Anda di halaman 1dari 15

Abu Sulaiman ad-Darani, Saksi yang melihat

Bidadari

Bidadari, siapakah dia ?

Selalunya menarik bila membicarakan dunia bidadari. Mereka adalah makhluq yang
Allah ciptakan sempurna tanpa cela. Semua orang mengimpikan bisa bersanding
dengannya. Hati kan melayang mengangkasa karena kegirangan mendengar
keelokannya. Ketaajuban kan membuncah kala membaca sifat-sifat mereka. Serasa
ingin hidup bersama mereka dan tak berpisah tuk selamanya. Memandang mereka bisa
memancarkan rasa kedamaian. Anugerah kecantikan mereka membuat mata terpana
dan terpesona sembari berkata, “Maha suci Allah yang menciptakan kecantikan dan
keindahan..”

Semua sifat yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-sunah tentang bidadari yang bermata
jeli mungkin sudah dideskripsikan dengan jelas oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan
dinukil oleh Asy-Sya’rani dalam bukunya, ‘Tanbih Al-Mughtarrin.” Gambaran yang
membuat hati siapa pun menjadi tegang dan berdegup kencang. Beliau mengatakan,

“Jika kamu meminta mereka untuk menikah di jannah, mereka itu adalah para perawan
yang mengalir pada tubuh mereka darah muda. Seperti bunga mawar dan buah apel
yang tidak terbungkus dan seperti buah delima yang mulus. Matahari terbit dari
wajahnya yang indah dan kilat menyambar di antara sela-sela giginya ketika tersenyum.
Jika dia memeluk suaminya, dia akan memeluk seperti pelukan antara bumi dan
matahari. Jika dia berbicara, pmebicaraannya seperti seorang yang bercengkerama
dengan kekasihnya. Jika dipeluk, dia melekat seperti dua ranting yang saling bertautan.

Pipinya yang bening bisa digunakan untuk bercermin dan tulangnya yang putih kelihatan
dari balik dagingnya, jika kulit dan dagingnya tidak tertutupi. Jika dia melihat dunia,
maka antara langit dan bumi akan dipenuhi bau wanginya, sehingga mulut manusia
akan senantiasa membaca tahlil, takbir dan tasbih. Apa yang ada di barat dan timur
akan berdandan untuknya, dan setiap mata akan melihatnya dan terpejam untuk melihat
selainnya. Cahayanya akan meredupkan cahaya matahari seperti matahari yang
meredupkan cahaya bintang, dan akan beriman kepada Allah seluruh manusia yang ada
di atasnya.
Jilbab yang ada di atas kepalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya, hasrat untuk
menikahinya lebih besar daripada segalanya. Semakin lama waktu bertambah, dia akan
kelihatan semakin cantik dan indah. Semakin hari akan semakin bertambah cinta dan
erat. Dia tidak pernah haidh, melahirkan dan nifas. Suci dari kotoran, air ludah, kencing,
air besar dan kotoran lainnya.

Kegadisannya tidak akan pernah hilang dan muda selamanya. Kecantikannya tidak
pudar dan tidak ada rasa bosan untuk menggaulinya. Dia hanya ingin melayani
suaminya dan tidak pernah tertarik pada selainnya dan sebaliknya, sehingga dia
merupakan puncak ketenangan dan hawa nafsu.

Jika melihatnya akan menggembirakan dan jika diperintah untuk taat, dia pun
mentaatinya. Jika suaminya meninggalkannya, maka dia akan menjaga diri dan
keamanannya. Dia seorang perawan yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh
manusia atau jin, sehingga setiap kali melihatnya akan menimbulkan rasa gembira.
Setiap kali berbicara dengannya, seakan di telinga dipenuhi permata yang indah. Jika
dia telanjang (upss. Astaghfirullah…), seluruh istana dan ruangan penuh dengan
cahaya.

Jika kamu bertanya tentang usia


Dia usianya masih sangat muda
Jika bertanya tentang kecantikan
Pernahkah kamu melihat matahari dan bulan?
Jika kamu bertanya tentang matanya,
Seperti warna paling hitam di tempat yang paling putih (sangat jelita)
Jika kamu bertanya tentang bentuk tubuhnya
Pernahkah anda melihat pohon yang langsing
Jika kamu bertanya tentang buah dadanya,
Ia seperti buah delima yang lembut
Jika kamu bertanya tentang warna kulitnya
Dia seperti yakut dan marjan

Bagaimana bayangan anda ketika wanita tersenyum di hadapan suaminya, maka


jannah pun menjadi terang dengan senyumannya. Jika dia pindah dari satu istana ke
istana yang lain, anda akan mengatakan matahari berpindah dari satu poros ke poros
yang lainnya. Jika suaminya tiba, alangkah mesra sambutannya. Jika ia memeluk
betapa hangat pelukannya.
Jika dia bernyanyi, suaranya terasa nikmat di telinga dan mata. Jika dia merayu dan
merajuk, rayuan dan rajukannya terasa nikmat. Jika dia memeluk, tidak ada pelukan
yang lebih hangat darinya. Dan jika dia memberi sesuatu atau menerima, tidak ada cara
sebaik yang dilakukannya.”   (wah serius banget mbacanya, rehat dulu donk….nah,
sekarang lanjutin mbacanya *_* ).

Dialah Sa’ad As-Sulami (Rasulullah SAW memanggilnya Julabib), seorang tokoh pemuda
diantara sahabat Rasul yang berasal dari keluarga terpandang di kabilahnya bani Sulaim.
Namun, ia sedikit berbeda dengan keluarganya karena ia berkulit hitam sehingga mereka (bani
Sulaim) menolak keberadaan Julabib. Sehingga suatu hari ia datang menghadap Rasulullah saw
untuk bertanya,

“Ya Rasulallah, apakah hitamnya kulit dan buruknya wajahku dapat menghalangiku masuk
surga?” “Tidak, selama engkau yakin kepada Rabbmu dan membenarkan Rasul dan risalah
yang dibawanya…” jawab Rasulullah SAW. Kemudian Julabib menegaskan, “Demi Allah,
sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan engkau
adalah hamba serta Rasul-Nya. Akan tetapi ya Rasulullah, aku telah mencoba melamar wanita
yang ada di sekitar sini dan yang jauh dari sini, dan mereka semua menolakku.”

Maka Rasulullah SAW menungkapkan, “Wahai kekasihku Julabib, maukah engkau aku nikahkan
dengan seorang wanita yang pandai dan cantik? Tahukah engkau rumah Amr bin Wahb dari bani
Tsaqif? Ia adalah orang yang baru masuk Islam dan memiliki putri yang pandai dan cantik.
Datanglah ke rumahnya dan katakan bahwa aku melamarkan putrinya untukmu.” Maka dengan
langkah gembira berangkatlah Julabib ke rumah Amr bin Wahb r.a. Setelah memberi salam dan
masuk, Julabib berkata, “Betulkah Tuan yang bernama Amr bin Wahb dari bani Tsaqif?”, “Betul,
siapakah Anda? Dan apa keperluan Anda datang menemuiku?” jawab Amr. “Aku Sa’ad As-
Sulami dari bani Sulaim, aku datang karena diutus oleh Rasulullah SAW untuk melamar
putrimu.” jawab Julabib. Keluarga Amr bin Wahb sangat senang mendengar berita itu, karena ia
mengira bahwa Rasulullah yang melamar putrinya. Maka Julabib pun menjelaskan, “Bukan
begitu Tuan, tetapi Beliau SAW memintamu untuk menikahkan aku dengan putrimu.” Amr bin
Wahb sontak terkejut dan berkata, “Kamu pasti berdusta!!!”

Mendengar ucapan yang keras dari Amr bin Wahb, Julabib pun pulang dengan wajah murung
untuk menemui Rasulullah. Sementara itu putri Amr bin Wahb yang mendengar percakapan tadi
berkata pada Ayahnya, “Hai Ayah, carilah selamat, carilah selamat! Jangan sampai Allah dan
Rasul-Nya murka dan kau akan dipermalukan dengan turunnya ayat dari langit tentang
perbuatanmu ini. Jika Allah dan Rasul-Nya rela aku menikah dengan orang itu, maka aku pun
rela menikah dengannya.” Amr bin Wahb pun bergegas pergi mengejar dan segera menemui
Rasulullah. Hingga keduanya menghadap kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah SAW
bertanya, “Inikah orang yang menolak lamaranku untuk kekasihku Julabib?” Amr bin Wahb
mengakui, “Benar ya Rasul, maafkan kekhilafanku karena aku mengira ia telah berdusta. Jika
memang engkau yang memerintahkan, maka aku rela menikahkan putriku dengan pemuda dari
bani Sulaim ini.” Seketika itu Rasulullah SAW pun memimpin pernikahan Sa’ad As-Sulami
(Julabib) dengan putri dari Amr bin Wahb bani Tsaqif. Kemudian Rasulullah saw. berkata pada
Julabib, “Pergilah pada beberapa orang Muhajirin, datanglah kepada Abdurrahman bin Auf,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.” Maka Julabib mendatangi mereka semuanya,
Abdurrahman bin Auf r.a memberi bahkan dilebihkan, Utsman bin Affan r.a memberi serta
melebihkan, begitu pun ‘Ali bin Abi Thalib r.a memberi bahkan melebihkan. Julabib telah
mendapatkan ratusan dirham.

Kemudian ia pun pergi ke pasar untuk membeli mas kawin serta beberapa pakaian untuk hadiah
kepada istrinya yang belum sempat ditemuinya itu. Tetapi tiba-tiba terdengar seruan, “Wahai
kuda-kuda Allah, bergeraklah!! Bergeraklah!!” seruan ini adalah tanda panggilan jihad. Julabib
menatap ke arah langit dan berkata, “Ya Allah, kecantikan istriku mungkin takkan sebanding
dengan kecantikan surga-Mu, maka aku akan memenuhi panggilan jihad-Mu.” Maka ia
mengembalikan semua belanjaannya dan menggantinya dengan baju besi dan kuda serta
tameng untuk berperang yang kemudian segera dikenakannya. Julabib memakai pakaian
perang lengkap sampai-sampai wajahnya tidak terlihat lagi kecuali hanya kedua matanya saja.

Ketika tiba dalam barisan, Rasulullah SAW mulai mengabsen satu persatu setiap barisannya.
Nampak Julabib yang menghindar dari pandangan Rasulullah SAW. Apabila Rasulullah bergerak
ke arah kiri, ia akan menyelundup ke bagian kanan, begitu juga sebaliknya. Mungkin Julabib
khawatir jika Rasulullah mengetahui keikut-sertaannya maka Rasulullah akan menyuruhnya
pulang untuk menemui istrinya terlebih dahulu. Meski begitu, Rasulullah sebenarnya juga tahu
mengenai perbuatan Julabib ini karena mengenal bagian tangannya yang sempat terseingkap,
namun Rasul hanya tersenyum dan membiarkannya. Sementara orang-orang saling bertanya
tentang penunggang kuda baru yang tidak dikenali ini, ‘Ali bin Abi Thalib r.a berkata, “Mungkin ia
adalah orang yang datang dari Negeri Syam untuk mempelajari agamamu dan melindungimu”.

Tatkala peperangan terjadi, Julabib maju dengan bersemangat, ia bergerak dengan lincah,
menghantam ke kiri dan ke kanan, hingga kudanya kelelahan. Ia yang kasihan terhadap
kudanya pun turun dari kudanya dan terus bergerak maju dan maju dengan berjalan kaki, hingga
akhirnya peperangan usai. Ketika pasukan kembali dari medan jihad, Rasulullah saw bertanya,
“Di mana kekasihku Julabib?”. Para sahabat hanya saling pandang seraya bertanya-tanya
siapakah Julabib yang dimaksud Rasul? Rasulullah mengulang kembali pertanyaannya “Di mana
kekasihku Julabib?” seraya berkaca-kaca. Tiga kali pertanyaan itu diungkapkan Rasul, namun
tak ada seorang pun yang tahu tentang kabar dan keberadaan Julabib. Pasukan pun kembali ke
medan jihad mencari sosok Julabib.

Rupanya Julabib telah syahid. Jasadnya berada di tengah-tengah tujuh mayat orang kafir.
Kemudian Rasul berjalan menuju jasad Sa’ad As-Sulami, diletakkan kepalanya dipangkuannya
dan dibersihkannya dari debu dengan kain. Lantas Rasulullah saw menangis, kemudian
tersenyum, dan kemudian memalingkan wajahnya yang telah memerah. Maka ditanyakanlah,
“Ya Rasulullah, tadi kami melihat engkau begini, begini, dan begini (menangis, tersenyum, lalu
memalingkan wajah)?”. Beliau menjawab, “Aku menangis karena aku akan merindukan seorang
Sa’ad As-Sulami (Julabib). Kemudian aku tersenyum karena ia sudah menggenapkan separuh
agamanya (dengan menikah), hingga aku melihat ia telah berada di tepian telaga jernih yang
tepiannya terbuat dari intan dan permata (surga). Lalu aku memalingkan wajah karena melihat
bidadari berkumpul dan berlarian menghampiri Julabib, sedang gaunnya tersingkap hingga aku
melihat betisnya. Aku malu melihatnya, karena bidadari itu hanya milik Julabib”.

Sang Pengantin Surga pun telah syahid. Kemudian Rasulullah saw mengumpulkan semua
barang dan kendaraan milik Julabib untuk diserahkan kepada putri Amr bin Wahb, seraya
berkata, “Katakanlah pada Amr bin Wahb, Sesungguhnya Allah telah menikahkan Sa’ad As-
Sulami dengan wanita yang lebih baik dari putrimu (bidadari surga).”

Credits: https://www.satujam.com/bidadari-surga/

Qiyamullail, mahar bidadari ?

Qiyamullail bukanlah satu-satunya mahar bidadari. Jalan kebaikan menuju jannah


beragam bentuknya, dan itu merupakan karunia Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya.
Terlebih bagi para mujahid fi sabilillah, di mana mereka mengorbankan harta dan jiwa
mereka untuk Allah Ta’ala dengan jannah sebagai imbalannya. Terlampau banyak kisah
romantis yang menyebutkan pertemuan calon syahid dengan bidadari. Yang paling
fenomenal adalah bidadari yang bernama ‘ainul mardhiyah.

Pun, dengan qiyamullail. Ia merupakan mahar bagi peminang bidadari. Inilah senandung
para bidadari yang menyindir orang-orang yang bersemangat banci namun merindukan
bersanding dengan mereka yang bermata jeli;

Apakah kamu meminta bidadari sepertiku


Sedangkan kedua matamu tertidur
Tidurnya kekasih bagiku hukumnya haram
Karena kami diciptakan bagi setiap orang
Yang memperbanyak shalat dan shiyam
Azhar bin Mughits Rahimahullah berkata, “Suatu malam aku bermimpi bertemu dengan
seorang bidadari yang sangat cantik, lalu aku katakan kepadanya, milik siapa kamu ?”
Dia menjawab, “Milik orang yang bangun malam pada musim dingin.”

Sebagian salaf ada yang enggan menghidupkan malam, lalu datanglah seseorang di
dalam mimpinya sembari berkata kepadanya, “Bukankah kamu ingin segera meminang,
lalu mengapa kamu bermalas-malasan ? Dia menjawab, “Bagaimana caranya ? “ Orang
itu menjawab, “Bangunlah kamu di waktu malam, atau tidakkah kamu tahu bahwa orang
yang mengerjakan shalat malam, malaikat berkata, “Peminang sudah bangun menemui
pinangannya.”

Azhar bin Tsabit At-Taghlibi juga berkata, “Ayahku termasuk orang yang senang bangun
malam. Pada suatu hari ayahku bangun malam, aku bermimpi melihat seorang yang
wanita cantik yang menyerupai wanita dunia. Aku katakan padanya, “Siapa kamu ?” Dia
menjawab, “Bidadari.” Aku bertanya, “Maukah kamu nikah dengan aku ?” Dia menjawab,
“Pinanglah aku wahai tuanku, dan berilah maharku ?” Aku bertanya kepadanya, “Apa
maharmu ?” Dia menjawab, “Tahajud yang panjang.”

Namun, dari kisah ahlul lail, orang yang sering qiyamullail yang paling indah adalah apa
yang pernah dialami oleh tabi’in agung, Abu Sulaiman Ad-Darani. Kisahnya singkat
namun kata-kata bidadari yang menegurnya terasakan keindahannya bagi orang yang
membaca kisahnya.

Malam indah itu terasa sangat istimewa….

Bisa berjumpa dengan bidadari adalah karunia ilahi. Hanya orang-orang pilihan yang
diberi kelebihan ini. Beruntung nian orang yang mendapatkan kemuliaan bertemu
bidadari. Di antara mereka adalah Abu Sulaiman Ad-Darani.

Abu Sulaiman Ad-Darani adalah seorang tabi’in yang menjadikan qiyamullail sebagai
mahar bidadari. Acapkali ia mendapatkan kenikmatan luar biasa tatkala berkhalwat
dengan Allah Ta’ala. Kelezatan munajat itu melahirkan sebuah kebahagiaan dan
ketenangan batin yang merupakan puncak segala kebahagiaan. Sehingga pengalaman
spiritualnya ini membuahkan kata-kata yang memiliki ruh spirit iman yang akan selalu
menghiasi referensi-referensi tentang indahnya qiyamullail. Katanya,“Sungguh
kenikmatan yang dirasakan orang yang bermunajat di kegelapan malam jauh lebih
lezat dari pada kesenangan yang didapatkan oleh orang yang suka bercanda dan
berhura-hura.”
Hingga pada suatu malam, ia bertemu dengan makhluk yang diimpikannya, bidadari
yang bermata jeli. Ia menuturkan kisahnya, “Ketika aku sedang sujud dalam qiyamul lail,
kantuk menyerangku hingga aku tertidur. Tiba-tiba ada bidadari datang yang
menggerakkan kakinya untuk membangunkanku sembari berkata menegur, “Duhai
kekasihku…., apakah kedua matamu bisa terpejam padahal Sang Raja, Allah
Ta’ala tidak pernah tidur untuk melihat orang-orang yang bertahajud di malam hari
? Alangkah jeleknya mata yang lebih mementingkan tidur dari pada lezatnya
bermunajat kepada Dzat yang Maha Perkasa. Bangunlah. Sungguh kematian
sudah dekat dan orang yang bercinta bersua dengan orang yang dicinta. Lantas,
apa makna tidurmu ini ?”

Bidadari itu melanjutkan kata-katanya, “Duhai kekasihku…., Duhai


sayangku….,Duhai permata hatiku…..,Apakah kedua matamu tidur padahal aku
selalu menantimu di tempat pingitanku selama sekian tahun lamanya (dalam
riwayat lain 500 tahun) ?”

Mendengar teguran seperti itu, Abu Sulaiman Ad-Darani bangun dengan bermandikan
keringat dingin karena malu. Namun tutur kata bidadari yang indah nan manis selalu
terkenang dan terekam kuat dalam pendengaran dan hatinya, “Duhai kekasihku….,
duhai sayangku….duhai permata hatiku….” Kata-kata itu terasa indah dan nikmat bagi
orang yang mendengar dari kekasihnya, apatah lagi dari bidadari.

Ah bidadari-bidadari, apakah kalian juga menanti kami seperti engkau menanti Abu
Sulaiman Ad-Darani….?

Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi.

Mimpi Bertemu Bidadari Surga


Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu
hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman
untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah
ayat 111, yang artinya sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan
memberikan sorga untuk mereka"

Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat
duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia
berkata:"Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta
mereka dengan sorga untuk mereka?" "Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid. Anak muda itu
melanjutkan:"Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan
sorga."

Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan.
Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata
pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan
perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia
rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang
tidur.

Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia
maju ke depan medan dan berteriak:"Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ."
Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul
Mardiyah itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang
datang kepadaku seraya berkata: "Pergilah kepada Ainul Mardiyah." Ia juga mengajakku memasuki
taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para
bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat
kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata: "Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Assalamu’alaikum" kataku bersalam kepada mereka. "Adakah di antara kalian yang bernama Ainul
Mardhiyah?" Mereka menjawab salamku dan berkata: "Tidak, kami ini adalah pembantunya.
Teruskanlah langkahmu" Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan
bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh
aku meneruskan langkah.

Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah
terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan
memanggil-manggil yang ada di dalam: "Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . ..."

Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang
ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: "Bersabarlah, kamu belum diijinkan
lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu." Anak muda
melanjutkan kisah mimpinya: "Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi
menanti terlalu lama".

Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu
kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat
anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh
kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia.

Suatu pagi hari di bulan Ramadhan, Baginda Nabi SAW sedang memberikan targhib (semangat
untuk berjihad) kepada pasukan Islam. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya orang yang mati
syahid karena Allah, maka Allah akan menganugerahkannya Ainul Mardhiah, bidadari paling
cantik di surga”. Salah satu sahabat yang masih muda yang mendengar cerita itu menjadi
penasaran. Namun, karena malu kepada Nabi dan sahabat-sahabat lain, sahabat ini tidak jadi
mencari tahu lebih dalam mengenai Ainul Mardhiah.

Waktu Zhuhur pun tinggal sebentar lagi, sesuai sunah Rasul, para sahabat dipersilakan untuk
tidur sejenak sebelum pergi berperang. Bersama kafilah perangnya pun sahabat yang satu ini
tidur terlelap dan sampai bermimpi.

Di dalam mimpinya tersebut, dia berada di tempat yang sangat indah yang belum pernah ia
kunjungi sebelumnya. Dia pun bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik yang belum
pernah ia lihat sebelumnya.
Ia pun bertanya kepada wanita tersebut, “Di manakah ini?”, “Inilah surga.”, jawab wanita itu.
Kemudian sahabat ini bertanya lagi, “Apakah Anda adalah Ainul Mardhiah?”, “Bukan, saya bukan
Ainul Mardhiah. Kalau Anda ingin bertemu dengan Ainul Mardhiah, dia sedang beristirahat di
bawah pohon yang rindang itu.” jawabnya lagi.

Didapatinya oleh sahabat itu seorang wanita yang kecantikannya berkali-kali lipat dari wanita
pertama yang ia lihat dan ia pun bertanya, “Apakah Anda Ainul Mardhiah?”, “Bukan saya ini
penjaganya. Kalau Anda ingin bertemu dengannya, maka di sanalah singgasananya”.

Lalu sahabat ini pun pergi ke singgasana tersebut dan sampailah ke suatu mahligai. Didapatinya
seorang wanita yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya yang sedang
mengelap-ngelap perhiasan. Sahabat ini pun memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah Anda
Ainul Mardhiah?”, wanita itu pun menjaba, “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Saya
penjaganya di mahligai ini. Jika Anda ingin menemuinya, temuilah ia di mahligai itu”.

Pemuda itu pun beranjak dan sampailah ke mahligai yang ditunjukkan. Didapatinya seorang
wanita yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya dan sangat pemalu. Pemuda itu
pun bertanya, “Apakah Anda Ainul Mardhiah?”, “Ya, benar saya Ainul Mardhiah” jawab wanita
tersebut.

Pemuda itu pun berusaha mendekat, tetapi Ainul Mardhiah menghindar dan berkata, “Anda
bukanlah seorang yang mati syahid.”

Seketika itu juga pemuda itu terbangun dari mimpinya. Dia pun menceritakan ceritanya ini
kepada seorang sahabat kepercayaannya yang dimohonkan untuk merahasiakannya sampai ia
mati syahid.
Komando jihad pun menggelora. Sahabat ini pun dengan semangatnya berjihad untuk dapat
bertemu dengan Ainul Mardhiah, sehingga ia pun akhirnya mati syahid.

Di petang hari ketika buka puasa, sahabat kepercayaan ini menceritakan mimpi sahabat yang
mati syahid ini kepada Nabi. Nabi pun membenarkan mimpi sahabat muda ini dan Nabi
bersabda, “Sekarang ia bahagia bersama Ainul Mardhiah”.

Credits: https://www.satujam.com/bidadari-surga/

Kisah Nyata Mimpi Bertemu Bidadari

Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di majelis, aku telah siap memakai
pakaian perang, karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki membaca ayat, ‘Sesungguhnya Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan surga.’
(At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.” Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu
wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku untuk memperoleh surga.”
Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi segala-galanya. Hanya engkau orang
yang aku sukai, aku khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini.”

Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berniaga  kepada Allah dengan harapan surga,
mana mungkin jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Aku
mengkhawatirkankan kemampuan kita,… apabila mereka mampu berbuat, kenapa kita tidak?” 

Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, kecuali seekor kuda, senjata dan
sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di medan perang, dialah laki-laki pertama yang
tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab,
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”

Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan
qiyamullail pada malam harinya,  melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami, serta
menjaga kami ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.

Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya
aku kepada bidadari bermata indah.” Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai
linglung.” Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat
rindu pada bidadari bermata indah.” Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan
bidadari bermata indah itu.”

Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang
menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata indah.’ Seorang dalam mimpiku itu
mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih. Di taman itu ada
beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah,  sampai-sampai aku tidak mampu
mengungkapkan keindahannya.

Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah,
suami bidadari bermata indah itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah di
antara kalian ada bidadari bermata indah?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan
dan pembantu bidadari bermata indah. Silahkan terus berjalan !’

Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu,
tidak berubah warna dan rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya
terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan.

Begitu melihat mereka, aku terpesona. Ketika melihatku, mereka memberi kabar gembira dan berkata
kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata indah.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna,
apakah di antara kalian ada bidadari bermata indah?’ Mereka menjawab, Wa'alaikassalam wahai
waliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata indah, silahkan terus berjalan.’

Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di
sana terdapat bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-
bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian
ada bidadari bermata indah?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari
bermata indah, silahkan maju ke depan.’

Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan
bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan
kecantikan para bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu'alaikunna, apakah di antara kalian ada
bidadari bermata indah?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan
bidadari bermata indah, silahkan maju lagi.’

Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi,
di depan tenda terdapat seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku
sendiri tidak mampu mengungkapkan keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku, dia memberi kabar
gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari bermata indah, suamimu datang!’

Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang
yang terbuat dari emas, bertahta intan dan berlian. Begitu melihatnya, aku terpesona, sementara itu dia
menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir tiba waktu kita bertemu.’ 

Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku,
karena dalam tubuhmu masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di
kediamanku, insya Allah. ‘Seketika itu aku bangun dari tidurku. "wahai Abdul Wahid, kini aku  sudah
tidak sabar lagi, ingin bertemu dengan bidadari bermata indah  itu.”

Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (tentang mimpi) selesai, kami mendengar
pasukan musuh telah menyerang, kami pun bergegas mengangkat senjata, begitu juga lelaki itu.

Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh
tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah orang kesepuluh yang terbunuh. Ketika melintas di dekat
jenazahnya,  aku melihat tubuhnya berlumuran darah, sementara bibirnya tersenyum yang
mengantarkan pada akhir hidupnya.”

Sungguh benar firman Allah ta'ala:

ِ ‫ َكأَمْ َث‬  ٌ‫َوحُو ٌر عِ ين‬


ِ ‫ال اللُّ ْؤلُ ِؤ ا ْلم َْك ُن‬
‫ون‬

”Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan .” [QS.
Al-Waqi’ah: 22–23]

Sumber: Tanbihul Ghafilin hal. 395 (99 Kisah Orang Shalih, Penerbit Darul Haq)

Ibnu Abu Dunya menyebutkan dari Shalih Al Muri dari Zaid Ar Raqasyi yang berkata, ”Diceritakan kepadaku bahwa ada cahaya
di surga. Tidak ada satu tempatpun di surga kecuali cahaya tersebut masuk ke dalamnya. Dikatakan, ”Cahaya apakah ini?” Kata
Zaid Ar Raqasyi, ‘Itu adalah bidadari yang sedang tertawa di hadapan suaminya. Kata Shalih, ‘Ada seorang laki-laki di pojok
majelis menangis dan menangis hingga meninggal dunia karena mendengar cerita tersebut.’”
(Tamasya Ke Surga hal. 344, Ibnu Qayyim Al Jauziyah)
Kisah Pertama:
Ahmad bin Abu Al Hawari rahimahullah, murid Abu Sulaiman Ad Darani rahimahullah bertutur:
“Suatu hari aku bertamu kepada guruku (Abu Sulaiman). Kulihat wajahnya begitu cerah berbunga-bunga. Ia tersenyum
seorang diri. ‘Mengapa engkau begitu bahagia wahai Syaikh-ku yang mulia?’ tanyaku. Ia menjawab, ‘Engkau akan kuberi tahu
dengan catatan engkau tidak boleh menceritakannya kepada orang lain kecuali setelah kematianku; aku pernah tidur siang
ba’da zhuhur. Tiba-tiba aku melihat seorang bidadari yang lebih indah dari matahari dan lebih cantik dari rembulan. Ia
berkata, ‘Hai Abu Sulaiman, engkau menginginkan aku tetapi engkau sempat tidur? Aku telah dipingit selama lima ratus tahun
untuk dirimu!’. Abu Sulaiman rahimahullah berkata, ‘Wallahi, kelembutan tutur katanya di telingaku masih terasa hingga
sekarang. Kenikmatan ini dan keindahan bidadari yang cantik rupawan lagi berlimpah kebaikan dan kemuliaan ini aku kenang
kembali, sehingga engkau lihat aku berada dalam kegembiraan seperti ini.”
(Sunan Abu Dawud dan Hilyatul Auliya, Jilid 9, hal. 259: Biografi Ahmad Bin Abul Hawari)
Kisah Kedua:
Syaikh Dr. Sa’id bin Mufsir, seorang juru dakwah yang cukup terkenal di Saudi Arabia- Semoga Allah melindunginya, dalam
satu kasetnya tentang surga, telah bercerita dari sejumlah orang yang tsiqah bahwa seorang pemuda yang berusia 16 tahun
hafal Al Quran dan membiasakan diri pergi ke masjid. Suatu hari ia jatuh sakit sampai meninggal dunia, setelah dirawat oleh
pamannya. Pamannya yang semalaman tidak tidur karena menungguinya, menutupi jenazah keponakannya itu. Ketika datang
waktu zhuhur, ia memanggil orang-orang untuk mengurus jenazahnya. Karena lelah, sang paman tertidur, lalu bermimpi
melihat seorang wanita memasuki kamar bersama serombongan wanita lain yang kejelitaanya belum pernah ia lihat. Wanita itu
berkata, “Aku meminta kepada engkau karena Allah, untuk turut memandikan pemuda itu.” Paman si pemuda itu bertanya,
“Siapa engkau? Dan siapa wanita-wanita itu?” Wanita itu menjawab, “Kami adalah bidadari. Semenjak ia meninggalkan dunia,
kami menunggunya dalam suasana yang lebih panas dari bara (tidak sabar). Sementara engkau malah tidur, tidak turut
memandikan. Kami meminta kepada engkau karena Allah, bangunlah engkau dan mandikanlah dia, lalu kuburkanlah.”
Pamannya berkata, akupun bangun. Ternyata di kamarnya kudapati semerbak harum yang keharumannya belum pernah
kutemukan sepertinya. Aku keluar menemui orang-orang untuk segera memandikannya. Ketika masuk kamar, mereka berkata,
‘aroma harum apakah ini? Kita belum pernah mencium wewangian seperti ini!’. Sang paman menukas, “Ini aroma harum
bidadari.” Ia lantas menceritakan pengalamannya. Semoga Allah merahmati dia dan kita semua.
(Indahnya Bidadari Surga, karya Jamal Abdurrahman)

Dia meriwayatkan kisah ini kepada Ahmad bin Abu Hawari, “Ketika aku sedang sujud, tiba-tiba saya terserang ngantuk. Tanpa
aku duga, beberapa orang bidadari membangunkan aku dengan kakinya.
Bidadari itu berkata, ‘Wahai kekasihku, apakah kamu masih akan tidur sementara para malaikat mengawasi orang-orang yang
bangun untuk melaksanakan tahajud (qiyamul lail). Sungguh celaka mata yang lebih senang tidur daripada berjaga untuk
bermunajat kepada Allah Yang Mahamulia. Bangunlah, sebentar lagi orang-orang yang mencintai Allah akan saling bertemu.
Tidur macam apa ini? Wahai kekasihku dan permata hatiku, Apakah kamu masih juga akan tidur sementara aku menemanimu
dalam keheningan malam ini sejak tadi.’
Seketika itu aku melompat, bangun dengan bercucuran keringat karena rasa maluku terhadap celaan bidadari tersebut. Dan
sungguh keindahan ucapannya senantiasa terasa dalam hati dan pendengaranku.”

Kisah Sa’id bin Harits Berbuka Puasa Bersama Bidadari


Posted August 28, 2010 by .:: Taman Hidayah ::. in Renungan, Teladan. Tagged: bidadari surga. Leave a Comment

1 Vote

Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh
Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang
terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.
Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika
dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir
kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat
bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada
musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’
Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan
tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil
tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun  dan
bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.
Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada
malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’
Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka
berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu,
memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan
kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’
Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur
yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata
kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di
surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”
Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut
sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau
kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka
puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”
Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari
hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.
Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu
dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan
nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”
Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil
menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat
musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu
mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan
tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata
kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”
Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap
‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah
menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.
Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan
amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu
dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng
dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha
benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam

Kisahnya.
'Athiyah bin Kholaf adalah seorang pedagang kurma yang kaya raya dari Mesir. Oleh karena suatu hal, bisnisnya
jatuh terpuruk dan bangkrut. Ia menderita kerugian yang sangat besar sehingga membuatnya jatuh miskin.
Bahkan karena sangat miskinnya, ia hanya mempunyai pakaian yang melekat di badan dan sebuah sarung
untuk menutupi auratnya serta sebuah tempat tinggal yang amat sangat sederhana.

Ketika bulan Muharram datang, ia melakukan shalat dua rakaat di Masjid Amru bin Ash. Kebiasaan yang berlaku
di masjid itu pada hari biasa adalah tidak diperkenankannya seorang wanita di masjid waktu itu. Kecuali pada
hari-hari di bulan Muharram saja. Di masjid itu, 'Athiyah berdoa dengan amat khusyuk bersama orang banyak.

Bersedekah untuk Pengemis.


Ketika 'Athiyah bin Kholaf sedang khusyuknya berdoa, tiba-tiba ada seorang wanita bersama anak-anaknya
mendekat sambil berkata,
"Demi Allah, semoga Tuan bisa membantu kesulitan yang sedang aku hadapi saat ini. Aku adalah
Syanifah. Berilah aku sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan makan anak-anakku. Suamiku telah
meninggal dunia dan tidak meninggalkan apa-apa."

'Athiyah berkata dalam hatinya,


"Aku juga tidak mempunyai sesuatu selain baju ini. Jika aku lepas di sini dan aku berikan pada wanita
itu, akan terbukalah tubuhku. Jika wanita ini aku tolak, alasan apakah yang akan aku kemukakan pada
Nabi SAW?"
Akhirnya 'Athiyah berkata,
"Mari ke rumahku. Aku akan memberimu sesuatu."
Maka wanita itu pun mengikuti 'Athiyah sampai di rumahnya.

Lalu 'Athiytah menyuruhnya untuk menunggu di luar rumahnya. Tidak lama kemudian 'Athiyah keluar hanya
mengenakan kain sarung saja dengan membawa sepotong baju lusuh. Diberikannya baju lusuh tadi kepada
wanita tersebut untuk dijualnya.
Tak terkirakan gembiranya wanita tadi ketika menerima pemberian 'Athiyah. Lalu ia mendoakan 'Athiyah,
"Semoga Allah memberikan pada Tuan sebuah pakaian di surga dan Tuan tidak akan membutuhkan
sesuatu pada orang lain selama hidup Tuan."

Bertemu Bidadari.
'Athiyah merasa sangat senang mendengar do'a tersebut. Setelah wanita itu pulang, ia melaklukan shalat dan
berzikir hingga larut malam dan tertidur. Ketika tidur, ia bermimpi melihat seorang wanita cantik jelita dan belum
pernah ia lihat di dunia ini. Di tangan wanita itu ada buah apel yang amat harum baunya. Anehnya, ketika buah
apel itu dibelah, dari belahan apel itu keluar pakaian yang snagat indah dan terlihat mahal. Rupanya pakaian itu
langsung diproduksi dari syurga.

Pakaian itu diberikannya kepada 'Athiyah bin Kholaf. Setelah pakaian itu dikenakan, tiba-tiba bidadari itu duduk
di pangkuannya.
'Athiyah lantas bertanya,
"Siapakah kamu ini?"
"Aku adalah 'Asyurah, istrimu di surga," jawab bidadari itu.
"Dengan amal apakah aku memperoleh kemuliaan seperti ini?" tanya 'Athiyah.
Lalu bidadari itu menjawab,
"Dengan seorang janda miskin yang kamu beri sedekah."

Setelah terjadi dialog tersebut, tiba-tiba bidadari itu menghilang dari pangkuannya. Hilangnya bidadari itu
membuat 'Athiyah terbangun dan sadar bahwa ia baru saja bermimpi, namun anehnya saat ia terbangun ia
masih merasakan bau harum seperti yang dialaminya dalam mimpi.

Setelah kejadian itu 'Athiyah sangat senang. Sangat senang telah mendapatkan mimpi itu. Kemudian ia
mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat sebagai tanda rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Doa yang dibaca oleh 'Athiyah adalah,
"Wahai Allah SWT, Tuhanku. Apabila mimpi dalam tidurku itu benar dan bidadari dalam mimpiku itu
adalah istriku di surga, maka matikanlah aku saat ini juga untuk bertemu dengan-Mu."

Setelah selesai berdoa, ia langsung meninggal dunia.


Subhanallah....
Subhanallah...
Subhanallah...
Ia meninggal dunia dengan tenang dan mati Khusnul Khatimah.

Kisah Sungai Madu dan Bidadri dalam Mimpi Ustadz Lotfi

Wakil Ketua Pemuda PAS Malaysia, Nik Mohamad Abduh (putra ulama Malaysia Nik Abdul Aziz Nik Mat) dalan
akun facebook pribadinya mengutip cerita salah seorang ulama muda PAS bernama Ustaz Mokhtar senik, tentang mimpi
Ustadz Lotfi sebelum berangkat berjihad ke Suriah.

“Daripada al fadhil Ustaz Mokhtar Senik..

Setelah as-syahid Ustaz Lotfi Ariffin pergi, ana boleh bercerita…..

As syahid datang dengan ust Dr Abu Bakar Abdullah selaku pengerusi Lajnah Kebajikan DUPP ke pejabat ana akhir tahun
lepas.

Beliau round negeri-negeri untuk menghantar sumbangan mangsa banjir bagi pihak Dewan Ulama PAS Pusat.

Dalam kesempatan itu kami bertemu dalam bilik pejabat ana.

“Ustaz.. ana nak minta pandangan ust, apa maknanya.. ana mimpi tiga kali minum air dari sungai yang rasanya madu.
Setiap kali ana mimpi, ana rindu nak mimpi lagi sehinggalah datang mimpi yang keempat.

Ana mencari-cari di mana sungai itu. Puas ana cari. Akhirnya ana bertemu seorang prempuan yang masya Allah.. cantik
dan sangat sopan. Ana rasa bidadari kot ( waktu itu beliau gelak kecil).

Dia tanya ana, akhi cari apa?.. Ana kata cari sungai yang rasanya madu yang telah saya minum sebelum ini. Gadis itu
senyum.
Ya Akhi.. kalau mau minum lagi datanglah ke Syria, ana tunggu akhi di sana..”

Sampai di situ beliau berhenti. Ada cahaya bersinar dalam matanya. “Apa ust fikir tentang mimpi ana itu?” Ujar beliau.

Ana jawab, “Anta selesaikan hutang-hutang anta.. Anta pergilah ustaz. Doakan ana bila anta temui apa yg anta cari
disana.”

Lepas itu kami berpelukan dan as syahid mohon izin bertolak ke Johor pula. Itulah pertemuan terakhir dengan as syahid
teman setahanan ana di Kamunting selama 3 tahun lebih. Moga Allah membeli dagangan as syahid.”

Salah seorang tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) berkata, saat itu mereka tengah merindukan surga
dan para bidadarinya, “Aku akan membeli seorang bidadari dari sekian banyak bidadari surga dengan
mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam, aku tidak akan tidur sampai aku selesai khatam tersebut.”
Dia sudah mengkhatamkan sebanyak dua puluh Sembilan juz, lalu rasa kantuk menyerang hingga ia
tertidur. Dalam tidurnya ia mimpi bertemu bidadari, dan sang bidadari berkata berkata,
Apakah engkau akan meminang bidadari sepertiku, dan engkau tertidur. Sementara orang yang
mencintaiku, aku haramkan tertidur. Karena aku dicipta untuk setiap orang yang banyak melakukan shalat
dan rajin bangun malam. Mendengar itu, ia terbangun, dan langsung melanjutkan usahanya, dan ia
kemudian berkata: Dengan izin dan rahmat Allah, aku akan berusaha untuk mendapatkan semua ini, untuk
mendapatkan salah satu dari bidadari itu.
Abu Sulaiman Aldarini – belas kasihan Tuhan – suatu kali tertidur pada suatu malam malam, dia dikenal
sebagai ahli ibadah, seorang yang zuhud, dan tulus kepada Allah, dan ketulusan dengan Tuhan, Yaman itu
sendiri, termasuk surga yang penuh kenikmatan. Pada suatu malam dia berkata, tidur dan diri kadang-
kadang berbicara tentang apa yang Anda inginkan dan apa yang ingin Anda dan termasuk cinta – berkata:
Aku melihat – sebagaimana yang sering dilihat oleh orang tengah tidur, suatu kali bidadari datang
kepadaku dan berkata: “Inikah perbuatan orang-orang shalih?” “Wahai Abu Sulaiman – Apakah engkau
tertidur dan aku telah menunggumu sejak lima ratus tahun”. Tidak ada Tuhan selain Allah; Sejak itu, ia tak
lagi tidur kecuali hanya sedikit saja, hal itu dimaksudkan agar ia sungguh-sungguh bertemu dengannya.

Anda mungkin juga menyukai