Anda di halaman 1dari 19

Judul : Pengaruh Kompensasi, Budaya Organisasi dan Moralitas Individu

terhadap Kecendrungan Fraud dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel

Intervening (study kasus pada usaha retail di Kota Bima)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah kecurangan atau fraud sudah sepantasnya dianggap persentasi

negatif. Secara harafiah Fraud didefinisikan sebagai kecurangan, namun

pengertian ini telah dikembangkan lebih lanjut sehingga mempunyai cakupan

yang luas. Segala bentuk manipulasi, penggelapan, pencurian, dan tindakan

buruk lainnya yang dilakukan oleh suatu pihak yang dapat menimbulkankan

kerugian bagi pihak lain atau perusahaan/organisasi adalah apa yang

dimaksud dengan fraud disini. Hampir dari segala jenis aktivitas dan bidang

tidak terlepas dari yang namanya bentuk tindak fraud di masa sekarang ini.

Resiko terjadinya fraud atau kecurangan pasti ada disemua organisasi, apapun

jenis, bentuk, skala operasi dan kegiatannya. Selain itu, fraud dapat dideteksi

di dalam segala situasi, baik dunia keuangan maupun non-keuangan. Oleh

sebab itu, tindak fraud ini harus lebih diantisipasi oleh perusahaan/orgnisasi

manapun karena dapat menjadi resiko yang dapat merugikan.

1
Ada banyak kerugian yang ditimbulkan oleh fraud seperti hancurnya

reputasi organisasi, kerugian organisasi, kerugian keuangan negara, dan

rusaknya moril karyawan. Tindakan Fraud yang dilakukan suatu pihak

biasanya disebabkan oleh keinginan untuk memaksimalkan keuntungan

pribadi. Dari beberapa kasus sebelumnya, penyebab atau akar permasalahan

dari Fraud dijelaskan secara ringkas melalui ungkapan Fraud by need, by

greed, and by opportunity (kecurangan terjadi karena kebutuhan, karena

serakah, dan karena ada peluang). Sedangkan menurut Cressey (1953) dalam

Suarcaya, Prayudi, Herawati (2017), mengatakan bahwa fraud disebabkan

oleh tiga faktor, yaitu pressure atau tekanan, oportunity atau kesempatan, dan

rationalization atau pembenaran. Fraud dapat dilakukan oleh siapa saja

termasuk pihak yang tidak memiliki jabatan tertentu sekalipun.

Kasus fraud telah berkembang di berbagai negara termasuk di

Indonesia. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) fraud

adalah bahaya laten yang mengancam dunia. ACFE sendiri mendefinisikan

fraud sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk

tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak

lain), dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk

mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan pihak lain. Laporan Association of Certified

Fraud Examiners (ACFE) tahun 2018 menunjukkan bahwa kerugian yang

2
dialami suatu organisasi karena fraud sekitar 5% dari pendapatan kotor suatu

organisasi.

Dikutip dari Jurnal Enterpreneur dalam judul artikelnya Kenali Fraud

Laporan Keuangan dan Praktiknya yang Merugikan Perusahaan, menjelaskan

bahwa bahkan di perusahaan-perusahaan raksasa yang dikenal memiliki

sistem pengawasan keuangan yang baik ternyata tak terlepas dari

aktivitas fraud. Kasus-kasus yang disebutkan antara lain yaitu, kasus Fraud

yang terjadi di perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat (AS) yaitu

Facebook dan Google. Kasus ini dilakukan oleh seorang pria yang bernama

Esvaldas Rimasauskas. Esvaldas didakwa melakukan tindak kejahatan

pencurian identitas, penipuan finansial, dan pencucian uang sepanjang 2013-

2015. Esvaldas melancarkan aksinya dengan metode Business Email

Compromise (BEC). Ia mengirimkan tagihan kepada kedua perusahaan

menggunakan email beridentitas Quanta Computer, perusahaan manufaktur di

Taiwan, lengkap dengan dokumen dan surat kontrak yang dipalsukan. Pria

berusia 50 tahun tersebut melakukan penipuan dengan total kerugian

mencapai US$ 122 juta. Masing-masing Facebook US$ 99 juta dan Google

US$ 23 juta. Berdasarkan data FBI, total kerugian yang dialami perusahaan di

seluruh dunia melalui penipuan BEC mencapai US$ 12,5 miliar.

Disisi lain terdapat juga skandal Fraudulent Statements yang dialami

oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terkait laporan keuangannya yang

mengklaim mencatatkan kinerja keuangan cemerlang pada 2018 lalu, dengan

3
laba bersih US$ 809 ribu atau sekitar Rp 11,33 miliar. Namun dua komisaris

perusahaan menolak menandatangani laporan keuangan karena menduga ada

kejanggalan pencatatan transaksi demi memoles laporan keuangan tahunan

2018. Dua komisaris tak sepakat dengan salah satu transaksi kerja sama

dengan PT Mahata Aero Teknologi, perusahaan rintisan (startup) penyedia

teknologi wifi on board, yang dibukukan sebagai pendapatan oleh

manajemen. Dari kasus itu Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan

peringatan tertulis III dan mengenakan denda sebesar Rp 250 juta kepada

Garuda Indonesia, serta menuntut perusahaan untuk memperbaiki dan

menyajikan laporan keuangan. Tak hanya itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

mengenakan denda masing-masing sebesar Rp 100 juta kepada Garuda

Indonesia dan seluruh anggota direksi. OJK juga mewajibkan perusahaan

untuk memperbaiki dan menyajikan kembali laporan keuangan 2018.

Selain terjadi di sektor swasta, fraud juga terjadi di sektor

pemerintahan. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)

Hasil survei menunjukkan bahwa fraud yang paling sering terjadi dan

menyebabkan kerugian terbesar di Indonesia adalah tindak pidana korupsi.

Selama tahun 2011, Polda Jateng mencatat ada 78 kasus korupsi dengan 86

tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian negara sebanyak

Rp34.612.637.000,00 jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010

yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu hanya 31 orang

dengan kerugian negara Rp23.693.274.000,00 (Suara Merdeka, 2011). Pada

4
tahun 2012, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

menduga ada penyelewengan penggunaan dana bantuan sosial oleh 12

kementrian. Menurut FITRA penyimpangan dan bansos terus meningkat yang

semula tahun 2010 sebesar Rp2,4 triliun untuk delapan kementrian sementara

tahun 2012 penyimpangan dana bansos mencapai Rp31,6 triliun di 12

Kementrian (Vivanews, 2012). Pertengahan tahun 2013. Hasil audit Badan

Pemeriksa Keuangan didampingi Direktur Investigasi dan Advokasi

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Indonesia (FITRA)

menyatakan bahwa di Jawa tengah ditemukan penyimpangan anggaran

sebesar Rp800,6 miliar dengan 4.070 kasus penyimpangan anggaran (Harian

Merdeka, 2013).

Sedangkan menurut Menurut Association of Certified Fraud

Examiners (ACFE) sendiri dari hasil survei fraud yang terjadi di Indonesia

pada tahun 2019 secara rata-rata keseluruhan kerugian adalah >Rp.10 milyar

akibat fraud yang paling banyak dialami oleh pemerintah sebanyak 20.8%,

organisasi / lembaga nirlaba sebanyak 17.4%, perusahaan swasta sebanyak

13.3%, organisasi / lembaga nirlaba lainnya sebanyak 13% dan perusahaan

BUMN sebanyak 11.1%. Menariknya untuk kerugian antara Rp.500 juta s.d

Rp.1 milyar akibat fraud paling banyak dialami oleh perusahaan swasta

sebanyak 24.5%, pemerintah sebanyak 23.4%, organisasi / lembaga nirlaba

dan nirlaba lainnya sama-sama sebanyak 17.4% dan perusahaan BUMN

sebanyak 15.9%. Hasil survei ini memberikan warning kepada perusahaan

5
swasta karena responden menyatakan bahwa perusahaan swasta dinyatakan

mengalami kerugian terbesar untuk nilai kerugian antara Rp500 juta s.d Rp1

milyar.

Di dalam perusahaan kasus fraud sering dilakukan oleh pihak

manajemen, kecurangan tersebut sering terjadi karena setiap perusahaan

dituntut untuk selalu melakukan perbaikan dalam kinerjanya. Kinerja

perusahaan yang baik dapat meningkatkan nilai dari perusahaan sehingga nilai

atau harga saham perusahaan akan ikut meningkat. Namun bila perusahaan

mengalami penurunan kinerja sehingga mengakibatkan laba yang dihasilkan

ikut menurun, maka manajemen akan cenderung melakukan kecurangan

sehingga nilai perusahaan tetap dalam kondisi yang baik atau dengan kata lain

yakni melakukan manipulasi laba. Manajemen laba merupakan tindakan kecil

dari Fraud (Puspatrisnanti, 2014). Manajemen laba timbul sebagai dampak

persoalan keagenan yaitu ketidakselarasan kepentingan antara manajer dan

pemilik perusahaan yang dikarenakan adanya asimetri informasi. Sedangkan

di bidang perbankan, Fraud dapat diartikan sebagai tindakan sengaja

melanggar ketentuan internal (kebijakan, sistem, dan prosedur) dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku demi kepentingan pribadi atau pihak lain

yang berpotensi merugikan bank dan pihak-pihak terkait baik material

maupun moril. Dari kasus-kasus yang pernah terjadi, Fraud di perbankan lebih

banyak melibatkan pihak internal bank. Data empiris menunjukkan bahwa

pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang dalam (Wolfe & Hermanson,

6
2004). Fraud akan dilakukan jika ada kesempatan dimana seseorang memiliki

akses terhadap aset atau memiliki wewenang untuk mengatur prosedur

pengendalian yang memperkenankan dilakukannya skema kecurangan.

Jabatan, tanggung jawab, maupun otorisasi memberikan peluang untuk

terjadinya Fraud (Lusy Suprajadi, 2009). Seperti yang sudah disinggung

sebelumnya, Fraud akan dilakukan jika ada kesempatan dimana seseorang

memiliki akses terhadap aset atau memiliki wewenang untuk mengatur

prosedur pengendalian yang memperkenankan dilakukannya skema

kecurangan. Artinya, ketika seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan

fraud, maka akan timbul perasaan dan dorongan untuk melakukan tindak

fraud dalam diri seseorang tersebut, bahkan ketika seseorang tersebut tidak

memiliki jabatan atau wewenang misalnya pegawai atau karyawan.

Menurut Sie Infokum dalam Andrian Budi Prasetyo (2011) bahwa

pelaku Fraud dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu

manajemen dan karyawan/pegawai. Pihak manajemen melakukan Fraud

biasanya untuk kepentingan perusahaan. Pihak karyawan/pegawai melakukan

Fraud bertujuan untuk keuntungan individu. Biasanya Fraud dilakukan oleh

karyawan karena menghadapi masalah keuangan secara pribadi dan dilakukan

karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal

perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut. Dengan perkataan

lain, sebagian besar pelaku Fraud adalah orang dalam perusahaan. Apabila

dikaitkan dengan model segitiga kecurangan, fakta ini relevan dengan teori

7
terjadinya Fraud antara lain harus ada kesempatan dan kesempatan umumnya

lebih dipahami oleh orang dalam termasuk manajer, karyawan, dan pihak-

pihak lainnya.

Karyawan memegang peranan penting dalam menentukan

keberhasilan perusahaan. Karyawan merupakan aset penting yang akan

mengarahkan perusahaan untuk mencapai tujuannya. Selain sebagai sumber

daya manusia yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu

perusahaan, disisi lain karyawan juga merupakan makhluk yang mempunyai

pikiran, perasaan kebutuhan dan harapan-harapan tertentu. Karyawan tentu

saja mengharapkan adanya timbal balik yang berupa Kompensasi atas

kontribusi yang sesuai dengan apa yang dilakukan karyawan terhadap

perusahaan. Kompensasi yang sesuai diyakini dapat mendorong karyawan

untuk meningkatkan kinerjanya sedangkan Kompensasi yang tidak sesuai

diyakini mampu mendorong karyawan untuk melakukan tindakan fraud.

Kemudian faktor lain yang mempengaruhi terjadinya fraud adalah

faktor moralitas. Moralitas diartikan sebagai sopan santun dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan etika atau sopan santun. Moralitas merupakan

pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan

salah berdasarkan standar moral (Noviriantini, Darmawan dan Werastuti

2015:3). Orang-orang yang memiliki tingkat penalaran moral rendah

cenderung melakukan hal-hal yang menguntungkan diri mereka sendiri dan

cenderung melakukan tindakan yang ilegal. Sebaliknya, orang yang memiliki

8
penalaran moral tingkat tinggi akan menghindari hal-hal yang dapat

menimbulkan sanksi hukum.

Menurut Eliza (2015), kecenderungan kecurangan juga dipengaruhi

oleh faktor-faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Individu yang memiliki

tingkat integritas tinggi cenderung jujur dan begitupula sebaliknya. Ini

didukung oleh sisi ketiga dari segitiga penipuan rasionalisasi. Rasionalisasi

adalah kondisi yang sangat sulit untuk diukur karena bagi mereka yang tidak

jujur mungkin lebih mudah untuk merasionalisasi tindakan penipuan.

Sebaliknya, mereka yang memiliki standar moral tinggi relatif tidak

melakukan penipuan.

Faktor budaya organisasi juga dapat mempengaruhi seseorang untuk

melakukan penipuan. Menurut Schein (1992:12) dalam Junaidi dan Susanti

(2019), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi

untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk pegawai yang mampu

beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota

organisasi. Adanya budaya organisasi yang kuat dan pola dukungan etis yang

tinggi akan memiliki pengaruh yang kuat dan positif pada perilaku karyawan.

Sehingga semakin tinggi budaya organisasi, maka dapat menekan tindakan

kecurangan yang dilakukan oleh karyawan ini karena budaya organisasi yang

baik dapat membentuk karyawan untuk memiliki rasa takut, dan memiliki rasa

bangga sebagai seseorang yang telah menjadi bagian dari suatu organisasi

9
(Sulistiyowati, 2007 ). Berdasarkan ini, peneliti membuat variabel budaya

organisasi sebagai proksi dari unsur rasionalisasi.

Junaidi dan Ubaidilah (2017) menguji moralitas sebagai variabel

moderat yang menjelaskan fraud. Hasil penelitian gagal membuktikan

interaksi moralitas dengan sistem kontrol internal dan kesesuaian kompensasi

dalam menjelaskan kecurangan di Kabupaten Pemekasan. Hasil penelitian

menggunakan eksperimen semu menyimpulkan bahwa ada interaksi antara

sistem kontrol dan kompensasi yang memiliki efek negatif signifikan terhadap

penipuan. Penelitian yang mendukung hipotesis ini dilakukan oleh Puspitasari

(2012), Dewi (2015), dan Krisdayanthi (2015). Puspitasari dan Suwardi

(2012) menyimpulkan bahwa sistem kontrol internal pada level moral

individu yang tinggi memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi

kecurangan akuntansi.

Hal lain yang membuat karyawan melakukan fraud adalah tekanan

yang disebabkan rendahnya tingkat kepuasan dalam pekerjaan (work related

pressure). Kepuasan Kerja dibentuk oleh imbal jasa yang diberikan pada

anggota organisasi atau karyawan yang telah memberikan kontribusi pada

organisasi (Budi Haryanto, 2008). Sementara itu menurut M. As’ad

(2003:102), faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja adalah faktor

utama dalam pekerjaan yang meliputi upah/gaji, pengawasan, ketentraman

kerja, kondisi kerja dan kesempatan untuk maju; faktor individual; dan faktor

sosial.

10
Kepuasan Kerja karyawan pada dasarnya sangat individualis dan

merupakan hal yang sangat tergantung pada pribadi masing-masing karyawan.

Kepuasan Kerja merupakan sikap secara umum yang lebih diwarnai oleh

perasaan terhadap situasi dan lingkungan kerja serta merupakan pencerminan

dari kepuasan seorang karyawan terhadap kondisi yang berkaitan dengan

pelaksanaan pekerjaan. Tinggi atau rendahnya tingkat Kepuasan Kerja

karyawan tergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dengan apa

yang diharapkan. Apabila yang didapat karyawan lebih rendah daripada yang

diharapkan maka akan menyebabkan tingkat kepuasan karyawan menjadi

rendah. Ketidakpuasan para karyawan ini menimbulkan hal-hal yang tidak

diinginkan dan dapat merugikan perusahaan yang bersangkutan, misalnya:

adanya aksi mogok kerja, pengunduran diri oleh karyawan meningkat,

turunnya kinerja karyawan, melakukan tindakan curang, dan lain-lain. Tinggi

atau rendahnya Kepuasan Kerja yang dirasakan oleh karyawan dapat dilihat

pula dari banyaknya jumlah absensi dan jumlah karyawan yang keluar dan

masuk yang terjadi di perusahaan tersebut. Semakin tinggi jumlah karyawan

yang keluar dari perusahaan, maka tingkat kepuasan karyawan dalam bekerja

rendah karena karyawan merasa tidak cocok bekerja di perusahaan.

Penelitian lain yang menguatkan keuasan kerja sebagai faktor dari

terjadinya fraud adalah penelitian dari Simanjuntak (2007: 107) dalam

Oktaviana (2016), yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi mental seseorang untuk melakukan tindakan curang seperti

11
kepuasan gaji. Kepuasan gaji dapat diartikan bahwa seseorang akan merasa

puas dengan upah yang didapat, ketika persepsi gaji yang mereka peroleh

sudah sesuai dengan apa yang mereka harapkan (Sulistiyowati, 2007). Jika

gaji diterima kecil, kecenderungan untuk melakukan penipuan akan

meningkat. Meskipun sebaliknya, jika gaji yang diterima besar, maka

kecenderungan melakukan penipuan akan rendah. Peneliti proksi elemen

insentif / tekanan sebagai variabel kepuasan gaji.

Di masa sekarang ini, hampir dari segala jenis bidang dan aktivitas

tidak terlepas dari bentuk tindak fraud. Semua organisasi, apapun jenis,

bentuk, skala operasi dan kegiatannya memiliki risiko terjadinya fraud atau

kecurangan. Fraud dapat menimbulkan banyak kerugian seperti hancurnya

reputasi organisasi, kerugian organisasi, kerugian keuangan negara, dan

rusaknya moril karyawan. Organisasi yang paling sering terjadi praktik

kecurangan adalah organisasi keuangan, seperti perusahaan retail. Menurut

Gilbert retail ialah segala usaha bisnis yang secara langsung memfokuskan

kemampuan pemasarannya untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan

organisasi penjualan barang dan jasa sebagai inti dari distribusi. Terdapat

banyak sekali perusahaan retail di Indonesia, diantaranya Alfa express,

Alfamidi, Hypermart, Transmart, PT. Indomarco, dan belum lagi dealer

kendaraan yang sangat banyak tersebar di Indonesia misalnya saja Dealer

Honda, Dealer Yamaha, Dealer Suzuki dan masih sangat banyak lagi.

12
Kecurangan karyawan adalah salah satu masalah krusial yang sering

dihadapi para pebisnis. Menurut survei yang dilakukan sebuah perusahaan

konsultan Jack L. Hayes International, 1 dari 40 karyawan ditangkap karena

ketahuan mencuri di toko ritel majikannya. Survei tersebut juga mengungkap

bahwa kemungkinan seorang karyawan mencuri bisa mencapai 75% lebih

besar dibanding pihak luar. Dikutip dari Merdeka.com pada tahun 2017 lalu

Ditreskrimsus Polda Kalimantan Timur membongkar praktik Tindak Pidana

Pencucian Uang (TPPU), yang menyeret seorang kasir wanita dealer otomotif

di Samarinda berinisial LN (29). Kerugian perusahaan ditaksir mencapai

sekitar Rp 25 miliar. Kemudian kasus yang terjadi pada bulan Agustus lalu

Seorang karyawan sebuah dealer sepeda motor di Sampit Kabupaten

Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, berinisial YS ditangkap karena

dilaporkan menggelapkan uang pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan

(STNK). Jumlah yang ditilap mencapai Rp1,9 miliar (Merdeka.com).

Dari contoh kasus diatas, Kompensasi dan Kepuasan Kerja serta

Budaya dan Kesadaran Moralitas diduga memiliki kaitan yang erat dengan

Fraud. Kompensasi merupakan salah satu indikator dalam menentukan

tingkat kepuasan yang dirasakan oleh karyawan yang pada akhirnya turut

berperan pada niatan melakukan tindakan Fraud. Karel A. Leklikwati (2005)

dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kompensasi finansial dan

kompensasi non finansial teruji berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Kepuasan Kerja, dimana artinya bahwa semakin baik persepsi responden

13
terhadap kompensasi finansial dan kompensasi non finansial akan

menyebabkan tingginya Kepuasan Kerja. Kompensasi merupakan pemberian

balas jasa dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi, bonus, dan penghargaan

dari organisasi kepada karyawannya dengan balas jasa, karyawan akan dapat

memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoistiknya sehingga

memperoleh kepuasan dari pekerjaannya. Fraud umumnya terjadi karena

adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk

memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima

secara umum) terhadap tindakan tersebut. Motivasi melakukan Fraud, antara

lain motivasi ekonomi, alasan emosional misalnya iri/cemburu dan gengsi,

nilai (values), dan ada pula karena dorongan keserakahan karena perasaan

tidak puas terhadap apa yang diterima dari organisasi atau perusahaan. Jika

dipandang dari hal-hal tersebut maka jumlah Kompensasi yang merupakan

salah satu indikator dalam menentukan tingkat kepuasan yang dirasakan oleh

karyawan, pada akhirnya turut berperan mendorong niatan untuk melakukan

tindakan Fraud.

Utas studi menjelaskan kecurangan manajemen dengan

mempertimbangkan teori moral dan etika. Krisdayanthi (2015) membedakan

kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki penalaran moral tingkat

tinggi dan penalaran moral tingkat rendah. Penelitian ini menggunakan

penyesuaian kompensasi sebagai variabel moderasi. Hasil penelitian ini

14
menunjukkan ada perbedaan antara individu yang memiliki level moral tinggi

dan individu yang memiliki level moral rendah dalam penipuan akuntansi.

Studi ini mendukung temuan Maroney dan McDevitt (2008) bahwa

tingkat penalaran moral peserta dan pengaruh mereka yang dinilai dari

Sarbanes-Oxley Act secara signifikan terkait positif dengan jumlah kerugian

yang diakui melalui keputusan penyesuaian laporan keuangan mereka. Hasil

penelitian yang identik adalah Puspasari dan Suwardi (2012) yang

menyimpulkan bahwa kondisi elemen kontrol internal tidak mempengaruhi

individu dengan tingkat moral yang tinggi untuk cenderung tidak melakukan

kecurangan akuntansi. Sementara individu dengan level moral rendah

cenderung melakukan kecurangan akuntansi ketika tidak ada unsur

pengendalian internal. Moralitas adalah perilaku bawaan (dipengaruhi oleh

pola-pola saraf), yang tercakup oleh doktrin hak (kewajiban hukum) dan

doktrin kebajikan (tugas etis), dan harus memberikan kebaikan terbesar

(utilitarianisme).

Berdasarkan uraian kasus tersebut, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Kompensasi Budaya

Organisasi dan Moralitas Individu terhadap Fraud dengan Kepuasan

Kerja sebagai Variabel Intervening (study kasus pada usaha retail di Kota

Bima)”

15
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian kasus tersebut, maka peneliti memilih “Pengaruh

Kompensasi Budaya Organisasi dan Moralitas Individu terhadap Fraud

dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening (study kasus pada usaha

retail di Kota Bima)” sebagai rumusan penelitian ini

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Pengaruh Ko mpensasi terhadap Fraud yang dilakukan pegawai usaha

retail di Kota Bima.

2. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Fraud pegawai usaha retail di Kota

Bima.

3. Pengaruh Kompensasi terhadap Fraud melalui Kepuasan Kerja sebagai

variabel intervening.

4. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Fraud yang dilakukan pegawai

usaha retail di Mataram.

5. Pengaruh Moralitas Individu terhadap Fraud yang dilakukan pegawai

usaha retail di Mataram.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dan

pertimbangan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui pengaruh

16
Kompensasi Budaya Organisasi dan Moralitas Individu terhadap Fraud

dengan Kepuasan Kerja sebagai variabel intervening.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan agar hasil penelitian dapat digunakan untuk diterapkan di

praktik nyata atau paling tidak dapat digunakan untuk memperbaiki

praktek yang sudah ada dengan lebih baik.

3. Manfaat Kebijakan

Bagi usaha retail yang ada di Kota Bima, sebagai faktor pertimbangan

untuk menentukan kebijakan usahanya dalam upaya pencegahan

kecurangan dengan pemberian Kompensasi yang sesuai dan peningkatan

Kepuasan Karyawan.

17
DAFTAR PUSTAKA

2019. Mengatasi Bentuk Kecurangan Yang Sering Terjadi Pada Suatu Perusahaan

Media Rob’s Jobs di https://media.robsjobs.co/mengatasi-bentuk-kecurangan-

yang-sering-terjadi-pada-suatu-perusahaan/ (akses 1 Oktober 2019)

2018. Overview Fraud Di Indonesia (1) & (2) Binus University Graduate Program

Master of Accounting di https://maksi.binus.ac.id/2018/10/02/overview-fraud-

di-indonesia-1/ (akses 1 Oktober 2019)

ACFE Indonesia Chapter #111. (2019). Survai Fraud Indonesia, Association of

Certified fraud Examiners.

Aditya N, 2017. Kasir dealer di Samarinda tilap uang perusahaan Rp 25 miliar

Merdeka.com di https://www.merdeka.com/peristiwa/kasir-dealer-di-

samarinda-tilap-uang-perusahaan-rp-25-miliar.html

Fadil I, 2020. Karyawan Dealer Gelapkan Rp1,9 M Uang Pengurusan STNK, Dipakai

Wisata ke Singapura Merdeka.com di

https://www.merdeka.com/peristiwa/karyawan-dealer-gelapkan-rp19-m-uang-

pengurusan-stnk-dipakai-wisata-ke-singapura.html?page=2

Haryanti D, BM. Nuryatno M. 2018. PENGARUH KOMPENSASI KARYAWAN DAN

KEPUASAN KERJA TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN

PERBANKAN. 4(2)

Irwansyah. Syufriadi B. 2018. PENGARUH EFEKTIVITAS PENGENDALIAN

INTERNAL, KESESUAIN KOMPENSASI, MORALITAS MANAJEMEN,

18
KETAATAN ATURAN AKUNTANSI, DAN ASIMETRI INFORMASI

TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN AKUNTANSI. 8(2)

Junaidi. Ambari S. 2019. CULTURE AND ITS EFFECT ON FRAUD WITH

INTERVENING MORALITY VARIABLE. 2(1)

Nurhayat W, 2020. Kenali Fraud Laporan Keuangan dan Praktiknya yang Merugikan

Perusahaan Jurnal.id di https://www.jurnal.id/id/blog/kenali-fraud-laporan-

keuangan-dan-praktik-yang-merugikan-

perusahaan/#Kasus_Fraud_di_Perusahaan_Raksasa

Ramadhani ZP. Rahardjo M. 2017. ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI DAN

LINGKUNGAN KERJA FISIK TERHADAP LOYALITAS KERJA KARYAWAN

MELALUI KEPUASAN KERJA KARYAWAN SEBAGAI VARIABEL

INTERVENING (Studi pada Kantor Direksi PT Perkebunan Nusantara IX

Divisi Tanaman Tahunan). 6(4)

Oktavia TA. Sayekti Y. Prasetya W. 2018. The Effect of Compensation to Detection

Fraud in Village Government (Empirical Study on Sub-District of Pasirian,

District Of Lumajang). 4(6)

19

Anda mungkin juga menyukai