Anda di halaman 1dari 4

Nama : Syahdan Althalif Hafizh

NIM : 2110411078
Kelas :F
Dosen Pengampu : Irpan Ripa'i Sutowo, SE.M.Si

UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH


DASAR-DASAR TELEVISI DAN FILM

Analisis dan Ulasan terhadap Film Gie (2005)

Gie, atau lengkapnya Soe Hok Gie ialah seorang pemuda keturunan Tionghoa sederhana
yang bertempat tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Selatan. Lahir pada 17 Desember 1942, Gie
tumbuh di bawah masa kepresidenan Soekarno hingga peralihan menuju masa Order Baru. Masa
kecilnya yang banyak dihabiskan dengan membaca buku, mengeksplorasi tokoh-tokoh dunia,
serta berkehidupan di tengah perselisihan antara PKI, ideologi komunisme, dan militer turut
membentuk Gie menjadi seorang idealis yang besar akan kepeduliannya terhadap sosial serta
menolak tenggang terhadap ketidakadilan yang sedang terjadi di dalam negeri.

Merupakan adaptasi dari buku dengan tajuk “Catatan Seorang Demonstran” (publikasi
dari buku harian Soe Hok Gie sendiri), Riri Riza selaku sutradara berhasil menciptakan film Gie
sebagai salah satu film dengan muatan sejarah idealis terbaik yang dimiliki Indonesia. Hasil
tandem Riri Riza bersama Mira Lesmana ini mampu menghadirkan plot cerita yang tidak biasa
hadir di perfilman Indonesia, dimana selain berorientasi sebagai hiburan, film ini juga memiliki
peran edukasi dan sejarah yang menceritakan seorang mahasiswa sekaligus demonstran
terkemuka dengan idealismenya yang sanggup membakar semangat masyarakat serta para
pemuda tentunya.

Pada awal film, Soe Hok Gie remaja digambarkan sebagai sosok yang kritis, berani, dan
teguh dalam mengambil sikap. Hal tersebut terlihat ketika Gie menginjak bangku SMP dimana ia
melakukan pertentangan terhadap gurunya yang tidak memahami tentang perbedaan antara
pengarang dengan penerjemah. Tidak hanya itu, saat di SMA pun Gie juga tidak segan
memberikan pendapat kritisnya dalam diskusi pembelajaran mengenai sistem demokrasi
terpimpin yang baru saja diterapkan di Indonesia pada saat itu.

Memasuki babak selanjutnya, film ini memperlihatkan bagaimana perkembangan gaya


hidup dan pemikiran Gie yang natural dengan kisah masa kuliahnya di Universitas Indonesia.
Keberlanjutan idealisme yang dimiliki Gie tercermin pada saat usahanya dalam menentang
praktek politik kampus yang hanya berorientasi atas nama golongan, atau saat ia bergabung
bersama kelompok gerakan bawah tanah yang kerap menentang pemerintah dan menolak
keberpihakkan, serta pada saat memobilisasi massa Fakultas Sastra untuk melakukan
demonstrasi guna menentang kebijakan pemerintah.
Lewat mesin ketik tempo dulu beserta jari-jarinya yang handal, Soe Hok Gie menorehkan
tulisan-tulisannya dengan tajam. Dengan tegas mengkritik ketidakadilan dan penyalahgunaan
kekuasaan, Gie turut serta menyukseskan penggulingan rezim Soekarno. Tidak berhenti di situ
saja, di bawah rezim Soeharto yang tak kalah kotornya, Gie juga menentang keras tindakan
genosida pemerintahan terhadap orang-orang yang diyakini sebagai bagian dari Partai Komunis
Indonesia di Bali. Sikap Gie yang berani menegakkan idealismenya, bertindak guna golongan
dan kepentingan khalayak merupakan suatu keilmuan yang dapat diteladani.

Walaupun plot cerita yang dihadirkan dalam film ini cenderung berputar pada sisi
idealisme yang dimiliki seorang Soe Hok Gie, namun pada kenyataannya porsi antara sisi
kehidupan pribadi dengan idealisme, isu sosial dan politik dalam film ini dapat dikatakan cukup
proporsional. Film ini nampak tidak terlalu memperlihatkan eksposur pergerakan bawah tanah
Soe Hok Gie secara besar-besaran, melainkan mengisahkan sisi melankolis dari Gie sendiri,
yakni pada saat ia menikmati keindahan alam sewaktu mendaki gunung atau saat ia menjalin
hubungan asmara dengan beberapa wanita yang sempat dekat dengannya.

Film Gie karya Riri Riza ini secara naratif mengandung plot mengenai peristiwa atau
kejadian yang diadaptasi dari kisah nyata, dimana aspek ruang dan waktu dalam film ini
mengacu pada Jakarta tahun 1956 hingga 1969 dengan pergolakkan era kepresidenan Soekarno
hingga awal Orde Baru sebagai fokus konflik atau permasalahannya. Sedangkan beberapa
interpretasi pesan maupun tujuan yang terkandung dalam film antara lain yaitu mengingatkan
pentingnya perjuangan, menggambarkan sikap nasionalisme yang tidak perlu berpijak atas nama
golongan, sisi kemegahan penguasa dan kemelaratan rakyat, serta himbauan bagi kaum
intelektual untuk menjalankan fungsi sosialnya, yakni menyalakan kembali api perjuangan untuk
melawan ketidakadilan.

Dalam film biopik ini, sosok Soe Hok Gie diperankan oleh salah satu aktor terbaik
Indonesia, yakni Nicholas Saputra. Walaupun Riri Riza dan Mira Lesmana memilih untuk tidak
merefleksikan Soe Hok Gie sepersis mungkin, namun pemilihan Nicholas Saputra sebagai
pemeran utama dinilai sebagai keputusan yang tepat mengingat dirinya yang sudah
berpengalaman dalam memerankan sosok remaja yang dingin melalui film Ada Apa Dengan
Cinta? (2002). Secara keseluruhan permainan seni berperan yang Nicholas lakukan dalam film
ini cukup menarik. Salah satu detil sorotan kecil yang terlihat dalam film ini yakni pada cara
berjalan Nicholas yang terinspirasi dari cara berjalan Gie asli yang “agak dibuang-buang”.
Melalui detil tersebut, secara tidak langsung semua kesan pada sosok Gie yang diperankan
Nicholas dapat terlihat sebagai laki-laki yang pendiam dan tenang namun memiliki keberanian
yang besar.

Beberapa nilai lebih lain yang termuat dalam film ini tentu saja terdapat pada aspek
sinematik, tepatnya dalam pengaplikasian sinematografi yang apik. Film sepanjang 2 jam 25
menit ini diisi dengan gambar yang dihasilkan dari sudut pandang kamera dengan eye level
angle, sedangkan tipe pengambilan yang banyak digunakan yakni teknik long shoot beserta close
up. Adapun komposisi gambar yang ditampilkan pada bingkai-bingkai dalam film ini yaitu
komposisi sepertiga layar (Rule of Thirds) dan golden triangles. Sekian sinematografi yang
digunakan ditujukan untuk mendukung pesan yang kuat agar dapat tersampaikan dengan baik.

Tidak hanya menawarkan sinematografi yang tertata rapi, namun film Gie ini juga turut
menyajikan beberapa elemen penting dalam memengaruhi serta menyampaikan kandungan
pesan dalam film, yakni unsur suara. Sosok Soe Hok Gie dalam film ini digambarkan sebagai
seorang penulis yang gemar menorehkan kata kata melalui puisi serta catatan harian, maka dari
itu salah satu unsur suara film yang terdapat dalam Gie dapat dijumpai dengan rupa pembicaraan
yang berbentuk dialog maupun narasi. Peran musik sebagai pembentuk atmosfer juga cukup
kental dimana terdapat 10 lagu pengisi latar yang diaplikasikan dalam film ini. Sama sekali tidak
main-main, Riri Riza dan Mira Lesmana turut menggaet musisi ternama Indonesia yakni Eross
Tjandra untuk terlibat dalam menggarap dua lagu pengisi film Gie, yaitu “Gie” dengan “Cahaya
Bulan”. Selain lagu “Gie” dan “Cahaya Bulan”, terdapat pula beberapa lantunan sebagai koreksi
periode seperti “Like a Rolling Stone” karya Bob Dylan dan lagu kegemaran Soe Hok Gie
sendiri, yakni “Donna Donna” yang dipopulerkan oleh Joan Baez.

Untuk menggabungkan atau melakukan pemotongan dari gambar yang diambil pada saat
masa produksi tentunya dilakukan sebuah penyuntingan atau editing. Secara temporal, Gie
merupakan film dengan jenis penyuntingan yang menekankan kontinuitas, dimana gambar yang
ditampilkan dalam film membentuk rangkaian berkesinambungan antara satu pengambilan
gambar dengan pengambilan gambar lainnya. Beberapa transisi yang digunakan dalam film ini
contohnya yaitu cut-in, crosscutting, dan montage sequence. Tidak jarang pula beberapa di
antaranya hadir dalam bentuk yang absurd, hal tersebut terlihat pada lompatan waktu dari masa
Gie SMA menuju kuliah yang digambarkan dengan mendaki gunung, potongan mimpi Gie yang
diulang-ulang, hingga dua ekor ikan milik ayah Gie yang sedang berenang di kolam. Tidak
semata-mata menciptakan estetika dalam film, ragam transisi yang digunakan dalam film
tersebut ditujukan untuk perjalanan hidup Gie. Salah satu bentuk transisi yang menjadi sorot
utama penulis dalam film ini terdapat pada adegan terakhir yang menjelaskan kematian Gie yang
digambarkan dengan wujud Gie dewasa yang kembali menjadi Gie remaja kemudian ditutup
dengan overshadowing ke dalam bingkai guna mengakhiri film dengan penuh melankolis dan
indah.

Guna membentuk harmoni dalam film, tentunya satu elemen dengan elemen lainnya tidak
dapat “bernyanyi” dengan nada yang sama. Namun di samping itu, ketika kita dengar dan
saksikan, maka harmoni yang dirasakan tidak hanya indah, akan tetapi juga dapat menyampaikan
sebuah pesan. Begitu pula mise en scene yang terdapat dalam film Gie. Penempatan segala
sesuatu meliputi baik yang tampil dibalik kamera, film yang ditampakkan, desain dan suara,
sinematografi yang diaplikasikan, hingga penyuntingan yang dilakukan memiliki keterkaitannya
sendiri antar satu sama lain sehingga berhasil menciptakan keharmonisan dalam film. Tidak
hanya itu, mise en scene yang terdapat dalam film ini juga turut membentuk representasi yang
kuat, dimana tokoh Soe Hok Gie sebagai sosok nasionalis sekaligus manusia yang merdeka.
Melalui segala isi dan kemasan yang dihadirkan, film Gie hasil kerja sama Riri Riza
bersama Mira Lesmana ini berhasil menciptakan sebuah gambar hidup yang terasa indah. Tidak
heran rasanya apabila buah karya mereka yang satu ini sukses menorehkan berbagai prestasi
dalam industri perfilman Indonesia. Seperti halnya pada Festival Film Indonesia 2005 dimana
film biografi ini berhasil memboyong sejumlah penghargaan melalui kategori Film Terbaik,
Aktor Terbaik, dan Penata Sinematografi Terbaik, serta kategori Pemeran Utama Pria Terpuji
untuk Film pada Festival Film Bandung pada tahun 2006.

Anda mungkin juga menyukai