Anda di halaman 1dari 18

MENILIK

KONSEP DAN GAYA EDITING


DALAM FILM-FILM DJADOEG DJAJAKOESOEMA

Kusen Dony Hermansyah
Program Studi Film dan Televisi,
Fakultas Film dan Televisi - Institut Kesenian Jakarta
kusendony@gmail.com

ABSTRAK
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk
memaparkan konsep dan gaya editing dalam film-film
karya Djadug Djajakoeseoma. Latar belakang
penulisan ini karena masih sangat sedikit analisis teks
film-film dari sutradara di Indonesia. Metode
penelitian kualitatif adalah metode yang dipilih untuk
membahas permasalahan ini. Teknik pengumpulan
datanya menggunakan studi dokumen dan studi
kepustakaan. Teknik analisisnya menggunakan analisis
data kualitatif. Sedangkan hasil analisisnya
menunjukkan bahwa konsep dan teknik editing yang
digunakan oleh Djajakoesoema tidak mengikuti rumus
dan pola editing yang digunakan industri film
Hollywood.

This paper aims to describe the editing concept and
editing style which used in the Djadug Djajakoeseoma’s
films. The background of this writing is because there
is very little text analysis of the films from the director
in Indonesia. Qualitative research method is the
method chosen to explore this problem. Data collection
techniques use document studies and literature
studies, while analytical techniques using qualitative
data analysis. The results of the analysis show that the
concept and editing techniques used by Djajakoesoema
not follow the formulas and editing patterns used in
the Hollywood film industry.

Kata-kata kunci : continuity editing, alternatives to
continuity editing, teknik editing.









I. PENDAHULUAN

Bila menyebutkan tokoh perfilman atau pelopor perfilman Indonesia maka yang
akan muncul di kepala masyarakat Indonesia adalah Usmar Ismail. Walaupun
nama Djadoeg Djajakoeosoema mungkin hanya segelintir orang yang tahu, akan
tetapi sosok beliau sebagai seniman menjadi pengisi ruang yang penting dalam
perfilman Indonesia. Ibaratnya dalam dunia sepakbola Jerman Barat pada tahun
1970-an masyarakat lebih mengenal Franz Beckenbauer dan Gerd Müller,
dibandingkan Gunter Netzer. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa Gunter
Netzer lah yang menyuplai bola kepada Gerd Müller.

Sedari kecil tradisi wayang telah mengakar kuat dalam darah Djadoeg
Djajakoesoema. Djadoeg kecil paling senang duduk dekat dalang saat menonton
wayang. Sebisa mungkin beliau tidak melewatkan pertunjukan wayang di
wilayah Jawa Tengah. Walaupun sempat dilarang oleh ayahnya karena
pertunjukan wayang yang biasanya selesai dini hari (Hoerip, 1995 : 2). Jadi tidak
heran kalau beliau adalah orang fanatik dengan seni tradisi terutama wayang.
Nantinya pola-pola dalam wayang itu juga sangat mempengaruhi jukstaposisi
dalam film-film beliau.

Satyagraha Hoerip dalam bukunya juga menggambarkan sosoknya yang tidak
ingin tampil ke permukaan. Beliau lebih senang menjadi manusia di balik layar
pertunjukan dan menjadi guru untuk membangun kesenian di Indonesia. Hal itu
terlihat dari keterlibatannya dalam Persatuan Sandiwara Amatir, Maya pada
masa pendudukan Jepang (Hoerip, 1995 : 9). Pada masa Revolusi Fisik beliau
turut mendirikan kelompok Seniman Merdeka (Hoerip, 1995 : 15) dan ketika di
Yogyakarta beliau juga terlibat dalam sandiwara keliling untuk menghibur para
pejuang. Selain itu juga mengajar dalam Panti Pegetahuan Film yang menjadi
bagian dari Yayasan Stiching Hiburan Mataram. Bahkan beliau tetap mengajar
setelah berubah nama Kino Drama Atelier walaupun pengajarnya tinggal dua
orang yaitu beliau sendiri dan sang pimpinan sekolah bernama Dr. Hu Yung
(Hoerip, 1995 : 23-24).

Namun untuk berkesenian, seolah beliau adalah sosok yang tak kenal lelah
membangun, melahirkan karya dan menjadi pembaharu. Dalam perjalanan
hidup beliau setidaknya ada dua hal besar yang beliau lakukan untuk kesenian
Indonesia. Pertama, revitalisasi seni tradisi Lenong Betawi di mana beliau
bersama Soemantri Sastro Suwondho dan S. M. Ardan mencoba menghidupkan
lagi kesenian Lenong Betawi dengan sumber daya yang sangat terbatas (Hoerip,
1995 : 69-72). Selain itu beliau juga melakukan modernisasi terhadap kesenian
Wayang Orang. Beliau menerapkan azas-azas teater modern dalam Wayang
Orang. Tidak sedikit tantangan yang menghadang. Beliau tetap terus dengan
melakukan perubahan, misalnya terhadap dekorasi panggung. Dekorasi yang
biasanya hanya menggunakan backdrop yang dilukis, dirubah menggunakan
beberapa properti. Misalnya untuk menggambarkan hutan, diletakkan pohon
atau dahan-dahan kayu.

II. PERMASALAHAN.

Tenggelamnya nama Djadoeg Djajakoesoema di gelanggang perfilman Indonesia
dibanding Usmar Ismail, membuat analisis teks dari film-film yang beliau
hasilkan jarang dilakukan. Dalam tulisan ini penulis membatasi permasalahan
hanya pada aspek editing filmnya saja. Kalaupun ada hal yang lain yang
terbahas, nantinya tidak akan jauh keluar dari editing itu sendiri. Ruang lingkup
pembahasannya terdapat pada pertanyaan di bawah ini.
1. Konsep editing dan gaya editing apa yang digunakan Djadoeg Djajakoesoema
dalam film-filmnya?
2. Keistimewaan editing seperti apa yang dimiliki dibandingkan film-film
Hollywood pada masa itu?

III. BAHAN DAN METODE



Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Teknik pengumpulan datanya menggunakan studi dokumen dan studi
kepustakaan. Studi dokumen dilakukan dengan menggunakan film-film yang
disutradarai oleh Djajakoesoema. Ada tujuh film yang terentang antara tahun
1950 hingga 1970 yang digunakan untuk mengulas kepiawaian Djajakoesoema
dalam memoles film-filmnya. Tujuh film tersebut adalah Harimau Tjampa
(1953), Tjambuk Api (1958), Pak Prawiro (1958), Lahirnja Gatotkatja (1960),
Malin Kundang : Anak Durhaka (1971), dan terakhir Api Dibukit Menoreh :
Gugurnya Tohpati (1971).

Studi kepustakaan digunakan untuk menentukan teori-teori editing film yang
nantinya digunakan sebagai pisau analisis dari film-film di atas. Teknik
analisisnya menggunakan teknik analisis kualitatif dengan lebih menekankan
pada teknik analisis mendalam (in-depth analysis). Tujuannya bukan
megeneralisasi namun lebih ditekankan pada hasil pemahaman penulis secara
mendalam pada permasalahannya.

IV. LANDASAN TEORI

Mengedit film bisa diibaratkan seperti seorang pengarang merangkai kalimat.
Peran editing di dalam film adalah mengoordinasi antara satu shot dengan shot
selanjutnya. Koordinasi dalam editing sendiri terdiri atas seleksi, pemotongan,
penyambungan dan penyusunan semua shot yang dimiliki. Bila shot diibaratkan
sebagai kata dan scene diibaratkan sebuah kalimat, maka mengedit film dapat
disandingkan dengan perilaku dalam bidang linguistik. Maksudnya adalah
bahwa ketika menyusun dan merangkai shot-shot menjadi sebuah scene ibarat
sintaksis dalam linguistik. Setiap scene yang dibentuk juga harus memiliki bobot
makna seperti dalam semantik di mana setiap kalimat harus memiliki makna.

Aspek editing tidak dapat dilepaskan dari tradisi bentuk dan gaya film Sinema
Hollywood Klasik yang menguasai banyak film dunia. Beberapa aspek penting
dalam gaya film yang sesuai dengan tradisi Sinema Hollywood diantaranya aspek
mise en scene yang menggunakan pendekatan realisme terutama setting, kostum,
make up, dan propertinya; juga akting pemain yang alamiah. Dalam aspek
sinematografi menggunakan gaya tata cahaya three point lighting; sedangkan
dalam editing, landasan teori yang banyak digunakan adalah continuity editing.

Begitu banyak buku tentang produksi film ataupun editing film yang beredar.
Akan tetapi belum ada buku yang melakukan pemetaan secara jelas teori editing
itu sendiri. Menurut pengamatan penulis, teori editing terbagi menjadi dua
aspek. Aspek pertama adalah teori editing yang berkaitan dengan seluruh unsur
dalam film seperti penceritaan, mise en scene, sinematografi dan penataan suara.
Aspek kedua berkaitan dengan aspek yang lebih aplikatif dan berkaitan langsung
dengan tidakan mengedit yaitu menyeleksi, memotong, menyambung dan
menyusun shot-shot.

Penulis mengamati bahwa untuk aspek yang pertama dapat digunakan teori
editing yang terdapat dalam buku Film Art : Introduction karya David Bordwell
dan Kristin Thompson. Buku tersebut secara sistematis memaparkan adanya
hubungan antar shot dalam setiap menyambungan yang disebut dengan dimensi
editing. Selain dimensi ada konsep editing yang memaparkan aturan yang
berlaku ketika membuat shot untuk membentuk scene ataupun sequence yang
terbagi menjadi dua menjadi continuity editing dan alternatives to continuity
editing.

VI.1. Dimensi Editing
Dimensi editing dalam paparan Bordwell terbagi menjadi empat dimensi
yaitu dimensi grafis, dimensi ritmis, dimensi ruang dan dimensi waktu.
Dimensi Grafis adalah segala hal yang berkaitan dengan titik, garis, ruang,
cahaya, warna, dan bentuk. Dalam pelaksanaannya, kesadaran akan grafis
ini harus dimiliki seluruh pembuat film. Sinergi antara sutradara, penata
artistik, sinematografer dan penata suara dalam menciptakan shot akan
sangat mempertimbangkan kesinambungan grafis (graphical continuity)
antara shot satu dengan shot lainnya dalam satu scene. Bila
kesinambungan grafis sulit diwujudkan, maka pembuat film akan
menggunakan keterpaduan grafis (graphical match) berdasarkan
kemiripan serta kedekatan unsur grafisnya. Bila tidak memungkinkan
pembuat film akan membenturkan antara shot satu dengan shot lain
(graphical contrast) dengan menggunakan teknik penyambungan tertentu
agar penonton tidak terganggu. Dimensi kedua adalah dimensi ritmis di
mana ritme sebuah editing sangat ditentukan oleh aspek pergerakan
kamera, pergerakan subjek, pembicaraan subjek juga pengaturan type of
shot yang sedemikian rupa sehingga penonton nyaman atas runutan shot
yang disusun. Dimensi ketiga adalah dimensi ruang, di mana umumnya
pembuat film menyiasati lokasi dan setting menggunakan type of shot dan
camera angle untuk menciptakan ruang yang sesuai dengan cerita.
Terakhir adalah dimensi waktu yang terdiri dari real time yaitu waktu
sebenarnya dalam satu plot cerita serta film time yaitu waktu yang
berajalan dalam film sebagai siasat untuk mendukung cerita. Film time
sendiri terbagi menjadi time ellipsis, time expand dan temporal overlapping
(Bordwell dan Thompson, 2008 : 220-231).

VI.2. Konsep Editing
Bordwell membagi konsep editing menjadi dua continuity editing dan
alternatives to continuity editing. Konsep continuity editing memudahkan
penonton untuk memahami ruang dan waktu yang disajikan oleh
pembuatnya. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan kesinambungan
ruang, gerak dan rasa melalui hubungan antar shot ataupun hubungan
antar scene-nya untuk membangun cerita. Continuity editing terbagi
menjadi dua unsur yaitu kesinambungan ruang (spatial continuity) dan
kesinambungan waktu (temporal continuity). Aturan yang diterapkan
dalam kesinambungan ruang adalah adanya prinsip 180o, eyeline match,
shot/reverse shot, screen direction, cut in, cross cutting dan terakhir match
on action. Aturan yang terakhir adalah yang sangat berhubungan dengan
seorang editor. Setiap penyambungan kalau bias dibuat sehalus mungkin
agar penonton tidak merasakan adanya potongan.

Aturan kedua dalam kesinambungan waktu (temporal continuity) yang
terdiri dari urutan waktu (temporal order) sebagai aturan pertama. Dalam
aturan ini urutan waktu hanya ada linear dan non-linear. Konsep continuity
editing boleh saja menggunakan urutan waktu non-linear asalkan penonton
dapat menangkap dengan jelas bahwa peristiwa yang menginterupsi
adalah bagian tidak terpisahkan dari plot utamanya. Kedua, durasi waktu
(temporal duration) yang terdiri dari durasi cerita (story duration), durasi
plot (plot duration) dan masa putar di layar (screen duration). Ketiga,
frekuensi waktu (temporal frequency) yang merupakan pengulangan secara
fisik sebuah adegan atau sebuah shot yang fungsinya mempertegas atau
memperkuat plot utama kalau digunakan dalam continuity editing
(Bordwell dan Thompson, 2008 : 231-251).

Konsep kedua adalah alternatives to continuity editing. Apabila ada unsur
yang tidak menggunakan atau unsur yang dilanggar dalam aturan
continuity editing, maka konsepnya akan berubah menjadi konsep
alternatives to continuity editing. Bordwell membagi dua wujud konsep ini
yaitu kemungkinan grafis dan ritmis (possibilities of graphic and rhythmic)
serta ketidaksinambungan ruang dan waktu (spatial and temporal
discontinuity) yang di dalamnya menggunakan teknik editing jump cut dan
non-diegetic insert (Bordwell dan Thompson, 2008 : 251-257).

Apabila dua aspek di atas berhubungan dengan seluruh personil utama dalam
pembuatan film, maka pada aspek selanjutnya lebih berhubungan dengan
tindakan seorang editor dalam memperlakukan shot-shot yang dimilikinya.

VI.3. Teknik dan Gaya Penyambungan (Cutting Technique dan Cutting
Style)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1437), teknik dipahami
sebagai metode, cara atau system untuk mengerjakan sesuatu. Berarti
teknik penyambungan adalah metode dalam melakukan penyambungan.
Dalam hal ini ada dua macam teknik penyambungan yaitu cut to cut dan
optical effect. Teknik cut to cut sendiri terdiri atas match cut dan cut away.
Sedangkan optical effect terdiri atas fade, dissolve dan wipe. Sedangkan
gaya adalah ragam dalam wujud cara, rupa, bentuk, dan sebagainya yang
bersifat khusus.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 443) juga menyebutkan
bahwa gaya penyambungan berarti cara penyambungan yang memiliki
kekhasan. Dalam pembuatan film gaya penyambungan juga terbagi dua
menjadi penyambungan yang halus dan tidak disadari oleh penonton
(invisible cutting) dan penyambungan yang disadari oleh penonton (visible
cutting).

VI.4. Teknik dan Gaya Editing (Editing Technique dan Editing Style)
Teknik editing adalah metode, cara atau sistem dalam mengedit film.
Sedangkan gaya adalah teknik editing yang memiliki kekhasan dan
digunakan secara dominan di dalam sebuah film. Teknik editing sendiri
banyak ragamnya seperti sequence shot, cutting to continuity, classical
cutting, thematic montage, abstract cutting, continuity cutting (Giannetti,
2001 : 136), jump cut, non-diegetic insert dan lain sebagainya. Bila satu
teknik editing dominan digunakan dalam sebuah film, maka teknik tersebut
tidak lagi disebut teknik editing akan tetapi berubah menjadi gaya editing.

Keempat landasan teori di atas adalah yang akan digunakan dalam membedah
dan membahas film-film karya Djadoeg Djajakoesoema. Alasan adalah bahwa
keempat teori di atas lebih sistematik dan dapat terjangkau oleh pembuat film
ataupun khalayak pemerhati film.


V. PEMBAHASAN

V.1. Dimensi Editing
Dimensi editing yang paling menonjol dalam beberapa film Djadoeg
Djajakoesoema adalah dimensi grafis. Penyebanya adalah bahwa dalam
semua film yang menjadi bahan untuk penulisan ini menggunakan teknik
day-for-night shooting, yaitu pengambilan gambar dan suara pada siang
hari untuk menggambarkan malam hari, biasanya digunakan filter khusus
(Giannetti, 2001 : 534). Rata-rata kesinambungan grafisnya terjaga
dengan baik. Akan tetapi Djadoeg Djajakoesoema terlalu nekat untuk
memperlihatkan adegan malam dalam wujud siang. Penataan cahayanya
lebih tampak seperti siang hari dari pada malam hari. Yang membedakan
antara adegan siang dan adegan malam hanya pada brightness yang
sedikit lebih rendah.

Pada adegan banjir dalam film Pak Prawiro dan film Api Dibukit Menoreh :
Gugurnya Tohpati perbedaan antara adegan siang dan adegan malam
sangatlah tipis, sehingga penonton sulit membedakan bila tidak ada
informasi dari dialognya. Pendapat tentang hal ini pernah diungkapkan
dalam surat kabar Harian Kami tertanggal 6 Oktober 1971 yang
menyatakan bahwa sinematografer film Api Dibukit Menoreh : Gugurnya
Tohpati ini bisa dikatakan tidak baik karena sukar membedakan mana
adegan siang dan mana adegan malam. Padahal skenarionya lumayan dan
penyutradaraannya tidak buruk (Hoerip, 1995 : 51).

Pada film Malin Kundang : Anak Durhaka terlihat pada adegan ibu dan
adik Malin Kundang yang sedang berjalan di luar rumahnya di mana sang
adik membawa obor dan adegan pertempuran kedua antara Nahkoda
Lengkap dengan bajak laut bernama Nahkoda Hitam. Ketika adegan
pertempurannya, brightness cahayanya memang dibuat lebih redup. Akan
tetapi ketika ada insert established shot dua kapal yang saling mendekat,
brightness-nya lebih tampak seperti siang hari. Dengan kata lain terdapat
graphical contrast pada adegan pertempuran tersebut yang mengganggu
kenyamanan penontonya. Perbedaan brightness yang tipis antara adegan
siang dan adegan malam ini juga terdapat secara menyeluruh pada film-
film lainnya seperti film Harimau Tjampa dan Tjamboek Api, terutama
pada adegan perkelahiannya yang beberapa adegan terjadi pada malam
hari.

Akan tetapi ada yang menarik pada film Malin Kundang : Anak Durhaka
yaitu ketika Malin Kundang dewasa kembali ke kampungnya untuk
pertama kalinya. Sang sutradara membiarkan kostum yang penuh warna
menyolok dipakai warga kampung maupun awak kapal saat adegan
makan bersama di dekat pantai. Secara grafis tampak sekali perbedaan
dengan adegan sebelum dan sesudahnya di mana warna kostumnya
cenderung netral. Djajakoesoema seolah menyiratkan pesan bahwa
adegan makan bersama itu adalah titik balik seorang Malin Kundang.
Pada adegan sebelumnya, kapal Nahkoda Lengkap berlayar dekat
Kampung Muara. Sang nahkoda mengajak Malin untuk menjenguk
ibunya, namun secara mengejutkan Malin mengatakan bahwa ibunya
tidaklah penting.

Untuk dimensi yang lain cenderung lebih biasa. Pada dimensi ritmisnya,
pacing adegan lebih ditentukan gerak subjek dibandingkan dibandingkan
pada penyambungannya (cutting). Ritme film terasa cepat atau lambat
benar-benar ditentukan oleh gerak subjek. Bahkan ritme adegannya
terkadang terasa tersendat atau patah karena penyambungannya
menggunakan visible cutting dengan penyambungan yang kasar.
Contohnya pada film Harimau Tjampa ketika adegan perkelahian antara
Guru Saleh dengan beberapa anak buah Datuk Langit.

Koeksistensi spasial pada dimensi ruang jarang sekali dibentuk dalam
film-film Djadoeg Djajakoesoema. Tetapi dalam film-filmnya, beliau
cukup konsisten dan kreatif dalam mengolah opening sequence (babak
pembuka). Dalam film Harimau Tjampa beberapa established shot
suasana pedesaan di Sumatera Barat dengan Rumah Gadangnya dirangkai
sedemikian rupa untuk menginformasikan ruang ceritanya (story space).
Dalam film Api Dibukit Menoreh : Gugurnya Tohpati dan Tjamboek Api juga
menggunakan rangkaian established shot. Pada film Api Dibukit Menoreh :
Gugurnya Tohpati, mise en scene-nya dua orang yang sedang memacu
kuda di daerah perbukitan. Sedangkan pada Tjamboek Api,
dikombinasikan secara bergantian beberapa orang yang sedang berlatih
tanding bersenjatakan cambuk dengan wilayah perbukitan. Shot-shot
tersebut dirangkai untuk memberi informasi tentang ruang cerita serta
pengenalan situasi. Berbeda lagi dalam film Pak Prawiro, penggunaan
established shot tetap dijaga tetapi mise en scene-nya cukup aneh yaitu
Pramuka yang sedang mengadakan pelatihan di tempat perkemahan.
Padahal hubungan dengan filmnya bahwa Indrasti (Aminah Cendrakasih)
adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru yang menyibukan diri dengan
melatih Pramuka. Jukstaposisi opening sequence beberapa filmnya
kebanyakan dipadukan (superimposing) dengan judul film dan credit title.
Hal ini menyebabkan informasi ruang ceritanya menjadi tidak terlalu
terasa.

Terakhir dari hubungan antar shot adalah dimensi waktu. Bentukan real
time dalam film-film Djadoeg Djajakoesoema banyak yang sama durasinya
dengan durasi di layarnya karena kecenderungan penggunaan long take.
Sedangkan film time yang banyak digunakan dalam enam film di atas
adalah time ellipsis. Film time tersebut cenderung digunakan untuk
pemilihan plot-plot agar waktunya lebih efisiensi. Maksudnya, agar plot
yang dipilih dapat berfungsi dengan baik dan tidak bertele-tele.


V.2. Teknik dan Gaya Penyambungan
Teknik penyambungan yang banyak digunakan dalam film-film
Djajakoesoema adalah cut to cut terutama cut away. Hal ini dapat
dimaklumi karena banyak sekali shot yang dibuat dibiarkan sampai suatu
aksi (action) selesai. Hal tersebut dapat dilihat dari adegan-adegan
perkelahian pada film Harimau Tjampa dan Tjambuk Api. Sedangkan
untuk optical effect penggunaanya lebih formal dan mendasar. Misalnya
fade in digunakan sebagai pembuka film dan fade out – fade in digunakan
untuk pergantian babak (sequence) dan ini pun tidak banyak. Dissolve
tampak digunakan seperti ala kadarnya. Dalam film Malin Kundang : Anak
Durhaka, saat Malin kecil mulai menjadi awak kapal digunakan dissolve to
dissolve yang dikombinasikan dengan cut away untuk menunjukan
pergantian waktu yang cepat dan menginformasikan karakter Malin kecil
rajin bekerja.

Untuk gaya penyambungannya, film-filmnya banyak menggunakan visible
cutting terutama untuk adegan-adegan perkelahian. Walaupun ada juga
penggunaan invisible cutting seperti pada adegan perkelahian antara
Lukman dan Biran dalam film Harimau Tjampa, di mana
penyambunganya sangat memperhatikan kesinambungan geraknya
(match on action).

V.3. Konsep dan Gaya Editing
Film-film Djadoeg Djajakoesoema lebih banyak menggunakan konsepsi
editing alternatives to continuity editing. Dalam peletakan kameranya
beliau mengingatkan pada Yasujiro Ozu yang tidak peduli dengan aturan-
aturan continuity editing yang sudah sejak lama menjadi tradisi dalam
industri film Hollywood. Ada perbedaan yang mendasar antara Ozu
dengan Djajakoesoema. Ozu cenderung konsisten menggunakan aturan
360O dan ketidakpeduliannya dengan screen direction dalam semua
filmnya. Sedangkan Djajakoesoema lebih tidak konsisten karena beliau
punya kecenderungan bahwa bila suatu adegan yang dibuat sudah sampai
pesannya maka itu cukup untuk beliau. Ketidakkonsistenan dalam
konsepsi editing inilah yang menjadi ciri beliau. Salah satu kekuatannya
adalah menyutradarai pemain karena dasar teater yang sangat kuat
dalam darah beliau. Adegan-adegan yang dibuat beliau tidak pernah
menggunakan satu teknik editing tertentu. Hal ini menyebabkan gaya
editing film-filmnya sangatlah sulit ditentukan bahkan untuk satu film.
Tentu saja karena tidak adanya teknik editing yang menjadi kekhasan dan
dominan.

V.3.1. Adegan Pembicaraan (Dialogue Scene)
Dalam film Pak Prawiro, pada adegan dialog antara Pak Prawiro
dengan isterinya yang menyuguhkan susu kambing, tampak
digunakan teknik continuity cutting yaitu yaitu penyambungan yang
mencoba mempertahankan keluwesan suatu peristiwa tanpa
menunjukkan semuanya secara harfiah (Giannetti, 2001 : 134). Bisa
juga diartikan sebagai cara mengedit untuk menjaga aliran peristiwa
dalam urutan logis (Oakey, 1983 : 43). Secara decoupage sudah
sangat menarik untuk masanya. Shot awal menggunakan
choreography shot dari shot gelas lalu kamera track right dengan
mengoreksi komposisi untuk menangkap Bu Prawiro mengantarkan
susu kambing yang sudah direbusnya dan berhenti saat Pak Prawiro
akan menyucup susu di gelas. Shot-shot selanjutnya adalah
shot/reverse shot dengan ritme yang konstan. Teknik yang sama
juga digunakan dalam film Api di Bukit Menoreh : Gugurnya Tohpati
yaitu ketika Sedayu baru sampai di Sangkal Putung dan
menyampaikan pesan dari kakaknya, Untoro. Setelah itu terjadi
perbincangan strategi untuk menghadapi Tohpati dan pasukannya.
Shot yang dibuat lebih banyak three shot atau group shot, kecuali
ketika perbincangan mengarah kepada Sedayu, maka shot-nya
dibuat close up Sedayu yang sedang menunduk. Hal ini tampak
sekali bahwa Sedayu adalah tokoh penting walaupun sangat rendah
hati.

Dalam adegan dialog yang lain, digunakan teknik sequence shot yaitu
sebuah shot yang berdurasi panjang dan biasanya melibatkan gerak
subjek dan/atau gerak kamera yang umumnya dibuat untuk
menghilangkan keharusan melakukan penyambungan shot yang
lebih padat, terutama ketika aksi tokoh sangat menuntut
keterlibatan yang intens dari penonton (Oakey, 1983 : 158).
Contohnya dalam film ketika adegan Api di Bukit Menoreh :
Gugurnya Tohpati yaitu pada adegan Mirah mengajak Sedayu dan
Sidanti pergi ke pasar. Sidanti yang cemburu kepada Sedayu
menyerang dengan kata-kata yang keras mengajak untuk berkelahi.
Type of shot yang digunakan adalah three shot antara Sidanti dan
Sedayu yang berhadapan dengan Mirah. Teknik sequence shot
digunakan tanpa sekalipun ada insert shot dan penekanan dramatik
lebih menggunakan intonasi dan artikulasi dialog tokoh Sidanti.
Begitu pula adegan Malin Kundang yang mulai serakah ketika di
dalam gua harta karun dalam film Malin Kundang : Anak Durhaka,
sebelum membunuhi orang-orang yang akan menjadi
penghalangnya ada dialog panjang yang dibiarkan menjadi seperti
dalam adegan pada panggung teater. Hal ini wajar karena para
pemainnya banyak yang sudah matang di panggung teater.

V.3.2. Adegan Perkelahian (Fighting Scene)
Contoh paling jelas ketidakkonsistenan penggunaan teknik editing
adegan perkelahian yaitu dalam film Harimau Tjampa. Setidaknya
ada tiga teknik editing yang beliau gunakan. Pertama, saat Guru
Saleh dikeroyok beberapa anak buah Datuk Langit, teknik editing
yang digunakan adalah dynamic cutting yaitu teknik editing yang
materi shot-nya dikontraskan sedemikian rupa untuk memberikan
ekspresi yang signifikan (Katz, 1990 : 371). Ritmenya seperti
sengaja dibuat patah atau tersendat karena penyambungan antar
shot-nya yang kasar.

Kedua, ketika Lukman mulai menguasai jurus silat dan melakukan
latih tanding, beliau menggunakan teknik sequence shot. Lebih unik
teknik ini ketika digunakan dalam film Lahirnja Gatotkatja karena
menjadikan adegannya lebih mirip pertunjukan wayang orang.
Namun tetap memiliki perbedaan karena blocking dan gesture
pemainnya menggunakan pendekatan yang alamiah. Artinya tidak
seperti wayang orang yang lebih cenderung menggunakan gerak
berwujud tarian. Ketiga, perkelahian antara Lukman dan Biran
setelah mereka berjudi, teknik editing yang digunakan adalah
continuity cutting

Berbeda lagi dalam film Api di Bukit Menoreh : Gugurnya Tohpati di
mana pada adegan perkelahian awal antara beberapa orang dari
laskar Jipang dengan Untoro, Djajakoesoema menggunakan teknik
intercut yaitu teknik editing dimana dua atau lebih peristiwanya
disambung secara berselang-seling secara bergantian dan sering
menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terkait satu sama lain
(Phillips, 2009 : 678). Pada adegan tersebut penyambungannya
dilakukan secara berselang-seling antara perkelahian Untoro
dengan tentara Jipang dan Sedayu yang ketakutan sambil
memegangi kekang kuda. Teknik ini juga digunakan dalam Malin
Kundang : Anak Durhaka pada adegan perkelahian terakhir ketika
Malin menolak ibunya, adegan perkelahian antara Mualim Dunia
dengan awak kapal Malin Kundang disambung secara berselang-
seling secara bergantian dengan adegan Malin yang melarikan diri
bersama isteri dan beberapa awak kapalnya yang lain.

V.3.3. Sisipan Komedi
Sepintas film-film Djadoeg Djajakoesoema akan selalu dianggap
serius. Akan tetapi bila diperhatikan lebih teliti, beliau terkadang
menyelipkan unsur komedi yang tidak terduga. Dalam film
Tjamboek Api pada adegan perkelahian di warung antara dua
pemuda dengan Nurman yang dianggap antek Suro, Djajakoesoema
menyisipkan unsur komedi. Tekniknya menggunakan dynamic
cutting dan pada adegan itu dua kali beliau melakukannya. Pemuda
1 tersungkur ke lantai karena Nurman menghindari pukulannya
kemudian disusul oleh Pemuda 2. Pemuda 1 mengira bahwa
Pemuda 2 itu adalah Nurman, seketika itu juga langsung memukul.
Sadar kalau salah memukul orang, Pemuda 1 langsung
menghentikan pukulannya dan mereka berdua melihat menoleh ke
arah Nurman yang siap menyerang. Dua pemuda itu akhirnya
mengeroyok Nurman dan terjadi pergumulan di lantai. Posisi
Nurman ada di bawah dan sedang dicekik oleh Pemuda 1. Anehnya
Pemuda 2 justru mencekik Pemuda 1, bukan membatu kawannya
mencekik Nurman. Sejenak kemudian ia baru sadar kalau yang
dicekik adalah kawannya.

Film Pak Prawiro yang memang benuansa komedi tidak luput
adanya kejutan dari Djajakoesoema. Pada adegan ketika seorang
nenek hampir pingsan karena ketakutan merasa kepalanya
dipegang oleh setan yang sebenarnya tangan Pak Prawiro. Nenek
tersebut lari ke dapur lalu dipegangi oleh beberapa ibu. Sang nenek
ditawari untuk minum teh, akan tetapi menolak dan malah meminta
kopi sebelum jatuh pingsan. Walaupun teknik editingnya
menggunakan sequence shot namun cletukan-nya yang meminta
kopi dari pada teh tetap lucu karena kekuatan akting pemainnya.

Masih dari film Pak Prawiro, Djajakoesoema menggunakan teknik
editing thematic montage yang disambungnya tanpa jeda pada
adegan di kereta api. Seorang ibu muda dianggap Pak Prawiro tidak
memiliki kesantunan karena pura-pura sakit dan tidak memberikan
tempat duduk untuknya. Tiba-tiba saja Pak Prawiro nembang
sebuah lagu berbahasa Jawa dan sang ibu tetap tidak peduli
walaupun ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya. Tiba-tiba
saja karakter ibu muda itu disambung menggunakan dissolve
menjadi sosok Sembodro, sedangkan Pak Prawiro sendiri berubah
kostum dan make up-nya menjadi tokoh Burisrowo. Adegan Pak
Prawiro menyanyi diakhiri oleh dengan menakuti dengan tingkah
seperti buto (rakasasa) dan ibu muda itu akhirnya meninggalkan
tempat duduknya.

V.3.3. Sisipan Musikal
Selain dalam film Pak Prawiro pada adegan Burisrowo dan
Sembodro, Djajakoesoema juga memberi kejutan dalam film
Tjamboek Api, dengan adanya adegan musikal. Menggunakan iringan
musik dalam dimensi suara non-diegetic sound. Pertama, Ketika
Marni bernyanyi bersama anak-anak yang memgang angklung.
Kedua, ketika Kasan mengairi ladang singkongnya dengan ember
berpengungkit. Awalnya Kasan menyanyi sendiri dan akhirnya
datang Marni yang akhirnya dua sejoli tersebut menyanyi bersama.

Sedikit berbeda dengan yang di atas, pada film Harimau Tjampa
beliau menggunakan lagu pengantar pada setiap awal adegan.
Terutama setiap berganti babaknya (sequence).

V.3.4. Wayang Orang dan Pertunjukan Ketoprak Modern
Sequence shot merupakan teknik editing yang cukup banyak
digunakan dalam film Lahrinja Gatotkatja. Uniknya dengan teknik
tersebut, Djajakoesoema memberi nuansa musik gamelan secara
konsisten dari awal hingga akhir. Akhirnya film tersebut terasa
seperti pertunjukan Wayang Orang dengan gerak subjek yang
alamiah.

Tidak sampai di situ, film Pak Prawiro juga diperlakukan sama
dengan film Lahirja Gatotkatja. Juga menggunakan alunan musik
gamelan yang ada hampir di setiap adegan. Film ini akhirnya seperti
memindahkan pertunjukan Ketoprak ke dalam layar perak.

V. Kesimpulan

Film-film Djadoeg Djajakoesoema sepintas seolah-olah tidak memiliki
keistimewaan. Memang terasa dari teknik editing yang digunakannya, di mana
beliau tidak pernah menggunakannya secara konsisten. Akan tetapi
ketidakkonsistenan inilah yang justru menjadi kelebihan beliau karena dengan
hal tersebut beliau menjadi sangat bebas dalam berkreasi. Wujud Wayang Orang
modern dalam film Lahirnja Gatotkatja; wujud Ketoprak modern dalam film Pak
Prawiro; sisipan komedi dalam film Tjamboek Api dan Pak Prawiro; sisipan
musikal dalam Tjamboek Api dan masih banyak yang lainnya adalah bukti
keratifitas beliau yang tak kenal batas dan membuat film-film beliau sebenarnya
istimewa.




VII. Daftar Pustaka

Bordwell, David dan Thompson, Kristin, Film Art : An Introduction, (New York,
McGraw-Hill : 2008)

Giannetti, Louis, Understanding Movies, Edisi Kesembilan, (New Jersey, Prentice
Hall : 2001)

Hoerip, Stayagraha, Dua Dunia Djadoeg Djajakoesoema, (Jakarta, Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta : 1995)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa - Departemen Pendidikan
Nasional : 2008).

Katz, Ephraim, The Film Encyclopedia, (New York, Harper and Row Publisher :
1990).

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda
Karya : 2007).

Oakey, Virginia, Dictionary of Film and Television Terms, (New York, Barnes and
Noble Books : 1983)

Phillips, William H., Film : An Introduction, (Hampshire, Palgrave MacMillan :
2009)



CATATAN:
Tulisan ini dimuat dalam buku berjudul D.
Djajakusuma : Memandang Film dan Seni Tradisi.
Diterbitkan oleh IKJ Press dan FFTV-IKJ Press dalam
rangka Dies Natalis Institut Kesenian Jakarta ke-48
tahun.

Anda mungkin juga menyukai