Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Seiring kita memasuki era baru, kita memulai era tersebut dalam evolusi kehidupan
termasuk dalam hal struktur organisasi. Perubahan besar dalam lingkungan ekonomi yang
disebabkan oleh globalisasi dan teknologi telah memaksa perusahaan untuk mengubah diri
secara signifikan untuk bertahan hidup di dunia baru dan ekonomi barunya. Organisasi dengan
kemampuan berpikir besar dan kemampuan belajar dengan cepat akan menjadi pemimpin
global. Sebuah organisasi harus belajar dan beradaptasi dengan lebih cepat dengan perubahan
lingkungan atau, sebagai konsekuensinya perusahaan tidak akan bisa bertahan. Peneliti
berasumsi bahwa dalam 10 tahun kedepan, perusahaan yang menerapkan Organizational
Learning-lah yang akan bertahan. Organisasi yang tidak atau gagal bertransformasi menjadi
organisasi pembelajar akan punah selayaknya dinosaurus; mereka tidak selamat karena gagal
beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat.
Pada materi-materi sebelumnya kita sudah disajikan apa itu Organisasi Pembelajar dan
apa saja yang harus dilakukan oleh organisasi untuk dapat bertransformasi menjadi Organisasi
Pembelajar. Pada paper ini, penyaji akan berfokus pada pentingnya Pembelajaran
Organisasional (Organizational Learning), bagaimana sebuah organisasi bertransformasi
menjadi Organisasi Pembelajar (Learning Organization), apa saja tantangannya dan
bagaimana pendapat para ahli dengan menyertakan studi terkait dengan Organizational
Learning.
1. Permintaan akan Pembelajaran Baru
Manville (dalam Marquardt, 2002) menulis bagaimana kita sekarang “menuntut
pembelajaran baru dengan cara kerja yang lebih gesit, lebih disesuaikan dan lebih relevan,
namun yang juga memungkinkan kita untuk tampil lebih baik dan melakukannya dengan
cara yang lebih cepat dan efektif mencapai ambang batas untuk membuat perbedaan”
Belajar dengan demikian akan menjadi proses yang kritis, tetapi hanya jika dipandang
secara strategis dan tertanam secara operasional dalam kinerja aktual. Untuk menarik dan
mempertahankan karyawan berbakat, organisasi global yang sukses akan menggunakan
pembelajaran sebagai daya tawar yang nyata kepada karyawan baru, dengan mengatakan,
"Bergabunglah dengan kami, dan Anda akan belajar lebih baik, lebih banyak, dan lebih
cepat daripada yang Anda lakukan dengan pesaing kami." Evolusi ini tidak terjadi secara
kebetulan. Ini berkembang melalui eksperimen harian dan "belajar tentang pembelajaran"
dari manajer dan eksekutif garis depan yang mengetahui pentingnya dan mendorong
penerapannya. Dan kita tidak hanya berbicara tentang mengubah elemen eksternal
organisasi — produk, aktivitas, atau strukturnya — tetapi, lebih tepatnya, tentang
mengubah cara operasi intrinsiknya: nilai, pola pikir, dan bahkan tujuan utamanya.

2. Pentingnya Pembelajaran Organisasi


Tuntutan kepada organisasi di seluruh dunia sekarang mengharuskan pembelajaran
disampaikan dengan kecepatan yang lebih tinggi, dengan biaya lebih rendah, dan lebih
efektif ke tempat kerja dan tenaga kerja yang lebih mobile yang terpengaruh lebih
signifikan dari sebelumnya yang diakibatkan perubahan pasar. Berikut adalah isu krusial
yang dihadapi oleh perusahaan:
1. Reorganizations, restructuring, dan reengineering harus dipandang dengan tujuan
mencapai sukses, bukan untuk sekedar bertahan.
2. Tuntutan kepada perusahaan untuk menutupi kekurangan dunia pendidikan yang
terkadang dipandang kurang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang siap.
3. Melipatgandakan pengetahuan setiap dua hingga tiga tahun.
4. Kompetisi global yang terkadang datang dari perusahaan paling berpengaruh di dunia.
5. Pesatnya perkembangan teknologi.
6. Siklus kebutuhan perusahaan akan adaptasi terhadap perubahan.
Untuk mendapatkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif dalam lingkungan
baru ini, perusahaan harus belajar lebih baik dan lebih cepat baik dari keberhasilan maupun
kegagalan. Mereka perlu terus mengubah diri menjadi organisasi pembelajar, untuk
menjadi tempat di mana kelompok dan individu di semua tingkatan terus terlibat dalam
proses pembelajaran baru.
3. Pembelajaran Baru dalam Organisasi
Harus ada pola pikir yang benar-benar baru mengenai konsep kerja dan belajar.
Belajar harus terjadi hampir sebagai produk yang beriringan atau dihasilkan dari bekerja,
berbeda dengan memperoleh pengetahuan sebelum melakukan tugas atau pekerjaan
tertentu. Dalam lingkungan saat ini, pembelajaran organisasi merupakan bentuk
pembelajaran baru dengan cara berikut:
1) Pembelajaran harus didasarkan dan berkaitan dengan tujuan bisnis.
2) Pembelajaran harus ditekankan pada pentingnya proses pembelajaran, pembelajaran itu
sendiri, dan bagaimana pembelajaran itu dijalankan.
3) Kemampuan untuk mendefenisikan pembelajaran sama pentingnya dengan mencari
jawaban terhadap pertanyaan spesifik.
4) Kesempatan yang luas yang diakomodasi perusahaan untuk mengembangkan
pengetahuan, skill, dan perilaku
5) Belajar adalah tugas semua orang.
Kebutuhan akan individu dan organisasi yang dapat mengakuisisi lebih banyak
pengetahuan adalah keharusan. Namun pengetahuan itu sendiri adalah hal kedua,
bagaimana dan seberapa cepat adalah hal utama dalam pembelajaran. Pembelajaran akan
lebih penting dibandingkan data. Menekankan dan memperbanyak pertanyaan lebih baik
dibandingkan jawaban yang bagus. Peter Senge dalam bukunya berjudul The Fifth
Discipline telah membedah hal tersebut yang kemudian menuntun banyak perusahaan
mempertimbangkan, mengaplikasikan dan berhasil bertransformasi menjadi Organisasi
Pembelajar.
4. Organisasi Pembelajar (Learning Organization) dan Pembelajaran Organisasional
(Organizational Learning)
Pentingnya pengetahuan dan pembelajaran di tingkat organisasi dapat dengan mudah
diperdebatkan jika mempertimbangkan fakta yang dihadapi organisasi, dalam masyarakat
yang didasarkan pada pengetahuan, dengan tiga tantangan utama: intensifikasi persaingan,
peningkatan kekuatan pelanggan dan memperpendek siklus hidup produk. Pada awalnya,
istilah "pembelajaran organisasional" dan "organisasi pembelajar" dapat digunakan secara
beriringan, tetapi sekarang ada perbedaan yang jelas antara kedua konsep tersebut.
Pembelajaran organisasional pertama kali digunakan sebagai konsep pada tahun 1963 oleh
Cyert dan Marchminat, konsep ini berasal dari waktu yang lebih baru, pada awal 1990-an
(Marshall, Smith dan Buxton,2009). Terlepas dari banyak definisi konsep "pembelajaran
organisasional", defenisi itu sekarang diterima secara umum bahwa belajar dapat
didefinisikan sebagai perubahan keyakinan kognisi atau cara bertindak dan berperilaku.
Organisasi pembelajar adalah organisasi yang memiliki kapasitas untuk berprestasi
secara kolektif terkait pembelajaran, sedangkan pembelajaran organisasional adalah
tahapan proses pembelajaran. Literatur menyatakan bahwa, sementara pembelajaran
organisasional adalah kegiatan yang dilakukan organisasi, organisasi pembelajar
merupakan salah satu jenis organisasi yang memiliki kecenderungan untuk belajar di
tingkat tertentu dalam organisasi dan unggul dalam hal itu (Guta dan Luciana A, 2012)
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita masuk pada bagian pembahasan mengenai solusi terhadap tantangan
terkait bagaimana perusahaan dapat bertransformasi menjadi Organisasi Pembelajar, penyaji
akan membahas bagaimana Peter Senge dalam bukunya bertajuk The Fifth Discipline
menjelaskan lima dimensi disiplin yang diperlukan dalam organisasi pembelajaran.
1. The Fifth Discipline dalam Organisasi Pembelajar oleh Peter Senge
1) Mental Model
Mental model adalah seperangkat pemahaman atau model yang koheren yang
memungkinkan individu untuk memahami dunia mereka dan membuat keputusan yang
sesuai. Mental model terdiri dari pengalaman belajar, hal-hal yang “dipelajari dengan
cara yang sulit”, persepsi, nilai-nilai, keyakinan-semua dirakit secara pribadi oleh
masing-masing individu. Jadi mental model adalah representasi tentang proses berpikir
seseorang tentang bagaimana dan apa yang bekerja dan terjadi di dunia nyata.
Representasi ini terkait dengan dunia sekitar mereka, hubungan antara berbagai bagian
dan persepsi intuitif seseorang tentang tindakan dan konsekuensinya. Mental
model dapat membantu membentuk perilaku dan pendekatan untuk memecahkan
masalah dan melakukan tugas.
2) Shared Vision
Visi bersama mengacu pada membuat bagian dari model mental individu terlihat
sehingga mereka dapat dibagikan dengan orang lain dalam organisasi, dipahami oleh
orang lain, dan bahkan mungkin disesuaikan oleh orang lain. Proses berbagi dapat dan
sering memang mengarah pada modifikasi model yang ada sehingga individu yang
terlibat dapat lebih dekat bersama sehubungan dengan model mental bersama organisasi
mereka. Visi bersama adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan
(kegiatan) organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dari
keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju.
3) Personal Mastery
Personal mastery mengacu pada seperangkat nilai dan atribut sedemikian rupa
sehingga individu berkomitmen untuk belajar sepanjang hayat – yang pada gilirannya
memungkinkan organisasi untuk terlibat dalam pembelajaran seumur hidup. Asumsi
implisit di balik kompetensi inti ini adalah bahwa model mental individu tidak begitu
kaku untuk mencegah pengetahuan baru, yaitu belajar, untuk dikolaborasikan atau
ditambahkan (yang dapat memicu perubahan atau pembaruan model mental
asli). Personal mastery adalah bentuk penguasaan diri seseorang untuk
mengembangkan dirinya secara personal dan profesional. Personal mastery focus pada
kemampuan dan ketrampilan memperjelas dan mendalami visi secara
berkesinamabungan serta melihat realita secara obyektif.
4) Team Learning
Team Learning adalah nilai dan sikap organisasi yang secara aktif mendorong
pembelajaran individu dalam kelompok melalui pelatihan atau mendorongan individu
untuk berpartisipasi dalam kelompoknya. Organisasi yang mendorong dan mendukung
pembelajaran individu akan mampu menghasilkan organisasi pembelajaran. Team
learning berfokus pada kemampuan dari sebuah kelompok bekerja bersama-sama,yang
melibatkan interaksi dari anggota team yang saling belajar satu sama lain. Pembelajaran
berlangsung melalui transfer keterampilan dengan mengamati atau memperhatikan
anggota team dalam aksi, kemampuan peme!ahan masalah, eksperimen,
mempertanyakan asumsi dan meninjau hasil sebagai sebuah out!omes kelompok.
5) System Thinking
System Thinking mengacu pada persepsi atau definisi organisasi sebagai gestalt,
entitas integral yang tidak dapat direduksi menjadi serangkaian komponen. Organisasi
harus dilihat, dan diperlakukan sebagai lubang di mana semua bagian seolah-olah
terhubung satu sama lain. System Thinking juga merupakan cara terbaik untuk melihat
manajemen pengetahuan, sebagai sistem utuh yang terdiri dari proses, orang, budaya,
teknologi, dan sebagainya.
Secara lebih terperinci dalam bukunya, Peter Senge menjelaskan juga The Laws of the
Fifth Discipline. Hukum atau prinsip-prinsip ini adalah indikator-indikator yang harus
dipahami individu dan perusahaan dalam mengembangkan model pembelajaran yang
nantinya diharapkan mampu mentransformasi perusahaan menjadi sebuah Organisasi
Pembelajar. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
1) Masalah hari ini berawal dari solusi masa lalu
Solusi terkait sebuah masalah pada bagian tertentu dalam sebuah organisasi dapat
menjadi alasan sebuah masalah baru muncul, baik pada bagian itu juga, atau pada
bagian lain dalam tubuh organisasi. Ini yang menyebabkan bahwa terkadang sebuah
masalah tidak dapat dideteksi karena masalah yang muncul terkadang berasal dari
solusi pada bagian lain tubuh organisasi. Contoh sederhana adalah, organisasi bisnis
yang menghadapi penurunan penjualan, dapat diakibatkan oleh kebijakan sebelumnya
yang memberikan potongan harga. Sehingga pembeli sudah membeli produknya di
masa lampau sehingga terjadi penurunan penjualan di masa sekarang.
2) The harder you push, the harder the system pushes back.
Banyak perusahaan yang menghadapi penurunan penjualan di pasar. Beberapa
perusahaan akan melakukan strategi yang lebih agresif untuk menunjang penjualan
produk mereka, seperti melakukan advertising yang lebih massif atau menurunkan
harga jual. Dalam jangka waktu pendek ini akan berhasil, namun konsekuensi yang
dihadapi perusahaan akan lebih banyak.
3) Perilaku “grows better before it grows worse”
Perilaku ini menjelaskan bagaimana perusahaan harus mampu memahami bahwa
siklus akibat sebuah keputusan mungkin terjadi atau pada akhirnya akan terjadi. “Pada
akhirnya akan terjadi” adalah kata kunci. Sebuah solusi mungkin akan dirasa efektif
karena dapat mengatasi gejala atau masalah. Namun dalam beberapa periode waktu
tertentu, masalah akan kembali dalam bentuk yang sama maupun berbeda.
4) The easy way out usually leads back in
Keputusan yang “mudah” mungkin hanyalah sebuah solusi sementara. Keputusan
“mudah” yang dimaksud adalah keputusan yang tampak jelas ketika menghadapi
sebuah masalah, layaknya lampu ketika di kegelapan. Terus menekankan solusi yang
sama sementara masalah yang sama tetap datang atau resisten adalah hal yang harus
dihilangkan dalam pembelajaran.
5) The cure can be worse than the desease
Seperti yang dijelaskan pada nomor 4, solusi yang sama terhadap masalah yang
resisten kerap diambil karena dianggap efektif dalam waktu yang singkat. Sehingga
banyak organisasi dan individu yang adiktif terhadap solusi tersebut. Selayaknya
alcohol yang dianggap bisa meredakan stress, akan memberikan masalah baru pada
yang meminumnya.
6) Faster is slower
Bagi beberapa perusahaan atau beberapa industri, kecepatan telah menjadi hal yang
paling utama. Padahal, kecepatan mencapai “pertumbuhan yang mungkin” jauh lebih
baik ketimbang dibandingkan dengan kecepatan yang optimum. Kecepatan yang
optimum akan menghadirkan konsekuensi negatif pada bagian dari tubuh organisasi.
Karena tak jarang, pengambil keputusan di perusahaan mengorbankan bagian tertentu
dalam perusahaan demi mencapai kecepatan.
7) Penyebab dan dampaknya tidak selalu berhubungan
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terkadang masalah muncul
sebagai akibat dari keputusan atau performa pada bagian lain dalam organisasi yang
tidak berhubungan dengan bagian dimana masalah itu terjadi. Dampak mungkin
muncul dalam bentuk gejala, dan penyebabnya adalah akar dari gejala tersebut. Pada
bagian sebelumnya dijelaskan bagaimana perusahaan yang mengalami penurunan
penjualan mungkin adalah akibat dari keputusan potongan harga di masa lalu sehingga
konsumen tidak tertarik lagi dalam melakukan pembelian saat harga dinormalkan.
8) Perubahaan kecil dapat memberi dampak yang besar.
Perubahan kecil yang sangat terfokus, dpaat menciptakan perubahan besar,
memberikan perkembangan besar, dan jika dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat
akan memberikan dampak jangka panjang.
9) Peribahasa “you can have your cake and eat it too – but not at once”
Sebuah keputusan mungkin akan memberikan dilemma tersendiri bagi perusahaan.
Perusahaan ingin produk terbaik dengan biaya paling rendah, sebagai contoh.
Perusahaan akan memperhitungkan bagimana caranya membangun produk dengan
kualitas terbaik, namun juga harus memikirkan konsekuensi bahwa terkadang produk
terbaik memerlukan biaya besar dan proses yang panjang. Proses pembelajaran adalah
keharusan di era sekarang, namun perusahaan harus berani berinvestasi dalam
pengembangannya.
10) Peribahasa “dividing an elephant in half does not produce two small elephant”
Perusahaan dalam prosesnya menuju organisasi pembelajar harus memahami
bahwa karena masalah terjadi sebagai akibat dari efek domino dari sebuah keputusan,
sehingga organisasi tidak boleh memutus hubungan antar bagian organisasi. Masalah
mungkin terjadi pada divisi pemasaran, namun membiarkan divisi pemasaran
menyelesaikan masalah itu sendiri adalah kesalahan. Perusahaan harus melihat sebuah
masalah sebagai akibat dari suatu rangkaian keputusan.
11) There is no blame.
Perusahaan cenderung menyalahkan keadaan ketika sebuah masalah muncul.
Berpikir sistem menunjukkan bahwa organisasi dan masalah berada pada wadah yang
sama.
2. Kajian Empiris Tantangan dalam Organisasi Pembelajar dan Pembelajaran
Organisasional
2.1. The Challenge of Organizational Learning (Milway dan Saxton, 2011)
Review ini dilakukan dengan melakukan penelitian terkait Pembelajaran
Organisasional pada Knowledge Is Power Program (KIPP), sebuah jaringan nasional di
Amerika Serikat yang menaungi 99 sekolah, 27.000 siswa melalui 1.900 guru. Kim Oakes
selaku Direktur Komunitas mengatakan bahwa 80% guru yang mereka naungi menciptakan
materi (dalam pembelajaran) secara mandiri sehingga dirasa penting untuk menciptakan
kondisi dimana para guru dapat saling berbagi.
Penelitian ini juga dilakukan pada World Vision, sebuah organisasi yang berfokus
pada pengembangan yang beroperasi di 93 negara. World Vision mengalami kesulitan
sebagai konsekuensi dari pertumbuhan yang cepat. Eleanor Monbiot, Direktur Manajemen
Pengetahuan World Vision mengatakan dengan pertumbuhan 15% per tahun, perusahaan
perlu mengetahui apa yang sedang terjadi dan bentuk praktik seperti apa yang tepat untuk
dilakukan.
Hasil survei menunjukkan bahwa pemimpin nirlaba peduli tentang menangkap dan
berbagi pengetahuan di seluruh program mereka. Tetapi mereka juga mengidentifikasi tiga
hambatan signifikan untuk pembelajaran organisasional: kurangnya tujuan yang jelas dan
terukur tentang menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan kinerja; insentif yang tidak
memadai bagi individu atau tim untuk berpartisipasi dalam pembelajaran organisasional;
dan ketidakpastian tentang proses yang paling efektif untuk mengakuisisi dan berbagi
pembelajaran. Isu-isu ini juga muncul di organisasi nirlaba, menurut studi, di mana
penimunan pengetahuan antar unit bisnis dapat diakibatkan oleh persaingan demi sumber
daya. Di sektor nirlaba, bagaimanapun, 97 persen survei responden mengatakan pemimpin
mereka menghargai berbagi pengetahuan sebagai sarana untuk mencapai misi mereka.
Namun, banyak dari mereka yang harus berjuang untuk melakukannya dengan baik.

1) Mencipatakan Dampak Melalui Pembelajaran


Mengembangkan pengetahuan organisasi dan mengintegrasikan pengetahuan itu ke
dalam praktik sehari-hari dapat menjadi alat yang ampuh untuk melipatgandakan dampak
organisasi, terutama saat organisasi tumbuh.
Koneksi ini juga merupakan tantangan terbesar. Meskipun 98 persen organisasi
nirlaba yang dilaporkan dalam survei mengatakan mereka mengumpulkan banyak
informasi, sepertiga dari mereka mengatakan bahwa mereka tidak mampu
merenungkannya dan mengintegrasikannya dengan cara yang bermakna ke dalam
program. Sehingga peneliti menjelaskan bahwa organisasi yang akan
mengimplementasikan pembelajaran organisasional perlu memperhatikan Four
Elements Of Organizational Learning berikut.
2) Gaps dalam siklus Pembelajaran
1. The Goals Gap
Tanpa tujuan dan metrik yang jelas, menyebarkan sumber pengetahuan secara
efektif, mengukur kemajuan, dan memengaruhi perilaku di seluruh organisasi
menjadi lebih sulit. Jadi bagaimana organisasi nirlaba dapat menetapkan tujuan yang
lebih jelas untuk pembelajaran—tujuan yang memajukan misi secara jelas?
Dalam kasus pada World Vision, mereka menerjemahkan tujuan strategis
mereka dengan lebih luas dan kemudian membaginya lewat kegiatan yang spesifik
dan kegiatan yang diperlukan untuk mempelajari misi mereka, seperti pelatihan pada
komunitas tenaga kesehatan terkait penanggulangan AIDS, penanganan pasien dan
pengembangan pertanian. World Vision membentuk Communities of Practoce
(CoPs), sebuah perkumpulan secara virtual pada pakar di bidang yang menjadi misi
strategis World Vision seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, pengairan. Para
pakar ini nantinya akan melakukan transfer pengetahuan saat dilakukannya kegiatan.
Anggota CoP melakukan kegiatan yang berkitan dengan pembelajaran dari mulai
melakulan review dokumen, mengelaborasi hasil diskusi, menetapkan strategi dan
juga standar di masing-masing bidang mereka.
CoP di World Vision sudah ada selama bertahun-tahun. Namun perubahan
signfikan terjadi setelah masing-masing bidang dioperasikan dengan mengangkat
pimpinan formal beserta staf administrasi tersendiri.
2. The Incentives Gap
Menciptakan kultur yang memotivasi individu dalam organisasi dalam
melakukan kegiatan pembelajaran secara aktif adalah tujuan utama dalam
pembelajaran organisasional. Namun hal tersebut memerlukan sistem insentif atau
reward yang mendukung tujuan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa separuh
dari organisasi nirlaba tidak melakukan evaluasi atau memberikan reward kepada
mereka yang menunjukkan perilaku yang mendukung pembelajaran.
Namun tidak semua insentif harus berbentuk eksplisit seperti insentif berbentuk
kapital. KIPP dalam ini melihat pembelajaran organisasional, pengembangan
efektifitas staf dan insentif intrinsik sebagai bentuk insentif yang efektif. Menurut
Oakes, rewards bagi mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran dibagi
menjadi tiga yaitu; mampu “menciptakan” siswa yang lebih baik; menciptakan
kepuasan personal dengan menyediakan ruang bagi guru untuk memberikan dampak
didalam dan diluar kelas, dan membantu guru menciptakan semangat kekeluargaan
dengan sesame guru yang nantinya menciptakan komunitas para guru yang efektif.
3. The Process Gap
Tujuan pembelajaran yang berkaitan antara misi, individu dan tim adalah semua
yang berpartisipasi didalamnya termotivasi untuk mencapai misi tersebut. Dalam
kasus KIPP, mereka menganggap bahwa berbagi pengetahuan di KIPP kuat karena
mereka tidak memiliki haluan kurikulum yang baku. Guru diberikan ruang tentang
bagaimana mereka menjalankan proses belajar-mengajar. Sehingga guru dapat
berinovasi didalamnya.
KIPP memiliki sistem yang dikembangkan oleh Cambridge bernama Better
Lesson yang mengakomodasi dan melakukan dokumentasi bahan pelajaran baik buku
maupun multimedia. Namun KIPP kemudian menemukan kesulitan ketika
menjalankan program tersebut.
KIPP memiliki sepuluh ribuan dokumen dan sulit sekali untuk
mengklasifikasikannya untuk tujuan pembelajaran. KIPP merasa dokumen
pembelajaran memang penting, namun menemukan dan menggunakannya lebih
penting sehingga dokumen tersebut bukan hanya sebuah dokumen. KIPP kemudian
menyadari pentingnya mendesain sebuah sistem dan memprosesnya sesuai dengan
kultur organisasi. KIPP kemudian menciptakan sebuah kegiatan dimana para guru
dapat melakukan pertemuan secara tatap muka dimana para guru dapat saling berbagi
pengetahuan, menciptakan relasi dan membangun komunitas

Perkembangan pembelajaran organisasional terutama di era dimana perkembangan


teknologi informasi menjadi semakin termudahkan. Namun pemanfaatannya dan
pengembangannya harus dilakukan secara efektif. KIPP dan World Vision menunjukkan
bahwa adopsi teknologi dan pembelajaran organisasional meningkat ketika elemen
berbagi pengetahuan secara personal juga dijaga dengan baik.

2.2. Barriers to Organizational Learning and Sustainability : The Case of Consumer


Cooperative (Massimo dan Nora, 2022)
Penelitian ekploratif ini dihadapkan dengan hubungan antara hambatan dan
Pembelajaran Organisasional dan adopsi strategi berkelanjutan, dengan berfokus kepada
model bisnis koperatif yang dilakukan terhadap retail toko makanan Italia. Hasil dari
penelitian ini dikodifikasi berdasarkan taksonomi hambatan yang dikembangkan oleh
Shilling dan Kluge (2009).
Kebanyakan dari hambatan yang diidentifikasi menghambat inisiatif strategi
berkelanjutan menjadi sepenuhnya terinstitusi atau terintegrasi, dan terjadi pada level grup
atau bahkan di organisasi secara keseluruhan.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa meskipun nilai sebuah sistem tersaji pada salah
satu elemen didalam sebuah organisasi, strategi berkelanjutan dapat terintegrasi sepenuhnya
dan ter-institusi dengan baik hanya kalua instrument organisasi dan manajerial
mengimplementasikannya dengan baik secara menyeluruh.
Shilling dan Kluge (2009)

1) Studi Kasus
Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan pada koperasi retail makanan Italia
(COOP) dengan 80 toko tersebar di empat regional. COOP memiliki anggota sebanyak
600.000 anggota dan lebih dari 3.000 karyawan. Didirikan pada akhir 1980-an, COOP
mengalami perkembangan yang pesat terkait dengan jumlah toko, produk yang
ditawarkan dan klien yang dilayani. Pertumbuhan ini tidak hanya meningkatkan posisi
COOP di pasar namun juga menghasilkan konsekuensi berupa mulai adanya jarak antara
pemilik-konsumen dengan pemangku kepentingan.

2) Temuan Penelitian
Dari pandangan secara umum, ada total 153 bukti yang menghubungkan antara
hambatan dengan integrase keberlanjutan. Sebagian besar bukti yang tertera merupakan
hambatan terhadap Pembelajaran Organisasional, yang beroperasi pada dimensi integrasi
dan institusionalisasi.
a. Manajer level atas
Wawancara yang dilakukan dengan tiga manajer level menuntun kepada 32
bukti. Bukti ini mengidentifikasi bahwa ada hambatan integrasi terhadap
keberlanjutan dalam strategi COOP. Para manajer level atas yang diwawancarai
mengatakan bahwa transfer pengetahuan dan pendelegasian tanggungjawab ke
manajer level menengah kebawah tidak berjalan beriringan dengan pertumbuhan
organisasi.
b. Manajer level menengah
Manajer level menengah berpendapat bahwa pengawasan oleh manajer level
atas terhadap proposal operasional sangat rendah. Ketika manajer level menengah
menawarkan proposal proyek baru atau ketika mereka ingin mengimplementasikan
strategi berkelanjutan, supervisi yang diberikan manajer tingkat atas cenderung
rendah. Menurut opini para manajer level menengah, menawarkan proposal secara
inisiatif akan menimbulkan risiko bahwa para manajer level atas hanya akan
menganggap hal tersebut merupakan hanya sekedar kebaruan di bidang mereka.
Sehingga jika disimpulkan, hambatan pembelajaran organisasional antar
manajer level atas dan menengah adalah sebagai berikut:
- Rendahnya komunikasi yang terbuka antara manajer level atas dan menengah
yang menimbulkan terhambatnya pengembangan proposal inovasi organisasi
- Rendahnya sistem penghargaan yang transparan terhadap inisiatif keberlanjutan.
- Rendahnya keikutsertaan anggota dalam pengelolaan organisasi.
- Diperlukannya sistem pengukuran yang mampu mengkualifikasikan keuntungan
organisasional yang berhubungan dengan integrase dan khususnya
institusionalisasi dari program keberlanjutan.
c. Stakeholders
Ketika para stakeholders diwawancarai, mereka mengidentifikasi lambannya
manajer level atas dalam proses pengambilan keputusan dan hal itu merupakan
hambatan dalam Pembelajaran Organisasional. Mereka mendeskripsikan COOP
sebagai organisasi monolitik, sebuah organisasi yang dikarakterisasi sebagai
organisasi yang memiliki prosedur yang panjang dan lamban dalam proses
pengambilan keputusan operasional.
Aspek yang muncul dalam wawancara ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Rendahnya fleksibilitas dalam pengambilan keputusan terkait dengan inovasi
yang dilakukan oleh manajer level atas.
- Tidak memadainya keikutsertaan stakeholders dalam proses keputusan inovasi
dan rendahnya dialog didalamnya.
- Otoritas yang berlebihan dari manajer COOP dalam berinteraksi dengan
stakeholders, baik dalam perencanaan maupun peran.
- Tidak memadainya aktivitas yang koheren antara kegiatan koperasi dan nilai
kegiatan tersebut, yang kemudian dirasa mengurangi sifat asli koperasi, yang
akhirnya membuat organisasi menjadi semakin mirip dengan bisnis dengan
orientasi profit.
Tabel : Framework kategori hambatan Pembelajaran Organisasional (Shilling and
Kluge, 2009)

2.3. Opening Organizational Learning in Crisis Management : On the Affordances of


Social Media (Eismann et al, 2021)
Penelitian tentang bagaimana peran sosial media dalam manajemen krisis telah
membawa kita ke dalam pemahaman yang lebih dalam terkait dengan pemanfaatannya.
Penelitian ini, didasarkan respon terhadap krisis. Penelitian yang ada kurang menjelaskan
konseptualisasi manfaat yang ditawarkan sosial media jika organisasi belajar dengan
menggunakan sosial media dalam mempersiapkan langkah strategis dalam menghadapi
krisis. Berdasarkan review sistematis terhadap 128 jurnal, peneliti membangun framework
pemanfaatan media sosial dalam pembelajaran organisasional dalam manajemen krisis.
Peneliti meneliti peran mereka dalam strategi menghadapi manajemen krisis, dengan
berfokus pada pembelajaran organisasional, dan mendasari penelitian di masa yang akan
datang.
Media sosial dianggap menyediakan peluang bagi organisasi bukan hanya untuk
belajar tentang sebuah krisis, namun juga mengintegrasikan informasi, pengetahuan, dan
proses kolaboratif yang berbeda dengan struktur yang telah ada. Sehingga, media sosial
memberi peluang kepada organisasi untuk mengakses sumberdaya yang disediakan oleh
pengguna non-organisasional, mendukung proses partisipatif yang mengintegrasikan
sesama pengguna diluar jangkauan organisasi, serta memfasilitasi struktur kolaboratif yang
mengintegrasikan pengguna yang sifatnya organisasional dan non-organisasional. Namun
temuan dari beberapa penelitian membuktikan bahwa fokus dari penelitian lebih terkait
kepada operasionalnya, dan memberikan perhatian yang sedikit tentang bagaimana
organisasi dapat memanfaatkan media sosial untung beradaptasi dengan lingkungan yang
kurang mendukung.
1) Kerangka Konseptual Penelitian
Dalam konteks pembelajaran organisasional dalam manajemen krisis, peneliti
berpendapat bahwa pemanfaatan media sosial memberikan peluang untuk melakukan
proses pembelajaran organisasional. Pemanfaatan yang dimaksud adalah sumber daya
yang disediakan media sosial seperti informasi dan pengetahuan. Ketika berbicara
dengan Organisasi Pembelajar, kita fokus pada organisasi formal yang dapat memberi
respon saat krisis, seperti operasi bisnisnya, respon darurat organisasional, agem
pemerintahan, dan lain sebagainya. Namun dalam manajemen krisis ada faktor eksternal
yang berperan dalam krisis dan usaha dalam menanganinya seperti pengguna media
sosial, komunitas, pemerintahan, media berita, dan organisasi lain.

2) Temuan dalam manfaat Pembelajaran Organisasional yang disediakan Media Sosial


a) Temuan manfaat dalam proses internalisasi
Manfaat dalam internalisasi adalah memberikan peluang bagi organisasi untuk
mengakses sumber daya (informasi dan pengetahuan) yang dibagikan oleh para
pengguna media sosial.
b) Temuan manfaat dalam proses eksternalisasi
Manfaat dalam eksternalisasi dapat diaktualisasi oleh organisasi untuk membuat
sumber daya organisasional, khususnya informasi dan pengetahuan, tersedia bagi
pengguna non-organisasional. Khususnya, media sosial memperbolehkan pengguna
untuk membuat informasi yang berkaitan dengan krisis tersedia kepada pengguna
non-organisasional melalui otorasisasi atau editing konten digital yang
menyampaikan informasi terkait kejadian krisis atau responnya, seperti update status,
posts pada blog, masukan pada Wikipedia dan label pada map.
c) Temuan manfaat dalam proses kolaborasi
Manfaat dalam proses kolaborasi memperbolehkan pengguna untuk menyesuaikan
aktivitas mereka dalam merespon krisis, mempromosikan model kolaboratif dalam
manajemen krisis, dan membangun actor organisasional yang muncul seiring mereka
membangun dan memperluas pertukaran informasi.

Temuan manfaat-manfaat ini kemudian dimasukkan ke dalam framework yang


mencakup intuiting, interpreting, integrating, hingga institualization dibawah ini.

Temuan manfaat tersebut kemudian diperluas untuk menjelaskan peluang penelitian


strategis pada penggunaan media sosial untuk pembelajaran organisasional dalam
manajemen krisis.
3. Menghadapi Tantangan Pembelajaran Organisasional
3.1. STEPS Model : Knowledge Management to Learning Organization Connection
(Chinowsky dan Carrillo, 2007)
Pada bagian ini akan membahas tentang tantangan yang dihadapi organisasi
dalam perjalanannya dalam bertransformasi menjadi Organisasi Pembelajar. Bagian
ini akan terkhusus membahas tentang bagaimana hubungan antara Knowledge
Management dan Learming Organization. Bahan yang akan digunakan pada bagian
ini adalah penelitian berjudul Knowledge Management to Learning Organization
Connection yang dilakukan oleh Chinowsky dan Carillo (2007).
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perubahan industri teknik konstruksi pada
abad 21 ini, yang menuntut perusahaan agar selalu memiliki peran aktif dalam
pengembangan manajemen pengetahuan dan menginisiasi organisasi pembelajar.
Kebutuhan untuk mempertahankan pengetahuan di dalam tubuh organisasi dan tetap
fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang berkelanjutan di seluruh bagian
organisasi menjadi tantangan utama dalam industri ini. Paper ini memperkenalkan
jembatan atau medium yang akan menjelaskan tingkatan pengimplementasian
Knowledge Management yang harus sesuai dengan kapasitas organisasi untuk menuju
fokus pembelajaran. Pentingnya medium ini pada industri dan relevansi penelitian ini
terhadap industri, adalah penekanan pada Knowledge Management yang statis pada
organisasi tidak akan bertahan lama. Sehingga, organisasi harus meletakkan fokus
mereka pada pembelejaran yang tepat agar dapat mencapai keuntungan dari
keberlanjutan jangka panjang.

1) Latar Belakang Penelitian


Peneliti merasa bahwa meskipun sudah banyak penelitian yang membahas
tentang Organisasi Pembelajar ataupun Pembelajaran Organisasional, hanya
sedikit yang melakukannya pada industri konstruksi. Riset Kululanga et al (1999)
menunjukkan bahwa di Britania Raya, pada kontraktor mengadopsi sangat sedikit
mekanisme pembelajaran terutama pada penciptaan pengetahuan baru sehingga
mereka yang dipekerjakan sulit untuk mencapai potensi maksimal mereka.

2) STEPS Model

STEPS Model membantu organisasi untuk membangun dan


mengimplementasikan KM dan melalukan benchmark atas usaha
pengimplementasian mereka. Berikut adalah penjelasan masing-masing tahap dan
apa yang harus dicapai di setiap tahapnya.
a. Tahap 1. Startup : organisasi pada tahap ini adalah organisasi yang masih berada
pada tahap paling awal dalam transformasi menuju Organisasi Pembelajar,
dapat dikarakterisasi dengan:
- Mulai memahami konsep KM, memiliki pandangan yang berbeda dan
implikasi praktisnya
- Memahami keuntungan dari KM, setidaknya secara teori.
- Memahami potensi KM dalam membangun nilai dari asset pengetahuan
dalam pengembangan yang berkelanjutan
- Kebutuhan akan KM mulai terbangun dan kemauan untuk berbagi
pengetahuan semakin tumbuh.
b. Tahap 2. Take Off : tahap dimana organisasi mulai menginvestasikan
sumberdaya mereka di KM, sebuah pemahaman akan keuntungan KM, dan visi
dari apa yang mereka ingin capai, cirinya:
- Membangun tujuan dari KM
- Mengeksplorasi opsi strategis.
- Membangun strategi KM dengan memfasilitasinya
- Membangun kepemimpinan dan mengidentifikasi sumber daya konsultasi
- Mengidentifikasi hambatan dan risiko yang berkaitan dengan strategi
- Melakukan eksperimen tentang KM dengan skala kecil
c. Tahap 3. Expansion : Organisasi pada tahap ini sudah melakukan inisiasi dalam
KM dan berharap melakukan ekspansi baik itu dari jangkauan luas maupun
kedalaman, cirinya:
- Mendefenisikan ulang strategi KM dan menghubungkannya dengantujuan
bisnis yang spesifik
- Menambah visibilitas kepemimpinan dalam KM serta alokasi sumber daya.
- Mengimplementasikan program perubahan manajemen untuk menghadapi
hambatan dan risiko yang teridentifikasi
- Mengimplementasikan inisiasi KM dalam sebuah koordinasi dan struktur,
dan kemudian mengidentifikasi alat KM yang tepat untuk membantu tujuan
spesifik
- Menambah skala dari KM ke unit lain, proyek lain atau bagian organisasi
yang lain.
- Memperkenalkan skala pengukuran performa untuk mengevaluasi KM dan
mengkomunikasikan keuntungan dari asset pengetahuan
d. Tahap 4. Progressive : organisasi pada tahap ini berfokus pada pengembangan
KM mereka dan melakukan pengukuran pada dampak strategi KM yang telah
dilakukan. Cirinya:
- Mengintegrasikan aktivitas KM kedalam pengukuran strategis dan
mengevaluasi asset pengetahuan mereka.
- Membangun kriteria evaluasi dan target untuk mengukur dampak asset
pengetahuan
- Memperkenalkan skema penghargaan dan insentif untuk memperkuat
aktivitas KM
- Menambah daya jangkau dan mengkomunikasikan keuntungan dari
sebagian besar aktivitas KM
e. Tahap 5. Sustainability : pada tahan keberlanjutan, KM sudah ter-
institusionalisasikan dan karakteristiknya adalah:
- KM menjadi penghubung semua aktivitas bisnis
- KM dipraktikkan di semua bagian organisasi
- KM tertanam dalam budaya organisasi, perilaku karyawan, proses bisnis
dan pengembangan produk.
- Laporan yang menyeluruh terkait performa asset pengetahuan yang
mendasari keberlanjutan organisasi

Seperti yang dijelaskan pada bagian awal, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi penghubung atau “jembatan” antara KM dan model Organisasi
Pembelajar. Khususnya, untuk mengidentifikasi pada tahap mana dari STEPS
Model yang dapat menghubungkan menuju Organisasi Pembelajar. Berikut adalah
gambar yang menjelaskan mengenai hubungan KM dan Organisasi Pembelajar
Perlu diketahui organisasi kemungkinan gagal dalam menghubungkan STEPS
Model ke dalam tahap mana mereka sudah berada. Sehingga, organisasi yang
berhasil mengidentifikasi kedua konsep adalah organisasi yang
mengimplementasikan kedua konsep dan memperkuat keduanya.

3.2. Strategic Leverage Through Learning (Gephart dan Marsick, 2016)


Model Strategic Leverage Through Learning ini diperkenalkan oleh Gephart
dan Marsick dalam bukunya berjudul Strategic Organizational Learning (2016).
Gephart dan Marsick dalam bukunya mengatakan bahwa organisasi yang
menggunakan model mereka akan merasakan keuntungan dalam cara yang berbeda,
tergantung kepada bagaimana mereka mengaplikasikannya dan bekerja sama dengan
mereka.
Model Strategic Leverage Through Learning dan instrumennya dapat
digunakan untuk mendiagnosa konteks organisasional, membuat keputusan terkait
perubahan, memanfaatkan dukungan organisasional dan menghilangkan hambatan
organisasional yang terkait dengan tujuan strategis. Model dan instrumennya telah
dilakukan untuk:
1) Menilai pembelajaran organisasional dan hasil dari performa yang memiliki
urgensi tinggi di lingkungan yang tidak pasti dan lingkungan yang sangat
kompetitif.
2) Mengidentifikasi dukungan dan hambatan dalam peningkatan performa yang
bermanfaat dalam pembelajaran menuju transformasi organisasi
3) Membangun rencana kegiatan untuk membangun dukungan dan mengatasi
hambatan
4) Membangun dasar penilaian dan proses penilaian dalam kegiatan penguatan
kapabilitas grup dan pembelajaran organisasional yang bermanfaat bagi performa
5) Menelusuri hubungan antara hasil (pembelajaran organsisasional dan performa)
dan indikator pendukung performa strategis
Model dan instrumen ini telah “mengaktifkan” organisasi dan para pimpinan
organisasi, untuk melakukan penilaian kapasitas organisasi untuk:
1) Belajar dari pengalaman organisasi
2) Mengidentifikasi kesempatan dan peluang baru serta respon terhadap perubahan
3) Membangun modal intelektual dan kompetensi inti dalam menghadapi kompetisi
4) Berhasil mempengaruhi hubungan yang rumit didalam sistem organisasional dan
prosesnya dalam menciptakan hasil yang diinginkan organisasi
5) Mengembangkan pasar baru, produk baru dan pelayanan baru untuk konsumen
yang sudah ada, ataupun target konsumen baru.
6) Mencapai keselarasan antara tujuan dengan sistem internal organisasi
7) Meningkatkan kapasitas setiap unit untuk mencapai tujuan mereka.

4. Studi Kasus : Why Knowledge Management Fails


1) Pendahuluan
Studi kasus ini dilakukan terhadap sebuah organisasi di Hongkong dengan
inisial HS (nama dirahasiakan). HS merupakan organisasi yang memiliki kesadaran dan
ekspektasi yang kuat terhadap KM, namun program yang dijalankan berakhir gagal
dalam dua tahun. Temuan peneliti menunjukkan bahwa kegiatan KM pada organisasi
ini terpecah dan tidak mendapat dukungan dari anggota organisasinya. Berdasarkan
kasus kegagalan ini, ada empat pelajaran yang diidentifikasi.

2) Latar belakang Perusahaan


HS didirikan pada 1983 di Hong Kong. Perusahaan ini memiliki pabrik di
China. Bisnis inti HS adalah produksi dan ekspor tas dan produk kulit premium ke
Amerika Serikat dan pasar Eropa. Seperti kebanyakan perusahaan di Hong Kong, HS
memusatkan perencanaan dan keputusan strategis mereka, baik penjualan dan fungsi
pemasaran mereka di kantor pusat perusahaan yang berada di Hong Kong. Pabrik
perusahaan ditempatkan di tempat lain dengan alasan penghematan biaya produksi.
Kantor pusah HS memiliki 10 staf termasuk CEO, General Manager, manajer
penjualan, manajer operasional dan enam orang staf administrasi. Pabrik HS terdiri dari
450 staf yang terdiri dari 40 orang di level manajerial, supervise dan staf administrasi.
Sementara 410 orang lainnya adalah pekerja pabrik.

3) Latar Belakang Masalah


Proses bisnis HS mulai mengalami penurunan ditandai dengan terjadinya
penurunan pendapatan yang signifikan pada 1998. Penyebabnya adalah ketatnya
persaingan di pasar dan meningkatnya biaya produksi. Contohnya adalah, beberapa
kompetitor menawarkan potongan harga untuk mempertahankan bisnisnya. Selain itu,
desain produk baru HS tidak bertahan lama dan diimitasi oleh kompetitor. CEO dan
para manajer senior mulai melakukan perencanaan terkait masa depan perusahaan dan
mencari cara untuk meningkatkan efesiensi dan produktifitas karyawannya. Bisnis
perusahaan tetap memburuk, sehingga pada 2001, bertujuan untuk mencari letak
masalah, CEO membentuk gugus tugas strategis yang beranggotakan semua manajer di
Hong Kong, beberapa manajer kunci di pabrik yang berlokasi di China, dan CEO itu
sendiri.
Setelah dua minggu berjalan, gugus tugas menyimpulkan bahwa pengetahuan
di perusahaan tidak dikelola secara efektif, khususnya rendahnya transfer pengetahuan
dari staf yang lebih berpengalaman kepada staf baru. CEO bersama gugus tugas percaya
bahwa mereka telah menemukan dan memahami konteks masalah secara
organisasional dengan lebih baik.

4) Deskripsi Masalah
Pada Juni 2001, gugus tugas melakukan investigasi, observasi dan wawancara
pada karyawan di berbagai departemen. Setelah tiga bulan, mereka mengidentifikasi
masalah KM seperti yang dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Terkait permasalahan ini, gugus tugas melakukan komunikasi terbuka dengan


para manajer dan supervisor. Untuk mendapatkan diskusi yang terbuka, pertemuan
dilakukan secara informal. Pengaturan ruangan pertemuan diubah dengan susunan kursi
yang melingkar sehingga yang hadir dapat saling bertatap muka. Dan yang lebih
penting, setiap orang didorong untuk mengekspresikan pikirannya, pendapatnya, dan
memberikan feedback personal mereka. Pertemuan itu menghasilkan kesimpulan
bahwa karyawan adalah bagian krusial dalam penerapan KM dengan memanfaatkan
pengetahuan dan kemampuan mereka untuk belajar, berbagi, memadukan, dan
menginternalisasikannya dengan sumber pengetahuan lainnya untuk menghasilkan
pemikiran baru dan sudut pandang yang baru.
Dengan hasil tersebut, HS memutuskan untuk meluncurkan program KM
dengan tujuan meng-institusionalisasikan pengetahuan antar karyawan dan
memanfaatkan pengetahuan untuk menciptakan produk dengan kualitas baru.
Ketimbang melakukan pendekatan dari atas ke bawah dalam pengambilan keputusan,
manjemen mengadopsi pendekatan dari level tengah ke bawah, dengan supervisor
sebagai aktor utama dalam memanfaatkan dan mempromosikan KM ke dalam seluruh
organisasi. Untuk mengembangkan penerimaan dan penurunan resistensi akan
perubahan, HS memilih serangkaian produk baru untuk menguji coba inisiatif KM
dengan empat fokus; strategis, organisasional, instrumental, dan hasil.
Dibawah ini adalah rangkuman tindakan-tindakan yang dilakukan oleh HS
dalam menjalankan rencana KM perusahaan:
- Pengetahuan akan bernilai ketika dibagikan. Sehingga lingkungan yang
mendukung sangat dibutuhkan demi menciptakan kondisi dimana karyawan berani
dalam bersosialisasi dan membagikan ide dan pemikiran mereka.
- Pada level dasar, pengetahuan diterima, disimpan, dan disebarkan dengan cara
sistematis agar karyawan dapat mengakses dan menggunakannya dengan mudah.
- Individu atau tim yang berkontribusi dalam pemanfaatan pengetahuan yang
bernilai akan diberi penghargaan.
- Terakhir, melalui sudut pandang yang didapat dari hasi yang tercipta, akan
dilakukan evaluasi.

5) Masalah Terkini
Setelah 15 bulan, HS menemukan bahwa KM tidak menghasilkan hasil yang
positif terkait performa organisasional yang diharapkan. Performa organisasi tetap
stagnan, pendapatan tetap berkurang, dan turnover karyawan tetap tinggi. Akhirnya,
HS melakukan komunikasi dengan konsultan eksternal dan menemukan dua alasan
krusial mengapa HS gagal menjembatani celah dalam pengetahuan, yaitu:
1. Manajer tingkat atas terlalu ambisius dan tidak realistis dalam memadukan
pengetahuan terbaik di industri dan mengaplikasikannya ke dalam perusahaan.
2. Dukungan yang minim dari manajer level atas dalam mendorong perilaku yang
mereka harapkan.

Konsultan eksternal kemudian memberikan rangkuman yang lebih detail terkait


apa yang salah dalam penerapan KM pada perusahaan HS, yaitu sebagai berikut:
1. HS gagal meningkatkan bisnis mereka karena kegagalan perusahaan dalam
memadukan pengetahuan yang tersedia di industri (desain hingga penghematan
operasional) ke dalam operasional perusahaan.
2. Kehadiran KM semata tidak cukup dalam menggaransi keberhasilan KM. banyak
karyawan yang berpendapat bahwa keterlibatan manajer level atas dalam
pengimplementasian KM sangat minim.
3. Dari aspek organisasional, meskipun pertemuan informal kerap diadakan dengan
konsep yang bersahabat dan terbuka, kerap kali pertemuan yang bertujuan untuk
berbagi pengetahuan ini menjadi sia-sia karena tidak adanya panduan terkait
bagaimana proses berbagi pengetahuan dilakukan.
4. Instrumen yang digunakan untuk menstimulasi penciptaan dan berbagi pengetahuan
mengalami masalah dalam pengimplementasiannya. Sebagai contoh, beberapa
karyawan yang tidak dapat mengakses atau menggunakan panduan pengetahuan dan
panduan procedural yang ada di database perusahaan.
5. Sistem penghargaan bagi karyawan yang berhasil membangun dan memanfaatkan
pengetahuan, tidak efektif. Efek pemberian penghargaan berupa uang nyatanya
menghasilkan dampak negatif. Beberapa karyawan mengatakan bahwa pengetahuan
lebih baik disimpan secara pribadi hingga mereka merasa bahwa mereka dapat
menghasilkan uang imbalan ketika manajemen mengetahuinya.
6. Kesalahpahaman bahwa teknologi informasi akan menjadi solusi yang akan
menginspirasi kegiatan KM. Meskipun fasilitas teknologi informasi telah
disediakan, namun proses adopsi tetap rendah karena karyawan lebih memilih
percakapan dan transfer pengetahuan secara tatap muka. Hal ini diakibatkan
rendahnya literasi karyawan akan penggunaan teknologi, ditambah lagi karena
rendahnya dukungan manajemen dalam program pelatihan terkait teknologi
informasi.
7. Inisiatif dalam KM ditinggalkan setelah diimplementasikan. Masih kurang jelas
penyebabnya karena tidak adanya proses penilaian yang terdokumentasi.
Contohnya, survei yang dilakukan untuk mengevaluasi adopsi best practices,
dilakukan setahun sebelumnya dan tidak ada program follow-up atau review
lanjutan.
8. Adanya tekanan yang tidak semestinya, serta fokus perusahaan terkait best practices
dari pengetahuan. Contohnya adalah penekanan perusahaan yang menginginkan
keuntungan jangka pendek dengan penggunaan pengetahuan terkini, namun dengan
biaya jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

Marquardt, Michael J. 2002. Building the Learning Organization : Mastering the 5 Elements
for Corporate Learning. Palo Alto : Davies-Black Publishing, Inc

Senge, Peter M.1990. The Fifth Discipline : the Art and Practice of the Learning Organization.
New York : Doubleday/Currency

Milway & Saxton. 2011. Stanfor Social Innovation Review : The Challenge of Organizational
Learning. California : Leland Stanford Jr. University

Jennex, Murray. 2005. Case Studies in Knowledge Management. Hershey: Idea Group
Publishing

Gephart and Marsick. 2016. Strategic Organizational Learning : Using System Dynamics for
Innovation and Sustained Performance. New York : Springer Heidelberg

Massimo, B & Nora, A. 2022. Barriers to Organizational Learning and Sustainability : the
Case of a Consumer Cooperative. Journal of Co-operative Organization and Management 10.

Eismann, K, et all. 2021. Opening Organizational Learning in Crisis Management : on the


Affordances of Social Media. Journal of Strategic Informations Sytems 30.

Chinowsky, P & Carrillo, P. M. 2007. Knowledge Management to Learning Organization


Connection. Journal of Management in Engineering.

Guta, Alexandra Luciana. 2012. The Learning Organization – An Answer to the Challenges of
the Actual Business Environment?. CES Working Papers, ISSN 2067-7693, Alexandru Ioan
Cuza University of Iasi, Centre for European Studies, Iasi, Vol. 4, Iss. 3, pp. 340-355

Anda mungkin juga menyukai