Anda di halaman 1dari 12

KETERBUKAAN DALAM PERDAGANGAN

SAHAM DI PASAR MODAL∗

BISMAR NASUTION∗∗

T
idak berlebihan apabila undang-undang pasar modal sesuatu negara, termasuk Indonesia mewajibkan
keterbukaan, walaupun negara tersebut telah mempunyai anti fraud. Suatu negara, walaupun telah
mempunyai anti fraud, tetapi tidak mempunyai hukum yang mewajibkan keterbukaan bagi perusahaan
akan dapat merugikan investor. Dalam keadaan itu perusahaan dapat memberikan informasi sepanjang
perusahaan bersedia, atau perusahaan diam, tidak memberikan informasi atau memberikan informasi tidak
tepat waktu.1
Untuk mengatisipasi keadaan itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM)
telah mewajibkan keterbukaan tetap harus ada. UUPM mengatur kewajiban keterbukaan tersebut secara
substansial menentukan pengungkapan informasi pada saat-saat yang telah ditentukan, dan yang lebih penting
undang-undang tersebut pengawasan, waktu, tempat dan bagaimana perusahaan melakukan keterbukaan.2
Namun, UUPM yang mengatur kewajiban keterbukaan belum cukup mengatur pelaksanaan keterbukaan
tersebut. Terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban keterbukaan tersebut.
Misalnya, terdapat kejadian yang wajib diungkapkan oleh emiten, tetapi ketentuan standar fakta materiel atas
kejadian tersebut tidak tegas atau tidak cukup penentuan standarnya. Sedangkan fakta materiel adalah napas
berjalannya undang-undang pasar modal yang mengatur kewajiban keterbukaan tersebut. Apabila penentuan
standar fakta materiel tidak tegas atau tidak cukup, maka jalannya kewajiban keterbukaan akan terhambat. Di
samping itu, batas waktu penyampaian fakta materiel masih perlu ditekankan penerapannya.

Tujuan Prinsip Keterbukaan


Jika penekanan pentingnya keterbukaan dalam perdagangan saham, dikaitkan dengan teori keterbukaan
dalam perdagangan saham yang pernah berkembang, maka pilihan teorinya adalah berkenaan dengan standar
tinggi dari suatu moralitas bisnis sebagaimana dibutuhkan oleh undang-undang yang mengatur perdagangan
saham di pasar modal, yaitu untuk melaksanakan keterbukaan secara lengkap dan jujur, seperti yang
digariskan dalam teori “sistim keterbukaan wajib” (mandatory disclosure system).3 Oleh karena pelaksanaan
sistim keterbukaan wajib yang umum dan khusus merupakan upaya meminimalisasi risiko dari informasi yang
tidak akurat, agar risiko yang dihadapi investor dapat dibatasi sebab risiko itu inherent dalam instrumen
investasinya.4
Di samping itu, prinsip keterbukaan mempunyai peranan penting bagi investor sebelum mengambil
keputusan untuk melakukan investasi disebabkan melalui keterbukaan akan terbentuk suatu penilaian
(judgment) terhadap investasi,5 yang dapat menentukan pilihan secara optimal terhadap portofolio mereka.6


Disampaikan pada Seminar Mengupas serta Mencermati Fenomena Tindak Pidana di Pasar Modal, pada Bina
Manajemen Bisnis dan Investasi Dharma Nusantara, tanggal 8 Mei 2003, Jakarta.
∗∗
Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari
Universitas Indonesia (2001), Pengajar pada USU/Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana USU,
Penguji pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Dosen pada Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta.
1 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, “Mandatory Disclosure and the Protevtion of Investors, Virginia law

Review, (Vol. 70, 1984), hal. 680


2 Ibid.

3 375 U.S., 201, 1963.

4Glen Wallace Roberts II, “10(b) or Not 10(b) : Central Bank of Denver v. First Interstate Bank of Denver,” North

Carolina Law Review, (Vol. 73, 1995), hal. 1239.


5 D. Brian Hufford, “Deterring Fraud vs. Avoiding the ‘Strike Suit’ : Reaching An Appropriate Balance,” Brooklyn Law

Review, (Vol. 61, 1995), hal. 593-594.

1
Makin jelas informasi perusahaan, maka keinginan investor untuk melakukan investasi akan makin tinggi.
Selanjutnya ketiadaan atau kekurangan serta ketertutupan informasi akan menimbulkan ketidakpastian bagi
investor. Akibatnya akan menimbulkan ketidakpercayaan investor dalam melakukan investasi melalui pasar
modal.7
Sistim keterbukaan wajib tersebut, juga penting dipahami sebagai ketentuan umum anti-fraud dari
hukum pasar modal, yang menyatakan “tell the truth and don’t leave out anything important.”8 Pemahaman
tersebut penting, oleh karena kegagalan untuk mengungkapkan (to disclose) fakta materiel dianggap sebagai
penipuan.9
Berdasarkan teori sistim keterbukaan wajib tersebut dapat ditentukan premis, bahwa ketentuan
keterbukaan harus membuat suatu kewajiban yang umum untuk melakukan keterbukaan secara menyeluruh
dari seluruh informasi, hingga kepada suatu bangunan kewajiban keterbukaan untuk menyampaikan informasi
yang khusus.10 Pelaksanaan kewajiban keterbukaan yang umum dan khusus tersebut, diharapkan prinsip
keterbukaan sebagai bagian sistim hukum pasar modal dapat memberikan predictability kepada pemegang
saham atau pelaku ekonomi.11
Selanjutnya, apabila dirinci tujuan prinsip keterbukaan oleh Emiten atau perusahaan publik kepada
investor, maka rinciannya adalah pertama, untuk menciptakan mekanisme pasar efisien. Pasar efisien sering
didefinisikan sebagai pasar dimana harga saham dipengaruhi semua informasi yang tersedia secara langsung.12
Menurut John C. Coffee, Jr, bahwa pasar yang efisien tersebut berkaitan dengan sistim keterbukaan wajib,
oleh karena, pada dasarnya sistim keterbukaan wajib berusaha menyediakan informasi teknis (technical
information) bagi analis saham dan profesional pasar, dimana secara dalil yang wajar mereka merupakan daya
penggerak yang pada dasarnya mempertahankan pasar efisien.13 Untuk memahami esensi keterbukaan wajib
dalam rangka menciptakan pasar efisien tersebut, akan lebih dipahami dengan memperhatikan apa yang telah
diamati oleh Brad M. Barber, Paul A. Griffin dan Baruch Lev. Mereka mengatakan, bahwa dalam suatu pasar
efisien seluruh informasi publik yang disampaikan secara cepat dan penuh dicerminkan kepada harga saham.14
Kedua, perlindungan terhadap investor, khususnya investor biasa (unsophisticated investors) dari
penipuan. Karena tujuan prinsip keterbukaan tersebut dilakukan dengan cara menyamakan akses terhadap
informasi di antara para pelaku pasar. Cara penyamaan akses tersebut di antara investor akan dapat menjaga
kepercayaan investor dan dapat mencegah terjadinya penipuan. Cara penyamaan akses terhadap informasi
tersebut adalah suatu yang dibutuhkan investor.15 Apabila hukum yang mewajibkan prinsip keterbukaan
ditegakkan secara fair dan mengandung unsur creditability serta accountability, maka kejahatan dalam
bentuk misstatement atau misrepresentation dan omission yang mengakibatkan pernyataan menyesatkan
(misleading statement) akan dapat diatasi. Sebab dengan prinsip keterbukaan itu membuat kegiatan yang
dilakukan manajemen sangat mudah dideteksi.16
Dengan demikian unsophisticated investors, yang pada umumnya kurang dapat mengakses informasi
dibandingkan dengan investor potensil yang profesional, dapat terlindung dari eksploitasi. Karena terdapat
pendapat, bahwa “investor yang tidak mengetahui informasi adalah termasuk sebagai investor tereksploitasi.”
Dalam perkataan lain, “barang siapa yang mengetahui sedikit informasi akan memperoleh suatu deal yang

6 Frank H. Easterbrook dan Daniel Fischel, 2, “Mandatory Dislosure and the Protection of Investors,” Virginia Law

Review, (Vol. 70, 1984), hal. 673.


7 Bandingkan Frank H. Easterbrook dan Daniel Fischel, 1, Op. cit, hal. 296.

8Robert H. Rosenblum, “An Issuer’s Duty Under Rule 10b-5 To Correct and Update Materially Misleading Statements”,

Catholic University Law Review, (Vol. 40, 1992), hal. 289.


9SEC v. Capital Gains Bureau, 375 U.S., 200, 1963.

10Henry L. “Scott” Nearing III, “Kahn v Virginia Retirement System: The Impact of Rule 10b-5’s Corporate Disclosure

Requirements On The Williams Act’s Tender Offer and Best Price Rules”, Villanova Law Review, (Vol. 40, 1995), hal. 264.
11Bandingkan. David M. Trubek, “ Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and Development,”

The Yale Law Journal, (Vol. 82, No. 1, November 1972), hal. 45.
12 John C. Coffee Jr, “Market Failure and the Economic Case for A Mandatory Disclosure System,” Virginia Law

Review, (Vol. 70, 1984), hal. 747.


13Ibid, hal. 747

14 Brad M. Barber, Paul A. Griffin dan Baruch Lev, “The Fraud-on-the-Market Theory and Indicators of Common Stock’

Efficiency,” The Journal of Corporation Law, (Winter, 1994), hal. 294.


15Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Subsidize Informed Traders,” International Review Law

and Economic, (Vol. 16, 1996), hal. 297.


16 Nicholas I. Georgapoulus, Loc.cit, hal. 297.

2
merugikan.”17 Di pihak lain, eksploitasi akan membuat rasa ketakutan dan ketakutan eksploitasi ini akan
merusak kepercayaan. Meskipun investor tersebut terbukti mengalami kerugian ataupun tidak dirugikan.18
Investor yang tereksploitasi dari informasi ini sangat dirugikan, dibandingkan dengan investor lain yang
memiliki informasi, yang karena informasi tersebut ia berada dalam posisi yang diuntungkan (informational
advantages). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa fungsi keterbukaan tersebut dapat melindungi investor
dari ketakutan eksploitasi.
Dalam mencapai tujuan prinsip keterbukaan untuk perlindungan investor tersebut hanya dapat
diharapkan terpenuhi adalah sepanjang informasi yang disampaikan kepada investor mengandung
kelengkapan data keuangan emiten dan informasi lainnya yang mengandung fakta materiel. Dengan
penyampaian informasi yang demikian kepada investor akan dapat menghindari investor dari bentuk-bentuk
penipuan (fraud) atau manipulasi (deceit) serta hal-hal lainnya yang berbentuk perbuatan-perbuatan curang
(fraudulent acts), seperti melalui misrepresantation atau omission yang pada akhirnya mengakibatkan
pernyataan menyesatkan. 19
Tujuan keterbukaan yang kedua tersebut mendasari pengaturan ketentuan keterbukaan supaya dilakukan
secara akurat dan penuh dan dalam melakukan keterbukaan tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh
ketentuan keterbukaan yang diatur dalam hukum pasar modal, agar tidak menimbulkan pernyataan yang
menyesatkan bagi investor, seperti informasi yang salah. Karena menurut Fraud-on-the-Market-Theory
informasi yang salah, yang masuk ke pasar secara cepat akan merubah harga suatu saham.20
Ketiga, membantu menetapkan harga yang akurat21 Sebab dengan prinsip keterbukaan akan mudah
diperoleh informasi. Hal ini didasarkan pengamatan sebagaimana yang diuraikan Saul Levmore, yang
menguraikan bahwa apabila informasi secara relatif mudah untuk diperoleh para pelaku pasar modal, maka
informasi tersebut akan masuk kepasar dengan nilai kebenaran yang sangat akurat.22

Masalah Pelaksanaan Keterbukaan


Masalah yang paling utama dalam pelaksanaan keterbukaan adalah sulitnya menentukan standar fakta
materiel, sebab UUPM tidak cukup menentukan apa yang menjadi standar fakta materiel dalam prinsip
keterbukaan. Apabila standar fakta materiel telah cukup dan dapat dipahami, maka akan mudah pula
memahami hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran prinsip keterbukaan. Selanjutnya, aparatur penegak
hukum dapat dengan mudah mengatasi pelanggaran prinsip keterbukaan.
Salah satu bentuk pelanggaran prinsip keterbukan adalah ‘pernyataan menyesatkan’ karena adanya
pernyataan fakta materiel yang salah, atau penghilangan informasi materiel. Dengan perkataan lain,
pelanggaran prinsip keterbukaan juga dapat terjadi disebabkan pernyataan yang salah atau pernyataan dengan
membuat penghilangan fakta materiel, baik dalam transaksi saham maupun dalam dokumen-dokumen
penawaran umum lainnya.23 Bentuk pernyataan-pernyataan yang demikian itu dapat menciptakan gambaran
yang salah dari kualitas emiten, manajemen, potensi ekonominya, saham-saham yang ditawarkan atau fakta-
fakta “materiel” lainnya yang ditawarkan.24
Hal tersebut perlu menjadi perhatian, sebab pelanggaran prinsip keterbukaan merupakan inti (essence)
kejahatan di pasar modal.25 Tindakan kejahatan seperti ini secara substansi merugikan investor dalam
membuat keputusan atas investasinya. Alasan inilah sesungguhnya yang membuat dasar gugatan dalam
tindakan kejahatan tersebut,26 dan salah satu dasar gugatan tersebut dapat dilihat dari Fraud-on-the-Market27

17 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel 2, Loc.cit, hal. 38.


18 Ibid.
19 Keith J. Kanouse, “The Rise and Fall of the Private Cause of Action for Violation of Margin Requirements,” Banking

Law Journal, hal. 133-134.


20 John M. Newman Jr., Mark Herrmann dan Geoffrey J. Ritts, “Basic Truth: The Implications of the Fraud-on-the-

Market Theory for Evaluating the ‘Misleading and Materielity’ Elements of Securities Fraud Claims,” The Journal of Corporation
Law, (Summer, 1995), hal. 572.
21Nichholas I. Georgakopoulos, Loc.cit, hal. 418.

22Saul Levmore, “Efficient Markets and Puzzling Intermediaries,” Virginia Law Review, (Vol. 70, 1984), hal. 647.

23 Ben D. Orlanski, “Whose Representations are these anyway ? Attoeney Prospectus Liability After Central Bank,”

UCLA Law Review, (vol. 42, 1995), hal. 895.


24 Ibid.

25 Ibid, hal. 886.

26 List v. Fashion Park, Inc, 340 F 2d 457,462 (2d Cir 1965. List v. Lerner, 382 U.S 811 (1965).

3
dengan dasar suatu ukuran sifatnya materiel.28 Oleh karena itu, peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan
yang membuat larangan pada masalah tersebut umumnya terdiri dari perbuatan mengeluarkan pernyataan
fakta materiel yang salah (materielly false statement) atau penyampaian pernyataan itu tidak lengkap
(omissions) dalam dokumen-dokumen penawaran umum.29
Peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam UUPM telah membuat ketentuan-ketentuan mengenai
larangan terhadap pernyataan yang salah dan omission, baik pada prospektus30 maupun pada pengumuman
dalam media massa yang berhubungan dengan suatu penawaran umum.31 Ketentuan larangan tersebut juga
secara tegas telah membuat ketentuan-ketentuan mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam
kategori penipuan dan manipulasi pasar32 serta telah menetapkan sanksi berupa ancaman pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima belas milliar rupiah terhadap pelanggaran atas
perbuatan-perbuatan tersebut.33
Dengan demikian pemahaman penentuan standar fakta materiel tersebut sangat berkaitan dengan
pembenaran perlunya kewajiban prinsip keterbukaan untuk menjaga kepercayaan investor.34

Keterbukaan Kondisi Keuangan Emiten


Kejadian yang menimpa beberapa perusahaan publik dan dunia akuntan di pasar modal Amerika Serikat,
yang pada mulanya dipicu dengan indikasi misrepresentation dalam laporan keuangan, seperti yang terjadi
pada kasus Erron Corporation, Xerox, WordCom dan Merc, perlu dicermati. Oleh karena, setelah kejadian-
kejadian tersebut telah munculkan berbagai pendapat yang mengarah pada perlunya ditinjau kembali standar
pemeriksaan keuangan oleh akuntan, yang pada gilirannya lahir Sarbanes-Oxley Act 2002 yang ditujukan
untuk mengambil alih fungsi pengawasan atas auditor yang selama ini dilakukan oleh American Institute of
Certified Public Accountants (AICPA). Pengaturan pengawasan atas auditor oleh Sarbanes-Oxley Act tersebut
sejalan dengan proposal Arthur Levitt Jr bekas pimpinan Securities & Exchange Commission yang
disampaikan tahun 2000, dimana melalui proposal tersebut ingin mengendalikan praktek konsultasi
menguntungkan atas perusahaan yang juga diaudit oleh akuntan.35
Walaupun selama ini di pasar modal Amerika Serikat dianggap telah mempunyai standar yang ketat,
namun tuntutan lebih memperketat standar tersebut telah menjadi wacana. Memang. masalah standar itu
telah lama dibicarakan dalam pasar modal di Amerika Serikat, dimana disebutkan bahwa Akuntan sebagai
Profesi Penunjang Pasar Modal tidak bebas bekerja tanpa suatu standar. Menurut Marc I Steinberg, para
akuntan tetap dituntut bekerja dengan sangat hati-hati untuk melihat informasi yang diberikan emiten pada
waktu due diligence sesuai dengan yang telah dalam “penelitian yang cukup” (“reasonable investigation”) .
Standar reasonable investigation didasarkan pada standar berakal sehat dan bijaksana dalam mengurus harta
milik pribadi (prudent man in the management of his own property). Steinberg menyebutkan pula, bahwa
standar prudent man tidak hanya didasarkan kepada investigasi yang wajar, tetapi juga kepada kepercayaan
yang wajar.
Setelah munculnya kasus kegagalan audit skala besar seperti Enron, maka kritik bermunculan lagi pada
profesi akuntan dan membuat perhatian yang lebih luas terhadap akuntansi. Jika diperhatikan dari kasus
Enron, maka terdapat 5 (lima) kegagalannya yang patut dapat perhatian. Pertama, Enron gagal untuk
mengungkapkan secara memadai investasi pada special purpose entities (SPEs), dimana kewajibannya tidak

27 Zachary Shulman, Fraud - On - The - Market Theory After Basic Inc. v. Levinson,Cornel Law Review,(vol. 74:964

1989), hal. 964.


28 Ibid, hal 964.

29 Ibid, hal. 964.

30 Pasal 78 ayat 1 UUPM menyatakan, bahwa dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang fakta materiel atau

tidak memuat keterangan yang benar tentang fakta materiel yang diperlukan agar prospektus tidak memberikan gambaran
yang menyesatkan.
31 Pasal 79 ayat 1 UUPM menyatakan, bahwa setiap pengumuman dalam media massa yang berhubungan dengan suatu

penawaran umum dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang fakta materiel dan atau tidak memuat pernyataan tentang
fakta materiel yang diperlukan agar keterangan dimuat di dalam pengumunan tersebut tidak memberikan gambar yang menyesatkan.
32 Pasal 90, 91, 92, 93 UUPM.

33 Pasal 104 UUPM.

34 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, 1, The Economic Stucture of Corporate Law, (Cambridge,
Massachusetts, London: Harvard University Press, 1996), hal. 296.
35 BusinessWeek, No. 33/1/20 Januari 2003, hal. 44

4
secara benar terungkap. Kedua, Enron tidak benar pengakuannya mengenai pendapatan bersih yang
dilaporkannya. Ketiga, pengakuan pernyataan kembali atas investasi yang menggunakan fair-value
accounting. Keempat, Enron tidak menggunakan akuntansi terhadap saham yang dikeluarkan dan dimiliki
oleh SPEs. Kelima, tidak memadainya keterbukaan dan akuntansi atas transaksi dengan pihak terkait, conflicts
of interest, dan biaya yang harus dipikul stockholders.36
Di Indonesia, standar pemeriksaan keuangan perusahaan di pasar modal sebagai dasar penerapan
pertanggungjawaban akuntan yang melakukan pemeriksaan keuangan perusahaan masih belum cukup.
Sedangkan permasalahan berkenaan dengan standar akuntansi tersebut paling perlu untuk mendapat
perhatian. Penekanan terhadap permasalahan standar akuntansi itu sesuai dengan adanya pertanyaan yang
berkembang pada sekitar pemberlakuan standar akuntansi bagi perusahaan yang akan go public. Peraturan
pelaksanaan prinsip keterbukaan yang mengatur mengenai kewajiban emiten untuk melakukan keterbukaan
kondisi keuangan emiten kepada publik yang berlaku di Indonesia masih perlu diperinci secara cukup.
Masalah tersebut perlu diatasi, mengingat standar akuntansi sangat menentukan dalam penentuan telah
terjadi pernyataan menyesatkan dalam laporan keuangan. Di samping itu masalah laporan keuangan tersebut
berkaitan pula dengan standar fakta materiel sebagai penentuan telah terjadi pernyataan menyesatkan.
Bagian tulisan ini mencoba menganilisis bagaimana ketentuan-ketentuan berkenaan pernyataan
menyesatkan dioperasionalkan melalui putusan pengadilan di negara lain, yang dapat dibuat sebagai gagasan
mengatasi keadaan laporan keuangan yang terindikasi pernyataan menyesatkan, seperti yang pernah muncul
dalam kasus “dugaan pernyataan menyesatkan” dalam Laporan Keuangan Bank Lippo, yang telah diberikan
sanksi administratif oleh Bapepam dengan alasan “kekurang hati-hatian Direksi Bank Lippo dan atas kelalaian
berupa keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA PT. Bank Lippo Tbk
selama 35 (tiga puluh lima) hari oleh Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih sesuai dengan penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.”37 Oleh karena itu, terhadap Direksi Bank
Lippo dikenakan sanksi berupa denda Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), sementara itu
Ruchjat Kosasih dikenakan sanksi denda Rp. 3. 500.000 (tiga juta lima ratus ribu rupiah), .38
Terdapat 4 (empat) kesimpulan dari hasil pemeriksaan Bapepam terhadap kasus Laporan Keuangan Bank
Lippo. Pertama, “bahwa hanya terdapat 1 (satu) Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September
2002 yang diaudit dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih dari
KAP Prasetio, Sarwoko & Sanjaya, dengan Laporan Auditor Independen No. REC-0031/02 dengan tanggal
ganda (dual dating) tertanggal 20 Nopember 2002 (kecuali untuk Catatan 40a tertanggal 22 Nopember 2002
dan Catatan 40c tertanggal 16 Desember 2002) yang disampaikan kepada manajemen PT. Bank Lippo Tbk
pada tanggal 6 Januari 2003. Penerbitan laporan yang diaudit dengan tanggal ganda (dual dating) dapat
dilakukan sepanjang sesuai Standar Auditing Seksi 530 paragraf 5 dalam Standar Profesional Akuntan Publik
(SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).” Kedua, “bahwa laporan keuangan PT. Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 Nopember 2002 adalah laporan keuangan
yang tidak diaudit. Namun angka-angkanya sama seperti tercantum dalam Laporan Auditor Independen.”
Ketiga, “bahwa laporan keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada
tanggal 27 Desember 2002 adalah laporan keuangan yang tidak disertai Laporan Auditor Independen dan
telah terdapat penilaian kembali terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP).” Keempat, “bahwa pemeriksaan atas prosedur penilaian kembali Agunan Yang
Diambil Alih dan prosedur audit atas beberapa akun Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September
2002 saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.”39
Dalam melihat putusan Bapepam dalam kasus laporan keuangan PT. Bank Lippo tersebut, dapat dikaitkan
dengan berbagai pendapat yang muncul menangapi kasus Enron. berkenaan dengan pendapat bahwa fair-
value accounting tidak diatur, kalau ada yang salah dalam akuntansi dianggap tidak melanggar hukum.
Selanjutnya disebutkan, bahwa sistim akuntansi yang digunakan Enron menjadi menyesatkan adalah
penyalahgunaan fair-value accounting, sementara yang lainnya merupakan ketidakpatuhan terhadap
ketentuan. Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) memang membolehkan menilai berdasarkan
penilaian yang independen, persoalan penilaian itu berkaitan dengan cash flows yang diharapkan. Hal ini
memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan manipulasi pendapatan dengan cara asumsi yang

36 George Benston, Michael Bromwich, Robert E. Litan, Alfred Wagenhofer, Following the Money The Enron Failure

and the State of Corporate Disclosure, (Washington, DC: AEI-Brookings Joint Center For Regulatory Studies, 2003), hal. 24.
37 Bisnis Indonesia, 18 Maret 2003, hal. T8.

38 Ibid.

39 Bisnis Indonesi, tanggal 18 Maret 2003, hal T8.

5
wajar. Sebab hal itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk mencatat sesuatu yang sesuai dengan
keinginan mereka. Hal itu jugalah yang dilakukan Enron terhadap kontrak-kontrak enerjinya.40
Namun, sekarang para investor di pasar modal Amerika Serikat dapat berharap untuk mengatasi
kegagalan menghukum para akuntan yang melakukan pernyataan menyesatkan. Congress telah mendirikan
Public Company Accounting Oversight Board, dimana badan tersebut akan memiliki 5 anggota dan hanya 2
orang yang disyahkan sebagai anggota yang berasal dari Akuntan Publik. Tugas badan tersebut adalah
mendata perusahaan jasa akuntansi, menetapkan suatu standar yang berkaitan dengan persiapan dalam
pemeriksaan keuangan, dan melakukan penyelidikan dan cara kerja teratur. Selanjutnya, badan itu
memberikan sanksi yang sesuai bagi perusahaan dan akuntan. 41
Hal-hal tersebut di atas perlu menjadi gagasan untuk menjadi pedoman pengawasan laporan keuangan
perusahaan publik di pasar modal Indonesia. Berkaitan dengan putusan Bapepam terhadap kasus laporan
keuangan Bank Lippo, Ketua Bapepam Herwidayatmo dalam Bisnis Indonesia menyebutkan, bahwa “dalam
pemberian sanksi atau upaya penegakan hukum kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan UU di bidang pasar modal, Bapepam mempertimbangkan, pertama, substansi dan materialitas
kesalahan yang dilakukan. Kedua, perlunya diambil keputusan final yang segera dan cepat menyangkut
klarifikasi atas status institusi bank publik. Ketiga, yurisprudensi keputusan sejenis yang telah pernah diambil
sebelumnya.”42 Pertimbangan pertama dan ketiga Ketua Bapepam tersebut akan menjadi bahasan berikutnya
dalam tulisan ini.
Terlepas berbagai tanggapan atas ketidakpuasan atas putusan Bapepam tersebut, di sini dibahas bahwa
menyangkut persoalan Laporan Keuangan Bank Lippo sebelum diputuskan Bapepam, pada awalnya
disebutkan bahwa laporan keuangan itu menimbulkan dugaan pernyataan menyesatkan, sangat erat kaitannya
dengan pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam pasar modal. Sebab pada umumnya pelanggaran peraturan
prinsip keterbukaan terdiri dari pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya misrepresentation. Dalam
pandangan hukum pasar modal pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan tersebut dikategorikan sebagai
penipuan (fraud).
Pelanggaran prinsip keterbukaan, yaitu pernyataan menyesatkan dalam bentuk misrepresentation,
dapat terjadi apabila ada pernyataan yang secara jelas tidak sesuai dengan fakta. Artinya, pernyataan tersebut
tidak benar sesuai dengan fakta dan terdapat suatu gambaran yang salah atau gambaran yang diterima oleh
investor tersebut menciptakan suatu kondisi yang berlainan dengan keadaan yang sebenarnya, seperti
perbuatan-perbuatan yang memberikan gambaran yang salah terhadap kualitas emiten, manajemen, potensi
ekonominya, saham-saham yang ditawarkan atau fakta materiel. Oleh sebab itulah misrepresentation
adakalanya disebut juga dengan misstatement, yaitu suatu perbuatan yang membuat pernyataan yang salah,
khususnya berkaitan dengan data internal yang dapat menyesatkan bagi investor. Selain itu, pernyataan
menyesatkan juga dapat muncul karena adanya omission, yaitu perbuatan penghilangan informasi fakta
materiel, baik dalam dokumen-dokumen maupun dalam perdagangan saham. Dengan demikian pelanggaran
prinsip keterbukaan dalam bentuk “pernyataan menyesatkan” harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar modal (UUPM) menyatakan, bahwa
setiap pihak dilarang, dengan cara apapun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara
materiel tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga efek di Bursa Efek, apabila pada saat
pernyataan dibuat atau keterangan diberikan: Pertama, pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara materiel tidak benar atau menyesatkan. Kedua,
pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran materiel dari pernyataan
atau keterangan tersebut.
Dalam konteks pelaksanaan keterbukaan keuangan perusahaan publik atau emiten, dapat dipastikan
bahwa laporan keuangan emiten tersebut harus mengungkapkan informasi-informasi keuangan tertentu dan
informasi lainnya yang dianggap relevan oleh investor dalam menetapkan putusannya untuk membeli atau
menjual saham. Dalam hal ini, salah satu tipe penyampaian informasi yang bisa digugat adalah pernyataan
yang salah, khususnya menyangkut data internal perusahaan yang dapat menyesatkan investor potensil yang
rasional. Misalnya, semua investor secara bersama-sama bisa disesatkan apabila suatu perusahaan salah
mengumumkan bahwa net earning setiap saham adalah positif, padahal kenyataannya negatif.
Di Indonesia belum ada putusan pengadilan berkenaan dengan pernyataan menyesatkan, sehingga
belum ada pendapat pengadilan yang dapat dipakai untuk menjelaskan ketentuan berkenaan dengan kasus

40 George Benston, Michael Bromwich, Robert E. Litan, Alfred Wagenhofer, Op. Cit, hal. 27-28.
41 Ibid, hal. 45-46.
42 Bisnis Indonesia, 7 April 2003, hal. B12.

6
Laporan Keuangan Bank Lippo. Berbeda dengan negara-negara lain, misalnya di Amerika Serikat terdapat
berbagai pendapat pengadilan yang dapat dibuat sebagai pedoman untuk menjelaskan apa yang harus
disampaikan penggugat berkenaan dengan pernyataan menyesatkan tersebut. Misalnya penggugat harus
memberikan penjelasan mengenai perbuatan yang menyesatkan, dimana setiap pernyataan yang disampaikan
telah menyesatkan serta berbagai alasan mengapa pernyataan itu menyesatkan. Gugatan atas pernyataan
menyesatkan di pasar modal Amerika Serikat tersebut umumnya didasarkan pada ketentuan larangan
pernyataan menyesatkan sebagaimana di atur dalam Rule 10b-5 dan Section 10(b) Securities Exchange Act
1934. Ketentuan tersebut mirip dengan konsep larangan pernyataan menyesatkan dalam Pasal 93 UUPM, yang
merupakan dasar gugatan atas pernyataan menyesatkan dalam kegiatan pasar modal di Indonesia.
Dengan demikian, apabila ketentuan Pasal 93 UUPM dikaitkan dengan kasus laporan keuangan Bank
Lippo dan dielaborasi dari pendapat pengadilan Amerika Serikat, maka kasus laporan keuangan Bank Lippo
tersebut harus didukung dengan penjelasan yang dapat menentukan Laporan Keuangan Bank Lippo tersebut
telah menyesatkan. Berikutnya, harus ada alasan mengapa Laporan Keuangan itu menyesatkan. Selanjutnya,
penjelasan atau pemberian alasan tersebut harus pula didukung oleh unsur-unsur pernyataan menyesatkan.
Oleh karena itu, untuk membuktikan dugaan pernyataan menyesatkan dalam Laporan Keuangan Bank
Lippo berdasarkan elaborasi dari pendapat pengadilan tersebut, harus dapat dibuktikan bahwa Laporan
Keuangan Bank Lippo tersebut setidak-tidaknya telah memenuhi empat unsur. Pertama, bahwa Laporan
Keuangan Bank Lippo itu tidak benar faktanya atau dalam Laporan Keuangan Bank Lippo itu ada “fakta
materiel” yang dihilangkan secara sengaja, sehingga Laporan Keuangan yang dibuat oleh Bank Lippo menjadi
menyesatkan. Kedua, dalam hubungannya dengan praktek jual beli saham. Ketiga, kedua Laporan Keuangan
Bank Lippo, baik yang disampaikan kepada publik melalui media massa, maupun yang dilaporkan kepada BEJ
sesungguhnya bermaksud untuk menyesatkan. Keempat, bahwa pernyataan tersebut telah menimbulkan
kerugian bagi penggugat.
Unsur pertama dari keempat unsur pernyataan menyesatkan di muka sejalan dengan apa yang
dikatakan William O. Fisher, bahwa “salah satu unsur misstatement secara pasti adalah materiel.” Hal ini
relevan dengan laporan keuangan berlandaskan pada “sistem keterbukaan wajib” yang harus dilaksanakan
setiap perusahaan publik atau emiten wajib mengungkapkan segala informasi yang mengandung fakta
materiel. Kewajiban itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
(UUPM) disebutkan, bahwa prinsip keterbukaan adalah "pedoman umum yang mensyaratkan Emiten,
Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang ini untuk menginformasikan kepada
masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat
berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut."
Berkenaan dengan batasan fakta materiel dalam keterbukaan yang diwajibkan telah ditentukan dalam Pasal 1
butir 7 UUPM, yang menyebutkan, bahwa "Informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting
dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek
dan atau keputusan pemodal, atau Pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut."
Berdasarkan batasan fakta materiel tersebut, di sini dapat dimunculkan beberapa test: “Apakah
pernyataan tentang Laporan Keuangan Bank Lippo merupakan informasi yang mengandung fakta materiel”?
“Apakah setelah diungkapkannya Laporan Keuangan Bank Lippo mempengaruhi harga saham Bank Lippo di
BEJ”? “Apakah setelah diungkapkannya Laporan Keuangan Bank Lippo mempengaruhi investor untuk
menjual atau membeli saham Bank Lippo”?
Keperluan test itu adalah memberikan pemahaman secara cukup untuk menentukan informasi yang
mengandung fakta materiel. Sebab penentuan informasi yang mengandung fakta materiel selalu, bahkan
sudah lama menjadi bahan perdebatan dalam pelaksanaan keterbukaan. Sementara itu, kunci dari ada
tidaknya pernyataan menyesatkan adalah ditentukan oleh apakah yang diungkapkan merupakan fakta materiel
dan kunci ada tidaknya pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan tergantung juga pada ada tidaknya
informasi fakta materiel yang dipalsukan atau misrepresentation dan omission. Tepatlah pendapat yang
mengatakan bahwa “fakta materiel adalah nafas berjalannya keterbukaan.”
Agar tujuan keterbukaan untuk perlindungan investor berjalan dengan baik dan keterbukaan dapat
menjalankan fungsinya sebagai anti-fraud serta untuk penentuan fakta materiel dalam kasus Bank Lippo,
maka perlu batasan fakta materiel sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7 UUPM dielaborasi juga dengan
cara melakukan test terhadap penentuan fakta materiel, dimana batasan fakta materiel yang berlaku di
Indonesia dielaborasi dari berbagai pendapat pengadilan Amerika Serikat dalam perkara yang substansinya
sama. Misalnya, dalam perkara Securities Exchange Commission (SEC) v. Price Waterhouse,43 dimana fakta

43 Securities Exchange Commission (SEC) v. Price Waterhouse, 797 F. Supp, 1217 (S.D.N.Y. 1992)

7
dari perkaranya berkenaan dengan pernyataan atas “laporan gabungan keuangan” AM International (“AMI”)
untuk tahun fiskal yang berakhir 31 Juli 1980 yang melaporkan pendapatan sebesar $ 909.467.000.
Pendapatan tersebut terbukti tidak tepat, sebagaimana ditunjukkan oleh pernyataan keuangan pada tahun
fiskal 1981. Price Waterhouse sebagai salah satu yang tergugat dalam perkara ini, oleh karena Price
Waterhouse yang mengaudit pernyataan gabungan keuangan AMI tersebut, dipertanggungjawabkan atas
keseluruhan tindakan audit Tahun Fiskal 1980 itu. Dalam perkara Price Waterhouse ini pengadilan
berpendapat, bahwa terminologi materielitas dalam literatur akuntansi adalah “ukuran omission atau
misstatement tentang informasi akuntansi yang menurut situasi lingkungan, memungkinkan orang yang
reasonable berubah atau dipengaruhi oleh omission atau misstament.
Test untuk penentuan fakta materiel dalam perkara Price Waterhouse tersebut sejalan dengan teori
penipuan di pasar modal dan ukuran penentuan fakta materiel yang lahir dari pendapat pengadilan yang telah
lama berkembang, dan hal itu sejalan pula dengan ukuran penentuan fakta materiel yang disahkan Mahkamah
Agung dalam perkara TSC Undustries, Inc v. Northway 426 U.S. 438 (1976),44 dimana ditetapkan bahwa
penentuan fakta materiel dibuat dengan pendekatan “ukuran reasonable shareholder.” Dikatakan, bahwa
sesuatu yang menentukan fakta materiel sangat tergantung dari tanggapan investor potensil atau pemegang
saham institusional yang rasional. Selanjutnya, pendapat Mahkamah Agung dalam perkara Northway itu
diterima menjadi pendapat Mahkamah Agung dalam perkara Basic, Inc v. Levinson, 485 U.S. 224 (1988). 45
Para penggugat dalam perkara Basic, Inc menyatakan bahwa Basic, Inc telah mengeluarkan
pernyataan publik yang salah dan menyesatkan. Akibat pernyataan publik tersebut para penggugat
menyatakan, bahwa mereka telah dirugikan dengan menjual saham Basic, Inc dengan harga yang sangat
rendah dalam pasar karena dipengaruhi oleh pernyataan yang menyesatkan tersebut. Melalui perkara Basic,
Inc tersebut diperkenalkan fraud-on-the-market theory yang lahir dari pendekatan efficient capital market
hypothesis. Dalam perkara Basic, Inc tersebut Mahkamah Agung menetapkan, bahwa inti suatu gugatan
dalam penipuan pasar modal berdasarkan fraud-on-market theory adalah apabila terjadi misrepresentation
dan informasi itu masuk ke pasar yang secara cepat merubah harga suatu saham. Untuk merubah harga saham
tersebut, informasi yang salah tersebut harus dapat mempengaruhi orang-orang yang mempunyai kapasitas
(investor potensil), sehingga dapat menjadi ukuran dalam penentuan adanya penipuan. Sebab dalam pasar
modal yang modern, harga saham tidak ditentukan oleh investor-investor individual amatir, melainkan
ditentukan oleh investor profesional. Suatu informasi yang salah tidak dapat merubah harga saham, kalau
informasi itu tidak dipercaya oleh investor potensil yang profesional. Asumsi ini diterima oleh banyak
pengadilan. Dalam perkara Basic Mahkamah Agung berpendapat: “that the proper measure of materiality in a
securities fraud suit is whether the alleged misstatement would have affected the investment decision of a
reasonable investor.
Beberapa pendapat pengadilan Amerika Serikat berkenaan dengan pernyataan menyesatkan dan
penentuan fakta materiel tersebut yang merupakan elaborasi dari Rule 10b-5 dan Section 10(b) Securities
Exchange Act 1934, perlu dipikirkan sebagai gagasan untuk memberikan kecukupan bagi ketentuan yang
mengatur pernyataan menyesatkan dan penentuan fakta materiel. Oleh karena pada hakekatnya larangan
pernyataan menyesatkan dalam Pasal 93 UUPM berisikan substansi yang serupa dengan Rule 10b-5 dan
Section 10(b) Securities Exchange Act 1934. Elobarasi tersebut sangat penting untuk dilakukan, agar larangan
pernyataan menyesatkan dalam Pasal 93 UUPM dapat dioperasionalkan secara cukup dan dapat memperjelas
ketentuan batasan fakta materilel dalam prinsip keterbukaan di pasar modal. Keperluan elaborasi dari
pendapat pengadilan-pengadilan tersebut, juga sekaligus untuk menjawab test apakah dugaan pernyataan
menyesatkan atas Laporan Keuangan Bank Lippo terbukti atau tidak terbukti. Sebaliknya, tanpa elaborasi
tersebut, maka sebaik apapun isi ketentuan larangan pernyataan menyesatkan dan ketentuan fakta materiel itu
akan menjadi sekedar “dead letter,”

Batas Waktu Penyampaian Fakta Materiel


Bapepam menentukan bahwa perusahaan publik atau emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah
menjadi efektif, harus menyampaikan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat secepatnya
mungkin, paling lambat akhir hari kerja kedua setelah keputusan atau terjadinya suatu peristiwa, informasi

44 TSC Undustries, Inc v. Northway 426 U.S. 438 (1976)


45 Basic, Inc v. Levinson, 485 U.S. 224 (1988)

8
atau fakta materiel yang mungkin dapat mempengaruhi nilai Efek perusahaan atau keputusan investasi
investor.46
Disadari bahwa ketentuan tersebut di atas tidak relevan dengan kebutuhan investor atau pemegang saham
yang selalu ingin “well informed,” mengingat pergerakan harga saham in-herent dalam fakta materiel. Batas
waktu paling lambat hari kerja kedua tersebut terlalu lama dibandingkan dengan akselerasi pasar.
Proposisi ini mempengaruhi metode-metode dan pertanggung jawaban (responsibilities) dari kewajiban
keterbukaan oleh hukum pasar modal.47 Karena esensi dari hukum pasar modal adalah keterbukaan yang
harus dilaksanakan pada waktu yang sangat awal, agar supaya dapat diserap oleh pasar dan untuk para
pemegang saham dapat mengambil keputusan dalam kaitannya dengan perusahaan. Kegagalan untuk
melakukan keterbukaan pada waktu yang sangat awal tersebut akan dapat secara serius mengoncangkan
transaksi bisnis.48

Insider Trading
Sisi lain kasus pelanggaran prinsip keterbukaan ini adalah insider trading. Praktek ini terjadi apabila
orang dalam (insider) melakukan perdagangan dengan melakukan informasi yang belum di-disclose.49 Dalam
hal ini insider mempunyai informasi yang mengandung fakta materiel yang dapat mempengaruhi harga
saham. Posisi insider yang lebih baik ( informational advantages) dibandingkan dengan investor lain dalam
perdagangan saham, oleh karena itu dapat menciptakan perdagangan saham yang tidak fair. Sebab harga
saham itu tidak direfleksikan dari informasi pasar yang efisien. Hal ini yang mendorong argumentasi, bahwa
“the deregulation of insider trading is often urged as one of the few reform with any real promise of
increasing the informational efficient of securities prices.”50 Untuk menghindari akibat yang berpotensi
merugikan dan melindungi investor dari praktek insider trading, maka insider trading dikategorikan dalam
penipuan, dan prakteknya harus dibatasi.51 UUPM juga telah membuat katagori insider trading sebagai
penipuan. dalam UUPM ini dinyatakan “larangan melakukan insider trading,52 larangan mempengaruhi orang
lain untuk melakukan transaksi atau memberikan tip kepada pihak lain,53 siapa-siapa yang termasuk insider,54
larangan kepada perusahaan sekuritas yang mempunyai inside information,55 kewenangan Bapepam dalam
ketentuan insider trading,56 dan tanggung jawab insider dalam praktek insider trading.”57
UUPM menetapkan yang termasuk insider adalah komisaris, direksi, pemegang saham utama, pegawai
perusahaan, seseorang yang karena kedudukannya atau profesinya atau karena hubungan usaha dengan
emiten/perusahaan publik yang memungkinkan seseorang tersebut memperoleh inside information, seperti
konsultan hukum, notaris, akuntan atau penasehat keuangan dan investasi, serta pemasok atau kontraktor
emiten/perusahaan publik tersebut. Mereka yang dikategorikan corporate insiders ini masih tetap disebut
insiders selama 6(enam) bulan sejak mereka tidak lagi menduduki jabatan atau hubungan dengan
emiten/perusahaan publik yang bersangkutan. 58
Secara tradisional komisaris, direktur, pemegang saham utama dan pegawai perusahaan termasuk sebagai
insiders (traditional insiders). Komisaris dan direktur dikategorikan sebagai insider adalah didasarkan atas

46 Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-86/PM/1996 dan Lampiran Peraturan Nomor X..K.1 tentang Keterbukaan

Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik.


47 Marvin G. Pickhols dan Edward B. Horahan III, “The SEC’s Version of the Efficient Market Theory and Its Impact on

Securities Law Liabilities,” Washington and Lee Review, (Vol. 39, 1982), hal. 943.
48 Perry E. Wallacy, Disclosure of Environmental Liabilities Under the Securities Laws: The Potensial of Securities-

Market-Based Incentives for Pollution Control,” Washington and Lee Law Review, (Vol. 50, 1993), hal. 1132.
49 Jack E. Karns dan Frederick P. Schadler, op.cit., hal. 329.

50 Lynn A. Stout, “The Unimportance of Being Efficient : An Economic Analysis of Stock Market pricing and Securities

Regulation,” Michigan Law Review, (vol. 87, December 1988), hal. 624.
51 Wade M. Hall, “Insider Trading Liability : Are We Ready to Leave the Naisappropriation Theory Quagmire,” Kansas

Law Review, (vol. 44, 1996), hal. 868.


52 Pasal 95 UUPM.

53 Pasal 96 UUPM.

54 Pasal 97 UUPM.

55 Pasal 98 UUPM.

56 Pasal 99 UUPM.

57 Pasal 104 UUPM.

58 Penjelasan Pasal 95 UUPM.

9
pertimbangan, bahwa mereka termasuk orang yang wajib memegang fiduciary obligations dalam hal
loyalitasnya kepada perusahaan. Di pihak lain mereka termasuk orang-orang yang dapat mengendalikan serta
mengetahui kegiatan atau operasi perusahaan setiap hari, sehingga mereka memiliki informasi perusahaan
yang paling sensitif (sensitive corporate information).59 Sedangkan kategori insider bagi pemegang saham
utama (controling sharcholders) didasarkan atas ketentuan hukum perusahaan, yang menetapkan suatu
fiduciary obligations dari suatu fairness dan loyalitas terhadap siapa-siapa yang memiliki pengawas atau
pengendali aktivitas perusahaan berdasarkan saham di perusahaan yang mereka miliki, walaupun mereka
tidak menduduki direktur atau officers. 60 Namun mereka bukan berarti tidak memiliki fiduciary. 61
Penegakan hukum yang mengatur insider trading masih memerlukan dukungan dari doktrin-doktrin
hukum dan yurisfrudensi. Di pasar modal Indonesia belum ada yurisfrudensi mengenai praktek insider
trading, tetapi bukan berarti praktek insider trading tersebut tidak pernah terjadi. Sebagai buktinya Bapepam
telah mempunyai putusan insider trading terhadap seseorang dalam kasus perdagangan saham dan berbagai
indikasi insider trading dalam perdagangan saham di pasar modal.
UUPM belum mengatur secara menyeluruh mengenai teori penyalahgunaan, yang membuat konsep
insider menjadi sangat konprehensif. Menurut teori tersebut setiap orang yang menggunakan inside
information atau informasi yang belum tersedia untuk publik namun melakukan perdagangan saham atas
informasi tersebut dikategorikan sebagai insider dalam insider trading, walaupun orang yang melakukan
perdagangan tersebut tidak mempunyai fiduciary duty dengan perusahaan. Konsep kategori insider dalam
teori penyalahgunaan berasal dari putusan pengadilan dalam kasus United States v. Newman (1981).62
Apabila diamati pendapat pengadilan negara lain, seperti Amerika Serikat telah menerapkan teori
penyalahgunaan (misappropriation theory) dalam mengatasi insider trading, diamana berdasarkan teori
tersebut kategori insider termasuk pada seseorang yang melakukan penyalahgunaan informasi materiel non-
public dan seseorang yang tidak mempunyai hubungan dari suatu trust dan kerahasiaan serta informasi
tersebut digunakan untuk perdagangan saham. Kategori-kategori insider tersebut relevan dengan pendapat
pengadilan dalam kasus United States v. Chestman, yang oleh pengadilan dinyatakan “a fiduciary duty cannot
be imposed unilaterally by entrusting a person with confidential information”. 63

PENUTUP
Bagi pihak manajemen perusahaan, yang bermaksud go publik atau perusahaan publik, mutlak
memahami prinsip keterbukaan di pasar modal, agar dapat memahami apa yang telah ditetapkan dalam
strategi pengelolaan perusahaan yang baik. Pemahaman tersebut sekaligus berguna untuk lebih mendalami
persoalan bagaimana menciptakan mekanisme pasar modal yang efisien. Hal ini sejalan dengan tujuan prinsip
keterbukaan yaitu untuk menciptakan mekaniame pasar yang efisien, melindungi investor, dan membantu
menetapkan harga pasar yang akurat.
Sebab pemahaman yang baik dan mendalam tentang prinsip keterbukan tersebut pada gilirannya dapat
digunakan untuk mendorong jalannya hukum yang mengatur pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam rangka
memberikan jaminan untuk mengantisipasi terjadinya kemungkinan investor tidak memperoleh informasi
atau fakta materiel atau tidak meratanya informasi bagi investor disebabkan karena adanya informasi yang
tidak disampaikan dan bisa juga terjadi informasi yang belum tersedia untuk publik telah disampaikan kepada
orang-orang tertentu. Di sini investor atau pemegang saham dapat mengakses informasi fakta materiel yang
lahir dari prinsip keterbukaan sebagai pendekatan untuk mengambil keputusan yang baik dalam investasinya,
sekaligus dapat memproyeksikan harga saham sesuai dengan refleksi realita pasar.
Peraturan yang mewajibkan prinsip keterbukaan harus ditegakkan, sebab peraturan kewajiban prinsip
keterbukaan secara substansial memberikan informasi yang lengkap dan akurat pada saat-saat yang telah
ditentukan. Selain itu, yang lebih penting lagi, bahwa peraturan prinsip keterbukaan tersebut mengatur
pengawasan, waktu, tempat dan dengan cara bagaimana perusahaan melakukan keterbukaan.
Dalam menutup pembicaraan keterbukaan ini sangat baik untuk dipahami ungkapan Barry A.K. Rider
“sun light is the best disinfectant and electric light the best policeman.” Dengan perkataan lain, Rider

59 Donald C. Langevoort, op.cit,hal. 72-73.


60 Speed v. Transamerica Corp, 71 F.Supp, 457 (D.Del 1947).
61 Feldman v. Simkins Indus, 679 F.2d, 1299, 1304 (9th.Cir.1982).

62 United States v. Newman, 664 F.2nd 12 (2nd, 1981).

63 United States v. Chestman, 947 F. 2d 551 (3d Cir. 1991).

10
menyatakan bahwa “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.”64 Selanjutnya dia
menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut tidak perlu lagi dibuktikan, tetapi lebih banyak
tergantung informasi apa yang harus diungkapkan dan kepada siapa masalah informasi itu diungkapkan.65
Dengan pendapat tersebut, prinsip keterbukaan dapat difungsikan untuk mencegah terjadinya fraud. Fungsi
prinsip keterbukaan untuk mencegah terjadinya fraud tersebut adalah pendapat yang paling tua.66

~~ ooo ~~

DAFTAR PUSTAKA
Barry A.K. Rider, “Global Trends in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,” Dickinson Journal of International
Law, (Spring, 1995), hal. 514. Bandingkan juga Kennet E. Scott, “ Insider Trading: Rule 10b-5, Disclosure and
Corporate Privacy”, dalam Richard A. Posner dan Kennet E. Scott, ed,
Basic, Inc v. Levinson, 485 U.S. 224 (1988).
Ben D. Orlanski, “Whose Representations are these anyway ? Attoeney Prospectus Liability After Central Bank,” UCLA Law
Review, (vol. 42, 1995).
Bisnis Indonesia, tanggal 7 April 2003.
___, tanggal 18 Maret 2003.
Brad M. Barber, Paul A. Griffin dan Baruch Lev, “The Fraud-on-the-Market Theory and Indicators of Common Stock’ Efficiency,” The
Journal of Corporation Law, (Winter, 1994).
BusinessWeek, No. 33/1/20 Januari 2003.
D. Brian Hufford, “Deterring Fraud vs. Avoiding the ‘Strike Suit’ : Reaching An Appropriate Balance,” Brooklyn Law Review,
(Vol. 61, 1995).
David M. Trubek, “ Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and Development,” The Yale Law
Journal, (Vol. 82, No. 1, November 1972).
Feldman v. Simkins Indus, 679 F.2d, 1299, 1304 (9th.Cir.1982).
Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, 1, The Economic Stucture of Corporate Law, (Cambridge, Massachusetts,
London: Harvard University Press, 1996)
Frank H. Easterbrook dan Daniel Fischel, 2, “Mandatory Dislosure and the Protection of Investors,” Virginia Law Review,
(Vol. 70, 1984).
George Benston, Michael Bromwich, Robert E. Litan, Alfred Wagenhofer, Following the Money The Enron Failure and the
State of Corporate Disclosure, (Washington, DC: AEI-Brookings Joint Center For Regulatory Studies, 2003).
Glen Wallace Roberts II, “10(b) or Not 10(b) : Central Bank of Denver v. First Interstate Bank of Denver,” North Carolina
Law Review, (Vol. 73, 1995).
Henry L. “Scott” Nearing III, “Kahn v Virginia Retirement System: The Impact of Rule 10b-5’s Corporate Disclosure
Requirements On The Williams Act’s Tender Offer and Best Price Rules”, Villanova Law Review, (Vol. 40, 1995).
John M. Newman Jr., Mark Herrmann dan Geoffrey J. Ritts, “Basic Truth: The Implications of the Fraud-on-the-Market
Theory for Evaluating the ‘Misleading and Materielity’ Elements of Securities Fraud Claims,” The Journal of Corporation
Law, (Summer, 1995).
John C. Coffee Jr, “Market Failure and the Economic Case for A Mandatory Disclosure System,” Virginia Law Review, (Vol.
70, 1984).

64 Barry A.K. Rider, “Global Trends in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,” Dickinson Journal of

International Law, (Spring, 1995), hal. 514. Bandingkan juga Kennet E. Scott, “ Insider Trading: Rule 10b-5, Disclosure and
Corporate Privacy”, dalam Richard A. Posner dan Kennet E. Scott, ed, Op. cit, hal. 120.
65 Barry A.K. Rider, Loc. cit, hal. 514.

66 Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,” International Review Law

and Economic, (Vol. 16, 1996), hal. 418.

11
Keith J. Kanouse, “The Rise and Fall of the Private Cause of Action for Violation of Margin Requirements,” Banking Law
Journa”l.
Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-86/PM/1996 dan Lampiran Peraturan Nomor X..K.1 tentang Keterbukaan Informasi
Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik.
List v. Fashion Park, Inc, 340 F 2d 457,462 (2d Cir 1965. List v. Lerner, 382 U.S 811 (1965).
Marvin G. Pickhols dan Edward B. Horahan III, “The SEC’s Version of the Efficient Market Theory and Its Impact on
Securities Law Liabilities,” Washington and Lee Review, (Vol. 39, 1982).
Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Subsidize Informed Traders,” International Review Law and
Economic, (Vol. 16, 1996), hal. 297.
Perry E. Wallacy, Disclosure of Environmental Liabilities Under the Securities Laws: The Potensial of Securities-Market-
Based Incentives for Pollution Control,” Washington and Lee Law Review, (Vol. 50, 1993).
Robert H. Rosenblum, “An Issuer’s Duty Under Rule 10b-5 To Correct and Update Materially Misleading Statements”,
Catholic University Law Review, (Vol. 40, 1992).
Saul Levmore, “Efficient Markets and Puzzling Intermediaries,” Virginia Law Review, (Vol. 70, 1984).
Securities Exchange Commission (SEC) v. Price Waterhouse, 797 F. Supp, 1217 (S.D.N.Y. 1992)
Speed v. Transamerica Corp, 71 F.Supp, 457 (D.Del 1947).
TSC Undustries, Inc v. Northway 426 U.S. 438 (1976)
United States v. Chestman, 947 F. 2d 551 (3d Cir. 1991
United States v. Newman, 664 F.2nd 12 (2nd, 1981).
Zachary Shulman, Fraud - On - The - Market Theory After Basic Inc. v. Levinson,Cornel Law Review,(vol. 74:964 1989).

12

Anda mungkin juga menyukai