Anda di halaman 1dari 6

692018019 - Faith Jonathan Langgar

Filosofi Kopi

Pada kesempatan kali ini saya akan me-review, melakukan pembahasan dan analisa secara lebih
mendalam dalam membandingkan film karya tanah air yang berjudul Filosofi Kopi yang merupakan
adaptasi dari novel tanah air dengan judul yang sama, karya Dee Lestari melalui sudut pandang dan opini
saya sebagai penonton film dan pembaca novel ini. Film ini merupakan film yang diproduseri oleh Angga
Dwimas Sasongko, Anggia Kharisma, Handoko Hendryono, dan Glenn Fredly. Film ini merupakan
garapan karya buatan Visinema Pictures, yang merupakan rumah produksi film di Indonesia yang
didirikan Angga Dwimas Sasongko pada 2008. Visinema adalah rumah produksi film di Indonesia yang
dibangun berdasarkan visi besar dari individu muda, dengan ide-ide progresif untuk mendorong perubahan
yang paling relevan dari masa ke masa. Visinema Pictures adalah perusahaan film dengan strategi bisnis
yang tidak hanya membawa idealisme, tetapi juga fleksibilitas melalui banyak media dan platfrom yang
berbeda. Film ini disiarkan di bioskop pada tahun 2015. Dengan mengadaptasi novel buatan karya Dee
Lestari yang berhubungan dengan kopi pada tahun itu (2015) , yang merupakan tahun dimana banyak
sekali bermunculan beragam sekali bisnis yang berhubungan dengan kopi dan munculnya banyak pecinta
kopi tentu saja menjadi faktor dan daya tarik bagi audience sebagai penonton film ini. Mengingat bahwa
Dee Lestari merupakan salah satu penulis buku dan lagu yang terkenal dan tersohor di Indonesia, hal
tersebut terlihat dari karya - karyanya yang telah diadaptasi ke layar lebar seperti Perahu Kertas , Perahu
Kertas 2, Madre dan Supernova. Adaptasi film tersebut juga memiliki pencapaian yang luar biasa pada
industri perfilman tanah air Indonesia. Tentu saja kita sebagai penonton pasti mempunyai ekspektasi yang
cukup tinggi untuk film adaptasi novel Filosofi Kopi. Jika dilihat dari segi novel, buku novel ini telah
dianugerahi sebagai karya sastra terbaik tahun 2006 oleh majalah Tempo . Pada tahun yang sama yaitu
tahun 2006, Filosofi Kopi juga berhasil dinobatkan menjadi salah satu dari 5 Besar Khatulistiwa Award
dalam kategori fiksi. Sehingga saya pun sebagai penonton juga akan berekspektasi cukup tinggi terhadap
adaptasi filmnya dan sangat antusias untuk mengetahui aktor dan aktris pada film ini. Jika dilihat dari
pencapaian film ini, Filosofi Kopi berhasil memenangkan penghargaan kategori Penulis Skenario Terpuji
dalan Festival Film Bandung. Memenangkan penghargaan kategori Penyunting Gambar Terbaik, Penulis
Skenario Adaptasi Terbaik pada Festival Film Indonesia. Berhasil memenangkan penghargaan kategori
Skenario Adaptasi Terpilih dalam Piala Maya. Memenangkan Movie of The Year pada Indonesian Choice
Award, dan memenangkan Best Ensemble Performance pada World Film Festival. Tentu saja suatu
pencapaian yang luar biasa untuk film buatan tanah air yang diadaptasi juga dari novel asli Indonesia.
692018019 - Faith Jonathan Langgar

Di film ini, karakter utama Ben diperankan oleh aktor Chicco Jerikho, Jody oleh aktor Rio
Dewanto, sedangkan karakter sampingan seperti Nana diperankan oleh aktris Westny Dj, Aldi oleh aktor
Audi Assegaf, Ayah Ben oleh aktor senior Otig Pakis, Pak Seno oleh aktor senior Indonesia Slamet
Rahardjo. Di film ini juga ada karakter utama tambahan yang tidak ada pada novel yaitu El yang
diperankan oleh aktris Julie Estelle. Selain penambahan karakter, ada beberapa unsur dalam cerita novel
yang diubah pada adaptasi film ini. Perubahan cerita pada film adaptasi novel memang bukan hal yang
baru, namun kali ini perubahan tersebut juga mengubah apa yang disampaikan oleh novel, sehingga film
jni tidak sepenuhnya mewakili apa isi yang ada didalam novel sumber adaptasinya, berbeda dengan Perahu
kertas yang tidak mengalami perubahan cerita berskala besar.

Jika di dalam novel alur ceritanya maju mundur dengan urutan cerita seperti berikut : Terbelit hutang -
ditantang pengusaha - meracik kopi Ben's Perfecto - pengusaha puas dan memberi cek sebesar 50 juta -
seorang bapak-bapak datang dan bilang rasanya lumayan - mendatangi Pak Seno - meracik kopi Tiwus -
Ben tersadar akan motivasi nya.

Sedangkan di dalam film alur ceritanya juga maju mundur namun dengan urutan cerita seperti berikut :
Terbelit hutang 800 juta - ditantang pengusaha - meracik kopi Ben's Perfecto - El mengatakan bahwa
masih ada kopi yang lebih enak - mendatangi Pak Seno - meracik kopi Tiwus untuk investor tender - Ben
tersadar akan motivasi nya.

Terlihat berbeda bukan? Ya hal tersebut terjadi pada film ini. Pengubahan jalan cerita ini tidak mengubah
pesan moral yang kita dapatkan saat membaca novel aslinya. Sebagian besar isi novel dapat terwakilkan,
hanya saja untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak maka film ini diubah atau dengan kata
lain dipoles agar terkesan lebih "fresh" ketika diangkat ke layar lebar. Namun saya menyayangkan
beberapa pengubahan jalan cerita pada film ini.

Yang pertama yaitu penambahan karakter bernama El. Karakter ini sebenarnya tidak ada di novel,
seharusnya jalan cerita film ini menceritakan antara dua sahabat yang memiliki kepribadian sangat
bertolak belakang, menjalankan bisnis bersama. Pada novel diceritakan yang mengatakan bahwa kopi Ben
rasanya hanya lumayan saja bukan El, melainkan bapak-bapak berpenampilan biasa saja, yang kemudian
membawa Ben dan Jody menuju tempat Pak Seno. Pengubahan ini tentu menimbulkan suatu pertanyaan
bagi saya ketika menonton film tersebut. Mengapa karakter tersebut diganti menjadi seorang wanita? Saya
rasa ini merupakan strategi dari film ini untuk menarik lebih banyak lagi audiens. Ya, menurut saya Julie
Estelle disini dimanfaatkan juga sebagai "eye candy" sehingga penonton lebih asik ketika menonton
692018019 - Faith Jonathan Langgar

karena adanya karakter wanita yang cantik sehingga enak dipandang. Namun tentu saja agar tidak terkesan
seperti itu, maka karakter wanita ini harus dibuat menjadi memiliki peran yang penting dalam cerita.
Apakah perlu menambah karakter wanita yang mempunyai peran penting dan mampu mengubah jalan
cerita dalam film ini? Latar belakang EL dibuat menjadi seorang wanita yang merupakan penulis buku,
pecinta kopi, food blogger bersertifikasi internasional. Latar belakang ini tentu disamakan dengan target
audiens film yang pada tahun 2015 itu sedang maraknya Food blogger pada sosial media sehingga
berkaitan dengan keadaan nyata didunia luar. Seharusnya cerita ini hanya menceritakan tentang
persahabatan, namun di film karena adanya karakter El, maka penonton dibuat dapat berasumsi jika Jody
menyukai El. Hal itu dapat dilihat ketika Jody mulai menatapi El saat pelelangan kopi, hingga akhirnya
mereka mampu bertukar cerita masa lalu mereka berdua yang cukup kelam di tempat Pak Seno. Jadi saya
rasa, tema film ini cukup bertambah dari persahabatan dan pencarian jati diri, menjadi persahabatan,
pencarian jati diri, dan ada sedikit percikkan romance. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa “eye candy”
dalam film juga dibuat sebagai daya tarik dan ajang menjual suatu film.

Perubahan Kedua yaitu pengusaha kaya raya yang menantang Ben, dalam novel pengusaha tersebut
menantang Ben, dan Ben berhasil membuat kopi yang enak dan menghasilkan uang cek lima puluh juta
rupiah. Pengusaha tersebut lah yang mencicipi kopi Ben's Perfecto buatan Ben, dan dia sangat puas.
Pengusaha tersebut tidak pernah mencicipi Kopi Tiwus. Di film, yang mencicipi kopi Tiwus merupakan
client bisnis pengusaha yang suka menjelajahi dunia dan mencicipi berbagai macam jenis kopi. Pengusaha
dalam film bukanlah yang menilai kopi tersebut nikmat atau tidak.

Perubahan Ketiga yaitu, dalam novel yang mengatakan kopi Ben rasanya hanya lumayan saja dan bukan
yang terbaik adalah seorang bapak-bapak, bukan El yang merupakan penulis buku, food blogger dan
reviewer bersertifikasi Internasional. Karena ego dan obsesi Ben begitu besar maka iapun merasa harus
mencicipi kopi Tiwus dan membuktikan jika kopi tersebut benar lebih nikmat daripada buatannya. Kopi
Tiwus bukanlah tantangan antara Ben dan pengusaha, melainkan tantangan antara Ben dan obsesinya
sendiri terhadap Kopi. Dari sana, Ben disadarkan dengan sifat keangkuhan dan arogansinya atas kopi yang
selama ini Ia banggakan. Pesan moral film dan buku ini tetap sama yaitu “Sesempurna apapun kopi yang
kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” Penyadaran tersebut
didapat Ben dari sosok Pak Seno yang sederhana dan lugu. Serta bantuan dari Jody sebagai sahabat sejati
Ben yang telah mengenalnya selama belasan tahun. Perubahan-perubahan ini lah yang saya rasa sedikit
menggeser elemen-elemen cerita yang ada di dalam novel. Selebihnya film ini memiliki beberapa
692018019 - Faith Jonathan Langgar

penambahan dan pengubahan jalan cerita yang menurut saya merupakan suatu langkah perubahan yang
baik untuk dilakukan dan tidak menganggu jalannya cerita pada film ini.

Perubahan Keempat yaitu turning point atau titik balik Ben yang membuatnya terpukul lalu sadar kembali
akan passion - nya terhadap kopi. Di novel, Ben pensiun dari kedai Filosofi kopi karena merasa kopi
sempurna buatannya itu mampu dikalahkan oleh kopi seduhan biasa buatan petani kopi yang sederhana.
Yang membuat Ben kembali tersadar akan semangatnya dalam membuat kopi adalah momen dimana Jody
untuk pertama kali membuatkan kopi untuk Ben serta memberikan setumpuk surat penggemar dari
pelanggan kedai filosofi kopi semenjak Ben pensiun . Sedangkan dalam film, yang membuat Ben
mengakui kekalahannya ialah perkataan El bahwa Ben tidak membuat kopi yang enak karena ia hanya
terobsesi dengan kopi, tidak membuatnya dengan cinta seperti yang dilakukan oleh Pak Seno yang
merupakan seorang petani kopi yang lugu nan sederhana .Ia memutuskan untuk pulang ke kampung
halamannya dan bertemu kembali dengan ayahnya. Setelah membantu pekerjaan ayahnya yang kini
sebagai petani sayur dan berkat kunjungan Jody, Ben berhasil tersadar dan menemukan jati dirinya
kembali.

Penambahan cerita latar belakang karakter Ben akan obsesinya terhadap kopi dalam film ini merupakan
poin plus yang menurut saya mampu menebus perubahan-perubahan sebelumnya. Di novel tidak
diceritakan bagaimana Ben bisa terobsesi dengan kopi, namun di film ini ditunjukkan secara lebih detail
dan mendalam. Adegan demi adegan ditunjukkan betapa Ben begitu mencintai dunianya. Didalam film
ini digambarkan bahwa Ben merupakan seorang anak petani kopi pada desa kecil yang lahannya harus
diganti dengan lahan sawit oleh pemerintah. Ibunya meninggal sehingga membuat Ayahnya yang dulu
sangat mencintai kopi menjadi terpukul dan membenci kopi. Penambahan adegan ini mampu
mendramatisir cerita dan menyentuh hati para penonton. Sehingga kita sebagai penonton dapat memahami
sifat Ben yang super percaya diri, arogan dan terobsesi kepada kopi. Adegan kilas balik ketika Ben
mengikuti Pak Seno di kebun kopi juga mampu mengundang haru bagi para penonton. Pembawaan peran
dari aktor dan arahan sutradara dalam film ini berhasil memvisualisasikan cerita dalam novel menjadi
suatu karya cinema yang mampu menyentuh sisi emosional dan sentimental penonton.

Pembawaan peran oleh para aktor dan aktris dalam film ini merupakan salah satu faktor penentu
saya sebagai penonton dapat menikmati film adaptasi novel. Sifat Jody yang selalu berfikir secara
kuantitatif dan sifat Ben yang angkuh dan menyukai tantangan mampu dibawakan oleh Rio Dewanto dan
Chicco Jerikho. Chemistry antara kedua pemeran utama ini mampu membuat saya menikmati film ini.
692018019 - Faith Jonathan Langgar

Karakter mereka dapat diperankan dengan baik tanpa perlu diperankan secara berlebihan. Momen ketika
mereka sering beradu argumen, berdebat, membahas masalah, atau ketika mereka bercanda mampu
tervisualisasikan dengan baik. Sama seperti ketika saya membaca novel aslinya. Sosok sederhana nan lugu
Pak Seno yang diperankan oleh Slamet Rahardjo dan Karakter ayah Ben yang emosional diperankan oleh
Otig Pakis juga mampu menyentuh sisi sentimental saya sebagai penonton. Hanya saja, saya sangat
menyayangkan di film tidak ditunjukkan bagian saat Jody memberi cek uang bernilai puluhan juta rupiah.
Pada Novel, Pak Seno dengan lugu nya bertanya akan kertas yang diterima olehnya itu pada istrinya, tidak
mengetahui bahwa kertas itu merupakan cek yang bernilai puluhan juta rupiah. Adegan ketika Nana
mengetahui Suaminya menimpa musibah juga menurut saya dapat disampaikan dengan baik tanpa perlu
berakting secara berlebihan. Julie Estelle disini juga mampu memerankan karakter tokoh El dengan baik,
sehingga menepis juga pemikiran bahwa Ia hanya digunakan sebagai Eye Candy saja dalam film ini.
Momen klimaks antara perdebatannya dengan Ben juga divisualisasikan tanpa adegan yang berlebihan.
Pesan nya tersampaikan dengan baik bahwa Ben merupakan seorang dengan sifat arogan yang terobsesi
dengan kopi dan tidak mampu menerima kekalahannya sebagai peracik Kopi. Saya juga menyukai pesan
- pesan yang ada dalam film ini, seperti contohnya kita tidak bisa memberikan atau melakukan sesuatu
secara maksimal apabila kita hanya terobsesi saja dan tidak melakukannya dengan dari hati kita. Tema
Pencarian jati diri dan persahabatan dalam film ini terasa kental dan menjadi tema utama pada film
adaptasi novel ini. Jika dibahas dari segi Mise en Scene, film ini saya nilai sangat bagus. Mulai dari akting
para pemain film, penataan latar seperti lokasi tempat shooting, furniture, decorations, suasana dan
elemen-elemen sinema lainnya mampu memvisualisasikan apa yang merupakan bagian dalam cerita novel
menjadi hidup. Seperti penonton melihat hal yang berhubungan dengan kehidupan nyata tanpa perlunya
ada yang didramatisir atau dieksekusi secara berlebihan. Opening Scene pada film ini yang menunjukkan
kegiatan dan aktivitas dalam kedai kopi juga mampu menambah sentuhan yang baik bagi penonton.

Terlepas dari pengubahan jalan cerita, film ini merupakan film yang baik. Karena tidak ada film yang
sempurna, bukan? Semuanya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya sangat menikmati jalan
cerita pada film ini. Alurnya tidak membingungkan, banyak penggalian karakter secara lebih mendalam
secara sinematografis yang ditampilkan dalam film ini. Pengemasan cerita yang menarik! Saya sebagai
penonton awalnya memiliki pemikiran skeptis dan stigma negatif terhadap karya film tanah air. Namun
saya dibuktikan bahwa saya salah dan skeptis saya tidak berdasar. Buktinya adalah masih ada banyak film
baik buatan tanah air yang bagus untuk ditonton dan tidak kalah dari film-film buatan luar negeri seperti
Hollywood. Secara keseluruhan saya sangat puas dengan film adaptasi novel ini.
692018019 - Faith Jonathan Langgar

Lampiran Foto

Anda mungkin juga menyukai