NIM : 1102617089
Pada Februari 1882 saat ia menginjak usia 19 bulan, ia diserang penyakit yang menyebabkannya
menjadi buta dan tuli. Ia menjadi frustasi karena kesulitan berkomunikasi, sering marah, dan sulit
diajar. Ia terus berusaha untuk berbicara, namun tak seorang pun dapat memahaminya termasuk
orang tuanya sendiri. Hal ini membuat nya sering mengamuk dengan membuang semua benda-
benda yang ada di sekitarnya.
Pada 3 Maret 19887 saat usianya menginjak 7 tahun orang tuanya mempercayai Anne Sullivan
menjadi guru pribadi dan pembimbing Hellen agar menjadi lebih baik. Anne Sullivan
(pembimbingnya) juga pernah mengalami hal yang serupa dengan Helen Keller saat ia berusia
14 tahun. Lalu Anne bersekolah di sekolah khusus orang cacat. Anne yang awalnya buta
mendapatkan penglihatannya kembali setelah menjalani operasi. Pengalaman itu memicunya
untuk giat belajar dan menjadi guru yang sangat baik. Ia bisa memahami penderitaan yang
dialami oleh Helen.
Karya Buku
Walaupun Helen Keller memiliki keterbatasan fisik, namun dia berhasil menjadi seorang penulis
hebat. Helen menulis total 12 buku yang diterbitkan dan beberapa artikel. Pada usia 11 tahun,
Helen menulis bukunya yang pertama dengan judul The King Frost (1891). Ada tuduhan bahwa
cerita ini dijiplak dari "The Frost Fairies karya Margaret Canby". Sebuah investigasi atas
masalah tersebut mengungkapkan bahwa Keller mungkin telah mengalami kasus cryptomnesia,
dimana ia memiliki cerita Canby yang dibacakan untuknya tapi lupa tentang hal itu, sedangkan
memori tetap berada di bawah sadarnya.
Pada usia 22, Keller menerbitkan autobiografinya, The Story of My Life (1903), dengan bantuan
dari John Macy dan isterinya, Anne Sullivan. Ini termasuk kata-kata yang Helen tulis dan kisah
hidupnya hingga usia 21, yang ditulis selama waktu kuliahnya.
Pada 1908, Keller menulis The World I Live In (1908) yang memberikan pembaca wawasan
bagaimana perasaannya tentang dunia. Out of the Dark, serangkaian esai tentang sosialisme,
diterbitkan pada tahun 1913.
Autobiografi spiritualnya, My Religion, diterbitkan pada tahun 1927 dan diterbitkan kembali
sebagai Light in my Darkness (Cahaya dalam Kegelapan saya).
2. RAY CHARLES
Ray Charles (23 September 1930-10 Juni 2004), terlahir dengan nama Ray Charles
Robinson adalah salah satu pelopor genre musik Soul yang menggabungkan Rhythm’n’Blues,
Gospel dan Blues. Gaya permainannya sangat dipengaruhi oleh nama-nama besar di dunia Jazz
saat itu, seperti Art Tatum, Nat King Cole, Louis Jordan, Charles Brown, Louis Armstrong.
Beliau sangat berperan besar bagi musik dunia dan terutama perjuangan para kulit hitam di
masanya. Banyak penghargaan yang diberikan kepadanya, beberapa diantaranya adalah Rolling
Stone Magazine memberikannya peringkat ke-10 untuk ‘100 Greatest Artists of All Time’ (2004)
dan peringkat ke-2 untuk ‘100 Greatest Singers of All Time’ (2008). Yang perlu diperhatikan,
beliau adalah musisi yang mempunyai kekurangan, yaitu kebutaan yang dialaminya sejak kecil.
Tapi hal tersebut tidak menghentikannya menghasilkan karya-karya yang masih diingat sampai
sekarang.
3. STEVIE WONDER
4. CLAUDE MONET
Sekolah pertama bagi anak tunanetra di Eropa didirikan di Paris, Perancis pada tahun 1784 oleh
Valentin Hauy. Namun, selama masa-masa rusuh yang mengitari Revolusi Perancis, sekolah
yang didirikan oleh Hauy tersebut untuk sementara luput dari perhatian orang, dan Hauy
melanjutkan pekerjaannya di Berlin dan St. Petersburg di mana dia membantu mendirikan
sekolah-sekolah khusus baru bagi para tunanetra. Selama dua dekade berikutnya sekolah-sekolah
semacam ini berdiri di kota-kota besar lain di seluruh Eropa.
Adapun sekolah khusus bagi para tunanetra pertama di Inggris dibuka di Liverpool pada tahun
1891 dan diikuti oleh sekolah-sekolah di Edinburgh, Bristol, London dan kota-kota besar
lainnya. Pendirian sekolah-sekolah di Inggris tersebut dipelopori oleh badan-badan sukarela
filantropis atau organisasi-organisasi keagamaan, dan sering dilengkapi dengan bengkel-bengkel
kerja dan rumah-rumah khusus untuk para tunanetra dewasa yang disebut asylum (rumah suaka).
Pada awalnya sekolah-sekolah ini memiliki tujuan utama untuk mengajarkan keterampilan-
keterampilan kerja, misalnya piagam pendirian sekolah Liverpool menyebutkan bahwa para
tunanetra akan diberi pelajaran dalam bidang musik atau seni mekanik agar mereka dapat
mandiri dan berguna bagi masyarakat (Best, 1992).
Sejarah pendidikan bagi tunanetra di Indonesia dimulai sejak 6 Agustus 1901. Pada saat itu
didirikan Yayasan Perbaikan Nasib orang-orang buta (Rumah Buta) oleh DR. Ch. A. Westhoff.
Beliau adalah seorang dokter mata berkebangsaan Belanda. Dalam perkembangannya, Rumah
Buta dikelola oleh pihak swasta.
Pada tanggal 1 Nopember 1979, berdasarkan surat keputusan (SK) Mentri Sosial nomor
41/HUK/KEP/XI/79 Wiyata Guna merupakan unit pelaksana tehnik kantor wilayah Departemen
Sosial propinsi Jawa Barat, dengan nama Panti Rehabilitasi Penderita Cacat Mata (PRPCM), dan
berdasarkan surat keputusan (SK) Direktur Jendral Bina Rehabilitasi Sosial nomor
06/KEP/BRS/IV/1994, maka PRPCM berubah nama menjadi Panti Sosial Bina Netra (PSBN)
Wiyata Guna. Pada tahun 2003, berdasarkan keputusan Mentri Sosial nomor 59 /HUK/2003
tanggal 23 Juli 2003 tentang organisasi dan tata kerja PSBN Wiyata Guna Sebagai UPT dibawah
Direktur Jendral pelayanan dan rehabilitasi sosial Departemen Sosial Republik Indonesia dengan
klasifikasi tipe A. Hingga saat ini, eksistensi PSBN Wyata Guna sebagai PSBN tertua di
Indonesia masih dapat dirasakan oleh para tunanetra yang menuntut ilmu bik di lingkungan
Wyata Guna itu sendiri atau di Sekolah Luar Biasa yang berlokasi di sekitar lingkungan Wyata
Guna atau yang bersekolah dan kuliah di tempat lain namun berdiam di PSBN Wyata Guna.
Berbicara tentang pendidikan tunanetra, harus berbicara juga tentang Braille. Braille merupakan
huruf-huruf yang dapat digunakan oleh para tunanetra dalam kegiatan membaca dan menulis.
Braille muncul atas gagasan seorang Perancis bernama Louis Braille. Louis Braille yang lahir
pada 4 Januari 1809, berhasil membebaskan para tunanetra dari ketidakmampuan untuk
membaca dengan menemukan tulisan braille. Tulisan Braille terinsfirasi dari seorang perwira
artileri Napoleon, Kapten Charles Barbier. Barbier menggunakan titik- titik dan garis-garis
sebagai simbol untuk menyampaikan pesan atau perintah kepada serdadunya saat gelap malam,
sehingga tulisan tersebut dinamakan night writting. Mereka membaca simbol titik-titik dan garis-
garis tersebut dengan jalan merabanya. Akan tetapi, huruf-huruf Braiile hanya menggunakan
titik-titik dan ruang kosong atau spasi.
Pada awal munculnya ide untuk membuat huruf-huruf Braille, Louis mencoba huruf-huruf
dengan kombinasi titik dan garis pula, akan tetapi, Louis dan teman-temannya yang sama
mengalami ketunanetraan lebih peka terhadap titik daripada garis. Tulisan Braille pertama kali
digunakan di L'Institution nasionale des Jeunes Aveugles, Paris, saat mengajar siswa-siswa
tunanetra.
Tulisan Braille sempat menuai kontrofersi yang berujung pada dipecatnya D. Pignier dan
dilarang menggunakannya di tempat Louis mengajar. Ini dikarenakan tulisan Braille tidak lazim
sehingga sulit untuk meyakinkan masyarakat akan kegunaan tulisan Braille. Salahsatu penentang
tulisan Braille adalah Dr. Dupau, asisten direktur L'Institution nasionale des Jeulis Aveugles.
Untuk memperkuat gerakan anti Braille, Dupau diangkat menjadi kepala lembaga yang baru.
Pada masanya, semua buku dan transkrip bertulisan Braille dibakar dan disita. Namun, karena
tingkat perkembangan siswa-siswa tunanetra beranjak baik disebabkan adanya tulisan Braille,
menjelang tahun 1847, tulisan Braille kembali diperbolehkan. Pada tahun 1851, tulisan Braille
diajukan kepada pemerintah Perancis agar menjadi tulisan yang diakui. Akhirnya hingga saat ini,
Braille masih menjadi sarana penting bagi keberlangsungan pendidikan tunanetra.
Membaca dan menulis merupakan jantung bagi pendidikan. Selama ini, para tunanetra hanya
mengandalkan huruf-huruf Braille sebagai sarana pendidikan dan sarana komunikasi tullisan.
Namun, pada tahun 1989, lahir sarana baru dalam dunia tehnologi informasi dan komunikasi
yang pengaruhnya sangat signifikan terhadap pendidikan para tunanetra. Sarana baru tersebut
adalah Job Access With Speech (. JAWS).
JAWS pertama kali dirilis pada tahun 1989 oleh Ted Henter. Ted Henter merilis JAWS untuk
memudahkan dirinya yang kehilangan penglihatan pada tahun 1978 karena kecelakaan
kendaraan bermotor. JAWS adalah peranti lunak (software) pembaca layar (screen reader).
JAWS berguna untuk membantu para tunanetra dalam mengoprasikan computer. Dengan JAWS,
para tunanetra akan mampu secara personal mengakses Microsoft windows. Sejak dirilis, JAWS
terus mengeluarkan versi-versi barunya yang bertujuan untuk lebih memperluas akses para
tunanetra terhadap computer. Pada tanggal 3 Nopember 2008, lahir versi baru JFW 10.0, yang
didukung dengan itunes versi 8 dan itunes Store.
Dengan lahirnya JAWS ditengah-tengah para tunanetra, pendidikan tunanetra pun semakin
meningkat. Kebutuhan untuk menyerap ilmu atau informasi tidak hanya didapat dari buku-buku
Braille saja, akan tetapi dapat diperoleh dari buku-buku dalam format compact disk (CD) atau
electronic book (e-book). Tidak hanya itu, belajar dapat dilakukan secara e-learning dengan
memanfaatkan jaringan internet.
Perkembangan Penggunaan JAWS di Indonesia
Penggunaan JAWS di Indonesia dimulai sekitar tahun 1990. JAWS masuk ke Indonesia
digandeng oleh Yayasan Mitra Netra yang berdiri sejak 14 Mei 1991 atas gagasan beberapa para
tunanetra yang memiliki kesadaran untuk kemudahan akses bagi sesamanya. Karena kesadaran
inilah akhirnya JAWS masuk ke Indonesia. Pada awal masuknya pemanfaatan JAWS baru
sebatas pada penggunaan untuk Microsoft Office karena saat itu sistem internet belum siap
dalam penggunaannya. Yayasan Mitra Netra menyelenggarakan kursus komputer bicara
(komputer dengan JAWS untuk para tunanetra. Peserta kursus didominasi oleh siswa dan
mahasiswa para tunanetra yang sedang menempuh pendidikan secara inklusif di sekolah umum
serta perguruan tinggi. Barulah pada tahun 1999, Yayasan Mitra Netra mulai merentangkan
sayapnya dengan program kursus serupa di Yayasan Mitra Netra Perwakilan Bandung. Cara
yang digunakan untuk memperluas akses para tunanetra di seluruh Indonesia terhadap teknologi
komputer dan Internet adalah melalui kerja sama dengan Microsoft Indonesia, pada tahun 2003,
Yayasan Mitra Netra mendirikan Community Training and Learning Center (CTLC) di beberapa
organisasi keunanetraan dan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk para tunanetra di Jakarta,
Bandung, Medan, dan Makasar. Melalui CTLC yang terdiri dari lima lembaga ini (Yayasan
Mitra Netra Jakarta, Kartika Destarata Jakarta, Yayasan Mitra Netra Bandung, YAPTI Makasar
dan Yapentra Medan), Yayasan Mitra Netra menyelenggarakan program pelatihan komputer
bicara bagi generasi muda para tunanetra. Seiring perkembangannya penggunaan JAWS di
Indonesia tidak lagi sebatas menjalankan aplikasi berbasis Microsoft Office, tetapi juga
digunakan untuk berselancar di dunia maya. Selain itu para tunanetra juga mampu mengolah
sendiri website pribadi.
Sumber:
http://miftahinginberbagi.wordpress.com/2010/03/14/sejarah-pendidikan-kebutuhan-khusus-
menuju-inklusi-dalam-kontek-norwegia-dan-eropa/
http://nurfitrianimaulida.blogspot.co.id/2010/12/sejarah-pendidikan-tunanetra.html