Anda di halaman 1dari 10

Bahan bacaan 11.

Memahami Kearifan Lokal (Local Wisdom)

A. Kebudayaan
Kearifan lokal muncul sebagai hasil hubungan antara masyarakat dengan
lingkungan. Melalui kesabaran dan daya ingatnya manusia membaca isyarat alam
dari peristiwa sederhana sampai peristiwa yang sulit dipahami masyarakat umum.
Contoh sederhana pelajaran yang ditangkap manusia adalah, sebelum hujan langit
akan mendung. Isyarat ini sudah jamak karena secara umum masyarakat
memahami. Ada juga isyarat alam yang hanya terjadi pada tempat tempat tertentu,
misalnya gejala gunung akan meletus ditandai dengan turunnya hewan, dimana
peristiwa tersebut tidak terjadi di daerah lain. Isyarat alam ada juga yang hanya
dapat diterjemahkan oleh orang-orang tertentu karena dianggap misterius, sehingga
ada pengangkatan juru kunci sebagai orang yang dianggap mampu membacana
isyarat tersebut. Dapat dinyatakan bahwa kearifan lokal merupakan produk budaya
yang bersifat khas dan unik sebagai penanda masyarakat tertentu.
Kearifan lokal berwujud gagasan pemikiran yang bersifat abstrak, tidak
dapat dilihat tapi diyakini kebenarannya, perilaku aktual yang menunjukkan
gagasan harus diimplementasikan dalam tindakan atau perilaku, dan berwujud
artefak atau benda-benda yang diperuntukkan dalam merespon gejala alam. Artefak
merupakan perwujudan paling rasional untuk menjelaskan bagaimana manusia
merespon dinamika hubungan manusia-lingkungan. Secara geografis satu lokasi
dengan lokasi lain berbeda, baik kondisi ketinggian tempat, jenis tanah, kesuburan,
sumber daya alam, maupun faktor iklim. Keberagaman faktor fisik tersebut
menumbuhkan keragaman respon manusia. Bahkan dengan kondisi fisik yang
samapun respon bisa berbeda, baik karena waktu maupun perubahan pemikiran.
Keberagaman itulah yang menjadi dasar kearifan lokal. Kearifan lokal tidak
menunjukkan keunggulan satu kelompok masyarakat lain yang bersifat horizontal
karena setiap kelompok masyarakat punya keunikan sendiri-sendiri, tetapi sebagai
petunjuk betapa sebenarnya mereka berdaya.
Kearifan lokal merupakan produk budaya, adapun budaya dapat dimaknai
dari beberapa perspektif. Secara sempit budaya dipahami sebatas kesenian
berwujud tari-tarian, musik, dan kerajinan. Secara universal budaya dipahami
sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia (Koentjaraningrat). Budaya dapat
secara operasional didefinisikan sebagai pengetahuan, keyakinan dan nilai-nilai
yang dimiliki oleh orang-orang di masyarakat yang digunakan sebagai panduan
untuk melihat dunia mereka, ia berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan situasi
yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menghasilkan tindakan yang berarti
dalam menangani situasi ini dan mendapatkan manfaat dari itu. Budaya terdiri dari
sistem dikategorikan, untuk mengkategorikan diri mereka sendiri dan situasi yang
dihadapi, baik di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri yang disesuaikan dengan
kelompok dan masyarakat serta dengan masyarakat setempat, Hasil sistem kategori
dalam konsep yang ada sebagai budaya (Parsudi Suparlan, 1986).
Hubungan manusia-alam setidaknya dapat dilihat berdasarkan paradigma
atau teori determinisme lingkungan. Teori determinisme lingkungan, atau
‘environmentalism’ secara lugas menyatakan bahwa kegiatan manusia di muka
bumi ditentukan oleh lingkungan. Kehidupan manusia sepenuhnya tergantung pada
ketersediaan sumber daya alam. Di mana manusia hidup, maka dia akan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan sejarahnya, teori ini pernah
mengalami kejayaannya sebagai pendekatan ilmiah para ahli ilmu-ilmu sosial
sampai dasawarsa kedua abad ke dua puluh. Tokoh-tokoh seperti Hippocrates,
Plato, Polybius, Ptolemy, Bodin, Montesqieu, Ratzel, Huntinton, Davis, Semple,
dan Mason adalah sejumlah nama besar yang dianggap sebagai penganut teori ini.
Mereka percaya bahwa kemanusiaan dan budaya ditentukan oleh bentuk-bentuk
lingkungan alam, dan bahwa fenomena kebudayaan dapat dijelaskan dan
seharusnya diramalkan melalui dasar kerangka acuan kepada lingkungan alam
dimana mereka tinggal.
Bodin misalnya, mengemukakan suatu contoh bagaimana kesuburan habitat
dari daerah aliran sungai (DAS) bertanggung jawab dalam melahirkan peradapan-
peradapan besar. Montesqiue, seorang sarjana terkenal, menekankan pengaruh
lingkungan alam terhadap kehidupan politik masyarakat. Dia memperlihatkan
hubungan antara iklim dengan ‘perbudakan’ dan ‘perhambaan’. Despotisme dan
perbudakan di Asia menurut Montesqiue disebabkan oleh iklim yang panas di
wilayah tersebut. Sebaliknya Eropa yang beriklim dingin memungkinkan
penduduknya untuk memperjuangkan kebebasan. Nampak analisis itu memberi
penguatan bahwa lingkungan alam memberi arah aktivitas manusia.
Hubungan manusia dengan alam menghasilkan bentang geografi yang
menjadi pembeda satu wilayah dengan wilayah lain di permukaan bumi karena
perbedaan pengetahuan dan perubahan kemampuan manusia dalam mengolah alam
(Eva Banowati, 2013).

B. Konsep Kearifan Lokal


Dilihat dari susunan kata, kearifan lokal mendeskripsikan tentang sifat-sifat
lokal yang menunjukkan kearifan, kebijaksanaan, penuh nilai, diyakini dan
dipertahankan masyarakat setempat, dan dianggap mempunyai kelebihan dan
keluwesan dalam menghadapi tantangan lingkungan fisik dan sosial. Lokal berarti
setempat (Hasan Syadily dalam Sartini, 2004), sedangkan arif dimaknai sebagai
kebaikan, kebijaksanaan, keutamaan dan istilah lain yang mempunyai makna
positif. Kearifan lokal berarti hal-hal positif yang berkaitan dengan kebijaksanaan
daerah tertentu sebagai branding yang membedakan dengan daerah lain. Kearifan
lokal juga dimaknai sebagai kecerdasan lokal sebagai wujud respon manusia dalam
menghadapi kondisi lingkungan fisik dan sosial yang selalu mengalami perubahan.
Kita akan menemukan bentuk-bentuk aktivitas masyarakat yang bersifat khas, unik,
dan berbeda dengan daerah lain sehingga dianggap tetenger wilayah tertentu, baik
secara fisik, maupun tingkah laku keseharian.
Semakin unik daerah tersebut akan semakin mampu mencitrakan diri
sebagai daerah yang penuh nilai-nilai keluhuran. Keunikan tersebut muncul karena
nilai-nilai yang muncul di daerah tersebut senantiasa disimpan, dijaga, dan
diimplementasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, baik terwujud
dalam pemikiran, aktivitas, maupun artefak yang dapat dideteksi.
Karifan lokal muncul karena tantangan alam mendorong aktivitas manusia
tidak bisa dihentikan. Hubungan manusia dengan lingkungan fisik dan sosial
merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari, sehingga manusia dituntut kreatif
dan cerdas menjawab tantangan tersebut. Beragam jenis tantangan yang dihadapi
oleh masyarakat, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Globalisasi menjadi
tantangan masyarakat lokal untuk mempertahankan identitas dirinya agar tetap
eksis sehingga mampu tetap dikenali sebagai masyarakat yang tidak terkikis nilai-
nilai kecerdasannya.
Kearifan lokal dapat dinyatakan sebagai kepribadian, identitas kultural
masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan
khusus yang telah teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan secara terus
menerus. Kearifan lokal pada prinsipnya benilai baik dan merupakan keunggulan
budaya masyarakat setempat dan berkaitan dengan kondisi geografis secara luas.
Menurut Keraf (2002), kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Menurut Wagiran (2012), kearifan lokal dalam bahasa asing sering
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat
(local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga
dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar
jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat
diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk
perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal
akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi luhur. Dalam pengertian kebahasaan
kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi,
kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local
knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas
kebudayaan (cultural identity).
Pengertian kearifan lokal dalam topik ini adalah jawaban kreatif terhadap
situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal yang
mengandung sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat di dalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Semua itu, sebagai upaya untuk
dapat memberikan kepada warga masyarakatnya suatu daya tahan dan daya tumbuh
di wilayah di mana masyarakat itu berada. Lantaran itu, kearifan lokal merupakan
perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui
pandangan hidup, pengetahuan, dan pelbagai strategi kehidupan yang berupa
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya.
Dalam pengertian inilah kearifan lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan
menumbuhkan secara berkelanjutan kebudayaan yang didukungnya.
Setiap masyarakat termasuk masyarakat tradisional, dalam konteks kearifan
lokal seperti itu, pada dasarnya terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan
berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat
mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga masyarakat
secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan, membuat, dan menciptakan
sesuatu yang diperlukan dalam mengolah sumber daya alam demi menjamin
keberlangsungan dan ketersedianya sumber daya alam tanpa mengganggu
keseimbangan alam.
Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi
tanpa disengaja. Artinya, setiap warga masyarakat dapat menghimpun semua
informasi itu dan melestarikannya, serta mewariskannya turun temurun sebagai
upaya melangsungkan kehidupannya. Sejalan dengan perubahan budaya yang
menerpa kehidupan masyarakat, masyarakat juga secara perlahan mengembangkan
pengetahuan yang telah diwariskan, dan kemudian menciptakan metode untuk
membangun pengetahuan. Penciptaan pengetahuan itu pada dasarnya merupakan
cara-cara atau teknologi asli (indigenous ways) guna mendayagunakan sumber daya
alam bagi kelangsungan kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat
mengembangkan suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli – suatu kearifan
lokal (indigenous or local knowledge), yang mencakup berbagai macam cara untuk
mengatasi kehidupan, seperti kesehatan, pangan dan pengolahan pangan, serta
konservasi tanah.
Kearifan lokal yang sedemikian itu, umumnya berbentuk tradisi lisan, dan
lebih banyak berkembang di daerah perdesaan. Pengetahuan itu dikembangkan
karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan
hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan dan nilai-nilai yang dihayati di
dalam masyarakatnya. Karena itu, pengetahuan lokal menjadi bagian dari cara
hidup mereka yang arif, agar dapat memecahkan segala permasalahan hidup yang
mereka hadapi, sehingga mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan,
dapat berkembang secara berkelanjutan.
Kearifan lokal merupakan produk budaya yang keberadaannya tidak bisa
dipisahkan dengan keberadaan masyarakat. Budaya adalah hasil cipta, rasa, dan
karsa yang bersumber pada kepekaan manusia menjawab tantangan lingkungan
sekitar untuk tetap bertahan dan mengembangkan kemampuan kesejahteraan.
Dengan kemampuan berpikir, manusia mengembangkan pengetahuan yang
dimilikinya untuk tidak menyerah pada kondisi lingkungan tertentu, sampai muncul
konsep-konsep gagasan yang dihasilkan, dilanjutkan dengan perilaku adaptif, dan
mengupayakan wujud yang secara fisik dapat dimanfaatkan untuk menaklukan
alam. Peralatan yang digunakan manusia, baik sederhana maupun modern
hakekatnya adalah mengatasi tantangan alam, baik fisik maupun geografis. Periode
sekarang kita mengenal internet dan mobile phone untuk menghubungkan antar
manusia yang terpisah secara geografis. Dengan demikian kecerdasan yang dimiliki
manusia hakekatnya diperuntukkan menjawab tantangan alam.
Tidak semua produk kecerdasan manusia (budaya) dianggap sebagai
kearifan lokal. Perlu diperhatikan pendapat S.Swarsi Geriya (2003), secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia
yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Kearifan lokal dengan demikian adalah nilai yang
dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan
bahkan melembaga.
Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilai-
nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi
berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat
menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu
berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup
atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami
dan melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin
pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu
prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan
cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah
tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait
dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang
menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut.

C. Fungsi Kearifan Lokal


Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam
nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat
dalamperilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-
kebiasaanhidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan
kearifan lokal akantercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok
masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat
diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg
Bali” dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum
adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam
maka fungsinya tentu saja juga bermacam-macam. Balipos terbitan 4 September
2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi” yang
antara lain memberikan informasi tentang fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
 Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
 Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan
dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
 Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya
path upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
 Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
 Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal kerabat.
 Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
 Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan
penyucian roh leluhur.
 Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron
client.

D. Kajian Empiris
1. Pengalaman Empiris Kearifan Lokal
Wilayah Indonesia luas membentang dari Pulau Weh sampai Merauke,
membujur dari Rote sampai Talaud. Di dalamnya terdapat 13.466 pulau (BIG), 546
bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), dan 1.123 suku bangsa
(BPS). Setiap wilayah mempunyai keragaman kondisi fisik yang direspon dengan
cara berbeda-beda oleh masyarakatnya. Respon masyarakat terhadap kondisi
lingkungan terwujud cara berfikir/gagasan, tingkah laku, dan artefak yang
menunjukkan tingginya budaya yang berkembang di lokasi tersebut. Terhadap satu
peristiwa alam respon masin-masing masyarakat berbeda, tergantung pada hasil
pemikiran dan kecerdasan masing-masing daerah, inilah yang menghasilkan
kecerdasan lokal, di mana masing-masing punya keunikan yang menjaga
masyarakat tetap bertahan sampai hari ini.
Kecerdasan tersebut ditujukkan dalam keragaman bentuk rumah sebagai
respon manusia menghadapi tekanan lingkungan, peralatan pertanian yang
beragam, perilaku bercocok tanam, dan deskripsi keyakinan terhadap suatu
peristiwa alam sebagai isyarat yang mereka pahami. Pantangan-pantangan yang
ditradisikan secara lisan lisan turut menjaga masyarakat. Jika diidentifikasi,
masing-masing daerah mempunyai keunikan dan kekhasan yang membedakan
dengan daerah lain. Ciri-ciri yang melekat dari daerah tersebut: a) mampu bertahan
terhadap budaya luar, b) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar, c) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli, d) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu
memberi arah pada perkembangan budaya. Sehingga oleh Mundarjito layak disebut
sebagai kecerdasan lokal yang mampu bertahan.
Indonesia dengan 1.123 suku bangsa mempunyai kekayaan kearifan lokal
yang bisa dijadikan refrensi, diantaranya:
a. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig. Masyarakat bali juga
kaya budaya lokal seperti filosofi Tri Hita Karana (Tiga Sebab Kemakmuran)
yang menekankan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dengan
Tuhan, lingkungan (alam), dan masyarakat (Ave Harysakti).
b. Masyarakat Galesong (Sulawesi Selatan) percaya sepenuhnya bahwa lautan itu
ádalah ciptaan Sang Maha Kuasa sesuai ajaran Islam yang mereka terima, tetapi
merekapun tahu berdasarkan pengetahuan tradisionalnya bahwa Tuhan yang
disebutnya Karaeng Alla Taala telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan
lepada Nabi Hillerek. Sebagai perwujudan rasa Sykur, mereka biasa melakukan
upacara dengan sesajen disertai pembacaan mantra-mantra (Tajudin, 2011).
c. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung
Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai
bagian dan hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya
alam secara hati-hati.
d. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan
terwujud dan kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan
tradisi tanam tanjak.
e. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana’ ulen. Kawasan hutan
dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan
dilindungi oleh aturan adat.
f. Masyarakat Desa Reroja Nusa Tenggara Timur meletakkan d keaktifan lokal
sebagai basis penguatan modal sosial menghadapi bencana.
g. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan
mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi
pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
h. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat.
Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan
hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
Berkaitan dengan mitigasi bencana, setidaknya masyarakat telah
mengembangkan pengetahuan yang dimiliki untuk mengurangi dampak negatif
yang ditimbulkan berupa bangunan fisik yang struktur dan materialnya berasal dari
masyarakat setempat. Bangunan yang dikembangkan masyarakat terbukti mampu
bertahan dari goncangan gempa seperti bangunan di Nias, Flores, Lombok, Bajo,
dan di seluruh wilayah nusantara (Ave Haysakti dan Laode, dkk).
2. Pengalaman Empiris Masyarakat Baduy
Baduy dapat dijadikan refrensi bagaimana gagasan, perilaku, dan artefak
yang mereka hasilkan merupakan perwujudan kearifan lokal dalam mitigasi
bencana sebagaimana dipaparkan oleh Raden Cecep Eka permana, dkk (2011).
Kearifan lokal itu mereka wujudkan dalam beberapa bentuk, diantaranya kearifan
lokal dalam tradisi perladangan, pada bangunan rumah, dan perlindungan hutan dan
air.
a. Kearifan lokal dalam tradisi perladangan.
Perladangan merupakan kegiatan bercocok tanam yang dilakukan
secara berpindah-pindah (shifting, swidden, slash and burn, atau shifting
cultivation). Di Indonesia disebut huma (Jawa Barat), juma (Sumatra), dan
umai (Kalimantan). Menurut Iskandar (1992), perladangan di berbagai wilayah
di dunia telah banyak yang mengalami perubahan karena pertambahan
penduduk yang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin maju, dan perkembangan ekonomi yang cepat. Perubahan tersebut
tidak berlaku di Indonesia. Salah satu kelompok masyarakat yang masih
memegang teguh adat tradisi perladangan itu adalah masyarakat Baduy yang
masih tetap berlangsung hingga detik ini.
Ladang menurut masyarakat Baduy disebut huma. Bekas huma yang
masih baru ditinggalkan disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama
ditelantarkan hingga menjadi semak disebut reuma.Perladangan Baduy
utamanya adalah menanam padi. Selain sebagai makanan pokok, padi juga
merupakan tanaman yang dianggap mulia karena diyakini sebagai penjelmaan
Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Penghormatan
kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen, hingga pascapanen.
Masyarakat Baduy dikenal lima macam huma, yakni: (a) huma serang,
ladang adat kepunyaan bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (Baduy
Dalam), yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun, ladang
dinas selama menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang
rumah puun, (c) huma tangtu, ladang untuk keperluan penduduk Baduy
Tangtu, (d) huma tuladan, ladang untuk keperluan upacara (seperti huma
serang) di Baduy Panamping (Baduy Luar), dan (e) huma panamping, ladang
untuk keperluan penduduk Baduy Panamping.
Huma serang dibuka dan ditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti
dengan huma puun, huma tangtu, lalu huma tuladan dan huma panamping.
Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi ketahanan pangan masyarakat
Baduy. Dalam adat Baduy, padi yang dihasilkan terutama untuk keperluan
upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh diperjualbelikan.
Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara adat Baduy Tangtu dan
keseluruhan Baduy, sedangkan padi dari huma panamping untuk upacara adat
di wilayah panamping. Jika terjadi gagal panen di huma serang, maka padi
upacara diambil dari huma panamping. Jika keduanya gagal panen, maka padi
diambil dari huma tangtu dan huma panamping. Strategi itu merupakan
antisipasi kegagalan panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentu dan
serangan hama.
Masyarakat Badui mempunyai tradisi ngahuru atau ngaduruk, yakni
membakar tebangan sehabis membuka ladang. Dahan, ranting, dedaunan dan
rerumputan bekas potongan/tebasan harus dikeringkan dan dionggokkan untuk
dibakar. Kegiatan pengonggokan ’sampah’ tersebut disebut dangdang (Baduy
Panamping) atau nyampurai (Baduy Tangtu). Kegiatan yang dilakukan adalah
membuat onggokan besar di tengah-tengah ladang yang diperoleh dari
’sampah’ di sekelilingnya, kemudian tidak begitu jauh dari onggokan besar di
tengah tersebut dibuat onggokan-onggokanlebih kecil mengitarinya. Diantara
onggokan-onggokan tersebut tidak boleh ada ’sampah’ yang tersisa agar ketika
pembakaran api tidak menjalar ke mana-mana. Demikian pula, antara
anggokan-onggokan kecil’sampah’ dan batas ladang juga harus dibuat bersih,
agar api tidak menjalar ke luar ladang yang dapatmenyebabkan kebakaran
hutan atau ladang milik warga lain.
Tradisi Baduy juga mengajarkan bahwa dalam perladangan dilarang
(buyut) menggunakan peralatan pacul apalagi bajak. Alat-alat tersebut dapat
menyebabkan tanah menjadi terbolak-balik dan permukaan tanah berubah.
Terbolak-balik dan berubahnya permukaan tanah diyakini akan berdampak
pada ketidakstabilan permukaan tanah dan dapat mengakibatkan tanah longsor.
Oleh karena itu, dalam tradisi menanam benih padi di ladang hanya
menggunakan tongkat kayu (tugal) yang disebut aseuk.Kegiatan menugal atau
membuat lubang-lubang kecil untuk memasukkan benih padi tersebut disebut
ngaseuk.
b. Kearifan lokal pada bangunan tradisional
Bangunan rumah Baduy umumnya berbentuk sama berupa rumah
panggung sederhana dari bahan kayu, bambu, ijuk dan rumbia. Rumah ini
mempunyai ukuran yang hampir sama. Rumah yang sama dan sederhana
tersebut harus sama tidak boleh ada yang tinggi atau rendah dan hidup dalam
kesederhanaan. Rumah Baduy yang berbentuk panggung secara umum
berkaitan erat dengan kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang memiliki
kekuatan netral yang terletak diantara dunia bawah dan dunia atas. Rumah
tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah (sebagai bagian dari dunia
bawah). Oleh karena itu, rumah dibuat dengan cara memasang tiang-tiang
kolong yang ditegakkan di atas batu umpak. Secara khusus, rumah Baduy
berdasarkan susunan vertikalnya merupakan cerminan pembagian jagat raya.
Kaki atau tiang melambangkan dunia bawah (dunia kegelapan, neraka), tubuh
atau dinding dan ruang di dalamnya melambangkan dunia tengah (dunia
kehidupan alam semesta), dan kepala atau atap melambangkan dunia atas
(dunia abadi, kahyangan). Jika rumah tanpa kaki dianggapnya sama saja
dengan hidup di dunia bawah, atau jika rumah menggunakan atap genting,
sama artinya dengan dikubur hidup-hidup (karena genting terbuat dari tanah).
Bangunan tersebut merupakan perwujudan kearifan lokal yang
berkaitan dengan mitigasi bencana gempa karena konstruksi, teknik sambung
dan ikat bangunan, serta penggunaan umpak memberi jaminan keamanan
penghuninya. Konstruksi bangunan rumah menggunakan bahan berasal dari
lingkungan mereka sendiri seperti kayu dan bambu. Struktur bangunan
didirikan atas sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang
persegi empat. Struktur penutup dinding terbuat anyaman bambu (bilik/geribig)
yang dibiarkan warna dan karakter aslinya. Bambu-bambu yang dibelah juga
digunakan untuk menjadi struktur penutup pada pengakhiran anyaman bambu.
Semua rincian konstruksi diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan,
pasak, tumpuan berpaut dan sambungan berkait. Orang Baduy Tangtu dilarang
menggunakan paku dalam pembuatan rumah. Untuk pengikat umumnya
digunakan rotan dan bambu, atau dengan teknik pasak. Struktur lantai rumah
umumnya digunakan bambu yang yang dibuat berbentuk lembaran-lembaran
disebut palupuh. Sementara itu, untuk struktur utama hateup (atap) digunakan
atap rumbia (kiray) dengan bambu dan rotan sebagai pengikat. Jika terjadi
gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari
kerusakan atau kehancuran.
Bangunan tradisional tersebut memiliki kearifan lokal dalam merespon
gempa. Hal itu ditunjukkan dengan: a) struktur bangunan yang terdiri dari
kolom, balok lantai, balok ring, dan lain-lain yang tersusun menjadi
konfigurasi struktur rangka utama, serta ditambah rangka untuk menempelkan
dinding yang sekaligus menyatu dengan struktur utama; b) pondasi bangunan
yang berupa umpak batu ternyata sangat sesuai untuk bangunan yang
mempunyai rangka bangunan yang solid dan kaku; c) sambungan-sambungan
antarkomponen struktur bangunan menggunakan sistem pen dan pasak, dan d)
material struktur utama mengunakan kayu yang bersifat elastis dan liat.
c. Kearifan lokal pada hutan dan air
Masyarakat Baduy dengan penuh kepatutan dari generasi ke generasi
antara lain telah berhasil melindungi kawasan hutan seluas 5.635 hektar di hulu
daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak.
Manfaat perlindungan tersebut telah dinikmati bukan hanya oleh komunitas
Baduy sendiri, tetapi juga rumah tangga dan industri di hilir yang mendapatkan
pasokan air yang lancar dari sekitar 120 sungai dan anak sungai Ciujung. Atas
kearifan tersebut masyarakat Baduy mendapat Kehati Award 2004 dalam
kategori “Prakarsa Lestari Kehati” dari Yayasan Kehati (Kehati, 2009).
Kearifan lokal masyarakat Baduy pada hutan dan air dalam kaitannya
dengan mitigasi bencana banjir dan longsor tercermin dalam fungsi dan letak
hutan dan air. Fungsi hutan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hutan larangan,
hutan dungusan atau dudungusan, dan hutan garapan. Hutan larangan adalah
hutan lindung yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang yang di
dalamnya, bahkan orang Baduy atau pimpinan adat sekalipun. Hutan
dudungusan adalah hutan yang dilestarikan karena berada di hulu sungai, atau
di dalamnya dianggap terdapat keramat atau diyakini sebagai tempat leluhur
Baduy. Sementara itu, hutan garapan adalah hutan yang dapat digarap untuk
dijadikan ladang (huma) oleh masyarakat Baduy secara umum.
Berdasarkan keletakannya, hutan Baduy terbagi atas tiga bagian, yakni
hutan tua (leuweung kolot), hutan ladang (leuweung reuma), dan hutan
kampung (leuweung lembur). Hutan tua disebut juga hutan titipan (leuweung
titipan) terdapat pada puncak-puncak bukit atau gunung. Pohon-pohon yang
terdapat di hutan tua ini tidak boleh dibuka untuk ladang (huma) dan tidak
boleh ditebang, kecuali diambil kayunya secara terbatas untuk kayu bakar.
Kearifan dari konsepsi budaya ini bahwa pohon-pohon besar di puncak bukit
akan menjadi “payung” yang menaungi bukit itu agar tidak terjadi erosi atau
tanah longsor ketika hujan turun. Pohon-pohon di atas bukit juga berguna
untuk menyimpan air sehingga ketersediaan air tanah tidak kekurangan dan
kesuburan tanah tetap terjaga.Hutan kampung yang terdapat di dekat atau
sekitar perkampungan juga tidak boleh dirusak. Apalagi biasanya hutan-hutan
dekat kampung itu juga berada di sekitar sumber-sumber air. Hutan ini perlu
dijaga kelestariannya sebagai upaya menjamin ketersediaan sumber air. Hutan
kampung juga merupakan sumber daya alam yang kaya untuk memenuhi
keperluan seharihari, seperti sumber makanan, air, kayu bakar, dan bahan
untuk memperbaiki rumah.

Anda mungkin juga menyukai