Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KELOMPOK PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

RHEUMATOID ARTHRITIS (RA)

Dosen Pengampu: Numlil Khaira Rusdi, M.Si., Apt.

Disusun Oleh:
Nathiratun Ni’mah 1504015254
Nia Khairani Sholeh 1504015261
Nidia Gita Prameswari 1504015262
Kelompok : 5
Kelas : F2

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arthritis adalah istilah umum untuk peradangan (inflamasi) dan
pembengkakan di daerah persendian. Terdapat lebih dari 100 macam penyakit yang
mempengaruhi daerah sekitar sendi. Yang paling banyak adalah osteoarthritis (OA),
arthritis gout (pirai), arthritis rheumatoid (AR), dan fibromyalgia. Arthritis
rheumatoid merupakan penyakit autoimun, dimana pelapis sendi mengalami
peradangan sebagai bagian dari aktivitas sistem imun tubuh (Depkes RI 2006
Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik hal.3).
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1%
pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan
Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan
India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa
Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di
Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3%, sedang di Malang pada
penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid merupakan
4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin
didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia 2014 Diagnosis dan Perawatan Artritis Reumatoid hal.2).
B. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini, yaitu:
1. Mampu menjelaskan patofisiologi dan patologi klinik penyakit (etiologi,
manifestasi klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Mampu menjelaskan algoritma terapi
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP
4. Mampu memberikan solusi pada DRP yang ditemukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit
Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan inflamasi kronis progresif dengan
etiologi yang tidak diketahui yang ditandai oleh keterlibatan sendi simetris
polyarticular dan manifestasi sistemik (DiPiro et al. 2015 Pharmacotherapy
Handbook 9th edition hal.26). Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun,
dimana pelapis sendi mengalami peradangan sebagai bagian dari aktivitas sistem
imun tubuh (Depkes RI 2006 Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis
Rematik hal.17).
B. Epidemiologi
Rheumatoid arthritis diperkirakan memiliki prevalensi 1% dan tidak memiliki
predileksi rasial. Ini dapat terjadi pada usia berapa pun, dengan meningkatnya
prevalensi hingga dekade ketujuh kehidupan. Penyakit ini tiga kali lebih sering terjadi
pada wanita. Pada orang yang berusia 15 hingga 45 tahun, wanita mendominasi
dengan rasio 6: 1; rasio jenis kelamin kurang lebih sama di antara pasien pada dekade
pertama kehidupan dan pada mereka yang lebih tua dari usia 60 tahun.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa predisposisi genetik dan paparan
faktor lingkungan yang tidak diketahui mungkin diperlukan untuk ekspresi penyakit.
Molekul kompleks histocompatibility utama, terletak pada limfosit T, tampaknya
memiliki peran penting pada kebanyakan pasien dengan RA. Molekul-molekul ini
dapat dikarakterisasi menggunakan pengetikan antigen limfosit manusia (HLA).
Sebagian besar pasien dengan RA memiliki HLA-DR4, HLA-DR1, atau keduanya
antigen di wilayah kompleks histocompatibility utama. Pasien dengan antigen HLA-
DR4 3,5 kali lebih mungkin untuk mengembangkan RA dibandingkan pasien yang
memiliki antigen HLA-DR lainnya. Meskipun wilayah kompleks histocompatibility
utama adalah penting, itu bukan satu-satunya penentu karena pasien dapat memiliki
penyakit tanpa jenis HLA ini. RA adalah enam kali lebih umum di antara kembar
dizigot dan anak-anak dari orang tua dengan faktor rheumatoid-positif, erosif RA bila
dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki penyakit. Jika
salah satu pasangan kembar monozigot terpengaruh, kembar lainnya memiliki risiko
30 kali lebih besar terkena penyakit (DiPiro et al. 2014 Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 9th edition hal.3217).
C. Patofisiologi
Peradangan kronis pada jaringan sinovial yang melapisi kapsul sendi
menghasilkan proliferasi jaringan. Karakter sinovium yang meradang dan
berkembang biak dari RA disebut pannus. Pannus ini menyerang tulang rawan dan
akhirnya permukaan tulang, menghasilkan erosi tulang dan tulang rawan dan
menyebabkan kerusakan sendi. Faktor-faktor yang memulai proses inflamasi tidak
diketahui. Sistem kekebalan tubuh adalah jaringan pemeriksaan dan keseimbangan
yang kompleks yang dirancang untuk membedakan diri dari jaringan asing. Ini
membantu membersihkan tubuh dari agen infeksi, sel tumor, dan produk yang terkait
dengan pemecahan sel. Pada RA, sistem ini tidak lagi mampu membedakan diri dari
jaringan asing dan menyerang jaringan ikat sinovial dan lainnya (DiPiro et al. 2014
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 9th edition hal.3217).

Gambar 1. Patogenesis Respon Inflamasi


Antigen menyajikan proses sel dan menghadirkan antigen ke sel T, yang dapat
menstimulasi sel B untuk menghasilkan antibodi dan osteoklas untuk menghancurkan
dan menghilangkan tulang. Makrofag dirangsang oleh respon imun dapat
menstimulasi sel T dan osteoklas untuk mendorong peradangan. Serta dapat
merangsang fibroblast, yang menghasilkan matriks metalloproteinase untuk
menurunkan matriks tulang dan menghasilkan sitokin proinflamasi. Sel-sel T yang
diaktifkan dan makrofag melepaskan faktor-faktor yang mendorong kerusakan
jaringan, meningkatkan aliran darah, dan menghasilkan invasi seluler dari jaringan
sinovial dan cairan sendi. (APC, antigen-presenting cell; IL, interleukin; MMP,
matriks metalloproteinase; TNF-α, tumor necrosis factor α.) (DiPiro et al. 2014
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 9th edition hal.3218).
D. Tanda dan Gejala

Gambar 2. Tangan normal dan tangan dengan RA


Tanda dari rheumatoid arthritis menurut DiPiro et al. (2008), yaitu:
Metacarpophalangeal (MCP), interphalangeal proksimal (PIP), metatarsophalangeal
(MTP), dan sendi pergelangan tangan sering terlibat. Keterlibatan sendi biasanya
simetris, fungsi sendi terbatas. Tanda-tanda peradangan sendi hadir (kelembutan,
kehangatan, bengkak, dan eritema). Demam ringan bisa terjadi. Manifestasi
ekstraartikular:
 Nodul subkutan
 Okular: Keratoconjunctivitis sicca, skleritis
 Paru: Fibrosis interstisial, nodul paru, pleuritis, efusi pleura
 Vaskulitis: ulkus iskemik, lesi kulit, vaskulitis leukositoklastik
 Neurologis: Neuropati perifer, sindrom Felty
 Hematologi: Anemia, trombositosis
Gejala sistemik nonspesifik mungkin termasuk kelelahan, kelemahan,
anoreksia, dan nyeri muskuloskeletal difus. Pasien mengeluh nyeri pada sendi yang
terlibat dan kekakuan sendi pagi yang berkepanjangan (DiPiro et al. 2008
Pharmacotherapy principles and practice hal.870).
E. Diagnosa
Tujuh kriteria harus dipenuhi untuk mendiagnosis RA dengan tepat:
1. Kekakuan sendi pada pagi hari berlangsung lebih dari 1 jam
2. Keterlibatan tiga atau lebih area sendi
3. Arthritis sendi tangan
4. Keterlibatan sendi simetris
5. Kehadiran nodul rheumatoid
6. Faktor rheumatoid meningkat
7. Perubahan radiografi
Seorang pasien dapat didiagnosis dengan RA jika empat atau lebih dari ini
hadir. Kriteria 1 hingga 4 harus ada setidaknya selama 6 minggu. Kriteria 5 hingga 7
harus diamati oleh seorang dokter (DiPiro et al. 2008 Pharmacotherapy principles
and practice hal.870).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Laboratorium
 Faktor reumatoid (RF) terdeteksi pada 60-70%.
 Anticyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi memiliki kepekaan yang
sama terhadap RF (50-85%) tetapi lebih spesifik (90-95%) dan hadir lebih
awal pada penyakit.
 Peningkatan laju endap darah (ESR) dan protein C-reaktif (CRP) adalah
penanda untuk peradangan.
 Normocytic normochromic anemia adalah umum seperti trombositosis.
2. Tes Diagnostik Lainnya
 Aspirasi cairan sendi mungkin menunjukkan peningkatan jumlah sel darah
putih tanpa infeksi, kristal.
 Radiografi sendi dapat menunjukkan osteoporosis periarticular, penyempitan
ruang sendi, atau erosi (DiPiro et al. 2014 Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach hal.3219).
G. Algoritma Terapi
Algoritma terapi untuk rheumatoid arthritis menurut DiPiro et al. (2015)
yaitu:

Gambar 3. Algoritma terapi RA pada penyakit awal


Prognosis yang buruk didefinisikan sebagai keterbatasan fungsi, temuan ekstra-
artikular (nodul reumatoid, vaskulitis, sindrom Felty, sindrom Sjögren, temuan paru-
paru rematik, erosi pada radiografi), erosi tulang, dan faktor rheumatoid positif atau
antibodi protein anticitrullinated.

Gambar 4. Algoritma terapi RA >6 bulan


BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Tanggal dan Waktu
Praktikum farmakoterapi dilakukan pada hari Jumat, 30 November 2018
pukul 08.00-10.30 WIB.
B. Judul Praktikum
Judul dari praktikum ini, yaitu studi kasus Rheumatoid Arthritis.
C. Kasus dan Pertanyaan
1. Kasus
Seorang pasien wanita 42 tahun (60 kg) berobat ke rumah sakit. Pasien
mengalami kekakuan pada sendi dan rasa terbakar di pagi hari yang berlangsung
beberapa jam selama 4 bulan terakhir. Selain itu dia juga mengeluhkan mata merah
dan sangat kering. Selama satu setengah bulan terakhir gejalanya makin parah. Dia
juga tidak bisa menggunakan cincin kawinnya karena jarinya yang membengkak.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan di bagian sendi terjadi pembengkakan (simetris
bilateral), nyeri saat ditekan, dan juga terasa panas.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan data sebagai berikut:
ESR 52 mm/jam (0 - 20 mm/jam)
CRP 2,1 mg/dL (0 – 0,5 mg/dL)
Hemoglobin 10,6 g/dL
Hematokrit 33%
Platelet 480.000/µL
Albumin 3,8 g/dL
Serum iron 40 mcg/dL
TIBC 275 mg/dL
Positive anti-CCP 82 unit (rentang referensi: <20 unit/mL)
Positive RF dilakukan dengan metode fiksasi lateks dalam pengenceran 1: 3200
(<1:80)
Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosa menderita
Rheumatoid Arthritis dan Dokter meresepkan:
R/ Forneuro No. XXX
s.1.d.d.1
R/ Prednicort No. XXX
s.1.d.d.1
R/ Rocer No. XXX
s.1.d.d.1
R/ Bonepatit No. XXX
s.1.d.d.1
2. Pertanyaan
1) Apakah tanda dan gejala yang mendukung diagnosa rheumatoid arthritis pada
pasien tersebut?
2) Nilai laboratorium mana yang bisa digunakan untuk menilai perkembangan
penyakitnya?
3) Apa terapi non farmakologi yang disarankan untuk pasien di atas?
4) Apa tujuan terapi pada pasien RA?
5) Jelaskan DRP yang ditemukan pada pasien di atas?
6) Apa rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan pasien diatas?
7) Bagaimana penggunaan asam folat, vitamin D, dan kalsium pada pasien RA?
8) Jelaskan perbedaan DMARD dan TNF inhibitor?
9) Parameter apa yang perlu dilihat untuk monitoring terapi RA, dan berapa kali
dilakukan monitoring?
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tanda dan gejala yang mendukung diagnosa pada pasien tersebut yaitu kekakuan
pada sendi dan rasa terbakar di pagi hari yang berlangsung beberapa jam,
pembengkakan (simetris bilateral), nyeri saat ditekan dan juga terasa panas.
2. Nilai laboratorium yang diperlukan untuk menilai perkembangan penyakit yaitu:
Pemeriksaa
Nilai Normal Hasil Keterangan
n
Pria : <15 mm/jam Mengalami
ESR 52 mm/jam
Wanita: <20 mm/jam Kenaikan
Menalami
CRP 0 – 0.5 mg/dL 2.1 mg/dL
Kenaikan

Pria: 13-18 g/dL Mengalami


Hemoglobin 10.6 g/dL
Wanita: 12-16 g/dL penurunan

Pria: 40-50% Mengalami


Hematocrit 33%
Wanita: 35-45% penurunan

Platelet Mengalami
170.00 0- 380.000/mm3 480.000/µL
(Trombosit) Kenaikan
Postive anti- Mengalami
<20 unit/mL 82 unit
CCP Kenaikan
Positive RF Mengalami
<1 : 80 1 : 320
perform Kenaikan

a. ESR (Erithrocyte Sedimentation Rate) atau LED (Laju Endap Darah) adalah
ukuran kecepatan endap eritrosit, menggambarkan komposisi plasma serta
perbandingan eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas
permukaan sel serta gravitasi bumi. nilai meningkat terjadi pada: kondisi infeksi
akut dan kronis, misalnya tuberkulosis, arthritis reumatoid, infark miokard akut,
kanker, penyakit Hodkin’s, gout, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit
tiroid, luka bakar, kehamilan trimester II dan III. Peningkatan nilai LED >
50mm/jam harus diinvestigasi lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan terkait
infeksi akut maupun kronis, yaitu: kadar protein dalam serum dan protein,
immunoglobulin, Anti Nuclear Antibody (ANA) Tes, reumatoid factor (Kemenkes
2011 Interpretasi Data Klinik hal.24).
b. C-reactive protein (CRP) merupakan penanda peradangan nonspesifik, CRP
meningkat pada pasien dengan RA (DiPiro et al. 2008 Pharmacotherapy
principles and practice hal.869). CRP merupakan rotein abnormal diproduksi di
hati sebagai respons terhadap peradangan dan infeksi. Berguna dalam
mengevaluasi penyakit autoimun dan infeksi dan dalam memantau keefektifan
perawatan (Hopkins TB 2005 Lab Notes Guide to Lab & Diagnostic Test hal.11).
c. Pemeriksaan hematologi sering menunjukkan anemia ringan sampai sedang
dengan indeks normositik dan normokromik. Hematokrit bisa turun serendah
30%. Anemia biasanya berbanding terbalik dengan aktivitas penyakit inflamasi
dan disebut sebagai anemia penyakit kronis. Jenis anemia ini tidak menanggapi
terapi besi dan dapat menimbulkan dilema diagnostik karena NSAID dapat
menginduksi gastritis dan kehilangan darah kronis, yang menyebabkan anemia
defisiensi besi (DiPiro et al. 2014 Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach 9th edition hal.3225).
d. Trombositosis adalah temuan hematologi umum lainnya dengan RA aktif. Jumlah
trombosit meningkat dan menurun dalam korelasi langsung dengan aktivitas
penyakit pada banyak pasien. Trombositopenia dapat terjadi akibat toksisitas
terapi imunosupresif. Trombositopenia juga dapat diamati pada sindrom Felty
atau vaskulitis. Meskipun leukopenia dikaitkan dengan sindrom Felty, itu juga
dapat diakibatkan oleh toksisitas methotrexate, emas, sulfasalazine, penicillamine,
dan obat-obat imunosupresif. Leukositosis umumnya terlihat sebagai hasil dari
perawatan kortikosteroid (DiPiro et al. 2014 Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 9th edition hal.3225).
e. Anti-CCP (Anti-citrullinated peptide) memiliki spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan RF, itu lebih umum digunakan untuk diagnosis RA dan
telah mengambil bagian dalam kriteria klasifikasi baru. Tes anti-PKC generasi
pertama (anti-CCP1) memiliki 96% spesifisitas dan 53% sensitivitas untuk RA.
Tes anti-PKC generasi kedua (anti-CCP2) memiliki spesifisitas 99% dan
sensitivitas 61,6% untuk RA awal, 75,2% untuk RA akhir dan 71,7% untuk
semua pasien RA. Jadi tes dengan sensitivitas serupa sebagai RF tetapi dengan
spesifitas yang lebih tinggi diperoleh (Birtane M et al. 2017 Laboratory
Evaluation In Rheumatic Diseases).
f. Rheumatoid factor (RF) digunakan dalam diagnosis rheumatoid arthritis. RF
adalah antibodi yang menempel pada immunoglobulin G (IgG). RF juga
meningkat pada penyakit vaskular kolagen, infeksi, kanker, dan MI (Hopkins TB
2005 Lab Notes Guide to Lab & Diagnostic Test hal.49).
3. Terapi nonfarmakologi pada pasien RA yaitu istirahat yang cukup, pengurangan
berat badan jika obesitas, terapi okupasi, terapi fisik, dan penggunaan alat bantu
dapat memperbaiki gejala dan membantu mempertahankan fungsi sendi. Pasien
dengan penyakit berat dapat mengambil manfaat dari prosedur bedah seperti
tenosynovectomy, perbaikan tendon, dan penggantian sendi. Edukasi pasien
tentang penyakit dan manfaat serta keterbatasan terapi obat (DiPiro et al. 2015
Pharmacotherapy Handbook 9th edition hal.27).
4. Tujuan perawatan RA: tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan remisi
lengkap atau aktivitas penyakit yang rendah. Tujuan tambahan adalah untuk
mengontrol aktivitas penyakit dan nyeri sendi, mempertahankan kemampuan
untuk berkegiatan dalam kegiatan sehari-hari, perubahan sendi destruktif yang
lambat, dan menunda kecacatan (DiPiro et al. 2015 Pharmacotherapy Handbook
9th edition hal.27).
5. DRP dari obat-obat di atas yaitu:
Tepat Lama
Nama Obat Komposisi Tepat Obat Tepat Dosis
Pemberian
Forneuro Vit B1 100 mg, Vit
S.1.d.d.1 B6 50 mg, Vit B12
100 mcg, Vit E 200
iu, folic acid 400   
mcg
(ISO Vol.50 hal
490)
Prednicort Methylprednisolon   
S.1.d.d.1 4 mg; 8 mg Dosis 2 - 60
(ISO Vol.50 hal mg/hari (DIH
266) edisi 17)
Rocer Omeprazole 20mg
S.1.d.d.1 (ISO Vol. 50 hal.   
400)
Bonepatit Microcrystalline
S.1.d.d.1 hydroxyapatite   
(MIMS edisi 2015)

Forneuro digunakan untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B1, B6,
B12, E dan anemia (ISO 2016). Metilprednisolon merupakan obat golongan
kortikosteroid yang memiliki sifat antiinflamasi dan imunosupresif (DiPiro et al.
2015 Pharmacotherapy Handbook 9th Edition hal.35). Penggunaan Omeprazole
dapat digunakan pada pasien RA untuk mencegah dan mengatasi efek samping
yang timbul dari penggunaan obat (Febriana 2007 Studi Penggunaan Obat Pada
Pasien Rheumatoid Arthritis Di RSU Dr. Soetomo Surabaya).
Microcrystalline hydroxyapatite adalah bentuk kalsium yang sangat baik untuk
membangun tulang (Upadhyay RK 2017 Role of Calcium Bio-Minerals in
Regenerative Medicine and Tissue Engineering). Penggunaan Microcrystalline
hydroxyapatite digunakan untuk mencegah osteoporosis pada pasien RA,
terutama yang diobati dengan glukokortikoid. Karena glukokortikoid memiliki
efek samping osteoporosis terutama pada lanjut usia dapat terjadi fraktur
osteoporotik pada tulang pinggul dan belakang (BPOM 2014).
6. Rekomendasi obat yang diberikan untuk pasien yaitu Metotreksat. Metotreksat
merupakan obat golongan DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
yang memiliki potensi untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan
integritas dan fungsi sendi dan pada akhirnya mengurangi biaya perawatan dan
meningkatkan produktivitas pasien RA (Perhimpunan Reumatologi Indonesia
2014 Diagnosis dan Perawatan Artritis Reumatoid hal.9). Metotreksat
menghambat produksi sitokin, menghambat biosintesis purin, dan dapat
merangsang pelepasan adenosin, yang semuanya dapat menyebabkan sifat
antiinflamasi (DiPiro et al. 2015 Pharmacotherapy Handbook 9th edition hal.32).
7. Penggunaan asam folat digunakan untuk mencegah dan mengatasi anemia yang
timbul. Jika pasien menggunakan metotreksat, penggunaan asam folat dapat
mengurangi beberapa efek samping tanpa kehilangan kemanjuran (DiPiro et al.
2015 Pharmacotherapy Handbook 9th edition hal.32).
Pasien dengan RA rentan terhadap osteoporosis yang diinduksi steroid dan
penyakit. Selain itu, kortikosteroid, digunakan dalam pengobatan RA,
mengganggu penyerapan kalsium usus. Pengeroposan tulang terjadi secara cepat
dalam 6-12 bulan pertama dari terapi kortikosteroid, sehingga diperlukan
profilaksis kalsium untuk perlindungan minimal dari kerusakan tulang belakang
yang diinduksi oleh kortikosteroid (Rennie KL et al. 2003 Nutritional
management of rheumatoid arthritis: a review of the evidence).
Vitamin D dapat menghambat monosit maupun makrofag untuk mengeluarkan
sitokin proinflamasi (TNF-ɑ, IL-1, dan IFN-γ), juga mengahmbat limfosit T
dalam produksi sitokin proinflamsi. Semakin rendah kadar vitamin D pada pasien
RA, semakin tinggi kadar TNF-ɑ dan semakin berat aktivitas penyakit, derajat
nyeri serta keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Ruliani H dkk.
2014 Korelasi Kadar Vitamin D, dengan TNF-ɑ dan Manifestasi Klinis pada
Pasien Artritis Rematoid). Sehingga penggunaan vitamin D diperlukan pada
pasien RA untuk menghambat pengeluaran sitokin proinflamasi.
8. Perbedaan DMARD dan TNF inhibitor
DMARD TNF Inhibitor
Bersifat relatif slow acting yang Waktu timbulnya respon 2 - 12
memberikan efek setelah 1 - 6 bulan minggu2
pengobatan1
Setiap DMARD mempunyai toksisitas
masing-masing yang memerlukan
persiapan dan monitor dengan cermat3

1,2,3
Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2014 Diagnosis dan Perawatan Artritis Reumatoid hal.9, 12
24
Burke R.A. et al. 2014 Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs
3

4
Harga DMARD lebih murah Harga TNF inhibitor mahal
dibandingkan dengan TNF inhibitor

9. Parameter yang digunakan untuk monitoring RA yaitu, tanda-tanda klinis


perbaikan termasuk pengurangan sendi pembengkakan, penurunan kehangatan di
atas sendi yang aktif terlibat, dan penurunan kelembutan untuk palpasi sendi.
Perbaikan gejala termasuk pengurangan nyeri sendi dan kekakuan pagi, waktu
yang lebih lama untuk memulai kelelahan sore, dan peningkatan kemampuan
untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Radiografi sendi periodik mungkin
berguna dalam menilai perkembangan penyakit. Pemantauan laboratorium
memiliki nilai kecil dalam menilai respons terhadap terapi tetapi penting untuk
mendeteksi dan mencegah efek obat yang merugikan. Tanyakan kepada pasien
tentang adanya gejala yang mungkin terkait dengan efek obat yang merugikan
(DiPiro et al. 2015 Pharmacotherapy Handbook 9th Edition hal.36).

5
Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2014 Diagnosis dan Perawatan Artritis Reumatoid hal.9
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun, dimana pelapis sendi
mengalami peradangan sebagai bagian dari aktivitas sistem imun tubuh. Tanda dan
gejala yang mendukung diagnosa pada pasien tersebut mengalami RA yaitu kekakuan
pada sendi dan rasa terbakar di pagi hari yang berlangsung beberapa jam,
pembengkakan (simetris bilateral), nyeri saat ditekan dan juga terasa panas.
Rekomendasi obat yang diberikan yaitu Prednicort, Forneuro, dan Metotreksat. Rocer
dan Bonepatit dapat diberikan untuk mencegah efek samping yang timbul dari
penggunaan obat-obat RA.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. MIMS. Jakarta: BIP.


Anonim. 2016. ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: ISFI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Glukokortikoid. Diakses dari
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/63-kortikosteroid/632-
glukokortikoid pada 5 Desember 2018 pukul 17.13 WIB.
Birtane M., Selçuk Yavuz, Nurettin Taştekin. 2017. Laboratory evaluation in
rheumatic diseases. Turkey: World J Methodol 2017 March 26; 7(1): 1-8.
Burke R.A., Nicole D.W. 2014. Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs.
PSAP 2014 Chronic Illnesses II.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit
Artritis Rematik. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Ditjen
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
DiPiro J.T., Marie A.C., Barbara G.W., Terry L.S., Patrick M.M., Jill M.K., John
C.R. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. USA: The McGraw-Hill
Companies.
DiPiro J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W., L. Michael Posey.
2014, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 9th Edition. USA:
McGraw-Hill Education.
DiPiro J.T., Barbara G.W., Terry L.S., C.V. DiPiro. 2015. Pharmacotherapy
Handbook 9th Edition. USA: McGraw-Hill Education.
Febriana R. 2007. Studi Penggunaan Obat Pada Pasien Rheumatoid Arthritis Di
RSU Dr. Soetomo Surabaya. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Hopkins T.B. 2005. LAB Notes Guide to LAB & DIAGNOSTIC TESTS. Philadelphia:
F.A. Davis Company.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kemenkes RI.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014. Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Rennie K.L., J. Hughes, R. Lang, S.A. Jebb. 2003. Nutritional management of
rheumatoid arthritis: a review of the evidence. United Kingdom: J. Hum.
Nutr. Dietet, 16, pp.97-109.
Ruliani H., Handono K., B.P. Putra Suryana, dan Kusworini H. 2014. Korelasi Kadar
Vitamin D, dengan TNF-ɑ dan Manifestasi Klinis pada Pasien Artritis
Rematoid. Malang: Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 1.
Upadhyay RK. 2017. Role of Calcium Bio-Minerals in Regenerative Medicine and
Tissue Engineering. India: Journal of Stem Cell Research & Therapeutics
Volume 2 Issue 6.

Anda mungkin juga menyukai