Penjelasan awal untuk kompleks logam transisi yang beranekaragam diberikan oleh seorang ahli kimia
berkembangsaan Swiss Alfred Werner yang pada tahun 1893 yang menyatakan bahwa kompleks logam
trasisi tersusun dari ion logam trasisi yang berfungsi sebagai satu pusat yang dikelilingi oleh ion dan
molekul lain. Teori baru ini diterima di Jerman, tetapi tidak diterima belahan dunia yang berbahasa Inggris
Selama delapan tahun berikutnya, Werner dan murid-muridnya mencoba melakukan preparasi beberapa
deretan senyawa logam transisi, untuk membuktikan teorinya. Ketika bukti semakin banyak terkumpul,
maka kelompok yang menentang teorinya mulai terpecah, dan Werner dianugerahi Hadiah Nobel bidang
Kimia pada tahun 1913 sebagai pengakuan atas kontribusi yang ia berikan. Meski Werner pantas
mendapatkan pujian dalam merancang teori ini, namun yang tetap harus selalu ingat adalah bahwa kerja
keras di meja laboratorium penelitian sebahagian besar dilakukan oleh mahasiswanya yang sedang
melakukan penelitian, teristimewa bukti penting yang dibuat seorang mahasiswa muda dari Inggris, Edith
Humphrey
1. LOGAM TRANSISI
Meskipun orang menggunakan istilah unsur blok d dan transisi logam secara bergantian, namun kedua
istilah ini tidak sepenuhnya sama. Ahli kimia anorganik umumnya membatasi istilah logam transisi pada
unsur yang memiliki sekurang-kurangnya satu ion dengan elektron d tak lengkap (orbital d tak terisi
penuh). Sebagai contoh, kromium memiliki dua bilangan oksidasi, yaitu +3 dan +6 (ditambah beberapa
bilangan oksidasi lainnya yang kurang lazim). Bilangan oksidasi kromium +3 memiliki orbital d yang terisi
sebagian dan bilangan oksidasi +6 memiliki orbital d kosong. Oleh sebab itu unsur krom dianggap sebagai
logam transisi.
Di sisi lain, satu-satunya bilangan oksidasi skandium yang lazim adalah +3. Karena bilangan ini memiliki
orbital d kosong, maka skandium (dan anggota lainnya Grup 3) tidak termasuk logam transisi. Faktanya,
skandium sangat mirip sifat kimianya dengan logam golongan utama aluminium. Unsur golongan 3 juga
pada umumnya memiliki sifat kimia yang dengan unsur-unsur blok 4f, sehingga unsur logam golongan 3
sering dibahas bersama dengan unsur-unsur blok 4f.
Di ujung lain blok d (unsur-unsur golongan 12) terdapat unsur-unsur yang tetap mempertahankan orbital
d penuh untuk bilangan oksidasi yang lazim ditemui. Bilangan oksidasi yang umum adalah +2. Dengan
demikian, unsur-unsur ini tidak dianggap sebagai logam transisi.
Unsur-unsur dari rutherfordium (unsur ke 104) sampai roentgenium (unsur ke 111) juga merupakan logam
transisi. Namun, karena mereka semua unsur radioaktif berumur pendek, maka unsur-unsur biasanya
dibahas bersama dengan logam aktinoid. Ringkasnya, elemen-elemen yang biasa dianggap sebagai logam
transisi ditunjukkan pada Gambar 19.1.
Alfred Werner mengusulkan teori untuk menjelaskan pembentukan logam trasisi dengan menyatakan
bahwa pembentukan kompleks logam transisi terjadi karena ion logam transisi tidak hanya memiliki
muatan tetapi juga memiliki karakteristik "kapasitas untuk berikatan”. Kapasitas berikatan ini diberi istilah
valensi. Werner menyatakan bahwa ion logam transisi memiliki dua jenis valensi, yaitu
Dengan valensi sekunder ion logam trasisi memiliki kemampuan untuk dikelilingi oleh sejumlah tertentu
molekul atau ion. Jumlah molekul atau ion yang mengelilingi logam tansisi ini sekarang dikenal dengan
bilangan koordinasi (coordination number) ion logam, biasanya 4 atau 6. Molekul-molekul atau ion-ion
(disebut ligan) yang mengelilingi ion logam akan terikat secara kovalen.
Bagaiman kemapuan ion logam untuk berikatan dengan ligan ini selanjutnya dijelaskan?
a. Ion yang ada di luar awan koorinasi (ditandai
dengan [ ], dua tanda kurung siku) adalah
[PtCl(NH3)3]Cl anion atau kation
b. Anion dan kation berikatan dengan ion
Kation Anion kompleks melalui ikatan ion
c. Molekul atau ion yang ada dalam awan
K[PtCl3(NH3)] koordinasi berikatan kovalen dengan ion pusat
logam
Ion pusat Ligan d. Ion logam bertindak sebagai asam lewis,
sementara ligan dalam awan koordinasi
beritandak sebagai basa Lewis
STEREOKIMIA
Apa yang dimaksud dengan stereokimia senyawa kompleks?
Stereokimia seyawa kompleks adalah bentuk geometri senyawa kompleks. Sterokimia senyawa kompleks
menunjukkan bagaimana geometri penataan ligan disekitar ion pusat logam
Ligan
Apa itu ligan?
Ligan adalah atom, molekul atau ion yang terikat secara kovalen ke atom pusat. Ligan adalah suatu basa
Lewis yang mendonorkan pasangan elektron ke ion pusat. Atom dari ligan yang memiliki pasangan
elektron untuk berikatan dengan ion pusat disebut atom donor
c. Ligan polidentat
Ligan polidentat adalah ligan yang menempati tiga (tridentat), empat (tetradentat), lima (penta
dentat), atau bahkan enam (heksa dentat) posisi koordinasi. Contoh ligan ini adalah EDTA (etilen
diamintetraasetat disimbolkan dengan (edta) 4−.
Semua ligan yang menepati dua atau ebih posisi koordinasi (dua atau lebih atom donor) disebut dengan
istilah ligan kelat (chelating ligan). Kelat berasl dari bahasa latin chelatos yang berati “seperti cakar”
Apakah ligan akan mempengaruhi bilangan oksidasi ion pusat yang akan membentuk kompleks?
Ciri khas logam transisi adalah memiliki beberapa bilangan oksidasi. Bilangan oksidasi yang akan
membentuk kompleks tertentu tergantung pada sifat ligan yang berikatan dengannya. Ada ligan yang
cenderung menstabilkan bilangan oksidasi rendah, normal atau tinggi. Dengan kencendrungan ini maka
ligan dapat dikelompokkan berdasarkan kecendrungannya menstabilkan bilangan oksidasi ion pusat
logam
1. Ligan yang cenderung menstabilkan bilangan oksidasi rendah, yaitu molekul karbon monoksida
dan ion sianida. Sebagai conton karbon monoksida dapat menbentuk komplek besi dengan
bilangan oksidasi nol, yaitu [Fe(CO)6]
2. Ligan yang cenderung menstabilkan bilangan oksidasi “normal”. Sebahagian besar ligan seperti
air, amonia dan ion halida cenderung menstabilkan logam dengan bilangan oksidasi normal.
Contoh besi yang memiliki dua bilangan oksidasi, yaitu +2 dan +3 dengan H2O membentuk ion
kompleks [Fe(H2O)6]2+ dan [Fe(H2O)6]3+. Terdapat juga berbagai kompleks sianida untuk logam
dengan bilangan oksidasi rendah, karena ion sianida adalah ion pseudo halida (isoelektronik
dengan ion halida), maka dapat bertindak seperti ion halida
3. Ligan yang cenderung menstabilkan bilangan oksidasi tinggi. Ligan yang cenderung menstabilkan
logam transisi dengan bilangan oksidasi tinggi adalah ion fluorida dan ion oksida. Sebagai contoh
[CoF6]2−. Dalam ion tetraoksoferat, [FeO4]2−, ion oksida menstabilkan bilangan oksidasi taknormal
+6 dari besi
2. STEREOISOMER
Stereoisomer adalah isomer dengan ikatan antara ligan dengan atom pusat sama namun penataan
ligan disekitar atom pusat berbeda Stereoisomer ada dua, yaitu isomer geometri dan isomer optis.
a. Isomer geometri
a. Isomer optis
Isomer optis terjadi ketika isomer pertama adalah bayang cermin isomer kedua yang saling tidak
berimpit (nonsuperimposabel). Salah satu karakteristik bahwa komplek memiliki isomer optis
adalah kompleks yang bersangkutan memutar bidang plarisasi cahaya.
Isomer dengan karakteristik seperti ini akan dijumpai
bila logam dikelilingi oleh tiga ligan bidentat seperti
1,2-diaminoetana, H2NCH2CH2NH2, (disingkat
dengaan en). Dengan tiga ligan en komplek akan
memiliki rumus [M(en)3]n+, dimana n adalah muatan
ion logam transisi. Isomer optis untuk komplex
FIGURE 19.12 The two optical isomers of
[M(en)3]n+ diperlihatkan Gambar 19.12
the [M(en)3]n+ ion. The linked nitrogen
atoms represent the 1,2-diaminoethane
bidentate ligands.
1. Spesies non-ionik ditulis sebagai satu kata; spesies ionik ditulis sebagai dua kata-kata kation
pertama dituliskan
2. Ligan ditempatkan dalam urutan abjad. (Dalam penulisan rumus kimia, ligan anion dituliskan
mendahului ligan netral)
3. Ligan ditulis lebih dahulu (awalan) nama logam. Ligan netral adalah diberi nama sama dengan
molekul induknya, sedangkan nama ligan negatif diberi akhiran -o, sebagai ganti akhiran -e. Jadi,
sulfat menjadi sulfato dan nitrit menjadi nitrito. Akhiran –ide pada anion diganti dengan –o,
sehingga Oleh karena itu, ion klorida menjadi kloro; iodida, iodida menjadi iodo; sianida menjadi
cyano; dan hidroksida, hidrokso. Ada tiga nama khusus: air yang terkoordinasi dinamai aqua;
amonia, ammin; dan karbon monoksida, karbonil)
4. Atom logam pusat dinyatakan dengan nama, yang diikuti oleh bilangan oksidasi formal dalam
angka romawi dalam tanda kurung, seperti (IV) untuk bilangan oksidasi +4 dan (−II) untuk muatan
oksidasi 2−. Jika kompleks adalah anion, maka akhiran -at ditambahkan pada nama metal atau
untuk menggantikan akhiran -ium, -en, atau -ese. Jadi, kompleks anion yang mengandung kobalt
dan nikel masing-masing akan memiliki perubahan nama logam menjadi kobaltat dan nikelat.
Untuk beberapa logam, nama anion berasal dari bahasa Latin untuk nama unsurnya: ferat (besi),
argentat (perak), cuprat (tembaga), dan aurat (emas).
5. Untuk ligan dengan jumlah lebih dari satu, maka jumlah ligan ditambahkan sebai awalan, di-, tri-,
tetra-, penta, dan hexa- untuk ligan masing-masing dengan jumlah 2, 3, 4, 5, dan 6
6. Untuk ligan yang sudah mengandung awalan jumlah (seperti 1,2,- diaminoetana), maka awaln
untuk jumlah ligan yang digunakan adalah bis-, tris-, dan tetrakis-, untuk jumlah ligan 2, 3, dan 4.
Aturan ini tidak kaku, namun banyak kimiawan yang menggunkan awalan ini untuk ligan dengan
awalan jumlah.
Contoh:
1. [Pt(NH3)4]Cl2. Dengan menerapkan aturan 1 sampai 6, maka nama kompleks ditentukan sesuai urutan
aturan sbb:
a. Karena kompleks adalah kation (yaitu [Pt(NH3)4] ) dengan anion Cl, maka kompleks mengandung
dua suku kata, yaitu nama kation + nama anion (sesuai aturan 1)
b. Ligan amonia adalah ligan netral , dan karena kompleks bermuatan 2+, maka dapat disimpulkan
bahwa Pt memiliki bilangan oksidasi +2. Dengan demikian simbol logam menjadi: Platinum(II).
(sesuai aturan 4)
c. Ligan amonia diberi nama ammin (sesuai aturan 3) dan karena amonia ada 4 maka, nama amonia
diikuti awalan tetra- (sesuai aturan 5)
d. Jumlah ion klorida tidak perlu dinyatakan, karena sudah tersirat dalam bilangan oksidasi logam
2. [Pt Cl2 (NH3)2]. Dengan menrapkan aturan 1 sampai 6, maka nama kompleks ditentukan sesuai aturan
sbb:
a. Karena kompleks adalah bukan kation atau anion, maka kompleks ditulis hanya satu suku kata
(sesuai aturan 1)
b. Kompleks tidak bermuatan, ligan amonia adalah ligan netral, ditambah dengan 2 ion Cl −, maka
dapat disimpulkan bahwa Pt memiliki bilangan oksidasi +2. Dengan demikian simbol logam
menjadi: Platinum(II). (sesuai aturan 4)
c. Ligan amonia diberi nama ammin (sesuai aturan 3) dan karena amonia ada 2 maka, nama amonia
diikuti awalan di- sehingga nama menjadi diammin. Ligan Cl− diberi nama kloro. Karena ada dua
ion klorida maka nama ligan dalam penulisan tatanama menjadi dikloro (sesuai aturan 4 dan 5)
d. Karena ada dua jenis ligan dan jumlah kedua ligan ada 4, maka kemungkinan geometri komplek
adalah segi empat datar. Dengan geometri ini ada dua kemungkinan kompleks terbentuk yaitu
kompleks cis- dan kompleks trans-
e. Jumlah ion klorida tidak perlu dinyaakan, karena sudah tersirat dalam bilangan oksidasi logam
Dengan demikian, nama kompleks [PtCl2(NH3)2]. (1) cis-diammindikloroplatium(II) atau (2) trans-
diammindikloroplatium(II)
3. K2[Pt Cl4]. Dengan menerapkan aturan 1 sampai 6, maka nama kompleks ditentukan sesuai aturan sbb:
a. Karena kompleks adalah anion, maka kompleks ditulis dengan dua suku kata (sesuai aturan 1)
b. Ligan klorida adalah ligan bermuatan 1−, kompleks bermuatan 2− (karena ion kompleks
memerlukan 2 ion K+) , maka dapat disimpulkan bahwa Pt memiliki bilangan oksidasi +2. Dengan
demikian simbol logam menjadi: Platinum(II). Dengan kompleks bermuatan negatif maka nama
logam diberi akhiran –at, sehingga nama logam menjadi platinat(II) (sesuai aturan 4)
c. Ligan amonia diberi klorida diberi nama kloro (sesuai aturan 3) dan karena klorida ada 4 maka,
nama klorida diberi awalan tetra- (sesuai aturan 5) sehingga ditulis tetrakloro
d. Jumlah ion kalium tidak perlu dinyatakan, karena sudah tersirat dalam muatan kompleks
Tapi sayangnya, meskipun aturan tatanama telah disusun, tetap ada beberapa senyawa logam transisi
yang telah memiliki nama umum yang sudah dikenal dan tidak mengikuti aturan tatanama di atas dan
nama itu dipakai hingga hari ini, seperti senyawa Zise untuk K[PtCl 3(C2H4)].H2O, katalis Wilkinson untuk
[RhCl(PPh3)3], garam Magnus hijau untuk [Pt(NH3)4][PtCl4].
Sistem alternatif dirancang oleh R. Ewens dan H. Bassett pada tahun 1949. Menurut aturannya, muatan
ion dikurung dalam angka Arab. Sistem Ewens-Bassett dapat digunakan misalnya, untuk membedakan ion
O2− ion dari ion O22−, yang pertama disebut ion dioksida (−2) dan yang terakhir, ion dioksida (2−). (pnamaan
yang lebih baik dibandingakan superoksida dan peroksida) Kedua sistem dibandingkan untuk penamaan
ion sederhana pada Tabel 19.2.
Sistim Ewen-Basset dalam tatanama menunjukkan muatan sementara sistim Stock menunjukkan bilangan
oksidasi, Namum pada dasarnya sistim Stok dan sistem Ewens-Bassett menerapkan aturan nomenklatur
yang sama. Penggunaan baik angka Romawi maupun Arab mengidentifikasi metode yang digunakan di
suatu nama tertentu; sebagai contoh, K4[Fe(CN)6] disebut kalium heksasianoferrat (II) oleh metode Stock,
karena besi dalam ion kompleks memiliki oksidasi formal keadaan +2. Nama Ewens-Bassett untuk
senyawa ini adalah kalium heksasianoferrat (4–), karena anion kompleks memiliki muatan 4–.
Untuk molekul netral, tidak ada angka yang ditampilkan; jadi, cis-[Pt(NH3)2Cl2] akan menjadi cis-
diamminedichloroplatinum daripada nama Stock cis-diamminedichloroplatinum (II). Maka, muatan pada
tatanama Ewens-Bassett bisa jadi ditemukan hanya keseimbangan muatan. Dan sistem ini juga berguna
saat sangat rumit sehingga bilangan oksidasi sulit untuk diidentifikasi. Sebaliknya, melihat bilangan
oksidasi dalam nama memungkinkan kita untuk mengidentifikasi apakah logam dalam bilangan oksidasi
normal, tinggi, atau rendah. Tapi tatanama dengan sistim stok lebih banyak dipakai untuk kompleks hingga
saat ini.
Tugas: Kerjakan soal nomor 19.1a; 19.2a dan 19.2b; 19.3; 19.5 sampai 19.8; 19.9 sampai 19.12