Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antibiotik

2.1.1 Definisi Antibiotik

Menurut asalnya antibakteri dapat dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik


dan agen kemoterapetik.Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan
oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer
untuk menhambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme,
contohnya penisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan lain-
lain.Antibiotik yang relatif non toksis bagi pejamunya digunakan sebagai
agen kemoterapetik dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia,
hewan dan tanaman.Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang
dihasilkan oleh mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini meluas
meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang
mirip, contohnya sulfonamida, kuinolon dan fluorikuinolon (Setiabudy,
2011; Dorland, 2010).

2.1.2 Penggolongan Antibiotik


Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa
atau kulit dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil
mengeliminasi bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi
bila bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun
tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda
inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembang biaknya
bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host(Kemenkes, 2011).

Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia dapat dibedakan


sebagai berikut (Kasper et. al 2005, Setiabudi, 2007, Katzung, et. al. 2011) :
1. Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin,
ampisilin), sefalosporin (contohnya sefadroksil, sefaklor), monobaktam
(contohnya: azteonam) dan karbapenem (contohnya: imipenem).
2. Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin.
3. Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin
4. Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin
5. Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol dan tiamfenikol
6. Aminoglikosida, contohnyastreptomisn, neomisin dan gentamisin.
7. Sulfonamida (contohnya: sulfadizin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol
(kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol).
8. Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon (contohnya:
siprofloksasin dan levofloksasin)
9. Glikopeptida, contohnyavankomisin dan telkoplanin.
10. Antimikrobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid.
11. Golongan lain, contohnya polimiksin B, basitrasin, oksazolidindion.

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat


menghambat pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik
(contohnya sulfonamid, trimetroprim, kloramfenikol, tetrasiklin, linkomisin
dan klindamisin) dan ada yang bersifat membunuh bakteri, dikenal sebagai
aktivitas bakterisid (contohnya penisilin, sefalosporin, streptomisn,
neomisin, kanamisin, gentamisin dan basitrasin). Pada kondisi
immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau infeksi
dilokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka
antibiotik bakterisid harus digunakan (Kemenkes, 2011; Setiabudy, 2011).

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya,


yaitu (Kasper et. al., 2005, Setiabudy, 2011) :

1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri
terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu komples polimer mukopeptida
(glikopeptida).Obat ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang
mendaur ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik
yang termasuk dalam kelompok ini seperti beta-laktam (penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),
basitrasin, dan vankomisin.Pada umumnya bersifat bakterisidal.
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein. Sel bakteri mensintesis
berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan
tRNA.Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri.Yang
termasuk dalam kelompok ini misalnya aminoglikosid, kloramfenikol,
tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin,
mupirosin, dan spektinomisin.Selain aminoglikosida, pada umumnya
antibiotik ini bersifat bakteriostatik.
3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
trimetoprim dan sulfonamid.Pada umumnya antibiotik ini bersifat
bakteriostatik.
4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,
nitrofurantoin.
5. Mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotika yang
termasuk adalah polimiksin.
Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik terbagi atas dua
kelompok besar, yaitu antibiotik dengan aktivitas spektrum luas (broad-
spectrum) dan aktivitas spektrum sempit (narrow spectrum).
1. Antibiotik spektrum luas (broad-spectrum)
Spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik gram negatif
maupun gram positif serta jamur. Contohnya: tetrasiklin dan
kloramfenikol.
2. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)
Antbiotik spektrum sempit bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja.
Contohnya: penisilin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif dan
gentamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram negatif.
2.1.3 Golongan antibiotik yang digunakan pada Terapi Profilaksis
Antibiotik beta-laktam merupakan obat yang menghambat sintesis
atau merusak dinding sel bakteri.Terdiri dari berbagai golongan obat yang
mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,
monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase.Obat-obat
antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar
efektif terhadap organisme Gram-positif dan negatif.Antibiotik beta-
laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat
langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang
memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Kemenkes,
2011).
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas
antibiotiknya.Salah satu golongan penisilin yang digunakan sebagai terapi
sefalosporin adalah golongan aminopenisilin, sebagai contoh Ampisilin
dan Amoksisilin.Selain mempunyai aktivitas terhadap bakteri Gram-
positif, juga mencakup mikroorganisme Gram-negatif, seperti
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan Proteus mirabilis.Obat-
obat ini sering diberikan bersama inhibitor beta-laktamase (asam
klavulanat, sulbaktam, tazobaktam) untuk mencegah hidrolisis oleh beta-
laktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri Gram-negatif.
Obat Ampisilin diberikan secara intramuskular, intravena dan oral
sedangkan obat Amoksisilin hanya dapat diberikan secara oral dengan
waktu paruh obat yaitu, 1,1-1,5 jam untuk ampisilin dan 1,2-2,0 jam untuk
amoksisilin (Kemenkes, 2011).
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan
berdasarkan generasinya, yaitu generasi I hingga IV (Setiabudy, 2011) :
- Generasi I, yaitu Sefaleksin, sefalotin, sefazolin, sefradin dan
sefadroksil merupakan antibiotik yang efektif terhadap Gram-positif
dan memiliki aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.
- Generasi II, yaitu Sefaklor, sefamandol, sefuroksim, sefoksitin,
sefotetan, sefmetazol dan sefprozil memiliki aktivitas antibiotik Gram-
negatif yang lebih tinggi daripada generasi I.
- Generasi III, yaitu Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim,
sefoperazon, seftizoksim, sefpodoksim dan moksalaktam. Memiliki
aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi I,
tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang
memproduksi beta-laktamase. Seftazidim dan sefoperazon juga aktif
terhadap P.aeruginosa, tapi kurang aktif dibanding generasi III lainnya
terhadap kokus Gram-positif.
- Generasi IV, yaitu sefepim dan sefpirom memiliki aktivitas lebih luas
dibanding generasi III dan tahan terhadap beta-laktamase.
Banyak rumah sakit di negara berkembang menggunakan
antibiotik sefalosporin dalam jumlah berlebihan, terutama di bagian bedah
sebagai pilihan antibiotik profilaksis. Mikroorganisme yang digunakan
sebagai terapi sefalosporin adalah organisme komensal, seperti
stafilokokkus gram negatif, Pseudomonas aeruginosa, enterococci
dan Candida albicans, dan organisme yang lebih patogen
seperti Clostridium difficile, penicillin-resistant pneumococci, multiply-
resistant coliforms dan methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA). Beberapa organisme ini secara konstitutif resisten
terhadap sefalosporin sementara yang lain telah resisten, biasanya akibat
resistensi ganda.(Dancer, 2001).

2.1.4. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik


Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotik sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik
secara tepat. Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida
ataupun bakteriostatik, antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini
(Kemenkes, 2011, Setiabudy, 2011) :

a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan


spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi
kadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang
cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat
yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Secara umum terdapat dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat
farmakokinetikanya, yaitu;
a. Time dependent killing. Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam
kadar diatas Kadar Hambat Minimum (KHM) sangat penting untuk
memperkirakan outcome klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini
kadar antibiotik dalam darah diatas KHM paling tidak selama 50%
interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time dependent killing
antara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida.
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah
melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap
bakteri. Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/ KHM sekitar 10. Ini
mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memiliki
kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika
gagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan akan
mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadi
salah satu penyebab timbulnya resistensi.
Farmakokinetik (PK) membahas tentang perjalanan kadar
antibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (PD) membahas
tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya. Dosis
antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun,
ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting.
Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD bahkan
menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa digunakan
untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah
resistensi.Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih menjadi
standar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan
farmakodinamik telah semakin sering digunakan.Beberapa ukuran PK dan
PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis. (Kemenkes RI, 2011)
2.1.5Prinsip Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibitik yang rasional didasarkan pada pemahaman
dari banyak aspek penyakit infeksi.Faktor yang berhubungan dengan
pertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi dan kepekaan mikroorganisme,
farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotik perlu diperhatikan
(Gould IM, et. al., 2005).
Pada fasilitas pelayanan kesehatan, antibiotik digunakan pada
keadaan berikut (Gyssens, 2005; Kemenkes RI.,2011) :
1. Terapi empiris.
Pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif pada
pendekatan buta (blind) sebelum mikroorganisme penyebab
diidentifikasi dan antibiotik yang sensitif ditentukan.Tujuan pemberian
antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum
diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Indikasi pemberian antibiotik pada terapi empiris adalah
ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.Rute pemberian
pada antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi.Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antibiotik parenteral.durasi pemberian pada antibiotik
empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72jam.
2. Terapi definitif.
Pemberian antibiotik untuk mikroorganisme spesifik yang
menyebabkan infeksi aktif atau laten. Penggunaan antibiotik untuk
terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang
sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya.Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberian
antibiotik pada terapi definitif adalah sesuai dengan hasil mikrobiologi
yang menjadi penyebab infeksi.
Rute pemberian adalah antibiotik oral seharusnya menjadi
pilihan pertama untuk terapi infeksi.Pada infeksi sedang sampai berat
dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.Jika kondisi
pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera
diganti dengan antibiotik peroral.Durasi pemberian antibiotik definitif
berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis
awal yang telah dikonfirmasi.
3. Terapi profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya
infeksi.Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca
operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda
infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi.
Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah
mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan
bakteri.
2.2.Antibiotika Profilaksis
2.2.1Definisi Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan pada pasien
yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk
mendapatkannya, atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak
buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis harus diarahkan terhadap
organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat menyebabkan
infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh pathogen
(Kemenkes RI, 2011)

Profilaksis merujuk pada pencegahan infeksi dan dapat dikategorikan


menjadi profilaksis primer, sekunder, atau eradikasi.Profilaksis primer
merupakan pencegahan pada infeksi awal.Sedangkan profilaksis sekunder
merupakan pencegahan dari munculnya kembali atau re-aktivasi dari infeksi
yang sudah ada.Dan eradikasi merupakan eliminasi dari organisme
kolonisasi untuk mencegah perkembangan infeksi (Thirion, 2013; Ongom
2013).

2.2.2 Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis


Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk
mengurangi insidensi infeksi luka pasca bedah.Profilaksis merupakan
prosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik
sebaiknya dapat menutupi organisme yang paling mungkin akan
mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat dilakukan insisi
awal. Antibiotik profilaksis dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut
(Kemenkes RI, 2011):
1. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu.

2. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup


jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko
bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain – lain.

3. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu


yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila
terjadi infeksi pasca bedah.
Idealnya sediaan antibiotik yang digunakan untuk profilaksis pada
operasi harus :
1. Mencegah infeksi luka pasca operasi pada luka operasi
2. Mencegah morbiditas dan mortalitas infeksi pascaoperasi
3. Mengurangi durasi dan biaya perawatan
4. Tidak menimbulkan efek yang merugikan baik bagi flora normal
pasien dan bagi rumah sakit.
Diharapkan dari pemberian antibiotik profilaksis dapat
memberikan manfaat yaitu :
a. Penurunan angka kejadian infeksi pasca bedah
b. Penurunan jumlah flora pathogen penyebab infeksi
c. Penurunan morbiditas baik jangka panjang maupun jangka pendek
d. Pengurangan biaya dan lamanya rawat inap di rumah sakit
e. Terhindarinya pembentukan resistensi antibiotik serta peningkatan
kondisi pasien
f. Kualitas hidup pasien pasca operasi.
Penggunaan antibiotik merupakan sejarah dalam upaya mencegah
luka infeksi.Konsep antibiotik profilaksis diperkenalkan tahun 1960an
ketika data eksperimen menetapkan bahwa antibiotik harus berada dalam
sistem peredaran darah pada dosis yang cukup tinggi pada saat insisi
supaya efektif.Umumnya disepakati bahwa antibiotik profilaksis
diindikasikan untuk luka yang terkontaminasi dan
terkontaminasi.Antibiotik untuk luka kotor merupakan bagian dari terapi
karena infeksi sudah terbentuk.Sedangkan pada prosedur operasi bersih
masih menjadi perdebatan.Pada penggunaan antibiotik profilaksis dalam
prosedur bersih dimana alat buatan palsu dimasukkan. Infeksi dalam kasus
ini akan menjadi bencana bagi pasien. Namun, prosedur bersih lainnya
(misalnya operasi payudara) masih menjadi perdebatan (Singhal, 2017),
Kriteria penggunaan antibiotik profilaksis sistemik dalam prosedur
pembedahan adalah sebagai berikut:
• Antibiotik profilaksis sistemik harus digunakan dalam kasus berikut:
Risiko infeksi yang tinggi dikaitkan dengan prosedur (misalnya reseksi
usus besar); Konsekuensi infeksi sangat parah (misalnya penggantian total
sendi); pasien memiliki indeks risiko NNIS yang tinggi.
• Antibiotik harus diberikan sebelum operasi tetapi mendekati waktu insisi
seperti pada kebanyakan kasus antibiotik harus diberikan sebelum induksi
anestesi.
• Antibiotik yang dipilih harus memiliki aktivitas melawan patogen yang
mungkin dalam prosedur tersebut.
• Pemberian antibiotik sistemik pasca operasi lebih dari 24 jam belum
ditunjukkan untuk mengurangi risiko infeksi luka operasi.
Berdasarkan CDC, Indeks risiko NNIS (National Nosocomial
Infections Surveillance) adalah metode penyesuaian risiko yang paling
banyak digunakan secara internasional. Penyesuaian risiko didasarkan
pada tiga faktor risiko utama: Skor American Society of Anesthesiologists
(ASA) , yang mencerminkan kondisi kesehatan pasien sebelum operasi,
kelas luka yang mencerminkan keadaan kontaminasi, dan durasi operasi,
yang mencerminkan aspek teknis pembedahan. Indeks risiko NNIS dinilai
nol, satu, dua atau tiga sesuai dengan jumlah risiko yang ada (skor
ASA,kelas luka, durasi operasi).Tingkat infeksi meningkat dengan
meningkatnya skor risiko (lihat Gambar 1) (SIGN, 2014).

Gambar 1.Kejadian Infeksi Luka Operasi seiring meningkatnya skor risiko indeks
NNIS (SIGN, 2014).

Patogen normal pada permukaan kulit dan mukosa adalah kokkus-


gram positif (terutama stafilokokus); Namun, kuman aerob gram negatif
dan bakteri anaerob dapat mengkontaminasi kulit di daerah pangkal
paha/perineum.Patogen yang terkontaminasi dalam operasi gastrointestinal
adalah banyak flora usus intrinsik, yang meliputi bakteri gram negatif
basili (misalnya Escherichia coli) dan mikroba gram positif, termasuk
organisme enterococci dan anaerob (Lihat Tabel 1 di bawah).Organisme
gram positif, terutama stafilokokus dan streptokokus, menjelaskan
kebanyakan flora luar yang terlibat dalam infeksi luka operasi.Asal
patogen semacam itu termasuk dari personil bedah / rumah sakit dan
keadaan intraoperatif, termasuk instrumen bedah, barang yang dibawa ke
lapangan operasi, dan udara ruang operasi. (Singhal, 2017)
Kelompok bakteri yang paling sering bertanggung jawab untuk
infeksi luka operasi adalah strain Staphylococcus aureus. Munculnya
strain resisten telah meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas yang
terkait dengan infeksi luka.Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) terbukti menjadi masalah utama pada operasi. Seperti strain S
Aureus lainnya, MRSA dapat berkoloni di kulit dan tubuh seseorang tanpa
menyebabkan penyakit, dan dengan cara ini, dapat disebarkan ke orang
lain tanpa sadar. Timbulnya masalah dalam pengobatan infeksi MRSA
karena pilihan antibiotik sangat terbatas. Infeksi MRSA tampak meningkat
dan menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang lebih luas. Yang
menjadi perhatian khusus adalah vancomycin intermediate S aureus
(VISA) bagian dari MRSA. Strain ini mulai resisten terhadap vankomisin,
yang saat ini merupakan antibiotik yang paling efektif melawan MRSA.
Resistensi ini baru muncul karena jenis bakteri lain, yang disebut
enterococci, umumnya menunjukkan resisten terhadap vankomisin
(Hsiao, 2012).

Tabel 1. Patogen yang Berkaitan dengan Infeksi Luka dan Angka Kejadiannya (Singhal,
2017)

Patogen Angka Kejadian (%)

Staphylococcus aureus 20

Coagulase-negative staphylococci 14

Enterococci 12

Escherichia coli 8

Pseudomonas aeruginosa 8
Enterobacter species 7

Proteus mirabilis 3

Klebsiella pneumoniae 3

Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (Health Care Associated


Infections/HAI) merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama
perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimana
ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk
infeksi dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi
karena pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait
proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan(Permenkes,
2017).
Infeksi daerah operasi paling banyak bersumber dari patogen flora
endogenous kulit pasien, membran mukosa.Bila membran mukosa atau
kulit di insisi, jaringan tereksposur risiko dengan flora endogenous.Selain
itu terdapat sumber exogenous dari infeksi daerah operasi. Sumber
exogenous tersebut adalah tim bedah, lingkungan ruang operasi, peralatan,
instrumen dan alat kesehatan, kolonisasi mikroorganisme, daya tahan
tubuh lemah, lama rawat inap pra bedah (Permenkes, 2017).
RSUP Sanglah Denpasar sendiri rutin dilakukan pemeriksaan
sterilitas di ruang operasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada September
2017 ditemukan bakteri Staphylococcus coagulase negatif dan
Pseudomonas alcaligenes positif dengan Jumlah Koloni : 625 cfu/m3 di
kamar operasi 1 (OK IBS 1). Seperti kita ketahui, bakteri Staphylococcus
coagulase negatif merupakan flora normal kulit dan bakteri Pseudomonas
alcaligenes merupakan bakteri lingkungan yang dapat menyebabkan
infeksi oportunisik rumah sakit pada penderita dengan sistem imunitas
yang menurun. Dari segi indeks angka kuman menurut fungsi ruang yang
mengacu pada Permenkes RI No 1204/Menkes/SK/X/2004 semua ruangan
tersebut tidak layak digunakan.
RSUP Sanglah Denpasar juga melakukan pemeriksaan lanjutan
pada 10 November 2017, dari hasil pemeriksaan tersebut ditemukan
bakteri Pseudomonas stutzeri dengan jumlah koloni : 6 cfu/m3 pada kamar
operasi I IBS (OK I IBS) dan juga bakteri Bacillus sp dengan jumlah
koloni : 23 cfu/m3 pada kamar operasi 3 IBS (OK 3 IBS). Diidentifikasi
bakteri Bacillus sp, Pseudomonas stutzeri merupakan bakteri lingkungan
yang dapat menyebabkan infeksi oportunistik rumah sakit pada penderita
dengan sistem imunitas yang menurun. Dari segi indeks angka kuman
menurut fungsi ruang yang mengacu pada Permenkes RI No
1204/Menkes/SK/X/2004 ruangan OK III tidak layak digunakan, OK I
layak digunakan.

2.2.3. Indikasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis


Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan pada kelas
operasi, yaitu operasi bersih, operasi bersih – kontaminasi, operasi
kontaminasi serta operasi kotor (lihat tabel 2) (SIGN, 2014).Tujuan
pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan adalah terjadi
penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO), penurunan
morbiditas dan mortalitas pascaoperasi, penghambatan muncul flora normal
yang resisten dan meminimalkan biaya pelayanan kesehatan (Kemenkes RI,
2011).

Tabel 2. Klasifikasi Operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2014)

Kelas Definisi Penggunaan Antibiotik


Operasi
Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada Kelas operasi bersih terencana
daerah dengan kondisi pra bedah umumnya tidak memerlukan
tanpa infeksi, tanpa membuka antibiotik profilaksis kecuali
traktus (respiratorius, gastro pada beberapa jenis operasi,
intestinal, urinarius, bilier), misalnya mata, jantung,
operasi terencana, atau penutupan dan sendi.
kulit primer dengan atau tanpa
digunakan drain tertutup.

Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada Pemberian antibiotika


– Kontaminasi traktus (digestivus, bilier, profilaksis pada kelas operasi
urinarius, respiratorius, bersih kontaminasi perlu
reproduksi kecuali ovarium) atau dipertimbangkan manfaat dan
operasi tanpa disertai kontaminasi risikonya karena bukti ilmiah
yang nyata. mengenai efektivitas antibiotik
profilaksis belum ditemukan.
Operasi Operasi yang membuka saluran Kelas operasi kontaminasi
Kontaminasi cerna, saluran empedu, saluran memerlukan antibiotik terapi
kemih, saluran napas sampai (bukan profilaksis).
orofaring, saluran reproduksi
kecuali ovarium atau operasi yang
tanpa pencemaran nyata (Gross
Spillage).

Operasi Kotor Adalah operasi pada perforasi Kelas operasi kotor memerlukan
saluran cerna, saluran urogenital antibiotik terapi.
atau saluran napas yang terinfeksi
ataupun operasi yang melibatkan
daerah yang purulen
(inflamasi bakterial). Dapat pula
operasi pada luka terbuka lebih
dari 4 jam setelah kejadian atau
terdapat jaringan non vital yang
luas atau nyata kotor.
Lanjutan tabel 2.
Antibiotik profilaksis diberikan pada pembedahan dengan
klasifikasi operasi bersih-terkontaminasi (lihat tabel 3).Profilaksis pada
operasi bersih pada umumnya tidak diperlukan, namun dapat diberikan pada
operasi bersih dengan memasang alat implan atau bahan protesis. Namun
tidak menutup kemungkinan juga diberikan antibiotik profilaksis jika
diindikasikan akan terjadi infeksi yang dapat menimbulkan dampak yang
serius seperti operasi bedah syaraf, bedah jantung dan mata. Operasi
kontaminasi dan operasi kotor telah terjadi kolonisasi kuman dalam jumlah
besar atau sudah ada infeksi yang secara klinis belum bermanifestasi. Untuk
kasus ini terapi empirik akan lebih tepat (David, 2010).
2.2.4. Dasar Pemberian Antibiotik profilaksis pada Operasi
Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis yaitu sesuai
dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan dan spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi
bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap
pemberian obat anestesi, bersifat bakterisidal dan harga terjangkau (Ongom,
2013).

Tabel 3. Klasifikasi luka operasi dan risiko infeksi selanjutnya


(jika tidak menggunakanantibiotik) (Singhal, 2017)

Resiko Infeksi
Klasisfikasi Deskripsi
(%)

Luka operasi yang tidak terinfeksi


Tidak ada inflamasi akut
Operasi tertutup
Saluran pernapasan, saluran cerna, empedu,
Operasi Bersih (Kelas I) <2
dan saluran kencing tidak masuk
Tidak ada gap dalam teknik aseptik
Operasi yang menggunakan drainase tertutup
jika perlu

Operasi melalui saluran pernafasan, empedu,


gastrointestinal, saluran kemih dan dengan
Operasi Bersih- ekskresi yang minimal.
< 10
terkontaminasi (Kelas II) Tidak ada bukti adanya infeksi atau jeda lama
dalam teknik aseptik
Contoh: appendektomi

Inflamasi nonpurulen
Ekskresi yang kotor dari saluran
Operasi Terkontaminasi
gastrointestinal Sekitar 20
(Kelas III)
Luka trauma tembus < 4 jam
Jeda lama dalam teknik aseptik

Terdapat inflamasi yang purulent


Operasi Kotor (Kelas IV) Perforasi visera sebelum operasi Sekitar 40
Luka trauma tembus > 4 jam

Antibiotik profilaksis hanya bisa digunakan jika terbukti dapat


memberikan keuntungan dan harus dihentikan bila terbukti tidak
memberikan manfaat. SIGN dalam guideline-nya membagi 4 rekomendasi
terhadap pemberian antibiotik profilaksis pada operasi (SIGN, 2014).
a. Highly Recomendation, Profilaksis yang dengan terbukti tegas
menurunkan morbiditas, menurunkan biaya perawatan dan menurunkan
konsumsi antibiotik secara keseluruhan.
b. Recomended; Profilaksis yang menurunkan morbilitas jangka pendek,
mengurangi biaya perawatan dan bila dimungkinkan menurunkan
konsumsi antibiotik secara keseluruhan.
c. Should be considered; Profilaksis yang belum memiliki bukti yang kuat
dapat memberikan keuntungan, dan kemungkinan dapat meningkatkan
biaya perawatan dan peningkatan konsumsi antibiotk utamanya untuk
pasien dengan low risk ILO.
d. Not recomended; profilaksis yang tidak memiliki bukti kuat efektif secara
klinis serta tidak menurunkan morbiditas jangka pendek. Dan dapat
meningkatkan biaya perawatan serta meningkatkan konsumsi antibiotik
sedangkan keuntungan secara klinis sangat rendah.
Rekomendasi antibiotik yang digunakan pada profilaksis bedah pada
operasi bersih secara rinci diuraikan pada tabel 4.

Tabel 4.Rekomendasi Antibiotik Profilaksis Bedah Operasi Bersih (Kemenkes RI,


2011).

No Prosedur Bedah Rekome Indikasi Antibiotik


ndasi Profilaksis
1. Facial surgery (clean) - Tidak direkomendasikan
2. Ear, nose and throat A Tidak direkomendasikan
Ear surgery ( clean /clean-
contaminated)
3. Head and neck
Head and neck surgery (clean,benign) D Tidak direkomendasikan
Head and neck surgery (clean, C Dapat dipertimbangkan
malignant; neck dissection)
Tonsillectomy - Tidak direkomendasikan
A Tidak direkomendasikan
4. Thorax
Breast cancer surgery A Dapat dipertimbangkan
Closed cardiac procedures (clean) - Tidak direkomendasikan
5. Abdomen
Hernia repair-groin (inguinal/femoral A Tidak direkomendasikan
with or without mesh)
Hernia repair-groin (laparoscopic B Tidak direkomendasikan
with or without mesh)
Hernia repair ( incisional with or C
without mesh) Tidak direkomendasikan
Open/laparoscopic surgery with mesh B
Diagnostic endoscopic procedures D Tidak direkomendasikan
Therapeutic endoscopic procedures Tidak direkomendasikan
(endoscopic retrograde D
Dapat dipertimbangkan pada
cholangiopancreatography and
pasien resiko tinggi
percutaneous endoscopic
gastrostomy)
6. Urogenital
Transrectal prostate biopsy A Direkomedasikan

7. Orthopaedic surgery (without implant) D Tidak direkomendasikan

Keterangan: Lanjutan tabel 4.


A : Bukti ilmiah berasal dari paling tidak satu meta analisis, sistematik review atau
Randomized Controlled Trial (RCT) yang mempunyai level 1++ dan dapat secara
langsung diaplikasikan ke populasi target, atau Bukti ilmiah berasal dari beberapa
penelitian dengan level 1+ dan menunjukkan adanya konsistensi hasil, serta dapat
secara langsung diaplikasikan ke populasi target.
B : Bukti ilmiah berasal dari beberapa penelitian dengan level 2++ dan menunjukkan
adanya konsistensi hasil, serta dapat secara langsung diaplikasikan ke populasi target,
atau Ekstrapolasi bukti ilmiah dari penelitian level 1++ atau 1+.
C : Bukti ilmiah berasal dari beberapa penelitian dengan level 2+ dan menunjukkan adanya
konsistensi hasil, serta dapat secara langsung diaplikasikan ke populasi target, atau
Ekstrapolasi bukti ilmiah dari penelitian level 2++.
D : Bukti ilmiah berasal dari level 3 atau 4, atau Ekstrapolasi bukti ilmiah dari penelitian
level 2+

2.2.5. Pemilihan Antibiotik Profilaksis pada Operasi


Pemilihan antibiotik profilaksis dipengaruhi oleh beberapa
faktor.Oleh karena itu penting untuk menanyakan ke pasien tentang
riwayat penggunaan antibiotik dan alergi.Betalaktam merupakan antibiotik
yang banyak digunakan sebagai profilaksis.Bila terdapat riwayat alergi
penisilin yang berat (anafilaksis atau angiodema) menunjukkan bahwa
pasien tidak dapat menerima penisilin dan juga berarti sefalosporin juga
dikontraindikasikan terhadap pasien tersebut.Meski cukup sederhana, tapi
dapat memberikan dampak reaksi yang signifikan. Paling penting yang
harus diperhatikan yaitu antibiotik harus aktif terhadap bakteri yang dapat
menyebabkan Infeksi Luka Operasi (ILO) (Kemenkes,2011).
Umumnya infeksi pascaoperasi disebabkan oleh bakteri flora
pasien itu sendiri.Profilaksis tidak harus dapat menghambat semua jenis
bakteri flora pasien tersebut.Ada beberapa bakteri yang tidak bersifat
patogen atau jumlahnya hanya sedikit atau keduanya.Sangat penting untuk
memilih antibiotik dengan spektrum sempit sesuai dengan yang
dibutuhkan untuk meminimalisir multi resisten terhadap antibiotik.
Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada biaya, profil efek yang
dapat merugikan, kemudahan pemberian, profil farmakokinetik, dan
aktifitas antibakterinya.Antibiotik yang dipilih harus memiliki aktivitas
terhadap bakteri yang sering mengakibatkan infeksi pada operasi. Pada
operasi bersih terkontaminasi, antibiotik yang digunakan harus efektif
terhadap bakteri patogen yang terdapat dalam saluran gastrointestinal dan
genitourinari. Pada operasi bersih, bakteri gram positif cocci (S. aureus
dan S. epidermidis) paling banyak ditemukan(Munckhof,2005).Kualitas
antibiotik profilaksis meliputi efikasi terhadap mikroorganisme bakteri
yang diduga paling mungkin menyebabkan infeksi, penetrasi jaringan
yang baik untuk mencapai luka, efektivitas biaya, dan gangguan yang
minim pada flora intrinsik tubuh (misalnya usus) (Woodfield, 2009).

Antibiotik pilihan yang digunakan pada profilaksis bedah adalah


golongan sefalosporin generasi I-II.Pada kasus tertentu yang dicurigai
melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol.Selain itu,
tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan
karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah.Antibiotik
spektrum luas mungkin akan dibutuhkan kemudian jika pasien mengalami
sepsis yang serius. Oleh karena itu penggunaan sefalosporin generasi
ketiga seperti ceftriakson dan cefatoksim harus dihindari sebagai
profilaksis pada operasi (Munckhof,2005).

Kebanyakan prosedur cefazolin merupakan antibiotik pilihan


karena durasinya panjang, dan efektif melawan bakteri yang banyak
menyebabkan infeksi saat operasi disamping itu harganya juga relatif
murah.Pemberian secara parenteral sefalosporin generasi kedua misalnya
cefotetan memiliki aktifitas antibakteri yang lebih baik terhadap bakteri
anaerobik dan aerobik Garam negatif bila dibandingkan dengan
sefalosporin generasi pertama dan kadang-kadang juga menjadi pilihan
yang lebih disukai, namun lebih mahal. Alternatif lain yang dapat
digunakan yaitu dengan kombinasi metronidazol dengansefalosporin
generasi pertama atau dengan gentamisin untuk profilaksis pada operasi
abdominal (Munckhof,2005).
Meskipun berbagai organisme dapat menyebabkan infeksi pada
pasien bedah, Infeksi luka operasi biasanya diakibatkan oleh sejumlah
kecil patogen umum (kecuali dengan adanya implantasi biomaterial).Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel 5.Hanya patogen tersebut yang perlu
dicakup oleh antibiotik yang diresepkan. (SIGN, 2014)
Berikut ini adalah antibiotik yang sering digunakan sebagai
profilaksis pada operasi (Munckhof,2005) :
a. Sefalosporin generasi pertama (cefazolin atau cefalotin)
b. Gentamisin
c. Metronidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)
d. Oral tinidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)
e. Flucloxacillin (jika infeksi methicillin-susceptible staphylococcal)
f. Vankomicin (jika infeksi methicillin-resistant Staphylococcal)
Tabel 5.Patogen Umum yang ditemukan pada infeksi luka operasi dan antibiotik yang sesuai

(SIGN,2014).

2.2.6. Jalur dan Waktu Pemberian Antibiotik Profilaksis


Antibiotik profilaksis biasanya diberikan sebagai bolus intravena
yang disertai dengan induksi anastesi untuk memastikan konsentrasi
efektif pada jaringan tercapai sebelum pembedahan dimulai.Idealnya
diberikan pada saat induksi anestesi.Untuk menghindari risiko yang tidak
diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip.Waktu
pemberian antibiotik ini sangat penting utamanya untuk beta-laktam yang
memiliki waktu paruh relatif singkat. Vankomisin membutuhkan waktu
infus selama satu jam oleh karena itu pemberiannya harus dimulai lebih
cepat agar infus selesai tepat ketika pembedahan akan dimulai. Pemberian
antibiotik profilaksis secara intramuskular jarang dilakukan dibandingkan
intravena. Pemberiannya biasanya dilakukan beberapa saat sebelum
operasi karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level konsentrasi
antibiotik yang efektif pada jaringan cukup lama (ASF, 2003; SIGN,
2014).
Cara pemberian antibiotik bedah profilaksis agar efektif adalah
dosis pertama antibiotik profilaksis harus sedekat mungkin dengan waktu
operasi.Pada luka yang bersih, apabila operasinya kurang dari dua jam,
cukup satu dosis.Namun, jika luka bersih terkontaminasi, satu atau dua dosis
sebelum dan setelah operasi.Dan pada luka yang terkontaminasi, antibiotik
diberi selama dua atau tiga hari dan diberikan melalui intravena dosis tinggi
(Tjay, 2007).
Oral dan rektal juga harus diberikan lebih awal untuk memastikan
kadar efektif pada jaringan telah tercapi pada saat pembedahan.
Metronidazol suppositoria banyak digunakan pada pembedahan usus besar
dan harus diberikan 2-4 jam sebelum tindakan operasi
dilakukan.Antibiotik topikal tidak direkomendasikan kecuali untuk bedah
mata atau akibat luka bakar.(ASF, 2003; SIGN, 2014).Rekomendasi
pemberian antibiotik profilaksis dengan jenis operasi dan infeksi
mikroorganisme yang terlibat dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini
(Bratzler et. al, 2013)
Tab
el 6.
Rek
ome
ndas
i
Anti
bioti
k
Prof
ilaks
is
den
gan
Tab Jeni
el 6. s
Rek Ope
ome rasi
nda dan
si Infe
Anti ksi
bioti Mik
k roor
Prof gani
ilak sme
sis yan
den g
gan terli
Jeni bat
s (Bra
Ope tzler
rasi et.
dan al,
Infe 2013
ksi )
Mik (lanj
roor utan
gani )
sme
yan
g
terli
bat
(Bra
tzler
et.
al,
201
3)
Tabe
l 6.
Reko
men
dasi
Anti
bioti
k
Profi
laksi
s
deng
an
Jenis
Oper
asi
dan
Infek
si
Mikr
oorg
anis
me
yang
terlib
at
(Brat
zler
et. al,
2013)
(lanj
utan)
Waktu pemberian antibiotik untuk mencapai konsentrasi aktif dalam
jaringan sangat bergantung pada profil farmakokinetik dan rute
administrasinya.Antibiotik profilaksis yang diberikan terlalu cepat atau
terlalu lambat dapat menurunkan efek dari dari antibiotik tersebut dan
mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya ILO.Waktu pemberian
antibiotik profilaksis diberikan ≤30 menit sebelum insisi kulit. Dosis
pemberian untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi
dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang
cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai
kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. (SIGN, 2014).
Beberapa literatur menyebutkan sebaiknya pemberian profilaksis
secara intravena dilakukan < 30 menit sebelum tindakan operasi dilakukan
untuk semua kategori operasi kecuali operasi sesar.National Surgical
Infection Prevention Project melaporkan tingkat kepatuhan antibiotik
profilaksis dalam kurun waktu 1 jam sebelum insisi adalah 55,7% (Bratzler,
2013).
2.2.7. Durasi Pemberian Antibiotik Profilaksis
Durasi pemberian antibiotik yang efektif dengan waktu yang paling
singkat untuk profilaksis infeksi paska bedah belum diketahui.Untuk
beberapa prosedur, durasi antimikroba profilaksis seharusnya 24 jam atau
kurang, kecuali untuk operasi bedah jantung toraksyang membutuhkan
durasi 72 jam.Durasi pemberian adalah dosis tunggal.Dosis ulangan dapat
diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau operasi
berlangsung lebih dari 3 jam.Pemberian profilaksis lebih dari 3 jam setelah
tindakan operasi akan berdampak pada penurunan efektifitasnya secara
signifikan.Mempertahankan konsentrasi antibiotik setelah operasi dan
pemulihan fisiologi normal setelah anastesi tidak meningkatkan efikasi
dari antibiotik profilaksi, melainkan dapat meningkatkan toksisitas dan
meningkatkan biaya (SIGN, 2014).
Jika operasi dilakukan selama empat jam atau kurang, pemberian
antibiotik dengan dosis tunggal sudah cukup. Pada operasi dengan waktu
yang panjang lebih dari empat jam penambahan dosis antibiotik mungkin
dibutuhkan untuk menjaga konsentrasi efektif antibiotik dalam jaringan,
khususnya untuk antibiotik yang memiliki waktu paruh yang singkat.
Pemberian antibiotik profilaksis hingga luka bedah mengering sudah
dihapuskan (tidak digunakan lagi) dan tidak logis juga tidak terbukti dapat
memberikan keuntungan (SIGN, 2014).

2.2.8. Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent) (Kemenkes RI,2011)


1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan
spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat,
interval dan durasi pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan
pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan
antibiotik lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan
pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara
terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan
antibiotik tertentu (reserved antibiotics).
4.Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang
lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self -
limited).
5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada :
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab
infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan deeskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi
dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan
aman.
6. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa
langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan
antibiotik secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan
penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, dan
mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit
infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang
infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim
(teamwork).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik
secara bijak yang bersifat multidisiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan
berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara
lebih rinci ditingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya dan masyarakat.
2.2.9.Resistensi Antibiotik
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antibiotik.WHO mendefinisikan resistensi
antimikroba sebagai resistensi mikroorganisme terhadap obat antimikroba
yang pernah mampu mengobati infeksi oleh mikroorganisme
tersebut.Seseorang tidak dapat menjadi resisten terhadap antibiotik.
Resistensi terjadi pada mikroba, bukan pada orang atau organisme lain
yang terinfeksi oleh mikroba (WHO, 2009).
Resistensi patogen mikroba terhadap antibiotik meningkat di
seluruh dunia sangat pesat, sejalan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan infeksi yang disebabkan oleh patogen yang
resisten terhadap antibiotik.Setidaknya 2 juta orang terinfeksi bakteri
resisten antibiotik setiap tahun di AS saja, dan setidaknya 23.000 orang
meninggal sebagai akibat langsung dari infeksi ini. Di Uni Eropa,
diperkirakan 400.000 pasien dengan resisten strain bakteri setiap tahun,
dimana 25.000 pasien meninggal. Akibatnya, WHO telah memperingatkan
bahwa jangkauan terapeutik tidak mencukupi dalam waktu 10 tahun,
menempatkan dunia berisiko memasuki era "pasca antibiotik", di mana
antibiotik tidak akan lagi efektif melawan penyakit infeksi (WHO, 2009;
CDC, 2014).
Bakteri dapat bersifat resisten pada obat secara intrinsik (misalnya
bakteri anaerob resisten terhadap aminoglikosida) atau mendapatkan
resistensi melalui mutasi terhadap gen tertentu atau membentuk gen baru.
Mekanisme utama resitensi yang dilakukan bakteri yaitu inaktivasi obat,
mempengaruhi atau overproduksi target antibiotik, akuisisi target baru
yang tidak sensitif obat, menurunkan permeabilitas obat dan efluks aktif
terhadap obat (Kasper, et.al., 2005).
Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu :
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat
dinding sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera di keluarkan dari
dalam sel melalui mekanisme transport aktif keluar sel.
Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat
Minimal) yaitu kadar terendah antibiotik (μg/mL) yang mampu
menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM
menggambarkan tahap awal menuju resisten. Enzim perusak antibiotik
khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada Tahun 1945
dengan nama penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus
dari pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa juga
ditemukan pada pasien terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi
ampisilin. Resistensi terhadap golongan beta-laktam antara lain terjadi
karena perubahan atau mutasi gen penyandi protein (Penicillin Binding
Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan
menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis
(Kemenkes, 2011).
Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten
terhadap antimikroba di rumah sakit dikaitkan dengan peningkatan
morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan.Resistensi muncul bahkan pada
agen antimikroba yang lebih baru dan lebih poten seperti
karbapenem.Seleksi dan penyebaran mikroorganisme yang resisten
terhadap antimikroba difasilitasi oleh penggunaan obat yang tidak rasional,
dan pengobatan sendiri yaitu penyalahgunaan obat antibiotik.Resistensi
antimikroba sangat terkait dengan penggunaan antimikroba yang tidak
tepat.Diperkirakan 50% atau lebih penggunaan antimikroba di rumah sakit
tidak tepat.Diperlukan kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran tentang resistensi antimikroba di kalangan petugas kesehatan
profesional (Desai, 2016).
Multiple drug resistance (MDR), resistensi beberapa obat atau
multiresistensi adalah resistensi antimikroba yang ditunjukkan oleh spesies
mikroorganisme terhadap beberapa antimikroba.Jenis yang paling
mengancam bagi kesehatan masyarakat adalah bakteri MDR yang
melawan banyak antibiotik; termasuk virus MDR, jamur, dan parasit
(resisten terhadap banyak antijamur, antiviral, dan antiparasit dari berbagai
jenis bahan kimia).Mengetahui tingkat MDR yang berbeda, istilah yang
resistan terhadap obat secara ekstensif drug resistant (XDR) dan pandrug-
resistant (PDR), istilah tersebut telah diperkenalkan pada tahun 2011.
(Singhal, 2017)
Organisme MDR didapatkan resisten terhadap pengobatan dengan
beberapa agen antimikroba yang sering tidak berkaitan.
Beberapa jenis organisme MDR penting yang telah ditemui meliputi:
1. MRSA - methicillin / oxacillin-resistant Staphylococcus aureus
2. VRE - vancomycin-resistant enterococci
3. ESBLs - beta-laktamase spektrum luas yang menghasilkan bakteri
Gram-negatif (yang resisten terhadap sefalosporin dan monobaktam)
4. PRSP - penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae
5. Carbapenemase yang memproduksi Klebsiella pneumonia (KPC)
6. gram negatif MultiDrug-Resistant (MDR GNR) Bakteri MDRGN
seperti spesies Enterobacter, E.coli, Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa.
7. Grup bakteri gram positif dan gram negatif yang baru-baru ini dianggap
sebagai kelompok ESKAPE (Enterococcus faecium, Staphylococcus
aureus, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, Pseudomonas
aeruginosa dan spesies Enterobacter).
8. MDR Tuberkulosis
MRSA dan VRE adalah organisme MDR yang paling banyak ditemui
pada pasien yang berada di fasilitas kesehatan non-rumah sakit, seperti
panti jompo danfasilitas perawatan jangka panjang lainnya.PRSP lebih
sering terjadi pada pasien yang mencari perawatan di tempat rawat jalan
seperti klinik dokter, terutama di lingkungan anak-anak.ESBL paling
sering dijumpai di rumah sakit (perawatan intensif), namun MRSA dan
VRE juga memiliki ekologi nosokomial yang signifikan.
Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa
terjadi dengan 2 cara, yaitu (Kemenkes, 2011) :
1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resisten tersebut berbiak
secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteric yang berbiak cepat ),
maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh bakteri resisten.
Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten maka upaya
penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid. Hal
ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok mau pun dari satu orang ke
orang lain.
Bila seseorang terinfeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik,
tidak hanya perawatan pasien itu lebih sulit, tapi bakteri tersebut dapat
menyebar ke orang lain. Jumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotik
semakin meningkat.Resistensi antibiotik dapat meningkatkan penyakit
pada manusia, penderitaan dan kematian, kenaikan biaya dan lamanya
perawatan; dan meningkatkan efek samping penggunaan kombinasi obat
yang lebih kuat.
Pasien yang terinfeksi mikroba yang resisten terhadap antibiotik
secara signifikan lebih mungkin mengalami komplikasi dan efek jangka
panjang. Begitu mikroorganisme infektif memasuki tubuh, ia bisa
berpindah dari infeksi primer ke tempat yang lain. mikroba yang resisten
terhadap antibiotik biasanya membutuhkan waktu untuk berkembang,
menyebar ke organ lain dan menjadi komplikasi. Misalnya pasien yang
terinfeksi oleh strain methicillin resistant S.aureus(MRSA) memiliki
risiko menjadi komplikasi, 69% lebih tinggi dibandingkan pasien sejenis
yang terinfeksi oleh strainmethicillin-susceptible S. aureus (MSSA)
(Desai, 2016).
Komplikasi paling sering terjadi adalah perkembangan infeksi
lokal [risiko relatif (RR) sama dengan 3,25] . Sebagai contoh: orang yang
terinfeksi MRSA 3,25 kali lebih mungkin mengalami infeksi lokal
dibandingkan dengan orang yang terinfeksi oleh MSSA. Jika
mikroorganisme yang infektif memasuki sistem peredaran darah dan
menyebar luas, dapat menyebabkan sepsis (yaitu inflamasi seluruh tubuh
yang berespon terhadap infeksi) dan syok.Pasien yang terinfeksi ARM
lebih cenderung mengalami sepsis dan 12% lebih mungkin mengalami
syok.Beberapa komplikasi serius jangka panjang lainnya yang mungkin
berkembang termasuk efek di sistem saraf pusat (RR 1.7) atau
kehilangan anggota badan (RR 1.13) (Desai, 2016).
Terdapat dua strategi pencegahan peningkatan resistensi bakteri,
yaitu :
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik
secara bijak (prudentuse of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar
(universal precaution).

2.3Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Di Rumah Sakit


2.3.1 Penggunaan Antibiotik Profilaksis di Rumah Sakit (Kemenkes RI,2011)
1. Tepat indikasi
Untuk bedah bersih kontaminasi, bersih yang memasang bahan
prostesis, operasi bersih yang jika sampai terjadi infeksi akan
menimbulkan dampak yang serius seperti operasi bedah syaraf, bedah
jantung, dan mata.
2. Tepat obat
Dengan mempertimbangkan spektrum antibiotik dan potensi bakteri.
3. Tepat dosis
Untuk tujuan profilaksis diperlukan antibiotika dosis tinggi, agar
didalam sirkulasi dan didalam jaringan tubuh dicapai kadar diatas MIC.
Dosis yang kurang adekuat, tidak hanya tidak mampu menghambat
pertumbuhan bakteri, tetapi justru merangsang terjadinya resistensi
bakteri.
4. Tepat rute pemberian.
Agar antibiotik dapat segera didistribusikan ke jaringan maka
pemberiannya dilakukan secara intravena
5. Tepat waktu pemberian
Pemberian antibiotik umumnya 30-60 menit sebelum pembedahan
6. Tepat lama pemberian
Mempertimbangkan proses pembedahan, jika lama dapat diberikan
dosis tambahan dapat diberikan setiap 2 jam untuk sefoksitin atau setiap
4 jam untuk sefazolin.

2.3.2 Kualitas Penggunaan Antibiotik


Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit (Gyssens, 2005) :
1. Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam
pemberian antibiotik dan rekam medik pasien.
2.Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis
(gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan
dan harga.
3.Alur penilaian menggunakan kategori /klasifikasi Gyssens.
4. Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik sebagai berikut
(Gyssens IC,2005):
Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I = Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori II A = Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
Kategori II B = Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian
Kategori II C = Penggunaan antibiotik tidak tepat cara / rute pemberian
Kategori III A = Penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori III B = Penggunaan antibiotik terlalu singkat
Kategori IV A = Ada antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IV B = Ada antibiotik lain yang kurang toksik / lebih aman
Kategori IV C = Ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IV D = Ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih sempit
Kategori V = Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI = Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat
dievaluasi

Kualitas penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan


profilaksisumumnya dinilai dari data yang tersedia pada penelitian lokal dan
resistensi mikroba serta dari informasi yang didapatkan pada epidemiologi infeksi
dan organisme penyebab secara lokal.Laboratorium mikrobiologi berperan
penting pada pengumpulan data, analisis dan pelaporan data surveilan dan
menyediakan informasi yang digunakan untuk terapi empiris (perkiraan
berdasarkan data) atau profilaksis.Pedoman terapi empiris dan profilaksis
berdasarkan surveilans ini seharusnya ada pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Akses terhadap fasilitas laboratorium mikrobiologi sangat penting


untukmengidentifikasi patogen dan obat yang sensitif agar dapat dilakukan terapi
definitif dengan spektrum aktivitas yang lebih sempit dibandingkan terapi
empiris.Audit penggunaan antibiotika didefinisikan sebagai analisis kesesuaian
peresepan individual.Audit merupakan metode lengkap untuk menilai seluruh
aspek terapi. Proses evaluasi dapat dilakukan dengan alat evaluasi yang didesain
oleh peneliti sendiri atau dengan alat evaluasi yang sudah baku seperti Metode
Kunin dan Metode Gyssens (Utomo H, 2008). Metode Gyssens berbentuk
diagram alir yang diadaptasi dari kriteria Kunin et. al. Metode ini mengevaluasi
seluruh aspek peresepan antibiotika, seperti: penilaian peresepan, alternatif yang
lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit. Selain itu
juga dievaluasi durasi pengobatan dandosis, interval dan rute pemberian serta
waktu pemberian.

Diagram alir ini merupakan alat yang penting untuk menilai


kualitaspenggunaan antibiotika. Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan
yang berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu
kategori. Dengan alat ini, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi
definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005).
Bagan 1. Alur Penilaian Kualitatif Penggunaan Antibiotik (Gyssens
Classification) (Gyssens, 2005)
Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat
apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan antibiotika
(Gyssens, 2005).

1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI


Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada
halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi.Pemeriksaan
penunjang/laboratorium tidak harus dilakukan karena mungkin tidak ada biaya,
dengan catatan sudah direncanakan pemeriksaannya untuk mendukung
diagnosis.Diagnosis kerja dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisis.Bila data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya, apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotika?

2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V


Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat?

3. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori
IVa.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain
yang kurang toksik?

4. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori
IVb.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif
lebih murah?

5. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori
IVc.Pada alternatif lain yang lebih murah, peneliti berpatokan pada daftar
harga obat yang dikeluarkan dari RSCM dan semua antibiotika dianggap
sebagai obat generik dalam penghitungan harganya. Bila tidak, lanjutkan
dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang spektrumnya
lebih sempit?
6. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit,
berhenti di kategori IVd.
Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang?

7. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori


IIIa.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu
singkat?

8. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori


IIIb.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis
antibiotika yang diberikan sudah tepat?

9. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIa.


Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval
antibiotika yang diberikan sudah tepat?

10. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIb.
Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute
pemberian antibiotika sudah tepat?

11. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIc.
Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.

12. Bila antibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotika
tersebut merupakan kategori 1
2.2 Pengetahuan dan Sikap dan Parameter Outcome
2.2.3 Pengetahuan dan Sikap
Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu,
pengetahuan tentang segi positif dan negatif dari suatu hal yang
mempengaruhi sikap dan perilaku.Pengetahuan dan kognitif merupakan doain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behaviour). Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa
dimulai pada domain kognitif, dalam artian subyek tahu terlebih dahulu
terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek diluarnya sehingga
menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut, dan selanjutnya
menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subyek erhadap obyek yang
diketahuinya itu. Akhirnya rangsang yang telah diketahui dan disadari
sepenuhnya akan menimbulkan respon lebih jauh berupa tindakan (action)
terhadap stimulus. Namun demikian dalam kenyatannya, stimulus yang
diterima subyek dapat langsung menimbulkan tindakan.Artinyam seseorang
dapa bertindak atau berperilaku baru tanpa terlebih dahulu mengetahui makna
stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain, tindakan (practice) seseorang
tidak harus disadari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmodjo, 2003)
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang mencakup
domain kognitif memiliki enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Termasuk di dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut dengan benar.Orang yang telah paham terhadap obyek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan terhadap obyek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebgainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuj
menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
6. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.Penilaian-
penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang ada.
2.2.4 Parameter outcome
Parameter outcome evaluasi dapat dikategorikan sebagai outcome proses,
outcome pasien dan outcome mikrobiologi (Gyssens, 2005):
- Outcome proses (pola peresepan) :Umpan balik dari hasil evaluasi bisa
merupakan suatu intervensi untukmeningkatkan kualitas peresepan.
- Outcome Operator bedah : Beberapa variabel outcome Operator bedah
yang dapat diperoleh dari studi intervensi diantaranya perubahan
pengetahuan dan sikap dalam penggunan antibiotik profilaksis rasional
pada tindakan bedah elektif operasi bersih.
- Outcome mikrobiologi : Beberapa parameter outcome mikrobiologi
pada studi intervensi diantaranya perubahan jumlah kejadian resistensi
mikroba dan jumlah strain bakteri yang resisten terhadap antibiotika.

Anda mungkin juga menyukai