Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PEMBELAJARAN ORGANISASI
PADA PERGURUAN TINGGI

MATA KULIAH: PENGEMBANGAN ORGANISASI


DOSEN PENGAMPU: DR. HARIS UTOMO, S.STP., M.SI.

DISUSUN OLEH:
SUKMA ERLYADI
NPM. 19120455

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat,
taufiq, hidayah, serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “ Pembelajaran Organisasi Pada Perguruan Tinggi”.
Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Organisasi. Didalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini,
khususnya kepada Bapak Dr. Haris Utomo, S.STP., M.Si., selaku dosen mata kuliah
Pengembangan Organisasi.
Namun sebagai penulis, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kami menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga di masa yang akan datang kami mampu menyusun
makalah dengan jauh lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca. Amin…
Akhirnya, kami sampaikan terima kasih atas perhatian dan dukungan dari
para pembaca. Wassalam.

Banjarbaru, Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i


KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....…………………………………………............ 1
1.2 Identifikasi Masalah ...……………………………………............. 2
1.3. Rumusan Masalah ………………………………………………... 2
1.4 Tujuan Makalah …………………………………………………... 2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembelajaran Organisasi .……………………………. 3
2.2 Konsep dan Definisi Pembelajaran Organisasi ……...................... 4
2.3 Proses Pembelajaran Organisasi .………………………………… 5
2.4 Karakteristik Kunci Pembelajaran Organisasi …………………… 8
2.5 Manfaat Pembelajaran Organisasi ……………………………….. 9
2.6 Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi ………………... 10
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………………………............. 17
3.2 Saran …………………………………………………………........ 18
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan setiap organisasi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan


eksternal, karena organisasi sebagai suatu sistem selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Semua organisasi belajar, namun beberapa organisasi tidak dapat
belajar cukup cepat untuk bertahan. Organisasi yang tidak responsif dan adaptif
terhadap perkembangan lingkungan yang kompleks dan penuh ketidakpastian
sudah tentu tidak menguntungkan organisasi dalam menghadapi dunia persaingan
yang semakin ketat.
Espejo et al. (1996) menyatakan “the competitive landscape is changing, and
new models of competitiveness are needed to deal with challenges a head“.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dituntut untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya sehingga mampu memberikan
produk dan jasa yang berkualitas kepada pelanggannya mengingat tingkat
persaingan kian meningkat.
Kemampuan organisasi untuk tetap memperbaharui pengetahuannya melalui
proses pembelajaran terasa lebih penting sekarang ini. Agar dapat bersaing
organisasi sekarang dan akan datang diharapkan untuk lebih fleksibel.
Kefleksibelan membutuhkan komitmen jangka panjang dalam membangun dan
mengembangkan sumberdaya strategis. Dalam lingkungan yang serba dinamis,
organisasi harus berorientasi pada konsep pembelajaran organisasi (learning
organization).
Demikian pula halnya dengan perguruan tinggi. Lingkungan persaingan baru
telah terbentuk sebagai hasil dari perubahan demografi, teknologi, bentuk
perguruan tinggi, dan ekonomi global yang serba kompleks (Blustain et al., 1999).
Dengan terbentuknya lingkungan persaingan baru tersebut, berbagai tantangan baru
juga muncul bagi perguruan tinggi antara lain pertanggungjawaban kepada
masyarakat yang semakin besar, harapan yang lebih besar dalam meningkatkan

2
akses kerjasama, perhatian yang lebih pada upaya peningkatan kualitas, serta
masalah biaya pendidikan.
Perguruan tinggi terus dihadapkan pada tuntutan untuk melakukan
perubahan. Dalam hal ini, perubahan berkaitan dengan efektivitas proses belajar
mengajar. Untuk menghadapi situasi tersebut, perguruan tinggi diharapkan
mengadopsi proses- proses khusus agar dapat mendorong perbaikan proses belajar
mengajar. Untuk itu, perguruan tinggi baik secara eksplisit maupun implisit harus
membangun kesadaran akan pentingnya pembelajaran serta ide pembelajaran
sebagai dasar dan pendorong pengembangan perguruan tinggi.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apakah pengertian Pembelajaran Organisasi?


2. Bagaimana konsep dan definisi dari Pembelajaran Organisasi?
3. Bagaimana proses Pembelajaran Organisasi Fifth Disciplines of Learning
Organization yang dikemukakan oleh Peter Senge’s?
4. Apakah karakteristik kunci Pembelajaran Organisasi?
5. Apakah manfaat dari Pembelajaran Organisasi?
6. Bagaimana Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi?

1.3 Rumusan Masalah

1. Mengetahui pengertian dari Pembelajaran Organisasi.


2. Mengetahui konsep dan definisi dari Pembelajaran Organisasi.
3. Mengetahui proses Pembelajaran Organisasi Fifth Disciplines of Learning
Organization yang dikemukakan oleh Peter Senge’s.
4. Mengetahui karakteristik kunci Organisasi Pembelajaran.
5. Mengetahui manfaat dari Organisasi Pembelajaran.
6. Mengetahui Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi.

1.4 Tujuan Makalah

Penulisan Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang


pembelajaran organisasi, mengetahui bagaimana konsep, definisi, karakteristik, dan
manfaat dari penerapan pembelajaran organisasi pada perguruan tinggi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembelajaran Organisasi

Sebuah organisasi belajar melalui beberapa cara. Dixon, 1994 dalam Pearn et
al. (1995:180) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi menekankan
penggunaan proses pembelajaran pada tingkat individu, kelompok dan sistem untuk
mentransformasikan organisasi ke dalam berbagai cara yang dapat meningkatkan
kepuasan para stakeholder. Kim (1993:37) menekankan pentingnya hubungan
antara pembelajaran individu dengan pembelajaran organisasi dengan menyatakan
bahwa “....organisasi terutama belajar dari anggota organisasi.“ Pembelajaran
individu dan pembelajaran organisasi tidak dapat dipisahkan.
Organisasi belajar melalui individu-individu yang menjadi bagian dari
organisasi. Orang-orang dipekerjakan karena memiliki kompetensi atau
pengetahuan tertentu, yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka ataupun dari
pelatihan-pelatihan formal. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal merupakan
satu cara untuk meningkatkan kemampuan individu dan bahwa organisasi
memperoleh keuntungan dari berbagai aktivitas individu terdidik tersebut.
Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran merupakan sebuah fenomena dimana
organisasi memperoleh keuntungan dari anggota organisasinya yang terampil.
Namun, hal ini tidaklah sederhana. Sekarang ini, pembelajaran individu tidaklah
menjamin pembelajaran organisasi, tetapi pembelajaran organisasi tidak akan
terjadi tanpa pembelajaran individu (Garvin, 2000; Kim, 1993:39).
Konsep pembelajaran individu menjelaskan secara implisit bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah untuk mencapai pendewasaan
dirinya. Manusia diharuskan untuk mampu menempatkan dirinya sesuai dengan
kapasitas dirinya, sehingga ia mampu memberikan kontribusi terbaik minimal
untuk dirinya, dan lebih luas untuk menciptakan kesejahteraan bagi organisasi,
masyarakat atau lingkungannya.

3
Organisasi juga belajar dari organisasi lainnya. Ketika sebuah perusahaan
mengakuisisi atau merger dengan perusahaan lain, perusahaan tersebut dapat
menyerap cara-cara dan prosedur perusahaan tersebut atau menggabungkannya
dengan cara dan prosedurnya sendiri, sehingga terbentuk pengetahuan baru baik
proses maupun personalianya.
Pembelajaran organisasional merupakan wadah untuk membangun
masyarakat yang dewasa yaitu kelompok manusia yang memiliki potensi yang
beranekaragam dan mampu melakukan kerjasama- cerdas sehingga mampu
melaksanakan proses berbagi visi, berbagi model mental dan berbagi pengetahuan,
untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi modal maya organisasi. Tanpa
mekanisme pembelajaran organisasi, maka organisasi tidak akan mampu menjaga
konsistensi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga tidak mampu
menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi stakeholders.

2.2 Konsep dan Definisi Pembelajaran Organisasi

Banyak penjelasan dan definisi pembelajaran organisasi yang dikenal dalam


literatur bisnis dan manajemen. Namun tidak ada definisi universal dari
pembelajaran organisasi. Beberapa definisi mengacu kepada kegiatan yang
berorientasi pada tindakan (action-oriented) dan fokus pada implementasi, yang
merupakan sebuah pendekatan konkret dan menentukan (Dill, 1999; Tsang, 1997).
Garvin (2000:11) mendefinisikan pembelajaran organisasi sebagai keahlian
organisasi untuk menciptakan, memperoleh, menginterpretasikan, mentrasfer dan
membagi pengetahuan, yang bertujuan memodifikasi perilakunya untuk
menggambarkan pengetahuan dan wawasan baru. Sedangkan menurut Taylor
pembelajaran organisasi merupakan kesempatan yang diberikan kepada pegawai
sehingga organisasi menjadi lebih efisien (Luthans, 1995:173).
Pembelajaran organisasi didasarkan pada prinsip- prinsip dasar pembelajaran
yakni menerima dan mengumpulkan informasi, menginterpretasikannya, dan
bertindak berdasarkan interpretasi dari informasi tersebut (Garvin, 2000:13).
Pembelajaran organisasi menyediakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang
memungkinkan organisasi belajar (Cleveland dan Plastrik, 1995). Pembelajaran

4
organisasi juga dapat digambarkan sebagai seperangkat perilaku organisasi yang
menunjukkan komitmen untuk belajar dan terus melakukan perbaikan.
Seperti halnya yang dinyatakan oleh Senge (1994), bahwa pembelajaran
organisasi memiliki orientasi yang kuat pada sumberdaya manusia, dengan
menyatakan: “People continually expand their capacity to create the results they
desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective
aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn
together (Senge, 1994:3).
Istilah “learning organization” dan “organizational learning” sangat erat
kaitannya dan kadangkala penggunaannya sering kali saling dipertukarkan,
walaupun terdapat perbedaan diantara keduanya. Konsep organizational learning
mulai dikenal luas di tahun 1970-an, yang diperkenalkan oleh Argyris dan Schon
(Fulmer et al., 1998). Organizational learning merupakan jenis aktivitas dalam
organisasi dimana sebuah organisasi belajar sementara learning organisation adalah
bentuk organisasi (Ortenblad, 2001). Intinya menurut Tsang (1997), sebuah
organisasi menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) melalui
implementasi dari pembelajaran organisasi (organizational learning). Namun
perbedaan antara organizational learning dengan learning organization akan sulit
dilakukan.
Perilaku dari sebuah organisasi pembelajaran adalah mengumpulkan,
menginterpretasikan dan mengaplikasikan data untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Pembelajaran organisasi menolak stabilitas dengan cara terus menerus
melakukan evaluasi diri dan eksperimentasi. Baldwin et al. (1997) menyatakan
bahwa anggota organisasi dari semua tingkatan, tidak hanya manajemen puncak,
terus melakukan pengamatan lingkungan dalam upaya memperoleh informasi
penting, perubahan strategi dan program yang diperlukan untuk memperoleh
keuntungan dari perubahan lingkungan, dan bekerja dengan metode, prosedur, dan
teknik evaluasi yang terus menerus diperbaiki. Organisasi yang bersedia untuk
melakukan eksperimen dan mampu belajar dari pengalaman- pengalamannya akan
lebih sukses dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya (Wheelen
dan Hunger, 2002:9).

5
2.3 Proses Pembelajaran Organisasi

Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara proses belajar individu
dengan proses belajar organisasional. Perbedaan terdapat pada (a) jumlah anggota
yang terlibat, sehingga konsep utama dari proses pembelajaran organisasi adalah
belajar bersama (melibatkan seluruh anggota organisasi), dimana mekanisme
berbagi (baik berbagi cara berpikir, berbagi cara pandang, berbagi model mental
atau berbagi visi bersama) menjadi kunci utama keberhasilan dari proses
pembelajaran organisasi, dan (b) setelah pembentukan pengetahuan tasit organisasi,
dilanjutkan dengan proses institusionalisasi untuk mengubah pengetahuan tasit
organisasi menjadi pengetahuan eksplisit organisasi.
Secara umum, indikasi dari keberhasilan proses pembelajaran organisasi
adalah makin luas dan makin intensifnya mekanisme belajar bersama (organisasi),
karena: (a) organisasi mampu melakukan proses perbaikan berkelanjutan, melalui
peningkatan kualitas cara pandang dan cara berpikirnya, dan (b) organisasi mampu
melakukan proses inovasi sosial, melalui peningkatan kualitas paradigmanya.
Sasaran utama proses pembelajaran organisasi adalah institusionalisasi
pengetahuan kolektif yang dimiliki para anggota sebagai hasil integrasi (berbagi
pengetahuan dan atau berbagi model mental), yang diaktualisasikan dalam bentuk
strategi, program, sistem, atau pedoman organisasi.
Pembelajaran organisasi merupakan visi bagaimana sebuah organisasi dapat
menjadi sebuah organisasi yang ideal (Kofman dan Senge, 1995) dengan
menggunakan lima disiplin dasar (five fundamental disciplines), dimana tiap-tiap
disiplin memberikan kontribusi dalam memperbaiki kehidupan dan kapasitas
organisasi untuk belajar.
Lima disiplin tersebut adalah:
1) Personal Mastery
Sumber keunggulan bersaing dalam bisnis hanya akan datang dari
kesuksesan perusahaan dalam pembelajaran, bagaimana mengetuk komitmen
dan kapasitas orang-orang untuk belajar pada semua tingkatan dalam organisasi.
Dalam mengelola orang-orang, organisasi harus memberdayakannya. Tujuan
pendekatan ini adalah agar karyawan dapat mengembangan kreativitas, memiliki
motivasi, dan selalu ingin belajar dan memperbaiki diri, untuk mencapai tujuan

6
personal yang sejalan dengan tujuan organisasi. Organisasi seperti ini akan
tercipta melalui praktek jangka panjang dari serangkaian disiplin. Dengan
demikian akan tercipta organisasi yang dikelola oleh individu-individu yang
bekerjasama menuju visi bersama, bukan lagi atas dasar perintah.
2) Awareness of Mental Models
Merupakan pemikiran atau gambaran internal seseorang yang dipegang
secara mendalam mengenai bagaimana dunia bekerja, yakni gambaran yang
melatarbelakangi kita dalam bertindak dan berpikir. Model ini dapat sangat kuat
menentukan tindakan seseorang baik perilaku yang positif atau justru membatasi
perilaku. Masalah mental models ini bukanlah karena seseorang memilikinya,
namun masalah mental models ini akan meningkat ketika model ini “diam“
yakni ketika gambaran itu muncul di bawah tingkat yang dapat diterima. Senge
berpendapat bahwa masalah dengan struktur mental terjadi ketika pemikiran
seseorang mengikuti suatu model tanpa ada kemungkinan kesediaannya untuk
mengubah pemahaman atau membangun pemahaman baru.

3) Building a Shared Vision


Pada tingkat yang paling sederhana, shared vision adalah jawaban dari
pertanyaan “Apa yang ingin kita ciptakan? Meskipun membangun disiplin
pertama (personal mastery) dapat membantu dalam membangun visi personal,
pengembangan tersebut sungguh tidak akan membantu organisasi kecuali jika
terdapat kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi. Dengan
demikian tidak hanya visi organisasi yang penting bagi karyawan, namun visi
personal karyawan juga harus dinilai dan dihargai oleh organisasi.

4) Team Learning
Kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi bukanlah masalah
kesempatan atau bahkan hanya merupakan persoalan sederhana mengenai
rekrutmen karyawan (misalnya organisasi dapat merekrut orang-orang dengan
visi yang sejalan dengan visi organisasi). Team learning merupakan masalah
praktek dan proses. Senge menyebut proses ini sebagai “team learning dan
menjelaskan bahwa hal ini merupakan disiplin yang ditandai dengan tiga
dimensi penting, yakni:

7
a. Kemampuan untuk memiliki wawasan berpikir mengenai masalah-masalah
penting.
b. Kemampuan untuk bertindak dengan cara- cara yang inovatif dan koordinatif.
c. Kemampuan untuk memainkan peranan yang berbeda pada tim yang
berbeda.

5) Systems Thinking
Disiplin ini merupakan kerangka kerja dalam melihat hubungan saling
keterkaitan diantara disiplin yang ada. Dalam organisasi bisnis, dapat
diidentifikasi sejumlah sistem dan hubungan yang sistematis, namun transfer
infromasi tidak selamanya mengikuti rantai hubungan ini, seringkali transfer
informasi dilakukan melalui jaringan sosial. Transfer informasi dapat terjadi
pada jaringan komunikasi informal yang umumnya bersifat “grapevine“ (kabar
angin) dan hirarki formal, selain itu juga terdapat jaringan ketiga, yang disebut
juga dengan kelompok inti yang mengendalikan organisasi. Kelompok ini tidak
muncul pada bagan organisasi formal tetapi meliputi banyak individu yang juga
terdiri dari teman atau kerabatnya, semacam “klan” yang tidak terlalu
tersembunyi dalam organisasi.
Marquardt (1996:30) kemudian menambahkan satu keterampilan dari
lima disiplin dasar Senge dengan menyatakan ada enam keterampilan yang harus
dimiliki setiap anggota organisasi demi terwujudnya proses pembelajaran
organisasi, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning,
systems thingking dan dialogue yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi
dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota organisasi. Keterampilan
berdialog ini menuntut kebebasan dan kreatifitas mengeksplorasi isu-isu,
kemampuan untuk saling mendengar secara mendalam, dan menangguhkan
pandangannya sendiri.

2.4 Karakteristik Kunci Pembelajaran Organisasi

Ada tiga karakteristik kunci dari pembelajaran organisasi, yakni:

8
1) Pertama, organisasi harus memiliki komitmen terhadap pengetahuan. Artinya,
organisasi memiliki komitmen untuk terus menerus mengupayakan
memperoleh pengetahuan.
2) Kedua, pembelajaran organisasi harus memiliki sebuah mekanisme
pembaharuan (a mechanism of renewal) dalam organisasi. Departemen dan
unit-unit lain dalam organisasi secara perlahan masuk ke dalam birokrasi.
Organisasi berhenti beradaptasi; yang berarti berhenti belajar. Organisasi
mengalami kesulitan untuk mencapai kesuksesan.
3) Ketiga, pembelajaran organisasi harus memiliki keterbukaan (openess)
terhadap dunia luar. Hal ini melibatkan berbagai cara, sebab begitu banyak hal
yang harus dipelajari organisasi dari lingkungannya. Berbagai hal yang
menyangkut keterbukaan misalnya para manajer membutuhkan pengetahuan
mengenai bagaimana lingkungan bisnis berubah secara periodik serta kemauan
untuk terus mengikuti pendidikan formal. Bagian pemasaran harus tanggap
terhadap perubahan selera konsumen dan pemasok. Semua ini merupakan
contoh keterbukaan terhadap dunia luar.

2.5 Manfaat Pembelajaran Organisasi

Manfaat penting membangun pembelajaran organisasi ini adalah bahwa


organisasi mampu menghadapi tantangan perubahan dalam segala aspek
lingkungan kehidupan dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu agar tetap
bertahan dan berkembang, mencapai kinerja yang tinggi dan memenangkan
persaingan, dan memperbaiki kualitas dengan memunculkan inovasi.
Manfaat utama pembelajaran organisasi adalah;
1) Mempertahankan tingkat inovasi dan tetap kompetitif.
2) Menjadi lebih baik ditempatkan untuk merespon tekanan eksternal.
3) Memiliki pengetahuan ke sumber daya yang lebih.
4) Meningkatkan kualitas output di semua tingkatan.
5) Meningkatkan citra perusahaan dengan menjadi lebih banyak orang
berorientasi.
6) Meningkatkan kecepatan perubahan dalam organisasi.
7) Kemampuan untuk adaptasi dan antisipasi.

9
8) Pertumbuhan dan perkembangan produk dan inovasi proses.
9) Produktifitas yang lebih tinggi dan keuntungan finansial.
10) Kepuasan kerja yang lebih tinggi.
11) Peningkatan yang berkelanjutan.
12) Pembelajaran yang lebih cepat, lebih baik, dan menembus batas.
2.6 Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan wadah yang menghasilkan dan menyampaikan


ilmu pengetahuan. Namun sampai sekarang ini perguruan tinggi belum dianggap
sebagai organisasi pembelajaran yakni organisasi yang menggunakan proses
pembelajaran dalam proses sistematisnya untuk melakukan perbaikan (Dill, 1999).
Pembelajaran organisasi berdasarkan tim bukanlah model utama dalam
organisasi akademik, namun prinsip-prinsip pembelajaran organisasi jelas terlihat
dalam banyak proses yang dirancang institusi dalam melakukan perbaikan. Dill
(1999) telah mempelajari karakteristik organisasi dari pembelajaran organisasi
akademik, dengan meneliti 12 studi kasus pada institusi pendidikan di Eropa. Ia
menemukan bahwa dengan meningkatkan perhatian pada tangungjawab akademik,
perguruan tinggi harus lebih terampil dalam menciptakan ilmu pengetahuan baru
untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar dan dengan demikian menyesuaikan
perilakunya dengan ilmu pengetahuan baru tersebut.
Lingkungan baru akan mendukung proses adaptasi pada struktur dan
pengelolaan organisasi untuk mencapai perbaikan kegiatan belajar mengajar.
Peningkatan jumlah pusat- pusat kajian studi telah meningkatkan dukungan pada
proses belajar mengenai kurikulum yang diterapkan melalui informasi yang
diperoleh berkaitan dengan pengalaman kerja lulusan, atau melakukan reorganisasi
unit akademik untuk meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja misalnya dengan
membentuk komite akademik.
Perubahan lingkungan menciptakan kebutuhan akan pembelajaran perguruan
tinggi. Perguruan tinggi yang belajar adalah institusi pendidikan yang
menempatkan mahasiswa dan kegiatan belajar mengajar sebagai prioritas.
Perguruan tinggi yang belajar merupakan wadah yang menciptakan perubahan pada
mahasiswa, menggunakan pola belajar aktif, menawarkan pilihan- pilihan studi,

10
memberikan kesempatan melakukan kerjasama dalam belajar yang didorong oleh
kebutuhan dosen dan kebenaran pembelajaran (O’Banion, 1997).
Pada tingkat departemen (program studi), Angelo (2000:80-86) mengajukan
tujuh ide panduan praktis untuk mentransformasikan departemen ke dalam
komunitas pembelajaran yang produktif.

Angelo menawarkan saran-saran berikut kepada ketua departemen, yakni:


1) membangun kepercayaan;
2) menciptakan situasi saling memotivasi;
3) membangun komunikasi;
4) merancang sistem umpan balik dan proaktif dalam bekerja;
5) berpikir dan bertindak secara sistematis;
6) lakukan apa yang anda yakini;
7) jangan berasumsi.

Visi dan kepemimpinan terdapat dalam panduannya untuk saling memotivasi,


dan merancang umpan balik dan bekerja proaktif. Saling memotivasi terbangun
melalui berbagi visi. Berdasarkan pada berbagi visi, fakultas dapat merancang
strategi dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan departemen (program studi).
Atribut pembelajaran organisasi mengenai ilmu pengetahuan dan manajemen
komunikasi disebut dengan berdialog dan kebutuhan untuk bertanya dibandingkan
berasumsi. Berdialog penting untuk mendapatkan komunikasi yang efektif agar
dapat saling memahami dan selanjutnya komunikasi yang efektif tersebut akan
menurunkan penggunaan asumsi. Prinsip-prinsip yang mendukung terbangunnya
rasa kepercayaan, pemikiran dan tindakan yang sistematis, menunjukkan konsep
budaya pembelajaran dalam upaya meningkatkan kinerja. Kepercayaan
menggambarkan bahwa fakultas berada dalam lingkungan yang dapat membuat
departemen merasa dihargai, bernilai, dan aman. Pemikiran yang sistematis
memungkinkan individu-individu dalam departemen (program studi) merasa
bahwa mereka merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yakni fakultas dan
universitas (Angelo, 2000).
Hatfield (1999:1) mengaplikasikan prinsip- prinsip perbaikan terus menerus
pada departemen (program studi), dan hal ini menunjukkan prinsip- prinsip

11
pembelajaran organisasi. Harfield menjelaskan bahwa tujuan dari inisiatif
melakukan perbaikan secara terus menerus bagi departemen (program studi) adalah
menjadi departemen (program studi) yang mampu memandang diri sendiri (self-
regarding), memonitor diri sendiri (self-monitoring) dan mengoreksi diri sendiri
(self-correcting). Harfield (1999:1) menyatakan bahwa “rencana penilaian tingkat
departemen (program studi) harus mengidentifikasi misi dari departemen (program
studi), tujuan yang dikaitkan dengan visi, berbagai aktivitas atau proses yang
mendukung pencapaian tujuan, dan sejumlah pengukuran yang memberikan
indikasi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Implementasi rencana
membutuhkan pengumpulan, analisis, dan perbandingan data, proses revisi, dan
komunikasi mengenai hasil yang dicapai“.
Universitas dan fakultas memiliki sejumlah proses yang sistematis dalam
upaya melakukan perbaikan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan pada tingkat
universitas maupun pada fakultas. Melihat perhatian yang diberikan pada setiap
usaha perbaikan, maka dapatlah dipandang universitas sebagai universitas
pembelajaran organisasi (university learning organization).

a. Visi

Pernyataan visi, misi, aktivitas rencana jangka panjang menggambarkan


karakteristik pembelajaran organisasi. Umumnya perguruan tinggi memiliki
pernyataan formal mengenai tujuannya, yang biasanya disebut sebagai pernyataan
misi. Lang dan Lopers- Sweetman (1991) menyatakan beberapa peran dari
pernyataan misi insitusi. Pernyataan misi berperan sebagai penjelasan dari tujuan,
sebagai penyaring dari para oportunis, deskripsi mengenai siapa mereka,
aspirasinya, atau pola pemasarannya. Walaupun terdapat berbagai kegunaan dari
pernyataan misi, umumnya misi berhubungan dengan masa depan institusi. Visi
dalam sebuah universitas yang melakukan pembelajaran organisasi benar-benar
terealisasi pada tingkat departemen (program studi).
Penelitian terhadap 200 ketua departemen terbaik oleh Creswell et al. (1990)
menunjukkan bahwa ketua departemen (program studi) bertanggung jawab
membangun visi atau fokus bersama departemen. Visi departemen haruslah sejalan
dengan visi dan misi institusi dan dimiliki oleh fakultas melalui keterlibatan mereka

12
dalam proses formulasi (Creswell et al., 1990). Departemen (program studi) harus
memiliki konsep kesepakatan mengenai siapa yang ingin dilayani, dengan cara apa,
dan hasil apa yang ingin dicapai (Gardiner, 2000). Misi departemen (program studi)
haruslah diterjemahkan ke dalam tujuan, sasaran, dan aktivitas yang lebih spesifik
dibandingkan pernyataan misi dan merupakan panduan operasional. Lebih luas lagi,
ketua departemen sebagai faktor kunci dalam mentransformasikan departemen ke
dalam komunitas pembelajaran melalui visi pengajaran yang lebih efektif,
pembelajaran yang lebih baik lagi, beasiswa yang lebih tepat sasaran, dan kerjasama
yang lebih banyak.

b. Kepemimpinan

Bimbaum (1998:102-104) menjelaskan posisi pemimpin perguruan tinggi


sebagai posisi yang diharapkan dapat mempengaruhi tanpa memaksa, mengarahkan
tanpa sanksi, dan mengawasi tanpa menyebabkan pemencilan dalam pembelajaran
organisasi. Bimbaum menawarkan tujuh aturan bagi para pemimpin di lingkungan
perguruan tinggi, yakni:
1) Menghidupkan norma-norma kelompok;
2) Menyesuaikan diri dengan harapan kelompok tentang kepemimpinannya;
3) Menggunakan jalur komunikasi yang telah terbangun;
4) Tidak memberikan perintah yang tidak mungkin dilaksanakan;
5) Mendengarkan;
6) Menurunkan perbedaan status;
7) Mendorong pengendalian diri sendiri.
Prinsip-prinsip kepemimpinan collegial juga berkaitan dengan
kepemimpinan fakultas. Fakultas mengeluarkan pernyataan visi fakultas namun
memberikan kepercayaan pada departemen (program studi) untuk mengambil
keputusan dan strategi guna mencapai visi tersebut. Dekan berperan sebagai
fasilitator dalam hal kerjasama dan penghubung dengan fakultas lain. Menurut
Murray (1997) dalam lingkup akademik, kepemimpinan partisipatif diketahui
paling baik untuk digunakan. Pembelajaran organisasi dalam perguruan tinggi
berarti memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada fakultas dan
departemen. Wergin (1994:5) menjelaskan pentingnya tanggung jawab bersama

13
pada tingkat fakultas. Langkah pertama, aspirasi individu dimasukkan ke dalam
tujuan-tujuan departemen (program studi) dimana hal ini akan menimbulkan
komitmen bersama. Selanjutnya adalah dengan menekankan pentingnya
membangun usaha pemahaman bersama mengenai tujuan fakultas dan bagaimana
harus mencapainya.
Perguruan tinggi harus memiliki pernyataan visi, misi dan kepemimpinan
yang menekankan partisipasi. Usaha-usaha untuk mencapai misi dan tujuan dapat
direalisasikan oleh fakultas. Dekan fakultas berperan penting dalam memfasilitasi
lingkungan kerjasama di dalam universitas yang melakukan pembelajaran
organisasi (university learning organization).

c. Manajemen Ilmu Pengetahuan dan Komunikasi

Universitas memiliki sejumlah mekanisme pengumpulan informasi dalam


mengambil keputusan dan upaya perbaikan. Secara internal, universitas mengawasi
kualitasnya sendiri berdasarkan standar yang ada. Kualitas fakultas diukur melalui
kesepakatan yang dibuat, promosi, dan prosedur masa jabatan. Kualitas mahasiswa
ditunjukkan dengan syarat yang harus dipenuhi agar diterima sebagai mahasiswa,
indeks prestasi, dan penghargaan yang diterima mahasiswa. Penelitian dan
publikasi ilmiah menggambarkan kualitas penelitian dan beasiswa. Syarat
penerimaan mahasiswa, penilaian mahasiswa mengenai sistem pengajaran, dan
pengembangan departemen (program studi) menggambarkan kurikulum yang
dijalankan. Secara eksternal akreditasi, peraturan pemerintah, dan peringkat yang
dibuat oleh lembaga eksternal merupakan informasi tambahan mengenai kinerja
perguruan tinggi (Trow,1998).
Lembaga penelitian merupakan sumber lain yang menyediakan informasi
lengkap mengenai perguruan tinggi. Lembaga penelitian harus menaungi berbagai
penelitian yang membawa perbaikan pemahaman, perencanaan, dan operasi
institusi pada pendidikan tinggi. Lembaga penelitian berperan dalam mengkaji
lingkungan yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Peterson (1999) menyatakan
bahwa lembaga penelitian haruslah memiliki sifat adaptif yang tinggi karena
tingginya arus informasi dan cepatnya perubahan yang terjadi.

14
Pada tingkat fakultas, informasi mengenai kinerja departemen (program
studi) dikumpulkan untuk tujuan evaluasi. Evaluasi kinerja departemen (program
studi) digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi umumnya berkaitan dengan
pengambilan keputusan mengenai kinerja individu misalnya tingkat pembayaran
gaji, promosi, dan masa jabatan. Kinerja departemen (program studi) biasanya
dievaluasi melalui pengukuran kualitatif dan kuantitatif dalam tiga fungsi yang
saling berkaitan yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. di
Indonesia dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Alat untuk
mengevaluasi pendidikan (pengajaran) umumnya meliputi tingkat kehadiran, nilai
mahasiswa, dan portofolio pendidikan. Sementara evaluasi terhadap penelitian
umumnya melihat pada pentingnya kontribusi penelitian tersebut terhadap berbagai
kegiatan akademik, termasuk publikasi ilmiah dan memenangkan dana penelitian.
Sedangkan evaluasi dari pengabdian pada masyarakat dinilai dari sumbangan
perguruan tinggi pada masyarakat.
Hecht et al. (1999:236) melihat adanya kebutuhan yang tinggi terhadap data
fakultas. Hecht et al. menyatakan bahwa fakultas harus mengumpulkan data yang
berkaitan dengan keluar masuknya mahasiswa, jumlah lulusan dan jumlah
mahasiswa yang ada, sarjana yang dihasilkan, sumberdaya fisik dan finansial, serta
benchmarking antar fakultas dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus
mengumpulkan semua informasi mengenai kinerjanya untuk diberikan baik pada
pihak internal maupun eksternal. Informasi tersebut digunakan sebagai panduan
bagi perguruan tinggi untuk mengambil keputusan. Fakultas memiliki wewenang
untuk menilai kinerja departemen (program studi) yang berada di bawah lingkup
keilmuannya.

d. Budaya Belajar

Dalam universitas yang menjadi organisasi pembelajaran, salah satu aktivitas


paling nyata yang dihubungkan dengan budaya belajar adalah pengembangan
departemen (program studi). Pengembangan departemen (program studi) dirancang
untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang pesat dari departemen
(program studi) itu sendiri dan staf pengajar sehingga mereka dapat melaksanakan
tugasnya lebih efektif. Pengembangan ini umumnya dalam hal program pelayanan

15
pendidikan, program mentoring, pusat pendidikan, dan kehadiran pada seminar
akademik (Bensimon et al., 2000). Tucker (1992) menjelaskan dua pendekatan
program pengembangan departemen (program studi) yakni pengembangan
departemen (program studi) yang berarti pengembangan staf pengajar dan
pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan fakultas.
Budaya belajar dalam sebuah perguruan tinggi bersifat terbuka dan saling
percaya yang berarti adanya pengawasan kinerja dan nilai-nilai kerjasama. Menurut
Wergin (1994) kerjasama di dalam fakultas membutuhkan kebersamaan tanpa
melepaskan otonomi departemen (program studi). Wergin (1994) menyatakan jika
unit akademik mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan bersama,
dan jika mereka setuju untuk memikul tanggungjawab bersama, maka unit
akademik tersebut secara keseluruhan harus menerima tanggungjawab atas apa
yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan bersama. Fakultas yang memiliki
kerjasama efektif akan menggunakan dialog bersama, pengawasan bersama,
praktek bersama, dan mengakui prestasi dan keberhasilan bersama. Fakultas harus
melakukan evaluasi dan memberikan balas jasa atas produktifitas bersama tersebut
(Hecth et al., 1999).
Perguruan tinggi yang melakukan pembelajaran organisasi memiliki budaya
yang meningkatkan pembelajaran guna memperbaiki kinerjanya. Perguruan tinggi
harus memiliki struktur dan proses yang mendorong pengembangan individu dan
mengawasi kemajuan institusi. Perguruan tinggi juga harus mendukung
peningkatan kerjasama, khususnya pada tingkat fakultas, yang berarti peningkatan
kinerja.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Organisasi yang menuju pada pembelajaran organisasi membutuhkan


perubahan dalam budaya organisasi dengan memiliki komitmen jangka panjang.
Gephart et al. (1996) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi tidaklah mudah,
terdapat hubungan yang selaras antara kapasitas pembelajaran organisasi dengan
tindakan atau hasil. Sejumlah hal dapat menghalangi organisasi dalam melakukan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan kapasitas pembelajarannya, seperti
hambatan politis, sanksi hukum, dan kesenjangan sumberdaya. Garvin (2000)
mengidentifikasi bahwa ketidakmampuan belajar selama aplikasi tahap
pembelajaran ditunjukkan oleh ketidaksediaan untuk berubah, tidak cukupnya
waktu untuk mempraktekkan keahlian-keahlian baru, dan ketakutan akan
kegagalan. Sedangkan Senge (1994) mengidentifikasi tujuh ketidakmampuan
belajar, yakni: 1) I’m my pisition; 2) the enemy is out of there; 3) the illution of
taking charge; 4) the fixation on events; 5) the parable of the boiled frog; 6) the
delusion of learning from experience; dan 7) the myth of the management team.
Senge (1994) menjelaskan bahwa I’m my position adalah ketidakmampuan yang
terjadi ketika karyawan mengidentikkan dirinya dengan posisinya di perusahaan.
Dengan kata lain, karyawan dibatasi oleh posisinya dan tidak merasa
bertanggungjawab terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan. The enemy is out
of there menunjukkan adanya sikap menyalahkan seseorang atau sesuatu atas
masalah-masalah yang ada ataupun kegagalan yang terjadi. The illution of taking
charge merujuk pada pengumuman menjadi proaktif.
Hal ini kemudian disebut ke-proaktifan. The fixation on events berfokus pada
kejadian saat sekarang, yakni mengalihkan perhatian dari pemahaman yang lebih

17
mendalam mengenai penyebab dan pola dari setiap kejadian. The parable of the
boiled frog adalah kegagalan pada sesuatu yang datang perlahan, yakni hambatan-
hambatan bertahap yang dapat mengganggu kemampuan untuk bertahan hidup. The
delusion of learning from experience adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika
muncul rasa ketidakmungkinan untuk selalu belajar dari pengalaman saat itu karena
beberapa keputusan merupakan keputusan jangka panjang dan memakan waktu
beberapa tahun atau dekade untuk melihat hasilnya. Terakhir, the myth of the
management team adalah ketidakmampuan belajar yang mempertanyakan
keefektifan pengumpulan manajer-manajer berpengalaman dari berbagai bidang
dan kemampuan organisasi untuk mengatasi ketidakmampuan belajar yang telah
disebutkan sebelumnya.
Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang memiliki komitmen pada
keinginan terus menerus untuk melakukan perbaikan. Sejumlah faktor dapat saja
menghalangi organisasi untuk belajar, namun organisasi harus bersedia untuk
mengerahkan segala usahanya untuk berubah menjadi organisasi pembelajaran.

3.2 Saran

Menurut penulis, banyak hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran


organisasi harus diterapkan dengan baik di Indonesia terutama organisasi di bidang
pendidikan khususnya perguruan tinggi. Pembelajaran organisasi pada perguruan
tinggi harus begitu diperhatikan oleh banyak kalangan, karena pembelajaran
organisasi ini banyak memberikan manfaat yang baik guna untuk menciptakan
perguruan tinggi yang mempunyai iklim organisasi yang baik dan sehat agar
perguruan tinggi bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
dan handal dalam segala bidang.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Angelo, T.A., (2000). Transforming Departements into Productive Learning


Communities, In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic Change:
Essential Roles for Department Chairs, pp.74-89, San Francisco: Jossey-Bass
Inc.
2. Baldwin, T.T., C.Danielson, dan W. Wiggenhorn, 1997. The Evolution of
Learning Strategies in Organizations: From Employee Development to
Business Redefinition. Academy of Management Executive, November,
pp.47- 58.
3. Bensimon, E.M., K. Ward dan K. Sanders (2000). The Departement Chair’s
Role in Developing New Faculty and Scholars, Bolton, MA: Anker Publishing.
4. Birnbaum, R., (1998). How Colleges Work: The Cybernetics of Academic
Organization and Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Inc.
5. Blustain, H., P. Goldstein dan G. Lozier (1999). Assessing teh New
Competitive Landscape in R. Katz & Associates (Eds), Dancing with the
Davil: Information ecjnology abd the new Competition in Higher Education,
pp. 51-71, San Francisco, Jossey-Bass, Inc.
6. Cleveland, J. dan P. Plantrik (1995). Learning, Learning organization and
TQM. In A.M. Hoffman and D.J. Julius (Eds), Total Quality Management:
Implications for Higher Education, pp. 233-243, Maryville, MO: Prescott.
7. Creswell, J.W., D.W. Wheeler, A.T. Seagren, N.J. Egly dan K.D. Bayer (1990).
The Academic Chair Person’s Handbook, Lincoln: University Of Nebraska
Press.
8. Dill, D.D., (1999). Academic Accountability and University Adaptation: The
Architecture of an Academic Learning Organization, Higher Education, 38,
Pp.127-154.

19
9. Espejo, R., W. Schuhmann, M. Schwaninger dan U. Bilello (1996).
Organizational Transformation and Learning: A Cybernatic Approch to
Management
10. Fulmer, R.M., P. Gibbs dan B. Keys (1998). The Second Generation Learning
Organizations: New Tool for Sustaining Competitive Advantage,
Organizational Dynamics, 27 (2), pp.6-21.
11. Gardiner, L.F. (2000). Monitoring and Improving Educational Quality in the
Academic Departement. In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic
Change: Essential Roles for Department Chairs, pp.165-194.
12. Garvin, D.A. (2000). Learning in Action: A Guide to Putting the Learning
Organization to Work, Boston: Harvard Business School Press.
13. Gephart, M.A., V.J. Marsick, M.E. Von Buren, dan M.S. Spiro (1996).
Learning Organization Come Alive, Training and Development, December,
pp. 35-45.
14. Harfield, S.R. (1999). The Vision Thing in Higher Education, Higher
Education, 23(4), pp.8-14.
15. Hecht, I.W.D., M.L. Higgerson, W.H. Gmelch and A. Tucker (1999). The
Departement Chairs as a Academic Leader, phoenix, AZ: Oryx Press.
16. Kim, D.H. (1993). The Link between Individual and Organizational Learning,
Sloan Management Review, fall, pp.37-50.
17. Kofman, F. dan P.M. Senge (1995). Communities of Commitment: The Heart
of Learning Organizations, Learning Organizations, Eds S.Chawla dan J.
Renesh, Oregon: Productivity Press.
18. Lang, D.W. dan R. Lopers-Sweetman (1991). The Role of Statements of
Institusional Purpose, Research in Higher Education, December, 32(6), pp.599-
624.
19. Luthans, Fred, 1995. Organizational Behavior, Seventh Edition, International
Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
20. Marquardt, Michael J., 1996. Building the Learning Organization. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.

20
21. Murray, J. (1997). Succesful Development and Evaluation: The Complete
Teaching Portfolio, ASHE-ERIC Higher Education Report, No.8, Washington,
DC.
22. O’Banion, T. (1997). Learning College for the 21st Century, Phoenix, AZ:
Oryx Press.
23. Ortenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and
Learning Organization, The Learning Organization, Vol. 8, No. 3, pp. 125-133.
24. Pearn, M., C. Roderick, dan C. Mulrooney (1995). Learning Organization in
Practice, London: McGraw-Hill.
25. Peterson, M.W. (1999). The Role of Institutional Research: From Improvement
to Redisign. In J.F. Volkwein (Ed), What is Institutional Research All About?
A Critical and Comprehensive Assesment of the Profession, New Directions
for Institutional Research, winter, pp.83-103.
26. Senge, P.M. (2000). The Academy as a Learning Community: Contradiction in
Terms or Realizable Future? In A.F. Lucas and Associates, Leading Academic
Change: Essential Roles for Departement Chairs, pp.275-300.
27. Senge, P.M. (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization, New York: Doubleday
28. Tsang, E.W.K. (1997). Organizational Learning and Learning Organization: A
Dichotomy between Decriptive and Prescriptive Research, Human Relations,
pp.73-89.
29. Tucker, A. (1992). Chairing the Academic Departement: Leadership Among
Peers, New York: MacMillan.
30. Wergin, J.F. (1994). The Collaborative Departement: How Five Campuses are
Inching toward Cultures of Collective Responsibility, Washington, DC:
American Association for Higher Education.
31. Wheelen, Thomas L. dan J. David Hunger (2002). Strategic Management and
Business Policy, Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall

21

Anda mungkin juga menyukai