Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS DAN ISPA

Disusun Oleh :
Ignatia Geovani JR, S.Ked
NIM : 206100802036

Pembimbing :
dr. Fajar Patompo

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
BAGIAN REHABILITASI MEDIK DAN EMERGENCY MEDICINE
RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di


bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak
berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang
berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf
Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari. Kejang
selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, sehingga bagi dokter
kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat.
Kejang demam diklasifikasikan sebagai kejang demam sederhana apabila
kejang yang berlangsung satu kali dan kurang dari 15 menit. Anak dapat saja
normal atau mempunyai kelainan neuorologis. Terjadinya kejang demam biasanya
berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, dan tersering pada usia 18 bulan.
Sebaliknya, kejang demam kompleks bila bersifat fokal, berlangsung lama (>15
menit), atau multiple (> 1 kali serangan selama 24 jam demam).
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata
laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama
kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan
waktu anak berumur berapa . Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang
bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran
pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk
demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian.
Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi.1
Kejang demam merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada masa
anak.2 Jumlah penderita kejang demam diperkirakan 2 – 4% dari jumlah penduduk
di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya
lebih tinggi sekitar 80- 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam
sederhana. Sekitar 30% pasien kejang demam ditemui dengan keadaan kejang
demam kompleks.1 Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai
2-4 % tahun 2008 dan terjadi pada anak antara usia 6 bulan dan 7 tahun, dan

2
setengahnya yang terjadi antara usia 1 dan 2 tahun 80% disebabkan oleh infeksi
saluran pernafasan.
Berikut ini akan di bahas kasus anak usia 2 tahun 7 bulan dengan Kejang
Demam Kompleks yang disertai dengan ISPA.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Primary Survey (Anak perempuan, usia 2 tahun 7 bulan)


Keadaan Umum : Tampak lemas, tampak sianosis
Pasien datang dengan keadaan lemas, hamper tidak
sadarkan diri, bibir pasien nampak biru
Vital Sign:
Denyut Nadi : 110 kali/menit (reguler, kuat angkat, dan isi cukup)
Frekuensi Napas : 19 kali/menit, torako-abdominal
Suhu : 39,50C
Usia : 2 tahun, 7 bulan
Berat badan : 12 kg
Airway : Bebas, tidak ada sumbatan jalan napas
Breathing : Spontan, 19 kali/menit, pernapasan abdominal
Circulation : Denyut nadi 110 kali/menit, reguler, kuat angkat, dan isi
cukup. CRT < 2 detik
Disability : pupil isokor +/+, diameter 3mm/3mm
Evaluasi masalah : Berdasarkan survey primer sistem triase, kasus ini
merupakan kasus kegawat daruratan pada anak yang
harus ditangani secepatnya dan diberikan label “MERAH”
Tatalaksana awal : Tatalaksana awal pada pasien ini adalah ditempatkan di
bed yang aman, melonggarkan pakaian, pemasangan
oksigen 2 lpm dan pemberian phenobarbital 75mg secara
intramuscular.

4
2.2. Secondary Survey
2.2.1. Identitas
Nama : An. P
Usia : 2 tahun, 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : jl.Tingang

2.2.2. Anamnesis
Alloanamnesis dengan Ibu pasien
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya diantar
oleh ibunya dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit, ibu anak mengaku kejang berulang sebanyak 2x dengan durasi lebih
dari 15 menit dengan durasi jeda kurang lebih 20menit, saat kejang mata anak
mendelik keatas, tangan anak kaku, dan lidah tidak tergigit. Saat kejang anak tidak
sadar dan setelah kejang badan anak lemas dan tetap demam. Ibu anak mengaku
sebelum kejang anak mengalami demam yang tinggi di rumah dan ini merupakan
serangan kejang yang pertama kalinya bagi anak.
Demam terjadi sejak kurang lebih 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam muncul tiba-tiba dan dirasakan terus menerus dan mendadak tinggi.
Orang tua anak membawa anaknya berobat ke puskesmas dan diberi obat penurun
panas, setelah minum obat penurun panas, panas turun tetapi nanti akan naik
kembali.
Pasien juga batuk dan pilek sejak kurang lebih 1 hari sebelum masuk
rumah sakit sebelum masuk Rumah Sakit bersamaan dengan demam. Batuk
pasien berdahak, dahak berwarna putih dan dahak sulit untuk dikeluarkan. Pasien
juga dibawa berobat ke puskesmas dan diberikan obat batuk namun batuk dan
pilek pasien belum berkurang. Nyeri telinga atau cairan keluar dari telinga (-),
nyeri menelan (-), kulit bintik-bintik kemerahan (-) bab cair (-), nyeri berkemih
(-).

5
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami kejang demam sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan
pasien.
- Riwayat epilepsi (-).

Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang dan Sebelumnya


1. Riwayat antenatal : Selama masa kehamilan rutin melakukan
ANC
2. Riwayat natal : Lahir spontan
3. Nilai APGAR : Saat lahir tidak langsung menangis
4. Berat badan lahir : 2900 gram
5. Tempat dan penolong : Rumah sakit dan ditolong bidan
6. Riwayat neonatal : Tidak ada membiru pada bibir, tangan,
dan kaki, tidak ada demam atau badan
kuning

1. Riwayat Perkembangan
Perkembangan motorik kasar: pasien bisa berdiri sendiri, berjalan,
berlari, bermain dan beraktivitas sesuai anak sebayanya . Perkembangan
motorik halus: pasien sudah bisa mencoret-coret dan memegang sendok
sendiri. Perkembangan bahasa dan bicara: pasien sudah lancar
berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang. Perkembangan sosial:
pasien bisa diajak bermain dan memiliki teman-teman seusianya di
rumah.
Kesan : perkembangan sesuai dengan usia.

6
2. Riwayat Imunisasi
Tabel 1. Riwayat Imunisasi
Jenis Dasar (Umur dalam hari/bulan)

BCG 1 bulan
POLIO 2,4,6 bulan
HEPATITIS B 0, 2,4,6 bulan
DPT 2,4,6 bulan
CAMPAK 9 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai dengan usia


3. Riwayat Makanan
Tabel 2. Riwayat makanan
USIA MAKANAN

0-6 bulan ASI semau anak


6-1 tahun Susu formula + Bubur nasi, sayuran, dan daging
dilunakkan 3xsehari
1- 2 tahun Susu fomula + Makan nasi biasa + lauk pauk + sayuran
(mengikuti makanan yang ada dirumah) 3 x sehari satu
piring penuh

Kesan: pemberian makanan sesuai dengan usia

4. Riwayat Sosial dan Lingkungan


Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan 1 saudaranya di komplek
perumahan beratap seng, berdinding batako, dan lantai keramik. Rumah
memiliki 2 kamar tidur setiap kamar tidur tidak ada ventilasi, 1 kamar
mandi, dan hanya terdapat 3 jendela kecil-kecil di rumah. Sumber air
yang digunakan untuk mandi dan memasak adalah air dari Hitachi
sedangkan untuk minum menggunakan air galon. Sumber api memasak
menggunakan kayu bakar. Rumah setiap hari selalu rutin dibersihkan. Ibu

7
pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol. Ayah pasien merokok
dan tidak mengkonsumsi alkohol.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
2. Pengukuran
Umur : 2 tahun 7 bulan
Berat badan : 12 kilogram
Tanda vital
Nadi : 110 x/menit (reguler, isi cukup, dan kuat angkat)
Suhu : 39,50C
Respirasi : 19 x/menit
3. Kulit : Warna sawo matang, tidak ada sianosis,
hemangioma (-), pucat (-), turgor cepat kembali,
kelembapan cukup.
4. Kepala : Bentuk normocephal (LK = 50 cm), ubun-ubun
besar sudah menutup, rambut warna hitam
distribusi merata.
Mata : Palpebra edem (-/-), cekung (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-), produksi air mata
cukup, pupil simetris (+/+), refleks cahaya
langsung (+/+), kornea jernih.
Telinga : Simetris kanan-kiri, sekret tidak ada, serumen
minimal
Hidung : Simetris, deviasi (-) pernapasan cuping hidung:
(-), secret (+) sedikit.
Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (+), kering (-),
tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Lain-lain : Tidak ada

8
5. Leher : Tidak terlihat peningkatan vena jugularis, tidak
teraba pulsasi, tekanan JVP tidak meningkat,
pembesaran kelenjar getah bening tidak ada,
tidak ada massa. Lain-lain tidak ada
6. Thoraks
Dinding dada/paru
Inspeksi: Bentuk : Simetris ka-ki, ketinggalan gerak (-),
bentuk dada dalam batas normal,
retraksi (-), pernapasan
torakoabdominal
Palpasi: Fremitus fokal : Normal (+/+)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi: Suara napas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara napas tambahan : Ronki kasar (+/+) wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi: Ictus cordis : Tidak terlihat
Palpasi: Apeks : Teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi: Batas kanan : SIC IV linea midclavicula dextra
Batas Kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi: Frekuensi : 110 x/menit, irama: reguler
Suara dasar : S1-S2 reguler, thrill (-),
Bising : Gallop (-), murmur (-)
7. Abdomen : Distensi (-), hati dan lien tidak teraba
membesar, tidak ada massa, timpani
(+), tidak ada asites, bising usus (+)
normal.
8. Genitalia : phymosis (-)

9
9. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-),
ikterik (-), pucat (-), clubbing finger (-),
sianosis (-)
10. Status Neurologis

Tanda Rangsang meningeal : kaku kuduk (-)


burdzinski I (-)
burdzinski II (-)
kernique (-)
Refleks Patologis : Babinski (-)
Openheim (-)
Refleks fisiologis : Refleks biseps +/+
Refleks triseps +/+

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


17 Mei 2021

Hematologi Hasil Rujukan

Leukosit 12.50x103/ul 4,50-11,0x103/ul


Eritrosit 3.81x106/ul 4,00-6,00x106/ul
Hemoglobin 10.5 g/Dl 10,5-18 g/dL
Hematokrit 31.2 % 37-48 %
MCV 81.9 U 86-102 U
MCH 27.3 pcg 25.6-30.7 pcg
MCHC 33.3 g/Dl 28.2-31.5 g/dL
Trombosit 207x103/ul 150 – 400x103/ul
Netrofil 8.73 x103/ul 1.50-7.00
Limfosit 1.62x103/ul 1.00-3.70

10
Monosit 0.65% 3-12%
Eosinofil 0.04% 0.5-5.0%
Basofil 0.01% 0-1%

GDS 117 <200

Elektrolit Hasil Rujukan


Natrium (Na) 135 135-148 mmol/L
Kalium (K) 3,5 3,5-5,3 mmol/L
Calcium (Ca) 1,07 0,98-1,2 mmol/L

2.5 Daftar Masalah


1. Kejang
(Sebanyak 2 kali, berlangsung lebih 15 menit, saat kejang tangan dan kaki
kaku, mata mendelik ke atas, area bibir sianosis)
2. Demam
(Suhu 39,50C , riwayat demam 1 hari sebelum kejang, konsumsi obat
penurun panas)
3. Ronchi kedua lapang paru
(Riwayat batuk pilek 1 hari sebelum kejang)
4. Hasil laboratorium abnormal
- Leukosit 12.500

Diagnosis Banding
 Kejang Demam Sederhana;
 Kejang Demam Kompleks;
 ISPA

11
Diagnosis Kerja
 Kejang Demam Kompleks
 ISPA

2.6. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Pada saat di IGD
- IVFD D5 ¼ NS 12 tpm
 Kebutuhan cairan (Holiday Segar)
BB = 12 kg
10 x 100 = 1000
2 x 50 = 100
1000 + 100 = 1100 cc/24 jam
 Kebutuhan per hari
1100cc : 24jam = 45,83 / hr
45,83 : 60 x 15 = 11,4 12 tpm
- Inj. Paracetamol 120mg (12 x 10mg 120mg)
- Inj. Phenobarbital 75mg (IM)
Po. Luminal 2x30 mg (12 x 5mg = 60 : 2 = 30mg)
Puyer batuk 3x1pulv
Non medikamentosa
- O2 nassal canul 2-3 L/menit

2.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3. 1 Kejang Demam
3.1.1 Definisi

Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai
pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan
ekstrakranial.3 Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam
adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 4

3.1.2 Epidemiologi3,5

Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita
kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada
perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral
yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. Jumlah penderita kejang demam diperkirakan
mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat.
Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi.

3.1.3 Etiologi

Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan
tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang.
Faktor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang
demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya. 3

Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis,
otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di
kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema

13
subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak
(morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.6

3.1.4 Klasifikasi

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua 4

1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)


- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam

2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)


- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan
kejang parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara
bangkitan kejang.

Menurut Livingstone (1970), membagi kejang demam menjadi : 5

Kejang demam sederhana :

- Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun


- Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit
- Kejang bersifat umum, frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak > 4 kali
- Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
- Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
- Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak
menunjukan kelainan

Kejang demam kompleks tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
Livingstone.

3.1.5 Patofisiologi7

14
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti
juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial
membrane yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel
lebih negative dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane
ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial
membrane ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion
Na+, K+, dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan
menurunnya potensial membrane.

Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas


membrane tehadap ion Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama
serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi
oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke
keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar,
yang disebut sebagai respon lokal.

Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang


tetap (firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan
meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial
aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui
sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila
perangsangan telah selesai, maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan
istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam
sel melalui mekanisme pompa Na – K yang membutuhkan ATP dari sintesa
glukosa dan oksigen.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K,


misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang
sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

15
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan


dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan
menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan


bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang
memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan
sel saraf meningkat.

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme otak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan


gangguan permeabilitas membrane sel

c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan


CO2 yang akan merusak neuron

16
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran
ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan


meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi
hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.

3.1.6 Faktor Resiko7

Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat keluarga,
faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil primi/multipara,
pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan lahir rendah, usia
kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma
kepala).

a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C
aksila atau diatas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,
tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor
utama timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion
dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga
dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi
jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal
pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia.

17
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel
meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam glutamate
akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap ion Na+ sehingga
semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel.
Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam,
sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane
sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membrane
sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan
kadar asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya
kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh
kenaikan suhu tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA
sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)
perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi
dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi
sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk
eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum
matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih
dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH)
merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak
belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk
terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%.
Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang

18
demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% -
22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya
apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang
demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang
akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir
rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan
iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan
eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada
kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian
terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya
riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya
hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu
dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit
persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan
kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi
perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.

19
g. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia
otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang.
Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia
dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode
perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada
perkembangan selanjutnya.

h. Kelahiran premature dan postmatur

Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna


sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita
apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi
hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan
ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan
timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Pada bayi yang dilahirkan
lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga
pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami
oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan
kelainan neurologic.

3.1.7 Diagnosis6,9,10

Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-


penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,
perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi
structural pada system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk
menegakkan diagnosis ini.

1. Anamnesis
 waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
 sifat kejang (fokal atau umum)
 Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
 Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

20
 Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap
atau naik turun)
 Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA,
GE)
 Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak
disertai demam atau epilepsi)
 Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
 Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
 Trauma kepala
2. Pemeriksaan fisik
 Tanda vital terutama suhu
 Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak.
 Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid
mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
 Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala
berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang
dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial
yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural.
 Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau
hidrosefalus.
 Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (ISPA, OMA, GEA)
 Pemeriksaan refleks patologis
 Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

3. Pemeriksaan Penunjang18
 Pemeriksaan Laboratorium

21
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara
lain pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah.

 Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis
adalah 0,6–6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan

2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan

3. Bayi >18 bulan – tidak rutin

Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

 Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak


direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

 Pencitraan

MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi


dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi
baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray
kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan)

22
atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti:

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema

3.1.8 Diagnosis Banding3

Tabel 2. Diagnosa Banding Kejang Demam

No Kriteri Banding Kejang Demam Epilepsi Meningitis


Ensefalitis

1. Kejang Pencetusnya Tidak berkaitanSalah satu gejalanya


demam dengan demam demam

2. Kelainan Otak (-) (+) (+)

3. Kejang berulang (+) (+) (+)

4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

3.1.9 Penatalaksanaan4,10,7

23
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

1. Mengatasi kejang secepat mungkin

2. Pengobatan penunjang/rumatan
Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas,
pernafasan, sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua
pakaian ketat dibuka, posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi
lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi
terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi. Pengisapan lendir
dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen.

24
Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor sekiranya terdapat kelainan
metabolik atau elektrolit.

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang


demam diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus
diberikan kepada anak selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah
paracetamol dengan dosis 10-15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen
dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Antikonvulsan yang dipergunakan
untuk mencegah terulangnya kejang demam ialah diazepam, baik diberikan
secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak dengan berat di bawah 10kg dan 10
mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral dengan dosis 0,3 mg/kg
setiap 8 jam pada saat tubuh ≥ 38,50C.

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis


teurapetik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang di kemudian hari. Pengobatan jangka panjang dapat
dipertimbangan jika terjadi hal berikut:

1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam


2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:

1).        Fenobarbital

Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital


jangka panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus
tidur dan kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.

2).       Sodium valproat / asam valproat

Dosisnya ialah 15 – 40 mg/kg BB perhari dibagi dalam 3 dosis selama 1-


2 tahun dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang
dapat terjadi adalah gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.

25
3).       Fenitoin

Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan


sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang
memuaskan. Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini
dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi.
Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan dengan jalan
mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.

4). Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya


infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian
antibiotik yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara
akademis pada anak dengan kejang demam yang datang untuk pertama kali
sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini perlu untuk
menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu
dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah,
kalium, magnesium, kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.

3.1.10 Prognosis6,11

1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50
% pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari Kejang
Demam Kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDK tergantung kepada faktor:
a.   riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b.   kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDK
c.    kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

26
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami
serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak
sama sekali faktor di atas.

4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun
kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan 0,2 % KDK mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDK tidak mengalami
kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan
menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.

3.2 ISPA

3.2.1 Definisi

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit yang sering


dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat. ISPA meliputi saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA yang mengenai jaringan
paru-paru atau ISPA berat, dapat menjadi pneumonia. 12

3.2.2 Epidemiologi

Menurut WHO tahun 2013, sebesar 78% balita yang datang ke pelayanan
kesehatan adalah akibat ISPA. ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang
dibandingkan negara maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan
10%-15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta balita
pada tahun 2004. 13

ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di


dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi
pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan
pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah

27
satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan
terutama pada bagian perawatan anak. 12

3.2.3 Etiolgi

Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari
90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya
lebih kecil. Dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine disebutkan bahwa
penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring,
sinus paranasalis, sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral,
sedangkan infeksi akut saluran nafas bagian bawah hampir 50% disebabkan oleh
bakteri. Penyebab ISPA oleh Streptococcus pneumonia sekitar 70-90%, sedangkan
Stafilococcus Aureus dan H. Influenza sekitar 10-20%. 14

3.2.4 Klasifikasi12

Penyakit ISPA dapat diketahui dibagi menurut :

a. Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu :
ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. Contoh ISPA bagian atas adalah
batuk pilek (common cold), Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, radang tenggorok,
Sinusitis dan lain-lain yang relatif tidak berbahaya. ISPA bagian bawah
diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan kematian.

b. Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :


1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : pneumonia berat dan
bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat
(Fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke
dalam (Severe chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.
2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas :
pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila
disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada

28
adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat
sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila
tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas
cepat.

3.2.5 Gejala dan Tanda

Gejalanya meliputi demam, batuk dan sering juga nyeri tenggorok, pilek, sesak
nafas, mengi, atau kesulitan bernafas. Infeksi saluran pernafasan akut dapat terjadi
dengan berbagai gejala klinis. Untuk membedakan gejala klinik pada ISPA yang
disebabkan oleh virus atau bakteri sangat sulit untuk di identifikasi. 14

3.2.6 Patogenesis

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, droplet melalui batuk dan bersin, udara
pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke dalam saluran
pernafasannya.15

ISPA juga dapat diakibatkan oleh polusi udara. ISPA akibat polusi udara adalah
ISPA yang disebabkan oleh faktor risiko polusi udara seperti asap rokok, asap
pembakaran rumah tangga, gas buang sarana transportasi dan industri, kebakaran
hutan, dan lain-lain. Agen infeksius dapat menyebabkan timbulnya ISPA, namun

29
keberadaan agen infeksius tidak langsung menimbulkan ISPA karena pertahanan
tubuh juga menjadi faktor yang penting untuk menentukan. 16

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan interaksi antara virus/bakteri


dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan
silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong
virus kearah faring. Iritasi virus/bakteri tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering.
Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan peningkatan
aktifitas kelenjar mucus, yang banyak terdapat pada dinding saluran pernafasan. Hal
ini mengakibatkan terjadinya pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal.
Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut dapat menimbulkan gejala batuk sehingga
pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. 16

Adanya infeksi virus merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi bakteri.


Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran pernafasan
atas seperti Streptococcus pneumonia, Stafilococcus Aureus dan H. Influenza
menyerang mukosa yang telah rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini
menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran
pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan batuk produktif. Invasi bakteri ini
dipermudah dengan adanya faktor-faktor cuaca dingin dan malnutrisi. 16

3.2.7 Faktor Risiko


Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA, seperti:
lingkungan dan host. Menurut berbagai penelitian sebelumnya, faktor lingkungan
yang dapat menyebabkan ISPA adalah kualitas udara dalam ruangan yang
dipengaruhi oleh polusi udara dalam ruangan (indoor air polution). Pencemaran
udara dalam ruangan disebabkan oleh aktifitas penghuni dalam rumah, seperti:
perilaku merokok anggota keluarga dalam rumah dan penggunaan kayu bakar sebagai
bahan bakar dalam rumah tangga. Sedangkan faktor host yang dapat mempengaruhi
terjadinya ISPA antara lain: status imunisasi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan
umur. Balita yang memiliki status imunisasi yang tidak lengkap akan lebih mudah
terserang penyakit dibandingkan dengan balita yang memiliki status imunisasi

30
lengkap. Balita BBLR memiliki kekebalan tubuh yang masih rendah dan organ
pernapasan masih lemah sehingga balita BBLR lebih mudah terserang penyakit
infeksi, khususnya infeksi pernapasan dibandingkan dengan balita tidak BBLR/
normal. 16

3.2.8 Diagnosis

Diagnosis ISPA ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis seperti


yang disebutkan pada klasifikasi diatas. 14

3.2.9 Penatalaksanaan
1) Medikamentosa :

a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen


dan sebagainya.
b. Pneumonia : diberi obat sesuai organisme penyebab
c. Bukan Pneumonia : tanpa pemberian antibiotik, terapinya berupa terapi
simptomatik. Diberikan perawatan dirumah, untuk batuk dapat digunakan obat
batuk yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
dekstrometorfan dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun demam
yaitu parasetamol.14
Pemberian antibiotik yang tidak sesuai untuk infeksi saluran pernafasan akut
dapat menyebabkan peningkatan prevalensi dan resistensi antibiotik. Lebih dari
setengah dari seluruh pemberian resep antibiotik untuk ISPA tidak perlu karena
infeksi ini lebih sering disebabkan oleh virus dan tidak memerlukan antibiotik.
Mengetahui ISPA yang terjadi ini karena infeksi bakteri atau virus sangatlah penting
untuk menentukan jenis pengobatan yang akan diberikan. 17

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus


dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang
dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. 20

1. Neonatus dan bayi muda ( <2bulan )


ampicillin + aminoglikosid
amoksisillin - asam klavulanat
amoksisillin + aminoglikosid

31
sefalosporin generasi ke-3

2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)


beta laktam amoksisillin

amoksisillin - asam klavulanat

golongan sefalosporin

kotrimoksazol

makrolid (eritromisin)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)


amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata dalam 24-72 jam diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga

3) Nonmedikamentosa
Penatalaksanaan Nonmedikamentosa yaitu13:

a. Perbanyak istirahat
b. Perbanyak minum air putih
c. Hindari makanan berminyak dan es
d. Konsumsi makanan gizi seimbang
3.2.10 Komplikasi

ISPA (Infeksi Saluran pernafasan akut) sebenarnya merupakan penyakit yang


sembuh sendiri dalam 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain, tetapi ISPA yang
tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang baik dapat menimbulkan
penyakit seperti : penutupan tuba eustachi, laryngitis, bronchitis, dan
bronkopenumina.13

32
3.2.11 Prognosis

Pada dasarnya, prognosis ISPA adalah baik pabila tidak terjadi komplikasi yang
berat. Hal ini juga didukung oleh sifat penyakit ini sendri, yaitu self limiting disease
sehingga tidak memerlukan tindakan pengobatan yang rumit.

Penyakit yang tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak oleh
karena infeksi bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit >
10.000/ul, biasanya didapatkan infeksi sekunder.15

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan anak perempuan berusia 2 tahun 7 bulan dengan berat


badan 12 kg datang ke IGD RSUD dr.Doris Sylvanus pada tanggal 17 Mei 2021
dengan diagnosis Kejang Demam Kompleks dan ISPA. Diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada kasus ini di diagnosis Kejang Demam Kompleks ditegakkan
berdasarkan dari teori bahwa dikatakan kejang demam kompleks jika kejang lebih
dari 15 menit, kejang berlangsung lama, kejang berulang dalam 24 jam dan
adanya riwayat demam. Pada kasus ini dari anamnesis sudah sesuai dengan teori
yaitu terjadinya kejang yang berulang sebanyak >1 kali dengan durasinya lebih
dari 15 menit dan didapatkan demam pada pasien sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Berdasarkan anamnesis pasien juga tidak mempunyai riwayat penyakit
keluarga yang mengalami kejang serupa dengan pasien. Pada kasus ini gambaran
kejangnya diawali dengan kaku pada lengan kanan dan kiri, mata mendelik ke
atas. Berdasarkan anamnesis saat kejang suhu tubuh pasien tidak diukur oleh
ibunya karena tidak mempunyai thermometer, pasien setelah kejang tampak
lemas.
Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan didahului terjadinya demam
sebelum kejang, pada kasus sudah sesuai dengan teori yaitu ditemukan adanya
demam namun, ibu pasien tidak mengukur suhu tubuh selama dirumah. Pada teori
juga tidak ditemukan adanya kelainan pada fungsi neurologisnya. Pada kasus ini
dari pemeriksaan fisik sudah sesuai dengan teori tidak adanya gangguan
neurologis. Pada teori terdapat penyakit yang mendasari seperti ISPA, OMA dan

34
GEA, pada kasus ini sudah sesuai dengan teori yaitu adanya ISPA sebagai
penyakit yang mendasari pasien kejang demam.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik beberapa diagnosis banding
yang perlu dipikirkan pada pasien dengan keluhan kejang disertai demam antara
lain epilepsi. Kejang yang terjadi dipikirkan sebagai kejang demam karena
terdapat riwayat demam yang dialami sebelum kejang terjadi. Dari anamnesis,
diketahui bahwa bentuk kejang tergolong sebagai kejang klonik tanpa disertai
dengan gejala fokal (Parsial). Diagnosis banding kejang akibat epilepsi dapat
disingkirkan karena mengingat usia pasien yang masih berada di rentang antara 6
bulan sampai 4 tahun. Pada pasien tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial, ataupun tanda rangsang meningeal dapat disingkirkan karena
kelainan kaku kuduk (-), Pemeriksaan neurologis dalam keadaan normal. Pasien
juga tidak mempunyai riwayat kejang pada saat tidak demam, untuk
menyingkirkan diagnosis epilepsi.
Pada pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan darah
lengkap. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus dibuktikan bahwa
adanya tanda-tanda infeksi yang memicu terjadinya demam yaitu, adanya
peningkatan pada sel darah putih yaitu 12.500 dimana nornmalnya 4.500 sampai
dengan 11.000. Pemeriksaan laboratorium selanjutnya adalah pemeriksaan
elektrolit. Gangguan elektrolit menyebabkan terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium sehingga memicu terjadinya kejang demam. Pada kasus ini
tidak didapatkan adanya gangguan elektrolit. Pada teori bisa dilakukan
pemeriksaan pungsi lumbal untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis namun, pada kasus tidak dilakukan karena pungsi lumbal dianjurkan
pada bayi usia <12 bulan dan pada kasus usia 3 tahun. Selain pungsi lumbal teori
mengatakan untuk melakukan elekroensefalografi (EEG) namun pada kasus ini
tidak dilakukan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kejang demam yang

35
tidak khas misalnya kejang demam kompleks pada anak usia > 6 tahun pada kasus
berusia 2 tahun.

Pada kasus ini di diagnosis ISPA berdasarkan ISPA kategori non pneumonia
ditegakkan berdasarkan teori yaitu didapatkannya adanya demam , batuk
berdahak, tidak didapatkan adanya nyeri tenggorokkan, sesak nafas, mengi,
ataupun kesulitan bernafas. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ada di dapatkannya
tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing). Pada kasus ini
sudah sesuai dengan teori yaitu demam pada pasien sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit dan batuk berdahak, dahak berwarna putih dan dahak pasien sulit
untuk di keluarkan. Pada pasien tidak didapatkan adanya nyeri tenggorokkan,
sesak nafas, mengi, ataupun kesulitan bernafas. Pada pemeriksaan fisik juga tidak
ada di dapatkannya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest
indrawing). Pada teori juga didapatkan adanya faktor resiko yaitu kualitas udara
dalam ruangan dipengaruhi oleh polusi udara dalam ruangan, pada kasus sudah
termasuk dengan teori adanya faktor resiko yaitu ayah pasien merokok, ventilasi
yang sedikit, terdapat 3 jendela rumah kecil-kecil dan sumber api untuk masak
adalah kayu bakar.
Demam yang terjadi pada pasien di sebabkan karena adanya ISPA yang di
alami pasien akibat karena adanya infeksi. ISPA paling sering terjadi akibat
infeksi virus dan bakteri, saat virus ataupun bakteri masuk sebagai antigen
kedalam saluran pernafasan, tubuh akan berespon dengan mekanisme pertahan
tubuh yaitu demam. Pada saat terjadinya demam ini merupakan pertanda bahwa
tubuh berespon untuk melawan infeksi yang terjadi. Saat terjadinya kenaikan suhu
pada pasien yang kemudian menyebabkan demam sehingga demam yang terjadi
pada pasien mengubah keseimbangan dari membran sel neuron, pada saat
terjadinya perubahan maka lepasan muatan listrik semakin besar sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dan terjadi kejang. Pada
teori juga dikatakan bahwa jenis infeksi yang bersumber dari luar susunan saraf
pusat yang dapat menimbulkan demam sehingga menimbulkan kejang demam
penyakit yang paling seringnya adalah salah satunya infeksi saluran pernafasan

36
atas (ISPA). ISPA merupakan penyakit yang mendasari terjadinya demam pada
pasien dan pada saat terjadinya demam kemudian menimbulkan kejang demam
pada pasien.
Penatalaksanaan pasien ini dengan pemberian cairan infus D5 ¼ NS dengan
dosis kebutuhan cairan berdasarkan berat badan anak 12 kg menggunakan rumus
Holiday Segar yaitu 1100cc/24jam. Hal ini untuk memberikan kebutuhan glukosa,
cairan, dan elektrolit pada pasien yang saat demam, tidak terpenuhi asupannya.
Penatalaksanaan selanjutnya adalah dengan memberikan phenobarbital 75mg jalur
intramuscular sudah sesuai dengan teori karena pada kasus pasien datang sudah
tidak ada kejang lagi dan diberikan phenobarbital 75mg jalur intramuscular.
Kemudian untuk menurunkan gejala demam pada pasien diberikan golongan
antipireptik jalur intravena yaitu paracetamol 10-15mg/kgBB pada kasus sudah
sesuai dengan teori yaitu diberikan paracetamol 120mg dengan jalur intravena.
Kemudian untuk penatalaksanaan kejang selanjutya setelah 4 jam pemberian
phenobarbital 75mg jalur intramuscular diberikan phenobarbital 4-5mg/kgBB
selama dua hari, pada kasus ini sudah sesuai yaitu 12kg x 5mg = 60mg : 2
diberikan per oral luminal puyer 2x30mg.
Pasien juga diberikan terapi asimptomatik untuk mengurangi gejala batuk
sesuai dengan teori tatalaksana pada ISPA non pneumonia yaitu pasien
mendapatkan puyer batuk untuk mengurangi gejala batuk berdahaknya dengan
dosis yang terkandung didalamnya ada ambroxol 0,5-0,6mg/kgBB/hari dan CTM
0,35mg/kgBB/hari sudah sesuai dengan teori yaitu pada kasus mendapatkan
ambroxol 2,4gr/hari dan CTM 1,4/hari menjadi yaitu 3x1.
Penatalaksanaan yang kedua adalah memberikan edukasi dan komunikasi
kepada orang tua pasien yaitu :9

 Meyakinkan bahwa pada umumnya kejang demam memiliki prognosis baik


 Memberitahukan cara penanganan kejang
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
 Pemberian obat untuk mencegah berulangnya kejang memiliki efek samping
 Bilamana terjadi kejang kembali, maka:
Orang tua harus tetap tenang dan tetap bersama pasien selama kejang

37
 Mengendorkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher
 Bila tidak sadar, anak dapat diposisikan terlentang dengan kepala miring ke
satu sisi. Muntahan atau lendir di mulut atau hidung dibersihkan. Sebaiknya
tidak memasukkan sesuatu ke dalam mulut anak ketika sedang kejang
walaupun ada kemungkinan lidah tergigit
 Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan pola gerakan kejang
 Jika kejang berlangsung selama 5 menit atau lebih, harap di bawa berobat ke
dokter atau rumah sakit.
Prognosis pada pasien ini bergantung pada :

 Riwayat kejang demam dalam keluarga


 Usia kurang dari 18 bulan
 Lamanya demam sebelum kejang
Apabila salah satu terpenuhi maka prognosis terjadinya komplikasi
epilepsi pada pasien ini adalah 10-15%, apabila ketiga kriteria diatas terpenuhi
maka prognosisnya 80% bias terjadi komplikasi epilepsi.
Edukasi yang baik dan benar sangat diperlukan pada pasien dengan kejang
demam karena kejang demam sendiri teermasuk kegawat daruratan pada anak.
Apabila kejang dibiarkan tidak ditangani secara cepat dan benar di khawatrikan
akan menimbulkan kejang berulang yang mengarah kearah epilepsi, bahkan
sampai kematian.

38
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini dilaporkan suatu Kejang Demam Kompleks beserta ISPA
pada seorang anak perempuan An. P berusia 2 tahun 7 bulan dengan berat badan
12 kg.
Penanganan awal yang diberikan saat pasien datang ke IGD dengan
keadaan lemah karena post kejang adalah mengelompokan pasien berlabel
MERAH, menempatkan pasien di bed aman, melonggarkan baju pasien. Setelah
itu dilakukan primary survey dengan mengecek cepat vital sign serta ABCD,
pemasangan oksigen 2lpm dan memberikan phenobarbital 75mg. Setelah iti
dilakukan secondary survey dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang serta tatalaksana lanjutan dan pemasangan IV line dan injeksi
paracetamol. Tatalaksana berikutnya sesuai dengan dokter spesialis.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson,


Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2009
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM,
Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 2006.
3. Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta. 2011.
4. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. EGC, Jakarta 2010.
5. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment.
Didapatkan dari: www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
6. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2.
Blackwell pulblishing; 2012.
7. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas
Diponegoro; 2010.
8. Pudjaji AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED. Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta.
2010.
9. Ministry of health service. Guidelines and protocols febrile seizure. British
columbia medical association. 2010.
10. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke
11. WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit. 2009.
12. WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemu di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 2013.
13. Usman, Iskandar. 2012. Penderita ISPA. (online) Diakses 30 oktober
2018.
14. Rubin, Michael A, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine, USA :
McGraw Hill. 2005.
15. Ditjen P2PL. 2012. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta : Depkes RI.
16. Machmud, Rizanda. (2016). Pneumonia balita di Indonesia dan peranan
kabupaten dalam menanggulanginya. Andalas University Press.
17. Deasy, Joan and Werner. 2009. Acute Respiratory Tract Infenstions; When
Are Antibiotics Indicated. Available from www.jappa.com

40
18. Arief Fadly Rifqi. Penatalaksanaan Kejang Demam. Continuing Medical
Education. Rumah Sakit Cempaka Putih; Jakarta Pusat
19. The Indonesian Society Of Respirology. 2017. PDPI Lampung:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
20. Samuel Andy. 2014. Laporan kasus; Bronkopneumonia On Pediatric
Patient. Faculty of Medicine, Universitas Lampung

41

Anda mungkin juga menyukai