Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar

glukosa dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu

tanda khas penyakit diabetes mellitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan

pada beberapa keadaan yang lain.6

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau keduanya.7 Diabetes melitus dapat ditemui pada 120 juta

penduduk dunia dan diperkirakan akan meningkat jumlahnya menjadi 370 juta

pada tahun 2030. Penyakit ini merupakan penyakit kronik progresif yang

umumnya tidak dapat disembuhkan.8

Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu

diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu

diabetes yang didapat setelah dewasa. Diabetes melitus tipe 2 terdiri dari

serangkaian disfungsi yang ditandai dengan hiperglikemia dan akibat kombinasi

resistensi terhadap aksi insulin, sekresi insulin yang tidak adekuat, dan sekresi

glukagon yang berlebihan atau tidak tepat.34

2.2. Epidemiologi

5
6

Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah

penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global.

Laporan 2017 Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

memperkirakan bahwa di Amerika Serikat, pada tahun 2015, 30,3 juta orang dari

semua umur, atau 9,4% dari populasi, menderita diabetes (termasuk 30,2 juta

orang dewasa berusia 18 tahun ke atas, atau 12,2% dari semua orang dewasa AS)

dan 84,1 juta orang dewasa (33,9% dari populasi orang dewasa) memiliki

pradiabetes. 10 negara teratas dalam jumlah penderita diabetes saat ini adalah

India, China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia,

dan Bangladesh.34

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4

juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini

menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat

pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF)

memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta

pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data Badan

Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang

berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu pada pola

pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194

juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-


7

rata prevalensi DM di daerah urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%.

Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di

Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan

prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi

Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat dengan rerata sebesar 10.2%.6

2.3. Patofisiologi

Diabetes melitus secara garis besar terbagi menjadi DM tipe 1 (DMT1)

dan DM tipe 2 (DMT2). Diabetes melitus tipe 1 merupakan manifestasi dari

defisiensi insulin total. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi destruksi sel beta

pankreas yang bertugas menghasilkan insulin. Proses destruksi ini dapat terjadi

karena proses imunologik maupun idiopatik.9


8

Gambar 2.1 Regulasi Kadar Glukosa Darah Oleh Insulin Pada Orang Sehat,
Penderita DMT1 dan DMT2.10

Diabetes melitus tipe 2 merupakan kondisi multifaktorial dengan derajat

resistensi insulin yang bervariasi, gangguan sekresi insulin dan peningkatan

produksi glukosa.9 Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe 2 adalah pasien

obesitas dan keadaan ini berhubungan dengan resistensi insulin. Resistensi insulin

telah terjadi beberapa dekade sebelum kejadian diabetes melitus tipe 2. Secara

fisiologis, tubuh dapat mengatasi resistensi insulin yang terjadi dengan

meningkatkan jumlah sekresi insulin sehingga hiperglikemia tidak terjadi. Pada

suatu saat, gabungan antara defek sekresi insulin dan resistensi insulin

menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Saat terdiagnosis DM, diperkirakan


9

pasien tersebut sudah mengalami kehilangan 50% massa sel beta pankreas,

sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sekresi insulin dan resistensi insulin

tersebut.6

Gambar 2.2 Patofisiologi diabetes mellitus tipe 2

2.4. Klasifikasi

DM diklasifikasikan berdasarkan perbedaan proses patofisiologis yang

akhirnya menyebabkan hiperglikemia. Secara garis besar DM diklasifikasikan

sebagai diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dan diabetes melitus tipe 2 (DMT2). 9

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun 2015

mengklasifikasikan DM menjadi berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi DM menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia


(PERKENI) tahun 20156
Klasifikasi DM Definisi
DMT1 Destruksi sel beta pankreas, umumnya menjurus ke
10

defisiensi insulin absolut sehingga mutlak

membutuhkan terapi insulin.

 Autoimun

 Idiopatik
DMT2 Bervariasi, mulai dari dominan resistensi insulin

disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan

efek sekresi insulin disertai resistensi insulin.


DM tipe lain Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Penyakit endokrin pankreas

Karena obat / zat kimia / iatrogenik

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM


DM Gestasional Intoleransi glukosa yang terjadi selama masa

kehamilan.8

2.5. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi diabetes mellitus tipe 2 tampaknya melibatkan interaksi kompleks

antara faktor lingkungan dan genetik. Agaknya, penyakit ini berkembang ketika

gaya hidup diabetogenik (yaitu asupan kalori yang berlebihan, pengeluaran kalori

yang tidak memadai, obesitas) berinteraksi dengan genotipe yang rentan.34

Sekitar 90% pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami obesitas. Namun,

penelitian prospektif berbasis populasi yang besar telah menunjukkan bahwa


11

makanan padat energi mungkin merupakan faktor risiko terjadinya diabetes yang

tidak bergantung pada obesitas awal.34

Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:

 Usia lebih dari 45 tahun (meskipun diabetes mellitus tipe 2 terjadi dengan

frekuensi yang meningkat pada individu muda)

 Berat badan lebih besar dari 120% berat badan yang diinginkan

 Riwayat keluarga diabetes tipe 2 dalam tingkat pertama relatif (misalnya,

orang tua atau saudara kandung)

 Ras Hispanik, penduduk asli Amerika, keturunan Afrika Amerika, Asia

Amerika, atau Kepulauan Pasifik

 Riwayat toleransi glukosa glukosa sebelumnya (IGT) atau gangguan

glukosa puasa (IFG)

 Hipertensi (> 140/90 mmHg) atau dislipidemia (kadar kolesterol HDL <40

mg / dL atau kadar trigliserida> 150 mg / dL)

 Riwayat diabetes melitus gestasional atau mengantarkan bayi dengan berat

lahir lebih dari 9 lb

 Sindrom ovarium polikistik (yang menyebabkan resistensi insulin)

Usia

Diabetes tipe 2 telah lama dianggap sebagai kondisi yang diderita oleh

orang tua. Namun, persepsi ini memerlukan modifikasi seiring bertambahnya

jumlah orang muda (berusia 20-40 tahun) didiagnosis menderita penyakit ini.

Laporan Internasional Diabetes Federation (IDF) 2013 tentang prevalensi

diabetes di seluruh dunia memperkirakan bahwa 382 juta orang menderita


12

diabetes, dengan jumlah terbesar berusia antara 40 tahun dan 59 tahun.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa 5,1 juta kematian disebabkan oleh

diabetes, yang sekitar setengahnya pada orang <60 tahun. Data sebelumnya

menunjukkan bahwa, pada pasien dengan diabetes, usia pasien dan usia saat

pertama didiagnosis memiliki efek yang bervariasi terhadap risiko komplikasi

vaskular. Beberapa penelitian telah melaporkan efek yang jelas dari usia yang

lebih tua mengenai risiko infark miokard dan stroke pada orang dengan

diabetes.11

Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia

lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi

peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan

berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. Selain

itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas

mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%.12

Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar

30% dan memicu terjadinya resistensi insulin. Berdasarkan WHO, setelah

seseorang mencapai umur 30 tahun akan terjadi peningkatan kadar GDP

sebesar 1-2% per tahun dan glukosa 2 jam PP sebesar 5,6-13 mg/dl. Namun

prevalensi pada usia 65 tahun ke atas semakin menurun, kemungkinan pada

kelompok tersebut responden DM berkomplikasi berat sehingga tak bisa

datang ke tempat pemeriksaan atau kemungkinan pada kelompok tersebut

sebagian besar sudah meninggal.13


13

Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Zoungas dkk pada tahun

2014 dari populasi orang dengan diabetes tipe 2 yang sangat besar dan

beragam menunjukkan bahwa usia atau usia saat didiagnosis diabetes dan

durasi diabetes dikaitkan secara independen dengan risiko komplikasi

makrovaskular dan kematian, sementara durasi diabetes saja dikaitkan secara

independen dengan risiko komplikasi mikrovaskular. Penelitian ini juga

melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara usia atau usia saat diagnosis

dan durasi diabetes mengenai risiko kejadian makrovaskular dan kematian

namun adanya interaksi yang jelas antara hubungan antara usia atau usia saat

diagnosis dan durasi diabetes pada risiko kejadian mikrovaskular. Usia yang

lebih tua atau usia saat diagnosis dan durasi diabetes yang lebih lama secara

proporsional meningkatkan risiko kejadian makrovaskular dan kematian,

dengan risiko terbesar diamati pada kelompok usia tertua dengan durasi

diabetes terpanjang. Sebaliknya, efek samping dari durasi diabetes yang lebih

lama pada risiko kejadian mikrovaskular berkurang dengan usia atau usia

yang lebih tua saat diagnosis, sehingga risiko terbesar kejadian mikrovaskular

diamati pada kelompok usia termuda dengan durasi diabetes terpanjang.11

Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan oleh Desy L, dkk mendapatkan bahwa

perempuan yang lebih banyak menderita DM tipe 2 dibandingkan laki-laki

(32,9%). Perempuan lebih berisiko menderita DM tipe 2 dihubungkan dengan

kehamilan di mana kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit

diabetes mellitus.14
14

Wanita lebih berisiko mengidap DM tipe 2 karena secara fisik wanita

memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. 14

Sedangkan menurut Tandra dkk wanita lebih berisiko menginap DM tipe 2

karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh

yang lebih besar.15

Gaya Hidup Nirgerak

Gaya hidup nirgerak adalah gaya hidup dengan aktivitas fisik sedikit atau

tidak sama sekali. Seseorang yang hidup dengan gaya hidup sering duduk

atau berbaring saat melakukan aktivitas seperti membaca, bersosialisasi,

menonton televisi, bermain video game, atau menggunakan telepon

genggam/komputer sepanjang hari. Gaya hidup yang tidak berpindah-pindah

berpotensi menyebabkan kesehatan yang buruk dan banyak penyebab

kematian yang dapat dicegah.34

1. Aktivitas Fisik Saat Kerja dan Waktu Senggang

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa aktivitas fisik baik berat maupun

ringan dikaitkan dengan penurunan risiko diabetes relatif sekitar 30%. Semua

jenis aktivitas fisik pada waktu luang serta ataupun saat kerja berhubungan

terbalik dengan risiko diabetes.19,20 Efek menguntungkan dari latihan fisik adalah

meningkatnya sensitivitas insulin dan dapat mengendalikan kadar gula darah.21,22

Menyisihkan 30 menit untuk melakukan aktivitas sedang hingga berat dapat

meningkatkan 15% sensitivitas insulin. Efeknya tidak hanya terhadap pembakaran

kalori, karena aktivitas fisik yang meningkat tetapi juga penurunan berat badan.23

2. Kebiasaan menonton TV atau waktu duduk


15

Terdapat hubungan kuat antara waktu duduk dengan obesitas atau kejadian

diabetes, terlepas dari tingkat aktivitas fisik. Semakin lama waktu yang dihabiskan

untuk duduk atau berbaring dapat melipatgandakan risiko diabetes.24 Dalam

sebuah penelitian, setiap jam menonton televisi meningkatkan risiko diabetes

selama 3,2 tahun 3,4%.25 Hubungan kedua hal tersebut terjadi dua arah, gaya

hidup yang tidak aktif menjadi faktor risiko obesitas dan begitu juga sebaliknya.

Rekomendasi untuk membatasi waktu duduk dalam posisi tegak dan bergerak

didasarkan pada uji coba jangka pendek yang melaporkan efek metabolik yang

menguntungkan dari bergerak (tanpa latihan fisik rutin) dibandingkan dengan

duduk, dapat mengurangi jumlah lemak dalam tubuh. Duduk di meja kerja

mengeluarkan energi setidaknya 5% dari energi basal, sedangkan nilainya dua kali

lipat ketika berdiri dan berjalan.24

3. Lingkungan rumah dan durasi serta kualitas tidur

Studi epidemiologis menyatakan terdapat hubungan antara peningkatan

paparan lalu lintas, kebisingan di lingkungan perumahan, serta partikel udara

halus dengan risiko diagnosis DM tipe 2 terjadi selama 5-12 tahun terakhir. Risiko

terjadi pada sekitar 20-40% untuk orang-orang yang terpapar, setidaknya dengan

tingkat kebisingan 10 dB atau sampai 10 μg / m3 dari partikel halus selama 10

tahun, atau tinggal di jalan yang padat. Perlu diingat bahwa asosiasi ini tidak

bersifat kausal, tetapi telah dilakukan penyesuaian untuk usia, jenis kelamin dan

gaya hidup (termasuk BMI dan aktivitas fisik), serta status sosial ekonomi. Faktor

lain yang berkontribusi adalah durasi dan kualitas tidur. Paparan bising udara pada

malam hari atau cahaya yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Efek serupa
16

telah dilaporkan pada pekerja shift atau orang dengan durasi tidur yang sedikit

akibat jam kerja atau justru waktu luang yang terlalu panjang.26 Penelitian meta-

analisis terbaru dari studi prospektif melaporkan risiko terendah diabetes pada

durasi tidur 7-8 jam perhari dan peningkatan risiko sebesar 9% untuk setiap durasi

tidur 1 jam lebih pendek.27 Durasi tidur yang lebih lama atau tidur siang hari

mungkin juga merupakan faktor risiko diabetes atau sindrom metabolik, tetapi

penelitian ini tidak bersifat konsisten. Dalam sebuah percobaan terkontrol, waktu

tidur yang terbatas selama 5 hari berturut-turut menyebabkan 29% penurunan

sensitivitas insulin di seluruh tubuh, dan penurunan tingkat pembuangan glukosa

langsung terjadi setelah satu malam dengan durasi tidur 4 jam.28 Aspek lain dari

lingkungan perumahan juga dapat memodulasi risiko diabetes, seperti iklim,

radiasi UV, atau paparan racun dan alergen, meski belum ada riset khusus

mengenai ini.23

Gangguan tidur berhubungan dengan kadar gula darah puasa yang

abnormal dan resistensi insulin. Bukti menunjukkan bahwa gangguan tidur

berhubungan dengan meningkatnya aktivitas saraf simpatik. Hiperaktivitas saraf

simpatik dapat mengubah homeostasis glukosa dan memicu resistensi insulin

dengan meningkatkan pemecahan glikogen dan glukoneogenesis.29 Berbagai bukti

menunjukkan bahwa waktu tidur yang pendek mengganggu keseimbangan leptin

dan ghrelin, sehingga menyebabkan rasa lapar meningkat. Pengurangan tidur

memicu kadar glukosa yang lebih tiggi, rendahnya kadar insulin, dan 30%

peningkatan nafsu makan pada karbohidrat tinggi kalori. Hormon penghambat


17

nafsu makan (leptin) berkurang 18%, sedangkan kadar hormon peningkat nafsu

makan (ghrelin) meningkat hingga 28%.30

Faktor Keturunan

DM Tipe 2 adalah penyakit yang diturunkan. Memiliki satu orang tua

dengan DM peningkatkan risiko DM hingga 2 kali lipat, risiko bisa

meningkat hingga 6 kali lipat jika memiliki dua orang tua dengan diabetes.

Perkiraan adanya penambahan genetik DM Tipe 2 secara turun temurun

berkisar antara 25-40%.31

Studi asosiasi genomik telah mengidentifikasi lusinan varian genetik

yang umum dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Dari varian

yang sejauh ini ditemukan, yang memiliki efek paling kuat pada kerentanan

adalah transkripsi faktor 7—seperti 2 (TCF7L2).34

Varian genetik yang teridentifikasi hanya mencakup sekitar 10%

komponen diabetes tipe 2 yang dapat diwariskan. Beberapa bentuk diabetes

memiliki hubungan yang jelas dengan cacat genetik. Sindrom ini secara

historis dikenal sebagai maturity onset diabetes of youth (MODY), yang

sekarang dipahami sebagai berbagai cacat pada fungsi sel beta, menyumbang

2-5% individu dengan diabetes tipe 2 yang hadir pada usia muda dan

memiliki penyakit ringan dan sifatnya autosomal dominan.34

Sampai saat ini, 11 subtipe MODY telah diidentifikasi, yang melibatkan

mutasi pada gen berikut:

 HNF-4-alfa

 Gen glukokinase
18

 HNF-1-alfa

 IPF-1

 HNF-1-beta

 NEUROD1

 KLF11

 CEL

 PAX4

 INS

 BLK

Sejumlah varian asam mitokondria deoksiribonukleat (DNA) telah

diusulkan sebagai faktor etiologi untuk sebagian kecil pasien diabetes tipe 2.

Dua mutasi titik spesifik dan beberapa delesi dan duplikasi pada genom

mitokondria dapat menyebabkan diabetes tipe 2 dan gangguan pendengaran

sensorineural.34

Pola Makan Diabetogenik

Gaya hidup diabetogenik yaitu pola makan yang terdiri asupan kalori

yang berlebihan, pengeluaran kalori yang tidak memadai, serta obesitas.

Sedangkan pola makan diabetogenik menitikberatkan pada asupan tinggi

kalori, rendah protein, dan rendah lemak.34

Kelebihan berat badan dan obesitas menyebabkan metabolisme

glukosa yang abnormal, dimana berhubungan kuat dengan peningkatan

resistensi insulin. Obesitas dapat memicu perubahan pada metabolisme tubuh


19

yang menyebabkan jaringan lemak (adiposa) untuk melepaskan asam lemak

dalam jumlah yang lebih banyak, gliserol, hormon, sitokin pemicu inflamasi,

dan faktor lain yang memicu perkembangan resistensi insulin.17

Penelitian pada pasien DM Tipe 2 di Bangladesh tahun 2013

menemukan bahwa secara signifikan obesitas lebih tinggi terjadi pada wanita,

yaitu 24,7% berbanding 9,7% pada pria.18

Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu fase dini (fase

1) atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan. Insulin

yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap

pakai); dan fase lanjut (fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah

stimulasi glukosa. Pada fase 1, pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi

insulin untuk mencegah kenaikan kadar glukosa darah, dan kenaikan glukosa

darah selanjutnya akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan produksi insulin.

Makin tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin banyak pula insulin yang

dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya terbatas pada kadar glukosa darah

dalam batas normal.35

Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa

darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak,

tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang

normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1

tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh

hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-

angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan


20

demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang

menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi

hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta.35

Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa

dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg% kadar

insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa

melebihi 140 mg % maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi;

pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun.

Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan

insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai

berkurang sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan

hiperglikemi pada puasa.35

2.6 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:6

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


21

 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria Diagnosis DM:6

A. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

B. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau

C. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik,

atau

D. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program

(NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).6

2.6. Tatalaksana

Tujuan pengobatan diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

 Menurunkan risiko penyakit mikrovaskular (yaitu, mata dan ginjal)

melalui pengendalian glikemia dan tekanan darah

 Menurunkan risiko penyakit makrovascular (yaitu, koroner,

serebrovaskular, vaskular perifer) melalui pengendalian lipid dan

hipertensi, penghentian merokok


22

 Pengurangan risiko metabolik dan neurologis melalui pengendalian

glikemia34

Asosiasi untuk Studi Diabetes (EASD) dan American Diabetes

Association (ADA) menempatkan kondisi, keinginan, kemampuan, dan toleransi

pasien di pusat proses pengambilan keputusan.

Pernyataan posisi EASD / ADA berisi 7 poin utama:

1. Target glikemik individual dan terapi penurun glukosa

2. Diet, olahraga, dan pendidikan sebagai dasar program pengobatan

3. Penggunaan metformin sebagai obat lini pertama optimal kecuali

kontraindikasi

4. Setelah metformin, penggunaan 1 atau 2 agen oral atau injeksi tambahan,

dengan tujuan meminimalkan efek samping jika memungkinkan.

5. Pada akhirnya, terapi insulin saja atau dengan agen lain jika diperlukan

untuk menjaga kontrol glukosa darah

6. Bila memungkinkan, semua keputusan pengobatan harus melibatkan

pasien, dengan fokus pada preferensi, kebutuhan, dan nilai pasien

7. Fokus utama pada pengurangan risiko kardiovaskular komprehensif34

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari;

pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan

melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,

meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan


23

dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi

farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.

Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non

farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa

darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak

meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.

TERAPI GIZI MEDIS

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang

sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis

ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan

pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan

individual.

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:

1). Menurunkan berat badan; 2). Menurunkan tekanan darah sistolik dan dia 3).

Menurunkan kadar glukosa darah; 4). Memperbaiki profil lipid; 5). Meningkatkan

sensitivitas reseptor insulin; 6). Memperbaiki sistem koagulasi darah.

Tujuan Terapi Gizi Medis

Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan

mempertahankan

1. kadar glukosa darah mendekati normal glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl

glukosa darah 2 jam setelah makan 180 mg/dl kadar Alc <7%

2. tekanan darah 130/80 mmHg

3. profil lipid
24

• kolesterol LDL 100 mg/dl

• kolesterol HDL >40 mg/dl

• Trigliserida 150 mg/dl

4. berat badan senormal mungkin

Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizimedis ini lebih difokuskan

pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan

makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas.

Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga

perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan,

realistik dan sederhana.

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola

makan diabetisi antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status

kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor

fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada

usia tua, lain lain. Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme

yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang

juga tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi, kebiasaan atau tradisi

di dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang

ada.

Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan

yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan perubahan

pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan

sehari-hari. Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi


25

karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan

mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan

diabetisi secara tepat.

JENIS BAHAN MAKANAN

Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi

tidak boleh lebih dari 55-65 %dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh

lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai

tunggal (MUFA—monounsaturated fattyacids). Pada setiap gram karbohidrat

terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori

Rekomendasi pemberian karbohidrat

1. kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih

ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu

sendiri

2. 2 dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya berasal dari

sumber karbohidrat.

3. jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat

maksimal 70% dari total kebutuhan kalori per hari

4. jumlah serat 25-50 gram per hari

5. jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan

sampai lebih dari total kalori per hari

6. sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin,

aspartame, acesultam dan sukralosa

7. penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari


26

8. fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari

9. makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari

total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan

pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan

pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar

4 kilokalori gram.

Rekomendasi pemberian protein

1. kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi per hari

1. 2 pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak

akan mempengaruhi konsentrasi

2. 3.Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol pemberian protein s

3. 0,8-1,0 mg/kg berat bad

4. pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai

0,85 gram/kg berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram

5. jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih

dianjurkan dari protein hewani.

Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya.

Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam

lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak

dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan

lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat

memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam
27

lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid MUFA), merupakan

salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil

lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida,

kolesterol total kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL

Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid—

PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki

agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat

menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim

lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,

sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.

Rekomendasi pemberian lemak

1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal

10% dari total kebutuhan kalori per hari

2. jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan

sampai maksimal 7% dari total kalori per hari kolesterol LDL e 100 mg/dl, maka

maksimal kolesterol Yang dapat dikomsumsi 200 mg per hari

4.batasi asupan asam lemak bentuk trans

5.konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak

jenuh rantai panjang

6.Aupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori

per hari

LATIHAN JASMANI
28

Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik

merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal

lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh

semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya:

bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum.

Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan

esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah

sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.

Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan berlangsung

seumur hidup Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan, diwaktu lain

dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari-

hari, merupakan milik masing-masing diabetisi. Mereka yangvtelah memutuskan

untuk hidup dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai satu persamaan,

bahwa mereka harus melakukan kegiatan fisik.

Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi trlah dilakukan

sejak seabad yang lalu oleh seorang dojter di China, dan manfaat kegiatan ini

masih harus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari

penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (tipe 1 maupun tipe 2) akan

mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup.

FISIOLOGI KEGIATAN FISIK

Bila seseorang sehat melakukan kegiatan fisik dinamik yang berat dengan

melibatkan kelompok otot-otot utamanya, maka akan terjadi peningkatan ambilan

oksigen sebesar 15-20 kali lipat, karena peningkatan laju metabolik pada otot
29

yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler dan juga

terjadi pengumpulan cairan, baik intra maupun ekstra selular. Ventilasi pulmoner

dapat melewati angka 100 L/menit dan keluaran jantung meningkat hingga 20-30

L/menit, untuk memenuhi kebutuhan otot yang aktif. Bersamaan dengan itu, akan

terjadi penurunan aliran darah ke otot yang tak aktif, daerah splangnik dan ginjal.

Panas yang ditimbulkan akan terkumpul pada tubuh dan sebagian besar akan

terbuang lewat proses evaporasi Pada kegiatan fisik dalam keadaan panas dan

lembab, dapat dihasilkan keringat sebanyak 2 L/jam.

Kegiatan fisik pada keadaan post absorbsi makanan. maka kebutuhan

energi otot yang bekerja akan dipenuhi oleh proses pemecahan glikogen

intramuskular, cadangan trigliserida dan juga peningkatan sediaan glukosa hati

dan asam lemak bebas dari cadangan trigliserida ekstramuskular.

Latihan jasmani pada diabetisi akan menimbulkan perubahan metabolik,

yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan dan tingkat kebugaran, juga oleh

kadar insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan

cairan tubuh.

Pada diabetisi dengan gula darah tak terkontrol, latihan jasmani akan

menyebabkan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan benda keton yang

dapat berakibat fatal. Satu penelitian mendapati bahwa pada kadar glukosa darah

sekitar 332 mg/dl, bila tetap melakukan latihan jasmani, akan berbahaya bagi

yang bersangkutan. Jadi sebaiknya, bila ingin melakukan latihan jasmani, seorang

diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tak lebih dari 250 mg/dl.
30

Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan

insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedang pada otot aktif,

walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tak meningkat.

Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor insulin otot

dan pertambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan

jasmani.Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin

dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah

berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah,

menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia

reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.

MANFAAT, RISIKO DAN HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN

BERKAITAN DENGAN LATIHAN JASMANI SEORANG DIABETISI

Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali glukosa

secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi HbA1c yang cukup

menjadi pedoman untuk penurunan risiko komplikasi diabetes dan kematian.

Selain mengurangi risiko, latihan jasmani akan memberikan pengaruh

yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteriil, sensitivitas barorefleks,

vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit, hasil

perbandingan antara denyut jantung dan tekanan darah (baik saat istirahat maupun

aktif, hipertrigliseridemi dan fibrinolisis. Angka kesakitan dan kematian pada

diabetisi yang aktif, 50 lebih rendah dibanding mereka yang santai.

Pada DM tipe 1, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik,

hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan
31

endurance ternyata terbukti akan memperbaiki fungsi endotel vaskular. Dari

penelitian epidemiologi retro dan prospektif juga terbukti bahwa latihan jasmani

yang teratur akan mencegah komplikasi makro maupun mikrovaskular serta

meningkatkan harapan hidup.

Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur akan

memperbaiki kapasitas latihan aerobik, kekuatan otot dan mencegah osteoporosis.

RISIKO LATIHAN JASMANI

Diabetisi yang mendapat terapi insulin, hipoglikemia disertai kadar insulin

yang berlebihan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, terutama pada

saat pemulihan. Bila insulin disuntikkan pada lengan atau paha, akan

memperbesar kemungkinan terjadi hipoglikemia karena peningkatan hantaran

insulin melalui darah akibat pemompaan oleh otot pada saat berkontraksi.

Sehingga dianjurkan penyuntikan di daerah abdomen sebelum latihan jasmani.

Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada saat

kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani yang dikerjakan dalam

waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak terkendali akan menyebabkan

peningkatan pelepasan darah dari hati, disertai peningkatan produksi benda-benda

keton.

PRINSIP LATIHAN JASMANI BAGI DIABETISI

Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi persis sama dengan prinsip latihan

jasmani secara umum, yaitu beberapa hal seperti frekuensi, intensitas, durasi dan

jenis.
32

• Frekuensi jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur

3-5 kali per minggu.

• Intensitas ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)

• Durasi 30-60 menit

• Jenis latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan

kardi respirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.

Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan

untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar. Latihan jasmani bagi

diabetisi tipe l, sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Untuk menentukan intensitas

latihan, dapat digunakan Maximum Heart Rate (MHR) yaitu: 220 umur. Setelah

MHR didapatkan, dapat ditentukan Target Heart Rate (THR). Sebagai contoh

suatu latihan bagi seorang diabetisi berumur 50 tahun disasarkan sebesar 75%,

maka THR 75% X (220-60) 120. Dengan demikian, diabetisi tersebut dalam

melakukan latihan jasmani, sasaran denyut nadinya adalah sekitar 120/menit.

Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatkan hal-hal sebagai berikut:

Pemanasan (warm-up). Bagian kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki

latihan yang sebenarnya, dengan tujuan untuk mempersiapkan berbagai sistem

tubuh seperti menaikkan suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi hingga mendekati

intensitas latihan.Pemanasan juga perlu untuk cedera akibat latihan Pemanasan

cukup dilakukan selama 5-10 menit.

Latihan inti (conditioning). Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi

mencapai THR, agar mendapatkan manfaat latihan. Bila THR tak tercapai, maka
33

diabetisi tak akan mendapat manfaat latihan Sedang bila lebih dari THR mungkin

malah bisa mendapatkan risiko yang tak diinginkan.

Pendinginan (cooling-down). Setelah selesai melakukan latihan jasmani,

sebaiknya dilakukan pendinginan Tahap ini dilakukan untuk mencegah

penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah

melakukan latihan jasmani, atau pusing akibat masih terkumpulnya darah pada

otot yang aktif. Bila latihan berupa jogging, maka pendinginan sebaiknya

dilakukan dengan tetap berjalan untuk beberapa menit. Bila bersepeda, tetap

mengayuh sepeda, tetapi tanpa beban. Pendinginan dilakukan selama kurang-lebih

5-10 menit, hingga denyutjantung mendekati denyut nadi saat istirahat.

Peregangan (stretching). Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk

melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang dan menjadikan lebih

elastis. Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang berusia lanjut.

Latihan jasmani teratur, penting bagi kesehatan setiap orang, karena akan:

• memberikan lebih banyak tenaga

• membuat jantung lebih kuat

• meningkatkan sirkulasi

• memperkuat otot

• meningkatkan kelenturan

• meningkatkan kemampuan bernafas

• membantu mengatur berat badan

• memperlambat proses penuaan

• memperbaiki tekanan darah


34

• memperbaiki kolesterol dan lemak tubuh yang lain

• mengurangi stress

• melawan akibat akibat kekurangan aktivitas


35

Empat pilar penatalaksanaan penyakit DM adalah edukasi, terapi gizi medis,

latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan

pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu).

Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi

farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.

Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung

kombinasi, sesuai indikasi.7 Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5

golongan yakni6:

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.

Obat golongan sulfonilurea yang saat ini cukup banyak digunakan

merupakan sulfonilurea generasi ke-2 yaitu glibenkamid dan glimepirid.

2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.

3. Penghambat glukoneogenesis (metformin).

4. Penghambat absorbsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

5. Penghambat DPP-IV.
36

Tabel 2.2 Klasifikasi Golongan Obat Hipoglikemia Oral (OHO) menurut


Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Tahun 2015.6,7

Kepatuhan Minum Obat

Salah satu keberhasilan penanganan diabetes adalah intervensi

farmakologi berupa pemberian obat hipoglikemik oral. Keberhasilan dalam

pengobatan dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang

merupakan faktor utama dari luaran terapi. Upaya pencegahan komplikasi

pada penderita Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan meningkatkan

kepatuhan untuk memaksimalkan luaran terapi.5

Kepatuhan pengobatan adalah kesesuaian pasien terhadap anjuran atas

medikasi yang telah diresepkan yang terkait dengan waktu, dosis, dan

frekuensi. Hubungan antara pasien, penyedia layanan kesehatan, dan

dukungan sosial merupakan faktor penentu interpersonal yang mendasar dan


37

terkait erat dengan kepatuhan minum obat.4 Salah satu faktor yang berperan

dalam kegagalan pengontrolan glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2

adalah faktor ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan. Faktor yang

memengaruhi ketidakpatuhan pengobatan dan penyakit antara lain faktor

pasien, faktor demografi, sosio ekonomi, durasi atau lamanya penyakit, dan

keparahan penyakit.32

2.7. Komplikasi

Secara garis besar, komplikasi penyakit DM terbagi menjadi dua yaitu

komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut merupakan komplikasi

yang terjadi secara mendadak dan dapat berupa hipoglikemia, ketoasidosis

diabetikum (KAD), koma laktoasidosis, dan koma hiperosmolar non ketotik.

Komplikasi kronis merupakan komplikasi yang terjadi secara menahun dan

bertahap yaitu komplikasi makroangiopati (mengenai pembuluh darah besar),

mikroangiopati (mengenai pembuluh darah mikroskopis) dan neuropati (mengenai

saraf tepi).8,9

2.8. DM Tipe 2 di Puskesmas Tambarangan33

Secara geografis Puskesmas Tambarangan terletak di Kecamatan Tapin

Selatan Kabupaten Tapin yang memiliki luas wilayah 212,5 km 2. Secara

administrasi, wilayah kerja UPT Puskesmas Tambarangan terdiri dari 10

(sepuluh) desa dan 1 (satu) kelurahan dengan kondisi daerah nya 57,48% dataran

rendah dan 43,32% dataran tinggi. Jumlah penduduk di wilayah kerja UPT

Puskesmas Tambarangan Tahun 2016 adalah 19.747. Mata pencaharian penduduk


38

di wilayah kerja UPT Puskesmas Tambarangan cukup bevariasi, sebagian besar

adalah bertani dan berkebun.

Penanganan secara dini pada kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti

stroke, diabetes melitus, cedera, PPOK, PJK, kanker dan gagal jantung di

Puskesmas Tambarangan dilakukan melalui kegiatan Posbindu (Pos Bimbingan

Terpadu). Saat ini, baru ada satu Posbindu yang terbentuk yaitu Posbindu di desa

Hatiwin.

Berdasarkan data pada tahun 2017 di Puskesmas Tambarangan, angka

kejadian Diabetes Melitus tipe 2 adalah sebesar 424 kasus dengan kunjungan

pasien lama 410 orang dan pasien baru 14 orang. Hal ini tidak jauh berbeda

dengan angka kejadian Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Tambarangan tahun

2016 yaitu total sebanyak 428 kasus dengan kunjungan pasien lama 419 pasien,

sedangkan pasien baru 9 orang.

Anda mungkin juga menyukai