Anda di halaman 1dari 10

Wawasan tentang Tipologi Masyarakat dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadist

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Tafsir dan Hadist Tematik Sosial”

Dosen Pengampu:

Dr. Abid Rohman, S.Ag,M.Pd.I

Ditulis oleh:
1. Muhammad Safak Zulkarnain (10010320016)
2. Leli Afita Sari (10010320013)
3. Nur Afifatuz Zakiyah (10010320017)

Prodi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Tahun Ajaran 2021/2022
A. Pendahuluan
Dewasa ini, banyak upaya yang dilakukan manusia untuk membahas tentang jati diri
manusia, tetapi selalu berakhir tanpa jawaban yang memuaskan. Dalam hal ini menarik sekali
apa yang dikatakan Alexis Carrel (Quraisy Shibab, 1996. hlm:277) sebagai berikut:
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil
penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli di bidang kerohanian sepanjang masa
ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak
mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-
bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada
hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari
manusia – kepada diri mereka – hingga kini masih tanpa jawaban.
Jawaban yang parsial tentang manusia dimungkinkan karena memang tidak semua yang
ada pada manusia dapat diungkap dengan mudah bahkan ada aspek tertentu pada diri manusia
yang memang tidak dapat dijangkau oleh penelitian manusia,. contohnya dimensi ruh Ilahi.
Seperti dijelaskan Nata (2001,hlm10) bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam
unsur ciptaannya terdapat ruh ilahi, sedangkan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh
kecuali sedikit sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Isra ayat 85.
‫ح قُ ِل الرُّ وْ ُح ِم ْن اَ ْم ِر َرب ِّْي َو َمٓا اُوْ تِ ْيتُ ْم ِّمنَ ْال ِع ْل ِم اِاَّل قَلِ ْياًل‬
ِ ۗ ْ‫لُوْ نَكَ َع ِن الرُّو‬aََٔ‫َويَسْٔـ‬
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Qs. al-Isra`/17:85)

B. Ayat Al-Qur’an dan Hadist tentang masyarakat ideal dalam Islam

Ada beberapa term yang dipakai oleh Al-Qur’an yang menunjuk pada arti masyarakat ideal,
antara lain: ummat wahidah, umamat wasatha, khairu ummat. Dari ketiga istilah ini sebagai
acuan untuk menganalisis makna masyarakat ideal dala tulisan ini.

a. Ummat Wahidah

Kata ini terulang beberapa kali, masing-masing terletak di dalam QS Al-Baqarah, 2:213;
QS. Al-Maidah, 5:48, QS. Yunus, 20:19, QS. Hud, 11:118, QS. Al-Anbiya, 21:92, dan lainnya.
Al-Qur’an menegaskan bahwa pada mulanya, manusia itu adalah satu umat. Hal ini ditegaskan
dalam surat Al-Baqarah 2:213.1

ِّ ‫ب بِ ْال َح‬ ‫َكانَ النَّاسُ اُمةً وَّاح َدةً ۗ فَبع َ هّٰللا‬


‫اختَلَفُوْ ا فِ ْي ِه ۗ َو َما‬ْ ‫اس فِ ْي َما‬
ِ َّ‫ق لِيَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ ‫ن ُمبَ ِّش ِر ْينَ َو ُم ْن ِذ ِر ْينَ ۖ َواَ ْن َز َل َم َعهُ ُم ْال ِك ٰت‬aَ ّ‫ث ُ النَّبِ ٖي‬ ََ ِ َّ
‫هّٰللا‬ ْ
ْ‫ق بِاِذنِ ٖه ۗ َو ُ يَ ْه ِدي‬ ْ ُ ٰ َّ ‫هّٰللا‬ ٰ ْ ۤ ۢ ُ
ِّ ‫اختَلَفَ فِ ْي ِه اِاَّل ال ِذ ْينَ اوْ توْ هُ ِمن بَ ْع ِد َما َجا َءتهُ ُم البَيِّنت بَغيًا ۢ بَ ْينَهُ ْم ۚ فهَدَى ُ ال ِذ ْينَ ا َمنوْ ا لِ َما اختَلفوْ ا فِ ْي ِه ِمنَ ال َح‬
َ ْ ُ َ ْ ُ ْ ْ ُ َّ ْ
ٰ ۤ
ِ ‫َم ْن يَّ َشا ُء اِلى‬
‫ص َرا ٍط ُّم ْستَقِي ٍْم‬

Artintya : “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk)
menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang
mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab),
setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka
sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki ke jalan yang lurus”.

Faktanya, manusia tidak mengerti keseluruhan hakikat hidup ini. Manusia tidak mengerti
bagaimana cara mengatur hubungan antara mereka atau menyelesaikan perselisihan di antara
mereka. Manusia justru memiliki egoisme yang memicu pada perselisihan. Karena itu Allah
mengutus Nabi untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah dan sebagai mediator untuk
menyelesaikan perselisihan, hal ini ditegaskan dalam surah Yunus, 10:19 yang artinya: Manusia
dahulunya adalah satu umat, kemudian berselisih. Kalalu tidaklah karena suatu ketetapan yang
telah ada dari Tuhanmu dahulu, patilah mereka telah diputuskan tentang apa yang mereka
selisihkan. Nampaknya Allah sengaja membiarkan pengelompokan dan perbedaan ituterjadi
tanpa perlu mempersatukannya, dan ini bisa dilihat pada surah Al-Maidah 5:48.

Dengan demikian, kedatangan Islam dengan Al-Qur’an sebagai Kitab sucinya, selain
mengembalikan bangsa yang terpecah kepada persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyyah) juga
mengembalikan kepercayaan yang keliru kepada kepercayaan yang tunggal, lurus, suci dan
benar.

b. Ummat Wasatha

Istilah Ummat bagi kelompok Islam dilengkapi dengan istilah ‘Ummah Wasatha” seperti
yang dinukilkan Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:143:

ۤ
ِ َّ‫َو َك ٰذلِكَ َج َع ْل ٰن ُك ْم اُ َّمةً َّو َسطًا لِّتَ ُكوْ نُوْ ا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
‫اس َويَ ُكوْ نَ ال َّرسُوْ ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِه ْيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْالقِ ْبلَةَ الَّتِ ْي ُك ْنتَ َعلَ ْيهَٓا اِاَّل لِنَ ْعلَ َم َم ْن‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ْ ‫يَّتَّبِ ُع ال َّرسُوْ َل ِم َّم ْن يَّ ْنقَلِبُ ع َٰلى َعقِبَ ْي ۗ ِه َواِ ْن َكان‬
ٌ ْ‫اس لَ َرءُو‬
‫ف‬ ِ َّ‫ض ْي َع اِ ْي َمانَ ُك ْم ۗ اِ َّن َ بِالن‬ ِ ُ‫َت لَ َكبِ ْي َرةً اِاَّل َعلَى الَّ ِذ ْينَ هَدَى ُ ۗ َو َما َكانَ ُ لِي‬
‫َّح ْي ٌم‬
ِ ‫ر‬

Artinya : ”Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan”
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
1
c
atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya
melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke
belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha
Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia”.

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa kualifikasi ummat yang baik adalah ummah wasatha.
Secara harfiah, Wasatha berarti pertengahan atau moderat. Makna ini menunjuk pada pengertian
adil. Dengan demikian makna ummat wasatha adalah ummat moderat. Posisinya berada
ditengah-tengah. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan kekanan,
hal itu mengantar manusia berlaku adil. Posisi ini juga menjadikan umat Islam.pada posisi ideal
agar mampu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan ummat yang lain. Muhammad Qutb
menampilkan sisi lain dari istilah wasatha atau ummah wasatha. Ia menghubungkannya dengan
posisi Islam yang berada di tengah, yakni berada di antara dua posisi ekstrem: kapitalisme dan
komunisme. Keberadaan ummat Islam pada posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti
ummat yang terhanyut oleh materialisme ataupun spritualisme yang lupa akan urusan dunia.
Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek rohani dan jasmani, material dan
spritual dalam segala aktivitas kehidupannya.

c. Khairu Ummah

Istilah khairu ummah yang berarti ummat terbaik atau umat unggul hanya sekali saja di
antara 64 kata ummat yag terdapat dalam Al-Qur’an, yakni dalam QS. Ali Imran, 3: 110 yang
ber bunyi :

‫هّٰلل‬
‫ب لَ َكانَ َخ ْيرًا لَّهُ ْم ۗ ِم ْنهُ ُم‬ ِ ْ‫اس تَأْ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُ ْؤ ِمنُوْ نَ بِا ِ ۗ َولَوْ ٰا َمنَ اَ ْه ُل ْال ِك ٰت‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم َخ ْي َر اُ َّم ٍة اُ ْخ ِر َج‬
َ‫ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ َواَ ْكثَ ُرهُ ُم ْال ٰف ِسقوْ ن‬
ُ

Artinya : “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada
yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”.

Muhammad Ali, sebagaimana para ahli tafsir pada umumnya, menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan ummat pilihan itu adalah kaum muslimin (Muhammad Ali: 602, dalam M.
Quraish Shihab, 173).

Dengan mencermati ayat-ayat tersebut, definisi khairu ummah yaitu dengan melihat
kriteria yang disebutkan didalamnya, yaitu :

(1) menyuruh kepada kebaikan, (2) mencegah dari yang buruk, dan (3) beriman kepada Allah.
Jadi, khairu ummah dalam pengertian tersebut adalah bentuk ideal masyarakat Islam yang
identitasnya adalah integritas keimanan, komitmen dan kontribusi positif kepada kemanusiaan
secara universal, serta memiliki loyalitas pada kebenaran melalui aksi amar makruf nahi munkar.
Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran, 3:104 dan 110.

ٰۤ ُ
َ‫ك هُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن‬
َ aِ‫ول ِٕٕى‬ ِ ْ‫َو ْلتَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم اُ َّمةٌ يَّ ْد ُعوْ نَ اِلَى ْال َخي ِْر َويَأْ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر ۗ َوا‬

Artinya : “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung”. (Q.S Al-Imron 104)

C. Manusia Mukmin,Muhsin,Muslim

Ada 3 kata dalam islam yang sering kita dengar, yakni Muslim, Mukmin dan Muhsin.
Ketiga kata tersebut memiliki arti yang berbeda-beda dan juga merupakan perwujudan dari kata
Islam, Iman dan Ihsan. Kata “Muslim” merujuk kepada pengertian sebagai “Seorang yang
memeluk agama Islam”. Kata “Mukmin” merujuk kepada pengertian sebagai “Seorang yang
beriman”. Sedangkan kata “Muhsin” merujuk kepada makna yang lebih luas daripada orang
yang beriman saja.

Islam dan Iman memang kebanyakan dipakai secara bersamaan, maka yang dimaksud
dengan Islam adalah merupakan amal perbuatan yang nampak yaitu rukun Islam yang lima.
Sedangkan Iman merupakan amal perbuatan yang tidak nampak yaitu rukun Iman yang enam.
Tingkatannya beranjak dari Islam, Iman dan kemudian Ihsan. Seseorang tidak akan dapat
dikatakan beriman sebelum memeluk agama Islam dan melaksanakan rukun Islam yang lima
(kecuali haji baru dapat dilaksanakan ketika mampu), dan juga tak dapat dikatakan sebagai
seorang Muhsin ketika belum meyakini rukun iman yang enam. Jadi dapat dikatakan bahwa
Ihsan lebih umum daripada Iman, dan Iman lebih umum daripada Islam.

Maka kesimpulannya adalah setiap mukmin pastilah seorang muslim, namun seorang
muslim belum tentu dikatakan sebagai seorang mukmin. Begitu pula seorang muhsin sudah
pastilah dapat dikatakan sebagai seorang mukmin, namun seorang mukmin tidak semuanya dapat
dianggap sebagai seorang muhsin. Adapun satu hadits yang mendukung dan mempertegas
terhadap statement penulis diatas yakni hadis dari Imam Muslim yang diriwayatkan oleh Umar
Ibn Khattab ra. Dan hadis ini juga disebut sebagai hadis jibril as.2

‫ ( بینما نحن جلوس عند رسول هللا صلى هللا‬: ‫عن عمر رضي هللا عنھ أیضا‬

‫ ال یرى علیھ أثر السفر وال یعرفھ منا‬، ‫ شدید سواد الشعر‬، ‫ إذ طلع علینا رجل ً قال شدید بیاض الثیاب‬، ‫عليه وسلم ذات یوم‬
‫ یا محمد أخبرني‬: ‫ وقال‬، ‫ ووضع كفیھ على فخذیھ‬، ‫ فأسند ركبتیھ إلى ركبتیھ‬، ‫ حتى جلس إلى النبي صلى هللا عليه وسلم‬. ‫أحد‬
، ‫ وتقیم الصالة‬، ‫ اإلسالم أن تشھد أن ال إلھ إال هللا وأن محمداً رسول هللا‬: ” ‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬. ‫عن اإلسالم‬
: ً‫ وتحج البیت إن استطعت إلیھ سبیال‬، ‫ فعجبنا لھ یسألھ ویصدقھ ! قال وتصوم رمضان‬. ‫ صدقت‬: ‫ “ قال‬. ، ‫وتؤتي الزكاة‬

2
Digilib.uinsby.ac.id
‫ أن تؤمن با‬: ” ‫قال‬. ‫فأخبرني عن اإلیمان‬b ‫ صدقت‬: ‫ “ قال‬. ‫ومالئكتھ وكتبھ ورسلھ والیوم اآلخر وتؤمن بالقدر خیره وشره‬
‫قال‬. ‫ فأخبرني عن الساعة‬: ‫ “ قال‬. ‫ فإن لم تكن تراه فإنھ یراك‬، ‫ هللا كأنك تراه‬a‫ أن تعبد‬: ” ‫قال‬. ‫ فأخبرني عن اإلحسان‬: ‫قال‬.
‫ وأن ترى الحفاة العراة‬، ‫ أن تلد األمة ربتھا‬: ” ‫ قال‬. ‫ فأخبرني عن أماراتھا‬: ‫“ قال‬. ‫ ما المسؤول عنھا بأعلم من السائل‬: ”
ً ‫قال‬. ‫ هللا ورسولھ أعلم‬: ‫“ قلت‬. ‫ یا عمر أتدري من السائل ؟‬: ” ‫ فلبثت ملیا‬، ‫العالة رعاء الشاء یتطاولون في ثم انطلق‬
‫ فإنھ جبریل أتاكم یعلمكم دینكم‬: ” ” ‫ ثم قال‬، “. ‫البنیان‬

Dari Umar bin Khaththab Ra, ia mengatakan, “Suatu hari ketika kami duduk-duduk di sisi Nabi
SAW, tiba-tiba datang seseorang berparas seorang Arab dengan pakaian yang sangat putih
bersih, dengan rambut hitam kelam dan tebal, namun tak seorangpun dari mereka mengenalinya,
siapa dia itu. Bahkan Nabi SAW pun tidak mengenalinya. Orang tersebut memberi salam kepada
Nabi SAW dan para sahabat nya yang tengah berkumpul dalam majlis tersebut. Kemudian
mendekat kepada Nabi SAW dengan sangat dekat, dimana dia mendekatkan kedua lututnya
dengan lutut.

D. Manusia kategori Negatif

a. Munafik

Munafik berasal dari bahasa arab, yang artinya: menampakkan kebaikkan dibalik

keburukkannya yang disembunyikan. Orangnya disebut “munafik”3 menurut pandangan Ibnu

al-Qayyim al-Jauzi kemunafikkan itu terbagi dua aspek yang paling berlawanan yaitu:

a. Dalam Aspek Amal Iqtadiy (perbuatan)

Kemunafikan semacam ini terdapat dalam kelompok orang kafir yang menutup nutupi

kesalahannya, keinginannya terhadap Allah dan Rasulnya dengan menampak-nampakkan

perbuatan yang baik padahal didalam hatinya mereka memiliki kepercayaan yang besar, merasa

dirinya lebih pinter. Kedudukan rasa terdesak, yang dilawan terasa kuat, inilah penyakit ingin

tinggi kepala, tetapi tidak mau mengaku terus terang.Takut terpisah dari orang banyak itulah

yang menyebabkan sikap dhahir sedangkan sikap batin menjadi pecah, akhirnya Maka Allah

menambahkan penyakit mereka.Penyakit dengki, penyakit hati busuk, penyakit penyalah terima. 4

Tiap orang bercakap terasa diri sendiri juga ada keinsyafan bahwa orang tidak percaya. Dan

3
Muhammad Yusuf Abdu, Jangan Munafik ( Bandung:postaka Hidayah,2008), h. 29.
4
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Hasan Abdul Ghoni, Tragedi Kemunafikkan, (Surabaya: Risalah Gusti,
1993)h.3.
untuk mereka mendapat adzab yang pedih dari sebab mereka itu telah berdusta. 5 Sebagaimana

yang tercantum dalam firman ALLAH yang berbunyi :

‫} يُ َخا ِد ُعونَ هَّللا َ َوالَّ ِذينَ َءا َمنُوا َو َما يَ ْخ َد ُعونَ إِالَّ أَنفُ َسهُ ْم َو َما‬8{ َ‫اس َم ْن يَقُو ُل َءا َمنَّا بِاهَّلل ِ َواليَوْ ِم األَ ِخ ِر َو َما هُم بِ ُم ْؤ ِمنِين‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
َ ّ ‫هَّللا‬ ُ ُ
}10{ َ‫} فِي قُلوبِ ِهم َّم َرضُ فَ َزا َدهُ ُم ُ َم َرضًا َولَهُ ْم عَذابٌ ألِي ُم بِ َما َكانُوا يَ ْك ِذبُون‬9{ َ‫يَ ْش ُعرُون‬

“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,”
pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu
Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang
mereka tidak sadar, Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”  [Q.S. al-Baqarah: 8-10]
b. Dalam Aspek Aqidah Amaliy (perbuatan)

Kemunafikkan semacam ini terdiri dari orang yang lemah imannya dan aqidahnya masih

goyah, kepercayaan goncang dan jiwanya belum sangup memahami nilai-nilai dakwah, sehingga

amal perbuatannya masih dipenuhi kotoran dan ketidak sucian. Mereka berbuat hanya untuk

mencari keuntungan-keuntungan pribadi sematadenagn membonceng kedalaman dakwah dan

mengatas namakan kepentingan umat atau dari pada masyarakat6. Pada bagian lain dalam tafsir

al-Maraghi yangdimaksud dengan al-Qullub disini adalah akal. Ungkapan seperti ini sudah lazim

didalam penggunaan bahasa arab. Jadi seakan-akan mereka rela menyadari bahwa akal manusia

bisa dipengaruhi oleh perasaannya. Sebab, perasaan itulah yang mampu mendorong seseorang

untuk melakukan suatu perbuatan. Sebagai sekedar bukti ialah ketika seseorang merasa

ketakutan atau kegembiraan maka akal manusia bisa menjadi goncang.7

Penyakit yang menipu akal ini dapat mengakibatkan lemah ingatan dan tak mampu lagi

memahami masalah-masalah agama, rahasia-rahasa yang terdapat didalam agama, termasuk

hikmah-hikmahnya.8 Jadi, kehilangan akal inilah yang dimaksud didalam Al-Qur’an dalam satu

ayat yang berbunyi:

5
Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati 2015), h.78.

As-Sufyani’Abid Bin Muhmmad, Makar Kaum Munafik, (khazanah Fawa’id), h.7.


6

7
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), h. 80-81.
8
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani,2015), h.108.
ٰۤ ُ ۗ ْ
‫ك‬
َ aِ‫ول ِٕٕى‬ ٌ ‫صرُوْ نَ بِهَ ۖا َولَهُ ْم ٰا َذ‬
‫ان اَّل يَ ْس َمعُوْ نَ بِهَا ا‬ ِ ‫س لَهُ ْم قُلُوْ بٌ اَّل يَ ْفقَهُوْ نَ بِهَ ۖا َولَهُ ْم اَ ْعي ٌُن اَّل يُ ْب‬
ِ ۖ ‫َولَقَ ْد َذ َرأنَا لِ َجهَنَّ َم َكثِ ْيرًا ِّم ۤنَ ْال ِجنِّ َوااْل ِ ْن‬
َ‫ك هُ ُم ْال ٰغفِلُوْ ن‬ ٰ ُ‫ضلُّ ۗ ا‬
َ aِ‫ول ِٕٕى‬ َ َ‫َكااْل َ ْن َع ِام بَلْ هُ ْم ا‬

Artinya : “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia.
Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan
(ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yang lengah”.

Dalil mengenai nifaq ini adalah sabda rasul SAW di dalam kitab shahih bukhari:

)‫ (بخاري‬.‫آية المنافق ثالث اذا حدث كذب واذا وعد أخلف واذا أتمن خان‬
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga : jika berkata ia bohong, jika berjanji ia

mengingkari dan jika diberi amanat ia khianat”.

b. Kafir

Kāfir ‫ كافر‬ kāfir; plural ‫ كفّار‬ kuffār) artinya adalah menutup kebenaran, menolak


kebenaran, atau mengetahui kesalahan tapi tetap menjalankannya.
Kufur secara bahasa (etimologi) berarti menutupi, atau menyembunyikan kebaikan yang telah
diterima atau tidak berterima kasih. Bentuk jamak dari kafir adalah kafirun atau kuffar. Dalam al-
Quran, kata kafir dengan berbagai bentuk kata jadinya disebut sebanyak 525 kali.
Secara syara’ (terminologi) kufur adalah tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik
dengan mendustakan atau tidak mendustakan. Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya disebut kafir.
Mengingkari nikmat yang diberikan Allah atau tidak berterima kasih kepada Allah SWT
(QS.16:55, QS. 30:34), lari dari tanggung jawab (QS.14:22), menolak hukum Allah (QS. 5;44),
meninggalkan amal soleh yang diperintahkan Allah (QS. 30:44).
Kata kafir mempunyai arti pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah Swt dan Rasul-
RasulNya dan ajaran-ajaran yang dibawanya.
Kata kafir atau kufur tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman, contohnya kufur
nikmat, yaitu orang yang tidak pandai/mensyukuri nikmat, atau dalam istilah lain disebut sebagai
kufrun nikmat (kekufuran yang tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari islam).
Secara istilah, kafir adalah orang yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah Swt yang di
sampaikan oleh RasulNya. Dilihat dari istilah, dikatakan kafir sama dengan non-muslim. Yaitu
orang yang tidak mengimani Allah dan rasul-rasul-Nya serta ajarannya.
Quran 98:6, Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk.

Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah dan Rasul-Nya.


َ‫س َوآ ٌء َعلَ ۡي ِهمۡ َءأَن َذ ۡرتَ ُهمۡ أَمۡ لَمۡ تُن ِذ ۡرهُمۡ اَل ي ُۡؤ ِمنُون‬
َ  ‫ َكفَ ُرو ْا‬  َ‫إِنَّ ٱلَّ ِذين‬
 Artinya : “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau
tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (Q.S.Al-Baqarah: 6).

c. Zhindiq
Dalam Kamus Fiqih karya Dr. Sa’dy Abu Habib dijelaskan bahwa kata Zindiq atau Al
Zindiq ((ُ‫ اَ ْل ِز ْن ِد ْيق‬yaitu seseorang yang tidak berpegang teguh terhadap agama. Orang Arab lebih
mengenalnya dengan kata  Mulhid (‫ ) ُم ْل ِح ٌد‬atau Atheis, yaitu tidak percaya/mencela terhadap
agama.
Ibnu Kamal mengatakan, Zindiq adalah orang yang menolak loyalitasnya kepada Allah,
mendukung kemusyrikan dan mengingkari hukum Allah Swt.
Menurut Imam Syafii, Imam Malik dan Imam Ahmad, Zindiq yaitu orang yang menampakan
keislaman dan menyembunyikan kekafirannya. Seperti pada zaman Rasulullah disebut orang
Munafiq, namun dalam istilah syar’i sering disebut Zindiq. 
Adapun menurut Imam Hanafi dan salah satu riwayat Imam Syafii, Zindiq adalah orang yang
mengharamkan agama.
Dalam ilmu Aqidah Islam, Zindiq adalah yang mengingkari hari akhirat dan rububiyah Allah
Swt.
Orang Zindiq ini sangat bahaya dalam masyarakat islami, karena seakan menjadi duri dalam
daging atau musuh dalam selimut.

Sumber: al Qamus Al Fiqhi, DR. Sa’dy Abu Habib, Bab. Huruf Zay, Jilid. I, Hal. 160.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Atlas, 2000), hal. 51.

Digilib.uinsby.ac.id

Muhammad Yusuf Abdu, Jangan Munafik ( Bandung:postaka Hidayah,2008), h. 29.


Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Hasan Abdul Ghoni, Tragedi Kemunafikkan, (Surabaya: Risalah Gusti,
1993)h.3.

Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati 2015), h.78.

As-Sufyani’Abid Bin Muhmmad, Makar Kaum Munafik, (khazanah Fawa’id), h.7.

Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), h. 80-81.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani,2015), h.108.

al Qamus Al Fiqhi, DR. Sa’dy Abu Habib, Bab. Huruf Zay, Jilid. I, Hal. 160.

Anda mungkin juga menyukai