Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data
WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama
dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada pria.1 Epilepsi
dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang
yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun. 2 Bila jumlah
penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang
epilepsi baru 250.000 pertahun.
Angka prevalensi penyandang epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000
penyandang epilepsi.3 Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar
antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Berkaitan
dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi
epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan
pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.4
Umumnya penyakit ini dapat diobati. Data penelitian menemukan 55-68%
kasus berhasil menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang cukup panjang.3

1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.5,9
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas
listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi
klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang
stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik,
otonom, ataupun psikik.9
Menurut WHO epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagai
macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa
kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan
diotak.

2.2 Etiologi
Dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu :
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi structural di otak atau defisit neurologik. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini
adalah sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi mioklonik.
3. Simtomatik
Bangkitan epilepsy disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak,
misalnya: cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan
neurodegenerative.5

2
2.3 Patogenesis
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron otak dan transmisi
sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron otak memiliki kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membran neuron
bergantung pada selektif membrane neuron, yakni membrane yang sudah dilalui
oleh ion K dari ruangan ekstraseluler ke ruang intraseluler dan kurang sekali oleh
ion Ca, Na dan Cl sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan
konsentrasi rendah ion Ca, Na dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di
ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi inilah yang menimbulkan potensial
membran.
Ujung terminal neuron berhubungan dengan dendrite – dendrite dan badan
neuron lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membrane neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter yaitu neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepasnya muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan
tidak mudah mengeluarkan muatan listrik. Neurotransmiter eksitasi disebut
glutamate, aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi adalah
Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau ransang. Hal ini misalnya dalam
keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan memicu terjadinya depolarisasi membrane neuron
dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.
Oleh berbagai faktor salah satunya adalah kondisi patologis, dapat merubah
atau mengganggu fungsi membrane neuron sehingga membrane mudah dilalui
oleh ion Ca dan Na dari ekstrasel ke intrasel. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepaslah muatan listrik secara berlebihan, tidak
teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron
secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas seranagn
epilepsi adalah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat proses inhibisi.
Diduga proses inhibisi adalah pengaruh neuron-neuron di sekitar sarang epileptik.
Selain itu peran dari sistem inhibisi pra dan pasca sinapstik yang menjamin

3
neuron-neuron tidak terus menerus melepas muatan ikut memegang peranan.
Keadaan lain yang menyebabkan suatu serangan epilepsi berhenti adalah
kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat penting untuk fungsi otak.6

2.4. Manifestasi Klinis


 Kejang parsial simplek.  Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien
akan mengalami gejala berupa:-“deja vu”: perasaan di mana pernah
melakukan sesuatu yang sama sebelumnya., perasaan senang atau takut
yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan. perasaan seperti
kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh
tertentu.gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu-
halusinasi
 Kejang parsial (psikomotor ) kompleks. Serangan yang mengenai bagian
otak yang lebih luas dan biasanya bertahanlebih lama. Pasien mungkin
hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan. Gejalanya meliputi: gerakan seperti mencucur atau mengunyah,
melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau
memainkan pakaiannya, melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau
berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung, gerakan

4
menendang atau meninju yang berulang-ulang, berbicara tidak jelas
seperti menggumam.
 Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Merupakan tipe kejang yang
paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahaptonik atau kaku diikuti
tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului
oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelumserangan dapat
berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa
alasanyang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase
klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun
ingin tidur setelah serangan semacam ini.7

2.5 Diagnosis
 Anamnesis : Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh,
karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami

5
penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis
juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan obat-obatan tertentu. Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi: pola /
bentuk serangan, lama serangan, gejala sebelum, selama dan paska serangan,
frekwensi serangan, faktor pencetus, ada / tidaknya penyakit lain yang
diderita sekarang, usia saat serangan terjadinya pertama, riwayat kehamilan,
persalinan dan perkembangan, riwayat penyakit, penyebab dan terapi
sebelumnya, riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.8

 Pemeriksaan Fisik
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.8

 Pemeriksaan Laboratorium: Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia,


uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan
kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium,
magnesium, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga
sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse.

 Pemeriksaan EEG

6
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur,
dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah
pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi
dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi
yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.8

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan


keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil

7
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.
Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam
serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.8

 Pemeriksaan Video EEG


Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila
pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih
saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang
oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan
secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil
rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.

 Pemeriksaan Radiologi
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural di otak. Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

8
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan
otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik
dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma
kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan
terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi: T1
dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan sagital.8

 Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini
khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif,
demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan
serangan kejang yang bukan epilepsi.5

2.6 Tatalaksana
1. Non farmakologi
 Amati faktor pemicu
 Menghindari faktor pemicu (jika ada),misalnya: stress, konsumsi kopi
atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan.
 Bila terjadi serangan kejang, upayakan menghindarkan cedera akibat
kejang, misalnya tergigitnya lidah atau luka atau cedera lain.
 Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh,
melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang
bantal di bawah kepala penderita.
 Jika penderita tidak sadarkan diri sebaiknya posisinya dimiringkan agar
lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai
benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal.
 Obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan, biasanya
diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status

9
epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang
diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.

2. Farmakologi
Menggunakan obat-obat antiepilepsi. Dalam farmakoterapi, terdapat
prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni:
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan
mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah
mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara
perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua
.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme
kerjanya:
1. Golongan Hidantoin. Fenitoin merupakan golongan hidantoin yang sering
dipakai. Kerja obat ini antara lain penghambatan ransang dari focus ke
bagian lain otak. Indikasi penggunaan pada epilepsy umum, epilepsy fokal
dan dapat juga untuk epilepsy lobus temporalis. Dosis : dewasa 300 – 600
mg / hari, anak-anak 4 – 8 / hari, max 300mg / hari
2. Golongan Barbiturat. Fenobarbital merupakan barbiturate yang bekerja
long acting. Kerjanya membatasi penjalaran aktivasi serangan dengan
menaikkan ambang ransang. Indikasi untuk epilepsi grand mal tipe sadar,
epilepsi fokal. Dosis : dewasa 200 mg / hari, anak-anak 3 – 5 mg / KgBB /
hari.

10
3. Golongan benzodiazepam. Diazepam dikenal sebagai obat penenang tetapi
merupakan pilihan pertama untuk tepai epilepsi. Dosis dewasa 2 – 10 mg
IM / IV, dapat diulang setiap 4 jam. Anak > 5 tahun 5 -10 mg IM / IV,
anak 1 bulan – 5 tahun 0,2 – 2 mg IM / IV.
4. Golongan Suksinimid. Etosuksimid. Indikasi epilepsy petit mal murni.
Dosis 20 – 30 mg / KgBB / hari.
5. Golongan obat anti epilepsy lain. Sodium Valproat digunakan untuk
epilepsy petit mal murni dapat pula untuk epilepsy lobus temporal, dan
sebagai kombinasi obat lain. Dosis anak 20 – 30 mg / KgBB / hari, dewasa
0,8 -1,4 gram / hari dimulai dengan 600 mg per hari.
Asetazolamid dikenal sebagai diuretic tetapi memiliki efek menstabilkan
keluar masuknya natrium pada sel otak. Dosis sehari total 8 – 30 mg /
KgBB.
Karbamazepin digunakan pada epilepsi lobus temporalis dengan epilepsy
grand mal. Dosis dewasa 800 – 1200 mg / hari.6

2.7 Status Epiletikus


Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang belangsung lebih dari 30 menit
atau adanya dua bangkitan atau lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-
10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan
penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). SE dikatakan pasti bila pemberian benzodiazepin awal tidak efektif dalam
menghentikan bangkitan.9
SE merupakan keadaan gawatdarurat yang dapat mengancam jiwa karena
dapat menyebabkan gangguan jalan napas, hipoksia berat dan kerusakan sistem
saraf. Ketika kejang berlangsung atau berulang, dengan penurunan kesadaran
penderita, perlu dilakukan pembebasan jalan napas. Pasien diposisikan miring ke
kiri (posisi recovery), lepaskan gigi palsu, dan secara hati-hati hisap (suction)
muntahan dan air liur. Jika jalan napas tidak dapat dipertahankan dengan cara
yang sederhana tersebut, tindakan intubasi endotrakeal mungkin diperlukan.

11
Jauhkan pasien dari benda-benda keras, atau tajam yang dapat melukai penderita
kejang.10

Klasifikasi
 SE konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik)
 SE non-konvulsif (bangkitan bukan tonik-klonik)

Pengelolaan SE sebelum sampai di Rumah Sakit


Pemberian benzodiazepin rektal merupakan terapi yang utama selama di
perjalanan menuju rumah sakit

Protokol Penanganan9
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit)  Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
 Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu
Stadium II (1-60 menit)  Pemeriksaan status neurologik
 Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
 Monitor status metabolik, AGD, dan status hematologi
 Pemeriksaan EKG
 Memasang infus pada pembuluh darah besar dengan
NaCl 0,9%. Bila digunakan 2 macam OAE pakai 2
jalur infus
 Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, Glukosa, Fungsi ginjal dan hati,
kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar AED),
pemeriksaan lain sesuai dengan klinik
 Pemberian OAE emergensi: Diazepam0,2 mg/kg
dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat
diulang bila kejang masih berlangsung selama 5 menit
 Memasukkan 50cc glukosa % pada keadaan

12
hipoglikemia
 Pemberian thiamin 250 mg intravena pada penyandang
alkoholoisme
Stadium III (0-60/90 menit)  Menentukan etiologi
 Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian
lorazepa,/diazepam, beri phenytoin iv 15-20 mg/kg
dengan kecepatan ≤ 50 mg/menit (monitor tekanan
darah dan EKG saat pemberian). Bila kejang masih
berlangsung dapat diberikan phenytoin tambahan 50-
10 mg/kgbb. Bila kejang berlanjut berikan
phenobarbital* 20 mg/kgbb dengan kecepatan 50-75
mg/menit (monitor respirasi pada saat pemberian).
Dapat diulang 5-10 mg/kgbb.
 Memulai terapi dengan vasopressor (dopamin) bila
diperlukan
 Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit)  Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit,
pindahkan penyandang epilepsi ke ICU, beri propofol
(2 mg/kgbb bolus iv, diulang bila perlu) atau
midazolam (0,1 mg/kgbb dengan kecepatan pemberian
4 mg/menit) atau tiopentone (100-250 mg bolus iv
pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus
50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir,
lalu lakukan tapering off
 Monitor bangkitan dan EEG, tekanan intrakranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan.
*Harus selalu tersedia fasilitas intubasi

13
2.8 Prognosis
Pasien epilepsy yang berobat teratur 1/3 akan bebas dari serangan paling
sedikit 2 tahun dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat
dihentikan, pasien tidak mengalami kejang lagi (remisi). Diperkirakan 30 %
pasien tidak mengalami remisi meskipun minum obat secara teratur. Sesudah
remisi kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada kejang
tonik – klonik dan kejang parsial kompleks.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Engel J, Pedley TA. Introduction: What is Epilepsy. In Engel J, Pedley TA.


Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd Ed. 1. Lippincott Wiliams &
Wilkins. USA;2008;1-7.
2. Benerjee PN, Hauser WA. Incidence and Prevalence. In Engel J, Pedley TA.
Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd Ed. 1. Lippincott Wiliams &
Wilkins. USA;2008;45-56.
3. Beghi E, Sander JW. The Natural History and Prognosis of Epilepsy. In
Engel J, Pedley TA. Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd Ed. 1.
Lippincott Wiliams & Wilkins. USA;2008;65-75.
4. WHO. Epilepsy:Aetiology, Epidemiology and Prognosis. Factsheet No 165,
Revised February 2001.
5. Lee PG, 2010. Neuropsychology Of Epilepsy And Epilepsy Surgery.
Department of Neurology School of Medicine Medical College of Georgia
Augusta, Georgia. Oxford University Press.
6. Bromfield EB, Cavazos JE, Sirven JI. 2006. An Introducing to Epilepsy.
American Epilepsy Society.
7. Bernard JC. 2012. Epilepsy. The New England Journal Medicine. 349:1257-
126
8. Sunaryo Utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran
Volume 1 No 1.
9. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
Jakarta;2011.
10. Mahadevan SV, Garmel GM. An Introduction to Clinical Emergency
Medicine. Cambridge University Press;2005;473-481.

15

Anda mungkin juga menyukai