif mungkin
tercapai ketika dua kondisi dipenuhi, yaitu: pertama tim keamanan psikologis;
mereka merasa aman dan merasa mereka tidak akan ditolak (berkaitan
dengan ancaman interpersonal) dan (2) kemanjuran tim; mereka merasa
mampu sebagai tim untuk menggunakan informasi baru ini untuk menciptakan
hasil positif (berkaitan dengan tim kinerja). Singkatnya, ini adalah dua konsep
yang saling melengkapi; kemanjuran tim menambah efek positif dari
keamanan psikologis pada Team Learning.

b. Team Leader Behaviour and Context Support

Efektivitas tim dapat ditingkatkan dengan meningkatkan fitur struktural


seperti tujuan tim yang jelas, desain yang memungkinkan (dengan dukungan
konteks seperti akses ke sumber daya yang tepat, informasi, dll.) Dan perilaku
pemimpin tim (seperti melatih, memberikan arahan) (Hackman , 1987;
Wageman, 1998). Edmondson (1999) menggunakan fitur struktural ini untuk
menjelaskan anteseden keamanan psikologis tim. Dukungan konteks,
misalnya, merangsang tim keamanan psikologis karena mengurangi rasa
tidak aman dan pembelaan diri dalam tim. Selanjutnya, perilaku pemimpin tim
juga memiliki efek positif pada keamanan psikologis tim, karena perilaku yang
menonjol, mendukung, dan berorientasi pada pembinaan dapat menghasilkan
lingkungan yang diyakini aman oleh anggota tim, dan, sebaliknya, perilaku
otoriter atau hukuman dapat menghalangi anggota untuk terlibat dalam

10
pengambilan risiko interpersonal yang terlibat dalam perilaku Team Learning
(Edmondson, 1996).

Singkatnya, keamanan psikologis tim dapat dianggap sebagai sebuah


negara termasuk fitur struktural untuk mencapai hasil perilaku, atau sebagai
'mediator antara pendahulu dari pembinaan pemimpin tim dan dukungan
konteks dan hasil dari perilaku Team Learning'

Lebih lanjut, Edmondson (1999) menyatakan bahwa 'tim efikasi


menengahi antara anteseden pembinaan dan dukungan konteks tim
pemimpin dan hasil dari perilaku Team Learning ', yang berarti bahwa
anggota tim akan merasa lebih yakin tentang peluang keberhasilan mereka
dalam lingkungan yang mendukung dan aman, sehingga menghasilkan tim
yang efektif dan secara konsekuen meningkatkan Team Learning

c. Team type

Berbagai jenis tim dapat dibedakan dalam berbagai dimensi, mulai dari
crossfungsional vs single-fungsional, tim yang dipimpin oleh tim yang terbatas
dan bertahan lama vs tim yang dipimpin sendiri (Edmondson, 1999).
Meskipun perilaku Team Learning dapat berbeda dalam berbagai jenis tim
(misalnya, tim pengembangan produk baru yang terbatas waktu vs tim
produksi mandiri yang berjalan sendiri), hubungan keamanan psikologis tim
dengan perilaku Team Learning berlaku di berbagai jenis tim. Oleh karena itu,
jenis tim tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku Team Learning ketika
dinilai dengan variabel lain seperti yang dibahas dalam model di bawah ini,
sedangkan keamanan psikologis tim dan keberhasilan tim memiliki efek yang
penting.

2. Model of Team Learning Process (Edmondson, 2002)

Kemudian, Edmondson mengembangkan model psikologi sosial yang


mengeksplorasi konsep kepercayaan dan pembelajaran kolektif dalam tim.
Untuk melakukannya, ia melakukan beberapa studi lapangan dalam
pengaturan organisasi. Model tersebut menyatakan bahwa risiko

11
interpersonal dapat mengurangi pembelajaran kolektif dan membedakan
keamanan psikologis dari kepercayaan, dengan mendefinisikan tiga elemen
keamanan psikologis yang berbeda dari kepercayaan; jangka waktu, objek
fokus dan tingkat analisis. Lebih lanjut, ini menjelaskan alasan peningkatan
risiko interpersonal dan proses pembelajaran terstruktur dalam tim oleh
keamanan psikologis. Secara praktis, model ini dapat digunakan oleh
pemimpin tim untuk membantu para peserta dalam mengelola dan mengatasi
risiko pembelajaran, misalnya kehilangan muka atau risiko lain yang dapat
mengancam atau merusak citra yang dimiliki orang lain.

Model ini didasarkan pada gagasan bahwa orang secara sadar dan
tidak sadar ragu-ragu terhadap perilaku tertentu yang dapat mengubah atau
merusak citra yang dimiliki orang lain. Konteks sosial langsung dapat
mempengaruhi perilaku ini. Budaya organisasi yang kompleks tidak dapat
sepenuhnya meningkatkan ketidakpastian dan kecemasan, karena banyak
risiko interpersonal individu yang tetap tersembunyi dan cenderung disetel ke
latar belakang.

Model ini membahas bagaimana penciptaan kondisi dengan risiko


interpersonal yang rendah dapat membantu meminimalkan risiko ini. Empat
risiko spesifik dapat dibedakan: (1) dilihat sebagai tidak tahu, (2) tidak
kompeten, (3) negatif atau (4) mengacau. Setiap risiko dapat diaktifkan oleh
perilaku Team Learning yang berbeda. Secara keseluruhan, model ini
menggambarkan proses pembelajaran kolektif, menjelaskan konsep-konsep
keamanan psikologis, proses Team Learning, peran pemimpin tim dan
bagaimana konsep-konsep ini terkait.

Edmondson menggunakan istilah 'keamanan psikologis' untuk


menggambarkan sejauh mana orang menganggap lingkungan kerja aman
untuk mengambil risiko interpersonal atau menempatkan diri mereka di garis
'(membuat kesalahan, mengajukan pertanyaan, mengusulkan ide-ide baru,
dll.), Sehingga mendapat manfaat dari belajar. Namun, keamanan psikologis
tim tidak menyiratkan kekompakan kelompok, yang dapat merusak pemikiran
individu dan dapat mengakibatkan tidak adanya risiko interpersonal. Itu
menciptakan lingkungan untuk diskusi kelompok yang produktif dan tujuan
12
bersama. Menurut Edmondson, penting untuk terlebih dahulu membuat
kondisi keamanan psikologis ini dan kedua mengembangkan proses
pembelajaran kolektif dengan tujuan yang menarik untuk mencapai
pembelajaran yang efektif dalam organisasi, karena keamanan psikologis
menciptakan keterlibatan dan tujuan. memberikan arahan dan motivasi.

Salah satu kondisi tersebut adalah kepercayaan, diringkas sebagai


harapan bahwa tindakan orang lain di masa depan akan menguntungkan
orang lain, membuat orang bersedia menjadi rentan terhadap tindakan
tersebut (Mayer dkk. 1995; Robinson, 1996). Kepercayaan dan keamanan
psikologis keduanya mencakup persepsi komplementer terhadap risiko atau
kerentanan, serta pilihan yang meminimalkan konsekuensi negatif dan
potensi konsekuensi positif bagi organisasi. Edmondson menganalisis data
dari studi perusahaan manufaktur untuk menunjukkan bahwa keamanan
psikologis menstimulasi Team Learning, yang kemudian mendorong kinerja
tim di seluruh peran hierarki organisasi (misalnya, pengalaman berbagi
pengalaman dengan dokter dan perawat dapat merangsang kinerja tim
secara keseluruhan). Ini juga dapat memfasilitasi inovasi, misalnya, seorang
perawat kehilangan rasa takutnya untuk berbicara mendorong orang untuk
melakukannya berbagi ide, yang menghasilkan pengenalan inovasi medis.
Agar pembelajaran kolektif dapat berlangsung, keamanan psikologis perlu
diciptakan, misalnya dengan mengurangi risiko berbicara, dan beberapa jenis
struktur perlu diciptakan untuk bertukar ide dan memulai tindakan. Menurut
Argyris dan Schön (1978) struktur dapat dibuat (dan akibatnya pembelajaran
kolektif dapat dicapai) melalui tindakan-refleksi, atau 'siklus-ganda', siklus
tindakan berulang, refleksi, dan penyesuaian atau implementasi. Agar aksi
berikutnya terjadi, tujuan bersama yang menarik perlu ditetapkan terlebih
dahulu (menciptakan pemahaman bersama) yang juga didefinisikan dengan
baik untuk semua anggota tim untuk menciptakan refleksi-dalam-tindakan
(Hackman, 1987).

Edmondson menyatakan bahwa keamanan psikologis bertindak


sebagai moderator dalam hubungan positif antara tujuan yang menarik dan
Team Learning. Tingkat keamanan psikologis yang tinggi menghasilkan

13
hubungan yang lebih kuat dan karenanya meningkatkan motivasi untuk
belajar, sementara tingkat rendah menyebabkan hubungan yang lebih lemah
dan penurunan motivasi.

Gambar 2 mengilustrasikan proses Team Learning, yang


menggambarkan tindakan pemimpin tim yang mempengaruhi tujuan,
keamanan psikologis dan proses Team Learning. Keamanan psikologis,
bagaimanapun, bertindak sebagai moderator antara tujuan bersama yang
menarik dan proses Team Learning, merangsang efek dari tujuan ini pada
Team Learning, yang diakhiri dengan peningkatan organisasi.

Sebagai sebuah paradoks, Team Learning dicapai oleh kebebasan


dalam perilaku, yang dipromosikan oleh keamanan psikologis dan bimbingan
atau struktur melalui tindakan yang disengaja (West, 2000). Mengelola
paradoks ini dan membantu mendefinisikan tujuan bersama untuk tim adalah
tugas utama pemimpin tim. Tindakan dan sikapnya menentukan proses Team
Learning (karena mereka memengaruhi keamanan psikologis), menyusunnya,
dan mengkomunikasikan tujuan tim. Pemimpin juga harus menetapkan
struktur untuk tim untuk memastikan tindakan refleksi dan penyesuaian yang
sesuai (Edmondson 2002). Edmondson menyatakan bahwa penelitian empiris
diperlukan untuk menguji dan memperluas model yang diilustrasikan pada
Gambar 2. Model ini mencoba untuk menjadi kerangka kerja yang
mendukung bagi para pemimpin tim untuk mencapai ruang untuk inovasi
sambil menyediakan struktur untuk pembelajaran tanpa kekakuan dan
menciptakan iklim keamanan psikologis.

14
3. Model of group continuous learning (Sessa & London, 2006)

Pada tahun 2006, Sessa dan London merancang sebuah model untuk
pembelajaran kelompok dari perspektif yang berbeda. Senge menyatakan
dalam 'Disiplin kelima' bahwa “Team Learning sangat penting karena tim,
bukan individu, adalah unit pembelajaran mendasar dalam organisasi
modern. Di sinilah karet bertemu dengan jalan; kecuali tim dapat belajar,
organisasi tidak dapat belajar. ”(1990a, hal. 10). Team Learning tampaknya
menjadi pendorong utama untuk pembelajaran individu (Slavin, 1996; Sweet
& Michaelsen, 2007), efektivitas tim (Crossan, Lane, White, & Djurfeldt, 1995;
Van den Bossche, Gijselaers, Segers, & Kirschner, 2006) dan pembelajaran
dan inovasi organisasi (Crossan, Lane & White, 1999). Sessa dan London
(2006) mendefinisikan pembelajaran kelompok sebagai “pendalaman dan
perluasan kemampuan kelompok dalam penataan kembali untuk memenuhi
kondisi yang berubah, menambah dan menggunakan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap baru, dan menjadi kelompok yang berkinerja tinggi
melalui umpan balik dan refleksi tentang tindakan dan konsekuensinya sendiri
(hlm. 652) ”. Mereka melihat kelompok sebagai suatu sistem. Dari sudut
pandang sistemik ini, pembelajaran kelompok adalah sistem dinamis di mana
proses belajar, kondisi yang mendukung mereka, individu dalam kelompok,
dan "perilaku" dari perubahan kelompok sebagai tim belajar (Argote,
Gruenfeld, & Naquin , 2001; Kazl, Marsick, & Dechant, 1997; Sessa &
London, 2006)

15
Model pembelajaran berkelompok berkelompok (Gambar 3)
mendeskripsikan unsur-unsur pembelajaran kelompok dan hubungannya.
Rangsangan belajar dan kesiapan untuk belajar adalah dua anteseden.
Rangsangan belajar (atau pemicu) adalah tekanan, tuntutan, tantangan,
peluang yang muncul secara internal dari pemimpin kelompok atau anggota,
atau secara eksternal dari lingkungan. Rangsangan mempengaruhi kerja
kelompok sehingga kelompok tidak dapat terus bekerja dengan cara yang
sama dan menjadi sukses (Sessa & London, 2006). Kesiapan untuk belajar
menentukan rangsangan yang dideteksi oleh tim dan anggotanya, dan
tanggapan di mana rangsangan terjadi.

Sessa dan London (2006) mempelajari kondisi yang memicu


pembelajaran kelompok dan variabel yang berkontribusi terhadap kesiapan
kelompok untuk belajar. Kesiapan untuk belajar adalah sejauh mana
kelompok mengakui bahwa itu perlu diubah untuk menyelesaikan tugasnya
dan telah membuat keputusan untuk mengambil beberapa jenis tindakan.
Kesiapan adalah fungsi dari tiga faktor: kematangan kelompok, permeabilitas
batas dan orientasi pembelajarannya.

Kematangan kelompok adalah proses bergerak dari kumpulan individu


sederhana menuju sistem yang kompleks dan terintegrasi. Dalam kelompok
yang sepenuhnya terintegrasi dan matang, kelompok bekerja, belajar, dan
membuat keputusan sebagai satu kesatuan. Untuk menjadi sistem yang
holistik, anggota kelompok perlu mengembangkan rasa saling percaya, model
mental bersama, identitas kelompok, kekompakan, dan potensi.

Tim akan lebih cenderung belajar ketika mereka lebih sensitif terhadap
tuntutan dan kekhawatiran orang lain, kelompok lain, dan organisasi secara
keseluruhan dan ketika mereka memiliki 'batas permeabilitas' yang tepat,
yaitu kemudahan orang dan sumber daya bergerak masuk dan keluar dari
grup (Arrow, McGrath, & Berdahl, 2000). Akibatnya batas-batas ini harus
cukup permeabel sehingga kelompok dapat mengakses sumber daya yang
mereka butuhkan, tetapi tidak bahwa input eksternal permeabel menguasai
kelompok atau menyebabkan sumber daya kelompok dikeringkan dari grup
(Alderfer, 1980). Tim berbeda dalam orientasi pembelajaran proaktif atau
16
kecenderungan belajar keseluruhan (Bunderson & Sutcliff, 2002, 2003). Tim
yang tinggi dalam 'orientasi belajar' lebih siap untuk belajar, mereka mencari
peluang untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan baru dan
mencurahkan waktu untuk belajar, menikmati dan mengambil tugas yang
menantang dari mana mereka dapat belajar, dan bersedia menguji ide-ide
baru.

Hasil dari proses pembelajaran kelompok ini adalah pola belajar dari
pembelajaran adaptif, generatif, dan transformatif (pola yang menjadi bagian
dari model mental kelompok). (1) 'Pembelajaran adaptif' terjadi ketika
kelompok secara spontan membuat perubahan dalam cara anggota
berinteraksi dan pekerjaan yang mereka lakukan untuk mengakomodasi
tuntutan, tekanan, atau permintaan lingkungan. Ini sering terjadi tanpa para
anggota mengetahui bahwa setiap perubahan nyata telah dilakukan. (2)
'Pembelajaran generatif' adalah pembelajaran proaktif dan menerapkan
keterampilan baru, pengetahuan, dan informasi, berbagi ini dengan anggota
lain dari kelompok, dan sebagai kelompok, menggunakan keterampilan,
pengetahuan, dan informasi ini untuk mengubah tujuan kelompok, tugas ,
atau metode kerja. Itu dimotivasi dan diatur oleh kelompok itu sendiri.
Pembelajaran generatif menyiratkan menciptakan dan terus mengeksplorasi
peluang baru yang menciptakan potensi untuk sumber-sumber baru
pertumbuhan (Senge, 1990). (3) 'Pembelajaran transformatif' terjadi ketika
struktur tim, tugas atau sasaran secara signifikan diubah untuk menghadapi
tekanan eksternal, menanggapi peluang, atau menemukan arah tim baru.
Anggota tim secara kritis merefleksikan pengalaman pribadi untuk mengubah
keyakinan, sikap, dan reaksi emosional mereka sendiri. Akibatnya, ini
mengubah persepsi, tanggung jawab, dan hubungan tim peran (Wenger,
1999) dan menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam (Kegan, 2000).
Pembelajaran transformatif dapat dilihat sebagai menciptakan kembali
kelompok dengan cara yang lebih mendasar. Pembelajaran berkelanjutan
kelompok adalah fungsi dari rangsangan dan kesiapan untuk belajar (Sessa &
London, 2006). Dalam prosesnya, kelompok belajar pola interaksi adaptif,
generatif, dan / atau transformatif. Jika grup tersebut berhasil, ia akan terus

17
menggunakan pola interaksi adaptif, generatif, dan transformatif ketika
diperlukan di masa depan.

4. The model of team learning beliefs and behaviours of Van den


Bossche et al. (2006)

Van den Bossche dkk. (2006) mengembangkan sebuah model


berdasarkan pembelajaran kolaboratif (sebagai proses sosial pembangunan
pengetahuan) yang dikombinasikan dengan aspek-aspek iklim sosial di mana
pembelajaran terjadi dan di mana pembelajaran ini dipengaruhi. Keyakinan
dan perilaku Team Learning yang memengaruhi efektivitas tim ditekankan
dalam model.

Kolaborasi didefinisikan sebagai "proses membangun dan


mempertahankan konsep bersama dari masalah atau tugas, mendistribusikan
tanggung jawab di seluruh anggota kelompok, berbagi keahlian, dan
membangun bersama dan negosiasi kognisi (Roschelle, 1992, dalam Van den
Bossche et al., 2006, p. 495). ”Van den Bossche menyatakan bahwa anggota
tim berbagi pengetahuan, mencapai kognisi yang dibagi bersama, yang
disebut“ perilaku Team Learning ”. Dia juga menganggap negosiasi sebagai
elemen kunci untuk menentukan interaksi dan pola wacana yang merupakan
bentuk perilaku Team Learning. Dua proses Team Learning dibahas lebih
lanjut yang memungkinkan perspektif kelompok: (1) konstruksi dan ko-
konstruksi makna, dan (2) konflik konstruktif terhadap kesepakatan.

Konstruksi makna adalah proses mengartikulasikan makna pribadi


yang dimasukkan dalam pengaturan sosial (Stahl, 2000), dimulai ketika
seorang anggota tim mengidentifikasi masalah, menyarankan solusi yang
mungkin, berbagi ide dengan anggota tim lain dan karena itu memasukkan
makna. Anggota tim kemudian menanggapi dan mencoba menyelesaikan
masalah, mencocokkan ide dan memberikan umpan balik. Proses ini dapat
menghasilkan ko-konstruksi (atau konstruksi kolaboratif), memodifikasi saran
asli dengan diskusi timbal balik dan kerja sama (Webb & Palincsar, 1996).

18
Konstruktif konflik mengacu pada fakta bahwa anggota tim mungkin
tidak selalu mencapai kesepakatan tentang penyelesaian masalah, memiliki
interpretasi mereka sendiri pada situasi dengan jelas solusi mereka sendiri
yang mereka lihat terbaik. Ini dapat menghasilkan elaborasi lebih lanjut
melalui negosiasi pendapat yang berbeda ini. Namun, perbedaan ini mungkin
tidak selalu menjamin hasil yang positif, karena elemen dapat diabaikan untuk
menyelesaikan masalah (De Dreu & Weingart, 2003), atau perbedaan ini
dapat dilihat sebagai penolakan emosional pribadi, bukan hanya perbedaan
dalam memahami masalah, oleh karena itu menghalangi perilaku tim yang
produktif (De Dreu & Weingart, 2003). Manfaat tim hanya akan tercapai jika
perbedaan pendapat (atau makna) menghasilkan negosiasi lebih lanjut. Van
den Bossche (2006) merangkum konflik konstruktif sebagai "negosiasi
perbedaan interpretasi di antara anggota tim dengan argumen dan klarifikasi"
(Van den Bossche, 2006, hal. 496).

Van den Bossche (2006) menggunakan metode kuantitatif dan


kualitatif untuk datang ke model bersama keyakinan dan perilaku Team
Learning (lihat Gambar 4). Perilaku Team Learning meliputi konstruksi, konflik
konstruktif dan ko-konstruksi, konsep yang telah dibahas
sebelumnya. Keyakinan tentang konteks interpersonal termasuk keamanan
psikologis (keamanan untuk mengambil risiko interpersonal), interdependensi
(persepsi interdependensi tugas dalam tim), kohesi (kohesi sosial dan kohesi
tugas) dan potensi kelompok. Keyakinan ini didasarkan pada perilaku Team

19
Learning dan dapat mengarah pada kognisi yang dibagi bersama, sehingga
meningkatkan efektivitas tim.

Hasil menunjukkan bahwa persepsi efektivitas tim secara signifikan


diprediksi oleh perilaku Team Learning, dan bahwa kognisi bersama-sama
bertindak sebagai mediator antara perilaku Team Learning dan efektivitas
tim. Saling berbagi kognisi karena itu dapat diidentifikasi
sebagai hasil pembelajaran yang mendalam . Selanjutnya, dinyatakan bahwa
anggota tim akan terlibat dalam proses sosial (kognitif) dari perilaku Team
Learning dalam iklim tertentu atau dalam keadaan tertentu, yaitu
interdependensi, kohesi tugas, keamanan psikologis dan potensi kelompok
yang merangsang anggota tim untuk terlibat dalam perilaku belajar. Beberapa
studi empiris (misalnya, Boon, Raes, Kyndt, & Dochy, diajukan; Van den
Bossche, Gijselaers, Segers, dan Kirschner, 2006) baru-baru ini direplikasi
dan dikonfirmasi model ini dalam konteks yang berbeda menggunakan tim
olahraga, tim polisi, tim militer, dll. (lihat bagian 5.)

5. Model sistemik integratif untuk Team Learning (Decuyper, Dochy, &


Van den Bossche, 2010)

Dibandingkan dengan penelitian tentang kerja tim, penelitian tentang


Team Learning secara progresif kurang memiliki integrasi ke tingkat yang
lebih besar (Kozlowski & Bell, 2008). Oleh karena itu Decuyper, Dochy, dan
Van den Bossche (2010) bekerja sama membangun sebuah model sistemik,
siklis, dan teoritis integratif yang mencerminkan kompleksitas Team Learning
dan pada saat yang sama mengidentifikasi dan menyusun tubuh kompleks
variabel Team Learning. Mereka mengusulkan kerangka kerja yang terdiri dari
tiga kategori: supra-sistem (lingkungan & organisasi), sistem (tim), dan
subsistem (individu). Kategori 'supra-sistem' berisi semua variabel yang
ditemukan dalam literatur tentang Team Learning yang berasal dari organisasi
atau lingkungan tim, seperti budaya organisasi, struktur, tujuan dan
strategi. Kategori 'sistem' mengandung variabel pada tingkat tim, seperti
kohesi tugas, keamanan psikologis, interdependensi, budaya tim, dan model
mental bersama. 'Subsistem kategori' berisi variabel yang terletak pada

20
tingkat individu, seperti pengetahuan sebelumnya, pembelajaran individu, dan
motivasi.

Model ini mengatur dan menggabungkan proses Team Learning,


output, input, negara katalis yang muncul dan variabel terkait waktu. Gambar
5 mengilustrasikan model sistemik integratif untuk Team Learning,
mengelompokkan berbagai variabel yang digunakan dalam penelitian tentang
Team Learning.

Decuyper, Dochy, dan Van den Bossche (2010) menyatakan bahwa


variabel input dari berbagai sistem atau level (anggota tim, tim, organisasi dan
lingkungan) mempengaruhi dan menstimulasi aktivasi proses pembelajaran
tingkat tim. Berdasarkan literatur, delapan kategori inti dari proses Team
Learning berasal: berbagi, ko-konstruksi dan konflik konstruktif; refleksivitas
tim, aktivitas tim dan penyeberangan batas; penyimpanan dan
pengambilan. Proses Team Learning ini dapat menghasilkan output
pembelajaran adaptif, generatif atau transformatif dalam tim pada berbagai
dimensi dan level, yang terkadang dapat menghasilkan kinerja tim yang
meningkat secara instan.

21
Proses Team Learning terus-menerus disertai dan dipengaruhi oleh co-
evolving catalyst emergent dan variabel yang terkait dengan waktu, seperti
yang ditunjukkan oleh kategori menengah dalam model. Katalis yang muncul
kategori-negara ini mengandung variabel-variabel khusus yang tidak
mewujudkan lintasan atau gerakan itu sendiri, tetapi terkait erat dengan
proses Team Learning, karena mereka tumbuh dari proses Team Learning
dan secara langsung mengkatalisasi atau memperkuatnya. Inilah alasan
mengapa perubahan dalam kemampuan tim untuk bertindak secara berbeda
sering tetap tidak diperhatikan.

Pembangunan ruang bersama untuk interaksi berkualitas tinggi sangat


penting untuk Team Learning (Barron, 2000a; Bouwen, 1998; Rowe, 2008;
Steyaert, Bouwen, & Van Looy, 1996). Dechant, Marsick, & Kazl (1993) dan
Edmondson (1999) menyebutkan bahwa Team Learning terdiri dari beberapa
tindakan komunikatif yang penting: dialog, umpan balik, berbagi informasi,
framing, reframing, konfrontasi, negosiasi, dll.

Decuyper dkk. (2010) membedakan dua level Team Learning. Tingkat


pertama dan paling mendasar terdiri dari tiga variabel proses dasar: 'Berbagi',
'Kerjasama' dan 'Konstruktif konflik'. Untuk belajar, tim harus melibatkan
ketiga proses Team Learning pusat ini. Tingkat kedua variabel proses Team
Learning terdiri dari variabel yang memfasilitasi 'aktivitas tim', 'refleksivitas
tim', dan 'komunikasi persimpangan batas'. Tanpa konflik konstruktif, ko-
konstruksi atau berbagi, tidak ada Team Learning. Proses Team Learning
dasar ini menggambarkan apa yang terjadi ketika tim belajar. Meskipun
proses-proses ini menghasilkan perubahan, mereka tidak selalu mengarah
pada perbaikan (Sessa & London, 2008b). Keseimbangan antara ko-
konstruksi dan konflik konstruktif memberdayakan tim untuk belajar ke segala
arah dalam konteks organisasinya. Setelah semua, tim juga dapat belajar
menjadi tidak produktif, tidak efektif, tidak efisien, dll. Oleh karena itu, tingkat
kedua variabel proses tim terdiri dari variabel yang bertanggung jawab untuk
lokus dan fokusnya: refleksivitas tim, komunikasi lintas batas batas dan
aktivitas tim. Ini adalah proses yang membantu tim belajar dalam arah yang
22
'benar' dan oleh karena itu mempengaruhi efisiensi dan efektivitas proses
Team Learning. Hubungan antara variabel dasar harus dilihat sebagai
hubungan 'kausalitas melingkar', daripada hubungan 'kausalitas linier'
(Decuyper, Dochy, & Van den Bossche, 2010). Memang, sementara variabel
proses fasilitasi mengarahkan, proses dasar secara bersamaan
memberdayakan proses fasilitasi.

a. Variabel proses dasar

Berbagi adalah proses pertukaran pendapat, mengkomunikasikan


pengetahuan, pemikiran kreatif atau kompetensi antara anggota tim, yang
sebelumnya tidak menyadari bahwa ini hadir dalam tim (Burke, Salas & Diaz,
2008; West, 2002). Ketika anggota tim mencoba untuk mendengarkan dan
menggunakan informasi anggota tim mereka untuk memberi makna pada
situasi, berbagi dapat berkembang menjadi ko-konstruksi makna (Webb &
Palincsar, 1996). Mereka juga dapat melengkapi, menghadapi dan
mengintegrasikan pengetahuan, kompetensi, pendapat dan pemikiran kreatif
masing-masing, yang memfasilitasi pengembangan model mental bersama,
dan karenanya memperkaya ungkapan pribadi saat ini (Senge, 1990b).

Co-construction adalah proses saling membangun makna dengan


memperbaiki, membangun, atau memodifikasi penawaran asli dalam
beberapa cara (Baker, 1994). London, Polzer, dan Omoregie (2005)
melihatnya sebagai pencarian umum dan konfirmasi keselarasan
antarpribadi. Van den Bossche, Gijselaers, Segers, dan Kirschner (2006)
menyebutkan bahwa berbagi merupakan prasyarat penting untuk ko-
konstruksi. Komunikasi terbuka dari pemikiran kreatif dan artikulasi makna
pribadi adalah langkah pertama untuk ko-konstruksi. Rekan-rekan anggota
tim kemudian akan secara aktif mendengarkan, ketika mereka terlibat dalam
siklus berulang untuk mengakui, mengulangi, memparafrasakan,
menyuarakan, mempertanyakan, mengkonkretkan, dan menyelesaikan
pengetahuan, kompetensi, pendapat, atau pemikiran kreatif mereka. Dalam
mencari keselarasan antarpribadi, anggota tim mengekspresikan,

23
memperbaiki dan memperluas (secara implisit dibagi) pola pemikiran, bahasa
dan tindakan (London, Polzer, & Omergie, 2005). Ini mengarah pada
pengetahuan bersama atau makna baru yang sebelumnya tidak tersedia
untuk tim (Van den Bossche et al., 2006). Untuk konstruksi bersama untuk
benar-benar terjadi, perspektif yang sama atau kerangka acuan serupa
diperlukan dari anggota tim. Ketika tim terlibat dalam ko-konstruksi,
pembelajaran yang menyenangkan terjadi, karena beban energi
pembelajaran akan menjadi positif.

Konstruktif konflik adalah proses negosiasi atau dialog yang


mengungkap keragaman dalam identitas, opini, dll dalam suatu tim. Ini adalah
konflik atau diskusi yang rumit yang berasal dari keragaman dan komunikasi
terbuka, dan mengarah ke komunikasi lebih lanjut dan semacam perjanjian
sementara (Van den Bossche, 2006). Konstruktif konflik diperlukan untuk
mencapai perubahan mendasar dalam pemikiran dan perilaku. Ketika tim
terlibat dalam konflik yang konstruktif, pembelajaran tidak menyenangkan
terjadi karena beban energi pembelajaran sebagian besar akan
negatif. Setelah semua, konflik konstruktif umum menyebabkan anggota tim
keluar dari 'zona nyaman' mereka. Ini mengaktifkan keadaan afektif tertentu
yang mencairkan kesadaran dan keyakinan primitif dan lebih mendasar
(Topping & Ehly, 2001).

De Dreu dan Weingart (2003) menunjukkan bagaimana konflik


konstruktif lebih cenderung mengarah pada pembelajaran dan kemajuan
konseptual, sedangkan konflik biasa tidak akan. Dalam konflik reguler,
anggota tim dapat, di satu pihak, menganggap perbedaan mereka sebagai
sebuah paradoks. Paradoksnya mungkin dapat diselesaikan dengan
mengabaikan salah satu elemen yang saling bertentangan. Konflik biasa, di
sisi lain, mungkin dialami sebagai penolakan pribadi atau emosional, bukan
perbedaan dalam interpretasi masalah. Dalam kasus-kasus ini, konflik akan
membekukan model mental daripada memfasilitasi, karena kurangnya konflik
yang konstruktif. De Dreu & Weingart (2003) berpendapat bahwa

24
konstruktifitas suatu konflik bergantung pada sifatnya: konflik hubungan afektif
versus konflik kognitif / tugas.

Van de Vliert dan Euwema (2004) fokus pada berbagai gaya gaya
resolusi konflik, yang dapat digolongkan di bawah dua dimensi, keramahan
dan keaktifan. Para penulis menyimpulkan bahwa dua dimensi yang
menyebabkan perbedaan terbesar dalam interaksi sosial adalah positif-
negatif. Menghindari dan berkelahi pada umumnya dianggap sebagai metode
negatif, karena mereka cenderung mengintensifkan konflik dan mereka
dipandang lebih tidak menyenangkan. Metode yang lebih positif, prososial,
menghasilkan dan kerja sama, mengurangi konflik dan dipandang sebagai
lebih menyenangkan. Juga Jehn (1995) menemukan konflik afektif atau
relasional menjadi konflik disfungsional dan kognitif atau tugas yang
bermanfaat bagi kinerja tim. Van den Bossche, Gijselaers, Segers, dan
Woltjer (2005) menambahkan bahwa itu bukan terjadinya konflik tugas yang
memfasilitasi kinerja tim atau Team Learning, tetapi upaya mengintegrasikan
perbedaan dalam sudut pandang melalui konflik yang konstruktif. Meskipun
proses konstruksi dan konflik konstruktif secara konseptual terbagi dalam
model ini, mereka akan sering hidup berdampingan dan saling memperkuat
dalam praktek (Van den Bossche et al., 2006). Sebagai kesimpulan, tugas
utama dari setiap tim yang ingin belajar adalah penciptaan ruang dialogis.

b. Memfasilitasi variabel proses

Refleksivitas tim adalah proses membangun bersama, membangun


kembali dan merekonstruksi visi yang jelas dan relatif stabil atau model
mental dari tujuan dan metode tim (otentik) dan instrumental . Tim hanya
belajar secara efektif ketika pembelajaran mereka membantu mereka untuk
mencapai tujuan mereka lagi dan lagi (Covey, 1989). Baik yang terletak pada
tugas dan tingkat sosial, tujuan dan metode tim ini mengarahkan empat
proses inti lainnya dari Team Learning ke arah yang benar dari pencapaian
tujuan otentik.

Untuk mencapai tujuan tim, mereka perlu mengembangkan visi yang


jelas tentang di mana mereka berdiri (realitas saat ini), apa yang ingin mereka

25
capai (tujuan akhir tim), dan bagaimana mereka ingin mencapainya (metode
tim dan gol tim instrumental) . Proses membangun bersama,
mendekonstruksi, dan merekonstruksi visi yang jelas dan stabil atau model
mental dari tujuan dan metode akhir dan instrumental disebut refleksifitas
tim. West (2000) mendefinisikannya sebagai sejauh mana anggota kelompok
secara terbuka merefleksikan, dan mengkomunikasikan tentang tujuan,
strategi dan proses kelompok dan menyesuaikannya dengan keadaan saat ini
atau yang diantisipasi. Panah dkk. (2000), Argyris dan Schön (1978), dan
Sterman (1994) semua refleksifitas konseptual dalam sistem dalam hal
pembelajaran loop ganda. Sedangkan tim non-reflektif hanya berhasil
mempertanyakan sejauh mana mereka telah mencapai tujuan yang
direncanakan (pembelajaran satu putaran), tim refleksif juga berhasil
mempertanyakan tujuan yang sebenarnya, dengan demikian
mempertanyakan aturan permainan dan variabel kemudi yang mendasari
(loop ganda) belajar).

Kegiatan tim adalah proses anggota tim bekerja sama, mengaktifkan


sarana fisik dan psikologis yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka. Ini
merupakan proses adaptasi bertahap dari perilaku tim dalam pelaksanaan
tindakan yang direncanakan serta proses membuat kesalahan dan memiliki
pengalaman yang tidak direncanakan yang mengganggu fungsi tim. Kegiatan
tim adalah tentang 'belajar dengan melakukan': tim umumnya tidak hanya
belajar secara eksplisit melalui transfer pengetahuan atau evaluasi, tetapi
juga secara implisit di seluruh aktivitas tim. Pengetahuan tacit, misalnya,
hanya dapat ditransfer dalam kegiatan tim yang otentik (Argote, 1993).Selain
itu, Team Learning kadang-kadang dapat meningkatkan kinerja tanpa
meningkatkan kemampuan subjek untuk mengartikulasikan apa yang
sebenarnya menyebabkan peningkatan. Eksperimen dipandang sebagai
modus aktivitas sistem yang khusus dan diperlukan untuk pembelajaran yang
efektif, dengan menguji kelompok kognitif menghipotesiskan model mental
bersama dan keputusan dalam praktik, atau menemukan dan menilai
dampaknya. Arrow and Cook (2008) menyatakan bahwa kedua aktivitas tim

26
yang direncanakan sebagai aktivitas tim yang kacau melayani penyebab
Team Learning dengan cara yang berbeda. Sedangkan kegiatan tim yang
direncanakan menyebabkan anggota tim belajar bagaimana melaksanakan
kegiatan yang direncanakan dengan lebih baik dan lebih cepat, kurangnya
koordinasi yang tiba-tiba dapat menyebabkan kesalahan dan pengalaman
yang tidak direncanakan sering dapat memicu konflik yang konstruktif, ko-
konstruksi dan karena itu Team Learning.

Kemampuan subjek untuk mengartikulasikan apa sebenarnya yang


menyebabkan peningkatan. Eksperimen dipandang sebagai modus aktivitas
sistem yang khusus dan diperlukan untuk pembelajaran yang efektif, dengan
menguji kelompok kognitif menghipotesiskan model mental bersama dan
keputusan dalam praktik, atau menemukan dan menilai dampaknya. Arrow
and Cook (2008) menyatakan bahwa kedua aktivitas tim yang direncanakan
sebagai aktivitas tim yang kacau melayani penyebab Team Learning dengan
cara yang berbeda. Sedangkan kegiatan tim yang direncanakan
menyebabkan anggota tim belajar bagaimana melaksanakan kegiatan yang
direncanakan dengan lebih baik dan lebih cepat, kurangnya koordinasi yang
tiba-tiba dapat menyebabkan kesalahan dan pengalaman yang tidak
direncanakan sering dapat memicu konflik yang konstruktif, ko-konstruksi dan
karena itu Team Learning.

Dari sudut pandang ini, persimpangan batas adalah tipe khusus dari
berbagi. Tanpa berbagi pengetahuan, kompetensi, pendapat atau ide kreatif
melintasi batas, tim tidak dapat belajar atau bekerja. Efektivitas suatu tim tidak
hanya ditentukan oleh tim itu sendiri tetapi juga dinegosiasikan pada batas-
batas antara tim dan lingkungannya. Penelitian telah menunjukkan bahwa
penyeberangan batas terkait dengan Team Learning yang sukses dan
efektivitas yang dirasakan lintas waktu (Edmondson, 2002b; Hirst & Mann,
2004). Brooks (1994) menunjukkan bahwa itu mempengaruhi baik
kemampuan untuk membawa informasi ke dalam tim dan penyebaran
pembelajaran yang efektif.

c. Pembelajaran inter-sistem dan intra-sistem

27
Refleksivitas tim adalah proses utama dalam Team Learning yang
efektif. Ketika tim terlibat dalam refleksivitas tim, itu dapat mengarah pada dua
jenis pembelajaran yang berbeda. Pertama-tama, Team Learning intra-sistem
mengacu pada tim yang merefleksikan aktivitas masa lalu mereka sendiri,
keberhasilan dan kegagalan dan akibatnya merencanakan modifikasi untuk
tindakan di masa depan. Kedua, pembelajaran antar-sistem terjadi ketika
jembatan terbentuk antara Team Learning, pembelajaran individu,
pembelajaran di tim lain, pembelajaran organisasi dan pembelajaran dalam
konteks organisasi. Jenis pembelajaran ini bersifat dua arah dan terjadi
melalui penyeberangan batas: di satu sisi tim dapat merenungkan dan
mengintegrasikan pengetahuan, ide, keahlian, dll. Yang berasal dari luar tim,
tetapi di sisi lain tim juga dapat merencanakan untuk membubarkan dipelajari
di tim melalui penyeberangan batas.

d. Penyimpanan dan pengambilan Proses Team Learning

penyimpanan dan pengambilan mengarah pada persistensi Team


Learning dari waktu ke waktu. Hasil dari proses Team Learning dasar dan
fasilitatif, seperti berbagi pengetahuan, ide, rencana, prosedur yang
dikembangkan, disimpan dengan cara penyimpanan dan dan dapat
diambil. Wilson, Goodman dan Cronin (2007 dalam Decuyper 2007 et al.,
2010) menggunakan istilah 'perangkat lunak', yang berarti penyimpanan
penyimpanan yang tidak material seperti memori individu dalam tim, model
mental bersama, dan sistem memori transaktif . Perangkat keras suatu tim
bersifat material, seperti catatan, basis data komputer, papan buletin, sistem
pakar, dan artefak.

D. Bukti empiris untuk pendahulu dan hasil Team Learning

Untuk membuat perbedaan antara berbagai jenis tim dan karakteristik


mereka, peneliti yang berbeda, seperti Sundström, deMeuse, dan Futrell
(1990) atau Cohen dan Bailey (1996) menciptakan tipologi jenis
tim. Kebanyakan tipologi yang ada sedikit berbeda tetapi kategori yang
mereka gunakan kebanyakan tumpang tindih. Perbedaan dan kesejajaran
antara tipologi Cohen dan Bailey (1996) dan Sundström et al. (1990) dapat

28
dianggap sebagai contoh yang baik dari koneksi antara tipologi yang
berbeda. Cohen dan Bailey (1996) membuat perbedaan antara empat jenis
tim yang berbeda, yaitu tim kerja, tim paralel, tim manajemen, dan tim
proyek. Sundström dkk. (1990) membuat perbedaan yang sebanding antara
tim saran dan keterlibatan (misalnya tim paralel Cohen dan Bailey), tim
produksi dan servis (misalnya tim kerja Cohen dan Bailey), tim proyek dan
pengembangan (misalnya tim proyek Cohen dan Bailey), dan sebagai
kategori terakhir mereka menambahkan kategori yang berbeda dari tim
manajemen, yaitu tim aksi dan negosiasi (Cohen & Bailey, 1996). Beberapa
tahun kemudian, Devine (2002) menciptakan tipologi yang dapat dilihat
sebagai tipologi integratif yang terdiri dari 14 jenis kelompok kerja organisasi
yang berbeda berdasarkan tujuh dimensi yang mendasari, yaitu siklus kerja
fundamental, persyaratan kemampuan fisik yang dibutuhkan dari anggota tim
untuk memenuhi tugas, durasi temporal eksistensi kelompok, struktur tugas,
resistensi aktif terhadap pencapaian tujuan tim, ketergantungan perangkat
keras, dan risiko kesehatan. Meskipun semua tim yang diklasifikasikan dalam
tipologi dapat dijelaskan menggunakan definisi umum dari tim yang dijelaskan
sebelumnya dalam bab ini, 14 jenis tim ini berbeda dalam beberapa
hal. Ketika membuat model umum Team Learning, kita dapat menduga
bahwa model umum ini tidak cocok untuk semua jenis tim yang ada. Banyak
'noise' yang ditemukan dalam penelitian kelompok kecil dapat dikaitkan
dengan kesalahan sampling tetapi sebagian besar kebisingan ini dapat
dikaitkan dengan perbedaan antara berbagai jenis tim (Devine, 2002). Ketika
kita melihat studi yang berfokus pada berbagai jenis tim, kita dapat melihat
bahwa karena karakteristik tim, yang khusus untuk berbagai jenis tim, variabel
yang membentuk konteks interpersonal memiliki pengaruh yang sedikit
berbeda pada perilaku Team Learning.

Van den Bossche dkk. (2006) menemukan, sejalan dengan Roschelle


dan Teasly (1995), bahwa hanya mengumpulkan sejumlah orang saja tidak
cukup untuk menciptakan perilaku Team Learning, tetapi konteks antarpribadi
diperlukan agar orang-orang ini berbagi pemahaman mereka. Van den
Bossche dkk. (2006) juga menemukan bahwa aspek-aspek tertentu dari
konteks interpersonal lebih penting daripada yang lain untuk merangsang

29
perilaku Team Learning. Keamanan psikologis ditemukan memiliki hubungan
yang kuat dengan perilaku Team Learning. Tampaknya penting bagi anggota
tim untuk dapat merasa seolah-olah mereka dapat mendiskusikan dan
menguraikan tanpa kendali atas pendapat mereka, untuk belajar terjadi dalam
konteks sebuah tim (Edmondson, 1999). Variabel lain yang termasuk dalam
model, potensi kelompok, kohesi tugas, dan interdependensi juga memainkan
peran penting.

Temuan ini dikonfirmasi oleh sebuah penelitian di tim polisi dan


pemadam kebakaran (Boon, Raes, Kyndt, & Dochy, diajukan). Tim polisi dan
pemadam kebakaran dapat diklasifikasikan dalam kelompok kerja
tanggapan. Tugas tim kolektif dari tim-tim ini adalah untuk menyelamatkan
dan melindungi. Ini bersifat perilaku dan membutuhkan anggota tim untuk
memindai situasi, memutuskan tindakan yang tepat dan kemudian melakukan
tindakan terkoordinasi dan cepat (Devine, 2002). Selain itu, lingkungan di
mana mereka beroperasi sangat berbeda dari lingkungan siswa dalam
penelitian Van den Bossche et al. (2006). Tim polisi dan pemadam kebakaran
sering harus bertindak dalam lingkungan berisiko tinggi dan anggota tim harus
yakin bahwa mereka dapat saling mempercayai (Devine, 2002). Kami
menemukan bahwa model Pembelajaran dan Perilaku Team Learning (Van
den Bossche et al., 2006) umumnya berlaku untuk tim polisi dan pemadam
kebakaran dalam penelitian ini. Kami juga menemukan bahwa, meskipun
kohesi sosial tidak memprediksi perilaku Team Learning, itu secara signifikan
terkait dengan efektivitas tim (Boon et al., Disampaikan). Temuan ini dapat
dijelaskan oleh konteks spesifik di mana tim-tim ini beroperasi: misalnya,
penting bahwa anggota tim merasa seperti tim 'memiliki punggung' dan
mendukung mereka selama intervensi berbahaya. Kesimpulan penting
lainnya dari penelitian ini adalah temuan bahwa tim pemadam kebakaran
mendapatkan skor lebih tinggi pada potensi kelompok, self-efficacy dan
efektivitas tim daripada tim polisi. Temuan ini menegaskan bahwa perbedaan
dalam proses atau konstruksi tergantung pada jenis tim yang diselidiki.

Lynn, Skov, dan Abel (1999) menemukan beberapa faktor yang dapat
meningkatkan kemampuan Team Learning produk baru. Mereka mempelajari

30
praktik pembelajaran dari 95 tim pengembangan produk baru. Tim-tim ini
dapat diklasifikasikan dalam kelompok kerja desain jangka panjang (Devine,
2002) dan mereka biasanya memiliki tugas yang mengharuskan mereka
untuk menjadi inovatif dan kreatif. Tim desain bersifat sementara dan disusun
secara lintas fungsional. Produk yang harus mereka hasilkan adalah nyata
dan sebagian besar waktu tim ini memiliki gagasan yang jelas tentang apa
yang harus mereka ciptakan tetapi bukan tentang bagaimana mereka harus
melakukannya. Lynn dkk. (1999) mendefinisikan Team Learning sebagai
konstruk yang dikompromikan dari perolehan informasi dan implementasi
informasi. Mereka menemukan bahwa praktik meninjau pengetahuan yang
ditangkap oleh anggota tim adalah prediktor signifikan untuk akuisisi
informasi. Meninjau pengetahuan sebanding dengan 'berbagi' perilaku Team
Learning seperti yang didefinisikan oleh Decuyper, Dochy, dan Van den
Bossche (2010). Mereka juga menemukan bahwa proses NPD, kerangka
kerja untuk membantu tim pengembangan produk baru mencapai tujuan
mereka, merupakan prediktor yang signifikan untuk implementasi
informasi.Untuk tim pengembangan produk baru untuk dapat memasukkan
informasi ke dalam tindakan, proses NPD tampaknya diperlukan. Lynn
dkk. (1999) memperingatkan terhadap proses yang ketat karena ini dapat
mencegah kompetensi tertentu untuk muncul ke permukaan dan mengalihkan
perhatian dari proses NPD yang berhasil. Dinyatakan secara berbeda,
proses-proses seperti ko-konstruksi dan konflik konstruktif harus memiliki
kesempatan untuk terwujud dan itu tidak mungkin jika prosesnya harus
dibatasi secara ketat. Untuk menyimpulkan, Lynn et al. (1999) juga
menemukan bahwa kehadiran konstruksi pembelajaran ini (perolehan
informasi dan implementasi informasi) kecepatan dimana produk dibawa ke
pasar dan kesuksesan produk baru.

Edmondson (2003) memfokuskan penelitiannya pada tim ruang


operasi. Dia mengklasifikasikan mereka di bawah tim aksi (Sundström,
deMeuse, & Futrell, 2003). “Tim aksi didefinisikan sebagai tim di mana
anggota dengan keahlian khusus harus berimprovisasi dan mengoordinasikan

31
tindakan mereka dalam situasi yang intens dan tidak dapat diprediksi”
(Sundström et al., 2003, p. 1421). Menurut tipologi Devine (2002), tim operasi
ini dapat diklasifikasikan di bawah tim medis. Mereka memiliki tugas untuk
mendiagnosis kondisi fisik pasien dan mengambil langkah yang tepat untuk
meningkatkan kesehatan mereka di bawah batasan waktu yang berat dan
dengan kesehatan pasien yang berisiko ketika memilih prosedur yang
salah. Tugas mereka biasanya sangat terstruktur karena protokol diagnostik
dan prosedur operasi standar. Edmondson (2003) mengkonseptualisasikan
Team Learning sebagai pembelajaran tugas-tugas baru dan rutinitas
koordinasi. Proses Team Learning didefinisikan 'kemudahan berbicara',
'pembatas batas' dan 'praktik / refleksi'. Kemudahan berbicara tampaknya
menjadi faktor penting untuk menjelaskan hasil pembelajaran (dalam hal ini
penerapan teknik baru). Konsep ini sangat mirip dengan variabel keamanan
psikologis: juga menekankan perlunya untuk dapat merefleksikan perbedaan
pendapat, pertanyaan dan ide dalam tim untuk menciptakan eksperimen dan
ide bersama tentang apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil di Agar
dapat belajar dan berinovasi sebagai sebuah tim (Edmondson,
2003). Boundary spanning, atau komunikasi dengan pihak eksternal,
mengarah pada keberhasilan implementasi teknik baru yang dipelajari melalui
komunikasi. Pemimpin tim memainkan peran penting dalam membentuk
konteks di mana kemudahan berbicara dan membatasi mencakup tinggi
(Edmondson, 2003).

32
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pentingnya bekerja dan belajar bersama di organisasi modern dan


dalam pendidikan telah semakin menekankan dekade-dekade yang
berlalu. Pembelajaran kolaboratif dalam arti luas belajar dengan dan dari
orang lain dan dampaknya telah diteliti secara luas dalam pendidikan (lebih
tinggi) sedangkan tim belajar, dalam arti bahwa peserta didik dalam tim juga
saling bergantung dalam tugas mereka dan berbagi tanggung jawab untuk
hasil dan dilihat oleh orang lain sebagai entitas sosial yang tertanam dalam
satu atau lebih sistem sosial yang lebih besar, telah menerima lebih banyak
perhatian dalam organisasi profesional.

Kehadiran keamanan psikologis dalam tim menunjukkan bahwa


keyakinan bahwa anggota tim aman untuk berbicara, untuk mengakui
kesalahan mereka dan untuk mengungkapkan kekhawatiran mereka hadir di
tim. Penghapusan kekhawatiran ini diperlukan, seperti yang dibahas dalam
studi di atas menunjukkan, agar perilaku Team Learning seperti eksperimen,
konflik konstruktif, berbagi, trial and error, mencari bantuan, mempertanyakan
praktik tim saat ini terjadi (Decuyper et al., 2010 ).

Variabel penting lainnya adalah kohesi sosial. Muller dan Copper


(1994) melakukan integrasi metaanalitik dari hubungan antara kohesi dan
kinerja dalam tim. Mereka menemukan yang kuat hubungan yang terutama
disebabkan komitmen terhadap tugas (tugas kohesi) dan bukan hubungan
interpersonal dalam tim (kohesi sosial) (Muller & Copper, 1994). Berdasarkan
kesimpulan mereka, Van den Bossche et al. (2006) berhipotesis bahwa
kohesi sosial, berbeda dengan kohesi tugas, tidak akan terkait dengan
perilaku Team Learning karena hubungan antara kedua konstruk ini rumit.
Meskipun mereka mengkonfirmasi hipotesis mereka, asumsi ini tampaknya
tidak berlaku untuk semua jenis tim. Di kepolisian dan tim pemadam
kebakaran kohesi sosial berkorelasi dengan kinerja tim dan dalam tim militer,
hal ini terkait dengan perilaku Team Learning. Sebagaimana telah dinyatakan
33
di atas ini dapat dikaitkan dengan karakteristik spesifik dari tugas tim
(Veestraeten et al., Disampaikan).Tim dalam penelitian terakhir harus bekerja
dalam keadaan yang secara fisik berbahaya dan rendah terstruktur di mana
reaksi cepat dan koordinasi diperlukan. Agar dapat berfungsi sebagai unit
yang berfungsi baik, anggota tim ini harus dapat saling percaya dan terlepas
dari kontribusi kehadiran keamanan psikologis dan kohesi tugas, kehadiran
kohesi sosial penting untuk jenis tim ini. Terserah pada penelitian masa depan
untuk menyelesaikan lebih banyak kunci dari Team Learning yang
sukses.Terserah pada penelitian masa depan untuk menyelesaikan lebih
banyak kunci dari Team Learning yang sukses.Terserah pada penelitian
masa depan untuk menyelesaikan lebih banyak kunci dari Team Learning
yang sukses.

B. Saran

Perlu ada pembahasan dan kajian lebih lanjut tentang team learning,
kaitannya dengan disiplin ilmu kesehatan dan implementasinya dalam
kelompok-kelompok kerja di Rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan
lainnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Dochy, F., Gijbels, D., Raes, E., & Kyndt, E. (2014). Team learning in education and
professional organisations. In International handbook of research in
professional and practice-based learning (pp. 987-1020). Springer, Dordrecht.

Edmondson, A.C., Bohmer, R.M., & Pisano, G.P. (2001b). Disrupted routines: Team
learning and new technology implementation in hospitals. Administrative
Science Quarterly, 46, 685–716.

Edmondson, A.C., Dillon, J.R., & Roloff, K.S. (2007). Three perspectives on team
learning: Outcome improvement, task mastery, and group process. In A. Brief
& J. Walsh, The Academy of Management Annals, Volume 1. Publisher?

Johnson, D.W., & Johnson, R.T. (2003). Training for cooperative group work. In M.A.
West, D. Tjosvold & K.G. Smith (Eds.), International handbook of
organizational teamwork and cooperative working (pp. 167-183). West
Sussex: John Wiley & Sons ltd.

Johnson, D.W., Johnson, R.T., & Smith, K. (2007). The state of cooperative learning
in postsecondary and professional settings. Educational Psychology Review,
19, 15-29

Van den Bossche, P., Gijselaers, W.H., Segers, M., & Kirschner, P.A. (2006). Social
and cognitive factors driving teamwork in collaborative learning environments:
Team learning beliefs and behaviours. Small Group Research, 37, 490-521.

35

Anda mungkin juga menyukai