Jurnal Pangadereng adalah jurnal yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan dengan tujuan
menyebarluaskan informasi sosial dan budaya. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini adalah hasil penelititan yang
dilakukan oleh penulis/calon peneliti, akademisi, mahasiswa, dan pemerhati yang berhubungan dengan ilmu sosial dan
humaniora. Terbit pertama kali tahun 2015 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu tahun
Pada bulan Juni dan Desember.
Pelindung
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Penanggung Jawab
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Pemimpin Redaksi
Hj. Raodah, SE., MM
Sekretaris
Rismawidiawati, S.Sos., M.Si.
Dewan Redaksi
Ansaar, SH
Dra. Hj. Masgaba, MM
Simon Sirua Sarapang, SS., M.Hum.
Staf Redaksi
Nadrah, ST., MT
Muh. Aulia Rakhmat, S.Pd., M.Pd.
Mitra Bestari
Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A (Bidang Sejarah, UIN)
Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. (Bidang Sejarah, UNHAS)
Dr. Ansar Arifin Sallatang (Bidang Antropologi, UNHAS)
Dr. Tasrifin Tahara (Bidang Antropologi, UNHAS)
Jusmiati Garing, SS., MA (Bidang Bahasa, Balai Bahasa Makassar)
St. Junaeda, S.Ag. M.Pd. MA (Bidang Sejarah, UNM)
Editor
Dr. Syamsul Bahri, M.Si.
Abdul Hafid, SH
Sahajuddin, SS., M.Si.
Taufik Ahmad, S.Pd., M.Si.
Desain Grafis
Asri Hidayat, ST
M. Thamrin Mattulada, SS., M.Si.
Alamat Redaksi
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jl. Sultan Alauddin, Talasalapang Km 7 Makassar 90221
Telepon/Fax. 0411-865166 Email: jurnalpangadereng@gmail.com
ISSN : 2502-4345
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena hanya dengan rahmat-Nya segala apa yang dilakukan dengan niat suci dan kerja keras
sehingga penyususn jurnal ini dapat terlaksanakan dengan baik. Redaksi berupaya untuk
meningkatkan kualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi sistematika penulisan.
Dewan redaksi “Pangadereng” dengan segala kerendahan hati menghaturkan rasa terima
kasih kepada semua pihak khususnya Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan,
para peneliti serta segenap staf yang terus mendorong terbitnya jurnal ilmiah Volume 5 Nomor 1,
Juni 2019 ini.
Jurnal kali ini memuat dua belas tulisan dengan substansi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, Politeknik Pariwisata Makassar, Balai
Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Universitas Negeri Makassar dan Universitas
Hasanuddin. Selain itu ada penulis dari luar pulau Sulawesi yakni Universitas Indonesia dan
Universitas Gadjah Mada.
Semua dorongan itu menjadi modal kerja yang sangat berarti. Tentu, ucapan terima kasih
juga layak dihaturkan kepada semua pihak yang telah bersedia menyumbangkan pemikirannya,
masukan, gagasan, motivasi dalam proses penerbitan jurnal ini. Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia menyerahkan naskahnya untuk diterbitkan
di edisi ini. Semoga di edisi-edisi mendatang masih berkenan menyerahkan naskah-naskah yang
lebih aktual dan berkualitas demi kemajuan penerbitan jurnal ini di masa depan.
Teriring pula terima kasih untuk Mitra Bestari pada jurnal edisi ini, yakni:
Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A (Bidang Sejarah, UIN)
Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. (Bidang Sejarah, UNHAS)
Dr. Ansar Arifin Sallatang (Bidang Antropologi, UNHAS)
Dr. Tasrifin Tahara (Bidang Antropologi, UNHAS)
Jusmiati Garing, SS., MA (Bidang Bahasa, Balai Bahasa Makassar)
St. Junaeda, S.Ag. M.Pd. MA (Bidang Sejarah, UNM)
Semoga jurnal yang diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan ini
memberi manfaat kepada segenap pembaca.
Redaksi
Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora
ISSN: 2502-4345 Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa izin dan biaya
Feby Triadi (Universitas Gadjah Mada) parahnya lagi karena konflik itu juga masuk
dalam kalangan Bissu. Penelitian ini juga
WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH menemukan, dan menjelaskan batas pemisah
KOMODIFIKASI DARI PARA PENELITI antara Bissu sebagai pelaku seni, dan Bissu
BISSU sebagai pelaku kebudayaan.
Kata Kunci: pariwisata, komodifikasi,
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu peneliti, Bissu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 1 – 12.
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
Tulisan ini bertujuan untuk menafsirkan Budaya Sulawesi Selatan)
dampak penelitian yang terus dilakukan
terhadap komunitas Bissu. Dari penelitian TARI DINGGU
yang ada (lihat: Lathief 2004, Boellstorff EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS
2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, KEBERHASILAN PANEN PADA
Darmapoetra 2014), beberapa diantara MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI
mereka masih membahas hal yang sama, DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA
seperti gender, Islam, dan juga adaptasi
warga yang berlangsung. Penelitian ini, ingin PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
mengisi dan melengkapi kekosongan narasi Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
yang telah ada. Sebab belakangan, pariwisata Juni 2019 hlm. 13 - 29.
hanya dilihat dari pengambil kebijakan dan
objeknya (Bissu) semata, namun belum Tari dinggu merupakan jenis tari yang hadir
melihat kesiapan warga sekitar dalam diprakarsai masyarakat suku bangsa Tolaki di
merespon kebijakan dan pelaksanaannya. Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak
Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, orang Tolaki menjadikan padi sebagai bahan
dilakukan pada bulan November 2018. baku makanan pokok, saat itu pula
Adapun teknik pengumpulan data dengan masyarakat berinisiatif menciptakan tari
melakukan pengamatan, serta melakukan dinggu dengan pola gerakannya mengikuti
wawancara langsung dengan informan, aktivitas masyarakat saat menumbuk bulir
seperti Bissu, dewan adat dan tokoh padi menjadi beras dengan menggunakan
pemerintahan. Meminjam teknik analisis data lesung, dan alu terbuat dari bahan kayu yang
etnografi Spradley (1997), penelitian ini digunakan untuk menumbuk, serta nyiru atau
memiliki temuan, jika benih komodifikasi tampi dari anyaman bambu sebagai alat
awalnya dilakukan oleh peneliti, yang membersihkan sekam. Tujuan penelitian, dari
memperkenalkan dan menggiring mereka ke sisi praktisnya adalah menginventarisasi
industri pariwisata. Tentu memunculkan karya budaya untuk memperkaya
konflik diantara peneliti yang ada, sehingga perbendaharaan pustaka. Dari sisi ilmiahnya,
peneliti sebelumnya terkesan mewariskan adalah sebagai ajang mengenal lebih jauh
konflik bagi peneliti yang akan datang, dan nilai dan makna yang tertuang dalam tari
dinggu. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif, yang mengedepankan karya-karyanya. Penelitian ini menghasilkan
pengamatan terhadap gerakan-gerakan pada dua kesimpulan mendasar, yakni pertama,
tari, alat peraga, pakaian, dan aksesoris. karya Mattulada berjudul Latoa ini sangat
Wawancara terkait yang melatari lahirnya tari bercirikan positivisme, pun sama dengan
dinggu. Tari dinggu dalam perkembangannya, beberapa karyanya yang lain. Kedua,
serta studi literatur adalah mengarah pada meskipun memiliki epistemologi yang sama
buku teori serta beberapa tulisan hasil di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada
penelitian sebelumnya. Temuan penelitian yang lain memiliki paradigma yang berbeda.
terungkap, bahwa tari dinggu dewasa ini
diposisikan sebagai tari kreasi, yaitu tari yang Kata kunci: epistemologi, positivisme, Latoa
tidak lagi hanya dipentaskan saat menyambut
keberhasilan memanen padi, tetapi tari
dinggu juga syarat dengan nilai seperti, nilai Raodah (Balai Pelestarian Nilai Budaya
kebersamaan atau pemersatu dan nilai Sulawesi Selatan)
estetika serta menuai makna kegembiraan dan
ucapan syukur. Akan tetapi, tari dinggu PENGETAHUAN LOKAL TENTANG
dalam perkembangannya, menjadi mendunia PEMANFAATAN TANAMAN OBAT
karena telah dijaga keberadaannya dan juga PADA MASYARAKAT TOLAKI DI
telah dipentaskan ditingkat lokal, nasional, KABUPATEN KONAWE SULAWESI
dan internasional. TENGGARA
Kata Kunci: Tari, Dinggu, Tolaki, Panen PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 46 - 63.
Slamet Riadi (Universitas Gadjah Mada)
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK manfaat tanaman obat yang digunakan
ORANG BUGIS KARYA MATTULADA masyarakat Tolaki dalam mengobati berbagai
“SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” penyakit. Pengetahuan lokal tentang tanaman
obat diperoleh berdasarkan pengalaman yang
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu diwariskan secara turun temurun. Penelitian
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 ini menggunakan metode kualitatif dengan
Juni 2019 hlm. 30 - 45. teknik pengumpulan data melalui wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa sebagian masyarakat
menginterprestasi epistemologi seperti apa Tolaki terutama yang tinggal di Desa
yang terdapat dalam karya Mattulada, Latoa; Abelisawah masih memanfaatkan tanaman
Suatu lukisan antropologi politik orang obat sebagai ramuan untuk mengobati
Bugis. Pembahasan terkait epistemologi penyakit medis dan non medis. Tanaman obat
dalam suatu karya etnografi, masih kurang banyak tumbuh secara liar di sekitar
mendapatkan perhatian serius oleh kalangan lingkungan tempat tinggal mereka, dan
akademisi, khususnya yang bergelut dalam sebagian ditanam dihalaman rumah sebagai
bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis TOGA (tanaman obat keluarga). Pengobatan
epistemologi dalam suatu karya, penelitian dengan ramuan tanaman obat biasanya
ini menggunakan metode pencarian beberapa dilakukan oleh dukun (mbu’ owai) dan
sumber pustaka, yang berhubungan dengan dibacakan mantra sesuai dengan jenis
karya Mattulada. Setelah itu, melakukan penyakit yang diderita pasien. Pemanfaatan
pembacaan induktif-deduktif, untuk tanaman obat digunakan masyarakat
menemukan asumsi dasar yang menjadi Abelisawa mulai dari pasien anak-anak
landasan Mattulada dalam menghasilkan sampai dewasa. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi masyarakat masih berasal dari Sulawesi melainkan juga dari
menggunakan dukun dan ramuan obat untuk Jawa, Kalimantan, Papua, Sumatera bahkan
menyembuhkan berbagai penyakit, yaitu dari luar negeri. Selain itu kehadiran makam
faktor ekonomi, terbatasnya tenaga medis, Syekh Yusuf memberikan dampak yang baik
sosial, kepercayaan akan kemampuan dukun bagi perekonomian masyarakat sekitar.
menyembuhkan penyakit, tanaman obat
dianggap aman dan kurang efek Kata kunci: Ziarah, makam, Syekh Yusuf.
sampaingnya, rendahnya pengetahuan
tentang pengobatan medis, dan waktu
pelayanan yang mudah. Masgaba (Balai Pelestarian Nilai Budaya
Sulawsei Selatan)
Kata Kunci: Tanaman obat, penyakit, mbu
uwoai, Tolaki. ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN
PENDATANG DI SODOHOA KENDARI
BARAT
Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi
(Politeknik Pariwisata Makassar) PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL- Juni 2019 hlm. 75 - 85.
MAKASSARI DI KABUPATEN GOWA,
SULAWESI SELATAN Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang
dilakukan pada komunitas nelayan pendatang di
Sodohoa Kendari Barat, Kota Kendari. Metode
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu pengumpulan data berupa wawancara, focus
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 group discussion, dan pengamatan. Hasil
Juni 2019 hlm. 64 - 74. penelitian menunjukkan bahwa, nelayan
pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa
Penelitian ini difokuskan pada ziarah makam berasal dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan
Syekh Yusuf sebagai seorang wali yang Makassar. Pada dasarnya motif utama mereka
berasal dari Kabupaten Gowa Propinsi melakukan migrasi selain karena faktor ekonomi
Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini dan faktor sosial budaya, juga karena di wilayah
adalah untuk mengetahui apa saja motivasi perairan Kendari terdapat banyak jenis ikan,
peziarah yang datang ke makam syekh yusuf terutama ikan tongkol yang memiliki nilai jual
yang tinggi. Faktor ekonomi timbul akibat
sejauh mana ritual dan religiusitas meraka
nelayan pendatang tidak memiliki modal uang
terhadap syekh Yusuf. Selain itu dilihat juga untuk beraktivitas melaut, sehingga mereka
bagiamana ziarah makam berdamapak pada meminjam pada bos yang ada di Kendari. Faktor
kehidupan ekonomi, legitimasi politik dan sosial budaya timbul sebagai akibat adanya naluri
pariwisata. Penelitian ini menggunakan untuk bekerja agar memperoleh penghasilan
metode penelitian kualitatif. Untuk untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
memperoleh data primer dan data sekunder Menjadi nelayan merupakan warisan yang turun
menggunakan teknik observasi, wawancara, temurun dari orang tua mereka, tidak ada
dokomentasi dan studi kepustakaan. Adapun pekerjaan lain yang bisa dilakukan karena
hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa keterbatasan keterampailan dan keahlian yang
terdapat motivasi yang berbeda-beda dari dimiliki. Semangat kerja mereka termotivasi
setiap peziarah yang datang ke mkaam syekh adanya perasaan malu (siri’) jika tidak memiliki
penghasilan.
Yusuf, ziarah makam dapat dijadikan sebagai
legitamsi politik dalam mengumpulkan suara Kata kunci: Etos Kerja, Sosial Ekonomi,
sebagai metode pencitraan politik, dari segi Nelayan Pendatang.
pariwisata ziarah makam dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah kabupaten Gowa
karena pengunjung yang datang bukan saja
Abd.Karim (Universitas Indonesia) Nur Alam Saleh (Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan)
REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN
SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA
BALANIPA ABAD XVI-XVII HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF BUDI
DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu PESISIR KABUPATEN BANTAENG
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 (STUDI KASUS DESA BONTO JAI,
Juni 2019 hlm. 86 – 101. KECAMATAN BISSAPU)
Kerajaan Balanipa (Mandar) telah PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
“berdemokrasi” sebelum Indonesia lahir. Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Apabila salah satu cerminan Indonesia adalah Juni 2019 hlm. 102 - 116.
sistem pemerintahan demokratis, maka
identitas politik yang kita sandang sebagai Penelitian ini mengkaji tentang perubahan
Negara Demokratis telah ada sebelum negara struktur sosial baik itu bentuk-bentuk
ini lahir. Bahwa jiwa keindonesiaan telah ada produksi, teknologi dan kelembagaan serta
sebelum kehadiran Bangsa Eropa di dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi
Nusantara. Bahkan telah dipraktekkan di masyarakat. Budi daya rumput laut juga telah
Kerajaan Balanipa (Mandar) pada abad XVI- mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan
XVII sebagai sistem perintahan lokal ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan
(mara’dia). Sistem tersebut memiliki di Bantaeng, tepatnya di Desa Bonto Jai
perangkat konstitusi Kerajaan dimana Kecamatan Bissappu. Teknik pengumpulan
kedudukan Raja tidak mutlak berkuasa. data diperoleh dengan penelitian lapangan
Lembaga hadat memiliki kuasa untuk yang mencakup observasi, dokumentasi, dan
memberhentikan raja sebagai pemimpin, wawancara, Adapun teknik analisis data yaitu
seperti Presiden yang bisa diturunkan dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan kesimpulan. Dalam perkembangannya
Rakyat (MPR) negara ini. Pemimpin dipilih pembudi daya rumput laut telah menjadi
atas kehendak rakyat. Sebuah refleksi sistem primadona bagi aktivitas masyarakat pesisir
pemerintahan, bahwa jiwa zaman yang pantai Kabupaten Bantaeng pada umumnya
sekarang merupakan warisan dari masa lalu dan Desa Bonto Jai pada khususnya. Budi
bangsa ini sendiri bukan warisan bangsa barat daya rumput laut mempunyai peluang untuk
sebagai bangsa penjajah. Selanjutnya Artikel meningkatkan pendapatan petani di Desa
ini akan menjawab pertanyaan besar yakni, Bonto Jai. Budi daya rumput laut lebih
bagaimana praktek-praktek demokrasi menguntungkan dibanding dengan
diterapkan di Mandar? Bagaimana demokrasi pendapatan profesi sebelumnya yakni sebagai
itu di terjemahkan oleh elit dan masyarakat nelayan. Satu hal yang sangat menarik dari
Mandar? dan bagaimana sistem pemerintahan kegiatan budi daya rumput laut ini, dengan
itu dijalankan di Mandar pada abad XVI- keterlibatan kaum wanita yang turut
XVII? artikel ini menggunakan metode mengambil bagian sebagai tenaga kerja.
penelitian sejarah. Dengan menggunakan
sumber lokal (Lontara’’) dan akan dilengkapi Kata Kunci: Nelayan, Rumput laut, sosial,
dengan sumber-sumber dari zaman kolonial. Pembudidayaan.
Pemberian nama La Galigo pada Museum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari dan memahami strategi bertahan hidup
atas makna La Galigo yang dikenal di daerah nelayan Karampuang dalam pemenuhan
Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan kebutuhan hidup. Metode penelitian yang
Massenrempulu. La Galigo merupakan digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan
pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo teknik pengumpulan data melalui wawancara,
memiliki koleksi naskah La Galigo yang observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian
teregistrasi dalam Memory of the World menunjukkan bahwa nelayan di Pulau
UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di Karampuang masih menggunakan alat
ruang pameran tetap, namun representasi tangkap sederhana dan penghasilannya masih
identitas budaya Sulawesi Selatan belum tergolong rendah. Pada musim paceklik,
tercermin dalam ekshibisi tersebut. Belum nelayan merasa kesulitan untuk memenuhi
direpresentasikan itulah yang mendorong kebutuhan hidup mereka sehari-hari,
penulis untuk mengidentifikasi nilai penting sehingga mereka beralih ke pekerjaan lain
makna La Galigo, menganalisis konsep dengan mengolah kebun dengan menanam
ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan tanaman hortikultura seperti jagung, ubi
merekomendasikan storyline ekshibisi kayu, dan sayur-sayuran. Peluang untuk
museum. Metode yang digunakan adalah melakukan pekerjaan sampingan terbuka luas
studi kasus dengan pendekatan museology, bagi masyarakat nelayan di sana karena akses
khususnya teori new museum, identitas ke kota Kabupaten Mamuju tergolong cukup
budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini, dekat. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan di
disimpulkan bahwa minimnya informasi luar bidang kenelayanan adalah menjadi
dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan pedagang, buruh bangunan, kuli angkut
kurangnya penggalian nilai penting La Galigo pelabuhan, kuli angkut pasar, dan jasa ojek.
bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di Sedangkan istri-istri nelayan banyak yang
antara mereka, memori kolektif masyarakat, bekerja menjadi penjaga toko, buruh cuci di
dan relevansi cerita itu dengan saat ini. kota, dan membuka kedai-kedai di rumah
Perbaikan storyline cerita La Galigo yang dengan menjual barang kebutuhan hidup
bukan hanya mendeskripsikan naskah La sehari-hari. Dengan melakukan pekerjaan
Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya sampingan, kebutuhan hidup keluarganya
dengan koleksi lain dan merepresentasikan dapat terpenuhi.
identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan.
Kata Kunci: pekerjaan sampingan, nelayan
Kata kunci : La Galigo, museum, identitas Karampuang, kebutuhan hidup.
budaya
Adil Akbar (Program Pascasarjana UNM, Ansar Arifin (Departemen Antropologi
Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah) FISIP UNHAS)
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI Budaya Sulawesi Selatan)
PRODUKSI, PERDAGANGAN, PELAYARAN,
HINGGA PENYELUNDUPAN BERAS (1946- PENGUATAN KELEMBAGAAN
1956) KETAHANAN PANGAN DI KOTA
PAREPARE
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Juni 2019 hlm. 147 – 162. Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 163 – 175.
Terdapat tiga hal pokok yang dibahas dalam
penelitian ini: pertama, Produksi Beras di Artikel ini menjelaskan dua hal penting,
Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; yakni soal kelembagaan ketahanan pangan
kedua, Jaringan Perdagangan dan Pelayaran dalam rumah tangga miskin di Kota Parepare
Komoditas Beras di Sulawesi Selatan kurun dan model alternatif kelembagaan ketahanan
tahun 1946-1950; ketiga Penyelundupan pangan rumah tangga nelayan miskin yang
Beras di Sulawesi Selatan kurun tahun 1950- sesuai dengan tuntutan perkembangan.
1956. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini menggunakan metode Cluster
Penelitian ini adalah Metode Sejarah dengan Porpose Sampling. Sampelnya adalah
tahapan, Heuristik (pengumpulan data, kelompok-kelompok sosial, lembaga-
terutama studi kearsipan dan kepustakaan) lembaga sosial kenelayanan, dan organisasi
kritik, Interpertasi (penafsiran) dan kemasyarakatan yang dipilih secara purposif
Histiografi (penulisan sejarah). Hasil dari S dan dianalisis dengan model analisa
penelitian ini menunjukkan bahwa: hasil sosiometrik dan deskriptif. Teknik
produksi beras di Sulawesi Selatan pengumpulan data menggunakan metode
memuaskan, hal ini dikarenakan potensi alam survei dan indepth interview (wawancara
dan luasnya lahan produktif untuk ditanami mendalam) serta metode focus-group
padi, selain itu kehadiran pelabuhan – discustion (FGD). Hasil penelitian ini
pelabuhan di pesisir barat dan timur Sulawesi menunjukkan bahwa kelembagaan ketahanan
Selatan mendorong terciptanya jejaring pangan tradisonal telah ada sejak dahulu
perdagangan beras di kawasan timur dalam masyarakat nelayan miskin di Kota
Indonesia pada kurun tahun 1946-1950. Parepare sebagai bentuk adaptasi terhadap
Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan persoalan kemiskinan. Tetapi, karena
gejolak politik yang terjadi di Sulawesi pertumbuhan jumlah penduduk dan
Selatan kurun tahun 1950-an mempengaruhi kebutuhan pangan meningkat sehingga
produksi dan perdagangan beras di daerah dibutuhkan manajemen ketahanan pangan
tersebut, salah satunya ialah praktek-praktek yang lebih kompleks. Oleh sebab itu,
penyulundupan beras. Secara umum dapat kelembagaan pangan lokal perlu ditopang
disimpulkan selain bernilai ekonomis, oleh sistem organisasi modern demi
menciptakan jejaring ekonomi juga memiliki memperkuat kelembagaan ketahanan pangan
nilai politik. lokal. Demikian pula sebaliknya, kelembagaan
modern perlu ditopang oleh kelembagaan lokal
Kata Kunci: Sulawesi Selatan, beras, yang sudah lama dipraktikkan oleh
pelabuhan, penyelundupan, perdagangan. masyarakat miskin di Kota Parepare.
Keyword are extracted from articles. Abstrack may be reproduced without permission and cost
Feby Triadi (Universitas Gadjah Mada) circles. This research also identifies and
explains the delineation line between Bissu as
SPIRITUAL TOURISM: ACHIEVING artists, and Bissu as cultural actors.
COMMODIFICATION SEEDS FROM
RESEARCHERS OF BISSU Keywords: tourism, commodification,
researchers, Bissu
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
2019 p. 1 - 12.
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
This paper aims to interpret the impact of Budaya Sulawesi Selatan)
ongoing research on the Bissu community.
From the existing research (see: Lathief THE DINGGU DANCE AN EXPRESSION
2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, OF REJOICING OVER SUCCESSFUL
Sharyn 2010, Darmapoetra 2014), some of HARVEST AMONG THE TOLAKI PEOPLE
them are still discussing the same thing, such OF KOLAKA, SOUTHEAST SULAWESI
as gender, Islam, as well as an ongoing
adaptation of citizens. This study seeks to fill PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
and complete the existing narrative void, as 2019 p. 13 - 29.
lately, the perpesctive of tourism only
considers policymakers and objects of The dinggu dance constitutes a dance form
interest (Bissu), only but has not paid practiced by the Tolaki people of Kolaka, in
attention to the readiness of the local people the province of Southeast Sulawesi. Since the
in responding to policies and their adoption of rice as the staple food of the
implementation. This study employed an Tolaki, the society took the initiative to create
ethnography method, carried out in the dinggu dance, featuring movements
November 2018. The techniques used to to following the motions of people threshing
collect data were making observations, as rice by pounding, pounding a wooden mortar
well as conducting interviews directly with and pestle, as well as involving a winnowing
informants, such as Bissu, traditional adat basket woven from bamboo, used for
councils, and government figures. Borrowing separating out chaff. The aim of this
the Spradley (1997) ethnographic data research, from a practical perspective, is to
analysis technique, this study reports finding inventorize cultural heritage to preserve a
that the seed of commodification was initially cherished legacy. From an academic
planted by researchers, who introduced and perspective, the aim is to further explore the
led them to the tourism industry. The result values and meaning carried by the Dinggu
has been conflict between the existing dance. The research method used is a
researchers, to the point that past qualitative approach, prioritizing observation
researchers seem to leave an inheritance of of the movements of the dance, its props,
conflict for future researchers, and even costume, and accessories. Interviews focused
worse, the conflict has also entered into Bissu on the birth of the dinggu dance and its
development, and literature study focused on Raodah (Balai Pelestarian Nilai Budaya
theory books and a few previous written Sulawesi Selatan)
works of research. The research shows that
the current form of the Dinggu dance is LOCAL KNOWLEDGE REGARDING THE
employed as an art form, that is, a dance that USE OF TRADITIONAL MEDICINAL
is no longer only performed at rice harvest PLANTS AMONG THE TOLAKI OF THE
celebrations. Rather, the Dinggu dance is KONAWE REGENCY IN SOUTHEAST
equated with the traditional values of SULAWESI
comradery or group unity, aesthetic values,
and the expression of joy and gratitude over PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
a harvest. In its development, the Dinggu 2019 p. 46 – 63.
dance has achieved globally recognized
status, by guarding its existence, and This written work aims to describe the
practicing it on a local, national, and benefits of medicinal plants utilized by the
international scale. Tolaki people in treating various illnesses.
Local medicinal plant knowledge is
Keywords: Dance, Dinggu, Tolaki, Harvest experience-based and is passed down from
generation to generation. This research takes
Slamet Riadi (Universitas Gadjah Mada) a qualitative approach, employing the data
gathering methods of interviews, observation,
LATOA: BUGINESE POLITICAL and documentation. The results of the
ANTHROPOLOGY BY MATTULADA „AN research indicate that a subset of the Tolaki
INTERPRETATION OF EPISTEMOLOGY population, especially that of the Abelisawah
township, continue to make use of
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June concoctions made from medicinal plants in
2019 p. 30 – 45. the treatment of both physical and non-
This research intends to interpret the kind of physical ailments. The medicinal plants are
epistemology contained in the work of naturally abundant in the immediate
Mattulada, Latoa; Suatu Lukisan Antropologi environment, and some are planted around
Politik Orang Bugis. The discussion related people's houses to serve as family medicine
to epistemology in an ethnographic work, still plants. The treatment and administration of
lacks serious attention, by academics, the medical plant concoctions are typically
especially those involved in the field of performed by a medicine man (mbu' owai),
anthropology. In analyzing epistemology of who recites a mantra according to the type of
this research, this study uses the search illness ailing the patient. The medicinal
method of several library sources, which are plants used by the people of Abelisawa are
related to Mattulada's work. After that, do administered to patients ranging from young
inductive-deductive readings, in order to find children to adults. There are a few factors
the basic assumptions that became the that cause the people to continue using the
foundation of Mattulada to produce his medicine men and the traditional medicine
works. This research produced two for the treatment of various illnesses, namely
fundamental conclusions, firstly, Mattulada's their economic state, limited access to
work entitled Latoa is very characterized by medical and social services, the belief in the
positivism, and similar to several of his other medicine men's power to heal, the
works. Secondly, despite having the same understanding of medicinal plants as safe
epistemology in each of his works, several and free from side effects, a lack of
other Mattulada works have different knowledge regarding modern medicine, and
paradigms. convenience in terms of time needed for
treatment.
Keywords: epistemology, positivism, Latoa
Keywords: Medicinal Plants, illness, mbu PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
uwoai, Tolaki. 2019 p. 75 – 85
The bestowal of the name La Galigo upon the This research aims to discover and
Provincial State Museum of South Sulawesi is understand the survival strategy of fishermen
based on the La Galigo manuscript, which is in Karampuang in meeting daily needs. The
famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, research method used is descriptive-
Selayar, and Massenrempulu regions. For qualitative, employing the datagathering
them, La Galigo is their unifier. As part of its techniques of interviews, observation, and
collection, the La Galigo Museum features a documentation. The results of this research
La Galigo manuscript, which is registered as show that fishermen in the islands of
a UNESCO Memory of the World. The Karampuang continue to use simple fishing
manuscript is currently on display in the equipment and generate a meager income. In
permanent exhibition room of the La Galigo the off season, the fishermen experience
museum; however, the representation of the difficulty in meeting daily needs, to the point
cultural identity of South Sulawesi has been that they pursue side jobs by planting
not reflected in the exhibit. This has gardens and cultivating crops such as corn,
encouraged the author to identify the cassava, and vegetables. Opportunities for
significance of the La Galigo manuscript, side jobs are numerous for the fishing
analyze the concept of the current exhibits of community there, due to the convenient
the La Galigo Museum, and recommend the access to the Mamuju regency. Other side
addition of the La Galigo storyline to the work available aside from fishing is
museum. The research employed a case study becoming a small-goods trader, a
method, with a museology approach, construction worker, a port laborer, market
especially examining new museums, cultural laborer, or motorcycle-taxi driver. As for the
identity, and exhibits. The conclusion in this wives of these fishermen, many work at
research was the lack of information in the stores, work as cleaners in the city, or open
La Galigo exhibition due to the lack of up shops at home to sell basic products. By
research of the significance of the La Galigo generating supplementary income, the needs
for various ethnic groups, the unity between of the family are able to be met.
them, the collective memory of the society,
and the relevance of the La Galigo story to Keywords: side work, Karampuang
the present. The development of the La fishermen, daily needs.
Galigo storyline, which not only describes the
La Galigo manuscript itself, but links it to
other collections and represents the cultural Adil Akbar (Program Pascasarjana UNM,
identity of South Sulawesi, is needed. Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah)
Feby Triadi
Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Humaniora Bulaksumur, Sagan, Caturtunggal, Kec. Depok,
Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta, 55281
Surel: triadifebi@gmail.com
ABSTRACT
This paper aims to interpret the impact of ongoing research on the Bissu community. From the
existing research (see: Lathief 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, Darmapoetra
2014), some of them are still discussing the same thing, such as gender, Islam, as well as an ongoing
adaptation of citizens. This study seeks to fill and complete the existing narrative void, as lately, the
perpesctive of tourism only considers policymakers and objects of interest (Bissu), only but has not
paid attention to the readiness of the local people in responding to policies and their implementation.
This study employed an ethnography method, carried out in November 2018. The techniques used to to
collect data were making observations, as well as conducting interviews directly with informants, such
as Bissu, traditional adat councils, and government figures. Borrowing the Spradley (1997)
ethnographic data analysis technique, this study reports finding that the seed of commodification was
initially planted by researchers, who introduced and led them to the tourism industry. The result has
been conflict between the existing researchers, to the point that past researchers seem to leave an
inheritance of conflict for future researchers, and even worse, the conflict has also entered into Bissu
circles. This research also identifies and explains the delineation line between Bissu as artists, and
Bissu as cultural actors.
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menafsirkan dampak penelitian yang terus dilakukan terhadap komunitas
Bissu. Dari penelitian yang ada (lihat: Lathief 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010,
Darmapoetra 2014), beberapa diantara mereka masih membahas hal yang sama, seperti gender, Islam,
dan juga adaptasi warga yang berlangsung. Penelitian ini, ingin mengisi dan melengkapi kekosongan
narasi yang telah ada. Sebab belakangan, pariwisata hanya dilihat dari pengambil kebijakan dan
objeknya (Bissu) semata, namun belum melihat kesiapan warga sekitar dalam merespon kebijakan dan
pelaksanaannya. Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, dilakukan pada bulan November 2018.
Adapun teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan, serta melakukan wawancara
langsung dengan informan, seperti Bissu, dewan adat dan tokoh pemerintahan. Meminjam teknik
analisis data etnografi Spradley (1997), penelitian ini memiliki temuan, jika benih komodifikasi
awalnya dilakukan oleh peneliti, yang memperkenalkan dan menggiring mereka ke industri pariwisata.
Tentu memunculkan konflik diantara peneliti yang ada, sehingga peneliti sebelumnya terkesan
mewariskan konflik bagi peneliti yang akan datang, dan parahnya lagi karena konflik itu juga masuk
dalam kalangan Bissu. Penelitian ini juga menemukan, dan menjelaskan batas pemisah antara Bissu
sebagai pelaku seni, dan Bissu sebagai pelaku kebudayaan.
1
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
2
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi
menelaah komunitas ini dari latar belakang lakukan adalah sebuah kejahatan yang tidak
keilmuan yang berbeda. Saking banyaknya boleh dibenarkan.
penelitian yang didapatkan mengenai
komunitas ini, tak bisa dipungkiri beberapa METODE
dari mereka, menkaji dengan skop dan Beberapa metodologi penelitian yang
sudut pandang yang sama. ada dalam dunia akademik, selalu menitik
Tentu dengan berbagai alasan. beratkan pada bagaimana proses atau
Pertama, penelitian mengenai komunitas ini langkah-langkah apa saja yang digunakan
tidak memiliki regulasi yang jelas mengenai untuk mendapatkan data. Termasuk dalam
topik yang akan diangkat. Hal ini metode penelitian antropologi, ingin
diperparah saat saya melakuakn studi melihat kelakuan atau kreativitas peneliti
pustaka dengan menyambangi dinas untuk mendapatkan data saat di lapangan
Perpustakaan dan Arsip Daerah di yang multi metode (Hidayah, 2012), dengan
Kabupaten Pangkep, tidak satupun tulisan asumsi segala sesuatu yang didaptkan
(skripsi, tesis, disertasi, dan buku) yang adalah data, karenanya data bersifat seperti
saya temukan membahas mengenai Bissu. air yang terus mengalir. Olehnya itu, tugas
Opsi untuk berkunjug ke Perpustakaan peneliti adalah memberikan pemetaan pada
Daerah bagi para peneliti adalah sebuah realita, fakta, dan data sebagai upaya untuk
kemirisan, dan hal yang sia-sia. memfokuskan hasil penelitian.
Kedua, literatur peneliti luar yang telah Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
membahas mengenai Bissu sulit dan Segeri yang berada di Kabupaten Pangkep.
langkah didapatkan, tentu ini menjadi Penanda utama saat memasuki Kecamatan
sebuah kekosongan literatur untuk melihat
Segeri, selain hamparan empang yang
bagaimana narasi etik (pandangan peneliti berseblahan dengan jalan poros Makassar
luar) menerjemahkan Bissu dalam ke Barru, juga terdapat banyak kios-kios
pemahaman mereka sendiri. Ketiga, yang menjajakan Jeruk Bali, berbagai
kebanyakan narasi hasil penelitian dalam macam jeruk dengan istilah lokal
negeri terlalu membawanya ke hal yang disediakan. Salah satunya jeruk jenis
tidak dimengerti oleh akal sehat dan bencong, selain itu jika dari arah
berkutat pada itu-itu saja. berlawanan akan banyak ditemui kios
Keempat, banyaknya peneliti luar yang jajanan dange yang terbuat dari ketan hitam
ingin mengetahui komunitas ini dalam yang dibakar diatas tungku tanah.
ranah akademik/ilmiah, menjadikan peneliti Penelitian ini dilakukan saat diadakan
dalam negeri seperti artis yang selalu dicari-
upacara mappalili (awal turun sawah),
cari. Padahal apa yang peneliti dalam negeri upacara ini dilaksanakan saat bulan
ketahui sudah tidak kontekstual dan usang November sebagai penanda bagi petani
untuk diceritakan kembali. Hal ini untuk mulai menggarap sawahnya. Data
diperparah karena peneliti dalam yang ditampilkan dalam penelitian ini
memahami Bissu masih diwarnai dengan adalah hasil wawancara langsung dengan
mitos budaya yang mereka yakini. informan, seperti Bissu, dewan adat, tokoh
Dari empat alasan yang saya paparkan pemerintahan, dalam tulisan ini saya juga
diatas, para peneliti Bissu secara tidak sadar menampilkan catatan lapangan yang
membuka ruang dan menumbuhkan benih merupakan refleksi dari sebuah peristiwa
komodifikasi bagi komunitas yang sifatnya yang saya alami.
sakral dan tertutup. Hal ini diperparah Untuk manuai hasil pemetaan data
dengan kelakuan berengsek peneliti dalam yang baik, maka dalam penelitian ini, saya
negeri yang ikut-ikutan melakonkan Bissu menggunakan rujukan dari Spradley
dalam pagelaran tertentu, alih-alih untuk tentang bagaimana metode etnografi
menyelamatkan tradisi, apa yang mereka digunakan dalam suatu penelitian
masyarakat. Bagi Spradley (1997),
3
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
4
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi
5
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
akan datang menyaksiakan adalah mereka tadi, lambat laun hilang dengan sendirinya
yang berkecimpung langsung dalam dunia dan menjadi profan.
pariwisata, atau sekedar petinggi dari Dinas Karena Bissu sebagai subjek akan
Pariwisata daerah maupun Provonsi. sebuah agama masyarakat Bugis, tentu juga
Namun apa yang saya temui berbeda mengalami proses disembedded, proses
dengan asumsi yang saya bangun, sebab penggeseran dari agama sebagai suatu yang
yang datang adalah rombongan mahasiswa hidup dalam komunitas keagamaan yang
salah satu perguruan tinggi, yang tertanam dalam sejarah dan sosiologi
dikoordinir oleh agen perjalanan. masyarakat tercabut dari sistem refrensinya.
Agama tidak lagi mengakar dalam
Bissu dan Benih Komodifikasi kehidupan komunitas sebagai jawaban atas
persoalan komunitas yang menyerah
Program pariwisata mendesak mereka
(Abdullah, 2017).
untuk merubah kesakralan upacara yang
Dekat dengan itu, komodifikasi budaya
dilakukan, menjadi sebuah komoditas
merupakan transaksi jual beli benda budaya
tontonan untuk dijual. Komunitas Bissu
melalui proses industri yang lahir seiring
yang makin berkurang ini berada dalam
dengan era globalisasi, sedangkan industri
ambang antara ada dan tiada, dikatakan ada
pariwisata adalah anak kandung globalisasi
karena komunitasnya masih dihendaki dan
yang memproduksi benda budaya untuk
terutama dengan hal sifatnya ritual.
diperjual belikan demi keuntungan secara
Dikatakan tidak ada, karena masyarakat
finansial (Irianto, 2016). Seperti dengan
yang semula menopang keberadaannya
kasus yang saya paparkan diatas tadi, selalu
kemudian meninggalkannya karena
ada saja pihak yang terus diuntung dan
berbagai sebab (Lathief, 2004).
dibuntungkan.
Membincangkan tentang pariwisata,
Dengan berubahnya konsepsi kesenian
tentu akan dekat dengan berbagai objek.
atau pagelaran yang dilakukan Bissu, dari
Ditulisan ini pariwisata dekat dengan
yang sifatnya semata untuk mendepatkan
kebijakan, seni dan kebudayaan, dari semua
berkat sebagai rasa kesyukuran dari dewa.
itu, untuk melihatnya terus berkelanjutan,
Perubahan makna ini ditandai dengan
maka pelestarian dengan cara apapun pasti
bayaran yang diminta atau bahkan yang
akan dialakukan, seperti pariwisata yang
diterima oleh oknum tertentu untuk meraup
penuh dengan komodifikasi. Tentu ini juga
tidak terlepas dari bagaimana komunitas untung dari pagelaran Bissu. Tentu ini
memberikan pemaknaan yang berbeda dari
Bissu dikomodifikasi secara legal dan
pagelaran untuk memintah rahmat dan
hampir tidak mendapat celah. Perlu
berkah, berubah menjadi pagelaran yang
ditekankan dalam poin ini adalah,
dipertontonkan dan mendapat sejumlah
bagaimana komunitas Bissu tidak lebihnya
imbalan.
hanya sebuah objek komodifikasi. Tanpa
Saat di lapangan, saya juga mendapati
ada hal yang mampu menjadikannya sebuh
banyak keluh kesah dari pemerhati Bissu,
kesepakatan akan nilai yang dijunjung
pemerhati ini memiliki WAG (WhatsApp
bersama.
Group) sendiri. Didalam grup itu terdiri
Adanya pemasaran produk pariwisata
dari peneliti dan budayawan. Saya
di Segeri, dengan cara mengemas pegelaran
mempelajari pola komunikasi yang ada di
tradisional dilakukan oleh Bissu yang
grup itu, hingga akhirnya saya dapat
bernilai religius, menjadi seni pariwisata
menarik benang merah. Bahwa mereka
yang bernilai komersial, dan dapat
sangat menentang suatu yang sifatnya
dipertontonkan secara bebas kepada para
komodifikasi bagi komunitas Bissu ini.
wisatawan. Sama dengan tari tradisional
Namun mereka diperhadapkan oleh dua hal,
Barong yang ada di Bali, lihat (Dewi,
merawat budaya yang tidak lagi murni atau
2016). Jadinya, hal yang sifatnya sakral
malah memperparah dengan membiarkan
6
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi
begitu saja, tanpa komodifikasi. Hal ini membayar sejumlah mahar saat ingin
juga didukung oleh tulisan Makkulawu, mengikuti upacara mappalili, tentu hal
dirinya menuliskan seperti ini: itu kami tidak gubris, membiarkannya
berlalu dan tetap mengikuti ritual
Sekarang mereka juga sudah tampil
(Catatan Lapangan, 2018).
untuk suguhan para wisatawan yang
membutuhkannya, bahkan dapat Dengan begitu, adanya salah satu
memenuhi undangan untuk mengadakan oknum yang ingin meraup keuntungan dari
pertunjukan di luar Sulawesi Selatan. peristiwa seperti ini, memperparah jalannya
Jadi, tidak heran kalau sudah ada dosen plekasanaan upacara mappalili. Tentu juga
seni atau perguruan tinggi dianggap sebagai komoditi semata, bukan
memberanikan diri diangkat menjadi sesuatu yang benar-benar menampakkan
Bissu, bahkan sudah ada yang hebat lagi corak spiritualitasnya.
mengangkat Puang Matoa sendiri untuk Dari kacamata Antropologi, pariwisata
kepentingan grupnya (W. Makkulau, selalu dilihat dari sisi emik, artinya
2008). pariwisata menjadi sebuah narasi bersama
yang tidak hanya dilihat dari segi ekonomi,
Paparan yang dituliskan Makkulau ini
sosial dan lainnya, tetapi pariwisata selalu
rasanya sangatlah pedas, dan memang ini
dilihat bagaimana penerimaan masyarakat
sudah terjadi, sehingga apa yang saya
terhadap wisatawan asing yang datang.
narasikan sebagai sebuah komodifikasi dari
Dalam konteks Kecamatan Segeri, bukan
para peneliti terjadi beberapa tahun sebelum
hanya Bissu yang mendapat focus kajian,
saya melakukan turun lapangan. Sacara
namun respon kultural masayarakat menjadi
tidak sadar, para peneliti sebelumnya
kajian utamanya.
mewariskan konflik bagi para peneliti
Temuan saya kali ini, masyarakat Segeri
pemula seperti saya. Belum lagi jika saya
belum mampu menjaga citra Bissu sebagai
hanya dipertemukan oleh Bissu dari
orang suci. Lathief dalam penjabarannya
golongan mereka saja, padaahal sejatinya,
mengenai kelasifikasi Bissu, menuliskan
data yang saya perlukan, tidak ada pada
kalau mereka (Bissu) dari golongan
Bissu golongannya itu.
paccalabai di kalangan remaja Segeri,
Dalam melihat perkembangan
dikenal dengan maju kena—mundur kena,
komunitas ini dari segi pariwisata, saya
yang maksudnya adalah calabai yang bisa
juga menemukan kejanggalan yang saya
berhubungan dengan pria dan wanita.
tuliskan dalam catatan harian saat berada di
Lanjutnya, calabai tipe ini disebut pula
lapangan.
pisau silet, yang maknanya dapat mengiris
Selain permasalahan dalam internal dua sisi secara bolak-balik (Lathief, 2004).
Bissu maupun dari kalangan peneliti, Selain tidak mampu menjaga citra suci
permasalahan juga saya temukan dari yang dimiliki Bissu, kaulah muda yang ada
dalam masyarakat Segeri sendiri. di Segeri dalam pengamatan saya
Karena saya menempatkan diri sebagai mengalami yang namanya shock culture,
peneliti ketika itu, maka untuk beberapa dari mereka jika melihat
menambah data yang saya perlukan, wisatawan asing selalu bertindak over.
saya memutuskan untuk bergabung Dengan mengajaknya berfoto atau
dalam lingkaran para peneliti dari mengajaknya berbicara dengan
dalam maupun luar negeri, yang menggunakan bahasa Inggis yang pas-
kebetulan juga ada di Segeri. Saat pasan, dan terkadang mempelesetkannya
sebelum upacara mappalili dilakukan dengan bahasa Bugis.
ada oknum dari pemerintah setempat
yang menemui kami, dalam Beberapa dari wisatawan asing tidak
perbincangannya yang memakan waktu terlalu merespon jika mendapati remaja
cukup lama, kami dimintai untuk seperti ini. Bahkan jika sudah kelewatan,
7
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
beberapa dari mereka merasa terganggu dan komersial (Irianto, 2016). Kesenian
tidak nyaman. Justru sudut pandang ini tradisional yang mengandung sebuah nilai
yang tidak dilihat dalam pengembangan dan menjadi ekspresi masyarakat,
pariwisata yang ada di Segeri. Belum lagi menciptakan keserasian antara manusia dan
jika wisatawan asing tidak begitu suka lingkungan, harus pula menyesuaikan diri
diperlalukan begitu, maka biasanya mereka dengan kebutuhan pasar yang akhirnya
saling mengumpat dengan menggunakan berada pada tuntutan industri pariwisata.
dua dialeg namun arti tetap sama yaitu Bagi para pelaku kesenian,
mencelah. menampilkan hasil cipta, rasa, karya, dan
Perhatikan Gambar 2. Saat saya karsa dalam sebuah pagelaran adalah
menyaksikan awal turunnya arajang untuk sesuatu yang didamba-dambakan. Namun
dipindahkan ke rumah baru yang telah itu berbeda bagi para pelaku budaya,
dibuatkan oleh pemerintah. Saya melihat melakukan sebuah perfom bukanlah
seorang warga lokal yang sedang meminum keharusan buat mereka. Ada atau tidak
minuman keras dan seakan adanya perfom mereka harus tetap
mempertontonkan bagi siapa saja yang melakukan ritual upacara yang sifatnya
datang. Kelakuan seperti ini yang akan sudah diwariskan secara turun-temurun. Ini
merusak citra suci Bissu sebagai penjaga merupakan sebuah batas demarkasi antara
rumah dan benda-benda sakral yang ada di pelaku seni dan pelaku budaya.
Segeri. Saat melihat sisi kehidupan dan
konteks yang ada pada komunitas Bissu,
mereka dapat dicap sebagai sebuah pelaku
budaya. Bagi mereka, ada atau tidak adanya
wisatawan, upacara harus tetap
berlangsung. Berbeda lagi jika konteksnya
saat mereka melakukan tarian maggiri
(menusukkkan benda tajam pada tubuhnya),
diluar waktu upacara dan di tempat-tempat
yang telah direncanakan. Dalam konteks
itu, mereka tidak lagi disebut sebagai
pelaku budaya, mereka lebih pantas disebut
Gambar 2. Seorang warga lokal di kolong sebagai seorang pelaku seni.
rumah sedang minum minuman keras saat Dengan melakukan pagelaran diluar
hal upacara ritual, dari situlah mereka dapat
upacara Bissu sedang berlangsung.
melanjutkan kehidupan. Diundang, pentas,
Dokumentasi Pribadi (2018). dan mendapat bayaran adalah hal yang
sangat diidam-idamkan oleh segelintir
Dengan memperlihatkan kelakuan Bissu, apalagi saat pentas itu dilakukan
seperti ini, akan menambah sebuah akar diluar daerah dan mengharuskannya untuk
permasalahan baru bagi pengembangan membawa persiapan yang lebih. Namun ada
pariwisata di Segeri. Karena respon kultural juga Bissu yang tidak ingin ambil pusing
tadi yang tidak mampu dilihat sebgaia dengan itu, bagi mereka berprofesi sebagai
sebuah nilai adaptasi. indo’ botting lebih menjanjikan ketimbang
harus melakukan pelesiran sana-sini.
Komodifikasi, Upaya Merajut De’pa na palili tauwe nak dakku u
Kehidupan lokka di Sumatra, sibawaka i Juleha,
Sejak dicanangkan industri pariwisata pa Wa Nani, alena tosi lokka ko Bali.
di Indonesia pada tahun 1986, maka Iyya na Juleha, lokka tosika ko
kesenian tradisional merupakan salah satu Sumatra. Pa’ alena (Bissu Wa’ Nani)
atraksi yang bertujuan untuk hiburan
8
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi
9
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
terus berubah. Tentu dibalut indah dengan mengembalikan posisinya, kepada ranah
keuntungan pariwisata yang kian hari kian yang sakral.
menjanjikan.
Sampailah pada wacana apropriasi Bissu; Sebuah Komoditas Budaya
seni, sehingga tari tidak muncul sebagai hal Dalam tulisan ini saya mewacanakan
turun-temurun, melainkan muncul dengan pernyataan Geertz, yang mengisyaratkan
sesuatu yang terus mengalami kebaharuan. bahwa seni merupakan perkara yang sulit
Olehnya itu, pagelaran (tari) maggiri (lihat dimengerti jikalau hanya melihat dari
Gambar 4) yang dilakukan oleh Bissu permukaan. Seni membutuhkan sebuah
adalah suatu yang terus berubah. Karena tindakan untuk mengenalnya (Raditya,
sifatnya yang terus berubah, hingga tari 2014). Maka dari itu untuk sebuah laku
istimewa dilakukan oleh orang dan di pagelaran Bissu, adalah sebuah perpaduan
tempat tertentu, dapat dilakuan oleh orang pada tatanan sosial, ekonomi bahkan
yang biasa saja. relevansi politik. Dimana perpaduan itu
Selain itu, konteks tari biasanya untuk hanya dipandang sebagai suatu produk
sesuatu yang sakral, kini menjadi suatu untuk melanggengkan komoditas.
yang dapat dinikmati khal layak umum. Pergeseran makna dari pagelaran yang
Dinikmatinya tari secara umum, maka sifatnya sakral, natural, dan kultural kian
dengan begitu eksploitasi dan komodifikasi hari dianggap sebagai objek dari tontonan
bekerja. Dari kelakuan itu nantinya akan semata. Hadirnya industri pariwisata
membuat mereka semakin bebas dari nilai menampakkan implikasi yang luas,
yang sebelumnya telah mengikat. dikarena termasuk pada pergeseran sakral ke
sangat memungkinkan paradigma post— tontonan, ini merupakan sebuah kajian
modernisme akan menjadi semakin jelas budaya populer, dengan asumsi bahwa
sosoknya dan semakin kuat pengaruhnya budaya konfensional ketika sudah menjadi
terhadap wacana kesenian dalam hal yang dikomersialkan maka saat itu
antropologi budaya (Ahimsa-Putra, 2000). dapat diakatakan budaya populer. Penanda
lainnya adalah jika dahulu pagelaran Bissu
diadakan karena bersifat ekologis, maka
sekarang pagelaran itu bergeser dengan
objek industri. Industri dimaksudkan adalah
pariwisata.
Dalam tulisan ini bukan ingin
menyudutkan industri pariwisata, karena
disisi lain, dalam sudut pandang pariwisata.
Kebudayaan tidaklah berubah, nilai dalam
kebudayaanpun juga tidak berubah. Tapi
Gambar 4. Beberapa Bissu tengah yang menjadi titik tekannya bahwa nilai itu
mempersiapkan diri untuk menari magis mengalami sebuah proses transformasi
maggiri. (Dokumentasi Pribadi, 2018). bukan perubahan. Maka dengan asumsi
seperti ini, industri pariwisata tetap dengan
Ketika pariwisata semakin massif angkuhnya berjalan langgeng ditengah
dilakukan atas mereka, lambat laun akan terpaan identitas yang mulai tidak karuan.
menghilangkan sisi sakral, dan Komodiifikasi yang dimaksudkan
mengedepankan sisi profan. Inilah yang merupakan segala bentuk gerak tubuh dari
dibungkus oleh industri pariwisata dan seorang Bissu. Bagaimana tidak, pesatnya
hampir tidak mampu dipandang dari sisi permintaan akan pagelaran yang
emik, memasuki abad 21 saat era post— dipentaskan oleh mereka, tidak sejalan
modernisme tidak dapat dielakkan. Saat itu dengan apa yang ia dapatkan. Hal ini
pula, peneliti harus kembali diperparah oleh hadirnya pemerintah yang
10
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi
11
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
12
TARI DINGGU
EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS KEBERHASILAN PANEN
PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI
DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA
(THE DINGGU DANCE AN EXPRESSION OF REJOICING OVER
SUCCESSFUL HARVEST AMONG THE TOLAKI PEOPLE OF KOLAKA,
SOUTHEAST SULAWESI)
Syamsul Bahri
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
e-mail: syamsulbahrihabibi@yahoo.co.id
ABSTRACT
The dinggu dance constitutes a dance form practiced by the Tolaki people of Kolaka, in the province
of Southeast Sulawesi. Since the adoption of rice as the staple food of the Tolaki, the society took the
initiative to create the dinggu dance, featuring movements following the motions of people threshing
rice by pounding, pounding a wooden mortar and pestle, as well as involving a winnowing basket
woven from bamboo, used for separating out chaff. The aim of this research, from a practical
perspective, is to inventorize cultural heritage to preserve a cherished legacy. From an academic
perspective, the aim is to further explore the values and meaning carried by the dinggu dance. The
research method used is a qualitative approach, prioritizing observation of the movements of the
dance, its props, costume, and accessories. Interviews focused on the birth of the dinggu dance and its
development, and literature study focused on theory books and a few previous written works of
research. The research shows that the current form of the dinggu dance is employed as an art form,
that is, a dance that is no longer only performed at rice harvest celebrations. Rather, the dinggu dance
is equated with the traditional values of comradery or group unity, aesthetic values, and the
expression of joy and gratitude over a harvest. In its development, the dinggu dance has achieved
globally recognized status, by guarding its existence, and practicing it on a local, national, and
international scale.
Keywords: Dance, Dinggu, Tolaki, Harvest
ABSTRAK
Tari dinggu merupakan jenis tari yang hadir diprakarsai masyarakat suku bangsa Tolaki di Kolaka,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak orang Tolaki menjadikan padi sebagai bahan baku makanan pokok,
saat itu pula masyarakat berinisiatif menciptakan tari dinggu dengan pola gerakannya mengikuti
aktivitas masyarakat saat menumbuk bulir padi menjadi beras dengan menggunakan lesung, dan alu
terbuat dari bahan kayu yang digunakan untuk menumbuk, serta nyiru atau tampi dari anyaman bambu
sebagai alat membersihkan sekam. Tujuan penelitian, dari sisi praktisnya adalah menginventarisasi
karya budaya untuk memperkaya perbendaharaan pustaka. Dari sisi ilmiahnya, adalah sebagai ajang
mengenal lebih jauh nilai dan makna yang tertuang dalam tari dinggu. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif, yang mengedepankan pengamatan terhadap gerakan-gerakan pada tari,
alat peraga, pakaian, dan aksesoris. Wawancara terkait yang melatari lahirnya tari dinggu. Tari dinggu
dalam perkembangannya, serta studi literatur adalah mengarah pada buku teori serta beberapa tulisan
hasil penelitian sebelumnya. Temuan penelitian terungkap, bahwa tari dinggu dewasa ini diposisikan
sebagai tari kreasi, yaitu tari yang tidak lagi hanya dipentaskan saat menyambut keberhasilan
memanen padi, tetapi tari dinggu juga syarat dengan nilai seperti, nilai kebersamaan atau pemersatu
dan nilai estetika serta menuai makna kegembiraan dan ucapan syukur. Akan tetapi, tari dinggu dalam
perkembangannya, menjadi mendunia karena telah dijaga keberadaannya dan juga telah dipentaskan
ditingkat lokal, nasional, dan internasional.
Kata Kunci: Tari, Dinggu, Tolaki, Panen
13
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
PENDAHULUAN selesai.(https”//braily.co.id/tugas/9731220)
Kesenian merupakan salah satu unsur . Menurut Tarimana (1989:245), pada
kebudayaan yang sifatnya universal. masyarakat Tolaki dikatakan seni sebagai
Kesenian pada prinsipnya dapat ditemukan eksperimen keagamaan, seperti ditemukan
pada hampir di seluruh kelompok pada beberapa macam seni tari yang
masyarakat, baik yang hidupnya berada di dihasilkan, seperti tari pemujaan yang
wilayah pedesaan maupun terpencil terlebih disebut tari lariangi dan tari lulo sangia,
lagi di wilayah perkotaan yang terbilang serta tari dinggu.
kompleks (Koentjaraningrat, 1982:2). Guna menghindari penulisan ganda,
Kesenian yang kita ketahui terdiri atas tulisan ini didukung beberapa hasil
berbagai jenis atau kategori, yakni seni penelitian terdahulu, yaitu tulisan yang
musik, sastra, teater, rupa, patung, dan seni dilakukan oleh Anna Putri (2008), hasil
tari. penelitian beliau yang diberi judul “Sejarah
Seni tari yang dikenal dengan nama Tari Lariangi di Kabupaten Konawe”,
“tari dinggu” yang menjadi objek dalam mengatakan bahwa tari lariangi masuk
tulisan ini dimaknai sebagai suatu aksi atau pada masa pemerintahan Mokole Wekoila
kegiatan yang dilakoni oleh sekelompok pada abad ke-10 Masehi. Pada awalnya tari
orang tertentu. Dalam hal ini, kelompok ini berfungsi sebagai penyembahan kepada
orang yang berlatar belakang suku bangsa para dewa (Sangia) dan terkait dengan
Tolaki dengan menggunakan gerakan tubuh sistem kepercayaan. Kemudian beralih
dengan tertata secara beririma dan fungsi sebagai tari penghibur Raja (Mokole)
terstruktur, dilangsungkan di tempat yang dan pejabat kerajaan. Tari ini juga
telah dikonstruksi sedemikian rupa dengan mengungkap mengenai peralatan,
tampilan penuh hiasan dan di tempat perlengkapan, dan proses tari.
tertentu. Adapun sasaran terlaksananya “tari Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh
dinggu” ini adalah untuk keperluan Dwi Ruliyana Ningsih (2016), yang diberi
pengungkapan perasaan, maksud, dan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
pikiran sehingga ketika tarian itu dirangkai Pada Materi Seni Monotambe Melalui
menjadi satu kesatuan sehingga dengan Pembelajaran PAIKEM (Pembelajaran
sendirinya menghasilkan keindahan bagi Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan
setiap para penikmat. Seni tari tidak dapat Menyenangkan) di kelas IV SD Negeri
dipisahkan dengan alat musik pengiring, Tuoy Kecamatan Unahaa. Penelitian ini
seperti “tari dinggu” yang pementasannya terfokus pada hubungan antara edukasi,
diringi, alat-alat seperti gong, gendang, dan kesenian dan teknik menari pada tingkat
beragam bumyi-bunyian. Terkait dengan siswa sekolah dasar. Tari mondotambe
hal tersebut (Danesi, 2010:86-87) melihat (menjemput atau menyambut tamu) sebagai
seni tari dalam lima fungsi, yaitu: (a) sarana salah satu tari suku Tolaki yang
komunikasi estetis, (b) komunikasi ritual kesehariannya digunakan untuk penyambutan
sekaligus komunal, (c) sebagai rekreasi, atau menjemput tamu. Temuan hasil
kebutuhan fisik, dan psikologi, (d) fungsi penelitian dikatakan bahwa siswa sekolah
sosial, dan ruang untuk mencari pasangan dasar bisa dengan cara yang mudah dapat
hidup di kalangan remaja. mengikuti gerakan dalam tari mondotambe.
Menurut Suryo, tari merupakan Secara visual, gerakan dalam tari ini cukup
ekspresi subjektif yang diwujudkan dalam mudah untuk dipelajari karena sifatnya,
bentuk objektif (Sumaryono, 2011). Tari lambat, dan lembut. Untuk kalangan anak-
merupakan sebuah ungkapan pernyataan anak, bisa dengan mudah untuk
dan ekspresi dalam gerak yang memuat mempelajarinya dan dijadikan dasar untuk
komentar-komentar mengenai realitas tari lainnya. Keaktifan gerak motorik anak
kehidupan yang mampu merasuk dibenak bisa dilatih dan terus dikembangkan dengan
penikmatnya setelah pertunjukan pelajaran tari seperti tersebut.
14
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
Sedangkan hasil penelitan lainnya bisa dilihat melalui gerakan penari ketika
dilakukan oleh Abdul Halim (2017). menumbuk lesung dengan menggunakan
Penelitian ini difokuskan pada tari lulo, alu secara bersamaan. Varian gerakan yang
yaitu sebuah tari yang cukup populer di beragam membuat penonton terkesima
kalangan orang yang berlatar belakang suku dengan permainan alu dan lesung secara
bangsa Tolaki, dengan mengangkat sebuah apik. Kekompakan petani laki-laki maupun
judul, yaitu: “Transformasi Tari Lulo Pada perempuan ketika berada di sawah diiringi
Masyarakat Tolaki Di Kabupaten Konawe dengan iringan musik yang menggunakan
Sulawesi Tenggara. Penelitian ini melihat peralatan tradisional yang tidak kalah
perubahan tari lulo yang menjadi icon Suku autentik dan penuh khas. Tari dinggu yang
bangsa Tolaki dari waktu ke waktu. sarat akan makna kerap ditampilkan, baik di
Sebelum mengalami transformasi fungsi, tingkat daerah, nasional maupun
tari lulo hampir punah terutama ketika internasional. Dari segi gerakan, tari dinggu
fungsi tari ini sebagai medium untuk lebih variatif dan sarat akan gambaran
pengobatan dan pemujaan. Prihatin dengan kehidupan suku bangsa Tolaki pada zaman
kondisi seperti ini maka pemerintah dahulu, khusunya di kalangan kaum petani.
berupaya untuk merevitalisasi tari lulo. Tari ini menceritakan kehidupan
Beberapa upaya yang dilakukan seperti masyarakat Tolaki yang erat kaitannya
ceremonial penyambutan tamu, pesta dengan sistem mata pencaharian zaman
pernikahan, festival lomba (Lulo Kreasi), dahulu hingga sekarang, yaitu pertanian.
hiburan dan pergaulan khususnya di Tari yang menggambarkan suka cita petani
kalangan anak muda. Secara tidak langsung ketika menyambut musim panen tiba dan
tari lulo bertransformasi karena adanya bersyukur atas limpahan rezeki yang
perubahan sosial budaya global, ekonomi, diberikan oleh mahakuasa. Selain berupa
pendidikan, dan teknologi. kesenian, tari ini juga menjadi salah satu
Bertolak pada ketiga hasil penelitian media untuk menyatukan kembali perasaan
sebelumnya, tulisan ini meliaht sebuah tari rindu akan kampung halaman dan kearifan
yang juga diprakarsai orang yang berlatar lokal masyarakat yang penuh
belakang suku bangsa Tolaki, tetapi kesederhanaan.
mengkhususnya sebuah tari yang disebut
“tari dinggu”. Tari dinggu, adalah satu METODE
jenis tari tradisional suku bangsa Tolaki, Penelitian ini menggunakan metode
khususnya yang bermukim di Kolaka, kualitatif-deskriptif, yaitu sebuah penelitian
dahulu merupakan daerah kerajaan
yang mengacu pada berbagai cara atau
Mekongga. Tari ini menceritakan suka cita strategi dalam rangka penjaringan atau
petani ketika menyambut dan melaksanakan
pegumpulan data, dengan ciri khasnya
panen padi sawah. Tari yang energik dan
adalah pengamatan (oberservasi) dan
ceria menggambarkan betapa semangatnya
wawancara (interview), serta studi pustaka
petani memanen padi berkat keberadaan
sebagai pelengkap pengungkapan teori dan
Dewi Padi atau Dewi Sri (Sanggoleo Mbae) konsep-konsep ilmiah. Sedangkan,
yang memberikan keberkahan atas usaha pendekatan yang digunakan adalah etnografi,
yang dilakukan serta dipercaya menjaga selain sebagai prosedur kerja, juga tidak
kesuburan padi. Tari ini juga bernuansa terlepas dari pendeskripsian aspek-aspek
penggambaran rasa syukur masyarakat atas mendasar dari pengalaman, yaitu (1) apa
limpahan panen yang diterima. Lewat tari yang manusia perbuat, (2) apa yang
ini, kita bisa melihat secara tidak langsung manusia ketahui, dan (3) dan apa-apa saja
visual kehidupan petani pada suku bangsa yang manusia gunakan. Oleh karena itu,
Tolaki pada zaman dahulu. sasaran deskripsi dimulai dari asal usul tari
Tari dinggu memiliki gerakan yang dinggu, proses tari, peralatan dan
penuh semangat dan kekompakan. Hal ini perlengkapan tari, makna tari, dan fungsi,
15
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
serta perkembangan tari dari waktu ke tari, persiapan penari sebelum pentas, dan
waktu. saat penari pentas. Kesemuanya
Kolaka yang saya pilih sebagai lokasi ditunjukkan dengan menampilkan gambar-
penelitian dimulai dengan membaca gambar yang diamati. Sedangkan, teknik
beberapa buku yang memuat informasi wawancara yang dilakukan adalah peneliti
tentang Kolaka, seperti di antaranya tulisan bertatap muka dengan para informan,
Rauf Tarima mengenai budaya suku bangsa dimana pengajuan pertanyaan dari peneliti
Tolaki, terkait dengan penelitian Syamsul tetap mengacu pada instrumen penelitian
Bahri mengenai Aneka Tambang di yang telah dirancang secara tersuktur
Pomalaa. Dari bacaan inilah saya sebelumnya. Adapun ajuan pertanyaan yang
menemukan beragam kriteria tentang perlu didapat dari para informan berupa:
kolaka, seperti: (1) Kolaka merupakan salah sejarah lahirnya tari dinggu di lingkungan
satu daerah yang menjadi pusat persebaran masyarakat yang berlatarbelakang suku
orang-orang yang berlatarbelakang suku bangsa Tolaki, persoalan yang melatari
bangsa Tolaki, (2) Kolaka merupakan lahirnya tari dinggu, makna yang
tempat awal lahirnya tari dinggu, (3) terkandung dari setiap pergerakan tari
Kolaka merupakan sentra pengembangan dinggu, makna yang terkandung dari setiap
tari dinggu hingga kini, dan (4) Kolaka alunan musik pengiring, dalam rangkaian
merupakan tempat di mana ditemukan apa tari dinggu dipentaskan, kenapa
berdiri bangunan sanggar tari, khususnya penarinya terdiri dari laki-laki dan
yang membina tari dinggu yang disebut: perempuan, dan mengapa tari dinggu
sanggar seni Sanggoleo:” dimainkan sebanyak 10-12 orang. Terkait
Menentukan informan dalam kegiatan studi pustaka, selain menghadirkan buku-
penelitian ini dilakukan secara acak, namun buku yang memuat teori dan konsep, juga
tetap memperhatikan kriteria-kriteria yang menghadirkan beberapa hasil penelitian
dimiliki para informan, artinya yang sebelumnya.
bersangkutan terenkulturasi penuh terhadap Analisis data dilakukan melalui alur,
objek penelitian. Adapun kelompok orang seperti (a) reduksi data, dimana data yang
yang dipilih sebagai informan, adalah telah dikumpulkan melalui pengamatan dan
beberapa orang terlibat sebagai penggiat wawancara mendalam disusun dalam
dan pelaku seni, dalam hal ini pelatih tari bentuk catatan lapangan lalu diseleksi,
“dinggu”, pemilik dan anggota pengurus memfokuskan, menyederhanakan dan
sanggar, dalam hal ini Sanggar Sanggoleo, mengabstraksikan data lapangan. (b)
sebagai penari tari dinggu, beberapa penyajian data diracik secara teratur dan
penggiat budaya, termasuk pihak terintegrasi, kemudian disajikan dalam
pemerintah yang membidangi kesenian, bentuk deskripsi, dan (c) penarikan
dalam hal ini kepala dan beberapa anggota kesimpulan, dimana data disajikan dan
yang tergabung pada Seksi Pertujukkan dilanjutkan dengan memahami maknanya
dalam lingkup UPTD (Unit Pelaksana lalu membuat proposisi.
Teknis Daerah) Taman Budaya Provinsi
Sulawesi Tenggara. PEMBAHASAN
Pengumpulan data terkait dengan Asal Usul Tari Dinggu
penelitian ini dilakukan cara observasi Modinggu berasal dari bahasa Tolaki,
(pengamatan) dan interview (wawancara), terdiri atas dua kata, yaitu “mo” dan
serta studi pustaka. Dalam kegiatan “dinggu”. “Mo” adalah kata depan yang
pengamatan, objek-objek yang diamati berarti pelaku dan “dinggu”, berarti sentuh
meliputi perlengkapan pendukung atau bersentuhan. Bersentuhan dimaksud
pelaksanaan tari dinggu, seperti adalah antara lesung dan alu mengeluarkan
kelengkapan pakaian dan segala bentuk bunyi. Bunyi ini merupakan alunan musik
aksesorisnya, alat musik sebagai pengiring pengiring dari tari dinggu. Sebelum
16
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
17
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
PNPI PNPI
PNPI PNPI
PNPI
PNBI
PNBK
PNBK
18
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
19
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
yang sesekali menengok ke kiri dan ke karena menjadi ciri khas dan pembedanya
kanan diiringi dengan hentakan kaki yang tari dinggu dengan jenis tari lainnya. Dalam
cukup kuat, seperti gambar berikut. membentuk keindahan, lesung dicat dengan
perpaduan antara warna gelap dan cerah,
seperti hitam, merah kuning dan hijau, dan
diberi motif hias. Khusus pada bagian
bawah, lesung diberi gambar bermotif sama
dengan rok penari perempuan yang diberi
rumbai-rumbai. Tipe lesung dimaksud
dapat dilihat pada gambar berikut.
20
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
3. Ndengu-ndengu
Ndengu-ndengu merupakan alat musik
yang terdiri atas tiga buah gong kecil, dua
Foto 11. Dua Buah Model Gong Pengiring di antaranya berukuran sama. Tiga buah
Tari gong kecil ini diletakan secara horizontal ke
string setiap bingkai kayu. Setiap gong
Gong yang tampak di atas terbuat dari memiliki nada dan bunyi yang berbeda
leburan logam (perunggu dengan tembaga) sehingga dapat menghasilkan lantunan
dengan permukaan bundar. Gong dapat suara yang berbeda pula. Nada gong ada
digantung pada bingkai atau diletakkan yang rendah, datar, dan tinggi. Gong
berjajar pada rak, atau bisa ditempatkan biasanya dimainkan dengan irama yang
pada permukaan yang lunak seperti tikar. cepat, bersamaan dengan tabuhan gendang.
Gong yang memiliki suara rendah, ditabuh Sang pemukul memainkan dengan cara
dengan pemukul kayu yang ujungnya memukul alat ini sesuai dengan iringan
dibalut dengan karet, katun, atau benang. musik lainnya.
21
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Gong kecil ini terbuat dari leburan memberikan gambaran kehidupan petani
logam dan perunggu, juga dilengkapi alat pada beberapa tahun silam yang belum
pemukul terbuat dari kayu atau berbentuk banyak mengenal jenis pakaian. Menurut
tongkat berlapis. Bagian atas (ujung) Husein (1984/1985:2), pakaian adat adalah
pemukul diberi lilitan kain atau benang pakaian yang sudah dipakai secara turun-
untuk menghasilkan bunyi keras tapi temurun yang merupakan salah satu
lembut sekaligus tidak merusak permukaan identitas dan dapat dibanggakan oleh
gong yang terus dipukul. Alat musik ini sebagian besar pendukung kebudayaan
juga dipakai pada pagelaran musik tertentu. Pakaian adat dilengkapi dengan
tradisional gamelan di Pulau Jawa dan perhiasan dan kelengkapan tradisional
instrumen melodi terbuka pada degung lainnya, kesatuan utuh antara busana dan
gamelan Sunda yang disebut bonang. perhiasan dan kelengkapannya menunjukan
Untuk melihat gong dimaksud perhatikan lengkapnya pakaian adat tersebut. Pakaian
gambar berikut. memiliki nilai, etik, estetik, simbolik,
religius, status sosial pemakainya sekaligus
mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan,
serta perbedaan dalam pandangan sosial,
politik, dan religius serta dapat
dibanggakan oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Pakaian berfungsi sebagai simbol
dalam corak ornamennya, juga
melambangkan sejarah kehidupan manusia
dan menjadi unsur penting bagi status
seseorang. Sedangkan fungsinya sebagai
lambang stabilitas dapat kita lihat dalam
peranannya dalam perubahan fase-fase
Foto 13. Ndengu-ndengu kehidupan manusia.
Kostum dalam tari dinggu secara
4. Suling Bambu tidak langsung memberikan gambaran
Suling bambu dalam bahasa orang tentang pakaian adat suku bangsa Tolaki,
Tolaki disebut, o suli. Suling bambu baik yang dikenakan laki-laki maupun
merupakan alat musik tiup, sudah sejak perempuan ketika menanam padi. Kostum
lama dimainkan sebagai tanda suka cita yang dikenakan dibuat dengan menarik agar
ataupun ratapan kesedihan. Suaranya yang terlihat cantik (mencolok) di depan
khas memberikan kesan hidup dan panggung atau ketika pentas. Adapun
memberikan gambaran betapa asrinya kostum yang digunakan adalah:
kehidupan di persawahan pada zaman
dahulu. Suling sangat akrab dengan
1. Kostum Laki-laki
kehidupan petani karena sering dimainkan
1.1. Baju
di sawah ketika sedang beristirahat. Suling Baju dalam bahasa orang Tolaki
yang panjang terbuat dari bambu. Pada disebut o babu. Baju yang digunakan bisa
bagian permukaan, diberi lubang yang berlengan pendek atau berlengan panjang.
sejajar sehingga menghasilkan bunyi yang Motifnya menyerupai khas Melayu, diberi
berbeda. Cara memainkannya adalah ditiup hiasan sulaman benang warna keemasan
sambil lubangnya dibuka dan ditutup pada bagian leher (kera) baju, sisi lengan
dengan jari jemari tangan.
dan pinggir bawah baju. Di bagian tengah
terdapat desain motif yang sama dengan
Kostum Tari motif pada penari perempuan berwarna
Penari tari dinggu menggunakan kuning keemasan. Biasanya baju berwarna
kostum tradisional yang sederhana, artinya cerah seperti biru, merah, dan kuning.
disesuaikan dengan latar belakang tari yang
22
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
23
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
24
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
Tari tersebut dikenal dengan tari Dinggu memulai hidup sejak berada dalan rahim
atau Modinggu. ibunya selama tujuh sampai sembilan
Dalam tari dinggu terkandung makna bulan, lahir di dunia kemudian disambut
yang baik untuk diketahui dan dipahami (mesosambakai),melaksanakan pemotongan
oleh manusia. Secara pribadi, tari dinggu rambut pertama (mepokui), melakukan
banyak mengajarkan seseorang untuk sunat atau pemotongan pada kulup kelamin
menjadi pribadi yang bekerja keras dan (manggilo), menikah/ perkawinan (mepakawi
tidak mudah menyerah. Hal ini tersirat atau medulu) dan seterusnya sampai
dalam gerakan tari dinggu yang meninggal dunia (mateaha). Suatu gerakan
memberikan gambaran betapa semangatnya yang menyimbolkan akan perjalanan
kehidupan masyarakat zaman dulu yang kehidupan seseorang di dunia. Perjalalan
ulet dalam bekerja. Gerakan penuh yang dimulai dari tangisan dan akan
kecekatan dalam menumbuk padi di dalam diakhirii dengan tangisan pula.
lesung bermakna untuk mendapatkan Selain bermakna sebagai siklus hidup,
sesuatu dibutuhkan kerja keras dan usaha lingkaran yang dibentuk juga merupakan
berproses. Tidak ada hasil yang muncul representasi dari kalo. Kalo adalah alat
begitu saja tanpa adanya tenaga dan rasa pemersatu pada suku Tolaki. Kalo sebagai
capek. cara mengikat yang membelitkan
Segi sosial, tari dinggu juga memiliki (mowewei), melingkari (mombali), dan
makna bahwa kita sesama manusia harus sebagai pertemuan kegiatan bersama
saling tolong-menolong. Tidak ada satu dimana pelaku membentuk lingkaran yang
manusia pun yang bisa hidup sendiri tanpa disebut metaboriri (sambil makan
bantuan orang lain. Termasuk dalam proses bersama). Begitu pula dalam konsep tari
pengerjaan padi menjadi beras. Dalam tari Dinggu yang disebut modinggu yaitu
ini digambarkan ada beberapa tahap yang menumbuk padi secara bersama-sama
harus dilewati dan dilakukan petani dengan mengelilingi sebuah lesung sambil
sebelum bisa mengonsumsi nasi. Sebagai membunyikan lesung dan alu.
sumber makanan yang mengandung Kalo sendiri memiliki fungsi yaitu
karbohidrat, beras tidak bisa dikonsumsi sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai
begitu saja, tetapi butuh tahap pengerjaan kenyataan dalam kehidupan seseorang,
yang tidak singkat dan butuh kerjasama. sebagai fokus dan pemersatu unsur-unsur
Adanya kekompakan dalam bekerja kebudayaan Tolaki, sebagai pedoman hidup
maka satu pekerjaan akan diselesaikan untuk terciptanya ketertiban sosial dan
dengan waktu yang lebih singkat. moral dalam kehidupan, dan sebagai
Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi pemersatu untuk pertentangan-pertentangan
rasa persaudaraan, khususnya ketika musim konseptual dan sosial dalam kebudayaan
panen tiba. Mereka akan sangat senang dan dan kehidupan masyarakat suku Tolaki.
menikmati setiap waktu ketika musim ini Selain gerakan membentuk lingkaran,
tiba. Selain menjadi wadah silahturahmi terdapat juga gerakan membungkuk.
juga menjadi ajang untuk pesta rakyat yang Gerakan ini memiliki makna bahwa
menghibur. Cukup sederhana, namun manusia akan kembali ke asal, yaitu tanah.
sangat berharga bagi mereka yang hidup Manusia yang diciptakan dari genggaman
jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang lebih tanah pada akhirnya akan menemui ajalnya
ke arah individualisme. dan kembali di kubur di dalam tanah.
Ketika tari dinggu berlangsung ada Gerakan ini kembali mengingatkan kita
gerakan dimana penari mengelilingi lesung kepada Tuhan dan senantiasa mengingat
dan membentuk satu lingkaran. Lingkaran akan dosa serta kesalahan yang telah
yang dibentuk bermakna sebagai siklus dilakukan. Begitu pula dengan tanaman/
hidup manusia. Manusia hidup dilahirkan tumbuhan yang mati akan jatuh ke tanah.
dan mati dengan kematian. Manusia Di bumi manusia dapat bernafas dengan
25
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
26
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
mengungkapkan rasa syukur dan terima dilupakan. Oleh sebab itu, ketika tari
kasih kepada Dewi Padi (Dewi Sri) maka Dinggu dimainkan, banyak masyarakat
saat ini hal itu sudah berubah dengan yang antusias untuk menyaksikannya. Bagi
bersyukur kepada Tuhan. Walaupun telah penonton khususnya generasi muda, tari
mengalami pergeseran namun masyarakat Dinggu merupakan tari yang unik karena
tetap bersyukur atas nikmat yang diterima menggunakan peralatan pertanian dan
dan dilimpahkan. Sehingga tari ini juga bisa berbeda dengan tari Lulo. Tidak semua
dikatakan sebagai wujud rasa gembira yang orang dapat menari Dinggu karena terdiri
diungkapkan melalui tari. Secara khusus dari beberapa gerakan. Berbeda dengan
pada suku Tolaki, Dewi Padi dinamakan Lulo yang mana sebagian besar masyarakat
sanggoleo mbae, wurake mbae, wulia sudah bisa mempraktikannya sehingga ini
mbae, warako ombuno o pae (masing- menjadi tantangan tersendiri.
masing berarti roh padi, nyawa padi, Sebagai warisan budaya daerah, tari
halusnya padi, inti persona Dewa Padi). Dinggu juga mulai dilombakan pada ajang-
Secara psikologis, masyarakat ajang (event) seni. Ajang seni yang dimulai
khususnya yang bersuku Tolaki dan baik dari tingkat kecamatan maupun
mempunyai sawah di kampung halaman kabupaten. Bukan saja berunjuk di atas
akan kembali mengingat suasana desa. pentas, melainkan tari ini juga digunakan
Latar belakang tari yang menceritakan sebagai tari untuk menyambut tamu ketika
aktivitas petani di desa ketika musim panen ada kegiatan penting. Dengan adanya
tiba secara tidak langsung menciptakan rasa pertunjukan yang dilakukan, diharapkan
rindu. Suara lesung dan alu yang khas masyarakat khususnya generasi muda dapat
menjadi satu bunyi yang begitu berbekas di mengenal budaya daerahnya sendiri dan
benak orang yang mendengarnya. Suara ikut serta melestarikannya. Pelestarian
yang terus berbunyi membawa seseorang budaya dilakukan sebagai bentuk
untuk kembali mengingat masa lalu bahkan pengenalan dan promosi budaya kepada
masa kecilnya di sawah bersama sanak masyarakat umum, bukan hanya kepada
keluarga. Tentunya hal ini sangat masyarakat suku Tolaki.
mengharukan dan membawa nostalgia Secara moral, tari Dinggu tersirat
tersendiri khususnya bagi generasi lalu makna yang berarti bahwa betapa sulitnya
yang sekarang sudah menjadi orang tua proses petani dalam menanam padi,
bahkan lebih dari itu. merawat hingga memanen. Hal ini menjadi
Seni tari juga memiliki fungsi sebagai pelajaran untuk kita agar lebih menghargai
hiburan begitu pula tari Dinggu. Bekerja di makanan dan tidak menyia-nyiakannya,
sawah ketika musim panen tiba memaksa serta kembali mengingat masih banyak
petani untuk melakukan hal yang monoton. orang lain yang sulit untuk mendapatkan
Untuk mengurangi rasa jenuh dan cape, sesuap nasi. Hal ini berkaitan dengan
sambil bekerja mereka menari dan kebiasaan makan manusia yang suka
menikmati bunyi khas dari lesung dan alu. membuang makanan atau menjadikannya
Sekadar untuk melepas rasa penat, mereka basi sehingga tidak bisa dimakan kembali.
bergerak dan menganyunkan kaki. Dengan Manusia harus lebih bijak ketika hendak
melakukan tari, rasa penat yang dirasakan makan dan lebih memperhatikan porsi
semakin berkurang dan tidak terasa karena makan agar tidak berlebih-lebihan (rakus).
dilakukan dengan hati yang riang.
Tetapi pada saat ini, tari ini menjadi
hiburan tersendiri bagi masyarakat suku PENUTUP
Tolaki karena bisa dikatakan sudah jarang Tari dinggu merupakan tari tradisional
dimainkan dan dilakukan. Keberadaan tari suku bangsa Tolaki yang lahir dan
Lulo yang lebih dikenal masyarakat luas dilatarbelakangi aktivitas bertani masyarakat.
membuat tari Dinggu perlahan mulai Dengan keterbatasan tenaga dalam
27
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
28
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri
29
LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK ORANG BUGIS KARYA
MATTULADA “SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS”
(LATOA: BUGINESE POLITICAL ANTHROPOLOGY BY MATTULADA
„AN INTERPRETATION OF EPISTEMOLOGY)
Slamet Riadi
Universitas Gadjah Mada
JL. Sosio Humaniora Bulaksumur, Sagan, Caturtunggal, Kec. Depok,
Kabupaten Sleman. D.I Yogyakarta 55281
Surel: tariansajak@gmail.com
ABSTRACT
This research intends to interpret the kind of epistemology contained in the work of Mattulada,
Latoa;Suatu Lukisan Antropologi Politik Orang Bugis. The discussion related to epistemology in an
ethnographic work, still lacks serious attention, by academics, especially those involved in the field of
anthropology. In analyzing epistemology of this research, this study uses the search method of several
library sources, which are related to Mattulada's work. After that, do inductive-deductive readings, in
order to find the basic assumptions that became the foundation of Mattulada to produce his works.
This research produced two fundamental conclusions, firstly, Mattulada's work entitled Latoa is very
characterized by positivism, and similar to several of his other works. Secondly, despite having the
same epistemology in each of his works, several other Mattulada works have different paradigms.
ABSTRAK
Penelitian ini bermaksud untuk menginterprestasi epistemologi seperti apa yang terdapat dalam karya
Mattulada, Latoa; Suatu lukisan antropologi politik orang Bugis. Pembahasan terkait epistemologi
dalam suatu karya etnografi, masih kurang mendapatkan perhatian serius oleh kalangan akademisi,
khususnya yang bergelut dalam bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis epistemologi dalam
suatu karya, penelitian ini menggunakan metode pencarian beberapa sumber pustaka, yang
berhubungan dengan karya Mattulada. Setelah itu, melakukan pembacaan induktif-deduktif, untuk
menemukan asumsi dasar yang menjadi landasan Mattulada dalam menghasilkan karya-karyanya.
Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan mendasar, yakni pertama, karya Mattulada berjudul Latoa
ini sangat bercirikan positivisme, pun sama dengan beberapa karyanya yang lain. Kedua, meskipun
memiliki epistemologi yang sama di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada yang lain memiliki
paradigma yang berbeda.
30
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
Antropologi, penulis mulai berpikir untuk anggapan dasar sebagai suatu hal (bisa
segera menuntaskan karya Mattulada tentu benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah
dalam pembacaan secara akademis. oleh disiplin, dan sebagainya) yang tidak
sebab itu, melalui kesempatan ini penulis dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah
mencoba memahami tafsir epistemologis diterima kebenarannya (namun hal ini
dan paradigma apa yang digunakan oleh masih bisa dikritisi secara ilmiah pula).
Mattulada dalam menganalisis Latoa dan Anggapan-anggapan ini lahir dari sebuah
keterkaitannya dengan pola pikir dan perenungan-perenungan filosofis dan
perilaku politik masyarakat Bugis, yang reflektif, penelitian-penelitian emipiris yang
dikenal dalam ilmu Antropologi, sebagai canggih, atau bisa juga berasal dari
Antropologi Politik. pengamatan yang saksama (Ahimsa, 2009;
Sebagaimana yang telah terjelaskan di 4).
atas bahwa pintu masuk untuk menemukan
dan memahami epistemologis dan
METODE
paradigma seperti apa yang digunakan oleh
Mattulada ialah melalui karyanya dalam Penelitian ini bermaksud untuk
bentuk disertasi dengan judul “Latoa: suatu menelusuri epistemologi dalam sebuah
lukisan analitis terhadap antropologi karya antropologi. Karya antropologi yang
politik orang Bugis”. Secara keseluruhan menjadi fokus penelitian penulis ialah
analisa epistemologis penulis terhadap tulisan tangan dari maestro antropologi di
Mattulada lebih banyak mencakup tentang Sulawesi, Mattulada, dengan karyanya yang
isi, bangunan argumentasi, kerangka berjudul Latoa: Suatu Lukisan Antropologi
analisis, dan konseptual teoritik dari Politik Orang Bugis. Membedah karya ini
karyanya Latoa. Namun, adapun karya- dalam kerangka penelusuran epistemologinya,
karya lainnya yang penulis lihat juga menjadi suatu hal yang sangat penting, jika
menjadi hal penting untuk memperkuat tidak ingin dikatakan sebagai sesuatu yang
argumentasi penulis terhadap simpulan mendesak. Sebab, beberapa penelitian yang
mengenai epistemologi apa yang digunakan menceritakan atau setidaknya menggambarkan
Mattulada dalam Latoa, juga beberapa kondisi sosial masyarakat bugis, cenderung
tulisan-tulisan lainnya. mengutip beberapa bagian dari karya
Tentu apa yang penulis lakukan ini Mattulada tersebut.
memiliki bentuk yang berbeda dengan apa Dalam pencarian epistemologi,
yang telah dilakukan oleh Ahimsa (1997: penelitian ini mengambil sumber dari
25-48) dalam menganalisis epistemologi beberapa tulisan atau karya Mattulada,
Koentjaraningrat dengan judul tulisan kemudian dibandingkan dengan karya
“Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Latoa, guna untuk melihat secara
Tafsir Epistemologis”, Menurut penulis, hal mendalam ideologi atau epistemologi
ini bukan menjadi suatu permasalahan, seperti apa yang berada dibalik proses
sebab arah dari tulisan penulis dengan kreatif penciptaan beberapa karyanya.
Ahimsa itu sama-sama menuju suatu titik Proses ini dimulai dari mencari asumsi-
akhir, yakni pencarian epistemologis dari asumsi dasar yang ada dalam karya Latoa,
seorang tokoh. kemudian melakukan pembacaan secara
Mencari sebuah epistemologi yang induktif dan deduktif. Setelah proses
menjadi bangunan dasar dari sebuah pembacaan dan penelusuran asumsi dasar
penelitian bukan hal yang mudah, sebab yang ada dalam karya ini, penulis kemudian
epistemologi ialah sesuatu yang sifatnya melakukan proses generalisasiuntuk melihat
“implisit” dan kadang sulit ditemukan epistemologi apa yang berada di balik karya
secara tersurat dalam laporan penelitian fenomenal Mattulada ini. Proses
ilmiah maupun kerja-kerja ilmiah. Ahimsa selanjutnya ialah dengan membandingkan
(2009; 4) mengartikan asumsi atau atau menelusuri beberapa karya Mattulada
yang lainuntuk melihat lebih jauh, apakah
31
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
32
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
33
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Bugis yang meliputi beberapa azas (1985; baru (yang jauh dari prinsip pada era galigo
341) yakni azas mappasilasa‟e, yang menjunjung tinggi dewa-dewa)
mappasisaue, mappasenrupae, dan dimana terdapat sikap rasional dalasirim
mappalaiseng, dan Kedelapan, siri‟ dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan,
pandangan kehidupan masyarakat Bugis artinya membebaskan pikiran orang dari
yang memiliki konsepsi sebagai siri‟emmi belenggu terkait adanya anggapan bahwa
rionroang rilino, materi siri‟na, dan mate raja adalah titisan dewa-dewa yang sanggup
siri‟ (1985; 63). memberikan kebahagiaan pada rakyat
Bagian selanjutnya dalam karya hanya karena berkat kedewataannya atau
Mattulada yakni fokus pada jenis lontara‟ berkat namanya atau kharismanya (intinya
Latoa sebagai sebuah warisan masyarakat tolak ukur raja itu amanah atau tidak tidak
Bugis. Menurut Mattulada secara garis lagi dilihat secara ideal, tetapi dinilai
besar dari Latoa adalah kumpulan ucapan- melalui perbuatannya kepada Negara dan
ucapan, petuah-petuah dari beberapa raja rakyatnya). Sebagai simpulan dari
dan orang-orang bijaksana (sekitar abad ke pandangan di atas, Mattulada (1985; 90)
XVI), mengenai berbagai hal, terutama memberikan pandangannya bahwa seluruh
kewajiban-kewajiban raja dan abdi raja kehidupan politik orang Bugis didasarkan
terhadap negara dan rakyatnya di samping pada ajaran moral, yang bersandar pada
hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat nilai-nilai yang ada di dalam Latoa dan
terhadap raja dan negaranya (Mattulada, tercermin dalam sikap panngaderreng, hal
1985; 85). ini lah yang menjadi alasan kuat,
Kandungan Latoa yang menjadi pola bagaimana pengaruh islam dengan mudah
berpikir orang Bugis dalam hidup berkontribusi terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dan kebudayaannya panngaderreng yang diyakini sebelumnya
meliputi tiga hal menurut Mattulada (1985; oleh masyarakat Bugis.
87) dalam abstraksinya terhadap kandungan
Latoa itu sendiri yakni: b. Pembacaan Deduktif: Generalisasi
“pertama, manusia itu, apa pun dan dan Perbandingan Fakta-Fakta
bagaimanapun tingkat atau derajat Sosial-Budaya Masyarakat Bugis
sosialnya adalah makhluk yang sama Fakta-fakta sosial-budaya masyarakat
derajatnya sebagai ciptaan Tuhan, Bugis yang telah disusun dan diamati oleh
kedua, manusia itu, dalam tujuan Mattulada seperti yang penulis jelaskan di
hidupnya berhasrat untuk selalu bagian atas, kemudian digeneralisasi dalam
berbuat kebajikan. Dan ketiga, beberapa tipologi kebudayaan masyarakat
manusia itu, dalam membangun nilai- Bugis yang memiliki fungsinya masing-
nilai dan pranata-pranata sosial masing. Generalisasi dan perbandingan
kebudayaannya selalu berusaha yang dilakukan oleh Mattulada terhadap
mencapai keselarasan antara berbagai fakta-fakta sosial-budaya
kepentingan kolektif dengan masyarakat Bugis menunjukkan bagaimana
kepentingan individualnya” corak berpikir positivistis yang dianut oleh
seorang Mattulada.
Menurut Mattulada, ketiga pola
Beberapa generalisasi dan
sikap umum di atas yang mendasari alam
perbandingan fakta-fakta sosial-budaya
pikiran yang dituangkan dalam Latoa ini
yang dilakukan oleh Mattulada dalam
memberikan bentuk perwujudan nilai-nilai
karyanya „Latoa: Suatu Lukisan Analitis
dan kaidah-kaidah sosial-budaya serta
terhadap Antropologi Politik Orang Bugis‟
menjadi ukuran tingkah laku masyarakat
yakni sebagai berikut:
Bugis yang disebut panngaderreng (1985;
87). Dari prinsip-prinsip dasar Latoa ini,
masyarakat Bugis, kemudian memasuki era
34
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
35
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
36
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
tiga, berhubungan lapis dua dan tidak hukum-hukum alam, yang dapat
mempunyai sapana.” memotivasi atau mendasari seseorang atau
kelompok untuk bertindak atau berperilaku,
Di bagian ini tampak jelas bagaimana
yakni pada perbedaan stratifikasi sosial
Mattulada menerapkan cara kerja
masyarakat Bugis. Lebih jauh lagi,
positivisme dalam karyanya dengan
stratifikasi sosial ini juga memiliki fungsi
mengambil fakta-fakta tentang rumah-
sosial dalam kehidupan masyarakat Bugis
rumah masyarakat Bugis lalu kemudian
itu sendiri. Dalam hal ini, semakin jelas
digeneralisasi melalui sistem perbandingan
bagaimana Mattulada kembali menjelaskan,
antara bagian rumah yang satu dengan
konsepsi hukum-hukum sosial melalui apa
bagian rumah yang lainnya dan juga antara
yang dikatakan Durkheim (1984; 231, 240,
bentuk rumah yang satu dengan bentuk
315) sebagai „the sacred‟ yang ada pada
rumah yang lainnya.
masyarakat Bugis, yakni siri‟. Siri‟ ini
Hasil perbandingan Mattulada ini
kemudian menjadi hukum sosial dari
menghasilkan suatu simpulan bahwa
masyarakat Bugis yang berfungsi untuk
konsepsi tentang rumah bagi masyarakat
mengontrol, mengatur, dan mendasari
Bugis memiliki dua fungsi, yakni rumah
segala perilaku dan perbuatan masyarakat
yang memiliki fungsi ruang dan kerja, dan
Bugis.
rumah yang memiliki fungsi sebagai
Pandangan Mattulada di atas secara
penjelas identitas sosial (kelas) pemilik
tegas menggambarkan bahwa ada
rumah.
seperangkat nilai panngaderreng (ade‟,
bicara, rapang, wari, dan sara) yang
c. Hukum-Hukum Sosial dalam
mengatur segala lini kehidupan masyarakat
Kehidupan Masyarakat Bugis
Bugis yang telah terjelaskan sebelumnya
Sejauh yang penulis temukan ada dua dan hal ini menunjukkan bahwa Mattulada
faktor menurut Mattulada (1985) yang sangat berpaham positivisme dengan dasar
menjadi hukum-hukum sosial dalam atau anggapan bahwa Mattulada melihat
kehidupan masyarakat Bugis, yakni panngaderreng dan siri‟ sebagai hukum
panngaderreng dan siri‟. Keduanya secara sosial dan memiliki azas-azas serta unsur-
tidak langsung dan langsung mengatur dan unsur yang terintegrasi dan saling
mengarahkan pola pikir, tingkah laku, dan menguatkan antar yang satu dengan yang
pedoman hidup masyarakat Bugis dalam lainnya.
menjalani kehidupan politiknya dalam
bernegara. Beberapa gambaran hukum- d. Fungsionalis Struktur dalam
hukum sosial yang dijelaskan Mattulada Kebudayaan Masyarakat Bugis
dalam kehidupan masyarakat Bugis
Unsur-unsur dari panngaderreng
tergambarkan dalam beberapa fakta-fakta
(ade‟, bicara, rapang, wari, dan sara) yang
sosial-budayanya. Semisal pada fakta sosial
juga menjadi hukum-hukum sosial bagi
mengenai pelapisan masyarakat Bugis yang
kehidupan masyarakat Bugis ini menurut
terdiri atas anakarung, maradeka, dan ata
Mattulada juga memiliki fungsinya masing-
yang menurut Mattulada (185; 24) memiliki
masing yang akan memperkokoh nilai
fungsi yang penting dan perbedaan
panngaderreng apabila disadari oleh sikap
stratifikasi sosial ini juga dapat
siri‟, seperti yang secara ringkas penulis
menerangkan latarbelakang dan sifat-sifat
jelaskan di bawah ini,
mendasar dari masyarakat Bugis dalam
bertindak, berperilaku dan berpikir. Ade‟,
Apa yang bisa penulis simpulkan dari Ade‟ adalah salah satu aspek dari
pandangan di atas bahwa, Mattullada panngaderreng yang mengatur pelaksanaan
berusaha menunjukkan bahwa ada semacam sistem norma dan aturan-aturan adat dalam
hukum-hukum sosial yang mirip dengan
37
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
kehidupan orang Bugis. Menurut Mattulada Jenis-jenis ade‟ dalam arti pranata
(1985; 345-346) bahwa: masyarakat antara lain misalnya ade‟
puraonro (norma fundamental yang
“semua tindakan orang Bugis dalam
sulit diubah), ade‟ abiasang (norma
lingkup panngaderreng adalah ade‟
kebiasaan), dan ade‟ maraja (norma
yang menyatakan diri dalam semua
baru).”
segi kehidupan, misalnya ade
akkalabinengeng (hal-ikhwal yang Bicara,
mengatur masyarakat Bugis dalam Bicara adalah aspek panngaderreng
berumah tangga), termasuk persoalan yang mempersoalkan masalah peradilan,
keturunan yang boleh atau tidak boleh dimana mempermasalahkan semua hak dan
saling menikah, hukum perkawinan, kewajiban dari tiap persona hukum dalam
etika dan pendidikan dalam memperlakukan diri dalam hidup
berkeluarga, dan norma yang panngaderreng dalam kontiniutas peradaban
mengatur tentang martabat dan harga orang Bugis (Mattulada, 1985; 372).
diri dari suatu perkawinan.” Menurut Mattulada (1985; 372), Ade‟
Pada bagian atas telah disebutkan menurut lingkup kompetensinya adalah
bahwa ade‟ ialah kongkritisasi atau lebih luas dari pada ruang-lingkup dan
perwujudan dalam segenap tata-tertib yang kompetensi bicara, sebab ade‟ bersifat
meliputi semua orang dalam bersikap dan preventif dari para penjahat, mencegah
bertindak di dalam masyarakat dan perbuatan yang sewenang-wenang dari
kebudayaan, maka menurut Mattulada orang yang kuat dan melindungi yang
(1985; 347) itu berarti pula bahwa semua lemah, sedangkan bicara, lebih bersifat
orang, semua keadaan, dan semua benda represif, menyelesaikan sengketa,
yang terlibat di dalamnya adalah aspek ade‟ mengembalikan sesuatu yang tidak wajar
adanya. Dengan demikian, dalam realitas kepada keadaan yang lebih wajar yang
kehidupan masyarakat dijumpai adanya: tentunya berdasar dan bersandar pada
keadaan yang objektif. Maka dari itu bicara
“Pertama, Pranata sosial, berupa
dalam usahanya untuk mencapai tujuan
pakkatenni ade‟ yang merupakan
kebenaran, berpegang pada bicara
lembaga atau orang-orang petugas
tongettelu/tiga pangkal kebenaran dari
masyarakat (Negara) yang
bicara, yakni (Mattulada, 1985; 373):
berkewajiban menjalankan
“Pertama, pengakuan dengan jujur
pengawasan dan pelaksanaan ade‟.
kesalahan dari orang yang bersalah
Mereka adalah personifikasi dalam
dan kesalahan itu terbukti ada,
panngaderreng dalam realitas
sebagai kesalahan ade‟. Kedua,
kehidupan masyarakat (Negara) yang
Pembenaran secara ikhlas terhadap
dimana dalam melaksanakan tugas
kebenaran orang yang berbuat benar
dan kewajibannya, mereka melarutkan
dan kebenaran itu ada, sebagai
diri dalam tuntutan-tuntutan dari
kebenaran meurut ade‟. Ketiga,
kewajiban ade‟, sehingga padanya
Mufakat pakkatenni ade‟, untuk
dibebankan syarat-syarat yang sangat
menyatakan salah bagi yang bersalah
berat, misalnya sebagai manusia
dan benar bagi yang benar.”
pribadi mereka harus melepaskan diri
dari nafsu-nafsu pribadi. Kedua, Ade‟ Terakhir perihal bicara, Mattulada
sebagai pranata sosial ialah pola-pola (1985; 371-372) beranggapan dengan
ideal dalam bentuk dan suasana yang meminjam istilah dari Malinowski
beraneka macam. Inilah yang (effective custom) bahwa:
menentukan pola-pola formil dari ade‟ “dilihat lebih jauh, ancaman-ancaman
dan berlakunya menurut urutan, serta yang demikian berat dan kebanyakan
sarana-sarana pelaksanaannnya. tertuju kepada hukuman mati atau
38
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
39
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
40
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
sebagai berikut, Pertama, menemukan dan juga dilakukan Mattulada (1998; 409)
mengamati fakta-fakta sosial yang ada di dalam melihat pelapisan masyarakat yang
masyarakat, Kedua, merumuskan dan telah berubah seiring dengan perjalanan
mengeneralisasi fakta-fakta sosial yang panjang sejarah kebudayaan masyarkat
ditemukan kedalam suatu hukum-hukum Sulawesi Selatan yang dia simpulkan
sosial yang modelnya mirip dengan sebagai berikut:
penentuan hukum-hukum alam, Ketiga, “peristiwa ini, telah melahirkan elit baru
menggunakan kerangka berpikir ilmiah dan mengubah sistem atau status sosial
secara induktif ke deduktif, Keempat, masyarakat di Sulawesi Selatan, terbagi
merumuskan sistem klasifikasi atau tipologi menjadi tiga yakni „Kaum Anakarung
kebudayaan melalui konsep perbandingan, (bangsawan)‟, „Kaum ambtenaar
dan Kelima, berusaha menemukan dan Gubernemen (Cendekiawan)‟, dan „Kaum
merumuskan konsep fungsional dalam Hartawan (pedagang dan pengusaha)”
kebudayaan. Dalam jurnal „Antropologi Indonesia
Dalam bukunya „Sejarah, Masyarakat, No.48 (1991)‟, Mattulada dalam tulisannya
dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (1998)‟, „Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar
Mattulada berusaha untuk membuat suatu dan Kaili di Sulawesi (1991; 4-85)‟, dengan
rentetan sejarah kebudayaan Sulawesi jelas mengulangi pembahasannya dalam
Selatan yang berdasar pada fakta-fakta memandang kebudayaan Bugis-Makassar
sosial-budaya yang didapatnya dari yang sama dilakukannya dalam karyanya
berbagai sumber seperti bahan-bahan Latoa (1985) dengan mencantumkan
arkeologi, cerita-cerita rakyat, dan mitos- sejarah, pelapisan masyarakat, sistem
mitos (legenda) yang ada pada masyarakat kekerabatan, nilai panngaderreng dan siri‟.
Sulawesi Selatan. Dari hasil penelusuran Sebagai contoh Mattulada menganggap
fakta-fakta sosial masyarakat Bugis, bahwa pelapisan masyarakat yang ada di
Mattulada kemudian mengklasifikasikannya Bugis sebagai bentuk dari hukum-hukum
kedalam pembabakan sejarah kebudayaan sosial yang mengatur pandangan hidup,
Sulawesi Selatan sebagai berikut pola pikir, dan karakter masyarakat Bugis
(Mattulada, 1998; 3-5): (1991; 17):
“Pertama, kerajaan-kerajaan lokal “Pelapisan masyarakat atau stratifikasi
dan konsepsi kedatuanto manurung sosial, biasanya dianggap pula sangat
(abad XIII-XIV), Kedua, kristalisasi penting untuk dipergunakan dalam
kewilayahan kerajaan-kerajaan lokal mencari latar belakang pandangan
kesukuan yang berusaha menetapkan hidup, watak, atau sifat-sifat mendasar
identitas masing-masing dan dari suatu masyarakat. Malahan lebih
diterimanya islam menjadi agama jauh dari pada itu, akan dapat
umum rakyat sulawesi selatan (abad diungkapkan dalam warna hubungan-
XIV-XVI), Ketiga, pertumbuhan hubungannya”
masyarakat islam dan tantangan Selain pelapisan masyarakat Bugis,
menghadapi intervensi kekuatan Konsepsi ata (golongan bawah masyarakat
bangsa-bangsa barat (abad XVI-XVII), Bugis) dalam Panngaderreng menurut
Keempat, perang melawan kolonialisme
Mattulada (1991; 28) juga sebagai bentuk
dan imperialism Belanda, Inggris, dan hukum-hukum sosial yang ada pada
Portugis di Sulawesi Selatan dan masyarakat Bugis,
sekitarnya (abad XVII-XIX), Kelima,
zaman hindia Belanda (1900-1945).” “ata harus dipandang bukan sebagai
suatu lapisan sosial yang fundamental,
Usaha untuk membuat generalisasi ata hanya dapat dipandang sebagai
dengan melakukan klasifikasi yang berdasar salah satu aspek dari panngaderreng
pada fakta-fakta sosial masyarakat Bugis untuk mencegah orang Bugis-
41
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
43
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
44
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi
45
PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PEMANFAATAN TANAMAN
OBAT PADA MASYARAKAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE
SULAWESI TENGGARA
(LOCAL KNOWLEDGE REGARDING THE USE OF TRADITIONAL
MEDICINAL PLANTS AMONG THE TOLAKI OF THE KONAWE REGENCY
IN SOUTHEAST SULAWESI)
Raodah
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jl. Sultan Alauddin Km7 Makassar
Telp.(0411)883748/885119,Fax (0411)883748
Email: raodahtul.janna@yahoo.com
ABSTRACT
This written work aims to describe the benefits of medicinal plants utilized by the Tolaki people in
treating various illnesses. Local medicinal plant knowledge is experience-based and is passed down
from generation to generation. This research takes a qualitative approach, employing the data
gathering methods of interviews, observation, and documentation. The results of the research indicate
that a subset of the Tolaki population, especially that of the Abelisawah township, continue to make
use of concoctions made from medicinal plants in the treatment of both physical and non-physical
ailments. The medicinal plants are naturally abundant in the immediate environment, and some are
planted around people's houses to serve as family medicine plants. The treatment and administration
of the medical plant concoctions are typically performed by a medicine man (mbu' owai), who recites
a mantra according to the type of illness ailing the patient. The medicinal plants used by the people of
Abelisawa are administered to patients ranging from young children to adults. There are a few factors
that cause the people to continue using the medicine men and the traditional medicine for the
treatment of various illnesses, namely their economic state, limited access to medical and social
services, the belief in the medicine men's power to heal, the understanding of medicinal plants as safe
and free from side effects, a lack of knowledge regarding modern medicine, and convenience in terms
of time needed for treatment.
Keywords: Medicinal Plants, illness, mbu uwoai, Tolaki.
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan manfaat tanaman obat yang digunakan masyarakat
Tolaki dalam mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan lokal tentang tanaman obat diperoleh
berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Tolaki terutama yang tinggal di Desa Abelisawah
masih memanfaatkan tanaman obat sebagai ramuan untuk mengobati penyakit medis dan non medis.
Tanaman obat banyak tumbuh secara liar di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, dan sebagian
ditanam dihalaman rumah sebagai TOGA (tanaman obat keluarga). Pengobatan dengan ramuan
tanaman obat biasanya dilakukan oleh dukun (mbu’ owai) dan dibacakan mantra sesuai dengan jenis
penyakit yang diderita pasien. Pemanfaatan tanaman obat digunakan masyarakat Abelisawa mulai dari
pasien anak-anak sampai dewasa. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat masih
menggunakan dukun dan ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, yaitu faktor ekonomi,
terbatasnya tenaga medis, sosial, kepercayaan akan kemampuan dukun menyembuhkan penyakit,
tanaman obat dianggap aman dan kurang efek sampaingnya, rendahnya pengetahuan tentang
pengobatan medis, dan waktu pelayanan yang mudah.
46
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
makanan dan minuman dan dengan cara budaya. Oleh sebab itu, dipandang perlu
apapun). Orang Tolaki apabila sakit lebih adanya usaha penelitian dan pengkajian
banyak menggunakan mbu’uwoai dari pada mengenai sistem pengetahuan lokal tentang
pengobatan dokter. Seorang dukun dalam bagaimana pemanfaatan tanaman obat pada
mengobati suatu penyakit menggunakan masyarakat Tolaki, sebagai salah satu
sejumlah tanaman obat, mereka meramu bagian dari sistem pengetahuan lokal
bahan obat-obatan tersebut, lalu diminum tentang pengobatan tradisional dan faktor-
atau digosokkan kebadan untuk faktor apa yang mempengaruhi masyarakat
menyembuhkan berbagai penyakit Tolaki di Desa Abelisawah masih
(Tarimana, 1993). melakukan pengobatan tradisional. Tujuan
Banyak manfaat yang dirasakan oleh penelitian untuk mendeskripsikan sistem
masyarakat dengan adanya tanaman obat, pengetahuan lokal berkaitan dengan jenis-
bahkan tanaman obat dapat menjadi salah jenis tanaman obat dan pemanfaatannya
satu alternatif yang dapat menyebuhkan untuk menyembuhkan berbagai penyakit,
berbagai macam penyakit yang sangat serta untuk mendeskripsikan dan
ekonomis. Meskipun kemajuan dalam menganalisis faktor–faktor yang
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi masyarakat Tolaki memilih
terus berkembang pesat, namun dan menggunakan pengobatan tradisional.
penggunaan tumbuhan obat sebagai obat
tradisional oleh masyarakat terus meningkat METODE
perkembangannya. Hal ini dapat dilihat Penelitian ini adalah penelitian yang
terutama dari banyaknya obat tradisional bersifat deskriptif dengan memfokuskan
dan jamu-jamu yang diproduksi oleh pada pengetahuan lokal tentang
industri-industri. Menurut Surpiono (1997) pemanfaatan tanaman obat pada masyarakat
ada beberapa manfaat tumbuhan obat, Tolaki di Sulawesi Tenggara. Pendekatan
seperti; a) menjaga kesehatan. Fakta penelitian yang digunakan adalah
keampuhan obat tradisional dalam pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
menunjang kesehatan telah terbukti secara diharapkan dapat mengungkap
empirik, penggunaannya pun terdiri atas permasalahan yang berhubungan dengan
berbagai lapisan, mulai anak-anak, remaja, penelitian ini. Dalam pendekatan kualitatif,
dan orang lanjut usia; b) memperbaiki cara hidup dan cara pandang atau
status gizi masyarakat. Banyak tanaman ungkapan-ungkapan emosi dari warga
apotik hidup yang dapat dimanfaatkan masyarakat yang diteliti mengenai suatu
untuk perbaikan dan peningkatan gizi gejala yang ada dalam kehidupan mereka
misalnya kacang, sawo, belimbing wuluh, itu justru digunakan sebagai data (Moleong,
sayur-sayuran, buah-buahan sehingga 2001).
kebutuhan vitamin akan terpenuhi; c) Lokasi penelitian di Desa Abelisawah
menghijaukan lingkungan. Meningkatkan Kecamatan Angglomoare, pemilihan lokasi
penanaman apotik hidup salah satu cara tersebut didasarkan atas pertimbangan
untuk menghijaukan lingkungan tempat bahwa di desa tersebut masih banyak
tinggal; dan d) meningkatkan pendapatan masyarakat yang masih memanfaatkan
masyarakat. Penjualan hasil tanaman akan tanaman obat untuk menyembuhkan
menambah penghasilan keluarga. berbagai penyakit. Data yang dikumpulkan
Menyadari arti pentingnya peranan dalam penelitian berasal dari dua sumber,
pengetahun pemanfaatan tanaman obat yaitu data primer dan sekunder. Data
tradisional dalam rangka pembinaan dan primer, yaitu data yang diperoleh langsung
pengembangan unsur kebudayaan daerah, melalui wawancara dengan informan yang
sebagai bagian dari integral dari upaya terdiri atas: mbu wuoi (dukun) tokoh-tokoh
pembangunan nasional, yang terkait dengan adat, masyarakat yang memanfaatkan
pembinaan karakter bangsa dan ketahanan tanamana obat. Teknik wawancara dengan
48
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
menggunakan panduan wawancara km, sekitar 1 jam perjalanan, dan dari ibu
(interview guide) dalam hal ini pengetahuan kota provinsi juga relatif dekat sekitar 16
lokal masyarakat Tolaki tentang km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
pemanfaatan tanaman obat. Data sekunder, Desa Abelisawah adalah pemekaran
yaitu data tertulis yang diperoleh dari dari Desa Sampara pada tahun 1980 dan
sumber arsip-arsip lokal yang berguna bagi definitif pada tahun1982. Pada tahun 1996
penelitian seperti, Badan Pusat Statistik, Desa Abelisawah, sebagai desa induk
dan sumber kepustakaan, seperti jurnal, dimekarkan dan terbentuklah Desa Galu
artikel, makalah, tesis, disertasi, dan sebagai pemekarannya. Nama Desa
internet. Data ini meliputi: keadaan Abelisawah dalam bahasa Tolaki berarti:
geografis dan luas wilayah, topografi dan “air yang turun dari sawah”. Secara
iklim, kondisi demografi, Desa Abelisawah. adminitratif Desa Abelisawah mempunyai
Teknik Analisis data dalam penelitian batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah
ini digunakan metode analisis deskriftif- utara berbatasan dengan Desa Andobeu
kualitatif, yaitu analisis data dilakukan Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan
sejak awal penelitian dan selama proses Kota Kendari, sebelah timur berbatasan
penelitian dilaksanakan. Data diperoleh, dengan kelurahan Lakomea, dan sebelah
kemudian dikumpulkan untuk diolah secara barat berbatasan dengan Desa Puusawah
sistematis. Dimulai dari wawancara, Jaya.
observasi, mengedit, mengklasifikasi, Desa Abelisawah mempunyai luas ±
mereduksi, selanjutnya aktivitas penyajian 122 km² yang terbagi kedalam tiga dusun,
data serta menyimpulkan data. Teknis yaitu: Dusun I Kapundepongisi (dua pohon
analisis data dalam penelitian ini beringin yang bertemu), Dusun II
menggunakan model analisis interaktif. Tentengapu (titiannya dari pohon beringin),
Pada penelitian ini, verifikasi data dan Dusun III Andobeu (wilayahnya berada
dilakukan secara terus menerus sepanjang diantara dua gunung/bukit). Kondisi
proses penelitian dilakukan. Sejak pertama geografis Desa Abelisawah merupakan
memasuki lapangan dan selama proses dataran rendah, berawa-rawa dan sebagian
pengumpulan data, peneliti berusaha untuk berbukit. Jenis tanahnya berwarna
menganalisis dan mencari makna dari data kemerahan yang relatif subur, cocok untuk
yang dikumpulkan. Pada akhirnya, data ditanami berbagai jenis tanaman termasuk
akan diinterpretasikan dalam kaitannya tanaman obat yang banyak digunakan
dengan materi penelitian. Hasil analisis data masyarakat untuk mengobati berbagai
merupakan jawaban terhadap masalah yang penyakit. Selain tanaman obat ini tumbuh
dikemukakan dalam penelitian ini. subur secara liar dibukit-bukit dan di rawa-
rawa, di sekitar wilayah Desa Abelisawah.
PEMBAHASAN Sebagian lagi dibudidayakan oleh
Profil Desa Abelisawah masyarakat melalui TOGA (Tanaman obat
keluarga), yang ditanam di pekarangan
Lokasi penelitian adalah masyarakat rumah penduduk sebagai tanaman apotek
Tolaki yang bermukim di Desa Abelisawah, hidup.
Kecamatan Anggolomoare, Kabupaten Berdasarkan data monografi Desa
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa Abelisawah tahun 2017 tercatat
Abelisawah terletak di pinggiran kota keselurahan penduduk berjumlah 480 jiwa
Kendari, merupakan jalan poros Kendari– dengan rincian 230 jiwa laki-laki dan 250
Kolaka dengan kondisi jalan cukup baik. jiwa perempuan yang terdiri dari 69 kepala
Jarak Desa Abelisawah dari ibu kota keluarga (KK) yang terbagi dalam beberapa
Kecamatan Anggolomoare ± 7 km yang suku bangsa, yaitu suku Tolaki yang
dapat ditempuh sekitar 15 menit, sedangkan merupakan penduduk asli dan beberapa
jarak dari ibu kota Kabupaten Unaaha ± 58 suku pendatang seperti Bugis, Makassar,
49
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Muna, Buton, Toraja, dan etnis Jawa. mengutamakan ilmu pengetahuan dan
Walaupun mayoritas penduduk Desa pengalaman yang dimilikinya sehingga
Abelisawah adalah suku Tolaki, namun pemilihan dalam pengobatan juga
mereka dapat menerima suku lain dan hidup dilakukan sesuai dengan tingkat
secara damai. pendidikannya. Masyarakat Desa
Berdasarkan kelompok usia balita dan Abelisawah sebagian besar masih memiliki
anak-anak 0-5 tahun dan 0–9 tahun pendidikan rendah sehingga pengetahuan
merupakan kelompok usia terbanyak, pada mereka tentang pengobatan medis masih
tingkatan ini pilihan pengobatan yang minim. Pada tingkatan ini, mereka
dilakukan apabila mereka sakit masih cenderung melakukan pengobatan dengan
banyak yang menggunakan jasa dukun menggunakan jasa dukun. Bagi mereka
utamanya dukun beranak, karena penyakit yang memiliki tingkat pendidikan lebih
yang sering diderita oleh balita dan anak- tinggi misalnya SMA dan Sarjana lebih
anak adalah panas, kejang-kejang, dan memilih pengobatan medis melalui
penyakit cacar. Apabila terjadi hal tersebut Puskesmas karena tingkat pengetahuan
biasanya mereka tidak membawanya ke mereka tentang penyebab penyakit dan
dokter, karena ada anggapan penyakit pengobatannya telah dipahami berdasarkan
tersebut hanya dapat disembuhkan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Akan
dukun. tetapi, masih ada di antara mereka masih
Pada tingkatan usia 15–25 tahun (usia berobat ke dukun, apabila penyakit yang
remaja), mereka masih tergolong sering dideritanya tidak dapat disembuhkan secara
melakukan pengobatan dengan medis, misalnya penyakit yang disebabkan
menggunakan jasa dukun karena pada usia oleh roh halus dan guna-guna.
tersebut masih dikendalikan oleh orang tua. Penduduk Desa Abelisawah memiliki
Demikian pula pada usia remaja, mereka beragam mata pencaharian, seperti petani,
sangat aktif dan sering mengalami patah pegawai negeri sipil, pensiunan, supir,
tulang. Apabila terjadi hal tersebut, mereka wiraswasta, tukang kayu/batu, buruh, dan
lebih memelih jasa dukun urut. Kalau sebagainya. Masyarakat Abelisawah
mereka menderita penyakit kerasukan roh terbanyak adalah petani, baik petani ladang
jahat, pengobatan dilakukan secara maupun petani sawah. Hasil perkebunan
tradisional oleh mbu’uwoai. berupa coklat, jambu mete, kelapa, sayur-
Untuk tingkatan usia 26–40 tahun (usia sayuran, dan sebagian dari penduduk ada
dewasa) pada umumnya menggunakan jasa yang memiliki lahan sagu. Bagi pegawai
medis yaitu berobat ke puskesmas negeri dan pensiunan selain mereka
Kecamatan Anggalomoare. Akan tetapi, menerima gaji mereka juga mempunyai
sebagian dari mereka masih menggunakan usaha tambahan yaitu bertani, berkebun dan
jasa dukun dengan alasan keuangan dan usaha perdagangan yang dilakukan selepas
jarak puskesmas yang jauh. Pada usia 50– jam kerja. Bagi penduduk yang berprofesi
60 tahun adalah usia manula mereka sebagai tukang, wiraswasta, dan buruh tetap
tergolong yang paling sering menggunakan memiliki usaha perkebunan. Hal ini
jasa dukun karena berdasarkan pengalaman dimungkinkan karena di sekitar wilayah
dan kepercayaan mereka akan kemampuan Desa Abelisawah masih cukup luas untuk
dukun yang dapat menyembuhkan berbagai diolah menjadi lahan pertanian dan
penyakit sehingga mereka lebih dahulu perkebunan.
memilih berobat ke dukun sebelum berobat Kemampuan dalam pemilihan
ke medis. pengobatan sangat dipengaruhi oleh tingkat
Pola pikir dan prilaku masyarakat pendapatan masyarakat. Bagi masyarakat
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang bermata pencaharian sebagai buruh,
yang dimiliki. Dalam hal pemilihan petani, dan tukang, mereka lebih banyak
pengobatan, masyarakat senantiasa berobat kedukun daripada ke puskesmas,
50
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
walaupun mereka memiliki kartu dana sehat baik organ-organ tubuh manusia maupun
(KDS). Berbeda halnya bagi mereka yang jiwa manusia. Persepsi masyarakat Tolaki
bermata pencaharian sebagai PNS dan tentang sehat, dengan demikian bukan
pensiunan lebih banyak yang berobat ke hanya terbatas pada kondisi stabil
puskesmas karena mereka memiliki kartu berkenaan dengan aspek jasmani,
askes, tetapi pada saat tertentu mereka ada melainkan juga meliputi aspek rohani.
juga yang berobat ke dukun apabila mereka Dalam konteks pengertian itu, maka
merasa bahwa penyakit yang dideritanya seseorang tidak dapat dikatakan sehat
adalah guna-guna. kecuali apabila orang tersebut demikian
Penduduk Desa Abelisawah semua stabil sehingga ia tidak mengalami bahkan
beragama Islam dari jumlah keseluruhan juga tidak merasakan adanya gangguan
penduduk, Desa Abelisawah terdapat satu apapun baik terhadap organ-organ tubuhnya
bangunan masjid yang digunakan maupun rohani atau kejiwaannya.
masyarakat untuk salat berjamaah dan Istilah medidohai waraka (sehat
aktivitas keagamaan lainnya. Walaupun walfiat) merupakan pengetahuan budaya
mereka penganut agama Islam, tetapi dalam orang Tolaki yang dikenal sebagai konsep
kesehariannya mereka masih melakukan kesehatan yang mengacu pada situasi
ritual yang terkait dengan kepercayaan ataupun keadaan yang mencerminkan
nenek moyangnya. Apabila mereka sakit adanya keseimbangan organ-organ tubuh
selain memohon pertolongan dari Allah swt manusia dan jiwa manusia. Selain istilah
mereka juga melakukan ritual kepada arwah mendidohai tersebut masyarakat Tolaki
leluhurnya. mengenal pula istilah ”iyepoka ku waraka
Masyarakat Tolaki di Desa niino meohaki” berarti baik-baik saja (tidak
Abelisawah sangat menghormati arwah ada gangguan kesehatan). Dalam bahasa
leluhurnya, mereka sering datang ke Tolaki mengacu pada konsep budaya yang
makam-makam untuk membersihkan dan mengandung pengertian tentang keadaan
membawakan sesajen di letakkan, lalu di seseorang yang sudah sembuh dari penyakit
atas kuburan. Perilaku ini mencerminkan yang pernah di deritanya. Pada hakikatnya
perhatian mereka kepada arwah leluhur, mencerminkan adanya keadaan seseorang
mereka mempunyai kepercayaan apabila yang sudah kuat kembali sesudah menderita
tidak memperhatikan kuburan nenek penyakit
moyang, maka arwahnya akan marah. Sakit dianggap sebagai suatu keadaan
Akibat dari kemarahan itu akan badan yang kurang menyenangkan, bahkan
menyebabkan keluarga yang masih hidup dirasakan sebagai siksaan sehingga
menjadi sakit. Agar kuburan keluarga menyebabkan seseorang tidak dapat
mereka tetap terpelihara dan terawat dengan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti
baik, kebiasaan masyarakat Tolaki apabila halnya orang yang sehat. Sedangkan konsep
ada anggota keluarganya yang meninggal personalistik menganggap munculnya
dunia dikuburkan di belakang atau di penyakit (illness) disebabkan oleh
samping rumahnya. intervensi suatu agen aktif yang dapat
berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh,
Pengetahuan Lokal tentang Kesehatan
leluhur atau roh jahat), atau makhluk
Pada masyarakat Tolaki belum manusia (tukang sihir, tukang tenung).
ditemukan adanya rumusan definitif Pengertian sakit dalam istilah
maupun konsep baku tentang persepsi masyarakat Tolaki yang digunakan sehari-
masyarakat yang bertalian dengan konsep hari yaitu meohaki. Istilah tersebut mengacu
sehat. Menurut pengetahuan budaya orang pada konsep sakit yang berarti kondisi atau
Tolaki konsep kesehatan mengacu pada keadaan fisik maupun rohani seseorang
pengertian tentang situasi ataupun keadaan yang sedang mengalami ketidakseimbangan.
yang mencerminkan adanya keseimbangan Menurut pengetahuan budaya orang Tolaki,
51
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
52
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
dilengkapi dengan kain sarung, wadah untuk mengobati pasien pada umumnya
anyaman sebagai pengalas sarung, dan hulo bersumber dari bacaan Al-Qur’an dan
taru (lampu lilin). Melalui perantara kalo bercampur dengan bahasa Tolaki. Salah
itu dukun memanggil mantera-mantera. satu mantra yang biasa digunakan untuk
Kalo dengan mantera-mantera yang mengobati berbagai penyakit berbunyi:
dipersembahkan kepada makhluk halus “Bismillahirrahmanirrahim kuonggo
yang bersangkutan dapat berdamai dengan wowaii…..(sebut nama pasien yang diobati)
si sakit karena pada dasarnya penyakit yang ari-arino ronga taariarino ombulataalah
ditimbulkan oleh makhluk halus adalah tumoorike. Mantra ini bermakna
akibat dari penyakit atau keluarganya yang kesembuhan suatu penyakit hanya Tuhan
menganggu ketentramannya. Atau karena yang menentukan, jadi manusia hanya
hubungan antara manusia dengan dunia berusaha dan bermohon kepada Yang Maha
gaib tidak harmonis adanya. Ada Kuasa (wawancara, 7 Oktober 2017)
pengobatan dukun yang berhasil dan ada Selain itu ada mantra ketahanan Tubuh
pula yang tidak berhasil. (tanggawuku) bunyinya: Bismillahirrah-
manirrahim Nabihaluru nabihelere
Mantra dalam Pengobatan Tradisional
Patonggopa owuta Patonggopa wotolu
Suku Tolaki
Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona
Mantra adalah sesuatu yang lahir dari Pehere-here’anggu Ombu ta’ala Pepoi-
masyarakat sebagai perwujudan dari poindi’anggu Nabi Muhammad. Mantra ini
keyakinan atau kepercayaan. Dalam merupakan mantra yang digunakan untuk
masyarakat tradisional, mantra atau dalam membuat tulang kuat agar tidak mudah
bahasa Tolaki disebut o’doano bersatu dan lelah. Mantra ini dilafazkan dalam rangka
menyatu dalam kehidupan sehari-hari, untuk meminta kesehatan badan dalam
seorang mbu’uwoai (dukun) yang ingin beraktivitas sehari-hari. Seperti pada
menghilangkan dan menyembuhkan suatu umumnya, mantra ini pun dimulai dengan
penyakit. Masyarakat sangat meyakini basmalah (Fitri, 2011).
bahwa pembacaan mantra merupakan Setiap mbu’uwoai memiliki mantra
wujud dari sebuah usaha untuk mencapai yang digunakan untuk mengobati
keselamatan dan kesuksesan. Kepercayaan pasiennya, sesuai dengan pengetahuan dan
tentang adanya suatu kekuatan gaib yang pengalaman yang dimiliki. Pada umumnya
mendorong mereka untuk merealisasikan mantra selalu diawali pembacaan basmalah,
kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata ini berarti bahwa masyarakat suku Tolaki
untuk memenuhi kebutuhan. Pada sangat meyakini eksistensi Tuhan sebagai
umumnya, pembacaan mantra selalu Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan
mangandung dua unsur pokok. Kedua unsur pulalah yang menentukan sehat dan
itu adalah ritual dan magis. Ritual sakitnya manusia. Manusia boleh berusaha,
merupakan tindakan atau usaha yang boleh berdoa tetapi hasil akhirnya tetap
dilakukan oleh manusia untuk “meminta” berada pada kehendak Tuhan. Tampaknya
kepada “Sang Penguasa”, sedangkan magis juga dikukuhkan oleh paham Islam dengan
lebih bersifat “memerintah” melihat teks mantra di atas. Kata Allah
Dalam ilmu pengobatan tradisional Taala “Allah swt” dan Muhammad “Nabi
masyarakat Tolaki, dukun atau mbu’uwoai Muhammad saw” menjadi petunjuk
dapat menyembuhkan penyakit karena terhadap paham Islam yang diyakini dalam
kemampuan mantra yang dibacakan sebagai lingkup masyarakat itu. Mantra di atas
suatu kekuatan sakral dan sakti yang menjadi salah satu bentuk ekspresi untuk
diperoleh melalui proses belajar dan memohon pertolongan dan rahmat dari
pewarisan dari para pendahulunya. Tuhan dan Rasulnya.
Menurut dukun Jamaluddin (55 tahun),
bahwa mantra-mantra yang dipergunakan
53
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
54
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
Sumber:
doktersehat.com
Sumber:
herba Indonesia.com
8. Lasuna momeo mengobati penyakit bawang merah di parut lalu
(Tolaki) bawang dimoreo (demam) di tempelkan pada dahi,
merah (Indonesia) sebagai kompres dilakukan berulang-ulang
Allium ascalonicum penurun panas. Kalau sampai turun panasnya.
L.(Latin) bawang putih untuk Bawang putih dibakar lalu Sumber
Bawang putih menurunkan tekanan dimakan faktualnews.com
Lasuna wila darah tinggi.
Allium Sativum
9. Padamalala (Tolaki) untuk mengobati Akar dan batang sereh utuh,
Sereh (Indonesia) haki wukua sakit dicuci dan direbus dengan 1
Cymbopogon pinggang dan sakit gigi gelas air selama 15 menit
citratus (Latin) mohaki ngisi. diminum 2 kali sehari untuk
sakit gigi air rebusan sereh
gunakan untuk kumur- Sumber: budidaya
kumur. kita.com
55
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Sumber: Jamu
obat.com
11. O’paku (Tolaki) untuk mengobati pucuk daun o’paku yang
pakis (Indonesia) penyakit okamba masih menggulung
nephrolephis (bisul) dilumatkan dan ditempel di
bisserata (Latin) pinggir bisul, tetapi jangan
sampai menutupi mata bisul,
diamkan selama beberapa
menit. Sumber:
pixabai.com
12 Tawa Sabandara mengobati penyakit segenggam daun tawa
(Tolaki) daun kudis (onggori). sabandara lalu cuci bersih
ketepeng cina obat pencahar, dan dihaluskan, dioleskan
(Indonesia) cassia parako (sembelit) pada kudis dilakukan
alata L (Latin) berulang-ulang hingga kudis
mengering. Untuk penderita
Sumber:
sembelit air rebusan daun
bukumedis.com
ketepeng diminum pada
malam hari sebelum tidur
Salumba watu digunakan akar salumba watu dicuci
(Tolaki) Sadagori menyembuhkan mohaki bersih lalu ditumbuk halus
atau sidaguri ngisi (sakit gigi). dan ditempelkan pada bagian
(Indonesia) sida lubang gigi yang sakit
rbombifolia
Sumber:Indontwork.
L.(latin).
co.id
13. Kateba (Tolaki), mengobati penyakit cabut satu batang kateba
tapak liman moreowiwi (malaria) beserta akarnya lalu cuci
(Indonesia) dan deman (moreo) bersih kemudian rebus
elephantopus scaber dengan 3 gelas air dan tersisa
(latin) 1 gelas, diminum pagi dan
Sumber: Herbalis
sore sampai demannya
Nusantara.com
sembuh.
14 Dama-dama (tolaki) mengobati lidah bayi, getah daun jarak dan oleskan
Jarak pagar apabila lidahnya pada bagian lidah bayi yang
(Indonesia) Jatropha berwana putih, maka berwarna putih
curcas L (Latin) biasanya bayi malas
menyusu ke ibunya.
Sumber:
id.wikipedia.org
15 Rare/Tulasi dahu Obat luka diantaranya segenggam tawa tulasi cuci
(Tolaki) tahi ayam, obat luka iris (moaka bersih kemudian diremas-
tembelekan(Indonesi inea) dan luka bakar remas ditempelkan pada
a), lantana camara (mohaka mohai) luka.
(latin).
Sumber: ms.
wikepedia.org
56
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
Sumber:detikriau.org
21 Kumis kucing untuk melancarkan daun kumis kucing beserta
(Tolaki, Indonesia) kencing dan mengobati batangnya kemudian rebus
Orthosiphon sakit pinggang mohakia dengan 3 gelas air dan sisa 1
stamineus Benth gelas, diminum 3 kali sehari
(Latin) sampai rasa sakitnya hilang
Sumber:bio.gspot.com
57
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
58
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
59
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
60
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan pasiennya dan segera memberi pengobatan
manusia diperoleh melalui mata, telinga dengan memberi ramuan dan meminumkan
atau kognitif yang merupakan hal yang air yang dibacakan mantra dan tak lama
sangat penting untuk terbentuknya tindakan kemudian panas badan anak saya turun.
seseorang (Notoatmodjo, 2003). Faktor Berdasarkan keterangan ini, dapat
pengetahuan tentang sistem pengobatan dikatakan bahwa waktu pelayanan pengobat
tradisional, diwarisi secara turun temurun tradisional lebih baik dibanding waktu
dari nenek moyangnya, juga berdasarkan pelayanan medis yang terbatas.
pengalaman dan petunjuk dari orang lain
yang paham dalam hal pengobatan PENUTUP
tradisional. Tidak semua masyarakat tolaki
di lokasi penelitian memiliki tingkat Pengetahuan budaya orang Tolaki
pengetahuan yang sama dalam mengenai konsep kesehatan mengacu pada
memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut pengertian tentang situasi ataupun keadaan
sangat terkait dengan ilmu pengetahuan yang mencerminkan adanya keseimbangan
seseorang. Oleh karena itu, sebelum mereka organ-organ tubuh manusia maupun jiwa
menggunakan tanaman obat, terlebih manusia. Konsep sakit (meohaki) menurut
dahulu menanyakan kepada dukun atau masyarakat Tolaki, berarti kondisi atau
kepada orang yang paham akan khasiat keadaan fisik maupun rohani seseorang
tanaman obat tersebut. yang sedang mengalami ketidakseimbangan.
Menurut pengetahuan budaya orang Tolaki,
7. Faktor waktu pelayanan terjadinya ketidakseimbangan tersebut
Terbatasnya waktu pelayanan di disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
puskesmas yang melayani pasien hanya dari faktor dalam dan faktor luar. Adapun
jam 8.00 pagi sampai 11.00 siang, konsep masyarakat Tolaki tentang penyakit
merupakan salah satu faktor masyarakat (ohaki) bahwa orang Tolaki secara
mencari pengobatan alternatif. Ketika ada tradisional tidak mengenal bahwa sesuatu
warga yang memerlukan pelayanan penyakit timbul karena disebabkan sesuatu
pengobatan diluar jam tersebut akan beralih basil atau virus atau lainnya tetapi semata-
untuk mendatangi dukun. Menurut mata karena keadaan cuaca, gangguan setan
pendapat masyarakat di Abelisawah, kalau atau karena disebabkan oleh bikinan orang
kami berobat ke dukun bisa dilakukan yang irihati, benci melalui apa yang disebut
kapan saja baik pagi, siang, maupun malam. o doti nilalaeami (ilmu hitam, racun
Mereka melayani dengan baik. Pelayanan melalui makanan dan minuman dan dengan
jasa dukun boleh dikatakan 24 jam cara apapun).
sehingga apabila ada anggota keluarga yang Jenis-jenis tanaman obat yang
sakit secara tiba-tiba, maka kami meminta dimanfaatkan masyarakat Tolaki pada
pertolongan dukun terlebih dahulu. Apabila umumnya, tumbuh di sekitar lingkungan
dukun tidak mampu mengobati baru kami mereka. Tanaman obat ini ada yang
bawah ke rumah sakit yang ada di kota dibudidayakan melalui TOGA (tanaman
Kendari. obat keluarga) pada pekarangan rumah, di
Interaksi antara penderita dan kebun-kebun penduduk, dan ada pula yang
pengobat (dukun) berlangsung kapan saja, tumbuh liar di lahan-lahan perbukitan di
walaupun pada malam hari, dukun akan sekitar Desa Abelisawah. Tanaman obat ini
mendatangi pasiennya yang membutuhkan sejak dahulu telah digunakan masyarakat
pertolongan. Seperti yang diungkapkan untuk mengobati berbagai penyakit, bagian
salah satu informan bahwa ketika anaknya yang dimanfaatkan seperti daun, batang,
sakit panas (deman) pada malam hari, ia dan buah. Pengetahuan tentang
memanggil dukun untuk mengobati pemanfaatan tanaman obat di peroleh
anaknya dan dukun berusaha mendatangi melalui pengetahuan dan pengalaman orang
61
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
yang ahli dibidang pengobatan tradisional yang hanya terdapat di ibukota kecamatan;
dan telah dibuktikan khasiatnya untuk f) Faktor waktu pelayanan yang terbatas,
mengobati berbagai penyakit. sehingga masyarakat beralih kepengobatan
Ramuan tradisional dari berbagai jenis tradisional; dan g) faktor pendidikan dan
tanaman obat, diperoleh dari nenek moyang pengetahuan, dalam hal ini pemilihan
mereka dan diwariskan secara turun pengobatan dipengaruhi oleh tingkat
temurun. Cara mengolah ramuan tanaman pendidikan masyarakatnya, apakah modern
obat dilakukan dengan merebus, atau tradisional. Demikian pula tingkat
mengoleskan, atau menempelkan pada pengetahuan yang didapatkan berdasarkan
badan pasien. Ramuan yang direbus pengalaman dan pembuktian secara nyata.
diminumkan kepada pasien dan ada juga Konsep dasar pengobatan tradisional
untuk dimandikan, sedangkan untuk olesan sifatnya manusiawi, oleh sebab itu, sistem
dan menempelkan dilakukan dengan pengobatan tersebut perlu dikembangkan
terlebih dahulu menumbuk tanaman obat karena telah berakar dan membudaya di
tersebut. Ramuan tanaman obat bisanya kalangan masyarakat. Animo masyarakat
diramu sendiri oleh si penderita atau diramu tentang pengobatan tradisional tampak pada
oleh dukun disertai pembacaan mantra. masyarakat yang bermukim di pedesaan
Khasiat tanaman obat yang digunakan yang masih banyak menganut faham-faham
masyarakat selama ini telah dibuktikan tradisional yang berorientasi pada
dengan kesembuhan berbagai penyakit. pemakaian obat-obat tradisional. Perlu
Setelah diidentifikasi, di antaranya penyebaran informasi tentang jenis-jenis
ada 21 jenis tanaman yang digunakan tanaman obat yang diketahui masyarakat
masyarakat Tolaki di desa Abelisawah dan bermanfaat sebagai ramuan obat untuk
untuk mengobati berbagai penyakit. Selain berbagai penyakit. Pemanfaatan tanaman
digunakan sebagai obat, ada beberapa jenis obat merupakan salah satu pelayanan
tanaman digunakan pula sebagai bumbu kesehatan yang dapat menunjang program
dapur, misalnya sereh, kunyit, jahe, kencur pemerintah dalam bidang kesehatan. Pada
dan jeruk nipis. Di samping itu, ada perinsipnya masyarakat di pedesaan
tanaman obat yang mempunyai manfaat mencari pengobatan yang pelayanannya
ganda misalnya tanaman pepaya dan mudah dan dan biayanya murah, oleh
kelapa, karena seluruh bagian tanaman ini karena itu, mereka memilih pengobatan
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. tradisional.
Faktor-faktor mempengaruhi masyarakat Komponen obat tradisional yang
memilih pengobatan tradisional misalnya; a) digunakan masyarakat hampir seluruhnya
faktor ekonomi terkait dengan kemampuan berasal dari tanaman sehingga dalam
pendapatan masyarakat dalam membiayai meneliti manfaat dari obat tradisional dapat
pengobatan; b) Faktor sosial, bahwa dilakukan studi komprehensif dalam bentuk
informasi pengobatan tradisional diperoleh simposium, seminar, diskusi, penelitian,
dari intraksi sesama warga masyarakat; c) dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar
kepercayaan akan kemampuan pengobat pemanfaatan obat-obat tradisional tidak
tradisional untuk mengobati berbagai menyimpang dari ketentuan dan peraturan
penyakit, hal ini terkait dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan demikian konsep ini
budaya dan religious; d) faktor keamanan diharapkan menjadi pedoman dasar dalam
dari penggunaan tanaman obat yang pengkajian lebih lanjut.
cenderung tidak memiliki efek samping
dibanding obat-obat kimia; e) faktor
kejenuhan akan pelayanan medis dan sarana
pengobatan yang tersedia, hal ini terkait
dengan berbelit-belitnya birokrasi
pelayanan medis dan sarana puskesmas
62
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Aswar.1992. Antropologi
Kesehatan Indonesia. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Florentina, et.al.2006. Pemanfaatan
Tumbuhan Sebagai Bahan Obat oleh
Masyarakat Lokal Suku Muna di
Kacamatan Warakumba Kabupaten
Muna Sulawesi Tenggara. Jurnal
Biodeservitas Vol.7 No.4 Oktober
2006. Bogor.
Fitri Yunita Maranai, 2011. Menganalis
Mantra Suku Tolaki Tanggawuku
(Ketahanan Tubuh) Interpretasi
Semiotik Riffaterre, Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Haluoleo Kendari.
Green, Lawrence, 1980.Health Education
Planning a Diagnostik. The John
Hopkins University, May field
Publishing Company. California.
Hafid, Yunus dkk, 1992/1993. Pengobatan
Tradisional di Daerah Sulawesi
Selatan. Depdikbud. Proyek P2NB
Sulawesi Selatan.
Kertasapoetra, 1992. Teknologi
Penanganan Pasca Panen.Jakarta:
Rieneka Cipta.
Moeloeng, L. J. 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan
dan Ilmu Prilaku. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Siswanto, 1997. Sayuran dataran Tinggi.
Jakarta . penebar Swadaya.
Supriono, 1997. Kedelai dan Cara
Bercocok Tanam. Bogor Pusat
Penelitian Tanaman Pangan. Bogor.
Tariman, Abdul Rauf, 1993. Kebudayaan
Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No.3.
Jakarta. Balai Pustaka.
Thomas.A. N. S, 1989. Tanaman Obat
Tradisional. Peneribit Kanisius
Yogyakarta 55281
63
ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI
DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN
(THE PILGRIMAGE TO THE GRAVE OF SHEIKH YUSUF AL-MAKASSARI
IN GOWA REGENCY, SOUTH SULAWESI)
ABSTRACT
This study focuses on the ritual of the pilgrimage to the grave of Sheikh Yusuf located in the Gowa
Regency, in the province of South Sulawesi. The aim of this study was to examine the motives of
pilgrims visiting the grave of Sheikh Yusuf, the extent of their ritual and religiosity towards Sheikh
Yusuf, as well as the visible impact of the pilgrimage on economic life, political legitimacy, and
religious tourism. This study employs qualitative research methods for primary and secondary data
collection using observation, interview, and literature study techniques. The results of this study
demonstrate that a variety of motivations exist among pilgrims visiting the grave of Sheikh Yusuf.
Also, the pilgrimage can be used as a political tool for in gathering votes as a method of political
imaging. In terms of religious tourism, the pilgrimage can increase revenue in the Gowa Regency
due to visitors coming not only from Sulawesi, but also from Java, Kalimantan, Papua, Sumatra and
even from abroad. In addition, the presence of the grave of Sheikh Yusuf has a good impact on the
economy of the surrounding community.
Keywords: Pilgrimage, grave, Sheikh Yusuf.
ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada ziarah makam Syekh Yusuf sebagai seorang wali yang berasal dari
Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa
saja motivasi peziarah yang datang ke makam syekh yusuf, sejauh mana ritual dan religiusitas meraka
terhadap syekh Yusuf. Selain itu dilihat juga bagiamana ziarah makam berdampak pada kehidupan
ekonomi, legitimasi politik dan pariwisata. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Untuk memperoleh data primer dan data sekunder menggunakan teknik observasi, wawancara,
dokomentasi dan studi kepustakaan. Adapun hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat
motivasi yang berbeda-beda dari setiap peziarah yang datang ke makam syekh Yusuf, ziarah makam
dapat dijadikan sebagai legitamsi politik dalam mengumpulkan suara sebagai metode pencitraan
politik, dari segi pariwisata ziarah makam dapat meningkatkan pendapatan asli daerah Kabupaten
Gowa karena pengunjung yang datang bukan saja berasal dari Sulawesi melainkan juga dari Jawa,
Kalimantan, Papua, Sumatera bahkan dari luar negeri. Selain itu kehadiran makam Syekh Yusuf
memberikan dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat sekitar.
Kata kunci: Ziarah, makam, Syekh Yusuf.
65
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
ritual adalah bentuk maupun simbol yang didapatkan melalui proses belajar (Leksono,
digunakan oleh masyarakat tertentu untuk 2009:17).
mengungkapkan dan menyampaikan Fenomena budaya ziarah juga terjadi di
konsep kebersamaan yang bertjuan untuk salah satu kabupaten di wilayah Provinsi
melebur konflik keseharian yang terjadi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten
pada nilai-nilai spiritual Ritual dalam Kabupaen Gowa. Masyarakat Kabupaten
ziarah tersebut tidak selalu berupa hal-hal Gowa masih sangat mensakralkan para
seperti mantra atau dalam bentuk sesajen, leluhur pendiri Kabupaten Gowa. Inilah
tetapi bisa pula dalam bentuk pembacaan yang menjadi sejarah awal munculnya
doa-doa, tahlil, selawat yang ditujukan fenomena ziarah yang begitu massif di
untuk mendoakan orang yang dikuburkan. kalangan masyarakat Kabupaten Gowa.
Hal tersebut diperkuat oleh Yiliyatun Fenomena ziarah yang terjadi pada
(2015, hlm. 346) yang mengungkapkan masyarakat Kabupaten Gowa tidak hanya
“sebagian besar para peziarah mengakui pada kuburan-kubaran, melainkan pada
bahwa tujuannya berziarah adalah untuk tempat-tempat yang dianggap keramat.
mengenang kembali dan meneladani Fenomena ini kemudian diamini oleh
keshalehan para wali. Di samping itu juga masyarakat setempat yang berfikir bahwa
untuk bertawassul melalui berdzikir, ketika seseorang melakukan ziarah maka
berdoa, dan membaca Al-Quran sebagai orang tersebut telah mendapat suatu
bentuk refleksi keimanannya kepada Allah kekuatan serta mendapat kepercayaan dari
SWT”. masyarakat. Fakta tersebut kemudian
Ritual yang terdapat dalam ziarah membentuk suatu kesadaran umum dalam
makam tersebut yang akan menjadi tujuan masyarakat Kabupaten Gowa. Tentu
masyarakat ketika melakukan ziarah. tindakan ritual ziarah bagi sebagian orang
Tujuan dalam melakukan ziarah tersebut ialah suatu tindakan yang konyol. Namun
merupakan refleksi dalam kegiatan ritual, di penilaian tersebut, terlalu prematur bila kita
mana tujuan dari melakukan ritual adalah memandang seperti itu tanpa kita telusuri
untuk mendoakan orang yang dikuburkan, apa yang menjadi tujuan aktifitas tersebut.
meminta barakah, karamah, dan Apabila suatu tindakan bagi sebagian orang
sebagainya. konyol, akan tetapi tidak bagi sebagian
Menurut Clifford Geertz, ritual-ritual orang lain yang melakukannya.
dalam masyarakat Jawa khususnya, tidak Dalam sebuah hasil kajian Sundawati
hanya berfungsi untuk mengingatkan Trisnasari dan Akhmad Supena (2010:160)
kembali akan Tuhan, akan tetapi juga mengungkapkan bahwa ziarah adalah suatu
sebagai suatu media penghubung atau kunjungan ke tempat yang dianggap
jembatan individu manusia terhadap keramat (atau mulia, makam dan
sesuatu yang “disana” (Tuhan) (Geertz, sebagainya). Pernyataan tersebut sesuai
2013: xiii). Perilaku masyarakat yang dengan kamus besar bahasa Indonesia
demikian kemudian melahirkan pola-pola (2005:1280) yaitu berziarah merupakan
perilaku tersendiri dalam kehidupan berkunjung ke tempat yang dianggap
masyarakat. Pola-pola perilaku manusia keramat atau mulia (makam dan
kemudian akan melahirkan simbol-simbol sebagainya) untuk berkirim doa. Kegiatan
sebagai suatu ekspresi akan suatu identitas doa tersebut dilakukan baik individu mapun
yang ingin disampaikan (Syaifuddin, 2006: rombongan atau berjamaah.
76). Begitu pula dengan yang terjadi pada Ziarah kubur kini dimaknai secara
budaya Ritual ziarah, apakah ritual ziarah kreatif oleh umat islam. Studi yang
ialah suatu simbol, simbol keberagamaan dilakukan Sauqi dan Azis menemukan
tentunya. Selain itu, perilaku dan kebiasaan bahwa tradisi ziarah kubur mempunyai nilai
ritual ziarah tidak lahir dengan sendirinya, didaktis dan sosial. Nilai dan fungsi
melainkan diturunkan secara sosial dan tersebut semakin nyata jika praktik ziarah
66
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi
kubur dilakukan dimakam para auliya. wawancara untuk memperoleh data primer
Sauqi dan Azis (2017:79-86) melakukan melalui proses tanya-jawab dengan
riset dengan mengambil tempat dimakam informan.
Syekh Basyaruddin, Syekh Abdul Mursyad, Penentuan informan yaitu informan
dan Syekh Mohammad Ageng Besyari. pangkal dan informan kunci. Informan
Ketiga auliyah tersebut tergabung dalam pangkal yang sesuai dan di anggap
jaringan auliya Mataram, yaitu Kediri untuk mengetahui tentang permasalahan ini
Syekh Abdul Mursyad, Tulungangung adalah Pengurus Makam, peziarah makam
Syekh Basyaruddin dan Ponorogo untuk dan Juru kunci, yaitu orang yang telah
Syekh Mohammad Ageng Besyari. Dalam ditunjuk masyarakat untuk mengurus dan
tulisan ini hasil penggalian atas pendidikan memimpin ritual atau doa maupun
ziarah kubur dilakukan dengan memaknai mengatur aktivitas keseharian untuk
ziarah kubur sekaligus sebagai media membantu masyarakat yang berkunjung ke
dakwah islamiah. Dakwah dan pendidikan makam Syekh Yusuf al Makassari.
mempunyai orientasi yang sama yakni Data yang telah terkumpul kemudian
menyampaikan ajaran agama dan akhalakul dilanjutkan dengan tahapan analisis data
karimah kepada sasarnnya. Ketuka suatu secara deskriptif kualitatif. Analisis ini
tradisi seperti ziarah makam digunakan merupakan tahapan pengolahan,
sebagai suatu sarana dakwah, sebenarnya pengelompokan dan penjabaran data yang
pesan yang terkandung didalamnya juga terkumpul sesuai dengan kebutuhan untuk
sedang mengkonstruksi nilai pendidikan. menjawab permasalahan penelitian
Dalam penelitian Fred W. Clothey (Moleong., 2000:190).
dalam Bourideu (2012), legitimasi agama
dalam suatu kekuasaan sangat berpengaruh,
setidaknya dalam masyarakat Asia Selatan PEMBAHASAN
dan Asia Tenggara. Dalam penelitian Syaikh Yusuf Al-Makassari dilahirkan
tersebut, Clothey menjelaskan bagaimana di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan pada
mitos-mitos dan nilai-nilai keagamaan tanggal 3 Juli 1626 M (Mustafa, 2011: 17).
dalam masyarakat India sangat berperan Sejak kecil Syaikh Yusuf Al-Makassari
besar dalam pencapaian suatu kekuasaan. diangkat sebagai anak oleh raja Gowa,
Bagaimana agama memberikan legitimasi, yakni Sultan Alauddin. Sejak masa kecilnya
atau setidaknya kesempatan meraih Syaikh Yusuf Al-Makassari telah
kekuasaan, atau dalam hal ini ialah menampakkan kecintaannya pada
kesempatan politik. Fakta tersebut juga pengetahuan Keislaman, terlihat dengan
terjadi dengan apa yang terjadi pada dimulainya pendidikan agama yang
masyarakat Kabupaten Gowa. Bagaimana diperolehnya dari Daeng ri Tassamang,
aktifitas ritual ziarah kubur dijadikan guru agama kerajaan Gowa. Syaikh Yusuf
sebagai suatu ajang mendapatkan legitimasi Al-Makassari banyakmelakukan perjalanan
dan simpati publik dari masyarakat. ke berbagai tempat untuk memperdalam
ilmunya. Beliau menuju Aceh setelah
METODE cukup menimba ilmu di Banten. Beberapa
tempat selain Banten dan Aceh yang
Penelitian ini menggunakan metode dikunjungi Syaikh Yusuf Al-Makassari
penelitian kualitatif. Untuk memperoleh antara lain Yaman, Mekkah, dan Damaskus
data primer dan data sekunder sebelum kembali lagi ke Banten. Pada usia
menggunakan teknik observasi, wawancara, 38 tahun, Syaikh Yusuf Al-Makassari
dokomentasi dan studi kepustakaan. berangkat dari Mekkah ke Banten pada
Observasi menggunakan untuk memperoleh tahun 1664. Didapatinya sahabatnya
data primer melalui pengamatan seksama Pangeran Surya, menduduki tahta
dari tradisi ziarah kubur di makam Syekh kesultanan Banten dengan nama Sultan
Yusuf al Makassari, sedangkan teknik
67
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan pasukan Belanda secara sembunyi-
gelar Sultan Ageng Tirtayasa (Hamid, sembunyi. Menurut Syaikh Yusuf, sangat
1994: 95). Syekh Yusuf belajar belajar sulit untuk mengadakan perang terbuka
mengaji kepada guru kerajaan Daeng ri melawan Belanda karena persenjataan
Tasammang (Lubis, 1996:20). Banten jauh lebih lemah dan banyak
Sejak kekalahan dalam Perang kekurangan kalau dibandingkan senjata
Makassar banyak bangsawan, saudagar, dan Belanda (Hawash, 1980:72-73).
pelaut Makassar yang meninggalkan Syekh Yusuf tidak hanya dipandang
kampung halamannya pergi merantau ke sebagai pahlawan bagi masyarakat Bznten
seluruh kepulauan Nusantara. (Bruinnessen, tetapi juga sebagai wali oleh masyarakat
1995:268) Para pengungsi Makassar dan Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten
Bugis generasi awal telah beradaptasi Gowa. Hingga saat ini makam Syekh Yusuf
dengan baik di lingkungan barunya. tak pernah sepi pengunjung. Lestarinya
Kebanyakan orang Bugis kemudian tradisi ziarah kubur di makam Syekh Yusuf
menetap di wilayah kepulauan Riau dan oleh umat Islam tidak terlepas dari
Semenanjung Malaya, sementara orang penghormatan terhadap Syekh Yusuf yang
Makassar di Jawa dan Madura. Sedangkan diyakini sebagai wali dan leluhur oleh umat
dalam jumlah kecil mereka menyebar Islam. ziarah makam dilakukan dengan cara
hampir di seluruh wilayah kepulauan menghormati roh para leluhur. Menurut
Nusantara. Pejuang Makassar dan Bugis keyakinan Islam, orang yang telah
diterima dengan cukup baik oleh meninggal dunia, sesunguhnya rohnya masi
Kesultanan Banten. Peranan pejuang tetap hidup dan berada tinggal sementara di
Makassar dan Bugis yang anti Kompeni dalam alam kubur atau alam Barzah,
Belanda cukup berpengaruh dalam sebelum akhirnya masuk ke alam yang
perjuangan untuk membendung penetrasi kekal atau Akhirat. Issatriyadi mengatakan
Belanda di Banten. Para pejuang Makassar orang yang telah meninggal, rohnya tetap
dan Bugis tersebut juga ingin membalaskan hidup. Kepercayaan tersebut yang telah
dendam atas kekalahan yang dialami dalam mewarnai alam pikiran masyrakat Islam
perang Makassar. Perjuangan mereka juga Jawa. sehingga manusia yang hidup, bisa
dijiwai oleh ideologi anti kafir. Mereka melakukan kontak dengan mereka yang
memandang bahwa Jawa merupakan telah meninggal dunia (Issatriyadi.,
benteng pertahanan terakhir terhadap agresi 1977:7).
Belanda, sehingga kesatuan kontingen Berdasarkan kepentingan masing-
Makassar dan Bugis berdatangan ke masing peziarah, salah satunya adalah
Banten. kegiatan para peziarah yang dilakukan di
Banyaknya orang-orang Makassar dan makam Syekh Yusuf, Hal tersebut
Bugis yang berdatangan ke Banten berdasarkan kognitif atau pengetahuan dari
membuat Syaikh Yusuf Al-Makassari ingin masing-masing peziarah. Ziarah sendiri
mengadakan kerja sama dengan mereka. sudah menjadi salah satu tradisi atau
Untuk melawan pasukan-pasukan Belanda budaya masyarakat umat Muslim di makam
yang berjumlah cukup banyak, maka Syekh Yusuf, mereka melakukan tradisi
Banten membutuhkan banyak pasukan juga. tersebut dengan cara melakukan ritual dan
Syekh Yusuf tidak mengharuskan hanya menghormati roh leluhur dengan berbagi
orang Banten saja yang bisa bertempur, macam motivasi seperti ekonomi, spiritual,
namun orang-orang dari berbagai daerah rekreatif, sosial dan kesehatan.
bisa ikut berperang melawan penjajah
Aktivitas Ritual dan Motivasi Ziarah
Belanda. Syaikh Yusuf Al-Makassari
mempunyai saran untuk membentuk Bagi peziarah, ziarah bukan saja
pasukan khusus baik dari orang Banten, sebuah urgensi honoritas atau
Bugis, dan Makassar untuk menyerang penghormatan terhadap perjuangan nenek
68
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi
moyang baik dalam penyebaran agama 2015:54). Seperti seorang peziarah yang
Islam ataupun dalam memperjuangakan berprofesi sebagai karyawan, dia
kemerdekaan tanah ini saja. Mereka juga menyempatkan ziarah ke makam Syekh
merupakan media dialogis antara Yusuf hanya sebagai salah satu instrumen
masyarakat dengan otoritas Ketuhanan yang dalam menghadapai masalah. Sebenarnya,
tidak terwakili dalam teks besar agama. dia mengetahui cara menyelesaikan
Masyarakat yang secara teologis masalah di tempatnya kerja akan tetapi,
merasa lemah dalam relasi vertikalnya untuk memperkuat rasa percaya diri dia
dengan Tuhan. Karena itu mereka menyempatkan diri untuk berziarah dalam
membutuhkan satu ruang kreatif baru yang rangka memperkuat spiritualitasnya sebagai
dapat menyambungkan dimensi relasi seorang pekerja. (Wawacara, Dg. Ngalle 20
tersebut. Karena kepercayaan terhadap wali Februari 2019).
yang memiliki karomah dan barokah Ziarah Penuturan lain diberikan oleh Juru
merupakan salah satunya. Kunci Makam Syekh Yusuf beliau
Dalam ziarah tergapai hasrat untuk mengaku;
mediumisasi (tawassul) antara manusia “Saya kurang lebih 10 tahun jadi juru
dengan Tuhan melalui para wali. Bagi para kunci. Ini pekerjaan dilakukakan secara
peziarah, berkah dan karomah yang dimiliki turun termurun mulai dari nenek dulu,
oleh para wali merupakan hasil yang ingin sekarang kalau dihitung-hitung saya sudah
dicapai lewat prosesi tersebut. Contohnya, generasi ke 7. Profesi sebagai juru kunci
ini langsung ji diturunkan dari orang tua ke
dengan berziarah dimakam Syekh Yusuf. anak yang dianggap mampu jadi tidak ada
Yang selalu membacakan tawasul, di balik sangkut paut dengan kerajaan. Profesi juru
pembacaan tawasul dan hadiah bacaan Al- kunci itu dipegang seumur hidup jadi nanti
Quran sebenarnya terselip maksud si meninggal juru kunci yang lama baru
peziarah datang ketempat ini walaupun para digantikan dengan juru kunci yang baru.
peziarah tidak secara terang-terngan Dulu banyak peziarah yang melakukan
mengakui maksud dann tujuaanya. ritual-ritual dimakam syekh Yusuf sperti
Peziarah merasa bahwa beban dialogis membakar lilin merah dan membawa
tersebut akan menjadi lebih kualitatif sesajen tapi selam saya menjadi juru kunci
manakala ritualisme di kaitkan dengan hal seperti itu saya larang. Jadi untuk
dimensi yang tidak terukur dalam teks sekarang sudah tidak ada lagi praktik
seperti itu dilakukan oleh peziarah.
agama. Makam-makam itu adalah tempat Peziarah yang datang memjatkan doa
mengungkapkan semua dambaan hatinya. kepada Allah SWT tetapi melalui perantara
Dibandingkan masjid yang seakan-akan Syekh Yusuf karena dianggap sebagai wali
mencekam karena kosong, makam-makam Allah SWT. Waktu yang paling ramai bagi
wali menghibur hati karena kehadiran peziarah datang berkunjung itu pada waktu
kekeramatannya. Pada dasarnya makam libur akhir pecan, libur nasional,
bukanlah tempat suci dimana orang menjelang puasa, idul fitri dan idul adha.
bersembahyang kepada Tuhannya, Kalau untuk 1 muharram dan 10 muharram
melinkan tempat orang memohon kepada itu rata-rata peziarah tawassyurah (dzikir).
seorang manusia suci. Selama menjelang pemilihan politik ada
Lazimnya para peziarah ke makam juga beberapa caleg yang datang
berziarah. Rata-rata peziarah yang datang
adalah orang-orang yang bertujuan untuk
telah mengenal sosok Syekh Yusuf dan bagi
dapat menyelesaikan masalah. Diantara peziarah yang belum mengenal mereka
mereka kebanyakan memiliki pemikiran biasaya ingin melihat foto Syeh Yusuf.
yang kritis dalam memecahkan masalah Nilai-nilai yang diteladani, amalan dari
yang dihadapi. Artinya, selain Syekh Yusuf, kesabaran, ibadahnya terjaga,
memanfaatkan ziarah sebagai media banyak bersalawat dan banyak bersyukur
pemecahan masalahnya, mereka juga tidak kepada allah. Tidak ada jam khusus untuk
meninggalkan ikhtiar lahiriah (Pakar, kunjungan tergantung dari jadwal bangun
69
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
saya. Kadang juga tengah malam banyak informasi tentang Syekh Yusuf ka ada ji
habib-habib yang datang untuk dzikir dari juru kuncinya yang bertugas selama 24 jam.
berbagai macam daerah kadang juga ada Kalau saya hanya bertugas dari pagi sampai
yang dari luar negeri. Kadang ada juga sore. Kalau orang dari Jawa banyak datang
yang datang subuh tergantung dari tengah malam. Jadi orang datang kesini
kehendak Allah SWT. Jika dibandingkan
bukan hanya karena gampang dijangkau
dengan dulu dan searang, masih lebih
banyak pengunjung yang datang dulu kerana sejak dari dulu memang sudah ramai
daripada sekarang meskipun akses jalanan pengunjung mungkin karena faktor
menuju makam terbilang jelek. Jadi kalau ekonomi atau ada keperluan lain.
untuk bantuan pengelolaan dari pemerintah Para peziarah makam Syekh Yusuf
itu kurang, maka dari itu untuk sebagian besar merupakan penduduk atau
pengelolaan makam kami selaku pengurus warga masyarakat yang berasal dari daerah
menggunakan uang celengan dari peziarah Sulawesi Selatan. Mereka juga bukan ahli
dalam hal renovasi dan mempercantik atau kerabat kesulatan Gowa Tallo.
makam. Sebenarnya kami dinaungi oleh Kehadiran mereka, tidak diragukan, ke
yayasan hanya saja dalam praktek kompleks makam pada mulanya untuk
pengelolaannya masih kurang aktif,
berziarah ke makam Syekh sebagai
yayasan makam Syekh Yusuf didirikan pada
tahun 1980-an jadi sebelum itu kami selaku perwujudan dari rasa khidmah kepada salah
juru kunci yang mengelolah makam secara sorang wali dan figur yang menjadi
swadaya” (wawancara: Mujibur Bin abdul penyebab masyarakat Sulawesi Selatan
Jalil (48 tahun) juru kunci). menjadi hamba Allah yang beriman
(mu’min billah), menganut dan
Hal ini dibenarkan ula oleh H.
menghamalkan ajaran agama-Nya. Secara
Muhammad Yunus Dg. Liong (73 tahun)
sepontan mereka kemudian mendapatkan
pembaca doa kurang lebih menjadi
nilai-nilai baru yang sangat berkesan. Nilai-
pembaca doa selama 49 tahun. Kalau saya
nilai baru itu kemudian menjadi pendorong
disini tidak hanya baca doa untuk makam
(sugesti) mereka untuk lebih mengetahui,
Syekh Yusuf karena disini banyak juga
mengenal dan memahami eksistensi dan
makam yang lain jadi tergantung
esensi yang sebenarnya. Menurut penuturan
permintaan peziarah. Peziarah yang datang
seorang informan ketika pertama kali
ada dari keturunan ada juga dari ana
berziarah menemukan hal-hal baru yang
gurunya (tarekatnya Halwatiah Yusuf).
sebelumnya tidak dijumpainya dalam
Kalau disini kompleks makam Syekh Yusuf
kehidupan sehari-hari. Dia merasa harus
ada 3 orang pembaca doa. Untuk
datang kembali untuk berziarah karena
pembangunan infrastruktur di makam
bermaksud mengetahui dan mengenal lebih
Syekh Yusuf ini berdasarkan swadaya
jauh nilai-nilai baru di dalam tradisi ziarah
masyarakat. Yayasan Makam Syekh Yusuf
kubur di kompleks makam Syekh Yusuf
ditunjuk sebagai pengelolah makam,
(Wawancara: Jamaluddin 15 Februari
ketuanya tinggal dijalan Kumala. Yang
2019).
mengelolah yayasan itu dari keturunan
langsung Syekh Yusuf. Jadi semua Ziarah Makam Sebagai Legitimasi
pengurus yayasan itu dari keturunan Politik
langsung Syekh Yusuf. Menjelang bulan Fenomena budaya ziarah juga terjadi di
puasa ramai peziarah datang dan sesudah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya
lebaran haji. Pokoknya musim-musim haji. di Kabupaten Gowa. Masyarakat
Kalau tujuannya datang untuk ziarah Kabupaten Gowa masih sangat
sebagai bentuk rasa syukur. Ada juga yang mensakralkan ziarah makam Syekh Yusuf.
datang minta jodoh dan rejeki tapi kita Sudah menjadi kewajaran ketika seseorang
arahkan untuk minta kepada Allah SWT hendak mencalonkan diri dalam pemilihan
jadi makam hanya media saja. Jadi kalau Legislatif maupun Eksekutif, maka orang
ada peziarah datang kesini kita juga kasi
70
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi
tersebut akan melakukan ritual ziarah dalam kontestasi politik, setidaknya untuk
terhadap makam para leluhur. Contoh yang masyarakat Kabupaten Gowa. Modal
paling jelas dan masih eksis sampai alternatif yang cukup menjanjikan
sekarang ialah dalam kasus pemilihan dikeranakan bekerja dengan cara yang baik
kepala desa, dimana setiap calon kepala dalam masyarakat Kabupaten Gowa Ziarah
desa seakan berlomba-lomba untuk ziarah kubur bekerja dengan cara kerja teori
ke kuburan-kuburan leluhur tersebut. Hal simbol, dimana ia merepresentasikan
demikian seakan menjadi alat legitimasi kehidupan sosial keagamaan masyarakat
untuk mendapatkan simpati dan kekuatan Kabupaten Gowa. Ziarah kubur
dari masyarakat itu sendiri. dipraktekkan masyarakat Kabupaten Gowa
Ritual ziarah dalam hal ini dapat secara terus menerus sehingga menjadi
disebut sebagai latar dimana yang akan konsep yang dapat diterima secara luas
mempengaruhi cara masyarakatnya dalam sehingga mempengaruhi perilaku
bertindak politik, khususnya berdemokrasi. masyarakatnya. Selain itu, dengan
Hal ini ditegaskan juga dalam antropologi berhasilnya Ziarah kubur dalam
politik, dimana pengejawantahan nilai-nilai menciptakan ruang baru dalam mobilisasi
dan hakikat demokrasi juga akan sangat politik, dapat dijadikan sebagai modal
ditentukan oleh kultur atau budaya setempat berbasis budaya. Jenis modal tersebut oleh
( Jurdi, 2014:126). Pemahaman tersebut Pierre Bourdieu disebut dengan Cultural
berimplikasi bahwa dalam demokrasi, jika Capital, yang mana sebagai salah satu
seseorang tidak bisa mengikuti cara hidup alternatif modal dalam mewujudkan suatu
masyarakatnya, maka dia tidak akan bisa usaha, dalam hal ini karir politik.
memenangkan demokrasi. Oleh karena itu,
Ziarah Makam dan Dampaknya
modal budaya sangat diperlukan dalam
Terhadap Ekonomi
berdemokrasi, khususnya di Indonesia.
Ekspresi politik tersebut, salah satunya Dengan keberadaan tradisi ziarah
ialah kesempatan politik berupa medium makam tersebut membawa perubahan
mobilisasi politik. Mobilisasi Politik dalam dalam masyarakat sekitar Makam Syekh
ziarah kubur telah terjadi pada masyarakat Yusuf yang berada pada. Masyarakat
Kabupaten Gowa. Ziarah kubur bukan memanfaatkan keberadaan tradisi ziarah
hanya dipandang sebagai ziarah kubur tersebut sebagai tempat untuk mencari
sebagaimana orang umum melakukannya, nafkah sehingga terjadilah arus sosial-
akan tetapi terdapat unsur-unsur politik di ekonomi pada masyarakat di sekitar
dalamnya. Masyarakat Kabupaten Gowa Makam.
mendorong para elit untuk pergi dan Sehingga secara umum dapat dikatakan
melakukan Ritual ziarah kubur ke tempat- bahwa keadaan social-ekonomi suatu
tempat leluhur dan dianggap keramat ketika masyarakat akan saling bersangkutan antara
musim pemilu tiba. Dengan demikian, baik satu sama lain. Karena dalam kehidupan
disadari maupun tidak muncullah peluang seseorang di mana tidak dapat dipisahkan
untuk meraih simpati publik, yaitu dengan antara faktor sosial dan ekonomi, namun
cara mengikuti keinginan masyarakat faktor sosial tersebut akan menentukan
Kabupaten Gowa. Walaupun memang tidak tingkat ekonomi maupun sebaliknya.
semua melakukannya namun banyak elit Terlihat di mana aktivitas sosial masyarakat
politik di Kabupaten Gowa yang dalam melakukan tradisi ziarah berdasarkan
melakukannya. Oleh karena itu terjadilah kepercayaan yang masyarakat yakini hingga
mobilisasi politik oleh para elit politik saat ini menjadikan kebermanfaat bagi
Kabupaten Gowa dengan menggunakan masyarakat dalam bidang ekonomi.
Ritual ziarah kubur. Namun, tetap saja aktivitas dan
Ziarah kubur sebagaimana telah kepercayaan masyarakat akan tradisi ziarah
dijelaskan, telah menjadi modal alternatif tersebut tidak mengalami perubahan.
71
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Masyarakat sekitar makam Syekh Yusuf Dalam kegiatan ziarah kubur yang
masih tetap mempercayai dampak positif dilakukan oleh masyarakat tidak hanya
yang akan dirasakan ketika melakukan melibatkan masyarakat Kabupaten Gowa,
ziarah karena ziarah memang merupakan hal ini juga dilakukan oleh peziarah yang
sunah Rasul yang tetap dijalankan sampai datang dari daerah- daerah lain.
saat ini. Justru dengan adanya tradisi ziarah Keterlibatan pengunjung atau peziarah
ini membawa perubahan yang tersebut tidak disia-siakan oleh masyarakat
mensejahterakan masyarakat. sekitar yang menjadi pedagang. Sehingga
Dampak ekonomi yang ditimbulkan peluang usaha di daerah ini semakin baik
bagi peziarah yang datang ke makam dan semakin menguntungkan masyarakat.
Syekh Yusuf al Makassari adalah Zainuddin (2008:754) mengungkapkan
hubugan timbal-balik atau principle of bahwa di dalam masyarakat maju dan
resiprosity antara masyarakat sekitar yang berkembang, perubahan sosial dan
berprofesi sebagai penjual dengan peziarah kebudayaan selalu berkaitan dengan
dapat membantu penjual untuk pertumbuhan ekonomi”. Lambat-laun
mendapatkan maanfaat ekonomi persepsi keberadaan peziarah pun semakin
(Koentjaraningrat., 1981:165). Sedangkan meningkat yaitu dianggap sangat positif.
keuntungan bagi para peziarah adalah Dengan banyaknya masyarakat atau
mendapatkan berkah dan keberuntungan peziarah yang datang ke makam tersebut
dari apa yang mereka lakukan dalam akan memberikan peluang kerja kepada
berziarah ke makam Syekh Yusuf al masyarakat sekitar makam. Maka secara
Makassari. otomatis ekonomi masyarakat setempat
Menurut penuturan beberapa infroman mengalami perubahan. Masyarakat
kehadiran Makam Syekh Yusuf memanfaatkan keramaian untuk mencari
memberikan dampak ekonomi bagi rezeki. Ada saja yang mereka lakukan,
masyarakat sekitar. Kehadiran makam misalnya dengan berjualan makanan,
syekh Yusuf tidak hanya memberikan minuman, cinderamata, kembang setaman,
manfaat dari segi religiusitas tapi juga bahkan ada juga yang membuka tempat
berdampak pada kehidupan ekonomi parkir bagi peziarah yang datang ke
masyarakat yang tinggal disekitar makam. kompleks makam Syekh Yusuf.
Karena kita berdayakan beberapa orang
Ziarah Makam Sebagai Aktivitas
untuk bersihkan makam baru kita gaji,
Pariwisata
diluar mkaam juga banyak yang jual bunga
dan makanan itu secara tidak langsung Makam dapat dikatakan sebagai cagar
membantu kehidupan ekonomi masyarakat. budaya yang memiliki nilai historis yang
Jadi meskipun Syekh Yusuf dikatakan telah panjang, kebanyakan para peziarah datang
meninggal dunia tetapi beliau masih ke makam raja-raja atau penyiar agama
memberikan kemaslahatan untuk ummat. islam. Hal ini dapat dikatkan sebagai sisi
Selain itu Tidak ada tarif khusus untuk religiusitas dari para peziarah. Keterkaitan
ziarah makam, tergantung dari keikhlasan sejarah antara keduanya sangat berpengaruh
mereka kadang Rp 1.000- Rp 5.000. kadang ke intensitas kunjungan.
ada juga yang tidak kasih tergangung dari Setiap ada keramaian pada suatu obyek
keadaannya itu orang (Wawancara: Mujibur wisata pasti membawa peningkatan
Bin abdul Jalil (48 tahun) juru kunci). pendapatan rumah tangga pada masyarakat
Makam Syekh yusuf juga memberi dampak sekitarnya, karena dengan banyaknya
ekonomi bagi masyarakat karena banyak pengunjung yang datang ke tempat tersebut
yang jual kembang, buka warung, jadi dapat memberikan peluang kerja bagi
tukang parkir (wawancara; H. Muhammad masyarakat sekitar makam. Hal demikian
Yunus Dg. Liong (73 tahun) pembaca doa). dikarenakan tradisi ziarah makam
merupakan daya tarik wisata religi yang
72
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi
73
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
74
ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN PENDATANG
DI SODOHOA KENDARI BARAT
(THE WORK ETHOS OF THE IMMIGRANT FISHING COMMUNITY
IN SODOHOA, WEST KENDARI)
Masgaba
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawsei Selatan
Jalan Sultan Alauddin-Tala Salapang Km 7 Makassar 90221
Telp. (0411) 885119 Fax. (0411) 865166, 883748
Pos-el: masgabaumar@yahoo.co.id
ABSTRACT
This written work constitutes the results of research conducted among an immigrant fishing
community in Sodohoa, West Kendari, in the city of Kendari. The data collection methods used include
interviews, focus group discussion, and observation. The research results indicate that the immigrant
fishermen in the Sodohoa district originate from the regions of Pangkep, Ulung Lero, and Makassar.
Essentially, the primary motive for migration, other than economic and socio-cultural factors, is the
variety of fish found in the waters of Kendari, especially the high-selling tuna. The economic factor
stems from the fishermen's lack of capital for conducting their seagoing activities, leading to their
borrowing money from an employer in Kendari. The socio-cultural factor stems from the fishermen's
conscience obligating hard work to generate an income to meet the day-to-day needs of their families.
Being fishermen is a legacy that is passed down the generations from their ancestors; they cannot
pursue other careers, due to their limited skills and abilities. The enthusiasm for their work is
motivated by a sense of shame (siri’) for one who does not produce an income.
Keywords: Work ethos, social economy, immigrant fishermen.
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada komunitas nelayan pendatang di Sodohoa
Kendari Barat, Kota Kendari. Metode pengumpulan data berupa wawancara, focus group discussion,
dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nelayan pendatang yang ada di Kelurahan
Sodohoa berasal dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan Makassar. Pada dasarnya motif utama mereka
melakukan migrasi selain karena faktor ekonomi dan faktor sosial budaya, juga karena di wilayah
perairan Kendari terdapat banyak jenis ikan, terutama ikan tongkol yang memiliki nilai jual yang
tinggi. Faktor ekonomi timbul akibat nelayan pendatang tidak memiliki modal uang untuk beraktivitas
melaut, sehingga mereka meminjam pada bos yang ada di Kendari. Faktor sosial budaya timbul
sebagai akibat adanya naluri untuk bekerja agar memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya. Menjadi nelayan merupakan warisan yang turun temurun dari orang tua mereka,
tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan karena keterbatasan keterampailan dan keahlian yang
dimiliki. Semangat kerja mereka termotivasi adanya perasaan malu (siri’) jika tidak memiliki
penghasilan.
Kata kunci: Etos kerja, sosial ekonomi, nelayan pendatang.
Sebagai sebuah entitas sosial, berupa materi dan cara-cara atau strategi
masyarakat nelayan memiliki sistem tertentu sebagai wujud dari penerapan ilmu
budaya tersendiri dan berbeda dengan pengetahuan yang mereka miliki (Naping,
masyarakat lain, seperti masyarakat petani, 2003:2).
perkotaan ataupun masyarakat yang hidup Nelayan sebagai masyarakat bahari
di dataran tinggi. Masyarakat nelayan ditandai dengan fenomena sosial yang
merupakan unsur sosial yang sangat penting mencolok, khususnya di Indonesia.
dalam struktur masyarakat pesisir. Sekurangnya ada lima fenomena mencolok,
Kebudayaan yang mereka miliki mewarnai seperti (1) kompleksnya kategori atau
karakteristik kebudayaan dan perilaku kelompok sosial yang terlibat dalam
sosial budaya masyarakat pesisir secara kehidupan kebaharian, (2) tumbuh dan
umum. Realitas masyarakat nelayan yang berkembangnya sektor-sektor dan subsektor
memiliki pola-pola kebudayaan yang ekonomi dan aktivitas lainnya berkaitan
berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dengan laut, (3) keterlibatan secara tidak
dari interaksi masyarakat nelayan dengan langsung kategori-kategori dan hirarki
lingkungan beserta sumber daya yang ada sosial dalam kebaharian, (4) saling
di dalamnya. Pola-pola itu menjadi keterkaitan antar sektor-sektor kehidupan
kerangka berpikir atau referensi perilaku dan internal antar unsur-unsur budaya
masyarakat nelayan dalam menjalani bahari, (5) sifat homogen dan diversiti
kehidupan sehari-hari (Kusnadi, 2003:3,4). unsur-unsur budaya, dan proses dinamika,
Sejak berabad-abad lamanya, wilayah perubahan dari unsur-unsur budaya bahari
pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan tersebut (Munsi Lampe dalam Salim,
beragam sumber daya alamnya telah 2016:67).
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia Etos dalam ilmu antropologi identik
sebagai salah satu sumber bahan makanan dengan watak khas. Etos (watak khas)
utama, khususnya protein hewani (Dahuri, sering tampak pada gaya tingkah laku
dkk, 2008:1). Bangsa Indonesia adalah warga masyarakatnya, kegemaran-
bangsa besar yang hadir dari sebuah kegemaran, dan berbagai benda budaya
kegiatan migrasi dengan perantara maritim. hasil karya mereka. Berbicara masalah etos
Semboyang “nenek moyangku orang kerja tidak terlepas dari sistem budaya suatu
pelaut’ bukanlah semata pengangkat masyakarat. Sistem budaya merupakan
semangat nasionalisme kemaritiman tingkat yang paling tinggi dan sifatnya
(Prasetia, 2016:1). Indonesia dikatakan abstrak dari adat istiadat. Sistem nilai
sebagai negara maritim karena 75% dari budaya merupakan konsep-konsep
wilayah Indonesia merupakan laut. Dengan mengenai sesuatu yang ada dalam alam
demikian, wajar apabila penduduk pikiran sebagian besar dari masyarakat
Indonesia banyak yang bermata yang mereka anggap bernilai, berharga,
pencaharian berkaitan dengan kelautan. penting dalam hidup, sehingga berfungsi
Salah satu kelompok masyarakat yang sebagai suatu pedoman yang memberi arah
sangat bergantung pada sumber daya pada kelakuan, dan perbuatan dalam
kelautan adalah kaum nelayan (Kinseng, masyarakat (Koentjaraningrat, 2009:153).
2014:3). Menurut Munsi Lampe (dalam Salim,
Masyarakat maritim adalah bagian dari 2016:62) wujud budaya bahari nelayan
kelompok masyarakat yang memanfaatkan ialah sistem budaya (meliputi sistem-sistem
lingkungan alam laut untuk memenuhi pengetahuan, gagasan, keyakinan, dan
kebutuhan hidupnya. Dalam hal daftar kebutuhan, serta cita-cita dalam
pemanfaatan lingkungan laut, masyarakat kognitifnya), kelembagaan (meliputi
nelayan mengembangkan seperangkat organisasi, kelompok kerja sama nelayan,
kebudayaan dalam bentuk idea, gagasan, hak-hak pemilikan/kontrol atas wilayah dan
aktivitas atau tindakan, dan teknologi
76
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba
sumber daya laut), dan teknologi (meliputi beragama, bekerja merupakan kewajiban
sarana/prasarana transportasi laut). yang harus dijalankan (Alim dalam Salam,
Etos kerja, yaitu sikap kehendak yang 2017:17).
berpusat pada kata hati manusia, yang Mengacu pada pandangan tersebut di
mencakup beberapa hal, yaitu sifat, atas, etos kerja tercermin pada sikap
karakter, kualitas hidup, moral, gaya kehendak, yaitu apa yang dikehendaki,
estetika, suasana hati seseorang atau secara sukarela, tanpa dipaksa atau karena
masyarakat (Geertz, 1992:51). Sedangkan ada keuntungan dan harapan. Secara
pengertian etos menurut Bateson (dalam prinsipil, etos kerja itu berpusat pada kata
Goo, 2012:65) adalah karakter distingtif hati, namun demikian, etos kerja setiap
atau semangat dari suatu kejadian atau orang diwarnai oleh etos sosialnya, yaitu
kebudayaan. Selanjutnya, etos kebudayaan persetujuan masyarakat mengenai suatu
merupakan sifat, nilai, dan adat istiadat gagasan, nilai-nilai, dan pandangan-
khas yang memberi watak kepada pandangan yang menghasilkan kehendak-
kebudayaan suatu golongan sosial dalam kehendak sekaligus menjadi ciri khas
masyarakat. Etos dapat juga berarti seseorang (Hamid Pananrangi &
pandangan hidup yang khas suatu golongan Kaharuddin, 1995:2).
sosial (Koentjaraningrat., dkk, 1984:45). Nelayan sebagai masyarakat maritim
Pembahasan etos tidak terlepas dari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sistem budaya suatu masyarakat. Sistem mereka rela meninggalkan kampung
budaya adalah abstrak, tidak dapat dilihat halamannya dalam waktu tertentu. Mereka
dan diraba, ia identik pada orang atau berpindah dari wilayah yang satu ke
kelompok, berada di kepala setiap orang, wilayah yang diidentifikasi telah memasuki
terdiri atas konsep-konsep, gagasan- waktu musim tangkap. Mencari dan
gagasan, pandangan-pandangan, dan nilai- menangkap ikan di laut merupakan masa
nilai. Etos adalah sifat, karakter, kualitas depannya. Dengan semangat kerja yang
hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana tinggi untuk mencapai sesuatu yang
hati seseorang. Etos memberi warna dan diinginkan. Sebagaimana ungkapan leluhur
penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, “resopa temmangingngi namalomo naletei
apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, pammase dewata (artinya hanya dengan
mulia, terpandang, disukai ataukah kerja keras dan tekun akan mudah
pekerjaan itu dianggap buruk, dibenci, dan mendapatkan ridho dari Allah ).
tidak terpandang, salah atau tidak Bagi sebagian besar etnis di Indonesia,
dibanggakan. Etos akan tampil pada saat kecenderungan meninggalkan daerah asal
kita melakukan peranan-peranan, misalnya dan pergi bermigrasi telah mengakar dalam
sebagai petani, nelayan, guru, pengusaha, tradisi budaya mereka. Sistem nilai budaya
pememimpin, dan sebagainya. Berbicara justru menjadi sumber inspirasi dan
masalah etos kerja, bisa diartikan sebagai motivasi mereka dalam melakukan
suatu sikap kehendak, yaitu apa yang perantauan. Mereka meninggalkan daerah
dikehendaki, secara sukarela, tanpa dipaksa asal untuk berinteraksi dengan dunia luar
atau karena ada keuntungan dan harapan dan membangun relasi sosial baru di luar
(Hamid, 2006:2) komunitas asal. Orientasinya terkait dengan
Etos kerja masyarakat nelayan harapan tercapainya keberhasilan, terutama
didorong oleh tiga hal pokok. Pertama, di bidang ekonomi. Obsesi tentang
kebutuhan dasar hidup (subsistem) perbaikan kehidupan ekonomi tidak hanya
masyarakat yang harus dipenuhi untuk untuk memenuhi kebutuhan material, tetapi
keberlangsungan hidupnya. Kedua, juga mengangkat derajat atau status sosial
keluarga dengan keinginan untuk mereka. Bermigrasi didorong oleh sistem
membahagiakan anak dan isteri merupakan atau nilai-nilai budaya yang membentuk
faktor penting. Ketiga, sebagai makhluk pandangan hidup mereka demi
77
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
78
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba
79
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
lainnya. Bentuk rumah penduduk sebagian di Kendari ini ada bos yang bisa membantu
besar masih mempergunakan rumah dengan dalam hal permodalan. Selain itu, hasil
kategori semi permanen, terutama yang tangkap berupa ikan dapat langsung terjual
bermukim di daerah yang berbukit. Hal melalui bos pemilik modal yang ada di
tersebut disebabkan selain karena kondisi pelelangan ikan Kendari.
ekonomi juga karena topografi yang Informan H. Maudu sebagai punggawa
berbukit sehingga menyulitkan distribusi pada kelompok nelayan pa’gae,
bahan material untuk menjangkau lokasi menurutnya, hampir sama dengan nelayan
areal permukiman tersebut. Lain halnya pendatang lainnya, bahwa daya tarik
dengan rumah penduduk yang dibangun di bermigrasi ke Kendari karena adanya bos
pinggir jalan utama atau dataran rendah yang bisa memberi modal berupa uang
umumnya bangunannya berbentuk yang dipergunakan untuk beraktivas
permanen. mencari dan menangkap ikan di perairan
Kendari dan sekitarnya. Di kampung
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos halamannya, Pangkep tidak bisa melaut
Kerja Nelayan karena tidak memiliki modal yang cukup.
a. Faktor Ekonomi Tidak ada pekerjaan lain yang bisa
dilakukan selain menjadi nelayan. Melihat
Awal mula kedatangan nelayan kerabat sesama nelayan yang memiliki
pendatang di Sodohoa menurut penuturan modal cukup berhasil. Bermigrasi ke
informan bahwa keberadaan nelayan Kendari bermula ketika ada kerabat juga
pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa sebagai nelayan yang lebih dahulu ada di
sudah ada sejak dahulu kala. Tidak ada Kendari dan cukup berhasil. Dari informasi
catatan secara resmi mengenai tahun kerabat tersebut bahwa ada pemilik modal
keberadaan nelayan pendatang di Sodohoa. di Kendari yang bisa memberi dana
Pada awalnya nelayan pendatang berasal pinjaman. Selain itu, ada informasi bahwa
dari Kalimantan. Nelayan dari Kalimantan wilayah perairan Kendari kondisi iklimnya
tersebut bersuku bangsa Bugis bermukim di tidak terlalu ekstrim jika dibandingkan
Kalimantan. Bermigrasi ke Kendari untuk dengan wilayah lainnya. (wawancara,
mencari dan menangkap ikan dengan alat Maret, 2018).
tangkap pancing. Mereka “mattongkol” Bagi nelayan, ketersediaan modal
(memancing ikan tongkol) di wilayah usaha merupakan salah satu kebutuhan
perairan Kendari. Dari keberhasilan nelayan pokok. Nelayan pendatang di Sodohoa pada
Kalimantan dalam mencari dan menangkap umumnya meminjam kepada “bos” yang
ikan di Kendari menjadi daya tarik nelayan ada di sekitar mereka. “Bos” sekaligus
pendatang lainnya. Nelayan pendatang yang sebagai penampung hasil tangkap para
ada di Sodohoa berasal dari Selatan, seperti nelayan bekerja di TPI kota Kendari. Hasil
dari Makassar, Pangkep, dan Ujung Lero. tangkap nelayan dijual atau dipasarkan oleh
Nelayan pendatang di Sodohoa hanya diberi penampung atau “bos” tempat mereka
keterangan domisili oleh pemerintah meminjam uang. Harga ikan hasil tangkap
Kelurahan Sodohoa. Biasanya mereka nelayan ditentukan sendiri oleh penampung.
menetap di Sodohoa selama musim tangkap Menurut penuturan salah seorang
(musim teduh) (hasil wawancara dengan H. informan, bahwa “bos” tempat meminjam
Suega, Maret 2018 ). uang di Kendari tidak hanya melayani
Selanjutnya informan H. Kamil untuk keperluan melaut, tetapi juga bisa
mengungkapkan bahwa datang ke Kendari membantu memberi pinjaman untuk
meninggalkan kampung halaman untuk keperluan rumah tangga nelayan, seperti
sementara waktu demi untuk memenuhi untuk keperluan biaya sekolah anak mereka
kebutuhan ekonomi keluarga. Kendari (wawancara, Sudirman, Maret 2018).
merupakan tempat yang menjadi pilihan
untuk mencari dan menangkap ikan karena
80
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba
Dari penuturan informan tersebut pekerjaan lain yang bisa dilakukan dan
menunjukkan bahwa daya tarik untuk tidak memiliki modal sehingga rela
bermigrasi dan bekerja sampai ke Kendari meninggalkan kampung halaman.
karena adanya penjamin modal. Di daerah Kalau siri’ merupakan taruhan harga
asal tidak bisa menemukan hal tersebut. diri, maka harga diri tersebut harus diangkat
Dari hasil kerja sebagai nelayan dapat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa
memenuhi kebutuhan ekonomi rumah pelopor, dan senantiasa berorientasi
tangganya walaupun dengan menggunakan keberhasilan. Seseorang dapat mengem-
modal pinjaman. Lain halnya dengan bangkan etos kerja tinggi, oleh karena
informan Roy, seorang ABK pada salah berhadapan dengan tantangan-tantangan,
seorang punggawa bagang, bermigrasi ke harapan-harapan, dan hal-hal yang menarik
Kendari untuk bekerja dan menghasilkan serta menguntungkan, sehingga mendorong
uang agar dapat membantu orang tuanya. munculnya kerajinan, kecermatan yang
Setiap kali mendapat hasil dari melaut, Roy lahir dari kepribadian seseorang (Hamid,
mengirim atau mentransfer sejumlah uang 2009:3).
kepada ibunya yang tinggal di Makassar. Seperti halnya dengan perantau orang
Terdapat juga nelayan (ABK) yang bekerja Wajo ke Malaysia, mereka meninggalkan
di kampung orang karena alasan untuk kampung halamannya karena siri’, yaitu
mengumpulkan uang yang akan digunakan menderita, miskin, sehingga memilih
berumah tangga (beristeri). bermigrasi karena ingin hidup lebih baik.
Bekerja sebagai nelayan di kampung Sebagaimana pantun dalam bahasa Bugis
orang merupakan pilihan sendiri karena berbunyi: de gaga pasaq ri lipuqmu,
tidak memiliki keahlian atau keterampilan balanca ri kampong mu, mulanco mabela ?
di bidang lainnya. Bekerja sebagai nelayan (artinya apakah tidak ada pasar di
merupakan sumber mata pencaharian negerimu, tak ada belanja di kampungmu
warisan yang diperoleh dari orang mereka. sehingga bermigrasi jauh ?). Engka pasaq
Mereka tidak memiliki pilihan lain. di rili puqku, balanca ri kampongku,
Sebagaimana pengertian etos kerja yang ininnawamu kusappa (artinya, ada pasar di
dikemukakan oleh Dawam Raharjo, sebagai kampungku, ada belanja di kampungku,
pola sikap mendasar yang sudah mendarah- namun aku mencari hati nurani).
daging dan memengaruhi perilaku Berkaitan dengan harga diri karena
seseorang secara konsisten dan terus bermigrasi, ungkapan bahasa Makassar
menerus (dalam Malik, 2013:12). “appaenteng siri’” seseorang bekerja keras,
berusaha sekuat-kuatnya untuk memperoleh
b. Faktor Sosial Budaya kehidupan yang layak agar tidak terhina
oleh kemiskinan. Sikap yang demikian
Sebagai kepala rumah tangga harus
tercermin pada orang yang suka bekerja
mampu memenuhi kebutuhan ekonomi
keras demi kebutuhan hidup. Demikian
keluarga, sehingga ada perasaan malu tidak
halnya dengan nelayan pendatang yang ada
memiliki penghasilan di kampung sendiri.
di Sodohoa, khususnya nelayan pendatang
Mengikuti jejak kerabat atau sesama
dari Makassar. Dengan prinsip appaenteng
nelayan yang terlebih dahulu bermigrasi
siri’ mereka meninggalkan kampung
dan berhasil membuatnya tertarik
halamannya dengan bermigrasi ke Kendari.
melakukan hal yang sama. Sebagaimana
Menurut mereka lebih baik meninggalkan
ungkapan yang berbunyi siri’e paloi,
kampung dan keluarga untuk sementara
artinya perasaan malu yang membuat
waktu demi memenuhi kebutuhan hidup.
meninggalkan kampung halaman untuk
Tinggal di kampung tanpa penghasilan akan
mencari rezeki. Informan Abd. Ganing juga
dihina oleh keluarga dan masyarakat.
nelayan pendatang dari Selatan,
Ungkapan dalam bahasa Mandar yang
mengatakan “lantaran pahit kita
berkaitan dengan etos kerja: dao pi paule,
bermigrasi”, maksudnya, karena tidak ada
81
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
mua andian namujama, issangi siri’ mengenai hakikat dari hidup manusia, (2)
diwanuanna tau (artinya janganlah ikut masalah mengenai hakikat dari karya
kalo tidak ada kerjamu, hendaklah ada siri’ manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari
mu di negeri orang). Maksud dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, (4)
ungkapan itu bahwa janganlah ikut kepada masalah mengenai hakikat dari hubungan
orang lain kalau engkau hanya menjadi manusia dengan alam sekitarnya, dan (5)
beban bagi orang yang diikuti karena akan masalah mengenai hakikat dari hubungan
sangat memalukan di negeri orang. manusia dengan sesamanya. Dari kelima
Ungkapan tersebut merupakan petunjuk masalah pokok dan orientasi nilai budaya
bahwa orang harus bekerja untuk hidup tersebut, masalah yang berkaitan dengan
(Lopa, 2009:78). Sebagaimana ungkapan hakikat hubungan manusia dengan karya
dalam kalingdaqdaq mengatakan bahwa dari manusia merupakan cerminan dari etos
tidak akan ada rezeki jika tidak diusahakan, kerja manusia.
seperti : Etos kerja dan nilai budaya komunitas
Nipameappai dalleq nelayan pendatang di Sodohoa dapat
Nileteangngi pai digambarkan sebagai berikut:
Andiang dalleq 1. Nilai Kejujuran
Napole mettuala
Nilai kejujuran tercermin pada
Terjemahannya: hubungan antara “bos” dengan punggawa ,
Rezeki harus dicari antara punggawa dengan ABK. Sebagai
Harus diusahakan seorang nelayan pendatang yang hanya
Tidak akan ada rezeki menetap sementara waktu di Sodohoa,
Yang datang dengan sendirinya kejujuran merupakan modal utama untuk
menjaga agar tetap bisa dipercaya oleh
Kalindaqdaq tersebut menunjukkan “bos”. Begitupula seorang punggawa harus
bahwa sebagaimana seorang manusia yang bersifat jujur terhadap anggotanya/ABK,
hidup di dunia ini tidak hanya demikian juga sebaliknya. Seperti yang
mengandalkan doa semata, tetapi harus dituturkan oleh salah seorang informan:
dibarengi dengan usaha agar bisa meraih “kejujuran merupakan hal yang utama dalam
apa yang dicita-citakan. Rezeki tidak datang melakukan suatu pekerjaan. Kalau kita jujur
dengan sendirinya tetapi perlu dicari hubungan dengan “bos” akan bertahan lama.
dengan bekerja (Abbas, 2000:124). Kalau saya pinjam uang kepada “bos” untuk
dijadikan modal melaut, tidak memerlukan
Etos Kerja dan Nilai Budaya Nelayan jaminan seperti kalau kita pinjam uang di
Nilai budaya adalah aspek vokal yang bank” (wawancara dengan H. Maudu,
Februari 2018).
terwujud sebagai konsepsi-konsepsi abstrak
yang hidup dalam pikiran sebagian besar Dari penuturan informan tersebut
suatu masyarakat mengenai apa yang harus menunjukkan bahwa kejujuran merupakan
dianggap penting dan berharga dalam hidup modal utama untuk mencapai suatu kerja
(Rahmawati, 2008:346). Suatu sistem nilai yang baik. Kejujuran seseorang merupakan
budaya merupakan wujud dari kebudayaan unsur yang utama dalam menekuni suatu
dan seolah-olah berada di luar dan di atas pekerjaan.
para individu sebagai anggota suatu Informan Haruddin salah seorang
masyarakat. Semua sistem nilai budaya nelayan yang berposisi sebagai punggawa
berkaitan dengan masalah-masalah dasar (nakhoda) mengatakan bahwa: dengan
dalam hidup manusia. Menurut kerangka kejujuran, hati merasa tenang dan rezeki
Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, akan datang terus. Jujur terhadap diri
2008:28) semua sistem nilai budaya dalam sendiri, terhadap orang lain. Sebagai
semua kebudayaan di dunia ini terdapat nelayan yang tidak memiliki modal (uang)
lima masalah pokok, yakni (1) masalah untuk melaut, saya harus memiliki sifat
82
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba
yang jujur agar bisa terus dipercaya sama dapat melaksanakan tugasnya karena
“bos”. Begitu juga terhadap anak buah kondisinya tidak memungkinkan, maka
(ABK) yang ikut bekerja di kapal, saya yang lainnya akan segera mengambil alih
harus jujur terutama dalam hasil yang pekerjaan itu.
diperoleh ketika melaut (wawancara, Maret Kerja sama di darat, tercermin ketika
2018). tidak melaut mereka secara bersama
Dari penuturan tersebut menunjukkan memperbaiki kapal atau peralatan alat
bahwa untuk mendapatkan hasil dari suatu tangkap mereka. Ketika penulis di lokasi
pekerjaan nilai kejujuran harus tetap penelitian tampak kerja sama sesama
terpelihara pada diri seseorang. Walaupun nelayan mengecat kapal mereka. Kerja
seseorang itu rajin dan disiplin dalam sama antara punggawa–ABK saling
melakukan suatu pekerjaan, tetapi tidak bergantian merawat kapal mereka dengan
memiliki sifat yang jujur tidak akan mengecat. Dari sistem kerja sama ini timbul
memperoleh hasil yang memuaskan. rasa solidaritas di antara mereka. Pada
Sebagaimana sifat-sifat manusia terungkap masyarakat umum, terutama yang tinggal di
dalam bentuk nasihat dalam bahasa Bugis perkotaan melakukan pekerjaan mengecat
seperti, lempu (jujur) mengandung empat rumah misalnya, akan membutuhkan dana
unsur, yaitu lempu ri puangnge (jujur untuk menggaji tukang cat. Komunitas
kepada Allah), jujur tehadap diri sendiri, nelayan dengan sukarela saling kerja sama
jujur terhadap sesama manusia. Sedangkan mengerjakan mengecat kapalnya dengan
dalam bentuk larangan, yaitu jauhkan diri imbalan ketika melaut, ABK diberi
dari sifat jekkong (curang). Sebaliknya kebebasan memancing ikan. Kegiatan
seseorang hendaknya berbuat baik memancing ikan dilakukan ketika selesai
“nakkaresoi lise bolana”, artinya bekerja mengerjakan tugas utama mereka. Hasil
untuk isi rumahnya dan sanak keluarganya pancing tersebut menjadi milik ABK itu
(PaEni, 2013:101). sendiri.
83
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
84
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba
85
REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN
KERAJAAN BALANIPA ABAD XVI-XVII
(INDONESIAN REFLECTION: STUDY OF THE GOVERNMENT SYSTEM OF
BALANIPA KINGDOM IN THE 16TH AND 17TH CENTURIES)
Abd.Karim
Universitas Indonesia
Email: karimhistory92@gmail.com
ABSTRACT
The kingdom of Balanipa (Mandar) was "democratic" before Indonesia was born. If one reflection of
Indonesia is a democratic government system, then the political identity that we rely on as a
Democratic State existed before this country was born. That the soul of Indonesianness existed before
the presence of Europeans in the Archipelago. In fact, it was been practiced in the Kingdom of
Balanipa (Mandar) in the 16th-17th centuries as a local form of government (mara'dia). This system
featured a Kingdom constitution serving to limit the King from wielding absolute power. The
traditional institution held the power to dismiss the king as a leader, such as the President who can be
removed from his position by the country's People's Consultative Assembly (MPR). The leader is
chosen by the will of the people. A reflection of the system of government, that the soul of the age
which is now a legacy of the nation's past itself is not a western nation's inheritance as a colonial
nation. Furthermore, this article will answer the big question, namely, how are democratic practices
applied in Mandar? How was democracy interpreted by the elite and the Mandar community? and
how was the system of government run in Mandar in the sixteenth and seventeenth centuries? This
article employ historical research methods, using local sources (Lontara’), complemented by sources
from the colonial era. The practice of democracy, namely the birth of the concept of Mengga Lenggoq
Mengga Belawa, is one of the concepts offered by the system of government. The soul of Democracy is
embedded in the following concepts: (1) Manu' Tandi Pessisi'i (a chicken whose scales are not seen),
meaning that in daily life, regardless of status or position, customary law is still upheld; (2) Beang
Tandi Gati (rice that does not need to be measured), meaning a People-based economy, while also
attaching importance to the interests of the lower class; (3) Beluwa' Tandi Biti (combed hair that no
longer needs to be held in place), meaning continuous unity; and (4) Ara Ratang Tandi Dappai (rope
that does not need to be measured), meaning that the law or judicial system does not discriminate.
Keywords: Government, Mara'dia, democracy, Indonesia, Mandar, Balanipa
ABSTRAK
Kerajaan Balanipa (Mandar) telah “berdemokrasi” sebelum Indonesia lahir. Apabila salah
satu cerminan Indonesia adalah sistem pemerintahan demokratis, maka identitas politik yang
kita sandang sebagai Negara Demokratis telah ada sebelum negara ini lahir. Bahwa jiwa
keindonesiaan telah ada sebelum kehadiran Bangsa Eropa di Nusantara. Bahkan telah
dipraktekkan di Kerajaan Balanipa (Mandar) pada abad XVI-XVII sebagai sistem
pemerintahan lokal (mara’dia). Sistem tersebut memiliki perangkat konstitusi kerajaan di
mana kedudukan raja tidak mutlak berkuasa. Lembaga hadat memiliki kuasa untuk
memberhentikan raja sebagai pemimpin, seperti presiden yang bisa diturunkan dari
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) negara ini. Pemimpin dipilih atas
kehendak rakyat. Sebuah refleksi sistem pemerintahan, bahwa jiwa zaman yang sekarang
merupakan warisan dari masa lalu bangsa ini sendiri bukan warisan bangsa barat sebagai
bangsa penjajah. Selanjutnya Artikel ini akan menjawab pertanyaan besar yakni, bagaimana
praktek-praktek demokrasi diterapkan di Mandar? Bagaimana demokrasi itu diterjemahkan
oleh elit dan masyarakat Mandar?, dan bagaimana sistem pemerintahan itu dijalankan di
86
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
Mandar pada abad XVI-XVII? artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah. Dengan
menggunakan sumber lokal (Lontara’’) dan dilengkapi dengan sumber-sumber dari zaman
kolonial.
Kata Kunci: pemerintahan, mara’dia, demokrasi, Indonesia, Mandar, Balanipa
87
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
tertuang dalam Lontara’ sebagai sumber tokoh demokrasi mulai dari generasi klasik
tradisional Masyarakat Mandar. Solon (638-558SM), Chleisthences (C.508
Membaca Mandar melalui sumber SM) Pericles (490-429 SM) Demosthenes
lokalnya menjadi fair, bukan berarti (385-322) sampai ke generasi selanjutnya
sepenuhnya mempercayai mitos yang Plato, Aristotle, John Milton, John Locke
digambarkan dalam Lontara’, namun apa dan masih banyak lagi filsuf-filusuf yang
yang kemudian tergambar dalam Lontara’ mendukung dan mengkritik demokrasi
merupakan representasi dari gejala sebagai dasar konstitusional sebuah negara.
masyarakat di Masa lalu. Bahwa orang Tidak dapat dinafikan bahwa
Mandar merupakan representasi dari perkembangan gagasan demokrasi sangat
masyarakat agraris dan maritim. Pada pesat terutama di Eropa pada abad
konteks yang demikian, kita tidak pertengahan beriringan dengan per-
menafikan apa yang kemudian ditulis oleh kembangan kapitalisme. Selanjutnya
bangsa Eropa (Belanda) tentang Mandar. perkembangan tersebut merembes ke Timur
karena beberapa sumber-sumber Belanda beriringan dengan ekspansi bangsa barat ke
juga mengacu pada Lontara’. Salah satunya Timur termasuk ke Asia Tenggara.
adalah Memorie Van Overgave yang ditulis Argumen tersebut tentu saja dengan
W.J. Leyds, tulisan tersebut berbicara menggunakan Perspektif bangsa barat
Mandar dan menggunakan sudut pandang bahwa apa yang terjadi di Asia Tenggara
Mandar dengan mangacu pada Lontara’. bahkan di Indonesia merupakan hasil dari
Oleh karenanya dalam studi ini, Pengaruh Bangsa Eropa.
penulis akan banyak menggunakan sumber- Perspektif di atas tentu saja akan
sumber Lontara’ dalam mengidentifikasi bertentang dengan perspektif Indonesia
nilai-nilai demokrasi masyarakat Mandar sendiri. Bahwa, dalam penerapan dan asas-
yang telah tertanam jauh sebelum negara ini asas demokrasi telah ada sebelum bangsa
lahir. Bahwa jiwa ke-Indonesiaan yang kita barat menginjakkan kakinya bahkan
rasakan sekarang merupakan warisan dari membentangkan layar pertama mereka
leluhur kita bukan warisan dari Bangsa menuju Asia Tenggara ataupun Indonesia.
Eropa. Pernyataan Benda dalam Democracy Oleh karena itu, studi ini akan menjawab
in Indonesia, Apa yang terjadi kepada sebuah keresahan penulis bahwa apa yang
Indonesia? jawabannya adalah karena menjadi masa lalu kita bukanlah produk
Belanda. Benda tidak membenarkan bahwa barat, melainkan sebuah produk yang
apa yang terjadi di Indonesia adalah semua diproduksi dari masyarakat kita sendiri.
karena Belanda, namun justru ia ingin Dengan kata lain demokrasi kita adalah
mengungkap bahwa apa yang menjadi hasil pemikiran kita sendiri.
pemahaman kita terhadap Indonesia sebagai Pada kasus Mandar Darmawan Mas’ud
negara jajahan tidak sepenuhnya mewarisi Rahman dengan karya disertasinya yang
apa yang dibawa oleh Bangsa Barat. Salah berjudul Puang dan Daeng Kajian Sistem
satunya adalah jiwa demokrasi. Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar
Meski demokrasi merupakan produk (Rahman, 1988) yang diterbitkan menjadi
dari barat dan dalam studi ini tetap sebuah buku yang berjudul Puang dan
menggunakan istilah tersebut bukan berarti Daeng: Sistem Nilai Budaya Orang
demokrasi yang saya ungkap dalam Balanipa Mandar telah mengkaji Sistem
masyarakat Mandar adalah warisan dari Nilai Budaya Orang Mandar terutama pada
Barat. Seperti kita ketahui bersama bahwa kajian kepemimpinan (Rahman, 2015).
demokrasi produk barat berasal dari Athena Darmawan memaparkan struktur-struktur
yang membentuk polis (negara kota) dan dalam pemerintahan Kerajaan Balanipa
menyebut polis mereka sebagai demokrasi Mandar dengan menawarkan konsep Puang
(Ball, 2013: 18). Selanjutnya demokrasi dan Daeng yang lahir dari nilai Budaya
terus berkembang dan melahirkan tokoh- Kerajaan Balanipa Mandar. Selanjutnya
88
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
Mattulada dalam tulisannya yang berjudul Pemerintah Hindia Belanda akan sangat
Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat berbeda dengan sumber sejarah yang ditulis
Indonesia (Mattulada, 1986). Mengungkap oleh masyarakat lokal dalam bentuk tulisan
bahwa konsep Demokrasi yang kita anut lontara’.
juga bukan sebuah warisan dari barat. Selanjutnya yakni interpretasi, proses
Bahwa asas kerakyatan,musyawarah, ini sangat penting untuk menarik sebuah
mufakat, gotong-royong dsb telah kita fakta yang ditemukan setelah melalui
terapkan jauh sebelum pengaruh bangsa proses kritik. Pada tahap ini penulis
Eropa (Mattulada, 1986: 14). menjawab seluruh permasalahan yang telah
Berpedoman pada dua tulisan di atas, diajukan terutama menyangkut pemerintahan
studi ini akan mengkaji nilai-nilai di Mandar. Membaca proses demokrasi yang
Demokrasi dalam masyarakat Mandar telah ada di Mandar adalah tujuan utama
melalui sistem pemerintahan Kerajaan dari proses ini. Lebih dalam lagi, penulis
Balanipa yang Darmawan Mas’ud dan mengungkap nilai demokrasi yang telah ada
Mattulada belum kaji secara mendalam. di Mandar pada Abad XVI-XVII.
Selanjutnya studi ini akan menjawab Selanjutnya proses historiografi merupakan
pertanyaan-pertanyaan bagaimana praktek- proses terakhir, di mana sejarah dituliskan
praktek demokrasi diterapkan di Mandar? dalam tulisan ilmiah. Sudut pandang
Bagaimana demokrasi itu di terjemahkan Indonesiasentris merupakan tuntutan utama
oleh elit dan masyarakat Mandar? dan proses ini. tujuannya adalah untuk
bagaimana sistem pemerintahan itu menghasilkan tulisan sejarah yang
dijalankan di Mandar pada abad XVI- memandarkan Sejarah Mandar.
XVII?
PEMBAHASAN
METODE Orang Mandar
Studi ini menggunakan metode Orang Mandar dikisahkan dalam
penulisan sejarah yang terdiri dari heuristik, Lontara’’ berasal dari Tomanurung.
kritik, interpretasi dan historiografi. Pongkapadang merupakan keturunan
Pengumpulan sumber (Heuristik) dilakukan tomanurung di langi’. Dikisahkan bahwa
oleh penulis di Arsip Nasional Republik Pongkapadang yang berasal dari Ulu
Indonesia (ANRI). Penulis menemukan Sa’dang yang merupakan daerah
beberapa sumber berupa laporan Belanda pegunungan dan menetap di aliran Sungai
terkait dengan Kerajaan Balanipa. Penulis Sa’dang. Ia melakukan perjalanan
juga menemukan catatan-catatan Belanda di menyusuri aliran Sungai dan sampai di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Bulu Mappa, ia melihat asap yang
(PNRI). Selain itu, Penulis juga menelusuri membumbung tinggi dan menghampiri
sumber-sumber berupa Lontara’ di Balai sumber asap tersebut, ia mengira seseorang
Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. berada di tempat itu. setelah sampai pada
Sumber tersebut merupakan sumber lokal sumber asap tersebut, ia pun bertemu
Mandar yang memberikan kondisi Kerajaan dengan Torije’ne dan kakaknya yang
Balanipa pada abad XVI-XVII. sedang menempuh perjalanan jauh, namun
Proses selanjutnya yakni kritik, penulis berlabuh di daerah itu karena perahunya
memberikan kritik terhadap sumber yang rusak akibat terjangan ombak. Singkat
telah ditemukan. Proses ini penting untuk cerita Pongkapadang dan Torije’ne menikah
menyeleksi dan menarik benang merah dari melahirkan 7 anak. Dan keturunan-
sumber-sumber yang kontradiktif. keturunan Pongkapadang inilah yang
Kontradiktifnya sumber tersebut menjadi raja-raja di Mandar (Leyds, 1940:
disebabkan oleh sudut pandang yang 11).
berbeda saat penulisan sebuah dokumen.
Sumber yang ditulis oleh VOC ataupun
89
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
90
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
91
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
92
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
Passokkorang (Syah, 1991: 10 dan 37). Terlepas dari hubungan Balanipa dan
Kisah yang dituangkan dalam Lontara’’ ini Gowa, lahirnya Kerajaan Balanipa
menunjukkan bahwa masa kekuasaan merupakan awal dari lahirnya sistem
Passokkorang mencapai puncaknya namun pemerintahan Mara’dia. Raja-raja di
tercapainya puncak dari kekuasaan ini Mandar tidak lagi bergelar Tomakaka
berdampak pada kesemena-menaan namun berganti menjadi Mara’dia. Di mana
terhadap kerajaan lain. Selanjutnya I Mara’dia pertama adalah I Manyambungi.
Manyambungi sebagai agensi yang Ia Tidak hanya berperan sebagai agensi
mengubah struktur dalam hal ini dalam kisah ini namun juga sebagai “hero”.
Pemerintahan, di mana sistem pemerintahan Sidney Hook dengan konsep heronya,
tomakaka menjadi struktur yang berhasil yakini sebagai orang yang lahir di tengah-
diubah. tengah kekacauan dan menyelesaikan
Power yang dimiliki oleh agen di masalah yang terjadi (Hook, 1969: 12).
atas cukup kuat karena mampu mengganti Berdasarkan kisah sebelumnya bahwa I
struktur yang ada, bukan hanya mengubah Manyambungi hadir di tengah kekacauan
dan mengganti sistem itu namun yang terjadi di Mandar. Menjadi Hero bagi
membangun sebuah kerajaan yang orang-orang Napo dan menjadi agensi
pengaruhnya sangat besar bagi tatanan dalam perubahan struktur pemerintahan
kehidupan politik di Mandar. Hadirnya I Tomakaka di Mandar bahkan membentuk
Manyambungi pada akhirnya mengalahkan kerajaan baru dengan sistem yang baru
Kerajaan Passokkorang dengan pula. Dengan kerajaan baru dan sistem
menggunakan sebuah tombak yang yang baru ini menjadikan Kerajaan
bernama I Naga, membawa gong kebesaran Balanipa sebagai Kerajaan terbesar di
Kerajaan Gowa dan sebuah bedil (Syah, Mandar saat itu.
1991: 10). Menarik, yang kemudian
menjadi perhatian besar adalah Kerajaan Membaca Nilai-Nilai Demokrasi di
Gowa yang sering disebut-sebut dalam Mandar
Lontara’’ Mandar bahkan sangat diagung- Terbentuknya Kerajaan Balanipa
agungkan, dan apabila dilihat dari kisahya, memberikan dampak yang sangat signifikan
Gowa mempunyai peran yang sangat di wilayah Mandar. salah satu langkah
penting dalam perkembangan politik pembaharuan yang dilakukan oleh I
pemerintahan di Mandar saat itu. jelas, I Manyambungi Sebagai Raja Pertama
Manyambungi menjadi agen dan membentuk Sistem pemerintahan. Sebagai
mempunya power yang kuat tak lepas dari seorang raja ia membentuk banua kaeang.
pengaruh Kerajaan Gowa. Ini bermakna terdiri dari dua kata yakni banua berarti
bahwa Kerajaan Gowa memiliki kuasa rumah dan kaeang berarti besar jadi apabila
dalam meligitimasi Mandar. Terlihat dari kedua kata ini berada dalam satu frase maka
hanya satu orang yang dibimbing oleh akan memiliki arti rumah besar. Rumah
Kerajaan Gowa dalam hal ini I besar yang dimaksudkan disini bukanlah
Manyambungi. Hanya satu orang yang rumah secara harfiah namun merupakan
mewakili Kerajaan Gowa, meski I suatu wilayah di mana wilayah ini
Manyambungi sendiri berdarah Orang merupakan wilayah Kerajaan Balanipa yang
Mandar. Ia bisa mengalahkan dominasi memiliki pengaruh dan legitimasi kuat.
Passokkorang bahkan membentuk Wilayah-wilayah yang dimaksud yakni,
hegemoni baru dalam tatanan masyarakat banua kaeang Napo, banua kaeang
Mandar saat itu. Kisah itu juga Samasundu, banua kaeang Mosso dan
menunjukkan bahwa Pertalian antara banua kaeang Todang-todang. Keempat
Kerajaan Gowa dan Mandar memang tidak Banua tersebut dikenal dengan istilah
pernah putus dalam Lontara’’ terutama sebagai Appe’ Banua Kaiyyang (empat
dengan Kerajaan Balanipa. wilayah besar) (Mandra, 1991: 108).
93
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
94
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
bukan orang yang akan menyayangi negeri dengan menyerang kerajaan tersebut namun
kalau tutur katanya tidak senonoh, kalau pasukan yang ikut serta dengan Daeng
tingkah lakunya kaku dan kasar sebab Rioso hanya pengawal Pribadinya, orang
orang seperti itulah yang akan Balanipa tidak ikut serta (Syah, 1992: 11).
menghancurkan negeri (Yasil, 2012: 25-
Sikap tegas dari rakyat Balanipa tidak
26)
ingin mendukung Raja yang ingin merebut
istri seseorang. Di mana tindakan tersebut
Pesan ini kemudian menguatkan bahwa
merupakan tindakan yang tidak terpuji.
seorang pemimpin di Kerajaan Balanipa
Rakyat tidak mendapat tekanan dari
bisa siapa saja yang memenuhi kriteria yang
mara’dia bahkan ia hanya berangkat
telah dijabarkan sebelumnya. Artinya setiap
bersama pengawal pribadinya. Dan pada
warga masyarakat berhak untuk menjadi
akhirnya mara’dia Daeng Rioso diturunkan
seorang pemimpin. Jiwa demokrasi juga
dari jabatannya oleh Hadat Balanipa atas
nampak dalam sistem pemerintahan
persetujuan rakyat Kerajaan Balanipa
Kerajaan Balanipa dengan melihat kondisi
karena telah melakukan tindakan yang tidak
Kerajaan. Kondisi tersebut sebagai berikut:
terpuji (Syah, 1992: 10-13).
1. Hasil laut tidak ada lagi atau jarang
Selain syarat-syarat untuk mengangkat
2. Hasil pangan tidak ada lagi atau jarang
ataupun menurunkan jabatan seorang raja,
3. Tidak ada lagi orang yang berani
jiwa Demokrasi yang terpenting dalam
berbicara tentang kebenaran, karena
sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa
dilarang bicara oleh penguasa walaupun
yakni adanya Lembaga Hadat. Seperti yang
berbicara tentang kebenaran
telah disebutkan sebelumnya bahwa Appe’
4. Buah-buahan tidak jadi atau jarang
Banua Kaiyyang merupakan representasi
ditemukan.
Lembaga Hadat yang mempunyai
5. Gunung-gunung tandus dan tidak
legitimasi tertentu namun Perlu diketahui
membuahkan hasil
bahwa Banua yang dimaksud disini adalah
6. Terjadi kemarau panjang
wilayah yang dulunya merupakan wilayah
7. Rakyat terancam kelaparan (Mandra,
yang memakai sistem pemerintahan
1990: 116; Yasil, 2012: 17-18).
Tomakaka. Pembentukan lembaga baru
Poin ke tiga merupakan jiwa yang dilakukan oleh Tomepayung (Raja
demokrasi berupa penekanan terhadap Ke-2 Kerajaan Balanipa), agaknya
posisi seorang pemimpin dan bagaimana merupakan usaha untuk menghilangkan
pemerintahan itu dijalankan dengan kata “aroma” Tomakaka di Mandar ataupun
lain bahwa seorang penguasa tidak lagi merupakan usaha untuk merangkul keempat
memiliki kuasa untuk bersikap otoriter wilayah ini menjadi dalam satu kesatuan
terhadap rakyatnya. Apabila seorang raja politik dalam wadah Kerajaan Balanipa.
memberikan batasan kepada rakyatnya Dengan kata lain memberikan jabatan
untuk menyuarakan kebenaran maka raja sebagai badan lembaga yang berhak
tersebut patut untuk diturunkan dari mengangkat Mara’dia (raja) Tomakaka
jabatannya. Secara keseluruhan, gambaran tidak serta merta hilang setelah munculnya
kondisi kerajaan di atas merepresentasikan Mara’dia, namun direproduksi menjadi
kondisi rakyat yang tidak sejahtera dan bentuk yang baru tanpa melepaskan
pemerintahan yang bersifat otoriter. Seperti statusnya sebagai bangsawan.
yang di ungkap oleh Aristoteles bahwa Tidak hanya sampai disitu,
setiap warga negara harus mempunyai Tomepayung menjadi pelopor dari
kesamaan (Diane, 2005: 13). terbentuknya persekutuan antar kerajaan-
Sebuah kisah dalam Lontar kerajaan besar di Mandar, Pitu Ba’bana
Patodioloang seorang mara’dia yakni Binanga. Persekutuan ini sangat berdampak
Daeng Riosok ingin memperistri permaisuri pada kerjasama antar anggotanya yakni
Raja Kerajaan Pamboang. Ia memaksa Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang,
95
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Mamuju, Tappalang dan Binuang. Pada kapal dagang Belanda (Arsip Nasional,
masa ini, gelar Mara’dia tidak hanya 1850).
menjadi sebuah gelar yang disematkan pada Terlepas dari kedatangan pemerintah
Kerajaan Balanipa namun seluruh kerajaan- Kolonial Belanda di Mandar, secara
kerajaan termasuk 7 kerjaan besar ini wajib struktural dalam hal ini pemerintahan
menggunakan gelar ini, menggantikan gelar Belanda tidak membawa dampak yang
sebelumnya yakni Tomakaka. Nampak signifikan kecuali pada abad XIX setelah
bahwa dominasi kuasa dari Kerajaan penandatanganan kontrak antara Kerajaan
Balanipa pada masa ini sangat kuat, Semua Balanipa dan Pemerintah Kolonial Belanda.
kerajaan harus tunduk pada pemerintahan Meskipun seiring berjlannya waktu, sistem
Balanipa. terlebih lagi dalam konfederasi pemerintahan Kerajaan Balanipa (Mandar)
tersebut yang menjadi “bapak” (pemimpin) diganti oleh sistem pemerintahan Kolonial.
adalah Balanipa. Dengan kata lain bahwa pemerintah
Balanipa sebagai pemimpin (wakil) Kolonialah yang “meredupkan” jiwa
dari seluruh kerjaan-kerajaan di Mandar demokrasi yang ada di Mandar.
tidak hanya dibuktikan dengan sumber- Jiwa Demokrasi yang dimaksud dalam
sumber berupa Lontara’’ namun sumber- sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa
Sumber Belanda kolek Arsip Nasional yakni musyawarah untuk mencapai
senada dengan hal tersebut. Nampak pada mufakat. Bahwa poin ini menjadi sangat
salah satu dokumen penandatanganan penting dalam berdemokrasi. Seperti yang
kontrak antara Balanipa (wakil Mandar) kita ketahui bersama bahwa Asas terpenting
dengan pihak Belanda pada tanggal 30 Mei dari Demokrasi adalah kebebasan
1850 (Arsip Nasional, 1850). Berdasarkan berpendapat. Seperti yang telah dipaparkan
pembacaan arsip yang dilakukan, perjanjian sebelumnya bahwa seorang pemimpin tidak
ini adalah kontrak pertama yang dilakukan mempunyai legitimasi untuk memberikan
oleh Kerajaan Balanipa sebagai wakil larangan kepada rakyat yang ingin berkata
Mandar dengan pihak pemerintah kolonial kebenaran. Selain itu, dalam pengambilan
Belanda. Beberapa isi dari perjanjian keputusan di Kerajaan Balanipa, selalu
tersebut menyatakan bahwa kerajaan menggunakan musyawarah sebagai cara
Balanipa adalah bagian dari Pemerintah untuk mengambil keputusan terutama
Kolonial Hindia Belanda. Kalimat ini bisa keputusan yang menyangkut kepentingan
saja mengindikasikan bahwa Belanda telah Federasi Kerajaan Mandar yang terkenal
menguasai Mandar, karena Balanipa telah dengan nama Pitu Ba’bana Binanga.
merupakan bagian dari pemerintah kolonial
Belanda. Pitu Ba’bana Binanga: Simbol Demokrasi
Namun berdasarkan sumber-sumber Mandar
Pemerintah Kolonial Belanda memang Apabila Edward Poelinggomang
sering kali menggunakan kalimat ini dalam menyebut periode Kemandaran sebagai
kontrak-kontraknya tetapi tidak bermakna periode bangkitnya mandar dengan
bahwa Belanda telah merebut kekuasaan terbentuknya Kerajaan Balanipa, maka pada
pada daerah itu. Pada tahun tersebut periode terbentuknya Konfederasi Pitu
memang Belanda sudah mulai memperluas Ba’bana Binanga disebut sebagai Periode
wilayah perdagangannya sehingga yang Amara’diang (Darmawan Mas’ud).
dipermasalahkan dalam kontrak ini adalah Konfederasi Tujuh Kerajaan Pesisir (pitu
seringkalinya kapal dagang Belanda dibajak ba’bana binanga) merupakan nama federasi
oleh perompak disekitar wilayah Kerajaan ini. Dibentuk oleh Tomepayung (raja ke-2
Balanipa (Mandar) oleh karena itu Balanipa Kerajaan Balanipa). Konfederasi ini
sebagai wakil Mandar diberikan hadiah dibentuk setelah serangan yang dilakukan
sebagai imbalan atas pengamanan kapal- oleh Tomepayung atas Kerajaan
Passokkorang, dikisahkan dalam Lontara’
96
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
97
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
98
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
99
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
100
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim
Hook Sidney. The Hero in History, 1969. 1949) .Ujung Pandang : Yayasan
Boston: Beacon Pers. Kebudayaan Mandar Rewata Rio.
Idham dkk. 2010. Sejarah Perjuangan Sinrang Syaiful. 1994. Mengenal Mandar
Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Sekilas Lintas. Group “Tipalayo”
Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Polemaju Mandar.
Sulawesi Barat. Priyadi Sugeng. 2015. Historiografi
Kartodirdjo, S., 2014. Pemikiran Dan Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Perkembangan Historiografi Syah, Tanawali Aziz. 1980/1981. I Calo
Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Ammana I Wewang Topole di Balitung
Madjid, M. Saleh dan Abd. Rahman Hamid. Pahlawan Daerah Mandar Sulawesi
2007. Pengantar Ilmu Sejarah. Selatan. Ujung Pandang: Pemda T.K.
Makassar: Jurusan Pendidikan Sejarah I. Prop. Sulsel.
Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Syah, Tanawali Aziz. 1997. Sejarah
Universitas Negeri Makassar. Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid
Mandra A M. 1990. Mandar dan Bone I, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang :
dalam Lontar Mandar. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang.
Mandra A M. 2002. Sejarah Perjuangan Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah
Kemerdekaan Bangsa di Mandar. Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid
Majene: Pemerintah Daerah II, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang :
Kab.Majene. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang.
Mappangara Suardi. 2004. Ensiklopedia Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah
Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid
Tahun 1905. Dinas Kebudayaan dan III, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang:
Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang.
Mattulada, 1986. Demokrasi dalam Tradisi
Masyarakat Indonesia. Dalam: Jurnal
Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: Benda, H. J., 1964. Democracy in
LP3ES, pp. 3-15. Indonesia. The Journal of Asian
Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Studies, pp. 449-456.
Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Feith, H., 1965. History, Theory, and
Pandang : Universitas Hasanuddin Indonesian Politics: A Reply to Harry
Press. J. Benda. The Journal of Asian Studies,
Munoz Paul Michel. Kerajaan-Kerajaan pp. 305-312.
Awal Kepulauan Indonesia dan
Semenanjung Malaysia. Yogyakarta :
Mitra Abadi.
Palenggomang Edwar L. 2012. Sejarah dan
Budaya Sulawesi Barat. Makassar: De
La Macca.
Sahuding. 2004. Pitu Ulunna Salu dalam
Imperium Sejarah. Makassar: Selatan
Jaya.
Sinrang Syaiful. 1994. Mengenal Mandar
Sekilas Lintas ”Perjuangan Rakyat
Mandar Melawan Belanda (1667-
101
PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF
BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN
BANTAENG (STUDI KASUS DESA BONTO JAI, KECAMATAN BISSAPU)
THE UTILIZATION OF AQUATIC BIOLOGICAL RESOURCES: PROSPECTIVE OF
SEAWEED DEVELOPMENT IN THE COASTAL AREA OF BANTAENG REGENCY
(CASE STUDY IN THE TOWNSHIP OF BONTO JAI, BISSAPU DISTRCT)
ABSTRACT
This research examines social structural change, both in the forms of production, technology, and
organization, along with the accompanying impact on the socio-economic lives of the population. The
development of the seaweed industry has also affected an aspect of the socio-cultural and economic
lives of the community. The research took place in the regency of Bantaeng, in the township of Bonto
Jai in the Bissapu district. The research method employed is field research, including observation,
documentation, and interviews, along with the data analysis technique of data reduction, presentation,
and conclusion. In its development, seaweed farmers have come to dominate the scene of community
activity on the beaches of the Bantaeng regency in general, and especially in the Bonto Jai township.
The development of the seaweed industry carries the potential to improve the economic standing of
farmers in the Bonto Jai township. The seaweed industry is more profitable than the previous
profession of these workers, namely as fishermen. One very interesting element in the development of
the seaweed industry is the inclusion of women in the labor force.
Key words: Fishermen, Seaweed, social, Resource development.
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang perubahan struktur sosial baik itu bentuk-bentuk produksi, teknologi
dan kelembagaan serta dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Budi daya rumput laut
juga telah mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan
di Bantaeng, tepatnya di Desa Bonto Jai Kecamatan Bissappu. Teknik pengumpulan data diperoleh
dengan penelitian lapangan yang mencakup observasi, dokumentasi, dan wawancara, Adapun teknik
analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam perkembangannya
pembudi daya rumput laut telah menjadi primadona bagi aktivitas masyarakat pesisir pantai
Kabupaten Bantaeng pada umumnya dan Desa Bonto Jai pada khususnya. Budi daya rumput laut
mempunyai peluang untuk meningkatkan pendapatan petani di Desa Bonto Jai. Budi daya rumput laut
lebih menguntungkan dibanding dengan pendapatan profesi sebelumnya yakni sebagai nelayan. Satu
hal yang sangat menarik dari kegiatan budi daya rumput laut ini, dengan keterlibatan kaum wanita
yang turut mengambil bagian sebagai tenaga kerja.
Kata Kunci: Nelayan, Rumput laut, sosial, Pembudidayaan.
102
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
103
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
104
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
sekolah sedang memberikan pengarahan petani rumput laut) atau dalam suatu
(Nana S, 2009: 220). Jadi, observasi kelompok (dalam hal ini kelompok petani
merupakan penelitian yang dilakukan rumput laut, pemerintah, dan lembaga
secara sistematis dan sengaja dilakukan swadaya masyarakat), yang mungkin sangat
dengan menggunakan indra penglihatan berarti untuk memahami dinamika sosial
untuk melihat kejadian yang berlangsung dari kelompoknya, demikian pula faktor-
serta langsung menganalisis kejadian faktor penyebab integrasi (Vredenbregt,
tersebut langsung pada waktu kejadian itu 1983:42).
berlangsung di Desa Bonto Jai Kecamatan Metode analisis utama yang
Bissappu, Bantaeng. digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif yang analitiknya
3. Dokumentasi
melalui penafsiran dan pemahaman.
Dokumentasi adalah setiap bahan Pengertiaan kualitatif di sini bermakna
tertulis ataupun film, sedangkan record bahwa data yang disajikan berwujud kata-
adalah setiap pernyataan tertulis yang kata ke dalam bentuk teks yang diperluas
disusun oleh seseorang atau lembaga untuk bukan angka-angka (Miles dan Huberman,
keperluan pengujian suatu peristiwa atau 1992).
menyajikan akunting (Moleong, 2011: 216).
Teknik dokumentasi adalah teknik PEMBAHASAN
pengumpulan data dengan menghimpun dan
menganalisis dokumen-dokumen, baik Lokasi dan Keadaan Geografis
tertulis, gambar, maupun elekronik. Kabupaten Bantaeng terdiri dari
Peran peneliti dalam melakukan daratan seluas 395,83 Km2 dan lautan
observasi bersifat sebagai “orang dalam” seluas 144 Km2, terbagi menjadi 8 wilayah
(an insider‟s perspective), di mana peneliti kecamatan, 67 kelurahan dan desa. Tiga
melakukan observasi dan berinteraksi kecamatan di antaranya terletak di wilayah
secara cukup dekat dengan para anggota pesisir pantai, yakni Kecamatan Bissapu,
kelompok untuk menciptakan identitas baru Kecamatan Bantaeng, dan Kecamatan
sebagai “orang dalam” (insider‟s identity), Pakjukukang dengan panjang garis pantai
tanpa perlu berpartisipasi dalam aktivitas kurang lebih 21,5 Km. Dalam penelitian ini,
utama kelompok karena sudah menjadi wilayah yang menjadi kajian adalah
anggota penuh kelompok masyarakatnya wilayah pesisir di Kecamatan Bissapu
sendiri. Dalam hal peneliti bisa mengambil tepatnya di Desa Bonto Jai.
sikap, baik terbuka maupun tertutup (Adler Desa Bonto Jai yang berlokasi di
dan Adler, 2009:526-527). daerah tepi pantai, secara geografis jarak
Berdasarkan tujuan penelitian yang dari ibukota Pemerintahan Kecamatan
dikemukakan sebelumnya, teknik utama Bissapu sekitar 3 km dan jarak dari ibukota
yang digunakan dalam pengumpulan kabupaten kurang lebih 8 Km. Jika
informasi di lapangan ialah wawancara menggunakan kendaraan bermotor, jarak
mendalam (indepth interview) atau tempuh ke kota kecamatan sekitar 10 menit,
wawancara tak terstruktur (unstructured dan sekitar 20 menit menuju ibu kota
interview). Dengan wawancara tak kabupaten. Luas wilayah Desa Bonto Jai
terstruktur maka peneliti dapat memahami kurang lebih 363 Ha2 dengan batas wilayah
kompleksitas perilaku anggota masyarakat sebagai berikut; sebelah baratnya
tanpa adanya kageori a priori yang dapat berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto
membatasi kekayaan data yang dapat kita dan Kelurahan Bonto Langkasa, pada
peroleh (Fontana dan Frey, 2009:508), sebelah selatannya berbatasan dengan Laut
dengan kata lain dapat menyoroti kejadian- Flores, sebelah utaranya berbatasan dengan
kejadian dalam kehidupan seorang Kelurahan Bonto Manai dan Kelurahan
responden (dalam hal ini rumah tangga Bonto Lebang, dan sebelah timurnya
105
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
106
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
mahalnya harga bahan bakar minyak semakin baik dan berkembang di Bonto Jai
(BBM) yang digunakan untuk mencari hasil maka banyak masyarakat pesisir pantai
laut. mulai tertarik untuk membudidayakan
Desa yang pertama kali rumput laut dengan mengambil bibit di
membudidayakan rumput laut adalah Desa daerah sekitarnya. Salah satu faktor yang
Bonto Jai, Kecamatan Bissapu yang mendorong komunitas nelayan di Desa
kemudian diikuti oleh desa-desa lainnya ini Bonto Jai beralih menjadi petani pembudi
dijelaskan oleh salah satu tokoh masyarakat daya rumput laut sampai saat ini adalah; (1)
yang ada di Desa Bonto Jai ini. Hal ihwal harga hasil panen rumput laut relatif baik;
asal mula budidaya rumput laut di (2) rumput laut mudah dibudidayakan; (3)
Kabupaten Bantaeng tepat di Desa Bonto rumput laut mudah dijual dan komoditi
Jai, yakni dari seorang yang bernama Amir ekspor; (3) waktu tanam yang hanya 35-45
A Mappawali salah seorang staf pegawai hari; (4) lahan yang akan dipakai tersedia;
Bappeda, yang memberikan penyuluhan (5) memiliki daya jual yang tinggi; dan (6)
dan informasi sekaligus melakukan uji coba jiwa tidak terlalu terancam dan bisa
budi daya. Selain itu beralihnya masyarakat menghabiskan banyak waktu dengan
nelayan ke petani rumput laut adalah keluarga.
dengan cara memperoleh informasi dari Disamping itu, tidak terlalu terikat
sesama pembudidaya rumput laut itu lagi dengan bentuk-bentuk ritual yang harus
sendiri, di samping ada juga yang dilakukan seperti ketika masih sebagai
mendapatkan informasi melalui penyuluh nelayan dimana ketika hendak mencari ikan
dinas perikanan dan kelautan Kabupaten di laut atau hendak berlayar. Karena
Bantaeng. Pada awalnya, bibit rumput laut semuanya sudah logis dengan melihat
diambil dari daerah Nazarah Kabupaten kondisi alam. Bagaimana perkiraan cuaca
Jeneponto, namun selanjutnya dilakukan serta bibit yang digunakan, Ujar Malik
pembibitan di desa Bonto Jai atau di desa- salah seorang pembudi daya.
desa tetangga sekitarnya.
Aktivitas Budi Daya Rumput Laut
Kehadiran rumput laut di Kabupaten
Nelayan Pesisir
Bantaeng disambut baik oleh masyarakat
setempat dengan mengikuti penyuluhan dan Produktivitas seseorang dapat dilihat
informasi mengenai budidaya rumput laut. dari beberapa faktor, di antaranya adalah
Hal inilah yang memberikan banyak umur, tingkat pendidikan, tanggungan
perubahan dalam banyak hal terhadap keluarga, dan pengalaman. Umur sangat
masyarakat terutama yang ada di Desa mempengaruhi kemampuan fisik seseorang,
Bonto Jai. Karena dalam membudidayakan kesehatan mental, dan spiritual dalam
rumput laut tidak terlalu membutuhkan melakukan aktivitas. Bagi seorang nelayan
waktu yang lama seperti baik ketika bertani yang masih dapat digolongkan usia
ladang atau sawah maupun sebagai nelayan produktif, yaitu antara usia 15 sampai
tangkap karena dalam jangka waktu tanam dengan 64 tahun. Pada umur-umur seperti
rumput laut sampai panennya tidak terlalu ini, selain kemampuan produktivitasnya
lama, hanya membutuhkan waktu sekitar 40 masih tinggi, juga lebih mudah untuk
sampai dengan 45 hari sudah dapat dipanen menerima inovasi baru. Sebaliknya, bagi
dan dikeringkan selama 5 hari kemudian nelayan yang telah berusia 65 tahun ke atas
dijual. merupakan usia tidak produktif lagi,
Demikian pula dengan sistem kemampuan kerjanya sudah semakin
pemasarannya juga tidak terlalu merepotkan menurun.
karena pedagang sendiri yang mendatangi Adapun tingkat usia nelayan alam
petani untuk membeli hasil panen para usaha pembudidayaan rumput laut di Desa
petani rumput laut dengan harga yang Bonto Jai mempunyai komposisi yang
bersaing. Ketika budi daya rumput laut bervariasi merentang dari usia 20 sampai
107
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
dengan 59 tahun. Demikian pula dengan Pengelolaan Wilayah Budi Daya Rumput
tingkat pendidikan petani rumput laut, Laut Desa Bonto Jai
dimana keberadaan pendidikan adalah salah
satu faktor yang berpengaruh pada faktor Keberhasilan budi daya rumput laut
kemampuan sikap dan perilaku dengan pemilihan lokasi yang tepat
nelayan/petani dalam memahami program, merupakan salah satu faktor penentu.
tingkat penyerapan teknologi dan dan hal- (Mubarak, 1991). Pemilihan lokasi budi
hal yang sifatnya baru, sangat daya rumput laut merupakan salah satu hal
mempengaruhi oleh tingkat pendidikan. yang perlu diperhatikan. Pemilihan lokasi
Pendidikan juga merupakan salah satu pesisir pantai yang tidak tercemar sampah
sarana yang tepat bagi masyarakat untuk industri, limbah rumah tangga dan lainnya
mendapatkan bekal berupa ilmu yang dapat meningkatkan kekeruhan air
pengetahuan dan keterampilan yang karena kondisi tersebut dikhawatirkan dapat
dibutuhkan dalam dunia kerja. Dengan menurunkan kualitas air laut, yang pada
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya akan menurunkan daya dukung
(keterampilan) maka masyarakat akan lingkungan terhadap perkembangan rumput
mampu mengaktualisasikan seluruh daya laut yang dikembangkan.
budi yang terdapat dalam dirinya agar lebih Wilayah perairan pesisir Desa Bonto
produktif. Sehingga setiap anggota Jai, berdasarkan hasil pengamatan secara
masyarakat akan ikut ambil bagian dalam umum dapat dikatakan cukup memenuhi
upaya meningkatkan taraf kehidupannya, syarat untuk pertumbuhan rumput laut,
baik secara individual maupun kelompok meskipun berhadapan langsung dengan
masyarakatnya secara umum. Laut Flores, sehingga pada bulan Desember
Berdasarkan tanggungan anggota sampai dengan Februari ombak cukup
keluarga, keberadaan anggota keluarga besar. Hal tersebut terbukti semakin
merupakan semua orang-orang yang berkembangnya usaha budi daya rumput
terdapat dalam sebuah rumah tangga yang laut di desa tersebut.
terdiri atas suami, isteri, dan anak-anaknya, Selain itu kondisi pesisir pantai yang
serta ditambah lagi kerabat atau keluarga ada di Desa Bonto Jai masih bersih dan jauh
dekat lainnya yang tinggal di dalam satu dari pencemaran sehingga mendukung
rumah dan menjadi tanggungan kepala untuk berkembangnya pembudidayaan
rumah tangga. Jumlah anggota keluarga rumput laut. Selain itu, lokasi harus
sangat berpengaruh terhadap aktivitas sosial terhindar dari angin kencang dan
dan ekonomis sebuah keluarga. Karena gelombang besar, karena dapat merusak
semakin besar jumlah tanggungan, berarti rumput laut yang dibudidayakan.
semakin besar pula pengeluaran. Mengingat makanan rumput laut berasal
Pengalaman pembudi daya dalam dari aliran air yang melewatinya, gerakan
mengelola usaha rumput laut merupakan air yang cukup harus diperhatikan karena
salah satu faktor yang dapat menentukan selain dapat membawa nutrisi juga dapat
keberhasilan mereka dalam mengelola mencuci kotoran yang menempel,
usahanya. Hal ini terkait dengan banyaknya membantu pengudaraan, dan mencegah
pengalaman yang dialami pembudi daya, fluktuasi suhu air yang besar.
sehingga ia dapat melakukan upaya-upaya Suhu yang baik sekitar 20-28oC,
atau menerapkan cara/metode budi daya besarnya kecepatan arus antara 20-40
yang lebih baik untuk mendapatkan hasil cm/detik dan kecerahan perairan lebih dari
yang lebih menguntungkan. 1 meter di atas permukaan air. Persyaratan
tersebut sangat penting diperhatikan, agar
rumput laut masih mendapat panetrasi sinar
matahari yang sangat berguna untuk sumber
energi dalam proses fotosintesis.
108
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
109
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
penyuluh. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil keterlibatan perempuan sangatlah berperan
penelitian diketahui bahwa umumnya besar.
pembudi daya mendapatkan informasi cara Dalam proses mengikat pelampung
membudidayakan rumput laut dari sesama pada bentangan yang merupakan salah satu
pembudi daya. Sebagaian besar petani proses produksi di Desa Bonto Jai terlihat
pembudi daya mengetahui cara-cara budi bahwa semua anggota keluarga ikut terlibat
daya rumput laut dari petambak lainnya dan dalam proses ini yang biasanya dikerjakan
yang lainnya mendapatkan informasi dari secara berkelompok dibawah rumah
kelompok dan penyuluh dinas kelautan dan panggung pemilik lahan atau di tempat-
perikanan. Hal ini menunjukkan rendahnya tempat lainnya.
intensitas kunjungan penyuluh untuk Adanya responden perempuan yang
memberikan pengetahuan kepada pembudi terlibat dalam proses mengikat pelampung
daya terkait pengelolaan usaha rumput laut. karena didasarkan pada keahlian mereka
Selain pemilihan lokasi yang tepat dalam mengikat pelampung pada tali
untuk pembudidayaan rumput laut maka bentangan. Dalam hal mengikat bibit
keberadaan kualitas bibit juga sangat keterlibatan perempuan justru sangat
menentukan kwalitas rumput laut. Bibit dominan. Peran perempuan dalam hal ini
dapat diukur dari beberapa indiaktor yaitu sangat sentral. Hampir pada umumnya
memiliki kandungan karaginan yang cukup tenaga kerja yang terlibat dalam
dan kebersihan hasil rumput laut. Menurut mempersiapkan bibit rumput laut dan
Ditjen Budidaya Tahun 2005, Kualitas bibit mengikat bibit rumput laut pada tali
yang baik apabila bentuk thallus besar, bentangan yang dihargai sebesar Rp1.500,-
memiliki kandungan karaginan diatas 70% (seribu lima ratus rupiah).-perbentangan
dan kotoran maksimal 5 %. dilakukan sepenuhnya oleh tenaga kerja
Awal mula keberadaan perempuan dan anak anak. Bahkan ada
pembudidayaan rumput laut di Desa Bonto persepsi yang mengatakan bahwa
Jai dengan cara masing-masing nelayan perempuan lebih teliti, rapih, dan lebih
mengkapling lahan dan sebagiannya lagi cepat dibandingkan dengan laki laki yang
terpaksa harus membeli lahan yang terlebih ceroboh dalam hal bekerja.
dahulu telah dikapling nelayan sebelumnya. Jumlah bentangan adalah banyaknya
Sementara, untuk modal penanaman dan jumlah bibit yang diikat pada tali bentangan
pembuatan peralatan usaha dan pembibitan yang dikerjakan perempuan pembudi daya
budi daya rumput laut masing-masing dari rumput laut. Dimana jumlah bentangan
pembudi daya sendiri. sangat ditentukan oleh kemampuan para
Jenis bibit yang dikembangkan di perempuan pembudi daya, baik itu dari segi
Desa Bonto Jai adalah Eucheuma cottonii. finansial, waktu, maupun dari kemampuan
Pada umumnya pembudi daya rumput laut fisik untuk mencapai jumlah bentangan
di Desa Bonto Jai memproduksi sendiri yang diikat. Semakin banyak jumlah
bibit rumput lautnya yang akan ditanam, bentangan yang diikat, semakin besar
kecuali pada saat awal kegiatan rumput tenaga kerja dan tenaga yang digunakan.
laut. Pada awal kegiatan budi daya rumput Umumnya pembudi daya yang
laut diperoleh dan didatangkan dari terdapat di Desa Bonto Jai memiliki
beberapa daerah yang menjadi setral bentangan antara 200 sampai dengan 300
produksi rumput laut di Sulawesi Selatan bentangan bahkan bias lebih. Hal tersebut
dan biasanya bibit yang digunakan berumur selain dipengaruhi oleh luas lahan yang
kurang lebih 30 hari. Demikian halnya pada dimilikinya juga ada kaitannya dengan
proses membuat bentangan biasa dilakukan kegiatan pascapanen.
sepenuhnya oleh tenaga kerja perempuan Berdasarkan keterangan diatas, dapat
dan anak-anak. Hal ini menggambarkan ditarik kesimpulan bahwa proses kegiatan
bahwa pada proses pembuatan bentangan mengikat bibit pada tali bentangan di Desa
110
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
Bonto Jai didominasi kaum perempuan dan 25m ditempatkan pelampung besar dan
anak-anak. Hal ini dapat disimpulkan pada jarak 5 meter 5 meter ditetapkan
bahwa kaum perempuan lebih berperan pelampung botol aqua atau sejenisnya
pada proses mengikat bibit dan biasa untuk mempermudah pergerakan tanaman
dikerjakan secara berkelompok di bawah setiap saat. Metode ini termasuk yang
rumah panggung atau pekarangan rumah paling banyak digunakan karena biaya
yang disediakan oleh pemilik lahan murah dan dapat diatur luasan area budi
(pembudi daya). kegiatan ini biasanya dayanya.
dilakukan oleh kaum perempuan bersama Budi daya rumput laut dapat
anak-anaknya dalam suasana penuh dikatakan sebagai usaha budi daya yang
kekerabatan. sebagian besar pemeliharaannya diserahkan
Meskipun kaum perempuan telah oleh alam. Oleh karena itu, kerusakan atau
mengambil kedudukan dan peranan yang kegagalan yang terjadi pada budi daya
cukup strategis dalam kelangsungan rumput laut sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas budi daya rumput laut di Desa kekuatan alam yang tidak terduga. Untuk
Bonto Jai, hal yang harus mendapatkan menjamin kebersihan budi daya harus
perhatian bahwa kapasitas dari pengetahuan dilakukan perawatan selama masa
mereka untuk mengikat bibit tidak pertumbuhannya. Apabila ada kerusakan
sepenuhnya dapat menunjang akan kualitas patok, ris, dan tali ris utama harus segera
hasil budi daya produksi rumput laut. diperbaiki dan perawatan dilakukan baik
Kondisi ini disebabkan oleh karena pada ombak besar maupun pada aliran laut
pengetahuan mengikat bibit hanya tenang. Kotoran atau sampah yang melekat
diperoleh dari pengetahuan lokal pada tanaman harus segera dibersihkan.
berdasarkan pengalaman yang dilakukan Menurut Subhan dalam usaha budi
selama ini. Berikut penuturan seorang daya rumput laut ini, yang harus
informan sebagai berikut; diperhatikan pembudi daya adalah hama
„‟...Kita disini Cuma mengikat bibit saja, dan penyakit. Berdasarkan hasil informasi
tidak tahu melihat bibit yang layak....hanya bahwa penyakit yang sering muncul adalah
berdasarkan pengalaman saja, dan melihat ice-ice sehingga menyebabkan tanaman
dari warnanya, apabila terdapat warna tampak memutih. Hal tersebut disebabkan
yang sudah kuning kita tidak ikat......” terjadinya perubahan lingkungan yang
ekstrim dimana arus, suhu, dan kecerahan
Fakta ini tentunya akan sehingga memudahkan bakteri hidup.
mempengaruhi proses budi daya rumput Organisme pengganggu lainnya yang
laut dari segi pertumbuhan maupun kualitas harus diantisipasi pembudi daya tanaman
produksi. Menurut Anggadireja (2006) baik rumput laut, adalah seperti bulu babi, ikan-
kuantitas maupun kualitas hasil produksi ikan herbivor, binatang laut, dan penyu
rumput laut sangat ditentukan dari aktivitas hijau. Salah satu cara untuk mengatasinya
pra produksi khususnya pada pengikatan dengan pemagaran di sekeliling tanaman
dan pemilihan bibit yang diikatkan pada tali dengan jaring (Aslan, 1998)
bentangan dan durasi waktu yang Lama masa pemeliharaan pada
diperhitungkan ketika harus umumnya sudah diketahui pembudi daya.
membentangkan di area budi daya. Hal ini disebabkan pengalaman sebelumnya
Metode budi daya rumput laut yang saat petambak panen lebih awal atau kurang
telah umum dikenal di Desa Bonto Jai dari 40 hari hasilnya kurang baik dan
adalah menggunakan dengan metode long dikhawatirkan tidak akan dibeli dengan
line (tali panjang), digunakan tali panjang harga yang berlaku secara umum.
(dapat mencapai 50-100 M). Dimana pada Pengetahuan petambak tentang masa panen
kedua ujungnya dikaitkan dengan juga telah disosialisasikan ke petambak
pelampung besar dan jangkar. Pada jarak melalui petugas penyuluh. Bahkan saat ini
111
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
112
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
untuk menjual produknya. Permasalahan pengeringan. Ada dua sistem yang belum
hanya pada kualitas rumput laut yang berjalan, yaitu subsistem input (bibit) dan
dihasilkan. subsistem pascapanen (cara pengeringan)
Ukuran keberhasilan usaha rumput dimana masih sebagian besar pembudi daya
laut adalah pasar, secara umum dikatakan yang belum menerapkan cara budi daya
bahwa permintaan hasil rumput laut selalu yang dianjurkan.
tersedia sepanjang tahun. Hasil yang
Prospektif Budi Daya Rumput Laut
diproduksi pembudi daya umumnya dibeli dalam Meningkatkan Kesejahteraan
oleh pedagang pengumpul desa. Sebagian
Petani/Nelayan Desa Bonto Jai
besar pembudi daya menjual hasilnya ke
pedagang pengumpul desa atau memang Peningkatan kesejahteraan pada
telah ada pedagang pengumpul langsung ke masyarakat Desa Bonto Jai tampak jelas
pembudi daya. Ada beberapa alasan yang semenjak masyarakat beralih mata
dikemukakan antara lain; (a) sudah pencaharian pokok dari nelayan penangkap
merupakan pembeli tetap; (b) Pembudi ikan menjadi petani rumput laut. Hal ini
daya tidak memiliki jaringan dengan tampak dari keadaan perumahan dan aset -
perusahaan industri rumput laut (kolektor); aset berharga yang mereka miliki terlihat
(c) lebih mudah dan lebih cepat proses dengan kasat mata. Banyak di antara petani
penjualannya; dan (d) harga sesuai dengan rumput laut ketika panen bisa menghasilkan
kualitas rumput laut yang dihasilkan. minimal satu jutaan rupiah persatu kali
Harga jual rumput laut mengalami panen. Bagi yang punya modal besar bisa
fluktuasi sepanjang musim. Berfluktuasinya menghasilkan sampai puluhan juta rupiah
harga disebabkan oleh beberapa faktor, tergantung dari harga rumput laut
antara lain (a).harga rumput laut tergantung perkilogramnya. Hasil panen ini mereka
pada nilai dolar, (b) permintaan pasar dunia bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang
yang ada kaitannya dengan jumlah suplai yang lebih tinggi, membeli kendaraan
secara keseluruhan. Bila suplai berlebihan bermotor, memperbaiki rumah bahkan bisa
harga akan jatuh, (c) kondisi cuaca kurang membeli rumah baru.
baik sekitar bulan Oktober sampai bulan Berdasarkan hasil penelitian Yusuf,
fFbruari, produksi rumput laut kurang baik, Dkk (T.Th) mengemukakan keuntungan
namun permintaan rumput laut tetap kegiatan budi daya rumput laut merupakan
meningkat, yang berakibat pada harga jual atribut yang paling sensitif dari dimensi
lebih baik. ekonomi, dimana hasil perhitungan
Pembudi daya mendapatkan harga diperoleh pendapatan rata-rata responden
yang sesuai dengan harga yang berlaku dalam sekali produksi adalah
secara umum. Dimana pada saat penelitian Rp8.903.792,00. Hal tersebut
berkisar antara Rp7.500 sampai Rp9.800/kg menggambarkan bahwa rata-rata petani
kering pada bulan Mei sampai September pembudi daya rumput laut telah memiliki
harga bisa mencapai Rp11.000/kg kering. pendapatan yang sudah di atas ketentuan
Adapun pembudi daya yang menjual harga UMR (Upah Minimum Regional) sebesar
produksi lebih rendah karena produksinya Rp2.250.000,00. sampai Rp2.435.000,00.
kurang baik kualitasnya. Harga yang dibeli Kegiatan budi daya rumput laut di
adalah Rp4.000 sampai 5000/kg kering. Kabupaten Bantaeng pada umumnya telah
Produk yang dijual dalam kondisi basah menjadi mata pencaharian utama ribuan
bernilai antara Rp2000 sampai Rp2.300. Rumah Tangga Pertanian (RTP), termasuk
Biasanya yang basah dijual untuk bibit. di Desa Bonto Jai pada khususnya sehingga
Penerapan sistem agribisnis pada budi daya mampu menyerap banyak tenaga kerja.
rumput laut belum sepenuhnya dilakukan Kegiatan budi daya juga sangat baik
pembudi daya. Utamanya dalam hal ditinjau dari aspek sosial karena mampu
penggunaan bibit unggul dan cara mengurangi pengangguran, meningkatkan
113
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
114
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh
yakni sebagai nelayan. Petani rumput laut Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi
mendapatkan peningkatan pendapatan Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
sekitar dua hingga delapan kali lipat dari Remaja Rosdakarya.
pekerjaan sebelumnya. Mubarak H. Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja
Saran WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya
Rumput Laut. Jakarta; Pusat Penelitian
Seiring dengan banyaknya
dan Pengembangan Pertanian.
masyarakat Bonto Jai yang beralih profesi
Puslitbangkan. IDRC-INFIS.
dari nelayan ke petani penggarap menjadi
pembudi daya rumput laut, yang Nana Syaodih Sukmadinata (2009). Metode
dikhawatirkan tidak lagi memperhitungkan Penelitian Pendidikan. Bandung:
azas kesesuain lahan dan daya dukung Remaja Rosdakarya
lingkungan sehingga apabila hal tersebut Vredenbregt, J. 1983. Metode Dan Teknik
berlanjut dapat mengakibatkan terjadinya
Penelitian Masyarakat. Cetakan V.
degradasi lingkungan dan dapat Jakarta: Gramedia.
menurunkan produktivitas ataupun kualitas
rumput laut yang dihasilkan. Karena itu Zatnika. A dan Angkasa, WI. 1994.
perlu disusun kriteria persyaratan lokasi Teknologi Budidaya Rumput laut.
budi daya rumput laut pada kawasan Makalah pada Seminar Pekan
perairan terbuka. Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP
Perlu adanya peraturan daerah yang Teknologi Jakarta. Jakarta.
mengatur zonasi, tata letak unit budi daya Yusuf, NR, Dkk. T.Th. Keberlanjutan
dan harga dasar rumput laut, serta pihak Budidaya Rumput Laut Di Kecamatan
pemerintah untuk mengadakan bibit Binamu, Kabupaten Jeneponto.
bermutu dalam jumlah yang cukup untuk
meningkatkan produktivitas rumput laut di
Desa Bonto Jai.
DAFTAR PUSTAKA
115
NASKAH LA GALIGO:
IDENTITAS BUDAYA SULAWESI SELATAN DI MUSEUM
LA GALIGO
LA GALIGO MANUSCRIPT:
THE CULTURAL IDENTITY OF SOUTH SULAWESI IN THE LA GALIGO
MUSEUM
Andini Perdana
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Ujung Pandang No. 1 Kompleks Benteng Rotterdam Makassar, 90111
Telepon: (0411) 3621701 – 3631117, Faksimili : (0411) 3621702
Pos-el : andini.perdana85@gmail.com
ABSTRACT
The bestowal of the name La Galigo upon the Provincial State Museum of South Sulawesi is based on
the La Galigo manuscript, which is famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, and
Massenrempulu regions. For them, La Galigo is their unifier. As part of its collection, the La Galigo
Museum features a La Galigo manuscript, which is registered as a UNESCO Memory of the World.
The manuscript is currently on display in the permanent exhibition room of the La Galigo museum;
however, the representation of the cultural identity of South Sulawesi has been not reflected in the
exhibit. This has encouraged the author to identify the significance of the La Galigo manuscript,
analyze the concept of the current exhibits of the La Galigo Museum, and recommend the addition of
the La Galigo storyline to the museum. The research employed a case study method, with a museology
approach, especially examining new museums, cultural identity, and exhibits. The conclusion in this
research was the lack of information in the La Galigo exhibition due to the lack of research of the
significance of the La Galigo for various ethnic groups, the unity between them, the collective memory
of the society, and the relevance of the La Galigo story to the present. The development of the La
Galigo storyline, which not only describes the La Galigo manuscript itself, but links it to other
collections and represents the cultural identity of South Sulawesi, is needed.
ABSTRAK
Pemberian nama La Galigo pada Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari atas makna
La Galigo yang dikenal di daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan Massenrempulu. La Galigo
merupakan pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo memiliki koleksi naskah La Galigo yang
teregistrasi dalam Memory of the World UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di ruang pameran tetap,
namun representasi identitas budaya Sulawesi Selatan belum tercermin dalam ekshibisi tersebut.
Belum direpresentasikan itulah yang mendorong penulis untuk mengidentifikasi nilai penting makna
La Galigo, menganalisis konsep ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan merekomendasikan
storyline ekshibisi museum. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan
museology, khususnya teori new museum, identitas budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini,
disimpulkan bahwa minimnya informasi dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan kurangnya
penggalian nilai penting La Galigo bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di antara mereka, memori
kolektif masyarakat, dan relevansi cerita itu dengan saat ini. Perbaikan storyline cerita La Galigo yang
bukan hanya mendeskripsikan naskah La Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya dengan koleksi
lain dan merepresentasikan identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan.
116
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
117
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
digolongkan sebagai tradisi lisan atau cerita Sulawesi Selatan dan belum maksimalnya
rakyat yang menjadi memori kolektif cara penyampaian informasi melalui
masyarakat Sulawesi Selatan. Peran ekshibisi di MLG seperti yang dijelaskan di
Museum La Galigo (MLG) sebagai atas, maka tulisan ini difokuskan tentang
museum Provinsi Sulawesi Selatan untuk beberapa makna La Galigo yang dapat
menyajikan memori kolektif dan identitas dikomunikasikan oleh MLG melalui
masyarakat Sulawesi Selatan. pameran tetapnya. Tulisan ini tidak
MLG telah memiliki koleksi yang membahas tentang bagaimana cara
merefleksikan identitas dan memori kolektif mengkomunikasikan makna tersebut,
masyarakat Sulawesi Selatan. ICOM code karena memerlukan kajian tersendiri.
ethics for museum juga menyatakan bahwa
koleksi museum harus merefleksikan METODE
warisan budaya dan alam komunitas yang Komunikasi di MLG berkisar tentang
dilayaninya. Koleksi tersebut dapat informasi apa yang ingin disampaikan dan
memperkuat identitas nasional, regional, bagaimana cara menyampaikannya.
lokal, etnik, religi, politik (ICOM, 2006: 9), Informasi yang ingin disampaikan adalah
dan memiliki nilai bagi memori kolektif identitas budaya Sulawesi Selatan
masyarakat Travail, 1984 :3, dalam sedangkan cara menyampaikannya dengan
Hauenschild, 1988: 8). Koleksi tersebut menyelenggarakan ekshibisi di museum.
adalah naskah La Galigo dan berbagai jenis Akan tetapi, terdapat perbedaan antara
koleksi yang berhubungan dengan cerita La kondisi ekshibisi di MLG saat ini dengan
Galigo seperti berbagai koleksi perahu dan teori museum, baik new museum, identitas,
miniaturnya, berbagai miniatur rumah adat, maupun ekshibisi.
berbagai teknologi mata pencaharian, Penelitian ini menggunakan metode
berbagai naskah lontarak, dan berbagai studi kasus, dengan pendekatan bersifat
benda kerajaan. Koleksi-koleksi tersebut
filosofis dalam museology. Sebuah
merupakan living heritage yang menjadi pendekatan yang menyatakan bahwa
memori kolektif masyarakat Sulawesi museum harus lebih berperan dalam
Selatan sampai saat ini. masyarakat. Penerapan pendekatan ini
Akan tetapi, ekshibisi koleksi La berpengaruh pada ekshibisi di museum,
Galigo belum dinarasikan dan belum karena ekshibisi merupakan proses
disesuaikan dengan living heritage dan komunikasi untuk menyampaikan makna
kondisi masyarakat masa kini. Bahkan pesan dari museum kepada pengunjungnya
beberapa koleksi tersebut belum memiliki (Magetsari, 2009: 2-5).
informasi, sehingga jelas bahwa masalah Pendekatan filosofis ini ditekankan
MLG dalam menyajikan informasi La pada proses komunikasi, yaitu makna apa
Galigo terletak pada proses komunikasi yang akan disampaikan. Pendekatan pada
melalui ekshibisi di ruang pameran tulisan ini akan memakai konsep new
tetapnya. Eilean Hooper-Greenhill museum, identitas, dan memori kolektif
menyatakan bahwa selain ekshibisi, untuk mendeskripsikan data penelitian.
komunikasi di museum juga dapat Tahapan penelitian terdiri dari empat tahap,
dilakukan melalui edukasi yaitu dengan yaitu penentuan permasalahan penelitian,
menyelenggarakan program publik yang pengumpulan data, analisis data, dan
berhubungan dengan ekshibisi. Komunikasi pemberian kesimpulan.
sendiri merupakan salahsatu fungsi
museum, selain preservasi dan penelitian
PEMBAHASAN
(Van Mensch, 2003, dalam Magetsari,
2008: 13). Konsep Identitas di Museum
Mengetahui arti penting La Galigo Secara etimologis, kata identitas
sebagai identitas budaya masyarakat berasal dari kata identity yang berarti ciri-
118
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat Ekshibisi identitas di museum adalah
pada seseorang atau sesuatu yang sebuah konsep yang kompleks karena
membedakannya dengan yang lain identitas dapat dilihat dari perspektif
(Liliweri, 2002: 69). Definisi lain psikologi, budaya, dan politik yang
dinyatakan oleh Gary Edson, bahwa signifikan untuk individu, budaya, etnik,
identitas adalah pembeda karakter setiap dan negara. Secara psikologis, identitas
individu dengan individu lainnya. Identitas meliputi pemahaman pribadi, penghargaan,
bersifat psikologis yang terdiri dari dan pemberdayaan bagi individu; secara
persepsi, definisi, dan proyeksi diri dalam budaya, identitas memberikan pembedaan
hubungannya dengan yang lain. Sementara dan terkadang tendensi terhadap perasaan
dalam konteks keberadaan, identitas superioritas pada etnik tertentu; secara
memunculkan keberagaman budaya atau politik, identitas dapat menciptakan rasa
pluralitas (Edson, 2005: 124-5). Senada patriotisme dan kebanggaan nasional
dengan definisi tersebut Corsane (Edson, 2005: 126).
menyatakan bahwa representasi identitas Salah satu cara untuk memberikan
masyarakat di museum selalu berkaitan pemahaman kepada pengunjung akan
dengan gambaran self and other. Keduanya identitasnya adalah melalui memori
signifikan untuk mengkonstruksi individu, kolektif. Penyajian identitas melalui
komunitas, nasional, dan internasional memori kolektif tersebut selalu
(Corsane, 2005: 9). Salah satu bentuk menimbulkan pertanyaan mengenai
identitas adalah identitas budaya (Liliweri, identitas siapakah yang akan didengarkan,
2007: 95). bagaimana menyajikan identitas yang
Identitas budaya bukanlah sesuatu beragam (Corsane, 2005: 9), identitas
yang statis, sehingga diproduksi dan siapakah yang akan disajikan, dilestarikan,
direproduksi dalam tingkah laku dan diinformasikan oleh museum (Edson,
keseharian; melalui edukasi; media; 2005: 124).
museum dan sektor budaya; seni; serta Pertanyaan tersebut dijawab dengan
sejarah dan literatur (Weedon, 2004: 155). pemilihan identitas budaya Sulawesi
Bahkan bagi negara berkembang, identitas Selatan yang menjadi memori kolektif dan
budaya adalah sesuatu yang dibutuhkan wujud budaya masyarakat Sulawesi
(setelah pemenuhan makanan dan tempat Selatan. Salah satu identitas budaya tersebut
tinggal) dan museum memiliki tanggung adalah La Galigo yang masih terdapat
jawab untuk melayani komunitas dengan dalam keseharian masyarakat Sulawesi
identitas budayanya (Roman, 1992: 31). Selatan. La Galigo merupakan tradisi lisan
Pada umumnya tradisi dipelajari dalam (intangible) yang didukung oleh
keluarga, media, dan sekolah. Sementara kebudayaan materi (tangible) hampir di
museum membantu untuk menciptakan dan seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
menunjang narasi tentang siapa diri mereka
Ekshibisi Museum La Galigo
dan dari mana mereka berasal. Hal ini
dikarenakan tradisi dan sejarah tidak hanya Pada awalnya MLG bernama Celebes
dapat dipelajari melalui buku sejarah, tetapi Museum yang didirikan pada tahun 1938
juga melalui museum (Weedon, 2004: 25). oleh pemerintah Nederlands Indie (Hindia
Pada penelitian ini, identitas adalah Belanda) di Kota Makassar sebagai ibukota
perbedaan dan persamaan, sehingga jika Gouvermenent Celebes Onderhoorighden
perbedaan muncul akan terjadi multikultur (Pemerintahan Sulawesi dan daerah
pada identitas tersebut yang menuntut taklukannya). Pada masa pendudukan
adanya persamaan atau benang merah. Jepang kegiatan Celebes Museum terhenti.
Identitas merupakan sesuatu yang dapat Setelah pengakuan kedaulatan, kalangan
berubah tergantung dilihat dari sudut budayawan merintis kembali pendirian
pandangnya. sebuah museum dan terealisasi pada tahun
119
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
1966 meskipun belum resmi. Museum ini Kompleks Benteng Rotterdam, jl Ujung
baru pada tahap persiapan dan Pandang no. 1, Makassar, Sulawesi Selatan.
pengumpulan koleksi dari budayawan. Pada Benteng Rotterdam merupakan salah satu
tanggal 1 Mei 1970 museum ini dinyatakan benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
berdiri secara resmi dengan Surat yang pada masa pemerintahan Belanda
Keputusan Gubernur Kepala Daerah dijadikan sebagai tempat tinggal dan pusat
Tingkat I Sulawesi Selatan No.182/V/1970 administrasi. Dalam benteng ini terdapat 15
dengan nama MLG. gedung berarsitektur kolonial.
Pemberian nama La Galigo pada MLG menyelenggarakan tiga jenis
museum ini didasari pada suatu pemikiran eskhibisi, yaitu pameran tetap, temporer,
dan pertimbangan atas makna yang dan keliling. Ruang pameran tetap terdapat
terkandung di dalamnya. Cerita yang di gedung nomor 2 (sebelah utara) dan
terkandung dalam La Galigo dikenal di gedung no.10 (terletak di sebelah selatan) di
daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, dalam Kompleks Benteng Rotterdam.
Massenrempulu, Sulawesi Tenggara, dan
La Galigo sebagai Identitas Budaya
Sulawesi Tengah. La Galigo juga dianggap
Sulawesi Selatan
sebagai warisan dan kebanggaan
masyarakat Sulawesi Selatan, sehingga Seperti yang telah dijelaskan
dijadikan sebagai nama sebuah museum. I sebelumnya bahwa identitas merupakan
La Galigo sendiri merupakan: nama sesuatu yang cair dan berubah merespon
seorang putera dari pernikahan kondisi sosial saat ini. Sejalan dengan itu,
Sawerigading Opunna Ware dengan puteri memori kolektif juga bersifat dinamis yang
We Cudai Daeng ri Sompa. Setelah dewasa, tergantung pada kondisi sosial. Memori
La Galigo dinobatkan menjadi Raja di kolektif tidak hanya terbatas pada masa lalu
Kerajaan Luwu pada abad ke-14. La Galigo yang dibagi bersama, melainkan
juga sama sebuah karya sastra klasik dalam representasi dari masa lalu yang
bentuk naskah tertulis Bahasa Bugis, yang diwujudkan dalam berbagai praktek
dikenal dengan nama Naskah I La Galigo. budaya, khususnya commemorative simbol.
Fungsi naskah La Galigo dalam masyarakat Oleh karena itu, pemilihan identitas
Sulawesi Selatan adalah: budaya Sulawesi Selatan juga haruslah
1. Penawar keresahan menghadapi merupakan memori kolektif yang berupa
ancaman penyakit, bencana alam, dan sistem budaya yang terlihat dari prilaku
kematian serta sebagai pelindung (sistem sosial) dan hasil kebudayaan fisik
terhadap ancaman kebahagiaan hidup. manusia (commemorative symbol). Identitas
2. Pendorong terciptanya integritas sosial budaya yang dipilih pada penelitian ini
dan pranata sosial budaya. adalah La Galigo tersebut diturunkan
3. Penggugah emosi dan imajinasi serta melalui prilaku dan hasil budayanya terlihat
pembina kompetensi dan apresiasi pada kehidupan sehari-hari.
sastra di kalangan masyarakat. La Galigo dipilih sebagai identitas
budaya Sulawesi Selatan karena La Galigo
Pada tanggal 28 Mei 1979, museum ini merupakan rujukan bagi suku Bugis,
resmi menjadi MLG Provinsi Sulawesi Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi
Selatan yang merupakan Unit Pelaksana Selatan untuk merasakan kesatuan diantara
Teknis di bidang Permuseuman mereka (Mattulada, 2003: 447). La Galigo
(Depdikbud, 1986: 26-9). Berdasarkan sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi
Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan dikarenakan lima alasan.
Selatan Nomor 166 tanggal 28 Juni 2001, 1. I La Galigo adalah anak seorang
MLG berubah nama menjadi Unit manusia keturunan Dewa bernama
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) MLG Sawerigading. Dalam berbagai cerita La
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Galigo, Sawerigading menjadi tokoh
Sulawesi Selatan. MLG ini terletak di
120
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
121
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
tetap maupun di ruang pameran dengan koleksi alat batu (maros point,
temporer. Koleksi merupakan bagian kapak penetak, dll), fosil (kerang, kayu,
terpenting di museum ini, seperti yang vertebrata), perhiasan (kalung dan
terlihat pada misi, tujuan, kebijakan, dan gelang manik), kapak upacara dari
program di museum. Sementara itu, perunggu, bekal kubur masa megalitik,
pengunjung atau masyarakat belum miniatur rumah adat Mamasa, dan
mendapatkan prioritas. Koleksi tersebut miniatur erong. Ruang keempat adalah
terdapat di ruang pamer sebanyak 60 gudang. Ruang kelima masih merupakan
persen dan di ruang atau tempat ruang arkeologi, disajikan kebudayaan
penyimpanan sebanyak 40 persen. materi dari masa Hindu dan Budha
Prioritas terhadap koleksi juga tercermin (klasik), seperti replika arca Budha
melalui pendekatan ekshibisinya; Sempaga, arca garuda, dewa Wisnu,
2. Pendekatan ekshibisi MLG adalah miniatur Candi Prambanan, miniatur
kronologi, taksonomik, dan tematik. Candi Borobudur, bentuk-bentuk nisan,
Konsep ekshibisi kronologi dan mata uang. Ruang keenam
diaplikasikan dengan menyajikan koleksi merupakan ruang etnografi. Ruang
berdasarkan kerangka waktu yang ketujuh merupakan ruang Kerajaan
dimulai dari masa Prasejarah, Hindu Sulawesi Selatan dan pahlawan disajikan
Budha, Islam, dan setelah kemerdekaan. koleksi peninggalan kerajaan Palili
Konsep ekshibisi taksonomi (kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi
diaplikasikan dengan menyajikan koleksi Selatan, seperti Kerajaan Sawitto,
berdasarkan sepuluh jenis koleksi, yaitu Kerajaan Mandar, Kerajaan Tana
koleksi numismatik di ruang Toraja), perabot kerajaan, dan foto-foto
numismatik, koleksi historika di ruang pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan.
sejarah, Kerajaan Sulawesi Selatan dan Ruang kedelapan merupakan ruang
pahlawan. Konsep ekshibisi tematik kerajaan Luwu disajikan benda-benda
diaplikasikan di ruang sejarah yang melambangkan kebesaran kerajaan
kebudayaan dan lintas peradaban, Luwu termasuk naskah La Galigo.
budaya pedalaman perkampungan, Ruang kesembilan merupakan ruang
budaya pedalaman agraris, dan budaya kerajaan Bone disajikan benda-benda
pesisir. Ketiga pendekatan ini dapat yang melambangkan kebesaran kerajaan
dilihat pada gedung nomor 2 dan gedung Bone. Ruang kesepuluh merupakan
nomor 10. ruang Kerajaan Gowa, disajikan benda-
Gedung nomor 2 terdiri dari dua lantai benda yang melambangkan kebesaran
dan sebelas ruang. Pada saat memasuki kerajaan Gowa. Ruang kesebelas
gedung ini, pengunjung dapat melihat 2 merupakan merupakan ruang keramik
(dua) naskah La Galigo, dengan asing, disajikan dengan koleksi keramik
informasi yang minim. Ruang pertama asing dari Cina, Jepang, Vietnam, Eropa,
merupakan ruang sejarah kebudayaan dan Thailand, serta peta lokasi
dan lintas peradaban yang disajikan penemuan keramik asing di Sulawesi
dengan koleksi maket Benteng Selatan.
Rotterdam,benda-benda/bahan bangunan Gedung nomor 10 terdiri dari dua lantai
benteng, peta lokasi benteng Kerajaan dan tujuh ruang. Ruang pertama
Gowa, dan foto-foto gedung Benteng merupakan ruang pengenalan dan lobby
Rotterdam. Ruang kedua dan ketiga museum. Ruang kedua merupakan ruang
adalah ruang prasejarah, mulai dari masa sejarah kebudayaan dan lintas peradaban
paleolitik sampai neolitik yang disajikan yang memamerkan tentang kebudayaan
dengan diorama kehidupan masa manusia. Ruang ketiga yaitu budaya
prasejarah sampai masa tradisi pemujaan pedalaman perkampungan yang
terhadap nenek moyang yang dilengkapi memerkan tentang penempaan besi dan
122
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
123
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
124
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
125
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Kedatangan Tomanurung melalui tiga golongan saya atau ata, adalah golongan
fase, pada fase ketiga merupakan awal yang berasal dari menjual diri, kalah
munculnya kerajaan-kerajaan di perang, tawanan perang, serta berbuat
Sulawesi Selatan. Cerita Tomanurung salah pada aturan adat. Ata bukan suatu
terdapat dalam riwayat-riwayat lapisan yang fundamentil karena muncul
masyarakat Sulawesi Selatan. akibat peperangan, perampasan dan
peradilan. Ata dipandang sebagai
2. Sistem Kepercayaan
salahsatu aspek untuk mencegah
Sistem kepercayaan seperti yang masyarakat Sulawesi Selatan menerima
digambarkan dalam cerita La Galigo atau menyerah kepada nasib karena ini
sebagai tradisi lisan dan didukung oleh akan menimbulkan siri’ (Mattulada,
tradisi tulis masih digunakan pada 2007: 20).
beberapa kelompok masyarakat. Pada dasarnya setiap pelapisan sosial di
Kepercayaan tersebut mengarah kepada Sulawesi Selatan memiliki kesamaan
Dewa Tunggal, yang bernama Patoto’E meskipun saat ini terjadi perubahan.
(Dia yang menentukan nasib), Persamaan pelapisan sosial kelima suku
TopalonroE (Dia yang menciptakan), tersebut, yaitu: 1) Lapisan Raja dan
Dewata SeuaE (Dewa yang tunggal), Tu- kerabatnya: Orang Bugis menyebutnya
riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi), Anakarung, Orang Makassar
dan Puang Matua (Tuhan yang tertinggi) menyebutnya Ana’ Karaeng, Orang
(Mattulada, 1974: 35). Mandar menyebutnya Daeng, Orang
3. Pelapisan Sosial Toraja meneyebutnya Tana Bulaan, dan
Orang Bajo menyebutnya Lolo same; 2)
Pelapisan sosial di Sulawesi Selatan Lapisan rakyat biasa atau orang
muncul sejak kedatangan Tomanurung. kebanyakan: Orang Bugis menyebutnya
Setiap suku bangsa di Sulawesi Selatan Maradeka, Orang Makassar
memiliki pelapisan sosialnya masing- menyebutnya To Maradeka, Orang
masing, misalnya pada Suku Makassar, Mandar menyebutnya Tau Maradeka,
dibagi menjadi empat. Pertama; ana’ Orang Toraja menyebutnya Tana
karaeng ri gowa (anak raja-raja gowa) Karurung, dan Orang Bajo menyebutnya
dibagi menjadi ana’ ti’no (anak Gallareng; dan 3) Lapisan sahaya:
bangsawan penuh), ana’ sipuwe (anak Orang Bugis dan Makassar menyebutnya
separuh bangsawan), ana’ cera’ (anak Ata, Orang Mandar menyebutnya
bangsawan berdarah campuran), dan Batuwa, Orang Toraja menyebutnya
ana’ karaeng sala (anak bangsawan Tana Kua-Kua, dan Orang Bajo
keliru). Kedua; ana’ karaeng menyebutnya Ate. Kesamaan tersebut
maraengannaya (bangsawan atau anak disebabkan adanya pandangan
raja-raja yang termasuk dalam golongan makrokosmos, bahwa dunia terbagi
asal Tomanurung). Ketiga; to maradeka menjadi tiga yaitu dunia langit (botting
(orang merdeka) terdiri dari tu-baji’ langiq), dunia tengah (bumi), dan dunia
(orang merdeka) dan tu-samara (orang bawah (peretiwi). Pandangan ini juga
kebanyakan). Keempat; ata (sahaya) terdapat pada pelapisan sosial yang
terdiri dari ata sossorang (sahaya terbagi menjadi tiga (Rahman, 1998:
warisan) dan ata nibuwang (sahaya 379-380). Pelapisan sosial tersebut pun
baru). Hubungan antar golongan tersebut mengalami perubahan.
berdasarkan anggapan bahwa golongan
satu adalah lebih tinggi dari golongan 4. Cerita Rakyat
yang lain, karena golongan satu berasal La Galigo merupakan tradisi lisan
dari langit dan golongan yang satu masyarakat Sulawesi Selatan sehingga
berasal dari dunia bawah. Sementara penyebarannya berpindah dari satu
126
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
127
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
128
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
bertahan hidup, baik individual maupun Lempuk adalah sikap jujur pada sesama
bersama seperti yang dilukiskan dalam manusia, diri sendiri, dan pencipta
La Galigo (Gonggong, 2003: xiv-v). (Rahman, 1998: 331). Lempuk sebagai
nilai budaya masyarakat Sulawesi
3. Pemeliharaan Lingkungan
Selatan terdapat dalam karya sastra
Pada cerita La Galigo dijelaskan tentang paseng yang terlihat pada ungkapan
pentingnya manusia melestarikan alam. teppugauk gauuk maceko (tidak boleh
Kehadiran Tomanurung dalam cerita La berbuat curang).
Galigo bertujuan untuk menyampaikan
6. Getteng (keteguhan pada prinsip)
perintah Dewa agar menjaga lingkungan
dan mengetahui tanda-tanda alam. Getteng diartikan sebagai keteguhan
Lingkungan dijaga untuk menjaga pada prinsip yang benar dan tidak
kestabilan dan keharmonisan hidup memihak pada yang salah. Contoh
menusia. Perintah dan ajaran itulah yang getteng diantaranya dalam pau-pau
harus dipahami oleh manusia agar rikadong arung masala ulik-e
hidupnya tentram dan harmonis diceritakan bahwa raja Luwu diminta
(Rahman, 1998:372). Dalam cerita La untuk mempertahankan puterinya yang
Galigo diungkapkan mengenai tata cara memiliki penyakit menular di istana atau
pengelolaan alam dan lingkungan sekitar mengeluarkan puterinya dari istana agar
melalui tanda-tanda alam. Tanpa penyakit tersebut tidak menular pada
pemahaman tersebut, manusia akan rakyatnya (Ibrahim, 2003: 139-140).
mudah tertimpa bencana alam, sehingga 7. Saling menghargai
tanda alam merupakan pedoman bagi
manusia dalam beradaptasi dengan alam. Sipakatau (Bugis-Makassar), sipamandar
Pemahaman tersebut dibukukan oleh (Mandar), Sipakaele (Toraja) berarti
orang Sulawesi Selatan yang disebut saling menghargai sesama manusia.
lontarak kutika (Bugis dan Makassar), Dalam interaksi sosial nilai sipakatau
berisi tentang tanda-tanda alam, cara- mengharuskan seseorang untuk
cara memahami tanda dan cara memperlakukan orang lain sebagai
mengatasinya (Rahman, 1998:372). manusia dan menghargai hak-haknya.
Perilaku sipakatau yang paling tinggi
4. Ide Demokrasi adalah berupaya memanusiakan orang
Ide demokrasi terlihat pada masyarakat yang telah terjerumus menjadi rapang-
Sulawesi Selatan sejak kedatangan rapang tau (bukan manusia).
Tomanurung. Hal ini terlihat pada Perwujudan nilai dasar sipakatau dikenal
perjanjian antara Tomanurung dengan dengan sipakaingek, siparengerangi
para pemimpin kaum di berbagai daerah, (saling mengingatkan), sipangajari
misalnya di Bone, Soppeng, Gowa, dll. (saling menasehati), dan sipaitai (saling
Dalam perjanjian antara Tomanurung memberikan petunjuk). Selain itu dalam
dengan pemimpin kaum terdapat interaksi sosial dikenal istilah
ungkapan yang menyatakan bahwa sipakalebbi (saling memuliakan) dan
kepatuhan rakyat kepada raja adalah siamasei (saling mengasihi) (Ibrahim,
bersyarat, yaitu tergantung pada 2003: 140-1).
komimen raja pada kepentingan dan hak-
hak rakyat. Rakyat akan patuh dan setia PENUTUP
kepada raja yang memberikan
pengayoman dan menghargai hak milik La Galigo merupakan intangible
rakyat. heritage yang menjadi identitas masyarakat
Sulawesi Selatan dan saat ini masih
5. Lempuk (kejujuran) bertahan di tengah arus globalisasi. Salah
satu cara untuk melestarikan cerita La
129
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Galigo adalah melalui MLG karena tahap fungsional, dan tahap penilaian.
museum ini menyimpan berbagai koleksi Penelitian ini dibatasi pada tahap
yang terkait dengan cerita La Galigo, konseptual, yaitu pengumpulan ide
termasuk naskah La Galigo itu sendiri. tentang La Galigo yang akan
Koleksi yang berhubungan dengan cerita La dikomunikasikan kepada pengunjung;
Galigo tersebut disimpan di ruang 3. Ekshibisi La Galigo harus
penyimpanan maupun diekshibisi di ruang merepresentasikan masyarakat Sulawesi
pameran tetap. Akan tetapi, informasi yang Selatan, sehingga evaluasi atau studi
disajikan kepada pengunjung tentang cerita pengunjung untuk menjaring pendapat
La Galigo masih minim, bahkan beberapa masyarakat Sulawesi Selatan tentang La
alur cerita tidak dikaitkan dengan cerita La Galigo harus dilakukan;
Galigo. 4. Perekaman cerita La Galigo sebagai
Informasi tentang MLG tersebut memori kolekif diperlukan, untuk
tentunya dijadikan dasar untuk perencanaan membuat storyline ekshibisi;
desain ekshibisi. Desain media ekshibisi ini 5. Ekshibisi La Galigo ini didukung oleh
memanfaatkan memori kolektif masyarakat program publik;
Sulawesi Selatan. Memori kolektif tersebut 6. Tradisi lisan La Galigo menyebar
dapat muncul karena adanya kesamaan hampir di berbagai suku bangsa yang
antar individu dalam setiap atau antar ada di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan,
kelompok dalam cerita La Galigo. dan Semenanjung Melayu. Oleh karena
Contohnya kesamaan pengalaman sejarah itu, pada penyelenggaraan ekshibisinya,
dan budaya, kesamaan pengetahuan harus merepresentasikan semua pihak;
tertentu, kesamaan demografi atau wilayah, 7. Salah satu kendala yang akan dihadapi
dan kesamaan kondisi sosial ekonomi pada dalam penyelenggaraan ekshibisi La
cerita La Galigo dan kehidupan saat ini. Galigo ini adalah perasaan etnosentrisme
Beberapa saran yang sebaiknya dan prasangka dari setiap suku bangsa
dilakukan oleh MLG untuk tentang kepemilikian La Galigo sebagai
penyelenggaraan ekshibisi La Galigo, yaitu identitasnya masing-masing. Pemunculan
sebagai berikut: sikap etnosentrisme dan prasangka ini
1. Ekshibisi La Galigo seperti yang telah harus dihindari dengan memberikan
dijelaskan pada tulisan ini dapat pemahaman melalui ekshibisi bahwa La
diselenggarakan di dua tempat. Galigo adalah warisan bersama dan
Pertama, di ruang atau gedung baru milik masyarakat Sulawesi Selatan
yang berbeda dengan gedung pameran khususnya dan milik Indonesia
tetap saat ini. Ekshibisi La Galigo ini umumnya.
dapat dikaitkan dengan ekshibisi di
ruang pameran tetap saat ini dengan DAFTAR PUSTAKA
menempatkannya sebagai informasi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
awal di ruang pengenalan. Kedua, di Ujung Pandang. 1994. Laporan
ruang pameran tetap yang menyimpan Penelitian Sejarah dan Nilai
berbagai koleksi yang mendukung Tradisional. Makassar: BKSNT Ujung
pameran La Galigo sebagai identitas Pandang.
budaya Sulawesi Selatan. Berbagai jenis
koleksi tersebut terdapat di ruang Corsane, Gerard. 2005. “Issues in Heritage,
pameran tetap gedung nomor 2 dan Museums, and Galleries” dalam
nomor 10; Heritage, Museums, and Galleries. Ed.
2. Ekshibisi La Galigo sebagai identitas Gerard Corsane. New York:
budaya Sulawesi Selatan harus Routledge.
dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
tahap konseptual, tahap pengembangan, 1985/1986. Petunjuk Museum Negeri
130
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana
131
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
132
STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN
KARAMPUANG DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP
(THE SURVIVAL STRATEGY OF KARAMPUANG FISHERMEN
IN MAKING A LIVING TO MEET DAILY NEEDS)
Abdul Asis
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221
Pos-el: asisabdul72@gmail.com
ABSTRACT
This research aims to discover and understand the survival strategy of fishermen in Karampuang in
meeting daily needs. The research method used is descriptive-qualitative, employing the data-
gathering techniques of interviews, observation, and documentation. The results of this research show
that fishermen in the islands of Karampuang continue to use simple fishing equipment and generate a
meager income. In the off season, the fishermen experience difficulty in meeting daily needs, to the
point that they pursue side jobs by planting gardens and cultivating crops such as corn, cassava, and
vegetables. Opportunities for side jobs are numerous for the fishing community there, due to the
convenient access to the Mamuju regency. Other side work available aside from fishing is becoming a
small-goods trader, a construction worker, a port laborer, market laborer, or motorcycle-taxi driver.
As for the wives of these fishermen, many work at stores, work as cleaners in the city, or open up
shops at home to sell basic products. By generating supplementary income, the needs of the family are
able to be met.
Keywords: side work, Karampuang fishermen, daily needs.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami strategi bertahan hidup nelayan
Karampuang dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nelayan di Pulau Karampuang masih menggunakan alat tangkap
sederhana dan penghasilannya masih tergolong rendah. Pada musim paceklik, nelayan merasa
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sehingga mereka beralih ke pekerjaan
lain dengan mengolah kebun dengan menanam tanaman hortikultura seperti jagung, ubi kayu, dan
sayur-sayuran. Peluang untuk melakukan pekerjaan sampingan terbuka luas bagi masyarakat nelayan
di sana karena akses ke kota Kabupaten Mamuju tergolong cukup dekat. Pekerjaan lain yang dapat
dilakukan di luar bidang kenelayanan adalah menjadi pedagang, buruh bangunan, kuli angkut
pelabuhan, kuli angkut pasar, dan jasa ojek. Sedangkan istri-istri nelayan banyak yang bekerja menjadi
penjaga toko, buruh cuci di kota, dan membuka kedai-kedai di rumah dengan menjual barang
kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan melakukan pekerjaan sampingan, kebutuhan hidup keluarganya
dapat terpenuhi.
Kata Kunci: pekerjaan sampingan, nelayan Karampuang, kebutuhan hidup.
133
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
bentuk adaptasi dalam menghadapi musim mencari alternatif lain, dan kadang istri dan
paceklik di laut jika terjadinya angin anaknya ikut terlibat membantu dalam
kencang. Sehingga nelayan sulit pemenuhan kebutuhan hidup bagi
memperoleh hasil tangkapan ikan maka keluarganya.
banyak di antara mereka beralih profesi Pendapatan dan sumber mata
dengan bercocok tanam, begitu pula pencaharian merupakan aspek penting
sebaliknya. Kadang mereka melakukan dalam kehidupan rumah tangga karena
kedua-duanya dengan membagi waktu dan pendapatan menentukan kemampuan rumah
berbagi dengan anggota keluarga lainnya. tangga dalam memenuhi kebutuhan
Namun itupun kebutuhan hidupnya masih hidupnya. Pendapatan rumah tangga adalah
jauh dari kecukupan. pendapatan yang diterima oleh rumah
Untuk bertahan dapat hidup, maka tangga yang berasal dari kepala keluarga
istri-istri nelayan turut berperan dengan maupun anggota rumah tangga (Ngadi,
bekerja di kota sebagai pelayan toko, buruh 2016:209-210). Untuk memperoleh
cuci dan pengasuh anak. Sedangkan para pendapatan tambahan, maka anggota rumah
suami ada yang bekerja sebagai kuli angkut tangganya ikut bekerja dalam berbagai
bangunan, kuli angkut pelanuhan, tukang sumber mata pencaharian. Namun, daya
ojek, bahkan ada yang memutuskan tampung sumber penghasilan bersifat
merantau jauh ke daerah Kalimantan atau terbatas sehingga tidak semua anggota
ke Kota Makassar. Sedang istri-istri nelayan rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang
yang tergolong sudah tidak mampu bekerja layak. Keterbatasan tersebut memaksa
di kota maka mereka membuka kedai-kedai sebagian anggota rumah tangga bekerja
kecil di rumah dengan berjualan barang- dengan pendapatan yang rendah dan
barang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. sebagian yang lain menjadi pengangguran
Berprofesi sebagai nelayan lebih sulit, sehingga tidak mampu memenuhi
jika dibandingkan dengan profesi yang kebutuhan hidupnya. Sebagian yang lain
lainnya, menurut Acheson (dalam Lampe, harus mencari penghasilan ke luar daerah
1989:7) bahwa nelayan merupakan suatu karena keterbatasan daya tampung dunia
pekerjaan yang penuh dengan resiko bahaya kerja di wilayahnya. Rendahnya daya
dan ketidakmenentuan. Bahaya dan tampung sumber penghasilan dan
ketidakmentuan itu bukan hanya pendapatan rumah tangga masih terus
disebabkan oleh kondisi-kondisi alam dan terjadi di Indonesia termasuk nelayan di
biota laut serta terjadinya perubahan- Pulau Karampuang Kabupaten Mamuju
perubahan lingkungan fisik tersebut, tetapi Provinsi Sulawesi Barat, sehingga upaya
juga kondisi-kondisi lingkungan sosial menciptakan sumber penghasilan dan
ekonomi di mana aktivitas penangkapan meningkatkan pendapatan harus terus
berlangsung. Lebih jauh diungkapkan dilakukan.
bahwa walaupun memiliki tingkat resiko Melakukan usaha pekerjaan
yang lebih tinggi, pekerjaan sebagai sampingan di beberapa wilayah pesisir
nelayan merupakan pekerjaan yang banyak terpaksa mereka lakukan dan tidak hanya
digeluti oleh masyarakat terutama terfokus pada usaha penangkapan ikan
masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Selain semata tetapi dapat diarahkan pada usaha-
rendahnya tingkat pendidikan dan usaha lain di luar bidang penangkapan.
penguasaan teknologi oleh para nelayan, Pekerjaan sampingan ini diharapkan dapat
juga kondisi cuaca yang fluktuatif sehingga memberikan nilai tambah bagi keluarga
terkadang nelayan sulit untuk mendapatkan nelayan. Dengan melakukan usaha-usaha
hasil tangkapan yang maksimal bahkan lainnya untuk mendapatkan peluang guna
mereka harus beristirahat melaut untuk meningkatkan pendapatan mereka ketika
beberapa bulan. Oleh karena itu, sebagian tidak melaut, atau dapat mengisi
besar nelayan di Pulau Karampuang harus kekosongan demi menutupi kebutuhan
134
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis
135
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
kehidupannya tergantung langsung pada teluk ini Pulau Karampuang berada. Wajar
hasil laut, baik dengan cara melakukan saja jika kita melihat pesisir pantai
penangkapan ataupun budidaya. Pada Manakarra di Kota Mamuju memiliki
umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah perairan yang tenang. Karena keberadaan
lingkungan permukiman yang dekat dengan Pulau Karampuang yang hanya berjarak
lokasi kegiatannya. kurang lebih 3 km arah barat laut yang
berperan menjaga dan melindungi Kota
METODE Mamuju dari terjangan gelombang tinggi.
Berkunjung ke Pulau Karampuang ini
Penelitian ini menggunakan metode
dapat menggunakan traportasi perahu
deskriptif kualitatif yakni sebuah tipe
tradisional jenis Jolloro, (orang-orang
penelitian yang berusaha menggambarkan
Karampuang menyebutnya taksi atau
kondisi sosial di lapangan. Dalam
perahu montor). Perahu montor yang akan
perspektik Bogdan & Taylor, (1993:5) jenis
berangkat menunggu penumpang di sekitar
penelitian ini menghasilkan data deskriptif
Dermaga TPI Kota Mamuju. Lama
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
perjalanan dapat di tempuh dalam waktu
orang-orang atau perilaku yang dapat
kurang lebih 20-30 menit. Kapasitas perahu
diamati. Sementara itu, Sugiono (2008:1)
dapat memuat 20 orang penumpang sekali
memandangnya sebagai penelitian
jalan dengan biaya Rp 10.000,-.
naturalistik karena penelitiannya dilakukan
Secara geografis pulau ini terletak
pada kondisi yang alamiah (natural setting),
padat titik koordinat 020 38’ 10,8” LS dan
yakni suatu metode penelitian yang meneliti
1180 53’ 14,85” BT. Pulau dengan luas
kondisi objek secara alami. Penelitian ini
wilayah 6,21 km2, memiliki batas-batas
juga berupaya untuk menjelaskan,
wilayah, yaitu di bagian selatan, utara,
mendeskripsikan, dan memahami mengenai
barat, dan timur semuanya berbatasan
pekerjaan sampingan keluarga nelayan
dengan laut, dan terbagi ke dalam atas 11
dalam melakukan usaha lainnya di luar
(sebelas) dusun, sebagai berikut: Dusun
bidang kenelayanan dalam memenuhi
Karampuang I, Dusun Karampuang II,
kebutuhan sehari saat terjadi musim
Dusun Joli, Dusun Gembira, Dusun Bajak,
paceklik. Metode penelitian ini
Dusun Batu Bira, Dusun Karaeng, Dusun
menggunakan teknik pengumpulan data
Ujung Bulo, Dusun Wisata, Dusun Nangka,
melalui wawancara, observasi dan
dokumentasi. Teknis analisis data adalah dan Dusun Sepang. Penduduk sekitar 3.135
jiwa, yang terdiri 1.564 jiwa penduduk laki-
mendeskripsikan secara objektif data yang
laki dan 1.571 jiwa penduduk perempuan,
telah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan
dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak
analisis terhadap data yang telah
560 KK sehingga kepadatannya mencapai
dideskripsikan, sehingga data yang ada
461,07 jiwa/km2. (Papan Potensi Desa
dapat divalidasikan keabsahannya.
Karampuang, 2016).
Terkait dengan kondisi alam Pulau
PEMBAHASAN
Karampuang, maka pola penggunaan lahan
Gambaran Nelayan di Pulau pada umumnya dapat dikelompokkan
Karampuang menjadi dua bagian, yaitu kelompok
Pulau Karampuang adalah pulau yang kawasan yang terbangun dan kelompok
dipenuhi dengan batu karang, bahkan dapat kawasan tidak terbangun. Kawasan tidak
dikatakan bahwa pulau ini adalah Pulau terbangun didominasi oleh hutan dan lahan
Karang, karena hampir semua sudutnya kosong yang kering. Sedangkan kawasan
adalah karang, dan di atas karanglah yang terbangun adalah pola permukiman
masyarakat menyandarkan hidupnya. Pulau menyebar di sepanjang pulau mengikuti
yang berada di tengah-tengah teluk garis pantai. Topografi pulau ini berbukit-
Mamuju, cerukan dalam yang dibentuk bukit dan merupakan daerah yang
136
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis
dikelilingi pantai dengan ketinggian 120 waktu bilamana ada kebutuhan yang lebih
meter dpl, dengan tubir mengelilingi pulau mendesak baru mereka mengambilnya
dengan lebar 200 meter (Kec. Mamuju kembali, seperti mengadakan pesta
Dalam Angka, 2016). perkawinan, hajatan, aqiqah dan lain-lain.
Keterlibatan istri-istri nelayan tidak ada lagi
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat pendapatkan karena suaminya istirahat
Nelayan di Pulau Karampuang melaut karena kondisi laut sulit
Penduduk di Pulau Karampuang mendapatkan ikan (Hasil wawancara: ibu
sebagaian besar bermata pencaharian KS: 18-02-2017).
ganda, yakni bekerja sebagai nelayan dan Menurut Kepala Desa Karampuang
petani kebun. Hal ini dilakukan sebagai bahwa kondisi ekonomi masyarakat
bentuk adaptasi atau penyesuaian dalam Karampuang 80 % bergantung pada hasil
menghadapi perubahan iklim. Karena laut, selebihnya adalah berkebun/bertani.
sulitnya mendapatkan hasil tangkapan ikan Para nelayan di Pulau Karampuang
maka nelayan biasanya beralih mengelolah umumnya masih menggunakan alat tangkap
kebun dengan memanfaatkan lahan-lahan yang sangat sederhana, seperti: pancing,
yang kosong di sekitar pekarangan rumah, pukat mini, jala, tombak, bubu dan lain-
begitu pula sebaliknya. Terkadang pula lain. Jenis-jenis ikan yang ditangkap adalah
mereka melakukan kedua-duanya dengan ikan-ikan pelagis, masyarakat Karampuang
membagi waktu, serta berbagi tugas dengan menyebutnya “Ikan campuran”. Selain itu,
anggota keluarganya. Selain itu, mereka juga menangkap ikan-ikan karang
penduduknya ada pula berprofesi PNS, seperti: ikan kakap, ikan sunu, ikan merah,
wiraswasta, usaha angkutan perahu, ikan batu, napoleon dan kerapu dan ikan-
pertukangan kayu, membuka warung/kedai- ikan jenis lainnya. Aktifitas melaut
kedai di rumah, membuat kue-kue/jajanan biasanya berangkat sore hari dan kembali
tradisional, kuli angkut pelabuhan, dan pada pagi hari (Hasil wawancara: Supriadi:
penjaga toko dan bekerja sebagai buruh tanggal 16 Februari 2017).
cuci di Kota Mamuju. Lebih jauh diungkapkan oleh Bapak
Dalam pengamatan kami di lapangan Supriadi bahwa pekerjaan sebagai nelayan
selama pengumpulan data berlangsung, dianggap sebagai pekerjaan yang dilakukan
kondisi ekonomi masyarakat di Pulau secara turun temurun. Ditinaju dari segi
Karampuang, sangat bergantung pada hasil kepemilikan alat tangkap, nelayan di Pulau
laut sedangkan bertani/berkebun hanyalah Karampuang dapat dibedakan menjadi tiga
sebagai pekerjaan sampingan, dan kelompok nelayan, yaitu (1) nelayan
dilakukan pada saat tidak beraktivitas di perorangan, (2) nelayan juragan, dan (3)
laut. Itupun tidak semua nelayan memiliki nelayan buruh. Nelayan perorangan adalah
lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan untuk nelayan yang memiliki peralatan tangkap
berkebun/bertani. sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak
Menurut salah seorang informan melibatkan orang lain. Nelayan juragan
bahwa penduduk di pulau ini banyak adalah nelayan pemilik perahu lengkap
melakukan pekerjaan sampingan, sebagai dengan peralatan tangkap yang
bentuk usaha-usaha lainnya, khususnya dioperasikan oleh orang lain. Mereka
istri-istri nelayan yang ikut bekerja di kota mencari ikan dengan cara berkelompok
sebagai penjaga toko, buruh cuci, membuat yang berjumlah 5-8 orang dalam sebuah
jajanan tradisional, dengan tujuan dapat perahu. Sedangkan nelayan buruh adalah
menyambung kebutuhan hidupnya, nelayan yang bekerja kepada nelayan
membantu pendapatan rumah tangga dan juragan dan semua alat tangkap milik orang
dapat menyekolahkan anak-anaknya. lain. Dari ketiga kelompok nelayan
Kalaupun ada kelebihan dari hasil yang ia tersebut, yang terbanyak jumlahnya adalah
dapat mereka simpan di bank. Sewaktu- nelayan perorangan, kemudian nelayan
137
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
buruh, sedangkan nelayan juragan (pemilik Perahu lopi-lopi adalah jenis perahu
perahu) hanya berjumlah sekitar 20 orang. sampan yang menggunakan dayung tanpa
Dilihat dari teknologi peralatan dilengkapi mesin. Perahu lopi adalah
tangkap yang digunakan nelayan di Pulau perahu memiliki lambung yang sempit dan
Karampuang dapat dibedakan dalam dua menggunakan sayap namun sudah
kategori, yakni nelayan modern dan nelayan dilengkapi mesin. Wilayah tangkapan
tradisional. Nelayan modern menggunakan nelayan yang menggunakan perahu lopi-
teknologi penangkapan yang lebih modern lopi di pesisir Pulau Karampuang,
dibandingkan dengan nelayan tradisional. sementara yang menggunakan perahu lopi
Menurut (Imron, 2004:68) bahwa ukuran di pesisir Karampuang hingga ke Tanjung
modernitas bukan semata-mata karena Rangas Kabupaten Mamuju. Sedangkan
penggunaan motor untuk menggerakkan nelayan yang menggunakan perahu montor
perahu, melainkan juga besar kecilnya wilayah tangkapannya sampai ke perairan
motor yang digunakan serta tingkat Sulawesi Tengah, Minahasa dan perairan
eksploitasi dari alat tangkap yang Kalimantan Timur. Perahu montor adalah
digunakan. Perbedaan modernitas teknologi perahu yang digunakan menangkap ikan,
alat tangkap juga berpengaruh pada teripang, lola, japing-japing dengan cara
kemampuan jelajah operasionalnya. berkelompok. Jumlah perahu montor di
Teknologi penangkapan yang modern akan Pulau Karampuang sebanyak 20 buah.
cenderung memiliki kemampuan jelajah Setiap perahu montor diawaki sekitar 5-8
sampai lepas pantai, sebaliknya teknologi orang. Mereka melaut selama 2 bulan baru
yang tradisional wilayah tangkapnya hanya kembali ke Karampuang.
terbatas pada perairan pantai. Baik itu perahu lopi-lopi atau perahu
Menurut sumber di lapangan bahwa di lopi hanya dapat diawaki oleh 1 sampai 2
Pulau Karampuang, dapat digolongkan orang saja, biasanya pemilik perahu itu
sebagai nelayan yang relatif modern sendiri dan dibantu oleh anaknya.
jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan Sedangkan perahu montor (perahu yang
nelayan dengan kategori tradisional. besar), biasa diawaki 5 sampai 8 orang.
Dengan alat tangkap yang sederhana, Nelayan-nelayan buruh yang dipekerjakan
wilayah operasionalnya terbatas hanya di adalah dari keluarga dekat dan tetangga.
sekitar Tanjung Rangas dan pesisir Pulau Dari tiga jenis perahu yang digunakan
Karampuang. Selain itu ketergantungan mencari ikan, jenis perahu lopi-lopi yang
terhadap alam (musim) juga sangat tinggi, paling banyak digunakan oleh
sehingga tidak setiap saat nelayan dapat masyarakatnya.
melaut, terutama pada musim ombak. Masyarakat di Pulau Karampuang
Akibatnya selain hasil tangkapan yang yang tidak memiliki perahu lopi-lopi dan
terbatas dengan kesederhanaan teknologi perahu lopi, tidak ada alternatif lain kecuali
alat tangkap yang dimiliki, pada musim harus bekerja pada orang lain yang
tertentu tidak ada hasil tangkapan yang membutuhkan tenaga seperti ikut dengan
diperoleh (Hasil wawancara, LND: 18 nelayan juragan (yang memiliki perahu
Februari 2017). montor). Dan terkadang mencari pekerjaan
Ada beberapa jenis-jenis perahu yang lain di luar aktivitas nelayan, seperti kuli
digunakan masyarakat nelayan di Pulau bangunan, kuli angkut pelabuhan, penjaga
Karampuang, pada dasarnya dibedakan toko atau memilih untuk merantau dan
dalam tiga kategori, yaitu lopi-lopi (perahu meninggalkan kampung halaman, seperti
sampan), lopi (perahu yang memiliki Kalimantan Timur dan ke Kota Makassar
sayap), dan perahu montor (perahu yang bekerja sebagai buruh bangunan/kuli
lebih besar) (Hasil wawancara: SPRD, 25 bangunan.
Februari 2017). Nelayan buruh yang ikut melaut
dengan cara berkelompok 5 sampai 8 orang
138
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis
memiliki keseragaman aturan dalam hal pepaya, pisang, jahe, kunyit, lengkuas,
sistem bagi hasil. Ini berlaku pada nelayan mengkudu, dan tanaman apotek hidup yang
juragan (pemilik perahu montor). Hasil banyak di tanam di sekitar pekarangan
dari tangkapan selama kurang lebih 1-2 rumah.
bulan melaut tidak selama mendapatkan Pekerjaan sampingan lainnya adalah
hasil yang banyak. Hasil tangkapan ikannya beternak ayam kampung dan kambing.
selama mereka melaut langsung di jual di Hasilnya dari memelihara ternak untuk
tempat di mana perahu itu singgah. menambah keperluan rumah tangga dan
Sedangkan tangkapan berupa lola, teripang, kebutuhan sehari-hari. Potensi wisata pantai
dan japing-japing biasanya di bawa pulang yang terdapat di Dusun Ujung Bulo yang
di jual di Kota Mamuju setelah kembali dari banyak dikunjungi wisatawan di hari-hari
melaut. Bilamana mereka mendapatkan libur. Dimanfaatkan oleh warga masyarakat
hasil Rp 18.000.000 s.d Rp 27.000.000 juta di sekitarnya dengan membuka
bahkan lebih dari itu dalam sekali melaut warung/kedai kecil dengan menjual
maka hasilnya tetap di bagi rata. Misalnya minuman dan mie rebus. Menyiapkan
orang yang ikut di montor berjumlah 7 souvenir-souvenir yang terbuat dari kerang-
orang, maka dihasilnya dibagi sembilan + kerang laut, seperti membuat gantungan
(montor + mesin). Dari 7 orang tersebut kunci, asbak, tempat tissu dan lainnya.
termasuk pemilik perahu/juragan, maka Dengan memanfaatkan potensi yang ada
mereka pun dapat bagian. Jadi semuanya maka masyarakatnya dapat menambah
masing-masing mendapat Rp 2.000.000 penghasilan dalam rumah tangga. Karena
jika hasil penjualannya Rp 18.000.000. mencari ikan di laut tidak sepenuhnya
Kalau hasil tangkapannya dihargai Rp dilakukan selama setahun karena kondisi
27.000.000 maka masing-masing cuaca yang fluktuatif.
mendapatkan Rp. 3.000.000. Adapun biaya Hubungan antara pemilik perahu
operasional selama mereka melaut maka montor dengan buruh nelayan yang ikut
dikeluarkan dengan nilai yang sama untuk menangkap ikan saling membutuhkan. Jadi
(perahu + mesin). dalam hal bagi hasil tidak ada ketimpangan
Pekerjaan bertani dan berkebun maupun kecemburuan antara sesama buruh
sekitar 20 % penduduknya mengolah dan nelayan maupun selama pemilik perahu
lahan-lahan yang kurang produktif karena montor karena mereka mendapatkan hasil
tanahnya kurang subur dan bercampur yang sama. Ketika terjadi musim paceklik
karang. Kondisi topografi Pulau biasanya nelayan-nelayan buruh tidak lagi
Karampuang ini hampir tidak dijumpai melaut karena kondisi cuaca tidak
tanah datar. Adapun lahan-lahan yang tanah memungkinkan seperti kerasnya ombak,
datar letaknya dipinggir-pinggir pantai angin kencang maka terpaksa mereka harus
difungsikan untuk membangun rumah. beristirahat. Terkadang mereka mencari
Lahan-lahan kering yang terlihat kosong pekerjaan sampingan seperti menjadi kuli
merupakan tutupan batu karang. bangunan atau kerja sebagai pelayan toko
Pemanfaatan lahan hanya untuk menanam sama orang Cina, menjadi kuli angkut di
tanaman tegalan dan tanaman perkebunan, pelabuhan pekerjaan serabutan di Kota
seperti singkong, jagung, dan kakao, itupun Mamuju demi pemenuhan kebutuhan hidup
hasilnya produksinya kurang maksimal. keluarganya. Sedangkan nelayan buruh
Umumnya tutupan lahan yang dominan yang tidak lagi bekerja, terkadang mereka
adalah ditumbuhi semak belukar dan meminjam uang kepada pemilik perahu
pohon-pohon keras. Para petani susah (juragan) atau pada keluarga. Karena
mengembangkan tanaman-tanaman biasanya dalam satu dusun merupakan
tahunan. Jenis tanaman-tanaman yang suatu rumpun keluarga dan tidak ada orang
dikembangkan adalah tanaman hortikultura lain. Ketika butuh pertolongan mereka
tanaman jagung, ubi kayu, jeruk nipis, saling membantu. Tetapi berbeda saat
139
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
mereka memimjam kepada juragan nelayan nelayan tradisonal, dengan teknologi alat
tempat mereka bekerja atau bergabung di tangkap yang masih sederhana. Para
perahu montor sang juragan. Walaupun nelayan yang ada di pulau ini sangat
istilahnya kerabat dekat dengan pemilik tergantung terhadap kondisi alam, kadang
perahu montor. Memberikan pinjaman cuaca yang tidak menentu. Hal ini
kepada anak buahnya merupakan cara mengakibatkan masa melaut mereka tidak
mengikat mengikat nelayan buruh tersebut dilakukan sepanjang tahun menurut
agar tidak lari atau berpindah kepada perhitungannya. Musim “panen ikan”,
pemilik perahu montor lainnya. dalam arti musim di mana mereka dapat
Jenis perahu montor tersebut, selain memperoleh hasil tangkapan yang “banyak”
digunakan mencari ikan, teripang, lola, dan itu hanya berlangsung sekitar tujuh
japing-japing. Penduduk di Pulau hingga delapan bulan. Selebihnya
Karampuang menjadikan alat transportasi merupakan masa-masa yang penuh
untuk berbelaja di Kota Mamuju, begitupun spekulasi saat melaut. Bahkan beberapa
sebaliknya dari Kota Mamuju ke nelayan kecil mengungkapkan bahwa ada
Karampuang, baik penduduk lokal maupun saat-saat tertentu, yang kadang berlangsung
wisatan dari luar, dengan sekali jalan dapat hingga tiga atau empat bulan, terjadi angin
memuat sekitar 20 orang penumpang. kencang dan ombak besar sehingga mereka
Setiap penumpang dikenakan biaya Rp. terpaksa tidak melaut.
10.000 per kepala. Dalam kondisi semacam inilah
nelayan seringkali menghadapi kesulitan
Strategi Bertahan Hidup Nelayan
ekonomi. Karena itu, melakukan pekerjaan
Karampuang dalam Pemenuhan
sampingan di saat mereka tidak melaut
Kebutuhan Hidup
merupakan suatu pilihan dan itu harus
Salah satu strategi yang dilakukan dilakukan. Tentu saja dibutuhkan
keluarga nelayan dalam mempertahankan kemampuan dan kemauan untuk melakukan
kelangsungan hidupnya adalah melakukan pekerjaan sampingan guna memenuhi
alternatif pilihan dengan mencari pekerjaan kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
sampingan di luar bidang kenelayanan Karakter nelayan pun cukup bervariasi, ada
untuk menambah pendapatan. Pekerjaan nelayan yang telah terbiasa melakukan
sampingan maupun bentuk strategi yang kerja sampingan saat ia tidak melaut.
umum dilakukan oleh komunitas nelayan Namun tidak sedikit jumlah nelayan yang
sifatnya masih tradisional. Berbagai mengaku kesulitan bahkan enggan untuk
peluang kerja yang dapat dimasuki oleh mencari pekerjaan sampingan, karena
mereka sangat tergantung pada sumber- merasa tidak terbiasa melakukannya dan
sumber daya yang tersedia di desa-desa ada nelayan yang sama sekali tidak pernah
nelayan tersebut. Karena setiap desa mencoba.
nelayan memiliki karakteristik lingkungan Ketidakmampuan sebagian nelayan
alam dan sosial ekonomi tersendiri, yang untuk melakukan pekerjaan sampingan
berbeda antara satu desa dengan desa yang karena secara sosiokultural ada keterikatan
lain. Ada desa nelayan yang tersedia yang kuat dalam dirinya dengan
peluang cukup besar untuk melakukan aktivitasnya sebagai penangkap ikan.
pekerjaan sampingan, sementara ada desa Karena laut sudah dianggap sebagai bagian
nelayan lain yang hampir tidak memiliki dari kehidupannya sehingga tidak mudah
peluang untuk melakukan pekerjaan ditinggalkan. Oleh karena itu, sekalipun
sampingan, karena jauhnya akses menuju pekerjaan nelayan tidak memberikan hasil
kota sehingga hanya bergantung pada hasil yang stabil dan teratur, tetapi mereka
laut. merasa enggan terlibat dalam pekerjaan
Masyarakat nelayan di Pulau lain.
Karampuang masih tergolong sebagai
140
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis
141
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
142
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis
Menurut informan bahwa tidak semua bekerja toko-toko orang Cina dan bekerja
nelayan-nelayan di pulau ini pada saat sebagai buruh cuci maupun menjual jajanan
mereka tidak melaut, mereka ikut bekerja tradisional.
mencari pekerjaan sampingan atau pergi Menurut seorang nelayan di Pulau
merantau. Menurutnya mereka merasa lebih Karampuang bahwa saat terjadi musim
nyaman tinggal di kampung berkumpul paceklik tiba, maka untuk menutupi
dengan keluarga, daripada meninggalkan kebutuhan hidupnya hidup mereka sehari-
keluarga. Yang penting masih bisa melaut hari. Mau tidak mau, kita terpaksa bekerja
walaupun hasilnya hanya untuk makan sebagai kuli bangunan, kuli angkut pasar,
sehari saja, karena kondisi cuaca cuaca kuli angkut pelabuhan di Kota Mamuju.
yang tidak bersahabat. Tetapi mereka tetap Walaupun pendapatannya memang lebih
melakukannya, walaupun jarak kecil dibandingkan dengan hasil melaut,
pencariannya tidak jauh dari pandangan yaitu sekitar Rp. 50.000 s/d Rp 100.000,-
mata yakni di pinggir-pinggir pantai atau per hari. Namun dengan penghasilan
sekitar pulau. Atau mencari lokasi tersebut sekurang-kurangnya dapat
pemancingan yang dianggap aman seperti menutupi rumah tangga keluarganya (Hasil
berdiri di atas dermaga dengan wawancara: AHD, 23 Februari 2017).
melemparkan mata kailnya. Serta hanya Salah seorang informan menuturkan
sekedar memasang bubu dipinggir-pinggir bahwa istrinya bekerja sebagai buruh cuci
pantai yang banyak karangnya (Hasil penghasilan sekitar Rp 800.000 – Rp
wawancara, ACD: 20 Februari 2017). 1.000.000 per bulannya. Setiap buruh cuci
Melakukan pekerjaan sampingan bagi mendapat gaji yang berbeda tergantung dari
keluarga nelayan di Pulau Karampuang majikan tempat mereka bekerja. Setelah
sangat penting untuk dilakukan guna mereka gajian harus membayar ongkos
menopang kehidupan rumah tangga. Hal ini atau perahu montor/taksi sekitar Rp
terkait dengan musim paceklik, karena 300.000,- per bulan. dengan istrinya ikut
umumnya masyarakat nelayan hanya bekerja sebagai buruh cuci maka
menyandarkan kehidupannya dari hasil laut kebutuhan hidup keluarganya yang pokok
saja. Di saat hasil tangkapan stabil (musim dapat terpenuhi, sehingga tidak perlu
ikan), penghasilan yang diperoleh cukup berhutang kepada juragan atau tengkulak
lumayan sehingga dapat menutupi (Hasil wawancara, HRS: 27 Februari 2017).
kebutuhan hidup sehari-sehari. Bahkan Bagi keluarga nelayan di Pulau
hasilnya setiap hari dapat disisihkan atau Karampuang melakukan pekerjaan
disimpan. Ketika mereka ada kesempatan sampingan, memiliki makna yang sangat
pergi ke Kota Mamuju mereka ke Bank berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah
BRI untuk menabung. Jika terjadi musim tangganya. Hal ini terkait dengan dalam
paceklik ikan, maka tabungan tersebut kegiatan menangkap ikan yang berakibat
biasanya diambil untuk menutupi panghasilan semakin kurang stabil,
kebutuhan hidup sehari-hari mereka sehingga para nelayan menganggap saat
maupun untuk keperluan anak sekolah. tidak melaut, merupakan masa-masa yang
Adapun tabungan yang mereka miliki sangat sulit untuk menambah atau menutupi
jumlahnya tidak seberapa besar, sehingga kebutuhan mereka sehari-hari, jadi harus
tidak bisa menutupi kebutuhan hidup untuk melakukan pekerjaan apa saja yang penting
satu tahun. Oleh karena itu untuk menutupi halal.
kebutuhan hidup selama musim paceklik,
mereka harus melakukan pekerjaan PENUTUP
sampingan di luar aktivitas kegiatan melaut
misalnya menjadi kuli bangunan, kuli Kota Mamuju menuju Pulau
angkut pelabuhan, kuli angkut pasar. Dan Karampuang tergolong cukup dekat, dapat
tukang ojek. Sedangkan istri-istri nelayan ditempuh selama kurang lebih 20 menit
dengan perahu jolloro atau sebutan montor
143
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
144
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis
145
BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI PRODUKSI,
PERDAGANGAN, PELAYARAN, HINGGA PENYELUNDUPAN
BERAS (1946-1956)
BERRE’ (RICE) IN THE SOUTH SULAWESI: FROM PRODUCTION,
TRADING, SHIPPING, TO RICE SMUGGLING (1946-1956)
Adil Akbar
Program Pascasarjana UNM, Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah
Universitas Negeri Makassar, Kampus Gunung Sari, 90222
Telp (0411) 830366, Faksmile (0411) 855288
Pos-el: adilakbarilyasibrahimhusain@gmail.com
Handphone : 085298443202
ABSTRACT
Three primary objects of discussion are presented in this research: first, rice production in South
Sulawesi during the years 1946-1950; second, the trade network and shipping of rice as a commodity
in South Sulawesi during the years 1946-1950; third, the smuggling of rice in South Sulawesi during
the years 1950-1956. The method employed in this research is a historical approach consisting of the
following stages: data collection (especially in study of archives and records), critical, interpretation,
and historiography (compiling the history). The results of this research demonstrate, first of all, a
healthy level of production of rice in South Sulawesi, due to the quality and quantity of arable land
suitable for rice planting; also, the presence of ports on both the east and west sides of the peninsula
motivated the creation of rice trade network in East Indonesia during the years 1946-1950.
Nevertheless, it is undeniable that the political upheaval that took place in South Sulawesi in the
1950s affected the production and trade of rice in the area, with one of the results being the
emergence of rice smuggling. It may be generally concluded that in addition to contributing to the
economy, the creation of a trade network also carries a political aspect.
Keywords: South Sulawesi, rice, ports, smuggling, trade
ABSTRAK
Terdapat tiga hal pokok yang dibahas dalam penelitian ini: pertama, Produksi Beras di Sulawesi
Selatan kurun tahun 1946-1950; kedua, Jaringan Perdagangan dan Pelayaran Komoditas Beras di
Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; ketiga Penyelundupan Beras di Sulawesi Selatan kurun
tahun 1950-1956. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Sejarah dengan
tahapan, Heuristik (pengumpulan data, terutama studi kearsipan dan kepustakaan) kritik, Interpertasi
(penafsiran) dan histiografi (penulisan sejarah). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: hasil
produksi beras di Sulawesi Selatan memuaskan. Hal ini dikarenakan potensi alam dan luasnya lahan
produktif untuk ditanami padi, selain itu kehadiran pelabuhan – pelabuhan di pesisir barat dan timur
Sulawesi Selatan mendorong terciptanya jejaring perdagangan beras di kawasan timur Indonesia pada
kurun tahun 1946-1950. Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan gejolak politik yang terjadi di
Sulawesi Selatan kurun tahun 1950-an mempengaruhi produksi dan perdagangan beras di daerah
tersebut, salah satunya ialah praktek-praktek penyulundupan beras. Secara umum dapat disimpulkan
selain bernilai ekonomis, menciptakan jejaring ekonomi juga memiliki nilai politik.
Kata Kunci: Sulawesi Selatan, beras, pelabuhan, penyelundupan, perdagangan.
PENDAHULUAN merupakan headline atau tajuk utama rilis
“5.000 Ton Beras di Teluk Bintan Gagal berita tempo.co, dalam rilis berita tersebut
Diselundupkan”. disebutkan bahwa Panglima Komando
Armada I Laksamana Muda TNI Yudo
Apa yang Anda baca di atas
146
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
147
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
kuintal per hektar (qt/Ha) dengan luas areal Dengan ini kami memohon dengan amat
persawahan di kurun tahun tersebut sangat, agar bapak suka membukakan
mencapai angka 372.864 hektar (Anonim, kesempatan kepada kami untuk
1953 : 410). mengirimnja ke Kalimantan dengan
perahu/kapal.
Produksi beras yang melimpah di tahun
tersebut selain untuk dikonsumsi juga untuk Kesempatan ini kami anggap sebagai suatu
diperdagangkan, beberapa catatan banntuan jang bermutu tinggi terhadap
menyebutkan bahwa sebanyak 1.000 – kelantjaran/kemadjuan perusahaan kami.
5.000 ton beras—pada paruh awal abad ke- Sebelumnja kami aturkan banjak terima-
20—di kirim dari Pelabuhan Makassar ke kasih.-“ (Arsip Muhammad Saleh Lahade,
wilayah Ambon, selain itu terdapat pula No. Reg. 273 : Surat Keluar N.V. Batu
2.000 ton beras dikirim ke Ternate (Asba, Putih)
2007) (Nur, 2003) (Najamuddin, 2000). Informasi tersebut di atas memberikan
Setidaknya ihwal tersebut di atas dapat pada kita suatu fakta bahwa; Pertama di
dibuktikan dengan kegiatan bongkar muat tahun 1955-1956 daerah Pare-Pare
di Pelabuhan Makassar kurun tahun 1946- setidaknya telah menghasilkan beras
1949, tercatat sebanyak 1.118 kapal dengan sebanyak seratus ton. Kedua, telah terjalin
beban tonase 9.394.620,23 kubik dan 2.652 kontak perdagangan antara Sulawesi
perahu tradisional dengan total tonase Selatan dengan Kalimantan. Ketiga,
97.944,85 kubik hilir mudik di pelabuhan jaringan pelayaran dan perdagangan beras
Makassar. Angka-angka tersebut setidaknya dikontrol langsung oleh militer. Keempat,
memberikan indikasi bahwa kegiatan perdagangan beras dilaksanakan melalui
perekonomian di sektor pelayaran laut, di samping melalui darat.
menggeliat terutama kegiatan ekspor-impor Fakta-fakta tersebut menunjukkan
komoditi perdagangan di mana salah bahwa komoditi beras merupakan salah satu
satunya ialah beras (Najamuddin, 2000 : komoditi dagang yang seksi dan memiliki
128). Selain itu, kehadiran-kehadiran nilai penting, tidak hanya sebagai satu
perusahaan asing dan lokal sepeti komoditi yang diperdagangkan dan
Mandeers, Seeman & Co, Perusahaan dikonsumsi, bahkan komoditi beras pada
Insulinde Makassar, Moreoux & Co, fase tertentu menjelma menjadi alat tukar
Coprafounds dan lain sebagainya turut yang menopang logitik perang Gerakan
membangkitkan gairah geliat ekonomi di DI/TII di Sulawesi Selatan kurun tahun
Indonesia Timur terutama pengangkutan 1950-1965.
komoditi beras, kopra, kayu, melalui Olehnya itu beras sebagai komoditas
pelabuhan Makassar baik menggunakan dagang dan beras sebagai bahan konsumsi
jasa KPM maupun perahu tradisional milik utama masyarakat, telah menempatkan
masyarakat setempat (Evita, 2018). komoditas ini diperebutkan dan dicari oleh
Lebih lanjut, dalam catatan arsip banyak orang. Dalam konteks inilah perlu
koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan diketahui bagaimana beras dikelola,
Provinsi Sulawesi Selatan disebutkan diproduksi, dikembangkan dan dipasarkan.
bahwa kurun tahun 1955-1956 terjadi Melalui proses tersebut, maka komoditi
transaksi perdagangan beras dari Sulawesi beras dalam konteks ini menjadi menarik
Selatan ke berbagai daerah seperti untuk dijelaskan dalam konteks historis.
Kalimantan dan Ambon, sebagaimana
nukilan berikut ini:
METODE
“Dengan segala hormat.
Secara umum penelitian ilmiah terbagi
Bersama ini kami dari N.V. Batu-Putih menjadi dua bagian, yaitu penelitian
pusat Makassar, menjampaikan bahwa : kualitatif dan penelitian kuantitatif. Untuk
kini kami ada mempunjai persediaan beras penelitian ini menggunakan penelitian
di Pare-Pare sebanjak 100 (seratus) ton.
148
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
149
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
pada angka 69,8 persen, kemudian di tahun pertanian. Ihwal tersebut dapat
1930 meningkat menjadi 71,38 persen dihubungkan dengan luas areal persawahan
(Maryam, 1999 : 2). Lalu dikurun tahun di Sulawesi Selatan. Tercatat tahun 1938
1947-1948 mencapai angka 85 persen atau luas areal persawaan di Sulawesi Selatan
3.297.302 jiwa (Najamuddin, 2000 : 23) mencapai angka 334.581 hektar (Maryam,
(Anonim, 1953 : 25). 1999 : 10) kemudian meningkat menjadi
Jika melihat angka di atas, 346.879 hektar di kurun tahun 1943-1951
menunjukkan bahwa ada peningkatan (Anonim, 1953 : 410). Agar lebih jelasnya,
jumlah masyarakat yang terjun dalam dunia dapat disimak dari tabel-1.1 berikut ini:
Tabel 1.1: Luas Areal Sawah Pada Tahun 1938 di Sulawesi Selatan
Luas Sawah
Afdeling Onderafdeling
(Ha)
Makassar Pangkajene 18.860
Maros 20.554
Gowa 24.148
Jeneponto-Takalar 21.947
Bonthain Bonthain 1.646
Bulukumba 6.629
Sinjai 7.635
Seleier (Selayar) -
Bone Bone 40.000
Soppeng 12.535
Wajo 47.172
Pare-Pare Barru 8.396
Pare-Pare 4.176
Pinrang 13.056
Sidenreng- 31.635
Rappang
Enrekang -
Mandar Polewali 3.500
Majene 200
Mamuju -
Mamasa 6.000
Luwu Makale-Rantepao 3.500
Palopo 16.400
Masamba 10.070
Malili -
Kolaka 1.000
Kota Besar Makassar 4.022
Makassar
Total Keseluruhan Sulawesi Selatan 334.581
Sumber: diolah dari Siti Maryam 1999. Perdagangan Beras Di Sulawesi Selatan Tahun 1930-
1940. Skripsi. Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.Hlm. 10
Dari tabel 1.1 di atas dapat dilihat areal sawah produksi 3.700 Ha. Adapun
bahwa tahun 1938 luas areal persawahan di untuk Kota Besar Makassar memiliki lahan
Sulawesi Selatan mencapai angka 334.581 seluas 4.022 Ha yang ditanami padi.
Ha. Di mana Afdeling Bone—yang meliputi Luasnya areal persawahan di Sulawesi
Onderafdeling Bone, Soppeng, Wajo— Selatan dan adanya pembangunan irigasi
merupakan daerah penghasil beras terbesar, secara besar-besaran diawal Abad XX
dengan luas sawah produksi 99.707 Ha. berpengaruh langsung pada meningkatnya
Sedangkan Afdeling Mandar yang terdiri produksi beras di Sulawesi Selatan. Nilai
dari Onderafdeling Polewali, Majene, ekspor beras Sulawesi Selatan pada tahun
Mamuju dan Mamasa hanya memiliki luas 1920 hanya berjumlah f.300.000 naik
150
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
Sumber: Abdul Rasyid A. Sakka 2003. Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1888-
1958. Disertasi. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hlm. 69
Secara umum menunjukkan bahwa terbagi menjadi musim barat dan musim
hampir seluruh wilayah di Sulawesi Selatan timur. Secara umum kedua musim ini
adalah daerah penghasil beras, yang membawa hujan bagi wilayah Sulawesi
meliputi: Afdeling Makassar, Bonthain, Selatan.
Parepare, Mandar, Luwu, dan Kota Besar Wilayah Sulawesi Selatan juga dialiri
Makassar. Besarnya produksi beras tersebut beberapa sungai-sungai yang cukup besar,
dikarenakan bentang alam Sulawesi Selatan bisa disebutkan di sini ialah Sungai
yang begitu baik dalam mendukung Jeneberang di selatan Sulawesi Selatan
produktifitas pertanian. yang membelah daratan Gowa. Sungai
Jika dilihat dalam peta atau atlas, Walane yang membelah daratan Soppeng
Sulawesi pada masa akhir kolonial (1941) dan Wajo, Sungai Cenrana yang membelah
(lihat lampiran peta Ammarel, 2016) Bone. Selain itu terdapat beberapa danau
dengan jelas memperlihatkan wilayah yang yang berada di Sulawesi Selatan, bisa
terdiri atas dataran tinggi dan dataran disebutkan di sini ialah Danau Matano di
rendah. Dataran tinggi tersebut berupa Luwu, Danau Sidenreng di wilayah
pegunungan lipatan yang membentang dari Sidenreng-Rappang, dan Danau Tempe di
selatan ke utara Sulawesi Selatan. Wajo. Aliran sungai dan danau tersebut
Pegunungan lipatan tersebut membelah menjadi sumber pengairan untuk areal
daerah ujung atas Afdeling Bonthain yang persawahan di Sulawesi Selatan (Mattulada,
berbatasan dengan Afdeling Makassar dkk., 1977 dalam Najamuddin, 2000 : 19).
(dalam hal ini Onderafdeling/Swapraja Selain itu, Sulawesi Selatan dikelilingi oleh
Gowa, wilayah yang dimaksud ialah Ulu laut pada tiga arah penjuru mata angin.
Ere Bantaeng dengan batas Sebelah barat daratan Sulawesi Selatan
Bontolempangan, Biringbulu, dan Kaki terhubung oleh Selat Makassar, di sebelah
Gunung Bawakaraeng) kemudian naik ke selatan daratan Sulawesi Selatan terhubung
atas membelah wilayah Onderafdeling dengan Laut Flores, sedangkan daratan
Maros, Afdeling Bone (Batas Bone-Gowa), Sulawesi Selatan di penjuru timur
Onderafdeling / Swapraja Soppeng, berhadapan langsung dengan Teluk Bone.
Onderafdeling / Swapraja Wajo, Olehnya itu Sulawesi Selatan dapat
Onderafdeling / Swapraja Sidenreng- dikatakan memiliki posisi maritim,
Rappang, Onderafdeling Enrekang, hingga sehingga terbuka kemungkinan bagi
Onderafdeling Makale-Rantepao atau masyarakatnya yang tinggal di daerah
Toraja. Hal inilah yang memisahkan musim pesisir untuk menjadi pelaut, nelayan,
bagi wilayah pesisir pantai barat dan pesisir pelayar, dan nahkoda sebagai pilihan mata
pantai timur, dan berakibat bagi iklim yang pencahariannya, mengarungi samudera dan
151
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Tabel 1.3: Frekuensi dan Daerah Jatuhnya Hujan di Sulawesi Selatan serta Musim
Tanam dan Musim Panen di Sulawesi Selatan Kurun Tahun 1946-1950
Musim Timur Musim Barat
Jatuhnya Jatuhnya
Musim Musim Musim Musim
Daerah Hujan Daerah Hujan di
Tanam Panen Tanam Panen
di Bulan Bulan
Bulukumba Desember Gowa Oktober
Sinjai Januari Makassar Nopember
Bone Februari Maros Desember
Luwu Maret Pangkep Januari
April Barru Februari
Mei Parepare Maret
Juni
Juli Januari/ April/ Mei April/
Agustus Februari September/ November/ Mei
Soppeng April Maret / Oktober Pinrang Desember Desember Juni/
Wajo Mei April dan Januari Juli
Sidrap Juni daerah Februari
Juli sebelah April
Agustus utara Mei
Desember Pinrang Juni
Januari Juli
Agustus
Sumber: diolah dari Memorie van Overgave den Controuler H.R. Rookmaaker. Betreffende de
Onderafdeling Boni-Riattang, Afdeling Boni. Jaar 1915. Hlm. 247-248; Economische
Breichten Oost Indonesie Jaar 1949; Economische Berichten Oost Indonesie Jaar
1950; Arsip Pemda Bone Nomor Register 1520; Leon A. Mears. 1957. Rice Marketing
in The Republic of Indonesia. Jakarta : The Institute for Economics and Social
152
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
Tabel 1.4: Perkembangan Produksi Beras dari Penghasil Beras di Sulawesi Selatan Kurun
Tahun 1936-1940
Sumber : Nahdia Nur, Bambang Purwanto, dan Djoko Suryo, Perdaganagn dan Ekonomi di
Sulawesi Selatan pada Tahun 1900-an sampai dengan 1930-an. Jurnal Ilmu Budaya
Vol. 4. No. 1. Edisi Juni, 2016. Hlm. 617
Tabel 1.5: Rata-Rata Penghasilan / Produksi Hasil Padi Kering Beberapa Daerah di
Sulawesi Selatan Tahun 1946-1948
153
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
154
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
indikasi bahwa kegiatan perekonomian di Secara umum, angin muson barat laut
sektor pelayaran menggeliat terutama biasanya dimanfaatkan oleh pedagang yang
kegiatan ekspor-impor komoditas berasal dari barat, seperti: Malaka, Riau,
perdagangan di mana salah satunya ialah Johor, dan Batavia (Jakarta). Para pedagang
beras (Najamuddin, 2000 : 128) (Nur, 2003) dari daerah tersebut memanfaatkan
(Asba, 2007) (Nur, Purwanto, & Suryo, hembusan angin muson barat laut untuk
2016). Daerah yang cukup ramai ini telah mengarahkan layar dan haluan kapal ke
membentuk pola-pola perdagangan yang arah timur, tepatnya ke Makassar dan
berhubungan dengan daerah-darah lainnya selanjutnya ke Maluku. Setelah kapal-kapal
di kepulauan maupun di luar Indonesia / dari lokasi-lokasi tersebut (Malaka, Riau,
Nusantara. Johor, dan Jakarta/Batavia) lego jangkar di
Kehadiran pelabuhan di Makassar— Makassar, maka para pelaut tersebut dapat
baik langsung maupun tidak langsung— melanjutkan perjalanan ke Maluku dengan
telah merangsang kegiatan produksi beras menyusur ke selatan lalu berbelok ke-kiri
di daerah pedalaman dalam hal ini daerah melayari pesisir selatan hingga ke pulau
penghasil beras di wilayah selatan Sulawesi Buton dan selanjutnya berlayar ke Maluku.
Selatan yang meliputi Afdeling Bonthain Sederhananya—gamabarannya—
dan Afdeling Makassar. Demikian pula begini, setelah nahkoda mendapatkan izin
dengan Pelabuhan Parepare—baik langsung dari syahbandar, maka juru mudi akan
maupun tidak langsung—telah merangsang mengarahkan haluan kapalnya ke arah
kegiatan produksi beras di wilayah selatan dan menyusuri lepas pantai
Afdeling Parepare yang meliputi: Galesong, lalu berbelok ke kiri dan
Onderafdeling Parepare, Barru, Pinrang, menyusuri lepas pantai Jeneponto,
Sidenreng-Rappang, dan Enrekang. Daerah- Bantaeng, dan Bulukumba serta Selayar dan
daerah tersebut—minus Enrekang—telah berlayar menuju Buton lalu akhirnya
lama dikenal sebagai daerah penghasil berlabuh di Maluku atau Papua, rute
beras di bagian tengah-utara Sulawesi tersebut biasanya digunakan dalam
Selatan. Tidak hanya Pelabuhan Makassar mengirim berbagai komoditas, salah
dan Pelabuhan Parepare, di pesisir timur satunya beras.
Sulawesi Selatan, geliat ekonomi Selain itu terdapat pula rute jarak
perberasan juga nampak begitu nyata pendek dalam pengirimman beras, seperti
terutama di Afdeling Bone—yang meliputi Makassar – Parepare dengan menyisir
Onderafdeling Bone, Wajo, dan Soppeng— pesisir barat Sulawesi Selatan; selain itu
melalui kegiatan bongkar muat komoditas terdapat jalur rintisan jarak dekat rute
beras di Pelabuhan Bajoe dan Pallime Palopo – Bone – Bira dengan menyisir
(Ahmad & Kila, 2015 : 3) pesisir timur Sulawesi dalam hal ini Teluk
Selain karena banyaknya pelabuhan- Bone. Kemudian jalur pelayaran dengan
pelabuhan di Sulawesi Selatan, terciptanya jarak yang jauh ialah Jalur Makassar –
jejaring perdagangan tersebut lebih Baubau – Wakatobi (Kepulauan Tukang
dikarenakan para saudagar dan nahkoda Besi) – Buru – Ambon – Banda; terdapat
(pelaut) memanfaatkan hembusan angin pula jalur pelayaran Makassar – Selayar –
muson seperti angin muson barat laut, angin Kabaena – Baubau – Pasarwajo – Tamperan
muson tenggara, angin muson timur laut, – Bala – Raha dan kembali ke Makassar
dan angin muson utara serta angin muson (Malihu, 1998 : 21) (Demmalino, 2018 :
tenggara. Kiranya demikian maklum 12-15) (Hamid, 2018) (Poelinggomang et
mengingat kala itu kapal-kapal yang al., 2004 : 301).
bertonase ringan dan berat memanfaatkan Pelayaran balik dari Maluku dan Papua
hembusan angin sebagai tenaga penggerak ke arah barat umumnya menggunakan
kapal (Poelinggomang, 2016 : 14-16). angin muson timurlaut, yang bertiup dari
Mei hingga September, dalam pelayaran ini
155
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
156
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
sekitar Danau Towoti. Dalam tulisan Bahar berhasil menangkap atau menggagalkan
Mattalioe disebutkan bahwa wilayah kerja aksi penyelundupan beras (Arsip Pemda
CP-III terletak di daerah Sinjai dan Barru, No. Reg. 179).
Bulukumba di bawah komandan Ali AT. Selain di daerah Parepare indikasi
(Bahar Mattalio, 1994 : 164, 166 dalam praktek-praktek penyulundupan beras juga
Subair, 2018 : 87). Walaupun demikian, dikabarkan terjadi di daerah Selayar, kurun
terlepas dari perbedaan data tersebut, tahun 1953-1954 terjalin kontak surat-
peranan Contac Post dapat dikatakan menyurat antara Kepala Daerah Swantara
istimewa, hal tersebut dikarenakan wilayah Bonthain Alimuddin Dg. Mattiro yang
kerja dari Contac Post menguasai simpul- membawahi Kawedana Selayar, Bonthain,
simpul perdagangan strategis di perairan Jeneponto-Takalar, dengan Kepala
Sulawesi Selatan : Selat Makassar, Selat Pemerintahan Negeri Kawedana di Selayar.
Selayar, dan Teluk Bone. Dalam surat tertanggal 27 Oktober 1953
Salah satu daerah target nomor 166/DB/XV Perihal: Penjeludupan
penyelundupan beras yang dilakukan oleh beras keluar dari pulau Djampea,
Contact Post ialah Kalimantan, terutama dikabarkan terdapat suatu indikasi
wilayah yang berbatasan langsung dengan penyelundupan beras ke daerah Flores,
Tawau Malaysia (Sakka, 2003 : 273). hampir selama sebulan surat tersebut belum
Selain daerah yang berbatasan langsung mendapat balasan, hal ini dilihat dari
dengan Tawau Malaysia, daerah seperti; dikirimkannya kembali surat tertanggal 26
Kota Baru, Balikpapan, dan termasuk Nopember 1953 nomor. 166a/DB/XV
Banjarmasin juga dilaporkan sebagai daerah Perihal: Penjeludupan beras keluar dari
tujuan penyelundupan beras. pulau Djampea, yang berisi permintaan
Sebagaimana yang dilaporkan Berita suatu kabar atau informasi terhadap maksud
Harian Kopal MKS dan kawat dari surat tertanggal 27 Oktober 1953 nomor
Panglima Territoriun VII Wirabuana, 166/DB/XV. Balasan kedua surat tersebut
diceritakan bahwa pada tahun 1954 baru dikeluarkan tertanggal 18 Maret 1954
sebanyak 4.000 ton beras diselundupkan ke melalui surat yang ditandatangani
kota-kota tersebut (Kota Baru, Balikpapan, Djamaluddin selaku Kepala Pemerintahan
dan Banjarmasin). Lebih lanjut diberitakan Negeri Kawedana Selayar dengan nomor
bahwa beras yang diselundupkan berasal surat 22/DB/XV.
dari Sigeri, Barru, kemudian beras-beras Balasan surat kepala Kawedana
tersebut dimuat dengan perahu-perahu Selayar kepada kepala Swantara Bonthain,
bertonase kecil lalu dilayarkan (dibawa) ke setidaknya berisi tiga informasi penting,
Pulau Salemo dan pulau-pulau sekitarnya— pertama luas tanah persawahan di pulau
yang selanjutnya diangkut ke Kalimantan Djampea yang ditaksir kurang lebih 900 Ha
dengan menggunakan perahu layar dengan hasil rata-rata penghasilan beras
bertonase besar (Arsip Pemda Barru, No. sebanyak 900 Ton, kedua menampik kabar
Reg. 179). mengenai adanya penyelundupan beras,
Untuk menghindari atau meminimalisir ketiga melakukan penyelidikan, pencegahan
aksi-aksi penyelundupan beras maka dan tindakan yang dianggap perlu dalam
Panglima Territorium VII Wirabuana mencegah aksi-aksi penyelundupan beras
mengeluarkan kawat yang ditujukan kepada dikemudian hari. Balasan surat dari Kepala
Koordinator Keamanan Pare pare, Kepala Negeri Kawedana Selayar memberikan
Kejaksaan Pare pare, Kepala Kepolosian gambaran bahwa informasi yang didapatkan
Kabupaten Pare pare, dan para kepala kepala Swantara Bonthain mengenai
Pemerintahan Negeri dalam daerah praktek penyelundupan beras di pulau
Parepare untuk mengambil tindakan Djampea keliru. Walaupun demikian,
pencegahan penyelundupan beras, dengan Kepala Negeri Kawedana Selayar
imbalan Special Premi bagi mereka yang mengambil langkah pencegahan dengan
157
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
158
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
harga komoditi beras, lebih jelasnya disimak melalui tabel 1.6 berikut:
mengenai harga beras tersebut dapat
Tabel 1.6: Perkembangan Harga Beras Di Indonesia Tahun 1955-1956
Harga Beras 1955 (Dalam Harga Beras 1956 (Dalam Rupiah/Kg)
Rupiah/Kg)
Januari 2.76 Januari 3.84
Februari 3.09 Februari 3.92
Maret 3.10 Maret 3.89
April 2.91 April 3.26
Mei 2.98 Mei 3.18
Juni 3.04 Juni 3.19
Juli 3.26 Juli 3.01
Agustus 3.53 Agustus 3.20
September 3.46 September 3.37
Oktober 3.42 Oktober 3.51
Nopember 3.74 Nopember 3.44
Desember 3.67 Desember 3.50
Rata-rata pertahun 3.41 Rata-rata pertahun 3.61
Sumber: Bulog. 1970 Seperempat Abad Bergelut Dengan Butir-Butir Beras Jakarta: Badan
Urusan Logistik. Hlm : Lampiran I
159
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
160
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar
161
PENGUATAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN
DI KOTA PAREPARE
(REINFORCEMENT OF FOOD SECURITY INSTITUTIONAL
IN THE CITY OF PAREPARE)
ABSTRACT
The article explains two important things, i.e. the problem of food security institutional in the poor
households in the city of Parepare; alternative models of food security institutional for poor fishermen
households that are in accordance with the demands of development. This study uses the Cluster
Porpose Sampling method. The samples are social groups, service social institutions, and community
organizations that are purposively selected, and analyzed using sociometric and descriptive analysis
models. Data collection techniques use survey methods and in-depth interviews, as well as focus-
group discustion (FGD) methods. The result of this study indicates that traditional food security
institutional is already exist for a long time in poor fishing communities in the city of Parepare as a
form of adaptation to the problem of poverty. Nevertheless, population growth and food needs are
increased, it is necessary to manage more complex food security. Therefore, local food institutional
needs to be supported by modern organizational system in order to strengthen local food security
institutional. Vice versa, modern institutional needs to be supported by local institutional that have
been practiced for a long time by the poor in the city of Parepare.
Keywords: food security; institutional strengthening; poorness.
ABSTRAK
Artikel ini menjelaskan dua hal penting, yakni soal kelembagaan ketahanan pangan dalam rumah
tangga miskin di Kota Parepare dan model alternatif kelembagaan ketahanan pangan rumah tangga
nelayan miskin yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. Penelitian ini menggunakan metode
Cluster Porpose Sampling. Sampelnya adalah kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga sosial
kenelayanan, dan organisasi kemasyarakatan yang dipilih secara purposif dan dianalisis dengan model
analisa sosiometrik dan deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei dan in-
depth interview (wawancara mendalam) serta metode focus-group discustion (FGD). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kelembagaan ketahanan pangan tradisonal telah ada sejak dahulu dalam
masyarakat nelayan miskin di Kota Parepare sebagai bentuk adaptasi terhadap persoalan kemiskinan.
Tetapi, karena pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan meningkat sehingga dibutuhkan
manajemen ketahanan pangan yang lebih kompleks. Oleh sebab itu, kelembagaan pangan lokal perlu
ditopang oleh sistem organisasi modern demi memperkuat kelembagaan ketahanan pangan lokal.
Demikian pula sebaliknya, kelembagaan modern perlu ditopang oleh kelembagaan lokal yang sudah
lama dipraktikkan oleh masyarakat miskin di Kota Parepare.
Kata Kunci: ketahanan pangan; penguatan kelembagaan; kemiskinan.
PENDAHULUAN kemiskinan (Sallatang, 2002). Masalah
kemiskinan sudah merupakan isu global
Kelaparan tidak memiliki tempat
yang berkaitan langsung dengan
tinggal, bila sakit tidak memiliki dana untuk
kemanusiaan dan telah banyak menguras
berobat merupakan beberapa ciri yang
para ahli untuk merumuskan konsep
dikaitkan dengan suatu kondisi
penyelesaiannya. Salah satu pendapat yang
ketidakcukupan yang disebut sebagai
162
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri
muncul adalah pendapat Ickis (dalam bagian dari sistem sosial masyarakat Kota
Supriatna, 2000) bahwa kemiskinan itu Parepare.
terkait erat dengan strategi pembangunan Belakangan ini, permasalahan
pedesaan. Dengan demikian, Ickis pemantapan ketahanan pangan terkait
mengajukan empat strategi penanggulangan dengan berbagai aspek, terutama isu-isu
kemiskinan, salah satunya adalah the tentang meningkatnya jumlah penduduk,
welfare strategy yang berkaitan dengan keterbatasan sumber daya alam dan sumber
persoalan ketahanan pangan (Supriatna, daya manusia, meningkatnya kasus kurang
2000). gizi, kemiskinan, bencana alam, instabilitas
Ketahanan pangan pada tataran sosial ekonomi politik, tuntutan mutu dan
nasional merupakan kemampuan suatu liberalisasi perdagangan internasional,
bangsa untuk menjamin seluruh pemenuhan hak asasi manusia, dan
penduduknya memperoleh pangan dalam sebagainya. Isu-isu ini mendorong perlunya
jumlah yang cukup, mutu yang layak, menciptakan ketahanan pangan secara
aman, dan juga halal yang didasarkan pada nasional, provinsi, kabupaten/kota,
optimasi pemanfaatan dan berbasis pada kecamatan, sampai pada ketahanan pangan
keragaman sumber daya domestik. Salah pada tingkat rumah tangga. Hal ini menjadi
satu indikator untuk mengukur ketahanan lebih penting karena terbukti bahwa selama
pangan adalah soal ketergantungan dan ini ketahanan pangan belum sepenuhnya
ketersediaan pangan nasional terhadap dapat memenuhi kebutuhan penduduk.
import. Mewujudkan ketahanan pangan yang
Ketahanan pangan telah menjadi isu berkelanjutan sebagai upaya untuk
sentral dalam kerangka pembangunan membangun integrasi nasional yang
nasional. Namun, persediaan pangan yang mantap, diperlukan perubahan sosial, yaitu
cukup secara nasional tidak serta-merta percepatan proses perubahan dan
menjamin ketahanan pangan, baik di tingkat pertepatannya secara berencana, ke arah
regional maupun rumah tangga dan yang lebih baik atau lebih tinggi
individu. Meskipun secara nasional tingkatannya dari waktu ke waktu, tahap
persediaan pangan mencukupi, namun demi tahap secara berkelanjutan. Lebih baik
munculnya kasus kerawanan pangan dan atau lebih tinggi tingkatannya, berdasarkan
ditemukannya bayi dan anak balita atas atau sesuai dengan nilai-nilai (values)
berstatus gizi buruk di berbagai daerah di yang dianut oleh masyarakat yang
Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat bersangkutan. Oleh karena itu, perlu
dipungkiri. melakukan pembangunan lembaga
Peningkatan kebutuhan pangan harus ketahanan pangan secara reformatif.
berbanding lurus dengan peningkatan Artinya, melakukan improvisasi
jumlah penduduk dan kesempatan kerja. (pengembangan/ penyempurnaan) lembaga
Ketahanan pangan terkait dengan kondisi ketahanan pangan yang telah ada sekarang.
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga Perwujudan ketahanan pangan tanpa
yang tercermin bagi tersedianya pangan memperhatikan kelembagaan masyarakat
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, relatif tidak menunjang keberlanjutan
aman, merata, dan terjangkau. Hal ini tentu ketahanan pangan, baik pada tingkat
saja berkaitan dengan banyak faktor, di nasional maupun pada tingkat rumah
antaranya; jenis pangan, produksi, dan tangga. Ketahanan pangan dapat
distribusinya. Namun, yang lebih penting, berkelanjutan apabila memanfaatkan
ialah norma-norma sosial yang beroperasi kelembagaan ketahanan pangan masyarakat
mengatur sehingga ketahanan pangan tidak yang menjadi lingkungan sosial budayanya.
hanya terwujud, tetapi juga terpelihara. Untuk mengidentifikasi kelembagaan
Singkatnya, ketahanan pangan menjadi masyarakat yang menunjang ketahanan
pangan rumah tangga masyarakat, perlu
163
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
164
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri
kelompok yang bersangkutan; (2) ada nasib yang sama, kepentingan yang sama,
hubungan timbal balik antara anggota yang tujuan yang sama, idiologi politik yang
satu dengan anggota yang lain; (3) ada sama dan lain-lain; dan (4) berstruktur,
suatu faktor yang dimiliki bersama, berkaidah dan mempunyai pola perilaku;
sehingga hubungan antara mereka dan bersistem dan berproses.
bertambah erat. Faktor ini dapat berupa
165
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
Kaitan-kaitan fungsional yakni „dengan yang ditarik secara purposif, dan dianalisa
organisasi-organisasi yang menjalankan dengan model analisa sosiometrik dan
fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan deskriptif. Teknik pengumpulan data, yaitu
pelengkap dalam arti produksi, yang survei, in-depth interview dan focus-group
menyediakan masukan-masukan dan yang disussion (FGD).
menggunakan keluaran-keluaran dari
lembaga tersebut. (3) Kaitan-kaitan
PEMBAHASAN
normatif, yakni „dengan lembaga-lembaga
yang mencakup norma-norma dan nilai- Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal
nilai lokal (positif dan negatif) yang relevan di Kota Parepare
bagi doktrin dan program dari lembaga
tersebut‟. (4) Kaitan-kaitan tersebar, yakni Masyarakat di daerah penelitian, baik
„dengan unsur-unsur dalam masyarakat pada tipe agroekosistem pantai, sawah
yang tidak dapat dengan jelas diidentifikasi maupun pada tipe agroekosistem lahan
oleh keanggotaan dalam organisasi formal‟. kering, bahwa dalam pemenuhan kebutuhan
pokok sehari-hari, hampir semua pekerjaan
yang dilakukan selalu berhubungan dengan
METODE kelompok. Hampir tidak ada pekerjaan
Penelitian ini dilakukan di seluruh yang dapat dilakukan dengan sendiri-
wilayah Kota Parepare, meliputi: sendiri. Anggota kelompok ini saling
Kecamatan Bacukiki, Bacukiki Barat bekerja sama satu sama lain. Dalam kerja
Kecamatan Soreang, dan Kecamatan Ujung. sama tersebut untuk melakukan pekerjaan
Pada dasarnya ada beberapa jenis studi dan diterapkan aturan-aturan atau norma-norma
teknik pengumpulan data yang diterapkan yang telah lama mereka yakini dan
untuk kajian ini adalah: (1) Community pertahankan. Karena itu hampir seluruh
Studies, dengan maksud untuk masyarakat (juga responden) mengatakan
mendapatkan data mengenai profil bahwa dalam urusan ketersediaan bahan
masyarakat miskin terutama yang makanan terdapat aturan-aturan atau norma-
berhubungan dengan kelembagaan norma yang berkaitan dengan pekerjaan
ketahanan pangan. (2) Stakeholders studies, mereka sehari-hari. Hal ini dapat
dimaksudkan untuk mendapatkan data dan dikategorikan sebagai modal sosial di mana
informasi mengenai pandangan/penilaian masyarakat memiliki nilai-nilai yang
para pemangku kepentingan atau diyakini bersama sebagai perekat sosial ke
stakeholders (Pemerintah, DPRD, kalangan arah yang positif (Fukuyama, 2005; 2006).
Lembaga non-pemerintah, pakar/akademisi Khususnya di tipe agroekosistem pantai,
dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya kelompok yang berkembang adalah
tentang berbagai regulasi, kebijakan kelompok kerja sama nelayan yang
maupun implementasi dari kebijakan yang beranggotakan 5-7 orang, antara lain
berhubungan dengan berbagai aspek kelompok pa’bagang yang beranggotakan
kelembagaan yang distudi. (3) Policy 12-15 orang dan kelompok nelayan pancing
Impact Studies (PIS). (4) Studi literatur. (pa’tongkol) yang beranggotakan 2-5 orang.
Sebelum penelitian lapangan dilakukan, tim Dari penuturan masyarakat (melalui
peneliti terlebih dahulu melakukan kajian responden dan informan) kerja sama ini
terhadap laporan-laporan studi mengenai berfungsi untuk meningkatkan keberanian
kelembagaan pangan. (5) Kajian historis dan meningkatkan semangat kerja, bukan
mengenai kelembagaan pangan. sebaliknya munculnya rasa takut dan
kesepian. Selain itu, kerja sama ini
Metode yang digunakan dalam
berfungsi sebagai sarana peningkatan
penelitian ini adalah metode Cluster
kerukunan dan kekompakan antarsesama
Porpose Sampling. Sampelnya adalah
yang bukan hanya anggota kelompok,
kelompok-kelompok/lembaga/ organisasi
melainkan juga seluruh anggota keluarga.
166
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri
167
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
kepercayaan, pengetahuan, dan simbolisasi) buang nafas akan berarti kosong. Demikian
antara lain: Bibit ikan (nener) dan udang pula dengan padi yang ditanam akan
(benur) dilemparkan dalam sebuah baskom dipercaya berisi untuk dinikmati hasilnya.
pada saat ada transaksi antara pedagang Makan-makan dahulu sebelum menabur
bibit dengan petani tambak. Petani tambak benih/bibit (nasi/songkolo). Diadakan
akan mengamati bibit, jika bibit berputar dengan sederhana dan memohon
dalam baskom ke arah kanan, akan keselamatan agar padi yang ditanam
dipercaya bahwa bibit tersebut akan terhindar dari segala macam gangguan serta
menguntungkan untuk dipelihara. Ke arah bisa dinikmati dalam waktu yang tidak
kanan adalah arah yang berlawanan dengan terlalu lama.
arah jarum jam. Pada saat penebaran bibit Menyambut kembali bibit yang
akan dilakukan keadaan harus tenang ditabur dengan cara memercikkan ramuan
(konsentrasi dalam niat), air dalam baskom air tertentu dengan maksud mengusir segala
bibit harus tenang, dan alam pun harus bala yang mungkin akan menimpa.
tenang. Selanjutnya, untuk tipe agroekosistem
Berpakaian lengkap (celana, baju, lahan kering, sektor perkebunan
sarung, kopiah) dan bersih (baru). Sebelum merupakan lahan yang sangat potensial
penebaran benih duduk berjongkok di untuk mengembangkan berbagai komoditi.
pinggir/tepi tambak menghadap ke arah Dicatat bahwa kemampuan komoditi
tertentu dan mengucapkan mantra kepada tertentu untuk membantu kesejahteraan
malaikat yang menguasai tambak sebagai rumah tangga pada umumnya berhubungan
ungkapan pemberitahuan. Sebelum panen, dengan penyesuaian antara tanaman, lahan
petani tambak mengamati ikan di dalam dan iklim. Pada lahan kering dapat
tambak lebih dahulu untuk mengamati dikembangkan berbagai komoditi seperti
gerakannya, yaitu apabila serupa seperti cengkeh, kakao(coklat), kopi, lada, vanili,
pada saat menabur benih. Jika ikan dan banyak lagi. Komoditi-komoditi
bergerak ke kanan dinyatakan telah siap tersebut merupakan komoditi ekspor yang
panen. Gerakan ke kanan melambangkan memiliki prospek pasar cukup tinggi.
arti/makna yang baik, rezeki masuk – ini Tanaman-tanaman ini memerlukan
dianalogikan gerak melingkar tangan kanan pengelolaan dan perawatan yang efektif
ke arah kiri dan masuk ke bagian tubuh. agar dapat dinikmati hasilnya secara
Ketenangan dianalogikan bahwa tidak optimal.
ada gangguan baik pada ikan dan tambak, Petani kebun atau lahan kering
maupun petani tambak serta seluruh sebagian besar memercayai dan meyakini
keluarganya. Adapun gerak ikan ke kanan adanya norma-norma dan nilai-nilai budaya
pada saat hendak dipanen melambangkan dalam bercocok tanam. Ada beberapa cara
keuntungan dan rezeki yang diperoleh. Pada yang biasa mereka lakukan, misalnya pada
masyarakat tipe agroekosistem sawah saat akan menanam atau memanen tanaman
berkembang pula norma-norma atau aturan- jangka panjang mereka, seperti berikut:
aturan yang berkenaan dengan padi. Padi Disediakan terlebih dahulu tanaman-
merupakan salah satu hasil produksi pada tanaman yang hendak mereka tanam yang
usaha tani sawah dan merupakan bahan bisa dinikmati. Dinikmati berarti bahwa
makanan pokok. Dalam proses produksinya mereka (petani) akan bisa menikmati
terdapat juga unsur-unsur budaya yang langsung hasil usahanya sebelum
diyakini/dipercaya oleh masyarakat seperti meninggal. Pada saat bibit akan
berikut; ketika hendak menabur benih dimasukkan ke dalam lubang/tanah, harus
petani membaca mantra; pada saat menarik nafas agar apa yang ditanam bisa
melempar/menabur benih padi diharuskan berhasil. Menarik nafas diartikan tanaman
mengisap nafas panjang, maknanya yaitu akan berisi, adapun buang nafas berarti
mengisap nafas artinya berisi, adapun akan kosong. Cara menanam pisang, yakni
168
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri
169
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
apa yang akan terjadi di dalam suatu tim yang dibentuk. Mulai dari kelembagaan
kerja, kelompok masyarakat atau tim yang menangani produsen pangan,
olahraga tertentu ada organisasi tetapi tidak pemasaran dan distribusi pangan,
ada aturan mainnya? permodalan untuk kegiatan terkait pangan,
Kebijakan adalah intervensi keamanan pangan, industri pangan, dan
pemerintah (dan publik) untuk mencari cara berbagai aspek pangan lainnya.
pemecahan masalah dalam pembangunan Kelembagaan ini ada yang merupakan
dan mendukung proses pembangunan yang kelembagaan resmi pemerintah, murni
lebih baik. Kebijakan adalah upaya, cara, swadaya masyarakat, atau yang merupakan
dan pendekatan pemerintah untuk mencapai kolaborasi formal atau non-formal antara
tujuan pembangunan yang sudah pemerintah dan masyarakat.
dirumuskan. Kebijakan bisa juga Kinerja kelembagaan pangan tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk masih belum memenuhi harapan berbagai
memperkenalkan model pembangunan baru pihak. Hal ini sering disebabkan karena
berdasarkan masalah lama. Kebijakan juga pengelola kelembagaan tersebut tidak
adalah upaya untuk mengatasi kegagalan berasal dari populasi individu yang
dalam proses pembangunan. Kegagalan itu memang secara langsung menggeluti
bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, masalah pangan. Sebagai contoh, pengurus
kegagalan pemerintah dan negara, organisasi petani sering bukan dari
kegagalan dalam bidang kelembagaan, kalangan petani sehingga sulit untuk
kegagalan dalam ketahanan pangan, diharapkan dapat memahami masalah-
perdagangan dan pemasaran dan masalah aktual dalam kegiatan usaha tani
sebagainya. dan sulit untuk diharapkan akan
Kelembagaan dan kebijakan selalu memperjuangkan secara tepat kepentingan-
menjadi isu penting dalam pengelolaan kepentingan petani. Pada dasarnya memang
pesisir, pertanian atau pembangunan kelembagaan petani tersebut (koperasi,
umumnya. Sejarah menunjukkan bahwa di kelompok tani) dibentuk terutama
negara-negara maju kelembagaan yang baik membantu tugas pemerintah, bukan untuk
merupakan kunci dari keberhasilan meningkatkan marjin keuntungan usaha
pengelolaan negara, pembangunan, pasar, tani.
perdagangan atau bisnis. Selama ini Kelembagaan non-pemerintah yang
pemerintah cenderung lebih menekankan memayungi petani, nelayan, peternak, atau
pada pembangunan ketahanan pangan kelompok masyarakat pangan lainnya
dengan mengutamakan pembangunan sering memanfaatkan besarnya populasi
infrastruktur fisik, teknologi, ketahanan kelompok ini untuk kepentingan politik,
pangan dan politik. Sangat sedikit sehingga warna kelembagaan yang
diperhatikan pembangunan infrastruktur seharusnya lebih berbasis profesi menjadi
kelembagaan (institusi). Di lain pihak kabur. Kegiatan pertanian, peternakan,
kebijakan pemerintah cenderung tidak perkebunan, perikanan, industri pangan,
konsisten, selalu berubah dan sulit dan lainnya sering hanya digunakan sebagai
dilaksanakan secara utuh. „kendaraan‟ untuk mencapai tujuan politik.
Ini memerlukan perhatian yang serius Kondisi ini sangat berbeda dengan
karena pada dasarnya hampir semua organisasi serupa di negara-negara maju.
kegagalan pembangunan bersumber dari Kelembagaan pemerintah yang
dua persoalan fundamental, yaitu kegagalan ditugasi untuk menjaga stabilitas harga dan
kebijakan dan kegagalan kelembagaan. Hal ketersediaan komoditas pangan telah lama
ini karena perlu model optimalisasi terbentuk, tetapi baru menjamah komoditas
pembangunan lembaga. Dalam rangka ikut beras saja. Adapun komoditas pangan
menangani masalah penyediaan pangan lainnya belum ditangani sehingga baik
bagi masyarakat telah banyak kelembagaan stabilitas harga, maupun ketersediaannya
170
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri
masih jauh dari kondisi terkendali. dengan institusi negara. Hal ini penting
Pengendalian ketersediaan dan harga beras sebab ketika demokrasi terlembaga dalam
masih sering menghadapi kendala, baik pemerintahan perwakilan, mereka yang
disebabkan oleh fluktuasi produksi dan memegang peran cenderung membangun
keragaman mutu beras yang dihasilkan oleh jarak dengan konstituen sehingga warga
petani, maupun terkendala oleh membangun solidaritas mengekspresikan
keterbatasan kapasitas finansial dan sarana interest dalam sebuah institusi untuk
penyimpanan yang dimiliki oleh pemenuhan hak-hak mereka dalam berbagai
kelembagaan tersebut. Perubahan status bidang.
kelembagaan ini menjadi perusahaan umum Aktualisasi konsep tersebut terlihat
(perum) yang akan membatasi perannya ketika rakyat yang selama ini hanya
dalam pengendalian ketersediaan dan harga menjadi silent majority dan banyak di
beras. manupulasi kepentingannya, secara drastis
Dalam hal pelembagaan ketahanan memiliki akses yang luas untuk terlibat
pangan rumah tangga miskin, ada dua dominan dalam arena perumusan kebijakan.
model pendekatan yang relevan dalam Ruang kekuasaan pemerintah menjadi
pengambilan kebijakan, yaitu: Pertama; menyempit dan mengakibatkan nilai tawar
Model zero-sum, merupakan hasil adaptasi organisasi masyarakat sipil menjadi
dari fenomena pengalihan kekuasaan dalam meningkat. Model ini efisien dari segi biaya
kajian ilmu politik. Teori ini mendasarkan sebab kewenangan yang dilimpahkan
diri pada konstanta bahwa sedemokratis menjadi tanggung jawab mandiri pihak
apapun sebuah tata pemerintahan, selalu yang mengelola kewenangan tersebut.
ada konflik dalam pengelolaan Dalam konteks pelembagaan ketahanan
kewenangan, sebab besaran kewenangan pangan sebagai institusi masyarakat lokal
yang dimiliki lebih didasarkan pada (sipil), lahirlah kebijakan-kebijakan
preferensi politik kaum elit. Apabila pemberdayaan yang bersifat pragmatis dan
penguasa melimpahkan kewenangannya berusaha memberikan kewenangan yang
secara luas kepada masyarakat, pemerintah luas kepada masyarakat untuk melakukan
akan kehilangan daya untuk mengatur dan perencanaan, pelaksanaan hingga
menciptakan social order. Teori zero sum monitoring & evaluasi kebijakan.
game merefleksikan adanya pengambil- Institusi partisipasi ini kemudian
alihan peran secara drastis dari penguasa dibekali sistem dan dibebankan program
kepada pihak yang sebelumnya tidak yang bersifat blue print, dimana
memiliki kekuasaan. Transfer otoritas ini kelengkapan alat, metode pelaksanaan,
mengakibatkan pemerintah menjadi anggaran dan sumber daya manusia harus
kehabisan energi sehingga tidak mampu diupayakan sendiri oleh institusi yang
berperan dominan dalam manajemen sektor bersangkutan. Kelembagaan ketahanan
publik. Implikasi dari pendekatan zero-sum pangan secara independen memfasilitasi
adalah pemerintah enggan melakukan pembentukan struktur kerja sama
pemberdayaan kepada masyarakat atau antarinstistusi dan melakukan pembinaan
institusi masyarakat sipil. intensif dengan simpul-simpul jaringan
Terdapat garis demarkasi yang jelas lembaga. Harapannya adalah perluasan
antara pemerintah vis a vis warga sipil peran yang terjadi di puncak stuktur akan
dalam relasi negara dan masyarakat. Model merembes ke unit-unit terkecil dalam
ini banyak ditemukan pada pengalaman insitusi. Hubungan kemitraan dibangun
pemberdayaan civil society dalam tradisi secara struktural dengan pemerintah daerah
Anglo-Amerika yang melihat asosiasi atau dan pembagian kewenangan yang detail di
lembaga pemberdayaan sebagai elemen antara kedua belah pihak dan diatur secara
dalam masyarakat yang menjadi legal-formal.
intermediator antara individu dan keluarga
171
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
172
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri
173
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019
174