Anda di halaman 1dari 192

ISSN : 2502-4345

Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dam Humaniora


Volume 5 Nomor 1, Juni 2019

Jurnal Pangadereng adalah jurnal yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan dengan tujuan
menyebarluaskan informasi sosial dan budaya. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini adalah hasil penelititan yang
dilakukan oleh penulis/calon peneliti, akademisi, mahasiswa, dan pemerhati yang berhubungan dengan ilmu sosial dan
humaniora. Terbit pertama kali tahun 2015 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu tahun
Pada bulan Juni dan Desember.

Pelindung
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Penanggung Jawab
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Pemimpin Redaksi
Hj. Raodah, SE., MM

Sekretaris
Rismawidiawati, S.Sos., M.Si.

Dewan Redaksi
Ansaar, SH
Dra. Hj. Masgaba, MM
Simon Sirua Sarapang, SS., M.Hum.

Staf Redaksi
Nadrah, ST., MT
Muh. Aulia Rakhmat, S.Pd., M.Pd.

Mitra Bestari
Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A (Bidang Sejarah, UIN)
Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. (Bidang Sejarah, UNHAS)
Dr. Ansar Arifin Sallatang (Bidang Antropologi, UNHAS)
Dr. Tasrifin Tahara (Bidang Antropologi, UNHAS)
Jusmiati Garing, SS., MA (Bidang Bahasa, Balai Bahasa Makassar)
St. Junaeda, S.Ag. M.Pd. MA (Bidang Sejarah, UNM)

Editor
Dr. Syamsul Bahri, M.Si.
Abdul Hafid, SH
Sahajuddin, SS., M.Si.
Taufik Ahmad, S.Pd., M.Si.

Desain Grafis
Asri Hidayat, ST
M. Thamrin Mattulada, SS., M.Si.

Alamat Redaksi
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jl. Sultan Alauddin, Talasalapang Km 7 Makassar 90221
Telepon/Fax. 0411-865166 Email: jurnalpangadereng@gmail.com
ISSN : 2502-4345

Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dam Humaniora


Volume 5 Nomor 1, Juni 2019
DAFTAR ISI

WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH KOMODIFIKASI DARI PARA


PENELITI BISSU 1 - 12
(Spiritual Tourism: Achieving Commodification Seeds from Researchers of Bissu)
Feby Triadi

TARI DINGGU EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS KEBERHASILAN PANEN


PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI DI KOLAKA SULAWESI
TENGGARA 13 - 29
(The Dinggu Dance an Expression of Rejoicing Over Successful Harvest Among the Tolaki
People of Kolaka, Southeast Sulawesi)
Syamsul Bahri

LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK ORANG BUGIS KARYA MATTULADA


“SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” 30 - 45
(Latoa: Buginese Political Anthropology by Mattulada an Interpretation of Epistemology)
Slamet Riadi

PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PEMANFAATAN TANAMAN OBAT


PADA MASYARAKAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE SULAWESI
TENGGARA 46 - 63
(Local Knowledge Regarding The Use of Traditional Medicinal Plants Among the Tolaki
of The Konawe Regency in Southeast Sulawesi)
Raodah

ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI DI KABUPATEN GOWA,


SULAWESI SELATAN 64 – 74
(The Pilgrimage to The Grave of Sheikh Yusuf Al-Makassari in Gowa Regency,
South Sulawesi)
Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi

ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN PENDATANG DI SODOHOA


KENDARI BARAT 75 - 85
(The Work Ethos of The Immigrant Fishing Community in Sodohoa, West Kendari)
Masgaba

REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN


KERAJAAN BALANIPA ABAD XVI-XVII 86 - 101
(Indonesian Reflection: Study of The Government System of Balanipa Kingdom in
The 16TH and 17TH Centuries)
Abd.Karim
PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF
BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN
BANTAENG (STUDI KASUS DESA BONTO JAI, KECAMATAN BISSAPU) 102 - 115
The Utilization of Aquatic Biological Resources: Prospective of Seaweed Development in The
Coastal Area of Bantaeng Regency (Case Study in The Township of Bonto Jai, Bissapu Distrct)
Nur Alam Saleh

NASKAH LA GALIGO: IDENTITAS BUDAYA SULAWESI SELATAN


DI MUSEUM LA GALIGO 116 - 132
La Galigo Manuscript: The Cultural Identity of South Sulawesi in The La Galigo Museum
Andini Perdana

STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN KARAMPUANG DALAM


PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP 133 - 145
(The Survival Strategy of Karampuang Fishermen in Making A Living to MEET Daily Needs)
Abdul Asis

BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI PRODUKSI, PERDAGANGAN,


PELAYARAN, HINGGA PENYELUNDUPAN BERAS (1946-1956) 146 - 161
Berre’ (Rice) in The South Sulawesi: from Production, Trading, Shipping, to
Rice Smuggling (1946-1956)
Adil Akbar

PENGUATAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI


KOTA PAREPARE 162 - 174
(Reinforcement of Food Security Institutional in The City of Parepare)
Ansar Arifin dan Syamsul Bahri
PENGANTAR REDAKSI

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena hanya dengan rahmat-Nya segala apa yang dilakukan dengan niat suci dan kerja keras
sehingga penyususn jurnal ini dapat terlaksanakan dengan baik. Redaksi berupaya untuk
meningkatkan kualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi sistematika penulisan.
Dewan redaksi “Pangadereng” dengan segala kerendahan hati menghaturkan rasa terima
kasih kepada semua pihak khususnya Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan,
para peneliti serta segenap staf yang terus mendorong terbitnya jurnal ilmiah Volume 5 Nomor 1,
Juni 2019 ini.
Jurnal kali ini memuat dua belas tulisan dengan substansi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, Politeknik Pariwisata Makassar, Balai
Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Universitas Negeri Makassar dan Universitas
Hasanuddin. Selain itu ada penulis dari luar pulau Sulawesi yakni Universitas Indonesia dan
Universitas Gadjah Mada.
Semua dorongan itu menjadi modal kerja yang sangat berarti. Tentu, ucapan terima kasih
juga layak dihaturkan kepada semua pihak yang telah bersedia menyumbangkan pemikirannya,
masukan, gagasan, motivasi dalam proses penerbitan jurnal ini. Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia menyerahkan naskahnya untuk diterbitkan
di edisi ini. Semoga di edisi-edisi mendatang masih berkenan menyerahkan naskah-naskah yang
lebih aktual dan berkualitas demi kemajuan penerbitan jurnal ini di masa depan.
Teriring pula terima kasih untuk Mitra Bestari pada jurnal edisi ini, yakni:
 Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A (Bidang Sejarah, UIN)
 Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. (Bidang Sejarah, UNHAS)
 Dr. Ansar Arifin Sallatang (Bidang Antropologi, UNHAS)
 Dr. Tasrifin Tahara (Bidang Antropologi, UNHAS)
 Jusmiati Garing, SS., MA (Bidang Bahasa, Balai Bahasa Makassar)
 St. Junaeda, S.Ag. M.Pd. MA (Bidang Sejarah, UNM)
Semoga jurnal yang diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan ini
memberi manfaat kepada segenap pembaca.

Redaksi
Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora
ISSN: 2502-4345 Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa izin dan biaya

Feby Triadi (Universitas Gadjah Mada) parahnya lagi karena konflik itu juga masuk
dalam kalangan Bissu. Penelitian ini juga
WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH menemukan, dan menjelaskan batas pemisah
KOMODIFIKASI DARI PARA PENELITI antara Bissu sebagai pelaku seni, dan Bissu
BISSU sebagai pelaku kebudayaan.
Kata Kunci: pariwisata, komodifikasi,
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu peneliti, Bissu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 1 – 12.
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
Tulisan ini bertujuan untuk menafsirkan Budaya Sulawesi Selatan)
dampak penelitian yang terus dilakukan
terhadap komunitas Bissu. Dari penelitian TARI DINGGU
yang ada (lihat: Lathief 2004, Boellstorff EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS
2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, KEBERHASILAN PANEN PADA
Darmapoetra 2014), beberapa diantara MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI
mereka masih membahas hal yang sama, DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA
seperti gender, Islam, dan juga adaptasi
warga yang berlangsung. Penelitian ini, ingin PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
mengisi dan melengkapi kekosongan narasi Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
yang telah ada. Sebab belakangan, pariwisata Juni 2019 hlm. 13 - 29.
hanya dilihat dari pengambil kebijakan dan
objeknya (Bissu) semata, namun belum Tari dinggu merupakan jenis tari yang hadir
melihat kesiapan warga sekitar dalam diprakarsai masyarakat suku bangsa Tolaki di
merespon kebijakan dan pelaksanaannya. Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak
Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, orang Tolaki menjadikan padi sebagai bahan
dilakukan pada bulan November 2018. baku makanan pokok, saat itu pula
Adapun teknik pengumpulan data dengan masyarakat berinisiatif menciptakan tari
melakukan pengamatan, serta melakukan dinggu dengan pola gerakannya mengikuti
wawancara langsung dengan informan, aktivitas masyarakat saat menumbuk bulir
seperti Bissu, dewan adat dan tokoh padi menjadi beras dengan menggunakan
pemerintahan. Meminjam teknik analisis data lesung, dan alu terbuat dari bahan kayu yang
etnografi Spradley (1997), penelitian ini digunakan untuk menumbuk, serta nyiru atau
memiliki temuan, jika benih komodifikasi tampi dari anyaman bambu sebagai alat
awalnya dilakukan oleh peneliti, yang membersihkan sekam. Tujuan penelitian, dari
memperkenalkan dan menggiring mereka ke sisi praktisnya adalah menginventarisasi
industri pariwisata. Tentu memunculkan karya budaya untuk memperkaya
konflik diantara peneliti yang ada, sehingga perbendaharaan pustaka. Dari sisi ilmiahnya,
peneliti sebelumnya terkesan mewariskan adalah sebagai ajang mengenal lebih jauh
konflik bagi peneliti yang akan datang, dan nilai dan makna yang tertuang dalam tari
dinggu. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif, yang mengedepankan karya-karyanya. Penelitian ini menghasilkan
pengamatan terhadap gerakan-gerakan pada dua kesimpulan mendasar, yakni pertama,
tari, alat peraga, pakaian, dan aksesoris. karya Mattulada berjudul Latoa ini sangat
Wawancara terkait yang melatari lahirnya tari bercirikan positivisme, pun sama dengan
dinggu. Tari dinggu dalam perkembangannya, beberapa karyanya yang lain. Kedua,
serta studi literatur adalah mengarah pada meskipun memiliki epistemologi yang sama
buku teori serta beberapa tulisan hasil di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada
penelitian sebelumnya. Temuan penelitian yang lain memiliki paradigma yang berbeda.
terungkap, bahwa tari dinggu dewasa ini
diposisikan sebagai tari kreasi, yaitu tari yang Kata kunci: epistemologi, positivisme, Latoa
tidak lagi hanya dipentaskan saat menyambut
keberhasilan memanen padi, tetapi tari
dinggu juga syarat dengan nilai seperti, nilai Raodah (Balai Pelestarian Nilai Budaya
kebersamaan atau pemersatu dan nilai Sulawesi Selatan)
estetika serta menuai makna kegembiraan dan
ucapan syukur. Akan tetapi, tari dinggu PENGETAHUAN LOKAL TENTANG
dalam perkembangannya, menjadi mendunia PEMANFAATAN TANAMAN OBAT
karena telah dijaga keberadaannya dan juga PADA MASYARAKAT TOLAKI DI
telah dipentaskan ditingkat lokal, nasional, KABUPATEN KONAWE SULAWESI
dan internasional. TENGGARA

Kata Kunci: Tari, Dinggu, Tolaki, Panen PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 46 - 63.
Slamet Riadi (Universitas Gadjah Mada)
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK manfaat tanaman obat yang digunakan
ORANG BUGIS KARYA MATTULADA masyarakat Tolaki dalam mengobati berbagai
“SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” penyakit. Pengetahuan lokal tentang tanaman
obat diperoleh berdasarkan pengalaman yang
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu diwariskan secara turun temurun. Penelitian
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 ini menggunakan metode kualitatif dengan
Juni 2019 hlm. 30 - 45. teknik pengumpulan data melalui wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa sebagian masyarakat
menginterprestasi epistemologi seperti apa Tolaki terutama yang tinggal di Desa
yang terdapat dalam karya Mattulada, Latoa; Abelisawah masih memanfaatkan tanaman
Suatu lukisan antropologi politik orang obat sebagai ramuan untuk mengobati
Bugis. Pembahasan terkait epistemologi penyakit medis dan non medis. Tanaman obat
dalam suatu karya etnografi, masih kurang banyak tumbuh secara liar di sekitar
mendapatkan perhatian serius oleh kalangan lingkungan tempat tinggal mereka, dan
akademisi, khususnya yang bergelut dalam sebagian ditanam dihalaman rumah sebagai
bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis TOGA (tanaman obat keluarga). Pengobatan
epistemologi dalam suatu karya, penelitian dengan ramuan tanaman obat biasanya
ini menggunakan metode pencarian beberapa dilakukan oleh dukun (mbu’ owai) dan
sumber pustaka, yang berhubungan dengan dibacakan mantra sesuai dengan jenis
karya Mattulada. Setelah itu, melakukan penyakit yang diderita pasien. Pemanfaatan
pembacaan induktif-deduktif, untuk tanaman obat digunakan masyarakat
menemukan asumsi dasar yang menjadi Abelisawa mulai dari pasien anak-anak
landasan Mattulada dalam menghasilkan sampai dewasa. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi masyarakat masih berasal dari Sulawesi melainkan juga dari
menggunakan dukun dan ramuan obat untuk Jawa, Kalimantan, Papua, Sumatera bahkan
menyembuhkan berbagai penyakit, yaitu dari luar negeri. Selain itu kehadiran makam
faktor ekonomi, terbatasnya tenaga medis, Syekh Yusuf memberikan dampak yang baik
sosial, kepercayaan akan kemampuan dukun bagi perekonomian masyarakat sekitar.
menyembuhkan penyakit, tanaman obat
dianggap aman dan kurang efek Kata kunci: Ziarah, makam, Syekh Yusuf.
sampaingnya, rendahnya pengetahuan
tentang pengobatan medis, dan waktu
pelayanan yang mudah. Masgaba (Balai Pelestarian Nilai Budaya
Sulawsei Selatan)
Kata Kunci: Tanaman obat, penyakit, mbu
uwoai, Tolaki. ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN
PENDATANG DI SODOHOA KENDARI
BARAT
Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi
(Politeknik Pariwisata Makassar) PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL- Juni 2019 hlm. 75 - 85.
MAKASSARI DI KABUPATEN GOWA,
SULAWESI SELATAN Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang
dilakukan pada komunitas nelayan pendatang di
Sodohoa Kendari Barat, Kota Kendari. Metode
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu pengumpulan data berupa wawancara, focus
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 group discussion, dan pengamatan. Hasil
Juni 2019 hlm. 64 - 74. penelitian menunjukkan bahwa, nelayan
pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa
Penelitian ini difokuskan pada ziarah makam berasal dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan
Syekh Yusuf sebagai seorang wali yang Makassar. Pada dasarnya motif utama mereka
berasal dari Kabupaten Gowa Propinsi melakukan migrasi selain karena faktor ekonomi
Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini dan faktor sosial budaya, juga karena di wilayah
adalah untuk mengetahui apa saja motivasi perairan Kendari terdapat banyak jenis ikan,
peziarah yang datang ke makam syekh yusuf terutama ikan tongkol yang memiliki nilai jual
yang tinggi. Faktor ekonomi timbul akibat
sejauh mana ritual dan religiusitas meraka
nelayan pendatang tidak memiliki modal uang
terhadap syekh Yusuf. Selain itu dilihat juga untuk beraktivitas melaut, sehingga mereka
bagiamana ziarah makam berdamapak pada meminjam pada bos yang ada di Kendari. Faktor
kehidupan ekonomi, legitimasi politik dan sosial budaya timbul sebagai akibat adanya naluri
pariwisata. Penelitian ini menggunakan untuk bekerja agar memperoleh penghasilan
metode penelitian kualitatif. Untuk untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
memperoleh data primer dan data sekunder Menjadi nelayan merupakan warisan yang turun
menggunakan teknik observasi, wawancara, temurun dari orang tua mereka, tidak ada
dokomentasi dan studi kepustakaan. Adapun pekerjaan lain yang bisa dilakukan karena
hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa keterbatasan keterampailan dan keahlian yang
terdapat motivasi yang berbeda-beda dari dimiliki. Semangat kerja mereka termotivasi
setiap peziarah yang datang ke mkaam syekh adanya perasaan malu (siri’) jika tidak memiliki
penghasilan.
Yusuf, ziarah makam dapat dijadikan sebagai
legitamsi politik dalam mengumpulkan suara Kata kunci: Etos Kerja, Sosial Ekonomi,
sebagai metode pencitraan politik, dari segi Nelayan Pendatang.
pariwisata ziarah makam dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah kabupaten Gowa
karena pengunjung yang datang bukan saja
Abd.Karim (Universitas Indonesia) Nur Alam Saleh (Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan)
REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN
SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA
BALANIPA ABAD XVI-XVII HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF BUDI
DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu PESISIR KABUPATEN BANTAENG
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 (STUDI KASUS DESA BONTO JAI,
Juni 2019 hlm. 86 – 101. KECAMATAN BISSAPU)
Kerajaan Balanipa (Mandar) telah PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
“berdemokrasi” sebelum Indonesia lahir. Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Apabila salah satu cerminan Indonesia adalah Juni 2019 hlm. 102 - 116.
sistem pemerintahan demokratis, maka
identitas politik yang kita sandang sebagai Penelitian ini mengkaji tentang perubahan
Negara Demokratis telah ada sebelum negara struktur sosial baik itu bentuk-bentuk
ini lahir. Bahwa jiwa keindonesiaan telah ada produksi, teknologi dan kelembagaan serta
sebelum kehadiran Bangsa Eropa di dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi
Nusantara. Bahkan telah dipraktekkan di masyarakat. Budi daya rumput laut juga telah
Kerajaan Balanipa (Mandar) pada abad XVI- mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan
XVII sebagai sistem perintahan lokal ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan
(mara’dia). Sistem tersebut memiliki di Bantaeng, tepatnya di Desa Bonto Jai
perangkat konstitusi Kerajaan dimana Kecamatan Bissappu. Teknik pengumpulan
kedudukan Raja tidak mutlak berkuasa. data diperoleh dengan penelitian lapangan
Lembaga hadat memiliki kuasa untuk yang mencakup observasi, dokumentasi, dan
memberhentikan raja sebagai pemimpin, wawancara, Adapun teknik analisis data yaitu
seperti Presiden yang bisa diturunkan dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan kesimpulan. Dalam perkembangannya
Rakyat (MPR) negara ini. Pemimpin dipilih pembudi daya rumput laut telah menjadi
atas kehendak rakyat. Sebuah refleksi sistem primadona bagi aktivitas masyarakat pesisir
pemerintahan, bahwa jiwa zaman yang pantai Kabupaten Bantaeng pada umumnya
sekarang merupakan warisan dari masa lalu dan Desa Bonto Jai pada khususnya. Budi
bangsa ini sendiri bukan warisan bangsa barat daya rumput laut mempunyai peluang untuk
sebagai bangsa penjajah. Selanjutnya Artikel meningkatkan pendapatan petani di Desa
ini akan menjawab pertanyaan besar yakni, Bonto Jai. Budi daya rumput laut lebih
bagaimana praktek-praktek demokrasi menguntungkan dibanding dengan
diterapkan di Mandar? Bagaimana demokrasi pendapatan profesi sebelumnya yakni sebagai
itu di terjemahkan oleh elit dan masyarakat nelayan. Satu hal yang sangat menarik dari
Mandar? dan bagaimana sistem pemerintahan kegiatan budi daya rumput laut ini, dengan
itu dijalankan di Mandar pada abad XVI- keterlibatan kaum wanita yang turut
XVII? artikel ini menggunakan metode mengambil bagian sebagai tenaga kerja.
penelitian sejarah. Dengan menggunakan
sumber lokal (Lontara’’) dan akan dilengkapi Kata Kunci: Nelayan, Rumput laut, sosial,
dengan sumber-sumber dari zaman kolonial. Pembudidayaan.

Kata Kunci: Pemerintahan, mara’dia,


demokrasi, Indonesia, Mandar, Balanipa
Andini Perdana (Balai Pelestarian Cagar Abdul Asis (Balai Pelestarian Nilai Budaya
Budaya Sulawesi Selatan) Sulawesi Selatan)

NASKAH LA GALIGO: IDENTITAS STRATEGI BERTAHAN HIDUP


BUDAYA SULAWESI SELATAN DI NELAYAN KARAMPUANG DALAM
MUSEUM LA GALIGO PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP

PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu


Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 117 - 133. Juni 2019 hlm. 134 - 146.

Pemberian nama La Galigo pada Museum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari dan memahami strategi bertahan hidup
atas makna La Galigo yang dikenal di daerah nelayan Karampuang dalam pemenuhan
Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan kebutuhan hidup. Metode penelitian yang
Massenrempulu. La Galigo merupakan digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan
pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo teknik pengumpulan data melalui wawancara,
memiliki koleksi naskah La Galigo yang observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian
teregistrasi dalam Memory of the World menunjukkan bahwa nelayan di Pulau
UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di Karampuang masih menggunakan alat
ruang pameran tetap, namun representasi tangkap sederhana dan penghasilannya masih
identitas budaya Sulawesi Selatan belum tergolong rendah. Pada musim paceklik,
tercermin dalam ekshibisi tersebut. Belum nelayan merasa kesulitan untuk memenuhi
direpresentasikan itulah yang mendorong kebutuhan hidup mereka sehari-hari,
penulis untuk mengidentifikasi nilai penting sehingga mereka beralih ke pekerjaan lain
makna La Galigo, menganalisis konsep dengan mengolah kebun dengan menanam
ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan tanaman hortikultura seperti jagung, ubi
merekomendasikan storyline ekshibisi kayu, dan sayur-sayuran. Peluang untuk
museum. Metode yang digunakan adalah melakukan pekerjaan sampingan terbuka luas
studi kasus dengan pendekatan museology, bagi masyarakat nelayan di sana karena akses
khususnya teori new museum, identitas ke kota Kabupaten Mamuju tergolong cukup
budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini, dekat. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan di
disimpulkan bahwa minimnya informasi luar bidang kenelayanan adalah menjadi
dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan pedagang, buruh bangunan, kuli angkut
kurangnya penggalian nilai penting La Galigo pelabuhan, kuli angkut pasar, dan jasa ojek.
bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di Sedangkan istri-istri nelayan banyak yang
antara mereka, memori kolektif masyarakat, bekerja menjadi penjaga toko, buruh cuci di
dan relevansi cerita itu dengan saat ini. kota, dan membuka kedai-kedai di rumah
Perbaikan storyline cerita La Galigo yang dengan menjual barang kebutuhan hidup
bukan hanya mendeskripsikan naskah La sehari-hari. Dengan melakukan pekerjaan
Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya sampingan, kebutuhan hidup keluarganya
dengan koleksi lain dan merepresentasikan dapat terpenuhi.
identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan.
Kata Kunci: pekerjaan sampingan, nelayan
Kata kunci : La Galigo, museum, identitas Karampuang, kebutuhan hidup.
budaya
Adil Akbar (Program Pascasarjana UNM, Ansar Arifin (Departemen Antropologi
Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah) FISIP UNHAS)
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI Budaya Sulawesi Selatan)
PRODUKSI, PERDAGANGAN, PELAYARAN,
HINGGA PENYELUNDUPAN BERAS (1946- PENGUATAN KELEMBAGAAN
1956) KETAHANAN PANGAN DI KOTA
PAREPARE
PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu
Juni 2019 hlm. 147 – 162. Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1
Juni 2019 hlm. 163 – 175.
Terdapat tiga hal pokok yang dibahas dalam
penelitian ini: pertama, Produksi Beras di Artikel ini menjelaskan dua hal penting,
Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; yakni soal kelembagaan ketahanan pangan
kedua, Jaringan Perdagangan dan Pelayaran dalam rumah tangga miskin di Kota Parepare
Komoditas Beras di Sulawesi Selatan kurun dan model alternatif kelembagaan ketahanan
tahun 1946-1950; ketiga Penyelundupan pangan rumah tangga nelayan miskin yang
Beras di Sulawesi Selatan kurun tahun 1950- sesuai dengan tuntutan perkembangan.
1956. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini menggunakan metode Cluster
Penelitian ini adalah Metode Sejarah dengan Porpose Sampling. Sampelnya adalah
tahapan, Heuristik (pengumpulan data, kelompok-kelompok sosial, lembaga-
terutama studi kearsipan dan kepustakaan) lembaga sosial kenelayanan, dan organisasi
kritik, Interpertasi (penafsiran) dan kemasyarakatan yang dipilih secara purposif
Histiografi (penulisan sejarah). Hasil dari S dan dianalisis dengan model analisa
penelitian ini menunjukkan bahwa: hasil sosiometrik dan deskriptif. Teknik
produksi beras di Sulawesi Selatan pengumpulan data menggunakan metode
memuaskan, hal ini dikarenakan potensi alam survei dan indepth interview (wawancara
dan luasnya lahan produktif untuk ditanami mendalam) serta metode focus-group
padi, selain itu kehadiran pelabuhan – discustion (FGD). Hasil penelitian ini
pelabuhan di pesisir barat dan timur Sulawesi menunjukkan bahwa kelembagaan ketahanan
Selatan mendorong terciptanya jejaring pangan tradisonal telah ada sejak dahulu
perdagangan beras di kawasan timur dalam masyarakat nelayan miskin di Kota
Indonesia pada kurun tahun 1946-1950. Parepare sebagai bentuk adaptasi terhadap
Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan persoalan kemiskinan. Tetapi, karena
gejolak politik yang terjadi di Sulawesi pertumbuhan jumlah penduduk dan
Selatan kurun tahun 1950-an mempengaruhi kebutuhan pangan meningkat sehingga
produksi dan perdagangan beras di daerah dibutuhkan manajemen ketahanan pangan
tersebut, salah satunya ialah praktek-praktek yang lebih kompleks. Oleh sebab itu,
penyulundupan beras. Secara umum dapat kelembagaan pangan lokal perlu ditopang
disimpulkan selain bernilai ekonomis, oleh sistem organisasi modern demi
menciptakan jejaring ekonomi juga memiliki memperkuat kelembagaan ketahanan pangan
nilai politik. lokal. Demikian pula sebaliknya, kelembagaan
modern perlu ditopang oleh kelembagaan lokal
Kata Kunci: Sulawesi Selatan, beras, yang sudah lama dipraktikkan oleh
pelabuhan, penyelundupan, perdagangan. masyarakat miskin di Kota Parepare.

Kata Kunci: ketahanan pangan; penguatan


kelembagaan; kemiskinan.
Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora
ISSN: 2502-4345 Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Keyword are extracted from articles. Abstrack may be reproduced without permission and cost

Feby Triadi (Universitas Gadjah Mada) circles. This research also identifies and
explains the delineation line between Bissu as
SPIRITUAL TOURISM: ACHIEVING artists, and Bissu as cultural actors.
COMMODIFICATION SEEDS FROM
RESEARCHERS OF BISSU Keywords: tourism, commodification,
researchers, Bissu
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
2019 p. 1 - 12.
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
This paper aims to interpret the impact of Budaya Sulawesi Selatan)
ongoing research on the Bissu community.
From the existing research (see: Lathief THE DINGGU DANCE AN EXPRESSION
2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, OF REJOICING OVER SUCCESSFUL
Sharyn 2010, Darmapoetra 2014), some of HARVEST AMONG THE TOLAKI PEOPLE
them are still discussing the same thing, such OF KOLAKA, SOUTHEAST SULAWESI
as gender, Islam, as well as an ongoing
adaptation of citizens. This study seeks to fill PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
and complete the existing narrative void, as 2019 p. 13 - 29.
lately, the perpesctive of tourism only
considers policymakers and objects of The dinggu dance constitutes a dance form
interest (Bissu), only but has not paid practiced by the Tolaki people of Kolaka, in
attention to the readiness of the local people the province of Southeast Sulawesi. Since the
in responding to policies and their adoption of rice as the staple food of the
implementation. This study employed an Tolaki, the society took the initiative to create
ethnography method, carried out in the dinggu dance, featuring movements
November 2018. The techniques used to to following the motions of people threshing
collect data were making observations, as rice by pounding, pounding a wooden mortar
well as conducting interviews directly with and pestle, as well as involving a winnowing
informants, such as Bissu, traditional adat basket woven from bamboo, used for
councils, and government figures. Borrowing separating out chaff. The aim of this
the Spradley (1997) ethnographic data research, from a practical perspective, is to
analysis technique, this study reports finding inventorize cultural heritage to preserve a
that the seed of commodification was initially cherished legacy. From an academic
planted by researchers, who introduced and perspective, the aim is to further explore the
led them to the tourism industry. The result values and meaning carried by the Dinggu
has been conflict between the existing dance. The research method used is a
researchers, to the point that past qualitative approach, prioritizing observation
researchers seem to leave an inheritance of of the movements of the dance, its props,
conflict for future researchers, and even costume, and accessories. Interviews focused
worse, the conflict has also entered into Bissu on the birth of the dinggu dance and its
development, and literature study focused on Raodah (Balai Pelestarian Nilai Budaya
theory books and a few previous written Sulawesi Selatan)
works of research. The research shows that
the current form of the Dinggu dance is LOCAL KNOWLEDGE REGARDING THE
employed as an art form, that is, a dance that USE OF TRADITIONAL MEDICINAL
is no longer only performed at rice harvest PLANTS AMONG THE TOLAKI OF THE
celebrations. Rather, the Dinggu dance is KONAWE REGENCY IN SOUTHEAST
equated with the traditional values of SULAWESI
comradery or group unity, aesthetic values,
and the expression of joy and gratitude over PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
a harvest. In its development, the Dinggu 2019 p. 46 – 63.
dance has achieved globally recognized
status, by guarding its existence, and This written work aims to describe the
practicing it on a local, national, and benefits of medicinal plants utilized by the
international scale. Tolaki people in treating various illnesses.
Local medicinal plant knowledge is
Keywords: Dance, Dinggu, Tolaki, Harvest experience-based and is passed down from
generation to generation. This research takes
Slamet Riadi (Universitas Gadjah Mada) a qualitative approach, employing the data
gathering methods of interviews, observation,
LATOA: BUGINESE POLITICAL and documentation. The results of the
ANTHROPOLOGY BY MATTULADA „AN research indicate that a subset of the Tolaki
INTERPRETATION OF EPISTEMOLOGY population, especially that of the Abelisawah
township, continue to make use of
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June concoctions made from medicinal plants in
2019 p. 30 – 45. the treatment of both physical and non-
This research intends to interpret the kind of physical ailments. The medicinal plants are
epistemology contained in the work of naturally abundant in the immediate
Mattulada, Latoa; Suatu Lukisan Antropologi environment, and some are planted around
Politik Orang Bugis. The discussion related people's houses to serve as family medicine
to epistemology in an ethnographic work, still plants. The treatment and administration of
lacks serious attention, by academics, the medical plant concoctions are typically
especially those involved in the field of performed by a medicine man (mbu' owai),
anthropology. In analyzing epistemology of who recites a mantra according to the type of
this research, this study uses the search illness ailing the patient. The medicinal
method of several library sources, which are plants used by the people of Abelisawa are
related to Mattulada's work. After that, do administered to patients ranging from young
inductive-deductive readings, in order to find children to adults. There are a few factors
the basic assumptions that became the that cause the people to continue using the
foundation of Mattulada to produce his medicine men and the traditional medicine
works. This research produced two for the treatment of various illnesses, namely
fundamental conclusions, firstly, Mattulada's their economic state, limited access to
work entitled Latoa is very characterized by medical and social services, the belief in the
positivism, and similar to several of his other medicine men's power to heal, the
works. Secondly, despite having the same understanding of medicinal plants as safe
epistemology in each of his works, several and free from side effects, a lack of
other Mattulada works have different knowledge regarding modern medicine, and
paradigms. convenience in terms of time needed for
treatment.
Keywords: epistemology, positivism, Latoa
Keywords: Medicinal Plants, illness, mbu PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
uwoai, Tolaki. 2019 p. 75 – 85

This written work constitutes the results of


Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi research conducted among an immigrant
(Politeknik Pariwisata Makassar) fishing community in Sodohoa, West Kendari,
in the city of Kendari. The data collection
THE PILGRIMAGE TO THE GRAVE OF methods used include interviews, focus group
SHEIKH YUSUF AL-MAKASSARI IN GOWA discussion, and observation. The research
REGENCY, SOUTH SULAWESI results indicate that the immigrant fishermen
in the Sodohoa district originate from the
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June regions of Pangkep, Ulung Lero, and
2019 p. 64 – 74. Makassar. Essentially, the primary motive for
migration, other than economic and socio-
This study focuses on the ritual of the cultural factors, is the variety of fish found in
pilgrimage to the grave of Sheikh Yusuf the waters of Kendari, especially the high-
located in the Gowa Regency, in the province selling tuna. The economic factor stems from
of South Sulawesi. The aim of this study was the fishermen's lack of capital for conducting
to examine the motives of pilgrims visiting the their seagoing activities, leading to their
grave of Sheikh Yusuf, the extent of their borrowing money from an employer in
ritual and religiosity towards Sheikh Yusuf, Kendari. The socio-cultural factor stems from
as well as the visible impact of the pilgrimage the fishermen's conscience obligating hard
on economic life, political legitimacy, and work to generate an income to meet the day-
religious tourism. This study employs to-day needs of their families. Being
qualitative research methods for primary and fishermen is a legacy that is passed down the
secondary data collection using observation, generations from their ancestors; they cannot
interview, and literature study techniques. pursue other careers, due to their limited
The results of this study demonstrate that a skills and abilities. The enthusiasm for their
variety of motivations exist among pilgrims work is motivated by a sense of shame (siri’)
visiting the grave of Sheikh Yusuf. Also, the for one who does not produce an income.
pilgrimage can be used as a political tool for
in gathering votes as a method of political Keywords: Work Ethos, Social Economy,
imaging. In terms of religious tourism, the Immigrant Fishermen.
pilgrimage can increase revenue in the Gowa
Regency due to visitors coming not only from
Sulawesi, but also from Java, Kalimantan, Abd.Karim (Universitas Indonesia)
Papua, Sumatra and even from abroad. In
addition, the presence of the grave of Sheikh INDONESIAN REFLECTION: STUDY OF
Yusuf has a good impact on the economy of THE GOVERNMENT SYSTEM OF
TH
the surrounding community. BALANIPA KINGDOM IN THE 16 AND
17TH CENTURIES
Keywords: Pilgrimage, grave, Sheikh Yusuf.
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
2019 p. 86 – 101.
Masgaba (Balai Pelestarian Nilai Budaya
Sulawsei Selatan) The kingdom of Balanipa (Mandar) was
"democratic" before Indonesia was born. If
THE WORK ETHOS OF THE IMMIGRANT one reflection of Indonesia is a democratic
FISHING COMMUNITY IN SODOHOA, government system, then the political identity
WEST KENDARI that we rely on as a Democratic State existed
before this country was born. That the soul of Nur Alam Saleh (Balai Pelestarian Nilai
Indonesianness existed before the presence of Budaya Sulawesi Selatan)
Europeans in the Archipelago. In fact, it was
been practiced in the Kingdom of Balanipa THE UTILIZATION OF AQUATIC
(Mandar) in the 16th-17th centuries as a BIOLOGICAL RESOURCES: PROSPECTIVE
local form of government (mara'dia). This OF SEAWEED DEVELOPMENT IN THE
system featured a Kingdom constitution COASTAL AREA OF BANTAENG REGENCY
serving to limit the King from wielding (CASE STUDY IN THE TOWNSHIP OF
absolute power. The traditional institution BONTO JAI, BISSAPU DISTRCT)
held the power to dismiss the king as a
leader, such as the President who can be PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June
removed from his position by the country's 2019 p. 102 – 115.
People's Consultative Assembly (MPR). The
leader is chosen by the will of the people. A This research examines social structural
reflection of the system of government, that change, both in the forms of production,
the soul of the age which is now a legacy of technology, and organization, along with the
the nation's past itself is not a western accompanying impact on the socio-economic
nation's inheritance as a colonial nation. lives of the population. The development of
Furthermore, this article will answer the big the seaweed industry has also affected an
question, namely, how are democratic aspect of the socio-cultural and economic
practices applied in Mandar? How was lives of the community. The research took
democracy interpreted by the elite and the place in the regency of Bantaeng, in the
Mandar community? And how was the system township of Bonto Jai in the Bissapu district.
of government run in Mandar in the sixteenth The research method employed is field
and seventeenth centuries? This article research, including observation,
employ historical research methods, using documentation, and interviews, along with
local sources (Lontara’), complemented by the data analysis technique of data reduction,
sources from the colonial era. The practice of presentation, and conclusion. In its
democracy, namely the birth of the concept of development, seaweed farmers have come to
Mengga Lenggoq Mengga Belawa, is one of dominate the scene of community activity on
the concepts offered by the system of the beaches of the Bantaeng regency in
government. The soul of Democracy is general, and especially in the Bonto Jai
embedded in the following concepts: (1) township. The development of the seaweed
Manu' Tandi Pessisi'i (a chicken whose industry carries the potential to improve the
scales are not seen), meaning that in daily economic standing of farmers in the Bonto
life, regardless of status or position, Jai township. The seaweed industry is more
customary law is still upheld; (2) Beang profitable than the previous profession of
Tandi Gati (rice that does not need to be these workers, namely as fishermen. One very
measured), meaning a People-based interesting element in the development of the
economy, while also attaching importance to seaweed industry is the inclusion of women in
the interests of the lower class; (3) Beluwa' the labor force.
Tandi Biti (combed hair that no longer needs
to be held in place), meaning continuous Key words: Fishermen, Seaweed, social,
unity; and (4) Ara Ratang Tandi Dappai Resource development.
(rope that does not need to be measured),
meaning that the law or judicial system does
not discriminate.

Keywords: Government, Mara'dia,


democracy, Indonesia, Mandar, Balanipa
Andini Perdana (Balai Pelestarian Cagar Abdul Asis (Balai Pelestarian Nilai Budaya
Budaya Sulawesi Selatan) Sulawesi Selatan)

LA GALIGO MANUSCRIPT: THE THE SURVIVAL STRATEGY OF


CULTURAL IDENTITY OF SOUTH KARAMPUANG FISHERMEN IN MAKING
SULAWESI IN THE LA GALIGO MUSEUM A LIVING TO MEET DAILY NEEDS

PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June


2019 p. 116 – 132. 2019 p. 133 – 145.

The bestowal of the name La Galigo upon the This research aims to discover and
Provincial State Museum of South Sulawesi is understand the survival strategy of fishermen
based on the La Galigo manuscript, which is in Karampuang in meeting daily needs. The
famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, research method used is descriptive-
Selayar, and Massenrempulu regions. For qualitative, employing the datagathering
them, La Galigo is their unifier. As part of its techniques of interviews, observation, and
collection, the La Galigo Museum features a documentation. The results of this research
La Galigo manuscript, which is registered as show that fishermen in the islands of
a UNESCO Memory of the World. The Karampuang continue to use simple fishing
manuscript is currently on display in the equipment and generate a meager income. In
permanent exhibition room of the La Galigo the off season, the fishermen experience
museum; however, the representation of the difficulty in meeting daily needs, to the point
cultural identity of South Sulawesi has been that they pursue side jobs by planting
not reflected in the exhibit. This has gardens and cultivating crops such as corn,
encouraged the author to identify the cassava, and vegetables. Opportunities for
significance of the La Galigo manuscript, side jobs are numerous for the fishing
analyze the concept of the current exhibits of community there, due to the convenient
the La Galigo Museum, and recommend the access to the Mamuju regency. Other side
addition of the La Galigo storyline to the work available aside from fishing is
museum. The research employed a case study becoming a small-goods trader, a
method, with a museology approach, construction worker, a port laborer, market
especially examining new museums, cultural laborer, or motorcycle-taxi driver. As for the
identity, and exhibits. The conclusion in this wives of these fishermen, many work at
research was the lack of information in the stores, work as cleaners in the city, or open
La Galigo exhibition due to the lack of up shops at home to sell basic products. By
research of the significance of the La Galigo generating supplementary income, the needs
for various ethnic groups, the unity between of the family are able to be met.
them, the collective memory of the society,
and the relevance of the La Galigo story to Keywords: side work, Karampuang
the present. The development of the La fishermen, daily needs.
Galigo storyline, which not only describes the
La Galigo manuscript itself, but links it to
other collections and represents the cultural Adil Akbar (Program Pascasarjana UNM,
identity of South Sulawesi, is needed. Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah)

Keywords : La Galigo, museum, the cultural BERRE’ (RICE) IN THE SOUTH


identity SULAWESI: FROM PRODUCTION,
TRADING, SHIPPING, TO RICE
SMUGGLING (1946-1956)
PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June The article explains two important things, i.e.
2019 p. 146 – 161. the problem of food security institutional in
the poor households in the city of Parepare;
Three primary objects of discussion are alternative models of food security
presented in this research: first, rice institutional for poor fishermen households
production in South Sulawesi during the that are in accordance with the demands of
years 1946-1950; second, the trade network development. This study uses the Cluster
and shipping of rice as a commodity in South Porpose Sampling method. The samples are
Sulawesi during the years 1946-1950; third, social groups, service social institutions, and
the smuggling of rice in South Sulawesi community organizations that are
during the years 1950-1956. The method purposively selected, and analyzed using
employed in this research is a historical sociometric and descriptive analysis models.
approach consisting of the following stages: Data collection techniques use survey
data collection (especially in study of methods and in-depth interviews, as well as
archives and records), critical, interpretation, focusgroup discustion (FGD) methods. The
and historiography (compiling the history). result of this study indicates that traditional
The results of this research demonstrate, first food security institutional is already exist for
of all, a healthy level of production of rice in a long time in poor fishing communities in
South Sulawesi, due to the quality and the city of Parepare as a form of adaptation
quantity of arable land suitable for rice to the problem of poverty. Nevertheless,
planting; also, the presence of ports on both population growth and food needs are
the east and west sides of the peninsula increased, it is necessary to manage more
motivated the creation of rice trade network complex food security. Therefore, local food
in East Indonesia during the years 1946- institutional needs to be supported by modern
1950. Nevertheless, it is undeniable that the organizational system in order to strengthen
political upheaval that took place in South local food security institutional. Vice versa,
Sulawesi in the 1950s affected the production modern institutional needs to be supported by
and trade of rice in the area, with one of the local institutional that have been practiced
results being the emergence of rice for a long time by the poor in the city of
smuggling. It may be generally concluded Parepare.
that in addition to contributing to the
economy, the creation of a trade network also Keywords: food security; institutional
carries a political aspect. strengthening; poorness.

Keywords: South Sulawesi, rice, ports,


smuggling, trade

Ansar Arifin (Departemen Antropologi


FISIP UNHAS)
Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan)

REINFORCEMENT OF FOOD SECURITY


INSTITUTIONAL IN THE CITY OF
PAREPARE

PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June


2019 p. 162 – 174.
WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH KOMODIFIKASI
DARI PARA PENELITI BISSU
(SPIRITUAL TOURISM: ACHIEVING COMMODIFICATION SEEDS FROM
RESEARCHERS OF BISSU)

Feby Triadi
Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Humaniora Bulaksumur, Sagan, Caturtunggal, Kec. Depok,
Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta, 55281
Surel: triadifebi@gmail.com

ABSTRACT
This paper aims to interpret the impact of ongoing research on the Bissu community. From the
existing research (see: Lathief 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, Darmapoetra
2014), some of them are still discussing the same thing, such as gender, Islam, as well as an ongoing
adaptation of citizens. This study seeks to fill and complete the existing narrative void, as lately, the
perpesctive of tourism only considers policymakers and objects of interest (Bissu), only but has not
paid attention to the readiness of the local people in responding to policies and their implementation.
This study employed an ethnography method, carried out in November 2018. The techniques used to to
collect data were making observations, as well as conducting interviews directly with informants, such
as Bissu, traditional adat councils, and government figures. Borrowing the Spradley (1997)
ethnographic data analysis technique, this study reports finding that the seed of commodification was
initially planted by researchers, who introduced and led them to the tourism industry. The result has
been conflict between the existing researchers, to the point that past researchers seem to leave an
inheritance of conflict for future researchers, and even worse, the conflict has also entered into Bissu
circles. This research also identifies and explains the delineation line between Bissu as artists, and
Bissu as cultural actors.

Keywords: tourism, commodification, researchers, Bissu

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menafsirkan dampak penelitian yang terus dilakukan terhadap komunitas
Bissu. Dari penelitian yang ada (lihat: Lathief 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010,
Darmapoetra 2014), beberapa diantara mereka masih membahas hal yang sama, seperti gender, Islam,
dan juga adaptasi warga yang berlangsung. Penelitian ini, ingin mengisi dan melengkapi kekosongan
narasi yang telah ada. Sebab belakangan, pariwisata hanya dilihat dari pengambil kebijakan dan
objeknya (Bissu) semata, namun belum melihat kesiapan warga sekitar dalam merespon kebijakan dan
pelaksanaannya. Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, dilakukan pada bulan November 2018.
Adapun teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan, serta melakukan wawancara
langsung dengan informan, seperti Bissu, dewan adat dan tokoh pemerintahan. Meminjam teknik
analisis data etnografi Spradley (1997), penelitian ini memiliki temuan, jika benih komodifikasi
awalnya dilakukan oleh peneliti, yang memperkenalkan dan menggiring mereka ke industri pariwisata.
Tentu memunculkan konflik diantara peneliti yang ada, sehingga peneliti sebelumnya terkesan
mewariskan konflik bagi peneliti yang akan datang, dan parahnya lagi karena konflik itu juga masuk
dalam kalangan Bissu. Penelitian ini juga menemukan, dan menjelaskan batas pemisah antara Bissu
sebagai pelaku seni, dan Bissu sebagai pelaku kebudayaan.

Kata Kunci: pariwisata, komodifikasi, peneliti, Bissu

1
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

PENDAHULUAN kemampuan mendesain perangkat


kebijakan secara spesifik (Djafar, 2015).
Budaya merupakan suatu produk yang
Secara optimis pada abad 21
dijadikan wadah pengembangan pariwisata,
kepariwisataan akan menjadi salah satu
wadah ini merangkum artefak, karya seni,
kegiatan sosial ekonomi yang terpenting
prilaku masyarakat atau keindahan alam
dan akan menjadi salah satu industri ekspor
(Minawati, 2013), lanjutnya Smith dalam
di dunia (Nugroho, 1997). Berangkat dari
Minawati (2013), pariwisata dapat
itu, pariwisata merupakan sektor yang
diidentifikansikan berdasarkan lima tipe.
paling didengung-dengungkan untuk
Yakni, pariwisata etnik, pariwisata budaya,
menggenjot pertumbuhan negara. Dekat
pariwisata sejarah, dan pariwisata rekreasi
dengan itu, dalam tulisan yang lain
(Minawati, 2013).
Nugroho menjelaskan salah satu dilema
Menurut organisasi pariwisata dunia,
yang dihadapi dari sektor pariwisata,
turis merupakan seseorang yang melakukan
terutama dengan kaitanya pada dampak
perjalanan paling tidak sejauh 80 Km (80
pertumbuhan kunjungan wisatawan luar
Mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi.
negeri (sebagai akibat dari globalisai), yang
Dekat dengan itu, dapat ditarik sebuah
membawa budaya mereka. Pertumbuhan
benang merah atau kesimpulan tetang
pariwisata yang tidak terkontrol dimana
pariwisata, adanya niat yang berbatas jarak
akan menimbulkan berbagai macam
untuk menghibur diri, maka dengan
ancaman, baik terhadap lingkungan alam,
sendirinya dia dapat disebut sebagai
dan budaya lokal (Nugroho, 1997).
wisatawan.
Selain itu, wisata budaya dikatakan
Menyoal tentang pariwisata, bukan
sebagai yang tertua dari fenomena
melulu pada hal yang membuatnya
pariwisata, orang-orang telah bepergian
gemilang dan dikenal. Dekat dengan itu,
karena alasan pariwisata budaya sejak
antropologi sebagai bagian dari
zaman Romawi. Mengunjungi situs
pengembangan pariwisata, lebih melihat
bersejarah, budaya, menghadiri acara-acara
sektor pariwisata menggunakan kacamata
khusus dan festival telah menjadi bagian
kultural. Indikator utama melihat secara
dari pengalaman pariwisata (Kastamu,
kultural adalah dengan mempelajari hasil
2015). Belakangan wisata budaya
tingkah laku masyarakat. Dengan demikian,
berkembang dengan berbagai jenis dimulai
kajian ilmu antropologi mencoba untuk
memberikan pemetaan, sejauh mana sektor dari wisata budaya, wisata religi sampai
pada wisata kemiskinan yang terjadi di
pariwisata dapat memberikan keuntungan,
Jakarta (Rahayu, 2017).
atau malah menampakkan kerugian bagi
Tidak terelakkan pula dengan wisata
masyarakat yang ada di sekitarnya. Tentu
spiritual yang terjadi pada komunitas Bissu
dengan mempertimbangkan kebijakan yang
di Kabupaten Pangkep, dalam penelitian
membalutnya (Bolaane & Kanduza, 2008).
lapangan yang saya lakukan, ada beberapa
Dengan diberikannya otoritas
wisatawan yang berkunjung untuk melihat
pengelolaan dana kepada daerah, terlebih
dan menikmati nuansa magis yang
pada otonomi pedesaan. Maka daerah
ditawarkan oleh komunitas ini. Biasanya,
didorong untuk berperan lebih aktif dalam
kunjungan ini akan ramai pada saat upacara
melihat sisi kultural pada konteks
mappalili (awal turun sawah) sedang
memajukan sektor pariwisata. Dengan
dilakukan, tepatnya di bulan November.
harapan pengembangan pariwisata yang
Berkembangnya komunitas ini sebagai
berbasis kearifan lokal, mampu hadir dan
sebuah objek wisata tidak terlepas dari para
memberikan kemajuan bagi daerah tersebut.
peneliti yang membuatnya terkenal, banyak
Menurut Sidney dalam Djafar (2015)
dari karya-karya mereka yang mendunia
formulasi kebijakan terdapat proses
dan diperbincangkan berbagai disiplin ilmu.
identifikasi sebagai pendekatan yang
Tentu menjadi menarik mengupas dan
bertujuan menyelesaikan masalah sekaligus

2
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi

menelaah komunitas ini dari latar belakang lakukan adalah sebuah kejahatan yang tidak
keilmuan yang berbeda. Saking banyaknya boleh dibenarkan.
penelitian yang didapatkan mengenai
komunitas ini, tak bisa dipungkiri beberapa METODE
dari mereka, menkaji dengan skop dan Beberapa metodologi penelitian yang
sudut pandang yang sama. ada dalam dunia akademik, selalu menitik
Tentu dengan berbagai alasan. beratkan pada bagaimana proses atau
Pertama, penelitian mengenai komunitas ini langkah-langkah apa saja yang digunakan
tidak memiliki regulasi yang jelas mengenai untuk mendapatkan data. Termasuk dalam
topik yang akan diangkat. Hal ini metode penelitian antropologi, ingin
diperparah saat saya melakuakn studi melihat kelakuan atau kreativitas peneliti
pustaka dengan menyambangi dinas untuk mendapatkan data saat di lapangan
Perpustakaan dan Arsip Daerah di yang multi metode (Hidayah, 2012), dengan
Kabupaten Pangkep, tidak satupun tulisan asumsi segala sesuatu yang didaptkan
(skripsi, tesis, disertasi, dan buku) yang adalah data, karenanya data bersifat seperti
saya temukan membahas mengenai Bissu. air yang terus mengalir. Olehnya itu, tugas
Opsi untuk berkunjug ke Perpustakaan peneliti adalah memberikan pemetaan pada
Daerah bagi para peneliti adalah sebuah realita, fakta, dan data sebagai upaya untuk
kemirisan, dan hal yang sia-sia. memfokuskan hasil penelitian.
Kedua, literatur peneliti luar yang telah Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
membahas mengenai Bissu sulit dan Segeri yang berada di Kabupaten Pangkep.
langkah didapatkan, tentu ini menjadi Penanda utama saat memasuki Kecamatan
sebuah kekosongan literatur untuk melihat
Segeri, selain hamparan empang yang
bagaimana narasi etik (pandangan peneliti berseblahan dengan jalan poros Makassar
luar) menerjemahkan Bissu dalam ke Barru, juga terdapat banyak kios-kios
pemahaman mereka sendiri. Ketiga, yang menjajakan Jeruk Bali, berbagai
kebanyakan narasi hasil penelitian dalam macam jeruk dengan istilah lokal
negeri terlalu membawanya ke hal yang disediakan. Salah satunya jeruk jenis
tidak dimengerti oleh akal sehat dan bencong, selain itu jika dari arah
berkutat pada itu-itu saja. berlawanan akan banyak ditemui kios
Keempat, banyaknya peneliti luar yang jajanan dange yang terbuat dari ketan hitam
ingin mengetahui komunitas ini dalam yang dibakar diatas tungku tanah.
ranah akademik/ilmiah, menjadikan peneliti Penelitian ini dilakukan saat diadakan
dalam negeri seperti artis yang selalu dicari-
upacara mappalili (awal turun sawah),
cari. Padahal apa yang peneliti dalam negeri upacara ini dilaksanakan saat bulan
ketahui sudah tidak kontekstual dan usang November sebagai penanda bagi petani
untuk diceritakan kembali. Hal ini untuk mulai menggarap sawahnya. Data
diperparah karena peneliti dalam yang ditampilkan dalam penelitian ini
memahami Bissu masih diwarnai dengan adalah hasil wawancara langsung dengan
mitos budaya yang mereka yakini. informan, seperti Bissu, dewan adat, tokoh
Dari empat alasan yang saya paparkan pemerintahan, dalam tulisan ini saya juga
diatas, para peneliti Bissu secara tidak sadar menampilkan catatan lapangan yang
membuka ruang dan menumbuhkan benih merupakan refleksi dari sebuah peristiwa
komodifikasi bagi komunitas yang sifatnya yang saya alami.
sakral dan tertutup. Hal ini diperparah Untuk manuai hasil pemetaan data
dengan kelakuan berengsek peneliti dalam yang baik, maka dalam penelitian ini, saya
negeri yang ikut-ikutan melakonkan Bissu menggunakan rujukan dari Spradley
dalam pagelaran tertentu, alih-alih untuk tentang bagaimana metode etnografi
menyelamatkan tradisi, apa yang mereka digunakan dalam suatu penelitian
masyarakat. Bagi Spradley (1997),

3
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

etnografi merupakan pekerjaan Munculnya istilah pariwisata spiritual


mendeskripsikan suatu kebudayaan, atau wisata spiritual tidak bisa terlepas
konsekuensi penelitian ini dimulai dari awal dengan adanya Gerakan Zaman Baru atau
November hingga akhir, adapun teknik The New Age Movement. Padahal antara
pengumpulan data melingkupi pengamatan pariwisata dan spiritual merupakan dua hal
partisipasi, wawancara langsung dan yang berseberangan, oleh Rogers (2002)
mendalam. disebut sebagai “secular and spirituality”.
Untuk menuai hasil yang memuaskan, The New Age adalah potret zaman yang
maka digunakan pula teknik analisi data. memadukan rasionalisme Barat dengan
Data yang didapatkan, akan dikumpulkan mistikspiritual Timur. Ciri utama dari
dan digunungkan untuk dapat melihat zaman ini adalah penolakan terhadap agama
gambaran secarah utuh dan mnyeluruh, formal, karena dipandang cenderung
seperti menghubungkan tema-tema kultural, mengekang kebebasan individu (Sutama,
analisis domanin, data ini berupa gambaran 2013).
awal mengenai objek yang diteliti, dan Esensi batas spiritual yang ditawarkan
melakukan analisi maju bertahap, atau biasa dalam wisata ini, menembus kesejukan
disebut analisis taksonomi (Spradley, batas-batas agama, dalam pesan yang ingin
1997). disampaikan bahwa semua agama dilihat
sama, hanya percaya pada realitas dari
PEMBAHASAN Tuhan. Jadinya, wisata spiritual yang
dilakukan menembus agama dominan atau
Bissu, Awal Pariwisata Spiritual
biasa juga wisata model ini disebut wisata
Pada bulan Desember 1976,
lintas agama (Sukidi, 2001). Namun, untuk
UNESCO dan Word Bank mensponsori
menarik dan melihat konteksnya pada
pertemuan pertama tentang dampak sosial-
komunitas Bissu, hanya dilakukan pada
budaya dari pariwisata, dalam forum itu
waktu menggelar upacara adat saja (lihat
menghasilkan seperangkat rekomendasi
Gambar 1).
kebijakan tentang masalah yang
ditimbulkan. Salah satu bagian dari
rekomendasi ini berfokus pada bagaimana
budaya lokal harus disajikan kepada
wisatawan dan bagaimana wisatawan dapat
dilatih untuk lebih sopan memperlakukan
budaya lokal (Wood, 1980).
Turunan dari itu, Indonesia baru
merespon dampak pariwisata bagi
kebudayaan dengan menerbitkan Undang-
undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5
tahun 2017. Jadi ada sekitar 41 tahun
Gambar 1. Seorang Bissu sedang berjalan
kebudayaan Indonesia mengalami masa
ke tempat upacara, tepat di depan
yang tidak menentu, orang-orang berbicara
wisatawan asing dan lokal. (Dokumentasi
mengenai kebudayaan tanpa sebuah
Pribadi, 2018).
pegangan atau dasar konstitusi yang jelas,
tentang bagaimana memperlakukan nilai
budaya, baik dalam perspektif lokal, Olehnya itu, saat upacara yang
maupun dalam perspektif global. Walaupun dilakukan Bissu sedang berlangsung, maka
telah ada undang-undang mengenai akan mengundang banyak wisatawan untuk
pariwisata, namun itu tidak ditopang oleh berkunjung. Seperti apa yang diungkapkan
hal yang sifatnya dari dalam, yakni dari oleh Wa’ Nani sehari sebelum upacara
kebudayaan itu sendiri. berlangsung, dengan nada yang sungguh

4
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi

dan penuh keyakinan dirinya Dilain kesempatan, saya juga


mengungkapkan seperti ini. melakukan wawancara secara tidak
langsung dengan para pemuda Desa Segeri,
Naulle baja engka pole taunna
yang waktu itu ikut membatu persiapkan
pariwisata, jaji u suromanenggi tauwe
acara yang akan dilaksanakan besok.
mappasadia yekko engkai pole. Apa
Mereka membenarkan apa yang dikatakan
makanja diita ko enga to pole na
oleh Puang Making tadi, karenanya mereka
degaga persiapatta digauranggi.
bergotong royong melakukan persiapan.
Wisata spiritual yang dilakukan oleh
Artinya: banyak tamu yang datang umumnya telah
banyak dilakukan di daerah lain, seperti di
Besok akan datang orang-orang dari
Bali, India, Cina dan Tibet (lihat Sutama
Dinas Pariwisata berkunjung, jadi saya
2013). Umumnya wisatawan jenis ini
memberitahukan mereka yang bergelut
memiliki dua fktor yang berbeda pertama,
didapur untuk mempersiapkan hal yang
keinginan meninggalkan tempat dimana
dibutuhkan ketika mereka datang.
wisatawan biasa tinggal untuk menuju ke
Karena tidak elok jika tamu tidak
suatu tempat yang asing baginya.
dilayani dengan baik (Bissu Nani,
Sedangkan motif kedua adalah, keinginan
November 2018).
berkunjung ke suatu tempat yang memiliki
fasilitas atau hal-hal tertentu yang tidak
Ini menandakan jika kedatangan dimiliki oleh tempat atau daerah dimana ia
mereka telah dinantikan setiap tahunnya, biasa tinggal (Sutama, 2013).
karena itu Puang Matoa Nani (Ketua Bissu Artinya, wisatawan berkunjung
Segeri) meminta agar melakukan persiapan. meninggalkan rutinitas kesehariannya untuk
Selain itu, saat saya didatangi oleh salah menemukan suatu hal yang baru,
satu tokoh masyarakat dan juga dewan adat sebelumnya hal baru ini tidak ditemukan
di Segeri, Puang Making sapaan akrab ditempat asal mereka. Namun ada yang
warga untuknya, Puang Matoa menguatkan berbeda ketika saya bertanya kepada salah
asumsi yang saya bangun sebelum satu wisatawan lokal yang ikut
melakukan turun lapangan. menyaksikan pagelaran Bissu, dia satu dari
Dirinya mengakui kalau kegiatan yang rombongan tour yang dilaksanakan oleh
dilaksanakan tiap tahunnya ini mengundang sbuah agen perjalanan dan menyambangi
banyak wisatawan dari mancanegara, tiga kota. Baginya, ini memang sudah
wisatawan lokal tentu dengan tujuan yang dijadwalkan dan memang salah satu
berbeda-beda, mulai dari hanya sekedar destinasinya adalah melihat pagelaran
menyaksikan pegelaran mereka, pembuatan Bissu.
film pendek sampai mendatangkan para
Sebenarnya kesini bukan pilihan ta’,
peneliti;
cuma kami ikut dari prodi, tapi salah
Besok itu, sudah banyak tamu yang satu kunjungannya memang ke sini.
datang, biasanya orang pariwisata Baru ka’ juga tahu, kalau ini yang
datang, juga bawa rombongan. dibilang Bissu (Firah, salah satu
Termasuk juga anak muda dari IPPM rombangan wisatawan lokal,
(Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa) November 2018).
Pangkep terlibat di sini, tahun lalu itu
penuh di sini, sampai bermalam, juga Dengan pengakuan ini, tentu bukan
bangun tenda, pokoknya ramai ada Pak dorongan dari dalam diri untuk untuk
Desa, Camat, mungkin juga besok mengetahui Bissu. Hanya saja, agen travel
datang Pak Bupati. yang tentu diuntungkan dari kasus ini.
Dalam benak saya sebagai refleksi dari
kejadian di lapangan, menganggap yang

5
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

akan datang menyaksiakan adalah mereka tadi, lambat laun hilang dengan sendirinya
yang berkecimpung langsung dalam dunia dan menjadi profan.
pariwisata, atau sekedar petinggi dari Dinas Karena Bissu sebagai subjek akan
Pariwisata daerah maupun Provonsi. sebuah agama masyarakat Bugis, tentu juga
Namun apa yang saya temui berbeda mengalami proses disembedded, proses
dengan asumsi yang saya bangun, sebab penggeseran dari agama sebagai suatu yang
yang datang adalah rombongan mahasiswa hidup dalam komunitas keagamaan yang
salah satu perguruan tinggi, yang tertanam dalam sejarah dan sosiologi
dikoordinir oleh agen perjalanan. masyarakat tercabut dari sistem refrensinya.
Agama tidak lagi mengakar dalam
Bissu dan Benih Komodifikasi kehidupan komunitas sebagai jawaban atas
persoalan komunitas yang menyerah
Program pariwisata mendesak mereka
(Abdullah, 2017).
untuk merubah kesakralan upacara yang
Dekat dengan itu, komodifikasi budaya
dilakukan, menjadi sebuah komoditas
merupakan transaksi jual beli benda budaya
tontonan untuk dijual. Komunitas Bissu
melalui proses industri yang lahir seiring
yang makin berkurang ini berada dalam
dengan era globalisasi, sedangkan industri
ambang antara ada dan tiada, dikatakan ada
pariwisata adalah anak kandung globalisasi
karena komunitasnya masih dihendaki dan
yang memproduksi benda budaya untuk
terutama dengan hal sifatnya ritual.
diperjual belikan demi keuntungan secara
Dikatakan tidak ada, karena masyarakat
finansial (Irianto, 2016). Seperti dengan
yang semula menopang keberadaannya
kasus yang saya paparkan diatas tadi, selalu
kemudian meninggalkannya karena
ada saja pihak yang terus diuntung dan
berbagai sebab (Lathief, 2004).
dibuntungkan.
Membincangkan tentang pariwisata,
Dengan berubahnya konsepsi kesenian
tentu akan dekat dengan berbagai objek.
atau pagelaran yang dilakukan Bissu, dari
Ditulisan ini pariwisata dekat dengan
yang sifatnya semata untuk mendepatkan
kebijakan, seni dan kebudayaan, dari semua
berkat sebagai rasa kesyukuran dari dewa.
itu, untuk melihatnya terus berkelanjutan,
Perubahan makna ini ditandai dengan
maka pelestarian dengan cara apapun pasti
bayaran yang diminta atau bahkan yang
akan dialakukan, seperti pariwisata yang
diterima oleh oknum tertentu untuk meraup
penuh dengan komodifikasi. Tentu ini juga
tidak terlepas dari bagaimana komunitas untung dari pagelaran Bissu. Tentu ini
memberikan pemaknaan yang berbeda dari
Bissu dikomodifikasi secara legal dan
pagelaran untuk memintah rahmat dan
hampir tidak mendapat celah. Perlu
berkah, berubah menjadi pagelaran yang
ditekankan dalam poin ini adalah,
dipertontonkan dan mendapat sejumlah
bagaimana komunitas Bissu tidak lebihnya
imbalan.
hanya sebuah objek komodifikasi. Tanpa
Saat di lapangan, saya juga mendapati
ada hal yang mampu menjadikannya sebuh
banyak keluh kesah dari pemerhati Bissu,
kesepakatan akan nilai yang dijunjung
pemerhati ini memiliki WAG (WhatsApp
bersama.
Group) sendiri. Didalam grup itu terdiri
Adanya pemasaran produk pariwisata
dari peneliti dan budayawan. Saya
di Segeri, dengan cara mengemas pegelaran
mempelajari pola komunikasi yang ada di
tradisional dilakukan oleh Bissu yang
grup itu, hingga akhirnya saya dapat
bernilai religius, menjadi seni pariwisata
menarik benang merah. Bahwa mereka
yang bernilai komersial, dan dapat
sangat menentang suatu yang sifatnya
dipertontonkan secara bebas kepada para
komodifikasi bagi komunitas Bissu ini.
wisatawan. Sama dengan tari tradisional
Namun mereka diperhadapkan oleh dua hal,
Barong yang ada di Bali, lihat (Dewi,
merawat budaya yang tidak lagi murni atau
2016). Jadinya, hal yang sifatnya sakral
malah memperparah dengan membiarkan

6
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi

begitu saja, tanpa komodifikasi. Hal ini membayar sejumlah mahar saat ingin
juga didukung oleh tulisan Makkulawu, mengikuti upacara mappalili, tentu hal
dirinya menuliskan seperti ini: itu kami tidak gubris, membiarkannya
berlalu dan tetap mengikuti ritual
Sekarang mereka juga sudah tampil
(Catatan Lapangan, 2018).
untuk suguhan para wisatawan yang
membutuhkannya, bahkan dapat Dengan begitu, adanya salah satu
memenuhi undangan untuk mengadakan oknum yang ingin meraup keuntungan dari
pertunjukan di luar Sulawesi Selatan. peristiwa seperti ini, memperparah jalannya
Jadi, tidak heran kalau sudah ada dosen plekasanaan upacara mappalili. Tentu juga
seni atau perguruan tinggi dianggap sebagai komoditi semata, bukan
memberanikan diri diangkat menjadi sesuatu yang benar-benar menampakkan
Bissu, bahkan sudah ada yang hebat lagi corak spiritualitasnya.
mengangkat Puang Matoa sendiri untuk Dari kacamata Antropologi, pariwisata
kepentingan grupnya (W. Makkulau, selalu dilihat dari sisi emik, artinya
2008). pariwisata menjadi sebuah narasi bersama
yang tidak hanya dilihat dari segi ekonomi,
Paparan yang dituliskan Makkulau ini
sosial dan lainnya, tetapi pariwisata selalu
rasanya sangatlah pedas, dan memang ini
dilihat bagaimana penerimaan masyarakat
sudah terjadi, sehingga apa yang saya
terhadap wisatawan asing yang datang.
narasikan sebagai sebuah komodifikasi dari
Dalam konteks Kecamatan Segeri, bukan
para peneliti terjadi beberapa tahun sebelum
hanya Bissu yang mendapat focus kajian,
saya melakukan turun lapangan. Sacara
namun respon kultural masayarakat menjadi
tidak sadar, para peneliti sebelumnya
kajian utamanya.
mewariskan konflik bagi para peneliti
Temuan saya kali ini, masyarakat Segeri
pemula seperti saya. Belum lagi jika saya
belum mampu menjaga citra Bissu sebagai
hanya dipertemukan oleh Bissu dari
orang suci. Lathief dalam penjabarannya
golongan mereka saja, padaahal sejatinya,
mengenai kelasifikasi Bissu, menuliskan
data yang saya perlukan, tidak ada pada
kalau mereka (Bissu) dari golongan
Bissu golongannya itu.
paccalabai di kalangan remaja Segeri,
Dalam melihat perkembangan
dikenal dengan maju kena—mundur kena,
komunitas ini dari segi pariwisata, saya
yang maksudnya adalah calabai yang bisa
juga menemukan kejanggalan yang saya
berhubungan dengan pria dan wanita.
tuliskan dalam catatan harian saat berada di
Lanjutnya, calabai tipe ini disebut pula
lapangan.
pisau silet, yang maknanya dapat mengiris
Selain permasalahan dalam internal dua sisi secara bolak-balik (Lathief, 2004).
Bissu maupun dari kalangan peneliti, Selain tidak mampu menjaga citra suci
permasalahan juga saya temukan dari yang dimiliki Bissu, kaulah muda yang ada
dalam masyarakat Segeri sendiri. di Segeri dalam pengamatan saya
Karena saya menempatkan diri sebagai mengalami yang namanya shock culture,
peneliti ketika itu, maka untuk beberapa dari mereka jika melihat
menambah data yang saya perlukan, wisatawan asing selalu bertindak over.
saya memutuskan untuk bergabung Dengan mengajaknya berfoto atau
dalam lingkaran para peneliti dari mengajaknya berbicara dengan
dalam maupun luar negeri, yang menggunakan bahasa Inggis yang pas-
kebetulan juga ada di Segeri. Saat pasan, dan terkadang mempelesetkannya
sebelum upacara mappalili dilakukan dengan bahasa Bugis.
ada oknum dari pemerintah setempat
yang menemui kami, dalam Beberapa dari wisatawan asing tidak
perbincangannya yang memakan waktu terlalu merespon jika mendapati remaja
cukup lama, kami dimintai untuk seperti ini. Bahkan jika sudah kelewatan,

7
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

beberapa dari mereka merasa terganggu dan komersial (Irianto, 2016). Kesenian
tidak nyaman. Justru sudut pandang ini tradisional yang mengandung sebuah nilai
yang tidak dilihat dalam pengembangan dan menjadi ekspresi masyarakat,
pariwisata yang ada di Segeri. Belum lagi menciptakan keserasian antara manusia dan
jika wisatawan asing tidak begitu suka lingkungan, harus pula menyesuaikan diri
diperlalukan begitu, maka biasanya mereka dengan kebutuhan pasar yang akhirnya
saling mengumpat dengan menggunakan berada pada tuntutan industri pariwisata.
dua dialeg namun arti tetap sama yaitu Bagi para pelaku kesenian,
mencelah. menampilkan hasil cipta, rasa, karya, dan
Perhatikan Gambar 2. Saat saya karsa dalam sebuah pagelaran adalah
menyaksikan awal turunnya arajang untuk sesuatu yang didamba-dambakan. Namun
dipindahkan ke rumah baru yang telah itu berbeda bagi para pelaku budaya,
dibuatkan oleh pemerintah. Saya melihat melakukan sebuah perfom bukanlah
seorang warga lokal yang sedang meminum keharusan buat mereka. Ada atau tidak
minuman keras dan seakan adanya perfom mereka harus tetap
mempertontonkan bagi siapa saja yang melakukan ritual upacara yang sifatnya
datang. Kelakuan seperti ini yang akan sudah diwariskan secara turun-temurun. Ini
merusak citra suci Bissu sebagai penjaga merupakan sebuah batas demarkasi antara
rumah dan benda-benda sakral yang ada di pelaku seni dan pelaku budaya.
Segeri. Saat melihat sisi kehidupan dan
konteks yang ada pada komunitas Bissu,
mereka dapat dicap sebagai sebuah pelaku
budaya. Bagi mereka, ada atau tidak adanya
wisatawan, upacara harus tetap
berlangsung. Berbeda lagi jika konteksnya
saat mereka melakukan tarian maggiri
(menusukkkan benda tajam pada tubuhnya),
diluar waktu upacara dan di tempat-tempat
yang telah direncanakan. Dalam konteks
itu, mereka tidak lagi disebut sebagai
pelaku budaya, mereka lebih pantas disebut
Gambar 2. Seorang warga lokal di kolong sebagai seorang pelaku seni.
rumah sedang minum minuman keras saat Dengan melakukan pagelaran diluar
hal upacara ritual, dari situlah mereka dapat
upacara Bissu sedang berlangsung.
melanjutkan kehidupan. Diundang, pentas,
Dokumentasi Pribadi (2018). dan mendapat bayaran adalah hal yang
sangat diidam-idamkan oleh segelintir
Dengan memperlihatkan kelakuan Bissu, apalagi saat pentas itu dilakukan
seperti ini, akan menambah sebuah akar diluar daerah dan mengharuskannya untuk
permasalahan baru bagi pengembangan membawa persiapan yang lebih. Namun ada
pariwisata di Segeri. Karena respon kultural juga Bissu yang tidak ingin ambil pusing
tadi yang tidak mampu dilihat sebgaia dengan itu, bagi mereka berprofesi sebagai
sebuah nilai adaptasi. indo’ botting lebih menjanjikan ketimbang
harus melakukan pelesiran sana-sini.
Komodifikasi, Upaya Merajut De’pa na palili tauwe nak dakku u
Kehidupan lokka di Sumatra, sibawaka i Juleha,
Sejak dicanangkan industri pariwisata pa Wa Nani, alena tosi lokka ko Bali.
di Indonesia pada tahun 1986, maka Iyya na Juleha, lokka tosika ko
kesenian tradisional merupakan salah satu Sumatra. Pa’ alena (Bissu Wa’ Nani)
atraksi yang bertujuan untuk hiburan

8
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi

de’ naelo terimai yekko mariawa Bissu dan Pagelaran Tari


pakoenna. Pagelaran tari merupakan sebuah kerja
seni dimana tubuh bekerja atau berekspresi
Artinya: diluar gerak keseharian. Unsur pokok seni
Sebelum dilaksanakan mappalili nak, tari adalah segala potensi yang ada pada
saya berangkat ke Sumatra, saya tubuh manusia. Sejak manusia lahir, potensi
bersama Juleha, karena Wa Nani, dia seni yang ada pada tubuh manusia adalah
yang berangkat ke Bali. Saya dan gerak dan suara (Sumaryono, 2011).
Juleha berangkat ke Sumatra. Karena Olehnya itu, dalam gerak sebuah pagelaran
kalau dia (Bissu Wa Nani) tidak ingin merupakan suatu yang kultural dan melekat
menerima kalau honornya sedikit dan identik. Pada perdebatan mengenai
(gerakan tangannya sambil konsep tubuh dan fikiran, adalah dua hal
mengisyaratkan uang) (Bissu Sale’, yang saling mempengaruhi dan masing-
November 2018). masing memiliki titik keunggulan, dimana
titik keunggulan itu bermain dalam proses
Hal ini menandakan jika asumsi merajut keseharian.
kehidupan dari pagelaran ke pagelaran Pagelaran yang dilakukan oleh Bissu di
membuatnya semakin kuat. (lihat Gambar Sulawesi Selatan, dengan gamblang
3 saat melakukan wawancara dengan Bissu memperlihatkan sebuah kekuatan fikiran
Sale’). yang mempengaruhi kekuatan tubuh. Pada
praktiknya seorang Bissu akan menacapkan
benda tajam ke beberapa bagian tubuhnya,
karena adanya kekuatan fikiran
mempengaruhi tubuh, maka tubuh
merespon dengan kebalnya bagian yang
ditancapkan benda tajam tadi. Tari seperti
ini biasnya dilakukan Bissu untuk merespon
dunia gaib, bentuknya dalam berbagai
upacara dan hajat hidup sehari-hari
(Lathief, 2004).
Gambar 3. Saya sedang melakukan Walaupun pandangan ini terkesan
wawancara dengan Bissu Sale’ dan sangat fenomenlogis, namun pandangan
menceritakan dirinya telah melakukan tersebut dilihat sebagai indikator mengenai
perfom di Sumatra. (Dokumentasi Pribadi, penting dan mendasarnya kejadian,
2018). perwujudan dan gejala sehingga patut
Sementara itu, yang menjadi hal unik dilihat dari pelbagai segi. Sejalan dengan
dari hasil pengamatan saya juga, ketika para itu, tubuh dianggap sebagai media ungkap
Bissu melakukan perfom dalam rangkaian yang dapat dieksplorasi hingga batas yang
upacara. justru tidak mendapat keuntungan paling jauh (Simatupang, 2013). Sehingga
dari upacara itu, mereka betul-betul dengan alasan itu, komodifikasi atas tubuh,
melakukannya tanpa imbalan sepeserpun. peran dan pagelarannya kian kompleks
Artinya, ketika para Bissu didatangi untuk terjadi.
sebuah perfom dalam konteks Segeri, Bissu sejatinya merupakan pendeta
mereka melakukannya sebagai sebuah yang dapat menghubungkan manusia
pengabdian. Justru membuatnya dengan dewa pencipta, semakin hari
tereksploitasi adalah para agen perjalanan semakin tereksploitasi. Sehingga
yang entah bekerjasama dengan siapa, dan penghargaan atas dirinya semakin terlihat
mendapat akses untuk menyaksikan samar, inilah yang ditawarkan dalam
pagelaran itu tanpa membayar pajak sah. masyarakat urban, mengakar pada sistem
produksi, salah satunya pagelaran itu yang

9
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

terus berubah. Tentu dibalut indah dengan mengembalikan posisinya, kepada ranah
keuntungan pariwisata yang kian hari kian yang sakral.
menjanjikan.
Sampailah pada wacana apropriasi Bissu; Sebuah Komoditas Budaya
seni, sehingga tari tidak muncul sebagai hal Dalam tulisan ini saya mewacanakan
turun-temurun, melainkan muncul dengan pernyataan Geertz, yang mengisyaratkan
sesuatu yang terus mengalami kebaharuan. bahwa seni merupakan perkara yang sulit
Olehnya itu, pagelaran (tari) maggiri (lihat dimengerti jikalau hanya melihat dari
Gambar 4) yang dilakukan oleh Bissu permukaan. Seni membutuhkan sebuah
adalah suatu yang terus berubah. Karena tindakan untuk mengenalnya (Raditya,
sifatnya yang terus berubah, hingga tari 2014). Maka dari itu untuk sebuah laku
istimewa dilakukan oleh orang dan di pagelaran Bissu, adalah sebuah perpaduan
tempat tertentu, dapat dilakuan oleh orang pada tatanan sosial, ekonomi bahkan
yang biasa saja. relevansi politik. Dimana perpaduan itu
Selain itu, konteks tari biasanya untuk hanya dipandang sebagai suatu produk
sesuatu yang sakral, kini menjadi suatu untuk melanggengkan komoditas.
yang dapat dinikmati khal layak umum. Pergeseran makna dari pagelaran yang
Dinikmatinya tari secara umum, maka sifatnya sakral, natural, dan kultural kian
dengan begitu eksploitasi dan komodifikasi hari dianggap sebagai objek dari tontonan
bekerja. Dari kelakuan itu nantinya akan semata. Hadirnya industri pariwisata
membuat mereka semakin bebas dari nilai menampakkan implikasi yang luas,
yang sebelumnya telah mengikat. dikarena termasuk pada pergeseran sakral ke
sangat memungkinkan paradigma post— tontonan, ini merupakan sebuah kajian
modernisme akan menjadi semakin jelas budaya populer, dengan asumsi bahwa
sosoknya dan semakin kuat pengaruhnya budaya konfensional ketika sudah menjadi
terhadap wacana kesenian dalam hal yang dikomersialkan maka saat itu
antropologi budaya (Ahimsa-Putra, 2000). dapat diakatakan budaya populer. Penanda
lainnya adalah jika dahulu pagelaran Bissu
diadakan karena bersifat ekologis, maka
sekarang pagelaran itu bergeser dengan
objek industri. Industri dimaksudkan adalah
pariwisata.
Dalam tulisan ini bukan ingin
menyudutkan industri pariwisata, karena
disisi lain, dalam sudut pandang pariwisata.
Kebudayaan tidaklah berubah, nilai dalam
kebudayaanpun juga tidak berubah. Tapi
Gambar 4. Beberapa Bissu tengah yang menjadi titik tekannya bahwa nilai itu
mempersiapkan diri untuk menari magis mengalami sebuah proses transformasi
maggiri. (Dokumentasi Pribadi, 2018). bukan perubahan. Maka dengan asumsi
seperti ini, industri pariwisata tetap dengan
Ketika pariwisata semakin massif angkuhnya berjalan langgeng ditengah
dilakukan atas mereka, lambat laun akan terpaan identitas yang mulai tidak karuan.
menghilangkan sisi sakral, dan Komodiifikasi yang dimaksudkan
mengedepankan sisi profan. Inilah yang merupakan segala bentuk gerak tubuh dari
dibungkus oleh industri pariwisata dan seorang Bissu. Bagaimana tidak, pesatnya
hampir tidak mampu dipandang dari sisi permintaan akan pagelaran yang
emik, memasuki abad 21 saat era post— dipentaskan oleh mereka, tidak sejalan
modernisme tidak dapat dielakkan. Saat itu dengan apa yang ia dapatkan. Hal ini
pula, peneliti harus kembali diperparah oleh hadirnya pemerintah yang

10
Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi

dengan getol mendorong terjadinya kebudayaan. Karena pariwisata kajiannya


pemajuan kebudayaan, padahal jika ditelaah adalah prilaku manusai, olehnya itu, sisi
lebih kritis, pemajuan kebudayaan hanyalah Antropologis tidak bisa dilepaskan begitu
kedok bagi peningkatan sektor pariwisata saja. Dekat dengan itu, Antropologi tidak
(lihat Gambar 5). melihat pariwisata sebagai sebuah kelakuan
manusia untuk memajukan kesejahtraan
dengan penguatan ekonomi. Melainkan
Antropologi hadir untuk memberikan kritik
terhadap pariwisata, melihat lebih jeli
tentang warga sekitar merespon wisatawan
yang datang.
Seperti halnya dalam melihat
komunitas Bissu yang ada di Sulawesi
Selatan. Tidak dapat dilepaskan dari unsur
komodifikasi nilai budaya untuk keperluan
ekonomi. Karena kelakuan pariwisata
Gambar 5. Setelah menari maggiri Bissu memang memiliki sisi yang kejam. Tapi
berfoto dengan dewan adat, tokoh dapat menjadi sebuah nilai tambah ketika
pemerintahan dan warga yang turut melihat sisi yang menjadi komodifikasi
menyaksikan. (Dokumentasi Pribadi, 2019). akan terus ada dan selalu mengalami
pembaharuan.
Sehingga dengan ini, segala bentuk Peristiwa yang terjadi dalam konteks
komodifikasi akan nilai dan pelaku budaya, Segeri, Kabupaten Pangkep di atas, tidak
selalu menjadi objek. Mereka yang dapat juga dilepaskan oleh kelakuan para
bersentuhan langsung dengan sejarah, peneliti. Selain mewariskan beberapa
mengetahui seluk-beluk dan nilai tentang konflik ternyata juga peneliti sebelumnya
budaya, merupakan awal atau sebuah berperan penting bagi kehidupn mereka
kesombongan baru. Namun, membedakan (Bissu), melalui pagelaran yang
budaya dan kebudayaan saja masih teramat diperkenalkan lewat hasil penelitian mereka
samar, sama ketika pembedaan objek dan yang telah mendunia. Tidak sampai disitu,
subjek pada komodifikasi budaya. semua elemen juga memiliki kewajiban
Dengan arti, beberapa nilai budaya untuk turun langsung dalam memberikan
akan terus mengalami pembaharuan dan edukasi kepada warga lokal, jika memang
tentu akan terus ada. Akan tetapi ingin merespon pariwisata dengan baik.
keberadaanya terlepas dari nilai suci dan
sakral dibanding keberadaannya beberapa DAFTAR PUSTAKA
tahun silam. Untuk itu diperlukan strategi
Abdullah, Irwan. (2017). Di Bawah
yang mampu menciptakan standar mutu
Bayang-Bayang Media: Kodifikasi,
kesenian tradisional yang menyangkut
Divergensi dan Kooptasi Agama di
segala aspeknya, diantaranya adalah
Era Internet. Sabda , 12, 116-121.
konstruksi, koreografi, media dan
revitalisasi. Karena sejatinya media Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2000). Wacana
merupakan sebuah pesan untuk memaknai Seni Dalam Antropologi Budaya:
nilai yang lain (Boudrillard, 2013). Tekstual, Kontekstual dan Post-
Modernitis. In H. S. Ahimsa-Putra,
PENUTUP Ketika Orang Jawa Nyeni (pp. 399-
427). Yogyakarta: Galang Press.
Pariwisata akan menuntun kita berjalan
ke mana saja, hingga sampai pada sebuah Bolaane, Meitseo, & Kanduza, Ackson.
persimpangan, kita harus memilih. (2008). Critical Factors in Cultural
Membaca atau malah dibaca oleh Tourism in Botswana. Botswana

11
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Society , Vol. 39 (Tourism as a Raditya, Micheal HB. (2014). Antara Rasa


Sustainable Development Factor), 54- dan Estetika Komodifikasi Nilai
61. Konsumsi Pada Pangan Sebagai
Wujud Eksistensi. Kawistara , 4, 111-
Boudrillard, Jean. (2013). Masyarakat
224.
Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi
Wacana. Rahayu, Andina. (2017, Januari 22).
Jakarta Hidden Tour, Wisata di Sudut
Dewi, Angraeni Purnama. (2016).
Kumuh Ibukota. Kemiskinan pun
Komodifikasi Tari Barong di Pulau
Laku Dijual di Sana! Retrieved
Bali Seni berdasarkan Karakter
Februari Kamis, 2019, from
Pariwisata. Panggung , 222-233.
www.hipwee.com:
Djafar, Suaib. (2015). Evaluasi Kebijakan https://www.hipwee.com/travel/jakart
Pariwisata. Yogyakarta: Ombak. a-hidden-tour-wisata-di-sudut-
Hidayah, Sita. (2012). Antropologi Digital kumuh-ibukota-kemiskinan-pun-laku-
dan Hiperteks: Sebuah Pembahasan dijual-di-sana
Awal. Ranah , 2-10. Simatupang, Lono. (2013). Pagelaran
Irianto, Agus Maladi. (2016). Komodifikasi Sebuah Mozaik Penelitian Seni-
Budaya di Era Ekonomi Global Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
Terhadap Kearifan Loka; Studi Kasus Spradley, James. P. (1997). Metode
Eksistensi Industri Pariwisata dan Etnografi. Yogyakarta: Tiara
Kesenian Tradisional di Jawa Tengah. Wacana.
Theologia , 27, 213-236.
Sukidi. (2001). New Age Wisata Spiritual
Kastamu, Matatizo. (2015). Tourism as Lintas Agama. Jakarta: Gramedia
Acculturation Process and a Modern Pustaka Utama.
Leisure Activity. Tanzania: Faculty of
Sumaryono. (2011). Antropologi Tari
Arts And Social Sciences
Dalam Perspektif Indonesia.
Departement of Cultural
Yogyakarta: Media Kreativa.
Anthropology and Tourism.
Sutama, I Ketut. (2013). Pariwisata
Lathief, Halilintar. (2004). Bissu
Spiritual di Bali dari Perspektif
Pergulatan dan Perannya di
Stakeholders Pariwisata. Jurnal
Masyarakat Bugis. Depok: Desantara.
Perhotelan dan Pariwisata , 1-14.
Minawati, Rosta. (2013). Komodifikasi:
Makkulau, Muhammad Farid. (2008).
Manipulasi Budaya Dalam (Ajang)
Manusia Bissu. Makassar : Pustaka
Pariwisata. Ekspresi Seni Jurnal Ilmu
Refleksi.
Pengetahuan dan Karya Seni , 15,
117-127. Wood, Robert E. (1980). International
Tourism and Cultural Change in
Nugroho, Heru. (1997). Garda Terdepan
Southeast Asia. Economic
Penjaja "Komoditi Budaya":
Development and Cultural Change ,
Pemandu Wisata dan Biro Perjalanan
561-581.
dalam Industri Pariwisata. Jurnal
Ilmu Sosial dan Politik , 1, 63-72.
____________. (1997). Industrialisasi
Sektor Pariwisata: Pintu Masuk
pembangunan atau Pelembagaan
keterbelakangan? Kelola , VI, 28-38.

12
TARI DINGGU
EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS KEBERHASILAN PANEN
PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI
DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA
(THE DINGGU DANCE AN EXPRESSION OF REJOICING OVER
SUCCESSFUL HARVEST AMONG THE TOLAKI PEOPLE OF KOLAKA,
SOUTHEAST SULAWESI)
Syamsul Bahri
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
e-mail: syamsulbahrihabibi@yahoo.co.id

ABSTRACT
The dinggu dance constitutes a dance form practiced by the Tolaki people of Kolaka, in the province
of Southeast Sulawesi. Since the adoption of rice as the staple food of the Tolaki, the society took the
initiative to create the dinggu dance, featuring movements following the motions of people threshing
rice by pounding, pounding a wooden mortar and pestle, as well as involving a winnowing basket
woven from bamboo, used for separating out chaff. The aim of this research, from a practical
perspective, is to inventorize cultural heritage to preserve a cherished legacy. From an academic
perspective, the aim is to further explore the values and meaning carried by the dinggu dance. The
research method used is a qualitative approach, prioritizing observation of the movements of the
dance, its props, costume, and accessories. Interviews focused on the birth of the dinggu dance and its
development, and literature study focused on theory books and a few previous written works of
research. The research shows that the current form of the dinggu dance is employed as an art form,
that is, a dance that is no longer only performed at rice harvest celebrations. Rather, the dinggu dance
is equated with the traditional values of comradery or group unity, aesthetic values, and the
expression of joy and gratitude over a harvest. In its development, the dinggu dance has achieved
globally recognized status, by guarding its existence, and practicing it on a local, national, and
international scale.
Keywords: Dance, Dinggu, Tolaki, Harvest

ABSTRAK
Tari dinggu merupakan jenis tari yang hadir diprakarsai masyarakat suku bangsa Tolaki di Kolaka,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak orang Tolaki menjadikan padi sebagai bahan baku makanan pokok,
saat itu pula masyarakat berinisiatif menciptakan tari dinggu dengan pola gerakannya mengikuti
aktivitas masyarakat saat menumbuk bulir padi menjadi beras dengan menggunakan lesung, dan alu
terbuat dari bahan kayu yang digunakan untuk menumbuk, serta nyiru atau tampi dari anyaman bambu
sebagai alat membersihkan sekam. Tujuan penelitian, dari sisi praktisnya adalah menginventarisasi
karya budaya untuk memperkaya perbendaharaan pustaka. Dari sisi ilmiahnya, adalah sebagai ajang
mengenal lebih jauh nilai dan makna yang tertuang dalam tari dinggu. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif, yang mengedepankan pengamatan terhadap gerakan-gerakan pada tari,
alat peraga, pakaian, dan aksesoris. Wawancara terkait yang melatari lahirnya tari dinggu. Tari dinggu
dalam perkembangannya, serta studi literatur adalah mengarah pada buku teori serta beberapa tulisan
hasil penelitian sebelumnya. Temuan penelitian terungkap, bahwa tari dinggu dewasa ini diposisikan
sebagai tari kreasi, yaitu tari yang tidak lagi hanya dipentaskan saat menyambut keberhasilan
memanen padi, tetapi tari dinggu juga syarat dengan nilai seperti, nilai kebersamaan atau pemersatu
dan nilai estetika serta menuai makna kegembiraan dan ucapan syukur. Akan tetapi, tari dinggu dalam
perkembangannya, menjadi mendunia karena telah dijaga keberadaannya dan juga telah dipentaskan
ditingkat lokal, nasional, dan internasional.
Kata Kunci: Tari, Dinggu, Tolaki, Panen

13
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

PENDAHULUAN selesai.(https”//braily.co.id/tugas/9731220)
Kesenian merupakan salah satu unsur . Menurut Tarimana (1989:245), pada
kebudayaan yang sifatnya universal. masyarakat Tolaki dikatakan seni sebagai
Kesenian pada prinsipnya dapat ditemukan eksperimen keagamaan, seperti ditemukan
pada hampir di seluruh kelompok pada beberapa macam seni tari yang
masyarakat, baik yang hidupnya berada di dihasilkan, seperti tari pemujaan yang
wilayah pedesaan maupun terpencil terlebih disebut tari lariangi dan tari lulo sangia,
lagi di wilayah perkotaan yang terbilang serta tari dinggu.
kompleks (Koentjaraningrat, 1982:2). Guna menghindari penulisan ganda,
Kesenian yang kita ketahui terdiri atas tulisan ini didukung beberapa hasil
berbagai jenis atau kategori, yakni seni penelitian terdahulu, yaitu tulisan yang
musik, sastra, teater, rupa, patung, dan seni dilakukan oleh Anna Putri (2008), hasil
tari. penelitian beliau yang diberi judul “Sejarah
Seni tari yang dikenal dengan nama Tari Lariangi di Kabupaten Konawe”,
“tari dinggu” yang menjadi objek dalam mengatakan bahwa tari lariangi masuk
tulisan ini dimaknai sebagai suatu aksi atau pada masa pemerintahan Mokole Wekoila
kegiatan yang dilakoni oleh sekelompok pada abad ke-10 Masehi. Pada awalnya tari
orang tertentu. Dalam hal ini, kelompok ini berfungsi sebagai penyembahan kepada
orang yang berlatar belakang suku bangsa para dewa (Sangia) dan terkait dengan
Tolaki dengan menggunakan gerakan tubuh sistem kepercayaan. Kemudian beralih
dengan tertata secara beririma dan fungsi sebagai tari penghibur Raja (Mokole)
terstruktur, dilangsungkan di tempat yang dan pejabat kerajaan. Tari ini juga
telah dikonstruksi sedemikian rupa dengan mengungkap mengenai peralatan,
tampilan penuh hiasan dan di tempat perlengkapan, dan proses tari.
tertentu. Adapun sasaran terlaksananya “tari Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh
dinggu” ini adalah untuk keperluan Dwi Ruliyana Ningsih (2016), yang diberi
pengungkapan perasaan, maksud, dan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
pikiran sehingga ketika tarian itu dirangkai Pada Materi Seni Monotambe Melalui
menjadi satu kesatuan sehingga dengan Pembelajaran PAIKEM (Pembelajaran
sendirinya menghasilkan keindahan bagi Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan
setiap para penikmat. Seni tari tidak dapat Menyenangkan) di kelas IV SD Negeri
dipisahkan dengan alat musik pengiring, Tuoy Kecamatan Unahaa. Penelitian ini
seperti “tari dinggu” yang pementasannya terfokus pada hubungan antara edukasi,
diringi, alat-alat seperti gong, gendang, dan kesenian dan teknik menari pada tingkat
beragam bumyi-bunyian. Terkait dengan siswa sekolah dasar. Tari mondotambe
hal tersebut (Danesi, 2010:86-87) melihat (menjemput atau menyambut tamu) sebagai
seni tari dalam lima fungsi, yaitu: (a) sarana salah satu tari suku Tolaki yang
komunikasi estetis, (b) komunikasi ritual kesehariannya digunakan untuk penyambutan
sekaligus komunal, (c) sebagai rekreasi, atau menjemput tamu. Temuan hasil
kebutuhan fisik, dan psikologi, (d) fungsi penelitian dikatakan bahwa siswa sekolah
sosial, dan ruang untuk mencari pasangan dasar bisa dengan cara yang mudah dapat
hidup di kalangan remaja. mengikuti gerakan dalam tari mondotambe.
Menurut Suryo, tari merupakan Secara visual, gerakan dalam tari ini cukup
ekspresi subjektif yang diwujudkan dalam mudah untuk dipelajari karena sifatnya,
bentuk objektif (Sumaryono, 2011). Tari lambat, dan lembut. Untuk kalangan anak-
merupakan sebuah ungkapan pernyataan anak, bisa dengan mudah untuk
dan ekspresi dalam gerak yang memuat mempelajarinya dan dijadikan dasar untuk
komentar-komentar mengenai realitas tari lainnya. Keaktifan gerak motorik anak
kehidupan yang mampu merasuk dibenak bisa dilatih dan terus dikembangkan dengan
penikmatnya setelah pertunjukan pelajaran tari seperti tersebut.

14
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

Sedangkan hasil penelitan lainnya bisa dilihat melalui gerakan penari ketika
dilakukan oleh Abdul Halim (2017). menumbuk lesung dengan menggunakan
Penelitian ini difokuskan pada tari lulo, alu secara bersamaan. Varian gerakan yang
yaitu sebuah tari yang cukup populer di beragam membuat penonton terkesima
kalangan orang yang berlatar belakang suku dengan permainan alu dan lesung secara
bangsa Tolaki, dengan mengangkat sebuah apik. Kekompakan petani laki-laki maupun
judul, yaitu: “Transformasi Tari Lulo Pada perempuan ketika berada di sawah diiringi
Masyarakat Tolaki Di Kabupaten Konawe dengan iringan musik yang menggunakan
Sulawesi Tenggara. Penelitian ini melihat peralatan tradisional yang tidak kalah
perubahan tari lulo yang menjadi icon Suku autentik dan penuh khas. Tari dinggu yang
bangsa Tolaki dari waktu ke waktu. sarat akan makna kerap ditampilkan, baik di
Sebelum mengalami transformasi fungsi, tingkat daerah, nasional maupun
tari lulo hampir punah terutama ketika internasional. Dari segi gerakan, tari dinggu
fungsi tari ini sebagai medium untuk lebih variatif dan sarat akan gambaran
pengobatan dan pemujaan. Prihatin dengan kehidupan suku bangsa Tolaki pada zaman
kondisi seperti ini maka pemerintah dahulu, khusunya di kalangan kaum petani.
berupaya untuk merevitalisasi tari lulo. Tari ini menceritakan kehidupan
Beberapa upaya yang dilakukan seperti masyarakat Tolaki yang erat kaitannya
ceremonial penyambutan tamu, pesta dengan sistem mata pencaharian zaman
pernikahan, festival lomba (Lulo Kreasi), dahulu hingga sekarang, yaitu pertanian.
hiburan dan pergaulan khususnya di Tari yang menggambarkan suka cita petani
kalangan anak muda. Secara tidak langsung ketika menyambut musim panen tiba dan
tari lulo bertransformasi karena adanya bersyukur atas limpahan rezeki yang
perubahan sosial budaya global, ekonomi, diberikan oleh mahakuasa. Selain berupa
pendidikan, dan teknologi. kesenian, tari ini juga menjadi salah satu
Bertolak pada ketiga hasil penelitian media untuk menyatukan kembali perasaan
sebelumnya, tulisan ini meliaht sebuah tari rindu akan kampung halaman dan kearifan
yang juga diprakarsai orang yang berlatar lokal masyarakat yang penuh
belakang suku bangsa Tolaki, tetapi kesederhanaan.
mengkhususnya sebuah tari yang disebut
“tari dinggu”. Tari dinggu, adalah satu METODE
jenis tari tradisional suku bangsa Tolaki, Penelitian ini menggunakan metode
khususnya yang bermukim di Kolaka, kualitatif-deskriptif, yaitu sebuah penelitian
dahulu merupakan daerah kerajaan
yang mengacu pada berbagai cara atau
Mekongga. Tari ini menceritakan suka cita strategi dalam rangka penjaringan atau
petani ketika menyambut dan melaksanakan
pegumpulan data, dengan ciri khasnya
panen padi sawah. Tari yang energik dan
adalah pengamatan (oberservasi) dan
ceria menggambarkan betapa semangatnya
wawancara (interview), serta studi pustaka
petani memanen padi berkat keberadaan
sebagai pelengkap pengungkapan teori dan
Dewi Padi atau Dewi Sri (Sanggoleo Mbae) konsep-konsep ilmiah. Sedangkan,
yang memberikan keberkahan atas usaha pendekatan yang digunakan adalah etnografi,
yang dilakukan serta dipercaya menjaga selain sebagai prosedur kerja, juga tidak
kesuburan padi. Tari ini juga bernuansa terlepas dari pendeskripsian aspek-aspek
penggambaran rasa syukur masyarakat atas mendasar dari pengalaman, yaitu (1) apa
limpahan panen yang diterima. Lewat tari yang manusia perbuat, (2) apa yang
ini, kita bisa melihat secara tidak langsung manusia ketahui, dan (3) dan apa-apa saja
visual kehidupan petani pada suku bangsa yang manusia gunakan. Oleh karena itu,
Tolaki pada zaman dahulu. sasaran deskripsi dimulai dari asal usul tari
Tari dinggu memiliki gerakan yang dinggu, proses tari, peralatan dan
penuh semangat dan kekompakan. Hal ini perlengkapan tari, makna tari, dan fungsi,

15
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

serta perkembangan tari dari waktu ke tari, persiapan penari sebelum pentas, dan
waktu. saat penari pentas. Kesemuanya
Kolaka yang saya pilih sebagai lokasi ditunjukkan dengan menampilkan gambar-
penelitian dimulai dengan membaca gambar yang diamati. Sedangkan, teknik
beberapa buku yang memuat informasi wawancara yang dilakukan adalah peneliti
tentang Kolaka, seperti di antaranya tulisan bertatap muka dengan para informan,
Rauf Tarima mengenai budaya suku bangsa dimana pengajuan pertanyaan dari peneliti
Tolaki, terkait dengan penelitian Syamsul tetap mengacu pada instrumen penelitian
Bahri mengenai Aneka Tambang di yang telah dirancang secara tersuktur
Pomalaa. Dari bacaan inilah saya sebelumnya. Adapun ajuan pertanyaan yang
menemukan beragam kriteria tentang perlu didapat dari para informan berupa:
kolaka, seperti: (1) Kolaka merupakan salah sejarah lahirnya tari dinggu di lingkungan
satu daerah yang menjadi pusat persebaran masyarakat yang berlatarbelakang suku
orang-orang yang berlatarbelakang suku bangsa Tolaki, persoalan yang melatari
bangsa Tolaki, (2) Kolaka merupakan lahirnya tari dinggu, makna yang
tempat awal lahirnya tari dinggu, (3) terkandung dari setiap pergerakan tari
Kolaka merupakan sentra pengembangan dinggu, makna yang terkandung dari setiap
tari dinggu hingga kini, dan (4) Kolaka alunan musik pengiring, dalam rangkaian
merupakan tempat di mana ditemukan apa tari dinggu dipentaskan, kenapa
berdiri bangunan sanggar tari, khususnya penarinya terdiri dari laki-laki dan
yang membina tari dinggu yang disebut: perempuan, dan mengapa tari dinggu
sanggar seni Sanggoleo:” dimainkan sebanyak 10-12 orang. Terkait
Menentukan informan dalam kegiatan studi pustaka, selain menghadirkan buku-
penelitian ini dilakukan secara acak, namun buku yang memuat teori dan konsep, juga
tetap memperhatikan kriteria-kriteria yang menghadirkan beberapa hasil penelitian
dimiliki para informan, artinya yang sebelumnya.
bersangkutan terenkulturasi penuh terhadap Analisis data dilakukan melalui alur,
objek penelitian. Adapun kelompok orang seperti (a) reduksi data, dimana data yang
yang dipilih sebagai informan, adalah telah dikumpulkan melalui pengamatan dan
beberapa orang terlibat sebagai penggiat wawancara mendalam disusun dalam
dan pelaku seni, dalam hal ini pelatih tari bentuk catatan lapangan lalu diseleksi,
“dinggu”, pemilik dan anggota pengurus memfokuskan, menyederhanakan dan
sanggar, dalam hal ini Sanggar Sanggoleo, mengabstraksikan data lapangan. (b)
sebagai penari tari dinggu, beberapa penyajian data diracik secara teratur dan
penggiat budaya, termasuk pihak terintegrasi, kemudian disajikan dalam
pemerintah yang membidangi kesenian, bentuk deskripsi, dan (c) penarikan
dalam hal ini kepala dan beberapa anggota kesimpulan, dimana data disajikan dan
yang tergabung pada Seksi Pertujukkan dilanjutkan dengan memahami maknanya
dalam lingkup UPTD (Unit Pelaksana lalu membuat proposisi.
Teknis Daerah) Taman Budaya Provinsi
Sulawesi Tenggara. PEMBAHASAN
Pengumpulan data terkait dengan Asal Usul Tari Dinggu
penelitian ini dilakukan cara observasi Modinggu berasal dari bahasa Tolaki,
(pengamatan) dan interview (wawancara), terdiri atas dua kata, yaitu “mo” dan
serta studi pustaka. Dalam kegiatan “dinggu”. “Mo” adalah kata depan yang
pengamatan, objek-objek yang diamati berarti pelaku dan “dinggu”, berarti sentuh
meliputi perlengkapan pendukung atau bersentuhan. Bersentuhan dimaksud
pelaksanaan tari dinggu, seperti adalah antara lesung dan alu mengeluarkan
kelengkapan pakaian dan segala bentuk bunyi. Bunyi ini merupakan alunan musik
aksesorisnya, alat musik sebagai pengiring pengiring dari tari dinggu. Sebelum

16
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

dirancang menjadi tari, orang Tolaki


menyebutnya modinggu. Tari dinggu
diperkirakan hadir sejak abad ke XIV,
merupakan perkembangan dari tari
pomorodo yang juga merupakan tari
persembahan kepada “dewi padi”. Tari
dinggu merupakan tarian rakyat yang
dikenal sejak padi dijadikan bahan makanan
pokok. Kegiatan menumbuk padi saat itu,
merupakan cikal bakal hadirnya tari dinggu
Foto 1. 12 orang Penari, dua laki-laki, 10
yang terus dikembangkan sampai sekarang.
perempuan, serta peralatan peraga
Tari dinggu merupakan tarian yang
merepresentasikan luapan kegembiraan dan
Pementasan/pertunjukan tari dinggu
rasa syukur masyarakat saat panen padi.
dimulai dengan menyuarakan musik
Perayaan panen padi tidak bersifat formal
pengiring yaitu sekelompok penabuh alat
ataupun sakral karena merupakan tarian
musik. Setelah alat pengiring berbunyi
rakyat sehingga sebelum dan sesudah
keluarlah dua orang laki-laki yang
pelaksanaan tarian tidak terdapat ritual
membawa diirama lesung dan alu dengan
khusus terlebih unsur magis.
cara disandang di bahu masing-masing.
Jarak antara pembawa lesung dengan
Gerakan dan Sketsa Tari Dinggu
pembawa alu sejauh dua meter. Pada saat
Tari dinggu adalah tari yang kental
kedua pembawa lesung bergeser, masuklah
dengan ketradisionalannya sehingga
penari perempuan sebagai penampi dan
pementasannya banyak memperagakan
penumbuk padi keluar dengan barisan
gerakan imitative dan ekspresif.
kedua sejajar masing-masing tiga penari
Gerakannya menirukan kegiatan aktivitas
setiap barisan, berjalan melalui atau
menumbuk padi sehari-hari, dan penuh
mengitari lesung dan pembawa lesung.
dengan nilai simbolik. Ritme dalam tari ini
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
juga sangat dinamis di mana ada waktu
gambar berdasarkan posisinya melalui
gerakannya sangat cepat, sedang, dan
sketsa di bawah ini.
gerakan lambat. Oleh karena itu, dinggu
dikatakan satu jenis tari yang atraktif dan
kaya akan gerakan dan pola lantai.
Tari dinggu diperagakan oleh 10-12
orang, terdiri laki-laki dan perempuan.
Enam orang perempuan menempati posisi
sebagai penampi, sisanya empat orang
perempuan sebagai penumbuk padi dan dua
laki-laki sebagai pemegang alu. Tugas yang
berbeda masing-masing penari menciptakan
gerakan yang berbeda pula. Namun, tidak
mengurangi keindahan penampilan di atas Foto 2. Penari melakukan pergerakan
arena pentas. Tari dinggu terdiri atas masuk area pentas dilengkapi alat peraga
beberapa babak, dimulai dari membawa
padi, menaruh padi, menumbuk padi,
membersihkan padi, dan diakhiri dengan Setiap penari melakukan gerakan
gerakan lulo. Untuk melihat kelompok berbeda yang terdiri atas tiga bagian, yaitu
penari dimaksud perhatikan gambar berikut. pemegang alu, penumbuk lesung, dan
penampi. Untuk posisi penari, perhatikan
sketsa berikut:

17
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

dan ke kiri berulang-ulang sampai bunyi alu


PNBK PNBK berhenti, seperti dilihat pada gambar
berikut.
PNBK
PNBK
LSG

PNPI PNPI

PNPI PNPI

PNPI
PNBI

PNBK
PNBK

Foto 4. Enam orang Penari melakukan


pergerakan menumbuk dan menampi
Keterangan:
- PNBK, penari yang berperan sebagai
penumbuk padi Posisi penari dapat dilihat pada sketsa
- PNPI, penari yang berperan sebagai berikut:
penampi beras
- LSG, lesung PN PN PN PN
. PI PN PI PN PI PI
PN
Setiap penampi bila sejajar dengan BK BK BK
PN PN
lesung, nyiru diangkat lalu diayunkan
BK BK
seperti sedang memasukkan padi ke dalam L
lesung. Para penampi berjalan terus di PN S
PN PN
muka lesung membentuk satu barisan lalu BK G
BK BK
duduk di lantai dengan pola sejajar. Dengan
bagian sejajar, tiga orang secara vertikal Keterangan:
seperti gambar berikut. - PNBK, penari pada posisi penumbuk
- PNPI, penari pada posisi penampi
- LSG, lesung

Ketika bunyi alu berhenti, dilanjutkan


bunyi alat musik pengiring, para penumbuk
membantu barisan menghadap lesung dan
para penampi berdiri lalu berjalan melalui
antara penumbuk padi dan lesung. Sewaktu
sejajar dengan lesung untuk ditampi lalu
berjalan di belakang para penumbuk dan
Foto 3. Penari melakukan peragaan kembali membentuk dua barisan sejajar.
mengelilingi lesung dengan Kemudian duduk meletakan nyiru di lantai
membawa penampi sambil menunggu bunyi alu kedua.

Penumbuk padi bergabung dengan


pembawa lesung, lalu berjalan mengelilingi
lesung, lalu berdiri untuk menumbuk
dengan sentuhan alu, musik pengiring
berhenti, disambut bunyi alu pertama,
kedua, ketiga, dan seterusnya. Para penampi
menggoyangkan nyiru ke depan, ke kanan,

18
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

utama dari tari dinggu.

Foto 5. 12 orang Penari dan 4 pemusik


pengiring tari saat penari melakukan
pergerakan, laki-laki menumbuk dan
perempuan menampi
Keterangan:
Ketika para penampi membentuk - PNBK, penari pada posisi penumbuk
barisan melingkar mengelilingi lesung, lalu - PNPI, penari pada posisi penampi
berhenti dan siap untuk menumbuk dengan - LSG, lesung
sentuhan alu kembali. Bunyi alu yang
kembali terdengar dengan semangat para Kemudian para penari membentuk satu
penampi dengan kedua belah tangan barisan sejajar dan saling berpegangan
disertai dengan sentakan dan ayunan kaki, tangan, dengan sebutan satu gerakan lulo
seperti terlihat berikut. (molulo), merupakan gerakan khas pada
tarian suku bangsa Tolaki. Posisi kedua
penari laki-laki berada di sisi ujung kiri dan
kanan semantara penari perempuan berada
di tengah. Lulo dilakukan dengan semangat
dan ritme musik yang cukup cepat. Nyiru
yang tadi dibawa semua diletakan dan
ditumpuk di atas lesung dengan posisi
saling silang, seperti pada gambar berikut.

Foto 6. Tujuh orang penari melakukan


pergerakan menumbuk dan menampi

Saat alu ditumbukkan ke lesung, penari


menampilkan gerakan yang sangat lincah
dan cepat, seketika juga musik pengiring
sengaja dihentikan agar suara lesung dan
alu bisa jelas terdengar oleh penonton. Pada Foto 7. Penari Melakukan Gerakan Lulo
sketsa di bawah ini semua penari yang
bertugas membawa alu dan lesung Bunyi alat-alat musik pengiring
berkumpul pada satu titik, yaitu lesung. terdengar sebagai penyambung bunyi alu.
Ada sekitar enam penari yang dengan cepat Para penampi mengambil kembali nyirunya
menumbuk lesung secara bergantian. lalu berjalan membentuk barisan lingkaran
Mereka melakukannya dengan aktraktif seperti ular atau naga di belakang lesung.
namun teratur. Menumbuk lesung sampai Dengan saling memegang pinggang
menghasilkan bunyi yang khas sesuai masing-masing penari lain yang ada di
dengan jalan cerita dalam tari. Gerakan depannya. Mereka mengelilingi lesung
inilah yang merupakan gerakan khas dan dengan gerakan maju mundur dan kepala

19
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

yang sesekali menengok ke kiri dan ke karena menjadi ciri khas dan pembedanya
kanan diiringi dengan hentakan kaki yang tari dinggu dengan jenis tari lainnya. Dalam
cukup kuat, seperti gambar berikut. membentuk keindahan, lesung dicat dengan
perpaduan antara warna gelap dan cerah,
seperti hitam, merah kuning dan hijau, dan
diberi motif hias. Khusus pada bagian
bawah, lesung diberi gambar bermotif sama
dengan rok penari perempuan yang diberi
rumbai-rumbai. Tipe lesung dimaksud
dapat dilihat pada gambar berikut.

Foto 8. Penari Membentuk Satu Lingkaran


Mengelilingi Lesung

Kedua kaki dan genggaman tangan


diangkat dan diturunkan sesuai dengan
iringan musik. Sementara itu, penampi
menuju lesung, para penumbuk berjalan Foto 9. Alat Peraga Lesung dan Tampi
pula mengelilingi lesung. Seketika itu juga, dengan Corak Warna-Warni
iringan musik berhenti dan semua barisan
siap di tempat untuk melaksanakan gerakan
2. Alu
selanjutnya. Alu dalam bahasa Tolaki disebut o alu,
Bunyi alu yang ketiga terdengar dibuat dari kayu khusus, seperti kayu
kembali, para penampi mulai kandolea atau sokibiri (bahasa Tolaki)
menggoyangkan nyirunya disertai badan karena diharapkan mengeluarkan bunyi
yang sedikit membungkuk. Penumbuk padi khusus. Alu digunakan untuk menumbuk
dengan barisan melingkar berjalan di padi di lesung dengan ukuran kurang lebih
hadapan lesung. Para penampi berjalan satu meter, juga diberi warna sama seperti
melewati lesung, setelah sampai di tempat lesung, yaitu warna hitam, merah, kuning,
lesung, kedua pembawa lesung mengambil dan hijau.
lesungnya, lalu kembali mengikuti
rekannya yang sedang berjalan dengan
3. Tempayan atau Tampi
sentuhan alu. Seketika itu juga menandakan Tampi dalam bahasa Tolaki disebut o
tari sudah selesai dilakukan, musik duku. Tampi dibuat dari anyaman bambu
pengiring masih berbunyi sampai para oleh kaum laki-laki. Dalam tari dinggu, alat
penari selesai turun dari panggung atau ini digunakan sebagai properti yang
pentas. memberikan gambaran kehidupan petani
pada zaman dahulu. Untuk memberikan
Peralatan Tari Dinggu kesan, Tampi yang digunakan dalam tari
1) Lesung dinggu diberi hiasan berupa batu permata
Lesung dalam bahasa Tolaki disebut o imitasi yang cukup berkilau. Pada bagian
nahu, sebuah peralatan yang dibuat dari sisi lingkarannya diberi lilitan sulaman
bahan kayu yang tergolong keras dan kuat, benang emas. Sampai sekarang masyarakat
seperti halnya dari kayu jenis kalapi, suku Tolaki masih menggunakan alat ini
cendana, dan jati. Dahulu, lesung untuk membersihkan beras sebelum
difungsikan sebagai tempat atau wadah dimasak, seperti berikut.
menumbuk gabah menjadi beras. Alat ini
sangat penting dalam pentas tari dinggu

20
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

Alat musik ini selain berfungsi sebagai


pengiring, juga berfungsi sebagai alat
komunikasi pada masyarakat suku bangsa
Tolaki pada zaman dahulu. Fungsi gong
lainnya adalah sebagai harta, mas kawin,
pusaka, lambang status pemilik, perangkat
upacara, dan lainnya. Jumlah gong sering
kali lebih penting dari nada gong (gong
sebagai simbol/ritual).
Foto 10. Sebuah Niru/Tampi sebagai
Alat Peraga Tari
2. Gendang
Gendang dalam bahasa orang Tolaki
Alat Musik Pengiring Tari
disebut kanda-kanda. Gendang merupakan
1. Gong
alat musik ritmis yang terbuat dari bahan
Gong dalam bahasa orang Tolaki
dasar kayu dan kulit sapi, termasuk pada
disebut tawa-tawa/karandu. Dua buah gong
alat musik yang tahan lama dan awet. Alat
yang digunakan mengiringi tari dinggu,
ini dimainkan dengan cara ditabu memakai
yaitu satu berukuran besar dan satunya
telapak tangan. Itulah sebabnya tangan
berukuran sedang. Gong dipilih adalah
sebagai penentu nada yang menghasilkan
yang bisa menghasilkan bunyi yang baik.
bunyi keras sampai pelan. Suaranya yang
Para pemukul gong harus mengetahui
khas membangkitkan semangat para penari
dengan pasti kualitas gong yang akan
agar lebih lincah dan energik. Begitu juga
dimainkan, terutama menyangkut suara.
para penonton yang menyaksikannya.
Apabila ada pukulan yang dianggap tidak
Model gendang dimaksud, seperti berikut.
cocok seperti suara sumbang, maka gong
akan diganti dengan gong lain. Untuk
melihat dua buah gong dimaksud,
perhatikan gambar berikut.

Foto 12. Model Gendang Pengiring Tari

3. Ndengu-ndengu
Ndengu-ndengu merupakan alat musik
yang terdiri atas tiga buah gong kecil, dua
Foto 11. Dua Buah Model Gong Pengiring di antaranya berukuran sama. Tiga buah
Tari gong kecil ini diletakan secara horizontal ke
string setiap bingkai kayu. Setiap gong
Gong yang tampak di atas terbuat dari memiliki nada dan bunyi yang berbeda
leburan logam (perunggu dengan tembaga) sehingga dapat menghasilkan lantunan
dengan permukaan bundar. Gong dapat suara yang berbeda pula. Nada gong ada
digantung pada bingkai atau diletakkan yang rendah, datar, dan tinggi. Gong
berjajar pada rak, atau bisa ditempatkan biasanya dimainkan dengan irama yang
pada permukaan yang lunak seperti tikar. cepat, bersamaan dengan tabuhan gendang.
Gong yang memiliki suara rendah, ditabuh Sang pemukul memainkan dengan cara
dengan pemukul kayu yang ujungnya memukul alat ini sesuai dengan iringan
dibalut dengan karet, katun, atau benang. musik lainnya.

21
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Gong kecil ini terbuat dari leburan memberikan gambaran kehidupan petani
logam dan perunggu, juga dilengkapi alat pada beberapa tahun silam yang belum
pemukul terbuat dari kayu atau berbentuk banyak mengenal jenis pakaian. Menurut
tongkat berlapis. Bagian atas (ujung) Husein (1984/1985:2), pakaian adat adalah
pemukul diberi lilitan kain atau benang pakaian yang sudah dipakai secara turun-
untuk menghasilkan bunyi keras tapi temurun yang merupakan salah satu
lembut sekaligus tidak merusak permukaan identitas dan dapat dibanggakan oleh
gong yang terus dipukul. Alat musik ini sebagian besar pendukung kebudayaan
juga dipakai pada pagelaran musik tertentu. Pakaian adat dilengkapi dengan
tradisional gamelan di Pulau Jawa dan perhiasan dan kelengkapan tradisional
instrumen melodi terbuka pada degung lainnya, kesatuan utuh antara busana dan
gamelan Sunda yang disebut bonang. perhiasan dan kelengkapannya menunjukan
Untuk melihat gong dimaksud perhatikan lengkapnya pakaian adat tersebut. Pakaian
gambar berikut. memiliki nilai, etik, estetik, simbolik,
religius, status sosial pemakainya sekaligus
mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan,
serta perbedaan dalam pandangan sosial,
politik, dan religius serta dapat
dibanggakan oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Pakaian berfungsi sebagai simbol
dalam corak ornamennya, juga
melambangkan sejarah kehidupan manusia
dan menjadi unsur penting bagi status
seseorang. Sedangkan fungsinya sebagai
lambang stabilitas dapat kita lihat dalam
peranannya dalam perubahan fase-fase
Foto 13. Ndengu-ndengu kehidupan manusia.
Kostum dalam tari dinggu secara
4. Suling Bambu tidak langsung memberikan gambaran
Suling bambu dalam bahasa orang tentang pakaian adat suku bangsa Tolaki,
Tolaki disebut, o suli. Suling bambu baik yang dikenakan laki-laki maupun
merupakan alat musik tiup, sudah sejak perempuan ketika menanam padi. Kostum
lama dimainkan sebagai tanda suka cita yang dikenakan dibuat dengan menarik agar
ataupun ratapan kesedihan. Suaranya yang terlihat cantik (mencolok) di depan
khas memberikan kesan hidup dan panggung atau ketika pentas. Adapun
memberikan gambaran betapa asrinya kostum yang digunakan adalah:
kehidupan di persawahan pada zaman
dahulu. Suling sangat akrab dengan
1. Kostum Laki-laki
kehidupan petani karena sering dimainkan
1.1. Baju
di sawah ketika sedang beristirahat. Suling Baju dalam bahasa orang Tolaki
yang panjang terbuat dari bambu. Pada disebut o babu. Baju yang digunakan bisa
bagian permukaan, diberi lubang yang berlengan pendek atau berlengan panjang.
sejajar sehingga menghasilkan bunyi yang Motifnya menyerupai khas Melayu, diberi
berbeda. Cara memainkannya adalah ditiup hiasan sulaman benang warna keemasan
sambil lubangnya dibuka dan ditutup pada bagian leher (kera) baju, sisi lengan
dengan jari jemari tangan.
dan pinggir bawah baju. Di bagian tengah
terdapat desain motif yang sama dengan
Kostum Tari motif pada penari perempuan berwarna
Penari tari dinggu menggunakan kuning keemasan. Biasanya baju berwarna
kostum tradisional yang sederhana, artinya cerah seperti biru, merah, dan kuning.
disesuaikan dengan latar belakang tari yang

22
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

1.2. Celana pertanian, ekonomi yang baik dan


Celana dalam bahasa Tolaki disebut kemakmuran. Selain itu ada nilai religi
saluaro. Celana yang dipakai dalam tari didalamnya, yaitu osara dengan mematuhi
dinggu berukuran sampai betis (saluaro dan memahami ungkapan “nggomuinuke
donggoro). Pada bagian bawah diberi osuwi monggake loio” yang berarti
sulaman warna kuning keemasan. Warna seseorang tidak akan lagi mengeluarkan
celana senada dengan warna baju yang pernyataan (yang kasar) karena mulutnya
dikenakan. osuwi dan memakan loio (jahe) yang pedas
rasanya. Ungkapan ini bermakna tobat dan
1.3. Ikat kepala berhenti atas perbuatan salah yang
Ikat kepala juga merupakan dilakukan dan tidak boleh diulangi kembali.
kelengkapan pada pakaian tari. Pada bagian Warna yang digunakan adalah warna cerah
kepala diberi tutup (pabele) dan juga ikat seperti merah (yang berarti darah, matahari,
kepala yang tinggi bernama bate (batik). raja, api, marah, dan keberanian), biru
Motif ikat kepala biasanya senada dengan (yang berarti air, kehidupan yang kekal,
sarung yang dikenakan pada celana. keabadian, keseimbangan, keselarasan,
keharmonisan, dan laut), kuning (yang
1.4. Caping berarti daging, bulan, permaisuri, tanah,
Caping meruapakan sejenis topi. dendam, keuletan, kemuliaan, kejayaan,
Pada beberapa kesempatan, ikat kepala kemenangan, dan perempuan) dan hijau
biasa diganti dengan topi caping, yaitu topi (yang berarti tumbuh-tumbuhan, tanaman,
khas petani yang sengaja dikenakan untuk kesejukan, kesegaran, kesuburan, kemakmuran,
memberikan kesan petani yang mendalam. kesejahteraan, senyum, tawa, umur panjang,
Caping biasanya dipakai oleh petani laki- dan daratan).
laki.
2.2. Rok
1.5. Sarung Rok merupakan merupakan kebutuhan
Sarung yang digunakan dililit di untuk pakaian di bagian bawah yang
daerah pinggang. Motif sarung beraneka panjangnya samapai pergelangan kaki. Rok
ragam tergantung yang diinginkan tetapi ini berwarna cerah dan masih menggunakan
masih dalam kategori motif khas suku motif khas suku Tolaki. Pada bagian tengah
Tolaki. Misalnya saja kotak-kotak (garis terdapat motif khas yaitu Pati-pati
horizontal dan vertikal) yang masih kental pinehiku. Motif ini menyerupai siku lengan
hubungannya dengan bentuk kalo yang tangan manusia (ohiku). Motif yang terlihat
memiliki sisi segi empat. Selaian itu bisa pada sarung memiliki arti tentang
juga motif lain seperti tumbuhan pakis klasifikasi dua bagian dalam tubuh manusia
(kepala pakis), dedaunan, ani-ani dan lain- yaitu tubuh kasar/ jasmani (o kanda) dan
lain. tubuh halus/ jiwa (penao). Keduanya terdiri
atas beberapa unsur yang terkandung
2. Kostum Perempuan didalamnya. Unsur kuat yang terdiri dari
2.1. Baju tulang (o wuku), urat (o uha), rambut (o
Baju dalam bahasa Tolaki disbut o wu), dan kuku (o kuku). Sedangkan unsur
babu. Baju yang dikenakan adalah lemah terdiri atas darah (o beli), kencing/
berlengan pendek dengan potongan air seni (o eme), otak (o undo), dan daging
sepinggang. Pada bagian leher diberi hiasan (o beli). Ukirannya menyerupai gelombang
sulaman benang emas dengan sedikit yang berbentuk kerucut seperti gerigi.
belahan. Pada bagian kiri dan kanan atas Warna rok berwarna cerah seperti biru,
dada diberi hiasan motif menyerupai ani-ani merah, dan kuning. Pada bagian bawah rok
(o suwi, alat yang digunakan untuk diberi ornamen rumbai-rumbai yang
memotong padi). Motif ini memiliki makna berbentuk persegi panjang dengan ujung

23
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

meruncing dengan warna merah dan 2.6. Riasan


kuning. Desain rok sengaja dibuat tidak Riasan atau merupakan kebutuhan
terlalu sempit agar lebih mudah untuk mempercantik penampilan penari selain
bergerak. memakai kostum tari, mereka juga diberi
riasan di bagian wajah. Pada zaman dahulu
2.3. Hiasan kepala menggunakan riasan tradisional seperti
Hiasan kepala atau disebut dalam bedak yang dari beras (sadaki), penghitam
bahasa Tolaki kalunggalu. Pada bagian alis (o tila), dan pemerah bibir (tirangga).
kepala digunakan pengikat pada bagian Seiring dengan berjalannya waktu, para
depan yang berwarna merah. Makna dari penari diberi riasan wajah yang umum
pengikat kepala ini adalah masyarakat diberikan pada panari modern. Seperti
petani pada saat itu siap untuk bekerja dan tambahan bulu mata palsu, pemerah pipi
memanen padi secara bersama-sama. Selain (blush on), pembentuk rahang/ tulang pipi
itu ada juga penutup kepala berupa lilitan (konturing), pengalas bedak (foundation),
kain yang dijepit pada bagian belakang pewarna mata (eye shadow) dan lainnya.
dengan sisi ujung yang dibiarkan di kiri dan Riasan wajah semakin banyak untuk
kanan. Agar lebih rapi maka rambut sengaja mempertegas riasan khususnya ketika
diikat dan dibuat bentuk konde ke atas (o berada di panggung dan dokumentasi.
timu). Tidak lupa diberi hiasan logam
berbentuk helaian bunga berwarna Makna Tari Dinggu
keemasan. Simbol yang didalamnya terkandung
makna memiliki terjemahan masing-masing
2.4. Ikat pinggang dan fungsi tersendiri bagi manusia
Ikat pinggang atau dalam bahasa orang bersangkutan. Seperti yang dikemukakan
Tolaki disebut Sulepe. Ikat pinggang oleh Bachtiar (1982: 16) yaitu (1) simbol-
dipasang atau dikenakan pada bagian luar simbol konstruktif yang terbentuk sebagai
pakaian. Ikat pinggang berwarna gelap kepercayaan-kepercayaan dan biasanya inti
dimaknai hitam, rambut, malam, bayangan, dari agama, (2) simbol-simbol kognitif
kesunyian, rahasia, tertutup, noda, dan yang membentuk ilmu pengetahuan, (3)
aspek selatan. Ikat pinggang ini makin simbol-simbol penilaian moral yang
cantik dengan hiasan motif keemasan di sisi membentuk nilai-nilai (aturan-aturan), dan
atas, bagian bawah diberi rumbai-rumbai (4) simbol-simbol ungkapan perasaan
berwarna cerah (mirip dengan hiasan pada (ekspresif). Hanya manusia yang dapat
rok). melakukan simbolisasi terhadap sesuatu.
Penggunaan simbol dalam bentuk budaya,
2.5. Gelang tentunya dilakukan dengan penuh
Gelang dalam hahasa Tolaki disebut kesadaran, pemahaman, dan penghayatan
kale-kale. Gelang sebagai kebutuhan yang tinggi, serta dianut secara tradisional
mempercantik penampilan perempuan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
maka dikenakan aksesoris berupa gelang Tari dinggu sebagai salah satu tari suku
yang biasanya terbuat dari pecahan kaca, bangsa Tolaki sangat akrab dengan
besi, dan kulit kerang-kerangan. Selain itu masyarakat yang notabene bekerja sebagai
juga, mereka menggunakan hiasan berupa petani. Pada zaman dahulu, sebelum
anting-anting (andi-andi), kalung (eno- mengenal jenis pekerjaan lain, masyarakat
eno), gelang pada kaki (o langge), kalung Tolaki sangat menggantungkan kehidupannya
pada badan (sambiala), dan juga gelang pada daratan terlebih ketika mengenal sistem
yang terbuat dari akar bahar (kalepasi). pengetahuan pertanian. Seiring dengan
berjalannya waktu, muncul tari yang
diciptakan untuk membangkitkan semangat
masyarakat khususnya di bidang pertanian.

24
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

Tari tersebut dikenal dengan tari Dinggu memulai hidup sejak berada dalan rahim
atau Modinggu. ibunya selama tujuh sampai sembilan
Dalam tari dinggu terkandung makna bulan, lahir di dunia kemudian disambut
yang baik untuk diketahui dan dipahami (mesosambakai),melaksanakan pemotongan
oleh manusia. Secara pribadi, tari dinggu rambut pertama (mepokui), melakukan
banyak mengajarkan seseorang untuk sunat atau pemotongan pada kulup kelamin
menjadi pribadi yang bekerja keras dan (manggilo), menikah/ perkawinan (mepakawi
tidak mudah menyerah. Hal ini tersirat atau medulu) dan seterusnya sampai
dalam gerakan tari dinggu yang meninggal dunia (mateaha). Suatu gerakan
memberikan gambaran betapa semangatnya yang menyimbolkan akan perjalanan
kehidupan masyarakat zaman dulu yang kehidupan seseorang di dunia. Perjalalan
ulet dalam bekerja. Gerakan penuh yang dimulai dari tangisan dan akan
kecekatan dalam menumbuk padi di dalam diakhirii dengan tangisan pula.
lesung bermakna untuk mendapatkan Selain bermakna sebagai siklus hidup,
sesuatu dibutuhkan kerja keras dan usaha lingkaran yang dibentuk juga merupakan
berproses. Tidak ada hasil yang muncul representasi dari kalo. Kalo adalah alat
begitu saja tanpa adanya tenaga dan rasa pemersatu pada suku Tolaki. Kalo sebagai
capek. cara mengikat yang membelitkan
Segi sosial, tari dinggu juga memiliki (mowewei), melingkari (mombali), dan
makna bahwa kita sesama manusia harus sebagai pertemuan kegiatan bersama
saling tolong-menolong. Tidak ada satu dimana pelaku membentuk lingkaran yang
manusia pun yang bisa hidup sendiri tanpa disebut metaboriri (sambil makan
bantuan orang lain. Termasuk dalam proses bersama). Begitu pula dalam konsep tari
pengerjaan padi menjadi beras. Dalam tari Dinggu yang disebut modinggu yaitu
ini digambarkan ada beberapa tahap yang menumbuk padi secara bersama-sama
harus dilewati dan dilakukan petani dengan mengelilingi sebuah lesung sambil
sebelum bisa mengonsumsi nasi. Sebagai membunyikan lesung dan alu.
sumber makanan yang mengandung Kalo sendiri memiliki fungsi yaitu
karbohidrat, beras tidak bisa dikonsumsi sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai
begitu saja, tetapi butuh tahap pengerjaan kenyataan dalam kehidupan seseorang,
yang tidak singkat dan butuh kerjasama. sebagai fokus dan pemersatu unsur-unsur
Adanya kekompakan dalam bekerja kebudayaan Tolaki, sebagai pedoman hidup
maka satu pekerjaan akan diselesaikan untuk terciptanya ketertiban sosial dan
dengan waktu yang lebih singkat. moral dalam kehidupan, dan sebagai
Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi pemersatu untuk pertentangan-pertentangan
rasa persaudaraan, khususnya ketika musim konseptual dan sosial dalam kebudayaan
panen tiba. Mereka akan sangat senang dan dan kehidupan masyarakat suku Tolaki.
menikmati setiap waktu ketika musim ini Selain gerakan membentuk lingkaran,
tiba. Selain menjadi wadah silahturahmi terdapat juga gerakan membungkuk.
juga menjadi ajang untuk pesta rakyat yang Gerakan ini memiliki makna bahwa
menghibur. Cukup sederhana, namun manusia akan kembali ke asal, yaitu tanah.
sangat berharga bagi mereka yang hidup Manusia yang diciptakan dari genggaman
jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang lebih tanah pada akhirnya akan menemui ajalnya
ke arah individualisme. dan kembali di kubur di dalam tanah.
Ketika tari dinggu berlangsung ada Gerakan ini kembali mengingatkan kita
gerakan dimana penari mengelilingi lesung kepada Tuhan dan senantiasa mengingat
dan membentuk satu lingkaran. Lingkaran akan dosa serta kesalahan yang telah
yang dibentuk bermakna sebagai siklus dilakukan. Begitu pula dengan tanaman/
hidup manusia. Manusia hidup dilahirkan tumbuhan yang mati akan jatuh ke tanah.
dan mati dengan kematian. Manusia Di bumi manusia dapat bernafas dengan

25
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

oksigen dan memiliki tempat tinggal. Fungsi Tari Dinggu


Manusia harus menghargai dan menyadari Setiap jenis seni yang lahir dan
keberadaannya di bumi berkat kekuasaan diciptakan oleh akal budi manusia tentu
dari sang pencipta. memiliki fungsi yang terkandung
Tidak lupa dalam tari ini terdapat didalamnya. Fungsi tari mencakup secara
gerakan penyembahan. Tangan disatukan individu maupun masyarakat setempat
dan seakan-akan memberikan hormat. sebagai pelaku (ataupun penikmat). Lahir
Tujuan gerakan tersebut adalah sebagai dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari
wujud rasa syukur kepada Dewi Padi yang menjadikan seni terus berkembang
sudah memberikan panen berlimpah. begitupula dengan fungsinya sendiri.
Masyarakat petani pada zaman dahulu, Apabila dikaji maksud dan tujuan dari
percaya segala keberuntungan dan suatu tari dan mengaitkannya dengan fungsi
keberkahan dari segi pertanian, yakni maka dapat dilihat dari sisi peralatan,
pertolongan dari Dewi Padi (Sanggoleo gerakan bahkan tempat pelaksanaan. Tari
Mbae, Wulia Mbae, Warakano ombuno o Dinggu adalah tari yang membutuhkan
pae). Wujud dari Dewi Padi sendiri kekompakan dan kerja sama. Tari yang
dilegendakan berupa sosok ular sawah dan dilakukan secara bersama-sama ini secara
burung walet. Dia menjaga sawah dengan tidak langsung berfungsi sebagai ajang
memangsa tikus yang menjadi hama dan untuk menciptakan rasa persatuan antara
dapat menggagalkan panen petani. satu sama lain. Secara sosial, manusia
Keberadaan Dewi Padi sangat diagungkan menjadi makhluk yang saling
dan dimuliakan karena dianggap sebagai membutuhkan. Tanpa terkecuali pada tari
penguasa alam. ini yang membutuhkan beberapa orang
Namun, jika dimaknai pada saat ini untuk bisa memulainya. Dentuman suara
gerakan ini telah bergeser menjadi alu dan lesung yang aktraktif, tidak akan
ungkapan terima kasih dan syukur kepada bisa bunyi dengan meriah tanpa kerja sama
Tuhan Yang Maha Esa karena telah yang baik. Untuk itu, tari ini menjadi salah
memberikan keberhasilan dalam panen. satu wujud pemersatunya masyarakat
Pergeseran makna ini terjadi dikarenakan khususnya di daerah pedesaan. Bukan saja
masyarakat yang sudah mengenal dan ketika musim panen tiba, melainkan juga
menganut satu agama yang diyakini seperti dalam aktivitas kegotongroyongan lainnya.
Islam dan Kristen yang masuk di dataran Fungsi tari ini juga mempengaruhi jiwa
bumi anoa. masyarakat untuk terus saling tolong
Jika dilihat dari segi kepercayaan yang menolong. Ketika ada hajatan (pesta)
masih mengandung animisme dan seperti pernikahan ataupun upacara
dinamisme, masyarakat percaya bahwa kematian, tanpa pamrih mereka akan saling
setiap bulir beras memiliki jiwa atau nyawa. membantu dan menolong sebisa mungkin.
Setiap bulir itu hidup dan tidak boleh disia- Jika tidak bisa membantu dalam bentuk
siakan. Terdapat unsur pemali yang sampai uang, biasanya mereka menggantinya
sekarang masih dipercaya yang menyatakan dengan bahan makanan dan tenaga.
bahwa “Tidak boleh menyisakan nasi satu Begitupula ketika ada kegiatan membangun
bulir pun di atas piring, kalau ada yang rumah dan sarana rumah ibadah, jembatan
tersisa maka bulir nasi tersebut akan dan lain-lain yang menunjang
menangis”. Oleh sebab itu, seseorang tidak pembangunan daerah. Hal ini juga
boleh sesuka hati membuang makanan dipertegas dengan adanya prinsip saling
secara sengaja ataupun tidak sengaja karena membantu satu sama lain yang dikenal
setiap bulir nasi membutuhkan proses yang dengan istilah samaturu.
tidak mudah untuk sampai bisa dikonsumsi. Sesi religi, tari dinggu juga berfungsi
Pesan moral yang mengajarkan pada
sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang
manusia agar lebih menghargai apa yang
diterima. Jika pada zaman dahulu
telah diterimanya.

26
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

mengungkapkan rasa syukur dan terima dilupakan. Oleh sebab itu, ketika tari
kasih kepada Dewi Padi (Dewi Sri) maka Dinggu dimainkan, banyak masyarakat
saat ini hal itu sudah berubah dengan yang antusias untuk menyaksikannya. Bagi
bersyukur kepada Tuhan. Walaupun telah penonton khususnya generasi muda, tari
mengalami pergeseran namun masyarakat Dinggu merupakan tari yang unik karena
tetap bersyukur atas nikmat yang diterima menggunakan peralatan pertanian dan
dan dilimpahkan. Sehingga tari ini juga bisa berbeda dengan tari Lulo. Tidak semua
dikatakan sebagai wujud rasa gembira yang orang dapat menari Dinggu karena terdiri
diungkapkan melalui tari. Secara khusus dari beberapa gerakan. Berbeda dengan
pada suku Tolaki, Dewi Padi dinamakan Lulo yang mana sebagian besar masyarakat
sanggoleo mbae, wurake mbae, wulia sudah bisa mempraktikannya sehingga ini
mbae, warako ombuno o pae (masing- menjadi tantangan tersendiri.
masing berarti roh padi, nyawa padi, Sebagai warisan budaya daerah, tari
halusnya padi, inti persona Dewa Padi). Dinggu juga mulai dilombakan pada ajang-
Secara psikologis, masyarakat ajang (event) seni. Ajang seni yang dimulai
khususnya yang bersuku Tolaki dan baik dari tingkat kecamatan maupun
mempunyai sawah di kampung halaman kabupaten. Bukan saja berunjuk di atas
akan kembali mengingat suasana desa. pentas, melainkan tari ini juga digunakan
Latar belakang tari yang menceritakan sebagai tari untuk menyambut tamu ketika
aktivitas petani di desa ketika musim panen ada kegiatan penting. Dengan adanya
tiba secara tidak langsung menciptakan rasa pertunjukan yang dilakukan, diharapkan
rindu. Suara lesung dan alu yang khas masyarakat khususnya generasi muda dapat
menjadi satu bunyi yang begitu berbekas di mengenal budaya daerahnya sendiri dan
benak orang yang mendengarnya. Suara ikut serta melestarikannya. Pelestarian
yang terus berbunyi membawa seseorang budaya dilakukan sebagai bentuk
untuk kembali mengingat masa lalu bahkan pengenalan dan promosi budaya kepada
masa kecilnya di sawah bersama sanak masyarakat umum, bukan hanya kepada
keluarga. Tentunya hal ini sangat masyarakat suku Tolaki.
mengharukan dan membawa nostalgia Secara moral, tari Dinggu tersirat
tersendiri khususnya bagi generasi lalu makna yang berarti bahwa betapa sulitnya
yang sekarang sudah menjadi orang tua proses petani dalam menanam padi,
bahkan lebih dari itu. merawat hingga memanen. Hal ini menjadi
Seni tari juga memiliki fungsi sebagai pelajaran untuk kita agar lebih menghargai
hiburan begitu pula tari Dinggu. Bekerja di makanan dan tidak menyia-nyiakannya,
sawah ketika musim panen tiba memaksa serta kembali mengingat masih banyak
petani untuk melakukan hal yang monoton. orang lain yang sulit untuk mendapatkan
Untuk mengurangi rasa jenuh dan cape, sesuap nasi. Hal ini berkaitan dengan
sambil bekerja mereka menari dan kebiasaan makan manusia yang suka
menikmati bunyi khas dari lesung dan alu. membuang makanan atau menjadikannya
Sekadar untuk melepas rasa penat, mereka basi sehingga tidak bisa dimakan kembali.
bergerak dan menganyunkan kaki. Dengan Manusia harus lebih bijak ketika hendak
melakukan tari, rasa penat yang dirasakan makan dan lebih memperhatikan porsi
semakin berkurang dan tidak terasa karena makan agar tidak berlebih-lebihan (rakus).
dilakukan dengan hati yang riang.
Tetapi pada saat ini, tari ini menjadi
hiburan tersendiri bagi masyarakat suku PENUTUP
Tolaki karena bisa dikatakan sudah jarang Tari dinggu merupakan tari tradisional
dimainkan dan dilakukan. Keberadaan tari suku bangsa Tolaki yang lahir dan
Lulo yang lebih dikenal masyarakat luas dilatarbelakangi aktivitas bertani masyarakat.
membuat tari Dinggu perlahan mulai Dengan keterbatasan tenaga dalam

27
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mengerjakan suatu lahan pertanian Kerja Sama FKIP Unhalu dengan


membuat mereka harus bekerja sama dalam Pemda Kota Kendari.
melakukan segala kegiatan pertanian Husein A. Chalik. Et. Al. 1992/1993.
termasuk ketika musim panen tiba. Mereka Pakaian Adat Tradisional Daerah
melakukan pekerjaan bersama-sama dengan Sulawesi Tenggara. Kendari: Bagian
penuh keuletan sehingga walaupun tanpa Proyek Inventarisasi dan Pembinaan
tenaga mesin, tetapi mereka masih dapat Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tenggara.
menyelesaikannya dengan baik. Hal ini juga
diterapkan sesuai dengan alat pemersatu Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan,
suku bangsa Tolaki yaitu Kalo. Mereka Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia:
diharuskan untuk saling tolong-menolong Jakarta.
di segala bidang apapun termasuk bekerja Melamba, Basrin. 2013. Tolaki: Sejarah,
di sawah sehingga membentuk jiwa Identitas dan Kebudayaan. Lukita:
integritas di antara mereka. Yogyakarta.
Tari dinggu dipentaskan, selain
dukungan aksesoris berbentuk pakaian Putri, Anna. 2008. Sejarah Tari Lariangi di
digunakan para penari, saat pentas penari Kabupaten Konawe. Skripsi.
menggunakan alat peraga yanag Universitas Halu Oleo: Kendari.
melambangkan lesung (o nohu), alu (o alu) Sadalwati, Arini Wahyu. Unsur-Unsur
dan tempayan (o doku), di samping diiringi Pembangun Tari Lariangi Pada
lentuman alat musi, seperti gong, gendang, Masyarakat Kaledupa. Tesis. Kajian
dan suling. Kesemua peralatan atau properti Budaya. Program Pasca Sarjana
tari tersebut menggambarkan semangat dan Universitas Halu Oleo: Kendari.
percerminan makna yang ada pada tarian
Sumaryono. 2011. Antropologi Tari Dalam
tersebut secara utuh. Sebagai tari yang
Perspektif Indonesia. BP ISI
sudah lama diciptakan, tari ini kaya akan
Yogyakarta: Yogyakarta.
pesan dan segala sesuatu yang baik. Mulai
dari segi individu, sosial, psikologi, tata Su’ud, Muslimin. 2011. Kompilasi Hukum
krama sampai kepercayaan (religi). Adat Perkawinan Di Sulawesi Tenggara
Semuanya terangkum dalam satu tari (Tolaki, Buton, Muna, Moronene dan
dinggu yang disiratkan melalui gerakan, Bugis Makassar). Scotchom: Kendari.
kostum, dan tujuan tari. Tamburaka, Rustam. E. 2010. Sejarah
Sulawesi Tenggara dan 45 Tahun
DAFTAR PUSTAKA SulawesiTenggara Membangun. Unhalu
Bachtiar. 1982. Simbol Dalam Sistem Press: Kendari.
Budaya Masyarakat. Pustaka Jaya: Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan
Jakarta. Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No. 3.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Balai Pustaka. Jakarta.
Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Widaryanto, F.X. 2007. Antropologi Tari.
Semiotika dan Teori Komunikasi. Sunan Ambu Press STSI Bandung:
Jalasutra: Yogyakarta. Bandung.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Sumber Lain:
Penelitian Kebudayaan. UGM Press
(https://brainly.co.id/tugas/9371220).
Badan Penerbit dan Publikasi
Diakses pada Kamis, 1 Februari 2018
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
(09.34 WITA)
Hafid, Anwar; Safar, Misran. 2008. Kajian
(https://ilmuseni.com/seni-
Pengembangan Kebudayaan di Kota
pertunjukan/seni-tari/unsur-unsur-seni-
Kendari: Kendari: Laporan Penelitian
tari). Diakses pada Kamis, 1 Februari

28
Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

2018 (09.37 WITA)


(https://www.sekolahpendidikan.com/2017/
06/pengertian-lengkap-tari-
tradisional.html).
Diakses pada Jumat, 2 Februari 2018
(09.30 WITA)
http://protomalayans.blogspot.com/2012/11
/suku-tolaki-sulawesi.html
Diakses pada Selasa, 03 April 2018 (09.00
WITA)
http://unj-
pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/bahas
a-tolaki-dan-persebarannya.html.
Diakses pada Selasa, 03 April 2018 (09.
14 WITA).

29
LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK ORANG BUGIS KARYA
MATTULADA “SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS”
(LATOA: BUGINESE POLITICAL ANTHROPOLOGY BY MATTULADA
„AN INTERPRETATION OF EPISTEMOLOGY)
Slamet Riadi
Universitas Gadjah Mada
JL. Sosio Humaniora Bulaksumur, Sagan, Caturtunggal, Kec. Depok,
Kabupaten Sleman. D.I Yogyakarta 55281
Surel: tariansajak@gmail.com

ABSTRACT
This research intends to interpret the kind of epistemology contained in the work of Mattulada,
Latoa;Suatu Lukisan Antropologi Politik Orang Bugis. The discussion related to epistemology in an
ethnographic work, still lacks serious attention, by academics, especially those involved in the field of
anthropology. In analyzing epistemology of this research, this study uses the search method of several
library sources, which are related to Mattulada's work. After that, do inductive-deductive readings, in
order to find the basic assumptions that became the foundation of Mattulada to produce his works.
This research produced two fundamental conclusions, firstly, Mattulada's work entitled Latoa is very
characterized by positivism, and similar to several of his other works. Secondly, despite having the
same epistemology in each of his works, several other Mattulada works have different paradigms.

Keywords: epistemology, positivism, Latoa

ABSTRAK
Penelitian ini bermaksud untuk menginterprestasi epistemologi seperti apa yang terdapat dalam karya
Mattulada, Latoa; Suatu lukisan antropologi politik orang Bugis. Pembahasan terkait epistemologi
dalam suatu karya etnografi, masih kurang mendapatkan perhatian serius oleh kalangan akademisi,
khususnya yang bergelut dalam bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis epistemologi dalam
suatu karya, penelitian ini menggunakan metode pencarian beberapa sumber pustaka, yang
berhubungan dengan karya Mattulada. Setelah itu, melakukan pembacaan induktif-deduktif, untuk
menemukan asumsi dasar yang menjadi landasan Mattulada dalam menghasilkan karya-karyanya.
Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan mendasar, yakni pertama, karya Mattulada berjudul Latoa
ini sangat bercirikan positivisme, pun sama dengan beberapa karyanya yang lain. Kedua, meskipun
memiliki epistemologi yang sama di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada yang lain memiliki
paradigma yang berbeda.

Katakunci: epistemologi, positivisme, Latoa

PENDAHULUAN penulis menemukan salah satu karyanya


yang sangat fenomenal yakni “Latoa”.
Nama Mattulada sudah tidak asing lagi Namun, rasa penasaran penulis pada waktu
bagi penulis pribadi, sebab nama ini sering itu terhadap karya “Latoa”, masih sangat
penulis jumpai di Fakultas Sastra (yang kini minim sehingga penulis belum pernah
telah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu membaca secara utuh apa yang kemudian
Budaya) Universitas Hasanuddin, sebagai menjadikan sosok Mattulada, begitu
sebuah nama auditorium. Ketika menjadi fenomenal dengan karyanya “Latoa”.
mahasiswa baru penulis belum terlalu Setelah masuk dan mulai mengenal Ilmu
mengenal sosok Mattulada sampai ketika

30
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

Antropologi, penulis mulai berpikir untuk anggapan dasar sebagai suatu hal (bisa
segera menuntaskan karya Mattulada tentu benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah
dalam pembacaan secara akademis. oleh disiplin, dan sebagainya) yang tidak
sebab itu, melalui kesempatan ini penulis dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah
mencoba memahami tafsir epistemologis diterima kebenarannya (namun hal ini
dan paradigma apa yang digunakan oleh masih bisa dikritisi secara ilmiah pula).
Mattulada dalam menganalisis Latoa dan Anggapan-anggapan ini lahir dari sebuah
keterkaitannya dengan pola pikir dan perenungan-perenungan filosofis dan
perilaku politik masyarakat Bugis, yang reflektif, penelitian-penelitian emipiris yang
dikenal dalam ilmu Antropologi, sebagai canggih, atau bisa juga berasal dari
Antropologi Politik. pengamatan yang saksama (Ahimsa, 2009;
Sebagaimana yang telah terjelaskan di 4).
atas bahwa pintu masuk untuk menemukan
dan memahami epistemologis dan
METODE
paradigma seperti apa yang digunakan oleh
Mattulada ialah melalui karyanya dalam Penelitian ini bermaksud untuk
bentuk disertasi dengan judul “Latoa: suatu menelusuri epistemologi dalam sebuah
lukisan analitis terhadap antropologi karya antropologi. Karya antropologi yang
politik orang Bugis”. Secara keseluruhan menjadi fokus penelitian penulis ialah
analisa epistemologis penulis terhadap tulisan tangan dari maestro antropologi di
Mattulada lebih banyak mencakup tentang Sulawesi, Mattulada, dengan karyanya yang
isi, bangunan argumentasi, kerangka berjudul Latoa: Suatu Lukisan Antropologi
analisis, dan konseptual teoritik dari Politik Orang Bugis. Membedah karya ini
karyanya Latoa. Namun, adapun karya- dalam kerangka penelusuran epistemologinya,
karya lainnya yang penulis lihat juga menjadi suatu hal yang sangat penting, jika
menjadi hal penting untuk memperkuat tidak ingin dikatakan sebagai sesuatu yang
argumentasi penulis terhadap simpulan mendesak. Sebab, beberapa penelitian yang
mengenai epistemologi apa yang digunakan menceritakan atau setidaknya menggambarkan
Mattulada dalam Latoa, juga beberapa kondisi sosial masyarakat bugis, cenderung
tulisan-tulisan lainnya. mengutip beberapa bagian dari karya
Tentu apa yang penulis lakukan ini Mattulada tersebut.
memiliki bentuk yang berbeda dengan apa Dalam pencarian epistemologi,
yang telah dilakukan oleh Ahimsa (1997: penelitian ini mengambil sumber dari
25-48) dalam menganalisis epistemologi beberapa tulisan atau karya Mattulada,
Koentjaraningrat dengan judul tulisan kemudian dibandingkan dengan karya
“Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Latoa, guna untuk melihat secara
Tafsir Epistemologis”, Menurut penulis, hal mendalam ideologi atau epistemologi
ini bukan menjadi suatu permasalahan, seperti apa yang berada dibalik proses
sebab arah dari tulisan penulis dengan kreatif penciptaan beberapa karyanya.
Ahimsa itu sama-sama menuju suatu titik Proses ini dimulai dari mencari asumsi-
akhir, yakni pencarian epistemologis dari asumsi dasar yang ada dalam karya Latoa,
seorang tokoh. kemudian melakukan pembacaan secara
Mencari sebuah epistemologi yang induktif dan deduktif. Setelah proses
menjadi bangunan dasar dari sebuah pembacaan dan penelusuran asumsi dasar
penelitian bukan hal yang mudah, sebab yang ada dalam karya ini, penulis kemudian
epistemologi ialah sesuatu yang sifatnya melakukan proses generalisasiuntuk melihat
“implisit” dan kadang sulit ditemukan epistemologi apa yang berada di balik karya
secara tersurat dalam laporan penelitian fenomenal Mattulada ini. Proses
ilmiah maupun kerja-kerja ilmiah. Ahimsa selanjutnya ialah dengan membandingkan
(2009; 4) mengartikan asumsi atau atau menelusuri beberapa karya Mattulada
yang lainuntuk melihat lebih jauh, apakah
31
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

epistemologi dari seorang Mattulada Science‟, Kedua, Science as the only


berbeda-beda dari tiap karyanya, atau tetap basis for generating knowledge,
sama dalam setiap proses kreatifnya. Concept/Terms as Value-Neutral
(stripped of moral content), dan Ketiga
Reality as unequivocal.” (Wicks and
PEMBAHASAN
Freeman, 1998)
Epistemologi „Positivisme‟ Mattulada
“Penjelasan positivistik mengabaikan
Dalam konteks penelitian ilmu sosial- tentang hal mendasar dari keberagaman
budaya, positivisme sebagai sebuah aliran sosial dan lebih mengarah pada
filsafat mesti dibumikan dalam kerangka perumusan hukum-hukum atau model-
kajian ilmu sosiologi atau ilmu sosial- model yang lebih abstrak dan umum.”
budaya, yang dikenal sebagai “positivistic (Turner, J.H, 2006)
attitude” seperti yang telah dipaparkan oleh
Bryant (1985) di bawah ini: Perkembangan awal positivisme dalam
“Pertama, “metodologi-metodologi kajian ilmu sosial-budaya juga dipengaruhi
pokok yang ada dalam ilmu alam, oleh tiga tokoh besar pemikiran Perancis
sebaiknya secara lansung dapat yakni Saint-simon, Comte, dan Durkheim.
diterapkan dalam ilmu sosiologi”, Comte dan Durkheim yang merupakan dua
Kedua, “anggapan-anggapan dasar tokoh sentral dalam perkembangan
bahwa hasil akhir dari penelitian/ positivisme dalam ilmu sosial-budaya.
investigasi sosiologi dapat dirumuskan Adapun pemikiran kedua tokoh tersebut
seperti “hukum” atau “gejala hukum” secara garis besar penulis jelaskan di bagian
yang mirip dengan generalisasi dalam ini.
ilmu sains”, Ketiga, “asumsi praktis Di awal, Comte berbeda pandangan
dari sosiologi memiliki perangkat teknis sekaligus meragukan tawaran “the new
yang khas.” (Bryant, 1985; 7-9). Christianity” oleh Saint-Simon sebagai
suatu yang dapat mempersatukan rasa
Sedangkan dalam berbagai wacana solidaritas dalam masyarakat, menurut
terkait positivisme dalam berbagai ilmu Comte hal ini kemudian justru membawa
pengetahuan, penulis menemukan prinsip- konflik antarwarga masyarakat Perancis
prinsip positivisme yang juga memiliki pola (melalui dogma agama) yang telah dikritik
yang sama dengan apa yang dikembangkan di beberapa dekade sebelumnya. Oleh sebab
oleh Bryant di atas, semisal: itu, Comte lebih memilih untuk
“poin inti dari positivisme sangat mengembangkan cara berpikir saintifik
identik dengan empirisme tradisional dalam melihat gejala yang ada pada
dimana positivisme sangat menentang masyarakat.
atau berlawanan arah pada hal-hal Dalam tradisi positivisme, Durkheim
yang bersifat teologis dan metafisis, lebih banyak memberikan penjelasan terkait
pengetahuan adalah pengetahuan yang pandangan “positivisme” dalam sebuah
nyata dan dapat diobservasi secara ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya
empirik dan mengedapankan terdiri atas aturan “kualifikasi” dan “syarat-
generalisasi dan cara pengamatan yang syarat”. Dalam hal ini, Durkheim berusaha
induktif.” (Heidtman, Wysienska, keluar dan menolak segala asumsi dasar
Szmatka, 2000) tentang filsafat positivisme yang terlalu
menyederhanakan persoalan kompleksitas
“tiga hal pembeda yang ada dalam manusia dan hal inilah yang kemudian
asumsi dasar positivisme yang sangat memberikan pengaruh besar dalam
esensialis dan pasti yakni Pertama, perkembangan ilmu sosiologi (Bryant,
„Finding and Making‟, „Descriptive and 1985; 33-34). Dalam merumuskan
Prescriptive, „Science and Non pandangannya, Durkheim menyatakan ada

32
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

beberapa pandangan dasar tentang perbandingan, dan Kelima, berusaha


positivisme yakni: menemukan dan merumuskan konsep
fungsional dalam kebudayaan.”
“Pertama Fakta sosial dapat ditemukan
di dalam eksistensi dari manifestasi
Kelima asumsi dasar positivisme di
individu yang terekam dalam organisasi
atas yang penulis gunakan untuk melihat
sosial, struktur sosial, perilaku sosial,
dan memastikan apakah seorang Mattulada
representasi kolektif atau unsur-unsur
beraliran epistemologi positivisme dalam
kebudayaan, dan kondisi sosial
menganalisis karyanya Latoa dan karya-
mutakhir yang semuanya merupakan
karyanya yang lain. Adapun poin-poin dari
representasi dari masyarakat bukan
asumsi dasar positivisme yang akan penulis
secara individu, Kedua, Fakta sosial
gunakan untuk memahami epistemologi
sebagai sesuatu yang terhubung dengan
positivistik Mattulada dalam karyanya ini
berbagai hal (empirik), Ketiga,
adalah sebagai berikut:
terminologinya merujuk pada
“penyebab-penyebab” dan yang a. Pembacaan Induktif: Fakta-Fakta
lainnya memiliki terminologi yang Sosial-Budaya Masyarakat Bugis
merujuk pada “fungsi-fungsi”, dan Karya Mattulada ini secara
keempat, kepatuhan moral yang keseluruhan menyinggung salah satu etnis
dibangun pada suatu memori kolektif yang ada di Sulawesi Selatan yakni suku
masyarakat “the sacred”, yang Bugis (To-Ugi). Masyarakat Bugis
kemudian dapat mengatur dan dibicarakan panjang lebar dalam karyanya
mengkonsepkan cara pandang, berpikir, pada subbagian “suku bangsa Bugis”
dan berperilaku masyarakat dalam (Mattulada, 1985; 5-65). Dalam karyanya
struktur sosial. Memori kolektif ini penulis menemukan delapan bagian
masyarakat ini dapat menjadi sebuah yang selanjutnya penulis sebut sebagai
koin yang mempunyai dua sisi, bisa fakta kebudayaan.
“normal” dan bisa juga Delapan fakta kebudayaan dalam
“pathological”, tergantung bagaimana masyarakat Bugis disebutkan oleh
konstruksi kolektif itu dibangun dalam Mattulada terdiri atas: Pertama, bahasa dan
masyarakat”.(Bryant, 1985; 34-52) kesusasteraan orang Bugis yang terdiri atas
lontara‟, paseng, attoriolong, pau-pau ri
Secara keseluruhan penulis
kadong, tolo‟ atau pau-pau, pappanngaja‟,
menyimpulkan ada beberapa poin-poin inti
sure‟ bicara attoriolong, pau-kotika, sure
atau asumsi dasar dari pandangan
eja, dan sure bawang (1985; 16-19). Kedua,
positivisme dalam melihat atau
rumah-rumah orang Bugis, disini Mattulada
menganalisis gejala sosial-budaya yang
(1985; 23-24) membagi dua kategorisasi
kerangka kerjanya sangat mirip dengan
rumah orang Bugis, dari segi penggunaan
analisas dan kerangka kerja yang ada dalam
(rakkeang, alebola, dan awasao) dan dari
ilmu alam, yakni,
segi kedudukan atau lapisan sosial
“Pertama, menemukan dan mengamati penghuninya (saoraja, saopiti‟, bola to
fakta-fakta sosial yang ada di sama‟). Ketiga, pelapisan masyarakat Bugis
masyarakat, Kedua,merumuskan dan yang terdiri atas anakarung, maradeka, dan
mengeneralisasi fakta-fakta sosial yang ata. Keempat, sistem kekerabatan
ditemukan kedalam suatu hukum-hukum masyarakat Bugis dikenal sebagai
sosial, yang modelnya mirip dengan asseajingeng, Kelima, sompa atau sunreng
penentuan hukum-hukum alam, Ketiga, (uang mahar) dalam kepercayaan
menggunakan kerangka berpikir ilmiah masyarakat Bugis, Keenam, adat istiadat
secara induktif ke deduktif, Keempat, masyarakat Bugis yang terdiri atas lima
merumuskan sistem klasifikasi atau unsur panngaderreng, Ketujuh, kaidah-
tipologi kebudayaan melalui konsep kaidah pokok dalam kehidupan masyarakat

33
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Bugis yang meliputi beberapa azas (1985; baru (yang jauh dari prinsip pada era galigo
341) yakni azas mappasilasa‟e, yang menjunjung tinggi dewa-dewa)
mappasisaue, mappasenrupae, dan dimana terdapat sikap rasional dalasirim
mappalaiseng, dan Kedelapan, siri‟ dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan,
pandangan kehidupan masyarakat Bugis artinya membebaskan pikiran orang dari
yang memiliki konsepsi sebagai siri‟emmi belenggu terkait adanya anggapan bahwa
rionroang rilino, materi siri‟na, dan mate raja adalah titisan dewa-dewa yang sanggup
siri‟ (1985; 63). memberikan kebahagiaan pada rakyat
Bagian selanjutnya dalam karya hanya karena berkat kedewataannya atau
Mattulada yakni fokus pada jenis lontara‟ berkat namanya atau kharismanya (intinya
Latoa sebagai sebuah warisan masyarakat tolak ukur raja itu amanah atau tidak tidak
Bugis. Menurut Mattulada secara garis lagi dilihat secara ideal, tetapi dinilai
besar dari Latoa adalah kumpulan ucapan- melalui perbuatannya kepada Negara dan
ucapan, petuah-petuah dari beberapa raja rakyatnya). Sebagai simpulan dari
dan orang-orang bijaksana (sekitar abad ke pandangan di atas, Mattulada (1985; 90)
XVI), mengenai berbagai hal, terutama memberikan pandangannya bahwa seluruh
kewajiban-kewajiban raja dan abdi raja kehidupan politik orang Bugis didasarkan
terhadap negara dan rakyatnya di samping pada ajaran moral, yang bersandar pada
hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat nilai-nilai yang ada di dalam Latoa dan
terhadap raja dan negaranya (Mattulada, tercermin dalam sikap panngaderreng, hal
1985; 85). ini lah yang menjadi alasan kuat,
Kandungan Latoa yang menjadi pola bagaimana pengaruh islam dengan mudah
berpikir orang Bugis dalam hidup berkontribusi terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dan kebudayaannya panngaderreng yang diyakini sebelumnya
meliputi tiga hal menurut Mattulada (1985; oleh masyarakat Bugis.
87) dalam abstraksinya terhadap kandungan
Latoa itu sendiri yakni: b. Pembacaan Deduktif: Generalisasi
“pertama, manusia itu, apa pun dan dan Perbandingan Fakta-Fakta
bagaimanapun tingkat atau derajat Sosial-Budaya Masyarakat Bugis
sosialnya adalah makhluk yang sama Fakta-fakta sosial-budaya masyarakat
derajatnya sebagai ciptaan Tuhan, Bugis yang telah disusun dan diamati oleh
kedua, manusia itu, dalam tujuan Mattulada seperti yang penulis jelaskan di
hidupnya berhasrat untuk selalu bagian atas, kemudian digeneralisasi dalam
berbuat kebajikan. Dan ketiga, beberapa tipologi kebudayaan masyarakat
manusia itu, dalam membangun nilai- Bugis yang memiliki fungsinya masing-
nilai dan pranata-pranata sosial masing. Generalisasi dan perbandingan
kebudayaannya selalu berusaha yang dilakukan oleh Mattulada terhadap
mencapai keselarasan antara berbagai fakta-fakta sosial-budaya
kepentingan kolektif dengan masyarakat Bugis menunjukkan bagaimana
kepentingan individualnya” corak berpikir positivistis yang dianut oleh
seorang Mattulada.
Menurut Mattulada, ketiga pola
Beberapa generalisasi dan
sikap umum di atas yang mendasari alam
perbandingan fakta-fakta sosial-budaya
pikiran yang dituangkan dalam Latoa ini
yang dilakukan oleh Mattulada dalam
memberikan bentuk perwujudan nilai-nilai
karyanya „Latoa: Suatu Lukisan Analitis
dan kaidah-kaidah sosial-budaya serta
terhadap Antropologi Politik Orang Bugis‟
menjadi ukuran tingkah laku masyarakat
yakni sebagai berikut:
Bugis yang disebut panngaderreng (1985;
87). Dari prinsip-prinsip dasar Latoa ini,
masyarakat Bugis, kemudian memasuki era

34
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

Bahasa dan Kesusasteraan Bugis Makassar, yang memandang alam


semesta ini, sebagai „sulapa‟ eppa‟
Dibagian ini, Mattulada meletakkan
walasuji‟ (segi empat belah ketupat).
posisi bahasa sebagai bagian dari salah satu
Sarwa ini adalah satu kesatuan yang
unsur kebudayaan, apa yang dilakukannya
dinyatakan dalam simbol (sa) yang
mirip dengan apa yang dilakukan oleh
berarti „seua‟ atau tunggal dan esa”.
Koentjaraningrat dalam menempatkan
Simbol tersebut, disimbolkan sebagai
bahasa sebagai bagian atau unsur dari
mikroskosmos/sulapa‟ eppa‟na taue
kebudayaan (Koentjaranigrat, 2009; 165).
(segi empat tubuh manusia), dimana
Selain meletakkan bahasa dalam salah satu
dipuncak terletak kepalanya, disisi kiri
unsur kebudayaan, Mattulada juga lebih
dan kanan adalah tangannya, dan
jauh menggali fakta-fakta sejarah bahasa
ujung bawah adalah kakinya. Simbol ini
Bugis yang dikenal dalam bentuk aksara
menyatakan diri secara konkrit pada
lontara dan merumuskannya dalam bentuk
bagian kepala manusia yang disebut
yang lebih konkret sebagai sebuah sistem
„sauang/mulut atau tempat keluar‟ yang
nilai, yang disebut panngaderreng.
dimana dari mulutlah segala sesuatu
“Masyarakat Bugis juga memiliki dinyatakan dalam bentuk „sadda/bunyi‟,
sistem bahasa dan kesusasteraannnya, lalu kemudian tersusun sehingga
dimana bahasa Bugis pada zaman memiliki makna sebagai „ada/kata,
dahulu menjadi bahasa untuk semua sabda, titah‟, dari kata „ada‟ inilah
kegiatan kebudayaan orang segala sesuatu yang meliputi seluruh
Bugis(Mattulada, 1985; 8). Bahasa ini tertib kosmos (sarwa alam) diatur dan
kemudian digunakan untuk bila kata „ada‟ ini dibubuhi kata
menyebarkan agama, berdagang, sandang tertentu yakni (bunyi „E‟)
pertanian, dan ilmu kesusasteraan. maka kata „ada‟ menjadi „adae/kata itu‟
Bahasa-bahasa Bugis dan Makassar dan kata ‟adae‟ ini lah yang menjadi
mempunyai lambang bunyi atau aksara pangkal kata dari ade‟ atau adat dan
yang sama, yang kemudian disebut sabda penertib yang meliputi sarwa
sebagai aksara lontara‟. Baik tanda- alam (sa).” (Mattulada, 1985; 9)
tanda bunyi atau aksara lontara‟
Selain Bahasa, Mattulada (1985; 16-
maupun hasil-hasil kesusasteraan
19) juga berpandangan bahwa secara
Bugis (klasik) erat hubungannya
keseluruhan masyarakat Bugis mengenal
dengan masalah kehidupan yang
bentuk kesusasteraan klasik bernama
tersimpul dalam panngaderreng.”
lontara‟ yang memiliki banyak jenis dan
(Mattulada, 1985; 8)
fungsinya masing-masing:
Lebih jauh lagi, Mattulada kemudian “Lontara’ adalah manuskrip-
merumuskan bahwa penciptaan sistem manuskrip atau catatan tertulis yang
tanda bunyi „aksara lontara‟ nyatanya aslinya ditulis di atas daun lontara‟
memiliki fakta-fakta kebudayaan, selain (rontal), namun lontara‟ dalam bentuk
memiliki fungsi sebagai bahasa aslinya ini sudah sulit ditemukan dan
komunikasi, juga ternyata memiliki makna digantikan dengan kertas. Manuskrip-
yang berbeda, yakni menjadi suatu sistem manuskrip dengan aneka ragam isinya
kepercayaan atau adat. Hal ini dijelaskan antara lain: Paseng, ialah kumpulan
oleh Mattulada dibawah ini: amanat keluarga atau orang-orang
bijaksana yang dimanatkan turun
“..Sehubungan dengan pencipataan
temurun dan menjadi kaidah hidup
tanda-tanda bunyi yang disebut aksara
dalam masyarakat Bugis. Attoriolong,
lontara‟ terdapat anggapan bahwa hal
kumpulan catatan mengenai silsilah
itu berpangkal pada kepercayaan dan
para raja, keluarga bangsawan, dan
pandangan mitologis orang Bugis-

35
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

orang-orang tertentu, biasanya bagian yang menyatakan fungsinya masing-


Attoriolong ini digunakan untuk masing dan juga memiliki bentuk yang
menyusun peristiwa sejarah. Pau-Pau berbeda-beda berdasarkan golongan
ri Kadong, ialah cerita-cerita rakyat masyarakat yang ada di Bugis. Rumah-
yang mengandung legenda-legenda rumah orang Bugis dibangun di atas tiang
dan berbagai kejadian atau peristiwa (rumah panggung), yang terdiri atas tiga
yang luar biasa, namun diragukan susun yakni:
kebenarannya, biasanya hanya “rakkeang, ialah bagian atas rumah,
digunakan untuk bahan pelipur lara terletak di bawah atap dan bagian ini
dan hiburan. Tolo’ atau Pau-Pau, dipakai untuk menyimpan padi,
ialah semacam cerita rakyat yang persediaan pangan, dan juga untuk
sudah dituliskan, biasanya menyimpan benda-benda pusaka
menceritakan tentang tokoh-tokoh keluarga. Alebola, ialah bagian tengah
yang pernah ada dan sekarang disusun yang ditempati oleh manusia, yang
kembali dalam bentuk hikayat. terbagi atas ruang tamu, ruang
Pappanngaja’, ialah kumpulan keluarga, kamar tidur, ruangan makan
pedoman hidup atau nasehat yang dan dapur. Awasao, ialah bagian
diberikan oleh orangtua kepada anak bawah lantai panggung, dipakai untuk
keturunannya. Ulu-ada, ialah menyimpan alat-alat pertanian,
manuskrip-manuskrip yang memuat kandang ayam, kambing, atau secara
tentang perjanjian antar Negara atau spesifik tempat yang menyimpan
wilayah pada saat itu. Sure’ bicara segala kebutuhan mata pencarian.”
attoriolong, ialah kumpulan aturan
atau undang-undang yang berlaku Rumah-rumah orang Bugis juga
dalam neger-negeri yang berazas digolongkan menurut kedudukan atau
ade‟attoriolong (adat leluhur). Pau- lapisan sosial penghuninya yang seperti
kotika, ialah kumpulan catatan tentang penulis sampaikan sebelumnya. Jenis-jenis
waktu yang baik dan waktu yang buruk rumah ini juga terdiri atas tiga macam
untuk melakukan suatu perbuatan, yakni:
misalnya mengetahui kapan harus “Pertama, Saoraja, rumah besar yang
turun ke sawah, mendirikan rumah, didiami keluarga raja atau kaum
keluar rumah, makna mimpi. Sure eja, bangsawan, memiliki ciri-ciri antara
ialah kumpulan Elong yang dinyayikan lain berpetak lima atau tujuh.
pada upacara tertentu. Sure bawang, Timpa‟laja (bubungan) nya bersusun
ialah cerita-cerita roman yang ada lima bagi seorang raja yang berkuasa
dalam masyarakat Bugis.” dan bersusun tiga bagi bangsawan
Pengklasifikasian jenis-jenis kesusas- lainnya. Memiliki sapana atau tangga
teraan masyarakat Bugis klasik dan beralas yang diatapi di atasnya.
beragam fungsinya di atas merupakan suatu Kedua, Saopiti’, ialah rumah tempat
usaha pengumpulan fakta-fakta kediaman, bentuknya lebih kecil dari
kesusasteraan masyarakat Bugis yang saoraja berpetak tidak lebih dari
begitu banyak, lalu kemudian empat, berhubungan satu atau tiga,
diklasifikasikan berdasarkan pada tidak memiliki sapana dan rumah ini
fungsinya masing-masing. biapenulis dimiliki oleh orang baik-
baik, orang kaya, atau orang yang
Rumah-Rumah Orang Bugis berkedudukan terpandang dalam
Selain aspek bahasa dan kesusasteraan masyarakat. Ketiga, Bola to sama’,
klasik yang dimiliki masyarakat Bugis, atau barum parung adalah rumah
menurut Mattulada (1985; 23-24) rumah- tempat kediaman orang kebanyakan
rumah orang Bugis juga terdiri atas tiga (masyarakat biasa), rata-rata berpetak

36
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

tiga, berhubungan lapis dua dan tidak hukum-hukum alam, yang dapat
mempunyai sapana.” memotivasi atau mendasari seseorang atau
kelompok untuk bertindak atau berperilaku,
Di bagian ini tampak jelas bagaimana
yakni pada perbedaan stratifikasi sosial
Mattulada menerapkan cara kerja
masyarakat Bugis. Lebih jauh lagi,
positivisme dalam karyanya dengan
stratifikasi sosial ini juga memiliki fungsi
mengambil fakta-fakta tentang rumah-
sosial dalam kehidupan masyarakat Bugis
rumah masyarakat Bugis lalu kemudian
itu sendiri. Dalam hal ini, semakin jelas
digeneralisasi melalui sistem perbandingan
bagaimana Mattulada kembali menjelaskan,
antara bagian rumah yang satu dengan
konsepsi hukum-hukum sosial melalui apa
bagian rumah yang lainnya dan juga antara
yang dikatakan Durkheim (1984; 231, 240,
bentuk rumah yang satu dengan bentuk
315) sebagai „the sacred‟ yang ada pada
rumah yang lainnya.
masyarakat Bugis, yakni siri‟. Siri‟ ini
Hasil perbandingan Mattulada ini
kemudian menjadi hukum sosial dari
menghasilkan suatu simpulan bahwa
masyarakat Bugis yang berfungsi untuk
konsepsi tentang rumah bagi masyarakat
mengontrol, mengatur, dan mendasari
Bugis memiliki dua fungsi, yakni rumah
segala perilaku dan perbuatan masyarakat
yang memiliki fungsi ruang dan kerja, dan
Bugis.
rumah yang memiliki fungsi sebagai
Pandangan Mattulada di atas secara
penjelas identitas sosial (kelas) pemilik
tegas menggambarkan bahwa ada
rumah.
seperangkat nilai panngaderreng (ade‟,
bicara, rapang, wari, dan sara) yang
c. Hukum-Hukum Sosial dalam
mengatur segala lini kehidupan masyarakat
Kehidupan Masyarakat Bugis
Bugis yang telah terjelaskan sebelumnya
Sejauh yang penulis temukan ada dua dan hal ini menunjukkan bahwa Mattulada
faktor menurut Mattulada (1985) yang sangat berpaham positivisme dengan dasar
menjadi hukum-hukum sosial dalam atau anggapan bahwa Mattulada melihat
kehidupan masyarakat Bugis, yakni panngaderreng dan siri‟ sebagai hukum
panngaderreng dan siri‟. Keduanya secara sosial dan memiliki azas-azas serta unsur-
tidak langsung dan langsung mengatur dan unsur yang terintegrasi dan saling
mengarahkan pola pikir, tingkah laku, dan menguatkan antar yang satu dengan yang
pedoman hidup masyarakat Bugis dalam lainnya.
menjalani kehidupan politiknya dalam
bernegara. Beberapa gambaran hukum- d. Fungsionalis Struktur dalam
hukum sosial yang dijelaskan Mattulada Kebudayaan Masyarakat Bugis
dalam kehidupan masyarakat Bugis
Unsur-unsur dari panngaderreng
tergambarkan dalam beberapa fakta-fakta
(ade‟, bicara, rapang, wari, dan sara) yang
sosial-budayanya. Semisal pada fakta sosial
juga menjadi hukum-hukum sosial bagi
mengenai pelapisan masyarakat Bugis yang
kehidupan masyarakat Bugis ini menurut
terdiri atas anakarung, maradeka, dan ata
Mattulada juga memiliki fungsinya masing-
yang menurut Mattulada (185; 24) memiliki
masing yang akan memperkokoh nilai
fungsi yang penting dan perbedaan
panngaderreng apabila disadari oleh sikap
stratifikasi sosial ini juga dapat
siri‟, seperti yang secara ringkas penulis
menerangkan latarbelakang dan sifat-sifat
jelaskan di bawah ini,
mendasar dari masyarakat Bugis dalam
bertindak, berperilaku dan berpikir. Ade‟,
Apa yang bisa penulis simpulkan dari Ade‟ adalah salah satu aspek dari
pandangan di atas bahwa, Mattullada panngaderreng yang mengatur pelaksanaan
berusaha menunjukkan bahwa ada semacam sistem norma dan aturan-aturan adat dalam
hukum-hukum sosial yang mirip dengan

37
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

kehidupan orang Bugis. Menurut Mattulada Jenis-jenis ade‟ dalam arti pranata
(1985; 345-346) bahwa: masyarakat antara lain misalnya ade‟
puraonro (norma fundamental yang
“semua tindakan orang Bugis dalam
sulit diubah), ade‟ abiasang (norma
lingkup panngaderreng adalah ade‟
kebiasaan), dan ade‟ maraja (norma
yang menyatakan diri dalam semua
baru).”
segi kehidupan, misalnya ade
akkalabinengeng (hal-ikhwal yang Bicara,
mengatur masyarakat Bugis dalam Bicara adalah aspek panngaderreng
berumah tangga), termasuk persoalan yang mempersoalkan masalah peradilan,
keturunan yang boleh atau tidak boleh dimana mempermasalahkan semua hak dan
saling menikah, hukum perkawinan, kewajiban dari tiap persona hukum dalam
etika dan pendidikan dalam memperlakukan diri dalam hidup
berkeluarga, dan norma yang panngaderreng dalam kontiniutas peradaban
mengatur tentang martabat dan harga orang Bugis (Mattulada, 1985; 372).
diri dari suatu perkawinan.” Menurut Mattulada (1985; 372), Ade‟
Pada bagian atas telah disebutkan menurut lingkup kompetensinya adalah
bahwa ade‟ ialah kongkritisasi atau lebih luas dari pada ruang-lingkup dan
perwujudan dalam segenap tata-tertib yang kompetensi bicara, sebab ade‟ bersifat
meliputi semua orang dalam bersikap dan preventif dari para penjahat, mencegah
bertindak di dalam masyarakat dan perbuatan yang sewenang-wenang dari
kebudayaan, maka menurut Mattulada orang yang kuat dan melindungi yang
(1985; 347) itu berarti pula bahwa semua lemah, sedangkan bicara, lebih bersifat
orang, semua keadaan, dan semua benda represif, menyelesaikan sengketa,
yang terlibat di dalamnya adalah aspek ade‟ mengembalikan sesuatu yang tidak wajar
adanya. Dengan demikian, dalam realitas kepada keadaan yang lebih wajar yang
kehidupan masyarakat dijumpai adanya: tentunya berdasar dan bersandar pada
keadaan yang objektif. Maka dari itu bicara
“Pertama, Pranata sosial, berupa
dalam usahanya untuk mencapai tujuan
pakkatenni ade‟ yang merupakan
kebenaran, berpegang pada bicara
lembaga atau orang-orang petugas
tongettelu/tiga pangkal kebenaran dari
masyarakat (Negara) yang
bicara, yakni (Mattulada, 1985; 373):
berkewajiban menjalankan
“Pertama, pengakuan dengan jujur
pengawasan dan pelaksanaan ade‟.
kesalahan dari orang yang bersalah
Mereka adalah personifikasi dalam
dan kesalahan itu terbukti ada,
panngaderreng dalam realitas
sebagai kesalahan ade‟. Kedua,
kehidupan masyarakat (Negara) yang
Pembenaran secara ikhlas terhadap
dimana dalam melaksanakan tugas
kebenaran orang yang berbuat benar
dan kewajibannya, mereka melarutkan
dan kebenaran itu ada, sebagai
diri dalam tuntutan-tuntutan dari
kebenaran meurut ade‟. Ketiga,
kewajiban ade‟, sehingga padanya
Mufakat pakkatenni ade‟, untuk
dibebankan syarat-syarat yang sangat
menyatakan salah bagi yang bersalah
berat, misalnya sebagai manusia
dan benar bagi yang benar.”
pribadi mereka harus melepaskan diri
dari nafsu-nafsu pribadi. Kedua, Ade‟ Terakhir perihal bicara, Mattulada
sebagai pranata sosial ialah pola-pola (1985; 371-372) beranggapan dengan
ideal dalam bentuk dan suasana yang meminjam istilah dari Malinowski
beraneka macam. Inilah yang (effective custom) bahwa:
menentukan pola-pola formil dari ade‟ “dilihat lebih jauh, ancaman-ancaman
dan berlakunya menurut urutan, serta yang demikian berat dan kebanyakan
sarana-sarana pelaksanaannnya. tertuju kepada hukuman mati atau
38
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

pembuangan dan sistem yang (magic-protective) yang berfungsi


mempebolehkan penuntutan hukum untuk melindungi milik umum dari
atas kejahatan yang telah dilakukan gangguan-gangguan seseorang,
tidak dikenal, maka hukuman ini tidak melindungi seseorang dalam keadaan
hanya dipandang cuman sekedar bahaya.”
ancaman agar orang takut berbuat
Wari’,
kejahatan, melainkan juga dipandang
sebagai suatu pernyataan dimana yang Wari dalam pengertian Latoa
bersalah juga telah melepaskan diri bermakna „yang tahu membedakan‟,
dari sistem panngaderreng dan tidak sedangkan dalam pengertian leksikalnya
memiliki siri‟ pada dirinya lagi, adalah tak lain dari penjenisan yang
sehingga hukuman yang dijalaninya membedakan yang satu terhadap yang lain,
akan diterima dengan mata terbuka suatu perbuatan yang selektif, perbuatan
(sebagai pembuktian diri bahwa di menata atau menertibkan (Mattulada, 1985;
dalam dirinya masih ada siri‟ guna 380). Menurut Mattulada (1985; 380), wari‟
menegakkan panngderreng yang telah secara umum berfungsi protokoler dan
dilanggarnya)..pendapat Malinowski meliputi sekurang-kurangnya tiga hal
bahwa semua aktivitas kebudayaan yakni:
(institutions dan customs) mempunyai “Pertama, menjaga jalur dan garis
fungsi untuk memenuhi suatu kompleks keturunan yang membentuk pelapisan
kebutuhan naluria manusia untuk masyarakat (standen) dalam
secara timbale balik dengan sesame masyarakat atau yang mengatur
manusia lainnya dalam masyarakat tentang tata-keturunan melalui
menerima dan menunaikan kewajiban hubungan perkawinan. Kedua,
menurut suatu prinsip yang disebut menjaga atau memelihara tata-
„princple of reciprocity‟.” susunan atau tata-penempatan sesuatu
Rapang, menurut urutan semestinya, dan
Ketiga, menjaga dan memelihara
Rapang dalam Latoa mengandung hubungan kekeluargaan antara raja
makna sebagai pengokohan negara dan suatu negeri dengan negeri lainnya,
secara makna leksikalnya, memiliki arti sehingga dapat ditentukan mana yang
sebagai contoh, misal, ibarat, atau tua, mana yang muda dalam tata
perumpamaan, persamaan atau kiasan. panngaderreng (upacara-upacara
Menurut Mattulada (1985; 378) rapang kenegaraan) yang Secara keseluruhan,
berfungsi sebagai: wari‟ berfungsi sebagai pranata yang
“Pertama, Stabilisator (memberi menata Negara.”
petunjuk tentang latar belakang sistem
Sara’
yang berakar dalam pola kebudayaan),
yakni menjaga agar ketetapan, Setelah sistem panngaderreng
keseragaman, dan kontinuitas suatu masyarakat Bugis mendapatkan warna baru
tindakan berlaku konsisten dari waktu dari Islam (sara‟) dan bercampur dari
yang lalu sampai masa kini dan masa aspek-aspek (ade‟, rapang, wari‟, bicara)
depan. Kedua, Bahan perbandingan lainnya, maka seketika kehidupan
(bijaksana dan tidak berpandangan masyarakat Bugis pun berubah. Perubahan
sempit), dalam keadaan belum adan tersebut menurut Mattulada (1985; 383)
norma atau undang-undang yang terletak pada adanya dua macam organisasi
mengatur suatu hal tertentu, maka sara‟ sebagai ade‟ dan sebagai
rapang berfungis sebagai panngaderreng terakhir. Sara sebagai
yurisprudensi. Ketiga, alat pelindung organisasi ade‟ (pemerintahan) berkembang
yang berwujud dalam pamali-pamali dalam kedudukan arti dan fungsinya.

39
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Semua orang yang menyelenggarakan salah satu unsur tidak berfungsiakan


urusan syariat islam disebut parewa sara‟ berdampak pada ketidakstabilan sosial yang
(pegawai syarat) dan terjadilah pembagian ada di masyarakat (Kaplan, Manners, 2012;
tugas antara pampawa ade‟ (pemerintah) 77).
dengan parewa sara‟ (biasa disebut sebagai Jika melihat karya Mattulada maka
pegawai sara‟). struktur atau unsur yang saling berintegrasi
Dari penjabaran aspek-aspek dan memiliki fungsi satu sama lain disini
panngaderreng yang terjelaskan di atas, ialah unsur-unsur yang ada di dalam
Mattulada menekankan bagaimana fungsi Panngaderreng yakni, ade‟, rapang, wari,
dari tiap unsur dari sistem kebudayaan bicara, dan sara‟. Hal ini senada dan
(panngaderreng) saling mendukung dan sejalan dengan asumsi dasar yang terdapat
terintegrasi antara satu sama lainnya dan dalam sebuah epistemologi positivisme,
menurut penulis ini merupakan sebuah seperti yang telah penulis bahasakan di
bukti bagaimana pandangan Mattulada bagian-bagian sebelumnya dalam tulisan
dalam melihat fakta-fakta kebudayaan ini.
masyarakat Bugis secara positivisme. Hal
Epistemologi Mattulada dalam Karya
ini disebutkan Mattulada (1985; 381-382)
Karyanya yang Lain
bahwa:
Pada bagian ini penulis akan
“aspek-aspek ade‟, bicara, rapang, memperkuat simpulan terhadap epistemologi
dan wari‟ adalah bagian yang saling „positivisme‟ dari seorang Mattulada dalam
berintegrasi antara satu dengan yang karyanya Latoa dengan melacak beberapa
lainnya. Apabila ade’ berfungsi tulisan Mattulada yang secara keseluruhan
sebagai preventif (pencegahan) dalam terbagi dalam tiga jenis, yakni pertama
pergaulan hidup untuk menjaga dalam bentuk sebuah buku yang berjudul
kelangsungan hidup masyarakat dan „Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan
kebudayaan, bicara berfungsi represif Sulawesi Selatan (1998)‟ dan kedua ialah
untuk mengembalikan sesuatu pada sebuah jurnal „Antropologi Indonesia No.48
tempatnya, rapang berfungsi sebagai (1991)‟ yang memuat ulang kumpulan
stabilisator untuk menjaga tulisan-tulisan Mattulada antara lain
kesinambungan pola peradaban, maka „Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar
wari’ berperang dalam mappalaiseng dan Kaili di Sulawesi‟, „Elit di Sulawesi
(membedakan) yaitu mengatur Selatan‟, „Sirik dan Pembinaan
kompetensi masing-masing aspek di Kebudayaan‟, „Manusia dan Kebudayaan
atas, sehingga tidak berbenturan satu Kaili di Sulawesi Tengah‟, „To-Kaili (orang
sama lainnya (membangun kaili), „Sekelumit sejarah kebudayaan
keserasian), terakhir sara’ berfungsi kaili‟, „Modal Personality orang Kaili‟,
memperkuat dan memperteguh nilai „To-Kaili dan Hari esok‟. Ketiga ialah,
ade‟ utamanya dalam iman dan sebuah jurnal „Antropologi Indonesia No.58
kebenaran tauhid.” (1999)‟ dengan judul tulisan
Selain menganut paham positivisme „Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan
dalam karyanya Latoa: suatu lukisan di Indonesia: Porspek Budaya Politik abad
analitis terhadap antropologi politik orang ke-21‟.
Bugis, Mattulada juga menggunakan Poin-poin inti yang penulis gunakan
pendekatan atau paradigma fungsionalisme untuk membuktikan bahwa Mattulada
struktur dimana paradigma ini memiliki seorang yang positivistik melalui karya-
asumsi dasar bahwa tiap struktur atau unsur karyanya yang lain sama dengan apa yang
saling berintegrasi antara satu sama lainnya penulis lakukan pada pembahasan
dan memiliki fungsi masing-masing untuk sebelumnnya, yakni berpijakbeberapa
menjaga suatu kestabilan sosial, sebab jika asumsi dasar dari positivisme itu sendiri

40
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

sebagai berikut, Pertama, menemukan dan juga dilakukan Mattulada (1998; 409)
mengamati fakta-fakta sosial yang ada di dalam melihat pelapisan masyarakat yang
masyarakat, Kedua, merumuskan dan telah berubah seiring dengan perjalanan
mengeneralisasi fakta-fakta sosial yang panjang sejarah kebudayaan masyarkat
ditemukan kedalam suatu hukum-hukum Sulawesi Selatan yang dia simpulkan
sosial yang modelnya mirip dengan sebagai berikut:
penentuan hukum-hukum alam, Ketiga, “peristiwa ini, telah melahirkan elit baru
menggunakan kerangka berpikir ilmiah dan mengubah sistem atau status sosial
secara induktif ke deduktif, Keempat, masyarakat di Sulawesi Selatan, terbagi
merumuskan sistem klasifikasi atau tipologi menjadi tiga yakni „Kaum Anakarung
kebudayaan melalui konsep perbandingan, (bangsawan)‟, „Kaum ambtenaar
dan Kelima, berusaha menemukan dan Gubernemen (Cendekiawan)‟, dan „Kaum
merumuskan konsep fungsional dalam Hartawan (pedagang dan pengusaha)”
kebudayaan. Dalam jurnal „Antropologi Indonesia
Dalam bukunya „Sejarah, Masyarakat, No.48 (1991)‟, Mattulada dalam tulisannya
dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (1998)‟, „Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar
Mattulada berusaha untuk membuat suatu dan Kaili di Sulawesi (1991; 4-85)‟, dengan
rentetan sejarah kebudayaan Sulawesi jelas mengulangi pembahasannya dalam
Selatan yang berdasar pada fakta-fakta memandang kebudayaan Bugis-Makassar
sosial-budaya yang didapatnya dari yang sama dilakukannya dalam karyanya
berbagai sumber seperti bahan-bahan Latoa (1985) dengan mencantumkan
arkeologi, cerita-cerita rakyat, dan mitos- sejarah, pelapisan masyarakat, sistem
mitos (legenda) yang ada pada masyarakat kekerabatan, nilai panngaderreng dan siri‟.
Sulawesi Selatan. Dari hasil penelusuran Sebagai contoh Mattulada menganggap
fakta-fakta sosial masyarakat Bugis, bahwa pelapisan masyarakat yang ada di
Mattulada kemudian mengklasifikasikannya Bugis sebagai bentuk dari hukum-hukum
kedalam pembabakan sejarah kebudayaan sosial yang mengatur pandangan hidup,
Sulawesi Selatan sebagai berikut pola pikir, dan karakter masyarakat Bugis
(Mattulada, 1998; 3-5): (1991; 17):
“Pertama, kerajaan-kerajaan lokal “Pelapisan masyarakat atau stratifikasi
dan konsepsi kedatuanto manurung sosial, biasanya dianggap pula sangat
(abad XIII-XIV), Kedua, kristalisasi penting untuk dipergunakan dalam
kewilayahan kerajaan-kerajaan lokal mencari latar belakang pandangan
kesukuan yang berusaha menetapkan hidup, watak, atau sifat-sifat mendasar
identitas masing-masing dan dari suatu masyarakat. Malahan lebih
diterimanya islam menjadi agama jauh dari pada itu, akan dapat
umum rakyat sulawesi selatan (abad diungkapkan dalam warna hubungan-
XIV-XVI), Ketiga, pertumbuhan hubungannya”
masyarakat islam dan tantangan Selain pelapisan masyarakat Bugis,
menghadapi intervensi kekuatan Konsepsi ata (golongan bawah masyarakat
bangsa-bangsa barat (abad XVI-XVII), Bugis) dalam Panngaderreng menurut
Keempat, perang melawan kolonialisme
Mattulada (1991; 28) juga sebagai bentuk
dan imperialism Belanda, Inggris, dan hukum-hukum sosial yang ada pada
Portugis di Sulawesi Selatan dan masyarakat Bugis,
sekitarnya (abad XVII-XIX), Kelima,
zaman hindia Belanda (1900-1945).” “ata harus dipandang bukan sebagai
suatu lapisan sosial yang fundamental,
Usaha untuk membuat generalisasi ata hanya dapat dipandang sebagai
dengan melakukan klasifikasi yang berdasar salah satu aspek dari panngaderreng
pada fakta-fakta sosial masyarakat Bugis untuk mencegah orang Bugis-

41
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Makassar untuk, pertama menerima antara satu sama lain, keempat,


atau menyerah kepada nasib tanpa adanya kecendrungan mengelompokkan
usaha, kedua, menyerah dalam perang, diri ke dalam kelompok asli, kelima,
tanpa perlawanan habis-habisan, adanya perasaan keterikatan kedalam
sebab menjadi ata, berarti seseorang kelompok karena dipengaruhi oleh
kehilangan siri‟nya.” hubungan genealogis dan ikatan
kesadaran territorial.”
Dalam tulisan Mattulada yang
berjudul „Manusia dan Kebudayaan Bugis- Sama halnya dengan tulisan
Makassar dan Kaili di Sulawesi‟, juga Mattulada yang lain di dalam jurnal ini,
secara eksplisit menganggap bahwa Siri‟ yakni „Elit di Sulawesi Selatan (1991; 86-
sebagai sesuatu yang sakral (the sacred) 101)‟ mencoba untuk merumuskan dan
dan menjadi hukum sosial yang dapat mengklasifikasikan berbagai fakta
mengatur pola pikir kehidupan masyarakat kebudayaan masyarakat sulawesi selatan
Bugis, dan menghubungkannya dengan perubahan
pelapisan masyarakat yang sebenarnya
“..anggapan bahwa siri‟ itu bagi
tulisan ini juga memiliki kemiripan yang
orang Bugis masih tetap merupakan
hampir sama dalam karyanya Latoa (1985).
suatu yang lekat kepada martabat
Sedangkan pada tulisannya tentang „Sirik
kehadirannya sebagai manusia pribadi
dan Pembinaan Kebudayaan (1991; 102-
dan sebagai warga dari suatu
109)‟,penulis menemukan di bagian awal
persekutuan. Orang Bugis-Makassar
bagaimana Mattuada membahas tentang
menghayati siri‟ itu sebagai panggilan
konsepsi siri‟ sebagai hukum sosial yang
yang mendalam dalam diri pribadinya,
bersifat sakral (sacred) dan
untuk mempertahankan nilai sesuatu
merumuskannya dibagian akhir dengan
yang dihormati, dihargai, dan
meletakkan konsepsi siri‟ mesti
dimilikinya. Sesuatu yang dihormati,
bertransformasi dengan konsepsi pancasila
dihargai, dan dimilikinya mempunyai
sebagai suatu nilai yang berdampak
arti esensial, baik bagi dirinya maupun
terhadap bagaimana seharusnya masyarakat
bagi persekutuannya.” (Mattulada,
Bugis-Makassar berpikir, bersikap, dan
1991; 51).
bertingkah laku dalam bingkai kenegaraan
Sedangkan dalam pembahasannya (1991; 109).
tentang manusia dan kebudayaan Kaili,
“sirik pada orang Bugis-Makassar,
Mattulada berusaha untuk mengeneralisasi
kalau itu benar masih potensial untuk
berbagai fakta sosial masyarakat Kaili dan
dapat menemukan reorientasi
merumuskannya kedalam lima ciri-ciri
transformasi ke dalam interpretasi
pengelompokkan masyarakat Kaili, untuk
yang dapat menekapi etos kebudayaan
mencoba mengidentifikasi masyarakat Kaili
Nasional Pancasila, yang segenap
di masa sekarang. Pengelompokkan dan
unsur-unsurnya merupakan darah
generalisasi masyarakat Kaili oleh
daging pribadi sirik, maka niscaya
Mattulada (1991; 120) sebagai berikut:
sirik itu dapat menjadi daya dorong
“pertama, adanya alat komunikasi yang kuat bagi pembinaan kebudayaan
antara sesama orang Kaili yaitu Indonesia”.
bahasa/dialek yang memelihara
Di bagian lain dalam jurnal ini yang
keakraban dan kebersamaan diantara
menyangkut tentang kebudayaan
mereka, kedua, adanya pola-pola
masyarakat Kaili, penulis menemukan pola
sosiokultural yang menumbuhkan
yang seragam dalam tulisan Mattulada
perilaku yang dinilai sebagai bagian
untuk mengungkap kebudayaan masyarakat
dari kehidupan adat istiadat yang
Bugis-Makassar dan Kaili, dimana di
dihormati bersama diantara mereka,
tulisannya yang berjudul „To-Kaili (orang
ketiga, adanya perasaan keterikatan
42
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

kaili)‟ dan „Sekelumit sejarah kebudayaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia:


kaili‟, Mattulada berusaha menjelaskan Porspek Budaya Politik abad ke-21 (1991;
bagaimana hubungan antara Kaili dengan 5-12)‟. Dalam tulisan ini Mattulada
Bugis-Makassar, kontak seperti apa yang mengawali keyakinannya bahwa:
kedua wilayah ini lakukan di masa dulunya “ada seperangkat sistem nilai
dan persebarannya diwilayah sulawesi (mengontrol untuk tujuan harmonisasi
tengah. Dalam tulisan berikutnya, tentang atau dengan kata lain merupakan
„Modal Personality orang Kaili‟ dan „To- konsepsi dasar dari fungsionalisme
Kaili dan Hari esok‟, Mattulada juga struktur) dalam semboyan bhineka
merumuskan dan menglasifikasi berbagai tunggal ika yang terwujud dalam alam
fakta kebudayaan masyarakat Kaili ke pikiran (sistem budaya) dan batang
dalam beberapa bagian, yakni tubuhnya yang bergerak (sistem sosial)
“makna dan proses pernikahan, untuk memenuhi cita-cita ideal demi
merumuskan lima masalah dasar tujuan hidup sebagai manusia”.
dalam kebudayaan masyarakat Kaili, Dibagian akhir tulisannya yang
sistem keagamaan dan kepercayaan, berjudul „Kesukubangsaan dan Negara
bahasa dan kesusasteraan. Selain itu, Kebangsaan di Indonesia: Porspek Budaya
Mattulada membuat kesimpulan Politik abad ke-21‟, Mattulada dengan
tentang kebudayaan masyarakat Kaili cermat merumuskan dan menggeneralisasi
di masa depan, dengan akan terjadinya berbagai fakta-fakta tentang keindonesian
kontak dengan berbagai kebudayaan di secara objektif yang meliputi
luar masyarakat Kaili, akan kecendrungan-kecendrungan perkembangan
berdampak pada cairnya kehidupan global masa depan menjadi tiga hal yang
masyarakat Kaili, terlebih lagi jika menjadi tolak ukur dalam landasan ideal
masyarakat Kaili mempersiapkan yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia
generasi penerusnya dengan bekal dalam Negara republik yang berkedaulatan
pendidikan” (1991; 181-182) rakyat (1991; 11) sebagai berikut,
Secara keseluruhan, penulis “pertama, abad ke 21 mengembangkan
menyimpulkan bahwa kumpulan tulisan rujukan-rujukan kemanusiaan dengan
Mattulada dalam jurnal Antropologi pengutamaan kualitas individu dan hak
Indonesia No. 48, 1991, sangat bercirikan asasi manusia, sehingga pemerintahan
positivisme seperti apa yang dikatakan oleh Negara kurang mejadi layak disebut
Ahimsa (1997; 25-28) dengan istilah sebagai penguasa atau kekuasaan dan
„etnografi laci‟, dengan membuat lebih tepat dikatakan sebagai
klasifikasi kebudayaan masyarakat Bugis- pengelola atau manajer dalam tatanan
Makassar dan Kaili di Sulawesi Selatan masyarakat sipil, kedua, Negara-
berdasar pada fakta-fakta yang negara nasional semakin tidak populer
dikumpulkannya, merumuskan masa depan dengan timbulnya satuan-satuan atau
dengan fakta-fakta masa lalu, meyakini kelompok masyarakat yang lebih kecil
adanya nilai sosial yang menjadi hukum dalam mengantisipasi terhapusnya
sosial dan sangat erat dengan kebudayaan batas-batas kedaulatan Negara yang
Bugis-Makassar dan Kaili. diambil alih oleh wilayah-wilayah
Tulisan yang terakhir yang penulis perbatasan untuk berhubungan secara
lihat untuk lebih memastikan lagi sebuah lansung dengan wilayah batas Negara
kepastian penulis terhadap tafsir lain, ketiga, khususnya di Indonesia
epistemologi „positivisme‟ dari seorang komposisi persebaran penduduk yang
Mattulada ialah pada sebuah jurnal amat tidak merata, tidak mendukung
„Antropologi Indonesia No.58 (1999)‟ bagi kekuatan persatuan bangsa
dengan judul tulisannya „Kesukubangsaan Indonesia, karena tampilnya mayoritas

43
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tunggal dari salah satu epistemologis (hal.25-48), dalam


kelompok/golongan sebagai unsur Koentjaraningrat dan Antropologi di
persatuan yang dapat melemahkan Indonesia, Jakarta; Yayasan Obor
rasa persatuan dan kesadaran untuk Indonesia
memelihara rasa persatuan.” Bryant, 1985, Positivism in Social Theory
and Research, London:
MACMILLAN PUBLISHER LTD.
PENUTUP
Durkheim, 1984, The Division of Labour in
Setelah menganalisa dan menafsir
Society, London: Macmillan Press
epistemologis dari seorang Mattulada,
khususnya dalam kajian ilmiahnya yang Heidtman, Wysienska, Szmatka, 2000,
menganalisis tentang warisan budaya Positivism and Types of Theories in
masyarakat Bugis yakni Latoa dengan judul Sociology, Sociological Focus, Vol.
karyanya Latoa: suatu lukisan analitis 33, No. 1 (February 2000), pp. 1-26,
terhadap antropologi politik orang Bugis, Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu
penulis menemukan beberapa pola dan Antropologi, Jakarta: PT RINEKA
pandangan Mattulada yang sangat kental CIPTA
mencirikan positivisme. Tidak hanya di
dalam karyanya Latoa saja, tetapi hampir Kaplan, Manners (terj. Simatupang), 2012,
disemua tulisan Mattulada mencirikan hal Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka
tersebut. Menjadi suatu kepuasan batin Pelajar
tersendiri menyelesaikan tulisan ini sebab Mattulada, 1985, LATOA: Suatu Lukisan
sedari awal tujuan penulis yakni mengenal Analitis Terhadap Antropologi Politik
lebih jauh sosok Mattulada melalui karya- Orang Bugis, Yogyakarta: Gadjah
karyanya. Hal ini bisa dikatakan sangat Mada University Press.
subjektif tetapi penulis memahami bahwa
subjektivitas dalam ilmu pengetahuan itu _______, 1998, Sejarah, Masyarakat dan
benar adanya. Kebudayaan Sulawesi Selatan,
Terakhir, penelitian ini menjadi Makassar: Hasanuddin University
penting untuk dikembangkan lagi dengan Press.
menggunakan epistemologi berbeda untuk _______, 1991, Masyarakat dan
melihat berbagai kemungkinan yang ada di Kebudayaan Bugis-Makassar dan
dalam sejarah, polemik, dan kebudayaan Kaili di Sulawesi. Jurnal Antropologi
masyarakat Bugis. Sekaligus untuk menjadi Indonesia No.48, Tahun XV Januari-
bahan reflektif dalam kehidupan akademis, April. PP. 4-85.
khususnya dalam ilmu antropologi.
_______, 1991, Elit di Sulawesi Selatan;
DAFTAR PUSTAKA Jurnal Antropologi Indonesia No.48,
Tahun XV Januari-April. PP. 86-101.
Ahimsa, 2009, Paradigma Ilmu Sosial-
Budaya (Sebuah Pandangan), _______, 1991, Sirik dan Pembinaan
Bandung: sebuah makalah yang Kebudayaan; Jurnal Antropologi
disampaikan pada kuliah umum Indonesia No.48, Tahun XV Januari-
“paradigma penelitian ilmu-ilmu April. PP. 102-109.
humaniora” yang diselenggarakan _______, 1991, Manusia dan Kebudayaan
oleh program studi linguistik, sekolah Kaili di Sulawesi Tengah; Jurnal
pasca sarjana, Universitas Pendidikan Antropologi Indonesia No.48, Tahun
Indonesia. XV Januari-April. PP. 110-120.
_______, 1997, Antropologi _______, 1991, To Kaili (orang Kaili);
Koentjaraningrat: Sebuah tafsir Jurnal Antropologi Indonesia No.48,

44
Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

Tahun XV Januari-April. PP. 121-


132.
_______, 1991, Sekelumit Sejarah
Kebudayaan Kaili; Jurnal
Antropologi Indonesia No.48, Tahun
XV Januari-April. PP. 133-154.
_______, 1991, Modal Personalitiy Orang
Kaili; Jurnal Antropologi Indonesia
No.48, Tahun XV Januari-April. PP.
157-171.
_______, 1991, To Kaili dan Hari Esok;
Jurnal Antropologi Indonesia No.48,
Tahun XV Januari-April. PP. 172-
181.
_______, 1999, Kesukubangsaan dan
Negara Kebangsaan di Indonesia:
Prospek budaya politik abad ke-21;
Jurnal Antropologi Indonesia No.58,
PP. 5-12.
Turner, J.H, 2006, Explaining the Social
World: Historicism versus Positivism.
The Sociological Quarterly, Vol. 47,
No. 3 (Summer, 2006), pp. 451-463
Wicks and Freeman, 1998, Organization
Studies and the New Pragmatism:
Positivism, Anti-Positivism, and the
Searchfor Ethics. Organization
Science, Vol. 9, No. 2 (Mar. - Apr.,
1998), pp. 123-140

45
PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PEMANFAATAN TANAMAN
OBAT PADA MASYARAKAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE
SULAWESI TENGGARA
(LOCAL KNOWLEDGE REGARDING THE USE OF TRADITIONAL
MEDICINAL PLANTS AMONG THE TOLAKI OF THE KONAWE REGENCY
IN SOUTHEAST SULAWESI)
Raodah
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jl. Sultan Alauddin Km7 Makassar
Telp.(0411)883748/885119,Fax (0411)883748
Email: raodahtul.janna@yahoo.com

ABSTRACT
This written work aims to describe the benefits of medicinal plants utilized by the Tolaki people in
treating various illnesses. Local medicinal plant knowledge is experience-based and is passed down
from generation to generation. This research takes a qualitative approach, employing the data
gathering methods of interviews, observation, and documentation. The results of the research indicate
that a subset of the Tolaki population, especially that of the Abelisawah township, continue to make
use of concoctions made from medicinal plants in the treatment of both physical and non-physical
ailments. The medicinal plants are naturally abundant in the immediate environment, and some are
planted around people's houses to serve as family medicine plants. The treatment and administration
of the medical plant concoctions are typically performed by a medicine man (mbu' owai), who recites
a mantra according to the type of illness ailing the patient. The medicinal plants used by the people of
Abelisawa are administered to patients ranging from young children to adults. There are a few factors
that cause the people to continue using the medicine men and the traditional medicine for the
treatment of various illnesses, namely their economic state, limited access to medical and social
services, the belief in the medicine men's power to heal, the understanding of medicinal plants as safe
and free from side effects, a lack of knowledge regarding modern medicine, and convenience in terms
of time needed for treatment.
Keywords: Medicinal Plants, illness, mbu uwoai, Tolaki.

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan manfaat tanaman obat yang digunakan masyarakat
Tolaki dalam mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan lokal tentang tanaman obat diperoleh
berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Tolaki terutama yang tinggal di Desa Abelisawah
masih memanfaatkan tanaman obat sebagai ramuan untuk mengobati penyakit medis dan non medis.
Tanaman obat banyak tumbuh secara liar di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, dan sebagian
ditanam dihalaman rumah sebagai TOGA (tanaman obat keluarga). Pengobatan dengan ramuan
tanaman obat biasanya dilakukan oleh dukun (mbu’ owai) dan dibacakan mantra sesuai dengan jenis
penyakit yang diderita pasien. Pemanfaatan tanaman obat digunakan masyarakat Abelisawa mulai dari
pasien anak-anak sampai dewasa. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat masih
menggunakan dukun dan ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, yaitu faktor ekonomi,
terbatasnya tenaga medis, sosial, kepercayaan akan kemampuan dukun menyembuhkan penyakit,
tanaman obat dianggap aman dan kurang efek sampaingnya, rendahnya pengetahuan tentang
pengobatan medis, dan waktu pelayanan yang mudah.

Kata Kunci: Tanaman obat, penyakit, mbu uwoai, Tolaki.

46
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

PENDAHULUAN maupun tumbuh secara liar. Tanaman


tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat
Pengobatan tradisional pada awalnya untuk diramu dan disajikan sebagai obat
dikenal dengan jamu, yaitu ramuan dari guna penyembuhan penyakit. Pada
berbagai tanaman obat yang dianggap umumnya yang dimaksud sebagai obat
berkhasiat untuk mengobati berbagai tradisional adalah ramuan dari tumbuh-
penyakit, hingga sekarang ini jamu telah tumbuhan yang berkhasiat obat. Tumbuhan
dikembangkan dalam industri modern dan obat adalah salah satu bahan utama produk-
dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu produk jamu. Kartasapoetra (1992)
pengobatan alternatif. Setiap daerah menyatakan bahwa “Tanaman obat adalah
memiliki karakteristik berbeda-beda tentang tanaman yang berasal dari alam yang masih
pengetahuan lokal tanaman obat yang sederhana, murni belum tercampur atau
diperoleh berdasarkan pengalaman dan diolah”. Sedangkan Siswanto (1997)
diwariskan secara turun temurun. Secara menyebutkan tumbuhan obat adalah
umum yang dimaksud dengan obat “tanaman atau bagian tanaman yang
tradisional adalah ramuan dari tumbuhan digunakan sebagai bahan obat tradisional
yang berkhasiat sebagai obat yang diketahui atau jamu. Tanaman atau bagian tanaman
dari penuturan orang-orang tua atau yang digunakan sebagai bahan pemula
berdasarkan pengalaman. Tradisi dan bahan baku obat “.
pengetahuan masyarakat lokal di daerah Dalam budaya masyarakat Tolaki sejak
pedalaman tentang pemanfaatan tumbuhan lama telah mengenal pengetahuan yang
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan penggunaan tanaman
telah berlangsung sejak lama. Pengetahuan obat untuk penyembuhan berbagai
ini dimulai dengan dicobanya berbagai penyakit. Mereka mengenal adanya tokoh
tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap mempunyai
hidup. Tradisi pemanfaatan tumbuhan pengetahuan dalam hal pengendalian dan
sebagian telah dibuktikan kebenarannya penyembuhan berbagai jenis penyakit. Para
secara ilmiah, namun masih banyak yang tokoh pengobat tradisional disebut
belum tercatat secara ilmiah dan mbu’uwoai (dukun), sedang konsep
disebarluaskan melalui publikasi-publikasi. pengobatan disebut mepakuli dan penyakit
(Florentina, et.al.2006) diartikan ohaki. Konsep pengetahuan
Salah satu ciri budaya masyarakat di budaya orang Tolaki yang berkaitan dengan
negara berkembang adalah masih tanaman obat umumnya dihafalkan dan
dominannya unsur-unsur tradisional dalam disimpan dalam ingatan para tokoh
kehidupan sehari-hari. Keadaan ini pengobat dan masyarakat yang sering
didukung oleh keanekaragaman hayati yang menggunakan tanaman obat, sebagai salah
terhimpun dalam berbagai tipe ekosistem satu alternatif dalam mengobati berbagai
yang pemanfaatannya telah mengalami penyakit. Pencatatan sistem pengetahuan
sejarah panjang sebagai bagian dari menyangkut ramuan tradisional pada
kebudayaan. Penggunaan bahan alam masyarakat Tolaki dianggap sangat
sebagai obat tradisional di Indonesia telah potensial bagi usaha pelestarian, sebagai
dilakukan sejak berabad-abad yang lalu bagian dari pengetahuan budaya daerah.
terbukti dari adanya naskah lama pada daun Menurut konsep pengobatan
lontar Husodo (Jawa, Usada (Bali), tradisional orang Tolaki, bahwa suatu
Lontarak Pabbura (Sulawesi Selatan) yang penyakit timbul bukan disebabkan sesuatu
memanfaatkan berbagai tanaman untuk basil atau virus atau lainnya melainkan
menyembuhkan berbagai penyakit semata-mata karena gangguan setan atau
(Hafid,1992/1993) karena disebabkan oleh bikinan orang yang
Tanaman obat-obatan tradisional iri hati, benci melalui apa yang disebut o
adalah tanaman yang dapat dipergunakan doti nilalaeami (ilmu hitam, racun melalui
sebagai obat, baik yang disengaja ditanam
47
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

makanan dan minuman dan dengan cara budaya. Oleh sebab itu, dipandang perlu
apapun). Orang Tolaki apabila sakit lebih adanya usaha penelitian dan pengkajian
banyak menggunakan mbu’uwoai dari pada mengenai sistem pengetahuan lokal tentang
pengobatan dokter. Seorang dukun dalam bagaimana pemanfaatan tanaman obat pada
mengobati suatu penyakit menggunakan masyarakat Tolaki, sebagai salah satu
sejumlah tanaman obat, mereka meramu bagian dari sistem pengetahuan lokal
bahan obat-obatan tersebut, lalu diminum tentang pengobatan tradisional dan faktor-
atau digosokkan kebadan untuk faktor apa yang mempengaruhi masyarakat
menyembuhkan berbagai penyakit Tolaki di Desa Abelisawah masih
(Tarimana, 1993). melakukan pengobatan tradisional. Tujuan
Banyak manfaat yang dirasakan oleh penelitian untuk mendeskripsikan sistem
masyarakat dengan adanya tanaman obat, pengetahuan lokal berkaitan dengan jenis-
bahkan tanaman obat dapat menjadi salah jenis tanaman obat dan pemanfaatannya
satu alternatif yang dapat menyebuhkan untuk menyembuhkan berbagai penyakit,
berbagai macam penyakit yang sangat serta untuk mendeskripsikan dan
ekonomis. Meskipun kemajuan dalam menganalisis faktor–faktor yang
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi masyarakat Tolaki memilih
terus berkembang pesat, namun dan menggunakan pengobatan tradisional.
penggunaan tumbuhan obat sebagai obat
tradisional oleh masyarakat terus meningkat METODE
perkembangannya. Hal ini dapat dilihat Penelitian ini adalah penelitian yang
terutama dari banyaknya obat tradisional bersifat deskriptif dengan memfokuskan
dan jamu-jamu yang diproduksi oleh pada pengetahuan lokal tentang
industri-industri. Menurut Surpiono (1997) pemanfaatan tanaman obat pada masyarakat
ada beberapa manfaat tumbuhan obat, Tolaki di Sulawesi Tenggara. Pendekatan
seperti; a) menjaga kesehatan. Fakta penelitian yang digunakan adalah
keampuhan obat tradisional dalam pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
menunjang kesehatan telah terbukti secara diharapkan dapat mengungkap
empirik, penggunaannya pun terdiri atas permasalahan yang berhubungan dengan
berbagai lapisan, mulai anak-anak, remaja, penelitian ini. Dalam pendekatan kualitatif,
dan orang lanjut usia; b) memperbaiki cara hidup dan cara pandang atau
status gizi masyarakat. Banyak tanaman ungkapan-ungkapan emosi dari warga
apotik hidup yang dapat dimanfaatkan masyarakat yang diteliti mengenai suatu
untuk perbaikan dan peningkatan gizi gejala yang ada dalam kehidupan mereka
misalnya kacang, sawo, belimbing wuluh, itu justru digunakan sebagai data (Moleong,
sayur-sayuran, buah-buahan sehingga 2001).
kebutuhan vitamin akan terpenuhi; c) Lokasi penelitian di Desa Abelisawah
menghijaukan lingkungan. Meningkatkan Kecamatan Angglomoare, pemilihan lokasi
penanaman apotik hidup salah satu cara tersebut didasarkan atas pertimbangan
untuk menghijaukan lingkungan tempat bahwa di desa tersebut masih banyak
tinggal; dan d) meningkatkan pendapatan masyarakat yang masih memanfaatkan
masyarakat. Penjualan hasil tanaman akan tanaman obat untuk menyembuhkan
menambah penghasilan keluarga. berbagai penyakit. Data yang dikumpulkan
Menyadari arti pentingnya peranan dalam penelitian berasal dari dua sumber,
pengetahun pemanfaatan tanaman obat yaitu data primer dan sekunder. Data
tradisional dalam rangka pembinaan dan primer, yaitu data yang diperoleh langsung
pengembangan unsur kebudayaan daerah, melalui wawancara dengan informan yang
sebagai bagian dari integral dari upaya terdiri atas: mbu wuoi (dukun) tokoh-tokoh
pembangunan nasional, yang terkait dengan adat, masyarakat yang memanfaatkan
pembinaan karakter bangsa dan ketahanan tanamana obat. Teknik wawancara dengan

48
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

menggunakan panduan wawancara km, sekitar 1 jam perjalanan, dan dari ibu
(interview guide) dalam hal ini pengetahuan kota provinsi juga relatif dekat sekitar 16
lokal masyarakat Tolaki tentang km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
pemanfaatan tanaman obat. Data sekunder, Desa Abelisawah adalah pemekaran
yaitu data tertulis yang diperoleh dari dari Desa Sampara pada tahun 1980 dan
sumber arsip-arsip lokal yang berguna bagi definitif pada tahun1982. Pada tahun 1996
penelitian seperti, Badan Pusat Statistik, Desa Abelisawah, sebagai desa induk
dan sumber kepustakaan, seperti jurnal, dimekarkan dan terbentuklah Desa Galu
artikel, makalah, tesis, disertasi, dan sebagai pemekarannya. Nama Desa
internet. Data ini meliputi: keadaan Abelisawah dalam bahasa Tolaki berarti:
geografis dan luas wilayah, topografi dan “air yang turun dari sawah”. Secara
iklim, kondisi demografi, Desa Abelisawah. adminitratif Desa Abelisawah mempunyai
Teknik Analisis data dalam penelitian batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah
ini digunakan metode analisis deskriftif- utara berbatasan dengan Desa Andobeu
kualitatif, yaitu analisis data dilakukan Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan
sejak awal penelitian dan selama proses Kota Kendari, sebelah timur berbatasan
penelitian dilaksanakan. Data diperoleh, dengan kelurahan Lakomea, dan sebelah
kemudian dikumpulkan untuk diolah secara barat berbatasan dengan Desa Puusawah
sistematis. Dimulai dari wawancara, Jaya.
observasi, mengedit, mengklasifikasi, Desa Abelisawah mempunyai luas ±
mereduksi, selanjutnya aktivitas penyajian 122 km² yang terbagi kedalam tiga dusun,
data serta menyimpulkan data. Teknis yaitu: Dusun I Kapundepongisi (dua pohon
analisis data dalam penelitian ini beringin yang bertemu), Dusun II
menggunakan model analisis interaktif. Tentengapu (titiannya dari pohon beringin),
Pada penelitian ini, verifikasi data dan Dusun III Andobeu (wilayahnya berada
dilakukan secara terus menerus sepanjang diantara dua gunung/bukit). Kondisi
proses penelitian dilakukan. Sejak pertama geografis Desa Abelisawah merupakan
memasuki lapangan dan selama proses dataran rendah, berawa-rawa dan sebagian
pengumpulan data, peneliti berusaha untuk berbukit. Jenis tanahnya berwarna
menganalisis dan mencari makna dari data kemerahan yang relatif subur, cocok untuk
yang dikumpulkan. Pada akhirnya, data ditanami berbagai jenis tanaman termasuk
akan diinterpretasikan dalam kaitannya tanaman obat yang banyak digunakan
dengan materi penelitian. Hasil analisis data masyarakat untuk mengobati berbagai
merupakan jawaban terhadap masalah yang penyakit. Selain tanaman obat ini tumbuh
dikemukakan dalam penelitian ini. subur secara liar dibukit-bukit dan di rawa-
rawa, di sekitar wilayah Desa Abelisawah.
PEMBAHASAN Sebagian lagi dibudidayakan oleh
Profil Desa Abelisawah masyarakat melalui TOGA (Tanaman obat
keluarga), yang ditanam di pekarangan
Lokasi penelitian adalah masyarakat rumah penduduk sebagai tanaman apotek
Tolaki yang bermukim di Desa Abelisawah, hidup.
Kecamatan Anggolomoare, Kabupaten Berdasarkan data monografi Desa
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa Abelisawah tahun 2017 tercatat
Abelisawah terletak di pinggiran kota keselurahan penduduk berjumlah 480 jiwa
Kendari, merupakan jalan poros Kendari– dengan rincian 230 jiwa laki-laki dan 250
Kolaka dengan kondisi jalan cukup baik. jiwa perempuan yang terdiri dari 69 kepala
Jarak Desa Abelisawah dari ibu kota keluarga (KK) yang terbagi dalam beberapa
Kecamatan Anggolomoare ± 7 km yang suku bangsa, yaitu suku Tolaki yang
dapat ditempuh sekitar 15 menit, sedangkan merupakan penduduk asli dan beberapa
jarak dari ibu kota Kabupaten Unaaha ± 58 suku pendatang seperti Bugis, Makassar,

49
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Muna, Buton, Toraja, dan etnis Jawa. mengutamakan ilmu pengetahuan dan
Walaupun mayoritas penduduk Desa pengalaman yang dimilikinya sehingga
Abelisawah adalah suku Tolaki, namun pemilihan dalam pengobatan juga
mereka dapat menerima suku lain dan hidup dilakukan sesuai dengan tingkat
secara damai. pendidikannya. Masyarakat Desa
Berdasarkan kelompok usia balita dan Abelisawah sebagian besar masih memiliki
anak-anak 0-5 tahun dan 0–9 tahun pendidikan rendah sehingga pengetahuan
merupakan kelompok usia terbanyak, pada mereka tentang pengobatan medis masih
tingkatan ini pilihan pengobatan yang minim. Pada tingkatan ini, mereka
dilakukan apabila mereka sakit masih cenderung melakukan pengobatan dengan
banyak yang menggunakan jasa dukun menggunakan jasa dukun. Bagi mereka
utamanya dukun beranak, karena penyakit yang memiliki tingkat pendidikan lebih
yang sering diderita oleh balita dan anak- tinggi misalnya SMA dan Sarjana lebih
anak adalah panas, kejang-kejang, dan memilih pengobatan medis melalui
penyakit cacar. Apabila terjadi hal tersebut Puskesmas karena tingkat pengetahuan
biasanya mereka tidak membawanya ke mereka tentang penyebab penyakit dan
dokter, karena ada anggapan penyakit pengobatannya telah dipahami berdasarkan
tersebut hanya dapat disembuhkan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Akan
dukun. tetapi, masih ada di antara mereka masih
Pada tingkatan usia 15–25 tahun (usia berobat ke dukun, apabila penyakit yang
remaja), mereka masih tergolong sering dideritanya tidak dapat disembuhkan secara
melakukan pengobatan dengan medis, misalnya penyakit yang disebabkan
menggunakan jasa dukun karena pada usia oleh roh halus dan guna-guna.
tersebut masih dikendalikan oleh orang tua. Penduduk Desa Abelisawah memiliki
Demikian pula pada usia remaja, mereka beragam mata pencaharian, seperti petani,
sangat aktif dan sering mengalami patah pegawai negeri sipil, pensiunan, supir,
tulang. Apabila terjadi hal tersebut, mereka wiraswasta, tukang kayu/batu, buruh, dan
lebih memelih jasa dukun urut. Kalau sebagainya. Masyarakat Abelisawah
mereka menderita penyakit kerasukan roh terbanyak adalah petani, baik petani ladang
jahat, pengobatan dilakukan secara maupun petani sawah. Hasil perkebunan
tradisional oleh mbu’uwoai. berupa coklat, jambu mete, kelapa, sayur-
Untuk tingkatan usia 26–40 tahun (usia sayuran, dan sebagian dari penduduk ada
dewasa) pada umumnya menggunakan jasa yang memiliki lahan sagu. Bagi pegawai
medis yaitu berobat ke puskesmas negeri dan pensiunan selain mereka
Kecamatan Anggalomoare. Akan tetapi, menerima gaji mereka juga mempunyai
sebagian dari mereka masih menggunakan usaha tambahan yaitu bertani, berkebun dan
jasa dukun dengan alasan keuangan dan usaha perdagangan yang dilakukan selepas
jarak puskesmas yang jauh. Pada usia 50– jam kerja. Bagi penduduk yang berprofesi
60 tahun adalah usia manula mereka sebagai tukang, wiraswasta, dan buruh tetap
tergolong yang paling sering menggunakan memiliki usaha perkebunan. Hal ini
jasa dukun karena berdasarkan pengalaman dimungkinkan karena di sekitar wilayah
dan kepercayaan mereka akan kemampuan Desa Abelisawah masih cukup luas untuk
dukun yang dapat menyembuhkan berbagai diolah menjadi lahan pertanian dan
penyakit sehingga mereka lebih dahulu perkebunan.
memilih berobat ke dukun sebelum berobat Kemampuan dalam pemilihan
ke medis. pengobatan sangat dipengaruhi oleh tingkat
Pola pikir dan prilaku masyarakat pendapatan masyarakat. Bagi masyarakat
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang bermata pencaharian sebagai buruh,
yang dimiliki. Dalam hal pemilihan petani, dan tukang, mereka lebih banyak
pengobatan, masyarakat senantiasa berobat kedukun daripada ke puskesmas,

50
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

walaupun mereka memiliki kartu dana sehat baik organ-organ tubuh manusia maupun
(KDS). Berbeda halnya bagi mereka yang jiwa manusia. Persepsi masyarakat Tolaki
bermata pencaharian sebagai PNS dan tentang sehat, dengan demikian bukan
pensiunan lebih banyak yang berobat ke hanya terbatas pada kondisi stabil
puskesmas karena mereka memiliki kartu berkenaan dengan aspek jasmani,
askes, tetapi pada saat tertentu mereka ada melainkan juga meliputi aspek rohani.
juga yang berobat ke dukun apabila mereka Dalam konteks pengertian itu, maka
merasa bahwa penyakit yang dideritanya seseorang tidak dapat dikatakan sehat
adalah guna-guna. kecuali apabila orang tersebut demikian
Penduduk Desa Abelisawah semua stabil sehingga ia tidak mengalami bahkan
beragama Islam dari jumlah keseluruhan juga tidak merasakan adanya gangguan
penduduk, Desa Abelisawah terdapat satu apapun baik terhadap organ-organ tubuhnya
bangunan masjid yang digunakan maupun rohani atau kejiwaannya.
masyarakat untuk salat berjamaah dan Istilah medidohai waraka (sehat
aktivitas keagamaan lainnya. Walaupun walfiat) merupakan pengetahuan budaya
mereka penganut agama Islam, tetapi dalam orang Tolaki yang dikenal sebagai konsep
kesehariannya mereka masih melakukan kesehatan yang mengacu pada situasi
ritual yang terkait dengan kepercayaan ataupun keadaan yang mencerminkan
nenek moyangnya. Apabila mereka sakit adanya keseimbangan organ-organ tubuh
selain memohon pertolongan dari Allah swt manusia dan jiwa manusia. Selain istilah
mereka juga melakukan ritual kepada arwah mendidohai tersebut masyarakat Tolaki
leluhurnya. mengenal pula istilah ”iyepoka ku waraka
Masyarakat Tolaki di Desa niino meohaki” berarti baik-baik saja (tidak
Abelisawah sangat menghormati arwah ada gangguan kesehatan). Dalam bahasa
leluhurnya, mereka sering datang ke Tolaki mengacu pada konsep budaya yang
makam-makam untuk membersihkan dan mengandung pengertian tentang keadaan
membawakan sesajen di letakkan, lalu di seseorang yang sudah sembuh dari penyakit
atas kuburan. Perilaku ini mencerminkan yang pernah di deritanya. Pada hakikatnya
perhatian mereka kepada arwah leluhur, mencerminkan adanya keadaan seseorang
mereka mempunyai kepercayaan apabila yang sudah kuat kembali sesudah menderita
tidak memperhatikan kuburan nenek penyakit
moyang, maka arwahnya akan marah. Sakit dianggap sebagai suatu keadaan
Akibat dari kemarahan itu akan badan yang kurang menyenangkan, bahkan
menyebabkan keluarga yang masih hidup dirasakan sebagai siksaan sehingga
menjadi sakit. Agar kuburan keluarga menyebabkan seseorang tidak dapat
mereka tetap terpelihara dan terawat dengan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti
baik, kebiasaan masyarakat Tolaki apabila halnya orang yang sehat. Sedangkan konsep
ada anggota keluarganya yang meninggal personalistik menganggap munculnya
dunia dikuburkan di belakang atau di penyakit (illness) disebabkan oleh
samping rumahnya. intervensi suatu agen aktif yang dapat
berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh,
Pengetahuan Lokal tentang Kesehatan
leluhur atau roh jahat), atau makhluk
Pada masyarakat Tolaki belum manusia (tukang sihir, tukang tenung).
ditemukan adanya rumusan definitif Pengertian sakit dalam istilah
maupun konsep baku tentang persepsi masyarakat Tolaki yang digunakan sehari-
masyarakat yang bertalian dengan konsep hari yaitu meohaki. Istilah tersebut mengacu
sehat. Menurut pengetahuan budaya orang pada konsep sakit yang berarti kondisi atau
Tolaki konsep kesehatan mengacu pada keadaan fisik maupun rohani seseorang
pengertian tentang situasi ataupun keadaan yang sedang mengalami ketidakseimbangan.
yang mencerminkan adanya keseimbangan Menurut pengetahuan budaya orang Tolaki,

51
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

terjadinya ketidakseimbangan tersebut unsur panas, sementara apabila tubuh dalam


disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu keadaan istirahat, maka yang berperan
faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah unsur dingin. Jika terlalu banyak
menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan beraktivitas dan kurang istirahat akan
dalam diri manusia karena kondisi organ- mendatangkan penyakit. Demikian pula
organ tubuh manusia itu sendiri tidak sebaliknya, apabila kita tidak beraktivitas
berfungsi sebagaimana mestinya, dan kurang bergerak juga akan
disamping adanya faktor keturunan. menimbulkan suatu penyakit
Sedangkan faktor luar terdiri atas beberapa Seorang pengobat tradisional
unsur masing-masing adalah berupa mbu’uwoai juga menerima pandangan
serangan wabah penyakit, perubahan kedokteran modern dan mempunyai
keadaan suhu udara, gangguan makluk pengetahuan yang menarik mengenai
halus, keracunan, kutukan, dan berbagai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit
unsur lingkungan termasuk buatan sesama adalah sebagai berikut; sakit badaniah
manusia (guna-guna). berarti ada tanda-tanda penyakit di
Menurut konsep masyarakat Tolaki badannya seperti panas tinggi, penglihatan
penyakit atau yang dikenal dengan istilah lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur
ohaki. Orang Tolaki secara tradisional tidak terganggu, dan badan lemah atau sakit,
mengenal bahwa sesuatu penyakit timbul maunya tidur atau istirahat saja. Pada
karena disebabkan sesuatu basil atau virus penyakit batin tidak ada tanda-tanda di
atau lainnya tetapi semata-mata karena badannya, tetapi bisa diketahui dengan
keadaan cuaca, gangguan setan atau karena menanyakan pada yang gaib (wawancara,
disebabkan oleh bikinan orang yang iri hati, Jamaluddin Oktober 2017)
benci melalui apa yang disebut o doti Pandangan masyarakat Tolaki tentang
nilalaeami (ilmu hitam, racun melalui penyakit dikategorikan dari penyakit biasa
makanan dan minuman dan dengan cara yang tidak menular dan tidak berbahaya dan
apapun). penyakit menular dan berbahaya. Adapun
Masyarakat Tolaki di Desa penyakit yang dianggap tidak berbahaya,
Abelisawah mengklasifikasikan penyakit misalnya luka ringan seperti luka bakar atau
menjadi tiga jenis, yaitu penyakit biasa, luka terkena benda tajam, bisul, kutil, gatal.
penyakit karena magis, dan penyakit karena Sedangkan penyakit yang dianggap
makanan. Penyakit biasa adalah penyakit berbahaya dan menular menurut masyarakat
yang umum diderita oleh penduduk seperti Tolaki memerlukan jangka waktu yang
demam, batuk dan flu, sakit badan dan sakit lama dalam pengobatannya, misalnya
kepala yang timbul akibat perubahan cuaca penyakit humongo molua o beli (batuk dan
yang berubah-ubah. Penyakit karena magis muntah darah), morewiwi (malaria), haki
diyakini oleh penduduk timbul akibat te’meako o watu (penyakit pinggang dan
pelanggaran tata cara hidup di alam seperti kencing batu), tewuta pe’una (muntah
halnya penyakit gila, ayan, atau lumpuh. berak).
Penyakit selanjutnya menurut masyarakat Penyakit yang disebabkan oleh
disebabkan karena makanan yang tidak makhluk halus maka dukun melakukan
sehat. pengobatan dengan cara yang disebut
Demikian pula pengetahuan tentang mowea (memisahkan atau melepaskan),
terjangkitnya penyakit disebabkan oleh maksudnya memisahkan atau mengeluarkan
ketidakseimbangan kondisi tubuh dimana penyakit yang ada dalam tubuh penderita
dalam tubuh seseorang terdapat dua unsur dan dikembalikan kepada makhluk halus
yang saling mempengaruhi, unsur tersebut penyebab dari suatu penyakit. Pengobatan
adalah unsur panas dan unsur dingin. melalui mowea tersebut dilakukan dengan
Apabila seseorang melakukan aktivitas menggunakan kalo dalam versinya yang
maka yang berperan dalam tubuhnya adalah lain disebut o eno (kalung emas) yang

52
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

dilengkapi dengan kain sarung, wadah untuk mengobati pasien pada umumnya
anyaman sebagai pengalas sarung, dan hulo bersumber dari bacaan Al-Qur’an dan
taru (lampu lilin). Melalui perantara kalo bercampur dengan bahasa Tolaki. Salah
itu dukun memanggil mantera-mantera. satu mantra yang biasa digunakan untuk
Kalo dengan mantera-mantera yang mengobati berbagai penyakit berbunyi:
dipersembahkan kepada makhluk halus “Bismillahirrahmanirrahim kuonggo
yang bersangkutan dapat berdamai dengan wowaii…..(sebut nama pasien yang diobati)
si sakit karena pada dasarnya penyakit yang ari-arino ronga taariarino ombulataalah
ditimbulkan oleh makhluk halus adalah tumoorike. Mantra ini bermakna
akibat dari penyakit atau keluarganya yang kesembuhan suatu penyakit hanya Tuhan
menganggu ketentramannya. Atau karena yang menentukan, jadi manusia hanya
hubungan antara manusia dengan dunia berusaha dan bermohon kepada Yang Maha
gaib tidak harmonis adanya. Ada Kuasa (wawancara, 7 Oktober 2017)
pengobatan dukun yang berhasil dan ada Selain itu ada mantra ketahanan Tubuh
pula yang tidak berhasil. (tanggawuku) bunyinya: Bismillahirrah-
manirrahim Nabihaluru nabihelere
Mantra dalam Pengobatan Tradisional
Patonggopa owuta Patonggopa wotolu
Suku Tolaki
Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona
Mantra adalah sesuatu yang lahir dari Pehere-here’anggu Ombu ta’ala Pepoi-
masyarakat sebagai perwujudan dari poindi’anggu Nabi Muhammad. Mantra ini
keyakinan atau kepercayaan. Dalam merupakan mantra yang digunakan untuk
masyarakat tradisional, mantra atau dalam membuat tulang kuat agar tidak mudah
bahasa Tolaki disebut o’doano bersatu dan lelah. Mantra ini dilafazkan dalam rangka
menyatu dalam kehidupan sehari-hari, untuk meminta kesehatan badan dalam
seorang mbu’uwoai (dukun) yang ingin beraktivitas sehari-hari. Seperti pada
menghilangkan dan menyembuhkan suatu umumnya, mantra ini pun dimulai dengan
penyakit. Masyarakat sangat meyakini basmalah (Fitri, 2011).
bahwa pembacaan mantra merupakan Setiap mbu’uwoai memiliki mantra
wujud dari sebuah usaha untuk mencapai yang digunakan untuk mengobati
keselamatan dan kesuksesan. Kepercayaan pasiennya, sesuai dengan pengetahuan dan
tentang adanya suatu kekuatan gaib yang pengalaman yang dimiliki. Pada umumnya
mendorong mereka untuk merealisasikan mantra selalu diawali pembacaan basmalah,
kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata ini berarti bahwa masyarakat suku Tolaki
untuk memenuhi kebutuhan. Pada sangat meyakini eksistensi Tuhan sebagai
umumnya, pembacaan mantra selalu Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan
mangandung dua unsur pokok. Kedua unsur pulalah yang menentukan sehat dan
itu adalah ritual dan magis. Ritual sakitnya manusia. Manusia boleh berusaha,
merupakan tindakan atau usaha yang boleh berdoa tetapi hasil akhirnya tetap
dilakukan oleh manusia untuk “meminta” berada pada kehendak Tuhan. Tampaknya
kepada “Sang Penguasa”, sedangkan magis juga dikukuhkan oleh paham Islam dengan
lebih bersifat “memerintah” melihat teks mantra di atas. Kata Allah
Dalam ilmu pengobatan tradisional Taala “Allah swt” dan Muhammad “Nabi
masyarakat Tolaki, dukun atau mbu’uwoai Muhammad saw” menjadi petunjuk
dapat menyembuhkan penyakit karena terhadap paham Islam yang diyakini dalam
kemampuan mantra yang dibacakan sebagai lingkup masyarakat itu. Mantra di atas
suatu kekuatan sakral dan sakti yang menjadi salah satu bentuk ekspresi untuk
diperoleh melalui proses belajar dan memohon pertolongan dan rahmat dari
pewarisan dari para pendahulunya. Tuhan dan Rasulnya.
Menurut dukun Jamaluddin (55 tahun),
bahwa mantra-mantra yang dipergunakan

53
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Pengetahuan Lokal Tentang Jenis seseorang. Umumnya kepercayaan


Tanaman Obat dan Pemanfaatan untuk tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu
Mengobati Berbagai Penyakit jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh
dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan
Seperti halnya masyarakat pedalaman
dengan nilai-nilai religius.
lainnya di Indonesia, masyarakat Tolaki
Berbagai jenis tanaman yang
juga memiliki sistem pengetahuan tentang
digunakan untuk mengobati berbagai
pengelolaan keanekaragaman sumber daya
penyakit. Tanaman obat ini banyak tumbuh
alam dan lingkungan sekitarnya. Salah satu
disekitar tempat tinggal mereka.
sistem pengetahuan tersebut adalah
Berdasarkan penuturan dukun Jamaluddin
pemanfaatan tumbuhan untuk pemenuhan
(55 tahun), bahwa masyarakat Tolaki telah
kehidupan sehari-harinya, antara lain
lama mengenal berbagai jenis-jenis
sebagai bahan obat tradisional. Oleh
tanaman dan cara pemanfaatannya untuk
masyarakat, tumbuhan obat dimaksud
mengobati berbagai jenis penyakit.
adalah semua jenis tumbuhan yang dapat
Pengetahuan tersebut diperoleh dari nenek
digunakan sebagai ramuan obat, baik secara
moyang mereka dan berdasarkan
tunggal maupun campuran yang dianggap
pengalaman dan telah digunakan secara
dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu
turun temurun. Pemanfaatan tanaman obat
penyakit atau dapat memberikan pengaruh
dalam pengobatan tradisional masyarakat
terhadap kesehatan. Tidak semua
Tolaki biasanya dilakukan oleh mbu’wuoi
masyarakat Tolaki memiliki tingkat
atau diramu sendiri oleh masyarakat.
pengetahuan yang sama dalam
Adapun tanaman yang biasa dijadikan
memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut
bahan obat, yaitu :
sangat terkait dengan ilmu pengetahuan

No Nama Tanaman Manfaat Cara Pengobatan Bentuk


Obat Tanaman Tanaman
1 O’bite (Tolaki) daun Mengobati Penyakit Untuk penyakit mimisan
sirih (Indonesia), Tenggoro (mimisan) Daun sirih digulung dan
Blumea balsamifera dan robande dimasukkan kelobang hidung
(latin) (keputihan). Daun sirih Untuk penyakit keputihan
sebagai anti septik daun sirih direbus dan airnya
untuk infeksi dijadikan obat cebok
2 Sambalu dawa untuk mengobati Air perasan Asam jawa
(Tolaki) asam Jawa penyakit dicampur bubuk kopi dalam
(Indonesia) humongo/molua o’beli gelas kemudian aduk rata lalu
Tamarindus indica (muntah darah), diberi mantra dan
(Latin) diminumkan kepada
penderita muntah darah Sumber: Tribun.com
3. Takule atau tawa Untuk mengobati Daun belimbing direbus
belumbi (Tolaki) penyakit meita beli dengan tiga gelas air
daun belimbing sehingga tersisa 2 gelas
(hipertensi)
wuluh (Indonesia) diminum pada pagi sore
Sumber:
Sumber:infobuah
com
4. Munde inahu mengobati penyakit untuk penyakit bengkak-
(Tolaki) Jeruk nipis kamba-kamba bengkak yaitu :air perasan
(Indonesia), Citrus (bengkak-bengkak), jeruk nipis dicampur dengan
aurantifolia (Latin) yang terjadi pada bubuk kapur, kemudian

54
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

persendian, dan dimasukkan kedalam ember


momole/binala (keram- yang berisi air lalu diaduk
keram) dibacakan mantra dan
dimandikan kepasien

Sumber:
doktersehat.com

5. O’kudu (Tolaki) penyakit, mohida Pengobatan untuk sakit pilek


kencur (Indonesia) (pilek), mohaki ulu irisan kencur direbus dengan
Kaempferia galanga (sakit kepala), dan 3 gelas air dan tersisa 1 gelas
(latin) humongo (sakit batuk) diminum hangat Sedang
untuk sakit kepala parut 1
ruas kencur lalu ditempelkan
di kepala. Sumber: Nagaswara
fm.com
6. lo’io (Tolaki) jahe mengobati sakit satu ruas jahe diiris-iris
(Indonesia) Zingiber tenggerokan, masuk tambah gulajawa direbus
officinale (latin) angin dan obat rematik. dengan 3 gelas air dan sisa
1gelas kemudian diminum
hangat. Sedang untuk obat
rematik campur parutan jahe
dengan merica (marisa) lalu
dioleskan pada tempat sakit Sumber:
Hellosehat.com

7. O’kuni (Tolaki) mengobati berbagai 3 ruas kunyit dan 3 siung


kunyit (Indonesia) penyakit diantaranya o bawang merah ditumbuk, air
Curcuma domestica rombo (cacar) perasan ramuan ini
Val (Latin) diminumkan si penderita 3
kali sehari.

Sumber:
herba Indonesia.com
8. Lasuna momeo mengobati penyakit bawang merah di parut lalu
(Tolaki) bawang dimoreo (demam) di tempelkan pada dahi,
merah (Indonesia) sebagai kompres dilakukan berulang-ulang
Allium ascalonicum penurun panas. Kalau sampai turun panasnya.
L.(Latin) bawang putih untuk Bawang putih dibakar lalu Sumber
Bawang putih menurunkan tekanan dimakan faktualnews.com
Lasuna wila darah tinggi.
Allium Sativum
9. Padamalala (Tolaki) untuk mengobati Akar dan batang sereh utuh,
Sereh (Indonesia) haki wukua sakit dicuci dan direbus dengan 1
Cymbopogon pinggang dan sakit gigi gelas air selama 15 menit
citratus (Latin) mohaki ngisi. diminum 2 kali sehari untuk
sakit gigi air rebusan sereh
gunakan untuk kumur- Sumber: budidaya
kumur. kita.com

55
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

10. Ta’umo (Tolaki) mengobati penyakit Daun ta’umo direbus lalu


daun sembung haki oro (penyakit diminum beberapa kali
(Indonesia) Blumea kuning) sampai sembuh
balsamifera (latin)

Sumber: Jamu
obat.com
11. O’paku (Tolaki) untuk mengobati pucuk daun o’paku yang
pakis (Indonesia) penyakit okamba masih menggulung
nephrolephis (bisul) dilumatkan dan ditempel di
bisserata (Latin) pinggir bisul, tetapi jangan
sampai menutupi mata bisul,
diamkan selama beberapa
menit. Sumber:
pixabai.com
12 Tawa Sabandara mengobati penyakit segenggam daun tawa
(Tolaki) daun kudis (onggori). sabandara lalu cuci bersih
ketepeng cina obat pencahar, dan dihaluskan, dioleskan
(Indonesia) cassia parako (sembelit) pada kudis dilakukan
alata L (Latin) berulang-ulang hingga kudis
mengering. Untuk penderita
Sumber:
sembelit air rebusan daun
bukumedis.com
ketepeng diminum pada
malam hari sebelum tidur
Salumba watu digunakan akar salumba watu dicuci
(Tolaki) Sadagori menyembuhkan mohaki bersih lalu ditumbuk halus
atau sidaguri ngisi (sakit gigi). dan ditempelkan pada bagian
(Indonesia) sida lubang gigi yang sakit
rbombifolia
Sumber:Indontwork.
L.(latin).
co.id
13. Kateba (Tolaki), mengobati penyakit cabut satu batang kateba
tapak liman moreowiwi (malaria) beserta akarnya lalu cuci
(Indonesia) dan deman (moreo) bersih kemudian rebus
elephantopus scaber dengan 3 gelas air dan tersisa
(latin) 1 gelas, diminum pagi dan
Sumber: Herbalis
sore sampai demannya
Nusantara.com
sembuh.
14 Dama-dama (tolaki) mengobati lidah bayi, getah daun jarak dan oleskan
Jarak pagar apabila lidahnya pada bagian lidah bayi yang
(Indonesia) Jatropha berwana putih, maka berwarna putih
curcas L (Latin) biasanya bayi malas
menyusu ke ibunya.

Sumber:
id.wikipedia.org
15 Rare/Tulasi dahu Obat luka diantaranya segenggam tawa tulasi cuci
(Tolaki) tahi ayam, obat luka iris (moaka bersih kemudian diremas-
tembelekan(Indonesi inea) dan luka bakar remas ditempelkan pada
a), lantana camara (mohaka mohai) luka.
(latin).

Sumber: ms.
wikepedia.org

56
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

16 Tawa ngapaea mengobati penyakit meminum rebusan daun


(Tolaki) daun moreowiwi (malaria) pepaya sebanyak mungkin
Pepaya (Indonesia)
carica papaya
(Latin)
Sumber:novi-
biologi.
blogspot.com
17. Tawa dambu mengobati penyakit segenggam daun jambu biji
(Tolaki), daun jambu teuwuta peua lalu rebus dengan 3 gelas air
biji (Indonesia), (muntaber) hingga tersisa 1 gelas,
Guava, psidium diminum sampai sembuh
guajava linn (Latin).
Sumber:
manfaat.co.id
18 Balandete (Tolaki), obat untuk pengobatannya menempelkan
aka lambuang menghilangkan daun yang sudah dihaluskan
(Indonesia) ketombe dan obat luka pada kulit kepala yang
merremia paltata (moaka) berketombe dan didiamkan
(latin) penyakit hosa (sesak sejenak baru rambut dicuci
nafas dan gejala asma) bersih. Untuk penyakit hosa
kulit batang yang bergetah
Sumber:israhayati.w
direbus 3 gelas air dan tersisa
ordpress.com
1 gelas, lalu diminum sampai
sembuh.
19 Olae (Tolaki) mengencang perut dan segenggam olae direbus lalu
kecombrang alat vital pasca airnya diminum, disamping
(Indonesia) etlingera melahirkan. mengencangkan juga
sp (Latin) berkasiat untuk
mengeluarkan darah kotor Sumber:id.wikipedia
sehabis melahirkan. .com
20 Puu inea (Tolaki), mengobati penyakit tumbuk halus dan airnya di
pohon pinang peulenggora (cacingan) peras diminum satu sendok
(Indonesia), Areca makan sebelum tidur.
catechu L (latin)

Sumber:detikriau.org
21 Kumis kucing untuk melancarkan daun kumis kucing beserta
(Tolaki, Indonesia) kencing dan mengobati batangnya kemudian rebus
Orthosiphon sakit pinggang mohakia dengan 3 gelas air dan sisa 1
stamineus Benth gelas, diminum 3 kali sehari
(Latin) sampai rasa sakitnya hilang

Sumber:bio.gspot.com

57
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mereka terkadang tidak mau dirawat inap


Masyarakat Memilih Pengobatan karena takut akan mengeluarkan biaya
Tradisional besar, walaupun rata-rata dari keluarga
yang tidak mampu memiliki kartu dana
Ada berbagai faktor yang sehat (KDS), akan tetapi masih saja ada
mempengaruhi masyarakat dalam memilih obat dan peralatan medis lainnya yang tidak
pengobatan tradisional atau modern sesuai mendapat tanggungan pemerintah. Bagi
teori Green (1980), perilaku ini dipengaruhi mereka yang mempunyai pendapatan
oleh tiga faktor utama, yaitu; a) faktor rendah, baru berobat atau dirawat di rumah
predisposisi yang mencakup pengetahuan sakit apabila penyakitnya sudah parah dan
dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tidak dapat disembuhkan oleh dukun.
tradisi dan kepercayaan masyarakat Mata pencaharian penduduk, sangat
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan berpengaruh pula pada tingkat ekonomi
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat. Kebanyakan penduduk
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat mempu-nyai mata pencaharian sebagai
sosial ekonomi, dan sebagainya; b) faktor petani, buruh, dan pekerja lepas. Menurut
pemungkin yang mencakup ketersediaan penuturan ibu Hasna (40 tahun) ”Saya lebih
sarana dan prasarana atau fasilitas sering berobat ke mbu’uwoai karena
kesehatan bagi masyarakat contohnya biayanya murah, kalau saya tidak punya
fasilitas pelayanan kesehatan; dan c) faktor uang biasanya saya memberi hasil kebun
penguat pula mencakup pengaruh sikap dan seperti ubi, sagu atau ayam, sesuai
perilaku tokoh yang dipandang tinggi oleh kemampuan dan keihlasan kita. Berbeda
masyarakat contohnya tokoh masyarakat kalau saya ke dokter yang harus membayar
dan tokoh agama, sikap dan perilaku para biaya dokter dan obatnya”. Demikian pula,
petugas yang sering berinteraksi dengan pendapat ibu Muti (60 tahun) ”Untuk
masyarakat termasuk petugas kesehatan. mengobati penyakit yang tidak terlalu parah
Berdasarkan pengamatan dan biasanya saya hanya menggunakan obat
keterangan warga masyarakat di Desa tradisional dari tanaman obat sehingga tidak
Abelisawah bahwa saat ini kondisi perlu mengeluarkan biaya karena obat yang
kesehatan masyarakat sudah tergolong baik. digunakan mudah di peroleh dan lebih
Masyarakat telah memanfaat-kan fasilitas murah” (wawancara. 11 Oktober 2017).
puskemas untuk berobat dan posyandu Bagi masyarakat yang biasa menggunakan
sebagai tempat penimbangan balita dan tanaman obat untuk menyembuhkan
pemberian imunisasi. Selain pengobatan berbagai penyakit tidaklah menjadikan
medis masyarakat masih melakukan beban ekonomi karena mereka dapat
pengobatan tradisional dengan mendatangi meramu atau mengolahnya dalam berbagai
dukun dan tokoh masyarakat yang dapat cara tanpa melalui konsultasi dengan dokter
menyembuhkan berbagai penyakit. Ada yang memerlukan biaya mahal. Dalam
beberapa faktor yang mempengaruhi meramu obat tradisional masyarakat Tolaki
masyarakat Tolaki di Desa Abelisawah melakukannya berdasarkan pengalaman
untuk memilih pengobatan tradisional yang telah diwariskan secara turun temurun
antara lain: atau menggunakan jasa dukun untuk
meramu obat dengan hanya membayar
1. Faktor Ekonomi sesuai kemampuan pasien.
Mahalnya biaya perawatan di rumah 2. Faktor pelayanan medis rumit dan
sakit sangat berpengaruh terhadap pilihan terbatasnya tenaga medis
pengobatan. Bagi masyarakat pedesaan
yang memiliki tingkat ekonomi rendah, Berbelit-belitnya birokrasi administrasi
mengalami kesulitan keuangan untuk yang dibutuhkan dalam pengurusan untuk
membayar jasa pelayanan rumah sakit. mendapatkan pengobatan medis sehingga

58
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

mengakibatkan masyarakat enggan berobat fakta sehingga dengan pengaruh tersebut


ke puskesmas. Menurut penuturan warga, individu mempunyai dua sumber informasi
kalau berobat ke rumah sakit harus mengenai kenyataan, pengalaman sensorik
menunggu berjam-jam hanya untuk pribadi dan laporan serta perilaku orang-
mengambil kartu dan mengantre sebelum orang yang berada disekitarnya.
pemeriksaan dokter. Berbeda halnya kalau Maraknya informasi penggunaan
kita ke dukun, begitu datang langsung tanaman obat (herbal) pada saat ini, baik
dilakukan pengobatan. Demikian halnya lewat koran, televisi maupun penyampaian
proses pengobatan yang terlalu lama dari orang yang telah menggunakan jenis
pengobatan medis menyebabkan si tanaman obat tersebut dan telah merasakan
penderita bosan menerima peran sebagai khasiatnya, kemudian diinformasikan pula
pasien, dan ingin segera mengakhirinya, kepada orang lain. Demikian pula ada
oleh karena itu, dia berusaha mencari beberapa jenis tanaman obat yang tumbuh
pengobatan alternatif yang mempercepat di sekitar Desa Abelisawah, tetapi
proses penyembuhannya ataupun hanya masyarakat belum diketahui manfaatnya,
memperingan rasa sakitnya. Setelah berobat misalnya tanaman mengkudu, daun dewa,
ke medis beberapa lama, tapi penyakitnya sambiloto dan beberapa jenis tanaman yang
tak kunjung sembuh, maka pengobatan telah dipolulerkan orang Jawa. Berdasarkan
selanjutnya dilakukan dengan pengobatan informasi, jenis-jenis tanaman tersebut kini
tradisional. digunakan pula masyarakat di Abelisawah
Faktor sarana kesehatan seperti untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
puskemas tidak terdapat di Desa Demikian halnya informasi tentang tempat-
Abelisawah, hanya terdapat di ibukota tempat pengobatan tradisional yang ampuh,
Kecamatan Anggomero yang berjarak biasanya disampaikan melalui orang yang
sekitar 7 km. Dokter puskesmas hanya telah berhasil melakukan pengobatan di
berkunjung ke desa Abelisawah hanya tempat tersebut.
sekali sebulan. Keterbatasan tenaga medis 4. Faktor Kepercayaan akan kemampuan
yang tersedia sehingga masyarakat lebih dukun dalam penyembuhan berbagai
memilih berobat ke dukun dari pada ke penyakit
puskesmas. Menurut penuturan warga
apabila ada anggota keluarga yang sakit dan Kemampuan dukun (o’sando atau
harus cepat penanganannya, maka mereka mbu’uwoai) dalam mengantisipasi perkem-
lebih memilih membawa ke dukun untuk bangan yang ada seputar masalah
mendapat pertolongan pertama. Dukun kesehatan, dipahami pasiennya berbeda
selalu bersedia dan siap melayani pasien dengan tenaga medis seperti dokter. Dalam
kapan saja dibutuhkan, sedang kalau ke mengobati penyakit, tenaga medis (dokter)
puskesmas terbatas jam praktiknya, dan hanya bersumber dan berpedoman pada
terkadang dokter tidak ada. pengetahuan ilmu kedokteran. Berbeda
dengan dukun yang mengobati pasien tidak
3. Faktor sosial hanya sekadar memberi obat berupa
Setiap individu sejak lahir ramuan, tetapi mampu mengatasi kekuatan
berada di dalam suatu kelompok, terutama gaib yang merasuki tubuh pasiennya. Ada
lingkungan keluarga. Suatu kelompok penyakit yang tidak dapat disembuhkan
dalam lingkungan ini akan membuka secara medis, misalnya penyakit guna-guna
kemungkinan untuk dipengaruhi dan atau penyakit kerasukan. Apabila mereka
mempengaruhi anggota-anggota kelompok terkena penyakit tersebut pemilihan
lain (Notoatmodjo, 2007). Faktor sosial pengobatan dilakukan adalah mendatangi
disebabkan pula pengaruh informasional dukun dan berusaha memenuhi anjuran dan
yaitu pengaruh agar informasi yang pantangan-pantangan yang diperintahkan
diperoleh dari orang lain diterima sebagai oleh dukun.

59
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kemampuan dukun dalam genggaman tangan sebagai takaran, atau


menyembuhkan berbagai penyakit diyakini helaian yang jumlahnya berdasarkan
sebagian masyarakat karena mantra yang hitungan ganjil, 3,5,7 atau 9 lembar.
dimilikinya. Ramuan yang diberikan Kelebihan dari pengobatan dengan
kepada pasien tidak mujarab apabila tidak menggunakan ramuan tumbuhan secara
dimantrai terlebih dahulu. Demikian pula tradisional ialah tidak adanya efek samping
kepercayaan tentang kegunaan atau yang ditimbulkan seperti yang terjadi pada
kekhasiatan suatu jenis tanaman obat, tidak pengobatan kimiawi (Thomas A.N.S. 1989)
hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi Menurut pengetahuan masyarakat
sering kali dikaitkan dengan nilai-nilai bahwa mengkonsumsi tanaman obat tidak
religius. Masyarakat di Abelisawah sangat memiliki efek samping, kalaupun ada
mempercayai kekuatan mantra dari seorang efeknya kecil dibanding obat kimia yang
dukun, misalnya mantra dukun beranak diberikan dokter. Menurut ibu Hasna (45
diyakini dapat menyelamatkan ibu dan tahun), “apabila saya meminum obat yang
bayinya dari gangguan roh-roh jahat yang diberikan dokter dan merasa tidak cocok
sering terjadi pada waktu persalinan. atau pusing setelah meminumnya, maka
Kepercayaan masyarakat terhadap saya segera meminum air kelapa untuk
kemampuan dukun dalam mengobati dan membuang racun dari obat tersebut”.
menyembuhkan berbagai penyakit, sudah menurut pengalaman mereka, bahwa
diyakini oleh masyarakat Desa Abelisawah penggunaan obat tradisional seperti air
dan sebagian masyarakat yang berpikiran kelapa dapat menetralisir racun-racun
modern dan tradisional. Menurut (Agoes, dalam tubuh, sehingga masyarakat
1992). Pada umumnya para ahli menganggap obat tradisional lebih aman
berpendapat bahwa pengobatan dan (wawancara, 9 Oktober 2017)
penyembuhan tradisional merupakan sektor
6. Faktor Pendidikan dan pengetahuan.
usaha pelayanan di dalam masyarakat yang
masih banyak digunakan oleh setiap lapisan Pemilihan pengobatan pada masyarakat
masyarakat, walaupun secara sepintas lalu Tolaki di dasarkan pada tingkat pendidikan
cara pengobatan yang disajikan oleh para yang dimiliki seseorang. Masyarakat yang
pengobat tradisonal (dukun) tampak tidak berpendidikan tinggi cenderung memilih
logis dan irasional, tetapi fakta pengobatan medis, seperti halnya
menunjukkan pengobatan ini dapat masyarakat Abelisawah yang berpendidikan
menghasilkan kesembuhan bagi yang SMA dan sarjana rata-rata memilih berobat
diobati. ke dokter dari pada pergi ke dukun.
Menurut mereka pengobatan medis lebih
5. Faktor keamanan dari penggunaan
dipercaya tingkat keberhasilannya karena
tanaman obat
berdasarkan ilmu kedokteran yang tinggi
Masyarakat Tolaki memahami bahwa dan modern. Akan tetapi masyarakat
mengkonsumsi tanaman obat lebih baik berpendidikan rendah atau mereka yang
karena menganggap tanaman obat lebih tidak pernah bersekolah lebih banyak
aman dari obat kimia atau sintetis. Menurut memilih pengobatan tradisional disebabkan
mereka tidak memiliki efek samping yang kepercayaan akan kemampuan dukun dapat
dapat menimbulkan penyakit baru. menyembuhkan berbagai penyakit.
Pengetahuan ini didasarkan pada Menurut mereka, ramuan obat-obatan yang
pengalaman yang telah berlangsung lama, digunakan sudah dibuktikan khasiatnya
bahwa mengkonsumsi obat herbal sesuai berdasarkan pengalaman yang dapat
dengan takaran tidak akan menimbulkan menyembuhkan berbagai penyakit.
efek samping. Dosis penggunaan tanaman Pengetahuan merupakan hasil dari
obat apabila menggunakan daun, akar atau “tahu” dan ini terjadi setelah orang
biji biasanya mereka menggunakan melakukan penginderaan terhadap suatu

60
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan pasiennya dan segera memberi pengobatan
manusia diperoleh melalui mata, telinga dengan memberi ramuan dan meminumkan
atau kognitif yang merupakan hal yang air yang dibacakan mantra dan tak lama
sangat penting untuk terbentuknya tindakan kemudian panas badan anak saya turun.
seseorang (Notoatmodjo, 2003). Faktor Berdasarkan keterangan ini, dapat
pengetahuan tentang sistem pengobatan dikatakan bahwa waktu pelayanan pengobat
tradisional, diwarisi secara turun temurun tradisional lebih baik dibanding waktu
dari nenek moyangnya, juga berdasarkan pelayanan medis yang terbatas.
pengalaman dan petunjuk dari orang lain
yang paham dalam hal pengobatan PENUTUP
tradisional. Tidak semua masyarakat tolaki
di lokasi penelitian memiliki tingkat Pengetahuan budaya orang Tolaki
pengetahuan yang sama dalam mengenai konsep kesehatan mengacu pada
memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut pengertian tentang situasi ataupun keadaan
sangat terkait dengan ilmu pengetahuan yang mencerminkan adanya keseimbangan
seseorang. Oleh karena itu, sebelum mereka organ-organ tubuh manusia maupun jiwa
menggunakan tanaman obat, terlebih manusia. Konsep sakit (meohaki) menurut
dahulu menanyakan kepada dukun atau masyarakat Tolaki, berarti kondisi atau
kepada orang yang paham akan khasiat keadaan fisik maupun rohani seseorang
tanaman obat tersebut. yang sedang mengalami ketidakseimbangan.
Menurut pengetahuan budaya orang Tolaki,
7. Faktor waktu pelayanan terjadinya ketidakseimbangan tersebut
Terbatasnya waktu pelayanan di disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
puskesmas yang melayani pasien hanya dari faktor dalam dan faktor luar. Adapun
jam 8.00 pagi sampai 11.00 siang, konsep masyarakat Tolaki tentang penyakit
merupakan salah satu faktor masyarakat (ohaki) bahwa orang Tolaki secara
mencari pengobatan alternatif. Ketika ada tradisional tidak mengenal bahwa sesuatu
warga yang memerlukan pelayanan penyakit timbul karena disebabkan sesuatu
pengobatan diluar jam tersebut akan beralih basil atau virus atau lainnya tetapi semata-
untuk mendatangi dukun. Menurut mata karena keadaan cuaca, gangguan setan
pendapat masyarakat di Abelisawah, kalau atau karena disebabkan oleh bikinan orang
kami berobat ke dukun bisa dilakukan yang irihati, benci melalui apa yang disebut
kapan saja baik pagi, siang, maupun malam. o doti nilalaeami (ilmu hitam, racun
Mereka melayani dengan baik. Pelayanan melalui makanan dan minuman dan dengan
jasa dukun boleh dikatakan 24 jam cara apapun).
sehingga apabila ada anggota keluarga yang Jenis-jenis tanaman obat yang
sakit secara tiba-tiba, maka kami meminta dimanfaatkan masyarakat Tolaki pada
pertolongan dukun terlebih dahulu. Apabila umumnya, tumbuh di sekitar lingkungan
dukun tidak mampu mengobati baru kami mereka. Tanaman obat ini ada yang
bawah ke rumah sakit yang ada di kota dibudidayakan melalui TOGA (tanaman
Kendari. obat keluarga) pada pekarangan rumah, di
Interaksi antara penderita dan kebun-kebun penduduk, dan ada pula yang
pengobat (dukun) berlangsung kapan saja, tumbuh liar di lahan-lahan perbukitan di
walaupun pada malam hari, dukun akan sekitar Desa Abelisawah. Tanaman obat ini
mendatangi pasiennya yang membutuhkan sejak dahulu telah digunakan masyarakat
pertolongan. Seperti yang diungkapkan untuk mengobati berbagai penyakit, bagian
salah satu informan bahwa ketika anaknya yang dimanfaatkan seperti daun, batang,
sakit panas (deman) pada malam hari, ia dan buah. Pengetahuan tentang
memanggil dukun untuk mengobati pemanfaatan tanaman obat di peroleh
anaknya dan dukun berusaha mendatangi melalui pengetahuan dan pengalaman orang

61
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

yang ahli dibidang pengobatan tradisional yang hanya terdapat di ibukota kecamatan;
dan telah dibuktikan khasiatnya untuk f) Faktor waktu pelayanan yang terbatas,
mengobati berbagai penyakit. sehingga masyarakat beralih kepengobatan
Ramuan tradisional dari berbagai jenis tradisional; dan g) faktor pendidikan dan
tanaman obat, diperoleh dari nenek moyang pengetahuan, dalam hal ini pemilihan
mereka dan diwariskan secara turun pengobatan dipengaruhi oleh tingkat
temurun. Cara mengolah ramuan tanaman pendidikan masyarakatnya, apakah modern
obat dilakukan dengan merebus, atau tradisional. Demikian pula tingkat
mengoleskan, atau menempelkan pada pengetahuan yang didapatkan berdasarkan
badan pasien. Ramuan yang direbus pengalaman dan pembuktian secara nyata.
diminumkan kepada pasien dan ada juga Konsep dasar pengobatan tradisional
untuk dimandikan, sedangkan untuk olesan sifatnya manusiawi, oleh sebab itu, sistem
dan menempelkan dilakukan dengan pengobatan tersebut perlu dikembangkan
terlebih dahulu menumbuk tanaman obat karena telah berakar dan membudaya di
tersebut. Ramuan tanaman obat bisanya kalangan masyarakat. Animo masyarakat
diramu sendiri oleh si penderita atau diramu tentang pengobatan tradisional tampak pada
oleh dukun disertai pembacaan mantra. masyarakat yang bermukim di pedesaan
Khasiat tanaman obat yang digunakan yang masih banyak menganut faham-faham
masyarakat selama ini telah dibuktikan tradisional yang berorientasi pada
dengan kesembuhan berbagai penyakit. pemakaian obat-obat tradisional. Perlu
Setelah diidentifikasi, di antaranya penyebaran informasi tentang jenis-jenis
ada 21 jenis tanaman yang digunakan tanaman obat yang diketahui masyarakat
masyarakat Tolaki di desa Abelisawah dan bermanfaat sebagai ramuan obat untuk
untuk mengobati berbagai penyakit. Selain berbagai penyakit. Pemanfaatan tanaman
digunakan sebagai obat, ada beberapa jenis obat merupakan salah satu pelayanan
tanaman digunakan pula sebagai bumbu kesehatan yang dapat menunjang program
dapur, misalnya sereh, kunyit, jahe, kencur pemerintah dalam bidang kesehatan. Pada
dan jeruk nipis. Di samping itu, ada perinsipnya masyarakat di pedesaan
tanaman obat yang mempunyai manfaat mencari pengobatan yang pelayanannya
ganda misalnya tanaman pepaya dan mudah dan dan biayanya murah, oleh
kelapa, karena seluruh bagian tanaman ini karena itu, mereka memilih pengobatan
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. tradisional.
Faktor-faktor mempengaruhi masyarakat Komponen obat tradisional yang
memilih pengobatan tradisional misalnya; a) digunakan masyarakat hampir seluruhnya
faktor ekonomi terkait dengan kemampuan berasal dari tanaman sehingga dalam
pendapatan masyarakat dalam membiayai meneliti manfaat dari obat tradisional dapat
pengobatan; b) Faktor sosial, bahwa dilakukan studi komprehensif dalam bentuk
informasi pengobatan tradisional diperoleh simposium, seminar, diskusi, penelitian,
dari intraksi sesama warga masyarakat; c) dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar
kepercayaan akan kemampuan pengobat pemanfaatan obat-obat tradisional tidak
tradisional untuk mengobati berbagai menyimpang dari ketentuan dan peraturan
penyakit, hal ini terkait dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan demikian konsep ini
budaya dan religious; d) faktor keamanan diharapkan menjadi pedoman dasar dalam
dari penggunaan tanaman obat yang pengkajian lebih lanjut.
cenderung tidak memiliki efek samping
dibanding obat-obat kimia; e) faktor
kejenuhan akan pelayanan medis dan sarana
pengobatan yang tersedia, hal ini terkait
dengan berbelit-belitnya birokrasi
pelayanan medis dan sarana puskesmas

62
Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Aswar.1992. Antropologi
Kesehatan Indonesia. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Florentina, et.al.2006. Pemanfaatan
Tumbuhan Sebagai Bahan Obat oleh
Masyarakat Lokal Suku Muna di
Kacamatan Warakumba Kabupaten
Muna Sulawesi Tenggara. Jurnal
Biodeservitas Vol.7 No.4 Oktober
2006. Bogor.
Fitri Yunita Maranai, 2011. Menganalis
Mantra Suku Tolaki Tanggawuku
(Ketahanan Tubuh) Interpretasi
Semiotik Riffaterre, Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Haluoleo Kendari.
Green, Lawrence, 1980.Health Education
Planning a Diagnostik. The John
Hopkins University, May field
Publishing Company. California.
Hafid, Yunus dkk, 1992/1993. Pengobatan
Tradisional di Daerah Sulawesi
Selatan. Depdikbud. Proyek P2NB
Sulawesi Selatan.
Kertasapoetra, 1992. Teknologi
Penanganan Pasca Panen.Jakarta:
Rieneka Cipta.
Moeloeng, L. J. 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan
dan Ilmu Prilaku. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Siswanto, 1997. Sayuran dataran Tinggi.
Jakarta . penebar Swadaya.
Supriono, 1997. Kedelai dan Cara
Bercocok Tanam. Bogor Pusat
Penelitian Tanaman Pangan. Bogor.
Tariman, Abdul Rauf, 1993. Kebudayaan
Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No.3.
Jakarta. Balai Pustaka.
Thomas.A. N. S, 1989. Tanaman Obat
Tradisional. Peneribit Kanisius
Yogyakarta 55281
63
ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI
DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN
(THE PILGRIMAGE TO THE GRAVE OF SHEIKH YUSUF AL-MAKASSARI
IN GOWA REGENCY, SOUTH SULAWESI)

Renold 1 , Muh. Zainuddin Badollahi 2


Politeknik Pariwisata Makassar
Kota Makassar, Sulawesi-Selatan 90244, Indonesia
Email: renold@poltekparmakassar.ac.id
Email: muhammadzainuddinb@gmail.com

ABSTRACT
This study focuses on the ritual of the pilgrimage to the grave of Sheikh Yusuf located in the Gowa
Regency, in the province of South Sulawesi. The aim of this study was to examine the motives of
pilgrims visiting the grave of Sheikh Yusuf, the extent of their ritual and religiosity towards Sheikh
Yusuf, as well as the visible impact of the pilgrimage on economic life, political legitimacy, and
religious tourism. This study employs qualitative research methods for primary and secondary data
collection using observation, interview, and literature study techniques. The results of this study
demonstrate that a variety of motivations exist among pilgrims visiting the grave of Sheikh Yusuf.
Also, the pilgrimage can be used as a political tool for in gathering votes as a method of political
imaging. In terms of religious tourism, the pilgrimage can increase revenue in the Gowa Regency
due to visitors coming not only from Sulawesi, but also from Java, Kalimantan, Papua, Sumatra and
even from abroad. In addition, the presence of the grave of Sheikh Yusuf has a good impact on the
economy of the surrounding community.
Keywords: Pilgrimage, grave, Sheikh Yusuf.

ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada ziarah makam Syekh Yusuf sebagai seorang wali yang berasal dari
Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa
saja motivasi peziarah yang datang ke makam syekh yusuf, sejauh mana ritual dan religiusitas meraka
terhadap syekh Yusuf. Selain itu dilihat juga bagiamana ziarah makam berdampak pada kehidupan
ekonomi, legitimasi politik dan pariwisata. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Untuk memperoleh data primer dan data sekunder menggunakan teknik observasi, wawancara,
dokomentasi dan studi kepustakaan. Adapun hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat
motivasi yang berbeda-beda dari setiap peziarah yang datang ke makam syekh Yusuf, ziarah makam
dapat dijadikan sebagai legitamsi politik dalam mengumpulkan suara sebagai metode pencitraan
politik, dari segi pariwisata ziarah makam dapat meningkatkan pendapatan asli daerah Kabupaten
Gowa karena pengunjung yang datang bukan saja berasal dari Sulawesi melainkan juga dari Jawa,
Kalimantan, Papua, Sumatera bahkan dari luar negeri. Selain itu kehadiran makam Syekh Yusuf
memberikan dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat sekitar.
Kata kunci: Ziarah, makam, Syekh Yusuf.

PENDAHULUAN masyarakat Indonesia dan terwariskan


sampai sekarang, tidak hanya dilakukan
Indonesia sebagai negara yang oleh orang-orang islam saja tradisi ini juga
mayoritas penduduknya beragama islam mengakar kuat kepada aliran-aliran
memiliki tradisi ziarah ke makam, bahkan kepercayaan Indonesia ataupun masyarakat
tradisi ini telah lama dilakukan oleh atau komunitas adat juga sering melakukan
64
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi

ziarah kemakam leluhurnya. dan suku bangsa. Mereka datang dengan


Ziarah makam boleh dikatakan sebagai membawa nazar dan kepercayaannya.
suatu fenomena yang selalu ada pada setiap Kunjungan yang paling ramai terutama
umat manusia sepanjang sejarahnya, dan sebelum dan sesudah bulan puasa dan
tidak hanya dilakukan oleh orang muslim sebelum atau sesudah kembali dari tanah
namun umat beragama lainnyapun Suci Mekkah (Hamid, 1994:125).
melakukannya. Di Indonesia kegiatan Apabila diamati para peziarah
ziarah makam terlihat dengan berbagai sekurang-kurangnya sudah mengikatkan
bentuk kegiatan yang menyertainya dirinya sebagai:
perosesi ziarah tersebut pun sangat beragam 1) Anak cucu dan kerabat yang terjadi
dilakukan. karena pertalian perkawinan
Pada dasarnya setiap budaya atau 2) Orang yang mempunyai rasa hormat
tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat di kepada wali, ulama dan orang yang
berbagai daerah nusantara, pasti memiliki berjasa.
nilai-nilai positif, tak terkecuali tradisi 3) Orang yang mempunyai hajat tertentu,
ziarah kubur dalam masyarakat Bugis agar maksudnya dapat terkabul
Makassar. Bagi masyarakat Bugis Makassar 4) Orang yang ingin melepaskan nazar,
tradisi ziarah kubur selain untuk memupuk karena hajat sudah terkabul atau sudah
persatuan dan kesatuan serta rasa keluar dari malapetaka dan sembuh dari
kebersamaan antar sesama warga, juga penyakitnya
untuk mendoakan para arwah yang 5) Orang yang datang mengucapkan
dimakamkan di tempat tersebut agar diberi syukur atas keberhasilan usahanya,
ampunan, kelapangan, dan ditempatkan perbaikan nasibnya sudah tercapai atau
pada tempat yang layak di sisi Allah SWT. sudah selamat melakukan perjalanan.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Jika dilihat dari aktivitas ziarah dan
ritual adalah pola-pola pikiran yang dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
dihubungkan dengan gejala yang situs tersebut, para peziarah datang dari
mempunyai ciri-ciri mistis yang terbagi berbagai latar belakang sosial, berkumpul
kedalam empat bagian, yang salah satunya bersama dan memunajat di depan makam,
adalah tindakan religious atau kultus para berdzikir berjama’ah dengan suara jahar
leluhur, ziarah bisa disebut sebagai ritual (suara keras). Keunikan-keunikan inilah
keagamaan karena didalamnya juga yang menjadi suatu hal yang menarik dan
mengkultuskan para leluhur atau nenek perlu untuk dicermati atau diteliti mengapa
moyang yang telah meninggal yang
hal itu dilakukan, apa motivasi atau niat
didalamnya juga mempunyai ciri-ciri yang ada pada peziarah yang barang tentu
mistis. sedangkan menurut istilah tidak lepas dari berbagai hal yang
Alhamdani memberikan pengertian, memotivasi mereka.
mendatangi makam sewaktu-waktu untuk Makam dikunjungi untuk memohon
mendoakan dan memohonkan rahmat doa restu (pangestu) kepada nenek moyang,
Tuhan bagi orang yang di kubur di terutama bila seseorang menghadapi tugas
dalamnya serta mengambil ibarat dan berat, akan bepergian jauh atau bila ada
peringatan supaya yang hidup ingat akan keinginan yang sangat besar untuk
mati dan nasib dikemudian hari (hari memperoleh suatu hal (Koentjaraningrat,
akhirat) (Al-Humaidi, 2003:151). 1984:364). Dengan kata lain berkunjung ke
Ziarah makam Tuanta Salamaka atau makam sama halnya dengan tirakatan, yaitu
Kobbanga ramai dikunjungi setiap hari sama-sama untuk mencapai sesuatu yang
sepanjang tahun, sama halnya dengan diinginkan (agar keinginannya dapat
kunjungan Tuan Karamat di Afrika Selatan. terkabul).
Peziarah tersebut datang dari segala penjuru Sutardi (dalam Irmasari, 2013)
Sulawesi Selatan tanpa perbedaan agama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

65
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

ritual adalah bentuk maupun simbol yang didapatkan melalui proses belajar (Leksono,
digunakan oleh masyarakat tertentu untuk 2009:17).
mengungkapkan dan menyampaikan Fenomena budaya ziarah juga terjadi di
konsep kebersamaan yang bertjuan untuk salah satu kabupaten di wilayah Provinsi
melebur konflik keseharian yang terjadi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten
pada nilai-nilai spiritual Ritual dalam Kabupaen Gowa. Masyarakat Kabupaten
ziarah tersebut tidak selalu berupa hal-hal Gowa masih sangat mensakralkan para
seperti mantra atau dalam bentuk sesajen, leluhur pendiri Kabupaten Gowa. Inilah
tetapi bisa pula dalam bentuk pembacaan yang menjadi sejarah awal munculnya
doa-doa, tahlil, selawat yang ditujukan fenomena ziarah yang begitu massif di
untuk mendoakan orang yang dikuburkan. kalangan masyarakat Kabupaten Gowa.
Hal tersebut diperkuat oleh Yiliyatun Fenomena ziarah yang terjadi pada
(2015, hlm. 346) yang mengungkapkan masyarakat Kabupaten Gowa tidak hanya
“sebagian besar para peziarah mengakui pada kuburan-kubaran, melainkan pada
bahwa tujuannya berziarah adalah untuk tempat-tempat yang dianggap keramat.
mengenang kembali dan meneladani Fenomena ini kemudian diamini oleh
keshalehan para wali. Di samping itu juga masyarakat setempat yang berfikir bahwa
untuk bertawassul melalui berdzikir, ketika seseorang melakukan ziarah maka
berdoa, dan membaca Al-Quran sebagai orang tersebut telah mendapat suatu
bentuk refleksi keimanannya kepada Allah kekuatan serta mendapat kepercayaan dari
SWT”. masyarakat. Fakta tersebut kemudian
Ritual yang terdapat dalam ziarah membentuk suatu kesadaran umum dalam
makam tersebut yang akan menjadi tujuan masyarakat Kabupaten Gowa. Tentu
masyarakat ketika melakukan ziarah. tindakan ritual ziarah bagi sebagian orang
Tujuan dalam melakukan ziarah tersebut ialah suatu tindakan yang konyol. Namun
merupakan refleksi dalam kegiatan ritual, di penilaian tersebut, terlalu prematur bila kita
mana tujuan dari melakukan ritual adalah memandang seperti itu tanpa kita telusuri
untuk mendoakan orang yang dikuburkan, apa yang menjadi tujuan aktifitas tersebut.
meminta barakah, karamah, dan Apabila suatu tindakan bagi sebagian orang
sebagainya. konyol, akan tetapi tidak bagi sebagian
Menurut Clifford Geertz, ritual-ritual orang lain yang melakukannya.
dalam masyarakat Jawa khususnya, tidak Dalam sebuah hasil kajian Sundawati
hanya berfungsi untuk mengingatkan Trisnasari dan Akhmad Supena (2010:160)
kembali akan Tuhan, akan tetapi juga mengungkapkan bahwa ziarah adalah suatu
sebagai suatu media penghubung atau kunjungan ke tempat yang dianggap
jembatan individu manusia terhadap keramat (atau mulia, makam dan
sesuatu yang “disana” (Tuhan) (Geertz, sebagainya). Pernyataan tersebut sesuai
2013: xiii). Perilaku masyarakat yang dengan kamus besar bahasa Indonesia
demikian kemudian melahirkan pola-pola (2005:1280) yaitu berziarah merupakan
perilaku tersendiri dalam kehidupan berkunjung ke tempat yang dianggap
masyarakat. Pola-pola perilaku manusia keramat atau mulia (makam dan
kemudian akan melahirkan simbol-simbol sebagainya) untuk berkirim doa. Kegiatan
sebagai suatu ekspresi akan suatu identitas doa tersebut dilakukan baik individu mapun
yang ingin disampaikan (Syaifuddin, 2006: rombongan atau berjamaah.
76). Begitu pula dengan yang terjadi pada Ziarah kubur kini dimaknai secara
budaya Ritual ziarah, apakah ritual ziarah kreatif oleh umat islam. Studi yang
ialah suatu simbol, simbol keberagamaan dilakukan Sauqi dan Azis menemukan
tentunya. Selain itu, perilaku dan kebiasaan bahwa tradisi ziarah kubur mempunyai nilai
ritual ziarah tidak lahir dengan sendirinya, didaktis dan sosial. Nilai dan fungsi
melainkan diturunkan secara sosial dan tersebut semakin nyata jika praktik ziarah

66
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi

kubur dilakukan dimakam para auliya. wawancara untuk memperoleh data primer
Sauqi dan Azis (2017:79-86) melakukan melalui proses tanya-jawab dengan
riset dengan mengambil tempat dimakam informan.
Syekh Basyaruddin, Syekh Abdul Mursyad, Penentuan informan yaitu informan
dan Syekh Mohammad Ageng Besyari. pangkal dan informan kunci. Informan
Ketiga auliyah tersebut tergabung dalam pangkal yang sesuai dan di anggap
jaringan auliya Mataram, yaitu Kediri untuk mengetahui tentang permasalahan ini
Syekh Abdul Mursyad, Tulungangung adalah Pengurus Makam, peziarah makam
Syekh Basyaruddin dan Ponorogo untuk dan Juru kunci, yaitu orang yang telah
Syekh Mohammad Ageng Besyari. Dalam ditunjuk masyarakat untuk mengurus dan
tulisan ini hasil penggalian atas pendidikan memimpin ritual atau doa maupun
ziarah kubur dilakukan dengan memaknai mengatur aktivitas keseharian untuk
ziarah kubur sekaligus sebagai media membantu masyarakat yang berkunjung ke
dakwah islamiah. Dakwah dan pendidikan makam Syekh Yusuf al Makassari.
mempunyai orientasi yang sama yakni Data yang telah terkumpul kemudian
menyampaikan ajaran agama dan akhalakul dilanjutkan dengan tahapan analisis data
karimah kepada sasarnnya. Ketuka suatu secara deskriptif kualitatif. Analisis ini
tradisi seperti ziarah makam digunakan merupakan tahapan pengolahan,
sebagai suatu sarana dakwah, sebenarnya pengelompokan dan penjabaran data yang
pesan yang terkandung didalamnya juga terkumpul sesuai dengan kebutuhan untuk
sedang mengkonstruksi nilai pendidikan. menjawab permasalahan penelitian
Dalam penelitian Fred W. Clothey (Moleong., 2000:190).
dalam Bourideu (2012), legitimasi agama
dalam suatu kekuasaan sangat berpengaruh,
setidaknya dalam masyarakat Asia Selatan PEMBAHASAN
dan Asia Tenggara. Dalam penelitian Syaikh Yusuf Al-Makassari dilahirkan
tersebut, Clothey menjelaskan bagaimana di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan pada
mitos-mitos dan nilai-nilai keagamaan tanggal 3 Juli 1626 M (Mustafa, 2011: 17).
dalam masyarakat India sangat berperan Sejak kecil Syaikh Yusuf Al-Makassari
besar dalam pencapaian suatu kekuasaan. diangkat sebagai anak oleh raja Gowa,
Bagaimana agama memberikan legitimasi, yakni Sultan Alauddin. Sejak masa kecilnya
atau setidaknya kesempatan meraih Syaikh Yusuf Al-Makassari telah
kekuasaan, atau dalam hal ini ialah menampakkan kecintaannya pada
kesempatan politik. Fakta tersebut juga pengetahuan Keislaman, terlihat dengan
terjadi dengan apa yang terjadi pada dimulainya pendidikan agama yang
masyarakat Kabupaten Gowa. Bagaimana diperolehnya dari Daeng ri Tassamang,
aktifitas ritual ziarah kubur dijadikan guru agama kerajaan Gowa. Syaikh Yusuf
sebagai suatu ajang mendapatkan legitimasi Al-Makassari banyakmelakukan perjalanan
dan simpati publik dari masyarakat. ke berbagai tempat untuk memperdalam
ilmunya. Beliau menuju Aceh setelah
METODE cukup menimba ilmu di Banten. Beberapa
tempat selain Banten dan Aceh yang
Penelitian ini menggunakan metode dikunjungi Syaikh Yusuf Al-Makassari
penelitian kualitatif. Untuk memperoleh antara lain Yaman, Mekkah, dan Damaskus
data primer dan data sekunder sebelum kembali lagi ke Banten. Pada usia
menggunakan teknik observasi, wawancara, 38 tahun, Syaikh Yusuf Al-Makassari
dokomentasi dan studi kepustakaan. berangkat dari Mekkah ke Banten pada
Observasi menggunakan untuk memperoleh tahun 1664. Didapatinya sahabatnya
data primer melalui pengamatan seksama Pangeran Surya, menduduki tahta
dari tradisi ziarah kubur di makam Syekh kesultanan Banten dengan nama Sultan
Yusuf al Makassari, sedangkan teknik
67
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan pasukan Belanda secara sembunyi-
gelar Sultan Ageng Tirtayasa (Hamid, sembunyi. Menurut Syaikh Yusuf, sangat
1994: 95). Syekh Yusuf belajar belajar sulit untuk mengadakan perang terbuka
mengaji kepada guru kerajaan Daeng ri melawan Belanda karena persenjataan
Tasammang (Lubis, 1996:20). Banten jauh lebih lemah dan banyak
Sejak kekalahan dalam Perang kekurangan kalau dibandingkan senjata
Makassar banyak bangsawan, saudagar, dan Belanda (Hawash, 1980:72-73).
pelaut Makassar yang meninggalkan Syekh Yusuf tidak hanya dipandang
kampung halamannya pergi merantau ke sebagai pahlawan bagi masyarakat Bznten
seluruh kepulauan Nusantara. (Bruinnessen, tetapi juga sebagai wali oleh masyarakat
1995:268) Para pengungsi Makassar dan Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten
Bugis generasi awal telah beradaptasi Gowa. Hingga saat ini makam Syekh Yusuf
dengan baik di lingkungan barunya. tak pernah sepi pengunjung. Lestarinya
Kebanyakan orang Bugis kemudian tradisi ziarah kubur di makam Syekh Yusuf
menetap di wilayah kepulauan Riau dan oleh umat Islam tidak terlepas dari
Semenanjung Malaya, sementara orang penghormatan terhadap Syekh Yusuf yang
Makassar di Jawa dan Madura. Sedangkan diyakini sebagai wali dan leluhur oleh umat
dalam jumlah kecil mereka menyebar Islam. ziarah makam dilakukan dengan cara
hampir di seluruh wilayah kepulauan menghormati roh para leluhur. Menurut
Nusantara. Pejuang Makassar dan Bugis keyakinan Islam, orang yang telah
diterima dengan cukup baik oleh meninggal dunia, sesunguhnya rohnya masi
Kesultanan Banten. Peranan pejuang tetap hidup dan berada tinggal sementara di
Makassar dan Bugis yang anti Kompeni dalam alam kubur atau alam Barzah,
Belanda cukup berpengaruh dalam sebelum akhirnya masuk ke alam yang
perjuangan untuk membendung penetrasi kekal atau Akhirat. Issatriyadi mengatakan
Belanda di Banten. Para pejuang Makassar orang yang telah meninggal, rohnya tetap
dan Bugis tersebut juga ingin membalaskan hidup. Kepercayaan tersebut yang telah
dendam atas kekalahan yang dialami dalam mewarnai alam pikiran masyrakat Islam
perang Makassar. Perjuangan mereka juga Jawa. sehingga manusia yang hidup, bisa
dijiwai oleh ideologi anti kafir. Mereka melakukan kontak dengan mereka yang
memandang bahwa Jawa merupakan telah meninggal dunia (Issatriyadi.,
benteng pertahanan terakhir terhadap agresi 1977:7).
Belanda, sehingga kesatuan kontingen Berdasarkan kepentingan masing-
Makassar dan Bugis berdatangan ke masing peziarah, salah satunya adalah
Banten. kegiatan para peziarah yang dilakukan di
Banyaknya orang-orang Makassar dan makam Syekh Yusuf, Hal tersebut
Bugis yang berdatangan ke Banten berdasarkan kognitif atau pengetahuan dari
membuat Syaikh Yusuf Al-Makassari ingin masing-masing peziarah. Ziarah sendiri
mengadakan kerja sama dengan mereka. sudah menjadi salah satu tradisi atau
Untuk melawan pasukan-pasukan Belanda budaya masyarakat umat Muslim di makam
yang berjumlah cukup banyak, maka Syekh Yusuf, mereka melakukan tradisi
Banten membutuhkan banyak pasukan juga. tersebut dengan cara melakukan ritual dan
Syekh Yusuf tidak mengharuskan hanya menghormati roh leluhur dengan berbagi
orang Banten saja yang bisa bertempur, macam motivasi seperti ekonomi, spiritual,
namun orang-orang dari berbagai daerah rekreatif, sosial dan kesehatan.
bisa ikut berperang melawan penjajah
Aktivitas Ritual dan Motivasi Ziarah
Belanda. Syaikh Yusuf Al-Makassari
mempunyai saran untuk membentuk Bagi peziarah, ziarah bukan saja
pasukan khusus baik dari orang Banten, sebuah urgensi honoritas atau
Bugis, dan Makassar untuk menyerang penghormatan terhadap perjuangan nenek

68
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi

moyang baik dalam penyebaran agama 2015:54). Seperti seorang peziarah yang
Islam ataupun dalam memperjuangakan berprofesi sebagai karyawan, dia
kemerdekaan tanah ini saja. Mereka juga menyempatkan ziarah ke makam Syekh
merupakan media dialogis antara Yusuf hanya sebagai salah satu instrumen
masyarakat dengan otoritas Ketuhanan yang dalam menghadapai masalah. Sebenarnya,
tidak terwakili dalam teks besar agama. dia mengetahui cara menyelesaikan
Masyarakat yang secara teologis masalah di tempatnya kerja akan tetapi,
merasa lemah dalam relasi vertikalnya untuk memperkuat rasa percaya diri dia
dengan Tuhan. Karena itu mereka menyempatkan diri untuk berziarah dalam
membutuhkan satu ruang kreatif baru yang rangka memperkuat spiritualitasnya sebagai
dapat menyambungkan dimensi relasi seorang pekerja. (Wawacara, Dg. Ngalle 20
tersebut. Karena kepercayaan terhadap wali Februari 2019).
yang memiliki karomah dan barokah Ziarah Penuturan lain diberikan oleh Juru
merupakan salah satunya. Kunci Makam Syekh Yusuf beliau
Dalam ziarah tergapai hasrat untuk mengaku;
mediumisasi (tawassul) antara manusia “Saya kurang lebih 10 tahun jadi juru
dengan Tuhan melalui para wali. Bagi para kunci. Ini pekerjaan dilakukakan secara
peziarah, berkah dan karomah yang dimiliki turun termurun mulai dari nenek dulu,
oleh para wali merupakan hasil yang ingin sekarang kalau dihitung-hitung saya sudah
dicapai lewat prosesi tersebut. Contohnya, generasi ke 7. Profesi sebagai juru kunci
ini langsung ji diturunkan dari orang tua ke
dengan berziarah dimakam Syekh Yusuf. anak yang dianggap mampu jadi tidak ada
Yang selalu membacakan tawasul, di balik sangkut paut dengan kerajaan. Profesi juru
pembacaan tawasul dan hadiah bacaan Al- kunci itu dipegang seumur hidup jadi nanti
Quran sebenarnya terselip maksud si meninggal juru kunci yang lama baru
peziarah datang ketempat ini walaupun para digantikan dengan juru kunci yang baru.
peziarah tidak secara terang-terngan Dulu banyak peziarah yang melakukan
mengakui maksud dann tujuaanya. ritual-ritual dimakam syekh Yusuf sperti
Peziarah merasa bahwa beban dialogis membakar lilin merah dan membawa
tersebut akan menjadi lebih kualitatif sesajen tapi selam saya menjadi juru kunci
manakala ritualisme di kaitkan dengan hal seperti itu saya larang. Jadi untuk
dimensi yang tidak terukur dalam teks sekarang sudah tidak ada lagi praktik
seperti itu dilakukan oleh peziarah.
agama. Makam-makam itu adalah tempat Peziarah yang datang memjatkan doa
mengungkapkan semua dambaan hatinya. kepada Allah SWT tetapi melalui perantara
Dibandingkan masjid yang seakan-akan Syekh Yusuf karena dianggap sebagai wali
mencekam karena kosong, makam-makam Allah SWT. Waktu yang paling ramai bagi
wali menghibur hati karena kehadiran peziarah datang berkunjung itu pada waktu
kekeramatannya. Pada dasarnya makam libur akhir pecan, libur nasional,
bukanlah tempat suci dimana orang menjelang puasa, idul fitri dan idul adha.
bersembahyang kepada Tuhannya, Kalau untuk 1 muharram dan 10 muharram
melinkan tempat orang memohon kepada itu rata-rata peziarah tawassyurah (dzikir).
seorang manusia suci. Selama menjelang pemilihan politik ada
Lazimnya para peziarah ke makam juga beberapa caleg yang datang
berziarah. Rata-rata peziarah yang datang
adalah orang-orang yang bertujuan untuk
telah mengenal sosok Syekh Yusuf dan bagi
dapat menyelesaikan masalah. Diantara peziarah yang belum mengenal mereka
mereka kebanyakan memiliki pemikiran biasaya ingin melihat foto Syeh Yusuf.
yang kritis dalam memecahkan masalah Nilai-nilai yang diteladani, amalan dari
yang dihadapi. Artinya, selain Syekh Yusuf, kesabaran, ibadahnya terjaga,
memanfaatkan ziarah sebagai media banyak bersalawat dan banyak bersyukur
pemecahan masalahnya, mereka juga tidak kepada allah. Tidak ada jam khusus untuk
meninggalkan ikhtiar lahiriah (Pakar, kunjungan tergantung dari jadwal bangun

69
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

saya. Kadang juga tengah malam banyak informasi tentang Syekh Yusuf ka ada ji
habib-habib yang datang untuk dzikir dari juru kuncinya yang bertugas selama 24 jam.
berbagai macam daerah kadang juga ada Kalau saya hanya bertugas dari pagi sampai
yang dari luar negeri. Kadang ada juga sore. Kalau orang dari Jawa banyak datang
yang datang subuh tergantung dari tengah malam. Jadi orang datang kesini
kehendak Allah SWT. Jika dibandingkan
bukan hanya karena gampang dijangkau
dengan dulu dan searang, masih lebih
banyak pengunjung yang datang dulu kerana sejak dari dulu memang sudah ramai
daripada sekarang meskipun akses jalanan pengunjung mungkin karena faktor
menuju makam terbilang jelek. Jadi kalau ekonomi atau ada keperluan lain.
untuk bantuan pengelolaan dari pemerintah Para peziarah makam Syekh Yusuf
itu kurang, maka dari itu untuk sebagian besar merupakan penduduk atau
pengelolaan makam kami selaku pengurus warga masyarakat yang berasal dari daerah
menggunakan uang celengan dari peziarah Sulawesi Selatan. Mereka juga bukan ahli
dalam hal renovasi dan mempercantik atau kerabat kesulatan Gowa Tallo.
makam. Sebenarnya kami dinaungi oleh Kehadiran mereka, tidak diragukan, ke
yayasan hanya saja dalam praktek kompleks makam pada mulanya untuk
pengelolaannya masih kurang aktif,
berziarah ke makam Syekh sebagai
yayasan makam Syekh Yusuf didirikan pada
tahun 1980-an jadi sebelum itu kami selaku perwujudan dari rasa khidmah kepada salah
juru kunci yang mengelolah makam secara sorang wali dan figur yang menjadi
swadaya” (wawancara: Mujibur Bin abdul penyebab masyarakat Sulawesi Selatan
Jalil (48 tahun) juru kunci). menjadi hamba Allah yang beriman
(mu’min billah), menganut dan
Hal ini dibenarkan ula oleh H.
menghamalkan ajaran agama-Nya. Secara
Muhammad Yunus Dg. Liong (73 tahun)
sepontan mereka kemudian mendapatkan
pembaca doa kurang lebih menjadi
nilai-nilai baru yang sangat berkesan. Nilai-
pembaca doa selama 49 tahun. Kalau saya
nilai baru itu kemudian menjadi pendorong
disini tidak hanya baca doa untuk makam
(sugesti) mereka untuk lebih mengetahui,
Syekh Yusuf karena disini banyak juga
mengenal dan memahami eksistensi dan
makam yang lain jadi tergantung
esensi yang sebenarnya. Menurut penuturan
permintaan peziarah. Peziarah yang datang
seorang informan ketika pertama kali
ada dari keturunan ada juga dari ana
berziarah menemukan hal-hal baru yang
gurunya (tarekatnya Halwatiah Yusuf).
sebelumnya tidak dijumpainya dalam
Kalau disini kompleks makam Syekh Yusuf
kehidupan sehari-hari. Dia merasa harus
ada 3 orang pembaca doa. Untuk
datang kembali untuk berziarah karena
pembangunan infrastruktur di makam
bermaksud mengetahui dan mengenal lebih
Syekh Yusuf ini berdasarkan swadaya
jauh nilai-nilai baru di dalam tradisi ziarah
masyarakat. Yayasan Makam Syekh Yusuf
kubur di kompleks makam Syekh Yusuf
ditunjuk sebagai pengelolah makam,
(Wawancara: Jamaluddin 15 Februari
ketuanya tinggal dijalan Kumala. Yang
2019).
mengelolah yayasan itu dari keturunan
langsung Syekh Yusuf. Jadi semua Ziarah Makam Sebagai Legitimasi
pengurus yayasan itu dari keturunan Politik
langsung Syekh Yusuf. Menjelang bulan Fenomena budaya ziarah juga terjadi di
puasa ramai peziarah datang dan sesudah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya
lebaran haji. Pokoknya musim-musim haji. di Kabupaten Gowa. Masyarakat
Kalau tujuannya datang untuk ziarah Kabupaten Gowa masih sangat
sebagai bentuk rasa syukur. Ada juga yang mensakralkan ziarah makam Syekh Yusuf.
datang minta jodoh dan rejeki tapi kita Sudah menjadi kewajaran ketika seseorang
arahkan untuk minta kepada Allah SWT hendak mencalonkan diri dalam pemilihan
jadi makam hanya media saja. Jadi kalau Legislatif maupun Eksekutif, maka orang
ada peziarah datang kesini kita juga kasi

70
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi

tersebut akan melakukan ritual ziarah dalam kontestasi politik, setidaknya untuk
terhadap makam para leluhur. Contoh yang masyarakat Kabupaten Gowa. Modal
paling jelas dan masih eksis sampai alternatif yang cukup menjanjikan
sekarang ialah dalam kasus pemilihan dikeranakan bekerja dengan cara yang baik
kepala desa, dimana setiap calon kepala dalam masyarakat Kabupaten Gowa Ziarah
desa seakan berlomba-lomba untuk ziarah kubur bekerja dengan cara kerja teori
ke kuburan-kuburan leluhur tersebut. Hal simbol, dimana ia merepresentasikan
demikian seakan menjadi alat legitimasi kehidupan sosial keagamaan masyarakat
untuk mendapatkan simpati dan kekuatan Kabupaten Gowa. Ziarah kubur
dari masyarakat itu sendiri. dipraktekkan masyarakat Kabupaten Gowa
Ritual ziarah dalam hal ini dapat secara terus menerus sehingga menjadi
disebut sebagai latar dimana yang akan konsep yang dapat diterima secara luas
mempengaruhi cara masyarakatnya dalam sehingga mempengaruhi perilaku
bertindak politik, khususnya berdemokrasi. masyarakatnya. Selain itu, dengan
Hal ini ditegaskan juga dalam antropologi berhasilnya Ziarah kubur dalam
politik, dimana pengejawantahan nilai-nilai menciptakan ruang baru dalam mobilisasi
dan hakikat demokrasi juga akan sangat politik, dapat dijadikan sebagai modal
ditentukan oleh kultur atau budaya setempat berbasis budaya. Jenis modal tersebut oleh
( Jurdi, 2014:126). Pemahaman tersebut Pierre Bourdieu disebut dengan Cultural
berimplikasi bahwa dalam demokrasi, jika Capital, yang mana sebagai salah satu
seseorang tidak bisa mengikuti cara hidup alternatif modal dalam mewujudkan suatu
masyarakatnya, maka dia tidak akan bisa usaha, dalam hal ini karir politik.
memenangkan demokrasi. Oleh karena itu,
Ziarah Makam dan Dampaknya
modal budaya sangat diperlukan dalam
Terhadap Ekonomi
berdemokrasi, khususnya di Indonesia.
Ekspresi politik tersebut, salah satunya Dengan keberadaan tradisi ziarah
ialah kesempatan politik berupa medium makam tersebut membawa perubahan
mobilisasi politik. Mobilisasi Politik dalam dalam masyarakat sekitar Makam Syekh
ziarah kubur telah terjadi pada masyarakat Yusuf yang berada pada. Masyarakat
Kabupaten Gowa. Ziarah kubur bukan memanfaatkan keberadaan tradisi ziarah
hanya dipandang sebagai ziarah kubur tersebut sebagai tempat untuk mencari
sebagaimana orang umum melakukannya, nafkah sehingga terjadilah arus sosial-
akan tetapi terdapat unsur-unsur politik di ekonomi pada masyarakat di sekitar
dalamnya. Masyarakat Kabupaten Gowa Makam.
mendorong para elit untuk pergi dan Sehingga secara umum dapat dikatakan
melakukan Ritual ziarah kubur ke tempat- bahwa keadaan social-ekonomi suatu
tempat leluhur dan dianggap keramat ketika masyarakat akan saling bersangkutan antara
musim pemilu tiba. Dengan demikian, baik satu sama lain. Karena dalam kehidupan
disadari maupun tidak muncullah peluang seseorang di mana tidak dapat dipisahkan
untuk meraih simpati publik, yaitu dengan antara faktor sosial dan ekonomi, namun
cara mengikuti keinginan masyarakat faktor sosial tersebut akan menentukan
Kabupaten Gowa. Walaupun memang tidak tingkat ekonomi maupun sebaliknya.
semua melakukannya namun banyak elit Terlihat di mana aktivitas sosial masyarakat
politik di Kabupaten Gowa yang dalam melakukan tradisi ziarah berdasarkan
melakukannya. Oleh karena itu terjadilah kepercayaan yang masyarakat yakini hingga
mobilisasi politik oleh para elit politik saat ini menjadikan kebermanfaat bagi
Kabupaten Gowa dengan menggunakan masyarakat dalam bidang ekonomi.
Ritual ziarah kubur. Namun, tetap saja aktivitas dan
Ziarah kubur sebagaimana telah kepercayaan masyarakat akan tradisi ziarah
dijelaskan, telah menjadi modal alternatif tersebut tidak mengalami perubahan.

71
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Masyarakat sekitar makam Syekh Yusuf Dalam kegiatan ziarah kubur yang
masih tetap mempercayai dampak positif dilakukan oleh masyarakat tidak hanya
yang akan dirasakan ketika melakukan melibatkan masyarakat Kabupaten Gowa,
ziarah karena ziarah memang merupakan hal ini juga dilakukan oleh peziarah yang
sunah Rasul yang tetap dijalankan sampai datang dari daerah- daerah lain.
saat ini. Justru dengan adanya tradisi ziarah Keterlibatan pengunjung atau peziarah
ini membawa perubahan yang tersebut tidak disia-siakan oleh masyarakat
mensejahterakan masyarakat. sekitar yang menjadi pedagang. Sehingga
Dampak ekonomi yang ditimbulkan peluang usaha di daerah ini semakin baik
bagi peziarah yang datang ke makam dan semakin menguntungkan masyarakat.

Syekh Yusuf al Makassari adalah Zainuddin (2008:754) mengungkapkan
hubugan timbal-balik atau principle of bahwa di dalam masyarakat maju dan
resiprosity antara masyarakat sekitar yang berkembang, perubahan sosial dan
berprofesi sebagai penjual dengan peziarah kebudayaan selalu berkaitan dengan
dapat membantu penjual untuk pertumbuhan ekonomi”. Lambat-laun
mendapatkan maanfaat ekonomi persepsi keberadaan peziarah pun semakin
(Koentjaraningrat., 1981:165). Sedangkan meningkat yaitu dianggap sangat positif.
keuntungan bagi para peziarah adalah Dengan banyaknya masyarakat atau
mendapatkan berkah dan keberuntungan peziarah yang datang ke makam tersebut
dari apa yang mereka lakukan dalam akan memberikan peluang kerja kepada
berziarah ke makam Syekh Yusuf al masyarakat sekitar makam. Maka secara
Makassari. otomatis ekonomi masyarakat setempat
Menurut penuturan beberapa infroman mengalami perubahan. Masyarakat
kehadiran Makam Syekh Yusuf memanfaatkan keramaian untuk mencari
memberikan dampak ekonomi bagi rezeki. Ada saja yang mereka lakukan,
masyarakat sekitar. Kehadiran makam misalnya dengan berjualan makanan,
syekh Yusuf tidak hanya memberikan minuman, cinderamata, kembang setaman,
manfaat dari segi religiusitas tapi juga bahkan ada juga yang membuka tempat
berdampak pada kehidupan ekonomi parkir bagi peziarah yang datang ke
masyarakat yang tinggal disekitar makam. kompleks makam Syekh Yusuf.
Karena kita berdayakan beberapa orang
Ziarah Makam Sebagai Aktivitas
untuk bersihkan makam baru kita gaji,
Pariwisata
diluar mkaam juga banyak yang jual bunga
dan makanan itu secara tidak langsung Makam dapat dikatakan sebagai cagar
membantu kehidupan ekonomi masyarakat. budaya yang memiliki nilai historis yang
Jadi meskipun Syekh Yusuf dikatakan telah panjang, kebanyakan para peziarah datang
meninggal dunia tetapi beliau masih ke makam raja-raja atau penyiar agama
memberikan kemaslahatan untuk ummat. islam. Hal ini dapat dikatkan sebagai sisi
Selain itu Tidak ada tarif khusus untuk religiusitas dari para peziarah. Keterkaitan
ziarah makam, tergantung dari keikhlasan sejarah antara keduanya sangat berpengaruh
mereka kadang Rp 1.000- Rp 5.000. kadang ke intensitas kunjungan.
ada juga yang tidak kasih tergangung dari Setiap ada keramaian pada suatu obyek
keadaannya itu orang (Wawancara: Mujibur wisata pasti membawa peningkatan
Bin abdul Jalil (48 tahun) juru kunci). pendapatan rumah tangga pada masyarakat
Makam Syekh yusuf juga memberi dampak sekitarnya, karena dengan banyaknya
ekonomi bagi masyarakat karena banyak pengunjung yang datang ke tempat tersebut
yang jual kembang, buka warung, jadi dapat memberikan peluang kerja bagi
tukang parkir (wawancara; H. Muhammad masyarakat sekitar makam. Hal demikian
Yunus Dg. Liong (73 tahun) pembaca doa). dikarenakan tradisi ziarah makam
merupakan daya tarik wisata religi yang

72
Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi

kuat disamping kharisma seorang Syekh kementrian kebudayaan dan pariwisata


Yusuf yang dapat memberikan keberkahan, disebut dengan 
wisata minat khusus.
kedua hal ini memiliki magnet yang sagat Kegiatan ziarah ini tentu saja dapat
kuat untuk menarik peziarah yang mencari menghasilkan PAD bagi pemerintah
keberkahan maupun wisatawan yang ingin setempat, tidak hanya itu dengan adanya
melihat-lihat saja. Menurut penuturan tempat-tempat ziarah ini juga ternyata
seorang informan: dimanfaatkan oleh warga setempat untuk
Paling banyak peziarah dari Sulawesi mengais keuntungan dengan mendirikan
Selatan tapi ada juga dari Jawa, tempat-tempat jualan pernak-pernik ziarah
Kalimantan, Sumatera. Kalau menurut dan makanan.
sejarah peziarah datang kesini makam
dimulai sejak ini syekh Yusuf dimakamkan PENUTUP
disini sekitar abad ke-17. Kalau masalah
promosi kita tidak pernah lakukan karena Berziarah kemakam sudah menjadi
ada pemerintah yang mengurus, jadi kalau tradisi yang sangat umum bagi sebagain
ada wisatawan datang tempat pertama yang masyarakat muslim, sehingga siapapaun
dia kunjungi makam Syekh Yusuf dulu dapat menjadi peziarah. Mulai dari anak-
baru ke Mesjid Katangka, Makam Sultan anak yang di bawa oleh orangtuanya
Hasanuddin, Balla Lompoa setelah itu baru remaja, dan orang tua bisa kita temukan di
ke benteng Somba Opu. Jadi disini ita kedua makam keramat ini.
sediakan mesjid yang dilengkapi toilet dan Ziarah makam bukan hanya sebagai
tempat air wudhu jadi gampang kalau suatu kegiatan rohani guna mendoakan
peziarah mau beribadah (Wawancara: H. orang-orang yang sudah meninggal. akan
Muhammad Yunus Dg. Liong (73 tahun) tetapi juga terdapat tendensi-tendensi atau
Pembaca Doa). ekspresi politik didalamnya. Ekspresi
Pernyataan diatas juga dibenarkan oleh politik tersebut melahirkan jaminan
Juru Kunci Makam Syekh Yusuf ia kesuksesan atau paling tidak kesempatan
mengatakan bahwa; Peziarah yang datang politik yang cukup besar dalam dinamika
dari jawa, Kalimantan pokoknya semua politik masyarakat Kabupaten Gowa.
propinsi sedangkan dari Irian jaya juga Dengan adanya makam Syekh Yusuf
pernah datang bupatinya. ada juga peziarah masyarakat sekitar nampaknya diuntungkan
dari luar negeri seperti dari Singapura, secara ekonomi, tidak hanya menjadi
Filipina, Yaman (Hadramaut), Iran, Irak, pegelola makam, yang kesehariannya
India dan Malaysia. Kalau peziarah dari menemani juru kunci di makam dengan
luar negeri Malaysia paling banyak yang membersihkan makam, menyapu kompleks
datang. Para peziarah yang datang mungkin makam, yang menunggu pendaftaran
ada hubungan keluarga dengan Syekh sampai yang menjadi juru parkir, tetapi juga
Yusuf atau mendengar kisah kemahsyuran dengan mengadakan kegiatan berdagang.
Syekh Yusuf (Wawancara: Mujibur Bin Peziarah yang datang ke makam Syekh
abdul Jalil (48 tahun) juru kunci). Yusuf, Pada hari-hari biasa yang datang
Tradisi ziarah ini kemudian juga hanya perorangan, suami istri dan paling
melahirkan biro-biro perjalanan yang banyak membawa sanak keluarga, pada
menawarkan paket-paket ziarah yang sangat hari-hari tertentu, peziarah yang datang
variatif. Misalnya saja tempat ziarah yang mencapai puluhan orang dan barulah kita
akan dikunjungi, rute perjalanan yang akan bisa melihat peziarah dari berbagai kelas
dilewati, penginapan di hotel serta makan di sosial, dan suku budaya tertentu yang
restoran. Sehingga tradisi ziarah ini mencapai ratusan orang.
kemudian berkembang menjadi wisata
ziarah, yang notabene merupakan salah satu
bentuk kegitan pariwisata dalam bahasa

73
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

DAFTAR PUSTAKA Pakar, Ibnu Sutejo. 2015. Panduan Ziarah


Kubur. Cirebon: CV Aksara Satu.
Al-Humaidi, Abdullah Hamid. 2003.
Bid'ah-Bid'ah Kubur, Terjemahan oleh Sauqi, Achmad dan Azis, Abd. 2017. Syekh
Abdul Rosyad Shiddiq. Jakarta: Basyaruddin dan Jaringan Aulia
Pustaka Al-Kautsarm. Mataram. Tulungagung: IAIN
Tulungagung Press.
Bourdieu, Pierre, Arena Produksi Kultural:
Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terj. Saifudin, Ahmad Fedyani. 2006.

Yudi Santosa, cet. ke-2, Yogyakarta: Antropologi Kontemporer: Suatu
Kreasi Wacana, 2012. Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma cet. ke-2. Jakarta:
Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kencana.
Kuning Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Yiliyatun, Y. 2015. Ziarah Wali sebagai
Bandung: Mizan. Media Layanan Bimbingan
Konseling Islam untuk Membangun
Geertz, Clifford. 2013. Agama Keseimbangan Psikis Klien. Jurnal
Jawa:Abangan, Santri, Priyayi dalam Bimbingan Konseling Islam, 6 (2),
Kebudayaan Jawa, terj. Aswab hlm. 335-354.
Mahasin dan Bur Rasuanto. Jakarta:
Komunitas Bambu. Zainuddin. 2008. Perubahan Sosial dalam
Perspektif Sosiologi Pendidikan.
Hamid, Abu. 1994. Syekh Yusuf Makassar: Jurnal Religia, 7 (3), hlm.750-766.
Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Hawash Abdullah. 1980. Perkembangan
Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas.
Irmasari, M. 2013. Makna Ritual Ziarah
Kubur Angku Keramat Junjung Sirih
oleh Masyarakat Nagari Paninggahan.
E-Journal UNP.
Issatriyadi, 1977. Tradisi Ziarah Kubur
dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Pustaka.
Jurdi, Fatullah. 2014. Studi Ilmu Politik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori
Antropologi 1. Jakarta: UI-Press.
Leksono, Sugeng Puji. 2009. Pengantar
Antropologi cet. ke-2. Malang: Umm
Press.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Rosda Karya .
Mustafa, Mustari. 2011. Agama dan
Bayang-bayang Etis: Syaikh Yusuf
Al-Makassari. Yogyakarta: LKiS.

74
ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN PENDATANG
DI SODOHOA KENDARI BARAT
(THE WORK ETHOS OF THE IMMIGRANT FISHING COMMUNITY
IN SODOHOA, WEST KENDARI)
Masgaba
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawsei Selatan
Jalan Sultan Alauddin-Tala Salapang Km 7 Makassar 90221
Telp. (0411) 885119 Fax. (0411) 865166, 883748
Pos-el: masgabaumar@yahoo.co.id

ABSTRACT
This written work constitutes the results of research conducted among an immigrant fishing
community in Sodohoa, West Kendari, in the city of Kendari. The data collection methods used include
interviews, focus group discussion, and observation. The research results indicate that the immigrant
fishermen in the Sodohoa district originate from the regions of Pangkep, Ulung Lero, and Makassar.
Essentially, the primary motive for migration, other than economic and socio-cultural factors, is the
variety of fish found in the waters of Kendari, especially the high-selling tuna. The economic factor
stems from the fishermen's lack of capital for conducting their seagoing activities, leading to their
borrowing money from an employer in Kendari. The socio-cultural factor stems from the fishermen's
conscience obligating hard work to generate an income to meet the day-to-day needs of their families.
Being fishermen is a legacy that is passed down the generations from their ancestors; they cannot
pursue other careers, due to their limited skills and abilities. The enthusiasm for their work is
motivated by a sense of shame (siri’) for one who does not produce an income.
Keywords: Work ethos, social economy, immigrant fishermen.

ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada komunitas nelayan pendatang di Sodohoa
Kendari Barat, Kota Kendari. Metode pengumpulan data berupa wawancara, focus group discussion,
dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nelayan pendatang yang ada di Kelurahan
Sodohoa berasal dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan Makassar. Pada dasarnya motif utama mereka
melakukan migrasi selain karena faktor ekonomi dan faktor sosial budaya, juga karena di wilayah
perairan Kendari terdapat banyak jenis ikan, terutama ikan tongkol yang memiliki nilai jual yang
tinggi. Faktor ekonomi timbul akibat nelayan pendatang tidak memiliki modal uang untuk beraktivitas
melaut, sehingga mereka meminjam pada bos yang ada di Kendari. Faktor sosial budaya timbul
sebagai akibat adanya naluri untuk bekerja agar memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya. Menjadi nelayan merupakan warisan yang turun temurun dari orang tua mereka,
tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan karena keterbatasan keterampailan dan keahlian yang
dimiliki. Semangat kerja mereka termotivasi adanya perasaan malu (siri’) jika tidak memiliki
penghasilan.
Kata kunci: Etos kerja, sosial ekonomi, nelayan pendatang.

PENDAHULUAN nelayan dalam konteks penelitian ini, yaitu


masyarakat pendatang yang menetap
Masyarakat nelayan secara geografis
sementara waktu di daerah pinggir pantai
adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan
Kendari dan bermata pencaharian sebagai
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu
nelayan, yakni dengan menangkap ikan di
kawasan transisi antara wilayah darat dan
laut dengan menggunakan alat tangkap
laut (Kusnadi, 2010:27). Masyarakat
seperti jaring (gae), pancing.
75
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Sebagai sebuah entitas sosial, berupa materi dan cara-cara atau strategi
masyarakat nelayan memiliki sistem tertentu sebagai wujud dari penerapan ilmu
budaya tersendiri dan berbeda dengan pengetahuan yang mereka miliki (Naping,
masyarakat lain, seperti masyarakat petani, 2003:2).
perkotaan ataupun masyarakat yang hidup Nelayan sebagai masyarakat bahari
di dataran tinggi. Masyarakat nelayan ditandai dengan fenomena sosial yang
merupakan unsur sosial yang sangat penting mencolok, khususnya di Indonesia.
dalam struktur masyarakat pesisir. Sekurangnya ada lima fenomena mencolok,
Kebudayaan yang mereka miliki mewarnai seperti (1) kompleksnya kategori atau
karakteristik kebudayaan dan perilaku kelompok sosial yang terlibat dalam
sosial budaya masyarakat pesisir secara kehidupan kebaharian, (2) tumbuh dan
umum. Realitas masyarakat nelayan yang berkembangnya sektor-sektor dan subsektor
memiliki pola-pola kebudayaan yang ekonomi dan aktivitas lainnya berkaitan
berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dengan laut, (3) keterlibatan secara tidak
dari interaksi masyarakat nelayan dengan langsung kategori-kategori dan hirarki
lingkungan beserta sumber daya yang ada sosial dalam kebaharian, (4) saling
di dalamnya. Pola-pola itu menjadi keterkaitan antar sektor-sektor kehidupan
kerangka berpikir atau referensi perilaku dan internal antar unsur-unsur budaya
masyarakat nelayan dalam menjalani bahari, (5) sifat homogen dan diversiti
kehidupan sehari-hari (Kusnadi, 2003:3,4). unsur-unsur budaya, dan proses dinamika,
Sejak berabad-abad lamanya, wilayah perubahan dari unsur-unsur budaya bahari
pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan tersebut (Munsi Lampe dalam Salim,
beragam sumber daya alamnya telah 2016:67).
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia Etos dalam ilmu antropologi identik
sebagai salah satu sumber bahan makanan dengan watak khas. Etos (watak khas)
utama, khususnya protein hewani (Dahuri, sering tampak pada gaya tingkah laku
dkk, 2008:1). Bangsa Indonesia adalah warga masyarakatnya, kegemaran-
bangsa besar yang hadir dari sebuah kegemaran, dan berbagai benda budaya
kegiatan migrasi dengan perantara maritim. hasil karya mereka. Berbicara masalah etos
Semboyang “nenek moyangku orang kerja tidak terlepas dari sistem budaya suatu
pelaut’ bukanlah semata pengangkat masyakarat. Sistem budaya merupakan
semangat nasionalisme kemaritiman tingkat yang paling tinggi dan sifatnya
(Prasetia, 2016:1). Indonesia dikatakan abstrak dari adat istiadat. Sistem nilai
sebagai negara maritim karena 75% dari budaya merupakan konsep-konsep
wilayah Indonesia merupakan laut. Dengan mengenai sesuatu yang ada dalam alam
demikian, wajar apabila penduduk pikiran sebagian besar dari masyarakat
Indonesia banyak yang bermata yang mereka anggap bernilai, berharga,
pencaharian berkaitan dengan kelautan. penting dalam hidup, sehingga berfungsi
Salah satu kelompok masyarakat yang sebagai suatu pedoman yang memberi arah
sangat bergantung pada sumber daya pada kelakuan, dan perbuatan dalam
kelautan adalah kaum nelayan (Kinseng, masyarakat (Koentjaraningrat, 2009:153).
2014:3). Menurut Munsi Lampe (dalam Salim,
Masyarakat maritim adalah bagian dari 2016:62) wujud budaya bahari nelayan
kelompok masyarakat yang memanfaatkan ialah sistem budaya (meliputi sistem-sistem
lingkungan alam laut untuk memenuhi pengetahuan, gagasan, keyakinan, dan
kebutuhan hidupnya. Dalam hal daftar kebutuhan, serta cita-cita dalam
pemanfaatan lingkungan laut, masyarakat kognitifnya), kelembagaan (meliputi
nelayan mengembangkan seperangkat organisasi, kelompok kerja sama nelayan,
kebudayaan dalam bentuk idea, gagasan, hak-hak pemilikan/kontrol atas wilayah dan
aktivitas atau tindakan, dan teknologi

76
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

sumber daya laut), dan teknologi (meliputi beragama, bekerja merupakan kewajiban
sarana/prasarana transportasi laut). yang harus dijalankan (Alim dalam Salam,
Etos kerja, yaitu sikap kehendak yang 2017:17).
berpusat pada kata hati manusia, yang Mengacu pada pandangan tersebut di
mencakup beberapa hal, yaitu sifat, atas, etos kerja tercermin pada sikap
karakter, kualitas hidup, moral, gaya kehendak, yaitu apa yang dikehendaki,
estetika, suasana hati seseorang atau secara sukarela, tanpa dipaksa atau karena
masyarakat (Geertz, 1992:51). Sedangkan ada keuntungan dan harapan. Secara
pengertian etos menurut Bateson (dalam prinsipil, etos kerja itu berpusat pada kata
Goo, 2012:65) adalah karakter distingtif hati, namun demikian, etos kerja setiap
atau semangat dari suatu kejadian atau orang diwarnai oleh etos sosialnya, yaitu
kebudayaan. Selanjutnya, etos kebudayaan persetujuan masyarakat mengenai suatu
merupakan sifat, nilai, dan adat istiadat gagasan, nilai-nilai, dan pandangan-
khas yang memberi watak kepada pandangan yang menghasilkan kehendak-
kebudayaan suatu golongan sosial dalam kehendak sekaligus menjadi ciri khas
masyarakat. Etos dapat juga berarti seseorang (Hamid Pananrangi &
pandangan hidup yang khas suatu golongan Kaharuddin, 1995:2).
sosial (Koentjaraningrat., dkk, 1984:45). Nelayan sebagai masyarakat maritim
Pembahasan etos tidak terlepas dari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sistem budaya suatu masyarakat. Sistem mereka rela meninggalkan kampung
budaya adalah abstrak, tidak dapat dilihat halamannya dalam waktu tertentu. Mereka
dan diraba, ia identik pada orang atau berpindah dari wilayah yang satu ke
kelompok, berada di kepala setiap orang, wilayah yang diidentifikasi telah memasuki
terdiri atas konsep-konsep, gagasan- waktu musim tangkap. Mencari dan
gagasan, pandangan-pandangan, dan nilai- menangkap ikan di laut merupakan masa
nilai. Etos adalah sifat, karakter, kualitas depannya. Dengan semangat kerja yang
hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana tinggi untuk mencapai sesuatu yang
hati seseorang. Etos memberi warna dan diinginkan. Sebagaimana ungkapan leluhur
penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, “resopa temmangingngi namalomo naletei
apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, pammase dewata (artinya hanya dengan
mulia, terpandang, disukai ataukah kerja keras dan tekun akan mudah
pekerjaan itu dianggap buruk, dibenci, dan mendapatkan ridho dari Allah ).
tidak terpandang, salah atau tidak Bagi sebagian besar etnis di Indonesia,
dibanggakan. Etos akan tampil pada saat kecenderungan meninggalkan daerah asal
kita melakukan peranan-peranan, misalnya dan pergi bermigrasi telah mengakar dalam
sebagai petani, nelayan, guru, pengusaha, tradisi budaya mereka. Sistem nilai budaya
pememimpin, dan sebagainya. Berbicara justru menjadi sumber inspirasi dan
masalah etos kerja, bisa diartikan sebagai motivasi mereka dalam melakukan
suatu sikap kehendak, yaitu apa yang perantauan. Mereka meninggalkan daerah
dikehendaki, secara sukarela, tanpa dipaksa asal untuk berinteraksi dengan dunia luar
atau karena ada keuntungan dan harapan dan membangun relasi sosial baru di luar
(Hamid, 2006:2) komunitas asal. Orientasinya terkait dengan
Etos kerja masyarakat nelayan harapan tercapainya keberhasilan, terutama
didorong oleh tiga hal pokok. Pertama, di bidang ekonomi. Obsesi tentang
kebutuhan dasar hidup (subsistem) perbaikan kehidupan ekonomi tidak hanya
masyarakat yang harus dipenuhi untuk untuk memenuhi kebutuhan material, tetapi
keberlangsungan hidupnya. Kedua, juga mengangkat derajat atau status sosial
keluarga dengan keinginan untuk mereka. Bermigrasi didorong oleh sistem
membahagiakan anak dan isteri merupakan atau nilai-nilai budaya yang membentuk
faktor penting. Ketiga, sebagai makhluk pandangan hidup mereka demi

77
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mewujudkan harapan meraih kesuksesan budaya yang menjadi alasan mereka,


(Malik, 2013: 155). seperti siri, kebiasaan, dan ingin coba-coba
Seperti halnya dengan komunitas bermigrasi. Ada perasaan malu (siri)
nelayan pendatang dari Pangkep, Ujung terhadap diri sendiri, terhadap keluarga dan
Lero, dan Galesong memilih Sodohoa, lingkungan masyarakat jika tidak memiliki
Kendari Barat, sebagai tempat tujuan penghasilan. Sementara peluang pekerjaan
bermigrasi untuk mencari nafkah. Wilayah di daerah lain cukup tersedia.
perairan Kendari memiliki banyak Komunitas nelayan Bugis, Mandar,
ketersediaan jenis ikan terutama ikan dan Makassar (Galesong) pada musim
tongkol (cakalang) yang memiliki nilai jual barat mereka bermigrasi (assawakung) pada
yang tinggi. Hal tersebut merupakan salah wilayah tertentu, dan menetap selama
satu daya tarik bagi mereka. Selain itu, di musim tangkap. Apabila tidak melaut,
Kendari ada “bos” pemilik modal yang mereka beristirahat di Sodohoa. Komunitas
dapat dijadikan tempat meminjam sejumlah nelayan Bugis yang berasal dari daerah
uang untuk dipergunakan biaya melaut. Pangkep umumnya tinggal di rumah
Begitu pula dalam hal pemasaran ikan hasil kontrakan di Kelurahan Sodohoa. Berbeda
tangkap, mereka serahkan kepada “bos” dengan nelayan Mandar dari Ujung Lero,
pemilik modal yang terdapat di TPI dan nelayan Makassar dari Galesong,
(Tempat Pelelangan Ikan) Sodohoa. mereka tidak mengontrak rumah tetapi
Mereka bekerja sebagai nelayan dan mereka tinggal di atas kapal sambil
bermigrasi pada musim-musim tertentu menunggu waktu melaut tiba.
mengikuti jejak orang tua, atau kerabatnya. Berdasarkan latar belakang tersebut,
Lingkungan wilayah perairan Kendari fokus masalah dalam tulisan ini adalah:
menyediakan berbagai jenis biota laut, Apa yang memotivasi nelayan sehingga
terutama jenis ikan tongkol, mendorong bermigrasi ke Kelurahan Sodohoa? Nilai-
mereka untuk bekerja guna memenuhi nilai budaya apa saja yang berkaitan dengan
kebutuhan akan sandang, pangan, dana etos kerja nelayan pendatang di Kelurahan
papan keluarga. Tidak ada pekerjaan lain Sodohoa?
yang bisa mereka lakukan selain sebagai Berdasarkan latar belakang dan
nelayan, sementara tuntutan kebutuhan rumusan masalah, tujuan umum dari tulisan
rumah tangga harus terpenuhi. Hal itu ini adalah untuk memetakan etos kerja
membakar semangat mereka untuk keluar nelayan pendatang di Kelurahan Sodohoa,
dari daerah asal untuk mencari uang guna Kecamatan Kendari Barat. Sasaran yang
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. hendak dicapai dalam tulisan ini adalah:
Mereka bekerja secara berkelompok dalam Untuk mendeskripsikan motivasi nelayan
satu unit kapal. Mereka terdiri atas sehingga melakukan migrasi ke Kelurahan
kelompok nelayan pa’gae, parengge, dan Sodohoa. Untuk mendeskripsikan nilai-nilai
pa’bagang. budaya yang berkaitan dengan etos kerja
Faktor ekonomi menjadikan mereka nelayan di Kelurahan Sodohoa.
bermigrasi meninggalkan kampung
halaman. Walaupun di kampung orang METODE
terasa pahit, tetapi karena tuntutan Tulisan ini menggunakan pendekatan
kebutuhan hidup yang harus terpenuhi kualitatif deskriptif. Untuk memperoleh
sehingga mereka merasa terpaksa menetap data sesuai dengan fokus penelitian,
sementara waktu untuk bekerja. digunakan beberapa teknik pengumpulan
Sebagaimana dalam ungkapan Bugis mau data, seperti: teknik pengamatan
luttu massuwajang uki, dalle siputanre (observasi), teknik wawancara, focus group
silolongemuawa (artinya: di mana pun kita discussion, dan dokumentasi. Melalui
berada kalau rezeki, jodoh pasti ketemu). observasi alamiah (natural) dan wawancara
Selain faktor ekonomi juga faktor sosial mendalam, data yang terkumpul akan

78
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

semakin lengkap. Data yang diperoleh Kelurahan Sodohoa memiliki luas


secara natural akan lebih bermakna wilayah kurang lebih 143 Ha terbagi ke
(Endraswara, 2012:208). Wawancara dalam 7 RW dan 18 RT. Dari luas wilayah
dengan beberapa orang nelayan pendatang tersebut digunakan untuk permukiman
dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan penduduk seluas 22.2 Ha. Jumlah penduduk
Makassar (Galesong). FGD dilakukan dalam wilayah Sodohoa sebanyak 2847
bersama dengan kepala Kelurahan jiwa dengan kepadatan penduduk 20
Sodohoa, beberapa nelayan pendatang, dan jiwa/Ha. Kepadatan penduduk yang sangat
orang yang ditokohkan oleh masyarakat tinggi berada di RT 10-RW 04 dengan
setempat, seperti H. Suega Dg. Parani. tingkat kepadatan 425 jiwa/Ha. Tingkat
Pengamatan dilakukan dengan melihat kepadatan yang cukup tinggi dan juga
kondisi lingkungan permukiman, aktivitas kondisi penduduk Kelurahan Sodohoa yang
nelayan setelah pulang dari melaut. Selain majemuk menyebabkan mata pencaharian
itu, penulis mengamati aktivitas nelayan penduduk variatif. Mata pencaharian
pendatang, khusus nelayan dari Ujung Lero tersebut seperti, pertanian, perkebunan,
yang tinggal di atas kapal mereka. peternakan, nelayan, industri pabrik,
Mengamati pada saat mereka beristirahat konstruksi bangunan, tenaga kesehatan,
sambil memperbaiki kapal, dan alat tangkap perdagangan, dan pegawai pemerintah.
(jaring). Mereka berinteraksi antara sesama Data statistik mengenai jumlah nelayan
nelayan pendatang. pendatang tidak tersedia, namun dari
informasi ketua RT 011, bahwa jumlah
PEMBAHASAN nelayan pendatang di Sodohoa dapat
diketahui dengan melihat jumlah surat
Gambaran Umum Lokasi Penelitian keterangan domisili. Keterangan domisili
Setiap daerah memiliki nama dan asal dari pemerintah Kelurahan Sodohoa
usul nama tersebut, demikian halnya nama diberikan kepada nelayan pendatang,
Sodohoa. Menurut tradisi tutur yang khususnya kepada punggawa untuk
berkembang pada masyarakat Sodohoa, kepentingan perizinan melaut. Setiap
bahwa nama Sodohoa berasal dari kata punggawa memiliki kapal gae atau kapal
Sodo yang berarti menjolok, dan hoa berarti bagang yang beranggotakan sekitar 12-15
sejenis burung. Dari kedua kata tersebut ABK.
digabung menjadi kata Sodohoa. Konon,
pada zaman dahulu wilayah Kelurahan
Sodohoa merupakan hutan belukar dan
banyak burung hoa yang bertengker pada
pohon. Untuk mendapatkan burung,
diambil dengan cara dijolok dengan
mempergunakan kayu (sodo).
Kelurahan Sodohoa merupakan salah
satu kelurahan dari sembilan kelurahan
yang ada di Kecamatan Kendari Barat, Kota Gambar 1. Permukiman Penduduk.
Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumber: Dokumen Penulis
Secara administratif kelurahan Sodohoa
berbatasan dengan: Sebelah Utara Permukiman penduduk menyebar
berbatasan dengan hutan Nipa-Nipa, dan berjejer di sepanjang jalan. Rumah
Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk penduduk yang dibangun di sepanjang jalan
Kendari, sebelah Barat berbatasan dengan utama berhadapan langsung dengan laut
Kelurahan Sanua, sebelah Timur berbatasan teluk Kendari. Sedangkan rumah yang
dengan Kelurahan Benu-Benua. dibangun di sepanjang jalan setapak
posisinya berhadapan dengan rumah

79
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

lainnya. Bentuk rumah penduduk sebagian di Kendari ini ada bos yang bisa membantu
besar masih mempergunakan rumah dengan dalam hal permodalan. Selain itu, hasil
kategori semi permanen, terutama yang tangkap berupa ikan dapat langsung terjual
bermukim di daerah yang berbukit. Hal melalui bos pemilik modal yang ada di
tersebut disebabkan selain karena kondisi pelelangan ikan Kendari.
ekonomi juga karena topografi yang Informan H. Maudu sebagai punggawa
berbukit sehingga menyulitkan distribusi pada kelompok nelayan pa’gae,
bahan material untuk menjangkau lokasi menurutnya, hampir sama dengan nelayan
areal permukiman tersebut. Lain halnya pendatang lainnya, bahwa daya tarik
dengan rumah penduduk yang dibangun di bermigrasi ke Kendari karena adanya bos
pinggir jalan utama atau dataran rendah yang bisa memberi modal berupa uang
umumnya bangunannya berbentuk yang dipergunakan untuk beraktivas
permanen. mencari dan menangkap ikan di perairan
Kendari dan sekitarnya. Di kampung
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos halamannya, Pangkep tidak bisa melaut
Kerja Nelayan karena tidak memiliki modal yang cukup.
a. Faktor Ekonomi Tidak ada pekerjaan lain yang bisa
dilakukan selain menjadi nelayan. Melihat
Awal mula kedatangan nelayan kerabat sesama nelayan yang memiliki
pendatang di Sodohoa menurut penuturan modal cukup berhasil. Bermigrasi ke
informan bahwa keberadaan nelayan Kendari bermula ketika ada kerabat juga
pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa sebagai nelayan yang lebih dahulu ada di
sudah ada sejak dahulu kala. Tidak ada Kendari dan cukup berhasil. Dari informasi
catatan secara resmi mengenai tahun kerabat tersebut bahwa ada pemilik modal
keberadaan nelayan pendatang di Sodohoa. di Kendari yang bisa memberi dana
Pada awalnya nelayan pendatang berasal pinjaman. Selain itu, ada informasi bahwa
dari Kalimantan. Nelayan dari Kalimantan wilayah perairan Kendari kondisi iklimnya
tersebut bersuku bangsa Bugis bermukim di tidak terlalu ekstrim jika dibandingkan
Kalimantan. Bermigrasi ke Kendari untuk dengan wilayah lainnya. (wawancara,
mencari dan menangkap ikan dengan alat Maret, 2018).
tangkap pancing. Mereka “mattongkol” Bagi nelayan, ketersediaan modal
(memancing ikan tongkol) di wilayah usaha merupakan salah satu kebutuhan
perairan Kendari. Dari keberhasilan nelayan pokok. Nelayan pendatang di Sodohoa pada
Kalimantan dalam mencari dan menangkap umumnya meminjam kepada “bos” yang
ikan di Kendari menjadi daya tarik nelayan ada di sekitar mereka. “Bos” sekaligus
pendatang lainnya. Nelayan pendatang yang sebagai penampung hasil tangkap para
ada di Sodohoa berasal dari Selatan, seperti nelayan bekerja di TPI kota Kendari. Hasil
dari Makassar, Pangkep, dan Ujung Lero. tangkap nelayan dijual atau dipasarkan oleh
Nelayan pendatang di Sodohoa hanya diberi penampung atau “bos” tempat mereka
keterangan domisili oleh pemerintah meminjam uang. Harga ikan hasil tangkap
Kelurahan Sodohoa. Biasanya mereka nelayan ditentukan sendiri oleh penampung.
menetap di Sodohoa selama musim tangkap Menurut penuturan salah seorang
(musim teduh) (hasil wawancara dengan H. informan, bahwa “bos” tempat meminjam
Suega, Maret 2018 ). uang di Kendari tidak hanya melayani
Selanjutnya informan H. Kamil untuk keperluan melaut, tetapi juga bisa
mengungkapkan bahwa datang ke Kendari membantu memberi pinjaman untuk
meninggalkan kampung halaman untuk keperluan rumah tangga nelayan, seperti
sementara waktu demi untuk memenuhi untuk keperluan biaya sekolah anak mereka
kebutuhan ekonomi keluarga. Kendari (wawancara, Sudirman, Maret 2018).
merupakan tempat yang menjadi pilihan
untuk mencari dan menangkap ikan karena

80
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

Dari penuturan informan tersebut pekerjaan lain yang bisa dilakukan dan
menunjukkan bahwa daya tarik untuk tidak memiliki modal sehingga rela
bermigrasi dan bekerja sampai ke Kendari meninggalkan kampung halaman.
karena adanya penjamin modal. Di daerah Kalau siri’ merupakan taruhan harga
asal tidak bisa menemukan hal tersebut. diri, maka harga diri tersebut harus diangkat
Dari hasil kerja sebagai nelayan dapat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa
memenuhi kebutuhan ekonomi rumah pelopor, dan senantiasa berorientasi
tangganya walaupun dengan menggunakan keberhasilan. Seseorang dapat mengem-
modal pinjaman. Lain halnya dengan bangkan etos kerja tinggi, oleh karena
informan Roy, seorang ABK pada salah berhadapan dengan tantangan-tantangan,
seorang punggawa bagang, bermigrasi ke harapan-harapan, dan hal-hal yang menarik
Kendari untuk bekerja dan menghasilkan serta menguntungkan, sehingga mendorong
uang agar dapat membantu orang tuanya. munculnya kerajinan, kecermatan yang
Setiap kali mendapat hasil dari melaut, Roy lahir dari kepribadian seseorang (Hamid,
mengirim atau mentransfer sejumlah uang 2009:3).
kepada ibunya yang tinggal di Makassar. Seperti halnya dengan perantau orang
Terdapat juga nelayan (ABK) yang bekerja Wajo ke Malaysia, mereka meninggalkan
di kampung orang karena alasan untuk kampung halamannya karena siri’, yaitu
mengumpulkan uang yang akan digunakan menderita, miskin, sehingga memilih
berumah tangga (beristeri). bermigrasi karena ingin hidup lebih baik.
Bekerja sebagai nelayan di kampung Sebagaimana pantun dalam bahasa Bugis
orang merupakan pilihan sendiri karena berbunyi: de gaga pasaq ri lipuqmu,
tidak memiliki keahlian atau keterampilan balanca ri kampong mu, mulanco mabela ?
di bidang lainnya. Bekerja sebagai nelayan (artinya apakah tidak ada pasar di
merupakan sumber mata pencaharian negerimu, tak ada belanja di kampungmu
warisan yang diperoleh dari orang mereka. sehingga bermigrasi jauh ?). Engka pasaq
Mereka tidak memiliki pilihan lain. di rili puqku, balanca ri kampongku,
Sebagaimana pengertian etos kerja yang ininnawamu kusappa (artinya, ada pasar di
dikemukakan oleh Dawam Raharjo, sebagai kampungku, ada belanja di kampungku,
pola sikap mendasar yang sudah mendarah- namun aku mencari hati nurani).
daging dan memengaruhi perilaku Berkaitan dengan harga diri karena
seseorang secara konsisten dan terus bermigrasi, ungkapan bahasa Makassar
menerus (dalam Malik, 2013:12). “appaenteng siri’” seseorang bekerja keras,
berusaha sekuat-kuatnya untuk memperoleh
b. Faktor Sosial Budaya kehidupan yang layak agar tidak terhina
oleh kemiskinan. Sikap yang demikian
Sebagai kepala rumah tangga harus
tercermin pada orang yang suka bekerja
mampu memenuhi kebutuhan ekonomi
keras demi kebutuhan hidup. Demikian
keluarga, sehingga ada perasaan malu tidak
halnya dengan nelayan pendatang yang ada
memiliki penghasilan di kampung sendiri.
di Sodohoa, khususnya nelayan pendatang
Mengikuti jejak kerabat atau sesama
dari Makassar. Dengan prinsip appaenteng
nelayan yang terlebih dahulu bermigrasi
siri’ mereka meninggalkan kampung
dan berhasil membuatnya tertarik
halamannya dengan bermigrasi ke Kendari.
melakukan hal yang sama. Sebagaimana
Menurut mereka lebih baik meninggalkan
ungkapan yang berbunyi siri’e paloi,
kampung dan keluarga untuk sementara
artinya perasaan malu yang membuat
waktu demi memenuhi kebutuhan hidup.
meninggalkan kampung halaman untuk
Tinggal di kampung tanpa penghasilan akan
mencari rezeki. Informan Abd. Ganing juga
dihina oleh keluarga dan masyarakat.
nelayan pendatang dari Selatan,
Ungkapan dalam bahasa Mandar yang
mengatakan “lantaran pahit kita
berkaitan dengan etos kerja: dao pi paule,
bermigrasi”, maksudnya, karena tidak ada

81
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mua andian namujama, issangi siri’ mengenai hakikat dari hidup manusia, (2)
diwanuanna tau (artinya janganlah ikut masalah mengenai hakikat dari karya
kalo tidak ada kerjamu, hendaklah ada siri’ manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari
mu di negeri orang). Maksud dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, (4)
ungkapan itu bahwa janganlah ikut kepada masalah mengenai hakikat dari hubungan
orang lain kalau engkau hanya menjadi manusia dengan alam sekitarnya, dan (5)
beban bagi orang yang diikuti karena akan masalah mengenai hakikat dari hubungan
sangat memalukan di negeri orang. manusia dengan sesamanya. Dari kelima
Ungkapan tersebut merupakan petunjuk masalah pokok dan orientasi nilai budaya
bahwa orang harus bekerja untuk hidup tersebut, masalah yang berkaitan dengan
(Lopa, 2009:78). Sebagaimana ungkapan hakikat hubungan manusia dengan karya
dalam kalingdaqdaq mengatakan bahwa dari manusia merupakan cerminan dari etos
tidak akan ada rezeki jika tidak diusahakan, kerja manusia.
seperti : Etos kerja dan nilai budaya komunitas
Nipameappai dalleq nelayan pendatang di Sodohoa dapat
Nileteangngi pai digambarkan sebagai berikut:
Andiang dalleq 1. Nilai Kejujuran
Napole mettuala
Nilai kejujuran tercermin pada
Terjemahannya: hubungan antara “bos” dengan punggawa ,
Rezeki harus dicari antara punggawa dengan ABK. Sebagai
Harus diusahakan seorang nelayan pendatang yang hanya
Tidak akan ada rezeki menetap sementara waktu di Sodohoa,
Yang datang dengan sendirinya kejujuran merupakan modal utama untuk
menjaga agar tetap bisa dipercaya oleh
Kalindaqdaq tersebut menunjukkan “bos”. Begitupula seorang punggawa harus
bahwa sebagaimana seorang manusia yang bersifat jujur terhadap anggotanya/ABK,
hidup di dunia ini tidak hanya demikian juga sebaliknya. Seperti yang
mengandalkan doa semata, tetapi harus dituturkan oleh salah seorang informan:
dibarengi dengan usaha agar bisa meraih “kejujuran merupakan hal yang utama dalam
apa yang dicita-citakan. Rezeki tidak datang melakukan suatu pekerjaan. Kalau kita jujur
dengan sendirinya tetapi perlu dicari hubungan dengan “bos” akan bertahan lama.
dengan bekerja (Abbas, 2000:124). Kalau saya pinjam uang kepada “bos” untuk
dijadikan modal melaut, tidak memerlukan
Etos Kerja dan Nilai Budaya Nelayan jaminan seperti kalau kita pinjam uang di
Nilai budaya adalah aspek vokal yang bank” (wawancara dengan H. Maudu,
Februari 2018).
terwujud sebagai konsepsi-konsepsi abstrak
yang hidup dalam pikiran sebagian besar Dari penuturan informan tersebut
suatu masyarakat mengenai apa yang harus menunjukkan bahwa kejujuran merupakan
dianggap penting dan berharga dalam hidup modal utama untuk mencapai suatu kerja
(Rahmawati, 2008:346). Suatu sistem nilai yang baik. Kejujuran seseorang merupakan
budaya merupakan wujud dari kebudayaan unsur yang utama dalam menekuni suatu
dan seolah-olah berada di luar dan di atas pekerjaan.
para individu sebagai anggota suatu Informan Haruddin salah seorang
masyarakat. Semua sistem nilai budaya nelayan yang berposisi sebagai punggawa
berkaitan dengan masalah-masalah dasar (nakhoda) mengatakan bahwa: dengan
dalam hidup manusia. Menurut kerangka kejujuran, hati merasa tenang dan rezeki
Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, akan datang terus. Jujur terhadap diri
2008:28) semua sistem nilai budaya dalam sendiri, terhadap orang lain. Sebagai
semua kebudayaan di dunia ini terdapat nelayan yang tidak memiliki modal (uang)
lima masalah pokok, yakni (1) masalah untuk melaut, saya harus memiliki sifat
82
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

yang jujur agar bisa terus dipercaya sama dapat melaksanakan tugasnya karena
“bos”. Begitu juga terhadap anak buah kondisinya tidak memungkinkan, maka
(ABK) yang ikut bekerja di kapal, saya yang lainnya akan segera mengambil alih
harus jujur terutama dalam hasil yang pekerjaan itu.
diperoleh ketika melaut (wawancara, Maret Kerja sama di darat, tercermin ketika
2018). tidak melaut mereka secara bersama
Dari penuturan tersebut menunjukkan memperbaiki kapal atau peralatan alat
bahwa untuk mendapatkan hasil dari suatu tangkap mereka. Ketika penulis di lokasi
pekerjaan nilai kejujuran harus tetap penelitian tampak kerja sama sesama
terpelihara pada diri seseorang. Walaupun nelayan mengecat kapal mereka. Kerja
seseorang itu rajin dan disiplin dalam sama antara punggawa–ABK saling
melakukan suatu pekerjaan, tetapi tidak bergantian merawat kapal mereka dengan
memiliki sifat yang jujur tidak akan mengecat. Dari sistem kerja sama ini timbul
memperoleh hasil yang memuaskan. rasa solidaritas di antara mereka. Pada
Sebagaimana sifat-sifat manusia terungkap masyarakat umum, terutama yang tinggal di
dalam bentuk nasihat dalam bahasa Bugis perkotaan melakukan pekerjaan mengecat
seperti, lempu (jujur) mengandung empat rumah misalnya, akan membutuhkan dana
unsur, yaitu lempu ri puangnge (jujur untuk menggaji tukang cat. Komunitas
kepada Allah), jujur tehadap diri sendiri, nelayan dengan sukarela saling kerja sama
jujur terhadap sesama manusia. Sedangkan mengerjakan mengecat kapalnya dengan
dalam bentuk larangan, yaitu jauhkan diri imbalan ketika melaut, ABK diberi
dari sifat jekkong (curang). Sebaliknya kebebasan memancing ikan. Kegiatan
seseorang hendaknya berbuat baik memancing ikan dilakukan ketika selesai
“nakkaresoi lise bolana”, artinya bekerja mengerjakan tugas utama mereka. Hasil
untuk isi rumahnya dan sanak keluarganya pancing tersebut menjadi milik ABK itu
(PaEni, 2013:101). sendiri.

2. Nilai Kerja Sama


Relasi antara punggawa dan ABK,
biasanya pemilihan ABK didasarkan pada
jalinan kekerabatan. Relasi ini dapat
mempermudah munculnya kerja sama
saling menguntungkan dalam mengerjakan
sesuatu secara bersama-sama. Sistem kerja
sama antara punggawa - ABK dan antara
sesama ABK dalam suatu organisasi
kenelayanan atau dalam satu tim pa’gae,
pa’bagang baik di darat, maupun di lautan.
Mereka memiliki semangat kerja masing- Gambar 2. Aktivitas nelayan ketika tidak
masing. melaut. Dokumen penulis
Sistem kerja sama di laut harus lebih
diutamakan untuk mendapat hasil yang Pada situasi tertentu kerja sama juga
maksimal. Bentuk kerja sama dalam terjadi antara sesama punggawa, seperti
beroperasi di laut, mereka bekerja sesuai ketika salah satu kapal gae mengalami
dengan tugas yang diberikan kepadanya. musibah di laut. Punggawa kapal lainnya
Kelompok nelayan gae atau bagang ada secara sukarela memberi bantuan kepada
yang bertugas sebagai juru mesin, juru punggawa kapal gae yang mengalami
lampu, juru masak, mereka secara serentak kecelakaan.
mengerjakan tugas secara bersama-sama.
Apabilah salah seorang ada yang tidak

83
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

PENUTUP untuk bekerja termotivasi adanya tuntutan


kebutuhan hidup yang harus dipernuhi,
Keberadaan komunitas nelayan
sehingga timbul perasaan malu bila tidak
pendatang di Sodohoa sudah ada sejak
memiliki pekerjaan di kampung halaman.
dahulu. Dengan prinsip siri’ palaoi (rasa
Bagi nelayan yang sudah berkeluarga
malu menjadikan bermigrasi) mereka
bekerja merupakan kewajiban untuk
memiliki etos kerja yang tinggi untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,
mendapatkan hasil. Daya tarik yang
seperti biaya kebutuhan sehari-hari, biaya
menyebabkan mereka bermigrasi ke
pendidikan anak-anaknya, dan kebutuhan
Kendari, yaitu adanya “bos” sekaligus
lainnya. Sedangkan nelayan yang belum
sebagai penampung yang bisa memberi
memiliki isteri, bekerja termotivasi selain
pinjaman modal uang dan sekaligus
untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri,
memasarkan hasil tangkapnya. Selain itu, di
juga untuk membantu meringankan beban
wilayah perairan Kendari terdapat banyak
dari orang tuanya.
ikan tongkol yang memiliki nilai jual yang
tinggi. Selama musim tangkap mereka
menetap di Sodohoa. Nelayan yang datang DAFTAR PUSTAKA
dari Pangkep umumnya mengontrak rumah Abbas, Ibrahim. 2000. Pendekatan Budaya
di sekitar pantai perairan Kendari, Mandar. Makassar: UD. Hijrah
sedangkan nelayan dari Ujung Lero Grafika.
bermalam di atas kapal mereka. Nelayan Dahuri, Rokhmin, Jacup Rais, Sapta Putra
dari Makassar (Galesong) ada yang tinggal Ginting, Sitepu. 2008. Pengelolaan
di atas perahu juga ada yang mengontrak Sumber Daya Wilayah Pesisir dan
rumah. Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT
Faktor-faktor yang menyebabkan Pradnya Paramita.
mereka bermigrasi untuk sementara waktu,
yaitu faktor ekonomi dan faktor sosial Endraswara, Suwardi. 2012. Metode
budaya. Faktor ekonomi merupakan faktor Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
yang utama sehingga mereka bermigrasi. Gadjah Mada University Press.
Mereka tidak memiliki keahlian atau Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan
keterampilan untuk melakukan suatu Agama. Yogyakarta: Kanisius.
pekerjaan lain, hanya bekerja sebagai
nelayan yang mereka mampu. Sementara Goo, A. Andreas. 2012. Kamus
untuk turun melaut memerlukan biaya yang Antropologi. Makeewaapa-Papua:
tidak sedikit, di kampung asal terbatas Lembaga Studi Meelogi.
orang yang bisa dijadikan sebagai tempat Hamid, Pananrangi dan Kaharuddin. 1995.
meminjam modal. Setelah mereka Persepsi Tentang Etos Kerja
mendengar kabar dari teman sesama Kaitannya dengan Nilai Budaya
nelayan yang cukup berhasil, akhirnya Masyarakat Daerah Sulawesi Selatan.
mereka memutuskan untuk bermigrasi Ujung Pandang: Depdikbud.
mengikuti jejak sesama nelayan. Kendari
merupakan tempat yang cocok menurut Hamid, Abu. 2006. Etos Kerja dan
mereka sebagai tujuan bermigrasi, selain Partisipasi Masyarakat dalam
alasan karena lautnya menjanjikan hasil Pembangunan ( Suatu Sorotan dari
tangkap yang bagus, juga karena di Kendari Segi Nilai Sosial Budaya). Dalam
ada bos yang bisa memberi pinjaman Jurnal Walasuji Vol 1 No. 1.
permodalan melaut. Hasil tangkap mereka Makassar: Balai Kajian Sejarah dan
dapat dengan cepat dipasarkan melalui bos Nilai Tradisional.
pemilik modal. Sedangkan faktor sosial Hamid, Abu. 2009. Siri’ dan Etos Kerja.
budaya yang mendorong mereka untuk Dalam Siri’ & Pesse’ Harga Diri
bermigrasi, sebagai seorang laki-laki naluri

84
Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Rahmawati. 2008. Ungkapan Tradisional


Toraja. Makassar: Refleksi. Muna. Dalam Bunga Rampai: Hasil
Penelitian Kesastraan di Sulawesi
Kinseng, Rilus A. 2014. Konflik Nelayan.
Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Indonesia.
Salam, Rahayu. 2017. Parabela dan Etos
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan.
Kerja Nelayan. Pustaka
Yogyakarta: LKiS
Sawerigading.
Kusnadi. 2010. Keberdayaan Nelayan dan
Salim. 2016. Ketahanan Pangan Dari Laut:
Dinamika Ekonomi Pesisir
Sea Power Perspective My Fish My
Yogyakarta: Arruzz Media.
Life. Yogyakarta: Diandra Pustaka
Koentjaraningrat, Budhisantoso, Indonesia.
Danandjaya, Parsudi Suparlan,
E.K.M. Masinambow, Anrini Sofion.
1984. Kamus Istilah Antropologi.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 2008. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lopa, Baharuddin. 2009. Siri’ dalam
Masyarakat Mandar. Dalam Siri’ &
Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis,
Makassar, Mandar, Toraja.Makassar:
Refleksi.
Malik, M Luthfi. 2013. Etos Kerja, Pasar,
dan Masjid: Transformasi Sosial-
Keagamaan dalam Mobilitas
Ekonomi Kemasyarakatan. Jakarta:
Penerbit LP3ES.
Naping, Hamka. 2003. Teknologi dalam
Pemanfaatan Lingkungan Laut dan
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Maritim. Makalah. Disajikan pada
Seminar Budaya Maritim,
dilaksanakan oleh Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional
Makassar.
PaEni, Mukhlis. 2013. Mengeja Indonesia.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Prasetia, Ade. 2016. Ekonomi Maritim
Indonesia. Yogyakarta: Diandra
Kreatif.

85
REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN
KERAJAAN BALANIPA ABAD XVI-XVII
(INDONESIAN REFLECTION: STUDY OF THE GOVERNMENT SYSTEM OF
BALANIPA KINGDOM IN THE 16TH AND 17TH CENTURIES)

Abd.Karim
Universitas Indonesia
Email: karimhistory92@gmail.com

ABSTRACT
The kingdom of Balanipa (Mandar) was "democratic" before Indonesia was born. If one reflection of
Indonesia is a democratic government system, then the political identity that we rely on as a
Democratic State existed before this country was born. That the soul of Indonesianness existed before
the presence of Europeans in the Archipelago. In fact, it was been practiced in the Kingdom of
Balanipa (Mandar) in the 16th-17th centuries as a local form of government (mara'dia). This system
featured a Kingdom constitution serving to limit the King from wielding absolute power. The
traditional institution held the power to dismiss the king as a leader, such as the President who can be
removed from his position by the country's People's Consultative Assembly (MPR). The leader is
chosen by the will of the people. A reflection of the system of government, that the soul of the age
which is now a legacy of the nation's past itself is not a western nation's inheritance as a colonial
nation. Furthermore, this article will answer the big question, namely, how are democratic practices
applied in Mandar? How was democracy interpreted by the elite and the Mandar community? and
how was the system of government run in Mandar in the sixteenth and seventeenth centuries? This
article employ historical research methods, using local sources (Lontara’), complemented by sources
from the colonial era. The practice of democracy, namely the birth of the concept of Mengga Lenggoq
Mengga Belawa, is one of the concepts offered by the system of government. The soul of Democracy is
embedded in the following concepts: (1) Manu' Tandi Pessisi'i (a chicken whose scales are not seen),
meaning that in daily life, regardless of status or position, customary law is still upheld; (2) Beang
Tandi Gati (rice that does not need to be measured), meaning a People-based economy, while also
attaching importance to the interests of the lower class; (3) Beluwa' Tandi Biti (combed hair that no
longer needs to be held in place), meaning continuous unity; and (4) Ara Ratang Tandi Dappai (rope
that does not need to be measured), meaning that the law or judicial system does not discriminate.
Keywords: Government, Mara'dia, democracy, Indonesia, Mandar, Balanipa

ABSTRAK
Kerajaan Balanipa (Mandar) telah “berdemokrasi” sebelum Indonesia lahir. Apabila salah
satu cerminan Indonesia adalah sistem pemerintahan demokratis, maka identitas politik yang
kita sandang sebagai Negara Demokratis telah ada sebelum negara ini lahir. Bahwa jiwa
keindonesiaan telah ada sebelum kehadiran Bangsa Eropa di Nusantara. Bahkan telah
dipraktekkan di Kerajaan Balanipa (Mandar) pada abad XVI-XVII sebagai sistem
pemerintahan lokal (mara’dia). Sistem tersebut memiliki perangkat konstitusi kerajaan di
mana kedudukan raja tidak mutlak berkuasa. Lembaga hadat memiliki kuasa untuk
memberhentikan raja sebagai pemimpin, seperti presiden yang bisa diturunkan dari
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) negara ini. Pemimpin dipilih atas
kehendak rakyat. Sebuah refleksi sistem pemerintahan, bahwa jiwa zaman yang sekarang
merupakan warisan dari masa lalu bangsa ini sendiri bukan warisan bangsa barat sebagai
bangsa penjajah. Selanjutnya Artikel ini akan menjawab pertanyaan besar yakni, bagaimana
praktek-praktek demokrasi diterapkan di Mandar? Bagaimana demokrasi itu diterjemahkan
oleh elit dan masyarakat Mandar?, dan bagaimana sistem pemerintahan itu dijalankan di
86
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Mandar pada abad XVI-XVII? artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah. Dengan
menggunakan sumber lokal (Lontara’’) dan dilengkapi dengan sumber-sumber dari zaman
kolonial.
Kata Kunci: pemerintahan, mara’dia, demokrasi, Indonesia, Mandar, Balanipa

PENDAHULUAN menggunakan sumber-sumber lokal dengan


menggunakan alat-alat metodologis yang
Melihat Indonesia dengan kaca mata
secara ilmiah akan mengungkap peristiwa
“barat” merupakan sebuah kekeliruan. Oleh
tersebut. Dengan kata lain, Sejarah
Harry J. Benda menegaskan itu dalam
Indonesia tidak lagi dibaca dari sudut
tulisannya yang berjudul Democracy in
pandang Bangsa Barat tetapi dari sudut
Indonesia, merupakan Review buku Tulisan
pandang kita sendiri.
Herbert Feith yang berjudul The Decline of
Salah satu cara membaca Sejarah
Constitutional Democracy in Indonesia. Di
Indonesia yakni melalui mitos, mengingat
mana Benda mengangkat sebuah argumen
dalam sumber-sumber lokal banyak
bahwa kesalahan terbesar kami adalah
berkisah tentang mitos. Roland Barthes
melihat Indonesia dengan kacamata barat
dalam tulisannya yang berjudul
(Benda, 1964: 450). Lebih jauh lagi Benda
Mythologies mengajukan sebuah gagasan
menyebut bahwa tulisan tersebut “cacat”.
bahwa mitos merupakan sebuah sistem
Bernada tajam namun Benda berangkat dari
komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan
argumen, kita tidak boleh menggeneralisir
(Barthes, 1983: 151). Artinya, sebuah mitos
pandangan barat kepada budaya yang lain.
dapat menggiring kita kepada sebuah
Artinya, perspektif yang kita pahami
peristiwa di masa lalu di mana peran mitos
sebelumnya tidak boleh “dipaksakan”
sebagai tanda dari satu gejala dalam
dalam membaca kondisi yang berbeda
peristiwa tertentu. Salah satu contohnya
dengan kita (Sutherland, 1995). Benda pun
yakni tentang asal-usul masyarakat
ragu terhadap budaya barat yang beragam
Sulawesi secara umum. Tomanurung
untuk membaca budaya lain. Dengan kata
merupakan sebuah konsep yang ditawarkan
lain bahwa apa yang menjadi produk barat
dalam Lontara’ untuk membaca leluhur
tidak serta-merta dapat diadopsi oleh semua
masyarakat Sulawesi. Terkhusus pada
bangsa lain, karena bisa saja apa yang
Masyarakat Mandar, dalam Lontara’
dialami oleh sebuah bangsa dalam
dijelaskan bahwa leluhur orang Mandar
perjalanan zamannya merupakan sebuah
dikenal dengan tonipanurung di langiq
warisan yang tidak dijangkau oleh sudut
(manusia yang diturunkan dari langit) dan
pandang lain.
bermukim di daerah pegunungan dan
Sartono Kartodirdjo juga mengungkap
memperistri tokombong di Bura (manusia
perkembangan historiografi sejarah
yang muncul di atas busa air) (Yasil, 1985:
Indonesia Di mana usaha penulisan sejarah
204). Tidak dinafikan bahwa asal usul
disebarkan dengan berbagai cakrawala
orang Mandar dikisahkan dengan unsur
salah satunya adalah cakrawala religio-
mitologi namun mitos tersebut bisa saja
magis serta kosmologi (Kartodirdjo, 2014:
membawa kita pada sebuah argumen bahwa
2). Dalam pandangan ini, penulisan sejarah
Orang Mandar adalah masyarakat yang
kritis telah menyediakan alat-alat
bercorak agraris dan maritim. Diperkuat
metodologis yang secara ilmiah akan
pula dengan bukti bahwa salah satu leluhur
mengungkapkan fakta-fakta dari sumber-
Orang Mandar bernama Torije’ne bertemu
sumber sejarah lanjut Sartono. Artinya
dengan Pongkapadang di pesisir laut
untuk menangkap peristiwa masa lalu yang
tidak terekam oleh bangsa barat (arsip karena perahu Torije’ne rusak (Leyds,
2006). Sebuah sistem kepercayaan yang
Bangsa Eropa) dapat kita lakukan dengan

87
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tertuang dalam Lontara’ sebagai sumber tokoh demokrasi mulai dari generasi klasik
tradisional Masyarakat Mandar. Solon (638-558SM), Chleisthences (C.508
Membaca Mandar melalui sumber SM) Pericles (490-429 SM) Demosthenes
lokalnya menjadi fair, bukan berarti (385-322) sampai ke generasi selanjutnya
sepenuhnya mempercayai mitos yang Plato, Aristotle, John Milton, John Locke
digambarkan dalam Lontara’, namun apa dan masih banyak lagi filsuf-filusuf yang
yang kemudian tergambar dalam Lontara’ mendukung dan mengkritik demokrasi
merupakan representasi dari gejala sebagai dasar konstitusional sebuah negara.
masyarakat di Masa lalu. Bahwa orang Tidak dapat dinafikan bahwa
Mandar merupakan representasi dari perkembangan gagasan demokrasi sangat
masyarakat agraris dan maritim. Pada pesat terutama di Eropa pada abad
konteks yang demikian, kita tidak pertengahan beriringan dengan per-
menafikan apa yang kemudian ditulis oleh kembangan kapitalisme. Selanjutnya
bangsa Eropa (Belanda) tentang Mandar. perkembangan tersebut merembes ke Timur
karena beberapa sumber-sumber Belanda beriringan dengan ekspansi bangsa barat ke
juga mengacu pada Lontara’. Salah satunya Timur termasuk ke Asia Tenggara.
adalah Memorie Van Overgave yang ditulis Argumen tersebut tentu saja dengan
W.J. Leyds, tulisan tersebut berbicara menggunakan Perspektif bangsa barat
Mandar dan menggunakan sudut pandang bahwa apa yang terjadi di Asia Tenggara
Mandar dengan mangacu pada Lontara’. bahkan di Indonesia merupakan hasil dari
Oleh karenanya dalam studi ini, Pengaruh Bangsa Eropa.
penulis akan banyak menggunakan sumber- Perspektif di atas tentu saja akan
sumber Lontara’ dalam mengidentifikasi bertentang dengan perspektif Indonesia
nilai-nilai demokrasi masyarakat Mandar sendiri. Bahwa, dalam penerapan dan asas-
yang telah tertanam jauh sebelum negara ini asas demokrasi telah ada sebelum bangsa
lahir. Bahwa jiwa ke-Indonesiaan yang kita barat menginjakkan kakinya bahkan
rasakan sekarang merupakan warisan dari membentangkan layar pertama mereka
leluhur kita bukan warisan dari Bangsa menuju Asia Tenggara ataupun Indonesia.
Eropa. Pernyataan Benda dalam Democracy Oleh karena itu, studi ini akan menjawab
in Indonesia, Apa yang terjadi kepada sebuah keresahan penulis bahwa apa yang
Indonesia? jawabannya adalah karena menjadi masa lalu kita bukanlah produk
Belanda. Benda tidak membenarkan bahwa barat, melainkan sebuah produk yang
apa yang terjadi di Indonesia adalah semua diproduksi dari masyarakat kita sendiri.
karena Belanda, namun justru ia ingin Dengan kata lain demokrasi kita adalah
mengungkap bahwa apa yang menjadi hasil pemikiran kita sendiri.
pemahaman kita terhadap Indonesia sebagai Pada kasus Mandar Darmawan Mas’ud
negara jajahan tidak sepenuhnya mewarisi Rahman dengan karya disertasinya yang
apa yang dibawa oleh Bangsa Barat. Salah berjudul Puang dan Daeng Kajian Sistem
satunya adalah jiwa demokrasi. Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar
Meski demokrasi merupakan produk (Rahman, 1988) yang diterbitkan menjadi
dari barat dan dalam studi ini tetap sebuah buku yang berjudul Puang dan
menggunakan istilah tersebut bukan berarti Daeng: Sistem Nilai Budaya Orang
demokrasi yang saya ungkap dalam Balanipa Mandar telah mengkaji Sistem
masyarakat Mandar adalah warisan dari Nilai Budaya Orang Mandar terutama pada
Barat. Seperti kita ketahui bersama bahwa kajian kepemimpinan (Rahman, 2015).
demokrasi produk barat berasal dari Athena Darmawan memaparkan struktur-struktur
yang membentuk polis (negara kota) dan dalam pemerintahan Kerajaan Balanipa
menyebut polis mereka sebagai demokrasi Mandar dengan menawarkan konsep Puang
(Ball, 2013: 18). Selanjutnya demokrasi dan Daeng yang lahir dari nilai Budaya
terus berkembang dan melahirkan tokoh- Kerajaan Balanipa Mandar. Selanjutnya

88
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Mattulada dalam tulisannya yang berjudul Pemerintah Hindia Belanda akan sangat
Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat berbeda dengan sumber sejarah yang ditulis
Indonesia (Mattulada, 1986). Mengungkap oleh masyarakat lokal dalam bentuk tulisan
bahwa konsep Demokrasi yang kita anut lontara’.
juga bukan sebuah warisan dari barat. Selanjutnya yakni interpretasi, proses
Bahwa asas kerakyatan,musyawarah, ini sangat penting untuk menarik sebuah
mufakat, gotong-royong dsb telah kita fakta yang ditemukan setelah melalui
terapkan jauh sebelum pengaruh bangsa proses kritik. Pada tahap ini penulis
Eropa (Mattulada, 1986: 14). menjawab seluruh permasalahan yang telah
Berpedoman pada dua tulisan di atas, diajukan terutama menyangkut pemerintahan
studi ini akan mengkaji nilai-nilai di Mandar. Membaca proses demokrasi yang
Demokrasi dalam masyarakat Mandar telah ada di Mandar adalah tujuan utama
melalui sistem pemerintahan Kerajaan dari proses ini. Lebih dalam lagi, penulis
Balanipa yang Darmawan Mas’ud dan mengungkap nilai demokrasi yang telah ada
Mattulada belum kaji secara mendalam. di Mandar pada Abad XVI-XVII.
Selanjutnya studi ini akan menjawab Selanjutnya proses historiografi merupakan
pertanyaan-pertanyaan bagaimana praktek- proses terakhir, di mana sejarah dituliskan
praktek demokrasi diterapkan di Mandar? dalam tulisan ilmiah. Sudut pandang
Bagaimana demokrasi itu di terjemahkan Indonesiasentris merupakan tuntutan utama
oleh elit dan masyarakat Mandar? dan proses ini. tujuannya adalah untuk
bagaimana sistem pemerintahan itu menghasilkan tulisan sejarah yang
dijalankan di Mandar pada abad XVI- memandarkan Sejarah Mandar.
XVII?
PEMBAHASAN
METODE Orang Mandar
Studi ini menggunakan metode Orang Mandar dikisahkan dalam
penulisan sejarah yang terdiri dari heuristik, Lontara’’ berasal dari Tomanurung.
kritik, interpretasi dan historiografi. Pongkapadang merupakan keturunan
Pengumpulan sumber (Heuristik) dilakukan tomanurung di langi’. Dikisahkan bahwa
oleh penulis di Arsip Nasional Republik Pongkapadang yang berasal dari Ulu
Indonesia (ANRI). Penulis menemukan Sa’dang yang merupakan daerah
beberapa sumber berupa laporan Belanda pegunungan dan menetap di aliran Sungai
terkait dengan Kerajaan Balanipa. Penulis Sa’dang. Ia melakukan perjalanan
juga menemukan catatan-catatan Belanda di menyusuri aliran Sungai dan sampai di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Bulu Mappa, ia melihat asap yang
(PNRI). Selain itu, Penulis juga menelusuri membumbung tinggi dan menghampiri
sumber-sumber berupa Lontara’ di Balai sumber asap tersebut, ia mengira seseorang
Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. berada di tempat itu. setelah sampai pada
Sumber tersebut merupakan sumber lokal sumber asap tersebut, ia pun bertemu
Mandar yang memberikan kondisi Kerajaan dengan Torije’ne dan kakaknya yang
Balanipa pada abad XVI-XVII. sedang menempuh perjalanan jauh, namun
Proses selanjutnya yakni kritik, penulis berlabuh di daerah itu karena perahunya
memberikan kritik terhadap sumber yang rusak akibat terjangan ombak. Singkat
telah ditemukan. Proses ini penting untuk cerita Pongkapadang dan Torije’ne menikah
menyeleksi dan menarik benang merah dari melahirkan 7 anak. Dan keturunan-
sumber-sumber yang kontradiktif. keturunan Pongkapadang inilah yang
Kontradiktifnya sumber tersebut menjadi raja-raja di Mandar (Leyds, 1940:
disebabkan oleh sudut pandang yang 11).
berbeda saat penulisan sebuah dokumen.
Sumber yang ditulis oleh VOC ataupun

89
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Berdasarkan pemaparan diatas, yang luas, apabila direfleksikan dengan


Pongkapadang sebagai bapak dari zaman sekarang, wilayah kerajaan ini
keturunan raja-raja di Mandar berasal dari meliputi seluruh wilayah Sulawesi Barat
wilayah yang dikenal dengan nama Toraja bahkan sebagian Sulawesi Tengah. Dengan
sekarang, di mana Sungai Sa’dang terletak Persekutuannya yang terkenal dengan nama
di daerah Toraja, indikasi bahwa keturunan Pitu Ba’bana Binangan (Tujuh Kerajaan
orang Mandar adalah Orang Toraja itu kuat, Pesisir) dan Pitu Ulunna Salu (Tujuh
namun dalam kisah tersebut, dikatakan Kerajaan Gunung). Dalam perkembangan-
Pongkapadang hidup di aliran Sungai nya, Di Mandar ada dua periode
bukan berarti hidup di Sungai Sa’dang, bisa kepemimpinan yakni kepemimpinan
saja hidup di wilayah lain di mana air dari Tomakaka dan Mara’dia. Setiap periode
sungai tersebut mengalir. Argumen bahwa kepemimpinan, memiliki sistem pemerintahan
keturunan orang Mandar dari orang Toraja tersendiri. Untuk mengidentifikasi nilai-nilai
pun bisa diruntuhkan dengan melihat jarak demokrasi yang tertanam dalam sistem
antara Toraja dan Mandar di mana jaraknya pemerintahan orang Mandar, maka menjadi
yang sangat jauh meski wilayah tersebut penting studi ini melakukan perbandingan
terhubung. antara dua periode kepemimpinan tersebut.
Dalam kisah tersebut diceritakan
bahwa Pongkapadang bertemu dengan Periode Kepemimpinan Tomakaka
Torije’ne di suatu tempat di mana perahu Tomakaka terbagi atas dua suku kata
Torije’ne rusak. Adanya perahu, jelas tau dan kaka. Tau berarti orang dan kaka
bermakna bahwa tempat pertemuan itu berarti kakak apabila kedua kata ini
adalah di daerah pantai, dengan penegasan digabung maka akan mengandung arti
bahwa perahunya rusak akibat ombak yang kakak atau orang terdahulu. Dalam konotasi
besar. Berdasarkan mitos tersebut bahwa bahasa Mandar apabila kata kaka mendapat
orang Mandar ataupun keturunan- awalan “ma” menjadi Makaka dan akhirnya
kerturunan dari raja-raja berasal dari dua menjadi Tomakaka (orang yang dituakan
tempat yang berbeda yakni Pongkapadang atau orang yang diangkat menjadi
dari pegunungan dan Torije’ne dari Lautan. pemimpin). (Syah, 1998: 58). Seperti yang
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya telah dijelaskan sebelumnya bahwa
bahwa mitos menggambarkan sebuah Tomanurunglah yang mewariskan
peristiwa namun perlu penafsiran dalam, keturunan raja-raja di Mandar, termasuk
sehingga dapat diterima oleh logika. Kisah Tomakaka juga merupakan keturunan dari
yang dipaparkan dapat bermakna bahwa Tomanurung. Dalam seminar kebudayaan
keturunan para raja-raja di Mandar berasal yang dilakukan di Majene tercapai sebuah
dari “air” dalam artian hidupnya tidak kesepakatan dan berdasar pada Lontara’
terlepas dari air, entah itu air yang Muhamma’ bahwa Tomakaka pertama yang
bersumber dari pegunungan (sungai) muncul dalam bertempat tinggal di Ulu’
ataupun dari lautan. Kisah tersebut juga Saddang. Tomakaka pertama bernama
menggambarkan bahwa masyarakat Mandar Pullaomesa. (Anonim, 1984: 109; Syah,
adalah masyarakat bercorak agraris dan 1998: 58-59) Ditegaskan pula dalam Leyds
maritim. bahwa Pullaomesa adalah Tomakaka yang
Meski interpretasi ini sifatnya masih pertama (Leyds, 1940).
subyektif, namun sumber-sumber sejarah Tomakaka Pullaomesa diberi gelar
menunjukkan bahwa Masyarakat Mandar Tomakaka Ulu Sa’dang karena memerintah
adalah suku bangsa yang besar meski dalam di Ulu Sa’dang. Meski data ini bersumber
penulisan sejarah di Sulawesi Selatan, dari Lontara’ di mana “aroma” mitos dalam
Mandar sering kali disebut sebagai bagian Lontara’ sangat kental, namun memberikan
dari Bugis ataupun Makassar. Kerajaan data sejarah yang menarik. Dalam
Balanipa (Mandar) Menguasai wilayah historiografi sejarah Mandar, wilayah

90
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

pesisir selalu diagung-agungkan dan beberapa kerajaan lain adalah dengan


mengesampingkan wilayah pegunungan, melakukan kerja sama, semakin banyak
seakan melupakan bahwa kerajaan pertama “kawan” maka lawan akan semakin takut.
yang ada di Mandar bermula dari Bagaikan semboyan yang kita kenal
pegunungan bahkan “bapak” dari orang- “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.
orang Mandar bersal dari pegunungan. Konsep pemersatu ini sebenarnya telah ada
Menyebut itu hanya sebuah mitos atau sejak dulu, kerajaan-kerajaan di Mandar,
sesuatu yang tidak masuk akal adalah bahwa dengan bekerja sama maka kerajaan
pandangan yang keliru karena apabila lain dapat ditaklukkan.
dirunut kejadiannya, Orang Mandar dimulai Kedua, adalah politik kawin mawin
dari daerah Pegunungan Ulu Sa’dang. yang dilakukan oleh Kerajaan Rante-
Ulu Sa’dang (kepala Sa’dang), di mana bulawan dengan Kerajaan Bone, kisah ini
Sa’dang itu sendiri adalah nama dari cukup menarik. Dalam kisah tersebut
sungai. Ulu yang berarti kepala itu diceritakan bahwa anak dari Kerajaan
mereprentasikan hulu makan Ulu Sa’dang Rantebulawan (perempuan) mandi di
itu bermakana Hulu Sungai Sa’dang. inilah sungai, hanyutlah rambutnya yang
yang ditolak baru-baru ini oleh pemakalah panjangnya 7 depa. Sampai ke wilayah
yang tidak perlu disebutkan namanya dalam Kerajaan Bone, rambut tersebut ditemukan
Konfrensi Nasional Sejarah X di Jakarta, oleh anak Raja Bone. Dan anak raja
mengatakan bahwa itu tidak dapat tersebut berniat untuk mencari pemilik
dipercaya. Meski dengan argumen yang rambut itu dan pada akhirnya menemukan
kuat namun Lontara’ sebagai sumber pemilik rambut dan menikahinya. Menikahi
sejarah lokal Sulawesi Barat tidak boleh I Lando Beluak dengan izin raja tentunya
dikesampingkan. Terlepas dari argumen di (Syah, 1991: 25-27). Yang menarik adalah
atas, perkembangan kepemimpinan pada poin rambut tersebut sampai ke
Tomakaka di Mandar semakin berpengaruh Kerajaan Bone dan dengan mudahnya anak
ditandai dengan digunakannya gelar ini di dari Kerajaan Bone menikahi anak Raja
seluruh wilayah Mandar sebagai gelar Rantebulawang.
seorang raja. Cara penyebarannya pun Pertanyaan yang kemudian muncul
dilakukan dengan cara ekspansi dan politik adalah bagaimana rambut tersebut bisa
kawin-mawin sampai ke Kerjaan Bone? di mana jarak
Dalam Lontara’ dikisahkan pernikahan antara Mandar dan Bone sangat jauh. Dan
antara anak-anak raja, di mana kisah anak mengapa dengan mudahnya anak dari Raja
dari Banua (kerajaan) Rantebulawan Bone dengan mudah menikahi putri raja?
menikah dengan anak Raja Bone (Syah, nampaknya Kerajaan Bone saat itu
1991: 25-27). Dalam Lontara’ tersebut merupakan kerajaan besar, ditunjukkan
dikisahkan pula beberapa anak raja yang dengan mudahnya pangeran dari Bone
menikah dengan anak raja dari kerajaan menikahi putri raja, tanpa diadakan sebuah
lain. Hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pertarungan ataupun pengajuan syarat-
strategi politik. Jelas bahwa menikahkan syarat tertentu. Kekuasaan Bone boleh jadi
keturunan antar kerajaan adalah salah satu satu modal utama yang bisa digunakan oleh
cara yang digunakan untuk mempererat Kerajaan Rantebulawan untuk mengaman-
hubungan darah. Berdasarkan analisis di kan dirinya dalam arena persaingan antar
atas, ada dua sintesa yang dapat ditarik di kerjaan saat itu. tentu cerita ini tidak masuk
antaranya adalah sebagai berikut. akal apabila dihadapkan dengan perspektif
Pertama, politik kawin mawin yang kekinian. Pada tahap inilah pembacaan
dilakukan oleh beberapa banua (kerajaan) sistem dalam mitos itu diperlukan. Bahwa
mengindikasikan persaingan antara kera- dalam mitos tersebut menggambarkan kerja
jaan di Mandar saat itu sangat keras. Mau sama politik antar dua kerajaan untuk
tidak mau untuk menjadi yang terkuat dari

91
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mempertahankan eksistensinya dalam tahun pada periode kepemimpinan


persaingan antar kerajaan. Tomakaka memang tidak sejelas dengan
Politik kawin mawin yang dikisahkan periode kepemimpinan Mara’dia, sumber-
merupakan representasi dari kondisi daerah sumber terkait masih belum banyak
pada saat itu, jelas peperangan sering menjelaskan tentang angka tahun itu.
terjadi, perebutan wilayah sering terjadi, namun, untuk masa keemasan pemerintahan
dengan strategi kawin mawin kemudian Tomakaka, seperti yang telah disebutkan
memudahkan dan membuka jalur politik. sebelumnya berada pada periode Kerajaan
Namun, satu hal yang cukup menarik Passokkorang Raja Lareang perkiraan abad
adalah kisah tentang keturunan raja-raja XV diperoleh dari tahun di mana Balanipa
yang saling bersaudara dalam artian lahir sebagai kerajaan yang meletakkan
dengan luluhur yang sama. Pongkapadang pemerintahan Mara’dia pertama ada pada
yang telah disebutkan di atas sebagai awal abad XVI. Dengan tolak ukur
leluhur dari raja-raja di Mandar. Namun, kelahiran anak I Manyambungi yang
seiring berjalannya waktu kerajaan-kerajaan diperkirakan lahir pada tahun +1550
yang dikatakan satu darah ini,saling (Leyds, 1940: 26).
bermusuhan satu sama lain. Justru ini Periode kepemimpinan ini menjadi
memberikan informasi bahwa dari masa bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Pongkapadang sampai pada masa pepe- perjalanan sejarah pemerintahan di Mandar.
rangan antar kerajaan memiliki jarak waktu Karena Periode ini merupakan awal
yang sangat jauh sehingga tali persaudaraan kelahiran demokrasi di Mandar. Presistensi
yang dulu ada menjadi luntur akibat yang terjadi ketika Kerajaan Passokkorang
perkembangan zaman. Dan pada akhirnya berkuasa di Mandar memicu segala
dibangun kembali dengan politik kawin aktivitas politik yang terjadi pada periode
mawin tersebut. tersebut. Masyarakat yang pada mulanya
Tentu, dengan kondisi politik yang sangat tunduk kepada Tomakaka dengan
digambarkan menunjukkan bahwa corak pemerintahan Totalitariannya
perkembangan kerajaan-kerajaan di Mandar akhirnya melakukan perlawanan. Kehadiran
secara politik sangat pesat, hingga I Manyambungi sebagai seorang tokoh
melahirkan satu kerajaan yang mempunyai merepresentasikan perlawanan tersebut.
pengaruh besar yakni Kerajaan Passo- Dan setelah I Manyambungi berhasil
kkorang. Kerajaan yang berhasil berkuasa menaklukkan Kerajaan Passokkorang dan
dan membawa pengaruh yang cukup besar meredam dominasi Kerajaan Tersebut,
terutama pada masa pemerintahan Raja Kerajaan Balanipa pun lahir dengan
Lareang Tepatnya Pada abad XV (Leyds, gagasan konsep kepemimpinan Mara’dia.
1940: 22-23). Namun dalam sumber-
sumber sejarah bahkan literatur sejarah Periode Kepemimpinan Mara’dia
Mandar, Kerajaan Passokkorang dianggap Benih demokrasi pun tumbuh, apabila
sebagai kerajaan yang kejam, menindas demokrasi itu sebuah pohon, maka
kerajaan-kerajaan disekitarnya, termasuk pemerintahan mara’dia adalah akarnya. I
kerajaan Napo di mana Kerajaan ini yang Manyambungi sebagai Mara’dia Pertama di
menjemput I Manyambungi (todilaling) di Mandar sekaligus sebagai Raja Pertama
Gowa untuk meminta bantuan mengatasi Kerajaan Balanipa. Gelar mara’dia juga
Kerajaan Passokkorang yang menindas lahir ketika kerajaan ini terbentuk. Kerajaan
kerajaan tersebut (Syah,1991: 35-37). yang dalam perkembangannya menjadi
Kisah dijemputnya I Manyambungi kerajaan terbesar yang pernah ada di
merupakan awal dari terbentuknya kerajaan Mandar. Periode kepemimpinan Mara’dia
Balanipa dan dimulainya periode berawal ketika I Manyambungi dijemput di
kepemimpinan Mara’dia di Mandar. Kerajaan Gowa oleh Orang-orang Napo
Terlepas dari kisah-kisah tersebut, angka yang merasa tertindas oleh Kerajaan

92
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Passokkorang (Syah, 1991: 10 dan 37). Terlepas dari hubungan Balanipa dan
Kisah yang dituangkan dalam Lontara’’ ini Gowa, lahirnya Kerajaan Balanipa
menunjukkan bahwa masa kekuasaan merupakan awal dari lahirnya sistem
Passokkorang mencapai puncaknya namun pemerintahan Mara’dia. Raja-raja di
tercapainya puncak dari kekuasaan ini Mandar tidak lagi bergelar Tomakaka
berdampak pada kesemena-menaan namun berganti menjadi Mara’dia. Di mana
terhadap kerajaan lain. Selanjutnya I Mara’dia pertama adalah I Manyambungi.
Manyambungi sebagai agensi yang Ia Tidak hanya berperan sebagai agensi
mengubah struktur dalam hal ini dalam kisah ini namun juga sebagai “hero”.
Pemerintahan, di mana sistem pemerintahan Sidney Hook dengan konsep heronya,
tomakaka menjadi struktur yang berhasil yakini sebagai orang yang lahir di tengah-
diubah. tengah kekacauan dan menyelesaikan
Power yang dimiliki oleh agen di masalah yang terjadi (Hook, 1969: 12).
atas cukup kuat karena mampu mengganti Berdasarkan kisah sebelumnya bahwa I
struktur yang ada, bukan hanya mengubah Manyambungi hadir di tengah kekacauan
dan mengganti sistem itu namun yang terjadi di Mandar. Menjadi Hero bagi
membangun sebuah kerajaan yang orang-orang Napo dan menjadi agensi
pengaruhnya sangat besar bagi tatanan dalam perubahan struktur pemerintahan
kehidupan politik di Mandar. Hadirnya I Tomakaka di Mandar bahkan membentuk
Manyambungi pada akhirnya mengalahkan kerajaan baru dengan sistem yang baru
Kerajaan Passokkorang dengan pula. Dengan kerajaan baru dan sistem
menggunakan sebuah tombak yang yang baru ini menjadikan Kerajaan
bernama I Naga, membawa gong kebesaran Balanipa sebagai Kerajaan terbesar di
Kerajaan Gowa dan sebuah bedil (Syah, Mandar saat itu.
1991: 10). Menarik, yang kemudian
menjadi perhatian besar adalah Kerajaan Membaca Nilai-Nilai Demokrasi di
Gowa yang sering disebut-sebut dalam Mandar
Lontara’’ Mandar bahkan sangat diagung- Terbentuknya Kerajaan Balanipa
agungkan, dan apabila dilihat dari kisahya, memberikan dampak yang sangat signifikan
Gowa mempunyai peran yang sangat di wilayah Mandar. salah satu langkah
penting dalam perkembangan politik pembaharuan yang dilakukan oleh I
pemerintahan di Mandar saat itu. jelas, I Manyambungi Sebagai Raja Pertama
Manyambungi menjadi agen dan membentuk Sistem pemerintahan. Sebagai
mempunya power yang kuat tak lepas dari seorang raja ia membentuk banua kaeang.
pengaruh Kerajaan Gowa. Ini bermakna terdiri dari dua kata yakni banua berarti
bahwa Kerajaan Gowa memiliki kuasa rumah dan kaeang berarti besar jadi apabila
dalam meligitimasi Mandar. Terlihat dari kedua kata ini berada dalam satu frase maka
hanya satu orang yang dibimbing oleh akan memiliki arti rumah besar. Rumah
Kerajaan Gowa dalam hal ini I besar yang dimaksudkan disini bukanlah
Manyambungi. Hanya satu orang yang rumah secara harfiah namun merupakan
mewakili Kerajaan Gowa, meski I suatu wilayah di mana wilayah ini
Manyambungi sendiri berdarah Orang merupakan wilayah Kerajaan Balanipa yang
Mandar. Ia bisa mengalahkan dominasi memiliki pengaruh dan legitimasi kuat.
Passokkorang bahkan membentuk Wilayah-wilayah yang dimaksud yakni,
hegemoni baru dalam tatanan masyarakat banua kaeang Napo, banua kaeang
Mandar saat itu. Kisah itu juga Samasundu, banua kaeang Mosso dan
menunjukkan bahwa Pertalian antara banua kaeang Todang-todang. Keempat
Kerajaan Gowa dan Mandar memang tidak Banua tersebut dikenal dengan istilah
pernah putus dalam Lontara’’ terutama sebagai Appe’ Banua Kaiyyang (empat
dengan Kerajaan Balanipa. wilayah besar) (Mandra, 1991: 108).

93
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Ke-Empat Banua inilah yang 4. Terbaik diantara sekian diantara sekian


kemudian menjadi penentu dari segala orang pilihan yang di calonkan (yang
kebijakan yang dikeluarkan oleh Kerajaan paling baik).
Balanipa (Raja Balanipa) salah satunya 5. Idealisme rakyat (amanah penderitaan
adalah pengangkatan seorang raja rakyat) yang sepanjang saat tidak
(Mara’dia). Appe’ Banua Kaiyyang jugalah kunjung bisa terobati harus jadi
yang melantik semua perangkat konsepsi utama untuk membanahinya.
pemerintahan mulai dari Mara’dia Matoa 6. Memperjuangkan kepentingan rakyat
(perdana menteri), Mara’dia Malolo kecil dan demi memperjuangkan
(panglima perang), dua orang Pa’bicara kepentingan rakyat kecil, segala daya
(penasehat) dan 8 Pappuangan. Adapun upaya hendaknya secara maksimal
dua orang pa’bicara dan 8 papuangan dikerahkan, meski jiwa akan jadi
dikenal sebagai “Ada Sappulo Sokko’“ taruhannya (Mandra, 2008: 13-14).
(Anonim, 1984: 191). Apabila ditinjau Syarat-syarat di atas harus dimiliki
secara struktural, sistem pemerintahan di oleh seorang calon Mara’dia dan di antara
atas merupakan sebuah sistem beberapa syarat yang disebutkan di atas,
pemerintahan yang merepresentasikan secara keseluruhan menyangkut budi
sebuah Negara. Banua sebagai Lembaga pekerti luhur, tidak ada yang menyinggung
tertinggi kerajaan dikenal juga dengan masalah fisik, pangkat dan kedudukan
sebutan Lembaga Hadat. Apabila di semua orang berhak untuk menjadi
refleksikan dengan sistem pemerintahan Mara’dia setelah dipilih oleh lembaga
Republik Indonesia maka posisi Hadat hadat sebelumnya. Jadi siapa pun yang
sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat memenuhi syarat tersebut dan terpilih oleh
(MPR). dewan hadat, maka dia berhak untuk
Sebagaimana tugas dari MPR sebagai menjadi Mara’dia (raja) di Kerajaan
lembaga negara mempunyai tugas untuk
Balanipa. Selanjutnya melalui proses
melantik bahkan menurunkan seorang pemilihan oleh dewan-dewan yang
pemimpin. Hadat sebagai lembaga kerajaan mewakili rakyat. pada tahap ini, pemilihan
juga memiliki wewenang yang sama raja tidak dipilih langsung oleh rakyat
dengan MPR bahkan segala kebijakan yang seperti konsep demokrasi yang bersama kita
berhubungan dengan kerajaan, harus pahami namun dalam syarat-syarat di atas,
melalui persetujuan dari lembaga ini. menunjukkan bahwa seorang raja haruslah
Begitu pula ketika seorang raja ingin tetap melindungi kesejahtraan rakyatnya
diangkat dan diturunkan dari jabatannya. dan siapa saja boleh mencalonkan/menjadi
Seorang mara’dia sebagai seorang raja raja apabila memenuhi syarat-syarat
harus memiliki kecakapan sebagai seorang tersebut.
pemimpin dengan kata lain bahwa seorang Dalam Lontara’ dikenal dengan O
raja yang diangkat harus memenuhi syarat- Diadaq O Dibiasa (sesuai ketentuan adat
syarat tertentu diantaranya yakni: dan kebiasaan). Pedoman tersebut tertuang
1. Seorang pemimpin harus memiliki dalam pesan I Manyambungi yang
keberanian, ketegasan dan berbunyi:
kebijaksanaan. Madondong duang bongi anna mateaq, da
2. Memiliki/ ilmu keahlian untuk mupajari mara’dia, mau anaqu mua’
memimpin dan memiliki ilmu agama tania, tonamaq asayangngi Litaq muaq
islam yang cukup (tamat) mengaji. masuangi pulu-pulunna, matoqdori
3. Memiliki tanda jasa yang terbukti kedona, apaq yamo tuqu ditingo,
dalam hidupnya (bukti kebaikan dan namarrupuq-ruppuq banua.
usaha yang bermanfaat untuk
masyarakat yang terfakta lewat Artinya: besok lusa bila saya meninggal,
pengalaman dalam hidupnya. jangan engkau mengangkat seorang raja
kendatipun anakku atau cucuku, kalau

94
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

bukan orang yang akan menyayangi negeri dengan menyerang kerajaan tersebut namun
kalau tutur katanya tidak senonoh, kalau pasukan yang ikut serta dengan Daeng
tingkah lakunya kaku dan kasar sebab Rioso hanya pengawal Pribadinya, orang
orang seperti itulah yang akan Balanipa tidak ikut serta (Syah, 1992: 11).
menghancurkan negeri (Yasil, 2012: 25-
Sikap tegas dari rakyat Balanipa tidak
26)
ingin mendukung Raja yang ingin merebut
istri seseorang. Di mana tindakan tersebut
Pesan ini kemudian menguatkan bahwa
merupakan tindakan yang tidak terpuji.
seorang pemimpin di Kerajaan Balanipa
Rakyat tidak mendapat tekanan dari
bisa siapa saja yang memenuhi kriteria yang
mara’dia bahkan ia hanya berangkat
telah dijabarkan sebelumnya. Artinya setiap
bersama pengawal pribadinya. Dan pada
warga masyarakat berhak untuk menjadi
akhirnya mara’dia Daeng Rioso diturunkan
seorang pemimpin. Jiwa demokrasi juga
dari jabatannya oleh Hadat Balanipa atas
nampak dalam sistem pemerintahan
persetujuan rakyat Kerajaan Balanipa
Kerajaan Balanipa dengan melihat kondisi
karena telah melakukan tindakan yang tidak
Kerajaan. Kondisi tersebut sebagai berikut:
terpuji (Syah, 1992: 10-13).
1. Hasil laut tidak ada lagi atau jarang
Selain syarat-syarat untuk mengangkat
2. Hasil pangan tidak ada lagi atau jarang
ataupun menurunkan jabatan seorang raja,
3. Tidak ada lagi orang yang berani
jiwa Demokrasi yang terpenting dalam
berbicara tentang kebenaran, karena
sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa
dilarang bicara oleh penguasa walaupun
yakni adanya Lembaga Hadat. Seperti yang
berbicara tentang kebenaran
telah disebutkan sebelumnya bahwa Appe’
4. Buah-buahan tidak jadi atau jarang
Banua Kaiyyang merupakan representasi
ditemukan.
Lembaga Hadat yang mempunyai
5. Gunung-gunung tandus dan tidak
legitimasi tertentu namun Perlu diketahui
membuahkan hasil
bahwa Banua yang dimaksud disini adalah
6. Terjadi kemarau panjang
wilayah yang dulunya merupakan wilayah
7. Rakyat terancam kelaparan (Mandra,
yang memakai sistem pemerintahan
1990: 116; Yasil, 2012: 17-18).
Tomakaka. Pembentukan lembaga baru
Poin ke tiga merupakan jiwa yang dilakukan oleh Tomepayung (Raja
demokrasi berupa penekanan terhadap Ke-2 Kerajaan Balanipa), agaknya
posisi seorang pemimpin dan bagaimana merupakan usaha untuk menghilangkan
pemerintahan itu dijalankan dengan kata “aroma” Tomakaka di Mandar ataupun
lain bahwa seorang penguasa tidak lagi merupakan usaha untuk merangkul keempat
memiliki kuasa untuk bersikap otoriter wilayah ini menjadi dalam satu kesatuan
terhadap rakyatnya. Apabila seorang raja politik dalam wadah Kerajaan Balanipa.
memberikan batasan kepada rakyatnya Dengan kata lain memberikan jabatan
untuk menyuarakan kebenaran maka raja sebagai badan lembaga yang berhak
tersebut patut untuk diturunkan dari mengangkat Mara’dia (raja) Tomakaka
jabatannya. Secara keseluruhan, gambaran tidak serta merta hilang setelah munculnya
kondisi kerajaan di atas merepresentasikan Mara’dia, namun direproduksi menjadi
kondisi rakyat yang tidak sejahtera dan bentuk yang baru tanpa melepaskan
pemerintahan yang bersifat otoriter. Seperti statusnya sebagai bangsawan.
yang di ungkap oleh Aristoteles bahwa Tidak hanya sampai disitu,
setiap warga negara harus mempunyai Tomepayung menjadi pelopor dari
kesamaan (Diane, 2005: 13). terbentuknya persekutuan antar kerajaan-
Sebuah kisah dalam Lontar kerajaan besar di Mandar, Pitu Ba’bana
Patodioloang seorang mara’dia yakni Binanga. Persekutuan ini sangat berdampak
Daeng Riosok ingin memperistri permaisuri pada kerjasama antar anggotanya yakni
Raja Kerajaan Pamboang. Ia memaksa Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang,

95
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Mamuju, Tappalang dan Binuang. Pada kapal dagang Belanda (Arsip Nasional,
masa ini, gelar Mara’dia tidak hanya 1850).
menjadi sebuah gelar yang disematkan pada Terlepas dari kedatangan pemerintah
Kerajaan Balanipa namun seluruh kerajaan- Kolonial Belanda di Mandar, secara
kerajaan termasuk 7 kerjaan besar ini wajib struktural dalam hal ini pemerintahan
menggunakan gelar ini, menggantikan gelar Belanda tidak membawa dampak yang
sebelumnya yakni Tomakaka. Nampak signifikan kecuali pada abad XIX setelah
bahwa dominasi kuasa dari Kerajaan penandatanganan kontrak antara Kerajaan
Balanipa pada masa ini sangat kuat, Semua Balanipa dan Pemerintah Kolonial Belanda.
kerajaan harus tunduk pada pemerintahan Meskipun seiring berjlannya waktu, sistem
Balanipa. terlebih lagi dalam konfederasi pemerintahan Kerajaan Balanipa (Mandar)
tersebut yang menjadi “bapak” (pemimpin) diganti oleh sistem pemerintahan Kolonial.
adalah Balanipa. Dengan kata lain bahwa pemerintah
Balanipa sebagai pemimpin (wakil) Kolonialah yang “meredupkan” jiwa
dari seluruh kerjaan-kerajaan di Mandar demokrasi yang ada di Mandar.
tidak hanya dibuktikan dengan sumber- Jiwa Demokrasi yang dimaksud dalam
sumber berupa Lontara’’ namun sumber- sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa
Sumber Belanda kolek Arsip Nasional yakni musyawarah untuk mencapai
senada dengan hal tersebut. Nampak pada mufakat. Bahwa poin ini menjadi sangat
salah satu dokumen penandatanganan penting dalam berdemokrasi. Seperti yang
kontrak antara Balanipa (wakil Mandar) kita ketahui bersama bahwa Asas terpenting
dengan pihak Belanda pada tanggal 30 Mei dari Demokrasi adalah kebebasan
1850 (Arsip Nasional, 1850). Berdasarkan berpendapat. Seperti yang telah dipaparkan
pembacaan arsip yang dilakukan, perjanjian sebelumnya bahwa seorang pemimpin tidak
ini adalah kontrak pertama yang dilakukan mempunyai legitimasi untuk memberikan
oleh Kerajaan Balanipa sebagai wakil larangan kepada rakyat yang ingin berkata
Mandar dengan pihak pemerintah kolonial kebenaran. Selain itu, dalam pengambilan
Belanda. Beberapa isi dari perjanjian keputusan di Kerajaan Balanipa, selalu
tersebut menyatakan bahwa kerajaan menggunakan musyawarah sebagai cara
Balanipa adalah bagian dari Pemerintah untuk mengambil keputusan terutama
Kolonial Hindia Belanda. Kalimat ini bisa keputusan yang menyangkut kepentingan
saja mengindikasikan bahwa Belanda telah Federasi Kerajaan Mandar yang terkenal
menguasai Mandar, karena Balanipa telah dengan nama Pitu Ba’bana Binanga.
merupakan bagian dari pemerintah kolonial
Belanda. Pitu Ba’bana Binanga: Simbol Demokrasi
Namun berdasarkan sumber-sumber Mandar
Pemerintah Kolonial Belanda memang Apabila Edward Poelinggomang
sering kali menggunakan kalimat ini dalam menyebut periode Kemandaran sebagai
kontrak-kontraknya tetapi tidak bermakna periode bangkitnya mandar dengan
bahwa Belanda telah merebut kekuasaan terbentuknya Kerajaan Balanipa, maka pada
pada daerah itu. Pada tahun tersebut periode terbentuknya Konfederasi Pitu
memang Belanda sudah mulai memperluas Ba’bana Binanga disebut sebagai Periode
wilayah perdagangannya sehingga yang Amara’diang (Darmawan Mas’ud).
dipermasalahkan dalam kontrak ini adalah Konfederasi Tujuh Kerajaan Pesisir (pitu
seringkalinya kapal dagang Belanda dibajak ba’bana binanga) merupakan nama federasi
oleh perompak disekitar wilayah Kerajaan ini. Dibentuk oleh Tomepayung (raja ke-2
Balanipa (Mandar) oleh karena itu Balanipa Kerajaan Balanipa). Konfederasi ini
sebagai wakil Mandar diberikan hadiah dibentuk setelah serangan yang dilakukan
sebagai imbalan atas pengamanan kapal- oleh Tomepayung atas Kerajaan
Passokkorang, dikisahkan dalam Lontara’

96
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

bahwa orang-orang berkumpul di keluar masuk dan memungut bea keluar


Tammajarra, maka Raja Balanipa mengirim masuk terhadap perahu dan barang
utusannya menuju Sendana, Banggae dan dagangan dan Sakka Manarang yang
Pamboang. Berkatalah Raja Sendana: bertugas untuk melaksanakan pemba-
duluanlah kembali hai utusan. Akan saya ngunan fisik (Anonim, 1984: 90). Struktur
ajak karib kerabatku yakni Raja Mamuju ini secara umum dipakai oleh Kerajaan
dan Raja Tappalang begitupun dengan Raja Balanipa namun untuk masalah gelar raja-
Pamboang yang kemudian diajak oleh Raja raja yang termasuk dalam konfederasi
Sendana, Mamuju dan Tappalang (Yasil, memakai gelar mara’dia. Gelar Tomakaka
1985:209). Dan pada akhirnya berkumpullah tidak dipakai lagi.
enam kerajaan yang merupakan cikal bakal Ketentuan pemakaian gelar ini
dari persekutuan Kerajaan-Kerajaan Pesisir. menunjukkan legitimasi dari Kerajaan
Enam Kerajaan ini kemudian Balanipa karena yang pertama kali
melakukan musyawarah untuk membentuk menggunakan gelar ini adalah Raja
sebuah persekutuan dan berjanji akan saling Balanipa. Dan apabila dilihat dari struktur
melindungi serta bekerja sama satu sama konfederasi ini, Kerajaan Balanipa menjadi
lain di berbagai bidang demi kepentingan Ketua dari Konfederasi. Kerajaan Balanipa
bersama (muktamar tammejarra I). dengan sebagai Bapak, Kerajaan Sendana sebagai
prakarsa Kerajaan Balanipa sebagai Ibu dan Kerajaan Banggae, Pamboang,
kerajaan yang pada periode itu memiliki Tappalang, Mamuju sebagai anak (Yasil,
pengaruh yang sangat besar dari segala 1985: 211). Jumlah Kerajaan yang pertama
aspek. Dari sudut pandang hubungan kali ikut dalam perundingan pembentukan
diplomatik lima kerajaan yang diajak untuk konfederasi hanya ada enam namun
membentuk konfederasi mau tidak mau berikutnya Kerajaan Binuang dimasukkan
setuju dengan inisiatif Kerajaan Balanipa. sebagai anggota ke ketujuh. Pada kasus
Terlebih lagi pada periode pemerintahan Kerajaan Binuang, Kerajaan ini merupakan
Tomepayung, Kerajaan Balanipa memiliki Kerajaan Hadiah dari Kerajaan Gowa. Di
sistem pemerintahan yang sangat baik mana sebelumnya Binuang merupakan
terbukti pada tahun 1580-1610 laju Kerajaan Taklukkan Kerajaan Passokorang
perkembangan di Mandar sangat pesat, dan Kerajaan Batulappa’ yang dijual ke
meliputi segala aspek (leyds, 1940: 26, Kerajaan Gowa (Syah, 1992: 13-17).
lotara’ pattodioloang, 1991: 41; Naskah Dengan kata lain, Kerajaan Binuang
Mandar : 109 dan Naskah Awal Sejarah ikut serta dalam Konfedarasi setelah
Mandar, 2010 :58). diadakannya Muktamar Tammejarra II
Pada periode Tomepayung, dibentuk (Yasil, 2012: 67). Dengan masuknya
pula angkatan militer yang disebut sebagai Binuang sebagai anggota ke-7 maka
“Appe’ Jannangan” yang terdiri dari ; 1). Mandar sebagai satu kesatuan administratif
Andongguru pakkawusu’, 2). Andongguru telah terbentuk. Menjadi sebuah kekuatan
Passinapa’, 3). Andongguru Pa’burasang politik yang cukup disegani pada periode
dan 4). Andongguru Jowa’ Matoa. Dan dari ini. Sebuah bentuk negara pada masa klasik.
ke-empat angkatan perang ini dibawahi Megaskan bahwa pencapaian lokalitas pada
lansung oleh seorang Mara’dia yang masa klasik merupakan hasil pemikiran
bergelar Mara’dia Malolo (panglima masyarakat kita sendiri bukan produk
perang. Dalam Bidang ekonomi dan Bangsa Barat. Leonard Andaya juga
pembangunan kerajaan juga dibentuk mempertegas dalam tulisannya yang
sebuah badan yang bertugas untuk menyatakan bahwa kekuatan dan kesatuan
mengontrol jalannya roda perekonomian masyarakat membentuk unit-unit politik
dan pembangunan. Masing-masing dari dasar di daerah ini (Andaya, 2004: 14).
kedua badan ini diketuai oleh Sawwanara Andaya mengakui bahwa Pitu Ba’bana
bertugas untuk mengawasi perahu yang

97
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Binanga adalah sekutu terkuat Kerajaan Konsep tersebut lahir ketika


Gowa. Tomepayung mengadakan perjanjian
Kebesaran Konfedarasi ini tidak dengan Palilik (negara vasal) bahwa palilik
diragukan lagi keberadaannya, bentuk tidak dituntut untuk memperoleh kebesaran
negara yang ditawarkan pada periode klasik bahkan tidak akan dikecilkan
ini menggambarkan sebuah tawaran negara (ditelantarkan) oleh Balanipa dengan
federalis. Bahwa perpecahan yang terjadi menjunjung tinggi konsep mengga Lenggoq
sebelumnya dapat disatukan melalui Mengga Belawa. Dan sebagai gantinya
konfederasi lantas kenapa negara ini masih Balanipa juga memperoleh perlakuan yang
berbentuk republik Di mana pemerintahannya baik ketika orang-orang Balanipa berada di
terpusat? Dengan pembangunannya yang wilayah vasal tersebut (Syah, 1992: 58;
tidak merata. Menjadi kasus tersendiri dari Yasil, 1985: 109; Mandra, 2015: 32).
polemik bentuk negara. Namun Agaknya Lahirnya konsep ini agaknya menginspirasi
gagasan bentuk federalis/konfederasi pemikiran politik Tomepayung selanjutnya.
menjadi tawaran yang cukup menarik Dengan kata lain Konsep ini menjadi dasar
apabila kita melihat kondisi geografis dari periode Pemerintahan Tomepayung
maupun kultural negara ini. Meski wujud dalam menjalankan pemerintahannya.
dari negara federalis sebahagian telah Terbukti setiap Tomepayung
terwujud dalam otonomi daerah. menyelesaikan masalah di Kerajaan Balanipa
Terlepas dari gagasan tersebut, bahkan dalam Konfedarasi ia selalu
konfederasi Pitu Ba’bana Binanga menjadi menggunakan musyawarah mufakat. Salah
turning point Mandar sebagai kekuatan satunya ketika Tomepayung mengadakan
besar yang berbentuk Negara Demokrasi. perundingan untuk menyelesaikan masalah
Lahirnya Periode Amara’diang, dan antara Puang di Alu dan Puang di Pussuq
digunakannya gelar mara’dia sebagai (Mandra, 1991: 97). Terlebih lagi ketika
sebuah identitas seorang raja merupakan Konfederasi Pitu Ba’bana Binanga
pencapaian Tomepayung dalam membentuk dibentuk, semua lahir dari hasil
masyarakat yang berdemokrasi. Ia berhasil musyawarah. Ditambah dengan cara
membangun sebuah gagasan musyawarah Kerajaan Memperlakukan Negara Vasalnya
mufakat dalam setiap permasalahan yang yang tentu saja jiwa Demokrasi tertanam
terjadi di Mandar. gagasannya ini tertuang dalam konsep Mengga Lenggoq Mengga
dalam nilai-nilai budaya Mandar yang Belawa.
tercatat dalam Lontara’’ yakni (1) manu’ Konsep Mengga Lenggoq Mengga
Tandi pessisi’i (ayam yang tidak dilihat Belawa yang kemudian diterjemahkan oleh
warnanya) bermakna dalam kehidupan masyarakat Mandar terutama pemimpin-
sehari-hari tidak pandang bulu baik status pemimpin Mandar selanjutnya. Maka
maupun jabatannya, hukum adat tetap dengan konsep inilah pemerintahan di
dijunjung tinggi. (2) Beang Tandi Gati Mandar dijalankan oleh Kerajaan Balanipa
(Beras yang tidak perlu ditakar) bermakna maupun kerajaan yang termasuk dalam
ekonomi berbasis Kerakyatan, tetap Konfederasi Pitu Ba’bana Binanga.
mementingkan kepentingan rakyat kecil. (3) Kerajaan yang berasaskan pada pencapaian
Suwa Tandi Biti (rambut bersisir tanpa kesejahteraan dan keadilan kepada setiap
perlu di patut-patut lagi) bermakna warga kerajaan, Tidak memandang bulu
Persatuan yang berkesinambungan (4) Ara- dalam perlakuan hukum dan yang
ratang Tandi Dappai (tali yang tak perlu di terpenting adalah selalu mengedepankan
ukur) bermakna bahwa hukum/keadalian musyawarah dalam mencapai mufakat.
tidak ada ukuran membeda-bedakan. Konsep inilah yang dipegang teguh oleh
Konsep inilah yang kemudian dikenal Kerajaan Balanipa bahkan seluruh Kerajaan
dengan Mengga Lenggoq Mengga Belawa yang menjadi Anggota Persekutuan Pitu
(Yasil, 1985: 208). Ba’bana Binanga. Entah terjadi perubahan

98
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

setelah Belanda melakukan ekspansi ke dikenal sebagai “Ada Sappulo Sokko’“.


Mandar dalam rangka menaklukkan Selain itu, beberapa lembaga tersebut
Sulawesi secara keseluruhan setelah memiliki divisi-divisi tersendiri. Sebuah
Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda. gambaran sistem pemerintahan yang sudah
Kajian tersebut menjadi studi tersendiri sangat restruktur pada abad XVI.
kedepannya. Sebuah Bentuk Negara merupakan
gagasan dari sistem ini. Konfederasi Tujuh
PENUTUP Kerajaan di Mandar (Pitu Ba’bana
Biananga) merupakan satu pencapaian
Perubahan sistem kepemimpinan di
terbesar yang dilakukan oleh Tomepayung
Mandar yakni dari Tomakaka menjadi
karena konfederasi inilah yang menjadi
Mara’dia berpengaruh pada sistem
simbol lahirnya sebuah Kerajaan-kerajaan
pemerintahan yang pada akhirnya
besar dan berpengaruh di Sulawesi pada
membentuk sistem pemerintahan baru.
periode Abad VII. Sebuah simbol yang
Dengan kata lain perubahan kepemimpinan
melambangkan persatuan dan kesatuan Di
mengubah sistem yang ada. Tokoh
mana musyawarah dan penyetaraan
perubahan tersebut yakni I Manyambungi.
dijunjung tinggi diantara tujuh kerajaan ini.
Ia merupakan keturunan Orang Mandar
Tidak ada pembeda dalam menjalankan
yang belajar ke Kerajaan Gowa pada rentan
pemerintahan. Apabila seseorang bersalah
periode tersebut. Tokoh inilah yang
maka ia akan dihukum sesuai dengan
Mengalahkan Kerajaan Passokkorang dan
aturan. Kebenaran sangat dijunjung tinggi.
Mengganti sistem kepemimpinan
Mengga Lenggoq Mengga Belawa
Tomakaka menjadi Mara’dia sekaligus
merupakan salah satu konsep yang
mengganti sistem pemerintahannya. Di
ditawarkan oleh sistem ini. Bahwa jiwa
mana sebelumnya posisi raja adalah mutlak
Demokrasi tertanam dalam konsep tersebut.
(otoriter) dan saat diubah, posisi raja tidak
(1) manu’ Tandi pessisi’i (ayam yang tidak
lagi mutlak (demokratis). Jabatan seorang
dilihat sisiknya) bermakna dalam kehidupan
raja bisa diduduki oleh siapa saja tanpa
sehari-hari tidak pandang bulu baik status
pandang bulu selama ia memenuhi syarat-
maupun jabatannya, hukum adat tetap
syarat yang telah ditentukan. Bahkan
dijunjung tinggi. (2) Beang Tandi Gati
seorang raja bisa diturunkan apabila ia
(Beras yang tidak perlu ditakar) bermakna
sudah tidak memenuhi kriteria sebagai
seorang pemimpin yang baik. ekonomi berbasis Kerakyatan, tetap
mementingkan kepentingan rakyat kecil. (3)
Pada perkembangan selanjutnya, Raja
Suwa Tandi Biti (rambut bersisir tanpa
Ke-2 Tomepayung Menjabat. Sebagai
perlu di patut-patut lagi) bermakna
Mara’dia ke-2 setelah ayahnya, Tomepayung
Persatuan yang berkesinambungan (4) Ara-
Membawa dampak yang sangat signifikan
ratang Tandi Dappai (tali yang tak perlu di
terhadap Kerajaan Balanipa Bahkan
ukur) bermakna bahwa hukum/keadalian
Mandar pada periode Abad XVI. Apabila I
Manyambungi merubah sistem kepemimpinan tidak ada ukuran membeda-bedakan.
dan sistem pemerintahan, maka Tomepayung Aplikasi konsep tersebut dijalankan
menyempurnakan perubahan tersebut. Dengan oleh masyarakat Mandar dengan
membentuk lembaga-lembaga dalam struktur menjunjung tinggi kebenaran, setiap orang
pemerintahan. Diantara lembaga-lembaga bisa mengajukan sebuah kebenaran. Raja
tersebut adalah Appe’ Banua Kaiyyang tidak mempunyai legitimasi dan bersikap
jugalah yang melantik semua perangkat represif terhadap rakyat. suara dan kondisi
pemerintahan mulai dari Mara’dia Matoa rakyat adalah penentu dari langgengnya
(perdana menteri), Mara’dia Malolo kekuasaan sang raja. apabila rakyat
(panglima perang), dua orang Pa’bicara mengalami sengketa maka yang dilakukan
(penasehat) dan 8 Pappuangan. Adapun adalah dengan bermusyawarah untuk
dua orang pa’bicara dan 8 papuangan mencapai mufakat.

99
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

DAFTAR PUSTAKA Penulisan Latar Belakang Isi Naskah


Kuno/Lontara Mandar Daerah
Arsip dan Lontara’
Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen
Anonim, Laoran Hasil Seminar Pendidikan dan Kebudayaan.
Kebudayaan Mandar I Tanggal 31 Juli
S/D 2 Agustus 1984 di Majene. Buku-buku
Abidin Andi Zainal. 1999. Sejarah
Arsip Nasional, bb.28 1756. Acte Van
Sulawesi Selatan. Ujung Pandang :
Renovatie den Vorstan Van Mandhar,
Hasanuddin University Press.
Contract mit Mandhar Balanipa 30
Mei 1850. Abbas Ibarahim. 1999. Pendekatan Budaya
Mandar. Makassar: UD Hijrah
C Noote Boom. 1994/1995. Laporan
Grafika.
Penelitan dan Nilai Tradisional
Sulawesi Selatan Kerajaan Balanipa - Ahmad dkk. 2007. Sejarah Mandar dan
Mandar. Ujung Pandang : Departemen Sejarah Perjuangan Bangsa Di
Pendidikan Dan Kebudayaan Kab.Majene. Dinas Pendidikan dan
Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kebudayaan Majene Binmudorabud
Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Seksi Kebudayaan.
Ujung Pandang.
Andaya, L. Y., 2004. Warisan Arung
Hanoch, Luhukay dkk. 2006. Memori Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan
Asisten Residen W.J.Leyds Selama Abad 17. Makassar: INNINAWA.
Bertugas di Mandar. Yayasan Kaitupa. Asdy Ahmad dkk. 2003. Mandar Dalam
Mandra. A.M. 2015. Transliterasi dan Kenangan tentang Latar Belakang
Terjemahan Lontara Balanipa Keberadaan Arajang Balanipa.
Mandar. Makassar: Kretakupa. Yayasan Mahaputra Mandar.
Mandra, A. & dkk, 1991. Lontar Mandar. Asdy Ahmad dan Anwar Sewang. 2010.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Etika Dalam Kehidupan Orang
Kebudayaan. Mandar. Yayasan Mahaputra Mandar.
Muthalib Abdul dkk. 1988. Transelisasi Ball, T., Dagger, R. & O'neil, D., 2013.
dan Terjemahan O Diadaq O Dibiasa Political Ideologies and Democratic
(Naskah Lontarak Mandar). Ideal. New York: Pearson.
Depertemen Pendidikan dan Barthes Roland, Mythologies, 1983. New
Kebudayaan Direktorat Jendral York : Hill and Wang, diterjemahkan
Kebudayaan Sulawesi Selatan 1988. oleh Nurhadi. A. Sihabul Millah.
Syah, Tanawali Aziz. 1992. Lontarak 1 Mitologi. 2015. Bantul:Kreasi Wacana
Pattodioloang di Mandar. Ujung Diane Revitch, A. T., 2005. Demokrasi
Pandang: Taruna Remaja.
Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan
Syah, Tanawali Aziz. 1992. Lontarak 2 Obor.
Pattodioloang di Mandar. Ujung Giddens Athony. The Constitution of
Pandang: Taruna Remaja. Society: Outline of The Theory of
Yasil, Suardi dkk. 2012. Naskah Awal Strukturation.1984. USA: University
Sejarah Polewali Mandar. Polewali of California Press. Diterjemahkan
Mandar: Dinas Perhubungan, oleh Maufur dan Darmayanto. 2010.
Komunikasi dan Informatika Teori Strukturasi: Dasar-Dasar
Kabupaten Polewali Mandar. Pembentukan Struktur Sosial
Yasil, S. et al., 1985. Inventarisasi, Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Transkripsi, Penerjemahan dan

100
Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Hook Sidney. The Hero in History, 1969. 1949) .Ujung Pandang : Yayasan
Boston: Beacon Pers. Kebudayaan Mandar Rewata Rio.
Idham dkk. 2010. Sejarah Perjuangan Sinrang Syaiful. 1994. Mengenal Mandar
Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Sekilas Lintas. Group “Tipalayo”
Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Polemaju Mandar.
Sulawesi Barat. Priyadi Sugeng. 2015. Historiografi
Kartodirdjo, S., 2014. Pemikiran Dan Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Perkembangan Historiografi Syah, Tanawali Aziz. 1980/1981. I Calo
Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Ammana I Wewang Topole di Balitung
Madjid, M. Saleh dan Abd. Rahman Hamid. Pahlawan Daerah Mandar Sulawesi
2007. Pengantar Ilmu Sejarah. Selatan. Ujung Pandang: Pemda T.K.
Makassar: Jurusan Pendidikan Sejarah I. Prop. Sulsel.
Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Syah, Tanawali Aziz. 1997. Sejarah
Universitas Negeri Makassar. Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid
Mandra A M. 1990. Mandar dan Bone I, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang :
dalam Lontar Mandar. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang.
Mandra A M. 2002. Sejarah Perjuangan Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah
Kemerdekaan Bangsa di Mandar. Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid
Majene: Pemerintah Daerah II, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang :
Kab.Majene. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang.
Mappangara Suardi. 2004. Ensiklopedia Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah
Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid
Tahun 1905. Dinas Kebudayaan dan III, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang:
Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang.
Mattulada, 1986. Demokrasi dalam Tradisi
Masyarakat Indonesia. Dalam: Jurnal
Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: Benda, H. J., 1964. Democracy in
LP3ES, pp. 3-15. Indonesia. The Journal of Asian
Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Studies, pp. 449-456.
Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Feith, H., 1965. History, Theory, and
Pandang : Universitas Hasanuddin Indonesian Politics: A Reply to Harry
Press. J. Benda. The Journal of Asian Studies,
Munoz Paul Michel. Kerajaan-Kerajaan pp. 305-312.
Awal Kepulauan Indonesia dan
Semenanjung Malaysia. Yogyakarta :
Mitra Abadi.
Palenggomang Edwar L. 2012. Sejarah dan
Budaya Sulawesi Barat. Makassar: De
La Macca.
Sahuding. 2004. Pitu Ulunna Salu dalam
Imperium Sejarah. Makassar: Selatan
Jaya.
Sinrang Syaiful. 1994. Mengenal Mandar
Sekilas Lintas ”Perjuangan Rakyat
Mandar Melawan Belanda (1667-

101
PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF
BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN
BANTAENG (STUDI KASUS DESA BONTO JAI, KECAMATAN BISSAPU)
THE UTILIZATION OF AQUATIC BIOLOGICAL RESOURCES: PROSPECTIVE OF
SEAWEED DEVELOPMENT IN THE COASTAL AREA OF BANTAENG REGENCY
(CASE STUDY IN THE TOWNSHIP OF BONTO JAI, BISSAPU DISTRCT)

Nur Alam Saleh


Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin Km. 7 Makassar
Email: salehnuralam@gmail.com

ABSTRACT
This research examines social structural change, both in the forms of production, technology, and
organization, along with the accompanying impact on the socio-economic lives of the population. The
development of the seaweed industry has also affected an aspect of the socio-cultural and economic
lives of the community. The research took place in the regency of Bantaeng, in the township of Bonto
Jai in the Bissapu district. The research method employed is field research, including observation,
documentation, and interviews, along with the data analysis technique of data reduction, presentation,
and conclusion. In its development, seaweed farmers have come to dominate the scene of community
activity on the beaches of the Bantaeng regency in general, and especially in the Bonto Jai township.
The development of the seaweed industry carries the potential to improve the economic standing of
farmers in the Bonto Jai township. The seaweed industry is more profitable than the previous
profession of these workers, namely as fishermen. One very interesting element in the development of
the seaweed industry is the inclusion of women in the labor force.
Key words: Fishermen, Seaweed, social, Resource development.

ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang perubahan struktur sosial baik itu bentuk-bentuk produksi, teknologi
dan kelembagaan serta dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Budi daya rumput laut
juga telah mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan
di Bantaeng, tepatnya di Desa Bonto Jai Kecamatan Bissappu. Teknik pengumpulan data diperoleh
dengan penelitian lapangan yang mencakup observasi, dokumentasi, dan wawancara, Adapun teknik
analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam perkembangannya
pembudi daya rumput laut telah menjadi primadona bagi aktivitas masyarakat pesisir pantai
Kabupaten Bantaeng pada umumnya dan Desa Bonto Jai pada khususnya. Budi daya rumput laut
mempunyai peluang untuk meningkatkan pendapatan petani di Desa Bonto Jai. Budi daya rumput laut
lebih menguntungkan dibanding dengan pendapatan profesi sebelumnya yakni sebagai nelayan. Satu
hal yang sangat menarik dari kegiatan budi daya rumput laut ini, dengan keterlibatan kaum wanita
yang turut mengambil bagian sebagai tenaga kerja.
Kata Kunci: Nelayan, Rumput laut, sosial, Pembudidayaan.

PENDAHULUAN potensi berbagai jenis ikan yang


mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki Potensi perikanan Sulawesi Selatan untuk
perairan laut dengan panjang pantai sekitar daerah penangkapan 12 mil dari pantai
2.500 km dengan potensi sumber daya sebesar 620.480 ton/tahun dan 80.072
perikanan tangkap yang besar dengan ton/tahun untuk zona ekonomi eksklusif

102
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

(ZEE), daerah penangkapan 12-200 mil dari (Fachry, 2009).


pantai. Potensi perikanan laut ini baru Secara ekonomis usaha pertanian
termanfaatkan sekitar 56% yaitu 14.468 ton rumput laut, pada awalnya dianggap sangat
setiap tahunnya (Dinas Kelautan dan menguntungkan bagi masyarakat pesisir.
Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2007). Untuk memperoleh panen hanya
Potensi alam ini diharapkan dapat dibutuhkan waktu sekitar 40 sampai 45 hari
mendukung kegiatan perekonomian untuk ditambah lima hari pengeringan. Dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat. sebuah artikel yang dimuat pada
Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut (www.rumputlaut.org) dikatakan bahwa,
secara tepat diyakini dapat menyelamatkan harga yang bagus disertai masa
masyarakat Sulawesi Selatan dari berbagai pembudidayaan yang pendek membuat
dampak krisis ekonomi. Sayangnya, pada sebagian masyarakat pesisir di Sulawesi
beberapa daerah, ada indikasi terjadi Selatan juga tidak lagi bergairah
pemanfaatan sumber daya yang melebihi menangkap ikan, sebab potensi ikan di laut
daya dukung lingkungan. semakin terbatas, sedangkan perahu
Demikian pula halnya dengan penangkapan bertambah banyak dan
Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu menggunakan alat tangkap yang canggih.
daearah tingkat II yang berada di jazirah Akibatnya, volume ikan yang ditangkap
pantai selatan Pulau Sulawesi dengan luas terus berkurang. Hal itu otomatis
wilayahnya mencapai 395,83 km² dan berdampak terhadap jumlah pendapatan
memiliki pantai sepanjang 27,5 kilometer, setiap nelayan sehingga budidaya rumput
yang terbentang dari timur sampai ke barat. laut dianggap sebagai pilihan yang baik
Di sepanjang pantai itulah terdapat potensi bagi masa depannya.
kelautan dan perikanan laut yang cukup Hasil penelusuran awal
besar, di antaranya pengembangan rumput menggambarkan bahwa Melepaskan diri
laut. Secara keseluruhan luas areal budidaya dari keterbelakangan masyarakat nelayan,
rumput laut mencapai 875 hektar, yang menyebabkan sebagian besar nelayan di
tersebar dari pantai hingga kearah laut Kabupaten Bantaeng beralih dari nelayan
Flores. Kabupaten Bantaeng merupakan ke sektor pertanian rumput laut. Daya tarik
salah satu kabupaten yang memiliki potensi terhadap sektor pertanian rumput laut
dalam menghasilkan bahan baku rumput memiliki kekuatan seiring meningkatnya
laut untuk industri. Berdasarkan data permintaan internasional atas komoditas
statistik Dinas Perikanan dan Kelautan rumput laut. Masyarakat pesisir Kabupaten
Kabupaten Bantaeng tahun 2011 tercatat Bantaeng yang selama ini menekuni
jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP) aktivitas nelayan tangkap merespon dengan
pembudidaya rumput laut sebesar 3.197 mengubah aktivitas mereka, begitupula
orang, yang memanfaatkan areal laut ± berbagai kelompok masyarakat menjadi
2.888,8 ha, atau sekitar 50,7% dari total terdorong untuk ikut serta mengambil peran
luas daerah yang bisa ditanami rumput laut baik sebagai penyedia bibit, penyedia
(± 5.375 ha). Karena itu, Kabupaten modal, berbagai prasarana dan sarana
Bantaeng ditetapkan sebagai Sentra permodalan yang mendukung peningkatan
Pengolahan Rumput Laut melalui surat produksi pertanian rumput laut.
keputusan Direktur Jenderal Pengolahan Fenomena yang terjadi pada aktivitas
dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: pertanian rumput laut tersebut tidak jauh
KEP.08/DJP2HP/2009, dimana Kabupaten berbeda yang dihadapi ketika mereka
Bantaeng menjadi lokasi pengembangan menjadi nelayan tangkap dengan
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan rumput karakteristik sangat bergantung pada alam,
larut sehingga Kabupaten Bantaeng menjadi harga dan pasar. Faktor-faktor sturktural
salah satu dari 15 sentra pengembangan yang dihadapi kelompok nelayan
industri perikanan di Indonesia sebagaimana dikatakan sebelumnya

103
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

diasumsikan terproduksi kembali pada sehingga mendapatkan gambaran yang luas


petani rumput laut. Akan terjadi dan lengkap dari objek yang diteliti (Daniel,
sebagaimana apa yang disebut Nugroho dan 2002: 103). Sifat khas studi kasus adalah
Dahuri (2004:251) yaitu pola hubungan suatu pendekatan yang bertujuan untuk
yang asimetris dan sangat mudah berubah mempertahankan keutuhan (wholeness) dari
menjadi alat dominasi dan eksploitasi. objek. Tujuannya adalah untuk
Pengembangan sektor pertanian memperkembangkan pengetahuan yang
rumput laut yang menimbulkan fenomena mendalam mengenai objek yang
perubahan pekerjaan sebagian besar bersangkutan (Vredenbregt, 1983:38).
masyarakat nelayan belum banyak Penelitian ini dilakukan di Kabupaten
dilakukan pengkajian tentang sejauhmana Bantaeng tepatnya di Desa Bonto Jai,
terjadi perubahan struktur sosial dan Kecamatan Bissapu. Lokasi ini dipilih
berdampak terhadap kehidupan sosial secara sengaja dengan pertimbangan bahwa
ekonomi masyarakat. Dengan demikian Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu
menarik dikaji lebih jauh tentang bentuk- dari empat kabupaten yang menjadi daerah
bentuk produksi, teknologi dan sasaran Program Revitalisasi Perikanan di
kelembagaan tersebut, serta kemungkinan Propinsi Sulawesi Selatan.
terjadinya reproduksi stratifikasi dalam Metode pengumpulan data merupakan
masyarakat petani rumput laut atau langkah penting dalam melakukan
umumnya pada masyarakat pesisir penelitian karena data yang terkumpul akan
Kabupaten Bantaeng khususnya di Desa dijadikan bahan analisis dalam penelitian.
Bonto Jai. Metode yang digunakan dalam penelitian
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kualitatif ini adalah dengan teknik
maka dianggap penting untuk melakukan triangulasi (Moleong, 2004: 135), yaitu:
penelitian dengan judul ”Pemanfaatan 1. Wawancara
Sumber daya Hayati Perairan di Wilayah
Pesisir Kabupaten Bantaeng (Studi Kasus Wawancara adalah suatau proses
Desa Bonto Jai Kecamatan Bissapu). tanya jawab lisan, dimana dua orang atau
Berdasarkan latar belakang tersebut, lebih saling berhadapan secara fisik, yang
masalah dalam penelitian ini dapat satu dapat melihat muka lain dan
dirumuskan sebagai berikut; Bagaimana mendengar dengan telinga sendiri dari
komunitas nelayan pesisir dalam suaranya (Sukandarrumidi, 2006: 89).
memanfaatan sumber daya hayati perairan Wawancara dapat dilakukan oleh peneliti
laut di Kabupaten Bantaeng, dan untuk mengetahui keadaan seseorang,
Bagaimana prospektif kehidupan sosial wawancara sendiri dapat dilakukan secara
ekonomi nelayan dengan budi daya rumput individu atau kelompok guna mendapatkan
laut di Kabupaten Bantaeng. Dengan tujuan informasi yang tepat dan otentik. Pada
penelitian ini untuk mengetahui penelitian ini wawancara dilakukan pada
pengelolaan sumber daya hayati perairan beberapa nelayan rumput laut yang
oleh komunitas nelayan laut di Kabupaten sebelumnya hanya nelayan tangkap dan
Bantaeng dan untuk menjelaskan prospektif beberapa perempuan yang bekerja dalam
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat proses kerja rumput laut.
nelayan setelah membudidayakan rumput 2. Observasi
laut di Kabupaten Bantaeng.
Observasi atau pengamatan
METODE merupakan suatu cara mengumpulkan data
Jenis penelitian yang digunakan dengan jalan mengadakan pengamatan
adalah studi kasus (case study) yaitu suatu terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.
penelitian yang lebih terarah dan terfokus Kegiatan tersebut bisa berkenaan dengan
pada sifat tertentu yang tidak berlaku umum cara guru mengajar, siswa belajar, kepala

104
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

sekolah sedang memberikan pengarahan petani rumput laut) atau dalam suatu
(Nana S, 2009: 220). Jadi, observasi kelompok (dalam hal ini kelompok petani
merupakan penelitian yang dilakukan rumput laut, pemerintah, dan lembaga
secara sistematis dan sengaja dilakukan swadaya masyarakat), yang mungkin sangat
dengan menggunakan indra penglihatan berarti untuk memahami dinamika sosial
untuk melihat kejadian yang berlangsung dari kelompoknya, demikian pula faktor-
serta langsung menganalisis kejadian faktor penyebab integrasi (Vredenbregt,
tersebut langsung pada waktu kejadian itu 1983:42).
berlangsung di Desa Bonto Jai Kecamatan Metode analisis utama yang
Bissappu, Bantaeng. digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif yang analitiknya
3. Dokumentasi
melalui penafsiran dan pemahaman.
Dokumentasi adalah setiap bahan Pengertiaan kualitatif di sini bermakna
tertulis ataupun film, sedangkan record bahwa data yang disajikan berwujud kata-
adalah setiap pernyataan tertulis yang kata ke dalam bentuk teks yang diperluas
disusun oleh seseorang atau lembaga untuk bukan angka-angka (Miles dan Huberman,
keperluan pengujian suatu peristiwa atau 1992).
menyajikan akunting (Moleong, 2011: 216).
Teknik dokumentasi adalah teknik PEMBAHASAN
pengumpulan data dengan menghimpun dan
menganalisis dokumen-dokumen, baik Lokasi dan Keadaan Geografis
tertulis, gambar, maupun elekronik. Kabupaten Bantaeng terdiri dari
Peran peneliti dalam melakukan daratan seluas 395,83 Km2 dan lautan
observasi bersifat sebagai “orang dalam” seluas 144 Km2, terbagi menjadi 8 wilayah
(an insider‟s perspective), di mana peneliti kecamatan, 67 kelurahan dan desa. Tiga
melakukan observasi dan berinteraksi kecamatan di antaranya terletak di wilayah
secara cukup dekat dengan para anggota pesisir pantai, yakni Kecamatan Bissapu,
kelompok untuk menciptakan identitas baru Kecamatan Bantaeng, dan Kecamatan
sebagai “orang dalam” (insider‟s identity), Pakjukukang dengan panjang garis pantai
tanpa perlu berpartisipasi dalam aktivitas kurang lebih 21,5 Km. Dalam penelitian ini,
utama kelompok karena sudah menjadi wilayah yang menjadi kajian adalah
anggota penuh kelompok masyarakatnya wilayah pesisir di Kecamatan Bissapu
sendiri. Dalam hal peneliti bisa mengambil tepatnya di Desa Bonto Jai.
sikap, baik terbuka maupun tertutup (Adler Desa Bonto Jai yang berlokasi di
dan Adler, 2009:526-527). daerah tepi pantai, secara geografis jarak
Berdasarkan tujuan penelitian yang dari ibukota Pemerintahan Kecamatan
dikemukakan sebelumnya, teknik utama Bissapu sekitar 3 km dan jarak dari ibukota
yang digunakan dalam pengumpulan kabupaten kurang lebih 8 Km. Jika
informasi di lapangan ialah wawancara menggunakan kendaraan bermotor, jarak
mendalam (indepth interview) atau tempuh ke kota kecamatan sekitar 10 menit,
wawancara tak terstruktur (unstructured dan sekitar 20 menit menuju ibu kota
interview). Dengan wawancara tak kabupaten. Luas wilayah Desa Bonto Jai
terstruktur maka peneliti dapat memahami kurang lebih 363 Ha2 dengan batas wilayah
kompleksitas perilaku anggota masyarakat sebagai berikut; sebelah baratnya
tanpa adanya kageori a priori yang dapat berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto
membatasi kekayaan data yang dapat kita dan Kelurahan Bonto Langkasa, pada
peroleh (Fontana dan Frey, 2009:508), sebelah selatannya berbatasan dengan Laut
dengan kata lain dapat menyoroti kejadian- Flores, sebelah utaranya berbatasan dengan
kejadian dalam kehidupan seorang Kelurahan Bonto Manai dan Kelurahan
responden (dalam hal ini rumah tangga Bonto Lebang, dan sebelah timurnya

105
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

berbatasan dengan Laut Flores. yang berdiam di Desa Bonto Jai


Pusat pemerintahan Desa Bonto Jai berdasarkan Dokumen RPJMDes Desa
terletak di Kampung Ti’no Toa dan secara Bonto Jai Tahun 2012 – 2016 terdapat
administratif Desa Bonto Jai terbagi atas 4 sekitar 1.605 jiwa terdiri atas laki-laki 799
kampung dan 2 dusun, yakni Dusun Ti’no jiwa dan perempuan 806 jiwa dan 439
Toa terdiri atas Kampung Tino Toa dan kepala keluarga (KK).
Pa’ranga terdiri atas 4 RW dengan masing-
Kondisi Sosial Budaya
masing RW membawahi 2 RT. Dusun
Mattoanging terdiri atas Kampung Bungung Pendidikan di lokasi penelitian
Doring dan Mattoanging terdiri atas 3 RW mempunyai tingkat keragaman yang mana
dengan masing-masing RW membawahi 2 mulai dari buta akasara sampai dengan
RT. perguruan tinggi. Di Desa Bonto Jai sampai
Prasarana penghubung dan sarana dengan Tahun 2012 masih terdapat yang
transportasi yang tersedia cukup memadai buta huruf atau tidak pernah mengenyam
untuk mencapai Desa Bonto Jai. Jalan yang bangku sekolah/tidak sekolah yakni sekitar
menghubungkan antar desa/kelurahan ini 14,40 % dan yang berpendidikkan
dengan ibukota kecamatan, ibukota perguruan tinggi sekitar 6,56 persen.
kabupaten dan ibukota provinsi telah Sedang tingkat pendidikan Sekolah Dasar
beraspal sampai ke desa ini. Demikian pula (SD)/Sederajat masih mendominasi di Desa
dengan sarana transportasi yang Bonto Jai yakni terdapat sekitar 47,07
menjangkau dan menghubungkan dengan persen. Penduduk Desa Bonto Jai
desa tersebut, secara keseluruhan relatif mempunyai jenis mata pencaharian yang
cukup tersedia. cukup bervariasi, seperti sebagai nelayan,
Data curah hujan yang akurat, penting petani, pedagang, dan ada juga yang
dan sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput berprofessi sebagai pegawai negeri sipil
laut untuk menentukan jadwal tanam. Curah maupun anggota TNI dan Kepolisian.
hujan terkait erat dengan salinitas perairan, Berdasarkan data yang ada bahwa di
khususnya di perairan Bantaeng yang Desa Bonto Jai sebagian besar bermata
menjadi muara banyak sungai. Curah hujan pencaharian sebagai petani rumput laut dan
yang tinggi akan menyebabkan salinitas nelayan, yakni sekitar 154 orang.
perairan turun ke level yang tidak sesuai Selebihnya yang berprofessi sebagai petani
untuk pertumbuhan rumput laut. baik sebagai petani sawah, petani kebun
Apabila nelayan menanam pada bulan maupun petani penggarap terdapat 66
yang curah hujannya relatif tinggi, maka orang, wiraswasta 43 orang, pegawai
produksinya akan cenderung lebih rendah negeri dan anggota TNI/Kepolisian
dibandingkan ketika menanam pada bulan sebanyak 26 orang. Sedang yang bergelut di
yang curah hujannya lebih rendah. Selain bidang perdagangan 11 orang, pertukangan
itu, musim hujan menyebabkan peningkatan dan jasa masing-masing terdapat 4 orang
dinamika laut yang ditujukan oleh arus kuat dan buruh sebanyak 15 orang.
dan gelombang tinggi yang dapat Sejarah Budidaya Rumput Laut di Desa
menghambat pertumbuhan rumput laut. Bonto Jai
Nelayan rumput laut akan menyesuaikan
jadwal tanam dengan kondisi alam sehingga Secara umum sumber mata
tidak akan mengalami kegagalan dalam pencaharian masyarakat selain bertani
kegiatan budidaya rumput laut. adalah nelayan, mereka menggantungkan
Berdasarkan catatan kependudukan hidup dari hasil tangkapan ikan. Aktivitas
Kecamatan Bissapu dalam Angka 2013, budidaya rumput laut di Kabupaten
berjumlah sekitar 31.242 Jiwa yang terdiri Bantaeng dan khususnya di Desa Bonto Jai
dari laki-laki 15.214 jiwa dan perempuan berkembang seiring dengan semakin
16.028 Jiwa. Sedangkan jumlah penduduk menurunnya hasil tangkapan dan semakin

106
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

mahalnya harga bahan bakar minyak semakin baik dan berkembang di Bonto Jai
(BBM) yang digunakan untuk mencari hasil maka banyak masyarakat pesisir pantai
laut. mulai tertarik untuk membudidayakan
Desa yang pertama kali rumput laut dengan mengambil bibit di
membudidayakan rumput laut adalah Desa daerah sekitarnya. Salah satu faktor yang
Bonto Jai, Kecamatan Bissapu yang mendorong komunitas nelayan di Desa
kemudian diikuti oleh desa-desa lainnya ini Bonto Jai beralih menjadi petani pembudi
dijelaskan oleh salah satu tokoh masyarakat daya rumput laut sampai saat ini adalah; (1)
yang ada di Desa Bonto Jai ini. Hal ihwal harga hasil panen rumput laut relatif baik;
asal mula budidaya rumput laut di (2) rumput laut mudah dibudidayakan; (3)
Kabupaten Bantaeng tepat di Desa Bonto rumput laut mudah dijual dan komoditi
Jai, yakni dari seorang yang bernama Amir ekspor; (3) waktu tanam yang hanya 35-45
A Mappawali salah seorang staf pegawai hari; (4) lahan yang akan dipakai tersedia;
Bappeda, yang memberikan penyuluhan (5) memiliki daya jual yang tinggi; dan (6)
dan informasi sekaligus melakukan uji coba jiwa tidak terlalu terancam dan bisa
budi daya. Selain itu beralihnya masyarakat menghabiskan banyak waktu dengan
nelayan ke petani rumput laut adalah keluarga.
dengan cara memperoleh informasi dari Disamping itu, tidak terlalu terikat
sesama pembudidaya rumput laut itu lagi dengan bentuk-bentuk ritual yang harus
sendiri, di samping ada juga yang dilakukan seperti ketika masih sebagai
mendapatkan informasi melalui penyuluh nelayan dimana ketika hendak mencari ikan
dinas perikanan dan kelautan Kabupaten di laut atau hendak berlayar. Karena
Bantaeng. Pada awalnya, bibit rumput laut semuanya sudah logis dengan melihat
diambil dari daerah Nazarah Kabupaten kondisi alam. Bagaimana perkiraan cuaca
Jeneponto, namun selanjutnya dilakukan serta bibit yang digunakan, Ujar Malik
pembibitan di desa Bonto Jai atau di desa- salah seorang pembudi daya.
desa tetangga sekitarnya.
Aktivitas Budi Daya Rumput Laut
Kehadiran rumput laut di Kabupaten
Nelayan Pesisir
Bantaeng disambut baik oleh masyarakat
setempat dengan mengikuti penyuluhan dan Produktivitas seseorang dapat dilihat
informasi mengenai budidaya rumput laut. dari beberapa faktor, di antaranya adalah
Hal inilah yang memberikan banyak umur, tingkat pendidikan, tanggungan
perubahan dalam banyak hal terhadap keluarga, dan pengalaman. Umur sangat
masyarakat terutama yang ada di Desa mempengaruhi kemampuan fisik seseorang,
Bonto Jai. Karena dalam membudidayakan kesehatan mental, dan spiritual dalam
rumput laut tidak terlalu membutuhkan melakukan aktivitas. Bagi seorang nelayan
waktu yang lama seperti baik ketika bertani yang masih dapat digolongkan usia
ladang atau sawah maupun sebagai nelayan produktif, yaitu antara usia 15 sampai
tangkap karena dalam jangka waktu tanam dengan 64 tahun. Pada umur-umur seperti
rumput laut sampai panennya tidak terlalu ini, selain kemampuan produktivitasnya
lama, hanya membutuhkan waktu sekitar 40 masih tinggi, juga lebih mudah untuk
sampai dengan 45 hari sudah dapat dipanen menerima inovasi baru. Sebaliknya, bagi
dan dikeringkan selama 5 hari kemudian nelayan yang telah berusia 65 tahun ke atas
dijual. merupakan usia tidak produktif lagi,
Demikian pula dengan sistem kemampuan kerjanya sudah semakin
pemasarannya juga tidak terlalu merepotkan menurun.
karena pedagang sendiri yang mendatangi Adapun tingkat usia nelayan alam
petani untuk membeli hasil panen para usaha pembudidayaan rumput laut di Desa
petani rumput laut dengan harga yang Bonto Jai mempunyai komposisi yang
bersaing. Ketika budi daya rumput laut bervariasi merentang dari usia 20 sampai

107
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

dengan 59 tahun. Demikian pula dengan Pengelolaan Wilayah Budi Daya Rumput
tingkat pendidikan petani rumput laut, Laut Desa Bonto Jai
dimana keberadaan pendidikan adalah salah
satu faktor yang berpengaruh pada faktor Keberhasilan budi daya rumput laut
kemampuan sikap dan perilaku dengan pemilihan lokasi yang tepat
nelayan/petani dalam memahami program, merupakan salah satu faktor penentu.
tingkat penyerapan teknologi dan dan hal- (Mubarak, 1991). Pemilihan lokasi budi
hal yang sifatnya baru, sangat daya rumput laut merupakan salah satu hal
mempengaruhi oleh tingkat pendidikan. yang perlu diperhatikan. Pemilihan lokasi
Pendidikan juga merupakan salah satu pesisir pantai yang tidak tercemar sampah
sarana yang tepat bagi masyarakat untuk industri, limbah rumah tangga dan lainnya
mendapatkan bekal berupa ilmu yang dapat meningkatkan kekeruhan air
pengetahuan dan keterampilan yang karena kondisi tersebut dikhawatirkan dapat
dibutuhkan dalam dunia kerja. Dengan menurunkan kualitas air laut, yang pada
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya akan menurunkan daya dukung
(keterampilan) maka masyarakat akan lingkungan terhadap perkembangan rumput
mampu mengaktualisasikan seluruh daya laut yang dikembangkan.
budi yang terdapat dalam dirinya agar lebih Wilayah perairan pesisir Desa Bonto
produktif. Sehingga setiap anggota Jai, berdasarkan hasil pengamatan secara
masyarakat akan ikut ambil bagian dalam umum dapat dikatakan cukup memenuhi
upaya meningkatkan taraf kehidupannya, syarat untuk pertumbuhan rumput laut,
baik secara individual maupun kelompok meskipun berhadapan langsung dengan
masyarakatnya secara umum. Laut Flores, sehingga pada bulan Desember
Berdasarkan tanggungan anggota sampai dengan Februari ombak cukup
keluarga, keberadaan anggota keluarga besar. Hal tersebut terbukti semakin
merupakan semua orang-orang yang berkembangnya usaha budi daya rumput
terdapat dalam sebuah rumah tangga yang laut di desa tersebut.
terdiri atas suami, isteri, dan anak-anaknya, Selain itu kondisi pesisir pantai yang
serta ditambah lagi kerabat atau keluarga ada di Desa Bonto Jai masih bersih dan jauh
dekat lainnya yang tinggal di dalam satu dari pencemaran sehingga mendukung
rumah dan menjadi tanggungan kepala untuk berkembangnya pembudidayaan
rumah tangga. Jumlah anggota keluarga rumput laut. Selain itu, lokasi harus
sangat berpengaruh terhadap aktivitas sosial terhindar dari angin kencang dan
dan ekonomis sebuah keluarga. Karena gelombang besar, karena dapat merusak
semakin besar jumlah tanggungan, berarti rumput laut yang dibudidayakan.
semakin besar pula pengeluaran. Mengingat makanan rumput laut berasal
Pengalaman pembudi daya dalam dari aliran air yang melewatinya, gerakan
mengelola usaha rumput laut merupakan air yang cukup harus diperhatikan karena
salah satu faktor yang dapat menentukan selain dapat membawa nutrisi juga dapat
keberhasilan mereka dalam mengelola mencuci kotoran yang menempel,
usahanya. Hal ini terkait dengan banyaknya membantu pengudaraan, dan mencegah
pengalaman yang dialami pembudi daya, fluktuasi suhu air yang besar.
sehingga ia dapat melakukan upaya-upaya Suhu yang baik sekitar 20-28oC,
atau menerapkan cara/metode budi daya besarnya kecepatan arus antara 20-40
yang lebih baik untuk mendapatkan hasil cm/detik dan kecerahan perairan lebih dari
yang lebih menguntungkan. 1 meter di atas permukaan air. Persyaratan
tersebut sangat penting diperhatikan, agar
rumput laut masih mendapat panetrasi sinar
matahari yang sangat berguna untuk sumber
energi dalam proses fotosintesis.

108
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

Faktor lain yang harus dengan sesama nalayan rumput laut.


dipertimbangkan dalam memilih lokasi Mereka bisa melakukan hal-hal yang benar
adalah sebaiknya tidak terlalu jauh dari untuk menyelamatkan kegiatan budi daya
tempat tinggal, supaya mudah melakukan mereka. Misalnya pada saat musim hujan
pengawasan. Lokasi juga harus ada sarana mereka akan menenggelamkan bentangan
jalan untuk pengangkutan bahan, sarana rumput laut mereka dengan cara mengisi air
budi daya bibit, tempat penjemuran, dan pada botol-botol pelampungnya. Namun,
mudah dalam pemasaran hasil. untuk masalah yang lebih rumit dan
pengetahun masih baru mereka memerlukan
Sistem Pengetahuan dan Metode Budi
penyuluh budi daya rumput laut untuk
Daya Rumput Laut
membantu mereka akan tetapi sampai saat
Dalam teknik budi daya rumput laut ini pemerintah belum menyediakan tenaga
ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh kerja penyuluh yang khusus untuk budi
pembudi daya, yaitu pemilihan bibit dan daya rumput laut, seperti halnya dengan
metode budi daya. Ada lima metode budi penyuluh di bidang pertanian.
daya rumput laut yang dikenal, yaitu Seperti halnya dalam penggunaan
metode lepas dasar, metode rakit apung, botol plastik sebagai pembantu dalam
metode long line, metode jalur dan metode menggantung tali, di samping botol plastik
keranjang (kantung) (Direktorat Produksi bekas juga dapat dijadikan penanda untuk
Dirjen Perikanan Budidaya, 2006). Menurut wilayah atau areal budi daya rumput laut.
Mubarak (1991), Aslan (1998), dan Zatnika Penggunan botol plastik membantu dalam
(2009), secara garis besarnya terdapat mengurangi sampah plastik karena
beberapa metode budi daya rumput laut, dimanfaatkan para petani rumput laut
yaitu metode dasar, metode rakit apung, dan digunakan sebagai tomba, yang terpenting
metode long line. adalah botol plastik bekas tersebut tidak
Tingkat penguasaan nelayan rumput bocor.
laut terhadap teknologi kegiatan budi daya
rumput laut yang terbilang cukup lumayan. Sistem Produksi Rumput Laut di Desa
Pembudi daya atau petani rumput laut di Bonto Jai
Desa Bonto Jai maupun di Kabupaten Kegiatan produksi dalam budi daya
Bantaeng menggunakan metode long line rumput laut meliputi meyiapkan areal budi
karena dianggap cocok dengan kondisi daya dan modal, penyediaan bibit, membuat
biofisik perairan serta biaya konstruksinya bentangan mengikat bibit dan pelampung
lebih murah bila dibandingkan dengan pada bentangan, pemasangan bibit,
metode lainnya. Metode long line ini perawatan, panen, penjemuran, sortir dan
menggunakan tali panjang yang pemasaran.
dibentangkan pada kedua ujungnya yang Informasi tentang cara budi daya
diberi jangkar dan pelampung besar. Setiap rumput laut merupakan salah satu aspek
25 meter diberi pelampung utama berupa yang sangat penting dalam menghasilkan
drum plastik. Metode ini sangat baik produksi rumput laut yang berkulitas.
dipakai disemua jenis substrat perairan dan Sebagaimana diketahui bahwa lemahnya
hasil produksinya pun tinggi. jaringan komunikasi pembudi daya dengan
Kekurangannya adalah rumput laut harus sumber informasi formal seperti dari
sering di cek kebersihannya dari kotoran- penyuluh atau Dinas Kementerian Kelautan
kotoran yang menempel. dan Perikanan (DKP) setempat disebabkan
Demikian pula tanpa mengurangi oleh terbatasnya jumlah penyuluh lapangan.
peran pemerintah dalam membantu nelayan Berdasarkan informasi DKP
rumput laut untuk mengelolah kegiatan Kabupaten Bantaeng diketahui untuk satu
budi daya rumput lautnya, nelayan lebih kecamatan dengan jumlah desa sekitar 5
banyak belajar secara otodidak dan belajar sampai 12 desa, hanya ada satu orang

109
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

penyuluh. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil keterlibatan perempuan sangatlah berperan
penelitian diketahui bahwa umumnya besar.
pembudi daya mendapatkan informasi cara Dalam proses mengikat pelampung
membudidayakan rumput laut dari sesama pada bentangan yang merupakan salah satu
pembudi daya. Sebagaian besar petani proses produksi di Desa Bonto Jai terlihat
pembudi daya mengetahui cara-cara budi bahwa semua anggota keluarga ikut terlibat
daya rumput laut dari petambak lainnya dan dalam proses ini yang biasanya dikerjakan
yang lainnya mendapatkan informasi dari secara berkelompok dibawah rumah
kelompok dan penyuluh dinas kelautan dan panggung pemilik lahan atau di tempat-
perikanan. Hal ini menunjukkan rendahnya tempat lainnya.
intensitas kunjungan penyuluh untuk Adanya responden perempuan yang
memberikan pengetahuan kepada pembudi terlibat dalam proses mengikat pelampung
daya terkait pengelolaan usaha rumput laut. karena didasarkan pada keahlian mereka
Selain pemilihan lokasi yang tepat dalam mengikat pelampung pada tali
untuk pembudidayaan rumput laut maka bentangan. Dalam hal mengikat bibit
keberadaan kualitas bibit juga sangat keterlibatan perempuan justru sangat
menentukan kwalitas rumput laut. Bibit dominan. Peran perempuan dalam hal ini
dapat diukur dari beberapa indiaktor yaitu sangat sentral. Hampir pada umumnya
memiliki kandungan karaginan yang cukup tenaga kerja yang terlibat dalam
dan kebersihan hasil rumput laut. Menurut mempersiapkan bibit rumput laut dan
Ditjen Budidaya Tahun 2005, Kualitas bibit mengikat bibit rumput laut pada tali
yang baik apabila bentuk thallus besar, bentangan yang dihargai sebesar Rp1.500,-
memiliki kandungan karaginan diatas 70% (seribu lima ratus rupiah).-perbentangan
dan kotoran maksimal 5 %. dilakukan sepenuhnya oleh tenaga kerja
Awal mula keberadaan perempuan dan anak anak. Bahkan ada
pembudidayaan rumput laut di Desa Bonto persepsi yang mengatakan bahwa
Jai dengan cara masing-masing nelayan perempuan lebih teliti, rapih, dan lebih
mengkapling lahan dan sebagiannya lagi cepat dibandingkan dengan laki laki yang
terpaksa harus membeli lahan yang terlebih ceroboh dalam hal bekerja.
dahulu telah dikapling nelayan sebelumnya. Jumlah bentangan adalah banyaknya
Sementara, untuk modal penanaman dan jumlah bibit yang diikat pada tali bentangan
pembuatan peralatan usaha dan pembibitan yang dikerjakan perempuan pembudi daya
budi daya rumput laut masing-masing dari rumput laut. Dimana jumlah bentangan
pembudi daya sendiri. sangat ditentukan oleh kemampuan para
Jenis bibit yang dikembangkan di perempuan pembudi daya, baik itu dari segi
Desa Bonto Jai adalah Eucheuma cottonii. finansial, waktu, maupun dari kemampuan
Pada umumnya pembudi daya rumput laut fisik untuk mencapai jumlah bentangan
di Desa Bonto Jai memproduksi sendiri yang diikat. Semakin banyak jumlah
bibit rumput lautnya yang akan ditanam, bentangan yang diikat, semakin besar
kecuali pada saat awal kegiatan rumput tenaga kerja dan tenaga yang digunakan.
laut. Pada awal kegiatan budi daya rumput Umumnya pembudi daya yang
laut diperoleh dan didatangkan dari terdapat di Desa Bonto Jai memiliki
beberapa daerah yang menjadi setral bentangan antara 200 sampai dengan 300
produksi rumput laut di Sulawesi Selatan bentangan bahkan bias lebih. Hal tersebut
dan biasanya bibit yang digunakan berumur selain dipengaruhi oleh luas lahan yang
kurang lebih 30 hari. Demikian halnya pada dimilikinya juga ada kaitannya dengan
proses membuat bentangan biasa dilakukan kegiatan pascapanen.
sepenuhnya oleh tenaga kerja perempuan Berdasarkan keterangan diatas, dapat
dan anak-anak. Hal ini menggambarkan ditarik kesimpulan bahwa proses kegiatan
bahwa pada proses pembuatan bentangan mengikat bibit pada tali bentangan di Desa

110
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

Bonto Jai didominasi kaum perempuan dan 25m ditempatkan pelampung besar dan
anak-anak. Hal ini dapat disimpulkan pada jarak 5 meter 5 meter ditetapkan
bahwa kaum perempuan lebih berperan pelampung botol aqua atau sejenisnya
pada proses mengikat bibit dan biasa untuk mempermudah pergerakan tanaman
dikerjakan secara berkelompok di bawah setiap saat. Metode ini termasuk yang
rumah panggung atau pekarangan rumah paling banyak digunakan karena biaya
yang disediakan oleh pemilik lahan murah dan dapat diatur luasan area budi
(pembudi daya). kegiatan ini biasanya dayanya.
dilakukan oleh kaum perempuan bersama Budi daya rumput laut dapat
anak-anaknya dalam suasana penuh dikatakan sebagai usaha budi daya yang
kekerabatan. sebagian besar pemeliharaannya diserahkan
Meskipun kaum perempuan telah oleh alam. Oleh karena itu, kerusakan atau
mengambil kedudukan dan peranan yang kegagalan yang terjadi pada budi daya
cukup strategis dalam kelangsungan rumput laut sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas budi daya rumput laut di Desa kekuatan alam yang tidak terduga. Untuk
Bonto Jai, hal yang harus mendapatkan menjamin kebersihan budi daya harus
perhatian bahwa kapasitas dari pengetahuan dilakukan perawatan selama masa
mereka untuk mengikat bibit tidak pertumbuhannya. Apabila ada kerusakan
sepenuhnya dapat menunjang akan kualitas patok, ris, dan tali ris utama harus segera
hasil budi daya produksi rumput laut. diperbaiki dan perawatan dilakukan baik
Kondisi ini disebabkan oleh karena pada ombak besar maupun pada aliran laut
pengetahuan mengikat bibit hanya tenang. Kotoran atau sampah yang melekat
diperoleh dari pengetahuan lokal pada tanaman harus segera dibersihkan.
berdasarkan pengalaman yang dilakukan Menurut Subhan dalam usaha budi
selama ini. Berikut penuturan seorang daya rumput laut ini, yang harus
informan sebagai berikut; diperhatikan pembudi daya adalah hama
„‟...Kita disini Cuma mengikat bibit saja, dan penyakit. Berdasarkan hasil informasi
tidak tahu melihat bibit yang layak....hanya bahwa penyakit yang sering muncul adalah
berdasarkan pengalaman saja, dan melihat ice-ice sehingga menyebabkan tanaman
dari warnanya, apabila terdapat warna tampak memutih. Hal tersebut disebabkan
yang sudah kuning kita tidak ikat......” terjadinya perubahan lingkungan yang
ekstrim dimana arus, suhu, dan kecerahan
Fakta ini tentunya akan sehingga memudahkan bakteri hidup.
mempengaruhi proses budi daya rumput Organisme pengganggu lainnya yang
laut dari segi pertumbuhan maupun kualitas harus diantisipasi pembudi daya tanaman
produksi. Menurut Anggadireja (2006) baik rumput laut, adalah seperti bulu babi, ikan-
kuantitas maupun kualitas hasil produksi ikan herbivor, binatang laut, dan penyu
rumput laut sangat ditentukan dari aktivitas hijau. Salah satu cara untuk mengatasinya
pra produksi khususnya pada pengikatan dengan pemagaran di sekeliling tanaman
dan pemilihan bibit yang diikatkan pada tali dengan jaring (Aslan, 1998)
bentangan dan durasi waktu yang Lama masa pemeliharaan pada
diperhitungkan ketika harus umumnya sudah diketahui pembudi daya.
membentangkan di area budi daya. Hal ini disebabkan pengalaman sebelumnya
Metode budi daya rumput laut yang saat petambak panen lebih awal atau kurang
telah umum dikenal di Desa Bonto Jai dari 40 hari hasilnya kurang baik dan
adalah menggunakan dengan metode long dikhawatirkan tidak akan dibeli dengan
line (tali panjang), digunakan tali panjang harga yang berlaku secara umum.
(dapat mencapai 50-100 M). Dimana pada Pengetahuan petambak tentang masa panen
kedua ujungnya dikaitkan dengan juga telah disosialisasikan ke petambak
pelampung besar dan jangkar. Pada jarak melalui petugas penyuluh. Bahkan saat ini

111
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

petambak akan mendapatkan bantuan standar kadar air yang dianjurkan.


apabila dketahui telah menerapkan pola Sebagaimana diungkapkan pembudidaya
pemeliharaan diatas 40 hari dan maksimal sebagai berikut “manna kualloi sanggenna
45 hari. tallungallo niballi tonji, situruji ballinna
Adapun cara panen dan pascapanen punna niallo patangallo iyareka
hasil budi daya rumput laut yang limangallo. Jari apa matu-matunna sallo-
seharusnya dilakukan pada penjemuran sallo dialloi” Artinya;“ saya keringkan
rumput laut, yaitu 1) proses perontokan cukup tiga hari saja sudah bisa dibeli juga
rumput laut dapat dilakukan dengan dan harganya juga sama saja kalau dijemur
memotong setiap tali pengikat rumput laut, sampai empat atau lima hari. Jadi untuk apa
2) penjemuran rumput laut dilakukan berlama-lama dikeringka...”
sekaligus dengan tali tanpa dirontokkan. Penjelasan pembudi daya ini
Setelah hari kedua rumput laut tersebut merupakan penggambaran bahwa
dapat dirontokkan dengan jala memotong penerapan sistem agribinis pascapanen
tempat mengikat rumput laut tersebut, 3) tidak dipahami oleh pembudid aya dan juga
penjemuran harus dilakukan di atas wadah pedagang pengumpul, yang secara tidak
penjemuran agar terhindar dari kotoran, 4) langsung mempengaruhi kualitas bahan
penjemuran sebaiknya dilakukan selama 3- baku rumput laut yang dibawa ke industri
4 hari pada cuaca cerah, dan 5) hindari pengolahan rumput laut. Sebagaimana
rumput laut yang dijemur dari air hujan dikatakan bahwa rumput laut umur 45 hari
dengan cara menyiapkan plastik atau terpal adalah rumput laut kualitas terbaik karena
dibawah rumput laut yang dijemur. telah mencapai kadar maksimum berupa
Kegiatan pascapanen adalah cara kadar karaginan yang dibutuhkan industri
pemanenan dan cara pengeringan produksi. pengolahan rumput laut. Kotoran pada
Cara pengeringan yang baik apabila rumput laut ini sangat terkait dengan wadah
dilakukan sampai lima hari pada kondisi yang digunakan.
suhu normal serta dilakukan di tempat atau Berdasarkan hasil analisis diketahui
wadah pengeringan. Pengeringan di para- bahwa masih ada pembudi daya yang
para dan digantung lebih baik daripada mengeringkan di lantai, aspal atau terpal
dijemur di terpal atau di pinggiran jalan. disekitar pinggir pantai atau di badan
Karena kotoran lebih mudah bercampur jalanan. Persentase pembudi daya yang
dengan rumput laut yang dijemur. menggunakan wadah penjemuran terpal
Persentase pembudi daya yang mengetahui atau dijemur dengan menggunakan alas
cara pengeringan yang baik (lama tikar seadanya. Hal ini dapat mempengaruhi
pengeringan dan wadah pengeringan). kualitas rumput laut kering, khususnya
Berdasarkan hasil pengamatan dan dalam hal banyaknya kotoran yang melekat
wawancara di lapangan ternyata masih ada pada rumput laut setelah kering.
pembudi daya yang kurang mengetahui cara Akhir dari suatu kegiatan produksi
pengeringan yang baik. Kurangnya adalah pasar. Untuk produksi rumput laut
pengetahuan ini karena pembudi daya pemasaran bukanlah masalah, karena
menilai bahwa bila dijemur di terpal akan produk rumput laut merupakan bahan baku
lebih mudah untuk dipindah-pindahkan utama dari industri pengolahan untuk
sesuai kebutuhan, sedangkan para-para pembuatan obat-obatan, kosmetik, dan
membutuhkan tempat yang permanen. berbagai jenis makanan dan minuman.
Lama pengeringan juga menjadi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
dilema bagi pembudi daya karena bahwa permintaan akan rumput laut masih
berdasarkan pengalaman, harga jual tidak oleh industri olahan belum mampu dipenuhi
berpengaruh pada lama pengeringan. sehingga diperkirakan 70% bahan baku
Pedagang pengumpul pada umumnya rumput laut masih diimpor. Karena itu
membeli rumput laut tanpa menetapkan pembudi daya tidak mengalami kesulitan

112
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

untuk menjual produknya. Permasalahan pengeringan. Ada dua sistem yang belum
hanya pada kualitas rumput laut yang berjalan, yaitu subsistem input (bibit) dan
dihasilkan. subsistem pascapanen (cara pengeringan)
Ukuran keberhasilan usaha rumput dimana masih sebagian besar pembudi daya
laut adalah pasar, secara umum dikatakan yang belum menerapkan cara budi daya
bahwa permintaan hasil rumput laut selalu yang dianjurkan.
tersedia sepanjang tahun. Hasil yang
Prospektif Budi Daya Rumput Laut
diproduksi pembudi daya umumnya dibeli dalam Meningkatkan Kesejahteraan
oleh pedagang pengumpul desa. Sebagian
Petani/Nelayan Desa Bonto Jai
besar pembudi daya menjual hasilnya ke
pedagang pengumpul desa atau memang Peningkatan kesejahteraan pada
telah ada pedagang pengumpul langsung ke masyarakat Desa Bonto Jai tampak jelas
pembudi daya. Ada beberapa alasan yang semenjak masyarakat beralih mata
dikemukakan antara lain; (a) sudah pencaharian pokok dari nelayan penangkap
merupakan pembeli tetap; (b) Pembudi ikan menjadi petani rumput laut. Hal ini
daya tidak memiliki jaringan dengan tampak dari keadaan perumahan dan aset -
perusahaan industri rumput laut (kolektor); aset berharga yang mereka miliki terlihat
(c) lebih mudah dan lebih cepat proses dengan kasat mata. Banyak di antara petani
penjualannya; dan (d) harga sesuai dengan rumput laut ketika panen bisa menghasilkan
kualitas rumput laut yang dihasilkan. minimal satu jutaan rupiah persatu kali
Harga jual rumput laut mengalami panen. Bagi yang punya modal besar bisa
fluktuasi sepanjang musim. Berfluktuasinya menghasilkan sampai puluhan juta rupiah
harga disebabkan oleh beberapa faktor, tergantung dari harga rumput laut
antara lain (a).harga rumput laut tergantung perkilogramnya. Hasil panen ini mereka
pada nilai dolar, (b) permintaan pasar dunia bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang
yang ada kaitannya dengan jumlah suplai yang lebih tinggi, membeli kendaraan
secara keseluruhan. Bila suplai berlebihan bermotor, memperbaiki rumah bahkan bisa
harga akan jatuh, (c) kondisi cuaca kurang membeli rumah baru.
baik sekitar bulan Oktober sampai bulan Berdasarkan hasil penelitian Yusuf,
fFbruari, produksi rumput laut kurang baik, Dkk (T.Th) mengemukakan keuntungan
namun permintaan rumput laut tetap kegiatan budi daya rumput laut merupakan
meningkat, yang berakibat pada harga jual atribut yang paling sensitif dari dimensi
lebih baik. ekonomi, dimana hasil perhitungan
Pembudi daya mendapatkan harga diperoleh pendapatan rata-rata responden
yang sesuai dengan harga yang berlaku dalam sekali produksi adalah
secara umum. Dimana pada saat penelitian Rp8.903.792,00. Hal tersebut
berkisar antara Rp7.500 sampai Rp9.800/kg menggambarkan bahwa rata-rata petani
kering pada bulan Mei sampai September pembudi daya rumput laut telah memiliki
harga bisa mencapai Rp11.000/kg kering. pendapatan yang sudah di atas ketentuan
Adapun pembudi daya yang menjual harga UMR (Upah Minimum Regional) sebesar
produksi lebih rendah karena produksinya Rp2.250.000,00. sampai Rp2.435.000,00.
kurang baik kualitasnya. Harga yang dibeli Kegiatan budi daya rumput laut di
adalah Rp4.000 sampai 5000/kg kering. Kabupaten Bantaeng pada umumnya telah
Produk yang dijual dalam kondisi basah menjadi mata pencaharian utama ribuan
bernilai antara Rp2000 sampai Rp2.300. Rumah Tangga Pertanian (RTP), termasuk
Biasanya yang basah dijual untuk bibit. di Desa Bonto Jai pada khususnya sehingga
Penerapan sistem agribisnis pada budi daya mampu menyerap banyak tenaga kerja.
rumput laut belum sepenuhnya dilakukan Kegiatan budi daya juga sangat baik
pembudi daya. Utamanya dalam hal ditinjau dari aspek sosial karena mampu
penggunaan bibit unggul dan cara mengurangi pengangguran, meningkatkan

113
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya PENUTUP


nelayan rumput laut dan berkontribusi
Kesimpulan
terhadap PAD walaupun masih kecil nilai
nominalnya. Hal yang tatkala pentingnya, Kegiatan budi daya rumput laut di
kegiatan budi daya rumput laut mampu Kabupaten Bantaeng tepatnya di Desa
diandalkan dalam upaya konservasi sumber Bonto Jai telah digeluti sejak lama dan
daya laut tersebut. sampai sekarang ini masih diminati. Dalam
Sebagai mata pencahrian utama, perkembangannya, pembudi daya rumput
tingkat ketergantungan masyarakat wilayah laut telah menjadi primadona bagi aktivitas
pesisir khususnya nelayan rumput laut masyarakat pesisir pantai Kabupaten
terhadap kegiatan budi daya rumput laut Bantaeng pada umumnya dan Desa Bonto
cukup tinggi. Hal ini di sebabkan relatif Jai pada khususnya.
masih kurangnya pekerjaan alternatif di Fenomena ini tertampilkan melalui
wilayah pesisir. Selain itu, saat ini kegiatan banyaknya nelayan tangkap yang beralih
budi daya rumput laut merupakan mata menjadi petani rumput laut bahkan telah
pencaharian yang paling menguntungkan menjadikannya sebagai pekerjaan utama.
dan menjadi harapan untuk peningkatan Sementara pekerjaan nelayan maupun
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai petani, hanya merupakan pekerjaan
pesisir khususnya nelayan rumput laut di sampingan saja. Hal tersebut sangat
masa depan. memungkinkan karena usaha budi daya
Budi daya rumput laut juga telah rumput laut tidak terlalu membutuhkan
mengubah salah satu aspek sosial-budaya keterampilan khusus dan mudah dilakukan.
dan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang Risiko lebih rendah dan dapat diprediksi
selama ini terpinggirkan dari kegiatan hasilnya dibandingkan sebagai nelayan.
penangkapan ikan yang menjadi mata Usaha budi daya rumput laut dapat
pencaharian utama, seperti perempuan, dilakukan sepanjang tahun, artinya
anak-anak, dan orang tua. Kini bisa terlibat kehidupan rumah tangga pembudi daya
dan mendapatkan manfaat langsung dalam lebih terjamin dibanding sebagai nelayan,
kegiatan budi daya rumput laut. Mereka dan ada waktu luang bagi pembudi daya
mengerjakan pengikatan bibit rumput laut setelah masa tanam sehingga dapat mencari
pada bentangan yang akan ditanam. pekerjaan sambilan seperti mencari ikan
Meskipun upah memang terbilang masih untuk konsumsi keluarga.
relatif masih kecil namun bagi mereka yang Dalam usaha budi daya rumput laut
selama ini tidak berpendapatan, sudah ada beberapa hal yang fokus perhatian, di
sangat berarti untuk membantu pemenuhan antaranya kesesuai lahan, pembibitan,
kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, sistem teknologi, dan produksi yang
mereka juga memungut sisa panen yang meliputi permodalan, pengikatan bibit,
banyak tercecer pada saat pemindahan pemeliharaan, penjemuran, dan pemasaran.
rumput laut dari perahu ke tempat Satu hal yang sangat menarik dari kegiatan
penjemuran, kemudian dijual ke pedagang budi daya rumput laut ini, dengan
pengumpul. Waktu mereka terisi dengan keterlibatan kaum wanita yang turut
sesuatu yang produktif. Selama mereka mau mengambil bagian sebagai tenaga kerja
bekerja tidak ada lagi waktu yang terbuang dalam pengikatan bibit (annyikko bibi)
percuma yang sebelumnya hanya diisi sebelum ditanam atau dibenamkan ke
dengan duduk-duduk saja tanpa permukaan laut.
penghasilan. Budi daya rumput laut mempunyai
peluang untuk meningkatkan pendapatan
petani di Desa Bonto Jai. Budi daya rumput
laut lebih menguntungkan dibanding
dengan pendapatan profesi sebelumnya

114
Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

yakni sebagai nelayan. Petani rumput laut Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi
mendapatkan peningkatan pendapatan Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
sekitar dua hingga delapan kali lipat dari Remaja Rosdakarya.
pekerjaan sebelumnya. Mubarak H. Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja
Saran WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya
Rumput Laut. Jakarta; Pusat Penelitian
Seiring dengan banyaknya
dan Pengembangan Pertanian.
masyarakat Bonto Jai yang beralih profesi
Puslitbangkan. IDRC-INFIS.
dari nelayan ke petani penggarap menjadi
pembudi daya rumput laut, yang Nana Syaodih Sukmadinata (2009). Metode
dikhawatirkan tidak lagi memperhitungkan Penelitian Pendidikan. Bandung:
azas kesesuain lahan dan daya dukung Remaja Rosdakarya
lingkungan sehingga apabila hal tersebut Vredenbregt, J. 1983. Metode Dan Teknik
berlanjut dapat mengakibatkan terjadinya
Penelitian Masyarakat. Cetakan V.
degradasi lingkungan dan dapat Jakarta: Gramedia.
menurunkan produktivitas ataupun kualitas
rumput laut yang dihasilkan. Karena itu Zatnika. A dan Angkasa, WI. 1994.
perlu disusun kriteria persyaratan lokasi Teknologi Budidaya Rumput laut.
budi daya rumput laut pada kawasan Makalah pada Seminar Pekan
perairan terbuka. Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP
Perlu adanya peraturan daerah yang Teknologi Jakarta. Jakarta.
mengatur zonasi, tata letak unit budi daya Yusuf, NR, Dkk. T.Th. Keberlanjutan
dan harga dasar rumput laut, serta pihak Budidaya Rumput Laut Di Kecamatan
pemerintah untuk mengadakan bibit Binamu, Kabupaten Jeneponto.
bermutu dalam jumlah yang cukup untuk
meningkatkan produktivitas rumput laut di
Desa Bonto Jai.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadirejen, T.J,.A.Zatnika, H. Purwoto,


S. Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Aslan, LM. 1998. Budidaya Rumput Laut.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Dahuri 2004, R., J. Rais, S.P. Ginting dan
M.J. Sitepu, 2001, Pengelolaan
Sumber daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT.
Pradnya Paramita.
Daniel, Moehar Ir. 2002. Pengantar
Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara.
Jakarta.
Fachry, Mardiana, E, 2009. Analisis Profil
Keluarga Pembudidaya Rumput laut
Ditinjau Dari Aspek Peran Gender di
Kabupaten Jeneponto. Proceding.
Konas Ambon.

115
NASKAH LA GALIGO:
IDENTITAS BUDAYA SULAWESI SELATAN DI MUSEUM
LA GALIGO
LA GALIGO MANUSCRIPT:
THE CULTURAL IDENTITY OF SOUTH SULAWESI IN THE LA GALIGO
MUSEUM

Andini Perdana
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Ujung Pandang No. 1 Kompleks Benteng Rotterdam Makassar, 90111
Telepon: (0411) 3621701 – 3631117, Faksimili : (0411) 3621702
Pos-el : andini.perdana85@gmail.com

ABSTRACT
The bestowal of the name La Galigo upon the Provincial State Museum of South Sulawesi is based on
the La Galigo manuscript, which is famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, and
Massenrempulu regions. For them, La Galigo is their unifier. As part of its collection, the La Galigo
Museum features a La Galigo manuscript, which is registered as a UNESCO Memory of the World.
The manuscript is currently on display in the permanent exhibition room of the La Galigo museum;
however, the representation of the cultural identity of South Sulawesi has been not reflected in the
exhibit. This has encouraged the author to identify the significance of the La Galigo manuscript,
analyze the concept of the current exhibits of the La Galigo Museum, and recommend the addition of
the La Galigo storyline to the museum. The research employed a case study method, with a museology
approach, especially examining new museums, cultural identity, and exhibits. The conclusion in this
research was the lack of information in the La Galigo exhibition due to the lack of research of the
significance of the La Galigo for various ethnic groups, the unity between them, the collective memory
of the society, and the relevance of the La Galigo story to the present. The development of the La
Galigo storyline, which not only describes the La Galigo manuscript itself, but links it to other
collections and represents the cultural identity of South Sulawesi, is needed.

Keywords : La Galigo, museum, the cultural identity

ABSTRAK
Pemberian nama La Galigo pada Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari atas makna
La Galigo yang dikenal di daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan Massenrempulu. La Galigo
merupakan pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo memiliki koleksi naskah La Galigo yang
teregistrasi dalam Memory of the World UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di ruang pameran tetap,
namun representasi identitas budaya Sulawesi Selatan belum tercermin dalam ekshibisi tersebut.
Belum direpresentasikan itulah yang mendorong penulis untuk mengidentifikasi nilai penting makna
La Galigo, menganalisis konsep ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan merekomendasikan
storyline ekshibisi museum. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan
museology, khususnya teori new museum, identitas budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini,
disimpulkan bahwa minimnya informasi dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan kurangnya
penggalian nilai penting La Galigo bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di antara mereka, memori
kolektif masyarakat, dan relevansi cerita itu dengan saat ini. Perbaikan storyline cerita La Galigo yang
bukan hanya mendeskripsikan naskah La Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya dengan koleksi
lain dan merepresentasikan identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan.

Kata kunci : La Galigo, museum, identitas budaya

116
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

PENDAHULUAN diperkirakan ditulis pada awal abad 19.


Naskah terinventarisasi dengan nomor
La Galigo merupakan tradisi lisan
2610/07.114, kondisi naskah relatif
masyarakat Sulawesi Selatan yang
bagus namun sangat memerlukan
diturunkan dari generasi ke generasi
perawatan.
sebelum dikenalnya aksara. Cerita
2. Naskah La Galigo di Perpustakaan
La Galigo kemudian dituliskan oleh suku
Universitas Leiden di Leiden, Belanda,
Bugis (Ideanto, 2005: 93) dengan maksud
dengan judul ”La Galigo”, terdiri dari
untuk mengabadikan cerita tersebut dari
12 episode, 2851 halaman yang
kepunahan. Cerita tersebut disalin dengan
menjadikannya sebagai naskah La
menggunakan aksara Bugis kuno (huruf
Galigo terpanjang. Naskah
lontarak) yang ditulis di atas daun lontar
terinventarisasi dengan nomor NBG-
(Ideanto, 2005: 93). Meskipun La Galigo
Boeg 188, ditulis pada pertengahan
dituliskan, namun fungsinya tetap untuk
abad ke-19 dan disalin oleh Colliq
diekspresikan secara lisan sampai saat ini,
Pujie, Ratu Pancana (sebuah kerajaan
sehingga dikenal oleh berbagai suku bangsa
Bugis di Sulawesi Selatan).
di Sulawesi Selatan (Rahman, 2003: xxi-i ).
La Galigo merupakan rujukan bagi Kedua naskah La Galigo tersebut telah
suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja dipublikasikan dalam Bahasa Indonesia dan
di Sulawesi Selatan untuk merasakan Bugis pada tahun 1995 dan 2000.
kesatuan diantara mereka (Mattulada, 2003: La Galigo disusun dengan puisi indah
447). Cerita La Galigo yang tersebar di yang mengandung narasi petualangan,
Sulawesi Selatan didominasi oleh tokoh pertempuran, dan cerita imaginatif dalam
bernama Sawerigading, manusia keturunan idiom bahasa Bugis. Meskipun di Sulawesi
Dewa sekaligus ayah dari I La Galigo. Selatan terdapat manuskrip La Galigo yang
Sawerigading dianggap sebagai peletak menjadi koleksi pribadi, namun pemiliknya
dasar munculnya kerajaan di Sulawesi kurang memahami arti penting naskah
Selatan sehingga selain dilisankan, Ia juga tersebut dan beranggapan naskah tersebut
dikaitkan dengan simbol-simbol mitologis sakral dan magis. Menurut mereka di dalam
setiap kerajaan (Enre, 1983: 12). Oleh naskah tersebut bersemayam para roh tokoh
karenanya Sawerigading dianggap sebagai suci yang terdapat dalam cerita La Galigo,
tokoh pemersatu di Sulawesi Selatan baik buruknya kehidupan manusia
(Sakka, 2008: 29). tergantung bagaimana sang pemilik
Pada tahun 2011, dua naskah La memperlakukan-nya (Rahman, 1998: 397-
Galigo terdaftar dalam Memory of the 8). Sudah saatnya mereka mengetahui
World (MoW) register yang dinominasikan tentang arti penting makna La Galigo dan
oleh Indonesia (diwakilkan oleh Mukhlis upaya perawatannya.
PaEni) dan Belanda (diwakilkan oleh Selain itu, pengetahuan masyarakat
Rogert Tol). Memory of the world Sulawesi Selatan terhadap La Galigo
merupakan program dari United Nations semakin berkurang. Agar diingat sebagai
Educational Scientific and Cultural identitas budaya masyarakat Bugis
Organizations (UNESCO) sejak tahun khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya,
1992. Program ini bertujuan untuk La Galigo bahkan dijadikan sebagai nama
melestarikan dan mengkomunikasikan jalan, universitas, dan museum. Museum
warisan dokumenter di berbagai belahan Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La
dunia. Kedua naskah tersebut adalah sbb : Galigo didirikan pada tanggal 1 Mei 1970
1. Naskah La Galigo di Museum La oleh pemerintah (Depdikbud, 1986: 26-7).
Galigo di Makassar, Indonesia, dengan Museum ini menyimpan salah satu naskah
judul “Sawerigading dan La Galigo ke La Galigo.
Senrijawa”, terdiri dari 217 halaman, La Galigo merupakan identitas
tidak berangka tahun tetapi bersama dan intangible heritage yang dapat

117
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

digolongkan sebagai tradisi lisan atau cerita Sulawesi Selatan dan belum maksimalnya
rakyat yang menjadi memori kolektif cara penyampaian informasi melalui
masyarakat Sulawesi Selatan. Peran ekshibisi di MLG seperti yang dijelaskan di
Museum La Galigo (MLG) sebagai atas, maka tulisan ini difokuskan tentang
museum Provinsi Sulawesi Selatan untuk beberapa makna La Galigo yang dapat
menyajikan memori kolektif dan identitas dikomunikasikan oleh MLG melalui
masyarakat Sulawesi Selatan. pameran tetapnya. Tulisan ini tidak
MLG telah memiliki koleksi yang membahas tentang bagaimana cara
merefleksikan identitas dan memori kolektif mengkomunikasikan makna tersebut,
masyarakat Sulawesi Selatan. ICOM code karena memerlukan kajian tersendiri.
ethics for museum juga menyatakan bahwa
koleksi museum harus merefleksikan METODE
warisan budaya dan alam komunitas yang Komunikasi di MLG berkisar tentang
dilayaninya. Koleksi tersebut dapat informasi apa yang ingin disampaikan dan
memperkuat identitas nasional, regional, bagaimana cara menyampaikannya.
lokal, etnik, religi, politik (ICOM, 2006: 9), Informasi yang ingin disampaikan adalah
dan memiliki nilai bagi memori kolektif identitas budaya Sulawesi Selatan
masyarakat Travail, 1984 :3, dalam sedangkan cara menyampaikannya dengan
Hauenschild, 1988: 8). Koleksi tersebut menyelenggarakan ekshibisi di museum.
adalah naskah La Galigo dan berbagai jenis Akan tetapi, terdapat perbedaan antara
koleksi yang berhubungan dengan cerita La kondisi ekshibisi di MLG saat ini dengan
Galigo seperti berbagai koleksi perahu dan teori museum, baik new museum, identitas,
miniaturnya, berbagai miniatur rumah adat, maupun ekshibisi.
berbagai teknologi mata pencaharian, Penelitian ini menggunakan metode
berbagai naskah lontarak, dan berbagai studi kasus, dengan pendekatan bersifat
benda kerajaan. Koleksi-koleksi tersebut
filosofis dalam museology. Sebuah
merupakan living heritage yang menjadi pendekatan yang menyatakan bahwa
memori kolektif masyarakat Sulawesi museum harus lebih berperan dalam
Selatan sampai saat ini. masyarakat. Penerapan pendekatan ini
Akan tetapi, ekshibisi koleksi La berpengaruh pada ekshibisi di museum,
Galigo belum dinarasikan dan belum karena ekshibisi merupakan proses
disesuaikan dengan living heritage dan komunikasi untuk menyampaikan makna
kondisi masyarakat masa kini. Bahkan pesan dari museum kepada pengunjungnya
beberapa koleksi tersebut belum memiliki (Magetsari, 2009: 2-5).
informasi, sehingga jelas bahwa masalah Pendekatan filosofis ini ditekankan
MLG dalam menyajikan informasi La pada proses komunikasi, yaitu makna apa
Galigo terletak pada proses komunikasi yang akan disampaikan. Pendekatan pada
melalui ekshibisi di ruang pameran tulisan ini akan memakai konsep new
tetapnya. Eilean Hooper-Greenhill museum, identitas, dan memori kolektif
menyatakan bahwa selain ekshibisi, untuk mendeskripsikan data penelitian.
komunikasi di museum juga dapat Tahapan penelitian terdiri dari empat tahap,
dilakukan melalui edukasi yaitu dengan yaitu penentuan permasalahan penelitian,
menyelenggarakan program publik yang pengumpulan data, analisis data, dan
berhubungan dengan ekshibisi. Komunikasi pemberian kesimpulan.
sendiri merupakan salahsatu fungsi
museum, selain preservasi dan penelitian
PEMBAHASAN
(Van Mensch, 2003, dalam Magetsari,
2008: 13). Konsep Identitas di Museum
Mengetahui arti penting La Galigo Secara etimologis, kata identitas
sebagai identitas budaya masyarakat berasal dari kata identity yang berarti ciri-

118
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat Ekshibisi identitas di museum adalah
pada seseorang atau sesuatu yang sebuah konsep yang kompleks karena
membedakannya dengan yang lain identitas dapat dilihat dari perspektif
(Liliweri, 2002: 69). Definisi lain psikologi, budaya, dan politik yang
dinyatakan oleh Gary Edson, bahwa signifikan untuk individu, budaya, etnik,
identitas adalah pembeda karakter setiap dan negara. Secara psikologis, identitas
individu dengan individu lainnya. Identitas meliputi pemahaman pribadi, penghargaan,
bersifat psikologis yang terdiri dari dan pemberdayaan bagi individu; secara
persepsi, definisi, dan proyeksi diri dalam budaya, identitas memberikan pembedaan
hubungannya dengan yang lain. Sementara dan terkadang tendensi terhadap perasaan
dalam konteks keberadaan, identitas superioritas pada etnik tertentu; secara
memunculkan keberagaman budaya atau politik, identitas dapat menciptakan rasa
pluralitas (Edson, 2005: 124-5). Senada patriotisme dan kebanggaan nasional
dengan definisi tersebut Corsane (Edson, 2005: 126).
menyatakan bahwa representasi identitas Salah satu cara untuk memberikan
masyarakat di museum selalu berkaitan pemahaman kepada pengunjung akan
dengan gambaran self and other. Keduanya identitasnya adalah melalui memori
signifikan untuk mengkonstruksi individu, kolektif. Penyajian identitas melalui
komunitas, nasional, dan internasional memori kolektif tersebut selalu
(Corsane, 2005: 9). Salah satu bentuk menimbulkan pertanyaan mengenai
identitas adalah identitas budaya (Liliweri, identitas siapakah yang akan didengarkan,
2007: 95). bagaimana menyajikan identitas yang
Identitas budaya bukanlah sesuatu beragam (Corsane, 2005: 9), identitas
yang statis, sehingga diproduksi dan siapakah yang akan disajikan, dilestarikan,
direproduksi dalam tingkah laku dan diinformasikan oleh museum (Edson,
keseharian; melalui edukasi; media; 2005: 124).
museum dan sektor budaya; seni; serta Pertanyaan tersebut dijawab dengan
sejarah dan literatur (Weedon, 2004: 155). pemilihan identitas budaya Sulawesi
Bahkan bagi negara berkembang, identitas Selatan yang menjadi memori kolektif dan
budaya adalah sesuatu yang dibutuhkan wujud budaya masyarakat Sulawesi
(setelah pemenuhan makanan dan tempat Selatan. Salah satu identitas budaya tersebut
tinggal) dan museum memiliki tanggung adalah La Galigo yang masih terdapat
jawab untuk melayani komunitas dengan dalam keseharian masyarakat Sulawesi
identitas budayanya (Roman, 1992: 31). Selatan. La Galigo merupakan tradisi lisan
Pada umumnya tradisi dipelajari dalam (intangible) yang didukung oleh
keluarga, media, dan sekolah. Sementara kebudayaan materi (tangible) hampir di
museum membantu untuk menciptakan dan seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
menunjang narasi tentang siapa diri mereka
Ekshibisi Museum La Galigo
dan dari mana mereka berasal. Hal ini
dikarenakan tradisi dan sejarah tidak hanya Pada awalnya MLG bernama Celebes
dapat dipelajari melalui buku sejarah, tetapi Museum yang didirikan pada tahun 1938
juga melalui museum (Weedon, 2004: 25). oleh pemerintah Nederlands Indie (Hindia
Pada penelitian ini, identitas adalah Belanda) di Kota Makassar sebagai ibukota
perbedaan dan persamaan, sehingga jika Gouvermenent Celebes Onderhoorighden
perbedaan muncul akan terjadi multikultur (Pemerintahan Sulawesi dan daerah
pada identitas tersebut yang menuntut taklukannya). Pada masa pendudukan
adanya persamaan atau benang merah. Jepang kegiatan Celebes Museum terhenti.
Identitas merupakan sesuatu yang dapat Setelah pengakuan kedaulatan, kalangan
berubah tergantung dilihat dari sudut budayawan merintis kembali pendirian
pandangnya. sebuah museum dan terealisasi pada tahun

119
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

1966 meskipun belum resmi. Museum ini Kompleks Benteng Rotterdam, jl Ujung
baru pada tahap persiapan dan Pandang no. 1, Makassar, Sulawesi Selatan.
pengumpulan koleksi dari budayawan. Pada Benteng Rotterdam merupakan salah satu
tanggal 1 Mei 1970 museum ini dinyatakan benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo
berdiri secara resmi dengan Surat yang pada masa pemerintahan Belanda
Keputusan Gubernur Kepala Daerah dijadikan sebagai tempat tinggal dan pusat
Tingkat I Sulawesi Selatan No.182/V/1970 administrasi. Dalam benteng ini terdapat 15
dengan nama MLG. gedung berarsitektur kolonial.
Pemberian nama La Galigo pada MLG menyelenggarakan tiga jenis
museum ini didasari pada suatu pemikiran eskhibisi, yaitu pameran tetap, temporer,
dan pertimbangan atas makna yang dan keliling. Ruang pameran tetap terdapat
terkandung di dalamnya. Cerita yang di gedung nomor 2 (sebelah utara) dan
terkandung dalam La Galigo dikenal di gedung no.10 (terletak di sebelah selatan) di
daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, dalam Kompleks Benteng Rotterdam.
Massenrempulu, Sulawesi Tenggara, dan
La Galigo sebagai Identitas Budaya
Sulawesi Tengah. La Galigo juga dianggap
Sulawesi Selatan
sebagai warisan dan kebanggaan
masyarakat Sulawesi Selatan, sehingga Seperti yang telah dijelaskan
dijadikan sebagai nama sebuah museum. I sebelumnya bahwa identitas merupakan
La Galigo sendiri merupakan: nama sesuatu yang cair dan berubah merespon
seorang putera dari pernikahan kondisi sosial saat ini. Sejalan dengan itu,
Sawerigading Opunna Ware dengan puteri memori kolektif juga bersifat dinamis yang
We Cudai Daeng ri Sompa. Setelah dewasa, tergantung pada kondisi sosial. Memori
La Galigo dinobatkan menjadi Raja di kolektif tidak hanya terbatas pada masa lalu
Kerajaan Luwu pada abad ke-14. La Galigo yang dibagi bersama, melainkan
juga sama sebuah karya sastra klasik dalam representasi dari masa lalu yang
bentuk naskah tertulis Bahasa Bugis, yang diwujudkan dalam berbagai praktek
dikenal dengan nama Naskah I La Galigo. budaya, khususnya commemorative simbol.
Fungsi naskah La Galigo dalam masyarakat Oleh karena itu, pemilihan identitas
Sulawesi Selatan adalah: budaya Sulawesi Selatan juga haruslah
1. Penawar keresahan menghadapi merupakan memori kolektif yang berupa
ancaman penyakit, bencana alam, dan sistem budaya yang terlihat dari prilaku
kematian serta sebagai pelindung (sistem sosial) dan hasil kebudayaan fisik
terhadap ancaman kebahagiaan hidup. manusia (commemorative symbol). Identitas
2. Pendorong terciptanya integritas sosial budaya yang dipilih pada penelitian ini
dan pranata sosial budaya. adalah La Galigo tersebut diturunkan
3. Penggugah emosi dan imajinasi serta melalui prilaku dan hasil budayanya terlihat
pembina kompetensi dan apresiasi pada kehidupan sehari-hari.
sastra di kalangan masyarakat. La Galigo dipilih sebagai identitas
budaya Sulawesi Selatan karena La Galigo
Pada tanggal 28 Mei 1979, museum ini merupakan rujukan bagi suku Bugis,
resmi menjadi MLG Provinsi Sulawesi Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi
Selatan yang merupakan Unit Pelaksana Selatan untuk merasakan kesatuan diantara
Teknis di bidang Permuseuman mereka (Mattulada, 2003: 447). La Galigo
(Depdikbud, 1986: 26-9). Berdasarkan sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi
Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan dikarenakan lima alasan.
Selatan Nomor 166 tanggal 28 Juni 2001, 1. I La Galigo adalah anak seorang
MLG berubah nama menjadi Unit manusia keturunan Dewa bernama
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) MLG Sawerigading. Dalam berbagai cerita La
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Galigo, Sawerigading menjadi tokoh
Sulawesi Selatan. MLG ini terletak di

120
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

utama dan menjadi perekat atau naskah La Galigo yang dipandang


penghubung suku bangsa di Sulawesi sebagai rekaman nilai-nilai luhur dan
Selatan (Sakka, 2008: 29). Cerita pedoman ideal dalam masyarakat. Bagi
tentang Sawerigading tidak hanya masyarakat Sulawesi Selatan yang tidak
dikenal di suku Bugis, melainkan di memiliki alat perekam tulisan, maka
semua suku di Sulawesi Selatan cerita rakyat Sawerigading tetap berada
(Depdikbud, 1986: 25). dalam kenyataan tradisi lisan yang
2. Di beberapa di daerah di Sulawesi dipelihara dari generasi ke generasi
Selatan, Sawerigading memiliki simbol (Mattulada, 2003: 437-438). Implikasi
mitologis berupa kebudayaan materi terhadap nilai-nilai yang terkandung
yang bersifat sakral. Dalam tradisi lisan dalam La Galigo terlihat pada prilaku
La Galigo, terdapat tokoh Sawerigading masyarakat Sulawesi Selatan.
yang dianggap sebagai pelaut ulung, 5. Naskah La Galigo dianggap sebagai
yang pelayarannya sampai ke negeri sesuatu yang disakralkan dan dipercayai
Cina. Dalam pengembaraannya tersebut, dapat menyembuhkan penyakit,
Ia digambarkan singgah di suatu tempat membuat kebahagiaan dalam hidup, dan
yang memunculkan cerita-cerita yang mencegah bencana alam (Depdikbud,
berkaitan dengannya. Kehadirannya 1986: 26). Hal ini terlihat pada naskah-
tersebut selalu dikaitkan dengan asal naskah tempat menuliskan La Galigo
usul raja setempat dan berdirinya daerah dianggap sebagai benda yang
tersebut, bahkan di daerah tersebut mempunyai kekuatan magis. Di
selalu terdapat benda-benda yang dalamnya dianggap bersemayam para
berhubungan dengan Sawerigading. roh tokoh suci yang terdapat dalam
Contohnya di dekat Malili, terdapat cerita La Galigo, baik buruknya
Gunung Belah (bulupulo) yang terbelah kehidupan manusia adalah tergantung
akibat tertimpa pohon Welenreng yang bagamana manusia memperlakukannya
ditebang oleh Sawerigading untuk (Rahman, 1998: 397-8).
dijadikan perahu; di Cerekang Penjelasan La Galigo sebagai memori
3. Salah satu alasan La Galigo merupakan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial
Memory of the World karena naskahnya dikarenakan tiga hal. Pertama; memori
diperkirakan dua kali lebih panjang kolektif ada dikarenakan hubungan yang
dibandingkan naskah mahabarata dan dibagi bersama dengan yang lainnya,
Ramayana. Naskahnya tersebar di seperti bahasa, simbol, peristiwa, serta
beberapa negara, yaitu Indonesia konteks budaya dan konteks sosial. Kedua,
(Jakarta dan makassar), Belanda memori kolektif karena diturunkan dari
(Leiden), United Kingdom (London dan generasi ke generasi, sehingga memori
Manchester), Jerman (Berlin), dan harus diartikulasikan. Ketiga; memori
Amerika Serikat (Washington DC) baik kolektif tidak terbentuk dalam kondisi
sebagai koleksi pribadi maupun publik. sosial yang statis.
Selain itu, La Galigo beberapa kali
dipentaskan. Analisis Konsep Ekshibisi Museum
4. La Galigo berisi tentang peraturan La Galigo
normatif yang berisi tentang etik, Analisis dilakukan terhadap konsep
tingkah laku (PaEni dan Tol, 2010: 6), ekshibisi terkait La Galigo sebagai identitas
dan tata cara kehidupan sehari-hari budaya Sulawesi Selatan di ruang pameran
(peristiwa kelahiran, perkawinan, tetap MLG. Beberapa permasalahan
kematian, dll). Penyebaran legenda La ekshibisi yang ditemukan adalah sebagai
Galigo atau Sawerigading terjadi berikut :
melalui tradisi lisan. Tradisi lisan 1. Subjek MLG adalah koleksi museum
tersebut kemudian direkam dalam yang disajikan baik di ruang pameran

121
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tetap maupun di ruang pameran dengan koleksi alat batu (maros point,
temporer. Koleksi merupakan bagian kapak penetak, dll), fosil (kerang, kayu,
terpenting di museum ini, seperti yang vertebrata), perhiasan (kalung dan
terlihat pada misi, tujuan, kebijakan, dan gelang manik), kapak upacara dari
program di museum. Sementara itu, perunggu, bekal kubur masa megalitik,
pengunjung atau masyarakat belum miniatur rumah adat Mamasa, dan
mendapatkan prioritas. Koleksi tersebut miniatur erong. Ruang keempat adalah
terdapat di ruang pamer sebanyak 60 gudang. Ruang kelima masih merupakan
persen dan di ruang atau tempat ruang arkeologi, disajikan kebudayaan
penyimpanan sebanyak 40 persen. materi dari masa Hindu dan Budha
Prioritas terhadap koleksi juga tercermin (klasik), seperti replika arca Budha
melalui pendekatan ekshibisinya; Sempaga, arca garuda, dewa Wisnu,
2. Pendekatan ekshibisi MLG adalah miniatur Candi Prambanan, miniatur
kronologi, taksonomik, dan tematik. Candi Borobudur, bentuk-bentuk nisan,
Konsep ekshibisi kronologi dan mata uang. Ruang keenam
diaplikasikan dengan menyajikan koleksi merupakan ruang etnografi. Ruang
berdasarkan kerangka waktu yang ketujuh merupakan ruang Kerajaan
dimulai dari masa Prasejarah, Hindu Sulawesi Selatan dan pahlawan disajikan
Budha, Islam, dan setelah kemerdekaan. koleksi peninggalan kerajaan Palili
Konsep ekshibisi taksonomi (kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi
diaplikasikan dengan menyajikan koleksi Selatan, seperti Kerajaan Sawitto,
berdasarkan sepuluh jenis koleksi, yaitu Kerajaan Mandar, Kerajaan Tana
koleksi numismatik di ruang Toraja), perabot kerajaan, dan foto-foto
numismatik, koleksi historika di ruang pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan.
sejarah, Kerajaan Sulawesi Selatan dan Ruang kedelapan merupakan ruang
pahlawan. Konsep ekshibisi tematik kerajaan Luwu disajikan benda-benda
diaplikasikan di ruang sejarah yang melambangkan kebesaran kerajaan
kebudayaan dan lintas peradaban, Luwu termasuk naskah La Galigo.
budaya pedalaman perkampungan, Ruang kesembilan merupakan ruang
budaya pedalaman agraris, dan budaya kerajaan Bone disajikan benda-benda
pesisir. Ketiga pendekatan ini dapat yang melambangkan kebesaran kerajaan
dilihat pada gedung nomor 2 dan gedung Bone. Ruang kesepuluh merupakan
nomor 10. ruang Kerajaan Gowa, disajikan benda-
Gedung nomor 2 terdiri dari dua lantai benda yang melambangkan kebesaran
dan sebelas ruang. Pada saat memasuki kerajaan Gowa. Ruang kesebelas
gedung ini, pengunjung dapat melihat 2 merupakan merupakan ruang keramik
(dua) naskah La Galigo, dengan asing, disajikan dengan koleksi keramik
informasi yang minim. Ruang pertama asing dari Cina, Jepang, Vietnam, Eropa,
merupakan ruang sejarah kebudayaan dan Thailand, serta peta lokasi
dan lintas peradaban yang disajikan penemuan keramik asing di Sulawesi
dengan koleksi maket Benteng Selatan.
Rotterdam,benda-benda/bahan bangunan Gedung nomor 10 terdiri dari dua lantai
benteng, peta lokasi benteng Kerajaan dan tujuh ruang. Ruang pertama
Gowa, dan foto-foto gedung Benteng merupakan ruang pengenalan dan lobby
Rotterdam. Ruang kedua dan ketiga museum. Ruang kedua merupakan ruang
adalah ruang prasejarah, mulai dari masa sejarah kebudayaan dan lintas peradaban
paleolitik sampai neolitik yang disajikan yang memamerkan tentang kebudayaan
dengan diorama kehidupan masa manusia. Ruang ketiga yaitu budaya
prasejarah sampai masa tradisi pemujaan pedalaman perkampungan yang
terhadap nenek moyang yang dilengkapi memerkan tentang penempaan besi dan

122
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

tenun tradisional yang disajikan koleksi yang replikanya juga dipamerkan di


tenun tradisional dari Sulawesi Selatan, museum ini, sehingga untuk mengisi
sarung sutra, alat pembuatan benang, kekosongan tinggalan masa klasik, MLG
tombak. Ruang keempat yaitu ruang menyajikan arca dan miniatur candi yang
budaya pedalaman agraris yang berasal dari luar Sulawesi Selatan.
memamerkan tentang peralatan Koleksi dari luar Sulawesi Selatan dapat
pertanian, teknologi tradisional dijadikan sebagai pembanding, namun
pembuatan minyak kelapa, gula merah, tidak dijadikan sebagai materi inti
sagu, gerabah, tombak, dan emas. Ruang ekshibisi;
kelima adalah ruang budaya pesisir yang 5. Belum dikomunikasikannya cerita La
memerkan alat-alat penangkap ikan di Galigo. Padahal hampir keseluruhan
Sulawesi Selatan, dan berbagai jenis koleksi dari berbagai kerajaan dan
perahu. kehidupan masyarakat terkait dengan
Ekshibisi di ruang pamer gedung nomor cerita La Galigo. Bahkan naskah La
2 belum menunjukkan kronologi. Hal ini Galigo tidak dijadikan sebagai koleksi
terlihat dari alur cerita kronologisnya, masterpiece. MLG memiliki enam
yaitu koleksi masa prasejarah dan masa koleksi masterpiece, yaitu salokoa,
klasik, yang dilanjutkan dengan koleksi phallus, lontara meong palo’E, songko
mata uang, koleksi keramik asing, pamiring ulaweng, dan perahu phinisi.
koleksi ruang kerajaan dan pahlawan Naskah La Galigo saat ini dapat dilihat
Sulawesi Selatan. Sementara itu, pada lobby gedung 2, yang belum
ekshibisi di ruang pamer gedung 10 ternarasikan dengan baik;
menunjukkan bahwa pemaknaan tentang 6. Informasi dan koleksi yang disajikan
teknologi tradisional belum dikaitkan dalam ekshibisi yang lebih cenderung
dengan relevansi dengan teknologi saat pada suku bangsa atau kerajaan tertentu.
ini. Padahal beberapa teknologi Sementara suku bangsa dan kerajaan
tradisional seperti pembuatan minyak kecil belum atau hanya sedikit
kelapa, sagu dan tenun; teknologi direpresentasikan. Contohnya di ruang
penangkapan ikan; teknologi pembuatan Kerajaan Sulawesi Selatan, ekshibisinya
logam masih dikerjakan oleh masyarakat difokuskan pada kerajaan besar, yaitu
Sulawesi Selatan saat ini. Kerajaan Luwu, Sawitto, Gowa, dan
3. Informasi (narasi) ekshibisi yang Bone sedangkan kerajaan kecil belum
dijelaskan pada poin 2 di atas belum banyak direpresentasikan. Contoh
dikaitkan dengan masa kini; lainnya adalah ekshibisi di ruang tradisi
4. Baik di ruang pamer gedung 2 maupun perkawinan yang difokuskan pada
gedung 10, beberapa koleksi tidak pakaian adat dan proses peralatan
berasal dari kebudayaan Sulawesi upacara perkawinan Suku Bugis.
Selatan. Contohnya display koleksi arca Padahal terdapat suku lain di Sulawesi
Garuda, arca dewa Wisnu dan beberapa Selatan, yaitu suku Bentong, Duri,
arca perwujudan lainnya; miniatur Candi Luwu, Makassar, Mandar, Selayar,
Prambanan dan Candi Borobudur; serta Toala, Toraja, dan Towala (M. Junus
mata uang Ma dan uang Gobog dari Melalatoa, 1995), hanya sedikit atau
Jawa Timur, serta uang koin dan kertas tidak sama sekali direpresentasikan.
dari Eropa. Berbeda dengan tinggalan Ekshibisi ini nampaknya belum banyak
masa Hindu-Budha di Pulau Jawa, perubahan dari ekshibisi sebelumnya
tinggalan Hindu-Budha di Sulawesi yang dinyatakan oleh Paul Michael
Selatan sangatlah minim ditemukan. Taylor ketika mengunjungi MLG pada
Peninggalan berupa arca yang ditemukan tahun 1987, yaitu:
adalah arca perunggu Budha (arca La Galigo provincial museum
sempaga) di dekat muara Sungai Karama emphasizes South Sulawesi’s

123
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

maritime culture drawing on museum masih dapat digunakan. Pendekatan


buildings architecture and history as a kronologi ini disajikan dengan tema
coastal fort. This also has the effect of dan subtema, sehingga informasi lebih
emphasizing the predominant local banyak diberikan dibandingkan objek
ethnic group, the traditionally
tanpa konteks. Pendekatan ekshibisi
maritime Bugis. In fact, despite large-
MLG dapat menggunakan pendekatan
scale foreign tourism to the Toraja
areas of the province, the Toraja are kronologi yang disampaikan secara
virtually unpresented at La Galigo tematik, misalnya museum
museums (Taylor, 1994: 80). menceritakan tentang tradisi lisan
kedatangan Tomanurung atau
Taylor menyatakan bahwa MLG pada Sawerigading yang menjadi tokoh
tahun 1994, menceritakan tentang utama dalam cerita La Galigo.
kebudayaan maritim Bugis, sementara Kronologi waktu dalam cerita
suku Toraja belum direpresentasikan. La Galigo dapat dibagi menjadi
Adapun rekomendasi pemecahan beberapa tema, yaitu tema kehidupan
masalah bagi MLG sesuai dengan konsep masyarakat Sulawesi Selatan sebelum
new museum dalam museologi. kedatangan Tomanurung, kedatangan
1. Subjek pada konsep new museum Tomanurung, munculnya kerajaan-
bukan koleksi yang ditempatkan di kerajaan, dan kehidupan masyarakat
museum melainkan complex reality saat ini.
dari masyarakat. Complex reality 3. Relevansi pemaknaan koleksi museum
dalam masyarakat Sulawesi Selatan untuk masa kini. Salah satu aspek yang
adalah nilai-nilai budaya masa lalu ditekankan dalan new museum adalah
yang masih digunakan sampai saat ini. relevansi museum dengan masyarakat,
Nilai-nilai tersebut merupakan cerita agar pengunjung (masyarakat)
La Galigo sebagai identitas budaya dan mengetahui posisinya sekarang dalam
memori kolektif masyarakat Sulawesi kehidupan yang sedang mereka jalani.
Selatan. Nilai yang terkandung dalam MLG dapat membuat ekshibisi yang
koleksi semestinya lebih ditonjolkan pemaknaannya memiliki relevansi
melalui ekshibisi museum. dengan masa kini karena beberapa
2. Pendekatan ekshibisi di MLG belum koleksi yang dimilikinya telah
menggunakan sepenuhnya pendekatan merefleksikan kehidupan masyarakat
taksonomik, tematik, dan kronologis. Sulawesi Selatan saat ini, seperti
Jika MLG memutuskan untuk koleksi alat-alat pembuat tenun, sagu,
menggunakan pendekatan tematik atau logam, dll.
kronologis dalam satu ruang, maka 4. Penempatan koleksi museum yang
pendekatan tersebut harus digunakan bukan merupakan hasil kebudayaan
sepenuhnya. Sebagai contoh di ruang Sulawesi Selatan sebaiknya
budaya pesisir, ruangan ini disajikan dipertimbangkan untuk disajikan. New
secara tematik, namun belum museum bersifat territory, sehingga
mempresentasikan storyline, teks, koleksi harus memperlihatkan
grafik, dan label koleksi serta objek kebudayaan lokal, dalam hal ini
pendukung secara tematik, melainkan Sulawesi Selatan. Koleksi yang
disajikan taksonomik. disajikan bukan hanya benda yang
Selain itu, terdapat permasalahan pada dipergunakan pada masa lalu
pendekatan kronologinya yang tidak melainkan benda yang dipergunakan
menunjukkan urutan waktu. Meskipun oleh masyarakat masa kini. Benda
new museum lebih menekankan tersebut haruslah dapat memunculkan
pendekatannya pada pendekatan kembali memori kolektif. Benda tanpa
tematik, namun pendekatan kronologi memori kolektif tidak akan bernilai di

124
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

mata masyarakat yang Sementara tradisi lisan La Galigo menyebar


menggunakannya. Dengan kata lain, hampir di berbagai etnik yang ada di
sumber primer tentang informasi Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan
koleksi yang disajikan berdasarkan Semenanjung Melayu (Rahman, 2003:
pendapat masyarakat Sulawesi Selatan, xxi-i). La Galigo merupakan cerita
bukan berdasarkan pendapat para ahli mitologis yang didalamnya mengandung
ataupun museum khususnya dari berbagai nilai-nilai sosial terdiri dari
bidang koleksi. Koleksi yang bukan berbagai rangkaian cerita diberbagai daerah
merupakan benda hasil kebudayaan (Mattulada, 1985: 65, dalam Fauziah, 2001:
Sulawesi Selatan dapat ditempatkan di 1).
ruang wawasan nusantara. Menurut Mukhlis PaEni dan Roger Tol
5. Museum dapat mengaitkan cerita dalam La Galigo MoW register, La Galigo
La Galigo pada koleksi lainnya untuk berisi tentang aturan normatif, etik, dan
memunculkan memori kolektif berbagai jenis upacara (PaEni dan Tol,
masyarakat Sulawesi Selatan. Ekshibisi 2010: 6). Fauziah kemudian merinci isi La
La Galigo juga dapat difokuskan pada Galigo. Pertama; pola-pola tingkah laku
tradisi lisan karena tradisi tersebut yang baik dan buruk serta petunjuk tentang
merupakan identitas budaya Sulawesi yang boleh dilakukan dan tidak boleh
Selatan, sedangkan La Galigo sebagai dilakukan. Kedua; berbagai tata cara
tradisi tulis merupakan hasil budaya kehidupan sehari-hari seperti upacara yang
suku Bugis. berkaitan dengan daur hidup. Ketiga;
6. Museum dapat menyajikan semua petualangan, percintaan, dan peperangan.
informasi tentang masyarakat sebuah Keempat cikal bakal manusia Sulawesi
daerah tanpa memandang apakah Selatan yang disegani dan dimuliakan
komunitas yang direpresentasikan (Fauziah, 2001: 8).
tersebut termasuk komunitas mayoritas
La Galigo dalam Keseharian Masyarakat
dan minoritas. Oleh karenanya, MLG
Sulawesi Selatan Masa Lalu
harus mengkomunikasikan semua suku
yang ada di Sulawesi Selatan. La Galigo berperan dalam
keseharian masyarakat Sulawesi Selatan
Storyline La Galigo Sebagai Identitas yang terlihat pada hubungan antara
Budaya Sulawesi Selatan La Galigo dengan manusia, kepercayaan,
dan lingkungannya. Cerita La Galigo
Penyajian La Galigo sebagai identitas terlihat pada munculnya cerita kedatangan
budaya Sulawesi Selatan didahului dengan Tomanurung, sistem kepercayaan,
pengumpulan informasi. Informasi ini akan pelapisan sosial, cerita rakyat, arsitektur
dijadikan sebagai storyline dalam ekshibisi rumah, simbol-simbol mitologis
La Galigo. Adapun storyline tersebut Sawerigading, pelayaran dan perantauan,
terkait dengan cerita La Galigo, La Galigo serta kehidupan Bissu.
dalam keseharian masyarakat Sulawesi
Selatan, dan nilai-nilai budaya pada La 1. Kedatangan Tomanurung
Galigo. Dalam cerita La Galigo dijelaskan
Cerita La Galigo tentang asal usul kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan yang dimulai dengan
Meskipun La Galigo dituliskan namun kedatangan Tomanurung. Tomanurung
fungsinya tetap untuk dilisankan, sehingga merupakan manusia keturunan Dewa
dapat dikatakan bahwa penyebaran La yang dianggap sebagai pendiri berbagai
Galigo diturunkan melalui tradisi lisan dan kerajaan di Sulawesi Selatan (Johan
tradisi tulis. Kedua tradisi ini ditemukan Nyompa, dkk, 1979, dalam Direktorat
pada masyarakat Sulawesi Selatan dan Jenderal Kebudayaan, 1982: 5).
menjadi baku karena ketertulisannya.

125
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kedatangan Tomanurung melalui tiga golongan saya atau ata, adalah golongan
fase, pada fase ketiga merupakan awal yang berasal dari menjual diri, kalah
munculnya kerajaan-kerajaan di perang, tawanan perang, serta berbuat
Sulawesi Selatan. Cerita Tomanurung salah pada aturan adat. Ata bukan suatu
terdapat dalam riwayat-riwayat lapisan yang fundamentil karena muncul
masyarakat Sulawesi Selatan. akibat peperangan, perampasan dan
peradilan. Ata dipandang sebagai
2. Sistem Kepercayaan
salahsatu aspek untuk mencegah
Sistem kepercayaan seperti yang masyarakat Sulawesi Selatan menerima
digambarkan dalam cerita La Galigo atau menyerah kepada nasib karena ini
sebagai tradisi lisan dan didukung oleh akan menimbulkan siri’ (Mattulada,
tradisi tulis masih digunakan pada 2007: 20).
beberapa kelompok masyarakat. Pada dasarnya setiap pelapisan sosial di
Kepercayaan tersebut mengarah kepada Sulawesi Selatan memiliki kesamaan
Dewa Tunggal, yang bernama Patoto’E meskipun saat ini terjadi perubahan.
(Dia yang menentukan nasib), Persamaan pelapisan sosial kelima suku
TopalonroE (Dia yang menciptakan), tersebut, yaitu: 1) Lapisan Raja dan
Dewata SeuaE (Dewa yang tunggal), Tu- kerabatnya: Orang Bugis menyebutnya
riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi), Anakarung, Orang Makassar
dan Puang Matua (Tuhan yang tertinggi) menyebutnya Ana’ Karaeng, Orang
(Mattulada, 1974: 35). Mandar menyebutnya Daeng, Orang
3. Pelapisan Sosial Toraja meneyebutnya Tana Bulaan, dan
Orang Bajo menyebutnya Lolo same; 2)
Pelapisan sosial di Sulawesi Selatan Lapisan rakyat biasa atau orang
muncul sejak kedatangan Tomanurung. kebanyakan: Orang Bugis menyebutnya
Setiap suku bangsa di Sulawesi Selatan Maradeka, Orang Makassar
memiliki pelapisan sosialnya masing- menyebutnya To Maradeka, Orang
masing, misalnya pada Suku Makassar, Mandar menyebutnya Tau Maradeka,
dibagi menjadi empat. Pertama; ana’ Orang Toraja menyebutnya Tana
karaeng ri gowa (anak raja-raja gowa) Karurung, dan Orang Bajo menyebutnya
dibagi menjadi ana’ ti’no (anak Gallareng; dan 3) Lapisan sahaya:
bangsawan penuh), ana’ sipuwe (anak Orang Bugis dan Makassar menyebutnya
separuh bangsawan), ana’ cera’ (anak Ata, Orang Mandar menyebutnya
bangsawan berdarah campuran), dan Batuwa, Orang Toraja menyebutnya
ana’ karaeng sala (anak bangsawan Tana Kua-Kua, dan Orang Bajo
keliru). Kedua; ana’ karaeng menyebutnya Ate. Kesamaan tersebut
maraengannaya (bangsawan atau anak disebabkan adanya pandangan
raja-raja yang termasuk dalam golongan makrokosmos, bahwa dunia terbagi
asal Tomanurung). Ketiga; to maradeka menjadi tiga yaitu dunia langit (botting
(orang merdeka) terdiri dari tu-baji’ langiq), dunia tengah (bumi), dan dunia
(orang merdeka) dan tu-samara (orang bawah (peretiwi). Pandangan ini juga
kebanyakan). Keempat; ata (sahaya) terdapat pada pelapisan sosial yang
terdiri dari ata sossorang (sahaya terbagi menjadi tiga (Rahman, 1998:
warisan) dan ata nibuwang (sahaya 379-380). Pelapisan sosial tersebut pun
baru). Hubungan antar golongan tersebut mengalami perubahan.
berdasarkan anggapan bahwa golongan
satu adalah lebih tinggi dari golongan 4. Cerita Rakyat
yang lain, karena golongan satu berasal La Galigo merupakan tradisi lisan
dari langit dan golongan yang satu masyarakat Sulawesi Selatan sehingga
berasal dari dunia bawah. Sementara penyebarannya berpindah dari satu

126
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

tempat ke tampat lain dan beradaptasi 6. Simbol Mitologis


dengan kebudayaan setempat, sehingga Sawerigading sebagai tokoh dalam La
muncul berbagai versi (Rahman, 1998: Galigo dikaitkan dengan berbagai
395). Berbagai versi cerita tersebut simbol-simbol mitologis pada beberapa
masih menunjukkan beberapa kesamaan tempat di Sulawesi Selatan. Beberapa
cerita. Beberapa cerita tersebut adalah simbol tersebut ditemukan di dekat
sbb: Malili, terdapat Gunung Belah
1) Cerita Sawerigading sebagai tokoh (bulupulo) yang terbelah akibat tertimpa
utama pohon Welenreng, ditebang oleh
Cerita Sawerigading sebagai tokoh Sawerigading untuk dijadikan perahu; di
utama terdapat diberbagai cerita kerajaan Cerekang terdapat batu cadas yang
di Sulawesi selatan. Beberapa cerita banyak diambil untuk dijadikan sebagai
tersebut memiliki persamaan dan batu asah karena dianggap telah tertimpa
perbedaan. kulit bekas pohon Welenreng
2) Possi tana atau pocci tana atau possi Sawerigading; di gunung Kandora Tana
butta Toraja terdapat batu yang dianggap
Pada umumnya setiap daerah di sebagai penjelmaan We Pindakati, isteri
Sulawesi Selatan memiliki cerita tentang Sawerigading; di Enrekang terdapat
possi tana atau pusat bumi yang menurut gunung batu yang terlihat seperti
tradisi lisan adalah tempat turunnya anjungan perahu, dianggap sebagai
Tomanurung di bumi. perahu Sawerigading yang karam
3) Dewi Padi (Sangiang Serri) kemudian membatu; di Selayar terdapat
Cerita Sangiang atau Sangeng Serri atau gong besar (nekara) dianggap sebagai
Dewi Padi yang dipercaya sebagai gadis gong Sawerigading yang dibunyikan
muda dan cantik, yang memiliki setiap memasuki pelabuhan; di
berbagai versi.
Bontotekne terdapat kepingan perahu,
4) Pemmali atau kasipalli dianggap berasal dari perahu
Kasipalli yaitu larangan atau pantangan Sawerigading; di utara Majene terdapat
untuk berbuat atau melakukan sesuatu batu berbentuk kaki kiri manusia,
yang bersifat sakral (keramat) dan dianggap sebagai kaki Sawerigading; di
berfungsi melindungi. Parigi terdapat sebuah tempat yang tidak
5. Arsitektur Rumah ditumbuhi tanaman apapun kecuali
sebuah pohon beringin dianggap sebagai
Pandangan kosmologi dalam naskah La
tempat Sawerigading mengadakan
Galigo menyatakan bahwa alam raya
sabung ayam (Enre, 1983: 12-3, Sakka,
(makrokosmos) terdiri atas tiga bagian
2008: 33-4); di Banawa Sulawesi
(lapisan), yaitu benua atas, benua tengah,
dan benua bawah. Pusat ketiga benua Tengah, terdapat perahu yang membatu,
gunung yang menyerupai layar, sumur
tersebut adalah benua atas, tampat
air tawar di dasar laut yang dianggap
bersemayamnya Dewa PatotoE. Salah
sebagai peninggalan Sawerigading; dan
satu cerminan dari pandangan
di Sulawesi Tenggara kehadiran
makrokosmos tersebut adalah bentuk
Sawerigading dikaitkan dengan
rumah panggung (rumah di atas tiang)
keturunan raja-raja Tolaki, Buton, dan
yang terdiri atas tiga tingkat, yaitu
Muna (Rahman, 1998: 395-6).
tingkat atas, tengah, dan bawah (Hamid,
2008: 59) dengan fungsinya masing- 7. Pelayaran dan Perantauan
masing. Cerita tentang orang Sulawesi Selatan
yang terkenal sebagai perantau dan
pelaut ulung karena berlayar dengan
perahu-perahu tradisional, seperti pinisi,

127
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tanjak, dan paddewakkang (Rahman, Pesse’ muncul secara spontan ketika


1998: 392) telah ada dalam cerita La harga diri kelompok atau keluarga
Galigo. Cerita tersebut berhubungan merasa dihina atau direndahkan oleh
dengan pelayaran dan perantauan orang lain (Rahman, 1998: 374). Konsep
Sawerigading menuju Cina. pesse tidak dapat dipisahkan dari siri’
seperti yang tercermin dari pribahasa ia
8. Kehidupan Bissu
sempugikku rekkua de’ na siri’na, engka
Bissu atau pendeta, dukun, dan ahli messa pesse’na artinya mereka sesama
ritual trance (kemasukan oleh roh) orang Bugis jika tidak memiliki siri’
merupakan penghubung antara umat maka masih memiliki pesse, atau
manusia dengan Dewata (Pelras, 2006: pribahasa ikambe mangkasaraka punna
97-8). Pada masa pemerintahan kerajaan tasiri’, pacce seng ni pabbulo artinya
sebelum masuknya Islam di Sulawesi kalau bukan siri’ maka pacce-lah yang
Selatan, peran Bissu sangat penting. Saat membuat kita satu (Mattulada, 1974:
Islam masuk pun peran Bissu masih 38). Siri’ dianggap sebagai pandangan
dibutuhkan oleh kerajaan dan hidup yang mengandung etik pembedaan
masyarakat pendukungnya. Namun, antara manusia dan binatang karena
sejalan dengan semakin kuatnya adanya rasa harga diri dan kehormatan
pengaruh ajaran Islam peran Bissu yang melekat pada manusia, sehingga
menurun. Selain itu, Bissu bertugas siri’ berbeda dengan kejahatan. Adanya
memelihara berbagai benda pusaka dan pendapat yang menyatakan siri’ sama
tradisi karena diyakini sebagai dengan kejahatan karena rasa malu
penghubung manusia dan Dewa identik dengan siri’ sehingga
(Hamonic, 2003: 487). mewajibkan adanya tindakan terhadap
penyebab timbulnya rasa malu tersebut.
Nilai-Nilai Budaya pada La Galigo Bentuk-bentuk tindakan tersebutlah yang
terkadang menyebabkan kejahatan
Beberapa nilai-nilai La Galigo masih (Budidarmo, 1977: 16-18, dalam Farid,
relevan dengan kehidupan saat ini dan 2007:22).
terkadang terdapat nilai yang telah berubah
dan tidak sesuai dengan nilai aslinya. 2. Sumangeq dan Inninawa

1. Siri’ dan Pesse Semangat atau sumangeq atau sungek


adalah suatu spirit yang memberi
Konsep siri’ dan pesse di Sulawesi manusia kekuatan untuk hidup. Segala
Selatan pada dasarnya adalah sama, baik sesuatu yang ada pada manusia,
masyarakat suku Bugis, Makassar, tubuhnya, dan senjatanya selalu
Mandar, maupun Toraja (Lopa, 2007: diperkuat oleh sumangeqnya
65-6). Siri’ diartikan sebagai rasa malu (Gonggong, 2003: xiv-v). Masyarakat
yang menyangkut martabat atau harga Sulawesi Selatan percaya sumangeq
diri, reputasi, dan kehormatan yang telah ada sejak manusia dilahirkan.,
harus dipelihara dan ditegakkan. Siri’ sehinga harus terus dijaga agar tidak
juga diartikan keteguhan hati dalam menjauh dari tubuh (Lathief, 2004: 9).
kehidupan bermasyarakat (Mattulada, Sementara ininnawa adalah hati nurani
2007: 59-60). Sementara passe’ atau manusia. Sumangeq-inninawa adalah
pacce’ adalah perasaan simpati, sakit, dua hal yang menjadi kekuatan manusia
dan pedih apabila sesama warga untuk memanusiakan dirinya dan
masyarakat Sulawesi Selatan ditimpa merupakan dua pengikat untuk
kemalangan yang menimbulkan suatu mempertahankan hidup bersama sebagai
pendorongan ke arah solidaritas dalam manusia. Jika keduanya dilapisi oleh
berbagai bentuk terhadap mereka yang siri’ dan pesse menjadi kekuatan utama
ditimpa kemalangan (Farid, 2007: 28).

128
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

bertahan hidup, baik individual maupun Lempuk adalah sikap jujur pada sesama
bersama seperti yang dilukiskan dalam manusia, diri sendiri, dan pencipta
La Galigo (Gonggong, 2003: xiv-v). (Rahman, 1998: 331). Lempuk sebagai
nilai budaya masyarakat Sulawesi
3. Pemeliharaan Lingkungan
Selatan terdapat dalam karya sastra
Pada cerita La Galigo dijelaskan tentang paseng yang terlihat pada ungkapan
pentingnya manusia melestarikan alam. teppugauk gauuk maceko (tidak boleh
Kehadiran Tomanurung dalam cerita La berbuat curang).
Galigo bertujuan untuk menyampaikan
6. Getteng (keteguhan pada prinsip)
perintah Dewa agar menjaga lingkungan
dan mengetahui tanda-tanda alam. Getteng diartikan sebagai keteguhan
Lingkungan dijaga untuk menjaga pada prinsip yang benar dan tidak
kestabilan dan keharmonisan hidup memihak pada yang salah. Contoh
menusia. Perintah dan ajaran itulah yang getteng diantaranya dalam pau-pau
harus dipahami oleh manusia agar rikadong arung masala ulik-e
hidupnya tentram dan harmonis diceritakan bahwa raja Luwu diminta
(Rahman, 1998:372). Dalam cerita La untuk mempertahankan puterinya yang
Galigo diungkapkan mengenai tata cara memiliki penyakit menular di istana atau
pengelolaan alam dan lingkungan sekitar mengeluarkan puterinya dari istana agar
melalui tanda-tanda alam. Tanpa penyakit tersebut tidak menular pada
pemahaman tersebut, manusia akan rakyatnya (Ibrahim, 2003: 139-140).
mudah tertimpa bencana alam, sehingga 7. Saling menghargai
tanda alam merupakan pedoman bagi
manusia dalam beradaptasi dengan alam. Sipakatau (Bugis-Makassar), sipamandar
Pemahaman tersebut dibukukan oleh (Mandar), Sipakaele (Toraja) berarti
orang Sulawesi Selatan yang disebut saling menghargai sesama manusia.
lontarak kutika (Bugis dan Makassar), Dalam interaksi sosial nilai sipakatau
berisi tentang tanda-tanda alam, cara- mengharuskan seseorang untuk
cara memahami tanda dan cara memperlakukan orang lain sebagai
mengatasinya (Rahman, 1998:372). manusia dan menghargai hak-haknya.
Perilaku sipakatau yang paling tinggi
4. Ide Demokrasi adalah berupaya memanusiakan orang
Ide demokrasi terlihat pada masyarakat yang telah terjerumus menjadi rapang-
Sulawesi Selatan sejak kedatangan rapang tau (bukan manusia).
Tomanurung. Hal ini terlihat pada Perwujudan nilai dasar sipakatau dikenal
perjanjian antara Tomanurung dengan dengan sipakaingek, siparengerangi
para pemimpin kaum di berbagai daerah, (saling mengingatkan), sipangajari
misalnya di Bone, Soppeng, Gowa, dll. (saling menasehati), dan sipaitai (saling
Dalam perjanjian antara Tomanurung memberikan petunjuk). Selain itu dalam
dengan pemimpin kaum terdapat interaksi sosial dikenal istilah
ungkapan yang menyatakan bahwa sipakalebbi (saling memuliakan) dan
kepatuhan rakyat kepada raja adalah siamasei (saling mengasihi) (Ibrahim,
bersyarat, yaitu tergantung pada 2003: 140-1).
komimen raja pada kepentingan dan hak-
hak rakyat. Rakyat akan patuh dan setia PENUTUP
kepada raja yang memberikan
pengayoman dan menghargai hak milik La Galigo merupakan intangible
rakyat. heritage yang menjadi identitas masyarakat
Sulawesi Selatan dan saat ini masih
5. Lempuk (kejujuran) bertahan di tengah arus globalisasi. Salah
satu cara untuk melestarikan cerita La

129
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Galigo adalah melalui MLG karena tahap fungsional, dan tahap penilaian.
museum ini menyimpan berbagai koleksi Penelitian ini dibatasi pada tahap
yang terkait dengan cerita La Galigo, konseptual, yaitu pengumpulan ide
termasuk naskah La Galigo itu sendiri. tentang La Galigo yang akan
Koleksi yang berhubungan dengan cerita La dikomunikasikan kepada pengunjung;
Galigo tersebut disimpan di ruang 3. Ekshibisi La Galigo harus
penyimpanan maupun diekshibisi di ruang merepresentasikan masyarakat Sulawesi
pameran tetap. Akan tetapi, informasi yang Selatan, sehingga evaluasi atau studi
disajikan kepada pengunjung tentang cerita pengunjung untuk menjaring pendapat
La Galigo masih minim, bahkan beberapa masyarakat Sulawesi Selatan tentang La
alur cerita tidak dikaitkan dengan cerita La Galigo harus dilakukan;
Galigo. 4. Perekaman cerita La Galigo sebagai
Informasi tentang MLG tersebut memori kolekif diperlukan, untuk
tentunya dijadikan dasar untuk perencanaan membuat storyline ekshibisi;
desain ekshibisi. Desain media ekshibisi ini 5. Ekshibisi La Galigo ini didukung oleh
memanfaatkan memori kolektif masyarakat program publik;
Sulawesi Selatan. Memori kolektif tersebut 6. Tradisi lisan La Galigo menyebar
dapat muncul karena adanya kesamaan hampir di berbagai suku bangsa yang
antar individu dalam setiap atau antar ada di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan,
kelompok dalam cerita La Galigo. dan Semenanjung Melayu. Oleh karena
Contohnya kesamaan pengalaman sejarah itu, pada penyelenggaraan ekshibisinya,
dan budaya, kesamaan pengetahuan harus merepresentasikan semua pihak;
tertentu, kesamaan demografi atau wilayah, 7. Salah satu kendala yang akan dihadapi
dan kesamaan kondisi sosial ekonomi pada dalam penyelenggaraan ekshibisi La
cerita La Galigo dan kehidupan saat ini. Galigo ini adalah perasaan etnosentrisme
Beberapa saran yang sebaiknya dan prasangka dari setiap suku bangsa
dilakukan oleh MLG untuk tentang kepemilikian La Galigo sebagai
penyelenggaraan ekshibisi La Galigo, yaitu identitasnya masing-masing. Pemunculan
sebagai berikut: sikap etnosentrisme dan prasangka ini
1. Ekshibisi La Galigo seperti yang telah harus dihindari dengan memberikan
dijelaskan pada tulisan ini dapat pemahaman melalui ekshibisi bahwa La
diselenggarakan di dua tempat. Galigo adalah warisan bersama dan
Pertama, di ruang atau gedung baru milik masyarakat Sulawesi Selatan
yang berbeda dengan gedung pameran khususnya dan milik Indonesia
tetap saat ini. Ekshibisi La Galigo ini umumnya.
dapat dikaitkan dengan ekshibisi di
ruang pameran tetap saat ini dengan DAFTAR PUSTAKA
menempatkannya sebagai informasi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
awal di ruang pengenalan. Kedua, di Ujung Pandang. 1994. Laporan
ruang pameran tetap yang menyimpan Penelitian Sejarah dan Nilai
berbagai koleksi yang mendukung Tradisional. Makassar: BKSNT Ujung
pameran La Galigo sebagai identitas Pandang.
budaya Sulawesi Selatan. Berbagai jenis
koleksi tersebut terdapat di ruang Corsane, Gerard. 2005. “Issues in Heritage,
pameran tetap gedung nomor 2 dan Museums, and Galleries” dalam
nomor 10; Heritage, Museums, and Galleries. Ed.
2. Ekshibisi La Galigo sebagai identitas Gerard Corsane. New York:
budaya Sulawesi Selatan harus Routledge.
dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
tahap konseptual, tahap pengembangan, 1985/1986. Petunjuk Museum Negeri

130
Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

La Galigo Ujung Pandang. Sulawesi Ibrahim, Anwar. 2003. Sulesena Kumpulan


Selatan: Proyek Pengembangan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan
Permuseuman Direktorat Jenderal Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan
Kebudayaan. Universitas Hasanuddin.
Direktorat Jenderal Kebudayaan. Lopa, Baharuddin. 2007. “Siri dalam
1981/1982. Upacara Tradisional Masyarakat Mandar”. Siri’ dan Pesse
Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar:
Departemen Kebudayaan dan Pustaka Refleksi.
Pariwisata. Mattulada. 1974. Bugis-Makassar: Manusia
Edson, Gary, ed. 2005. Museum Ethics. dan Kebudayaannya. Jakarta: FS UI.
London and New York: Taylor and ________. 2003. “Sawerigading dalam
Francis e-Library. Identifikasi dan Analisis” dalam La
Edson, Gary dan David Dean. 1996. The Galigo Menelusuri Jejak Warisan
Handbook for Museums. New York: Sastra Dunia. Makassar: PS La Galigo
Routledge. Unhas.
Enre, Fachrudin Ambo. 1983. “Ritumpanna ________. 2007. “Siri dalam Masyarakat
Welenrengge, Telaah Filologis Sebuah Makassar” dalam Siri’ dan Pesse
Episoda Sastera Bugis Klasik Galigo”. Harga Diri Manusia Bugis. Makassar:
(Disertasi). Universitas Indonesia. Pustaka Refleksi.
Farid Andi Zainal Abidin. 2007. “Siri, Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi
Pesse’ dan Were Pandangan Hidup Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:
Orang Bugis” dalam Siri’ dan Pesse Departemen Pendidikan dan
Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: Kebudayaan.
Pustaka Refleksi.
PaEni, Mukhlis dan Roger Tol. “Memory of
Fauziah. 2001. “Analisis Nilai-Nilai the World Register, La Galigo
Kehidupan Batara Guru dalam Naskah (Indonesia)”, diunduh 23 Januari
Mula Tau” dalam Laporan Penelitian 2019, pukul 13.26 WIB
Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi <http://portal.unesco.org>
Selatan. Makassar: BKSNT. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis.
Gonggong, Anhar. 2003. “Interpretasi Jakarta: Nalar.
Kelampauan” dalam La Galigo Perdana, Andini. ”Museum La Galigo
Menelusuri Jejak Warisan Sastra sebagai Media Komunikasi Identitas
Dunia. Makassar: Pusat Studi La Budaya Sulawesi Selatan”. (Tesis).
Galigo Unhas. Universitas Indonesia.
Hamid, Abu. 2008. “Sawerigading Sebagai Rahim, Rahman. 1998. Nilai-Nilai Utama
Pahlawan Budaya; Simbol Budaya Kebudayaan Bugis. Makassar:
Maritim di Sulawesi Selatan” dalam Lembaga Penerbitan Universitas
Walasui Jurnal Kebudayaan Sulselra Hasanuddin.
dan Barat Juli-Desember.
Rahman, Nurhayati. 2003. “Pendahuluan”
Hamonic, Gilbert Albert. 2003. dalam La Galigo Menelusuri Jejak
“Kepercayaan dan Upacara dari Warisan Sastra Dunia. Makassar:
Budaya Bugis Kuno” dalam La Galigo Pusat Studi La Galigo Unhas.
Menelusuri Jejak Warisan Sastra
Dunia. Makassar: Pusat Studi La Roman, Lorena San. 1992. “Politics and the
Galigo Unhas. Role of Museums in the Rescue of

131
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

identity” dalam Museums 2000. Ed.


Patrick J. Boylan. London: Routledge.
Sakka, A.Rasyid A. 2008. “Pelayaran
Sawerigading” dalam Sulesana, Jurnal
Sejarah Sulawesi Selatan, Tenggara,
dan Barat. BKSNT Makassar,
Taylor, Paul Michael, ed. 1994. “The
Nusantara Concept of Culture: Local
Traditions and National Identity as
Expressed in Indonesian’s Museums”
dalam Fragile Tradition, Indonesian
Arts in Jeopardy. Honolulu : Univ of
Hawaii Press.
Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture,
Narratives of Difference and
Belonging. England: Open University
Press.

132
STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN
KARAMPUANG DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP
(THE SURVIVAL STRATEGY OF KARAMPUANG FISHERMEN
IN MAKING A LIVING TO MEET DAILY NEEDS)

Abdul Asis
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221
Pos-el: asisabdul72@gmail.com

ABSTRACT
This research aims to discover and understand the survival strategy of fishermen in Karampuang in
meeting daily needs. The research method used is descriptive-qualitative, employing the data-
gathering techniques of interviews, observation, and documentation. The results of this research show
that fishermen in the islands of Karampuang continue to use simple fishing equipment and generate a
meager income. In the off season, the fishermen experience difficulty in meeting daily needs, to the
point that they pursue side jobs by planting gardens and cultivating crops such as corn, cassava, and
vegetables. Opportunities for side jobs are numerous for the fishing community there, due to the
convenient access to the Mamuju regency. Other side work available aside from fishing is becoming a
small-goods trader, a construction worker, a port laborer, market laborer, or motorcycle-taxi driver.
As for the wives of these fishermen, many work at stores, work as cleaners in the city, or open up
shops at home to sell basic products. By generating supplementary income, the needs of the family are
able to be met.
Keywords: side work, Karampuang fishermen, daily needs.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami strategi bertahan hidup nelayan
Karampuang dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nelayan di Pulau Karampuang masih menggunakan alat tangkap
sederhana dan penghasilannya masih tergolong rendah. Pada musim paceklik, nelayan merasa
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sehingga mereka beralih ke pekerjaan
lain dengan mengolah kebun dengan menanam tanaman hortikultura seperti jagung, ubi kayu, dan
sayur-sayuran. Peluang untuk melakukan pekerjaan sampingan terbuka luas bagi masyarakat nelayan
di sana karena akses ke kota Kabupaten Mamuju tergolong cukup dekat. Pekerjaan lain yang dapat
dilakukan di luar bidang kenelayanan adalah menjadi pedagang, buruh bangunan, kuli angkut
pelabuhan, kuli angkut pasar, dan jasa ojek. Sedangkan istri-istri nelayan banyak yang bekerja menjadi
penjaga toko, buruh cuci di kota, dan membuka kedai-kedai di rumah dengan menjual barang
kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan melakukan pekerjaan sampingan, kebutuhan hidup keluarganya
dapat terpenuhi.
Kata Kunci: pekerjaan sampingan, nelayan Karampuang, kebutuhan hidup.

PENDAHULUAN kategori rural dengan sedikit permukiman


dan pemanfaatan lahan yang berskala
Pulau Karampuang merupakan pulau
rumah tangga. Mayoritas penduduk bermata
yang terpisah dengan daratan Kabupaten
pencaharian rangkap yaitu nelayan dan
Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Pulau
petani. Hal tersebut dilakukan sebagai
Karampuang ini yang masuk dalam

133
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

bentuk adaptasi dalam menghadapi musim mencari alternatif lain, dan kadang istri dan
paceklik di laut jika terjadinya angin anaknya ikut terlibat membantu dalam
kencang. Sehingga nelayan sulit pemenuhan kebutuhan hidup bagi
memperoleh hasil tangkapan ikan maka keluarganya.
banyak di antara mereka beralih profesi Pendapatan dan sumber mata
dengan bercocok tanam, begitu pula pencaharian merupakan aspek penting
sebaliknya. Kadang mereka melakukan dalam kehidupan rumah tangga karena
kedua-duanya dengan membagi waktu dan pendapatan menentukan kemampuan rumah
berbagi dengan anggota keluarga lainnya. tangga dalam memenuhi kebutuhan
Namun itupun kebutuhan hidupnya masih hidupnya. Pendapatan rumah tangga adalah
jauh dari kecukupan. pendapatan yang diterima oleh rumah
Untuk bertahan dapat hidup, maka tangga yang berasal dari kepala keluarga
istri-istri nelayan turut berperan dengan maupun anggota rumah tangga (Ngadi,
bekerja di kota sebagai pelayan toko, buruh 2016:209-210). Untuk memperoleh
cuci dan pengasuh anak. Sedangkan para pendapatan tambahan, maka anggota rumah
suami ada yang bekerja sebagai kuli angkut tangganya ikut bekerja dalam berbagai
bangunan, kuli angkut pelanuhan, tukang sumber mata pencaharian. Namun, daya
ojek, bahkan ada yang memutuskan tampung sumber penghasilan bersifat
merantau jauh ke daerah Kalimantan atau terbatas sehingga tidak semua anggota
ke Kota Makassar. Sedang istri-istri nelayan rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang
yang tergolong sudah tidak mampu bekerja layak. Keterbatasan tersebut memaksa
di kota maka mereka membuka kedai-kedai sebagian anggota rumah tangga bekerja
kecil di rumah dengan berjualan barang- dengan pendapatan yang rendah dan
barang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. sebagian yang lain menjadi pengangguran
Berprofesi sebagai nelayan lebih sulit, sehingga tidak mampu memenuhi
jika dibandingkan dengan profesi yang kebutuhan hidupnya. Sebagian yang lain
lainnya, menurut Acheson (dalam Lampe, harus mencari penghasilan ke luar daerah
1989:7) bahwa nelayan merupakan suatu karena keterbatasan daya tampung dunia
pekerjaan yang penuh dengan resiko bahaya kerja di wilayahnya. Rendahnya daya
dan ketidakmenentuan. Bahaya dan tampung sumber penghasilan dan
ketidakmentuan itu bukan hanya pendapatan rumah tangga masih terus
disebabkan oleh kondisi-kondisi alam dan terjadi di Indonesia termasuk nelayan di
biota laut serta terjadinya perubahan- Pulau Karampuang Kabupaten Mamuju
perubahan lingkungan fisik tersebut, tetapi Provinsi Sulawesi Barat, sehingga upaya
juga kondisi-kondisi lingkungan sosial menciptakan sumber penghasilan dan
ekonomi di mana aktivitas penangkapan meningkatkan pendapatan harus terus
berlangsung. Lebih jauh diungkapkan dilakukan.
bahwa walaupun memiliki tingkat resiko Melakukan usaha pekerjaan
yang lebih tinggi, pekerjaan sebagai sampingan di beberapa wilayah pesisir
nelayan merupakan pekerjaan yang banyak terpaksa mereka lakukan dan tidak hanya
digeluti oleh masyarakat terutama terfokus pada usaha penangkapan ikan
masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Selain semata tetapi dapat diarahkan pada usaha-
rendahnya tingkat pendidikan dan usaha lain di luar bidang penangkapan.
penguasaan teknologi oleh para nelayan, Pekerjaan sampingan ini diharapkan dapat
juga kondisi cuaca yang fluktuatif sehingga memberikan nilai tambah bagi keluarga
terkadang nelayan sulit untuk mendapatkan nelayan. Dengan melakukan usaha-usaha
hasil tangkapan yang maksimal bahkan lainnya untuk mendapatkan peluang guna
mereka harus beristirahat melaut untuk meningkatkan pendapatan mereka ketika
beberapa bulan. Oleh karena itu, sebagian tidak melaut, atau dapat mengisi
besar nelayan di Pulau Karampuang harus kekosongan demi menutupi kebutuhan

134
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

hidup sehari-hari dalam kehidupan rumah menekankan pada kemiskinan dan


tangga para keluarga nelayan. ketidakpastian perekonomian, karena
Seperti halnya pada masyarakat kesulitan kehidupan yang dihadapi nelayan
nelayan di Pulau Karampuang sebagian dan keluarganya (Acheson, 1981; Emerson,
besar menggantungkan hidupnya sebagai 1980). Smith misalnya (1981:30)
nelayan dan mengandalkan keadaan cuaca menggambarkan bahwa tingkat kehidupan
pada saat melakukan penangkapan ikan. mereka sedikit di atas migran atau setaraf
Jika cuaca tidak bersahabat maka kadang dengan petani kecil. Bahkan Winahyu dan
tidak mendapatkan hasil. Kalaupun mereka Santiasih (1993:137) mengemukakan
mendapatkan hasil hanya cukup untuk bahwa jika dibandingkan secara seksama
bahan konsumsi rumah tangga saja, dengan kelompok masyarakat lain di sektor
sehingga penghasilan dan pendapatannya pertanian, nelayan (khususnya nelayan
tidak stabil. Seiring berjalannya waktu buruh dan nelayan tradisional) dapat
barang-barang kebutuhan rumah tangga pun digolongkan sebagai lapisan sosial yang
semakin mahal. Hal inilah yang mendorong paling miskin. Sementara menurut (Satria,
mereka melakukan sebuah tindakan atau 2002; Suyatno, 2003) bahwa tekanan
usaha lain yang bertujuan untuk memenuhi kemiskinan yang melanda kehidupan
pendapatan dalam rumah tangganya. nelayan tradisional, yang disebabkan oleh
Tulisan ini bermaksud menelaah faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor
tentang pekerjaan sampingan yang tersebut tidak hanya berkaitan dengan
dilakukan oleh keluarga nelayan di Pulau fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan
Karampuang sebagai salah satu bentuk sumber daya manusia, modal serta akses,
kebertahanan dalam memenuhi kebutuhan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif
hidup rumah tangganya. Karena setiap desa terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi
memiliki karakteristik sosial ekonomi juga disebabkan oleh dampak negatif
berbeda dengan desa nelayan lainnya, modernisasi perikanan yang mendorong
termasuk sumber daya manusia yang terjadinya pengurasan sumber daya laut
dimiliki setiap desa, baik antarindividu secara berlebihan.
maupun antarmasyarakat satu dengan Prosesnya masih terus berlangsung
masyarakat yang lain berbeda pula. hingga sekarang dan dampak yang
Mengacu pada uraian latar belakang dirasakan adalah semakin menurunnya
di atas, maka yang menjadi rumusan tingkat pendapatan mereka dan sulitnya
masalah, adalah: 1) bagaimana gambaran memperoleh hasil tangkapan. Hasil-hasil
masyarakat nelayan di Pulau Karampuang; studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di
2) bagaimana kehidupan sosial ekonomi kalangan nelayan, telah menunjukkan
masyarakat nelayan di Pulau Karampuang, bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-
dan 3) bagaimana strategi bertahan hidup ekonomi atau ketimpangan pendapatan
nelayan Karampuang dalam pemenuhan merupakan persoalan krusial yang dihadapi
kebutuhan hidup. dan tidak mudah untuk diatasi (Kusnadi,
Adapun penelitian ini bertujuan 2002:26-27).
sebagai berikut: 1) untuk mengetahui Pulau Karampuang merupakan salah
gambaran masyarakat nelayan di Pulau satu desa yang berada di pulau dan terpisah
Karampuang; 2) untuk mengetahui dari dataran Kabupaten Mamuju. Menurut
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kusnadi (2009:17) secara geografis
nelayan di Pulau Karampuang, dan 3) untuk masyarakat nelayan adalah masyarakat
mengetahui strategi bertahan hidup nelayan yang hidup tumbuh dan berkembang di
Karampuang dalam pemenuhan kebutuhan wilayah pesisir, yaitu suatu kawasan transisi
hidup. antara wilayah darat dan laut. Sedangkan
Berbagai penelitian mengenai menurut Imron (2003:7) nelayan adalah
kehidupan nelayan umumnya yang suatu kelompok masyarakat yang

135
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

kehidupannya tergantung langsung pada teluk ini Pulau Karampuang berada. Wajar
hasil laut, baik dengan cara melakukan saja jika kita melihat pesisir pantai
penangkapan ataupun budidaya. Pada Manakarra di Kota Mamuju memiliki
umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah perairan yang tenang. Karena keberadaan
lingkungan permukiman yang dekat dengan Pulau Karampuang yang hanya berjarak
lokasi kegiatannya. kurang lebih 3 km arah barat laut yang
berperan menjaga dan melindungi Kota
METODE Mamuju dari terjangan gelombang tinggi.
Berkunjung ke Pulau Karampuang ini
Penelitian ini menggunakan metode
dapat menggunakan traportasi perahu
deskriptif kualitatif yakni sebuah tipe
tradisional jenis Jolloro, (orang-orang
penelitian yang berusaha menggambarkan
Karampuang menyebutnya taksi atau
kondisi sosial di lapangan. Dalam
perahu montor). Perahu montor yang akan
perspektik Bogdan & Taylor, (1993:5) jenis
berangkat menunggu penumpang di sekitar
penelitian ini menghasilkan data deskriptif
Dermaga TPI Kota Mamuju. Lama
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
perjalanan dapat di tempuh dalam waktu
orang-orang atau perilaku yang dapat
kurang lebih 20-30 menit. Kapasitas perahu
diamati. Sementara itu, Sugiono (2008:1)
dapat memuat 20 orang penumpang sekali
memandangnya sebagai penelitian
jalan dengan biaya Rp 10.000,-.
naturalistik karena penelitiannya dilakukan
Secara geografis pulau ini terletak
pada kondisi yang alamiah (natural setting),
padat titik koordinat 020 38’ 10,8” LS dan
yakni suatu metode penelitian yang meneliti
1180 53’ 14,85” BT. Pulau dengan luas
kondisi objek secara alami. Penelitian ini
wilayah 6,21 km2, memiliki batas-batas
juga berupaya untuk menjelaskan,
wilayah, yaitu di bagian selatan, utara,
mendeskripsikan, dan memahami mengenai
barat, dan timur semuanya berbatasan
pekerjaan sampingan keluarga nelayan
dengan laut, dan terbagi ke dalam atas 11
dalam melakukan usaha lainnya di luar
(sebelas) dusun, sebagai berikut: Dusun
bidang kenelayanan dalam memenuhi
Karampuang I, Dusun Karampuang II,
kebutuhan sehari saat terjadi musim
Dusun Joli, Dusun Gembira, Dusun Bajak,
paceklik. Metode penelitian ini
Dusun Batu Bira, Dusun Karaeng, Dusun
menggunakan teknik pengumpulan data
Ujung Bulo, Dusun Wisata, Dusun Nangka,
melalui wawancara, observasi dan
dokumentasi. Teknis analisis data adalah dan Dusun Sepang. Penduduk sekitar 3.135
jiwa, yang terdiri 1.564 jiwa penduduk laki-
mendeskripsikan secara objektif data yang
laki dan 1.571 jiwa penduduk perempuan,
telah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan
dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak
analisis terhadap data yang telah
560 KK sehingga kepadatannya mencapai
dideskripsikan, sehingga data yang ada
461,07 jiwa/km2. (Papan Potensi Desa
dapat divalidasikan keabsahannya.
Karampuang, 2016).
Terkait dengan kondisi alam Pulau
PEMBAHASAN
Karampuang, maka pola penggunaan lahan
Gambaran Nelayan di Pulau pada umumnya dapat dikelompokkan
Karampuang menjadi dua bagian, yaitu kelompok
Pulau Karampuang adalah pulau yang kawasan yang terbangun dan kelompok
dipenuhi dengan batu karang, bahkan dapat kawasan tidak terbangun. Kawasan tidak
dikatakan bahwa pulau ini adalah Pulau terbangun didominasi oleh hutan dan lahan
Karang, karena hampir semua sudutnya kosong yang kering. Sedangkan kawasan
adalah karang, dan di atas karanglah yang terbangun adalah pola permukiman
masyarakat menyandarkan hidupnya. Pulau menyebar di sepanjang pulau mengikuti
yang berada di tengah-tengah teluk garis pantai. Topografi pulau ini berbukit-
Mamuju, cerukan dalam yang dibentuk bukit dan merupakan daerah yang

136
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

dikelilingi pantai dengan ketinggian 120 waktu bilamana ada kebutuhan yang lebih
meter dpl, dengan tubir mengelilingi pulau mendesak baru mereka mengambilnya
dengan lebar 200 meter (Kec. Mamuju kembali, seperti mengadakan pesta
Dalam Angka, 2016). perkawinan, hajatan, aqiqah dan lain-lain.
Keterlibatan istri-istri nelayan tidak ada lagi
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat pendapatkan karena suaminya istirahat
Nelayan di Pulau Karampuang melaut karena kondisi laut sulit
Penduduk di Pulau Karampuang mendapatkan ikan (Hasil wawancara: ibu
sebagaian besar bermata pencaharian KS: 18-02-2017).
ganda, yakni bekerja sebagai nelayan dan Menurut Kepala Desa Karampuang
petani kebun. Hal ini dilakukan sebagai bahwa kondisi ekonomi masyarakat
bentuk adaptasi atau penyesuaian dalam Karampuang 80 % bergantung pada hasil
menghadapi perubahan iklim. Karena laut, selebihnya adalah berkebun/bertani.
sulitnya mendapatkan hasil tangkapan ikan Para nelayan di Pulau Karampuang
maka nelayan biasanya beralih mengelolah umumnya masih menggunakan alat tangkap
kebun dengan memanfaatkan lahan-lahan yang sangat sederhana, seperti: pancing,
yang kosong di sekitar pekarangan rumah, pukat mini, jala, tombak, bubu dan lain-
begitu pula sebaliknya. Terkadang pula lain. Jenis-jenis ikan yang ditangkap adalah
mereka melakukan kedua-duanya dengan ikan-ikan pelagis, masyarakat Karampuang
membagi waktu, serta berbagi tugas dengan menyebutnya “Ikan campuran”. Selain itu,
anggota keluarganya. Selain itu, mereka juga menangkap ikan-ikan karang
penduduknya ada pula berprofesi PNS, seperti: ikan kakap, ikan sunu, ikan merah,
wiraswasta, usaha angkutan perahu, ikan batu, napoleon dan kerapu dan ikan-
pertukangan kayu, membuka warung/kedai- ikan jenis lainnya. Aktifitas melaut
kedai di rumah, membuat kue-kue/jajanan biasanya berangkat sore hari dan kembali
tradisional, kuli angkut pelabuhan, dan pada pagi hari (Hasil wawancara: Supriadi:
penjaga toko dan bekerja sebagai buruh tanggal 16 Februari 2017).
cuci di Kota Mamuju. Lebih jauh diungkapkan oleh Bapak
Dalam pengamatan kami di lapangan Supriadi bahwa pekerjaan sebagai nelayan
selama pengumpulan data berlangsung, dianggap sebagai pekerjaan yang dilakukan
kondisi ekonomi masyarakat di Pulau secara turun temurun. Ditinaju dari segi
Karampuang, sangat bergantung pada hasil kepemilikan alat tangkap, nelayan di Pulau
laut sedangkan bertani/berkebun hanyalah Karampuang dapat dibedakan menjadi tiga
sebagai pekerjaan sampingan, dan kelompok nelayan, yaitu (1) nelayan
dilakukan pada saat tidak beraktivitas di perorangan, (2) nelayan juragan, dan (3)
laut. Itupun tidak semua nelayan memiliki nelayan buruh. Nelayan perorangan adalah
lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan untuk nelayan yang memiliki peralatan tangkap
berkebun/bertani. sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak
Menurut salah seorang informan melibatkan orang lain. Nelayan juragan
bahwa penduduk di pulau ini banyak adalah nelayan pemilik perahu lengkap
melakukan pekerjaan sampingan, sebagai dengan peralatan tangkap yang
bentuk usaha-usaha lainnya, khususnya dioperasikan oleh orang lain. Mereka
istri-istri nelayan yang ikut bekerja di kota mencari ikan dengan cara berkelompok
sebagai penjaga toko, buruh cuci, membuat yang berjumlah 5-8 orang dalam sebuah
jajanan tradisional, dengan tujuan dapat perahu. Sedangkan nelayan buruh adalah
menyambung kebutuhan hidupnya, nelayan yang bekerja kepada nelayan
membantu pendapatan rumah tangga dan juragan dan semua alat tangkap milik orang
dapat menyekolahkan anak-anaknya. lain. Dari ketiga kelompok nelayan
Kalaupun ada kelebihan dari hasil yang ia tersebut, yang terbanyak jumlahnya adalah
dapat mereka simpan di bank. Sewaktu- nelayan perorangan, kemudian nelayan

137
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

buruh, sedangkan nelayan juragan (pemilik Perahu lopi-lopi adalah jenis perahu
perahu) hanya berjumlah sekitar 20 orang. sampan yang menggunakan dayung tanpa
Dilihat dari teknologi peralatan dilengkapi mesin. Perahu lopi adalah
tangkap yang digunakan nelayan di Pulau perahu memiliki lambung yang sempit dan
Karampuang dapat dibedakan dalam dua menggunakan sayap namun sudah
kategori, yakni nelayan modern dan nelayan dilengkapi mesin. Wilayah tangkapan
tradisional. Nelayan modern menggunakan nelayan yang menggunakan perahu lopi-
teknologi penangkapan yang lebih modern lopi di pesisir Pulau Karampuang,
dibandingkan dengan nelayan tradisional. sementara yang menggunakan perahu lopi
Menurut (Imron, 2004:68) bahwa ukuran di pesisir Karampuang hingga ke Tanjung
modernitas bukan semata-mata karena Rangas Kabupaten Mamuju. Sedangkan
penggunaan motor untuk menggerakkan nelayan yang menggunakan perahu montor
perahu, melainkan juga besar kecilnya wilayah tangkapannya sampai ke perairan
motor yang digunakan serta tingkat Sulawesi Tengah, Minahasa dan perairan
eksploitasi dari alat tangkap yang Kalimantan Timur. Perahu montor adalah
digunakan. Perbedaan modernitas teknologi perahu yang digunakan menangkap ikan,
alat tangkap juga berpengaruh pada teripang, lola, japing-japing dengan cara
kemampuan jelajah operasionalnya. berkelompok. Jumlah perahu montor di
Teknologi penangkapan yang modern akan Pulau Karampuang sebanyak 20 buah.
cenderung memiliki kemampuan jelajah Setiap perahu montor diawaki sekitar 5-8
sampai lepas pantai, sebaliknya teknologi orang. Mereka melaut selama 2 bulan baru
yang tradisional wilayah tangkapnya hanya kembali ke Karampuang.
terbatas pada perairan pantai. Baik itu perahu lopi-lopi atau perahu
Menurut sumber di lapangan bahwa di lopi hanya dapat diawaki oleh 1 sampai 2
Pulau Karampuang, dapat digolongkan orang saja, biasanya pemilik perahu itu
sebagai nelayan yang relatif modern sendiri dan dibantu oleh anaknya.
jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan Sedangkan perahu montor (perahu yang
nelayan dengan kategori tradisional. besar), biasa diawaki 5 sampai 8 orang.
Dengan alat tangkap yang sederhana, Nelayan-nelayan buruh yang dipekerjakan
wilayah operasionalnya terbatas hanya di adalah dari keluarga dekat dan tetangga.
sekitar Tanjung Rangas dan pesisir Pulau Dari tiga jenis perahu yang digunakan
Karampuang. Selain itu ketergantungan mencari ikan, jenis perahu lopi-lopi yang
terhadap alam (musim) juga sangat tinggi, paling banyak digunakan oleh
sehingga tidak setiap saat nelayan dapat masyarakatnya.
melaut, terutama pada musim ombak. Masyarakat di Pulau Karampuang
Akibatnya selain hasil tangkapan yang yang tidak memiliki perahu lopi-lopi dan
terbatas dengan kesederhanaan teknologi perahu lopi, tidak ada alternatif lain kecuali
alat tangkap yang dimiliki, pada musim harus bekerja pada orang lain yang
tertentu tidak ada hasil tangkapan yang membutuhkan tenaga seperti ikut dengan
diperoleh (Hasil wawancara, LND: 18 nelayan juragan (yang memiliki perahu
Februari 2017). montor). Dan terkadang mencari pekerjaan
Ada beberapa jenis-jenis perahu yang lain di luar aktivitas nelayan, seperti kuli
digunakan masyarakat nelayan di Pulau bangunan, kuli angkut pelabuhan, penjaga
Karampuang, pada dasarnya dibedakan toko atau memilih untuk merantau dan
dalam tiga kategori, yaitu lopi-lopi (perahu meninggalkan kampung halaman, seperti
sampan), lopi (perahu yang memiliki Kalimantan Timur dan ke Kota Makassar
sayap), dan perahu montor (perahu yang bekerja sebagai buruh bangunan/kuli
lebih besar) (Hasil wawancara: SPRD, 25 bangunan.
Februari 2017). Nelayan buruh yang ikut melaut
dengan cara berkelompok 5 sampai 8 orang

138
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

memiliki keseragaman aturan dalam hal pepaya, pisang, jahe, kunyit, lengkuas,
sistem bagi hasil. Ini berlaku pada nelayan mengkudu, dan tanaman apotek hidup yang
juragan (pemilik perahu montor). Hasil banyak di tanam di sekitar pekarangan
dari tangkapan selama kurang lebih 1-2 rumah.
bulan melaut tidak selama mendapatkan Pekerjaan sampingan lainnya adalah
hasil yang banyak. Hasil tangkapan ikannya beternak ayam kampung dan kambing.
selama mereka melaut langsung di jual di Hasilnya dari memelihara ternak untuk
tempat di mana perahu itu singgah. menambah keperluan rumah tangga dan
Sedangkan tangkapan berupa lola, teripang, kebutuhan sehari-hari. Potensi wisata pantai
dan japing-japing biasanya di bawa pulang yang terdapat di Dusun Ujung Bulo yang
di jual di Kota Mamuju setelah kembali dari banyak dikunjungi wisatawan di hari-hari
melaut. Bilamana mereka mendapatkan libur. Dimanfaatkan oleh warga masyarakat
hasil Rp 18.000.000 s.d Rp 27.000.000 juta di sekitarnya dengan membuka
bahkan lebih dari itu dalam sekali melaut warung/kedai kecil dengan menjual
maka hasilnya tetap di bagi rata. Misalnya minuman dan mie rebus. Menyiapkan
orang yang ikut di montor berjumlah 7 souvenir-souvenir yang terbuat dari kerang-
orang, maka dihasilnya dibagi sembilan + kerang laut, seperti membuat gantungan
(montor + mesin). Dari 7 orang tersebut kunci, asbak, tempat tissu dan lainnya.
termasuk pemilik perahu/juragan, maka Dengan memanfaatkan potensi yang ada
mereka pun dapat bagian. Jadi semuanya maka masyarakatnya dapat menambah
masing-masing mendapat Rp 2.000.000 penghasilan dalam rumah tangga. Karena
jika hasil penjualannya Rp 18.000.000. mencari ikan di laut tidak sepenuhnya
Kalau hasil tangkapannya dihargai Rp dilakukan selama setahun karena kondisi
27.000.000 maka masing-masing cuaca yang fluktuatif.
mendapatkan Rp. 3.000.000. Adapun biaya Hubungan antara pemilik perahu
operasional selama mereka melaut maka montor dengan buruh nelayan yang ikut
dikeluarkan dengan nilai yang sama untuk menangkap ikan saling membutuhkan. Jadi
(perahu + mesin). dalam hal bagi hasil tidak ada ketimpangan
Pekerjaan bertani dan berkebun maupun kecemburuan antara sesama buruh
sekitar 20 % penduduknya mengolah dan nelayan maupun selama pemilik perahu
lahan-lahan yang kurang produktif karena montor karena mereka mendapatkan hasil
tanahnya kurang subur dan bercampur yang sama. Ketika terjadi musim paceklik
karang. Kondisi topografi Pulau biasanya nelayan-nelayan buruh tidak lagi
Karampuang ini hampir tidak dijumpai melaut karena kondisi cuaca tidak
tanah datar. Adapun lahan-lahan yang tanah memungkinkan seperti kerasnya ombak,
datar letaknya dipinggir-pinggir pantai angin kencang maka terpaksa mereka harus
difungsikan untuk membangun rumah. beristirahat. Terkadang mereka mencari
Lahan-lahan kering yang terlihat kosong pekerjaan sampingan seperti menjadi kuli
merupakan tutupan batu karang. bangunan atau kerja sebagai pelayan toko
Pemanfaatan lahan hanya untuk menanam sama orang Cina, menjadi kuli angkut di
tanaman tegalan dan tanaman perkebunan, pelabuhan pekerjaan serabutan di Kota
seperti singkong, jagung, dan kakao, itupun Mamuju demi pemenuhan kebutuhan hidup
hasilnya produksinya kurang maksimal. keluarganya. Sedangkan nelayan buruh
Umumnya tutupan lahan yang dominan yang tidak lagi bekerja, terkadang mereka
adalah ditumbuhi semak belukar dan meminjam uang kepada pemilik perahu
pohon-pohon keras. Para petani susah (juragan) atau pada keluarga. Karena
mengembangkan tanaman-tanaman biasanya dalam satu dusun merupakan
tahunan. Jenis tanaman-tanaman yang suatu rumpun keluarga dan tidak ada orang
dikembangkan adalah tanaman hortikultura lain. Ketika butuh pertolongan mereka
tanaman jagung, ubi kayu, jeruk nipis, saling membantu. Tetapi berbeda saat

139
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mereka memimjam kepada juragan nelayan nelayan tradisonal, dengan teknologi alat
tempat mereka bekerja atau bergabung di tangkap yang masih sederhana. Para
perahu montor sang juragan. Walaupun nelayan yang ada di pulau ini sangat
istilahnya kerabat dekat dengan pemilik tergantung terhadap kondisi alam, kadang
perahu montor. Memberikan pinjaman cuaca yang tidak menentu. Hal ini
kepada anak buahnya merupakan cara mengakibatkan masa melaut mereka tidak
mengikat mengikat nelayan buruh tersebut dilakukan sepanjang tahun menurut
agar tidak lari atau berpindah kepada perhitungannya. Musim “panen ikan”,
pemilik perahu montor lainnya. dalam arti musim di mana mereka dapat
Jenis perahu montor tersebut, selain memperoleh hasil tangkapan yang “banyak”
digunakan mencari ikan, teripang, lola, dan itu hanya berlangsung sekitar tujuh
japing-japing. Penduduk di Pulau hingga delapan bulan. Selebihnya
Karampuang menjadikan alat transportasi merupakan masa-masa yang penuh
untuk berbelaja di Kota Mamuju, begitupun spekulasi saat melaut. Bahkan beberapa
sebaliknya dari Kota Mamuju ke nelayan kecil mengungkapkan bahwa ada
Karampuang, baik penduduk lokal maupun saat-saat tertentu, yang kadang berlangsung
wisatan dari luar, dengan sekali jalan dapat hingga tiga atau empat bulan, terjadi angin
memuat sekitar 20 orang penumpang. kencang dan ombak besar sehingga mereka
Setiap penumpang dikenakan biaya Rp. terpaksa tidak melaut.
10.000 per kepala. Dalam kondisi semacam inilah
nelayan seringkali menghadapi kesulitan
Strategi Bertahan Hidup Nelayan
ekonomi. Karena itu, melakukan pekerjaan
Karampuang dalam Pemenuhan
sampingan di saat mereka tidak melaut
Kebutuhan Hidup
merupakan suatu pilihan dan itu harus
Salah satu strategi yang dilakukan dilakukan. Tentu saja dibutuhkan
keluarga nelayan dalam mempertahankan kemampuan dan kemauan untuk melakukan
kelangsungan hidupnya adalah melakukan pekerjaan sampingan guna memenuhi
alternatif pilihan dengan mencari pekerjaan kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
sampingan di luar bidang kenelayanan Karakter nelayan pun cukup bervariasi, ada
untuk menambah pendapatan. Pekerjaan nelayan yang telah terbiasa melakukan
sampingan maupun bentuk strategi yang kerja sampingan saat ia tidak melaut.
umum dilakukan oleh komunitas nelayan Namun tidak sedikit jumlah nelayan yang
sifatnya masih tradisional. Berbagai mengaku kesulitan bahkan enggan untuk
peluang kerja yang dapat dimasuki oleh mencari pekerjaan sampingan, karena
mereka sangat tergantung pada sumber- merasa tidak terbiasa melakukannya dan
sumber daya yang tersedia di desa-desa ada nelayan yang sama sekali tidak pernah
nelayan tersebut. Karena setiap desa mencoba.
nelayan memiliki karakteristik lingkungan Ketidakmampuan sebagian nelayan
alam dan sosial ekonomi tersendiri, yang untuk melakukan pekerjaan sampingan
berbeda antara satu desa dengan desa yang karena secara sosiokultural ada keterikatan
lain. Ada desa nelayan yang tersedia yang kuat dalam dirinya dengan
peluang cukup besar untuk melakukan aktivitasnya sebagai penangkap ikan.
pekerjaan sampingan, sementara ada desa Karena laut sudah dianggap sebagai bagian
nelayan lain yang hampir tidak memiliki dari kehidupannya sehingga tidak mudah
peluang untuk melakukan pekerjaan ditinggalkan. Oleh karena itu, sekalipun
sampingan, karena jauhnya akses menuju pekerjaan nelayan tidak memberikan hasil
kota sehingga hanya bergantung pada hasil yang stabil dan teratur, tetapi mereka
laut. merasa enggan terlibat dalam pekerjaan
Masyarakat nelayan di Pulau lain.
Karampuang masih tergolong sebagai

140
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

Keputusan untuk melakukan pengalaman hidup di daerah rantauan.


pekerjaan sampingan di kalangan nelayan Namun ketika kondisi laut memungkinkan
merupakan upaya dan pilihan rasional dan untuk melakukan aktivitas seperti biasa,
ini terkait dengan upaya untuk menjamin mereka segera meninggalkan pekerjaan
kelangsungan hidup rumah tangganya. sampingan tersebut untuk datang
Sekalipun demikian, kendala-kendala berkumpul dengan keluarga dan kembali
sosiokultural seringkali dihadapi nelayan, melaut.
sehingga sebagian nelayan ada yang tetap Keterlibatan anggota keluarga dalam
memilih untuk selalu menggantungkan membantu ekonomi rumah tangga, terutama
kehidupan rumah tangganya dari hasil laut. ketika nelayan (suaminya) tidak melaut.
Salah seorang informan menuturkan Biasanya yang ikut membantu adalah istri
bahwa dirinya mengaku bingung dan nelayan dan anak-anak mereka yang
kesulitan mendapatkan atau melakukan dianggap mampu bekerja dalam upaya
kerja sampingan karena sejak kecil untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
hidupnya selalu berhubungan dengan laut Hal tersebut tentunya disesuaikan dengan
(mencari ikan) dan tidak pernah melakukan kondisi dan kemampuan masing-masing
pekerjaan yang lain selain melaut, sehingga anggota keluarganya.
meskipun kondisi laut sedang tidak Diketahui ketika nelayan tidak
menguntungkan untuk melaut (musim melaut, maka sebagai kepala keluarga
peceklik ikan misalnya), ia tetap berusaha mereka berusaha mencari pekerjaan lain
mencari sesuatu dari laut yang dapat sebagai bagian dari tanggung jawabnya
menghasilkan uang, misalnya mencari untuk menutupi kebutuhan hidup
tiram, kepiting atau kerang di pinggir pantai keluarganya. Sebagian besar nelayan-
(Hasil wawancara, HDS: 1 Maret 2017). nelayan di Pulau Karampuang, baik
Peluang bagi masyarakat nelayan di perorangan maupun nelayan buruh mencari
Pulau Karampuang untuk melakukan pekerjaan sampingan, seperti bekerja
pekerjaan sampingan sebenarnya cukup sebagai tukang batu (kuli bangunan), kuli
terbuka, karena jarak tempuh dari kota angkut pelabuhan, kuli angkut di pasar, jadi
Mamuju cukup dekat walaupun terpisah tukang ojek atau melakukan pekerjaan
dengan daratan. Banyak pekerjaan- serabutan yang penting halal dan dapat
pekerjaan di kota yang dapat dilakukan memenuhi kebutuhan dapur setiap harinya.
yang penting punya kemauan dan semangat Namun demikian, tidak sedikit pula nelayan
kerja, tanpa harus memiliki keahlian yang mengaku kesulitan untuk
khusus. Pekerjaan-pekerjaan tersebut antara mendapatkan pekerjaan sampingan.
lain melalui sektor jasa, seperti menjadi Sehingga keadaan laut yang tidak
penjaga toko, buruh cuci, kuli bangunan, menguntungkan seringkali mereka
kuli angkut pelabuhan, dan kuli angkut di memaksakan diri untuk melaut atau
pasar dan lain-lain. mencari hasil laut lainnya di pinggir pantai
Bagi masyarakat nelayan di Pulau seperti memancing di dermaga pada malam
karampuang yang melakukan pekerjaan hari, baik memancing ikan maupun cumi-
sampingan biasanya di saat-saat mereka cumi, atau kepiting. Dengan memaksakan
tidak melaut, yang diperkirakan diri melaut merupakan tindakan penuh
berlangsung tiga hingga empat bulan, resiko, yaitu selain kemungkinan tidak
misalnya dengan menjadi kuli bangunan, memperoleh ikan, juga dengan ombak yang
menjadi buruh angkut pelabuhan, kuli besar mengakibatkan ancaman terhadap
angkut di pasar. Ada pula yang jiwanya jauh lebih besar.
memutuskan merantau ke luar seperti ke Seorang informan mengungkapkan
Kalimantan Timur atau ke Kota Makassar. bahwa karena tidak ada pekerjaan lain yang
Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan bisa ia lakukan, ia berusaha tetap melaut
kebutuhan hidup sehari-hari dan mencari meskipun tidak sedang musim ikan. Ia

141
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mengaku sering mengalami kerugian di rumah dengan membuka kios-kios kecil


(tekor) saat melaut. Ia menceritakan dengan memanfaatkan ruangan dan
kejadian sehari sebelum wawancara ini pekarangan rumah, dengan berjualan
dilakukan, bahwa untuk melaut ia butuh barang-barang kebutuhan hidup sehari-
bahan bakar berupa bensin dua liter seharga hari, seperti: menjual gula, terigu, biscuit,
Rp 15.000,- . Ketika pulang ia hanya minyak, susu, kopi, teh, rokok, garam, indo
mendapatkan beberapa ekor ikan yang bila mie, obat nyamuk, dan lain-lain.
dijual tidak laku Rp 12.500,- sehingga ia Bentuk-bentuk usaha sampingan yang
terpaksa rugi Rp 2.500,-. Kejadian tersebut dilakukan oleh keluarga nelayan khususnya
bukan sekali ini saja, namun sering terjadi istri-istri para nelayan dengan bekerja di
(Hasil wawancara, ARF: 28 Februari 2017). Kota Mamuju sebagai buruh cuci. Setelah
Kertlibatan istri-istri nelayan untuk pekerjaan mereka selesai pada sore hari
membantu panghasilan rumah tangganya, adalah mereka membeli bahan-bahan untuk
mereka rela dan pasrah untuk menjadi membuat jajanan (kue-kue tradisonal). Pada
buruh cuci maupun penjaga toko di Kota malam hari mereka membuat adonan kue,
Mamuju. Mereka memutuskan untuk dan pada subuh hari mereka memasaknya
bekerja di kota dengan penghasilan gaji hingga menjelang pagi. Sebelum mereka
pas-pasan Rp 800.000,- s.d Rp 1.000.000 berangkat kerja ke Kota Mamuju, jajanan
per bulannya. Gaji yang ia terima harus yang telah dibuat dititipkan kepada anak
dikeluarkan Rp 300.000,- sebagai perempuannya yang masih duduk dibangku
ongkos/biaya perahu motor tiap bulannya. SD untuk dijual. Anak-anak tersebut
Kemudian sisanya itu mereka simpan untuk menjual di atas tanggul yang dekat dermaga
kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. tempat di mana banyak penumpang akan
Bekerja sebagai buruh cuci dan penjaga berangkat ke Kota Mamuju. Walaupun
toko di kota, berangkat jam 07.00 pagi hasilnya tidak seberapa tetapi dapat
menggunakan perahu montor (sebutan bagi memberikan pendapatan tambahan untuk
orang Karampuang) dan kembali ke rumah keluarga.
jam 05.00 sore. Adapun ongkos perahu Selain itu, ada pula ibu-ibu yang
montor mereka bayar per bulan setelah berdagang ikan, sebagai pedagang
mereka gajian dari majikannya. Para buruh pengumpul. Ikan hasil tangkapan nelayan
cuci tersebut merupakan penumpang tetap mereka kumpul atau langsung mereka beli
setiap harinya dan setiap selesai gajian baru walaupun jumlahnya hanya beberapa ekor
membayar Rp. 300.000 ribu kepada pemilik tetapi mereka tetap membelinya kemudian
perahu montor (sopir/juru kemudi). mereka langsung menjualnya ke pasar.
Di antara para nelayan di Pulau Setelah mereka kembali pasar biasanya
Karampuang ada pula yang melibatkan membeli sayuran sesuai pesanan kemudian
anak-anak mereka dalam berbagi kegiatan dijual ke tetangga yang penting ada
mencari nafkah. Hal tersebut tidak lepas keuntungan sedikit. Pada kenyataannya
dari kondisi keterbatasan ekonomi rumah memang telah dilakukan oleh sebagian
tangga mereka. Keterlibatan anak nelayan warga di pulau ini.
ada yang terkait dengan kegiatan Hal menarik yang banyak kami
kenelayanan. Anak laki-laki akan mengikuti ditemukan di Pulau Karampuang yaitu
orang tua atau kerabatnya mencari ikan ke sebagian nelayan ketika tidak melaut
laut atau membersihkan perahu yang baru mereka mencari kerja sampingan dengan
tiba dari melaut. Sementara anak-anak menjadi kuli bangunan, kuli angkut pasar,
perempuan biasanya membantu pekerjaan kuli angkut pelabuhan. Beralih mengolah
domestik orang tuanya atau membantu kebun, memelihara unggas dengan beternak
mengangkat air dari sumur. ayam kampung, juga membuat souvenir
Istri-istri nelayan yang sudah berumur dari kerang-kerang laut untuk dijual di
40 tahun ke atas lebih memilih untuk tetap lokasi tempat wisata.

142
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

Menurut informan bahwa tidak semua bekerja toko-toko orang Cina dan bekerja
nelayan-nelayan di pulau ini pada saat sebagai buruh cuci maupun menjual jajanan
mereka tidak melaut, mereka ikut bekerja tradisional.
mencari pekerjaan sampingan atau pergi Menurut seorang nelayan di Pulau
merantau. Menurutnya mereka merasa lebih Karampuang bahwa saat terjadi musim
nyaman tinggal di kampung berkumpul paceklik tiba, maka untuk menutupi
dengan keluarga, daripada meninggalkan kebutuhan hidupnya hidup mereka sehari-
keluarga. Yang penting masih bisa melaut hari. Mau tidak mau, kita terpaksa bekerja
walaupun hasilnya hanya untuk makan sebagai kuli bangunan, kuli angkut pasar,
sehari saja, karena kondisi cuaca cuaca kuli angkut pelabuhan di Kota Mamuju.
yang tidak bersahabat. Tetapi mereka tetap Walaupun pendapatannya memang lebih
melakukannya, walaupun jarak kecil dibandingkan dengan hasil melaut,
pencariannya tidak jauh dari pandangan yaitu sekitar Rp. 50.000 s/d Rp 100.000,-
mata yakni di pinggir-pinggir pantai atau per hari. Namun dengan penghasilan
sekitar pulau. Atau mencari lokasi tersebut sekurang-kurangnya dapat
pemancingan yang dianggap aman seperti menutupi rumah tangga keluarganya (Hasil
berdiri di atas dermaga dengan wawancara: AHD, 23 Februari 2017).
melemparkan mata kailnya. Serta hanya Salah seorang informan menuturkan
sekedar memasang bubu dipinggir-pinggir bahwa istrinya bekerja sebagai buruh cuci
pantai yang banyak karangnya (Hasil penghasilan sekitar Rp 800.000 – Rp
wawancara, ACD: 20 Februari 2017). 1.000.000 per bulannya. Setiap buruh cuci
Melakukan pekerjaan sampingan bagi mendapat gaji yang berbeda tergantung dari
keluarga nelayan di Pulau Karampuang majikan tempat mereka bekerja. Setelah
sangat penting untuk dilakukan guna mereka gajian harus membayar ongkos
menopang kehidupan rumah tangga. Hal ini atau perahu montor/taksi sekitar Rp
terkait dengan musim paceklik, karena 300.000,- per bulan. dengan istrinya ikut
umumnya masyarakat nelayan hanya bekerja sebagai buruh cuci maka
menyandarkan kehidupannya dari hasil laut kebutuhan hidup keluarganya yang pokok
saja. Di saat hasil tangkapan stabil (musim dapat terpenuhi, sehingga tidak perlu
ikan), penghasilan yang diperoleh cukup berhutang kepada juragan atau tengkulak
lumayan sehingga dapat menutupi (Hasil wawancara, HRS: 27 Februari 2017).
kebutuhan hidup sehari-sehari. Bahkan Bagi keluarga nelayan di Pulau
hasilnya setiap hari dapat disisihkan atau Karampuang melakukan pekerjaan
disimpan. Ketika mereka ada kesempatan sampingan, memiliki makna yang sangat
pergi ke Kota Mamuju mereka ke Bank berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah
BRI untuk menabung. Jika terjadi musim tangganya. Hal ini terkait dengan dalam
paceklik ikan, maka tabungan tersebut kegiatan menangkap ikan yang berakibat
biasanya diambil untuk menutupi panghasilan semakin kurang stabil,
kebutuhan hidup sehari-hari mereka sehingga para nelayan menganggap saat
maupun untuk keperluan anak sekolah. tidak melaut, merupakan masa-masa yang
Adapun tabungan yang mereka miliki sangat sulit untuk menambah atau menutupi
jumlahnya tidak seberapa besar, sehingga kebutuhan mereka sehari-hari, jadi harus
tidak bisa menutupi kebutuhan hidup untuk melakukan pekerjaan apa saja yang penting
satu tahun. Oleh karena itu untuk menutupi halal.
kebutuhan hidup selama musim paceklik,
mereka harus melakukan pekerjaan PENUTUP
sampingan di luar aktivitas kegiatan melaut
misalnya menjadi kuli bangunan, kuli Kota Mamuju menuju Pulau
angkut pelabuhan, kuli angkut pasar. Dan Karampuang tergolong cukup dekat, dapat
tukang ojek. Sedangkan istri-istri nelayan ditempuh selama kurang lebih 20 menit
dengan perahu jolloro atau sebutan montor
143
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

atau taksi oleh orang Karampuang. ke Kota Makassar untuk mencari


Nelayan-nelayan di Pulau Karampuang pekerjaan sampingan seperti menjadi
umumnya memiliki tingkat pendidikan tukang batu dan kuli bangunan.
yang masih rendah, banyak di antara 3. Istri-istri nelayan yang masih muda
mereka pendidikan hanya tamat SD dan banyak yang bekerja di kota sebagai
SLTP. Perahu-perahu yang digunakan buruh cuci dan penjaga toko sama orang-
untuk menangkap ikan adalah lopi-lopi orang Cina, adapula jadi pedagang ikan
yaitu perahu tanpa dilengkapi mesin dan dan pedagang sayur mayur di Kota
masih menggunakan dayung, sedangkan Mamuju.
perahu dengan sebutan lopi adalah perahu 4. Istri-istri nelayan yang sudah tidak kuat
yang sudah menggunakan mesin. dan berumur di atas 40 tahun mereka
Sementara perahu yang agak besar, dan lebih memilih membuka kios-kios kecil
sama jenisnya alat transportasi untuk di rumahnya dengan menjual barang-
penumpang yang digunakan oleh barang campuran untuk keperluan hidup
masyarakatnya untuk ke Kota Mamuju. sehari-hari.
Selain itu digunakan untuk Dengan melakukan pekerjaan
mencari/menangkap ikan nelayan di Pulau sampingan maka keluarga nelayan seperti
Karampuang dengan berkolompok 6-8 yang telah kami sebutkan, maka mereka
orang. Dengan jangkauannya cukup jauh sangat terbantu untuk kelangsungan hidup
hingga Kalimantan dan Sulawesi Tengah ekonomi rumah tangganya. Hal ini terkait
dan Sulawesi Utara selama 1-2 bulan baru dengan ketidakstabilan penghasilan mereka
mereka kembali. Peralatan-peralatan alat dari hasil melaut, akibat kondisi cuaca yang
tangkap yang masih tergolong sederhana tidak menentu.
dan ramah lingkungan, seperti pancing, Perlu adanya perhatian yang lebih
panah, jaring dan lain-lain. Peluang untuk besar dari pemerintah atau berbagai pihak-
melakukan pekerjaan sampingan saat pihak yang terkait, karena selama ini
terjadinya musim paceklik cukup terbuka kehidupan nelayan tradisional secara umum
karena akses menuju Kota Mamuju cukup identik dengan tingkat penghasilan yang
dekat. Walaupun pekerjaa-pekerjaan yang tergolong rendah. Perlunya wawasan
mereka dapatkan tidak memerlukan pengetahuan dan memiliki skill/ketrampilan
pemikiran atau keterampilan khusus dengan mengenai kegiatan di luar sektor
mendapatkan upah pas-pasan dan hanya kenelayanan, sehingga di saat-saat tidak
sekedar untuk menutupi kebutuhan rumah melaut mereka dapat memanfaatkan
tangganya saat terjadi paceklik atau mereka waktunya untuk melakukan aktivitas lain
tidak melaut. Usaha-usaha pekerjaan yang dapat menambah pendapatan.
sampingan yang dilakukan oleh keluarga
nelayan antara lain: DAFTAR PUSTAKA
1. Pada umumnya nelayan yang memiliki
lahan-lahan perkebunan mereka Acheson, James M. 1981. “Antrhopology of
bercocok tanam dengan menanam Fishing”, Annual Review
jagung, ubi kayu, dan sayur-sayuran Anthoropology. Inc. Vol. 10 P 275-
dengan memanfaatkan lahan di sekitar 316.
pekarangan rumahnya. Bogdan, Ribert dan Tylor J. Steven. 1993.
2. Ketika tidak melalui karena kondisi Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian.
cuaca yang flutuatif maka sebagian Surabaya: Usaha Nasional.
nelayan mencari pekerjaan di Kota
Mamuju dengan menjadi kuli bangunan, BPS. 2016. Kabupaten Mamuju Dalam
kulia angkut dan tukang ojek. Namun, Angka, 2016.
adapula para nelayan yang memutuskan Emerson, Donald K. 1980. Rethingking
ikut merantau ke Kalimantan Timur dan Artisanal Fisheries Development

144
Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

Western Concept, Asian Experiences Winahyu, Retno dan Santiasih. 1993.


Work Bank Staff Working Paper. “Pengembangan Desa Pantai” dalam
Mubyarto (eds.) Dua Puluh Tahun
Ihromi, T.O. 2004. Bunga Rampai
Penelitian Pedesaan. Yogyakarta:
Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan
Aditya Medya.
Obor Indonesia.
Imron, Masyhuri. 2003 “Kemiskinan dalam
Masyarakat Nelayan” dalam Jurnal
Masyarakat dan Budaya. PMB –
LIPI. Vol. V No. 1/2003.
Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan
Dinamika Ekonomi Pesisir.
Yogyakarta: Ar-RUZZ Media.
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan,
Kemiskinan dan Perebutan Sumber-
daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS.
Lampe, Munsi. 1989. “Strategi-strategi
Adaftif yang Digunakan Nelayan
Madura dalam Kehidupan Ekonomi
Lautnya”. (Tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia.

Ngadi. 2016. “Diversifikasi Mata


Pencaharian dan Pendapatan Rumah
Tangga di Kawasan Pesisir Wakatobi
Sulawesi Tenggara”, dalam “Jurnal
Sosek KP”, Volume 11 No. 2
Desember 2016
Papan Potensi Desa Karampuang, 2016.
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi
Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT
Pustaka Cidesindo.
Sugiono, 2007. Memahami Penelitian
Kualitatifi. Bandung: Alfabeta.
Suyanto, Bagong. 2003. Kajian Model
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di
Desa Pantai Madura dan Kawasan
Selatan Jawa Timur. Surabaya:
Lemlit Unair dengan Balitbang
Provinsi Jatim.
Smith, Nigel JH. 1981. Man, Fisher, and
The Amazon. New York: Colombia
University Press.

145
BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI PRODUKSI,
PERDAGANGAN, PELAYARAN, HINGGA PENYELUNDUPAN
BERAS (1946-1956)
BERRE’ (RICE) IN THE SOUTH SULAWESI: FROM PRODUCTION,
TRADING, SHIPPING, TO RICE SMUGGLING (1946-1956)
Adil Akbar
Program Pascasarjana UNM, Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah
Universitas Negeri Makassar, Kampus Gunung Sari, 90222
Telp (0411) 830366, Faksmile (0411) 855288
Pos-el: adilakbarilyasibrahimhusain@gmail.com
Handphone : 085298443202

ABSTRACT
Three primary objects of discussion are presented in this research: first, rice production in South
Sulawesi during the years 1946-1950; second, the trade network and shipping of rice as a commodity
in South Sulawesi during the years 1946-1950; third, the smuggling of rice in South Sulawesi during
the years 1950-1956. The method employed in this research is a historical approach consisting of the
following stages: data collection (especially in study of archives and records), critical, interpretation,
and historiography (compiling the history). The results of this research demonstrate, first of all, a
healthy level of production of rice in South Sulawesi, due to the quality and quantity of arable land
suitable for rice planting; also, the presence of ports on both the east and west sides of the peninsula
motivated the creation of rice trade network in East Indonesia during the years 1946-1950.
Nevertheless, it is undeniable that the political upheaval that took place in South Sulawesi in the
1950s affected the production and trade of rice in the area, with one of the results being the
emergence of rice smuggling. It may be generally concluded that in addition to contributing to the
economy, the creation of a trade network also carries a political aspect.
Keywords: South Sulawesi, rice, ports, smuggling, trade

ABSTRAK
Terdapat tiga hal pokok yang dibahas dalam penelitian ini: pertama, Produksi Beras di Sulawesi
Selatan kurun tahun 1946-1950; kedua, Jaringan Perdagangan dan Pelayaran Komoditas Beras di
Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; ketiga Penyelundupan Beras di Sulawesi Selatan kurun
tahun 1950-1956. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Sejarah dengan
tahapan, Heuristik (pengumpulan data, terutama studi kearsipan dan kepustakaan) kritik, Interpertasi
(penafsiran) dan histiografi (penulisan sejarah). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: hasil
produksi beras di Sulawesi Selatan memuaskan. Hal ini dikarenakan potensi alam dan luasnya lahan
produktif untuk ditanami padi, selain itu kehadiran pelabuhan – pelabuhan di pesisir barat dan timur
Sulawesi Selatan mendorong terciptanya jejaring perdagangan beras di kawasan timur Indonesia pada
kurun tahun 1946-1950. Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan gejolak politik yang terjadi di
Sulawesi Selatan kurun tahun 1950-an mempengaruhi produksi dan perdagangan beras di daerah
tersebut, salah satunya ialah praktek-praktek penyulundupan beras. Secara umum dapat disimpulkan
selain bernilai ekonomis, menciptakan jejaring ekonomi juga memiliki nilai politik.
Kata Kunci: Sulawesi Selatan, beras, pelabuhan, penyelundupan, perdagangan.
PENDAHULUAN merupakan headline atau tajuk utama rilis
“5.000 Ton Beras di Teluk Bintan Gagal berita tempo.co, dalam rilis berita tersebut
Diselundupkan”. disebutkan bahwa Panglima Komando
Armada I Laksamana Muda TNI Yudo
Apa yang Anda baca di atas

146
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

Margono melaksanakan inspeksi dan tahun 1954.


peninjauan ke kapal MV Alkar Trust dan Disebutkan sebanyak 4.000 ton beras
MV Kar Turst yang berusaha diselundupkan ke Kalimantan, terutama
menyelundupkan 5.000 ton beras di daerah-daerah yang berbatasan dengan
perairan Teluk Sebong Bintan. Lebih lanjut Tawau Malaysia, dalam berita kawat
diceritakan bahwa dua kapal kargo asing tersebut menyatakan bahwa beras
tersebut tertangkap oleh tim gabungan diselundupkan dari Sigeri (Barru) kemudian
Western Fleet Quikc Responese Lantamal dimuat dengan perahu-perahu kecil ke
IV Tanjung Pinang serta Lanal Batam pada Pulau Salemo dan pulau-pulau sekitarnya
hari Selasa, 8 Mei 2018 (bisnis.tempo.co yang selanjutnya diangkut ke Kalimantan
diakses hari Selasa 05 Februari 2019). dengan menggunakan perahu layar
Masih dalam laman yang sama, bertonase besar (Arsip Barru, No. Reg.
tempo.co—pada tajuk Tiga Negara 179).
Tetangga Siap Serap Beras Bulog—juga Senada dengan penyelundupan beras,
menguritakan mengenai rencana Perum ihwal ekspor beras pun juga terekam dalam
Bulog untuk mengekspor beras—yang akan catatan sejarah. Disebutkan pada tahun
dilaksanakan pada kisaran pertengahan 1946 Indonesia sebagai suatu negara yang
tahun 2019. Setidaknya tiga negara di baru merdeka pernah mengekspor beras ke
kawasan ASEAN siap menyerap beras dari India—yang kala itu ditimpa bencana
Perum Bulog tersebut (bisnis.tempo.co kelaparan. Pengiriman atau ekspor beras
diakses hari Selasa 05 Februari 2019). dari Indonesia ke India pada bulan April
Tajuk berita pertama yang disebutkan 1946 bukan hanya bertujuan untuk
sebelumnya memberikan gambaran upaya membantu bencana kelaparan yang dialami
negara dalam melindungi komoditas beras India, melainkan mengirim sebuah pesan
dari praktik-praktik penyelundupan, selain bahwa Indonesia mampu menembus
itu memberikan gambaran bahwa beras blokade ekonomi yang dijalankan oleh
memiliki satu nilai lebih sebagai suatu Belanda di masa-masa awal kemerdekaan.
barang dagangan atau komoditas. Diplomasi beras yang dilakukan Sjahrir
Sederhananya, sebuah barang yang akan sedikit banyak membantu pihak Republik
diselundupkan pastinya memiliki nilai yang Indonesia untuk mendapat bantuan
tinggi di pasar selundupan (daerah tujuan pengakuan kedaulatan dari luar negeri dan
selundupan). Agak berbeda ditemukan memberikan pesan ke dunia luar untuk
dalam tajuk ke dua; laporan bulog mengakui eksistensi kehadiran negara yang
mengenai rencana pemerintah untuk baru merdeka bernama : Indonesia.
mengekspor beras ke luar negeri Dua peristiwa yang memiliki kesamaan
memberikan gambaran bahwa produktifitas namun berbeda ruang dan waktu itu
beras di Indonesia meningkat, walaupun setidaknya memberikan gambaran bahwa
sebelumnya diberitakan bahwa pemerintah komoditas beras memiliki andil tersendiri
akan melaksanakan impor beras. dalam jalannya satu narasi sejarah di
Dua peristiwa faktual yang telah Indonesia, dan tentunya menguatkan sebuah
disebutkan sebelumnya, yakni perihal pernyataan bahwa sejarah itu tidak hanya
penyelundupan beras dan ekspor beras berdimensi kelampauan, ilmu tersebut juga
sesunggunya bukanlah hal yang baru di berdimensi kekinian dan yang akan datang.
Indonesia, jika mereduksi pada ingatan Jika berbicara tentang beras, maka
masa lalu; perihal penyelundupan beras salah satu daerah yang menjadi perbincangan
pernah terjadi dan terekam dalam catatan adalah Sulawesi Selatan. Daerah tersebut
sejarah, sebagaimana yang tercatat dalam sejak dahulu dikenal sebagai daerah
berita harian Kopal MKS dan kawat dari penghasil beras. Tercatat, kurun tahun
panglima Territorium VII Wirabuana; 1946-1948 daerah Sulawesi Selatan telah
mengenai berita penyelundupan beras di memproduksi beras sebanyak 982,15

147
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

kuintal per hektar (qt/Ha) dengan luas areal Dengan ini kami memohon dengan amat
persawahan di kurun tahun tersebut sangat, agar bapak suka membukakan
mencapai angka 372.864 hektar (Anonim, kesempatan kepada kami untuk
1953 : 410). mengirimnja ke Kalimantan dengan
perahu/kapal.
Produksi beras yang melimpah di tahun
tersebut selain untuk dikonsumsi juga untuk Kesempatan ini kami anggap sebagai suatu
diperdagangkan, beberapa catatan banntuan jang bermutu tinggi terhadap
menyebutkan bahwa sebanyak 1.000 – kelantjaran/kemadjuan perusahaan kami.
5.000 ton beras—pada paruh awal abad ke- Sebelumnja kami aturkan banjak terima-
20—di kirim dari Pelabuhan Makassar ke kasih.-“ (Arsip Muhammad Saleh Lahade,
wilayah Ambon, selain itu terdapat pula No. Reg. 273 : Surat Keluar N.V. Batu
2.000 ton beras dikirim ke Ternate (Asba, Putih)
2007) (Nur, 2003) (Najamuddin, 2000). Informasi tersebut di atas memberikan
Setidaknya ihwal tersebut di atas dapat pada kita suatu fakta bahwa; Pertama di
dibuktikan dengan kegiatan bongkar muat tahun 1955-1956 daerah Pare-Pare
di Pelabuhan Makassar kurun tahun 1946- setidaknya telah menghasilkan beras
1949, tercatat sebanyak 1.118 kapal dengan sebanyak seratus ton. Kedua, telah terjalin
beban tonase 9.394.620,23 kubik dan 2.652 kontak perdagangan antara Sulawesi
perahu tradisional dengan total tonase Selatan dengan Kalimantan. Ketiga,
97.944,85 kubik hilir mudik di pelabuhan jaringan pelayaran dan perdagangan beras
Makassar. Angka-angka tersebut setidaknya dikontrol langsung oleh militer. Keempat,
memberikan indikasi bahwa kegiatan perdagangan beras dilaksanakan melalui
perekonomian di sektor pelayaran laut, di samping melalui darat.
menggeliat terutama kegiatan ekspor-impor Fakta-fakta tersebut menunjukkan
komoditi perdagangan di mana salah bahwa komoditi beras merupakan salah satu
satunya ialah beras (Najamuddin, 2000 : komoditi dagang yang seksi dan memiliki
128). Selain itu, kehadiran-kehadiran nilai penting, tidak hanya sebagai satu
perusahaan asing dan lokal sepeti komoditi yang diperdagangkan dan
Mandeers, Seeman & Co, Perusahaan dikonsumsi, bahkan komoditi beras pada
Insulinde Makassar, Moreoux & Co, fase tertentu menjelma menjadi alat tukar
Coprafounds dan lain sebagainya turut yang menopang logitik perang Gerakan
membangkitkan gairah geliat ekonomi di DI/TII di Sulawesi Selatan kurun tahun
Indonesia Timur terutama pengangkutan 1950-1965.
komoditi beras, kopra, kayu, melalui Olehnya itu beras sebagai komoditas
pelabuhan Makassar baik menggunakan dagang dan beras sebagai bahan konsumsi
jasa KPM maupun perahu tradisional milik utama masyarakat, telah menempatkan
masyarakat setempat (Evita, 2018). komoditas ini diperebutkan dan dicari oleh
Lebih lanjut, dalam catatan arsip banyak orang. Dalam konteks inilah perlu
koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan diketahui bagaimana beras dikelola,
Provinsi Sulawesi Selatan disebutkan diproduksi, dikembangkan dan dipasarkan.
bahwa kurun tahun 1955-1956 terjadi Melalui proses tersebut, maka komoditi
transaksi perdagangan beras dari Sulawesi beras dalam konteks ini menjadi menarik
Selatan ke berbagai daerah seperti untuk dijelaskan dalam konteks historis.
Kalimantan dan Ambon, sebagaimana
nukilan berikut ini:
METODE
“Dengan segala hormat.
Secara umum penelitian ilmiah terbagi
Bersama ini kami dari N.V. Batu-Putih menjadi dua bagian, yaitu penelitian
pusat Makassar, menjampaikan bahwa : kualitatif dan penelitian kuantitatif. Untuk
kini kami ada mempunjai persediaan beras penelitian ini menggunakan penelitian
di Pare-Pare sebanjak 100 (seratus) ton.

148
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

kualitatif dengan pendekatan analytic Sakka. Selain itu terdapat beberapa


history (analisis sejarah) yaitu penulisan makalah-makalah yang patut dijadikan
sejarah yang memanfaatkan teori dan acuan dalam menulis penelitian ini, semisal
metodologi. Metodologi sejarah tersendiri makalah-makalah yang termaktub dalam
terbagi atas heuristik, kritik, interpretasi, risalah prosiding IKAJIS I (Saransi dan
dan historiografi. Penelitian ini adalah Nur, 2018).
penelitian sejarah yang bersifat deskriptif Langkah yang kedua ialah kritik. Kritik
analitis, menggunakan sumber-sumber dalam metode sejarah terbagi atas dua,
sejarah berupa sumber tertulis dari kritik interen dan eksteren. Kritik intern
dokumen-dokumen sebagai sumber utama dilakukan untuk menilai kelayakan atau
penulisan—dengan menekankan pada aspek kredibilitas sumber. Kredibilitas sumber
kronologis sebuah peristiwa. biasanya mengacu pada kemampuan
Langkah yang pertama dilakukan sumber untuk mengungkap kebenaran suatu
dalam menulis penelitian ini ialah: peristiwa sejarah, kemampuan sejarah
Heuristik. Heurisik secara sederhananya meliputi kompetensi, kedekatan atau
memiliki pengertian mengumpulkan kehadiran sumber dalam peristiwa sejarah.
sumber-sumber sejarah, mengumpulkan Selain itu kepentingan dan subjektivitas
data-data sejarah (Sjamsuddin, 2007 : 86). sumber dan ketersediaan untuk
Untuk mengumpulkan data-data tersebut mengungkapkan kebenaran. Konsistensi
setidaknya dapat dilakukan dengan dua sumber terhadap isi atau sumber (Madjid
cara; pertama studi arsip. Kedua, studi dan Wahyudi 2004: 224). Kritik ekstern
kepustakaan. dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
Pertama, studi arsip. Penulusuran arsip kebebasan dan autentifikasi sumber. Kritik
dilakukan di Dinas Perpustakaan dan terhadap autentitas sumber tersebut
Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang misalnya dengan melakukan pengecekan
beralamatkan di: Jalan Perintis bahan berupa kertas atau tinta apakah cocok
Kemerdekaan KM. 12 Nomor 146, dengan di masa di mana bahan semacam itu
Tamalanrea, Kota Makassar. Arsip yang biasa digunakan atau di produksi,
membantu dalam penelitian ini ialah : (1) memastikan suatu sumber apakah termasuk
Arsip pribadi Muhammad Saleh Lahade sumber asli atau salinan.
1937-1973; (2) Arsip Pemda Barru; (3) Langkah berikutnya adalah
Arsip Pemda Selayar. interpretasi, yakni menafsirkan data dan
Kedua. Studi kepustakaan (library fakta sejarah kemudian disusun menjadi
research). Studi kepustakaan bertujuan satu jalinan peristiwa yang kronologis.
untuk mencari dan menemukan data-data Setelah melalui tahapan sebelumnya, maka
berupa dokumen dan literatur yang tahap berikutnya adalah: Historiografi.
berhubungan dengan penelitian ini, seperti Historiografi dalam penulisan sejarah,
karya ilmiah, buku, majalah, artikel, skripsi, wujud dari penulisan (historiografi) itu
tesis, disertasi, dan sebagainya. Dalam studi merupakan paparan, penyajian, presentasi
kepustakaan ini, terdapat beberapa karya atau penampilan (eksposisi) yang sampai
yang menjadi entry point atau pintu masuk kepada dan dibaca oleh para pembaca atau
dalam mengulas permasalahan produksi, pemerhati sejarah (Sjamsuddin, 2007:236).
perdagangan, pelayaran, hingga
penyelundupan beras. Karya tersebut PEMBAHASAN
berupa penelitian ilmiah tingkat skripsi, Produksi Beras Di Sulawesi Selatan
tesis, dan disertasi. Seperti skripsi: Sitti Kurun Tahun 1946-1950
Maryam, Muhammad Vibrant Anwar,
Muhammad Rafiuddin. Kemudian Tesis Dalam berbagai catatan disebutkan
dari Najamuddin, Rasyid Asba, dan Nahdia bahwa pada kisaran tahun 1906 penduduk
Nur serta disertasi dari Abdul Rasyid Ambo yang bergiat di bidang pertanian berkisar

149
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

pada angka 69,8 persen, kemudian di tahun pertanian. Ihwal tersebut dapat
1930 meningkat menjadi 71,38 persen dihubungkan dengan luas areal persawahan
(Maryam, 1999 : 2). Lalu dikurun tahun di Sulawesi Selatan. Tercatat tahun 1938
1947-1948 mencapai angka 85 persen atau luas areal persawaan di Sulawesi Selatan
3.297.302 jiwa (Najamuddin, 2000 : 23) mencapai angka 334.581 hektar (Maryam,
(Anonim, 1953 : 25). 1999 : 10) kemudian meningkat menjadi
Jika melihat angka di atas, 346.879 hektar di kurun tahun 1943-1951
menunjukkan bahwa ada peningkatan (Anonim, 1953 : 410). Agar lebih jelasnya,
jumlah masyarakat yang terjun dalam dunia dapat disimak dari tabel-1.1 berikut ini:

Tabel 1.1: Luas Areal Sawah Pada Tahun 1938 di Sulawesi Selatan
Luas Sawah
Afdeling Onderafdeling
(Ha)
Makassar Pangkajene 18.860
Maros 20.554
Gowa 24.148
Jeneponto-Takalar 21.947
Bonthain Bonthain 1.646
Bulukumba 6.629
Sinjai 7.635
Seleier (Selayar) -
Bone Bone 40.000
Soppeng 12.535
Wajo 47.172
Pare-Pare Barru 8.396
Pare-Pare 4.176
Pinrang 13.056
Sidenreng- 31.635
Rappang
Enrekang -
Mandar Polewali 3.500
Majene 200
Mamuju -
Mamasa 6.000
Luwu Makale-Rantepao 3.500
Palopo 16.400
Masamba 10.070
Malili -
Kolaka 1.000
Kota Besar Makassar 4.022
Makassar
Total Keseluruhan Sulawesi Selatan 334.581
Sumber: diolah dari Siti Maryam 1999. Perdagangan Beras Di Sulawesi Selatan Tahun 1930-
1940. Skripsi. Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.Hlm. 10
Dari tabel 1.1 di atas dapat dilihat areal sawah produksi 3.700 Ha. Adapun
bahwa tahun 1938 luas areal persawahan di untuk Kota Besar Makassar memiliki lahan
Sulawesi Selatan mencapai angka 334.581 seluas 4.022 Ha yang ditanami padi.
Ha. Di mana Afdeling Bone—yang meliputi Luasnya areal persawahan di Sulawesi
Onderafdeling Bone, Soppeng, Wajo— Selatan dan adanya pembangunan irigasi
merupakan daerah penghasil beras terbesar, secara besar-besaran diawal Abad XX
dengan luas sawah produksi 99.707 Ha. berpengaruh langsung pada meningkatnya
Sedangkan Afdeling Mandar yang terdiri produksi beras di Sulawesi Selatan. Nilai
dari Onderafdeling Polewali, Majene, ekspor beras Sulawesi Selatan pada tahun
Mamuju dan Mamasa hanya memiliki luas 1920 hanya berjumlah f.300.000 naik

150
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

menjadi f.3.300.000 pada tahun 1936 Selatan diperdagangkan ke hampir seluruh


(Sakka, 2003). Meningkatnya produksi wilayah Hindia – Belanda, seperti yang
beras di Sulawesi Selatan tentunya juga diuraikan pada tabel-1.2 di bawah ini:
berdampak pada meningkatnya perdagangan
beras antar pulau. Produksi beras di Sulawesi
Tabel 1.2: Ekspor Beras Sulawesi Selatan Ke Berbagai Pulau di Hindia Belanda Pada
Tahun 1934-1935 (dalam Ribuan Ton)
Bali/
Tahun Jawa Maluku Manado Kalimantan Total
Lombok
1934 16.44 58,19 12.28 12,24 154,98 289,03
1935 26,34 66.84 10,10 22,28 146,23 321,55

Sumber: Abdul Rasyid A. Sakka 2003. Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1888-
1958. Disertasi. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hlm. 69

Secara umum menunjukkan bahwa terbagi menjadi musim barat dan musim
hampir seluruh wilayah di Sulawesi Selatan timur. Secara umum kedua musim ini
adalah daerah penghasil beras, yang membawa hujan bagi wilayah Sulawesi
meliputi: Afdeling Makassar, Bonthain, Selatan.
Parepare, Mandar, Luwu, dan Kota Besar Wilayah Sulawesi Selatan juga dialiri
Makassar. Besarnya produksi beras tersebut beberapa sungai-sungai yang cukup besar,
dikarenakan bentang alam Sulawesi Selatan bisa disebutkan di sini ialah Sungai
yang begitu baik dalam mendukung Jeneberang di selatan Sulawesi Selatan
produktifitas pertanian. yang membelah daratan Gowa. Sungai
Jika dilihat dalam peta atau atlas, Walane yang membelah daratan Soppeng
Sulawesi pada masa akhir kolonial (1941) dan Wajo, Sungai Cenrana yang membelah
(lihat lampiran peta Ammarel, 2016) Bone. Selain itu terdapat beberapa danau
dengan jelas memperlihatkan wilayah yang yang berada di Sulawesi Selatan, bisa
terdiri atas dataran tinggi dan dataran disebutkan di sini ialah Danau Matano di
rendah. Dataran tinggi tersebut berupa Luwu, Danau Sidenreng di wilayah
pegunungan lipatan yang membentang dari Sidenreng-Rappang, dan Danau Tempe di
selatan ke utara Sulawesi Selatan. Wajo. Aliran sungai dan danau tersebut
Pegunungan lipatan tersebut membelah menjadi sumber pengairan untuk areal
daerah ujung atas Afdeling Bonthain yang persawahan di Sulawesi Selatan (Mattulada,
berbatasan dengan Afdeling Makassar dkk., 1977 dalam Najamuddin, 2000 : 19).
(dalam hal ini Onderafdeling/Swapraja Selain itu, Sulawesi Selatan dikelilingi oleh
Gowa, wilayah yang dimaksud ialah Ulu laut pada tiga arah penjuru mata angin.
Ere Bantaeng dengan batas Sebelah barat daratan Sulawesi Selatan
Bontolempangan, Biringbulu, dan Kaki terhubung oleh Selat Makassar, di sebelah
Gunung Bawakaraeng) kemudian naik ke selatan daratan Sulawesi Selatan terhubung
atas membelah wilayah Onderafdeling dengan Laut Flores, sedangkan daratan
Maros, Afdeling Bone (Batas Bone-Gowa), Sulawesi Selatan di penjuru timur
Onderafdeling / Swapraja Soppeng, berhadapan langsung dengan Teluk Bone.
Onderafdeling / Swapraja Wajo, Olehnya itu Sulawesi Selatan dapat
Onderafdeling / Swapraja Sidenreng- dikatakan memiliki posisi maritim,
Rappang, Onderafdeling Enrekang, hingga sehingga terbuka kemungkinan bagi
Onderafdeling Makale-Rantepao atau masyarakatnya yang tinggal di daerah
Toraja. Hal inilah yang memisahkan musim pesisir untuk menjadi pelaut, nelayan,
bagi wilayah pesisir pantai barat dan pesisir pelayar, dan nahkoda sebagai pilihan mata
pantai timur, dan berakibat bagi iklim yang pencahariannya, mengarungi samudera dan

151
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

mengembara mencari nafkah di seberang hujan yang intensitasnya ringan hingga


laut. lebat. Sedangkan daerah penghasil beras
Pada penjelasan sebelumnya telah lainnya, yakni Sidenreng-Rappang dan
dikemukakan bahwa bagian tengah Wajo mendapat hujan pada bulan Apri,
Sulawesi Selatan membentang daerah Mei, Juni, Juli, Agustus, Desember, Januari.
pegunungan lipatan dari selatan ke utara. Lalu ketika memasuki musim timur, daerah
Pegunungan lipatan tersebut membelah yang mndapat guyuran hujan ialah daerah
bentangan alam di daerah Bantaeng, Gowa, sepanjang pesisir Teluk Bone, yakni
Maros, Bone, Soppeng, hingga ke Enrekang meliputi Bulukumba, Sinjai, Bone, hingga
dan Tana Toraja serta Toraja Utara. Luwu. Daerah tersebut diguyur hujan pada
Olehnya itu berpengaruh pada kondisi bulan: Januari, Februari, Maret, April, Mei,
cuaca terutama permasalahan musim hujan. Juni, Juli, Agustus, dan bulan Desember
Ketika memasuki musim barat, daerah (Najamuddin, 2000 : 21).
sepanjang pesisir barat Sulawesi Selatan Perbedaan curah hujan ini disebabkan
yang meliputi Gowa, Makassar, Maros, oleh perbedaan ketinggian tanah dan
Pangkep, Barru, dan Parepare, struktur topografi, yaitu di bagian tengah
mendapatkan guyuran hujan pada buan Sulawesi Selatan melintang dari selatan ke
Oktober, Nopember, Desember, Januari, utara suatu pegunungan dan hanya diputus
Februari, dan Maret. Daerah tersebut oleh dataran rendah di wilayah Sidenreng
diuguyur hujan dengan intensitas dari Rappang dan Wajo. Olehnya itu, hampir
ringan hingga lebat. Daerah Pinrang agak sepanjang tahun produktifitas komoditas
ke utara—yang merupakan penghasil beras terus tumbuh dan berkembang. Untuk
beras—mendapatkan hujan pada bulan lebih jelasnya, dapat disimak dalam tabel
Desember, Januari, Februari, Maret, April, 1.3 berikut ini:
Mei, Juni, Juli, dan Agustus dengan curah

Tabel 1.3: Frekuensi dan Daerah Jatuhnya Hujan di Sulawesi Selatan serta Musim
Tanam dan Musim Panen di Sulawesi Selatan Kurun Tahun 1946-1950
Musim Timur Musim Barat
Jatuhnya Jatuhnya
Musim Musim Musim Musim
Daerah Hujan Daerah Hujan di
Tanam Panen Tanam Panen
di Bulan Bulan
Bulukumba Desember Gowa Oktober
Sinjai Januari Makassar Nopember
Bone Februari Maros Desember
Luwu Maret Pangkep Januari
April Barru Februari
Mei Parepare Maret
Juni
Juli Januari/ April/ Mei April/
Agustus Februari September/ November/ Mei
Soppeng April Maret / Oktober Pinrang Desember Desember Juni/
Wajo Mei April dan Januari Juli
Sidrap Juni daerah Februari
Juli sebelah April
Agustus utara Mei
Desember Pinrang Juni
Januari Juli
Agustus
Sumber: diolah dari Memorie van Overgave den Controuler H.R. Rookmaaker. Betreffende de
Onderafdeling Boni-Riattang, Afdeling Boni. Jaar 1915. Hlm. 247-248; Economische
Breichten Oost Indonesie Jaar 1949; Economische Berichten Oost Indonesie Jaar
1950; Arsip Pemda Bone Nomor Register 1520; Leon A. Mears. 1957. Rice Marketing
in The Republic of Indonesia. Jakarta : The Institute for Economics and Social

152
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

Research and School of Economics University of Indonesia. Hlm 27: Najamuddin


2000. Sulawesi Selatan: Pergumulan Antara Negara Federal dan Negara Kesatuan
1946-1949, Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hlm. 20-21;
Nahdia Nur. 2003. Produksi dan Pemasaran Beras di Sulawesi Selatan 1900-1943.
Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana UGM. Hlm. 70.

Sebelumnya, kurun tahun 1936-1937 1938-1939. Dan di kurun tahun 1939-1940


produksi beras di Sulawesi Selatan berkisar di angka 71.000 ton. Tiga daerah
mencapai angka kurang lebih 42.000 ton, penghasil beras yang melimpah kala itu
kemudian menurun menjadi 40.500 ton di adalah Parepare, Wajo, dan Soppeng.
kisaran tahun 1937-1938. Lalu merangkak Selengkapnya dapat disimak dalam tabel
naik ke angka 60.000 ton pada kurun tahun 1.4 berikut ini:

Tabel 1.4: Perkembangan Produksi Beras dari Penghasil Beras di Sulawesi Selatan Kurun
Tahun 1936-1940

Wilayah 1936-1937 1937-1938 1938-1939 1939-1940


Parepare 25.000 ton 27.000 ton 41.400 ton 46.000 ton
Wajo 10.000 ton 11.000 ton 11.000 ton 15.000 ton
Soppeng 4.500 ton 5.600 ton 5.600 ton 7.000 ton
Daerah Lain 2.500 ton 3.000 ton 2.000 ton 3.000 ton
Jumlah 42.000 ton 40.500 ton 60.000 ton 71.000 ton

Sumber : Nahdia Nur, Bambang Purwanto, dan Djoko Suryo, Perdaganagn dan Ekonomi di
Sulawesi Selatan pada Tahun 1900-an sampai dengan 1930-an. Jurnal Ilmu Budaya
Vol. 4. No. 1. Edisi Juni, 2016. Hlm. 617

Sebagaimana yang telah dijelaskan memproduksi beras dengan hasil yang


pada tabel 1.3 yang memaparkan bahwa melimpah, maka tidak salah jika predikat
hampir sepanjang tahun di pesisir timur dan lumbung pangan nasional disematkan pada
barat Sulawesi Selatan diguyur hujan dan daerah Sulawesi Selatan. Agar lebih jelas
memepengaruhi pola tanam dan pola panen, ada baiknya menyimak tabel 1.5 berikut ini:
maka tidak mengherankan jika Sulawesi tabel mengenai produksi beras di Sulawesi
Selatan di masa tersebut mampu Selatan kurun tahun 1946-1948:

Tabel 1.5: Rata-Rata Penghasilan / Produksi Hasil Padi Kering Beberapa Daerah di
Sulawesi Selatan Tahun 1946-1948

Rata-rata penghasilan padi


Luas
No Afdeling kering/gabah (qt/Ha)
Sawah (Ha)
1946 1947 1948
1 Gementee Makassar 111 16,64 6,96 23,72
2 Makassar Gowa 23.742 23,74 24,51 29,23
Maros 22.148 13,45 10,14 21,72
Pangkajene 19.608 17,16 9,26 22,03
Takalar 27.035 19,60 15,07 23,16
Jeneponto 12.773 14,21 17,62 15,04
3 Bone Bone 57.428 13,80 18,66 19,45
Soppeng 20.554 22,52 20,75 23,26

153
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Wajo 54.920 17,35 21,58 21,08


4 Bonthain Bonthain 2.917 32,30 23,64 24,68
Bulukumba 10.000 29,97 31,03 25,56
Sinjai 8.430 18,48 18,19 15,86
5 Pare-pare Pare-pare 4.272 23,49 15,26 21,80
Barru 9.217 24,54 22,81 28,00
Pinrang 33.420 21,33 18,44 23,69
Sidrap 40.034 19,80 21,47 20,10

Sumber: Anonim, 1953. Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi. Hlm. 410.

Jaringan Pelayaran Dan Perdagangan dan berkembang kota-kota pelabuhan di


Beras Kurun Tahun 1946-1950 pesisir Sulawesi Selatan, mulai dari
Makassar dengan Pelabuhan Somba Opu
Munculnya jejaring perdagangan di
nya, Parepare dengan bandar niaganya,
Sulawesi Selatan tidak terlepas dari
Bone dengan Pelabuhan Pallime dan
kehadiran pelabuhan-pelabuhan di
Pelabuhan Bajoe. Pelabuhan-pelabuhan
sepanjang pesisir barat dan pesisir timur
tersebut telah mendorong dan merangsang
Sulawesi Selatan. Berkembangnya
masyarakat untuk turun ke laut guna
pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat dilacak
melakukan aktifitas pelayaran dan
ketika para pedagang-pedagang pribumi
perdagangan. (Ahmad dan Kila, 2015)
Nusantara di abad-16 mengalihkan
(Nur, 2017).
perdagangannya ke Timur Nusantara.
Memasuki abad ke-18, abad ke-19,
Musabab dari perkara itu dikarenakan
hingga abad ke-20 kegiatan perdagangan
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada
semakin semarak dengan hilir mudiknya
tahun 1511, para saudagar kala itu
kapal-kapal laut yang melego jangkar di
menjadikan pelabuhan di Sulawesi Selatan,
Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Parepare,
dalam hal ini Somba Opu sebagai
Pelabuhan Bajoe, Pelabuhan Pallime, dan
pelabuhan transito, pelabuhan singgah
pelabuhan-pelabuhan lainnya telah turut
sebelum ke Maluku (Umar, 1990) (Anwar,
andil menguatkan perekonomian Sulawesi
1996) (Paeni, 1995 : 44 dalam Rafiuddin,
Selatan. Salah satu komoditas yang kerak
2011 : 36).
kali dijumpai dalam aktifitas perdagangan
Uniknya, pola perdagangan Makassar
tersebut ialah beras.
memiliki karakteristik tersendiri, wilayah
Para pedagang tersebut, baik dari
Sulawesi Selatan pada umumnya tidak
Bugis, Makassar, Selayar, Mandar, Melayu,
menghasilkan produk ekspor, kecuali
dan bahkan dari luar—seperti Portugis—
tumbuhan padi atau beras, yang menurut
telah menjadikan Makassar dan Sulawesi
berbagai sumber dikatakan sebagai beras
Selatan sebagai pelabuhan serta pasar
dengan kualitas baik serta murah. Beras
produksi. Lebih lanjut, di Pelabuhan
tersebutlah yang dimanfaatkan para
Makassar sendiri, kurun tahun 1946-1949
pedagang dan pelaut sebagai perbekalan
telah tercatat sebanyak 1.118 kapal dengan
untuk melanjutkan perjalan. Di satu sisi,
beban tonase 9.394.620,23 melakukan
menjadikan Makassar dan Sulawesi Selatan
aktifitas bongkar-muat dengan mengangkut
sebagai satu mata rantai jejaring
berbagai komoditias yang laku di pasaran
perdagangan (Poelinggomang, 2011 : 50).
kala itu, seperti kopra dan beras. Selain
Terciptanya jejaring perdagangan
kapal-kapal bertonase berat, juga sebanyak
komoditas beras tidak dapat dinafikan
2.652 perahu tradisional dengan total tonase
karena pada masa tersebut, yakni kisaran
abad ke-16 dan abad ke-17 telah muncul 97.944,85 kubik keluar masuk di Pelabuhan
Makassar. Angka-angka tersebut memberikan

154
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

indikasi bahwa kegiatan perekonomian di Secara umum, angin muson barat laut
sektor pelayaran menggeliat terutama biasanya dimanfaatkan oleh pedagang yang
kegiatan ekspor-impor komoditas berasal dari barat, seperti: Malaka, Riau,
perdagangan di mana salah satunya ialah Johor, dan Batavia (Jakarta). Para pedagang
beras (Najamuddin, 2000 : 128) (Nur, 2003) dari daerah tersebut memanfaatkan
(Asba, 2007) (Nur, Purwanto, & Suryo, hembusan angin muson barat laut untuk
2016). Daerah yang cukup ramai ini telah mengarahkan layar dan haluan kapal ke
membentuk pola-pola perdagangan yang arah timur, tepatnya ke Makassar dan
berhubungan dengan daerah-darah lainnya selanjutnya ke Maluku. Setelah kapal-kapal
di kepulauan maupun di luar Indonesia / dari lokasi-lokasi tersebut (Malaka, Riau,
Nusantara. Johor, dan Jakarta/Batavia) lego jangkar di
Kehadiran pelabuhan di Makassar— Makassar, maka para pelaut tersebut dapat
baik langsung maupun tidak langsung— melanjutkan perjalanan ke Maluku dengan
telah merangsang kegiatan produksi beras menyusur ke selatan lalu berbelok ke-kiri
di daerah pedalaman dalam hal ini daerah melayari pesisir selatan hingga ke pulau
penghasil beras di wilayah selatan Sulawesi Buton dan selanjutnya berlayar ke Maluku.
Selatan yang meliputi Afdeling Bonthain Sederhananya—gamabarannya—
dan Afdeling Makassar. Demikian pula begini, setelah nahkoda mendapatkan izin
dengan Pelabuhan Parepare—baik langsung dari syahbandar, maka juru mudi akan
maupun tidak langsung—telah merangsang mengarahkan haluan kapalnya ke arah
kegiatan produksi beras di wilayah selatan dan menyusuri lepas pantai
Afdeling Parepare yang meliputi: Galesong, lalu berbelok ke kiri dan
Onderafdeling Parepare, Barru, Pinrang, menyusuri lepas pantai Jeneponto,
Sidenreng-Rappang, dan Enrekang. Daerah- Bantaeng, dan Bulukumba serta Selayar dan
daerah tersebut—minus Enrekang—telah berlayar menuju Buton lalu akhirnya
lama dikenal sebagai daerah penghasil berlabuh di Maluku atau Papua, rute
beras di bagian tengah-utara Sulawesi tersebut biasanya digunakan dalam
Selatan. Tidak hanya Pelabuhan Makassar mengirim berbagai komoditas, salah
dan Pelabuhan Parepare, di pesisir timur satunya beras.
Sulawesi Selatan, geliat ekonomi Selain itu terdapat pula rute jarak
perberasan juga nampak begitu nyata pendek dalam pengirimman beras, seperti
terutama di Afdeling Bone—yang meliputi Makassar – Parepare dengan menyisir
Onderafdeling Bone, Wajo, dan Soppeng— pesisir barat Sulawesi Selatan; selain itu
melalui kegiatan bongkar muat komoditas terdapat jalur rintisan jarak dekat rute
beras di Pelabuhan Bajoe dan Pallime Palopo – Bone – Bira dengan menyisir
(Ahmad & Kila, 2015 : 3) pesisir timur Sulawesi dalam hal ini Teluk
Selain karena banyaknya pelabuhan- Bone. Kemudian jalur pelayaran dengan
pelabuhan di Sulawesi Selatan, terciptanya jarak yang jauh ialah Jalur Makassar –
jejaring perdagangan tersebut lebih Baubau – Wakatobi (Kepulauan Tukang
dikarenakan para saudagar dan nahkoda Besi) – Buru – Ambon – Banda; terdapat
(pelaut) memanfaatkan hembusan angin pula jalur pelayaran Makassar – Selayar –
muson seperti angin muson barat laut, angin Kabaena – Baubau – Pasarwajo – Tamperan
muson tenggara, angin muson timur laut, – Bala – Raha dan kembali ke Makassar
dan angin muson utara serta angin muson (Malihu, 1998 : 21) (Demmalino, 2018 :
tenggara. Kiranya demikian maklum 12-15) (Hamid, 2018) (Poelinggomang et
mengingat kala itu kapal-kapal yang al., 2004 : 301).
bertonase ringan dan berat memanfaatkan Pelayaran balik dari Maluku dan Papua
hembusan angin sebagai tenaga penggerak ke arah barat umumnya menggunakan
kapal (Poelinggomang, 2016 : 14-16). angin muson timurlaut, yang bertiup dari
Mei hingga September, dalam pelayaran ini

155
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

umumnya kapal dan perahu membutuhkan (Eropa, Gujarat, India Selatan,


pelabuhan singgah. Ihwal tersebut karena Semenanjung Malaka, Sumatera, Jawa, dan
tiupan angin muson melemah di perairan Pesisir Timur Kalimantan – Makassar,
Laut Flores dan Laut Jawa. Olehnya itu Maluku, serta Papua) maupun jalur
posisi Makassar teramat penting sebagai pelayaran utara (Tiongkok, Filipina,
pelabuhan singgah bagi pedagang yang Kalimantan pesisir timur-utara [batas
datang dari arah timur. Lebih lanjut, perahu Tawau dan Serawak] dan Jepang –
yang hendak meneruskan pelayaran ke arah Makassar, Nusa Tenggara, dan Australia).
barat harus menunggu angin muson Jalur-jalur itulah yang dimanfaatkan para
tenggara melemah dan angin muson pelaut dan pedagang untuk menghantarkan
timurlaut menguat pada bulan Agustus, komoditas beras (selain komoditas lainnya).
keadaan ini juga disebabkan oleh arah arus
Penyelundupan Beras Di Sulawesi
laut yang biasanya mengikuti arah angin
Selatan Kurun Tahun 1950-1956
(Poelinggomang, 2016).
Hembusan angin muson ini selain Peristiwa tentang penyelundupan beras
membawa dampak positif, tidak dielakkan di Sulawesi Selatan sebenarnya tidak dapat
juga membawa hal yang negatif, terutama dipisahkan dari kondisi politik Sulawesi
pada persoalan lanun atau perompak. Pada Selatan pada masa tersebut. Di dasawarsa
umumnya para lanun ini memanfaatkan 1950-an hingga 1960-an, Sulawesi Selatan
hembusan angin timur laut untuk ditimpa satu gerakan yang bernama DI/TII
melaksanakan operandinya, beberapa lanun pimpinan Kahar. Guna melancarkan
yang cukup terkenal pada masa tersebut gerakan tersebut maka perlu menyediakan
berasal dari Tobelo, Mangindanai, logistik perang, salah satu jalan ialah aksi-
Balangngingi, dan sebagainya. Bahkan aksi penyelundupan yang dilakukan oleh
masyarakat yang bermukim di pesisir Contact Post (disingkat CP).
Pantai Serawak menyebut angin timurlaut Contact Post bisa dikatakan satu badan
sebagai ―lanun, the pirate wind‖(Rafiuddin, yang bertugas untuk urusan niaga, mengatur
2011 : 65). perdagangan antara daerah-daerah
Angin muson utara dan muson penghasil bumi yang dikuasai DI/TII dan
tenggara juga memungkinkan terciptanya juga termasuk daerah yang dikuasai TNI,
jalur pelayaran utara – selatan, yakni rute pada dasarnya akan sulit mengetahui siapa
Amoy dan Kanton – Makassar – saja yang bertugas di Contac Post kala itu
Kepualauan Timur Nusantara. Pedagang (Subair, 2018 : 84).
dari Tiongkok dan Spanyol yang bermukim Mengenai Contac Post, dalam disertasi
di Pulau Luzon, Filipina, bertandang ke Anhar Gonggong disebutkan bahwa
Makassar dengan memanfaatkan angin peranan badan tersebut ialah mengusahakan
muson utara melalui pesisir barat pembelian senjata melalui sistem barter,
Kalimantan dan Selat Makkassar. baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Sementara itu pedagang dan pelaut dari Selain pada tugas dan fungsinya, Anhar
Sulawesi memanfaatkan angin muson Gonggong juga menyebutkan wilayah kerja
tersebut untuk berlayar ke selatan dengan Contact Post, yakni meliputi: CP-I, berpusat
melintasi Laut Flores kemudian menuju di Mamuju, CP-II yang berpusat di
Pulau Sumbawa, lalu menyusuri perairan Bulukumba, dan CP-III yang berpusat di
Kepulauan Nusa Tenggara Timur (Sunda Lapuse Danau Towoti (Gonggong, 1990 :
Ketjil), bahkan hingga mencapai pesisir 408).
utara Benua Australia (Macknight, 2017 : Sekadar catatan, terdapat perbedaan
27) (Poelinggomang, 2016 : 16) data yang dikemukakan Anhar Gonggong
Siklus muson di wilayah Sulawesi dengan apa yang ditulis oleh Bahar
menjadikan Makassar sebagai pusat Mattalioe, perbedaan tersebut terletak pada
perdagangan, baik jalur perdagangan barat wilayah tugas CP-III yang beroperasi di

156
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

sekitar Danau Towoti. Dalam tulisan Bahar berhasil menangkap atau menggagalkan
Mattalioe disebutkan bahwa wilayah kerja aksi penyelundupan beras (Arsip Pemda
CP-III terletak di daerah Sinjai dan Barru, No. Reg. 179).
Bulukumba di bawah komandan Ali AT. Selain di daerah Parepare indikasi
(Bahar Mattalio, 1994 : 164, 166 dalam praktek-praktek penyulundupan beras juga
Subair, 2018 : 87). Walaupun demikian, dikabarkan terjadi di daerah Selayar, kurun
terlepas dari perbedaan data tersebut, tahun 1953-1954 terjalin kontak surat-
peranan Contac Post dapat dikatakan menyurat antara Kepala Daerah Swantara
istimewa, hal tersebut dikarenakan wilayah Bonthain Alimuddin Dg. Mattiro yang
kerja dari Contac Post menguasai simpul- membawahi Kawedana Selayar, Bonthain,
simpul perdagangan strategis di perairan Jeneponto-Takalar, dengan Kepala
Sulawesi Selatan : Selat Makassar, Selat Pemerintahan Negeri Kawedana di Selayar.
Selayar, dan Teluk Bone. Dalam surat tertanggal 27 Oktober 1953
Salah satu daerah target nomor 166/DB/XV Perihal: Penjeludupan
penyelundupan beras yang dilakukan oleh beras keluar dari pulau Djampea,
Contact Post ialah Kalimantan, terutama dikabarkan terdapat suatu indikasi
wilayah yang berbatasan langsung dengan penyelundupan beras ke daerah Flores,
Tawau Malaysia (Sakka, 2003 : 273). hampir selama sebulan surat tersebut belum
Selain daerah yang berbatasan langsung mendapat balasan, hal ini dilihat dari
dengan Tawau Malaysia, daerah seperti; dikirimkannya kembali surat tertanggal 26
Kota Baru, Balikpapan, dan termasuk Nopember 1953 nomor. 166a/DB/XV
Banjarmasin juga dilaporkan sebagai daerah Perihal: Penjeludupan beras keluar dari
tujuan penyelundupan beras. pulau Djampea, yang berisi permintaan
Sebagaimana yang dilaporkan Berita suatu kabar atau informasi terhadap maksud
Harian Kopal MKS dan kawat dari surat tertanggal 27 Oktober 1953 nomor
Panglima Territoriun VII Wirabuana, 166/DB/XV. Balasan kedua surat tersebut
diceritakan bahwa pada tahun 1954 baru dikeluarkan tertanggal 18 Maret 1954
sebanyak 4.000 ton beras diselundupkan ke melalui surat yang ditandatangani
kota-kota tersebut (Kota Baru, Balikpapan, Djamaluddin selaku Kepala Pemerintahan
dan Banjarmasin). Lebih lanjut diberitakan Negeri Kawedana Selayar dengan nomor
bahwa beras yang diselundupkan berasal surat 22/DB/XV.
dari Sigeri, Barru, kemudian beras-beras Balasan surat kepala Kawedana
tersebut dimuat dengan perahu-perahu Selayar kepada kepala Swantara Bonthain,
bertonase kecil lalu dilayarkan (dibawa) ke setidaknya berisi tiga informasi penting,
Pulau Salemo dan pulau-pulau sekitarnya— pertama luas tanah persawahan di pulau
yang selanjutnya diangkut ke Kalimantan Djampea yang ditaksir kurang lebih 900 Ha
dengan menggunakan perahu layar dengan hasil rata-rata penghasilan beras
bertonase besar (Arsip Pemda Barru, No. sebanyak 900 Ton, kedua menampik kabar
Reg. 179). mengenai adanya penyelundupan beras,
Untuk menghindari atau meminimalisir ketiga melakukan penyelidikan, pencegahan
aksi-aksi penyelundupan beras maka dan tindakan yang dianggap perlu dalam
Panglima Territorium VII Wirabuana mencegah aksi-aksi penyelundupan beras
mengeluarkan kawat yang ditujukan kepada dikemudian hari. Balasan surat dari Kepala
Koordinator Keamanan Pare pare, Kepala Negeri Kawedana Selayar memberikan
Kejaksaan Pare pare, Kepala Kepolosian gambaran bahwa informasi yang didapatkan
Kabupaten Pare pare, dan para kepala kepala Swantara Bonthain mengenai
Pemerintahan Negeri dalam daerah praktek penyelundupan beras di pulau
Parepare untuk mengambil tindakan Djampea keliru. Walaupun demikian,
pencegahan penyelundupan beras, dengan Kepala Negeri Kawedana Selayar
imbalan Special Premi bagi mereka yang mengambil langkah pencegahan dengan

157
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

melakukan penyelidikan-penyelidikan lebih perizinan dikeluarkan langsung melalui


lanjut mengenai adanya ―indikasi‖ staf khusus OPI.X. TT-VII
penyelundupan beras di pulau tersebut. 5. Usaha-usaha staff khusus ini, jika
Secara umum daerah-daerah mengalami kesulitan dapat dibantu oleh
penyelundupan DI/TII Sulawesi Selatan resimen dari Angkatan Darat, Angkatan
adalah Kalimantan, Gresik, Singapura, Laut, Angkatan Udara dan Jawatan
Surabaya bahkan ke Mindanau. Dengan Sipil.
barter beras mereka memperoleh jenis 6. Tiap-tiap minggu OPI.X. TT-VII
senjata tertentu dan alat-alat pertanian melaporkan segala laporan
(Arsip Pemda Selayar, No. Reg. 1471) perkembangan perdagangan hasil bumi
(Sakka, 2003 : 274). (termasuk didalamnya Beras) kepada
Salah satu jalan untuk mengimbangi Panglima TT.VII Wirabuana (Arsip
aksi-aksi penyelundupan beras yang Muhammad Saleh Lahade, No. Reg.
dilakukan oleh Contac Post, maka Panglima 325).
Terriotrium VII Wirabuana membentuk Dilihat dari tugas-tugas OPI.X. TT-VII
satu badan yang bernama Opsir Pekerdja maka dapat dijelaskan sebagai berikut,
Istimewa ―X‖ Territorium VII Wirabuana pertama, menguasai ekonmi guna
(disingkat OPI.X. TT-VII). Tujuan utama kepentingan strategis militer dikemudian
didirikan OPI.X. TT-VII adalah untuk hari, yang dimaksud dari penguasaam
meningkatkan produksi dan perdagangan ekonomi disini adalah tata niaga hasil bumi
hasil bumi di Sulawesi Selatan seperti dimana salah satunya komoditi beras,
kopra, beras, Jagung dan berbagai komoditi perihal strategis militer ialah berkaitan
lainnya, walaupun demikian fokus utama dengan pengadaan logistik perang dalam
dari lembaga ini ialah komoditi Kopra dan menghadapi pemberontakan DI/TII. kedua,
Beras (Arsip Muhammad Saleh Lahade, OPI.X. TT-VII diberikan kuasa untuk
No. Reg. 325).
mengeluarkan perizinan perdagangan
Selain pada peningkatan produksi komoditi beras, kuasa ini bertujuan
beras lembaga ini juga mengatur jalannya mengawasi jalannya perdagangan beras
ekspor-impor beras, baik melalui pelabuhan mengingat banyaknya praktek-praktek
Makassar maupun Pare-Pare. Selain itu penyelundupan beras terutama yang
OPI.X. TT-VII Wirabuana juga mengatur dilakukan oleh kalangan Militer dan DI/TII
distribusi dan perdagngan beras antar yang terindikasi ―bermain mata‖ dengan
wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum memanfaatkan situasi chaos dan ketiga,
kegiatan ekspor-impor beras, para setiap minggu OPI.X. TT-VII memberikan
pengusaha terlebih dahulu harus meminta laporan perkembangan perdagangan beras
surat izin istimewa dari pihak OPI.X. TT- kepada panglima TT.VII Wirabuana.
VII agar diberikan izin melakukan Tercatat, sejak bulan Maret hingga
perniagaan beras (Arsip Muhammad Saleh Oktober 1955, OPI.X. TT-VII Wirabuana
Lahade, No. Reg. 273). Adapun tugas-tugas dibawa komando Mayor Saleh Lahade telah
dari OPI.X. TT-VII ialah sebagai berikut: mengeluarkan izin ekspor-impor beras yang
1. O.P.I.X. ini diadakan untuk mengetahui dikirim ke luar wilayah Sulawesi Selatan
dan menguasai ekonomi guna (Kalimantan, Ambon, Manado) baik
kepentingan Strategis Militer melalui Pelabuhan Parepare maupun
dikemudian hari Pelabuhan Makassar. Tercatat 23.545 ton
2. O.P.I.X. di dalam TT VII mendapat beras didistribusikan melalui kedua
instruksi/perintah langsung dari peabuhan tersebut. (Arsip Muhammad
panglima Saleh Lahade, No. Reg. 273). Perdagangan
3. O.P.I.X ini dibantu oleh suatu staf antar wilayah ini tentunya memberikan
khusus dampak pada perputaran uang di Sulawesi
4. Segala soal-soal ekonomi seperti Selatan dan juga berpengaruh terhadap

158
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

harga komoditi beras, lebih jelasnya disimak melalui tabel 1.6 berikut:
mengenai harga beras tersebut dapat
Tabel 1.6: Perkembangan Harga Beras Di Indonesia Tahun 1955-1956
Harga Beras 1955 (Dalam Harga Beras 1956 (Dalam Rupiah/Kg)
Rupiah/Kg)
Januari 2.76 Januari 3.84
Februari 3.09 Februari 3.92
Maret 3.10 Maret 3.89
April 2.91 April 3.26
Mei 2.98 Mei 3.18
Juni 3.04 Juni 3.19
Juli 3.26 Juli 3.01
Agustus 3.53 Agustus 3.20
September 3.46 September 3.37
Oktober 3.42 Oktober 3.51
Nopember 3.74 Nopember 3.44
Desember 3.67 Desember 3.50
Rata-rata pertahun 3.41 Rata-rata pertahun 3.61

Sumber: Bulog. 1970 Seperempat Abad Bergelut Dengan Butir-Butir Beras Jakarta: Badan
Urusan Logistik. Hlm : Lampiran I

PENUTUP ialah intervensi militer dalam dunia


perdagangan melalui O.P.I. X. TT-VI
Dengan memerhatikan bentang alam
Wirabuana. Jadi secara umum dapat
Sulawesi Selatan dan potensi lahan
dikonklusikan bahwa beras selain bernilai
produktif untuk ditanami padi, maka tidak
ekonomis, beras juga mampu menciptakan
dapat dinafikan bahwa daerah Sulawesi
jejaring ekonomi, pun beras memiliki nilai
Selatan merupakan daerah penghasil beras,
politik.
dengan luas areal persawahan di kurun
tahun 1946-1950 yang mencapai angka
372.864 hektar telah mampu memproduksi DAFTAR PUSTAKA
beras lebih dari 71.000 ton. Selain itu,
dengan kehadiran pelabuhan-pelabuhan di Buku
pesisir barat Sulawesi Selatan, yakni Anonim. 1953. Republik Indonesia :
Makassar dan Parepare, serta di pesisr timur Propinsi Sulawesi. Makassar :
Sulawesi Selatan yakni, Pallime dan Bajoe Djawatan Penerangan Propinsi
telah memunculkan aktivitas perdagangan Sulawesi.
di mana salah satu komoditas dagangnya
adalah beras. Selain itu, adanya pelabuhan Ammarell, G., 2016. Navigasi Bugis.
tersebut juga telah menciptakan satu Makassar : Penerbit Ininnawa
jaringan perdagangan dari Makassar ke Ahmad, Taufik & Syahril Killa. 2015. Awal
wilayah timur – barat demikian pula Kebangkitan dan Keruntuhan
sebaliknya. Walaupun demikian, tidak Pelabuhan Pallime di Bone. Makassar:
dapat dinafikan bahwa pada satu masa Pustaka Refleksi
kegiatan perdagangan beras di Sulawesi
Asba, Rasyid. 2007. Kopra Makassar
Selatan sempat terganggu dengan adanya
Perebutan Pusat dan Daerah : Kajian
gerakan DI/TII Sulawesi Selatan yang salah
Sejarah Ekonomi Politik Regional di
satu muaranya adalah tindakan-tindakan
Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor
penyelundupan beras, salah satu upaya yang
Indonesia.
dilakukan saat itu untuk meredam aksi ini

159
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

BULOG. 1970. Seperempat Abad Bergulat dan Pembangunan Propinsi Sulawesi‖


Denga Butir-Butir Beras. Jakarta: (Panitia DKP Prosul). Salinan. April-
Badan Urusan Logistik. Mei 1955.
Macknight, C. C., 1976. Voyage to Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi
Marege’: Macassan trepangers in Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip
northern Australia. Diterjemahkan Pemda Barru. No.,Reg. 179. Surat-
oleh Anwar Jimpe Rahman, Ihsan surat dari Pemerintah Swapraja Tanete
Natsir., dan Abd. Rahman Abu (Ed). yang berhubungan dengan masalah
2018. The Voyage to Marege : Pencari penyelundupan beras dari daerah
Teripang dari Makassar di Australia. Barru, antara lain ke Kalimantan.
Makassar: Penribit Inninawa Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi
Mears, Leon A. 1982. Era Baru Ekonomi Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip
Perberasan Indonesia. Yogyakarta: Pemda Selayar. Volume I 1823-1973.
Gadjah Mada University Press. No.,Reg. 1471. Surat-surat KPN
Selayar menyangkut masalah kopra,
Poelinggomang, E.L., 2016. Makassar
antara lain perdagangan gelap kopra,
Abad XIX Studi Tentang Kebijakan
izin pengangkutan kopra, stock kopra
Perdagangan Maritim. Jakarta:
eks yayasan kopra 1950-1958.
Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan yayasan Adikarya
IKAPI dan The Ford Foundation.
Makalah / Skripsi / Tesis / Disertasi /
----------------------------, et.,al. 2004. Jurnal
Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Cet. Ambo Sakka, Abdul Rasyid A. 2003.
1. ed. Badan Penelitian dan ―Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra
Pengembangan Daerah, Provinsi Makassar 1888-1958‖. Disetrasi.
Sulawesi Selatan : Makassar. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Universitas Indonesia.
Sejarah. Jogjakarta: Ombak. Anwar, Muhammad Vibrant. 1996.
―Terbentuknya Kota Pelabuhan
Makassar Studi kasus Tonggak Awal
Arsip / Dokumen / Lembaran Negara :
Pembentukan Kota Makassar Pada
Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi Masa Kerajaan Gowa Tahun 1510-
Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip 1653‖. Skripsi. Jakarta: Fakultas Sastra
Pribadi Muhammad Saleh Lahade Universitas Indonesia.
1937-1973. No.,Reg. 273. Berkas
Evita, A. Lili. 2018. Sianre Bale : Pasang
mengenai kegiatan perdagangan beras
Surut Ekonomi Maritim di Indonesia
di daerah Territerium VII Indonesia
Timur 1946-1950 dalam Prosiding
Timur, antara lain: kegiatan Jajasan
Seminar Nasional IKAJIS 1 edisi 10
Beras dan Jajasan Urusan Bahan
Februari 2018-Memorial Lecture Dr.
Makanan.
Edward L. Poelinggomang. Makassar :
Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi Universitas Hasanuddin.
Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip
Demmalino, Eymal Basyhaar. 2018.
Pribadi Muhammad Saleh Lahade
Pa’lopian : Kepanritaan dalam
1937-1973.No.,Reg. 325. Surat
Pemanfaatan Sumberdaya Anugerah
Keputusan Bersama Gubernur
dan Kiprahnya dalam Percaturan
Sulawesi dan Panglima TT-VII
Wirabuana mengenai pembentukan Ekonomi Nasional dalam Prosiding
Seminar Nasional IKAJIS 1 edisi 10
―Panitia Pembentuk Dana Keamanan
Februari 2018-Memorial Lecture Dr.

160
Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

Edward L. Poelinggomang. Makassar : Poelinggomang, Edward L. 2011.


Universitas Hasanuddin. Padewakang dan Pinisi: Kajian
Kemaritiman Sulawesi Selatan, dalam
Rahman, Hamid Abd. 2018. Jaringan
Jurnal IKAHIMSI Edisi I, No.2, Juli-
Pelayaran Mandar Akhir 1940-an :
Desember Palu: Ikatan Himpunan
Antara Monopoli dan Perdagangan
Mahasiswa Sejarah Se Indonesia
Bebas dalam Prosiding Seminar
bekerja sama dengan Penerbit Ombak.
Nasional IKAJIS 1 edisi 10 Februari
2018-Memorial Lecture Dr. Edward L. Rafiuddin, Muhammad. 2011.
Poelinggomang. Makassar : ―Perdagangan Budak di Makassar pada
Universitas Hasanuddin. Abad XVII‖. Skripsi. Makassar:
Fakultas Ilmu Sosial Universitas
----------------------------.2018. Pelayaran
Negeri Makassar.
Lintas Selat Makassar : Perkembangan
Jaringan Maritim Mandar dalam Era Saransi, Ahmad & Nahdia Nur. 2018.
Revolusi dalam Jurnal Abad Jurnal Sulawesi dalam Jaringan Dunia
Sejarah Volume 02 Nomor 1 Edisi Juni Maritim Abad 17-20. Prosiding
2018. Jakarta : Abad Jurnal Sejarah Seminar Nasional IKAJIS 1 edisi 10
Februari 2018-Memorial Lecture Dr.
Malihu, L., 1998. ―Buton dan Tradisi
Edward L. Poelinggomang. Makassar :
Maritim : Kajian Sejarah tentang
Universitas Hasanuddin.
Pelayaran Tradisional di Buton Timur
(1957-1995)‖. Tesis. Jakarta : Program Subair, Ahmad. 2018. ―Jaringan
Pascasarjana Universitas Indonesia Perdagangan Senjata pada Masa
Gerakan DI/TII Sulawesi Selatan
Maryam, Siti. 1999. ―Perdagangan Beras Di
Tahun 1950-1965‖. Tesis. Makassar :
Sulawesi Selatan Tahun 1930-1940‖.
Program Pascasarjana UNM.
Skripsi. Makassar: Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin. Umar, Yuliani. 1990. ―Bandar Somba Opu
Sebagai Sumber Penghasilan Kerajaan
Najamuddin. 2000. ―Sulawesi Selatan:
Gowa Sampai Tahun 1667‖. Skripsi.
Pergumulan Antara Negara Federal
Jakarta: Fakults Sastra Universitas
Dan Negara Kesatuan 1946-1949‖.
Indonesia.
Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia.
Nur, Nahdia. 2003. ―Produksi dan
Pemasaran Beras di Sulawesi Selatan
1900-1943‖. Tesis. Yogyarta : Program
Pascasarjana UGM.
-----------------. 2017. ―Jejaring Perdagangan
dan Integrasi Ekonomi : Sejarah
Ekonomi Sulawesi Bagian Selatan
1902-1930-an‖. Disertasi : Program
Pascasarjana UGM.
Nur, Nahdia, Bambang Purwanto, dan
Djoko Suryo, Perdaganagn dan
Ekonomi di Sulawesi Selatan pada
Tahun 1900-an sampai dengan 1930-
an. Jurnal Ilmu Budaya Vol. 4. No. 1.
Edisi Juni, 2016

161
PENGUATAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN
DI KOTA PAREPARE
(REINFORCEMENT OF FOOD SECURITY INSTITUTIONAL
IN THE CITY OF PAREPARE)

Ansar Arifin dan Syamsul Bahri


Departemen Antropologi FISIP UNHAS
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Sur-el: ansararifin@gmail.com
Sur-el: syamsulbahrihabibi@yahoo.co.id

ABSTRACT
The article explains two important things, i.e. the problem of food security institutional in the poor
households in the city of Parepare; alternative models of food security institutional for poor fishermen
households that are in accordance with the demands of development. This study uses the Cluster
Porpose Sampling method. The samples are social groups, service social institutions, and community
organizations that are purposively selected, and analyzed using sociometric and descriptive analysis
models. Data collection techniques use survey methods and in-depth interviews, as well as focus-
group discustion (FGD) methods. The result of this study indicates that traditional food security
institutional is already exist for a long time in poor fishing communities in the city of Parepare as a
form of adaptation to the problem of poverty. Nevertheless, population growth and food needs are
increased, it is necessary to manage more complex food security. Therefore, local food institutional
needs to be supported by modern organizational system in order to strengthen local food security
institutional. Vice versa, modern institutional needs to be supported by local institutional that have
been practiced for a long time by the poor in the city of Parepare.
Keywords: food security; institutional strengthening; poorness.

ABSTRAK
Artikel ini menjelaskan dua hal penting, yakni soal kelembagaan ketahanan pangan dalam rumah
tangga miskin di Kota Parepare dan model alternatif kelembagaan ketahanan pangan rumah tangga
nelayan miskin yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. Penelitian ini menggunakan metode
Cluster Porpose Sampling. Sampelnya adalah kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga sosial
kenelayanan, dan organisasi kemasyarakatan yang dipilih secara purposif dan dianalisis dengan model
analisa sosiometrik dan deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei dan in-
depth interview (wawancara mendalam) serta metode focus-group discustion (FGD). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kelembagaan ketahanan pangan tradisonal telah ada sejak dahulu dalam
masyarakat nelayan miskin di Kota Parepare sebagai bentuk adaptasi terhadap persoalan kemiskinan.
Tetapi, karena pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan meningkat sehingga dibutuhkan
manajemen ketahanan pangan yang lebih kompleks. Oleh sebab itu, kelembagaan pangan lokal perlu
ditopang oleh sistem organisasi modern demi memperkuat kelembagaan ketahanan pangan lokal.
Demikian pula sebaliknya, kelembagaan modern perlu ditopang oleh kelembagaan lokal yang sudah
lama dipraktikkan oleh masyarakat miskin di Kota Parepare.
Kata Kunci: ketahanan pangan; penguatan kelembagaan; kemiskinan.
PENDAHULUAN kemiskinan (Sallatang, 2002). Masalah
kemiskinan sudah merupakan isu global
Kelaparan tidak memiliki tempat
yang berkaitan langsung dengan
tinggal, bila sakit tidak memiliki dana untuk
kemanusiaan dan telah banyak menguras
berobat merupakan beberapa ciri yang
para ahli untuk merumuskan konsep
dikaitkan dengan suatu kondisi
penyelesaiannya. Salah satu pendapat yang
ketidakcukupan yang disebut sebagai
162
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

muncul adalah pendapat Ickis (dalam bagian dari sistem sosial masyarakat Kota
Supriatna, 2000) bahwa kemiskinan itu Parepare.
terkait erat dengan strategi pembangunan Belakangan ini, permasalahan
pedesaan. Dengan demikian, Ickis pemantapan ketahanan pangan terkait
mengajukan empat strategi penanggulangan dengan berbagai aspek, terutama isu-isu
kemiskinan, salah satunya adalah the tentang meningkatnya jumlah penduduk,
welfare strategy yang berkaitan dengan keterbatasan sumber daya alam dan sumber
persoalan ketahanan pangan (Supriatna, daya manusia, meningkatnya kasus kurang
2000). gizi, kemiskinan, bencana alam, instabilitas
Ketahanan pangan pada tataran sosial ekonomi politik, tuntutan mutu dan
nasional merupakan kemampuan suatu liberalisasi perdagangan internasional,
bangsa untuk menjamin seluruh pemenuhan hak asasi manusia, dan
penduduknya memperoleh pangan dalam sebagainya. Isu-isu ini mendorong perlunya
jumlah yang cukup, mutu yang layak, menciptakan ketahanan pangan secara
aman, dan juga halal yang didasarkan pada nasional, provinsi, kabupaten/kota,
optimasi pemanfaatan dan berbasis pada kecamatan, sampai pada ketahanan pangan
keragaman sumber daya domestik. Salah pada tingkat rumah tangga. Hal ini menjadi
satu indikator untuk mengukur ketahanan lebih penting karena terbukti bahwa selama
pangan adalah soal ketergantungan dan ini ketahanan pangan belum sepenuhnya
ketersediaan pangan nasional terhadap dapat memenuhi kebutuhan penduduk.
import. Mewujudkan ketahanan pangan yang
Ketahanan pangan telah menjadi isu berkelanjutan sebagai upaya untuk
sentral dalam kerangka pembangunan membangun integrasi nasional yang
nasional. Namun, persediaan pangan yang mantap, diperlukan perubahan sosial, yaitu
cukup secara nasional tidak serta-merta percepatan proses perubahan dan
menjamin ketahanan pangan, baik di tingkat pertepatannya secara berencana, ke arah
regional maupun rumah tangga dan yang lebih baik atau lebih tinggi
individu. Meskipun secara nasional tingkatannya dari waktu ke waktu, tahap
persediaan pangan mencukupi, namun demi tahap secara berkelanjutan. Lebih baik
munculnya kasus kerawanan pangan dan atau lebih tinggi tingkatannya, berdasarkan
ditemukannya bayi dan anak balita atas atau sesuai dengan nilai-nilai (values)
berstatus gizi buruk di berbagai daerah di yang dianut oleh masyarakat yang
Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat bersangkutan. Oleh karena itu, perlu
dipungkiri. melakukan pembangunan lembaga
Peningkatan kebutuhan pangan harus ketahanan pangan secara reformatif.
berbanding lurus dengan peningkatan Artinya, melakukan improvisasi
jumlah penduduk dan kesempatan kerja. (pengembangan/ penyempurnaan) lembaga
Ketahanan pangan terkait dengan kondisi ketahanan pangan yang telah ada sekarang.
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga Perwujudan ketahanan pangan tanpa
yang tercermin bagi tersedianya pangan memperhatikan kelembagaan masyarakat
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, relatif tidak menunjang keberlanjutan
aman, merata, dan terjangkau. Hal ini tentu ketahanan pangan, baik pada tingkat
saja berkaitan dengan banyak faktor, di nasional maupun pada tingkat rumah
antaranya; jenis pangan, produksi, dan tangga. Ketahanan pangan dapat
distribusinya. Namun, yang lebih penting, berkelanjutan apabila memanfaatkan
ialah norma-norma sosial yang beroperasi kelembagaan ketahanan pangan masyarakat
mengatur sehingga ketahanan pangan tidak yang menjadi lingkungan sosial budayanya.
hanya terwujud, tetapi juga terpelihara. Untuk mengidentifikasi kelembagaan
Singkatnya, ketahanan pangan menjadi masyarakat yang menunjang ketahanan
pangan rumah tangga masyarakat, perlu

163
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

dikaji tentang kelembagaan ketahanan Lembaga kemasyarakatan senantiasa


pangan dalam rumah tangga miskin di Kota terbentuk atas dasar corak daerah tertentu
Parepare dan model alternatif kelembagaan sesuai dengan ciri masyarakat yang
ketahanan pangan rumah tangga miskin mendiami daerah tersebut. Meskipun
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. semua lembaga mempunyai sifat saling
Berkaitan dengan kelembagaan ketergantungan dalam masyarakat,
masyarakat Robert MacIver (1931) namun masing-masimg lembaga disusun
mengemukan bahwa kelembagaan dan diorganisasi secara sempurna di sekitar
masyarakat menyangkut tata cara atau rangkaian-rangkaian pola-pola norma, nilai
prosedur yang telah diciptakan untuk perilaku yang diharapkan. Ide-ide lembaga
mengatur hubungan antara manusia yang pada umumnya diterima oleh mayoritas
berkelompok dalam suatu kelompok anggota masyarakat, tidak peduli apakah
kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi. mereka turut berpartisipasi atau tidak
Horton dan Hunt (1993) menyatakan bahwa dalam lembaga tersebut.
kelembagaan adalah suatu sistem hubungan Pembangunan lembaga adalah suatu
sosial yang terorganisasi yang perspektif tentang perubahan sosial yang
memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur direncanakan dan dibina. Hal itu
bersama dan yang memenuhi kebutuhan menyangkut inovasi-inovasi yang
dasar tertentu masyarakat. Adapun Berger menyiratkan perubahan-perubahan
& Luckman (1991) mendefinisikan sebagai kualitatif dalam norma-norma, pola-pola
pola yang sudah pasti mengenai tingkah kelakuan, hubungan-hubungan perorangan
laku manusia. dan hubungan-hubungan kelompok, dan
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-
(1993) mendefinisikan institusi sebagai tujuan maupun cara-cara. Temanya yang
sistem hubungan sosial yang terorganisasi dominan adalah inovasi.
yang mewujudkan nilai-nilai dan tata Titik tolak untuk pembangunan
cara umum tertentu dan memenuhi lembaga adalah definisi mengenai
kebutuhan dari masyarakat tertentu. pembangunan lembaga yang dirumuskan,
Suatu kelembagaan yang berkembang dan sebagai; perencanaan, penataan, dan
dipertahankan dalam suatu masyarakat, bimbingan dari organisasi-organisasi baru
sedikitnya mempunyai tiga fungsi, yaitu; 1) atau yang disusun kembali yang; (a)
memberikan pedoman kepada anggota- mewujudkan perubahan-perubahan dalam
anggota masyarakat bagaimana mereka nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-
harus bertingkah laku atau bersikap dalam teknologi fisik, dan/atau sosial; (b)
menghadapi berbagai masalah dalam menetapkan, mengembangkan, dan
masyarakat, utamanya yang menyangkut melindungi hubungan-hubungan normatif
kebutuhan-kebutuhannya; 2) menjaga dan pola-pola tindakan yang baru; dan (3)
keutuhan masyarakat yang bersangkutan; memperoleh dukungan dan kelengkapan
dan 3) memberikan pegangan kepada dalam lingkungan tersebut.
masyarakat untuk keperluan dalam sistem Kerangka konseptual ini memberikan
pengendalian atau pengawasan sosial suatu cara untuk mengidentifikasi metode-
(social control). metode operasional dan strategi tindakan
Lembaga kemasyarakatan atau yang dapat membantu orang-orang praktik
lembaga sosial (social institusion) adalah dan mereka secara aktif berkecimpung
keseluruhan norma dari semua jenis dan sebagai pengantar-pengantar perubahan,
tingkatan untuk keperluan pokok di dalam khususnya dalam keadaan-keadaan lintas
kehidupan masyarakat, untuk budaya. Mac.Iver (1931), mengemukakan
mempertahankan nilai-nilai penting syarat-syarat kelompok sosial antar lain; (1)
(pattrened norm integrated around a setiap anggota kelompok harus sadar
principal a function of society). bahwa dia merupakan sebagian dari

164
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

kelompok yang bersangkutan; (2) ada nasib yang sama, kepentingan yang sama,
hubungan timbal balik antara anggota yang tujuan yang sama, idiologi politik yang
satu dengan anggota yang lain; (3) ada sama dan lain-lain; dan (4) berstruktur,
suatu faktor yang dimiliki bersama, berkaidah dan mempunyai pola perilaku;
sehingga hubungan antara mereka dan bersistem dan berproses.
bertambah erat. Faktor ini dapat berupa

Gambar 1. Universum Pembangunan Lembaga.

Gambar di atas memperlihatkan lima yang merupakan keluaran dari lembaga


kelompok variabel lembaga yang tersebut. Dengan demikian, maka program
dirumuskan dengan cara sebagai berikut: adalah terjemahan dari doktorin ke dalam
Pertama; Kepemimpinan menunjuk pada pola-pola tindakan yang nyata, dan alokasi
„kelompok orang yang secara aktif energi-energi dan sumber daya-sumber
berkecimpung dalam perumusan Doktorin daya lainnya di dalam lembaga itu sendiri
dan program dari lembaga tersebut dan dan yang berhubungan dengan lingkungan
yang mengarahkan operasi-operasi dan ekstern. Keempat, sumber daya adalah
hubungan-hubungannya dengan lingkungan masukan-masukan keuangan, fisik,
tersebut. Kepemimpinan dipandang sebagai manusia, teknologi, dan penerangan dari
satu-satunya unsur yang paling kritis dalam lembaga tersebut. Jelaslah bahwa
pembangunan lembaga karena proses- persoalan-persoalan yang tercakup dalam
proses perubahan yang dilakukan dengan pengerahan dan dalam menjamin
sengaja itu, memerlukan manajemen yang tersedianya sumber daya tersebut secara
intensif, terampil, dan yang telah mantap dan yang dapat diandalkan
mengikatkan dirinya secara mendalam, mempengaruhi tiap segi dari kegiatan-
baik dalam hubungan-hubungan intern kegiatan lembaga dan merupakan kesibukan
maupun lingkungan. Kedua, Doktorin yang penting dari semua kepemimpinan
dirumuskan sebagai: „spesifikasi dari nilai- lembaga. Kelima, struktur intern
nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode dirumuskan sebagai struktur dan proses
operasional yang mendasari tindakan yang diadakan untuk bekerjanya lembaga
sosial‟. Doktorin dipandang sebagai tersebut dan bagi pemeliharaannya.
sederetan tema yang memproyeksi, baik di Untuk memudahkan analisa,
dalam organisasi itu sendiri maupun dalam dibedakan empat jenis kaitan: (1) Kaitan-
lingkungan eksternnya, seperangkat citra kaitan yang memungkinkan (enabling),
dan harapan-harapan mengenai tujuan- yakni „dengan organisasi-organisasi dan
tujuan lembaga dan gaya-gaya tindakan. kelompok-kelompok sosial yang
Ketiga, Program menunjuk pada „tindakan- mengendalikan alokasi wewenang dan
tindakan tertentu yang berhubungan dengan sumber-sumber daya yang diperlukan oleh
pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa lembaga tersebut untuk berfungsi‟. (2)

165
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kaitan-kaitan fungsional yakni „dengan yang ditarik secara purposif, dan dianalisa
organisasi-organisasi yang menjalankan dengan model analisa sosiometrik dan
fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan deskriptif. Teknik pengumpulan data, yaitu
pelengkap dalam arti produksi, yang survei, in-depth interview dan focus-group
menyediakan masukan-masukan dan yang disussion (FGD).
menggunakan keluaran-keluaran dari
lembaga tersebut. (3) Kaitan-kaitan
PEMBAHASAN
normatif, yakni „dengan lembaga-lembaga
yang mencakup norma-norma dan nilai- Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal
nilai lokal (positif dan negatif) yang relevan di Kota Parepare
bagi doktrin dan program dari lembaga
tersebut‟. (4) Kaitan-kaitan tersebar, yakni Masyarakat di daerah penelitian, baik
„dengan unsur-unsur dalam masyarakat pada tipe agroekosistem pantai, sawah
yang tidak dapat dengan jelas diidentifikasi maupun pada tipe agroekosistem lahan
oleh keanggotaan dalam organisasi formal‟. kering, bahwa dalam pemenuhan kebutuhan
pokok sehari-hari, hampir semua pekerjaan
yang dilakukan selalu berhubungan dengan
METODE kelompok. Hampir tidak ada pekerjaan
Penelitian ini dilakukan di seluruh yang dapat dilakukan dengan sendiri-
wilayah Kota Parepare, meliputi: sendiri. Anggota kelompok ini saling
Kecamatan Bacukiki, Bacukiki Barat bekerja sama satu sama lain. Dalam kerja
Kecamatan Soreang, dan Kecamatan Ujung. sama tersebut untuk melakukan pekerjaan
Pada dasarnya ada beberapa jenis studi dan diterapkan aturan-aturan atau norma-norma
teknik pengumpulan data yang diterapkan yang telah lama mereka yakini dan
untuk kajian ini adalah: (1) Community pertahankan. Karena itu hampir seluruh
Studies, dengan maksud untuk masyarakat (juga responden) mengatakan
mendapatkan data mengenai profil bahwa dalam urusan ketersediaan bahan
masyarakat miskin terutama yang makanan terdapat aturan-aturan atau norma-
berhubungan dengan kelembagaan norma yang berkaitan dengan pekerjaan
ketahanan pangan. (2) Stakeholders studies, mereka sehari-hari. Hal ini dapat
dimaksudkan untuk mendapatkan data dan dikategorikan sebagai modal sosial di mana
informasi mengenai pandangan/penilaian masyarakat memiliki nilai-nilai yang
para pemangku kepentingan atau diyakini bersama sebagai perekat sosial ke
stakeholders (Pemerintah, DPRD, kalangan arah yang positif (Fukuyama, 2005; 2006).
Lembaga non-pemerintah, pakar/akademisi Khususnya di tipe agroekosistem pantai,
dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya kelompok yang berkembang adalah
tentang berbagai regulasi, kebijakan kelompok kerja sama nelayan yang
maupun implementasi dari kebijakan yang beranggotakan 5-7 orang, antara lain
berhubungan dengan berbagai aspek kelompok pa’bagang yang beranggotakan
kelembagaan yang distudi. (3) Policy 12-15 orang dan kelompok nelayan pancing
Impact Studies (PIS). (4) Studi literatur. (pa’tongkol) yang beranggotakan 2-5 orang.
Sebelum penelitian lapangan dilakukan, tim Dari penuturan masyarakat (melalui
peneliti terlebih dahulu melakukan kajian responden dan informan) kerja sama ini
terhadap laporan-laporan studi mengenai berfungsi untuk meningkatkan keberanian
kelembagaan pangan. (5) Kajian historis dan meningkatkan semangat kerja, bukan
mengenai kelembagaan pangan. sebaliknya munculnya rasa takut dan
kesepian. Selain itu, kerja sama ini
Metode yang digunakan dalam
berfungsi sebagai sarana peningkatan
penelitian ini adalah metode Cluster
kerukunan dan kekompakan antarsesama
Porpose Sampling. Sampelnya adalah
yang bukan hanya anggota kelompok,
kelompok-kelompok/lembaga/ organisasi
melainkan juga seluruh anggota keluarga.

166
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

Kelembagaan nelayan di Kota mereka. Aturan-aturan tersebut


Parepare terdapat beberapa kelompok kerja dilaksanakan tanpa paksaan berjalan seiring
nelayan, antara lain: (1) Pa’roppong adalah dengan kehidupan mereka. Dalam
kelompok nelayan yang menggunakan memperoleh (produksi) bahan makanan di
perahu sande’ dengan alat pemikat rumpon, Kota Parepare, berdasarkan keterangan
yaitu rangkaian bambu yang dibentuk informan dan responden terdapat
menyerupai rakit dan diberi batu labuh keterangan tentang aturan-aturan atau
sebagai jangkar agar tidak mudah hanyut norma-norma yang dianut masyarakat.
serta di bahagian bawahnya diikatkan Selanjutnya, terdapat pula aturan-aturan
beberapa pelepah daun kelapa tempat ikan atau norma-norma yang mereka yakini dan
berkerumun. Daun kelapa dan bambu pada senantiasa masih dilaksanakan. Selain itu,
alat rumpon mengeluarkan bau yang aturan-aturan ini relatif masih disampaikan
disukai oleh ikan-ikan kecil sehingga pada anak-anak mereka untuk tetap
berkumpul disekitar alat rumpon. diperhatikan dan dilaksanakan. Aturan-
Kemudian, ikan-ikan kecil yang berkumpul aturan itu antara lain; pada saat akan
menjadi santapan bagi ikan-ikan besar. (2) berangkat melaut (menangkap ikan) tidak
Pangoli adalah kelompok nelayan yang boleh ada alat-alat yang akan digunakan
sifatnya “liar” karena mereka menangkap jatuh ke tanah, tidak boleh ada anak-anak
ikan pada rumpon milik orang lain yang kecil yang menangis apabila menjelang
sedang tidak digunakan pemiliknya. (3) keberangkatan, tidak boleh berselisih
Pajjala adalah kelompok nelayan yang dengan anggota keluarga (terutama istri),
menggunakan perahu jenis ba’go’. (4) selalu berkata jujur dan bertutur kata yang
Pappuka’ adalah kelompok nelayan yang baik, dilarang duduk-duduk di pintu,
menggunakan jaring insang (puka’) untuk dilarang mencari kutu di tangga khususnya
menangkap ikan terbang. (5) Palladung kaum wanita, dilarang menyapu ketika akan
adalah nelayan yang menangkap ikan pergi melaut, apabila ada yang meminta
merah/bambangan dengan menggunakan pinjaman, baik itu berupa uang maupun
pancing ladung. (6) Potangga adalah barang, sebaiknya ditunda hingga
kelompok nelayan yang lebih terfokus pada suami/anggota keluarga telah kembali dari
penangkapan ikan terbang dengan telurnya. laut. Sebaliknya, pada saat hendak
Nelayan ini menggunakan bubu yang melaut/berlayar untuk mencari ikan, ada
terbuat dari bambu (buaro). Bubu itu diberi beberapa syarat (norma) yang harus
rumput-rumput agar ikan terbang senang dipenuhi antara lain; hati yang tenang,
berkerumun dan bertelur di tempat itu. keadaan/situasi yang tenang, dan alam yang
Mereka biasanya menggunakan 12 sampai tenang.
25 buah bubu. Bubu-bubu ini sengaja Tingkah laku yang umumnya
dihamparkan ke laut dan diberi tali pengikat dilakukan oleh para nelayan sebelum
yang dikaitkan pada perahu. berangkat untuk berlayar mencari ikan,
Bagi masyarakat Kota Parepare, yaitu; hati yang tenang sebelum
makanan dalam kehidupan mereka meningalkan rumah untuk berlayar;
merupakan hal yang sakral untuk keadaan tenang, tidak ada masalah dalam
diberlakukan karena itu dalam memperoleh, rumah tangga; alam tenang, tidak ada
mengelolah, dan menghidangkannya tanda-tanda yang mengkhawatirkan ketika
terdapat aturan-aturan yang dianut. Aturan- di tengah laut nantinya; tidak boleh ada
aturan ini diyakini dapat mendatangkan teguran yang menanyakan tujuan pada saat
rezeki untuk kelangsungan pangan dalam hendak berangkat melaut/berlayar; dan cuci
rumah tangga. Aturan atau norma ini telah kaki sebelum naik ke perahu atau kapal.
menjadi kebiasaan masyarakat yang Dalam agroekosistem pantai
diperoleh secara tak tertulis (secara turun terutama usaha tani tambak, terdapat pula
temurun) dari orang tua dan tetangga unsur-unsur budaya (norma, nilai,

167
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

kepercayaan, pengetahuan, dan simbolisasi) buang nafas akan berarti kosong. Demikian
antara lain: Bibit ikan (nener) dan udang pula dengan padi yang ditanam akan
(benur) dilemparkan dalam sebuah baskom dipercaya berisi untuk dinikmati hasilnya.
pada saat ada transaksi antara pedagang Makan-makan dahulu sebelum menabur
bibit dengan petani tambak. Petani tambak benih/bibit (nasi/songkolo). Diadakan
akan mengamati bibit, jika bibit berputar dengan sederhana dan memohon
dalam baskom ke arah kanan, akan keselamatan agar padi yang ditanam
dipercaya bahwa bibit tersebut akan terhindar dari segala macam gangguan serta
menguntungkan untuk dipelihara. Ke arah bisa dinikmati dalam waktu yang tidak
kanan adalah arah yang berlawanan dengan terlalu lama.
arah jarum jam. Pada saat penebaran bibit Menyambut kembali bibit yang
akan dilakukan keadaan harus tenang ditabur dengan cara memercikkan ramuan
(konsentrasi dalam niat), air dalam baskom air tertentu dengan maksud mengusir segala
bibit harus tenang, dan alam pun harus bala yang mungkin akan menimpa.
tenang. Selanjutnya, untuk tipe agroekosistem
Berpakaian lengkap (celana, baju, lahan kering, sektor perkebunan
sarung, kopiah) dan bersih (baru). Sebelum merupakan lahan yang sangat potensial
penebaran benih duduk berjongkok di untuk mengembangkan berbagai komoditi.
pinggir/tepi tambak menghadap ke arah Dicatat bahwa kemampuan komoditi
tertentu dan mengucapkan mantra kepada tertentu untuk membantu kesejahteraan
malaikat yang menguasai tambak sebagai rumah tangga pada umumnya berhubungan
ungkapan pemberitahuan. Sebelum panen, dengan penyesuaian antara tanaman, lahan
petani tambak mengamati ikan di dalam dan iklim. Pada lahan kering dapat
tambak lebih dahulu untuk mengamati dikembangkan berbagai komoditi seperti
gerakannya, yaitu apabila serupa seperti cengkeh, kakao(coklat), kopi, lada, vanili,
pada saat menabur benih. Jika ikan dan banyak lagi. Komoditi-komoditi
bergerak ke kanan dinyatakan telah siap tersebut merupakan komoditi ekspor yang
panen. Gerakan ke kanan melambangkan memiliki prospek pasar cukup tinggi.
arti/makna yang baik, rezeki masuk – ini Tanaman-tanaman ini memerlukan
dianalogikan gerak melingkar tangan kanan pengelolaan dan perawatan yang efektif
ke arah kiri dan masuk ke bagian tubuh. agar dapat dinikmati hasilnya secara
Ketenangan dianalogikan bahwa tidak optimal.
ada gangguan baik pada ikan dan tambak, Petani kebun atau lahan kering
maupun petani tambak serta seluruh sebagian besar memercayai dan meyakini
keluarganya. Adapun gerak ikan ke kanan adanya norma-norma dan nilai-nilai budaya
pada saat hendak dipanen melambangkan dalam bercocok tanam. Ada beberapa cara
keuntungan dan rezeki yang diperoleh. Pada yang biasa mereka lakukan, misalnya pada
masyarakat tipe agroekosistem sawah saat akan menanam atau memanen tanaman
berkembang pula norma-norma atau aturan- jangka panjang mereka, seperti berikut:
aturan yang berkenaan dengan padi. Padi Disediakan terlebih dahulu tanaman-
merupakan salah satu hasil produksi pada tanaman yang hendak mereka tanam yang
usaha tani sawah dan merupakan bahan bisa dinikmati. Dinikmati berarti bahwa
makanan pokok. Dalam proses produksinya mereka (petani) akan bisa menikmati
terdapat juga unsur-unsur budaya yang langsung hasil usahanya sebelum
diyakini/dipercaya oleh masyarakat seperti meninggal. Pada saat bibit akan
berikut; ketika hendak menabur benih dimasukkan ke dalam lubang/tanah, harus
petani membaca mantra; pada saat menarik nafas agar apa yang ditanam bisa
melempar/menabur benih padi diharuskan berhasil. Menarik nafas diartikan tanaman
mengisap nafas panjang, maknanya yaitu akan berisi, adapun buang nafas berarti
mengisap nafas artinya berisi, adapun akan kosong. Cara menanam pisang, yakni

168
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

tanaman yang akan ditanam disimpan mengakibatkan kesengsaraan dunia dan


sejauh sembilan langkah dari lubang dalam akhirat.
beberapa saat. Pisang tersebut dipikul Sekalipun kearifan lokal mengenai
hingga sampai ke lubang dan ketahanan pangan sudah ada dalam detak
mengembungkan mulut/pipi ketika hendak dalam jantung kebudayaan masyarakat
memasukkannya ke dalam lubang tersebut. miskin Kota Parepare seperti yang sudah
Sembilan langkah dianalogikan bahwa pada dipaparkan di atas. Namun, pertumbuhan
saat pisang berbuah kelak bisa jumlah penduduk menjadikan masalah
menghasilkan sembilan sisir, adapun ketahanan pangan ini semakin kompleks.
dipikul artinya agar pisang yang berbuah Kebutuhan pangan ini berbanding lurus
kelak akan membuat pemiliknya mendapat dengan jumlah populasi dan berbanding
beban yang berat untuk mengangkutnya lurus pula dengan tingkat eksploitasi
(jumlah/hasilnya besar). Menggembungkan lingkungan; semakin tinggi jumlah populasi
mulut/pipi artinya buah yang dihasilkan semakin tinggi pula kebutuhan pangan dan
kelak akan berukuran besar (membuat semakin tinggi kebutuhan pangan, semakin
mulut/pipi menggembung jika tinggi pula daya eksploitasi demi produksi
memakannya). pangan secara besar-besaran (Diamond,
Keyakinan masyarakat terhadap 2015). Oleh karena itu, masyarakat
unsur-unsur budaya (nilai, norma, membutuhkan negara sebagai manifestasi
kepercayaan, teknologi, dan simbolisasi) kekuasaan yang mengatur dan memenuhi
menjadi kebiasaan dan sudah menjadi kebutuhan populasi yang jumlahnya
tradisi yang turun temurun. Adapula cara banyak, termasuk dalam hal pemenuhan
atau unsur budaya yang terkandung dalam pangan (Diamond, 2015).
hal menyimpan hasil produksi, mengambil Lingkup kota seperti Parepare tak
bahan makanan, mengolah bahan makanan dapat lagi disamakan dengan bentuk
dan sikap ketika menghadapi makanan, komunitas yang memenuhi kebutuhannya
antara lain: Menyimpan padi di tempat yang secara subsistem. Lingkup kota adalah
patut/semestinya (lumbung). Menyimpan lingkup kekuasaan negara yang secara
padi dan mengambil dari lumbung langsung bersentuhan dengan masalah
dilakukan dengan khidmat, sekurang- peningkatan jumlah populasi dan
kurangnya mencuci kaki terlebih dahulu, peningkatan kebutuhan pangan. Oleh sebab
memakai baju serta sarung ikat. Pada waktu itu, manajemen ketahanan pangan lokal
menjemur dan menumbuk padi, harus harus beradaptasi dengan peningkatan
dijaga jangan sampai terburai dan dilarikan kebutuhan pangan ini. Dibutuhkan
ayam. Ketika makan tidak boleh bercakap- manajemen kelembagaan ketahanan pangan
cakap atau berjalan-jalan, sehingga jangan yang lebih kompleks yang diatur menurut
sampai nasi terburai dan ada tersisa di pola-pola modern tanpa mengabaikan
piring sesudah kenyang. Api di dapur tidak manajemen ketahanan pangan lokal yang
boleh padam. Tempayan tempat sudah ada. Berikut akan dijelaskan model-
menyimpan air (gusi) tidak boleh kering model alternatif kelembagaan.
dan tempat menyimpan beras
Alternatif Model Pelembagaan
(pabbarasang) harus ditutup dan tidak
boleh kosong. Perempuan tidak boleh Berbicara tentang kelembagaan atau
bertengkar di depan dapur. Semua aturan- institusi, umumnya pandangan orang lebih
aturan atau norma-norma ini kalau tidak diarahkan kepada organisasi, wadah atau
dilaksanakan dan diyakini akan pranata. Organisasi hanyalah wadahnya
mendatangkan kesialan atau malapetaka saja, adapun pengertian lembaga mencakup
serta rendahnya atau tidak adanya rezeki juga aturan main, etika, kode etik, sikap,
dalam berusaha. Hal ini akan dan tingkah laku seseorang atau suatu
organisasi atau suatu sistem. Bayangkan

169
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

apa yang akan terjadi di dalam suatu tim yang dibentuk. Mulai dari kelembagaan
kerja, kelompok masyarakat atau tim yang menangani produsen pangan,
olahraga tertentu ada organisasi tetapi tidak pemasaran dan distribusi pangan,
ada aturan mainnya? permodalan untuk kegiatan terkait pangan,
Kebijakan adalah intervensi keamanan pangan, industri pangan, dan
pemerintah (dan publik) untuk mencari cara berbagai aspek pangan lainnya.
pemecahan masalah dalam pembangunan Kelembagaan ini ada yang merupakan
dan mendukung proses pembangunan yang kelembagaan resmi pemerintah, murni
lebih baik. Kebijakan adalah upaya, cara, swadaya masyarakat, atau yang merupakan
dan pendekatan pemerintah untuk mencapai kolaborasi formal atau non-formal antara
tujuan pembangunan yang sudah pemerintah dan masyarakat.
dirumuskan. Kebijakan bisa juga Kinerja kelembagaan pangan tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk masih belum memenuhi harapan berbagai
memperkenalkan model pembangunan baru pihak. Hal ini sering disebabkan karena
berdasarkan masalah lama. Kebijakan juga pengelola kelembagaan tersebut tidak
adalah upaya untuk mengatasi kegagalan berasal dari populasi individu yang
dalam proses pembangunan. Kegagalan itu memang secara langsung menggeluti
bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, masalah pangan. Sebagai contoh, pengurus
kegagalan pemerintah dan negara, organisasi petani sering bukan dari
kegagalan dalam bidang kelembagaan, kalangan petani sehingga sulit untuk
kegagalan dalam ketahanan pangan, diharapkan dapat memahami masalah-
perdagangan dan pemasaran dan masalah aktual dalam kegiatan usaha tani
sebagainya. dan sulit untuk diharapkan akan
Kelembagaan dan kebijakan selalu memperjuangkan secara tepat kepentingan-
menjadi isu penting dalam pengelolaan kepentingan petani. Pada dasarnya memang
pesisir, pertanian atau pembangunan kelembagaan petani tersebut (koperasi,
umumnya. Sejarah menunjukkan bahwa di kelompok tani) dibentuk terutama
negara-negara maju kelembagaan yang baik membantu tugas pemerintah, bukan untuk
merupakan kunci dari keberhasilan meningkatkan marjin keuntungan usaha
pengelolaan negara, pembangunan, pasar, tani.
perdagangan atau bisnis. Selama ini Kelembagaan non-pemerintah yang
pemerintah cenderung lebih menekankan memayungi petani, nelayan, peternak, atau
pada pembangunan ketahanan pangan kelompok masyarakat pangan lainnya
dengan mengutamakan pembangunan sering memanfaatkan besarnya populasi
infrastruktur fisik, teknologi, ketahanan kelompok ini untuk kepentingan politik,
pangan dan politik. Sangat sedikit sehingga warna kelembagaan yang
diperhatikan pembangunan infrastruktur seharusnya lebih berbasis profesi menjadi
kelembagaan (institusi). Di lain pihak kabur. Kegiatan pertanian, peternakan,
kebijakan pemerintah cenderung tidak perkebunan, perikanan, industri pangan,
konsisten, selalu berubah dan sulit dan lainnya sering hanya digunakan sebagai
dilaksanakan secara utuh. „kendaraan‟ untuk mencapai tujuan politik.
Ini memerlukan perhatian yang serius Kondisi ini sangat berbeda dengan
karena pada dasarnya hampir semua organisasi serupa di negara-negara maju.
kegagalan pembangunan bersumber dari Kelembagaan pemerintah yang
dua persoalan fundamental, yaitu kegagalan ditugasi untuk menjaga stabilitas harga dan
kebijakan dan kegagalan kelembagaan. Hal ketersediaan komoditas pangan telah lama
ini karena perlu model optimalisasi terbentuk, tetapi baru menjamah komoditas
pembangunan lembaga. Dalam rangka ikut beras saja. Adapun komoditas pangan
menangani masalah penyediaan pangan lainnya belum ditangani sehingga baik
bagi masyarakat telah banyak kelembagaan stabilitas harga, maupun ketersediaannya

170
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

masih jauh dari kondisi terkendali. dengan institusi negara. Hal ini penting
Pengendalian ketersediaan dan harga beras sebab ketika demokrasi terlembaga dalam
masih sering menghadapi kendala, baik pemerintahan perwakilan, mereka yang
disebabkan oleh fluktuasi produksi dan memegang peran cenderung membangun
keragaman mutu beras yang dihasilkan oleh jarak dengan konstituen sehingga warga
petani, maupun terkendala oleh membangun solidaritas mengekspresikan
keterbatasan kapasitas finansial dan sarana interest dalam sebuah institusi untuk
penyimpanan yang dimiliki oleh pemenuhan hak-hak mereka dalam berbagai
kelembagaan tersebut. Perubahan status bidang.
kelembagaan ini menjadi perusahaan umum Aktualisasi konsep tersebut terlihat
(perum) yang akan membatasi perannya ketika rakyat yang selama ini hanya
dalam pengendalian ketersediaan dan harga menjadi silent majority dan banyak di
beras. manupulasi kepentingannya, secara drastis
Dalam hal pelembagaan ketahanan memiliki akses yang luas untuk terlibat
pangan rumah tangga miskin, ada dua dominan dalam arena perumusan kebijakan.
model pendekatan yang relevan dalam Ruang kekuasaan pemerintah menjadi
pengambilan kebijakan, yaitu: Pertama; menyempit dan mengakibatkan nilai tawar
Model zero-sum, merupakan hasil adaptasi organisasi masyarakat sipil menjadi
dari fenomena pengalihan kekuasaan dalam meningkat. Model ini efisien dari segi biaya
kajian ilmu politik. Teori ini mendasarkan sebab kewenangan yang dilimpahkan
diri pada konstanta bahwa sedemokratis menjadi tanggung jawab mandiri pihak
apapun sebuah tata pemerintahan, selalu yang mengelola kewenangan tersebut.
ada konflik dalam pengelolaan Dalam konteks pelembagaan ketahanan
kewenangan, sebab besaran kewenangan pangan sebagai institusi masyarakat lokal
yang dimiliki lebih didasarkan pada (sipil), lahirlah kebijakan-kebijakan
preferensi politik kaum elit. Apabila pemberdayaan yang bersifat pragmatis dan
penguasa melimpahkan kewenangannya berusaha memberikan kewenangan yang
secara luas kepada masyarakat, pemerintah luas kepada masyarakat untuk melakukan
akan kehilangan daya untuk mengatur dan perencanaan, pelaksanaan hingga
menciptakan social order. Teori zero sum monitoring & evaluasi kebijakan.
game merefleksikan adanya pengambil- Institusi partisipasi ini kemudian
alihan peran secara drastis dari penguasa dibekali sistem dan dibebankan program
kepada pihak yang sebelumnya tidak yang bersifat blue print, dimana
memiliki kekuasaan. Transfer otoritas ini kelengkapan alat, metode pelaksanaan,
mengakibatkan pemerintah menjadi anggaran dan sumber daya manusia harus
kehabisan energi sehingga tidak mampu diupayakan sendiri oleh institusi yang
berperan dominan dalam manajemen sektor bersangkutan. Kelembagaan ketahanan
publik. Implikasi dari pendekatan zero-sum pangan secara independen memfasilitasi
adalah pemerintah enggan melakukan pembentukan struktur kerja sama
pemberdayaan kepada masyarakat atau antarinstistusi dan melakukan pembinaan
institusi masyarakat sipil. intensif dengan simpul-simpul jaringan
Terdapat garis demarkasi yang jelas lembaga. Harapannya adalah perluasan
antara pemerintah vis a vis warga sipil peran yang terjadi di puncak stuktur akan
dalam relasi negara dan masyarakat. Model merembes ke unit-unit terkecil dalam
ini banyak ditemukan pada pengalaman insitusi. Hubungan kemitraan dibangun
pemberdayaan civil society dalam tradisi secara struktural dengan pemerintah daerah
Anglo-Amerika yang melihat asosiasi atau dan pembagian kewenangan yang detail di
lembaga pemberdayaan sebagai elemen antara kedua belah pihak dan diatur secara
dalam masyarakat yang menjadi legal-formal.
intermediator antara individu dan keluarga

171
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Prinsipnya bahwa pemerintah daerah Model positive-sum lebih fokus pada


tidak memiliki wewenang dan peran yang pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu
cukup untuk mengintervensi setiap usulan secara kolektif, lebih menekankan pada
program yang ditawarkan oleh warga. penilaian (appraisal) terhadap lingkungan
Tingkat akomodasi usulan program ekternal dan internal, dan berorientasi pada
ditentukan dengan kemampuan jejaring tindakan. Model ini mensyaratkan
organisasi masyarakat untuk membangun pengumpulan informasi secara luas,
kekuatan dalam arena pengambilan ekplorasi alternatif, dan menekankan
keputusan. Dalam konteks upaya implikasi masa depan. Kewenangan
pelembagaan ketahanan pangan, level startegis pemerintahan tidak mengalami
individu disentuh dengan melakukan difracted (pemencaran) secara drastis, tetapi
pembenahan drastis melalui pelimpahan lebih kepada hal-hal yang bersifat teknis
wewenang untuk peningkatan pengetahuan, dan operasional. pelaksanaan kewenangan
keahlian, kompetensi, dan pemberian yang dilimpahkan didasarkan pada aspek
motivasi personal yang diupayakan secara efektivitas out-come yang diperoleh. Dalam
internal oleh anggota organisasi hal pelembagaan ketahanan pangan rumah
petani/nelayan miskin. tangga miskin, pemerintah membangun
Pada level organisasi, intervensi kemitraan yang sejajar dengan pihak
pemerintah dalam pola rekruitmen, anggota masyarakat dalam menggerakkan
penataan struktur kerja, distribusi perluasan partisipasi secara gradual dan
wewenang dan penguatan jejaring relatif memberikan asistensi teknis pada
menjadi tanggung jawab mandiri pihak operasionalisasi kegiatan pemberdayaan
organisasi petani/nelayan miskin. kelembagaan. Kelompok-kelompok tani/
Pemerintah hanya berperan dalam nelayan miskin berupaya memanfaatkan
membangun sistem melalui perangkat fasilitas dan anggaran yang disediakan
hukum, kebijakan pendukung dan pemerintah untuk melakukan peningkatan
lingkungan yang kondusif guna mengontrol kapasitas individual dan penataan
aktivitas institusi dalam kegiatan ketahanan organisasi. Tingkatan sistem dibenahi
pangan masyarakat. Model ini dengan melalukan penyesuian terhadap
membutuhkan prakondisi berupa kapasitas tuntutan dan aspirasi masyarakat yang
individu yang memadai dan kapasitas berkembang.
organisasi yag adaptif sehingga mampu Pemerintah menyiapkan strategi
bernegosiasi dan berkompetisi dengan kebijakan dalam skala waktu opersional
pihak pemerintah dalam memobilisasi tertentu hingga pengembangan
sumber daya pembangunan. Kedua; Model kelembagaan ketahanan pangan telah
Positive-Sum. Model yang kedua mengarah pada kemandirian yang
merupakan antitesis dari model yang terbangun dari hasil sinergi antar stake-
pertama. Jika pada proses pelimpahan holders pembangunan. Pola pembinaan
kewenangan model zero-sum yang dilakukan secara menyebar di seluruh
mengakibatkan berkurangnya power and unit terkecil kelompok sehingga dapat
authority bagi pihak penguasa, model memperkuat basis legitimasi dalam
positive-sum mencerminkan prinsip yang mengambil tindakan yang berdimensi luas
berlawanan. Ketika terjadi proses bagi masyarakat.
pengembangan kapasitas dan pemberdayaan Model positive-sum ini memiliki
dari pihak yang berkuasa atau pemerintah prasyarat yang harus disiapkan untuk
kepada pihak yang lemah, justru akan keberlanjutan opersionalnya. Faktor utama
semakin memperkuat power dan otoritas adalah ruang dan waktu yang cukup, oleh
pihak yang pertama. Selain itu, keyakinan sebab tindakan manajemen model ini
diusung model ini adalah penekanan aspek dilakukan secara demokratis dan
generatif. melibatkan para stake-holder kebijakan

172
Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

yang lain. Tahapan-tahapan yang Di sini terdapat dua model alternatif


ditempuhnya pun harus diasistensi dan kelembagaan ketahanan pangan yang
dikontrol secara ketat oleh kedua belah ditawarkan, yakni: Pertama, Model zero-
pihak guna meminimalkan inkonsistensi sum, merupakan model yang merefleksikan
tindakan dalam operasionalisasi kebijakan. adanya pengambilalihan peran secara
Tindakan intervensi yang dilakukan drastis dari penguasa kepada pihak yang
pemerintah lebih pada bersifat teknis dan sebelumnya tidak memiliki kekuasaan.
pengelolaan kewenangan strategis dan Dengan demikian, model ini menekankan
oprasional menjadi otoritas internal pada pengalaman pemberdayaan civil
kelompok-kelompok masyarakat. society dalam tradisi Anglo-Amerika yang
Pendekatan ini dapat memfasilitasi melihat assosiasi atau lembaga
terjadinya proses pemberdayaan pemberdayaan sebagai elemen dalam
kelembagaan yang berkelanjutan dengan masyarakat yang menjadi intermediator
diikuti adanya iktikad baik untuk mengubah antara individu dan keluarga dengan
keadaan, dari tidak berdaya maupun institusi negara. Kedua, Model positive-sum
menjadi penuh daya. Pengalihan energi ini yang lebih fokus pada pengidentifikasian
tidak melalui medium konflik melainkan dan pemecahan isu-isu secara kolektif, lebih
lahir dari suatu sinergi yang egaliter dengan menekankan pada penilaian (appraisal)
kesadaran akan pentingnya aspek generatif terhadap lingkungan ekternal dan internal,
untuk terus berlangsung. dan berorientasi pada tindakan.
Kekuatan dan kapasitas yang
meningkat dalam lembaga ketahanan DAFTAR PUSTAKA
pangan akan memberikan kontribusi yang
positif bagi pemerintah, bukan sebaliknya Berger, Peter. L. & Luckman Thomas.
mengambilalih kewenangan dan peran 1991. The Social Construction of
pemerintah. Kapasitas individu, organisasi Reality. Penguin Books: London.
dan sistem yang meningkat pada institusi Diamond, Jared. 2015. The World Until
masyarakat sipil akan menjadi Yesterday: Apa yang Dapat Kita
penyeimbang bagi public sector dan private Pelajari dari Masyarakat
sector dalam menjalin kemitraan yang lebih Tradisional?. Kepustakaan Populer
bermakna. Gramedia (KPG): Jakarta.
Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan
PENUTUP Besar: Kodrat Manusia dan Tata
Salah satu unsur pokok yang harus Sosial Baru. PT. Gramedia Pustaka
ditekankan dalam model pelembagaan Utama: Jakarta.
ketahanan pangan adalah nilai-nilai lokal Fukuyama, Francis. 2002. Trust Kebajikan
(modal sosial) yang sudah lama dianut oleh Sosial dan Penciptaan Kemakmuran.
suatu masyarakat. Secanggih apapun Yogyakarta: Penerbit Qalam.
konsep kelembagaan yang dirumuskan dari
luar, mustahil dapat bekerja lebih baik jika Hobsbawn, D. J. Poverty, Dalam
mengabaikan nilai-nilai budaya lokal yang International Encyclopedia Of The
ada. Oleh sebab itu, demi membangun suatu Social Sciences, Editor David L. Sill,
kelembagaan yang kuat dan utuh adalah Vol. XII, Macmillan and Free Press,
tetap penting untuk memahami secara hal. 398.
mendalam nilai-nilai yang bermakna modal Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, (1993).
sosial (social capital) yang dianut oleh Sosiologi. Penerbit Erlangga: Jakarta.
suatu masyarakat dan mengorganisirnya
atau menyandingkannya dengan pola-pola Kerlingger, Fred N, 2005. Asas-asas
dan manajemen kelembagaan modern. Penelitian Behavioral, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

173
Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Klijn Eric-Hans and Joop Koppenjan,


2000). ‘Public Management And
Policy Network Foundation Of a
Network Approach to Governance’,
Public Management, Vol. 2 Issue 2,
2000.
MacIver, Robert Morrison. 1931. Society:
Its Structure and Changes. R. Long &
R. R. Smith, Incorporated: New York.
Sallatang, M. Arifin. 2002. Krisis
multidimensional di Indonesia.
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Supriana, Tjahya, 2000, Strategi
Pembangunan dan Kemiskinan,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

174

Anda mungkin juga menyukai