PEMBELAJARAN ORGANISASI
PADA PERGURUAN TINGGI
DISUSUN OLEH:
SUKMA ERLYADI
NPM. 19120455
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat,
taufiq, hidayah, serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “ Pembelajaran Organisasi Pada Perguruan Tinggi”.
Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Organisasi. Didalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini,
khususnya kepada Bapak Dr. Haris Utomo, S.STP., M.Si., selaku dosen mata kuliah
Pengembangan Organisasi.
Namun sebagai penulis, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kami menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga di masa yang akan datang kami mampu menyusun
makalah dengan jauh lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca. Amin…
Akhirnya, kami sampaikan terima kasih atas perhatian dan dukungan dari
para pembaca. Wassalam.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
akses kerjasama, perhatian yang lebih pada upaya peningkatan kualitas, serta
masalah biaya pendidikan.
Perguruan tinggi terus dihadapkan pada tuntutan untuk melakukan
perubahan. Dalam hal ini, perubahan berkaitan dengan efektivitas proses belajar
mengajar. Untuk menghadapi situasi tersebut, perguruan tinggi diharapkan
mengadopsi proses- proses khusus agar dapat mendorong perbaikan proses belajar
mengajar. Untuk itu, perguruan tinggi baik secara eksplisit maupun implisit harus
membangun kesadaran akan pentingnya pembelajaran serta ide pembelajaran
sebagai dasar dan pendorong pengembangan perguruan tinggi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sebuah organisasi belajar melalui beberapa cara. Dixon, 1994 dalam Pearn et
al. (1995:180) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi menekankan
penggunaan proses pembelajaran pada tingkat individu, kelompok dan sistem untuk
mentransformasikan organisasi ke dalam berbagai cara yang dapat meningkatkan
kepuasan para stakeholder. Kim (1993:37) menekankan pentingnya hubungan
antara pembelajaran individu dengan pembelajaran organisasi dengan menyatakan
bahwa “....organisasi terutama belajar dari anggota organisasi.“ Pembelajaran
individu dan pembelajaran organisasi tidak dapat dipisahkan.
Organisasi belajar melalui individu-individu yang menjadi bagian dari
organisasi. Orang-orang dipekerjakan karena memiliki kompetensi atau
pengetahuan tertentu, yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka ataupun dari
pelatihan-pelatihan formal. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal merupakan
satu cara untuk meningkatkan kemampuan individu dan bahwa organisasi
memperoleh keuntungan dari berbagai aktivitas individu terdidik tersebut.
Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran merupakan sebuah fenomena dimana
organisasi memperoleh keuntungan dari anggota organisasinya yang terampil.
Namun, hal ini tidaklah sederhana. Sekarang ini, pembelajaran individu tidaklah
menjamin pembelajaran organisasi, tetapi pembelajaran organisasi tidak akan
terjadi tanpa pembelajaran individu (Garvin, 2000; Kim, 1993:39).
Konsep pembelajaran individu menjelaskan secara implisit bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah untuk mencapai pendewasaan
dirinya. Manusia diharuskan untuk mampu menempatkan dirinya sesuai dengan
kapasitas dirinya, sehingga ia mampu memberikan kontribusi terbaik minimal
untuk dirinya, dan lebih luas untuk menciptakan kesejahteraan bagi organisasi,
masyarakat atau lingkungannya.
3
Organisasi juga belajar dari organisasi lainnya. Ketika sebuah perusahaan
mengakuisisi atau merger dengan perusahaan lain, perusahaan tersebut dapat
menyerap cara-cara dan prosedur perusahaan tersebut atau menggabungkannya
dengan cara dan prosedurnya sendiri, sehingga terbentuk pengetahuan baru baik
proses maupun personalianya.
Pembelajaran organisasional merupakan wadah untuk membangun
masyarakat yang dewasa yaitu kelompok manusia yang memiliki potensi yang
beranekaragam dan mampu melakukan kerjasama- cerdas sehingga mampu
melaksanakan proses berbagi visi, berbagi model mental dan berbagi pengetahuan,
untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi modal maya organisasi. Tanpa
mekanisme pembelajaran organisasi, maka organisasi tidak akan mampu menjaga
konsistensi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga tidak mampu
menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi stakeholders.
4
organisasi juga dapat digambarkan sebagai seperangkat perilaku organisasi yang
menunjukkan komitmen untuk belajar dan terus melakukan perbaikan.
Seperti halnya yang dinyatakan oleh Senge (1994), bahwa pembelajaran
organisasi memiliki orientasi yang kuat pada sumberdaya manusia, dengan
menyatakan: “People continually expand their capacity to create the results they
desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective
aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn
together (Senge, 1994:3).
Istilah “learning organization” dan “organizational learning” sangat erat
kaitannya dan kadangkala penggunaannya sering kali saling dipertukarkan,
walaupun terdapat perbedaan diantara keduanya. Konsep organizational learning
mulai dikenal luas di tahun 1970-an, yang diperkenalkan oleh Argyris dan Schon
(Fulmer et al., 1998). Organizational learning merupakan jenis aktivitas dalam
organisasi dimana sebuah organisasi belajar sementara learning organisation adalah
bentuk organisasi (Ortenblad, 2001). Intinya menurut Tsang (1997), sebuah
organisasi menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) melalui
implementasi dari pembelajaran organisasi (organizational learning). Namun
perbedaan antara organizational learning dengan learning organization akan sulit
dilakukan.
Perilaku dari sebuah organisasi pembelajaran adalah mengumpulkan,
menginterpretasikan dan mengaplikasikan data untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Pembelajaran organisasi menolak stabilitas dengan cara terus menerus
melakukan evaluasi diri dan eksperimentasi. Baldwin et al. (1997) menyatakan
bahwa anggota organisasi dari semua tingkatan, tidak hanya manajemen puncak,
terus melakukan pengamatan lingkungan dalam upaya memperoleh informasi
penting, perubahan strategi dan program yang diperlukan untuk memperoleh
keuntungan dari perubahan lingkungan, dan bekerja dengan metode, prosedur, dan
teknik evaluasi yang terus menerus diperbaiki. Organisasi yang bersedia untuk
melakukan eksperimen dan mampu belajar dari pengalaman- pengalamannya akan
lebih sukses dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya (Wheelen
dan Hunger, 2002:9).
5
2.3 Proses Pembelajaran Organisasi
Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara proses belajar individu
dengan proses belajar organisasional. Perbedaan terdapat pada (a) jumlah anggota
yang terlibat, sehingga konsep utama dari proses pembelajaran organisasi adalah
belajar bersama (melibatkan seluruh anggota organisasi), dimana mekanisme
berbagi (baik berbagi cara berpikir, berbagi cara pandang, berbagi model mental
atau berbagi visi bersama) menjadi kunci utama keberhasilan dari proses
pembelajaran organisasi, dan (b) setelah pembentukan pengetahuan tasit organisasi,
dilanjutkan dengan proses institusionalisasi untuk mengubah pengetahuan tasit
organisasi menjadi pengetahuan eksplisit organisasi.
Secara umum, indikasi dari keberhasilan proses pembelajaran organisasi
adalah makin luas dan makin intensifnya mekanisme belajar bersama (organisasi),
karena: (a) organisasi mampu melakukan proses perbaikan berkelanjutan, melalui
peningkatan kualitas cara pandang dan cara berpikirnya, dan (b) organisasi mampu
melakukan proses inovasi sosial, melalui peningkatan kualitas paradigmanya.
Sasaran utama proses pembelajaran organisasi adalah institusionalisasi
pengetahuan kolektif yang dimiliki para anggota sebagai hasil integrasi (berbagi
pengetahuan dan atau berbagi model mental), yang diaktualisasikan dalam bentuk
strategi, program, sistem, atau pedoman organisasi.
Pembelajaran organisasi merupakan visi bagaimana sebuah organisasi dapat
menjadi sebuah organisasi yang ideal (Kofman dan Senge, 1995) dengan
menggunakan lima disiplin dasar (five fundamental disciplines), dimana tiap-tiap
disiplin memberikan kontribusi dalam memperbaiki kehidupan dan kapasitas
organisasi untuk belajar.
Lima disiplin tersebut adalah:
1) Personal Mastery
Sumber keunggulan bersaing dalam bisnis hanya akan datang dari
kesuksesan perusahaan dalam pembelajaran, bagaimana mengetuk komitmen
dan kapasitas orang-orang untuk belajar pada semua tingkatan dalam organisasi.
Dalam mengelola orang-orang, organisasi harus memberdayakannya. Tujuan
pendekatan ini adalah agar karyawan dapat mengembangan kreativitas, memiliki
motivasi, dan selalu ingin belajar dan memperbaiki diri, untuk mencapai tujuan
6
personal yang sejalan dengan tujuan organisasi. Organisasi seperti ini akan
tercipta melalui praktek jangka panjang dari serangkaian disiplin. Dengan
demikian akan tercipta organisasi yang dikelola oleh individu-individu yang
bekerjasama menuju visi bersama, bukan lagi atas dasar perintah.
2) Awareness of Mental Models
Merupakan pemikiran atau gambaran internal seseorang yang dipegang
secara mendalam mengenai bagaimana dunia bekerja, yakni gambaran yang
melatarbelakangi kita dalam bertindak dan berpikir. Model ini dapat sangat kuat
menentukan tindakan seseorang baik perilaku yang positif atau justru membatasi
perilaku. Masalah mental models ini bukanlah karena seseorang memilikinya,
namun masalah mental models ini akan meningkat ketika model ini “diam“
yakni ketika gambaran itu muncul di bawah tingkat yang dapat diterima. Senge
berpendapat bahwa masalah dengan struktur mental terjadi ketika pemikiran
seseorang mengikuti suatu model tanpa ada kemungkinan kesediaannya untuk
mengubah pemahaman atau membangun pemahaman baru.
4) Team Learning
Kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi bukanlah masalah
kesempatan atau bahkan hanya merupakan persoalan sederhana mengenai
rekrutmen karyawan (misalnya organisasi dapat merekrut orang-orang dengan
visi yang sejalan dengan visi organisasi). Team learning merupakan masalah
praktek dan proses. Senge menyebut proses ini sebagai “team learning dan
menjelaskan bahwa hal ini merupakan disiplin yang ditandai dengan tiga
dimensi penting, yakni:
7
a. Kemampuan untuk memiliki wawasan berpikir mengenai masalah-masalah
penting.
b. Kemampuan untuk bertindak dengan cara- cara yang inovatif dan koordinatif.
c. Kemampuan untuk memainkan peranan yang berbeda pada tim yang
berbeda.
5) Systems Thinking
Disiplin ini merupakan kerangka kerja dalam melihat hubungan saling
keterkaitan diantara disiplin yang ada. Dalam organisasi bisnis, dapat
diidentifikasi sejumlah sistem dan hubungan yang sistematis, namun transfer
infromasi tidak selamanya mengikuti rantai hubungan ini, seringkali transfer
informasi dilakukan melalui jaringan sosial. Transfer informasi dapat terjadi
pada jaringan komunikasi informal yang umumnya bersifat “grapevine“ (kabar
angin) dan hirarki formal, selain itu juga terdapat jaringan ketiga, yang disebut
juga dengan kelompok inti yang mengendalikan organisasi. Kelompok ini tidak
muncul pada bagan organisasi formal tetapi meliputi banyak individu yang juga
terdiri dari teman atau kerabatnya, semacam “klan” yang tidak terlalu
tersembunyi dalam organisasi.
Marquardt (1996:30) kemudian menambahkan satu keterampilan dari
lima disiplin dasar Senge dengan menyatakan ada enam keterampilan yang harus
dimiliki setiap anggota organisasi demi terwujudnya proses pembelajaran
organisasi, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning,
systems thingking dan dialogue yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi
dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota organisasi. Keterampilan
berdialog ini menuntut kebebasan dan kreatifitas mengeksplorasi isu-isu,
kemampuan untuk saling mendengar secara mendalam, dan menangguhkan
pandangannya sendiri.
8
1) Pertama, organisasi harus memiliki komitmen terhadap pengetahuan. Artinya,
organisasi memiliki komitmen untuk terus menerus mengupayakan
memperoleh pengetahuan.
2) Kedua, pembelajaran organisasi harus memiliki sebuah mekanisme
pembaharuan (a mechanism of renewal) dalam organisasi. Departemen dan
unit-unit lain dalam organisasi secara perlahan masuk ke dalam birokrasi.
Organisasi berhenti beradaptasi; yang berarti berhenti belajar. Organisasi
mengalami kesulitan untuk mencapai kesuksesan.
3) Ketiga, pembelajaran organisasi harus memiliki keterbukaan (openess)
terhadap dunia luar. Hal ini melibatkan berbagai cara, sebab begitu banyak hal
yang harus dipelajari organisasi dari lingkungannya. Berbagai hal yang
menyangkut keterbukaan misalnya para manajer membutuhkan pengetahuan
mengenai bagaimana lingkungan bisnis berubah secara periodik serta kemauan
untuk terus mengikuti pendidikan formal. Bagian pemasaran harus tanggap
terhadap perubahan selera konsumen dan pemasok. Semua ini merupakan
contoh keterbukaan terhadap dunia luar.
9
8) Pertumbuhan dan perkembangan produk dan inovasi proses.
9) Produktifitas yang lebih tinggi dan keuntungan finansial.
10) Kepuasan kerja yang lebih tinggi.
11) Peningkatan yang berkelanjutan.
12) Pembelajaran yang lebih cepat, lebih baik, dan menembus batas.
2.6 Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi
10
memberikan kesempatan melakukan kerjasama dalam belajar yang didorong oleh
kebutuhan dosen dan kebenaran pembelajaran (O’Banion, 1997).
Pada tingkat departemen (program studi), Angelo (2000:80-86) mengajukan
tujuh ide panduan praktis untuk mentransformasikan departemen ke dalam
komunitas pembelajaran yang produktif.
11
pembelajaran organisasi. Harfield menjelaskan bahwa tujuan dari inisiatif
melakukan perbaikan secara terus menerus bagi departemen (program studi) adalah
menjadi departemen (program studi) yang mampu memandang diri sendiri (self-
regarding), memonitor diri sendiri (self-monitoring) dan mengoreksi diri sendiri
(self-correcting). Harfield (1999:1) menyatakan bahwa “rencana penilaian tingkat
departemen (program studi) harus mengidentifikasi misi dari departemen (program
studi), tujuan yang dikaitkan dengan visi, berbagai aktivitas atau proses yang
mendukung pencapaian tujuan, dan sejumlah pengukuran yang memberikan
indikasi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Implementasi rencana
membutuhkan pengumpulan, analisis, dan perbandingan data, proses revisi, dan
komunikasi mengenai hasil yang dicapai“.
Universitas dan fakultas memiliki sejumlah proses yang sistematis dalam
upaya melakukan perbaikan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan pada tingkat
universitas maupun pada fakultas. Melihat perhatian yang diberikan pada setiap
usaha perbaikan, maka dapatlah dipandang universitas sebagai universitas
pembelajaran organisasi (university learning organization).
a. Visi
12
dalam proses formulasi (Creswell et al., 1990). Departemen (program studi) harus
memiliki konsep kesepakatan mengenai siapa yang ingin dilayani, dengan cara apa,
dan hasil apa yang ingin dicapai (Gardiner, 2000). Misi departemen (program studi)
haruslah diterjemahkan ke dalam tujuan, sasaran, dan aktivitas yang lebih spesifik
dibandingkan pernyataan misi dan merupakan panduan operasional. Lebih luas lagi,
ketua departemen sebagai faktor kunci dalam mentransformasikan departemen ke
dalam komunitas pembelajaran melalui visi pengajaran yang lebih efektif,
pembelajaran yang lebih baik lagi, beasiswa yang lebih tepat sasaran, dan kerjasama
yang lebih banyak.
b. Kepemimpinan
13
pada tingkat fakultas. Langkah pertama, aspirasi individu dimasukkan ke dalam
tujuan-tujuan departemen (program studi) dimana hal ini akan menimbulkan
komitmen bersama. Selanjutnya adalah dengan menekankan pentingnya
membangun usaha pemahaman bersama mengenai tujuan fakultas dan bagaimana
harus mencapainya.
Perguruan tinggi harus memiliki pernyataan visi, misi dan kepemimpinan
yang menekankan partisipasi. Usaha-usaha untuk mencapai misi dan tujuan dapat
direalisasikan oleh fakultas. Dekan fakultas berperan penting dalam memfasilitasi
lingkungan kerjasama di dalam universitas yang melakukan pembelajaran
organisasi (university learning organization).
14
Pada tingkat fakultas, informasi mengenai kinerja departemen (program
studi) dikumpulkan untuk tujuan evaluasi. Evaluasi kinerja departemen (program
studi) digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi umumnya berkaitan dengan
pengambilan keputusan mengenai kinerja individu misalnya tingkat pembayaran
gaji, promosi, dan masa jabatan. Kinerja departemen (program studi) biasanya
dievaluasi melalui pengukuran kualitatif dan kuantitatif dalam tiga fungsi yang
saling berkaitan yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. di
Indonesia dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Alat untuk
mengevaluasi pendidikan (pengajaran) umumnya meliputi tingkat kehadiran, nilai
mahasiswa, dan portofolio pendidikan. Sementara evaluasi terhadap penelitian
umumnya melihat pada pentingnya kontribusi penelitian tersebut terhadap berbagai
kegiatan akademik, termasuk publikasi ilmiah dan memenangkan dana penelitian.
Sedangkan evaluasi dari pengabdian pada masyarakat dinilai dari sumbangan
perguruan tinggi pada masyarakat.
Hecht et al. (1999:236) melihat adanya kebutuhan yang tinggi terhadap data
fakultas. Hecht et al. menyatakan bahwa fakultas harus mengumpulkan data yang
berkaitan dengan keluar masuknya mahasiswa, jumlah lulusan dan jumlah
mahasiswa yang ada, sarjana yang dihasilkan, sumberdaya fisik dan finansial, serta
benchmarking antar fakultas dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus
mengumpulkan semua informasi mengenai kinerjanya untuk diberikan baik pada
pihak internal maupun eksternal. Informasi tersebut digunakan sebagai panduan
bagi perguruan tinggi untuk mengambil keputusan. Fakultas memiliki wewenang
untuk menilai kinerja departemen (program studi) yang berada di bawah lingkup
keilmuannya.
d. Budaya Belajar
15
pendidikan, program mentoring, pusat pendidikan, dan kehadiran pada seminar
akademik (Bensimon et al., 2000). Tucker (1992) menjelaskan dua pendekatan
program pengembangan departemen (program studi) yakni pengembangan
departemen (program studi) yang berarti pengembangan staf pengajar dan
pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan fakultas.
Budaya belajar dalam sebuah perguruan tinggi bersifat terbuka dan saling
percaya yang berarti adanya pengawasan kinerja dan nilai-nilai kerjasama. Menurut
Wergin (1994) kerjasama di dalam fakultas membutuhkan kebersamaan tanpa
melepaskan otonomi departemen (program studi). Wergin (1994) menyatakan jika
unit akademik mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan bersama,
dan jika mereka setuju untuk memikul tanggungjawab bersama, maka unit
akademik tersebut secara keseluruhan harus menerima tanggungjawab atas apa
yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan bersama. Fakultas yang memiliki
kerjasama efektif akan menggunakan dialog bersama, pengawasan bersama,
praktek bersama, dan mengakui prestasi dan keberhasilan bersama. Fakultas harus
melakukan evaluasi dan memberikan balas jasa atas produktifitas bersama tersebut
(Hecth et al., 1999).
Perguruan tinggi yang melakukan pembelajaran organisasi memiliki budaya
yang meningkatkan pembelajaran guna memperbaiki kinerjanya. Perguruan tinggi
harus memiliki struktur dan proses yang mendorong pengembangan individu dan
mengawasi kemajuan institusi. Perguruan tinggi juga harus mendukung
peningkatan kerjasama, khususnya pada tingkat fakultas, yang berarti peningkatan
kinerja.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
mendalam mengenai penyebab dan pola dari setiap kejadian. The parable of the
boiled frog adalah kegagalan pada sesuatu yang datang perlahan, yakni hambatan-
hambatan bertahap yang dapat mengganggu kemampuan untuk bertahan hidup. The
delusion of learning from experience adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika
muncul rasa ketidakmungkinan untuk selalu belajar dari pengalaman saat itu karena
beberapa keputusan merupakan keputusan jangka panjang dan memakan waktu
beberapa tahun atau dekade untuk melihat hasilnya. Terakhir, the myth of the
management team adalah ketidakmampuan belajar yang mempertanyakan
keefektifan pengumpulan manajer-manajer berpengalaman dari berbagai bidang
dan kemampuan organisasi untuk mengatasi ketidakmampuan belajar yang telah
disebutkan sebelumnya.
Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang memiliki komitmen pada
keinginan terus menerus untuk melakukan perbaikan. Sejumlah faktor dapat saja
menghalangi organisasi untuk belajar, namun organisasi harus bersedia untuk
mengerahkan segala usahanya untuk berubah menjadi organisasi pembelajaran.
3.2 Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19
9. Espejo, R., W. Schuhmann, M. Schwaninger dan U. Bilello (1996).
Organizational Transformation and Learning: A Cybernatic Approch to
Management
10. Fulmer, R.M., P. Gibbs dan B. Keys (1998). The Second Generation Learning
Organizations: New Tool for Sustaining Competitive Advantage,
Organizational Dynamics, 27 (2), pp.6-21.
11. Gardiner, L.F. (2000). Monitoring and Improving Educational Quality in the
Academic Departement. In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic
Change: Essential Roles for Department Chairs, pp.165-194.
12. Garvin, D.A. (2000). Learning in Action: A Guide to Putting the Learning
Organization to Work, Boston: Harvard Business School Press.
13. Gephart, M.A., V.J. Marsick, M.E. Von Buren, dan M.S. Spiro (1996).
Learning Organization Come Alive, Training and Development, December,
pp. 35-45.
14. Harfield, S.R. (1999). The Vision Thing in Higher Education, Higher
Education, 23(4), pp.8-14.
15. Hecht, I.W.D., M.L. Higgerson, W.H. Gmelch and A. Tucker (1999). The
Departement Chairs as a Academic Leader, phoenix, AZ: Oryx Press.
16. Kim, D.H. (1993). The Link between Individual and Organizational Learning,
Sloan Management Review, fall, pp.37-50.
17. Kofman, F. dan P.M. Senge (1995). Communities of Commitment: The Heart
of Learning Organizations, Learning Organizations, Eds S.Chawla dan J.
Renesh, Oregon: Productivity Press.
18. Lang, D.W. dan R. Lopers-Sweetman (1991). The Role of Statements of
Institusional Purpose, Research in Higher Education, December, 32(6), pp.599-
624.
19. Luthans, Fred, 1995. Organizational Behavior, Seventh Edition, International
Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
20. Marquardt, Michael J., 1996. Building the Learning Organization. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
20
21. Murray, J. (1997). Succesful Development and Evaluation: The Complete
Teaching Portfolio, ASHE-ERIC Higher Education Report, No.8, Washington,
DC.
22. O’Banion, T. (1997). Learning College for the 21st Century, Phoenix, AZ:
Oryx Press.
23. Ortenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and
Learning Organization, The Learning Organization, Vol. 8, No. 3, pp. 125-133.
24. Pearn, M., C. Roderick, dan C. Mulrooney (1995). Learning Organization in
Practice, London: McGraw-Hill.
25. Peterson, M.W. (1999). The Role of Institutional Research: From Improvement
to Redisign. In J.F. Volkwein (Ed), What is Institutional Research All About?
A Critical and Comprehensive Assesment of the Profession, New Directions
for Institutional Research, winter, pp.83-103.
26. Senge, P.M. (2000). The Academy as a Learning Community: Contradiction in
Terms or Realizable Future? In A.F. Lucas and Associates, Leading Academic
Change: Essential Roles for Departement Chairs, pp.275-300.
27. Senge, P.M. (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization, New York: Doubleday
28. Tsang, E.W.K. (1997). Organizational Learning and Learning Organization: A
Dichotomy between Decriptive and Prescriptive Research, Human Relations,
pp.73-89.
29. Tucker, A. (1992). Chairing the Academic Departement: Leadership Among
Peers, New York: MacMillan.
30. Wergin, J.F. (1994). The Collaborative Departement: How Five Campuses are
Inching toward Cultures of Collective Responsibility, Washington, DC:
American Association for Higher Education.
31. Wheelen, Thomas L. dan J. David Hunger (2002). Strategic Management and
Business Policy, Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall
21