Anda di halaman 1dari 56

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID 19
2.2.2 Pengertian Covid 19
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Struktur
coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di
permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu protein antigen
utama virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini berperan
dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan
reseptornya di sel inang).1

2.2.3 Epidemiologi
Hingga 28 Maret 2020, jumlah kasus infeksi COVID-19 terkonfirmasi
mencapai 571.678 kasus.Awalnya kasus terbanyak terdapat di Cina, namun saat ini
kasus terbanyak terdapat di Italia dengan 86.498 kasus, diikut oleh Amerika dengan
85.228 kasus dan Cina 82.230 kasus. Virus ini telah menyebar hingga ke 199 negara.
Kematian akibat virus ini telah mencapai 26.494 kasus. Tingkat kematian akibat
penyakit ini mencapai 4-5% dengan kematian terbanyak terjadipada kelompok usia
diatas 65 tahun. Indonesia melaporkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, yang diduga
tertular dari orang asing yang berkunjung ke Indonesia. Kasus di Indonesia pun terus
bertambah, hingga tanggal 29 Maret 2020 telah terdapat 1.115 kasus dengan kematian
mencapai 102 jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%, termasuk angka kematian
tertinggi.8Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19mulai
dariusia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di Kota
Wuhan,didapatkan rentang usia 37–78tahun dengan rerata 56 tahun (42-68tahun)
tetapi pasien rawat ICU lebih tua (median 66 tahun (57-78tahun) dibandingkan rawat
non-ICU (37-62tahun) dan 54,3% laki-laki. Laporan 13 pasien terkonfirmasi COVID-
19di luar Kota Wuhan menunjukkan umur lebih mudadengan median 34 tahun (34-
48tahun) dan 77% laki laki.8,9

76
2.2.4 Etiologi dan Patogenesis
Patogenesis infeksi COVID-19belum diketahui seutuhnya.Pada awalnya
diketahui virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS CoV, tetapi
dari hasil evaluasi genomikisolasi dari 10 pasien, didapatkan kesamaan mencapai 99%
yang menunjukkan suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik88%) dengan
bat-derived severe acute respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses, bat-SL-
CoVZC45 dan bat-SL-CoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina
bagian Timur, kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi dengan
MERS-CoV (50%). Gambar menunjukkan evaluasi filogenetik COVID-19 dengan
berbagai virus corona. Analisis filogenetik menunjukkan COVID-19 merupakan
bagian dari subgenus Sarbecovirus dan genus Beta coronavirus.9 Penelitian lain
menunjukkan protein (S) memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target.
Proses ini bergantung pada pengikatanprotein S ke reseptor selular dan primingprotein
S ke protease selular. Penelitian hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses
masuknya COVID-19ke dalam sel mirip dengan SARS.4Hai ini didasarkan pada
kesamaan struktur 76% antara SARS dan COVID-19. Sehingga diperkirakan virus ini
menarget Angiotensin Converting Enzyme2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan
menggunakan serine protease TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun hal ini
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut4,10Proses imunologik dari host
selanjutnya belum banyak diketahui. Dari data kasus yang ada,pemeriksaan sitokin
yang berperan pada ARDS menunjukkan hasil terjadinya badai sitokin (cytokine
storms) seperti pada kondisi ARDS lainnya. Dari penelitian sejauh ini,ditemukan
beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu: interleukin-1 beta(IL-1β), interferon-
gamma (IFN-γ), inducible protein/CXCL10 (IP10)dan monocyte chemoattractant
protein1 (MCP1) serta kemungkinan mengaktifkan T-helper-1 (Th1).1,4Selain sitokin
tersebut, COVID-19juga meningkatkan sitokin T-helper-2 (Th2) (misalnya, IL4 and
IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda dari SARS-CoV. Data lain juga
menunjukkan,pada pasien COVID-19di ICU ditemukan kadar granulocyte-colony
stimulating factor(GCSF), IP10, MCP1, macrophage inflammatory proteins1A
(MIP1A)dan TNFαyang lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak memerlukan

77
perawatan ICU. Hal ini mengindikasikan badai sitokin akibat infeksi COVID-19
berkaitan dengan derajat keparahan penyakit.1,4

2.2.5 Penularan
Virus corona merupakan zoonosis, sehingga terdapat kemungkinkan virus
berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia. Pada COVID-19 belum diketahui
dengan pasti proses penularan dari hewan ke manusia, tetapi data filogenetik
memungkinkan COVID-19 juga merupakan zoonosis. Perkembangan data selanjutnya
menunjukkan penularan antar manusia (human to human), yaitu diprediksi melalui
droplet dan kontak dengan virus yang dikeluarkan dalam droplet. Hal ini sesuai
dengan kejadian penularan kepada petugas kesehatan yang merawat pasien COVID-
19, disertai bukti lain penularan di luar Cina dari seorang yang datang dari Kota
Shanghai,Cina ke Jerman dan diiringi penemuan hasil positif pada orang yang ditemui
dalam kantor. Pada laporan kasus ini bahkan dikatakan penularan terjadi pada saat
kasus indeks belum mengalami gejala (asimtomatik) atau masih dalam masa
inkubasi.Laporan lain mendukung penularan antar manusia adalah laporan 9 kasus
penularan langsung antar manusia di luar Cina dari kasus index ke orang kontak erat
yang tidak memiliki riwayat perjalanan manapun.2,11Penularan ini terjadi umumnya
melalui droplet dan kontak dengan virus kemudian virus dapat masuk ke dalam
mukosa yang terbuka. Suatu analisis mencoba mengukur laju penularan berdasarkan
masa inkubasi, gejala dan durasi antara gejala dengan pasien yang diisolasi. Analisis
tersebut mendapatkan hasil penularan dari 1 pasien ke sekitar 3 orang di sekitarnya,
tetapikemungkinan penularan di masa inkubasi menyebabkan masa kontak pasien ke
orang sekitar lebih lama sehingga risiko jumlah kontak tertular dari 1 pasien mungkin
dapat lebih besar. 6,11-13

2.2.6 Manifestasi Klinis

Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat.


Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >380C), batuk dan kesulitan
bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala
gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien
timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan secara cepat dan

78
progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan
perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa
pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan
pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan
meninggal. Berikut sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi. Berikut
sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi.

A. Tidak berkomplikasi

Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul berupa gejala yang
tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul seperti demam, batuk, dapat disertai
dengan nyeri tenggorok, kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan nyeri otot. Perlu
diperhatikan bahwa pada pasien dengan lanjut usia dan pasien immunocompromises
presentasi gejala menjadi tidak khas atau atipikal. Selain itu, pada beberapa kasus
ditemui tidak disertai dengan demam dan gejala relatif ringan. Pada kondisi ini
pasien tidak memiliki gejala komplikasi diantaranya dehidrasi, sepsis atau napas
pendek.

B. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak. Namun tidak ada tanda
pneumonia berat. Pada anak-anak dengan pneumonia tidak berat ditandai dengan
batuk atau susah bernapas

C. Pneumonia berat.
Pada pasien dewasa:
 Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi saluran napas
 Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas: > 30x/menit), distress
pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien <90% udara luar.

2.2.7 Penegakkan Diagnosis

Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama:
demam, batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak.

1. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek / possible


Seseorang yang mengalami:
a. Demam (≥380C) atau riwayat demam

79
b. Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
c. Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis dan/atau gambaran
radiologis. (pada pasien immunocompromised presentasi kemungkinan
atipikal) DAN disertai minimal satu kondisi sebagai berikut :
 Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/ negara yang
terjangkit* dalam 14 hari sebelum timbul gejala
 Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah merawat
pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat yang tidak
diketahui penyebab / etiologi penyakitnya, tanpa memperhatikan
riwayat bepergian atau tempat tinggal.29
2. Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan ringan sampai berat dan
salah satu berikut dalam 14 hari sebelum onset gejala:
a. Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau probable COVID-19,
ATAU
b. Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan sudah teridentifikasi),
ATAU
c. bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan dengan kasus
terkonfirmasi atau probable infeksi COVID-19 di Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit.*
d. Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki demam (suhu ≥380C)
atau riwayat demam.29
3. Orang dalam Pemantauan
Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa pneumonia
yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit,
dan tidak memiliki satu atau lebih riwayat paparan diantaranya:
 Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19
 Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan
pasien konfirmasi COVID-19 di Tiongkok atau wilayah/negara yang
terjangkit (sesuai dengan perkembangan penyakit),
b. Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan penular sudah
teridentifikasi) di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai dengan
perkembangan penyakit Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi inkonklusif atau
tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil konfirmasi positif pan-coronavirus
atau beta coronavirus.29,30
c. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada
pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental,
lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass.
2. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah
 Saluran napas atas dengan swab tenggorok(nasofaring dan orofaring)
 Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal
3. Bronkoskopi

80
4. Pungsi pleura sesuai kondisi
5. Pemeriksaan kimia darah
6. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas (sputum,
bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah26,27 Kultur darah untuk bakteri
dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda terapi
antibiotik dengan menunggu hasil kultur darah)26
7. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).

2.2.9 Tatalaksana Umum


1. Isolasi pada semua kasus
Sesuai dengan gejala klinis yang muncul, baik ringan maupun sedang.
2. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)26
3. Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit27
4. Suplementasi oksigen
Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan, distress napas,
hipoksemia atau syok. Terapi oksigen pertama sekitar 5L/menit dengan target
SpO2 ≥90% pada pasien tidak hamil dan ≥ 92-95% pada pasien hamil
5. Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
6. Terapi cairan
Terapi cairan konservatif diberikan jika tidak ada bukti syok Pasien dengan
SARI harus diperhatikan dalam terapi cairannya, karena jika pemberian
cairan terlalu agresif dapat memperberat kondisi distress napas atau
oksigenasi. Monitoring keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Pemberian antibiotik empiris
8. Terapi simptomatik
Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik, obat batuk dan lainnya jika
memang diperlukan.
9. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak rutin diberikan pada tatalaksana
pneumonia viral atau ARDS selain ada indikasi lain.
10. Observasi ketat
11. Pahami komorbid pasien
Saat ini belum ada penelitian atau bukti talaksana spesifik pada COVID-19.
Belum ada tatalaksana antiviral untuk infeksi Coronavirus yang terbukti

81
efektif. Pada studi terhadap SARSCoV, kombinasi lopinavir dan ritonavir
dikaitkan dengan memberi manfaat klinis. Saat ini penggunaan lopinavir dan
ritonavir masih diteliti terkait efektivitas dan keamanan pada infeksi COVID-
19. Tatalaksana yang belum teruji / terlisensi hanya boleh diberikan dalam
situasi uji klinis yang disetujui oleh komite etik atau melalui Monitored
Emergency Use of Unregistered Interventions Framework (MEURI), dengan
pemantauan ketat. Selain itu, saat ini belum ada vaksin untuk mencegah
pneumonia COVID-19 ini.

2.1.5 Respon Imun pada Penggunaan Vaksin COVID-19


Vaksin Berbasis mRNA-SARS-CoV-2 (mRNA-1273)
Pertama, vaksin mRNA menggunakan untai mRNA target protein yang
digabungkan secara in-vitro, dibandingkan dengan untai antibodi target. Kemudian, untai
mRNA rekombinan protein target akan dibawa oleh lipid nanopartikel (LNPs) dan
memasuki sel somatik sitoplasma untuk bertranslasi dan mengkode protein target. Ketika
protein target dilepas dari sel inang, sel penyedia antigen akan dengan cepat merekam dan
memproses protein heterolog. Kemudian penyajian MHC I dan MHC II (Major
Histocompatibility Compex) pada permukanan membrane sel penyedia antigen. Tahap ini
sangat penting untuk aktivasi selanjutnya dari sel B, sel T, dan juga menjadi kunci untuk
respon humoral dan sitotoksik.5
Vaksin Berbasis Vektor Adenovirus Type-5 SARS-CoV-2
Penggunaan virus influenza yang telah umum yakni adenovirus yang dapat
menginfeksi sel manusia dengan mudah, namun tidak menimbulkan dampak yang fatal.
Virus ini digunakan untuk mengirimkan materi genetik yang dapat mengkode spike
protein SARS-CoV-2 menuju sel. Sel ini kemudian menghasilkan spike protein dan
mengantarnya ke kelenjar getah bening tempat sistem kekebalan tubuh terbentuk dan
menciptakan antibodi yang akan mengenali spike protein tersebut sehingga dapat melawan
virus SARS-CoV-2. Vaksin dengan vektor Ad5-nCoV ini dapat ditoleransi dan dapat
memicu imun tubuh pada 28 hari setelah proses vaksinasi. Respon humoral terhadap
COVID-19 memuncak pada hari ke-28 setelah vaksinasi pada orang dewasa yang sehat
dan merespon dengan cepat sel T spesifik dicatat pada hari ke-14 setelah vaksinasi. Hal ini
menunjukkan bahwa vaksin ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut.6

82
Vaksin Berbasis Virus Terdeaktivasi (PiCoVacc)
Pemurnian DNA yang dilemahkan merupakan pengembangan vaksin secara
konvensional dan telah ditemukan bahwa platform teknologi ini aman dan efektif dalam
mencegah penyebab terjadinya penyakit yang disebabkan oleh virus seperti influenza, dan
polio. Dalam pengembangan pra-klinis secara in-vitro untuk menetralisir dan menuji
model vaksin COVID-19, dilakukan isolasi untai virs SARS-CoV-2 dari sampel
bronchoalbeloar lavage fluid (BALF) 11 pasien rumah sakit yang terinfeksi virus ini.
Seluruh untai sampel yang tersebar di berbagai negara dibentuk dalam pohon filogenik
yang mewakili seluruh untai dan populasi COVID-19 di dunia.
Pemilihan untai CN2 untuk pemurnian virus SARS-CoV-2 yang dilemahkan,
vaksin PiCoVacc dan 10 untai lain (CN1, CN3-CN5, dan OS1-OS6) secara praklinis
dikarenakan memiliki kemiripan dengan 2019-nCoV-BetaCoV dan EPI_ISL_412973
secara berurutan, yang telah diteliti dan terbukti menyebabkan gejala klinis termasuk
kegagalan pernapasan sehingga membutuhkan ventilator mekanik. Membuat stok untai
virus dengan pertumbuhan yang efisien dalam sel Vero untuk produksi PiCoVacc, untai
CN2 dimurnikan dan satu passage dalam sel Vero untuk menghasilkan stok P1. Setelah
itu, empat passage yang lain digunakan untuk menghasilkan stok P2-P5. Evaluasi
kestabilan genetic dari PiCoVacc ini, lima passage yag lain digunakan untuk memperoleh
stok P10, keseluruhan genom digambungkan dengan untai P1, P3, dan P5.Vaksin ini
didasarkan pada memicu replikasi virus dan meningkatkan produksi antigen sehingga imun
akan terbentuk dengan baik dan cepat untuk melawan COVID-19.6

2.1.6 Efektivitas Penggunaan Vaksin


Efektivitas vaksin dampak memberikan panduan praktik terbaik sementara
tentang cara menilai efektivitas vaksin COVID-19 (VE) menggunakan desain studi
observasi. Ini membahas pertimbangan kritis dalam desain, analisis, dan interpretasi
evaluasi COVID-19 VE, karena hasil yang bias dapat dihasilkan bahkan dalam pengaturan
di mana kelengkapan dan kualitas data tinggi. Panduan ini sebagian besar ditargetkan
untuk evaluasi yang dilakukan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah
tetapi sebagian besar konsep berlaku untuk evaluasi VE di pengaturan berpenghasilan
tinggi juga. Karena kompleksitas metodologis dan kerentanannya terhadap bias, evaluasi
COVID-19 VE tidak perlu dilakukan oleh semua negara yang memperkenalkan vaksin

83
COVID-19. Daftar kriteria yang harus dimiliki saat mempertimbangkan evaluasi semacam
itu disediakan.
Tujuan evaluasi VE adalah untuk mengevaluasi kinerja vaksin di dunia nyata,
untuk mengatasi kesenjangan dalam bukti dari uji klinis (termasuk efektivitas dalam
subkelompok, efektivitas terhadap varian perhatian dan durasi perlindungan), untuk
memberikan masukan ke dalam model dampak, dan untuk memberikan pos -konfirmasi
otorisasi keefektifan produk yang disetujui secara bersyarat.
Hasil yang paling layak untuk dievaluasi dalam evaluasi VE di sebagian besar
rangkaian adalah penyakit bergejala dan penyakit parah. Studi VE tentang kematian,
infeksi dan penularan, meskipun sangat penting bagi kesehatan masyarakat, umumnya
memerlukan studi khusus yang ditargetkan dengan lebih banyak sumber daya.
Penggunaan hasil yang dikonfirmasi laboratorium dalam evaluasi VE. Pada saat ini, reaksi
berantai polimerase reverse-transkripsi waktu nyata (rRT-PCR) untuk pengujian
laboratorium. Spesimen harus diambil dalam 10 hari setelah onset penyakit.
Vaksinisasi COVID-19 yang dilaporkan sendiri sebagai satu-satunya sumber yang
menunjukkan apakah seseorang divaksinasi, karena bias penarikan dan kurangnya detail
produk. Vaksinasi terdokumentasi harus digunakan untuk analisis primer; vaksinasi yang
dilaporkan sendiri dapat dimasukkan dalam analisis sekunder.
Meskipun bukan tanpa potensi bias, desain tes-negatif sebagai metode yang paling
efisien dan layak secara logistik untuk menilai VE di L / MIC, dengan keuntungan dari
beberapa derajat perbandingan antara kasus dan kontrol karena semua mencari perawatan
untuk penyakit yang serup, di fasilitas yang sama. Metode lain yang dapat
dipertimbangkan adalah studi kohort, studi kasus-kontrol, dan metode skrining (dalam
pengaturan tertentu dengan informasi yang dapat dipercaya tentang cakupan pada waktu
yang berbeda selama periode studi).
Karena kurangnya pengacakan vaksinasi dalam pengaturan dunia nyata, semua
desain studi observasional menjadi bias karena orang yang divaksinasi sering berbeda dari
orang yang tidak divaksinasi dalam hal risiko penyakit, terlepas dari vaksinasi. Bias
penting termasuk: perancu oleh pencarian perawatan kesehatan, risiko pajanan, kesalahan
klasifikasi hasil karena kesalahan diagnostik, infeksi SARS-CoV-2 sebelumnya, dan
kesimpulan palsu yang memudar. Pengumpulan kovariat kunci untuk mengontrol bias
perancu dalam analisis adalah penting.

84
Untuk analisis utama studi VE, pendekatan konservatif direkomendasikan dalam
mempertimbangkan seseorang yang berpotensi dilindungi dari vaksinasi hanya dari 14
hari setelah tanggal vaksinasi (waktu yang diperlukan untuk mencapai perlindungan bagi
mayoritas penerima vaksin untuk kebanyakan vaksin), untuk kedua dosis vaksin pertama
dan (jika ada). Analisis sekunder dengan interval waktu yang berbeda pasca vaksinasi
dapat dilakukan untuk membantu memandu kebijakan di masa mendatang.
Analisis utama harus membandingkan orang yang menerima jumlah dosis yang
direkomendasikan dari vaksin yang sama dengan orang yang tidak divaksinasi. Analisis
sekunder mencakup orang yang divaksinasi sebagian, orang yang menerima dosis dua
vaksin berbeda, subkelompok sasaran, varian virus, dan riwayat infeksi atau penyakit
SARS-CoV-2 sebelumnya jika tersedia. Meskipun vaksinasi parsial dan penggunaan
berbagai vaksin untuk menyelesaikan suatu kursus saat ini tidak direkomendasikan oleh
WHO, ini mungkin terjadi di dunia nyata dan temuan dapat menjadi dasar bagi kebijakan
di masa mendatang.
Perkiraan VE yang bervariasi dari kemanjuran dalam uji klinis bisa valid atau
tidak valid, penyelidikan menyeluruh atas alasan perbedaan tersebut harus dilakukan.
Platform yang ada yang dapat digunakan untuk evaluasi VE termasuk sistem surveilans
untuk infeksi saluran pernapasan akut parah (SARI), penyakit serupa influenza (ILI),
surveilans penyakit sindromik lainnya di rumah sakit sentinel, surveilans petugas
kesehatan, database administratif dan wabah yang terdefinisi dengan baik. Pelaporan
standar dari hasil studi berdasarkan panduan Penguatan Pelaporan Studi Observasional
dalam Epidemiologi (STROBE), serta menyarankan elemen khusus COVID-19.7
Efek Samping Setelah Disuntik Vaksin Covid-19
Reaksi kurang dari seminggu Dalam pengembangan vaksin Covid-19, setiap
otoritas kesehatan di masing-masing negara melakukan pengujian ketat. Pengujian ini
termasuk memperkirakan dan mengurangi risiko yang terjadi setelah vaksinasi, sehingga
vaksin aman untuk semua orang yang menerimanya. Beberapa reaksi umum yang terjadi
setelah vaksinasi. Reaksi umum tersebut, meliputi: Nyeri atau kemerahan di sekitar tempat
suntikan, Demam ringan, Kelelahan Sakit kepala, Nyeri otot atau sendi. Dijelaskan bahwa
reaksi umum ini hanya berlangsung kurang dari seminggu. Bila lebih dari seminggu efek
samping tidak juga hilang, maka perlu segera menemui layanan kesehatan.

85
Apabila terjadi efek samping terhadap reaksi berat atau yang terjadi lebih dari
seminggu, dinilai perlu dan penting. Tahapan yang dilakukan bila seseorang melaporkan
reaksi negatif atau berat terhadap vaksin Covid-19: Petugas kesehatan akan mengobati
gejala yang dialami penerima vaksin Otoritas kesehatan akan melakukan penyelidikan
terperinci tentang penyebab gejala, seberapa umum gejala tersebut di komunitas atau
negara, Mengecek apakah gejala tersebut mungkin terkait dengan masalah penyimpanan,
pengangkutan, atau administrasi vaksin. Jika ada dugaan reaksi berat, otoritas kesehatan
dapat menangguhkan penggunaan vaksin. WHO mendukung penyelidikan ini dan
melacak reaksi terhadap vaksin di seluruh dunia. Kemenkes Sebut Belum Ada Efek
Samping yang Ditimbulkan Akibat Vaksinasi Covid-19 Masyarakat tidak perlu takut
Mengenai reaksi vaksin berat, setiap vaksin Covid-19 telah melalui proses pengujian yang
ketat untuk memastikan keamanannya. Sebelum didistribusikan, proses pengujian tersebut
dimaksudkan agar semua vaksin Covid-19 dapat mengurangi risiko sakit akibat virus.
"Ingatlah bahwa sangat jarang masalah kesehatan yang serius disebabkan langsung oleh
vaksin, Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa menerima vaksinasi merupakan salah satu hal
terbaik yang dapat dilakukan untuk melindungi diri sendiri dan orang yang dicintai dari
Covid-19.8
Sasaran
Vaksinasi COVID-19 tidak diberikan pada sasaran yang memiliki riwayat
konfirmasi COVID-19, wanita hamil, menyusui, usia di bawah 18 tahun dan beberapa
kondisi komorbid yang telah disebutkan dalam format skrining), seperti penyakit paru-
paru kronis (misalnya, emfisema, bronkitis kronis, fibrosis paru idiopatik, fibrosis kistik,
atau asma sedang hingga berat); penyakit jantung (misalnya, gagal jantung, penyakit arteri
koroner kongenital, kardiomiopati, atau hipertensi pulmonal); obesitas berat (indeks
massa tubuh [berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter] ≥40);
diabetes (tipe 1, tipe 2,); penyakit hati; atau infeksi virus human immunodeficiency.
Peserta memenuhi syarat jika mereka sehat dan berusia 18–59 tahun pria maupun wanita.
Serta tidak memiliki riwayat epidemiologi berisiko tinggi dalam 14 hari sebelum
pendaftaran (misalnya, riwayat kontak dengan seseorang yang terinfeksi SARS-CoV-2);
IgG atau IgM spesifik SARS-CoV-2 positif dalam serum; tes PCR positif untuk SARS-
CoV-2 dari sampel usap faring atau anal; suhu ketiak lebih dari 37,0 ° C; dan alergi
terhadap komponen vaksin apa pun.7

86
Jadwal
Profesor imunologi Universitas Surrey, Deborah Dunn-Walters, mengatakan uji
coba praklinis terhadap penerima vaksin akan menunjukkan satu kali suntikan tidak
cukup untuk membangun kekebalan. Demikian pula selama uji coba fase ketiga untuk
sejumlah vaksin telah terdeteksi ada lebih banyak antibodi dan sel T dalam darah setelah
dua dosis daripada setelah satu dosis. Jadwal dan tahapan pemberian Vaksin COVID-19
ditetapkan sesuai dengan ketersediaan Vaksin COVID-19, kelompok prioritas penerima
Vaksin COVID-19 dan jenis Vaksin COVID-19. Vaksinasi ini diberikan sejumlah 2 dosis
dengan interval dari dosis pertama ke dosis kedua dalam rentang 14 hari. Dimana
penerima vaksin COVID-19 akan mendapatkan kartu vaksinasi setelah mengikuti tahap-
tahap dalam alur pelayanan vaksinasi.7

2.1 Penyelenggaraan Vaksin COVID-19


Perencanaan pelayanan
Vaksinasi COVID-19 dilaksanakan dalam 4 tahapan mempertimbangkan
ketersediaan, waktu kedatangan dan profil keamanan vaksin. Kelompok prioritas
penerima vaksin adalah penduduk yang berdomisili di Indonesia yang berusia ≥ 18 tahun.
Kelompok penduduk berusia di bawah 18 tahun dapat diberikan vaksinasi apabila telah
tersedia data keamanan vaksin yang memadai dan persetujuan penggunaan pada masa
darurat (emergency use authorization) atau penerbitan nomor izin edar (NIE) dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Pentahapan dan penetapan kelompok prioritas penerima vaksin dilakukan dengan
memperhatikan Roadmap WHO Strategic Advisory Group of Experts on Immunization
(SAGE) serta kajian dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian
Technical Advisory Group on Immunization).
Menurut Roadmap yang disusun oleh WHO Strategic Advisory Group of Experts on
Immunization (SAGE), karena pasokan vaksin tidak akan segera tersedia dalam jumlah
yang mencukupi untuk memvaksinasi semua sasaran, maka ada tiga skenario penyediaan
vaksin untuk dipertimbangkan oleh negara yaitu sebagai berikut:
1. Tahap I saat ketersediaan vaksin sangat terbatas (berkisar antara 1 10% dari total
populasi setiap negara) untuk distribusi awal
2. Tahap II saat pasokan vaksin meningkat tetapi ketersediaan tetap terbatas (berkisar
antara 11-20% dari total populasi setiap negara);

87
3. Tahap III saat pasokan vaksin mencapai ketersediaan sedang (berkisar antara 21–50%
dari total populasi setiap negara).
Prioritas yang akan divaksinasi menurut Roadmap WHO Strategic Advisory Group of
Experts on Immunization (SAGE) adalah;
1. Petugas kesehatan yang berisiko tinggi hingga sangat tinggi untuk terinfeksi dan
menularkan SARS-CoV-2 dalam komunitas.
2. Kelompok dengan risiko kematian atau penyakit yang berat (komorbid). Indikasi
pemberian disesuaikan dengan profil keamanan masing - masing vaksin.
3. Kelompok sosial / pekerjaan yang berisiko tinggi tertular dan menularkan infeksi
karena mereka tidak dapat melakukan jaga jarak secara efektif (petugas publik).
Tahapan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 yang dilaksanakan di Negara Indonesia
sebagai berikut:
a. Satu dengan waktu pelaksanaan Januari April 2002 satu. Sasaran vaksinasi kau fit 19
tahap satu adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang serta
mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
b. Tahap dua dengan waktu pelaksanaan Januari-April 2002 saya susah sasaran vaksinasi
kau COVID-19 tahap dua adalah: Petugas pelayanan publik yaitu Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas
pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di bandara/pelabuhan/stasiun/terminal,
perbankan, perusahaan listrik negara, dan perusahaan daerah air minum, serta petugas
lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. serta
kelompok usia lanjut 60 tahun.
c. Tahap tiga dengan waktu pelaksanaan April 2002 1 Maret 2002 dua sasaran vaksinasi
kau fit 19 tahap tiga adalah masyarakat rentan dari aspek Geospasial, sosial, dan
ekonomi
d. Tahap empat dengan waktu pelaksanaan April 2002 1 Maret 2002 dua. Sasaran
vaksinasi empat adalah masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan
pendekatan poster sesuai dengan ketersediaan vaksin.

Pendataan sasaran penerima vaksin

88
Pendataan sasaran penerima vaksin dilakukan secara top-down melalui Sistem
Informasi Satu Data Vaksinasi COVID-19 yang bersumber dari Kementerian/Lembaga
terkait atau sumber lainnya meliputi nama, Nomor Induk Kependudukan, dan alamat
tempat tinggal sasaran. Melalui Sistem Informasi Satu Data Vaksinasi COVID-19
dilakukan penyaringan data (filtering) sehingga diperoleh sasaran kelompok penerima
vaksin COVID-19 sesuai kriteria yang telah ditetapkan.
Penentuan jumlah sasaran per kelompok penerima vaksin dilakukan melalui
pertimbangan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-
PEN). Penetapan jumlah sasaran per kelompok penerima vaksin untuk tingkat provinsi
dan kabupaten/kota akan menjadi dasar dalam penentuan alokasi serta distribusi vaksin
dan logistik vaksinasi dengan juga mempertimbangkan cadangan sesuai kebutuhan.
Penetapan fasilitas pelayanan kesehatan pelaksaan vaksin
Tempat Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19. Pelayanan Vaksinasi COVID-19
dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota atau milik masyarakat/swasta yang
memenuhi persyaratan. Dimana fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan
vaksinasi COVID-19 adalah Puskesmas, puskesmas pembantu; Klinik; Rumah sakit;
dan/atau Unit pelayanan kesehatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
Fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi pelaksana pelayanan vaksinasi COVID-19
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki tenaga kesehatan pelaksana vaksinasi COVID-19
b. Memiliki sarana rantai dingin sesuai dengan jenis Vaksin COVID-19 yang digunakan
atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan
c. Memiliki izin operasional Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau penetapan oleh Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Fasilitas pelayanan Kesehatan yang tidak dapat memenuhi persyaratan poin 2 dapat
menjadi tempat pelayanan vaksinasi COVID-19 namun dikoordinasi oleh puskesmas
setempat.
Pendataan pada pelaksanaan vaksin
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pendataan fasilitas pelayanan kesehatan
yang akan menjadi tempat pelaksanaan pelayanan vaksinasi COVID-19. Pendataan
dilakukan melalui upaya koordinasi dengan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan meliputi

89
pendataan tenaga pelaksana, Jadwal pelayanan dan peralatan rantai dingin yang tersedia di
setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Pemetaan ketersediaan tenaga pelaksana dilakukan
sebagai pertimbangan dalam menyusun jadwal layanan.
1. Pemetaan Tenaga Pelaksana
Tenaga pelaksana (satu tim) pelaksana kegiatan pemberian Vaksinasi COVID-19
untuk tiap sesi terdiri dari:
a. Petugas pendaftaran/verifikasi
b. Petugas untuk melakukan skrining (anamnesa), pemeriksaan fisik sederhana dan
pemberian edukasi;
c. Petugas pemberi vaksinasi COVID-19 dibantu oleh petugas yang menyiapkan
vaksin
d. Petugas untuk melakukan observasi pasca vaksinasi COVID-19 serta pemberian
tanda selesai dan kartu vaksinasi
e. Petugas untuk melakukan pencatatan hasil vaksinasi
f. Petugas untuk melakukan pengelolaan limbah medis; dan/atau
g. Petugas untuk mengatur alur kelancaran pelayanan vaksinasi
Rangkaian pemeriksaan dan pelayanan Vaksinasi COVID-19 untuk satu orang
diperkirakan sekitar 15 menit. Satu vaksinator (perawat, bidan, dan dokter)
diperkirakan mampu memberikan pelayanan maksimal 40 - 70 sasaran per hari.
Dalam satu hari dapat dilaksanakan beberapa sesi pelayanan dengan jumlah sasaran
per sesi pelayanan adalah sekitar 10-20 orang.
2. Penyusunan Jadwal Layanan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan untuk menyusun jadwal pelayanan vaksinasi COVID-19
meliputi hari pelayanan, jumlah sesi layanan per hari, jam pelayanan dan kuota
sasaran yang dilayani per sesi pelayanan serta nama dan nomor kontak penanggung
jawab di masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Inventarisasi Peralatan Rantai Dingin
Pengelola program imunisasi dan/atau logistik Dinas Kesehatan Provinsi maupun
Kabupaten/Kota harus melakukan inventarisasi jumlah dan kondisi sarana cold chain
(vaccine refrigerator, cool pack, cold box, vaccine carrier, dsb) termasuk alat

90
pemantau suhu yang ada saat ini, serta kekurangannya di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kemudian melakukan penilaian terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan dan melakukan penetapan melalui SK Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota serta menginput data tersebut ke dalam aplikasi Pcare
Vaksinasi.
Bila fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan
dalam memberikan vaksinasi bagi seluruh sasaran dan/atau fasilitas pelayanan
kesehatan tidak memenuhi persyaratan maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
puskesmas dapat membuka pos pelayanan vaksinasi COVID-19 dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Puskesmas mengusulkan pos pelayanan vaksinasi COVID-19 ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pos pelayanan vaksinasi merupakan pos layanan luar
gedung (area/tempat di luar fasilitas pelayanan kesehatan).
b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan daftar pos pelayanan vaksinasi
melalui SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta menginput data
tersebut ke dalam aplikasi Pcare Vaksinasi.
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan puskesmas harus memastikan ketersediaan
tenaga pelaksana serta sarana rantai dingin yang memadai untuk melaksanakan
pelayanan vaksinasi COVID-19 yang aman dan berkualitas.
d. Pelaksanaan pelayanan vaksinasi di pos pelayanan vaksinasi harus memenuhi
standar pelayanan vaksinasi COVID-19 sebagaimana dijelaskan pada Bab III.
Masing-masing pos pelayanan vaksinasi juga melaksanakan pencatatan dan
pelaporan tersendiri, terpisah dari puskesmas yang menjadi koordinatornya.
2.3 Hipertensi
2.4 Asma
Definisi
asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi,
mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan
batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran
napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun

91
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas
terhadap berbagai rangsangan.1

Etiologi
Penyebab awal terjadinya inflamasi saluran pernapasan pada penderita asma belum
diketahui mekanismenya. Terdapat berbagai keadaan yang memicu terjadinya serangan asma,
diantara lain:2
1) Kegiatan fisik (exercise)
2) Kontak dengan alergen dan irritan
Allergen dapat disebabkan oleh berbagai bahan yang ada di sekitar penderita asma seperti
misalnya kulit, rambut, dan sayap hewan. Selain itu debu rumah yang mengandung tungau
debu rumah (house dust mites) juga dapat menyebabkan alergi. Hewan seperti lipas
(cockroaches, kecoa) dapat menjadi pemicu timbulnya alergi bagi penderita asma. Bagian
dari tumbuhan seperti tepung sari dan ilalang serta jamur (nold) juga dapat bertindak
sebagai allergen.3
Irritans atau iritasi pada penderita asma dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti asap
rokok, polusi udara. Faktor lingkungan seperti udara dingin atau perubahan cuaca juga
dapat menyebabkan iritasi. Bau-bauan yang menyengat dari cat atau masakan dapat
menjadi penyebab iritasi. Selain itu, ekspresi emosi yang berlebihan (menangis, tertawa)
dan stres juga dapat memicu iritasi pada penderita asma.3
3) Akibat terjadinya infeksi virus
4) Penyebab lainnya. Berbagai penyebab dapat memicu terjadinya asma yaitu:
a. Obat-obatan (aspirin, beta-blockers)
b. Sulfite (buah kering wine)
c. Gastroesophageal reflux disease, menyebabkan terjadinya rasa terbakar pada
lambung (pyrosis, heart burn) yang memperberat gejala serangan asma
terutama yang terjadi pada malam hari
d. Bahan kimia dan debu di tempat kerja

Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dyspnea, wheezing, pusing-pusing,
sakit kepala, nausea, peningkatan nafas pendek, kecemasan, diaphoresis, dan kelelahan.

92
Hiperventilasi adalah salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak nafas parah dengan
ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus). Gejala utama yang sering muncul
adalah dipsnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap sebagai salah satu gejala yang harus
ada bila serangan asma muncul.2

Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena
adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran
udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T
penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel
plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin
(TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat
menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi
mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel
sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi

3
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.

Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-
alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga
epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus,

93
sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa
keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi

4
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

Klasifikasi
Ada 3 :
1) Asma alergenik atau ekstrinsik
Merupakan asma yang disebabkan karena terpapar oleh alergen seperti debu, bulu,
makanan, dan sebagainya. Asma jenis ini biasanya muncul sejak anak-anak.
2) Idiopatik atau nonalergenik/ intrinsik
Asma idiopatik merupakan asma yang disebabkan bukan karena paparan alergi pada
asma alergenik. Penyebab dari asma jenis ini yaitu faktor seperti polusi, infeksi saluran
pernafasan atas, aktivitas, dan emosi. Asma non alergenik biasanya muncul pada saat
dewasa atau sekitar usia 35 tahun.
3) Asma campuran
Asma campuran merupakan gabungan dari dua jenis asma yang telah disebutkan
sebelumnya dan asma ini paling umum terjadi.

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu: 1

 Asma intermitten, ditandai dengan :

1) gejala kurang dari 1 kali seminggu

2) eksaserbasi singkat

3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan

4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan

94
5) jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid

6) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi; 7) variabiliti APE atau VEP1 < 20%

 Asma persisten ringan, ditandai dengan

1) gejala asma malam >2x/bulan

2) eksaserbasi >1x/minggu, tetapi <1x/hari;

3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur

4) membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid

5) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi

6) variabiliti APE atau VEP1 20-30%

 Asma persisten sedang, ditandai dengan

1) gejala hampir tiap hari

2) gejala asma malam >1x/minggu

3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur

4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari

5) APE atau VEP1 60-80%

6) variabiliti APE atau VEP1 >30%

 Asma persisten berat, ditandai dengan

1) APE atau VEP1 <60% prediksi

2) variabiliti APE atau VEP1 >30%

Pemeriksaan Diagnostik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari klasifikasi
berdasarkan gejala klinis yang muncul. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, terdapat
perubahan anatomis bentuk thoraks, otot tambahan di leher sewaktu bernapas, napas menjadi
cepat, sianosis, ekspirasi memanjang, serta pada pemeriksaan auskultasi terdapat suara mengi.

95
Pemeriksaan spirometri adalah cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan
diagnosis asma, hal ini dengan melihat respon pengobatan dengan menggunakan
bronkodilator. Jika pemeriksaan spirometri normal, maka dapat dilakukan uji provokasi
bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus, uji ini menggunakan histamin,
metakolin, larutan garam hipertonik, dan aqua destilata. Hasil bermakna bila didapat
penurunan VEP 1 sebesar 20% atau lebih.5
Penatalaksanaan
Prinsip umum dalam pengobatan saat terjadi serangan asma antara lain:6
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas
2. Mengenali dan menghindarkan faktor yang dapat menimbulkan serangan asma
3. Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan atau
penanganan penyakit
Penatalaksanaan asma dapat dibagi menjadi menjadi 2 yaitu :
1) Pengobatan dengan obat-obatan :
a) Beta agonist (beta adregenik agent)
b) Methylxanlines (enphy bronkodilator)
c) Anti kolinergik (bronkodilator)
d) Kortekosteroid
e) Mast cell inhibitor (inhalasi)
2) Tindakan yang spesifik
a ) Pemberian oksigen
b ) Pemberian agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10 mg),
inhalasi nebulezer dan pemberiannya dapat diulang setiap 30 - 60 menit.
c) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB
d) Kortekosteroid hidrokortison 100-200 mg, digunakan jika tidak ada respon
menggunakan steroid oral atau dalam serangan yang sangat berat1

Hubungan vaksin & asma


Beberapa orang yang punya penyakit komorbid masih cemas, apakah bisa jadi penerima
vaksin COVID-19 atau tidak, salah satunya adalah penderita asma. Hal ini berkaitan dengan
KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi), seperti dikutip dari akun resmi Ikatan Dokter

96
Indonesia (IDI). Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
itu, penderita asma yang terkontrol baik boleh divaksinasi.7
Selain itu, dikutip dari allergy asthma network, penderita asma boleh menerima vaksin
COVID-19 karena dianggap tidak akan mengalami reaksi alergi langsung. Dikutip dari
pernyataan dr. Agus, terkontrol artinya penderita mengalami gejala <2 kali per minggu, tak
terbangun malam hari, tanpa keterbatasan aktivitas, serta tidak butuh pelega >2 kali per
minggu. "Penggunaan obat bronkodilator kurang dari dua kali dalam seminggu juga menjadi
salah satu syarat sebagai bagian dari terkontrol.3
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) A.S. telah mengeluarkan panduan
untuk orang-orang dengan alergi dan apakah mereka harus menerima Pfizer / BioNTech atau
Moderna. CDC belum merilis panduan tentang vaksin Johnson & Johnson. Pfizer / BioNTech
dan Moderna adalah vaksin Messenger RNA (mRNA) dan tersedia dalam dua dosis. Mereka
dirancang untuk memicu respons kekebalan yang menghasilkan antibodi dan melindungi
orang dari infeksi saat terkena virus yang sebenarnya. Vaksin Johnson & Johnson adalah
vaksin vektor virus dengan dosis tunggal. Ini menggunakan virus flu biasa sebagai vektor
dengan materi genetik dari COVID-19. Saat dimasukkan ke dalam sel, ia melatih sistem
kekebalan untuk melindungi dirinya dari COVID-19.7
Orang yang harus menerima vaksin Pfizer / BioNTech atau Moderna Siapa pun dengan
riwayat makanan, racun serangga, obat-obatan oral, alergi lingkungan atau lateks Siapa pun
dengan riwayat keluarga anafilaksis yang tidak terkait dengan vaksin mRNA Harus menjalani
masa observasi selama 15 menit (30 menit bila ada riwayat anafilaksis) setelah menerima
vaksin untuk memastikan tidak ada reaksi alergi. Orang yang harus berkonsultasi terlebih
dahulu dengan dokter sebelum mendapatkan vaksin Pfizer / BioNTech atau Moderna Siapa
pun dengan riwayat anafilaksis atau reaksi alergi langsung tidak parah terhadap vaksin lain
Diskusikan risiko vaksin dan apakah harus menunggu untuk menerima vaksin. Jika
diputuskan dapat menerima vaksin, menjalani periode observasi selama 30 menit setelah
menerimanya untuk memastikan tidak ada reaksi alergi. Orang yang seharusnya tidak
menerima vaksin Pfizer / BioNTech atau Moderna Siapa pun dengan riwayat anafilaksis
terhadap komponen apa pun dari vaksin Pfizer / BioNTech atau Moderna (siapa pun yang
mengalami anafilaksis setelah mendapatkan dosis pertama vaksin tidak boleh mendapatkan
dosis kedua) Siapa pun dengan riwayat reaksi alergi langsung non-parah terhadap komponen
vaksin apa pun (siapa pun yang mengalami reaksi alergi langsung non-parah terhadap dosis

97
pertama sebaiknya tidak mendapatkan dosis kedua) Siapapun yang alergi terhadap polietilen
glikol (PEG) atau polisorbat. PEG adalah salah satu komponen dalam kedua vaksin;
polisorbat tidak ada dalam vaksin tetapi terkait erat dengan PEG.7
Reaksi alergi langsung terhadap vaksin atau pengobatan didefinisikan sebagai tanda atau
gejala terkait hipersensitivitas yang konsisten dengan urtikaria, angioedema, gangguan
pernapasan (misalnya, mengi, stridor), atau anafilaksis yang terjadi dalam empat jam setelah
pemberian. Termasuk orang-orang dengan reaksi terhadap vaksin atau terapi suntik yang
mengandung banyak komponen, salah satunya adalah komponen vaksin, tetapi tidak diketahui
komponen mana yang menimbulkan reaksi alergi langsung. Jadi seseorang dengan kondisi
medis yang mendasari seperti asma dapat menerima vaksin COVID-19 selama mereka tidak
mengalami reaksi alergi langsung atau parah terhadap vaksin atau bahan-bahannya.7
Untuk reaksi alergi parah (anafilaksis) terhadap vaksin COVID-19. Reaksi anafilaktik
adalah KIPI paling serius yang juga menjadi risiko pada setiap pemberian obat atau vaksin.
Tatalaksananya harus cepat dan tepat mulai dari penegakkan diagnosis sampai pada terapinya
di tempat kejadian, dan setelah stabil baru dipertimbangkan untuk dirujuk ke RS terdekat.
Setiap petugas pelaksana vaksinasi harus sudah kompeten dalam menangani reaksi
anafilaktik.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda sesuai dengan berat-
ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat
yang berat berupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Reaksi anafilaktik biasanya melibatkan beberapa sistem tubuh, tetapi ada
juga gejala-gejala yang terbatas hanya pada satu sistem tubuh (contoh: gatal pada kulit) juga
dapat terjadi.
Tanda awal anafilaktik adalah kemerahan (eritema) menyeluruh dan gatal (urtikaria)
dengan obstruksi jalan nafas atas dan/atau bawah. Pada kasus berat dapat terjadi keadaan
lemas, pucat, hilang kesadaran dan hipotensi. Petugas sebaiknya dapat mengenali tanda dan
gejala anafilaktik. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul, makin berat keadaan penderita.
Penurunan kesadaran jarang sebagai manifestasi tunggal anafilaktik, ini hanya terjadi sebagai
suatu kejadian lambat pada kasus berat. Denyut nadi sentral yang kuat (contoh: karotis) tetap
ada pada keadaan pingsan, tetapi tidak pada keadaan anafilaktik.6
Gejala anafilaktik dapat terjadi segera setelah pemberian Vaksinasi (reaksi cepat) atau lambat
seperti diuraikan :

98
Kriteria 1. Gejala muncul tiba-tiba dalam menit sampai jam, melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya ( mis: bercak merah di seluruh tubuh, terasa gatal dan panas, bibir,
lidah, dan uvula, bengkak) . Gejala pada pernafasan (mis: sesak napas, mengi, batuk, stridor,
hipoksemia)
Kriteria 2. Dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul mendadak setelah pajanan
alergen
Kriteria 3. Tekanan darah berkurang setelah pajanan alergen yang diketahui untuk pasien
(dalam hitungan menit sampai jam)
Reaksi anafilaktik dan memiliki akses yang cepat untuk merujuk pasien. Berikut adalah
langkah penanganan anafilaktik:7
Ø Nilai sirkulasi pasien, jalan nafas, pernafasan, status mental, kulit, dan berat badan
(massa).
Ø Berikan epinefrin (adrenalin) intramuskular pada regio mid- anterolateral paha, 0,01
mg/kg larutan 1:1000 (1mg/ml), maksimum 0,5 mg (dewasa): catat waktu pemberian
dosis dan ulangi 5-15 menit jika diperlukan. Kebanyakan pasien respon terhadap 1-2
dosis.
Ø Letakkan pasien telentang atau pada posisi paling nyaman jika terdapat distres pernafasan
atau muntah; elevasi ekstremitas bawah; kejadian fatal dapat terjadi dalam beberapa detik
jika pasien berdiri atau duduk tiba-tiba.
Ø Jika diperlukan, berikan oksigen aliran tinggi (6-8L/menit) dengan masker atau
oropharyngeal airway.
Ø Berikan akses intravena menggunakan jarum atau kateter dengan kanula diameter
besar(14-16 G), Jika diperlukan, berikan 1-2 liter cairan NaCl 0,9% (isotonik) salin
dengan cepat (mis: 5-10 ml/kg pada 5-10 menit awal pada orang dewasa).
Ø Jika diperlukan, lakukan resusitasi kardiopulmoner dengan kompresi dada secara
kontinyu dan amankan pernafasan.
Ø Monitor tekanan darah pasien, denyut dan fungsi jantung, status pernafasan dan
oksigenasi pasien sesering mungkin dalam interval regular.
Ø Monitor tekanan darah pasien, denyut dan fungsi jantung, status pernafasan dan
oksigenasi pasien sesering mungkin dalam interval regular.

99
Ø Catat tanda-tanda vital (kesadaran, frekuensi denyut jantung, frekuensi pernafasan, denyut
nadi) setiap waktu dan catat dosis setiap pengobatan yang diberikan. Yakinkan catatan
detail tersebut juga dibawa bersama pasien ketika dirujuk.
Ø Tandai catatan/kartu vaksinasi dengan jelas, sehingga pasien tersebut tidak boleh lagi
mendapatkan jenis vaksin tersebut.
2.5 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
1. Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit
respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran
udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan
peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau
partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya
penyakit pada seorang pasien.1
Pada definisi ini tidak lagi dimasukan terminologi bronkhitis kronik dan
emfisema dan secara khusus dikemukakan pentingnya eksaserbasi dan komorbid pada
definis GOLD 2014 sehingga dipandang perlu untuk dicantumkan pada definisi.
Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan dari penyakit
saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang ebrbeda antar
pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit
dengan gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma,
bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita
PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya parenkim paru.1,4
2. EPIDEMIOLOGI
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei,
kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi. 1
Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap
lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela)
didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa yang
dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada
laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan.6 Data di Indonesia

100
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah
sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan
lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).7
3. DIAGNOSIS
a. Gejala
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak
napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya
aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1
<60% prediksi. 15 Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan
usaha untuk bernapas, rasa beratsaat bernapas, gasping, dan air hunger. 10 Batuk bisa
muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal
perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama
kali disadari oleh pasien.10 Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya
dahak.1 Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan terhadap partikel
berbahaya, usia, asma/ hiperreaktivitas bronkus, status sosioekonomi, dan infeksi.
b. Riwayat Penyakit
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka riwayat
penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
o Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
o Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi,
sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan
penyakit respirasi lainnya.
o Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
o Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
o Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung,osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
o Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan
aktivitas, pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
o Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien

101
o Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan
merokok.
c. Pemeriksaan Fisik
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan saat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi
mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi
seperti barrel chest juga mungkin ditemukan.19 Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori
pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien dengan PPOK sedang
sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting, kehilangan berat
badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas PPOK.
Clubbing finger bukan tanda yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan tanda ini
maka klinisi harus memastikan dengan pasti apa penyababnya.1,15,19
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis PPOK
seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1/FVC < 0,7.19
Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH
dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK,
dan Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema
pada alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin
dapat diperiksa pada pasien PPOK maupun asma.15,19
d. Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara
yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second
(FEV1 )), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC). 1 Pada tabel 1
diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien
PPOK.

102
4. TATALAKSANA
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
o Berhenti Merokok
o Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan
toleransi aktivitas.
o Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
o Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
o Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik
dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.

a. Terapi farmakologi
Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1
atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada
jalan napas.
• β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksas otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan
antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting
β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan
memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2
agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator

103
tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting β2 agonist inhalasi
memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki
FEV1 dan volume paru, sesak napas, health related quality of life dan frekuensi
eksaserbasi secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam
penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan
perawatan di rumah sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist
baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1,
sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor
β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai
potensi untuk mencetuskan aritmia.Tremor somatic merupakan masalah pada pasien
lansia yang diobati obat golongan ii.
• Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada
reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acting anticholinergic inhalasi lebih
lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari
24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki
gejala da status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan
antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat
tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat
dan penggunaan obat tersebut.
Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia.25
Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secar regular dapat memperbaiki gejala,
fungsi paru, kualita hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan
FEV1 <60% prediksi. 25
Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan

104
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki
efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan
tidur dan sakit kepala.
Terapi Farmakologis Lain
o Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
o Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini
sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
o Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
o Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
o Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
o Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
o Vasodilator
o Narkotik (morfin)
o Lain-lain:Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan
hemopati) juga tidak ada yang efektif bagi pengobatan PPOK
Terapi non farmakologis lain
1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
Terapi Lain
4. Terapi Oksigen
1. Ventilatory Support
2. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS), Bronchoscopic Lung
Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation, Bullectomy.

105
2.6 Diabetes Melitus
Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.25

Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel
Tabel 2. Klasifikasi etiologis DM26
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut :
- Autoimun
- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai dari yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe Lain - Defek genetik fungsi sel Beta
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Karena obat atau zat kimia
- Infeksi
- Sebab imunologi yang jarang
- Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes Melitus
Gestasional

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting
dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami.27

106
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat
organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1).

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus


Pengolahan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB
PERKENI. 2015. Hal 7.

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut2 :
1. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat
anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor.28
2. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver HGP=hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.28
3. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.28

107
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty acid) dalam plasma.
Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
tiazolidindion. 29
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-
1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat ensim
alfa-glukosidase adalah akarbosa.30
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP-4 inhibitor dan amylin.31
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1

108
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.32
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi
dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1
agonis, amylin dan bromokriptin.33

Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu34:
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pankreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena
sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas
dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B
langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.34
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama,
artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin.35

109
Diagnosis
Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, glukosa plasma puasa, atau
glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) 75 gram atau kriteria A1C.36

Tabel 3. Kriteria Diagosis34


Pemeriksaan gula darah puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa berarti
tidak adanya intake kalori selama 8 jam
ATAU
Pemeriksaan glukosa 2 jam post prandial ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
selama TTGO. Tes ini harus sesuai dengan WHO, menggunakan glukosa
sebanyak 75 gram
ATAU
A1C ≥6,5% (48 mmol/mol). Tes harus dilakukan di laboratorium yang
telah disertifikasi dan terstandarisasi.
ATAU
Pemeriksaan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan klasik

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti:37
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl

110
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 4. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes
Glukosa plasma 2 jam
HbA1c (%) Glukosa darah puasa
setelah TTGO
Diabetes ≥6,5 ≥126 mg/dL ≥200 mg/dL
Prediabetes 5,7 - 6,4 100-125 mg/dL 140-199 mg/dL
Normal <5,7 <100 mg/dL <140 mg/dL

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus


Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala
klasik DM yaitu :38
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m 2) yang disertai
dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:Aktivitas fisik yang kurang.
a. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
b. Kelompok ras/etnis tertentu.
c. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
d. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
e. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
f. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
g. Riwayat prediabetes.
h. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
i. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO,
maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya

111
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel-6 di bawah ini.39

Tabel 5. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dL)
Belum pasti
Bukan DM DM
DM
Kadar glukosa <100 100-199 ≥200
Plasma vena
darah sewaktu
<90 90-199 ≥200
Darah kapiler
(mg/dL)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126
darah puasa <90 90-99 ≥100
Darah kapiler
(mg/dL)

Komplikasi39
Komplikasi Akut
2. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan
terjadi peningkatan anion gap. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl. Hipoglikemia
adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:
 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh

112
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada pasien
dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih
lama.

Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum sesuai dengan Konsensus
Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :39
 Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
 Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan protein 10-15%.
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance

113
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga
ringan jalan kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan. Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik
tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik.
3. Pendidikan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan kesehatan
pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi.
Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
4. Obat Hipoglikemi Oral (OHO)
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan
mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala, optimalisasi
parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Indikasi antidiabetik oral terutama
ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal
dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat
golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan,
kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%.
Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan
obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.
Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat
atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan pasien secara
umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Tabel 6. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia39
Penurunan
Golongan Obat Cara kerja utama Efek samping
HbA1c
Meningkatkan sekresi BB naik;
Sulfonilurea 1,0-2,0%
insulin hipoglikemia;
Meningkatkan sekresi BB naik;
Glinid 0,5-1,5%
insulin hipoglikemia;
Metformin Menekan produksi Dispepsia; diare; 1,0-2,0%
glukosa hati & asidosis laktat;

114
menambah sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat
Menghambat absorpsi Flatulen; tinja
Alfa- 0,5-0,8%
glukosa lembek;
glukosidase
Menambah sensitifitas
Tiazolidindion Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Meningkatkan sekresi
Penghambat
insulin, menghambat Sebah; muntah; 0,5-0,8%
DPP-IV
sekresi glukagon
Menghambat penyerapan Dehidrasi;
Penghambat
kembali glukosa di infeksi saluran 0,8-1,0%
SGLT-2
tubulus distal ginjal kemih;

5. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin
mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan
jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien
yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin
dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian
insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara
lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan
penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan
otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak
dari glukosa.
Tabel 7. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course of
Action)39
Awitan Puncak Lama
Jenis Insulin Kemasan
(Onset) Efek Kerja
Insulin Analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro
(Humalog)
Insulin Aspart
Pen / Cartridge Pen,
(Novorapid) 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam
vial pen
Insulin Glisulin
(Apidra)

115
Insulin Manusia Kerja Pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)
Humulin
30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam Vial pen / cartridge
Actrapid
Insulin Manusia Kerja Menengah = NPH (Intermediate-Acting)
Humulin N
Insulutard 1,5-4 jam 4-10 jam 8-12 jam Vial pen / cartridge
Insuman basal
Insulin Analog Kerja Panjang (Long-Acting)
Insuline Glargine
(Lantus) Hampir
Insulin Determir 1-3 jam tanpa 12-24 jam Pen
(Levemir) puncak
Lantus 300

Insulin Analog Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting)


Hampir
Degludec Sampai 48
30-60 menit tanpa
(Tresiba) jam
puncak
Insulin Manusia Campuran (Human Premixed)
70/30 Humulin
30-60 menit 3-12 jam
70/30 Mixtard
Insulin Analog Campuran (Human Premixed)
75/25 Humalogmix
12-30 menit 1.4 jam
70/30 Novomix

Diabetes Melitus Terkait Corona Virus Disease – 19 (COVID-19)


Coronavirus Disease 2019 (COVID19) dinamai oleh organisasi World Health
Organization (WHO) untuk gejala penyakit jenis coronavirus. Penyakit ini merupakan jenis
penyakit menular yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
(SARS-CoV-2). Virus ini berhubungan dengan penyakit pernapasan yang terkait wabah
2002-2003 severe acute respiratory syndrome coronavirus 1 (SARS-CoV-1).1 . Pada tanggal
30 Januari 2020 WHO menyatakan wabah COVID-19 sebagai Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC), dan pada 11 Maret 2020 WHO dinyatakan sebagai
pandemi.39
Coronavirus menyebar terutama melalui tetesan droplet, kontak langsung atau tidak
langsung, dan dalam skala terbatas, transmisi aerosol. Waktu rerata dari paparan hingga
timbulnya gejala ialah 5 hari, dan 97,5% orang yang mengalami gejala dalam 11,5 hari.
Gejala yang paling umum ialah demam, batuk kering, dan sesak napas.5 Spektrum klinis

116
COVID-19 beragam, mulai dari gejala mirip flu ringan hingga sindrom gangguan pernapasan
akut, kegagalan banyak organ, dan kematian. Usia tua, diabetes dan penyakit penyerta
lainnya dilaporkan sebagai prediktor bermakna dari morbiditas dan mortalitas.39
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang memengaruhi kerja
insulin dalam penyerapan glukosa. Penyakit ini juga menjadi ancaman kesehatan
internasional, yang tingkat keparahannya meningkat dalam dua puluh tahun terakhir.
Diabetes merupakan salah satu faktor risiko utama terjadi COVID-19. Penyandang diabetes
rentan terhadap infeksi karena hiperglikemia, gangguan fungsi kekebalan, komplikasi
vaskular dan penyakit penyerta seperti hipertensi, dislipidemia, dan penyakit kardiovaskular.
Tingkat keparahan dan mortalitas dari COVID-19 secara bermakna lebih tinggi pada pasien
dengan diabetes dibandingkan pasien non-diabetes. Akibat penurunan fungsi kekebalan tubuh
penyandang diabetes menjadi salah satu faktor pencetus mudanya terjadi COVID-19 di masa
pandemi ini.34
Diabetes melitus tipe akan meningkatkan tingkat keparahan dan mortalitas dari pasien
COVID-19 akibat faktor-faktor risiko yakni akibat adanya mekanisme hubungan antara
diabetes melitus dengan COVID-19 terkait dengan usia lanjut, obesitas, peradangan sistemik
kronis, peningkatan aktivitas koagulasi, potensi kerusakan langsung pankreas, perubahan
ekspresi reseptor ACE2, disregulasi jumlah dan aktivitas sel imun, disfungsi alveolar, dan
disfungsi endotel yang dapat secara tidak langsung memengaruhi ke arah komplikasi yang
lebih parah akibat COVID-19.35

Strategi Tatalaksana Diabetes Melitus Pada COVID-1936


Strategi pengelolaan kadar glukosa berdasarkan tipe diabetes melitus pada pasien Covid-19.
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Pompa insulin atau insulin basal-bolus adalah regimen yang optimal.
Insulin analog adalah pilihan pertama yang direkomendasikan.
Pengobatan dengan insulin harus secara individualisasi.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien Covid-19 gejala ringan dengan peningkatan glukosa ringan-sedang, obat
antidiabetes non insulin dapat digunakan (umumnya cukup dengan isolasi mandiri).

117
Pasien dengan gejala sedang-berat atau diobati dengan glukokortikoid, pengobatan
dengan insulin adalah pilihan pertama. - Insulin intravena direkomendasikan untuk pasien
dengan kondisi kritis.
Glucocorticoid-associated diabetes (Diabetes Melitus Tipe Lain) - Pemantauan kadar
glukosa darah setelah makan sangat penting karena pada glucocorticoid-associated diabetes
peningkatan glukosa sering terjadi pada waktu setelah makan dan sebelum tidur. - Insulin
adalah pilihan pertama pengobatan.
Strategi pengelolaan kadar glukosa berdasarkan klasifikasi kondisi klinis :
 Gejala Ringan (umumnya di rawat jalan)
o Obat antidiabetes oral dan insulin dapat dilanjutkan sesuai dengan regimen awal.
o Progresivitas Covid-19 dapat dipercepat dan diperburuk dengan adanya hiperglikemia.
Pasien dengan komorbid diabetes direkomendasikan untuk meningkatkan frekuensi
pengukuran kadar glukosa (pemantauan glukosa darah mandiri), dan berkonsultasi
dengan dokter untuk penyesuaian dosis bila target glukosa tidak tercapai.
o Prinsip-prinsip pengelolaan diabetes di rawat jalan pada pasien Covid-19 mengikuti
kaidah sick day management pada penyandang diabetes.
 Gejala Sedang (umumnya di rawat inap)
o Pertahankan regimen awal jika kondisi klinis pasien, nafsu makan, dan kadar glukosa
dalam batas normal.
o Ganti obat andiabetes oral dengan insulin untuk pasien dengan gejala Covid-19 yang
nyata yang tidak bisa makan secara teratur.
o Disarankan untuk mengganti regimen insulin premix menjadi insulin basal-bolus agar
lebih fleksibel dalam mengatur kadar glukosa.
o Prinsip-prinsip pengelolaan diabetes dengan infeksi Covid19 di rawat inap mengikuti
kaidah tatalaksana hiperglikemia di rawat inap.
 Berat dan Kritis (HCU/ICU)
o Insulin intravena harus menjadi pengobatan lini pertama.
o Pasien yang sedang dalam pengobatan continuous renal replacement therapy (CRRT),
proporsi glukosa dan insulin dalam larutan penggantian harus ditingkatkan atau
dikurangi sesuai dengan hasil pemantauan kadar glukosa untuk menghindari
hipoglikemia dan fluktuasi glukosa yang berat.

118
Prinsip Pengelolaan Kadar Glukosa36
 Pengobatan insulin adalah pilihan pertama jika diabetes disertai dengan infeksi berat:
o Untuk pasien yang tidak kritis, injeksi insulin subkutan direkomendasikan dan dosis
dasar sesuai ke dosis untuk rawat jalan
o Untuk pasien kritis, variable rate intravenous insulin infusion (VRIII) lebih disarankan
o Pengobatan insulin intravena harus dimulai dalam kombinasi dengan infus cairan
secara hati-hati jika terdapat gangguan metabolisme glukosa yang berat dengan
gangguan asam basa dan gangguan cairan dan elektrolit.
 Jika kondisi klinis stabil dan asupan makan baik, pasien dapat melanjutkan obat
antidiabetes oral seperti sebelum dirawat.
 Menggunakan insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) dan insulin kerja panjang (long
acting) selama pengobatan dengan glukokortikoid untuk mengontrol kadar glukosa.
 Pematauan glukosa darah 4-7 titik selama pengobatan insulin.
Pertimbangan penggunaan obat diabetes dan obat yang sering digunakan pada penyandang
diabetes disertai infeksi Covid-19 :

119
Gambar 3 Obat Obatan Terkait Diabetes Melitus6

Vaksin COVID-19 Terhadap DM


Penyakit COVID-19 cenderung menandakan prognosis yang buruk pada pasien
dengan diabetes melitus (DM). Pencegahan primer tetap menjadi andalan untuk memitigasi
risiko yang terkait dengan COVID-19 pada pasien dengan DM. Langkah signifikan dalam
pencegahan primer adalah vaksinasi tepat waktu. Vaksinasi rutin terhadap pneumonia
pneumokokus, influenza, dan hepatitis B direkomendasikan pada pasien dengan DM
dengan kemanjuran yang baik. Dengan data klinis yang mendukung respons antibodi yang
menetralisir yang kuat pada pasien COVID-19 dengan DM, vaksinasi pada individu dengan
DM dibenarkan. Vaksinasi COVID-19 harus diprioritaskan pada individu dengan DM.
Penelitian telah menunjukkan bahwa selama vaksinasi influenza, respon kekebalan tubuh
mirip pada penderita diabetes dan orang normal. Oleh karena itu, vaksin influenza mungkin
berguna dalam kelompok berisiko tinggi ini. Ini memberikan perspektif baru tentang

120
imunisasi vaskin berbahan rekayasa DNA untuk penyakit menular pada diabetes. Selain itu,
beberapa upaya untuk merancang vaksin DNA terhadap influenza telah dikembangkan.
2.7 PENYAKIT JANTUNG
DEFINSI
Penyakit jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik, sehingga kerja jantung sebagai pemompa darah dan oksigen ke
seluruh tubuh terganggu. Terganggunya peredaran oksigen dan darah tersebut dapat
disebabkan karena otot jantung yang melemah, adanya celah antara serambi kiri dan
serambi kanan yang mengakibatkan darah bersih dan darah kotor tercampur.1 Penyakit
jantung biasanya terjadi karena kerusakan sel otot-otot jantung dalam memompa aliran
darah keseluruh tubuh, yang disebabkan kekurangan oksigen yang dibawa darah ke
pembuluh darah di jantung atau juga karena terjadi kejang pada otot jantung yang
menyebabkan kegagalan organ jantung dalam memompa darah, sehingga menyebabkan
kondisi jantung tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Penyakit jantung dapat
terjadi pada siapa saja di segala usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan gaya hidup, selain itu
penyakit jantung tidak bisa disembuhkan.2,3

1. EPIDEMIOLOGI
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar di Amerika Serikat
dan 50% kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner.Berdasarkan data dari
National Heart Interview Survey (NHIS) di Amerika Serikat, sebanyak 68 juta orang pada
usia 18 tahun ke atas menderita penyakit kardiovaskular termasuk PJK, hipertensi, dan
stroke.1
Sebuah studi besar dari Cina menganalisa 72.314 rekam medis pasien yang terdiri
atas 44.672 (61,8%) kasus terkonfirmasi, 16.186 (22,4%) kasus suspek, dan 889 (1,2%)
kasus asimtomatik.2
Pada analisis retrospektif awal berdasarkan data dari 138 data di Wuhan, Cina,
sekitar 50% dari pasien dengan infeksi COVID-19 memiliki satu atau lebih komorbiditas. 3
Terlebih, pada populasi pasien yang dirawat dengan infeksi COVID-19 berat proporsi
tersebut meningkat hingga 72%.5 Masih belum diketahui secara pasti apakah diabetes,
hipertensi dan PSV memiliki hubungan sebab-akibat dengan COVID-19 atau semata-mata
karena keterlibatan faktor usia sebagai perancu.4 Bagaimanapun, dapat diambil sebuah

121
pesan penting bahwa pasien yang mengalami perjalanan penyakit lebih berat bisa jadi
disebabkan oleh penyakit komorbiditas, meliputi PSV. Angka kematian kasus tertinggi
pada kelompok usia lebih tua: rasio kematian kasus sebesar 0.32 pada pasien berusia <60
tahun dibandingkan dengan 6.4 % pada pasien > 60 tahun. 5 Di Italia, angka kematian kasus
berkisar antara 0 % pada kelompok usia < 30 tahun hingga 3,5% pada populasi 60 - 69
tahun dan 20% pada populasi diatas 80 tahun.6 Hal tersebut menunjukkan fakta bahwa
pertambahan usia merupakan faktor risiko penting pada infeksi COVID-19. Riwayat PKV
juga berkaitan dengan risiko infeksi COVID-19 berat yang lebih tinggi. Pada studi kohort
retrospektif dari 72.314 kasus di Cina pasien dengan komorbiditas KV memiliki risiko
mortalitas lima kali lebih tinggi (10,5%), meskipun tanpa dilakukan penyesuaian usia.7,8

2. Manifestasi kardiovaskular dan perjalanan penyakit infeksi COVID-1


Wabah virus korona sebelumnya seperti severe acute respiratory syndrome (SARS)
dan Middle east respiratory syndrome (MERS) dikaitkan dengan beban komorbiditas dan
9,10
komplikasi KV yang signifikan. Komplikasi kardiak yang umum terjadi pada pasien
SARS meliputi hipotensi, miokarditis, aritmia dan kematian mendadak (sudden cardiac
death/SCD).11,12 Pemeriksaan diagnostik ketika infeksi SARS menunjukkan perubahan
elektrokardiografi, gangguan diastolik ventrikel kiri subklinis dan peningkatan troponin.
MERS juga dikaitkan dengan terjadinya miokarditis dan gagal jantung.11
Infeksi COVID-19 ditengarai memiliki manifestasi kardiak yang serupa. Otopsi dari
pasien dengan infeksi COVID-19 menunjukkan adanya infiltrasi sel inflamasi mononuklear
interstisial pada miokardium.12 Infeksi COVID-19 berkaitan dengan peningkatan kadar
penanda biologis kardiak akibat cedera kardiak.13,14 Cedera miokardial dan peningkatan
kadar penanda biologis diduga berkaitan dengan miokarditis dan iskemia terinduksi
infeksi.15 Pada studi oleh Shi dkk16, pada 416 pasien dimana 57 pasien diantaranya
meninggal dunia, cedera kardiak merupakan temuan yang umum terjadi (19,7%). Pada
pasien yang meninggal, 10.6% memiliki penyakit jantung koroner (PJK), 4.1% memiliki
gagal jantung, dan 5.3% memiliki PSV.15 Terlebih, pada analisa multivariat, cedera kardiak
berkaitan secara independen dan signifikan dengan kematian (hazard ratio [HR]: 4.26). 15
Serupa juga dengan studi oleh Guo dkk,14 peningkatan kadar troponin T akibat cedera
kardiak berkaitan dengan mortalitas yang lebih tinggi secara bermakna. Pasien tersebut
umumnya berjenis kelamin pria, lebih tua dan memiliki komorbiditas lebih banyak seperti

122
hipertensi, PJK.14 Infeksi COVID-19 berat juga diduga berkaitan dengan aritmia kardiak
setidaknya sebagai akibat dari miokarditis terkaitinfeksi.5
Selain komplikasi akut, infeksi COVID-19 juga berkaitan dengan peningkatan risiko
KV jangka panjang. Sudah cukup banyak bukti bahwa pada pasien dengan pneumonia,
hiperkoagulabilitas dan aktivitas inflamasi sistemik dapat bertahan dalam kurun waktu yang
lama.2,9 Terlebih lagi, studi pemantauan dari epidemi SARS menunjukkan bahwa pasien
dengan riwayat infeksi SARS-coronavirus kerap memiliki hiperlipidemia, gangguan sistem
KV atau metabolisme glukosa.9,11 Namun, SARS diterapi dengan menggunakan bolus
metilprednisolone berkala yang dapat menjadi menjelaskan dari gangguan metabolisme
lipid jangka panjang ketimbang konsekuensi dari infeksi itu sendiri. 13 Secara alamiah, tidak
terdapat dampak jangka panjang dari infeksi COVID-19 yang diketahui dengan pasti,
namun dampak yang diberikan oleh infeksi SARS sebelumnya setidaknya dapat
dipertimbangkan sebagai alasan dalam memantau pasien COVID-19 yang telah sembuh.
3. Patofisiologi - Mekanisme penyakit dan kaitannya dengan sistem kardiovaskular
COVID-19 disebabkan oleh virus corona beta baru yang diberikan nama resmi SARS-
CoV-2 oleh WHO. Virus korona merupakan virus asam ribonukleat untai tunggal dengan
lapisan pelindung serta tonjolan permukaan yang berkorespondensi dengan protein
permukaan yang menonjol.17 Kelelawar krisantemum diduga sebagai wadah alami dari
SARS-CoV-2,18 namun inang intermediet dari virus tersebut masih belum diketahui secara
pasti. SARS-CoV-2 merupakan virus yang sangat virulen dan memiliki kapasitas transmisi
yang lebih tinggi dibandingkan virus SARS sebelumnya (wabah tahun 2003), dengan kadar
virus yang tinggi pada pasien terinfeksi (hingga mencapai satu miliar kopi RNA/cc sputum)
dan stabilitas jangka panjang pada permukaan yang terkontaminasi.19 SARS-CoV-2 lebih
stabil pada plastik dan besi baja dibandingkan tembaga dan papan kartu, dan virus yang
viabel masih terdeteksi hingga 72 jam setelah kontaminasi virus pada permukaan material
tersebut.19 Meski tingkat infektivitas dari SARS-CoV-2 lebih tinggi dibandingkan influenza
atau SARS-coronavirus, diperlukan data lebih dalam lagi untuk kesimpulan yang lebih
akurat.20 Transmisi umumnya terjadi melalui kombinasi penyebaran droplet, dan kontak
langsung atau tidak langsung, serta masih terdapat kemungkinan bersifat airborne. Periode
inkubasi virus berkisar antara 2-14 hari, (umumnya 3-7 hari). 21 Virus bersifat menular pada
masa laten.
SARS-CoV-2 dapat mulai terdeteksi 1-2 hari sebelum awitan gejala saluran napas

123
atas. Kasus ringan umumnya memiliki bersihan virus yang lebih awal, dengan 90% kasus
menunjukkan hasil negatif pada pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR) pada hari ke-10 pasca awitan pertama. 22 Durasi median dari peluruhan
virus adalah 20 hari (rentang interkuartil: 17-24 hari) pada penyintas. 23 Durasi peluruhan
virus terlama yang tercatat pada penyintas mencapai 37 hari.23
Reseptor dari inang yang digunakan sebagai jalur masuk SARS-CoV-2 untuk memicu
infeksi adalah ACE-2 (gambar 2).24,25 ACE-2 merupakan protein multifungsi. Peran
fisiologis utamanya antara lain dalam konversi enzimatik angiotensin (Ang) II menjadi
Ang-(1-7) dan Ang 1 menjadi Ang (1-9), yang merupakan peptida protektif
kardiovaskular.26 Namun, dalam konteks COVID-19, ACE-2 juga terlibat pada proses
infeksi SARS sebagai reseptor virus korona.27 Ikatan protein tonjolan SARS-CoV-2 kepada
ACE-2 memfasilitasi proses masuknya virus kedalam sel epitel alveolus paru, dimana
ekspresi ACE-2 sangat tinggi, melalui proses yang melibatkan transmembrane protein
serine 2 (TMPRSS2) pada permukaan sel (gambar 2).28 Di dalam sitoplasma sel inang,
RNA genom virus akan dilepaskan dan bereplikasi yang berujung kepada pembentukan
genom RNA baru, yang akan diproses menjadi vesikel yang mengandung virion dan berfusi
dengan sel membran untuk melepaskan virus. SARS-CoV-2 utamanya disebarkan melalui
droplet dari saluran napas, sekresi sistem respirasi dan kontak langsung Keseimbangan
SRA/ACE-2 tampaknya terganggu dengan adanya infeksi SARS-CoV-2, yang diduga kuat
berperan dalam proses patogenesis pada cedera paru berat dan gagal nafas pada COVID-
19.29 Selain paru-paru, ACE-2 juga banyak diekspresikan pada jaringan jantung, pembuluh
darah dan saluran gastrointestinal manusia.30,31

124
Gambar. Peran penting ACE-2 dalam regulasi invasi virus ke dalam sel yang
mengekspresikan ACE-2
COVID-19 sejatinya merupakan penyakit respiratori, namun banyak pasien yang
menunjukkan manifestasi berupa PKV, meliputi hipertensi, cedera kardiak akut dan
miokarditis (gambar 3).10,32 Manifestasi tersebut dapat bersifat sekunder akibat konsekuensi
dari penyakit paru, karena cedera paru akut sendiri dapat meningkatkan beban kerja jantung
dan dapat menimbulkan masalah khususnya pada pasien dengan penyakit komorbid gagal
jantung. PKV juga dapat bersifat fenomena primer mengingat pentingnya peran
patofisiologi dan fisiologi dari SRA/ACE-2 pada sistem KV dan fakta bahwa ACE-2
banyak diekspresikan di jantung, sel vaskular dan perisit manusia.33

125
Gambar . Keterlibatan sistem kardiovaskular pada COVID-19 - manifestasi utama
dan hipotesis mekanisme
4. Hubungan antara hipertensi, angiotensin converting enzyme 2 dan COVID-19
Prevalensi dari riwayat hipertensi tampak lebih tinggi pada pasien COVID-19
yang mengalami sakit berat dibandingkan dengan yang tidak. 23,24 Hal serupa juga
ditemukan pada populasi yang mengalami sindrom distres napas akut (SDNA) atau
kematian. Studi-studi awal tidak melakukan analisa penyesuaian kelompok usia dan
pengaruh faktor usia masih harus dipelajari lebih lanjut. Mekanisme yang mendasari

126
hubungan potensial antara hipertensi dan COVID-19 masih belum diketahui namun
mempertimbangkan peran penting SRA/ACE-2 dalam patofisiologi hipertensi,
disregulasi dari sistem tersebut mungkin memiliki peran penting. Berdasarkan hal
tersebut juga telah diajukan suatu konsep bahwa terapi hipertensi dengan penghambat
SRA dapat mempengaruhi proses pengikatan SARS-CoV-2 kepada ACE-2, sehingga
mendukung proses infeksi.35 Usulan tersebut didasari atas temuan eksperimental
bahwa penghambat SRA yang menyebabkan peningkatan ekspresi ACE-2 sebagai
kompensasi dari terapi36, dan penyekat ACE dapat bersifat merugikan pada pasien
yang terpajan SARS-CoV-2.37 Namun, penting ditekankan bahwa belum ada bukti
yang jelas bahwa penggunaan penyekat ACE dan penghambat reseptor angiotensin
(angiotensin receptor blocker/ARB) dapat memicu up-regulation dari ACE-2 pada
jaringan manusia. Data yang tersedia dari sampel darah menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara kadar ACE-2 yang bersirkulasi dengan agen antagonis
SRA.38 Selain itu juga tampak bahwa pada model eksperimental penggunaan ARB
justru memiliki potensi protektif.39,40 Hingga saat ini tidak terdapat bukti klinis yang
mendukung pengaruh baik atau buruk dari penghambat SRA pada pasien COVID-19
dan sesuai dengan panduan dari organisasi bidang ilmu kardiovaskular besar lainnya,
pasien dengan agen penyekat ACE dan ARB tidak dianjurkan untuk menghentikan
pengobatan mereka.38,41
5. Cedera Kardiak Akut dan Miokarditis pada COVID-19
Miokarditis muncul pada pasien COVID-19 beberapa hari setelah adanya
demam. Hal tersebut menandakan cedera miokardium disebabkan oleh infeksi viral.
Mekanisme SARS-CoV-2 menyebabkan miokarditis mungkin berkaitan dengan
peningkatan regulasi ACE-2 pada jantung dan pembuluh darah koroner.32,41 Gagal
napas dan hipoksia pada COVID-19 juga dapat menyebabkan kerusakan pada
miokardium dan mekanisme imun dari inflamasi miokard merupakan faktor yang
penting..16,32,41 Sebagai contoh, cedera karadiak, berujung kepada aktivasi respon imun
innate dengan melepaskan sitokin pro-inflamasi, begitu juga dengan aktivasi
mekanisme sejenis autoimun adaptif melalui mimikri molekular.
6. Disregulasi sistem imun dan penyakit kardiovaskular pada COVID-19
Mekanisme inflamasi dan aktivasi respon imun mendasari beragam PKV meliputi
aterosklerosis, gagal jantung dan hipertensi.43,44 Disregulasi tersebut mungkin memiliki

127
derajat yang berbeda pada COVID-19. Pertama, reseptor lainnya yang digunakan oleh
SARS-CoV-2 untuk masuk ke dalam sel lainnya adalah cluster of differentation 209
(CD209).45 CD209 diekspresikan pada makrofag mendukung invasi virus ke dalam sel imun
pada jaringan kardiak dan vaskular. Lebih penting lagi, pada kasus COVID-19 yang berat,
ditemukan peningkatan sistemik berbagai sitokin seperti IL-6, IL-2, IL-7, granulocyte
colony-stimulating factor (GCSF), kemokin motif C-X-C 10 (CXCL10), kemokin (C-C
motif) ligan 2, dan tumour necrosis factor-α (TNF- α),46 yang berhubungan dengan
karakteristik sindrom pelepasan sitokin (SPS). Permeabilitas vaskular yang terganggu juga
dapat menyebabkan edema paru non-kardiogenik dan memicu SDNA serta disfungsi multi-
organ. Kadar serum IL-6 yang tinggi merupakan karakteristik yang umum terjadi pada SPS.
IL-6 merupakan prediktor klinis kematian pada COVID-19.47 Oleh karena itu, intervensi IL-
6 dapat digunakan pada pasien COVID-19 untuk mengatasi SPS. Terakhir, data
menunjukkan bahwa hipertensi berkaitan dengan jumlah limfosit yang bersirkulasi pada
pasien48 dan disfungsi sel T CD8 dengan proses PKV.49 Sel T CD8 merupakan pilar
imunitas antiviral, sehingga disfungsi sel tersebut dapat membuat organisme tidak efisien
dalam mengatasi sel yang terinfeksi virus
2.8 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lansia merupakan seseorang yang telah berusia > 60 tahun, mengalami
penurunan kemampuan beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seorang diri.8

2.1.2 Klasifikasi Lansia


1. Klasifikasi lansia menurut Burnside dalam Nugroho (2012) :
 Young old : usia 60-69 tahun
 Middle age old : usia 70-79 tahun
 Old-old : usia 80-89 tahun
 Very old-old : usia 90 tahun ke atas
2. Karakteristik Lansia
Menurut pusat data dan informasi, kementrian kesehatan RI pada tahun 2016,
karakteristik lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut ini :
 Jenis kelamin

128
Lansia lebih didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya, ini
menunjukan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan.
 Status perkawinan
Penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus
kawin 60% dan cerai mati 37%.
 Living arrangement
Angka beban tanggungan adalah angka yang menunjukan perbandingan
banyaknya orang tidak produktif (umur <15 tahun dan >65 tahun) dengan
orang berusia produktif (umur 15-64 tahun). Angka tersebut menjadi cermin
besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung penduduk usia produktif
untuk membiayai penduduk usia non produktif.
 Kondisi kesehatan
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan bisa menjadi
indikator kesehatan negatif. Artinya, semakin rendah angka kesakitan
menunjukan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik.9
Efek Samping Vaksin COVID-19 pada Lansia
Vaksinasi COVID-19 sangat penting bagi lansia karena kelompok usia lanjut lebih rentan
terhadap infeksi virus Corona. Adanya penyakit penyerta dan kondisi fisik yang mulai
melemah membuat lansia lebih sulit untuk melawan infeksi, termasuk COVID-19. Itulah
sebabnya, lansia menjadi prioritas untuk menerima vaksin ini.56
1. Keamanan Vaksin COVID-19 untuk Lansia
Vaksin COVID-19 yang sudah tersedia dan sudah mulai didistribusikan di Indonesia
saat ini adalah vaksin CoronaVac dari Sinovac. Badan POM juga sudah mengeluarkan
izin bagi vaksin Sinovac untuk digunakan pada lansia.
Izin ini dikeluarkan oleh BPOM karena vaksin Sinovac sudah menyelesaikan uji klinis
yang melibatkan ± 400 orang lansia sehat (usia di atas 60 tahun). Vaksin diberikan
sebanyak 2 kali dengan jarak 28 hari.
Lansia sehat yang dimaksud adalah lansia yang belum pernah terinfeksi virus Corona,
tidak dalam keadaan demam atau flu, tidak memiliki alergi vaksin, dan tidak ada kontak
dengan orang yang terinfeksi virus Corona.

129
Berdasarkan uji klinis yang telah dilakukan, vaksin Sinovac sudah terbukti aman dan
efektif pada lansia. Efikasi vaksin Sinovac untuk lansia pada uji klinis ini bahkan
mencapai 98%.
Dari uji klinis ini juga ditemukan bahwa efek samping yang dirasakan umumnya
bersifat ringan dan sedang. Efek samping paling banyak adalah nyeri di tempat suntikan.
Efek samping lainnya yang juga bisa muncul adalah demam, rasa lelah, batuk ringan,
mual, dan diare. Namun, efek samping tersebut hilang dalam 2 hari.
Selain vaksin Sinovac, ada beberapa vaksin lainnya yang juga sudah boleh diberikan
untuk lansia antara lain vaksin Pfizer-BioNTech, vaksin Oxford-AstraZeneca, vaksin
Sputnik, dan vaksin Moderna.
Vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna yang sudah dipesan oleh pemerintah Indonesia
pun memiliki efikasi yang baik pada lansia, yaitu di atas 93%. Sama seperti vaksin
Sinovac, efek samping yang terjadi rata-rata bersifat ringan dan sementara. Kendati
terdapat laporan mengenai efek samping vaksin COVID-19 yang berdampak serius atau
fatal pada lansia, jumlahnya terbilang sangat sedikit dan tidak bisa serta-merta dikaitkan
dengan vaksinasi COVID-19. Semua lansia yang dilaporkan mengalami efek samping
serius juga sudah berusia di atas 70 tahun dan memiliki penyakit penyerta.
Vaksin COVID-19 diharapkan bisa menjadi solusi untuk menghentikan rantai
penyebaran virus Corona di Indonesia, terutama pada orang-orang yang berisiko tinggi
mengalami penyakit berat atau kematian akibat virus ini, seperti lansia. Kendati BPOM
sudah mengeluarkan izin pemberian vaksin Sinovac kepada lansia, kita semua tetap perlu
mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19, seperti
menggunakan masker, menjaga jarak, serta mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir.56

130
131

Anda mungkin juga menyukai