Anda di halaman 1dari 2

Worth It?

Sudah satu jam lamanya, gadis dengan mukena hitam ini duduk bersandar menatap
langit-langit rumah. Bibirnya kering, tenggorokannya kerontang, punggungnya basah akan
keringat. Ia melirik pada jam dinding sesekali, memastikan apakah waktu berbuka sebentar
lagi. Anehnya, ia merasa tiap detik terasa seperti puluhan menit. Pikirannya menerawang.
Dengan menengadah, ia memejamkan matanya sebentar dengan tujuan mampu mengurangi
rasa lelah sesaat.

Nafissa, gadis itu, menatap ponsel yang –entah sejak kapan ia matikan. Dadanya
bergemuruh, dan akalnya meronta agar segera menggenggam benda gepeng tersebut.

‘Parah ya, mau taat aja godaannya gini banget’ batin Nafissa, menatap ponselnya secara
nanar.

Bak melihat es doger di tengah gurun, Nafissa meraih ponselnya, dan menekan tombol
power. Seutas senyuman tercetak di bibirnya. Al-qur’an yang tadi berada di dalam
genggamannya, ia letakkan ke meja di sebelah kirinya. Yap, betul. Nafissa membiarkan
dirinya untuk kembali terbuai pada setan gepeng ini untuk ke sekian kalinya.

‘Hehe gapapa deh, 5 menit doang. Lagian kan tadi udah kelar 3 juz, istirahat dulu.’ Nafissa
terkekeh, mencoba mengubur rasa antusiasnya untuk menonton video mukbang.

Nafissa, dengan mukena yang masih tersampir, berjalan menuju tempat tidur yang
hanya berjarak lima langkah dari sajadahnya. Begitu sudah berada di posisi yang pas, ia
segera mengetikkan beberapa keyword yang berhubungan dengan mukbang dengan antusias.
Nafissa yakin. Siapapun yang berada di siang hari pasti akan merasa lapar dan haus. Untuk
memenuhi nafsunya itu, Nafissa menonton video mukbang yang dilakukan oleh para
Youtuber Korea. Karena dengan melihatnya, Nafissa merasa kenyang, atau bahkan bisa
merasakan rasa yang dicicip oleh para youtuber itu. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Nafasnya
menderu, menandakan seberapa excited-nya ia untuk menonton konten makanan tersebut.

‘Enakan mukbang rendang ga sih?’


‘ Eh kayaknya lebih enak mukbang yang es-es gitu. Mukbang kopi moonbucks aja kali ya?’
‘Oh, kayanya kalau mukbang makanan pedes kaya seblak boleh jugaa’

Ya, dan begitulah cara Nafissa menghabiskan 10 hari terakhirnya di bulan Ramadhan.
Tidak ada yang spesial, sama seperti 20 hari sebelumnya. Menonton mukbang, tertidur,
bangun untuk sholat Ashar, dan menunggu adzan maghrib. Walau pada awalnya, Nafissa
memasang target untuk mengkhatamkan Qur’an – setidaknya enam kali, tapi rupanya rencana
tidak berjalan semulus yang ia kira. Dan targetnya awalnya ia biarkan hilang ditelan konten
mukbang.

Tok! Tok!

“Nggih buun” sahut Nafissa dari kamarnya dengan suara yang sedikit parau. Ia
melirik jam weker di samping kasurnya, mendapati sudah jam empat sore. Apakah tadi ia
tertidur?
“Bunda masuk yaa” sahut ibunya, Rara. Sepersekian detik berikutnya, Rara memutar
knop pintu dan mendapati anaknya tengah terbaring di atas kasur dengan mukena hitamnya.
Rara tersenyum sebentar, dan duduk di sebelah Nafissa.

Rara menghela nafas, mengusap kepala Nafissa dengan lembut.


“Udah sholat Ashar belum dek? Kalau belum, ayo sholat. Bantu bunda sama abang
bikin rendang,” ucap Rara sedikit berbisik.

Nafissa melenguh, meregangkan badannya. Menatap Rara walau masih berusaha


mengumpulkan nyawanya. Tenggorokannya terasa kering, dan entah kenapa badannya terasa
sakit.

Nafissa menggeleng, “belum, bun. Kayanya tadi adek ketiduran, hehe”

Terdengar tawa kecil dari Rara, “kamu udah dapat berapa juz hari ini? Abang sama bunda
udah dapat 6 juz loh”

Nafissa bangun, kemudian menatap Al-Qur’an yang berada di sebelah kirinya. Walau ada
perasaan gelisah sesaat, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Toh, ia juga tidak tau apa
penyebab perasaan seperti itu datang.

“Baru 3 juz bun,”


“Loh, tumben? Biasanya kalau sore gini kamu udah dapat 8 juz? Nonton mukbang
yaa?”

Anda mungkin juga menyukai