Anda di halaman 1dari 11

Abstrak

Anak-anak dan pendidikan merupakan dua unsur yang saling berkaitan. Baik pemerintah pusat
maupun daerah juga telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur pendidikan anak. Tetapi
faktanya, pendidikan bagi anak jalanan selama ini masih dihadapkan pada beberapa kendala dalam
penerapannya. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang. Penelitian ini adalah hasil studi lapangan
untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana upaya pemenuhan hak pendidikan anak jalanan
di Kota Padang. Penelitian dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif dimana teknik
pengumpulan data dengan wawancara kepada beberapa pemangku kepentingan terkait dengan
kebijakan ini, mengamati fenomena yang terkait dengan kebijakan, dan melakukan penelitian
kepustakaan dari berbagai referensi seperti dokumen pemerintah dan penelitian ilmiah dan diuji
dengan teknik triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa kesulitan
selama pemenuhan pendidikan anak jalanan untuk dilaksanakan oleh segelintir pemangku
kepentingan. Selain itu, ketidak mampuan dari kebijakan tersebut untuk memberikan kejelasan pada
setiap proses implementasi kebijakan sehingga output dari kebijakan tersebut belum dapat dicapai
secara maksimal.

Kata Kunci

Pemenuhan Hak, Hak Pendidikan Anak Jalanan, Kota Padang

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif dimana teknik pengumpulan data
dengan wawancara kepada beberapa pemangku kepentingan terkait dengan kebijakan ini,
mengamati fenomena yang terkait dengan kebijakan, dan melakukan penelitian kepustakaan dari
berbagai referensi seperti dokumen pemerintah dan penelitian ilmiah dan diuji dengan teknik
triangulasi sumber

Pendahuluan

Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta generasi penerus masa depan. Sebagai
penerus masa depan suatu bangsa, anak-anak harus menerima kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik jasmani maupun rohani. Pemenuhan hak-hak
anak menjadi hal yang mutlak agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat
menghasilkan generasi yang berkualitas. Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mempertimbangkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Berdasarkan hasil Konvensi Hak Anak (KHA), bentuk-bentuk hak anak hak terdiri dari 4 kategori.
Eddyono (2007:2) menjelaskan bahwa hal-hal yang terkandung dalam KHA, yaitu hak untuk bertahan
hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk hak untuk berpartisipasi.

Azizi (2014: 1) dalam penelitiannya menjelaskan secara lebih spesifik, hak atas pembangunan, berarti
bahwa hak atas perkembangan anak adalah hak yang meliputi segala bentuk pendidikan, baik formal
maupun nonformal serta hak untuk mencapai taraf hidup yang layak perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral, dan sosial.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi yang dapat menentukan masa depan bangsa,
seperti yang disampaikan oleh Haryani dan Hermawati (2019: 37) bahwa pendidikan adalah investasi
masa depan. Jadi pendidikan yang diperoleh dan harus menikmati pendidikan yang berkualitas dan
memiliki unggulan, guna membekali diri menghadapi tantangan kehidupan di era global yang sangat
kompetitif (Rasyid, 2015: 566).

Oleh karena itu, Deawinadry dan Hashim dalam penelitiannya (2017:158) berpendapat bahwa
negara, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua wajib memberikan perlindungan
dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya. Untuk
mengekspresikan keprihatinan atas masalah ini dengan serius, pemerintah telah mengeluarkan
beberapa kebijakan yang menjadi dasar untuk menjamin pemenuhan hak pendidikan anak, seperti
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, serta dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang kebijakan pemenuhan hak
pendidikan anak.

Seiring berjalannya waktu, kebijakan terkait upaya pemenuhan hak anak juga dikeluarkan oleh
pemerintah daerah. Di Kota Padang, bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
berupa Peraturan Daerah Kota Padang No. 2 Tahun 2012 tentang Pembinaan dan Perlindungan
Anak. Pada badan kebijakan mencakup semua aturan yang berkaitan dengan hak anak termasuk hak
pendidikan anak.

Pemerintah pusat dan daerah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah-masalah
terpenuhinya hak-hak anak. Itu dikonfirmasi oleh fakta aturan yang ada atau kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah yang mengatur tentang pemenuhan hak anak. Namun, dalam rangka
pemenuhan hak pendidikan, serta akses terhadap pendidikan masih dihadapkan pada beberapa
kendala, karena ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat sebagaimana
ditegaskan Affandi (2017: 220) seperti pertama, kurangnya ketersediaan sarana pendidikan yang
memadai untuk menampung semua peserta didik; Kedua, biaya pendidikan masih harus ditanggung
oleh orang tua siswa peserta didik; ketiga, kebijakan yang dikeluarkan oleh negara, dalam hal ini baik
pemerintah pusat maupun daerah, yang disinyalir belum sepenuhnya membuka kesempatan yang
sama bagi semua orang dalam memperoleh pendidikan secara terbuka, merata, dan adil. Tamara
dalam penelitiannya (2017: 59) menyebutkan bahwa faktor lain yang sering menjadi penyebab
masalah yang dihadapi anak adalah faktor lingkungan.

Tingginya angka putus sekolah dapat menjadi indikator sulitnya memenuhi hak pendidikan dapat
tercapai. Fenomena ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti: Jamiludin dkk menegaskan
(2018: 103) bahwa kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan dalam kehidupan
mereka juga menjadi salah satu penyebab kurangnya kesadaran untuk memperoleh pendidikan yang
layak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mendekati mereka secara pribadi.
Di Sumatera Barat, Kota Padang menjadi peringkat pertama dengan angka putus sekolah tertinggi
dibandingkan 18 kabupaten/kota. kabupaten/kota pada tahun ajaran 2017/2018 dengan jumlah
putus sekolah pada semua jenjang pendidikan sebanyak 622 orang (Kemendikbud, 2017/2018).

Fenomena putus sekolah juga berdampak pada lingkungan. Seperti yang ditulis oleh Gunawan dalam
penelitian Muamalah (2017:6) mengatakan bahwa masalah anak putus sekolah khususnya di
pendidikan tingkat bawah, lalu tidak bekerja dan pendapatan tetap, dapat menjadi beban
masyarakat dan sering mengganggu ketentraman masyarakat. Masalah putus sekolah dapat
menyebabkan gangguan dalam masyarakat berupa kenakalan yang bertentangan dengan norma
sosial yang positif. Salah satu jenis gangguan ketentraman masyarakat mungkin adanya anak jalanan.
Sesuai Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembinaan dan Perlindungan
Anak, anak jalanan dimaknai dengan anak sebagian besar waktunya di jalan-jalan atau tempat-
tempat umum dengan minimal empat jam sehari dalam waktu satu bulan. Selanjutnya dalam
Peraturan Walikota Padang Nomor 41 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pembinaan Anak Jalanan,
menjelaskan bahwa anak jalanan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu anak jalanan anak usia lima tahun,
anak jalanan usia sekolah, dan anak jalanan usia produktif. Anak jalanan usia balita adalah anak
jalanan usia 0-5 tahun. Anak jalanan sekolah adalah anak jalanan usia 6-15 tahun. Dan anak jalanan
usia produktif adalah jalanan anak usia 14-18 tahun.

Idealnya, setiap anak yang berusia di bawah 18 tahun tetap berada di bawah tanggung jawab dan
pengawasan orang tuanya secara penuh. Tetapi beberapa anak bernasib kurang beruntung sehingga
mereka harus pergi ke jalan-jalan untuk mendapatkan uang. Sebagaimana dikemukakan oleh
Jamiludin dkk (2018:103) bahwa anak-anak ini berhak mendapatkan pendidikan yang layak untuk
meningkatkan pengetahuan dan waktu bermain dan berkumpul dengan teman mereka, tetapi
karena masalah keuangan, mereka tidak dapat memperoleh apa yang seharusnya mereka dapatkan.
Sebaliknya, mereka lebih mementingkan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Anak jalanan merupakan kelompok yang paling rentan dalam upaya pemenuhan hak pendidikan.
Wandimu dan Laha dalam penelitiannya (2016: 1) menunjukkan bahwa mereka (anak jalanan) kerap
kali tidak memiliki pendidikan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk menghadapi faktor
risiko dan mengatasi kesulitan. Demikian pula, IEC dan Thompson dalam Kisirkoi & Mse (2016:89)
mengatakan bahwa sulit untuk anak jalanan untuk mendaftar dan Werner di pusat-pusat
pembelajaran dan sekolah. Apalagi berdasarkan hasil penelitian Nature dan Wajidi (2014:55)
menemukan bahwa mereka (anak jalanan) mengeluh bahwa mereka ditolak masuk di sekolah negeri
dan swasta. Anak-anak juga memprotes bahwa mereka diperlakukan di masyarakat sebagai
rombongan yang ditolak. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pendekatan khusus dalam
pemenuhan hak pendidikan berjalan secara optimal sehingga dapat meminimalisir diskriminatif dan
bertentangan dengan amanat undang-undang.

Kebijakan pendidikan anak jalanan di Indonesia dikelola sepenuhnya oleh masing-masing


pemerintah daerah sebagai bentuk desentralisasi pendidikan (Syahrul dan Ward, 2017: 118). Jadi
untuk mengantisipasi tindakan diskriminatif terhadap pendidikan anak jalanan, pemerintah Kota
Padang telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pembinaan dan Perlindungan Anak, yang di dalam tubuh peraturan tersebut satu bagian yaitu pada
pasal 30 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk: melaksanakan
kesejahteraan sosial bagi anak jalanan, dan kesejahteraan sosial dapat berupa pemberian layanan
pendidikan. Dalam Pasal 24 juga disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan
kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Kebijakan tersebut menjadi
dasar dalam pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang.

Dalam rangka mengikuti kebijakan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pembinaan dan Perlindungan Anak, terkait dengan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan,
Pemerintah Kota Padang meluncurkan turunan dari kebijakan seperti Peraturan Walikota Padang
Nomor 41 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pembangunan Anak Jalanan dimana dalam Pasal 19 huruf f
disebutkan bahwa salah satu upaya rehabilitasi anak jalanan pada usia sekolah adalah dengan
penempatan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 20 (6) penempatan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 19 adalah kegiatan pengembalian kepada keluarga dan atau difasilitasi memperoleh
kesempatan mengikuti pendidikan formal dan nonformal.
Selain berdasarkan peraturan daerah dan peraturan walikota yang telah dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Padang, dalam rangka pemenuhan hak pendidikan anak jalanan adalah juga
didukung dengan MoU yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Padang bersama dengan beberapa
pemangku kepentingan seperti Dinas Pendidikan Kota Padang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Padang.

Namun demikian, meskipun telah ada beberapa kebijakan yang menjadi undang-undang dalam
memenuhi hak pendidikan anak jalanan, masih terdapat beberapa fenomena dan intensitas
kehadiran anak jalanan. Pemenuhan hak pendidikan menjadi sangat sulit; di kenyataannya belum
berfungsi secara optimal. Aulia (2018: 333) merinci bahwa selama ini perhatian yang diberikan
kepada anak jalanan belum mencukupi karena belum adanya upaya pemerintah untuk
memberdayakan anak jalanan, itu bisa dilihat dari anak-anak yang masih berada di jalanan.

Hal ini juga berimplikasi pada peningkatan jumlah kasus anak jalanan yang terjadi di Kota Padang
beberapa tahun terakhir. Hal ini juga erat kaitannya dengan status pendidikan. Hal ini relevan
dengan apa yang ditegaskan Raharjo (2018:63) bahwa salah satu penyebab keberadaan anak jalanan
yang menggantungkan hidupnya di jalan adalah karena faktor pendidikan. Pendidikan harus
diberikan kepada anak jalanan sebagai hak mereka dan bukan sebagai bantuan. Oleh karena itu,
tidak boleh ada diskriminasi juga ada dalam kualitas pendidikan untuk anak-anak tersebut (Alam dan
Wajidi, 2014:55).

Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengevaluasi bagaimana pelaksanaan
kebijakan pendidikan yang dilakukan untuk pemenuhan hak anak jalanan Kota Padang. Analisis
implementasi kebijakan dan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang akan
memberikan pengetahuan dan pilihan terkait pemangku kepentingan sebagai perbaikan di masa
mendatang.
Penerapan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Jalanan di Kota Padang

Masalah publik sebagai syarat pemenuhan hak atas pendidikan anak jalanan membutuhkan
kerjasama dari semua lapisan pemangku kepentingan dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
kesesuaian hierarkis di antara para pemangku kepentingan tersebut. Salah satu karakteristik penting
yang harus dimiliki oleh setiap peraturan perundang-undangan adalah kemampuan
mengintegrasikan hierarki lembaga pelaksana. Agustino (2014: 146) mengatakan bahwa koordinasi
antar instansi bertujuan untuk memperlancar jalannya implementasi kebijakan. Menurut Subarsono
(2006:97), Kegagalan suatu program seringkali disebabkan oleh kurangnya koordinasi vertikal dan
horizontal antar instansi terkait dalam pelaksanaan program. Kelonggaran integrasi antara instansi
pelaksana akan menimbulkan variasi dalam pelaksanaan antar pemangku kepentingan karena
mereka akan merespon dengan melakukan modifikasi tertentu sesuai dengan insentif untuk
memodifikasi. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang baik harus memiliki kemampuan untuk
mengintegrasikan hierarki kebijakan lembaga pelaksana.

Implementasi kebijakan pemenuhan hak pendidikan, khususnya untuk anak jalanan sebagai
kelompok sasaran yang ditangani oleh Pemerintah Kota Padang melalui program penanganan anak
jalanan dan pola pembangunan terpadu dimana Program ini dicanangkan oleh Dinas Sosial Kota
Padang. Menurut Peraturan Walikota Padang Nomor 72 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan
Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Dinas Sosial Kota Padang menjelaskan bahwa dinas tersebut
mempunyai tugas membantu Walikota melaksanakan urusan pemerintahan bidang sosial, mulai dari
masalah sosial, sosial kesejahteraan, hingga rehabilitasi sosial, termasuk masalah yang berkaitan
dengan anak jalanan.

Aulia (2018: 332) mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan kemitraan dengan pihak luar
dimana otoritas pemerintah memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengembangkan
kemitraan antar instansi pemerintah maupun dengan masyarakat dan sektor swasta. ini telah
dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang, dimana pemerintah melalui Dinas Sosial Kota Padang
sebagai lembaga yang concern dalam menangani masalah sosial meluncurkan program penanganan
anak jalanan melalui pola pembangunan yang terintegrasi dengan menciptakan bentuk MoU
kerjasama dengan instansi terkait, seperti Dinas Pendidikan Kota Padang, Pemkot dan dibantu juga
oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Padang.

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Padang mempunyai tugas untuk menangkap anak jalanan di Kota
Padang, namun sering terjadi mobilitas atau perpindahan anak jalanan dari satu lokasi ke lokasi lain
yang mempersulit pendataan yang akan dilakukan (Nurhidayat, 2012:13). Sekali tertangkap, anak
jalanan akan dikomunikasikan dengan Dinas Sosial Kota Padang dan dicatat kembali, kemudian
diputuskan bagaimana bentuk tindak lanjut yang akan diambil dalam penanganan anak jalanan
terjaring. Setelah ditangkap dan direkam kembali di dinas sosial, terkait dengan upaya pemenuhan
hak pendidikan, dinas sosial bekerjasama dengan dinas pendidikan.

Dalam hal ini, sesuai dengan pedoman penanganan anak jalanan, Dinas Pendidikan Kota Padang
bertugas memfasilitasi anak jalanan yang telah dibina untuk kembali ke lingkup pendidikan baik
formal maupun nonformal. Itu juga sesuai dengan tugas dinas pendidikan seperti Pendidikan anak
usia dini, baik formal maupun informal yang merupakan salah satu bagian dari Dinas Pendidikan
Kota Padang yang mempunyai tugas mengurus urusan Pemerintah Daerah di bidangnya pendidikan
anak usia dini, formal dan informal. Namun dinas pendidikan tidak bertindak sendiri melainkan
dioperasikan oleh lembaga nonformal bernama CLC (Community Learning Center). Sehingga
program pendidikan kesetaraan yang dijalankan oleh CLC berada dalam pembinaan dan pengawasan
Bagian Pendidikan Anak Usia Dini.
Pelaksanaan Pemenuhan Hak Pendidikan pada Anak Jalanan di Kota Padang

Implementasi menjadi tahapan penting dalam proses kebijakan dalam mencapai tujuan kebijakan.
Implementasi kebijakan dapat dilihat dengan membandingkan target dari kebijakan pemerintah
(tujuan dan manfaat) dengan penerima kebijakan dalam hal ini adalah masyarakat. Artinya jika isi
kebijakan yang dikeluarkan memberikan manfaat bagi masyarakat maka kebijakan ini dianggap
berhasil. Sebaliknya, ketika orang menganggap bahwa program yang dikeluarkan pemerintah tidak
cukup efektif maka kebijakan ini dianggap gagal. Sedangkan Keban (2008:67) mengatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan langkah dimana kebijakan tersebut telah diterapkan oleh unit-
unit administrasi tertentu untuk memobilisasi danadan sumber daya yang tersedia.

Mazmanian dan Sabatier (1979: 541) berpendapat bahwa peran penting implementasi analisis
adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor hukum mempengaruhi pencapaian tujuan sepanjang
seluruh proses ini. Dalam melaksanakan kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan,
Pemerintah Kota Padang melalui Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Satuan Polisi Pamong Praja
menjadi penggerak utama dalam pelaksanaan kebijakan ini. Setiap lembaga atau instansi yang
terlibat memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Teknis pelaksanaan kebijakan ini dilakukan oleh
masing-masing tugas masing-masing instansi pemerintah daerah yang terlibat dan mengacu pada
pedoman pelaksanaan penanganan anak jalanan yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Kota Padang
berdasarkan kesepakatan (MoU) dalam penanganan anak jalanan melalui pola pembangunan
terpadu dilakukan oleh Dinas Sosial sebagai leading sector.

Secara teknis implementasi kebijakan ini akan dilakukan terlebih dahulu oleh Aparatur Sipil Negara
Satpol PP Kota Padang selaku pihak berwajib melakukan penangkapan terhadap anak jalanan
tersebut, dan anak jalanan yang sudah terjaring akan diserahkan ke Dinas Sosial. Setelah itu anak
yang ditangkap dan diserahkan ke Dinas Sosial, maka Dinas Sosial akan melakukan penilaian dan
survey terhadap anak jalanan, dan anak jalanan akan divalidasi perasaan atau keinginan apakah
mereka memiliki keinginan untuk bisa mendapatkan pendidikannya kembali atau tidak. Jika anak
jalanan mengatakan bahwa mereka akan belajar lagi, Dinas Sosial akan berkoordinasi dengan Dinas
Pendidikan untuk selanjutnya difasilitasi oleh Dinas Pendidikan. Hal ini sesuai dengan tugasnya,
sebagaimana tercantum dalam pedoman penanganan anak jalanan. Namun, untuk sampai pada
tahap ini tidaklah mudah.

Dari hasil studi lapangan, ditemukan bahwa kesulitan teknis masalah yang hendak dikendalikan juga
dipengaruhi oleh faktor lain seperti keragaman perilaku kelompok sasaran. Variabilitas ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat
diartikan pada preferensi pribadi mereka sendiri, sedangkan Faktor eksternal dapat diartikan dengan
pengaruh lingkungan dan pengetahuan yang membuat mereka merespons secara berbeda
tergantung pada kebijakan. Mereka (anak jalanan) adalah warga negara yang berhak atas pelayanan
pendidikan, namun di sisi lain tidak dapat meninggalkan kebiasaan hidup di jalanan (Tarwilah, 2013:
61).

Seperti yang dikemukakan oleh Nugroho (2014) bahwa anak jalanan akan berpikir terlebih dahulu
tentang apa yang diperoleh dari keikutsertaan dalam kegiatan penahanan. Tentang implementasi
kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang, terlihat bahwa Kecenderungan
yang terjadi di antara perilaku kelompok sasaran ini adalah adanya penolakan dari mereka untuk
difasilitasi pendidikannya

Selain itu, karena keragaman perilaku kelompok sasaran kebijakan ini, pendokumentasian data
dengan baik juga berdampak pada mudah atau tidaknya masalah untuk dikendalikan. Hal ini
berkaitan dengan persentase jumlah penduduk kelompok sasaran yang merupakan masalah yang
sulit dikendalikan ketika pelaksana tidak mengetahui dengan baik dan tidak bisa dipetakan dengan
jelas kelompok sasaran mana dan populasi mana. Seperti dikatakan Andari (2016:81) mengatakan
bahwa kendala penanganan yang dihadapi pemerintah sulit untuk memperoleh data yang tepat
tentang anak jalanan karena mobilitasnya cukup tinggi. Dari hasil studi lapangan, diketahui bahwa
Dinas Sosial Kota Padang tidak memiliki data yang terdokumentasi dengan baik, sehingga mereka
juga tidak tahu bagaimana memetakan dari kelompok sasaran untuk kebijakan ini, hingga pada
akhirnya hal ini akan semakin membuat teknis kebijakan ini menjadi semakin sulit dilakukan ketika
mereka tidak tahu dan tidak memiliki data terkait dengan status pendidikan anak jalanan.

Di sisi lain, cakupan atau cakupan kebijakan perubahan perilaku yang diinginkan juga akan
mempengaruhi mudah tidaknya masalah dikendalikan (Wahab, 2012: 83). Dalam konteks
implementasi kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan, perilaku perubahan yang
diharapkan berkaitan dengan kesadaran mereka untuk menyadari pendidikan mereka, tetapi seperti
yang telah dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2006:96) bahwa suatu
program yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan atau kognitif akan relatif lebih mudah
diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat. Seperti
halnya dengan pemenuhan kebijakan yang tepat terhadap pendidikan anak jalanan, maka dapat
disimpulkan bahwa secara garis besar pelaksanaannya Kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak
jalanan merupakan persoalan yang sulit untuk dihadapi.

Pada prinsipnya setiap kebijakan harus mampu menyusun proses implementasinya (Wahab,2012:
86), hal ini dapat dilihat melalui beberapa poin yang dianggap penting dan untuk memperjelas
maksud dari variabel ini adalah untuk menggambarkan tujuan formal yang ingin dicapai secara jelas
(kejelasan isi kebijakan), kecukupan teori kausal yang memadai, ketepatan alokasi sumber daya
keuangan atau kebijakan keuangan yang memadai, kohesi hierarki di dalam dan di antara lembaga
pelaksana, kejelasan, dan konsistensi aturan yang ada tentang lembaga pelaksana, tingkat komitmen
pegawai pemerintah terhadap tujuan kebijakan, serta memberikan akses atau kesempatan untuk
berpartisipasi kepada pihak luar atau swasta atau lembaga swadaya masyarakat dalam proses
pelaksanaannya.

Jika dilihat dari kemampuan kebijakan tersebut dalam mengelaborasi kejelasan tujuan kebijakan
berdasarkan hasil di lapangan dapat diketahui bahwa kejelasan isi kebijakan pemenuhan hak
pendidikan anak jalanan di Kota Padang masih belum berfungsi secara optimal. Hal ini disebabkan
oleh kebijakan pemenuhan hak pendidikan atas anak jalanan bukanlah kebijakan dengan
nomenklaturnya sendiri, yaitu 'kebijakan pemenuhan' hak pendidikan anak jalanan, tetapi
terkandung dalam tubuh kebijakan lain dan dengan nomenklatur lain pula, sehingga berdasarkan
hasil wawancara dengan informan dicatat bahwa ada beberapa pelaksana yang kurang memahami
tentang kebijakan ini, yaitu dimana hal ini mengakibatkan jalannya pelaksanaan kebijakan
pemenuhan pendidikan hak anak jalanan itu sendiri.

Secara umum kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang telah memiliki teori
kausal yang memadai, dan ditandai dengan memiliki beberapa aturan yang menjadi hukum
kebijakan ini seperti Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembinaan dan
Perlindungan Anak serta Padang Peraturan Walikota Nomor 41 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Pembinaan Anak Jalanan. Namun jika dilihat lebih banyak aturan yang telah dimiliki Pemkot Padang
sebagai perlindungan hukum kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan tetap dapat
dikatakan minim, karena perlindungan hukum belum mampu memberikan kejelasan kebijakan
secara lebih spesifik.
Dari sisi anggaran, Pemkot Padang mencatatkan pencapaian anggaran yang cukup baik dan
dianggarkan di APBD Kota Padang bidang pendidikan. Pendanaan dianggarkan pada tahun 2018
meningkat menjadi Rp. 230 miliar sebelumnya Rp. 209 miliar pada tahun 2017. Dana ini akan
dialokasikan untuk semua jenis kebutuhan pendidikan, termasuk untuk dana pendidikan yang dapat
diakses dan dinikmati oleh anak jalanan: pemerataan pendidikan/paket. Dinas Pendidikan Kota
Padang merupakan salah satu instansi yang mendapatkan dana dari APBD Kota Padang. Ini juga
memiliki pengaturan anggaran yang memenuhi pemerataan pendidikan. Namun, anggaran yang
dialokasikan oleh dinas pendidikan relatif tidak mencukupi, hal ini dibuktikan dengan temuan di
lapangan bahwa besaran anggaran pada pelaksanaan pemerataan pendidikan selama tiga tahun
terakhir akan kurang dari jumlah dana yang dialokasikan dalam rencana anggaran Biaya. Pusat
pembelajaran sebagai institusi dan operasional pemerataan pendidikan juga merasakan dampak dan
mengalami kesulitan keuangan yang disebabkan oleh ketidakpastian bantuan yang akan disalurkan
melalui dinas pendidikan.

Sedangkan jika dilihat dari anggaran yang ada ke Dinas Sosial diketahui bahwa dinas sosial tidak
memiliki anggaran yang dikhususkan untuk kegiatan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan,
namun anggaran untuk kegiatan tersebut digabungkan dengan beberapa kegiatan lain yang
berkaitan dengan anak jalanan pada anggaran program untuk penanganan anak jalanan secara
keseluruhan. Dapat disimpulkan bahwa dari segi alokasi sumber daya/keuangan masih belum
berjalansecara optimal dan maksimal.

Sehubungan dengan kemampuan kebijakan dalam penataan proses implementasi, suatu kebijakan
harus mampu menjelaskan dan menggambarkan integrasi hierarki di dalam dan di antara lembaga
pelaksana. Integrasi hierarki dapat dilihat melalui kualitas koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan.
Bila dilihat di pelaksanaan kebijakan pendidikan terhadap pemenuhan hak anak jalanan di
Pemerintah Kota Padang atas temuan di lapangan dapat disimpulkan bahwa integrasi hierarki atau
koordinasi yang ada belum optimal. Umumnya hal ini disebabkan oleh kelemahan dalam
mengelaborasi kebijakan dan menjelaskan isi kebijakan sehingga akan berdampak tidak hanya pada
satu aspek. Selain integrasi hierarki ini, koordinasi yang lemah disebabkan oleh kerancuan aturan
yang ada, baik dari kebijakan itu sendiri maupun aturan dari lembaga pelaksana.

Faktor lain yang juga mempengaruhi proses implementasi kebijakan adalah sejauh mana peluang
partisipasi terbuka untuk swasta dan organisasi non-pemerintah. Terlihat Pemerintah Kota Padang
telah membuka peluang untuk partisipasi di sektor swasta dan LSM. Hal ini dibuktikan dengan
keterlibatan Community Learning Center (CLC), tetapi akses partisipasi CLC sebagai pihak luar tidak
memiliki kepastian hukum terkait keikutsertaan dan pembatasan terkait yang harus mereka lakukan.
Jadi faktanya CLC bisa menolak anak jalanan yang mau ikut pendidikan sewenang-wenang. Dalam hal
ini, PPK tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena tidak ada kejelasan tentang aturan main dan
aturan keterlibatan mereka dalam pemenuhan hak atas pendidikan dari anak jalanan.

Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, lingkungan di luar kebijakan jauh melampaui


dampaknya berpengaruh pada hasil yang telah disusun oleh kebijakan. Adapun lingkungan yang
dimaksud dalam variabel ini berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan
masyarakat, sikap pemilih, dukungan atasan, serta tingkat komitmen dan keterampilan petugas dan
pelaksana.

Terkait dengan kondisi sosial ekonomi dan teknologi, maka dari segi kebijakan pelaksanaan
pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang dan berdasarkan studi lapangan ditemukan
bahwa anak jalanan memiliki kecenderungan untuk menolak kebijakan ini karena kondisi ekonomi
yang rendah sehingga mereka terpaksa tetap berada di jalan daripada memilih pendidikan mereka.
Sementara itu, sudut pandang kondisi sosial, berdasarkan hasil studi lapangan, diketahui bahwa
permasalahan sosial yang berkaitan dengan anak jalanan, belum menjadi kepedulian pemerintah,
yang tercermin dalam tindakan yang dilakukan oleh kedua Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota
Padang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di dinas sosial dan dinas Pendidikan menunjukkan
bahwa masih banyak masalah yang lebih mendesak daripada masalah pendidikan anak jalanan.
Sehingga kecenderungannya adalah sikap yang “setengah-setengah” untuk menyelesaikan masalah
ini, itu juga dirasakan oleh masyarakat, terlihat dukungan masyarakat dalam kebijakan ini masih
terbilang “antara”dan tidak" karena masih banyak orang yang tidak begitu peduli dengan masalah
ini, bukan setidaknya di daerah pemilihan atau kelompok yang menjadi anggota dewan konstituen.

Kelompok pemilih dimaknai sebagai kelompok yang mampu memberikan intervensi terhadap
keputusan yang dibuat oleh badan pelaksana. Dalam penelitian ini, Masyarakat Daerah MPR Kota
Padang digunakan sebagai bagian dari kelompok pemilih sebagai tidak relevan dengan makna
pemilih. Dari hasil studi lapangan ditemukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
berwenang untuk menyusun kebijakan atau peraturan daerah belum memiliki niat untuk
merumuskan kebijakan yang lebih spesifik terkait dengan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa peranan kelompok pemilih belum mampu memberikan dampak
yang signifikan dalam mensukseskan pelaksanaan kebijakan pendidikan terhadap pemenuhan hak
anak jalanan pemerintah kota Padang.

Pelaksanaan kebijakan pemenuhan hak pendidikan jalanan anak-anak juga tidak kebal terhadap
dukungan resmi pengawas. Ukuran dukungan yang diberikan oleh para pemangku kepentingan
dapat memberikan dampak yang cukup besar dalam proses implementasi kebijakan. Dukungan bisa
melalui beberapa cara. Di Kota Padang, seorang atasan dapat memberikan dukungan dalam bentuk
material baik berupa anggaran maupun non material motivasi. Namun berdasarkan kenyataan di
lapangan diketahui bahwa atasan, dalam hal ini, apakah atasan di Dinas Pendidikan Kota Padang
belum dinilai? untuk memberikan dukungan yang optimal, terutama pada dukungan materi. Hal ini
dibuktikan dengan besarnya jumlah anggaran yang dianggarkan oleh bawahannya untuk
pelaksanaan pemerataan pendidikan atau paket-paket yang tidak akan disetujui seperti jumlah yang
telah dirancang. Dana yang disetujui selalu di bawah target anggaran yang telah dirancang oleh
bawahannya.

Hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya pada akhirnya akan mengarah pada komitmen dari
pelaksana kebijakan. Jika dilihat dan dipertimbangkan lebih lanjut, ada poin masalah variabel
lingkungan kebijakan ini, yang dimulai dari kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan
masyarakat, sikap kelompok pemilih, dan dukungan atasan akan erat kaitannya dengan komitmen
pelaksana kebijakan. Namun tidak bisa dipungkiri ada hal lain yang menjadi kendala dalam
pelaksanaannya proses kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Jika dilihat melalui tahapan pelaksanaan, masing-masing tahapan yang dapat disebut sebagai titik
akhir (Wahab, 2012: 103), setiap tahap juga merupakan masukan untuk sukses di tahap lainnya.
Tahapan proses implementasi adalah keluaran kebijakan dari lembaga pelaksana, kepatuhan
kelompok sasaran terhadap keluaran kebijakan, dampak nyata dari kebijakan, hasil kebijakan yang
dirasakan, dan pada akhirnya mengarah pada perbaikan peraturan.

Hasil kebijakan dari instansi pelaksana yaitu Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Padang berupa
upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memenuhi. hak pendidikan anak jalanan dapat terlaksana
dengan baik. Berdasarkan beberapa hasil wawancara dengan informan dapat menyimpulkan bahwa
output dari kebijakan pemenuhan hak pendidikan terhadap anak jalanan dimudahkan untuk
menempuh pendidikan tanpa didiskriminasi atau dibuat sulit mendapatkannya karena adanya
kerjasama dengan dinas pendidikan.

Namun, tidak semua peraturan berhasil diimplementasikan (Deawinadry and Hasyim, 2017: 174).
Yang terjadi pada kenyataannya adalah kepatuhan kelompok sasaran terhadap output kebijakan
tidak sejalan dengan output kebijakan. Hal ini ditandai dengan penolakan anak jalanan sebagai
kelompok sasaran untuk difasilitasi hak-hak pendidikannya. Pada dasarnya, penolakan yang terjadi
karena faktor yang melekat pada kelompok sasaran, selain karena adanya atau tidak adanya sanksi
dalam kebijakan, juga akan berdampak pada pemenuhan target kelompok pada kebijakan. Dalam
kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Pemkot Padang tidak memuat sanksi terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh sasaran kelompok jika tidak mampu bekerjasama dengan instansi
pelaksana.

Seperti terlihat dari Tabel 1, terjadi peningkatan jumlah kasus anak jalanan di berbagai kriteria,
terutama dalam kasus anak jalanan yang tidak mengenyam pendidikan. Kemudian mengacu pada
data tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan kebijakan.

Setelah semua tahapan proses implementasi dipelajari lebih dalam, akhirnya dari proses panjang ini
adalah perbaikan aturan, seperti yang dinyatakan oleh Mazmanian dan Sabatier(1979). Tentang
implementasi kebijakan pemenuhan hak pendidikan atas anak jalanan melihat bahwa ada beberapa
aspek yang perlu dibenahi di masa depan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan,
perbaikan bila diperlukan merupakan pemenuhan hak atas memberlakukan kebijakan terhadap
pendidikan anak jalanan menjadi satu kesatuan produk kebijakan yang berdiri sendiri, bukan
kebijakan yang berada di dalam tubuh kebijakan lain. Langkah-langkah ini perlu diambil mengingat
fakta di lapangan, yang menunjukkan kurangnya pemahaman akan pelaksana kebijakan ini.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kota Padang diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan
pemenuhan hak pendidikan anak jalanan di Kota Padang belum berjalan optimal. Hal ini ditandai
dengan beberapa masalah yaitu ditemukan pada saat kebijakan ini diterapkan seperti berbagai
kesulitan teknis yang dihadapi oleh pelaksana sebagai keragaman perilaku kelompok sasaran yang
sulit ditangkap dan terkontrol, kesulitan dalam mendokumentasikan data dengan baik dan teratur,
dan kesulitan dalam mengubah perilaku kelompok sasaran.

Selain itu, ada hal lain yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan pemenuhan hak
pendidikan anak jalanan, seperti kejelasan kebijakan masih cenderung diburamkan karena kebijakan
ini berada pada badan kebijakan lain sehingga menyebabkan pelaksana sulit memahami isi
kebijakan. Kesalahpahaman tentang pelaksana dalam menerjemahkan kebijakan juga berdampak
pada kurangnya komitmen dan koordinasi antar lembaga yang seharusnya dilakukan jauh lebih
maksimal. Karena itu, Kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak jalanan perlu perbaikan peraturan
perundang-undangan untuk pembuatan kebijakan rinci yang tidak menimbulkan multitafsir.

Selain itu, alokasi dana atau sumber keuangan dalam kebijakan ini dapat dikatakan tidak optimal,
karena dana yang dianggarkan untuk menangani hak pendidikan anak jalanan setiap tahun selalu di
bawah anggaran yang dianggarkan dan setiap dana yang ada tidak dapat dialokasikan dan digunakan
secara optimal. Hal ini terkait dengan kurangnya dukungan yang diberikan oleh atasan karena
mereka memiliki peran penting dalam menyetujui rancangan anggaran yang disusun oleh bawahan.

Anda mungkin juga menyukai