Anda di halaman 1dari 15

STUDI KASUS FRAUD DAN PENYELEWENGAN ASET

Disusun Oleh

I Nyoman Mawa 193010303001


Mega Santia 193010303006
Patricia Aurora Oktribella 193030303146
Rally Sudrajat 193020303053
Regina Maria 193030303192
Sela Sapitri 193010303013
Tria Puspita Sari 193010303002

Dosen Pengampu
Ferry Christian, SE., Ak., M.Si., CA., ACPA

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Fraud merupakan penghambat dalam jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Fraud
sebagai suatu tindakan ilegal yang dicirikan dengan memanipulasi yang disengaja,dilakukan untuk
manfaat atau kerugian organisasi oleh orang luar maupun dalam organisasi. Di masa pandemi Covid-
19, banyak perusahaan yang sedang berjuang mempertahankan keberlangsungan usaha dan operasional
perusahaan. Namun pada saat pandemi ini juga, pimpinan dari berbagai perusahaan menilai kejadian
fraud dan penyelewengan aset semakin meningkat.
Menurut ACFE (Association Of Certifield Fraud Examiners) dalam Novia Tri Kurniasari, et. Al
(2018) fraud digolongkan dalam tiga jenis yaitu, (1) kecurangan dalam laporan keuangan adalah
kecurangan dengan cara menyembunyikan informasi keuangan, mengatur laporan keuangan dan
mengubah laporan keuangan dengan tujuan mengelabui pembaca laporan keuangan untuk keuntungan
pribadi atau kelompok, (2) penyalahgunaan asset adal kecurangan dengan cara menggunakan atau
mengambil aset perusahaan untuk kepentingan pribadi , dan (3) korupsi adalah kecurangan dengan
menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Jadi dapat disimpulkan segala perbuatan yang dapat merugikan perusahaan atau organisasi demi
keuntungan pribadi atau kelompok dapat dikatakan sebagai fraud. Pada kondisi integritas
rendah,kontrol yang lemah, akuntabilitas yang rendah dan tekanan yang tinggi menjadi peluang
seseorang untuk tidak jujur. Fraud yang terjadi tentu akan merusak nama baik pemerintah pusat yang
menjadi wadah induk pertanggungjawaban maupun nama baik pemerintah daerah yang terindikasi
melakukan kecurangan.
Hasil survei kantor akuntan publik dan konsultan RSM Indonesia menunjukkan bahwa kasus
penipuan atau fraud dan penyelewengan aset meningkat selama masa pandemi COVID-19. Berbagai
bentuk penyelewengan aset terjadi mulai dari pencurian uang tunai, penyelewengan kuitansi kas,
kecurangan saat pencairan, penyalahgunaan inventori aset perusahaan. Ancaman risiko fraud ini terjadi
melalui serangan siber seiring dengan intensifnya menggunakan teknologi informasi saat Work From
Home. Selama masa pandemi covid-19 ini seluruh aktifitas dilakukan dari rumah saja, tidak menutup
kemungkinan untuk beberapa pegawai atau karyawan melakukan fraud atau kecurangan demi
memenuhi kepentingan mereka sendiri.
“Berdasarkan hasil survei terhadap ancaman organisasi selama pandemi COVID-19, 80 persen
instead of responden menyatakan bahwa penipuan atau fraud selama pandemi meningkat secara drastis,
35 persen menegaskan bahwa penyelewengan aset telah terjadi di organisasi mereka selama pandemi,
dan 56 persen menyatakan pendapatan organisasi mereka paling terpengaruh oleh pandemi ini,” kata
Head of Consulting RSM Indonesia Angela Simatupang dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Praktik fraud tersebut diakui oleh 36 persen responden mengakibatkan kerugian finansial dan 35
persen responden lainnya menyoroti risiko reputasi dan 25 persen responden percaya fraud membuat
operasional perusahaan terganggu. Sebanyak 46 persen responden menyebut manajemen level
menengah institusi mereka rentan dengan praktik fraud.
Dampak terbesar dari masa pandemi ini adalah terganggu nya masalah ekonomi bagi seluruh
masyarakat, sehingga itu juga merupakan suatu pemicu untuk mereka melakukan fraud, dalam kasus
seperti ini perusahaan harus mampu untuk mempertahankan berjalannya kegiatan usaha.perusahaan
harus mampu untuk memilah tenaga pekerja yang memang dibutuhkan oleh perusahaan, untuk
membantu perusahaan agar tetap dapat berjalan seperti biasanya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Pengertian Fraud
Fraud didefinisikan dengan berbagai makna sebagai berikut : (1) Kecurangan, (2) Kebohongan, (3)
Penipuan (4) Kejahatan (5) Manipulasi data (6) Melanggar Kepercayaan (7) Rekayasa Informasi (8)
Mengubah Opini Publikdengan memutarbalikan data yang ada (9) Menghilangkan Barang bukti
dengan sengaja

2.1.2 Unsur Fraud (Kecurangan)


Fraud memiliki unsur – unsur sebagai berikut : (1) Terdapat salah saji (misrepresentasi), (2) Masa
lampau (post) atau sekarang (present), (3) Fakta bersifat material, (4) Kesengajaan atau tanpa
perhitungan (make-knowingly or recklessly), (5) Dengan maksud (intens) (6) Ada yang dirugikan dari
salah saji tersebut, (7) Menimbulkan kerugian, (8) menguntungkan pelaku ataupihak lain yang terkait
dengan pelaku.

2.1.3 Jenis-Jenis Fraud


Dalam Diaz Priantara (2013), Association of Certifield Fraud Examiners (ACFE) merupakan salah satu
asosiasi di Amerika Serikat yang kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan,
mengkategorikan fraud dalam 3 kelompok sebagai berikut :
1. Penyimpangan atas aset (Asset misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan, penggelapan, atau pencurian aset atau harta
perusahaan oleh pihak di dalam dan/atau pihak luar perusahaan. Fraud jenis ini merupakan
bentuk fraud yang klasikal dan seharusnya paling mudah dideteksi karena sifatnya yang
berwujud (tangible) atau dapat diukur dan dihitung (defined value). Pengungkapan Asset
Misappropriation dilakukan dengan mengkombinasikan teknik auditing dengan teknik
investigasi. Kedua teknik tersebut memiliki porsi yang seimbang dalam penanganan kasus
Asset Misappropriation.
2. Pernyataan atau pelaporan yang menipu atau dibuat salah (Fraudulent Statement)
Fraudulent statement seringkali diidentikkan sebagai manajemen fraud atau fraud yang
dilakukan manajemen sebab mayoritas pelaku memang berada pada tingkat atau kedudukan lini
manajerial (pejabat atau eksekutif dan manajer senior). Fraudulent statement meliputi tindakan
yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif dan manajer senior suatu perusahaan atau instansi
pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa
keuangan atau mempercantik penyajian laporan keuangan guna memperoleh keuntungan atau
manfaat pribadi mereka terkait dengan kedudukan dan tanggungjawabnya
3. Korupsi (Corruption)
Termasuk didalam jenis korupsi adalah penyalahgunaan wewenang atau konflik kepentingan
(conflict of interest), penuyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/legal (illegal gratuities)
yang lebih dikenal sebagai hadiah dan gratifikasi yang terkait dengan hubungan kerja dan
jabatan, dan pemerasan secara ekonomi atau lebih dikenal sebagai pungutan liar. Jenis fraud ini
yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain atau kolusi. Fraud
jenis ini seringkali tidak dapat dideteksi karena pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisme). Untuk mengungkapkan korupsi, auditor seharusnya memiliki
ketrampilan dan pengalaman melakukan investigasi sebab porsi teknik investigasi dalam
mengungkapkan korupsi lebih dominan ketimbang auditing.
Sedangkan Standar Auditing Seksi 316 dalam Diaz (2013) mengklasifikasikan fraud ke dalam dua jenis
sebagai berikut :
1. Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation)
Dalam perspektif standar auditing 316, fraud ini akan dievaluasi potensi resiko
keterjadiaannya dan apabila terjadi akan dievaluasi implikasinya terhadap laporan keuangan,
berupa salah saji yang material pada laporan keuangan. Salah saji tersebut adalah salah saji
yang timbul dari perilaku yang tidak semestinya terhadap aktiva entitas yang dapat berakibat
laporan keuangan tidak disajikan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum. Perlakuan tidak
semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
penyalahgunaan, penggelapan, pencurian aktiva atau pemalsuan. Perlakuan tidak semestinya
terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan
dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga.
2. Pembuatan pernyataan atau pelaporan yang dipalsukan atau salah (Fraudulent Statement)
Salah saji yang timbul dari fraud dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau
penghilangan secara sengaja suatu jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk
mengelabui pemakai laporan keuangan. Fraud ini berupa :
• Manipulasi, pemalsuan, perubahan catatan akuntansi dan/ atau dokumen pendukungnya
• Representasi yang salah atau penghilangan peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan
dari laporan keuangan
• Penerapan yang salah secara sengaja mengenai prinsip akuntansi (jumlah, klasifikasi,
penyajian, pengungkapan)

2.1.4 Faktor Penyebab Fraud


Semua organisasi baik organisasi pemerintah maupun perusahaan swasta memiliki resiko mengalami
fraud yang berdampak cukup fatal, seperti hancurnya reputasi organisasi, kerugian organisasi, kerugian
keuangan Negara, rusaknya moril karyawan serta dampak-dampak lainnya. Maraknya berita mengenai
investigasi terhadap indikasi penyimpangan fraud di dalam perusahaan dan juga pengelolaan keuangan
negara menandakan bahwa fraud telah menjadi masalah serius. Banayk hal yang dapat menyebabkan
fraud terjadi di dalam organisasi seperti dalam Karyono (2013),ACFE mengelompokan penyebab fraud
kedalam dua bentuk sebagai berikut :
a) Intern fraud yaitu fraud yang terjadi secara alamiah yang melekat dalam setiap bentuk kegiatan
dimana seseorang dimungkinkan untuk melakukan fraud.
b) System control fraud yaitu fraud yang terjadi karena lemahnya sistem pengendalian dan
biasanya pelaku mempunyai pengetahuan tentang bagaimana suatu sistem pengendalian intern
bekerja.
Sedangkan G.Jack Bologna dalam Diaz (2013) menjelaskan penyebab fraud ke dalam teori GONE
yaitu:
1. Greed (keserakahan)
Berkaitan dengan perilaku serakah yang potensial ada dalam diri setiap orang. Hal yang
berhubungan dengan keserakahan (Greed) adalah moral yang sangat rendah. Disebut moral
yang sangat rendah karena serakah berkaitan dengan perbuatan fraud yang pasti dilakukan
sudah berulangkali sehingga dianggap hal biasa dan bukan merupakan sesuatu perbuatan yang
salah serta sudah melampaui batas kebutuhan dasar manusia.
2. Oppurtunity (kesempatan)
Berkaitan dengan keadaan organisasi, instansi, masyarakat yang sedemikian rupa sehingga
terbuka bagi seeorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya. Kesempatan (opportunity)
untuk melakukan fraud tergantung pada kedudukan pelaku terhadap objek fraud. Kesempatan
untuk melakukan fraud selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada yang mempunyai
kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum manajemen suatu organisasi/perusahaan
mempuyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan fraud daripada karyawan.
3. Need (kebutuhan)
Berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya
secara wajar. Hal ini menyangkut motivasiyang berhubungan dengan kebutuhan (Need) yang
mendorong pikiran dan keperluan pegawai/pejabat yang memiliki akses atau otoritas terhadap
asset yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja. Dalam hal orang tersebut
merasa tertekan oleh kebutuhannya maka ia dapat terdorong untuk melakukan fraud.
4. Exposure (pengungkapan)
Berkaitan dengan kemungkinan dapat diungkapnya suatu kecurangan dan sifat serta beratnya
hukuman terhadap pelaku kecurangan. Pengungkapan (exposure) suatu fraud belum menjamin
tidak terulangnya fraud baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh sebab
itu, setiap pelaku fraud seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap. Semakin
besar kemungkinan suatu kecurangan dapat diungkapkan, semakin kecil dorongan seseorang
untuk melakukan kecurangan. Semakin berat hukuman kepada pelaku kecurangan akan
semakin kurang dorongan seseorang untuk melakukan kecurangan.
Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku fraud
(disebut juga faktor individual). Keserakahan dan kebutuhan merupakan hal yang bersifat
sangat personal sehingga sulit sekali dapat dihilangkan. Sedangkan factor Oppurtunity dan
Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan
fraud (disebut juga faktor generik/umum).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1.1 Tujuan dan Manfaat Mendeteksi Kecurangan (Fraud)


Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatan– kegiatan berikut : (1) Menelaah
dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur
pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang
efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal, (2) Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana
dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen, (3) Memastikan seberapa jauh harta
perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk
pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan, (4) Memastikan bahwa pengelolaan data yang
dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya, (5) Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam
melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen, (6) Menyarankan perbaikan-perbaikan
operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas.
Dengan memahami gejala kecurangan (Red Flags) manajemen dapat mengidentifikasikan kondisi
kecurangan yang kemungkinan besar akan terjadi atau telah terjadi. Dengan belajar dari kecurangan
yang pernah terjadi,maka kecurangan dapat sedini mungkin ditangani oleh manajemen atau internal
auditor.
 
3.1.2 Ruang Lingkup Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Ruang lingkup mendeteksi kecurangan (Fraud) adalah Peran dan Tanggung Jawab Internal Auditor
dalam masalah kecurangan terdapat 4 pilar utama dalam memerangi kecurangan yaitu Pencegahan
kecurangan (fraud prevention), Pendeteksian dini kecurangan (eraly fraud detection), Investigasi
kecurangan (fraud investigation), Penegakan hukum atau penjatuhan sanksi (follow-up lega action).
Berdasarkan 4 pilar utama dalam rangka memerangi kecurangan tersebut, peran penting dari internal
auditor dalam ikut membantu memerangi perbuatan kecurangan khususnya mencakup
adalah Preventng Fraud (mencegah kecurangan), Detecting Fraud (mendeteksi
kecurangan), Investigating Fraud (melakukan investigasi kecurangan).

3.1.3 Pendeteksian Kecurangan


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, resiko yang dihadapi perusahaan diantaranya adalah Integrity risk,
yaitu resiko adanya kecurangan oleh manajemen atau pegawai perusahaan, tindakan illegal, atau tindak
penyimpangan lainnya yang dapat mengurangi nama baik / reputasi perusahaan di dunia usaha, atau
dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adanya
resiko tersebut mengharuskan internal auditor untuk menyusun tindakan pencegahan / prevention untuk
menangkal terjadinya kecurangan sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya.
Namun, pencegahan saja tidaklah memadai, internal auditor harus memahami pula bagaimana cara
mendeteksi secara dini terjadinya kecurangan-kecurangan yang timbul. Tindakan pendeteksian tersebut
tidak dapat di generalisir terhadap semua kecurangan. Masing-masing jenis kecurangan memiliki
karakteristik tersendiri, sehingga untuk dapat mendeteksi kecurangan perlu kiranya pemahaman yang
baik terhadap jenis-jenis kecurangan yang mungkin timbul dalam perusahaan.
Sebagian besar bukti-bukti kecurangan merupakan bukti-bukti tidak sifatnya langsung. Petunjuk
adanya kecurangan biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms) seperti adanya
perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari
pelanggan ataupun kecurigaan dari rekan sekerja. Pada awalnya, kecurangan ini akan tercermin melalui
timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi / keadaan lingkungan, maupun perilaku
seseorang. Karakterikstik yang bersifat kondisi / situasi tertentu, perilaku / kondisi seseorang personal
tersebut dinamakan Red flag (Fraud indicators).
Meskipun timbulnya red flag tersebut tidak selalu merupakan indikasi adanya kecurangan, namun
red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan yang terjadi. Pemahaman dan analisis
lebih lanjut terhadap Red flag tersebut dapat membantu langkah selanjutnya untuk memperoleh bukti
awal atau mendeteksi adanya kecurangan. Berikut adalah gambaran secara garis besar pendeteksian
kecurangan berdasar Asset Misappropriation (Penyalahgunaan aset).

Asset Misappropriation (Penyalahgunaan aset).


Teknik untuk mendeteksi kecurangan-kecurangan kategori ini sangat banyak variasinya. Namun,
pemahaman yang tepat atas pengendalian intern yang baik dalam pos-pos tersebut akan sangat
membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan. Dengan demikian, terdapat banyak
sekali teknik yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan aset. Masing-
masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda.
Misalnya, untuk mendeteksi kecurangan dalam pembelian ada beberapa metode deteksi yang
dapat digunakan. Metode-metode tersebut akan sangat efektif bila digunakan secara kombinasi
gabungan, setiap metode deteksi akan menunjukkan anomalies / gejala penyimpangan yang dapat
diinvestigasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu, metode-metode
tersebut akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam pengendalian intern dan mengingatkan /
memberi peringatan pada auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa mendatang.
1. Analytical review
Suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan ketidak biasaan atau kegiatan-
kegiatan yang tidak diharapkan. Sebagai contoh adalah perbandingan antara pembelian barang
persediaan dengan penjualan bersihnya yang dapat mengindikasikan adanya pembelian yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah biala dibandingkan dengan tingkat penjualannya. Metode
analitis lainnya adalah perbandingan pembelian persediaan bahan baku dengan tahun sekarang
yang mungkin mengindikasikan adanya kecurangan overbilling scheme atau kecurangan
pembelian ganda.
2. Statistical sampling
Sebagaimana persediaan, dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk
menentukan ketidakbiasaan (irregularities), metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan
terhadap satu attributnya, misalnya pemasok fiktif. Suatu daftar alamat PO BOX akan
mengungkapkan adanya pemasok fiktif
3. Vendor or outsider complaints
Komplain / keluhan dari konsumen, pemasok, atau pihak lain merupakan alat deteksi yang baik
yang dapat mengarahkan auditor untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
4. Site visit – observation
Observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan ada tidaknya pengendalian intern di lokasi-
lokasi tersebut. Observasi terhadap bagaimana transaksi akuntansi dilaksanakan kadangkala
akan memberi peringatan pada CFE akan adanya daerah-daerah yang mempunyai potensi
bermasalah
Dalam banyak kasus kecurangan, khususnya kasus pencurian dan penggelapan aset, biasanya terdapat
tiga faktor, yaitu:
a. ada satu tekanan pada seseorang, seperti kebutuhan keuangan,
b. adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan dan menyembunyikan kecurangan yang
dilakukan,
c. adanya cara pembenaran perilaku tersebut yang sesuai dengan tingkatan integritas pelakunya,
Ada tiga elemen dalam struktur pengendalian intern yang perlu diperhatikan dengan baik, yaitu
Lingkungan pengendalian, Sistem akuntansi, dan prosedur pengendalian, dengan rincian sebagai
berikut:
Control Environment Accounting System Control Procedures

Management Philosophy and style Validity Separation of duties

Organization Structure Authorization Proper procedures for authorization

Audit Committee Completeness Adequate documents and records

Communication methods Valuation Physical control over asssets and records

Internal audit function Classification Independent checks on performance

Personnel policies and procedures Timing

Jika struktur internal control sudah ditempatkan dan berjalan dengan baik, peluang adanya kecurangan
yang tak terdeteksi akan banyak berkurang. Pemeriksa kecurangan harus mengenal dan memahami
dengan baik setiap elemen dalam struktur pengendalian intern agar dapat melakukan evaluasi dan
mencari kelemahannya.

3.1.4. Solusi mencegah terjadinya Fraud


1. Menggunakan Software yang Accountable
Penggunaan software khusus dapat meningkatkan efisiensi kerja dan juga efisiensi pengawasan
kerja. Penggunaan software ini juga harus memiliki 2 syarat yang harus dipenuhi yang pertama,
terintegrasi satu sama lain pada internal perusahaan agar mempercepat transfer data dan
pengawasan data. Hal ini diperlukan untuk mengetahui atau melacak jika ada karyawan yang
hendak melakukan manipulasi.
Kedua, adanya jaminan kerahasiaan dokumen penting. Fraud sering sekali terjadi karena
adanya kebocoran password, untuk itu sistem keamanan software harus terpercaya dengan
desain yang harus sejalan dengan kepentingan perusahaan. Sehingga tidak mudah untuk
dilakukan kecurangan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Software ini juga dapat
membantu perusahaan untuk membangun akuntabilitas secara efisien.
2. Memperketat Pelaksanaan SOP
Pengabaian SOP ini mungkin sekali terjadi ketika karyawan ataupun manajer hanya berfokus
pada target sehingga melewatkan beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Pengabaian SOP oleh karyawan dapat mengakibatkan arah perusahaan tidak dapat terkendali
dan akan memunculkan celah untuk melakukan fraud.
Untuk mencegah terjadinya fraud SOP pada perusahaan harus lebih diperketat dengan cara
mewajibkan karyawan untuk disiplin dalam menjalankan tugas, dengan begitu tindakan fraud
dapat lebih mudah terdeteksi.
3. Menciptakan Kultur Perusahaan yang Baik
Dengan menggunakan software accountable dan pengetatan SOP, peluang untuk terjadinya
fraud akan semakin kecil. Tetapi, tidak menutup kemungkinan fraud dapat terjadi. Mungkin
saja pelaku dapat menemukan celah setelah mempelajari software atau SOP yang berlaku.
Jika dengan menggunakan software accountable dan pengetatan SOP tidak berhasil ada
cara lain untuk menghindari terjadinya fraud yaitu dengan membangun kultur perusahaan yang
baik. Dengan membangun kultur perusahaan yang baik dapat menjadikan karyawan memiliki
rasa solidaritas yang tinggi sehingga tidak terjadi degradasi moral yang berujung pada kriminal
dalam bentuk fraud.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, perusahaan senantiasa menghadapi berbagai resiko yang
dinamakan resiko bisnis (bussiness risk). Termasuk diantaranya adalah resiko terjadinya kecurangan
(fraud) yang tergolong dalam resiko integritas (Integrity Risk). Menurut ACFE, kecurangan yang
terjadi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori kecurangan, kecurangan laporan keuangan (Financial
Statement Fraud), penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation), dan korupsi (Corruption).
Tanda-tanda awal (symptoms) biasanya muncul dalam kasus kecurangan, walau demikian
munculnya symptoms tersebut belum berarti telah terjadi kecurangan. Symptoms ini dikenal dengan
nama Red flag, yang seyogyanya dipahami dan digunakan oleh internal auditor dalam melakukan
analisis dan evaluasi lebih lanjut untuk mendeteksi adanya kecurangan yang mungkin timbul sebelum
dialakuakan investigasi.
Setelah memahami jenis-jenis kecurangan, internal auditor perlu memahami secara tepat struktur
pengendalian intern yang baik agar dapat melakukan upaya-upaya untuk mencegah dan mendeteksi
kecurangan. Menurut COSO, struktur pengendalian intern terdiri atas lima komponen, yaitu
Lingkungan Pengendalian (Control Environment), Penaksiran Risiko (Risk Assessment), Standar
Pengedalian (Control Activities), Informasi Dan Komunikasi (Information And Communication), serta
Pemantauan (Monitoring).
Jika struktur internal control sudah ditempatkan dan berjalan dengan baik, peluang adanya
kecurangan yang tak terdeteksi akan banyak berkurang. Pemeriksa kecurangan harus mengenal dan
memahami dengan baik setiap elemen dalam struktur pengendalian intern agar dapat melakukan
evaluasi dan mencari kelemahannya.
DAFTAR PUSTAKA

https://sniconsulting.co.id/2020/10/15/bentuk-dan-cara-menghindari-fraud-kecurangan-di-perusahaan/

https://www.inspektorat.waykanankab.go.id/detailpost/upaya-mendeteksi-kecurangan-fraud

Anda mungkin juga menyukai