Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENELITIAN SEJARAH LOKAL

“Sejarah Penyebaran Islam di Daerah Gunungkidul oleh Ki Ageng Giring”

Laporan Ini Disusun Guna


Memenuhi Salah Satu Tugas
Ulangan Akhir Semester Mata
Kuliah Sejarah Lokal
Dosen Pengampu : Diana Trisnawaty, M.Pd.

Disusun Oleh :
Sri Andini Pendidikan Sejarah/2017B 17406241033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat, taufik dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas
Ulangan Akhir Semester Mata Kuliah Sejarah Lokal, yakni berupa Laporan
Penelitian dengan judul “Sejarah Penyebaran Islam di Daerah Gunungkidul
oleh Ki Ageng Giring”, serta dapat mengumpulkan tepat pada waktu yang telah
ditetapkan. Makalah ini diharapkan dapat membantu berbagai pihak sesuai dengan
pembahasan yang telah terkandung di dalamnya.
Semoga makalah sederhana ini bermanfaat untuk para pembaca sekaligus
kami selaku penulis. Walaupun banyak kekurangan serta minimnya pengalaman
yang kami miliki, sehingga berpengaruh terhadap kurang sempurnanya
kandungan isi serta susunan di dalamnya.
Selaku penulis kami menyadari jika masih terdapat banyak kekurangan
dalam makalah yang kami susun, oleh sebab itu, kritik serta saran yang
membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan demi sempurnanya makalah
ini.

Yogyakarta, Desember 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.......................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................3
D. Manfaat ........................................................................................................3
E.. Tinjauan Pustaka...........................................................................................4
F. Metode Penelitian.........................................................................................6
G. Metode Pengumpulan Data...........................................................................8
H. Sistematika Penulisan...................................................................................9

BAB II Sosok Ki Ageng Giring II serta Keadaan Masyarakat Gunungkidul


Sebelum dan Sesudah Adanya Islam.....................................................................11
A. Profil dan Sosok Ki Ageng Giring III ........................................................11
B. Keadaan Masyarakat Gunungkidul Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam
yang disebarkan oleh Ki Ageng Giring .....................................................14
BAB II Peran Ki Ageng Giring III dalam Penyebaran Islam dan Hubungannya
dengan Sejarah Pendirian Kerajaan Mataram Islam..............................................20
A. Peran Ki Ageng Giring dalam Menyebarkan Islam di Gunungkidul.........20
B. Hubungan Ki Ageng Giring III dengan Sejarah Pendirian Kerajaan
Mataram Islam ...............................................................................................22
BAB III PENUTUP...............................................................................................27
A. Kesimpulan ................................................................................................27
B. Saran ...........................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
LAMPIRAN...........................................................................................................31

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah memiliki tiga ruang dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini dan
masa depan. Masa lalu dipelajari untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan
dalam setiap peristiwa sejarah. Masa kini adalah dimensi untuk belajar dari masa
lalu agar dapat menjadi bahan pertimbangan di masa depan. Masa depan adalah
hasil berbenah dari masa kini. Salah satu bidang penulisan sejarah adalah tentang
sejarah lokal. Istilah lokal mempunyai arti suatu tempat, atau ruang sehingga
sejarah lokal menyangkut lokalitas tertentu yang disepakati oleh para penulis
sejarah, atau sejarawan dengan alasan-alasan ilmiah, misalnya, suatu ruang tempat
tinggal suku bangsa atau subsuku bangsa. 1 Sejarah lokal sebagai salah satu cabang
dari studi sejarah sangat menarik untuk diperbincangkan. 2 Sejarah lokal yang
dimaksud disini adalah suatu peristiwa dari kelompok masyarakat tertentu yang
berada pada daerah geografis yang terbatas dalam lokasi kecil baik pada desa dan
kota tertentu.3
Berkaitan dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasannya setiap
daerah pasti memiliki peristiwa yang menggambarkan sejarah lokal di setiap
daerahnya. Dengan perbedaan karakteristik serta keunikan cerita dalam sejarah
lokal menjadikan setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Akan tetapi
beberapa kendala seperti minimnya sumber tertulis maupun lisan terkadang
membuat sejarah lokal kurang dikaji lebih mendalam padahal apabila dilakukan
penelitian akan mengungkap banyak fakta sejarah di sebuah daerah.

1
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal Konsep, Metode, dan Tantangannya. (Yogyakarta:Ombak, 2012).
hlm 6-7.
2
Sejarah Lokal-Direktorat File UPI File.upi.edu>FPIPS>Peng_Sej_Lokal diakses dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197101011999031-
WAWAN_DARMAWAN/Peng_sej_Lokal.pdf 29 Desember 2018
3
Prosiding Seminar Nasonal, Sejarah Lokal: Tantangan dan Masa Depan diakses dari
http://sejarah.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/prosiding-seminar-nasional-sejarah-
2017.pdf 29 Desember 2018

1
Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba untuk melakukan sebuah kajian
dan penelitian sederhana mengenai salah satu sejarah lokal yang ada di
Gunungkidul. Gunungkidul merupakan salah satu wilayah kabupaten bagian dari
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara Administratif, Kabupaten
Gunungkidul berada di wilayah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.4
Berdasarkan pada fakta sejarah sejak tahun 1831, Gunungkidul telah ada
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Bupati. Tahun 1831 inilah yang
dijadikan tonggak tahun berdirinya Kabupaten Gunungkidul. Saai ini Kabupulen
Gunungkidul merupakan salah satu dari lima kabupaten / kotamadya di Propinsi
DIY, terletak 40 km sebelah tenggara kota Yogyakarta dan secara geografik
terletak antara 110°2r - 110°50' Bujur Timur dan 7°46' - 8°09' lintang Selatan
dengan ibukota Wonosari.5 Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan
Kabupaten Klaten dan Sukohaijo di bagian utara, Kabupaten Wonogiri, di bagian
timur, Samudera Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Sleman di sebelah barat.
Sejarah lokal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai
“Sejarah Penyebaran Islam di Kabupaten Gunungkidul oleh Ki Ageng Giring”.
Berdasarkan beberapa sumber lisan yang berhasil dihimpun, diketahui Ki Ageng
Giring adalah salah satu sosok penyebar agama islam di daerah Gunungkidul. Ki
Ageng Giring adalah sosok yang dikenal memiliki cerita sejarah terkait degan
perannya menyebarkan agama islam di wilayah Gunungkidul sekitar abad ke 14.
Beliau juga dikenal sebagai sosok trah pepunden Mataram. Dalam penelitian ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai peran serta Ki Ageng Giring terkait dengan
perannya dalam menyebarkan islam serta tentang asal muasal terjadinya Desa
Sodo di Kecamatan Paliyan, Gunungkidul.

4
Deskripsi Wilayah Kabupaten Gunungkidul Profil Investasi Kabupaten Gunungkidul diakses dari
https://dpmpt.gunungkidulkab.go.id/upload/gallery/6db270732e28968cac4520db34a9f4f2_buku
%20profil%20inves%202016.pdf pada 29 Desember 2018
5
Occanarium di Pantai Krakal diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/10009/ pada 29 Desember
2018

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sosok Ki Ageng Giring ?
2. Bagaimana keadaan masyarakat Gunungkidul sebelum masuknya islam
yang disebarkan oleh Ki Ageng Giring?
3. Bagaimana peran Ki Ageng Giring dalam menyebarkan Islam di
Gunungkidul?
4. Bagaimana hubungan Ki Ageng Giring dengan sejarah pendirian
Kerajaan Mataram Islam?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengaplikasikan metodologi penelitian secara historis agar
lebih jelas serta mudah dipahami.
b. Untuk meningkatkan daya pikir penulis dalam penelitian historis.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahuis sosok Ki Ageng Giring.
b. Untuk mengetahui keadaan masyarakat Gunungkidul sebelum
masuknya islam yang disebarkan oleh Ki Ageng Giring .
c. Untuk mengetahui peran Ki Ageng Giring dalam menyebarkan Islam
di Gunungkidul
d. Untuk mengetahui Ki Ageng Giring dengan sejarah pendirian
Kerajaan Mataram Islam
D. Manfaat
1. Peneliti
a. Memperluas pengetahuan penulis tentang kesejarahan khususnya
sejarah lokal di sekitar daerah tinggal penulis..
b. Menambah pemahaman sejarah lokal khususnya mengenai peran Ki
Ageng Giring dalam menyebarkan agama Islam di daerah
Gunungkidul.
2. Pembaca
a. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca tentang sejarah
penyebaran agama Islam di daerah Gunungkidul yang dilakukan oleh

3
Ki Ageng Giring.
b. Agar dapat mengetahui peran dari Ki Ageng Giring dalam
menyebarkan Islam di daerah Gunungkidul.
c. Agar dapat mengetahui hubungan penyebaran islam yang dilakukan
Ki Ageng Giring dengan jejak sejarah Mataram di daerah
Gunungkidul..
3. Masyarakat
a. Menambah wawasan kesejarahan masyarakat tentang Sejarah Ki
Ageng Giring dalam menyebarkan Islam di Gunungkidul serta
mengenai hubungannya dengan pendirian Kerajaan Mataram Islam.
b. Menumbuhkan nilai-nilai luhur pendahulu dari berdirinya Kerajaan
Mataram Islam.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sosok Ki Ageng Giring
Berbicara Islam di wilayah Gunungkidul maka tdak dapat lepas dar peran
penting Ki Ageng Giring III. Ki Ageng Giring III memiliki nama kecil Raden Mas
Kertanadi, masih merupakan keturunan dari Brawijaya IV dengan Retna Mundri.
Beliau pernah hidup dan menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring,
Kecamatan Paliyan. Desa Sodo terletak sekitar 6 km arah barat daya kota
Wonosari. Beliau merupakan sesepuh Trah Mataram yang sangat dihormati.
Ki Ageng Giring merupakan sosok yang berbudi baik, sederhana, dan
memiliki ketabahan yang mampu menjadi tauladan khususnya bagi
masyarakat Sodo. Beliau dikenal sebagai Ki Ageng Paderesan karena
pekerjaannya nderes. Ki Ageng Giring merupakan keturunan dari Prabu
Brawijaya IV salah satu penguasa Kerajaan Majapahit. 6 Ki Ageng Giring dikenal
sebagai seseorang yang sangat sederhana dengan pekerjaan sehari-harinya adalah
menyadap nira kelapa, membuat legen dan juga gula merah. Beliau juga dikenal
gemar melaksanakan laku tirakat/laku prihatin, adalah cara mengurangi makan-
minum, mengurangi tidur, banyak semedi dan sebagainya.

6
Resi Marsella, Skripsi : “Aktivitas Komunikasi Upacara Babad Dalan”, Bandung : Universitas
Komputer Indonesia,2016.

4
2. Penyebaran Islam di Gunungkidul Oleh Ki Ageng Giring III
Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan adalah teman
seperguruan. Mereka adalah murid dari Sunan Kalijaga salah satu wali yang
berperan menyebarkan agama islam di Tanah Jawa. Oleh Sunan Kalijaga
kedua muridnya ini diperintah untuk menyebarkan agama Islam di daerah
Gunungkidul dengan cara melakukan tirakat dan laku prihatin. Kemudian Ki
Ageng Pemanahan diperintah untuk melakukan semedi di sebuah tempat yang
dinamakan dengan pertapaan Kembang Lampir di Desa Girisekar, Panggang.
Sedangkan Ki Ageng Giring III melakukan semedi sekaligus berbaur dengan
masyarakat Sodo. Dalam berbaur dengan masyarakat itulah Ki Ageng Giring
III juga melakukan penyebaran islam serta mengajari cara-cara bertani dan
bercoock tanam. Sebelum adanya islam dan sebelum Ki Ageng Giring III
menyebarkan Islam, diperkirakan masyarakat Jawa khususnya masyarakat
Pesisir Gunungkidul menganut kepercayaan animisme dinamisme serta
kepercayaan Jawa asli secara turun-temurun. Hal tersebut dapat dilihat dari
benyaknya ritual dan tradisi kebudayaan yang dilakukan masyarakat
Gunungkidul yang masih dilakukan sampai sekarang.
3. Hubungan Ki Ageng Giring III dengan Sejarah Pendirian Kerajaan
Mataram
Ki Ageng Giring III adalah tokoh yang berjasa dalam pendirian Kerajaan
Mataram Islam. Beliau adalah trah sesepuh Mataram yang sangat dihormati.
Pendirian Kerajaan Mataram Islam tidak lepas dari cerita mengenai wahyu
keraton atau wahyu gagak emprit. Dalam masa penyebaran Islam di
Gunungkidul Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan juga sedang
berusaha mendapatkan wahyu keraton yang nantinya akan mewariskan tahta
dan raja-raja di Tanah Jawa. Singkat cerita, ternyata pulung wahyu keraton
tersebut memang telah ditakdirkan jatuh kepada Ki Ageng Pemanahan. Beliau
adalah pendiri Kerajaan Mataram yang dulunya berupa Alas Mentaok,
olehnya diubah menjadi Kraton Mataram. Setelah ia wafat, ia digantikan oleh
putranya Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati, beliau
menjadi salah satu Raja Mataram yang sangat terkenal.

5
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan
data dengan tujuan tertentu.(Lasa,2009:207). Kata ilmiah dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai makna bersifat keilmuan atau memenuhi
syarat (kaidah) ilmu pengetahuan sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.7 Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian berdasarkan pendapat dari Kuntowijoyo yaitu ; pemilihan topik,
heuristik, verifikasi, interprestasi dan historiografi.
1. Pemilihan Topik
Dalam melakukan penelitian sejarah, pemilihan topik adalah hal
yang penting. Bahkan dapat dikatakan menentukan dalam keberhasilan
penulisan sejarah. Topik yang dipilih untuk diteliti hendaknya adalah
topik yang ada kaitannya dengan sejarah. Serta memungkinkan untuk
untuk dikerjakan dan diselesaikan dalam waktu yang tersedia.8 
a. Kedekatan Emosional
Kedekatan emosional dapat diartikan sebagai keterkaitan emosional
antara peneliti dengan objek yang ingin diteliti. Menurut Kuntowijoyo
dalam Pengantar Ilmu sejarah, kalau Anda dari desa-desa dan ingin
berbakti pada desa setempat kita lahir, menulis tentang desa sendiri
adalah paling strategis. Peneliti memilih topik tentang sejarah Ki Ageng
Giring III karena peneliti berasal dari Kabupaten Gunungkidul sehingga
tergugah rasa untuk menggali sejarah lokal di Gunungkidul.
b. Kedekatan Intelektual
Kedekatan intelektual diartikan sebagai usaha membaca, mempelajari
berbagai sumber atau apa saja yang dapat dijadikan sebagai referensi
yang mendukung penelitian terkait. Dalam hal ini penulis memilih topik
ini karena beberapa sumber, link, dan referensi mengenai sejarah Ki
Ageng Giring III dalam menyebarkan islam di Gunungkidul.
7
………………………….., diakses dari http://eprints.undip.ac.id/40985/3/BAB_III.pdf 9 Januari
2019.
8
Muhammad Rifai Fajrin, Cara Memilih Topik Penelitian Sejarah, diakses dari
http://www.sarisejarah.com/2014/03/cara-memilih-topik-penelitian-sejarah.html pada 9 Januari
2019.

6
2. Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Usaha sejarawan dalam rangka memilih sesuatu subjek dan
mengumpulkan informasi mengenai subjek disebut heuristik.9 Atau
dalam kata lain heuristik adalah pengumpulan sumber. Sumber (sumber
sejarah disebut juga data sejarah;-dari bahasa Inggris datum (bentuk
tunggal) atau data [bentuk jamak]; bahasa Latin datum berarti
“pemberian”) yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang
akan ditulis.10 Dalam melakukan pengumpulan sumber penelitian ini
penulis menggunakan sumber lisan berupa wawancara dengan salah
satu Juru Kuncu Makam Ki Ageng Giring III (Bapak Pardiyo-56 tahun)
serta beberapa sumber lisan dari masyarakat setempat. Selain itu penulis
juga melakukan studi pustaka menggunakan beberapa skripsi, buku,
jurnal, berita online, dan internet sebagai referensi.
3. Verifikasi (Kritik Sumber)
Setelah kita mengetahui secara persis topik kita dan sumber sudah
kita kumpulkan, tahap yang berikutnya ialah verifikasi, atau kritik
sejarah, atau keabsahan sumber.11 Kritik sumber atau verifikasi
merupakan tahapan pengujian kebenaran dan ketepatan terhadap
sumber yang digunakan. Dalam hal ini penulis dalam mengumpulkan
sumber kemudian menentukan bahwa dokumen-dokumen atau sumber-
sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah autentik dan bisa
dipercaya
4. Interprestasi
Interprestasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang
subjektivitas.12 Interpretasi disini merupakan mencari suatu makna dari
berbagai sumber yang sudah dicari lalu mengaitkannya antara sumber
yang satu dengan sumber yang lain sehingga saling membentuk suatu
9
Susanto, Bahan Ajar Diktat Mata Pelajaran Sejarah SMA Jenjang Dasar, Dasar- Dasar
Penelitian Sejarah ( Malang : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Peningkatan
Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Pusat PengembangannPenataran Guru IPS dan PMP
Malang, 2006) halaman 26.
10
Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah ( Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana) halaman 73.
11
Ibid, halaman 77.
12
Ibid, halaman 78

7
kesatuan tentang peristiwa masa lalu, yaitu “Sejarah Penyebaran Islam
di Gunungkidul Oleh Ki Ageng Giring III”
5. Historiografi (Penulisan Sejarah)
Tahapan akhir dari sebuah penelitian ialah penulisan. Penulisan
adalah puncak segala-galanya karena apa yang dituliskan itulah sejarah-
yaitu histoire-recite, sejarah sebagaimana yang dikisahkan, yang
mencoba menangkap dan memahami histoire-realite, sejarah
sebagaimana terjadinya.13 Dalam penulisan sejarah aspek kronologis
sangat penting.14 Setelah melakukan pengumpulan sumber kemudian
menganalisi, maka penulis dalam melakukan penelitian ini kemudian
mencoba menuliskan dan merekonstruksi ulang sejarah berdasarkan
fakta dan data yang ada, dalam hal ini adalah sejarah penyebaran islam
di Gunungkidul oleh Ki Ageng Giring.
G. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
1. Wawancara
Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengmbilan data
dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah
dengan bercakapcakap secara tatap muka.15 Dalam melakukan penelitian ini,
penulis melakukan wawancara dengan Bapak Pardiyo (56 tahun). Beliau
adalah seorang Juru Kunci Makam Ki Ageng Giring III, yang bertempat
tinggal di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul.
2. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan
kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik

13
Susanto, Bahan Ajar Diktat Mata Pelajaran Sejarah SMA Jenjang Dasar, Dasar- Dasar
Penelitian Sejarah ( Malang : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Peningkatan
Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Pusat PengembangannPenataran Guru IPS dan PMP
Malang, 2006) halaman 35.
14
Op.Cit, halaman 80.
15
……………….. , Metode Pengumpulan Data, diakses dari
http://toswari.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/32251/6+Metode+Pengumpulan+Data.pdf
pada 9 Januari 2019.

8
dokumen tertulis, foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat
mendukung dalam proses penulisan.”Hasil penelitian juga akan semakin
kredibel apabila didukung foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang
telah ada.”(Sugiyono,2005:83).16 Dalam hal penelitian ini penulis melakukan
studi pustaka dengan mengumpulkan beberapa sumber tertuli dari jurnal,
karya ilmiah, skripsi, berita online, dan internet.
H. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan yang terdiri dari:
a. Latar belakang
b. Rumusan masalah
c. Tujuan penelitian baik tujuan umum dan khusus
d. Manfaat untuk peneliti dan pembaca
e. Kajian pustaka
f. Metode penelitian
g. Metode Pengumpulan Data
h. Sistematika penulisan

BAB II Sosok Ki Ageng Giring III serta Keadaan Masyarakat Gunung


Kidul Sebelum Dan Sesudah Adanya Islam

BAB III Peran Ki Ageng Giring III dalam Penyebaran Islam dan
Hubungannya Dengan Sejarah Pendirian Kerajaan Mataram

BAB IV yaitu penutup yang terdiri dari:


a. Kesimpulan
b. Saran

16
………………………., diakses dari http://eprints.undip.ac.id/40985/3/BAB_III.pdf pada 9
Januari 2018

9
BAB II

Sosok Ki Ageng Giring III serta Keadaan Masyarakat Gunung Kidul


Sebelum dan Sesudah Adanya Islam

A. Profil dan Sosok Ki Ageng Giring III

Ki Ageng Giring III, yang merupakan cucu dari Ki Ageng Giring 17 yang
memiliki nama kecil Raden Mas Kertanadi. Ki Ageng Giring (mengacu pada Ki
Ageng Giring III) adalah salah seorang keturunan Prabu Brawijaya IV dari
Retna Mundri, yang hidup dan menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring,
Kecamatan Paliyan. Desa Sodo terletak sekitar 6 km arah barat daya kota
Wonosari. Beliau adalah sesepuh Trah Mataram yang sangat dihormati. 18 Ki
Ageng Giring merupakan sosok yang berbudi baik, sederhana, dan memiliki
ketabahan yang mampu menjadi tauladan khususnya bagi masyarakat Sodo. 19
Beliau dikenal sebagai Ki Ageng Paderesan karena pekerjaannya nderes atau
menyadap nira kelapa. Ki Ageng Giring merupakan keturunan dari Prabu
Brawijaya IV salah satu penguasa Kerajaan Majapahit. 20 Ki Ageng Giring dikenal
sebagai seseorang yang sangat sederhana dengan pekerjaan sehari-harinya adalah
menyadap nira21 kelapa, membuat legen22 dan juga gula merah. Beliau juga
dikenal gemar melaksanakan laku tirakat/laku prihatin, adalah cara mengurangi
makan-minum, mengurangi tidur, banyak semedi dan sebagainya.

17
Dwi Wahjoeni Soesilo Wati.2013.Fenomena Perubahan Bentuk Bangunan Rumah Tinggal di
Desa Sodo Paliyan, Gunungkidul. Jurnal Arsitektur KOMPOSISI. Volume 10,Nomor 3. halaman
196.
18
Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul diakses dari
https://sr.rodovid.org/wk/%D0%9F%D0%BE%D1%81%D0%B5%D0%B1%D0%BD
%D0%BE:ChartInventory/939254 pada 4 Januari 2019.
19
Septiawan Fadly Candra, Skripsi : “Upacara Babad Dalan Di Desa Sodo Kecamatan Paliyan
Kabupaten Gunungkidul” (Yogyakarta : Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab
Dan Ilmu Budaya,Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012).
20
Resi Marsella, Skripsi : “Aktivitas Komunikasi Upacara Babad Dalan”, Bandung : Universitas
Komputer Indonesia,2016.
21
Nira adalah cairan yang manis yang diperoleh dari batang tanaman seperti tebu, bit, sorgum,
mapel, atau getah tandan bunga dari keluarga palma seperti aren, kelapa, kurma, nipah, sagu,
siwalan dan sebagainya.
22
Legen adalah nama minuman tradisional yang banyak ditemukan di sekitar wilayah Jawa
khususnya DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

10
Laku “prihatin” dalam bahasa Jawa merupakan singkatan dari “perih ing
batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih? Karena batin
(jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau sendiri) memuaskan hawa nafsu.
Padahal betapa nikmatnya bila kita sedang keturutan (terpenuhi) hawa
nafsunya. Apalagi untuk urusan “under ground stomach“, namun dalam
suasana jiwa yang “prihatin” pemuasan nafsu jasadiah sangat dikendalikan,
sekalipun sudah menjadi hak kita.23 Kemudian dalam pandangan orang Jawa
Tirakat adalah adat berpuasa pada hari-hari tertentu, selain puasa Ramadan
Sejalan dengan adat tirakat, masyarakat Jawa senagaja mencari kesukaran dan
kesengsaraan untuk maksud-maksud keagamaan yang berakar pada pendapat
bahwa usaha semacam itu dapat mempertebal iman dan mampu mengatasi
berbagai kesulitan (Koentjaraningrat, 1984:371).24 Dalam bahasa Arab disebut
thoriqoh, karena masyarakat Jawa sulit dalam mengeja kata dari bahasa Arab
tersebut, maka berubah menjadi tirakat.25

Berikut merupakan silsilah dari Ki Ageng Giring III

23
Sugiyanto (Dosen BK FIP UNY),2011, Membangun Karakter Orang Jawa Dengan “Laku
Prihatin, halaman 5, diakses dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132296044/penelitian/Membangun+Karakter+Orang+Jawa+Deng
an+Laku+Prihatin.pdf pada 9 Januari 2019.
24
Kamidjan, Wacana Serat Hardamudha (Kearifan Lokal Dalam Sastra Jawa, Fakultas Bahasa
dan Seni-Universitas Negeri Surabaya, halaman 5-6 diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/229563-none-9a43eb68.pdf pada 9 Januari 2019.
25
Resi Marsella, Skripsi : “Aktivitas Komunikasi Upacara Babad Dalan”, Bandung : Universitas
Komputer Indonesia,2016.

11
Gambar 1. Silsilah asal keturunan Ki Ageng Giring III

Sumber:http://digilib.uin-
suka.ac.id/view/creators/SEPTIAWAN_FADLY_CANDRA_=3ANIM=2E_08120019=3
A=3A.html

12
Gambar 1. Silsilah keturunan Ki Ageng Giring III

Sumber:http://digilib.uin-
suka.ac.id/view/creators/SEPTIAWAN_FADLY_CANDRA_=3ANIM=2E_08120019=3
A=3A.html

B. Keadaan Masyarakat Gunungkidul Sebelum dan Sesudah Masuknya


Islam yang disebarkan oleh Ki Ageng Giring.

Dalam menjelaskan Islamisasi di Jawa, Ricklefs memulai pembahasannya


dari abad 14. Meski bukti-bukti yang bisa diperolehnya cukup terpencar dan
terpisah, dia beranggapan akan memperoleh pemahaman tentang
kompleksitas dan kemungkinan orang Jawa dalam menghadapi konfrontasi
akibat transisi dari satu agama ke agama yang lain. Setidaknya sampai awal
abad 17, bukti-bukti yang terfragmentasi tersebut memperlihatkan gambaran
transisi berbagai konsep yang saling bersaing dan arah perubahan yang tidak

13
pasti. Ini tentunya kecenderungan umum dari suatu periode transisi
keagamaan.26

Mistisisme Islam yang direpresentasikan dalam sufisme merupakan daya


tarik bagi penganut mistik Jawa. orientasi mistik inilah yang membuat Islam
cepat menyebar di Jawa, karena memberi ruang bagi orang Jawa yang
sebelumnya berkomitmen kepada mistisisme Hindu-Budha. Dari primbon
tersebut bisa dilihat akomodasi konsep-konsep keagamaan yang lama dengan
yang baru. Ini antara lain tampak dari penggunaan istilah-istilah seperti
pangeran, sembahyang, tapa, sruarga, dan suksma untuk menyebut Tuhan,
shalat, asketisisme,surga, dan sesuatu yang bersifat imaterial.27

Sejak zaman prasejarah masyarakat Jawa telah mengenal Tuhan.


Pengenalan itu direalisasikan lewat kepercayaan animisme dan dinamisme. 28
Sebelum islam datang di Jawa, masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan
Budha serta kepercayaan asli Jawa. Kedua agama tersebut (Hindu dan Budha)
didatangkan untuk keperluan legitimasi kekuasaan raja.29

Begitu juga dengan masyarakat Yogyakarta terkhususnya daerah


Kabupaten Gunungkidul. Meskipun belum terdapat sumber yang memadai
mengenai kondisi keagamaan masyarakat di daerah Gunungkidul, akan tetapi
dari beberapa sumber lisan mengatakan bahwa sebelum adanya islam ke
daerah ini, mayoritas masyarakat menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme serta kepercayaan nenek moyang yang daianut secara turun
termurun. Ada pula yang menuturkan agama Hindhu-Budha juga turut dianut
masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilihat dari berbagai upacara dan ritual yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Beberapa masih dilakukan sampai saat
26
Studi Islamika, Indonesia Journal from Islamic Studies, Volume 15, Number 2,2008, halaman
358.
27
Ibid, halaman 359.
28
Kamidjan, Wacana Serat Hardamudha (Kearifan Lokal Dalam Sastra Jawa, Fakultas Bahasa
dan Seni-Universitas Negeri Surabaya, halaman 5 diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/229563-none-9a43eb68.pdf pada 9 Januari 2019.
29
Ische Veralidiana, Skripsi : “Implementasi Tradisi Sedekah Bumi” ( Malang : Jurusan Al-Ahwal
Al-Syakhhshiyyah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik,2010 ) halaman 53

14
ini sebagai sebuah tradisi dan pelestarian kebudayaan lokal. Kemudian setelah
islam masuk terjadilah akulturasi dan sinkretisme antara islam, kepercayaan
animisme-dinamisme, serta agama Hindhu-Budha yang tercermin dalam ritual
serta tradisi masyarakat setempat.

Daerah Gunungkidul disebut sebagai daerah yang unik. Hal tersebut


dilihat dari kondisi geografisnya yang tidak hanya terdiri dari pegunungan
tetapi juga mempunyai banyak pantai yang menakjubkan. Maka dari itu,
munculah istilah masyarakat pesisir Gunungkidul. Masyarakat pesisir adalah
sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir
membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan
ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir. Berbagai macam
ritual keagamaan muncul di daerah pesisir di Gunungkidul, seperti rasulan,
nyadran, selametan, sesanjenan, larungan, puputan dan sedekah laut..30
Masyarakat pesisir Gunungkidul kebanyakan bermata pencaharian di sektor
pemanfaatan sumber daya kelautan dan sektor pertanian. Hubungan sosial
yang terjalin antar masyarakat sangatlah kuat. Meskipun sudah terdapat
perbedaan status ekonomi yang mencolok akan tetapi hal tersebut tidak
menjadi penghalang bagi mereka dalam menjalin keakraban antar sesama.

Terminologi tentang Islam Pesisir utara Jawa tentu tidak sama dengan
Islam pesisir pantai selatan Jawa, karena ada perbedaan dari sisi sejarah,
budaya dan karakteristik masyarakatnya. Hampir semua kepercayaan
masyarakat Gunung Kidul dipengaruhi oleh pengetahuan mistik yang berbau
mitologi. Dalam epistemologi Islam, kepercayaan tersebut termasuk dalam
kategori epustemologi Irfani. Beberapa tradisi maupun budaya yang
dijalankan oleh masyarakat sekitar pesisir Gunungkidul sebagian besar adalah
hasil akulturasi antara kebudayaan Jawa, Hindu, Budha dan Islam.31

30
Agus Suprianto & Khoirul Anam, Kosmologi Islam Pesisir Gunung kidul (Mengungkap Corak,
Praktek dan Ritual Keagamaan Asli Masyarakat Islam Pesisir ditinjau dari Nilai-Nilai Islam),
MUKADDIMAH: Jurnal Studi Islam,Volume 1, No. 1, Desember 2016, halaman 122-123.
31
Ibid, halaman 124.

15
Berikut beberapa kebudayaan berupa upacara ritual/tradisi yang
merupakan hasil akulturasi antara Hindu-Budha, islam, agama kepercayaan
asli Jawa masyarakat Gunungkidul dan masih dijalankan sampai saat ini:

1. Sedekah Labuh
Sedekah labuh adalah ritual yang dilaksanakan penduduk
kecamatan Saptosari, kabupaten Gunungkidul di tepi Pantai
Ngobaran, di suatu pendopo yang disebut dengan Mbah Sawar.
Ritual dilaksanakan sebagai wujud permohonan dan do’a kepada
Tuhan agar pertanian mereka diberkahi dan mendapatkan hasil panen
lebih baik dari tahun sebelumnya serta sebagai wujud rasa syukur
penduduk atas berbagai nikmat yang telah dikaruniakan kepada
mereka.
2. Sedekahan
Sedekahan adalah upacara yang dilakukan masyarakat sebagai
ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah didaparkan.
Upacara biasanyaa dilaksanakan 2 kali dalam satu tahun setelah
selesai musim panen. Upacaran sedekahan dilakukandi balai desa
atau di rumah tetua kampung dengan membawa nasi uduk, ingkung,32
dan berbagai macam lauknya, serta berbagai mamcam tanaman
palawija dan buah-buahan.
3. Sedekah Laut
Sedekah laut merupakan ungkapan rasa syukur atas rizki hasil laut
yang melimpah serta memohon keselamatan bagi nelayan dan
pedagang yang beraktivitas di pesisir dari bencana laut. Upacara ini

32
Ingkung adalah salah satu ubo rampe dalam upacara sedekahan berupa ayam kampung yang
dimasak utuh lalu diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam, biasanya diletakkan di atas nasi
uduk, melambangkan bayi yang belum dilahirkan belum mempunyai kesalahan apa-apa atau
masih suci. Selain itu ingkung juga dimaknai sebagai sikap pasrah dan menyerah atas kekuasaan
Tuhan. Orang Jawa mengartikan kata ingkung dengan pengertian dibanda atau dibelenggu. Ubo
rampe ingkung dimaksudkan untuk menyucikan orang yang punya hajat maupun tamu yang hadir
pada acara selamatan tersebut..(Annisaul Dzikrun Ni mah,Dwi Sulistyorini, & Musthofa Kamal,
Makna Simbolik Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud,diakses dari https://jurnal-
online.um.ac.id/data/artikel/artikelB4A9004634D3EBA57DBD272E95E2E181.pdf )

16
dilaksanakan setiap tanggal 1 syuro (tahun baru pada kalender
Jawa).33 Ada juga anggapan yang mengatakan bahwa sedekah laut
adalah bentuk rasa terimakasih kepada Kanjeng Ratu Nyai Roro
Kidul karena telah memberikan izin kepada nelayan untuk mengambil
hasil laut.
4. Labuhan
Labuhan merupakan upacara adat yang dilakukan oleh warga Desa
Kemadang,Tanjungsari, Gunungkidul setiap tanggal 4 Mulud
(Maulud), bertempat di Pantai Baron sebagai ungkapan rasa syukur
atas rejeki, keselamatan dan ketentraman yang dikaruniakan.
Pelaksanaan upacara labuhan di Pantai Baron diawali dengan adanya
malam tirakatan yang dilaksanakan di tempat Ki Rejotambak.
Tirakatan dilaksanakan untuk memohon izin dan restu agar upacara
labuhan yang dilaksanakan berjalan dengan lancar.
5. Sadranan
Sadranan adalah upacara yang dilakukan di Pantai Krakal sebagai
persembahan warga atas apa yang telah diucapkan terhadap Pantai
Selatan melalui sebuah ritual yang beraroma mistis. 34 Upacara
biasanya dilaksanakan setiap tahun setelah musim panen selesai dan
sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu tanpa diketahui kapan
tepatnya upacara adat ini dimulai.
6. Pasang Gawar
Di kalangan masyarakat Dusun Ngelo terdapat sebuah
kepercaayaan bahwa roh-roh leluhur dan setan bisa mengganggu jika
tidak diberlakukan dengan baik, maka untuk bersahabat dengan roh
dan syaitan masyarakat di sana menjalankan ritual penolak balak dari
gangguan roh jahat dan leluhur yang dinamakandengan tradisi Pasang
Gawar. Ritual dilakukan untuk menolak gangguan roh-roh jahat dan
33
Ali Wildan, Skripsi : “Tradisi Sedekah Laut Dalam Etika Ekologi Jawa” (Semarang : Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri (Uin) Walisongo, 2015), halaman 28.
34
Agus Suprianto & Khoirul Anam, Kosmologi Islam Pesisir Gunung kidul (Mengungkap Corak,
Praktek dan Ritual Keagamaan Asli Masyarakat Islam Pesisir ditinjau dari Nilai-Nilai
Islam),MUKADDIMAH: Jurnal Studi Islam,Volume 1, No. 1, Desember 2016, halaman 128.

17
roh-roh nenek moyang, sebagai ritual tolak balak dan dipercaya bisa
menghilangkan penyakit.
7. Tradisi Pembukaan Cupu Panjalo
Ritual pembukaan Cupu Panjalo merupakan ritual yang sudah ada
sejak ratusan tahun yang lalu yang dilaksanakan secara turun
temurun.35 Cupu Panjolo adalah benda pusaka berupa tiga buah guci
yang disimpan di dalam kotak kayu. Guci atau cupu tersebut terdiri
dari 3 buah, selama ini, ketiga cupu tersebut disimpan oleh keturunan
Kyai Panjolo secara turun temurun . Cupu tersebut disimpan di dalam
sebuah kotak kayu dibungkus dengan kain mori. Kain pembungkus
inilah yang dibuka ketika hendak melaksanakan ritual adat “Bukaan
Cupu Kyai Panjolo” yang dilakukan setiap setiap malam Selasa
Kliwon Mongso Kapapat dalam penanggalan Jawa atau biasanya
bertepatan dengan saat musim tanam masyarakat tiba.36
Keberadaan kebudayaan berupa upacara ritual/tradisi masyarakat
Gunungkidul yang telah disebutkan tadi merupakan bentuk sikap rasa patuh
dan tunduk masyarakat kepada penguasa alam nyata maupun alam ghaib. Hal
tersebut dilakukan karena kebudayaan-kebudayaan tersebut lahir pada masa
ketika masyarakat masih percaya terhadap roh-roh nenek leluhur, para dewa
mitos-mitos, maka tradisi tersebut juga berbau animisme dan dinamisme.
Sebagian besar dari kebudayaan tersebut dilakukan dengan maksud agar
memperolah keselamatan dan kebahagiaan. Masyarakat pesisir menyadari
bahwa manusia adalah makhluk lemah yang tidak bisa menentukan apa-apa
kecuali atas kehendak yang adi kodrati sehingga mereka perlu menjalankan
berbagai macam ritual sebagai bentuk ekspresi keagamannya.37

35
Indah Suciani, Skripsi : “Ritual Cupu Kyai Panjalo dan Perubahan Sosial Masyarakat Dusun
Mendak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul” (Yogyakarta : Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas
Ushuluddin dan pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) halaman 76.
36
Agus Suprianto & Khoirul Anam, Kosmologi Islam Pesisir Gunung kidul (Mengungkap Corak,
Praktek dan Ritual Keagamaan Asli Masyarakat Islam Pesisir ditinjau dari Nilai-Nilai
Islam),MUKADDIMAH: Jurnal Studi Islam,Volume 1, No. 1, Desember 2016, halaman 130.
37
Ibid, halaman 134.

18
BAB III

Peran Ki Ageng Giring III dalam Penyebaran Islam dan Hubungannya


Dengan Sejarah Pendirian Kerajaan Mataram

A. Peran Ki Ageng Giring III dalam Menyebarkan Islam di Gunungkidul

Berbicara mengenai sejarah penyebaran Islam di wilayah Kabupaten


Gunungkidul, maka akan tertuju pada sosok Ki Ageng Giring (merujuk pada
Ki Ageng Giring III). Bahkan Ki Ageng Giring III adalah tokoh yang berjasa
dalam pendirian Kerajaan Mataram Islam. Berawal dari runtuhnya Kerajaan
Majapahit, menyebabkan para keturunan Brawijaya menyebar ke berbagai
wilayah di Tanah Jawa. Termasuk di sini adalah Ki Ageng Giring III.
Bersama dengan teman seperjuangan yang sudah dianggapnya sebagai adik
sendiri yaitu Ki Ageng Pemanahan, mereka berguru dan menjadi murid dari
Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga memang terkenal sebagai salah satu wali
yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Ciri khasnya ialah beliau
menyebarkan Islam dengan kesenian dan kebudayaan. Wilayah tempat
penyebarannya pun sampai ke wilayah pedalaman dan pesisir yang jarang di
kunjungi. Di Yogyakarta, Sunan Kalijaga juga memiliki peran dalam
menghubungkan ajaran Islam dengan Kraton Yogyakarta melalui Islamisasi
struktural Kraton Mataram menjadi Mataram Islam, melanjutkan Kerajaan
Islam Pajang.38 Sebagai seorang murid Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng
Pemanahan sangat menghormati gurunya. Suatu hari Ki Ageng Giring
bersama dengan Ki Ageng Pemanahan dipanggil oleh gurunya yaitu Sunan
Kalijaga. Oleh Sunan Kalijaga keduanya diperintahkan untuk menyelesaikan
ilmu-ilmu yang telah diberikan yaitu ilmu kanuragan dan ilmu agama dengan
melakukan laku prihatin (bertapa dan berdzikir).39 Sunan Kalijaga kemudian

38
Nurul Hak, Rekonstruksi Historiografi Islamisasi dan Penggalian Nilai-Nilai Ajaran Sunan
Kalijaga, Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016,Yogyakarta : Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, halaman 83.
39
Resi Marsella, Skripsi : “Aktivitas Komunikasi Upacara Babad Dalan”, Bandung : Universitas
Komputer Indonesia,2016.

19
memerintahkan kedua muridnya tersebut untuk menyebarkan Islam di
wilayah Jawa bagian selatan yang sekarang dikenal dengan daerah
Gunungkidul. Kemudian dalam masa menyebarkan agama islam Ki Ageng
Giring III menempati wilayah Sodo Paliyan, ia diperintah untuk berbaur
dengan masyarakat, menyebarkan agama islam dan mengajari cara berladang
dan bercocok tanam kepada masyarakat setempat. Desa Sodo memiliki jejak
sejarah yang penting terkait dengan asal muasal Kerajaan Mataram Islam.
Dahulu, mata pencaharian hampir semua penduduknya adalah peladang.40
Selama bertahun-tahun, Ki Ageng Giring III bercocok tanam dan
menyebarkan agama Islam di daerah ini.
Sedangkan Ki Ageng Pemanahan diperintah untuk melakukan pertapaan
di suatu tempat yang bernama pertapaan Kembang Lampir. Pertapaan tersebut
adalah Kembang Lampir atau dikenal dengan sebutan Mbang Lampir yang
ada di Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang. Sebuah
desa yang berjarak sekitar 15 km arah barat daya dari Kota Wonosari. Tempat
ini dipercaya menjadi tempat yang dianggap sebagai turunnya wahyu
Kerajaan Mataram. Tempat sakral ini menjadi lokasi Ki Ageng Pemanahan
melakukan tapa atau semedi untuk meminta petunjuk mengenai wahyu
keraton.41 Wahyu keraton ini disebut pula dengan istilah wahyu kedhaton atau
wahyu gagak emprit.
Ki Ageng Giring III sangat lah dihormati dan disegani masyarakat
Gunungkidul, khususnya masyarakat daerah Sodo sebagai sosok yang berjasa
dalam menyebarkan agama Islam di daerah ini. Maka masyarakat daerah
Sodo mempunyai tradisi unik yang juga berkaitan dengan jasa Ki Ageng
Giring III, dan sampai saat ini tradisi tersebut masih dilaksanakan. Tradisi
tersebut dikenal dengan upacara Babad Dalan. Upacara Babad Dalan adalah
upacara adat yang telah diwariskan secara turun temurun, upacara ini

40
Dwi Wahjoeni Soesilo Wati.2013.Fenomena Perubahan Bentuk Bangunan Rumah Tinggal di
Desa Sodo Paliyan, Gunungkidul. Jurnal Arsitektur KOMPOSISI. Volume 10,Nomor 3. halaman
196.
41
Suharjono, Pertapaan Kembang Lampir Tempat Turunnya Wahyu Wahyu Kerajaan Mataram
Islam, diakses dari https://daerah.sindonews.com/read/1367992/29/pertapaan-kembang-lampir-
tempat-turunnya-wahyu-kerajaan-mataram-islam-1546619165 pada 9 Januari 2019.

20
dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada Jum’at Kliwon sebagai hari yang
telah ditetapkan. Namun untuk bulan pelaksanaannya tidak menentu, karena
memang dikaitkan dengan jatuhnya musim panen padi. Upacara ini muncul
tidak lepas dari dari tokoh Raden Mas Kertanadi yang lebih dikenal pula
dengan Ki Ageng Giring III. Upacara Babad Dalan bertujuan untuk
menghormati dan mengingatkan ajaran-ajaran Ki Ageng Giring yang
merupakan tokoh penyebar agama Islam di daerah tersebut. Ajaran-ajarannya
meliputi mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, keprihatinan, dan
keteguhan hati dalam kemauan. Selain itu juga berkaitan pula dengan adanya
kepercayaan supaya warga desa diberi keselamatan dan kesejahteraan serta
dijauhkan dari segala mara bahaya.42
B. Hubungan Ki Ageng Giring dengan Sejarah Pendirian Kerajaan
Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam, tidak bisa lepas dari Gunungkidul, Daerah


Istimewa Yogyakarta (DIY). Di kabupaten ini terdapat tempat bersejarah
yang menjadi cikal bakal atau tempat turunnya wahyu kerajaan Mataram yang
kemudian pecah menjadi Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Keraton
Surakarta Hadiningrat.43  Selain itu berbicara mengenai Sejarah pendirian
Kerajaan Mataram juga tidak lepas dari 2 tokoh penting yaitu Ki Ageng
Giring III dan Ki Ageng Pemanahan.
Ki Ageng Giring bersama Ki Ageng Pemanahan merupakan murid Sunan
Kalijaga (Septiawan Fadly Candra, 2012). Nama Ki Ageng Giring dan Ki
Ageng Pemanahan ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi terutama dalam
cerita wahyu keprabon atau wahyu gagak emprit yang akan menurunkan raja-
raja dari Kerajaan Mataram Islam.44 Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gede
Pamanahan, adalah pendiri desa Mataramtahun 1556, yang kemudian

42
Septiawan Fadly Candra, Skripsi : “Upacara Babad Dalan Di Desa Sodo Kecamatan Paliyan
Kabupaten Gunungkidul” (Yogyakarta : Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab
Dan Ilmu Budaya,Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012) halaman vii.
43
Op.cit.
44
Resi Marsella, Skripsi : “Aktivitas Komunikasi Upacara Babad Dalan”, Bandung : Universitas
Komputer Indonesia,2016.

21
berkembang menjadi Kesultanan Mataram di bawah pimpinan putranya, yang
bergelar Panembahan Senapati.45
Berdasarkan hasil wawancara bersama Bapak Pardiyo, juru kunci makam
Ki Ageng Giring III, dikisahkan bahwa Ki Ageng Giring III adalah keturunan
dari Kerajaan Majapahit yakni anak Brawijaya IV sedangkan teman
seperjuangannya yaitu Ki Ageng Pemanahan adalah keturunan dari Brawijaya
V. Ki Ageng Giring memiliki nama kecil Raden Mas Kertanadi sedangkan Ki
Ageng Pemanahan memiliki nama kecil Ki Bagus Kacung. Ki Ageng Giring
dan Ki Ageng Pemanahan mengembara ke Kraton Pajang, keduanya berguru
kepada Sunan Kalijaga. Pada suatu ketika terjadilah perpecahan atau geger di
Kraton Pajang yang mengakibatkan wahyu kraton oncat atau pergi dari
Kraton Pajang. Kemudian, Ki Ageng Giring III mendapat bisikan perintah
dari Sunan Kalijaga, disuruh  untuk mencari wahyu kraton, pergilah Ia
bersama Ki Ageng Pemanahan. Ditunjuk oleh Sunan keduannya untuk pergi
ke wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan Gunungkidul.
Kemudian pergilah keduanya ke wilayah Gunungkidul. Ki Ageng
Pemanhan melakukan pertapaan di pertapaan Kembang Lampir. Sedangkan
Ki Ageng Giring melakukan semedi sekaligus berbaur sambil menyebarkan
agama Islam kepada masyarakat Desa Sodo. Keduanya sama-sama memiliki
tujuan yaitu bertujuan untuk mengetahui dan mendapat petunjuk keberadaan
wahyu keraton yang jika didapatkan nantinya akan menurunkan raja-raja di
tanah Jawa.
Dikisahkan setelah mereka menempati daerah Gunungkidul, pertanda
wahyu keraton mulai ada, Ki Ageng Giring III mendapat bisikan yang berasal
dari buah kelapa muda atau degan gagak emprit. Isi bisikan tersebut adalah
bahwa siapa yang bisa meminum seketika sampai habis air kelapa muda
gagak emprit maka ia akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Lantas buah
tersebut dipetik lalu ditaruh di dapur (paga), yaitu sebuah rak besar tempat
menyimpan hasil tani atau ada juga untuk menyimpan peralatan dapur.
45
Kumpulan Ensiklopedia Online, Ki Ageng Pemanahan, diakses dari http://ki-ageng-
pamanahan.1software.org/ind/658-540/Ki-Ageng-Pamanahan_41830_ibmb_ki-ageng-pamanahan-
1software.html pada 9 Januari 2019.

22
Sebelum berangkat ke ladang, Ki Ageng Giring III berpesan kepada istrinya
agar jangan sampai ada yang meminum degan tersebut karena Ki Ageng
Giring III berencana meminum degan tersebut saat pulang dari ladang, pada
saat haus supaya terasa segar, sekaligus agar dapat meminumnya sampai
habis.46
Sementara itu, dalam semedinya, Ki Ageng Pemanahan juga mendapat
wangsit bahwa wahyu keraton sudah diterima Ki Ageng Giring III. Kemudian
ia jengkar atau menyelesaikan semedinya.  Ia kemudian bergegas menuju
kediaman Ki Ageng Giring III di Sodo. Sesampainya di rumah, Ki Ageng
Pemanahan lantas menuju dapur, tahu bahwa di dapur ada sebuah degan di
atas paga (tempat menaruh hasil tani) ia pun lalu meminmnya dalam sekali
teguk.
Saat kembali ke rumah dan mengetahui bahwa degan telah diminum Ki
Ageng Pemanahan, Ki Ageng Giring III pun merasa kecolongan, tahu dan
sangat merasa kehilangan ia menangis. Air mata yang menetes di bebatuan itu
membuat batuan berlubang, retak atau pecah (Bahasa Jawa: gowang),
sehingga di sungai tempat ia mandi hingga kini disebut Kali Gowang. Ini
menjadi pengingat di mana saat Ki Ageng Giring III hatinya sedih, patah atau
gowang. Lantas dikejarlah Ki Ageng Pemanahan oleh Ki Ageng Giring III,
dengan maksud untuk meminta dikembalikan, atau meminta bagian keturunan
dari wahyu kraton. Sembari berjalan dan terus mengejar, ia meminta kepada
Ki Ageng Pemanahan, permintaan agar keturunannya dapat bergantian
menjadi raja terus dilontarkan.
Pertanyaan demi pertanyaan mengenai keturunan ke berapa akan
diberikan kepada keturunan Ki Ageng Giring tak dijawab oleh Ki Ageng
Pemanahan. Pengejaran atau perjalanan itu menuju ke arah barat. Setelah
perjalanan sampai di Gunung Pasar wilayah Dlingo Bantul, keduanya
berhenti, lalu Ki Ageng Pemanahan memberikan jawaban setelah pertanyaan
yaitu sampai pada keturunan ke-7.
Memang sudah kodrat bahwa ternyata Ki Ageng Pemanahan lah yang
46
Ki Ageng Giring dan Awal Mula Desa Sodo diakses dari http://kabarhandayani.com/ki-ageng-
giring-dan-awal-mula-desa-sodo/ pada 31 Desember 2018.

23
meminum air degan, yang kemudian akan menurunkan raja-raja di Jawa,
sedangkan Ki Ageng Giring III hanya yang memetik dan menyimpannya atau
yang mendapat wahyunya. Maka setelah keturunan ke-7, wahyu akan
diserahkan, kepada keturunan Ki Ageng Giring III. Mendapat jawaban
tersebut Ki Ageng Giring III merasa lega lalu kembali pulang ke
kediamannya, sedangkan Ki Ageng Pemanahan melanjutkan perjalanan ke
Alas Mentaok, membabat hutan untuk dijadikan Kraton Mataram. Ki Ageng
Pemanahan kemudian mendirikan Kraton Mataram Islam dimana anaknya
kemudian menjadi raja yaitu Danang Sutawija yang bergelar Panembahan
Senopati.
Dikisahkan seiring berjalannya waktu Ki Ageng Giring III punya anak
Roro Lembayung. Panembahan Senopati kemudian memperistri Kanjeng
Roro Lembayung sehingga menurunkan Joko Umbaran atau Pangeran
Purbaya di Wotgaleh, Berbah, Sleman. Pangeran Purbaya atau julukannya
Banteng Mataram itulah cucu dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng
Giring III, setelah itu menurunkan Sultan Agung Amangkurat dan akhirnya
Pakubuwono di Surakarta Hadiningrat dan Hamengkubuwono di Yogyakarta.
Sebenarnya hanya satu, yaitu Mataram di Surakarta tetapi karena olah licik
Belanda dipecah menjadi dua pada perjanjian Giyanti, sehingga menjadi
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.47
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua yaitu wilayah di
sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh
pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan
di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli)
diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi
Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Sedangkan
sejarah Desa Sodo berawal dengan ditemukannya makam Ki Ageng Giring
III. Masyarakat setempat melakukan babat alas atau membuat jalan menuju
makam, sehingga hingga saat ini ada tradisi babat dalan di wilayah Sodo,
sedangkan nama Desa Sodo sendiri bermula dari kata Usodo atau berarti
47
Ki Ageng Giring dan Awal Mula Desa Sodo, diakses dari http://kabarhandayani.com/ki-ageng-
giring-dan-awal-mula-desa-sodo/ pada 31 Desember 2018

24
upaya berobat.

25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ki Ageng Giring III memiliki nama kecil Raden Mas Kertanadi. Ki Ageng
Giring (mengacu pada Ki Ageng Giring III) adalah salah seorang keturunan
Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup dan menetap pada abad
XVI di Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan. Desa Sodo terletak sekitar 6
km arah barat daya kota Wonosari. Beliau adalah sesepuh Trah Mataram yang
sangat dihormati. Ki Ageng Giring merupakan sosok yang berbudi baik,
sederhana, dan memiliki ketabahan yang mampu menjadi tauladan khususnya
bagi masyarakat Sodo. Beliau dikenal sebagai Ki Ageng Paderesan karena
pekerjaannya nderes. Ki Ageng Giring merupakan keturunan dari Prabu
Brawijaya IV salah satu penguasa Kerajaan Majapahit.
Sebelum islam datang di Jawa, masyarakat Jawa menganut agama Hindu
dan Budha serta kepercayaan asli Jawa. Begitu juga dengan masyarakat
Yogyakarta terkhususnya daerah Kabupaten Gunungkidul. Beberapa sumber
lisan mengatakan bahwa sebelum adanya islam ke daerah ini, mayoritas
masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme serta
kepercayaan nenek moyang yang daianut secara turun termurun. Ada pula
yang menuturkan agama Hindu-Budha juga turut dianut masyarakat sekitar.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai upacara dan ritual yang dilakukan oleh
masyarakat setempat. Beberapa masih dilakukan sampai saat ini sebagai
sebuah tradisi dan pelestarian kebudayaan lokal.Dalam hal penyebaran agama
Islam di Gunungkidul, Ki Ageng Giring III inilah yang memiliki jasa dan
peranan yang sangat penting.
Ki Ageng Giring III adalah tokoh yang berjasa dalam pendirian Kerajaan
Mataram Islam. Beliau dan teman seperjuangannya adalah murid Sunan
Kalijaga. Oleh Sunan Kalijaga keduanya diperintahkan untuk menyelesaikan
ilmu-ilmu yang telah diberikan yaitu ilmu kanuragan dan ilmu agama dengan
melakukan laku prihatin (bertapa dan berdzikir) Sunan Kalijaga kemudian
memerintahkan kedua muridnya tersebut untuk menyebarkan Islam di

26
wilayah Jawa bagian selatan yang sekarang dikenal dengan daerah
Gunungkidul. Kemudian dalam masa menyebarkan agama islam Ki Ageng
Giring III menempati wilayah Sodo Paliyan, ia diperintah untuk berbaur
dengan masyarakat, menyebarkan agama islam dan mengajari cara berladang
dan bercocok tanam kepada masyarakat setempat.
Nama Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan ini terdapat dalam
Babad Tanah Jawi terutama dalam cerita wahyu keprabon atau wahyu gagak
emprit yang akan menurunkan raja-raja dari Kerajaan Mataram Islam. Ki
Ageng Pamanahan atau Ki Gede Pamanahan, adalah pendiri desa Mataram
tahun 1556 yang dipercaya beraal dari wahyu gagak emprit yang
didapatkannya, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Mataram di
bawah pimpinan putranya Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan
Senapati.
B. Saran
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengalami banyak kendala
antara lain adalah mengenai ketersediaan sumber yang masih terbatas dan
kurang memadai. Hal ini dikarenakan belum banyak tulisan, buku atau karya
tulis sejarah yang memaparkan secara detail sejarah lokal yang ada di
masyarakat Gunungkidul, khususnya mengenai topik yang diangkat penulis
yaitu tentang sejarah Ki Ageng Giring III dan hubungannya dengan sejarah
pendirian Kerajaan Mataram Islam. Oleh karena itu, kedepannya besar
harapan penulis agar lebih digencarkan penelitian-penelitian di daerah yang
belum terjamah seperti di Gunungkidul agar nantinya dapat dikaji secara
ilmiah dan menghasilkan fakta-fakta sejarah baru yang belum pernah
diketahui sebelumnya guna meningkatkan pembelajaran sejarah lokal dan
menggali lebih banyak sejarah lokal di Gunungkidul.

27
DAFTAR PUSTAKA
Agus Suprianto & Khoirul Anam, Kosmologi Islam Pesisir Gunung kidul
(Mengungkap Corak, Praktek dan Ritual Keagamaan Asli Masyarakat Islam
Pesisir ditinjau dari Nilai-Nilai Islam), MUKADDIMAH: Jurnal Studi
Islam,Volume 1, No. 1, Desember 2016.
Ali Wildan, Skripsi : “Tradisi Sedekah Laut Dalam Etika Ekologi Jawa”
(Semarang : Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri
(Uin) Walisongo, 2015).
Annisaul Dzikrun Ni mah,Dwi Sulistyorini, & Musthofa Kamal, Makna Simbolik
Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud, diakses dari https://jurnal-
online.um.ac.id/data/artikel/artikelB4A9004634D3EBA57DBD272E95E2E1
81.pdf
Deskripsi Wilayah Kabupaten Gunungkidul Profil Investasi Kabupaten
Gunungkidul diakses dari
https://dpmpt.gunungkidulkab.go.id/upload/gallery/6db270732e28968cac452
0db34a9f4f2_buku%20profil%20inves%202016.pdf pada 29 Desember
2018
Dwi Wahjoeni Soesilo Wati.2013.Fenomena Perubahan Bentuk Bangunan Rumah
Tinggal di Desa Sodo Paliyan, Gunungkidul. Jurnal Arsitektur KOMPOSISI.
Volume 10,Nomor 3.
http://digilib.uin-
suka.ac.id/view/creators/SEPTIAWAN_FADLY_CANDRA_=3ANIM=2E_
08120019=3A=3A.html
http://eprints.undip.ac.id/40985/3/BAB_III.pdf diakses 9 Januari 2019.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132296044/penelitian/Membangun+Karakter+Or
ang+Jawa+Dengan+Laku+Prihatin.pdf diakses pada 9 Januari 2019.
https://sr.rodovid.org/wk/%D0%9F%D0%BE
%D1%81%D0%B5%D0%B1%D0%BD%D0%BE:ChartInventory/939254
diakses pada 4 Januari 2019.
Indah Suciani, Skripsi : “Ritual Cupu Kyai Panjalo dan Perubahan Sosial
Masyarakat Dusun Mendak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul”

28
(Yogyakarta : Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan pemikiran
Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015).
Ische Veralidiana, Skripsi : “Implementasi Tradisi Sedekah Bumi” ( Malang :
Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhhshiyyah, Fakultas Syariah, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik,2010 ) .
Kamidjan, Wacana Serat Hardamudha (Kearifan Lokal Dalam Sastra Jawa,
Fakultas Bahasa dan Seni-Universitas Negeri Surabaya, halaman 5-6 diakses
dari https://media.neliti.com/media/publications/229563-none-9a43eb68.pdf
pada 9 Januari 2019.
Ki Ageng Giring dan Awal Mula Desa Sodo diakses dari
http://kabarhandayani.com/ki-ageng-giring-dan-awal-mula-desa-sodo/ pada
31 Desember 2018.
Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul diakses dari
Kumpulan Ensiklopedia Online, Ki Ageng Pemanahan, diakses dari http://ki-
ageng-pamanahan.1software.org/ind/658-540/Ki-Ageng-
Pamanahan_41830_ibmb_ki-ageng-pamanahan-1software.html pada 9
Januari 2019.
Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah ( Yogyakarta : Penerbit Tiara
Wacana) halaman 73.
Metode Pengumpulan Data, diakses dari
http://toswari.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/32251/6+Metode+Peng
umpulan+Data.pdf pada 9 Januari 2019.
Muhammad Rifai Fajrin, Cara Memilih Topik Penelitian Sejarah, diakses dari
http://www.sarisejarah.com/2014/03/cara-memilih-topik-penelitian-
sejarah.html pada 9 Januari 2019.
Nurul Hak, Rekonstruksi Historiografi Islamisasi dan Penggalian Nilai-Nilai
Ajaran Sunan Kalijaga, Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni
2016,Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Occanarium di Pantai Krakal diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/10009/ pada
29 Desember 2018

29
Prosiding Seminar Nasonal, Sejarah Lokal: Tantangan dan Masa Depan diakses
dari http://sejarah.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/prosiding-
seminar-nasional-sejarah-2017.pdf 29 Desember 2018
Resi Marsella, Skripsi : “Aktivitas Komunikasi Upacara Babad Dalan”, Bandung
: Universitas Komputer Indonesia,2016.
Sejarah Lokal-Direktorat File UPI File.upi.edu>FPIPS>Peng_Sej_Lokal diakses
dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/1971010119990
31-WAWAN_DARMAWAN/Peng_sej_Lokal.pdf 29 Desember 2018
Septiawan Fadly Candra, Skripsi : “Upacara Babad Dalan Di Desa Sodo
Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunungkidul” (Yogyakarta : Jurusan Sejarah
Dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya,Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2012).
Studi Islamika, Indonesia Journal from Islamic Studies, Volume 15, Number
2,2008.
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal Konsep, Metode, dan Tantangannya.
(Yogyakarta:Ombak, 2012).
Sugiyanto (Dosen BK FIP UNY),2011, Membangun Karakter Orang Jawa
Dengan “Laku Prihatin, halaman 5.
Suharjono, Pertapaan Kembang Lampir Tempat Turunnya Wahyu Wahyu
Kerajaan Mataram Islam, diakses dari
https://daerah.sindonews.com/read/1367992/29/pertapaan-kembang-lampir-
tempat-turunnya-wahyu-kerajaan-mataram-islam-1546619165 pada 9 Januari
2019.
Susanto, Bahan Ajar Diktat Mata Pelajaran Sejarah SMA Jenjang Dasar, Dasar-
Dasar Penelitian Sejarah ( Malang : Departemen Pendidikan Nasional,
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan,
Pusat PengembangannPenataran Guru IPS dan PMP Malang, 2006).

30
LAMPIRAN

Gapura masuk menuju Makam Ki Ageng Giring III


Sumber : Dokumen Pribadi Penulis

31
Tugu Pasarean Ki Ageng Giring III yang terletak di Desa Sodo, Kecamatan
Paliyan, Kabupaten Gunungkidul
Sumber : Dokumen Pribadi Penulis

Sendang Talang Warih Padepokan Ki Ageng Girinh III


Sumber : Dokumen Pribadi Penulis Sumber : Dokumen Pribadi Penulis

32
Makam Ki Ageng Giring III yang terletak di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan,
Kabupaten Gunungkidul
Sumber : Dokumen Pribadi Penulis

Makam Ki Ageng Giring III


Sumber: Dokumen Pribadi Penulis

33
Makam Kanjeng Ratu Giring, Roro Lembayung Niken Purwosari, Putri Ki Ageng
Giring III, sekaligus istri dari Panembahan Senopati.
Sumber : Dokumen Pribadi Penulis

Makam-makam di sekeliling Makam Ki Ageng Giring III yang merupakan


Makam para pengikut/abdi Ki Ageng Giring serta para sesepuh juru kunci.

34
Sumber : Dokumen Pribadi Penulis

35

Anda mungkin juga menyukai