Anda di halaman 1dari 4

Filosofi Kopi the Movie

Produser: Anggia Kharisma, Handoko Hendroyono


Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Pemeran: Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle
Ringan, tetapi Nikmat Diminum
Orientasi
/pendahuluan

Dewi Dee Lestari adalah salah satu penulis Indonesia di era sekarang
yang
tulisannya
paling
banyak
diangkat
ke
layar
lebar.
Menyusul Rectoverso, Perahu Kertas, Madre, dan Supernova,sebuah
cerita pendeknya yang berjudul Filosofi Kopi diadaptasi menjadi film
dengan judul yang sama. Uniknya, Angga Dwimas Sasongko, sang
sutradara, mengikutsertakan para penggemar Dee dalam proses produksi
film ini, melalui aplikasi telepon pintar dan kampanye crowdsourcing.

Evaluasi
Film Filosofi Kopi adalah tentang dua anak muda pemilik kedai kopi yang
juga bernama Filosofi Kopi. Ben (Chicco Jerikho), sang peracik kopi,
adalah tipikal orang dengan obsesi. Bagi Ben, kopi adalah sesuatu yang ia
tidak akan kompromikan dengan apapun. Jody (Rio Dewanto), yang
mengurusi keuangan, berkebalikan drastis dari Ben. Ia logis, penuh
kalkulasi untung-rugi, dan lebih mementingkan penghasilan daripada
pengalaman meminum kopi yang selalu ditekankan oleh Ben. Perbedaan
kepribadian ini yang berulang kali menjadi konflik, seperti perdebatan
mengenai perlu tidaknya memasang jaringan wi-fi untuk menarik
pelanggan, atau memakai biji kopi berkualitas rendah yang harganya lebih
murah. Ben seringkali menganggap Jody gila karena mengorbankan
esensi menikmati kopi demi laba, sementara Jody juga kerap
menganggap Ben gila karena tidak mau memikirkan keadaan ekonomi
mereka yang terjerat hutang besar.
Suatu hari, datanglah seorang pria paruh baya yang berkunjung ke Filosofi
Kopi. Ia tertarik kepada Filosofi Kopi setelah membaca sebuah ulasan di
koran. Sang pria tadi mempunyai tender proyek dengan seorang
pengusaha yang begitu menggilai kopi. Ia menantang Ben dan Jody untuk
membuat sebuah racikan house blend dengan rasa seenak mungkin demi
memuluskan tender tersebut. Jika Ben dan Jody berhasil, ia menjanjikan
mereka uang 100 juta rupiah. Ben menyanggupi, bahkan berani
menantang balik sang pria. Jika Ben berhasil membuat kopi paling enak,
sang pria harus membayar satu milyar rupiah kepada mereka. Namun jika
Ben gagal, ia menyanggupi untuk membayar pria tersebut uang dengan
nilai nominal yang sama. Ide ini ditentang habis-habisan oleh Jody, yang
mengingatkan Ben tentang hutang-hutang mereka. Akan tetapi Ben yakin
bahwa uang semilyar tadi lah yang bisa melunasi hutang dan
mengembangkan Filosofi Kopi. Hal ini membuat Jody mengalah dan
mengikuti kemauan Ben. Demi memenangkan tantangan tersebut mereka
berburu biji kopi yang mahal di pelelangan. Sepanjang waktu, Ben

bereksperimen dengan kopi-kopinya menggunakan berbagai macam


teknik yang canggih, hingga akhirnya terciptalah racikan mahakarya yang
ia beri nama Bens Perfecto.
Bens Perfecto menjadi laris manis dan semuanya nampak sempurna,
sampai datanglah El (Julie Estelle), seorang blogger kuliner sekaligus Qgrader (penilai kualitas kopi) bersertifikat internasional. El tertarik dengan
klaim kesempurnaan yang disematkan Ben pada kreasinya. Sesesap
kemudian, Ben dan Jody dibuat terhenyak oleh komentar El. Menurut El,
Bens Perfecto bukanlah kopi terenak yang pernah ia rasakan. Kopi
terenak itu justru ada di kawasan Kawasan Ijen, yakni milik Pak Seno
(Slamet Rahardjo Djarot) dan istrinya (Jajang C Noer). Kopi itu diberi
nama Kopi Tiwus. Sementara Ben tidak terima hasil karyanya dikalahkan
kopi dari kampung, Jody percaya bahwa Kopi Tiwus lah yang bisa
menyelamatkan mereka. Bersama El, mereka pergi menuju ke Kawah
Ijen. Di sana, mereka tak hanya menemukan kopi terenak, tetapi juga
menemukan diri mereka sendiri.

Interpretasi
Yang patut diapresiasi dari film ini adalah usaha si penulis naskah (Jenny
Jusuf) untuk mengembangkan kisah dari cerita aslinya yang terbatas. Di
dalam cerpennya sendiri, tidak ada jendela untuk melihat ke dalam
motivasi karakter Ben dan Jody. Perbedaan dominasi antara logika (dalam
Jody) maupun emosi (dalam Ben) adalah perbedaan yang arketipikal,
alias mengulang tipe karakter serupa yang sudah-sudah. Di dalam
adaptasi filmnya, ada usaha dari Jenny Jusuf untuk memberikan latar
belakang dari karakter-karakter ini. Jody menjadi begitu perhitungan
karena dia terlilit hutang tinggalan ayahnya. Ben terobsesi dengan kopi
karena pengaruh didikan ayahnya mengenai kopi semasa ia kecil. Dua hal
ini tidak ada dalam cerpennya. Begitu juga dengan yang menjadi dasar
adanya tantangan kepada Ben dan Jody. Dalam cerpen, tantangan
tersebut ada karena narsisisme seorang pengusaha yang ingin menikmati
secangkir kopi yang sempurnasebagaimana pengusaha tersebut
memandang dirinya sendiri. Dengan mengubahnya menjadi motivasi
ekonomis (untuk memuluskan tender), setidaknya ia satu tingkat lebih
realistis, karena toh memakai jamuan dan makan/minum enak juga sering
dipakai dalam lobi dan dunia bisnis.
Sisi yang lain juga ditambahkan ke dalam film. Terdapat hubungan tidak
baik antara ayah dan anak yang terungkap lewat dialog dan kilas balik
karakter-karakternya. Meskipun hal ini sesungguhnya arketipikal
juga, Filosofi Kopi menceritakan subplot ini dengan efektif: tidak terlalu
pendek hingga gagal berdiri, namun juga tidak terlalu panjang hingga
menjadi distraksi. Lagi-lagi, ada jendela ke dalam motivasi di balik
karakter-karakternya. Pada akhirnya, film ini bukan hanya tentang

bagaimana seseorang menerima ketidaksempurnaannya sendiri,


melainkan juga tentang menerima ketidaksempurnaan orang lain.
Meskipun demikian, ada beberapa hal masih menimbulkan pertanyaan di
dalam film ini. Yang pertama adalah bagaimana kedai kopi selaris dan
setenar Filosofi Kopi dapat mengalami kesulitan keuangan, apalagi jika
tempatnya tidak perlu menyewa dan pengelolaannya dilakukan dengan
cermat. Yang lain adalah bagaimana El yang seorang Q-grader tidak
menunjukkan kualitasnya sebagai seorang penilai kopi yang bersertifikat
internasional. Alih-alih mengelaborasi penilaiannya terhadap Bens
Perfecto dan Kopi Tiwus, pendapatnya terbatas pada kata lumayan dan
enak. Mungkin sang penulis skenario sengaja mengorbankan karakter El
sehingga filmnya tidak menjadi terlalu teknis, sehingga tidak mengalienasi
penonton-penonton yang awam tentang dunia perkopian.
Ada pula secuplik cerita mengenai konflik agraria yang disisipkan lewat
keluarga Ben. Keluarga Ben adalah salah satu keluarga petani kopi yang
melawan pihak yang hendak mengubah daerah penghasil kopi itu menjadi
perkebunan sawit. Ibu Ben meninggal karena konflik tersebut. Ini
kemudian membuat ayahnya membenci kopi setengah mati. Sayangnya,
bagian ini muncul terlalu singkat untuk dapat menyatakan sikapnya
mengenai konflik pertanahan. Kita tidak pernah tahu seperti apa akhir dari
sengketa lahan tadi, serta apa yang terjadi kepada petani-petani kopi
lainnya. Kita juga tidak tahu mengapa daerah tadi di akhir film menjadi
daerah penghasil sayur-sayuran, bukannya perkebunan sawit. Akan lebih
membantu, misalnya, jika apa yang terjadi kepada ayah Ben setelah
istrinya meninggal dan anaknya kabur dari rumah juga diceritakan dalam
film.
Selain dari penulis naskah, rasanya patut juga mengapresiasi Roby
Taswin selaku sinematografer. Lewat shot-shot close up-nya tentang kopi,
mulai dari merawat tanaman kopi, memanggang biji, menyajikan, hingga
menikmatinya, sentralitas kopi dalam film Filosofi Kopi menjadi muncul
lewat gambar-gambarnya. Hal ini bisa kita bandingkan dengan Madre, film
serupa yang tidak menunjukkan pentingnya sebuah biang roti dalam
semesta ceritanya. Dari segi scoring, denting-denting yang sederhana
(atau bahkan senyap) dalam adegan-adegan yang emosional bisa dilihat
sebagai usaha untuk menghindarkan efek dramatisasi yang berlebihan.
Dan ini juga selayaknya diapresiasi.

Simpulan

Filosofi Kopi bukan film yang penuh filosofi. Cerita-cerita tentang obsesi,
persahabatan, penemuan jati diri, serta rekonsiliasi hubungan anak dan
orang tua juga tidak menawarkan hal yang baru. Maka, jika diibaratkan
kopi, ia bukan kopi tubruk, apalagi kopi tubruk yang dibuat dari biji Kopi
Tiwus. Film ini adalah secangkir cappuccino: ringan, tetapi nikmat
diminum.

Anda mungkin juga menyukai