Anda di halaman 1dari 15

TUGAS TUTORIAL KE 2

Kode/Nama Matakuliah : EKMA4565/Manajemen Perubahan


Nama Pengembang : Rulyanti Susi Wardhani
Masa Tutorial : 2018.2
Nomor Soal : 1-8
Skor Maks : 100

Kompetensi Khusus Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: definisi operasional


manajemen perubahan, fase pertumbuhan organisasi, teori
proses perubahan, kapasitas perubahan orgaisasi, perbedaan
antara pengembangan organisasi dan manajemen
perubahan,theory E dan theory O, persepsi karyawan terhadap
proses perubahan, resistensi terhadap perubahan, model
manajemen perubahan dan pendekatan manajemen perubahan
Pokok Bahasan/Sub  Manajemen Perubahan Konsep dan Implementasi
Pokok Bahasan o Konsep Manajemen Perubahan
o Model dan Implementasi perubahan Organisasi
 Implementasi Perubahan Faktor Manusia dan Kepemimpinan
o Faktor Manusia dalam perubahan Organisasi
o Kepemimpinan dalam Perubahan Organisasi
Uraian Tugas

Soal :
10
1. Bagaimana Fase manajemen perubahan yang merupakan proses formal?
2. Mohon jelaskan terjadinya proses perubahan berbasis pengetahuan dan berikan
20
contoh terjadinya proses perubahan tersebut?
3. Jelaskan ciri-ciri dari karyawan menerima perubahan!
10
4. Mohon jelaskan terjadinya pendekatan manajemen menurut Kotter!
5. Dampak perubahan organisasi terhadap karyawan secara psikologis adanya
20
dimensi tersembunyi dalam perubahan, mohon kira di jelaskan beserta contohnya!
6. Bagaimana mengelola manusia pada saat implementasi perubahan dalam suatu
10
organisasi?
7. Jelaskan pola dari kepemimpinan dalam suatu organisasi dan menurut saudara
20
dari pola kepemimpinan tersebut mana yang lebih efektif jelaskan alasannya?
8. Apa yang saudara ketahui tentang tahapan dalam kepemimpinan transformasional
10
terkait dengan menciptakan visi yang baru?
Total poin
100
--- Selamat Mengerjakan ---
TUGAS 2 MANAJEMEN PERUBAHAN
NAMA : ACHMAD FUDHOLI
NIM : 031157172

1. Bagaimana Fase manajemen perubahan yang merupakan proses formal?

Model perubahan yang konsep awalnya dikembangkan Kurt Lewin dan dikenal
sebagai model tiga tahap – unfreeze-change-refreeze, belakangan juga dikembangkan oleh
teoritis lainnya. Berdasarkan hasil telaah terhadap 30an model perubahan terencana,
Bullock & Baten (1985) mengembangkan model perubahan terencana yang terintegrasi
yang terdiri dari 4 fase yaitu:

1. Fase Eksplorasi.

Pada fase ini organisasi dituntut untuk melakukan eksplorasi dan memutuskan
apakah organisasi tersebut menghendaki perubahan secara spesifik pada kegiatan
operasinya. Tujuannya agar organisasi memiliki komitmen untuk menyediakan sumber
daya yang dibutuhkan untuk perubahan. Sementara itu proses perubahan pada fase ini
meliputi: kesadaran akan pentingnya perubahan, mencari bantuan pihak luar (konsultan
atau fasilitator) untuk membantu perencanaan dan implementasi perubahan,
menetapkan kontrak dengan konsultan untuk mendefinisikan tanggung jawab masing-
masing pihak.

2. Fase Perencanaan.

Setelah terjadi kesepakatan antara konsultan dan pihak manajemen organisasi,


tahapan berikutnya adalah memahami masalah yang dihadapi organisasi. Langkah-
langkahnya meliputi pengumpulan informasi agar bias dilakukan diagnosis dengan
benar, menetapkan tujuan perubahan sehingga bias dibuat desain untuk melakukan
tindakan yang tepat dalam rangka mencapai tujuan tersebut, dan menghimbau
pengambil keputusan untuk menyetujui dan mendukung usulan perubahan.

3. Fase Tindakan.

Pada fase ini dilakukan implementasi perubahan yang didasarkan pada rencana
perubahan sebelumnya. Prosesnya meliputi desain untuk menggerakkan kondisi
berjalan menuju kondisi yang diharapkan termasuk menetapkan aransemen yang cocok
untuk mengelola proses perubahan dan dukungan terhadap tindakan yang dilakukan,
dan melakukan evaluasi terhadap implementasi perubahan dan memberikan umpan
balik terhadap hasil yang telah dicapai sehingga bisa dilakukan tindakan koreksi yang
dianggap perlu.
4. Fase Integrasi.

Tahap ini dimulai setelah perubahan berhasil diimplementasikan. pada tahap ini
perhatian ditujukan pada upaya untuk melakukan konsolidasi dan stabilisasi hasil
perubahan sehingga perubahan menjadi bagian hidup sehari-hari dan tidak diperlukan
lagi adanya kondisi khusus hanya sekedar untuk mempertahankan hasil perubahan.
Prosesnya meliputi beberapa hal antara lain: memperkuat prilaku baru melalui
mekanisme umpan balik dan sistem penghargaan sehingga kebergantungan pada
konsultan sedikit demi sedikit mulai berkurang, menyebarkan hasil perubahan ke
seluruh elemen organisasi, dan melakukan pelatihan kepada para manajer dan
karyawan untuk memonitor hasil perubahan dan kemungkinan peningkatan yang
diperlukan.

2. Mohon jelaskan terjadinya proses perubahan berbasis pengetahuan dan berikan


contoh terjadinya proses perubahan tersebut?

Praktek-praktek perubahan organisasi baik yang dijalankan oleh pihak manajemen


maupun yang pelaksanaannya dibantu para konsultan pada akhirnya dikodifikasi dan
disintesakan oleh para akademisi dan teoritisi perubahan untuk dibuat generalisasi dan teori
tentang perubahan. Selanjutnya teori-teori tersebut digunakan kembali oleh para praktisi
sebagai pedoman untuk melakukan perubahan organisasi. Penjelasan ini secara tidak
langsung menegaskan bahwa manajemen perubahan merupakan sebuah praktik berbasis
ilmu pengetahuan bukan sekedar berdasarkan pengalaman praktis masa lalu. Manajemen
perubahan bahkan merupakan disiplin terpisah (body of knowledge) yang berbeda dari
disiplin lain, termasuk berbeda dari disiplin pengembangan organisasi (diuraikan tersendiri),
yang memiliki teori, model, metode, teknik dan cara-cara ilmiah lainnya. Sebagai contoh,
Van de Ven & Poole (1995) menemukan tidak kurang dari 20 teori proses perubahan yang
berbeda baik dalam hal substansi maupun terminologi yang digunakan.

CONTOH PENERAPAN PERUBAHAN BERBASIS PENGETAHUAN DI PT. PERTAMINA


TBK

Berdasarkan Indonesia Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) Study,


Pertamina memiliki keunggulan dalam mengembangkan budaya perusahaan berbasis
pengetahuan, inovasi atau menghasilkan produk/jasa/solusi berbasis pengetahuan,
memaksimalkan modal intelektual perusahaan, dan knowledge sharing atau menciptakan
lingkungan untuk berbagi pengetahuan secara kolaboratif.
Budaya berbasis pengetahuan pada Pertamina berdasarkan visi-misi perusahaan,
yaitu ‘Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia’. Untuk mengembangkan energi
selain minyak dan gas Pertamina harus memiliki pengetahuan terlebih dahulu mengenai
energi lain seperti energi panas bumi, Coal Bed Methane (CBM), sehingga Knowledge
Management memainkan peran penting. Knowledge Management pertama kali diterapkan
Pertamina pada tahun 2008 yang dikelola oleh Tim Knowledge Management Pertamina
(KOMET). Dengan bertumpu pada empat komponen yang berperan dalam strategi
perubahan, yaitu pedoman, infrastruktur, people dan kepemimpinan.

Pertamina menciptakan sistem pengelolaan program inovasi melalui kegiatan


Continuous Improvement Program (CIP) dengan menerapkan prinsip (DELTA) Delapan
Langkah Tujuh Alat dan PDCA (Plan-Do-Check-Action). Pengelolaan CIP dilakukan oleh
person in charge (PIC) dengan kegiatannya yang terdiri dari pelatihan CIP, rencana
pelaksanaan Forum Presentasi, hingga pelaksanaan audit CIP. Pada setiap tahunnya
Pertamina mengadakan Forum Inovasi sebagai puncak pelaksaan forum prestasi CIP di
seluruh UNIT/Region/Anak Perusahaan.

Pertamina mendefinisikan modal intelektual dalam tiga kategori, yaitu pertama,


Human Capital dengan melakukan evaluasi dan monitoring memalui Talent pool serta
diskusi melalui Community of Practice (CoP). Kedua, Enterprise Capital melalui Sistem Tata
Kerja (STK), sistem manajemen, HAKI dan pengelolaan asset pengetahuan. Terakhir,
Customer Capital, setiap tahunnya Pertamina menyelenggarakan customer loyalty dan
customer satisfaction survey.Dengan adanya modal intelektual Pertamina mampu
meningkatkan bisnisnya pada energi panas bumi, mengakuisisi beberapa blok di dalam
negeri, dan bermain di Coal Bed Methane (CBM).

Selain itu Pertamina memfasilitasi sharing knowledge melalui aktivitas yang


diselenggarakan oleh KOMET yang terbagi menjadi aktivitas online dan offline. Untuk
kegiatan offline dapat berupa forum atau media. Sedangkan untuk online dengan sistem
informasi terintegrasi yang bernama Portal KOMET.

3. Jelaskan ciri-ciri dari karyawan menerima perubahan!


Ciri-ciri karyawan menerima perubahan bisa dilihat dari kemauan karyawan untuk
belajar. Karyawan mulai mencoba perilaku dan proses baru. Dalam fase ini mereka punya
pengalaman gagal dan berhasil. Pada saat inilah tugas manajer perubahan untuk
menciptakan apa yang disebut small win – sukses kecil misalnya dengan menawarkan
proyek-proyek yang mudah dikerjakan. Keberhasilan, meski kecil, bias meningkatkan tingkat
kepercayaan diri karyawan bahwa mereka betul-betul memiliki kompetensi yang diperlukan.

4. Mohon jelaskan terjadinya pendekatan manajemen menurut Kotter!


Pendekatan Manajemen Perubahan Menurut Kotter Salah satu pendekatan
perubahan manajemen yang sangat populer dan menjadi rujukan para manajer dan praktisi
perubahan serta diajarkan di sekolah-sekolah bisnis terkenal adalah pendekatan yang
digagas oleh John Kotter. Kotter menuangkan gagasannya ke dalam tiga tulisan. Yang
pertama di Harvard Business Review (1995). Tulisan ini mendapat respon luar biasa dan
menjadi tulisan HBR yang paling banyak diminta pembaca. Kedua dalam bentuk buku
dengan judul Leading Change diterbitkan tahun 1996.

Selanjutnya bersama Dan Cohen (2002) Kotter melanjutkan tulisannya dalam bentuk
buku diberi judul ―The Heart of Change‖. Tulisan terakhir mencoba mengurai satu persatu
esensi dari 8 langkah perubahan yang digagas sebelumnya.

Berikut ini adalah 8 Langkah Perubahan yang diperkenalkan oleh John Kotter atau
biasanya disebut dengan “Kotter’s 8 Step Change Model”.

1) Menumbuhkan Rasa Urgensi (Create a sense of urgency)

Langkah pertama dalam Kotter’s 8 Step Change Model ini adalah menciptakan
kebutuhan mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan.
Apabila kita dapat menciptakan lingkungan dimana setiap individu didalam organisasi
menyadari masalah yang ada dan dapat melihat solusi yang dapat memecahkan
permasalahan yang terjadi, maka dukungan untuk perubahan akan meningkat. Ini juga akan
memicu motivasi awal untuk membuat semua individu dalam organisasi bergerak
mendukung perubahan.

Menurut Kotter, langkah ini adalah langkah persiapan dan sekitar 75% manajemen
perusahaan harus terlibat dalam perubahan ini agar tingkat keberhasilan perubahan ini
menjadi lebih tinggi. Ini menekankan bahwa penting untuk mempersiapkan diri sebelum
terjun ke proses perubahan. Langkah ini menciptakan ‘kebutuhan’ untuk perubahan, bukan
hanya ‘keinginan’ untuk berubah. Hal ini sangat penting ketika menyangkut dukungan dan
kesuksesan perubahan yang mungkin terjadi.

2) Membentuk Koalisi yang kuat (Build a guiding coalition)


Setelah menciptakan rasa urgensi dan kebutuhan untuk perubahan, kita perlu
meyakinkan orang lain untuk bersama-sama melakukan perubahan. Oleh karena itu, kita
perlu membangun koalisi untuk membantu kita mengarahkan orang lain untuk melakukan
perubahan. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan dukungan nyata dari orang-
orang kunci (key person) dalam organisasi kita. Koalisi yang kita bangun harus terdiri dari
berbagai keterampilan, pengalaman, pengetahuan, keahlian, unit kerja, jabatan atau bahkan
orang-orang yang berasal dari bidang bisnis yang lain untuk memaksimalkan efektivitasnya.
Koalisi dapat membantu kita menyebarkan pesan ke seluruh organisasi, mendelegasikan
tugas dan memastikan adanya dukungan untuk perubahan di seluruh organisasi. Anggota
tim yang berkolaborasi, saling melengkapi dan dapat mendorong satu sama lainnya untuk
bekerja lebih keras sehingga tingkat keberhasilan akan perubahan ini lebih tinggi.

3) Menciptakan Visi Perubahan (Create a Vision for Change)

Inisiatif Perubahan mungkin sangat rumit dan sering sulit untuk dimengerti atau
dipahami oleh semua anggota organisasi terutama anggota-anggota organisasi yang berada
di hirarki paling bawah organisasi. Oleh karena itu, menciptakan suatu Visi yang mudah
dipahami dan merangkum keseluruhan tujuan akan perubahan adalah cara yang sangat
bermanfaat untuk mendapatkan dukungan dari seluruh organisasi. Selain harus mudah
dimengerti dan sederhana, Visi juga harus dapat menjadi inspirasi agar efek yang
diinginkannya tersebut mencapai tingkat yang paling maksimum.

4) Meng-Komunikasikan Visi Perubahan (Communicating the Vision)

Visi Perubahan yang telah diciptakan harus dikomunikasikan ke seluruh organisasi


agar bisa mendapatkan dukungan dari semua anggota organisasi. Visi Perubahan ini tidak
hanya dikomunikasikan saat adanya pertemuan saja, tetapi harus dibicarakan setiap kali
ada kesempatan. Gunakan Visi ini setiap hari untuk membuat keputusan dan pemecahan
masalah.

5) Menghapus Rintangan (Removing Obstacles)

Empat langkah pertama sangat penting dalam membangun kekuatan inisiatif suatu
perubahan yang akan kita lakukan. Langkah selanjutnya adalah mencari dan mengetahui
rintangan atau hambatan apa yang kemungkinan akan menghalangi perubahan kita.
Rintangan atau hambatan tersebut dapat datang dari pribadi anggota organisasi,
perundang-undangan dan tradisi. Identifikasikan sedini mungkin dan gunakan sumber daya
yang tersedia untuk memecahnya tanpa harus menganggu kegiatan-kegiatan lainnya dalam
organisasi kita.

6) Ciptakan Sasaran Jangka Pendek (Creating Short-Term Wins)

Perubahan memerlukan proses dan waktu untuk mendapatkan hasilnya sehingga


akan mengakibatkan hilangnya dukungan atau menurunkan semangat untuk merubah
apabila proses perubahan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini
dikarenakan sebagian anggota organisasi akan menganggap usaha yang telah mereka
lakukan tersebut adalah sia-sia apabila tidak dapat melihat keberhasilan atau kemenangan
akan suatu perubahan dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan
semangat dan mempertahankan dukungan akan perubahan ini, kita harus menunjukan
keuntungan dan menciptakan sasaran keberhasilan untuk jangka waktu pendek. Sasaran
jangka pendek juga merupakan alat yang berguna untuk memotivasi dan sebagai arahan
terhadap kegiatan perubahan kita. Keberhasilan atau kemenangan jangka pendek ini dapat
digunakan untuk menilai investasi yang telah kita keluarkan dan untuk membantu
memotivasi kembali anggota organisasi atau karyawan perusahaan untuk terus mendukung
perubahan.

7) Terus Membina Perubahan yang telah diciptakan (Build on the Change)

Banyak proses perubahan yang berakhir gagal karena rasa puas diri dan
kesuksesan yang dinyatakan terlalu dini. Oleh karena itu, Kotter berpendapat bahwa sangat
penting untuk mempertahankan dan memperkuat terus perubahan tersebut meskipun telah
mencapai suatu perubahan yang diinginkan. Tetaplah menetapkan tujuan dan menganalis
apa yang dapat dilakukan dengan lebih baik untuk peningkatan yang berkelanjutan.

8) Kukuhkan Perubahan ke dalam Budaya (Anchor the Changes in Corporate Culture)

Hanya mengubah proses dan kebiasaan saja tidak cukup untuk menanamkan
budaya perubahan ke seluruh organisasi. Perubahan harus menjadi bagian dari inti
organisasi agar perubahan dapat memberikan efek manfaat yang lama. Mempertahankan
para senior dalam perubahan dan mendorong karyawan baru untuk mengadopsi perubahan
akan membantu mempromosikan perubahan hingga ke seluruh organisasi.

Menurut Kotter, Perubahan bukanlah proses yang mudah dan cepat sehingga
memerlukan langkah-langkah perencanaan perubahan dan bahkan ketika sebuah
perubahan dilaksanakan masih banyak lagi yang harus dilakukan untuk memastikan
keberhasilannya. Kita disarankan untuk mengikuti langkah-langkah perubahan Kotter ini
untuk memastikan inisiatif perubahan kita dapat berhasil dan memberikan manfaat bagi
organisasi.

5. Dampak perubahan organisasi terhadap karyawan secara psikologis adanya dimensi


tersembunyi dalam perubahan, mohon kira di jelaskan beserta contohnya!

Dengan menggunakan metafora gunung es, Sobirin (2010) membagi organisasi


menjadi dua bagian yaitu bagian yang bersifat formal rasional dan bagian yang bersifat
informal behavioral. Kedua bagian tersebut memiliki sifat berbeda. Bagian pertama mudah
diakses pihak luar organisasi sedang bagian kedua cenderung tersembunyi. Meski demikian
keduanya selalu hadir berdampingan dan memiliki peran yang seimbang dalam memajukan
kehidupan organisasi.

Mengingat perubahan organisasi merupakan bagian integral dari pengelolaan


organisasi menuju organisasi yang lebih efisien dan efektif, sudah seharusnya kedua bagian
tersebut dikelola secara seimbang pula. Sayangnya dalam praktik perhatian terhadap aspek
formal rasional biasanya lebih menonjol dibandingkan dengan perhatian terhadap aspek
informal behavioral seperti emosi (Marshak, 2009). Berdasarkan pengalamannya
berhubungan dengan berbagai eksekutif lintas dunia, Marshak lebih lanjut mengatakan:

1) Sebagian besar Agen perubahan lebih mengutamakan pendekatan rasional dalam


mendorong perubahan organisasi.
2) Sebagian besar inisiatif perubahan sesungguhnya melibatkan dinamika nonrasional
dan dinamika proses secara signifikan.

3) Sebagian besar Agen perubahan tetap menuntut agar dalam menjalankan


perubahan organisasi menganggap bahwa perubahan organisasi murni bersifat
rasional.

Akibat terlalu fokus pada aspek formal rasional, pada umumnya manajer tidak dapat
melihat sisi lain yang bersifat nonrasional. Padahal dampak yang ditimbulkan aspek
nonrasional terhadap keberhasilan perubahan organisasi sering kali justru jauh lebih besar.
Kecenderungan seperti inilah yang ditengarai menjadi penyebab utama kegagalan
perubahan organisasi. Aspek rasional, seperti dikatakan Marshak, sesungguhnya hanya
salah satu dari enam dimensi perubahan organisasi. Kelima dimensi lainnya adalah politik,
inspirasi, emosi, mindset dan psikodinamik. Marshak mengatakan pula, dari keenam
dimensi tersebut hanya rasional atau reason yang bersifat overt (terbuka) sedangkan
selebihnya bersifat hidden (tersembunyi).

George & Jones (2001) dalam membangun modelnya berbasis pada teori schema
maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan schema. Per definisi
schema adalah struktur kognitif yang bersifat abstrak yang berisi pengetahuan tentang
stimulus atau konsep, fitur atau atribut-atribut dari konsep tersebut, dan saling keterkaitan di
antara atribut dimaksud (lihat von Hoppel, et al., 1993). Setiap individu akan
mengembangkan schema ketika menghadapi stimulus yang datang secara berulang-ulang
kepadanya. Sekali sebuah schema terbentuk dan cocok dengan konsep yang
dikembangkannya maka schema tersebut akan digunakan untuk menginterpretasikan
informasi yang diperoleh seseorang.

1) Schema memiliki beberapa fungsi (Conover & Feldman, 1984), di antaranya


2) schema memungkinkan seseorang memiliki pengalaman dalam organisasi dalam hal
orang tersebut mampu mengurutkan elemen-elemen lingkungan yang merefleksikan
struktur schema yang relevan dengan pengetahuannya,

3) schema mempengaruhi jenis-jenis informasi yang akan diingat kembali dari ingatan-
ingatan yang sebelumnya telah tersimpan dalam memori,

4) struktur dari schema merupakan dasar untuk mengisi informasi yang hilang sehingga
seseorang tidak sekedar menerima informasi yang ada,

5) schema menjadi alat untuk memecahkan sebuah masalah dengan cara jalan pintas
(short cut) sebagai upaya untuk menyederhanakan proses penyelesaian masalah,
dan dengan membandingkan realitas dengan harapan, schema dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengevaluasi pengalaman seseorang.

Berdasarkan teori schema seperti tersebut di atas, George & Jones mengatakan
bahwa proses perubahan individu saat menghadapi perubahan terdiri dari 7 tahapan yaitu:

Tahap 1 terjadi discrepancy atau inkonsistensi antara schema yang telah dibangun
karyawan dengan kondisi riil karena perubahan.

Tahap 2 karyawan mulai menunjukkan reaksi emosional terhadap adanya inkonsistensi.

Tahap 3 karyawan mencoba menelusuri sebab-sebab terjadinya inkonsistensi. Dari sini


karyawan mencoba mengarahkan perhatiannya pada hal-hal atau masalah yang
membebani mereka dan melihat peluang untuk keluar dari persoalan tersebut.
Tahap 4 karyawan mulai mengumpulkan informasi-informasi baru agar bisa memahami apa
yang sesungguhnya sedang terjadi.

Tahap 5 karyawan mulai mempertanyakan apakah schema yang telah dibangun


sebelumnya masih relevan dengan kondisi berjalan.

Tahap 6 karyawan mulai mencari tambahan informasi baru untuk membangun schema baru
karena menganggap schema lama sudah tidak cocok lagi dengan kondisi berjalan.

Terakhir tahap 7 terjadi perubahan schema dalam pengertian karyawan memahami bahwa
schema yang telah dibangun sebelumnya dianggap tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini
saat terjadi perubahan organisasi.

6. Bagaimana mengelola manusia pada saat implementasi perubahan dalam suatu


organisasi?

Perhatian terhadap pengelolaan manusia sekali lagi menjadi isu penting mengingat
manusia memegang peran krusial dalam perubahan organisasi. Memang dalam situasi
perubahan tidak semua karyawan meresponsnya secara negatif. Tetapi harus disadari
bahwa sebagai besar karyawan cenderung merespon perubahan dengan sinis dan
kelesuan. Bahkan karyawan yang memiliki motivasi diri yang sangat tinggi sekalipun bias
jadi merespon perubahan dengan resistensi jika mereka tidak melihat keuntungan yang
bakal mereka peroleh.

Selain itu mengelola manusia dalam situasi perubahan juga bukan pekerjaan mudah
lebih-lebih jika pihak manajemen khususnya manajer lini yang bertanggung jawab langsung
terhadap pengelolaan manusia tersebut juga merasa tidak aman akan posisi yang sekarang
ditempatinya, tidak yakin apakah perubahan merupakan tindakan yang bijak dan tidak
memiliki informasi lengkap tentang perubahan yang akan dilaksanakan.

Dari penjelasan di atas, uraian akan difokuskan pada peran manajer lini dalam
memandu pengelolaan manusia dalam implementasi perubahan organisasi. Holbeche
(2006) misalnya mengatakan bahwa peran yang harus dimainkan seorang manajer lini saat
implementasi berubahan adalah:

1. Menciptakan iklim yang mendukung perubahan organisasi. Cara yang bias dilakukan
adalah mengaitkan budaya organisasi, sistem imbalan, kebijakan perusahaan, prosedur
kerja, sistem organisasi dan norma prilaku yang kesemuanya itu pada akhirnya bias
mendukung perubahan yang diharapkan. Untuk itu, lini manajer tidak diposisikan
sebagai seorang komando yang hanya melakukan command and control tetapi harus
bergaya sebagai seorang manajer yang partisipatif dan fasilitatif. Di sisi lain, karyawan
diajak untuk ikut bertanggung jawab dalam perubahan dan terus melakukan continuous
improvement.

2. Mengolah resistensi karyawan terhadap perubahan.

3. Membangun kembali energi karyawan yang mengalami dimotivasi karena perubahan.

4. Membekali karyawan keterampilan yang dibutuhkan agar bias berpartisipasi dalam


perencanaan dan implementasi perubahan.

5. Mengelola kinerja.

6. Mendorong karyawan agar mau mencoba cara kerja baru dalam menjalankan kegiatan
organisasi.

7. Menerapkan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).

8. Memastikan bahwa load pekerjaan dikelola secara efektif sehingga karyawan tidak
tenggelam dalam kegiatan kerja.

7. Jelaskan pola dari kepemimpinan dalam suatu organisasi dan menurut saudara dari
pola kepemimpinan tersebut mana yang lebih efektif jelaskan alasannya?

Jenis pengaruh yang diharapkan dari seorang pemimpin agar organisasi berjalan efektif
tidak sama untuk semua pemimpin. Masing-masing pemimpin dituntut untuk memainkan
peran dan kemampuan berbeda tergantung pada level organisasi yang ditempati dan
kondisi organisasi yang sedang dikelola. Sebagai contoh, kemampuan kognitif dan afektif
seorang pemimpin pada level atas berbeda dengan mereka yang berada pada level bawah.
Tiga jenis peran yang biasanya dimainkan seorang pemimpin adalah: peletak dasar,
interpolasi dan administrasi.

Sebagai peletak dasar (origination) seorang pemimpin dituntut untuk membuat keputusan
strategic berkaitan dengan formulasi dan perubahan struktur organisasi. Keputusan ini
sangat penting karena akan menentukan misi dan budaya organisasi.

Sedangkan interpolasi berkaitan dengan upaya untuk menginterpretasikan keputusan


strategi dan mendesain metode untuk mengimplementasikan keputusan tersebut. Termasuk
ke dalam interpolasi adalah melakukan adaptasi terhadap kebijakan baru organisasi. Selain
itu menutup kekurangan struktur organisasi berjalan juga merupakan bagian dari interpolasi.

Terakhir administrasi adalah mengimplementasikan kebijakan dan prosedur yang telah


dibuat sebelumnya untuk menjaga agar organisasi bisa beroperasi secara efisien.
8. Apa yang saudara ketahui tentang tahapan dalam kepemimpinan transformasional
terkait dengan menciptakan visi yang baru?
Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikembangkan oleh Burns
pada tahun 1978. Dalam hal ini Burns membedakan dua konsep kepemimpinan –
transaksional dan kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transformasional adalah seseorang yang memiliki kharisma yang mampu
melakukan stimulasi intelektual para bawahannya sehingga bawahan mampu menggunakan
cara baru dalam menghadapi masalah-masalah organisasi. Karakteristik kepemimpinan
transformasional ditunjukkan melalui tiga faktor perilaku: konsiderasi individual, stimulasi
intelektual serta karisma
Karisma dan inspirasi.
Konsep karisma yang dibahas di muka merupakan salah satu dari tiga komponen
pokok kepemimpinan transformasional. Sebagaimana kita ketahui, hubungan kepemimpinan
karismatik bisa menciptakan emosi yang mendalam di kalangan para pengikutnya.
Akibatnya, timbulnya loyalitas dan kepercayaan terhadap pemimpin mereka. Loyalitas dan
kepercayaan inilah yang memberi jalan pada pemimpin karismatik untuk melakukan
perubahan-perubahan yang bersifat revolusioner. Banyak bukti menunjukkan bahwa
dukungan emosional inilah yang menjadi faktor paling kuat dalam kepemimpinan
transformasional.

Stimulasi intelektual.
Faktor kedua dalam kepemimpinan transformasional adalah kemampuan pemimpin
memberi tantangan kepada para pengikutnya. Para pengikut ditantang untuk memecahkan
masalah yang sebelumnya tidak terselesaikan, bukan dengan nilai-nilai lama dan asumsi
yang sudah kedaluwarsa melainkan dengan nilai-nilai baru dan asumsi baru.
Pemimpin bisa meyakinkan para pengikutnya bahwa nilai-nilai lama dan
asumsi-asumsi yang selama ini berlaku bukan pendekatan yang bias digunakan untuk
menyelesaikan persoalan yang ada. Nilai-nilai lama adalah masa lalu dan oleh karenanya
harus dibuang jauh-jauh. Sebaliknya mereka didorong untuk menyelesaikan masalah
dengan cara-cara baru yang tidak konvensional.
Stimulasi intelektual ini sekali lagi, menegaskan para pengikut bahwa mereka mempunyai
kemampuan untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak mungkin menjadi hal yang sangat
mungkin untuk dilakukan.

Konsiderasi individual.
Faktor terakhir sangat erat kaitannya dengan teori LMX (Leader Member Exchange =
teori pertukaran antara pemimpin dengan anggota). Menurut teori ini, setiap kepemimpinan
mempunyai hubungan personal dengan orang yang dipimpin. Hubungan personal ini
membawa implikasi bahwa setiap orang yang dipimpin harus diperlakukan secara khusus
karena masing-masing orang mempunyai karakteristik berbeda. Artinya tidak semua orang
diperlakukan dengan cara yang sama meski mereka harus diperlakukan secara adil.
Dengan perlakuan seperti ini mereka merasa sebagai orang spesial, orang teperhatikan,
merasa dibesarkan hatinya dan termotivasi. Di samping itu, pemimpin yang bisa memberi
pertimbangan individu berarti dia bisa memadukan kekhasan kemampuan dan keterampilan
masing-masing karyawan untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan.

Kombinasi dari ketiga faktor di atas memungkinkan seorang pemimpin bisa


melakukan perubahan-perubahan organisasi yang dianggap perlu.
Karisma yang dimiliki seorang pemimpin bisa digunakan untuk mengatasi resistensi
terhadap perubahan. Stimulasi intelektual memberi dorongan karyawan untuk solusi dan
inovasi baru serta menciptakan pemberdayaan karyawan. Sementara itu hubungan personal
antara pemimpin dan para pengikutnya menjadi faktor penting yang bisa memotivasi
karyawan. Dari penjelasan ini bisa dikatakan bahwa prilaku kepemimpinan transformasional
memungkinkan seorang pemimpin untuk melakukan adaptasi eksternal.
Sebaliknya, prilaku kepemimpinan transaksional lebih dimaksudkan untuk menjaga
tingkat kesehatan organisasi secara internal karena tipikal kepemimpinan ini berupaya
mendukung organisasi menjaga kegiatankegiatan yang bersifat rutin.
Menurut Tichy & Devanna (1990) ada tiga tahapan yang secara berurutan
seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin transformasional yaitu:

1. Harus ada pengakuan bahwa perubahan itu perlu.


2. Menciptakan visi baru.
3. Melembagakan perubahan.

1. Mengakui Kebutuhan Perubahan


Perubahan merupakan unsur penting bagi kegiatan bisnis maupun strategi
organisasi karena perubahan diyakini mampu membebaskan organisasi dari kegersangan
strategi – strategic drift (Johnson, 1988). Oleh karena itu perubahan demi perubahan terus
dilakukan meski sebagian kalangan, terutama karyawan sering tidak menganggap bahwa
perubahan itu perlu. Berbeda dengan karyawan yang cenderung resisten terhadap
perubahan, pimpinan perubahan harus memiliki pandangan sebaliknya jika ingin disebut
sebagai pemimpin transformasional. Artinya pemimpin transformasional harus menjadikan
perubahan sebagai sebuah kebutuhan bukan hanya bagi dirinya tetapi kebutuhan organisasi
secara keseluruhan termasuk karyawan. Bahwa masih ada sebagian karyawan yang
menganggap perubahan tidak perlu maka tugas pimpinan adalah meyakinkan mereka akan
perlunya perubahan. Berbagai cara bisa ditempuh misalnya membuat kondisi sekarang
menjadi tidak nyaman sehingga mereka sadar bahwa perubahan itu perlu.

2. Menciptakan Visi Baru


Perubahan transformasional akan berhasil dengan baik jika pemimpin perubahan
mampu membuat karyawan tidak puas dengan kondisi berjalan (status quo) dan
mengeluarkan mereka dari zona kenyamanan (comfort zone).
Namun menurut Kouzes & Posner (1988) sekedar membuat karyawan tidak puas
dengan kondisi saat ini tidak cukup bagi pimpinan perubahan untuk menggerakkan
karyawan untuk berubah dan mengeluarkan mereka dari comfort zone jika pimpinan
perubahan tidak bisa menunjukkan kepada karyawan dan semua pihak terkait apa yang
ingin dicapai di masa yang akan datang. Dalam bahasa yang sederhana, pimpinan
perubahan harus mampu menunjukkan visi baru. Dengan visi baru berarti apa yang ingin
dicapai perusahaan bukan hanya capaian tujuan jangka pendek tetapi capaian jangka
panjang yang kadang-kadang tidak dipungkiri sulit untuk dilaksanakan. Hanya saja jika visi
baru tersebut sangat menarik dan masih memungkinkan untuk dilaksanakan meski harus
bekerja keras, diyakini bahwa karyawan mau terlibat dalam perubahan.
Prasyarat lainnya adalah pimpinan perubahan harus memiliki keyakinan diri dan
antusiasme yang tinggi terhadap visi baru tersebut. Jika tidak, visi baru tidak akan
menginspirasi karyawan dan tidak bisa dijadikan guidance untuk melakukan perubahan.
Lebih dari itu, visi baru akan lebih bermakna jika proses penyusunannya juga melibatkan
karyawan sehingga mereka merasa memiliki dan menjadi bagian dari visi tersebut sehingga
dengan suka rela mereka akan mendedikasikan dirinya untuk mencapai tujuan bersama
sesuai dengan visi baru yang mereka sepakati.
Secara umum Charles Handy (1995) mengatakan bahwa efektivitas kepemimpinan
visioner ditentukan oleh beberapa syarat. Pertama, visi harus benar-benar berbeda. Sebuah
visi harus mampu me-reframe sesuatu yang sudah dipahami bersama; mengkonsepsikan
kembali sesuatu yang sudah jelas; menghubungkan sesuatu yang sebelumnya tidak
terhubungkan; memimpikan sebuah mimpi. Kedua, sebuah visi harus masuk akal di mata
orang lain. Visi harus kelihatan menantang tetapi bisa dicapai. Ketiga, visi harus bisa
dipahami dan mampu membawa pikiran orang tercurah pada visi tersebut. Keempat,
pimpinan harus bisa dijadikan contoh, baik yang berkaitan dengan prilaku maupun komitmen
mereka terhadap sebuah visi. Kelima, pimpinan tidak boleh lupa bahwa jika visi ingin
diimplementasikan maka visi tersebut hanyalah satu-satunya sumber untuk di-shared.
3. Institusionalisasi Perubahan
Ketika perubahan sudah menjadi kebutuhan setiap individu di dalam perusahaan dan
visi baru telah ditetapkan, tahapan berikutnya adalah bagaimana melembagakan atau
menjadikan perubahan sebagai bagian integral dari kehidupan organisasi. Hal ini bisa
diartikan bahwa kesadaran karyawan akan perlunya perubahan harus terinternalisasi ke
dalam diri masing-masing karyawan dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi. John
Kotter (1995) misalnya mengatakan bahwa sebuah perubahan transformasional dikatakan
berhasil jika perubahan tersebut menjadi “the new way we do things around here – cara
baru bagaimana kita melakukan sesuatu hal di organisasi ini”. Atau dengan bahasa lain
Kotter mengatakan bahwa terciptanya budaya baru merupakan indikator keberhasilan
perubahan transformasional.
Hal ini sesuai dengan definisi perubahan transformasional yang dikemukakan oleh
Blumenthal & Haspeslagh (1994). Menurut mereka untuk dikatakan bahwa organisasi
melakukan perubahan transformasional maka sebagian besar orang yang berada di dalam
organisasi harus merubah perilaku mereka. Perubahan perilaku karyawan merupakan
tahapan awal dari sebuah proses panjang terbentuknya budaya baru (penjelasan lebih detail
tentang perubahan budaya lihat misalnya Sobirin, 2009).

Sumber:
1. Achmad Sobirin. BMP EKMA4565 Manajemen Perubahan. Universitas Terbuka.
Tangerang Selatan
2. https://www.academia.edu/11708532/PROSES_MANAJEMEN_EDITORIAL
3. https://www.scribd.com/document/337587461/Jurnal-Pola-Kepemimpinan
4. https://www.academia.edu/11332695/Rangkuman_Buku_Manajemen_Pemasaran_P
hilips_Kotler_14_e

Anda mungkin juga menyukai