Anda di halaman 1dari 31

Peranan LO (Learning Organization)

Dalam Melakukan Perubahan


Organisasi

Disusun Guna Memenuhi Tugas MataKuliah :


................................

Dosen Pengampu :
......................................

LOGO KAMPUS

Disusun Oleh :
..................... ............................

Jurusan..........................
Fakultas ..............
Universitas ................
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta magfirah-Nya sehingga penulis dapat
menyusun Makalah ini sebagai penyelesaian tugas kuliah. Adapun judul makalah penulis
adalah "Membelajarkan Organisasi"

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam mengerjakan makalah ini.


Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat
keterbatasan kemampuan, pengetahuan maupun pengalaman . Oleh sebab itu penulis selalu
terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran yang membangun kita lebih maju dan
berkembang menjadi lebih baik, sehingga penulis dapat memperbaiki isi makalah ini serta
penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama
pembaca. Amin

Jakarta, 10 Juni 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
1.3 Rumusan Masalah
1.4 Penyusunan

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Konsep Membelajarkan Organisasi
2.2 Perlunya Membelajarkan Organisasi
2.3 Membangun Organisasi Pembelajar
2.4 Kendala-kendala dalam implementasi organisasi pembelajar

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Mengelola Perubahan Organisasi : Isu Kepemimpinan
Transformasional dan Organisasi Pembelajaran
3.2 Isu Organisasi Pembelajaran (Learning Organizaion) dalam
Konteks Perubahan Organisasi
3.3 Peran Sistem Pembelajaran dalam Proses Perubahan

BAB IV PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap kehidupan dalam masyarakat sedikit maupun banyak, besar ataupun
kecil pasti mengalami berbagai perubahan. Demikian pula organisasi sebagai satu
diantara bagian dari bentuk kehidupan dalam masyarakat pasti mengalami
perubahan. Organisasi menghadapi berbagai tantangan baik yang berasal dari intern
organisasi maupun yang berasal dari eksternal organisasi yang merupakan
penyebab organisasi harus dirubah.

Tantangan terbesar pemimpin organisasi saat ini adalah berkaitan dengan


upaya untuk menghadapi lingkungan yang berubah dengan cepat.Akibatnya,
prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman manajemen yang mampu membuat
organisasi lebih stabil dan dapat diprediksi, tidak dapat lagi diterapkan dalam kurun
waktu yang lama.Kesuksesan organisasi pada saat ini sangat tergantung pada
kemampuan organisasi tersebut untuk belajar dan merespon perubahan-perubahan
yang terjadi dengan cepat.

Tantangan penyebab perubahan yang berasal dari internal organisasi


misalnya, volume kegiatan yang bertambah banyak, adanya peralatan baru,
perubahan tujuan, penambahan tujuan, tingkat pengetahuan, tingkat keterampilan,
serta perilaku para karyawan. Sedangkan penyebab perubahan yang berasal dari
eksternal organisasi misalnya adanya peraturan baru, perubahan gaya hidup
masyarakat yang semuanya itu harus dikelola dengan baik. Banyaknya perubahan
dalam organisasi tersebut tentunya memerlukan penyesuaian dari tiap-tiap anggota
organisasi melalui proses pembelajaran yang kemudian dikenal dengan proses
pembelajaran organisasi.
Pada dasarnya keberhasilan organisasi untuk menentukan ukuran kinerja
yang tepat dan bagaimana menggunakan hasil pengukuran kinerja tersebut akan
berdampak pada kinerja organisasi secara keseluruhan sehingga membelajarkan
organisasi sangat diperlukan dalam suatu organisasi agar visi dan misi organisasi
dapat tercapai. Dalam membelajarkan organisasi terjadinya proses pembelajaran
sangat tergantung pada individu-individu yang berada dalam organisasi, karena
mereka adalah pelaku pembelajaran organisasi. Seperti yang dikatakan Senge
(1990:7) “organisation learn only though individuals who learn”bahwa organisasi
yang belajar hanyalah melalui individu-individu yang belajar. Memang
pembelajaran yang dilakukan individu tidak menjamin terjadinya pembelajaran
organisasi, tetapi tanpa pembelajaran individu tidak akan terjadi pembelajaran
organisasi.

Konsep organisasi pembelajar diperlukan untuk mengimplementasikan


organisasi pembelajar untuk mengembangkan kapabilitas individual dan
organisasional, serta mengubah paradigma dari “person–job fit” menjadi “person-
organization job”. Dalam hal ini, termasuk peran dan tanggungjawab pemimpin
untuk mendukung keberhasilan organisasi pembelajar, sehingga organisasi
pembelajar diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
manajemen dan organisasi secara menyeluruh.

1.2 Permasalahan
Permasalahan dalam membelajarkan organisasi adalah sulitnya
meningkatkan dan memobilisasi pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki,
selain itu juga sumberdaya manusia yang ada bekerja tanpa mengetahui
keterhubungannya dengan kinerja organisasi sehingga adanya perubahan pada
organisasi
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan permasalahan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana membelajarkan
organisasi yang seharusnya?
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Membelajarkan Organisasi


Konsep Learning Organization (LO) menjadi populer setelah Peter Senge
melontarkan gagasannya dalam buku fifth Discipline. Sejak itu jargon LO atau
kalau diterjemahkan adalah Organisasi Belajar (OB) banyak disebutkan dan
menginspirasi organisasi untuk menerapkannya. Organisasi belajar menurut Peter
Senge yang mengatakan bahwa learning organizations [are] organizations where
people continually expand their capacity to create the results they truly desire,
where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective
aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole
together.

Sebuah organisasi belajar adalah organisasi “yang terus menerus


memperbesar kemampuannya untuk menciptakan masa depannya” dan berpendapat
mereka dibedakan oleh lima disiplin, yaitu: penguasaan pribadi, model mental, visi
bersama, pembelajaran tim, dan pemikiran system. Lima disiplin (lima pilar) yang
membuat sebuah organisasi dikatakan sebagai organisasi belajar, yaitu :

1) Personal Mastery (Penguasaan Pribadi): Dalam organisasi belajar, individu dan


profesinya dipandang sebagai faktor yang krusial untuk membawa keberhasilan
organisasi. Oleh karena itu individu tidak boleh berhenti belajar. Dia harus
memiliki visi (mimpi) pribadi, harus kreatif, dan harus komit pada kebenaran.

2) Mental Models (Model Mental): Respon atau perilaku kita atas lingkungan
dipengaruhi oleh asumsi yang ada dalam pikiran kita tentang pekerjaan dan
organisasi. Kognitif. Persoalannya muncul ketika mental kita terbatas atau
bahkan tidak berfungsi, sehingga menghalangi perkembangan organisasi.
Dalam organisasi belajar model mental menjadi tidak terbatas, melainkan bebas
dan selalu bisa berubah. Jika organisasi menginginkan berubah menjadi
organisasi belajar maka harus bisa mengatasi ketakutan-ketakutan atau
kecemasan-kecemasan untuk berpikir.

3) Shared Vision (Visi bersama): Tujuan, nilai, misi akan sangat berdampak pada
perilaku dalam organisasi, jika dibagikan dan dipahami bersama, dan dimiliki
oleh semua anggota organisasi. Gambaran masa depan organisasi merupakan
juga mimpi-mimpi indah kelompok dan individu. Visi bersama akan
menghasilkan komitmen yang kokoh dari individu ketimbang visi yang hanya
datang dari atas.

4) Team Learning (Belajar beregu) : Tim senantiasa ada dalam setiap organisasi.
Sebutannya bermacam-macam:departemen, unit, divisi, panitia, dan lain
sebagainya. Seringkali seorang individu berfungsi di beberapa tim. Dalam
organisasi individu harus mampu mendudukan dirinya dalam tim. Dia harus
mampu berpikir bersama, berdialog, saling melengkapi, saling mengoreksi
kesalahan. Individu melihat dirinya sendiri sebagai satu unit yang tidak bisa
terpisahkan dari unit lain, dan saling tergantung.

5) System Thinking (Berpikir sistem): Orang dalam organisasi belajar bekerja


dalam lingkungan sistemik. Jantung berpikir sistem adalah kesadaran akan
keterkaitan dirinya dalam tim, keterkaitan tim dengan organisasi, keterkaitan
organisasi dengan lingkungan yang lebih luas lagi.

Kelima disiplin/dimensi organisasi belajar ini harus hadir bersama-sama


dalam sebuah organisasi untuk meningkatkan kualitas pengembangan SDM, karena
mempercepat proses pembelajaran organisasi dan meningkatkan kemampuannya
untuk beradaptasi pada perubahan dan mengantisipasi perubahan di masa depan.
Menurut Marquardt dalam bukunya Building the Learning Organization,
organisasi yang mau belajar secara kuat dan kolektif serta secara terus-menerus
meningkatkan dirinya untuk memperoleh, mengatur, dan menggunakan
pengetahuan demi keberhasilan bersama.OB juga memberdayakan sumber daya
manusia di dalam dan di sekitarnya, dan memanfaatkan teknologi untuk
meningkatkan proses belajar dan produktivitasnya. Organisasi belajar terjadi
melalui wawasan bersama, pengetahuan dan model mental dari anggota organisasi,
dan dibangun di atas pengetahuan dan pengalaman masa lalu dan lebih besar dari
jumlah total dari bagian-bagian belajar individu.Organisasi belajar adalah
organisasi-organisasi dimana orang mengembangkan kapasitas mereka secara terus-
menerus untuk menciptakan hasil yang mereka inginkan, dimana pola pikir yang
luas dan baru dipelihara, dimana aspirasi kolektif dipoles, dimana orang-orang
belajar tanpa henti untuk melihat segala hal secara bersama-sama. Dasar pemikiran
organisasi semacam itu adalah dalam situasi perubahan yang sangat cepat hanya
organisasi yang fleksibel, adaptif, dan produktif yang akan unggul. Agar ini terjadi,
organisasi perlu menemukan bagaimana memberi jalan kepada munculnya
komitmen dan kapasitas orang untuk bisa belajar di semua level.

2.2 Perlunya Membelajarkan Organisasi


Membelajarkan organisasi secara konseptual memiliki manfaat yang besar
dalam proses manajemen. Pada tahun 1980an telah diperkenalkan Total Quality
Management yang menekankan pada perbaikan mutu yang bersinambungan,
sedangkan tahun 1990an dipopulerkan Reengineering dan Benchmarking untuk
perbaikan strategi manajemen bisnis. Dalam periode 1990an pula membelajarkan
organisasi turut memberikan kontribusi bagi manajemen guna mencari cara inovatif
untuk menghadapi perubahan dan memenangkan persaingan bisnis.

Dalam pembangunan ekonomi yang berbasis pasar (market based economy)


dimana persaingan merebut pasar sangat ketat, kita tidak bisa mengandalkan
keunggulan komparatif dengan tenaga kerja massal dan murah. Sebaliknya kita
mulai fokus pada keunggulan kompetitif dengan tenaga kerja terdidik (well
educated), terlatih (well trained) dan menguasai informasi (well informed). Dalam
lingkungan yang cepat berubah ini justru membelajarkan organisasi mendukung
individu dan organisasi agar mampu beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan.Dengan semakin mudahnya arus informasi masuk ke dalam tatanan
kehidupan masyarakat akibat semakin canggihnya teknologi informasi, maka
karyawan yang dibutuhkan adalah yang orang-orang yang memiliki pengetahuan
(knowledge people).Oleh karena itu, karyawan berpengetahuan yang bekerja dalam
suatu organisasi hendaknya dinilai sebagai aset utama.

Organisasi sangat membutuhkan pengetahuan sebagai intangible asset yang


nilainya terus bertambah.Dengan demikian organisasi yang memiliki basis
pengetahuan yang optimal tidak hanya berfungsi sebagai organisasi bisnis yang
mengejar profit, melainkan juga sebagai organisasi pembelajar yang
menumbuhkembangkan seluruh anggota organisasi.Hendaknya organisasi
mempertimbangkan upaya pengembangan SDM sebagai pilihan strategis untuk
meningkatkan daya saing, dan bukan hanya sebagai pengeluaran biaya.

Dalam hal pengambilan keputusan manajemen, maka membelajarkan


organisasi akan membantu para eksekutif dan manajer untuk mampu membuat
keputusan-keputusan terutama keputusan tidak terprogram secara lebih kreatif.
Membelajarkan organisasi dipandang sebagai upaya untuk memaksimalkan
kemampuan para manajer untuk berpikir dan berperilaku efektif serta
memaksimalkan potensinya.Artinya, para manajer mampu memotivasi dan
memberdayakan karyawan untuk mengambil keputusan secara mandiri.
Untuk mentransformasikan pengetahuan kepada seluruh karyawan dalam
konteks organisasi pembelajar, diperlukan kompetensi dan kepemimpinan yang
efektif. Kompetensi-kompetensi yang baru akan membekali para karyawan untuk
selalu meningkatkan pengetahuannya. Selain itu, dukungan kepemimpinan yang
memiliki paradigma yang memberdayakan (empowerement),akan memberikan
dukungan positif kepada setiap anggota organisasi dalam aktivitas pembelajaran.

2.3 Membangun Organisasi Pembelajar


Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan temuan bahwa
untuk membangun organisasi pembelajar dibutuhkan tiga pilar yang saling
mendukung, yaitu:

1.Pembelajaran Individual (individual learning),


2. Jalur Transformasi Pengetahuan,
3.Pembelajaran Organisasional (organizational learning).

Menurut Pedler, dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajar adalah


organisasi yang:
1. Mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong
untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka;
2. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan
stakeholder lain yang signifikan;
3. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat
kebijakan bisnis;
4. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus; Tujuan
proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar organisasi mampu
mencari secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang
baru untuk pembelajaran, dan mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif
dalam dunia yang semakin kompetitif.

Peter Sange (1990) mengatakan sebuah organisasi pembelajar adalah


organisasi “yang terus menerus memperbesar kemampuannya untuk menciptakan
masa depannya” dan berpendapat mereka dibedakan oleh lima disiplin, yaitu:
penguasaan pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran tim, dan pemikiran
sistem. Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu
kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan
ketrampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya, pembelajaran
organisasi adalah:

1. Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota;


2. Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal
maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak
tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3. Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan kembali
unsur-unsur organisasi;
4. Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk meta-pembelajaran yang
mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan
mempertautkan potongan-potongan sebuah organisasi dan juga mempertautkan
pola-pola dengan lingkungan yang relevan;
5. Pembelajaran organisasi adalah suatu proses yang seolah-oleh mengikat
beberapa sub-proses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian, pengungkapan
dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian.
6. Pembelajaran organisasi mencakup baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan
dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun
kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan
tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke
permukaan dan menguji praktik-praktik organisasi serta penjelasan yang
menyertainya. Dengan demikian organisasi pembelajar ditandai dengan
pengertian kognitif dan perilaku.

2.4 Kendala-kendala dalam implementasi organisasi pembelajar


Konsep organisasi pembelajar yang telah dikemukakan para pakar tersebut
di atas sangat ideal (das sollen), namun konsep organisasi pembelajar masih jauh
dari realita dan kurang “membumi”. Pada kenyataannya (das sein) belum ada
kerangka kerja dan tindakan kongkrit dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi
manajemen, misalnya bagaimana organisasi mengetahui telah berhasil menjadi
organisasi pembelajar, apakah para eksekutif dan manajer memahami dengan jelas
fungsi dan perannya dalam menjalankan organisasi pembelajar?

Penelitian yang dilakukan Chase (1997) dan Mayo (1998) menunjukkan


bahwa kendala yang dihadapi perusahaan dalam menerapkan organisasi berbasis
pengetahuan terletak pada budaya korporasi dan keterbatasan pemanfaatan
teknologi informasi yang mendukung organisasi pembelajar. Bahkan Lahteenmaki
(1999) menyampaikan beberapa kritik terhadap konsep organisasi pembelajar yaitu:

1. Ketiadaan klarifikasi dan multiplisitas dari definisi


2. Ketiadaan eksplanasi yang rinci tentang implementasi sistem organisasi
pembelajar
3. Ketiadaan eksplanasi bagaimana mengintegrasikan sistem organisasi
pembelajar
Implementasi organisasi pembelajar mengalami kegagalan yang disebabkan
beberapa alasan yang menurut hasil penelitian Lahteenmaki tersebut antara lain:

1. Kurang mempertimbangkan perasaan ketidakpastian dan kecemasan dari


karyawan dalam menghadapi persaingan dan perubahan
2. Situasi pekerjaan yang kurang kepercayaan
3. Kurang umpan balik, motivasi, diskusi dan pemberdayaan
4. Kurang memberikan tanggungjawab bagi seluruh karyawan untuk belajar
5. Tidak ada keterkaitan antara organisasi pembelajar dan strategi manajemen
SDM.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Mengelola Perubahan Organisasi: Isu Kepemimpinan Transformasional dan


Organisasi Pembelajaran

Isu mengenai transformasi organisasional telah mendorong para manajer


sebagai agen perubah berlomba merencanakan perubahan dan pengelolaannya
sehingga dapat memenangkan perubahan dan meme- nangkan persaingan yang ada
dalam dunia bisnis abad ini. Banyak peru- sahaan yang berusaha untuk menjadi
lebih kompetitif dengan melakukan perubahan yang saling melengkapi dalam
elemen-elemen manajemen, hubungan, gaya, nilai, dan budaya. Perubahan –
perubahan itu mencakup inovasi produk, proses manufacturing, dan komunikasi
atau arus informasi.

Menurut Ivancevich (1999) ada beberapa alternatif pendekatan yang dapat


digunakan manajer untuk mengelola rencana perubahan yaitu: 1). Managing
change trough power, manajer mempunyai power dan dapat menggunakannya
untuk mendorong karyawan untuk berubah seperti keinginan manajer, 2).
Managing change , perubahan yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu, dan 3).
Managing Change trough Reeduca- tion, implikasinya untuk memperbaiki fungsi-
fungsi organisasional. Manajer yang mengimplementasikan program perubahan
memiliki komitmen untuk melakukan perubahan fundamental dalam perilaku
organiasional. Hal itu dapat dilakukan dengan prinsip pembelajaran dengan tidak
mempelajari perilaku lama dan mempelajari perilaku yang baru.
Prinsip pembelajaran itu meliputi unfreezing old learning: orang yang ingin
mempelajari cara-cara baru, instill new learning: memerlukan training, demonstrasi
dan empowerment dan refreeze that new lear- ning:melalui aplikasi umpan balik
dan reinforcement.

Proses mengelola perubahan melalui pendekatan reeducation da- pat


dipahami secara logika dan melewati beberapa langkah dan disebut model
pengelolaan perubahan, yaitu (Ivanchevich:1999):

a. forces for change seperti kekuatan eksternal dan internal organisasi,

b. diagnosis of the problem melalui pencarian informasi, menginterpretasi- kan dan


menyajikan data, partisipasi dan agen perubahan,

c. selection appropriate methode, sedikitnya ada tiga pendekatan yang dapat


dipilih yaitu pendekatan structural melalui tindakan manajer yang mencoba
memperbaiki keefektifan dengan memperkenalkan pe- rubahan melalui
kebijakan formal; pendekatan tugas dan teknologi seperti job enlargement,
changes in office design etc; dan pendekatan asset manusia seperti program
management by objectives yang didesain untuk membantu individu
menentukan kinerjanya.

d. impediment and limiting condition,seperti leadership climate( kepemimpinan


partisipatif), formal organization dan organizational culture (misal isu
organisasi pembelajaran)

e. implementation of method, penerapan metode yang sudah dipilih dan

f. program evaluation seperti feedback, pembuatan revisi jika diperlukan.

Sedangkan menurut Michael Beer (1987) ada tiga kondisi yang harus
dikelola dalam transformasi atau perubahan yaitu ketidakpuasan dengan status-quo
diantara karyawan, kebutuhan akan visi atau model masa depan yang akan
menuntun re-design organisasi, dan kebutuhan akan proses perubahan yang
dikelola dengan baik. Tiga kondisi ini harus dikelola untuk melewati penghalang
perubahan yang datang dari manajer dan karyawan ketika perubahan budaya
terjadi. Perubahan biasanya diarti- kan sebagai hilangnya power seperti
pertanggungjawaban dan akuntabili- tas yang bergeser: hilangnya reward
khususnya status, uang dan berge- sernya power: dan hilangnya identitas seperti
kehidupan kerja dan alokasi pertanggungjawaban.

Dalam proses perubahan organisasional, energi yang keluar dari proses


ketidakpuasan harus disalurkan melalui tujuan yang jelas. Manajer puncak bertugas
menciptakan filosofi, mendefinisikan strategi dan mendefinisikan proses
manajemen untuk menjadi kompetitif. Perubahan yang akan digunakan di masa
depan dan harus dilakukan oleh top mana- jer disebut sebagai Model Manajemen
Baru yang meliputi (Michael Beer:1987):

1. Organisasi berdasarkan komitmen (“commitment based”organization),


organisasi komitmen mendorong individu untuk mengambil risiko dan inisiatif
dan menjadi pemimpin. Ini dikarakteristikkan dengan tingkatan tinggi dari
kreativitas dan energi pengusaha difokuskan pada pembe- rian produk terbaik
kepada pelanggan dengan biaya termurah.

2. Struktur organisasi adalah desentralisasi atau menciptakan otonomi, serta


melakukan penyusutan grup-grup staf organisasi melalui elimi- nasi atau
reorganisasi menjadi unit-unit bisnis.

3. Integrasi lintas fungsi dalam melayani pelanggan dan alokasi pertang-


gungjawaban yang lebih jelas,

4. Manajemen partisipatif, bawahan mengharapkan seorang pemimpin yang


melibatkan mereka dan pihak-pihak lain yang relevan dalam pembuatan
keputusan, serta

5. Teamwork, yang terdiri dari beberapa orang dengan keahlian dan ketrampilan
yang saling melengkapi untuk secara bersama-sama mencapai visi organisasi.
Apa yang kita bahas disini adalah perkembangan dari bentuk dan pola
organisasi baru dimana struktur, system, gaya, staff, skills, dan nilai yang dibagi
disesuaikan untuk fleksibilitas bukan stabilitas. Informasi dite- kan ke bawah
sampai level terendah dan orang di-empower oleh struktur, system dan gaya
manajemen untuk membuat keputusan berdasarkan in- formasi yang sebelumnya
tidak mereka ketahui.

Seperti yang disebutkan di awal bahwa cara mengelola proses pe- rubahan
diantaranya melalui unfreezing process yaitu orang yang mau berubah dengan
mempelajari cara-cara baru dalam berpikir. Hal itu didu- kung oleh Michael Beer
(1987) yang disajikan dalam penyusunan alat-alat perubah meliputi: aktivitas
pendefinisian filosofi, perubahan struktural, pen- didikan dan pelatihan, perubahan
system pembayaran, penggantian dan promosi, survei perilaku, konsultan dan
kepemimpinan yang memiliki ko- mitmen dengan perubahan. Dari deskripsi itu kita
dapat menduga bahwa dinamika adalah sesuatu yang menggarisbawahi proses
perubahan. Agar proses perubahan dapat dinilai maka harus ada pengukuran yang
jelas terhadap kemajuan dari perubahan itu.

Meskipun proses perubahan sudah dikelola menggunakan pendekatan dan


model tertentu tapi pengelolaan perubahan sering tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Masih banyak organisasi yang gagal dalam mengadopsi model dan
pendekatan pengelolaan perubahan secara tepat. Menurut Paul S (1996) banyak
manajer yang menindaklanjuti TQM, dan downsizing dengan rencana untuk
mengembangkan pelayanan pe- langgan, manufaktur dan manajemen rantai nilai
dan menyesuaikan de- ngan proses baru, tapi semua itu tidak berjalan sesuai yang
diharapkan. Hal itu terjadi karena adanya permasalahan-permasalahan perubahan
yang aktual dari organisasi yang bersangkutan.

Akar permasalahan untuk semua organisasi adalah sama yaitu manajer dan
karyawan memandang perubahan dengan cara yang berbeda. Para manajer level
atas memandang perubahan sebagai kesempatan un- tuk memperkuat bisnis dengan
menyesuaikan operasi dengan strategi dan meningkatkan karir. Sedangkan bagi
kebanyakan karyawan termasuk manajer menengah perubahan dianggap
mengganggu dan mengacaukan keseimbangan. Untuk menutup kesenjangan ini
para manajer pada semua level harus belajar melihat segala sesuatu dengan cara
yang berbeda- beda. Para manajer harus memahami seperti apa perubahan
organisasi yang dikehendaki dan meneliti personal compact atau ikatan personal
antara karyawan dengan organisasi.

Antara karyawan dan organisasi saling memiliki kewajiban dan komitmen


dua arah yang menjadi ciri diantara keduanya. Kesepakatan- kesepakatan itu
disebut personal compact atau ikatan personal, dan pro- gram perubahan organisasi
baik yang proaktif maupun reaktif, dapat me- ngubah sifat hubungan tersebut. Bila
manajer/pimpinan tidak berusaha mendefinisikan istilah-istilah baru dan membujuk
karyawan untuk meneri- manya, tidaklah realistis bagi manajer mengharapkan
karyawan terlibat sepenuhnya dalam proses perubahan, yang ingin mengubah status
quo.

Ada tiga dimensi personal compact di semua organisasi yaitu:

1. Dimensi formal, merupakan aspek yang paling banyak dikenal dalam


hubungan antara karyawan dengan organisasi/perusahaan berupa tuntutan tugas
dan kinerja yang ditentukan dengan dokumen organisasi.

2. Dimensi psikologis, berhubungan dengan aspek-aspek hubungan kerja yang


biasanya bersifat implicit meliputi elemen-elemen harapan kedua pihak dan
komitmen dua arah yang muncul dari rasa percaya dan ketergantungan antara
karyawan dengan perusahaan.

3. Dimensi sosial, melalui dimensi ini karyawan menilai budaya organi- sasi
mereka dalam mengelola karir, promosi jabatan, pengambilan keputusan,
penyelesaian konflik dan alokasi sumber daya.

Personal compact dapat menghambat perubahan karena tidak ada


penyelarasan antara pernyataan manajer senior dengan praktik dan sikap manajer
level bawah dan bawahan-bawahannya. Namun personal compact dapat diperbaiki
melalui tiga fase yaitu: pimpinan menarik perha- tian tentang perlunya perubahan,
pimpinan memulai suatu proses dimana karyawan mampu merevisi compact yang
baru dan pimpinan memiliki ko- mitmen dengan aturan-aturan formal dan informal
yang baru. Apapun wacana budayanya, bila perbaikan personal compact tidak
diperlakukan sebagai bagian terpadu dalam proses perubahan maka organisasi tidak
dapat mencapai sasarannya yaitu kondisi yang ideal.
Apabila proses perubahan dan unfreezing process berhasil dija- lankan
secara efektif akan menghasilkan refreezing atau suatu kondisi ideal yang maya
atau virtual. Meskipun untuk mencapai kondisi ideal tersebut sangat sulit tapi tetap
perlu diusahakan pencapaiannya melalui kepemimpi- nan transformasional dan
menciptakan organisasi pembelajaran.

3.2 Isu Organisasi Pembelajaran (Learning Organization) Dalam Konteks


Perubahan Organisasi

Setiap organisasi selalu menerapkan pembelajaran tapi perta- nyaannya


tepat atau tidak system pembelajaran yang diterapkan. Terdapat beberapa isu
mengenai tipe-tipe pembelajaran dan tingkat pembelajaran, tetapi pembelajaran
sesungguhnya tetap merupakan isu yang relevan ada sampai saat ini.

Istilah “learning organization” menjadi salah satu istilah baru dalam


literatur manajemen, psikologi dan sumber daya manusia. Mana- jemen senior
dalam beberapa organisasi juga percaya bahwa sebuah pembelajaran dalam
organisasi merupakan kunci keefektifan perubahan dan pertumbuhan. Konsep
organisasi pembelajaran mulai diajukan pada tahun 1980-an khususnya total quality
management dan business process re-engineering.

Organisasi pembelajaran merupakan sebuah konsep yang mem- berikan


kekuatan bagi sebuah organisasi untuk mampu bertahan mengha- dapi
perkembangan lingkungan. Penerapan organisasi pembelajaran membuat organisasi
memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan peru- bahan lingkungan yang
semakin dinamis dan sulit diduga. Meski demikian untuk mengubah suatu
organisasi menjadi organisasi pembelajaran tidak mudah dilakukan karena
melibatkan perubahan yang substansial.

Terdapat perkembangan dalam literatur perkembangan organisa- sional


selama sepuluh tahun terakhir atau lebih yang mengubah suatu model yang gagal
dalam menjalankan proses perubahan yang sangat kompleks. Isu pembelajaran ini
muncul menjadi model sebenarnya yang terfokus pada Total Quality Management
dan Business Process Re-engi- neering dengan penekanan pada top down corporate
change atau pro- gramasi instrumen linear yang berkonsentrasi pada keuntungan
jangka pendek untuk pengeluaran pembelajaran jangka panjang.

Era milenium ditandai dengan adanya pergerakan untuk mendiskusikan


pengaruh perkembangan organisasional (organizational development/OD) abad 20
menuju konsep pembelajaran dan kebutuhan organisasi dalam milenium baru abad
21. Munculnya Human Resources Development (HRD) dimulai untuk mendorong
penyempurnaan pembela- jaran organisasi secara spesifik dalam bentuk intervensi
skills dan know- ledge proses perubahan oleh lini manajer dalam organisasi.

Pada saat ini HRD telah menjadi strategi untuk mengembangkan pemikiran
yang kreatif dan inovasi dalam organisasi. HRD tidak hanya memberikan dasar-
dasar keunggulan kompetitif organisasi secara indivi- dual tapi juga untuk industri
menyeluruh dan bersifat nasional.

Review literatur (Grieves and Redman:1999) mengindikasikan fo- kus


pendekatan HRD dapat dibedakan dari pendekatan training tradisional dengan
empat karakteristik utama:

1. Kecenderungan sentralisasi membawa HRD lebih dekat dengan strategi bisnis.

2. Desentralisasi yang cenderung untuk memindahkan pertanggungjawa- ban


pada manajer lini.

3. Sikap dan motivasi baru terhadap pelatihan dan pengembangan karya- wan dan
manajer.

4. Lebih menekankan pada tempat kerja daripada ruang kelas sebagai focus
pembelajaran.

HRD menjadi roda penggerak untuk melaksanakan dan mewujud- kan


proses perkembangan organisasional (organizational development) diseluruh
organisasi. Sejak OD tertantang untuk mengubah pelatihan tradi- sional menjadi
pembelajaran organisasi, HRD digambarkan sebagai pen- carian mekanisme
pendekatan melalui spesialis HRD yang mampu menyelaraskan pembelajaran
individu dan organisasional dengan strategi or- ganisasi. HRD dilihat sebagai
penggerak untuk deal dengan isu-isu kon- temporer dalam mengembangkan
intrapreneurialism, mempromotori focus jangka panjang, budaya yang berorientasi
pembelajaran, dan focus pada peningkatan mutu produk/jasa.

Alasan utama untuk mengembangkan HRD adalah adanya peru- bahan


tanpa batas dalam harapan dan permintaan produk baru yang me- rupakan
pergantian capital and labour intensive firm dengan knowledge intensive firm, dan
routine work menjadi knowledge work (Tenkasi & Boland,1996).

Knowledge intensive firm memerlukan sharing pengetahuan dalam


melakukan inovasi secara kontinyu. Sharing pengetahuan membu- tuhkan
mekanisme untuk mendukung ide-ide dalam mencari berbagai pe- luang.
Sedangkan knowledge work difokuskan pada cara-cara beru pengkonseptualisasian
dinamika pasar dan pelanggan dan melayani ke- butuhan mereka melalui penerapan
teknologi informasi dalam organisasi yang secara kontinyu melakukan perbaikan
produk atau proses. Know- ledge work memerlukan keahlian multidisipliner dan
kolaborasi pembela- jaran untuk mencapai shared knowledge domain (
Dougherty,1992).
Sekarang menjadi jelas bahwa salah satu trend dalam organisasi abad 21
adalah pengaplikasian praktik-praktik OD dalam kerangka kerja HRD dalam
menterjemahkan perkembangan melalui pembelajaran dalam empat tahap yaitu:

1. Memindahkan strategi perusahaan; melalui;

2. Lini manajer sebagai fasilitator, melalui;

3. Tim, melalui:

4. Learner driven dan aktivitas yang difokuskan pada masalah.

Langkah terakhir ini, menjadi salah satu pusat dan mekanisme berkelanju-
tan untuk menambah strategi transformasi dengan feedback loop menuju tahap
pertama.

Menurut Jim Grieves;2000, ada tiga perkembangan yang secara khusus


dimunculkan untuk mendukung kemunculan HRD, yaitu:
1. Konsep organisasi pembelajaran seharusnya digambarkan sebagai sebuah
kiasan (metaphor) daripada sebuah pembeda tipe struktur (Drew & Smith,
1995). Cara berpikir yang berguna mengenai kiasan adalah sebagai system
sosial yang anggota-anggotanya telah sadar untuk mempelajari proses komunal
untuk:
a) Secara terus menerus membangkitkan, menguatkan dan men- dorong
pembelajaran individu dan kelompok untuk memperbaiki kinerja system
organisasional yang penting untuk semua peme- gang saham.
b) Melakukan monitoring dan memperbaiki kinerja.

2. The knowledge intensive organization yang berdasarkan pada tuntutan bahwa


informasi, pengetahuan dan pembelajaran merupakan titik sen- tral bagi
operasional organisasi dalam pasar yang semakin kompleks dan dengan
karyawan yang memiliki kebutuhan dan aspirasi yang se- makin banyak
tuntutan. Konsekuensinya knowledge work melibatkan kreasi pengertian-
pengertian yang baru mengenai sifat, organisasi atau pasar dan aplikasinya
oleh perusahaan dalam menilai teknologi, produk atau proses.

Sehingga organisasi semakin tertantang menjadi knowledge intensive


organization yang membutuhkan beberapa hal meliputi:

a) kebutuhan untuk menjamin tersedianya knowledge worker yang tepat.

b) kebutuhan untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan menge- valuasi


knowledge worker dan ouput mereka.

c) kemampuan untuk memotivasi dan memberi reward knowledge worker


untuk memaksimalkan produktivitas dan meningkatkan kualitas.

d) kemampuan membuat struktur organisasi untuk memfasilitasi tran- sisi


perubahan menuju bentuk organisasi yang baru. (Despres and Hiltrop, 1995
dalam Jim Grives).

3. Internal Debates within Organizational Development.

Menurut Lewis (1951) ketiga tahap perubahan yaitu unfreeze, change,


refreeze merefleksikan esensi pendekatan OD melalui sasaran dan maksud yang
jelas yang diidentifikasi dan dialirkan kepada anggota organisasi. Alternatif yang
berkembang untuk mencapai model perubahan diberi istilah “emergent change
model” (Burnes,1996) dan “processual change” (Dawson,1994). Menurut
Dawson, perubahan seharusnya diang- gap sebagai proses yang kompleks,
temporal, dan sebagai iterative work.

Dawson dan Palmer (1995, dalam Jim Grieves) mencatat bahwa TQM
dalam beberapa organisasi yang memiliki ketakutan menghadapi situasi kritis
selama proses perubahan dapat menghalangi, membuat proses perubahan menjadi
terburu-buru, atau mengalihkan rute perubahan itu. Sehingga pimpinan harus
membuat pilihan dan penyesuaian terhadap inisiatif perubahan yang berada diluar
lingkup perubahan yang telah diren- canakan secara kontinyu. Sehingga proses
perubahan harus dilihat seba- gai proses eksplorasi dimana tujuannya tidak
diketahui, proses kontinyu yang melibatkan management chaos, dan membawa
konsekuensi bagi sub-sistem lainnya.

Karena lingkungan organisasi berubah sangat cepat maka peru- bahan


sebagai sebuah fenomena menyajikan alasan yang sangat rasional kebutuhan
untuk belajar. Fokus saat ini baik perubahan dengan pendeka- tan emergent
maupun processual merefleksikan keinginan untuk melengkapi pendekatan yang
direncanakan tapi juga mengindikasikan kebutuhan untuk mengelola proses
perubahan lebih jauh sampai pada lini operasi.

Menurut Drew and Smith (1995) pembelajaran dari perubahan


mensyaratkan perhatian pada tiga hal yaitu: a). focus, b). will, dan c).capability.
Aspek pertama, focus merupakan kejelasan visi dan petunjuk yang merupakan
produk pemikiran strategis. Aspek kedua Will, membentuk budaya winner karena
dipengaruhi oleh kekuatan dan gaya kepemimpinan organisasi, tidak hanya pada
level atas dengan membangkitkan keperca- yaan diri dan keinginan untuk sukses
tapi juga memerlukan komitmen emosional dan tingkat energi tinggi yang
dihasilkan dari perhatian internal. Aspek ketiga, capability, yang akan dibatasi
oleh konteks dinamis seperti kekuasaan dan kepemilikan dalam organisasi.

Sedangkan proses perubahan membutuhkan kesadaran akan kunci proses


pembelajaran yang meliputi:

 Benchmarking (digambarkan sebagai sebuah proses pembelajaran dari


prusahaan lain dalam industri yang sama).

 Melakukan pembelajaran melalui tim kerja dan program pengemba- ngan


eksekutif yang diperoleh dengan learning-by-doing.

 Sebuah iklim organisasional yang memiliki toleransi terhadap kegaga- lan


dihubungkan dengan pembelajaran dan percobaan yang lebih baik dan
meningkatkan keterbukaan dan kepercayaan melalui tim kerja.

 Sebuah komitmen untuk mendukung pembelajaran secara kontinyu.


 Teknik perencanaan kreatif seperti scenario, visualisasi dan perencanaan
interaktif yang dapat menstimulasi pemikiran strategis dan pembelajaran yang
lebih cepat (dalam James Grives).

Sebagai hasilnya, Drew & Smith menganjurkan adanya audit pe- rubahan
untuk mendiagnosis kebutuhan untuk pembelajaran dan pengem- bangan inisiatif
untuk meraih kapasitas organisasi untuk berubah. Pertama, kebutuhan untuk
mengklarifikasi dan menguji konteks strategi sehingga relevan dan up to date.
Kedua, focus, will and capability diuji sehubungan dengan konteks dan
keseimbangan antara ketiganya. Ketiga, Ketidakmam- puan pembelajaran dan
penghalang perubahan diidentifikasi menggunakan alat seperti survei internal,
wawancara, dan benchmarking, dan kekuatan dan signifikansi analisis.
Pembelajaran organisasi pada pokoknya merupakan fleksibilitas or- ganisasi
yang dioperasikan secara kompetitif dalam pasar global dan mela- kukan respon
yang cepat terhadap dinamika lingkungan eksternal.
Pembelajaran organisasional dapat dilihat sebagai sebuah solusi sitematis
untuk dealing dengan proses operasional yang muncul dalam kegiatan harian untuk
memecahkan masalah dan disfungsional. Munculnya strategi perubahan
mensyaratkan tim untuk mengembangkan solusi pem- belajaran melalui:
 Mengidentifikasi proses dysfunctional atau perbaikan dalam beberapa cara.
 Pengajuan asumsi-asumsi yang menarik untuk mengembangkan pengetahuan
baru.
 Memecahkan masalah dan membangun proses perubahan yang baru
 Mengimplementasikan strategi-strategi perubahan.
 Menampilkan proses dan merekam data dalam sistem kualitas.
Sebuah pendapat lainnya yang mencoba memfokuskan pada proses
pembelajaran dikemukakan oleh Schaafsma,1997 (dalam Jim Grieves), yang
menyatakan bahwa proses sistematis untuk menganalisis proses mengelola
perubahan dapat dilakukan melalui middle-manager dengan pendekatan
networking. Pendekatan networking untuk perubahan melibatkan kesadaran
penggunaan kekuasaan dan dipengaruhi oleh minat kelompok yang berbeda-beda
dalam suatu proses siklis dari:
1. Merencanakan perubahan dan menyeleksi model perubahan dari pengalaman
sebelumnya.
2. Mengimplementasikan perubahan dengan menggunakan model untuk menguji
pengalaman dalam konteks.
3. Secara kritis mengevaluasi model perubahan dan menyesuaikan dengan
praktik.
4. Mengambil tindakan dengan perencanaan ulang dan melibatkan orang lain
dalam proses pembelajaran.
5. Merefleksikan pada outcomes yang berubah.
6.
Tugas yang harus dilakukan manajer dalam memfasilitasi proses perubahan
dengan pendekatan networking adalah sebagai berikut: per- tama, manajer
mengembangkan skills dan pengetahuan sebagai fasilitator perubahan untuk
membangun consensus diantara jaringan kerja. Kedua, skills dan pengetahuan
manajer memerlukan deal dengan kesuksesan atau kegagalan dalam proses
perubahan. Ketiga, karena ketidakpastian ditemu- kan pada isu-isu utama maka
manajer harus deal dengan faktor persepsi yang mempengaruhi cara orang dalam
membuat suatu keputusan.
3.3 Peran Sistem Pembelajaran Dalam Proses Perubahan

Pembentukan visi secara jelas dapat memberikan petunjuk dan implikasi


terhadap system pembelajaran mana yang dibutuhkan organisasi. Keputusan untuk
mengadopsi metode perubahan seperti Total Quality Management (TQM),
komputerisasi proses manufaktur, pembelajaran or- ganisasi atau socio technical
system, selalu sebagai sebuah momentum, yang secara potensial memberikan
manfaat yang besar dan risiko yang sangat besar. Keputusan ini didorong oleh visi
dan konsep system pembe- lajaran yang diperlukan.

Total Quality Management dapat ditampilkan sebagai metode un- tuk


menerapkan system pembelajaran menjadi eksis dalam organisasi. Sebagian besar
organisasi berusaha mencapai keberhasilan metode TQM karena organisasi belajar
untuk belajar secara lebih efektif. Keputusan yang diambil oleh organisasi untuk
mengadopsi TQM atau beberapa me- tode perubahan lainnya secara tipikal dibuat
dengan pemahaman yang dangkal tentang visi dan implikasi system pembelajaran
tersebut.

Pemilihan metode perubahan seperti TQM adalah faktor utama dalam


mendisain system pembelajaran. Ketika siklus pembelajaran (meli- puti: Observe,
langkah ini merupakan refleksi atas pengalaman organisasi; (Re)-model, langkah ini
mengartikulasikan perspektif dari pengalaman; Interpret, langkah ini
menterjemahkan perspektif menjadi pilihan; dan Enact, langkah
pengimplementasian pilihan berdasarkan pada tahap inter- pretasi), dan model
system pembelajaran kebanyakan tak pernah diucap- kan, usaha untuk
mengimplementasikan metode perubahan memung- kinkan munculnya kontradiksi
antara system pembelajaran yang ada dan metode perubahan yang digunakan
(barangkali terminologi umum untuk fenomena ini adalah sesuatu seperti
perubahan yang bertentangan dengan budaya organisasi). Kontradiksi ini akan
dialami seperti seseorang yang berperilaku buruk dan menjadi merasa bersalah,
seperti tidak kompeten, takut berubah atau terlalu berhati-hati dalam melakukan
perubahan. Kon- tradiksi ini merupakan penghalang bagi sistem pembelajaran
organisasi yang juga dapat mempengaruhi semua metode perubahan yaitu TQM,
Re- engineering dan self directed teams.
B
A
Total Quality management R
Current R Desired
Learning Reengineering I Learning
E System
System Self –Direct Teams R
S

Figure 1. Penghalang pembelajaran organisasi mempengaruhi semua metode


perubahan ( Thomas Robinson, et.al :1997)

Ketika siklus pembelajaran dan sistem pembelajaran dibuat secara eksplisit,


pengadopsian metode perubahan merupakan kesempatan untuk menguji secara
serius system pembelajaran dan kemungkinan memodifikasi system itu,seperti
dalam figure 2:

B
A
Total Quality management R
Current R Desired
Learning Reengineering I Learning
E System
System Self –Direct Teams R
S

Figure 2. Pembelajaran Organisasi yang efektif mampu mengurangi penghambat


pembelajaran ( Thomas Robinson, et.al :1997)

Peran system pembelajaran dalam prosses transformasi adalah sebagai


fasilitator yang membawa pemahaman proses keseluruhan, keahlian dalam metode,
dan keterbatasan pengertian organisasi. Peran fasilitator adalah sebagai berikut
(Thomas, et.al; 1997):

1. Untuk membantu dalam menyeleksi strategi dan taktik sehingga proses


perubahan secara keseluruhan berkembang secara tepat.
2. Untuk memfasillitasi penggunaan metode perubahan yang spesifik.
3. Untuk membantu dalam pelatihan anggota organisasional pada me- tode dan
ketrampilan khusus.
4. Untuk menanyakan pertanyaan naïf untuk mencari sesuatu yang “setiap orang
ketahui tapi yang mana yang tidak diketahui”.

Peran fasilitator, manajer, dan pekerja secara unik berbeda dan belum sama.
Keberhasilan proses perubahan organisasi sangat memerlu- kan kerjasama antara
fasilitator, manajer dan pekerja.
BAB IV
PENUTUP

Mendukung proses perubahan melalui upaya penciptaan organisasi pembelajaran


sebagai bagian budaya organisasi. Peranan dalam mengimplementasikan program
perubahan mempunyai komitmen untuk membuat perubahan fundamental dalam perilaku
organisasional. Fokus atau inti dari proses perubahan adalah prinsip pembelajaran dalam
organisasi yang memungkinkan individu untuk tidak mempelajari perilaku atau kebiasaan
masa lalu dan mempelajari cara-cara baru dalam memecahkan masalah organisasi. Para
pimpinan juga percaya bahwa pembelajaran dalam organisasi merupakan kunci
keefektifan proses perubahan dan pertumbuhan organisasi tersebut, sehingga isu
organisasi pembelajaran (=budaya pembelajaran) perlu ditanggapi dan dikelola dengan
baik. Selain itu pentingnya suatu revolusi organisasi, dan model pengelolaan perubahan
organisasional yang lebih baik melalui peran pembelajaran organisasi dan penciptaan
organisasi pembelajaran yang dapat mendorong keberhasilan proses perubahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Beer, Michael. 1987. Revitalizing Organizations: Change Process and Emergent Model,
Academy of Management Executive.
Beardwell, Ian & Holden, Len. 2001. Human Resource Management: A Contemporary
Approach. London: Prentice Hall.
Eisenbach, Regina, et.al. 2000. Transformational Leadership in the contex of organizational
change, Research Technology Management.

Grieves, Jim. 2000. Navigating change into the new millennium: themes and issues for
learning organization. The Learning Organization, Vol. 7, pp 54-74, see
http://www.emerald-library.com

Gilley, Jerry W & Maycunich, Ann. 2000. Beyond the Learning Organization. Massachusetts:
Persus Books.

Marquardt, M.J. 2002. Building the learning organization. New York : McGraw-Hill
Senge, Peter M. 1990.The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization.
New York: Doubleday.

Swanson, Richard A & Holton, Elwood, F. 2001. Foundation of Human Resource Development.
San Fransisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.

Syaiful Sagala, 2010. Konsep Dan Makna Pembelajaran, Alfabeta: Bandung

Anda mungkin juga menyukai