Anda di halaman 1dari 5

RESENSI FILM SOEGIJA ANTARA SEJARAH ATAU KEMANUSIAAN

o Data/indentitas film

Judul : Soegija

Jenis Film : Drama, Biografi

Produser : Murti Hadi Wijayanto, Djaduk Ferianto, Tri Giovanni

Sutradara : Garin Nugroho

Penulis Naskah : Armantono & Garin Nugroho

Durasi Film : 116 menit

Perusahaan Film : Studio Audio Visual Puskat

Diputar : Mulai 7 Juni 2012 di bioskop-bioskop seluruh Indonesia

o Pemeran film soegija


- Nirwan Dewanto
- Anissa Hky
- Wouter Braaf
- Wouter Zweers
- Butet Kartaredjasa
- Olga Lydia
- Henky Solaiman
- Rukman Rosadi
- Nobuyuki Suzuki
- Margono
- Eko Balung
- Andrea Reva
- Andreano Fidelis

o Pendahuluan

"Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi
mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah.
Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan”(Mgr. Soegijapranata).

1
Sutradara Garin Nugroho kembali datang ke layar lebar dengan film terbarunya, Soegija.
Film yang bercerita tentang uskup pribumi pertama di Indonesia yang juga pahlawan
nasional, Mgr. Albertus Soegijapranata. Untuk menggarapnya, Garin membutuhkan 2.275
pemain untuk bermain dalam film berjudul Soegija. Bukan hanya jumlah pemainnya saja
yang berlimpah. Garin juga banyak menggunakan pelakon baru, yang tidak memiliki latar
belakang sinematografi. Hanya Olga Lydia dan Butet Kertarajasa saja pemain yang
memiliki modal akting.

Soegija bercerita tentang uskup pribumi pertama di Indonesia yang juga pahlawan
nasional, Mgr. Albertus Soegijapranata. Film itu menceritakan peran Soegija ketika Perang
Pasifik 1940-1949, yang tidak hanya penting bagi umat Katolik, melainkan untuk
Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel untuk media luar negeri demi melawan
penjajah. Silent diplomacy, nama perjuangan itu. Soegija juga memindahkan Keuskupan
Semarang ke Yogyakarta sebagai bentuk solidaritas atas kepindahan ibu kota Indonesia
dari Jakarta ke Yogyakarta. Garin sengaja menghidupkan setiap tokoh dalam film tersebut.
Setiap tokoh digambarkan dengan konflik hidup masing-masing yang menuntun mereka
pada suatu transformasi sejati.

o Sinopsis

“Film yang melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa


Indonesia pada tahun 1940-1949. Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang
diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya kemanusiaan
itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya. Dan perang adalah kisah
terpecahnya keluarga besar.

Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo (Nirwan Dewanto) di atas kertas,
yang sekaligus menjadi curahan hatinya. Ia sedang di tengah perang kala itu, ketika para
penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah makian serta todongan senjata
Belanda. Di masa serba tertekan itu, sang Romo mendapat kehormatan menjadi pribumi
pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba. Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Mgr.
Alb. Soegijapranata SJ, dan hijrah dari gerejanya di Yogyakarta ke Semarang. Dengan
‘jabatan’ itu, Romo lebih dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya
bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu,
kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah.

2
Tahun demi tahun berganti, penjajah datang dan pergi. Jepang masuk Indonesia tahun
1942, Belanda takluk dan harus rela dilucuti senjatanya. Mereka ingin menduduki gereja
sebagai markas, namun dengan tegas Soegija menolak.

“Penggal dulu kepala saya,” ujarnya singkat.

Ia memang tidak terjun langsung untuk berperang, namun di setiap masa andilnya selalu
tampak. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija
membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Ia memerintahkan Saat
Hiroshima – Nagasaki di-bom dan masyarakat menuntut kemerdekaan yang belum juga
diakui oleh sekutu yang kembali datang ke Indonesia, Soegija berdiplomasi dengan
Vatikan sehingga negara itu menjadi negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan
Indonesia.

Soegija memang terkenal dengan silent diplomacy-nya. Tanpa harus menggunakan


kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi panutan yang
tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum cukup, juga
perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Berkat kegigihannya itu, Seogija
menjadi uskup pribumi pertama yang mendapat gelar pahlawan nasional dari Soekarno.
Film garapan sutradara Garin Nugroho yang dibuat melalui riset panjang ini bukan film
misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga tidak selalu
Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang.

Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang,
kembali dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang bocah
Tionghoa juga terpisah dari mamanya (Olga Lydia), kembali bertemu dalam sebuah
momen di gereja. Tokoh menggelitik pun ditampilkan, seorang bocah yang hanya bisa
mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda terdepan
pasukan pemuda.

Rasa kemanusiaan juga dimiliki para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), pemimpin tentara
Jepang, tak pernah tega pada anak-anak karena ingat anaknya di rumah. Robert (Wouter
Zweers), tentara Belanda yang sangat bernafsu menjadi mesin perang paling hebat,
perasaannya luluh saat menemukan bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf),
jurnalis asal Belanda, pun selalu memotret ekspresi-ekspresi manusiawi dan nasionalisme
Indonesia. Ia menemukan cintanya, namun tak mampu bersatu karena perang.

3
Selain menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan
otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan pena dan
ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan seorang
pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya terlahir sebagai
bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri,” patut dicermati lebih dalam
makna dibaliknya.

“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani
masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada
dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di
akhir film itu, seakan menjadi perenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia
di masa sekarang

o Kekurangan dan kelebihan

Kekurangan :

1. Sosok Soegija pada cerita tidak terlalu jelas, karena sosoknya hanya terjadi


dibeberapa adegan sehingga membuat karakter Soegija tidak merekat kuat.

2.Begitu banyak pemain dalam film ini membuat film ini tidak memperlihatkan satu
pemain pun yang mendominasi penceritaan.

3.Pada pemutaran film Soegija tokoh Soegija tidak diperankan secara gamblang.


Penggambaran Soegija hanya berupa potongan-potongan adegan, foto, bahkan puisi
Soegija yang dia tulis pada masa itu yang terinspirasi dari Soegija.

Kelebihan :

1. Film yang lebih mengangkat aspek kemanusiaan yang universal ketimbang aspek
agama.

2.Tata artistik yang mampu memikat penonton serta pemilihan kostun dan tempat untuk
setiap adegan film begitu pas dengan keadaan negara pada masa tahun 40-an.

o Penutup

Secara keseluruhan film bagus, tapi yang lebih menonjol ialah pada tata artistik dan
musiknya disajikan dengan sangat bagus. Pemilihan kostum dan pemilihan tempat sangat

4
pas dengan latar belakang tahun 40-an, ditambah lagi dengan suasana Nasionalis pada
masa itu.

Anda mungkin juga menyukai