Anda di halaman 1dari 6

Perempuan di Titik Nol

Judul buku : Perempuan di Titik Nol


Pengarang : Nawal El Sadaawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2002
Sinopsis :
Firdaus adalah seorang perempuan yang dipenjara dan divonis hukuman mati. Ia tidak
pernah berbicara dengan siapapun, bahkan dengan sipir penjara sekalipun. Ia selalu meludahi
setiap surat kabar yang terdapat gambar seorang pejabat laki-laki atau siapapun laki-laki yang
ada di surat kabar tersebut. Banyak yang menduga ia mengenal semua laki-laki itu secara
pribadi. Tetapi, ia sebenarnya tidak mengenal mereka semua yang ada di gambar surat kabar
tersebut.
Kehidupan Firdaus sangatlah keras. Sejak ia anak-anak ia harus bertahan hidup
menahan lapar, hanya dia yang hidup diantara banyak adik-adiknya. Menurutnya, adik-
adiknya meninggal seperti anak ayam, meninggal satu per satu seperti anak ayam. Dan setiap
ia harus bekerja ke ladang dengan membawa pupuk di atas kepalanya atau membuat adonan
kue. Pernah suatu kali ia menanyakan kepada ibunya bagaimana bias ia terlahir tanpa ayah,
karena dipandangannya semua wajah laki-laki mirip dengan ayahnya. Maka, ibunya
memarahinya dan memukulknya, bahkan ibunya membawa seorang perempuan yang
membawa sebilah pisau untuk memotong secuil daging pada bagian diantara pahanya.
Firdaus senang ketika ia disuruh untuk ke ladang dengan membawa pupuk di atas
kepalanya. Karena, ia lebih senang berada di ladang daripada diam di rumah. Di ladang ia
bias bermain-main dengan kambing menaiki kincir air dan berenang bersama anak laki-laki
di sungai. Ia juga bias dikatakan memiliki teman dekat laki-laki bernama Mohammadain.
Mohammadain selalu mengajaknya bermain pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.
Pada saat itu, Firdaus kecil tidak mengerti apa yang dilakukan Mohammadain terhadapnya,
sehingga ia hanya merasakan nikmat yang ia tak tahu di bagian mana rasa itu timbul. Mereka
akan bermainsampai matahari terbenam ketika ayah Mohammadain memanggilnya dan
Mohammadain berjanji akan kembali keesokan harinya. Tetapi, ibunya tidak pernah
menyuruhnya ke ladang lagi.
Firdaus memiliki seorang paman yang sangat baik kepadanya. Tidak pernah
memukulnya seperti ayah dan ibunya. Pamannya adalah mahasiswa El-Azhar di Kairo. Ia
pulang ke rumah Firdaus ketika masa liburan. Bahkan ketika orang tua Firdaus meninggal,
pamannya lah yang membawanya ke kairo untuk tinggal bersamanya dan disekolahkan oleh
pamannya. Ketika paman Firdaus sudah menikah, ia sering memukuli Firdaus dan
memutuskan untuk memasukkannya ke dalam sekolah asrama yang memiliki asrama. Firdaus
pun tinggal di asrama dan memiliki teman bernama Wafeya yang selalu menjadi teman untuk
bercerita. Dan ia juga mengenal nona Iqbal yang sangat baik kepadanya. Bahkan yang
mendampingi Firdaus ketika mendapatkan nilai terbaik pun nona Iqbal bukan pamannya.
Setelah Firdaus tamat sekolah menengah, ia kembali ke rumah pamannya. Istri pamannya
tidak menghendaki ia tinggal bersama mereka, sehingga mereka memutuskan untuk
menikahkan Firdaus dengan Syekh Mahmoud, seorang saudagar yang usianya sudah
mencapai enam puluh tahun. Malang nasib Firdaus, ia harus menerima nasibnya untuk
tinggal bersama duda tua yang memiliki bisul di bagian muka dan bibirnya yeng
menimbulkan bau tidak sedap. Syekh Mahmoud tidak segan-segan untuk memukul Firdaus
jika ia tidak menghabiskan makanannya sampai tidak ada sisa di piringnya dan memukulinya
dengan tongkat ketika ia pergi ke rumah pamannya hingga keluar darah dari mulut dan
hidungnya. Akhirnya Firdaus pun pergi meninggalkan rumah Syekh Mahmoud.
Ketika Firdaus berhenti di sebuah warung kopi, ia ditolong oleh pemilik watung itu
yang bernama Bayoumi, yang membolehkan ia tinggal di flat miliknya dan akan dicarikan
pekerjaan. Hingga suatu hari, Bayoumi dating dengan teman-temannya dan memukuli
Firdaus serta memperkosanya. Dan Firdaus pun melarikan diri dari tempat Bayoumi itu.
Firdaus berjalan sampai pagi, hingga ia tertidur di sebuah bangku yang menghadap ke
Sungai Nil. Ia didatangi oleh sosok perempuan yang bernama Sharifa. Sharifa mengajaknya
ke sebuah apartemen, di sana Firdaus dirubah dengan didandani oleh Sharifa sehingga terlihat
sangat cantik. Sharifa mendandani Firdaus seperti itu karena Sharifa mempekerjakan Firdaus
untuk menjadi seorang pelacur. Setiap malam ada saja laki-laki yang datang ke apartemen
Firdaus dan dilayani oleh Firdaus. Hingga, suatu hari ia mendengar Sharifa sedang adu mulut
dengan seorang laki-laki yang bernama Fawzi. Fawzi bermaksud akan membawa dan
menikahi Firdaus, tetapi Sharifa menolaknya. Hingga mereka terdengar sedang berkelahi.
Tetapi, kemudian suara mereka menghilang dan hanya tinggal desah nafas mereka. Firdaus
berjalan pelan-pelan untuk melihat mereka dan yang ia lihat Sharifa sedang tidur dengan
Fawzi tanpa menggunakan sehelai baju. Firdaus pergi dari tempat Sharifa.
Setelah itu, dengan ijazah sekolah menengah yang ia punya, Firdaus melamar
pekerjaan di sebuah perusahaan. Ia diterima sebagai seorang kaeyawan yang bergaji kecil.
Tetapi, ia mampu menyewa sebuah flat untuk tempatnya tinggal. Di perusahaan itu ia
mengenal Ibrahim, mereka menjalin hubungan dekat bahkan sangat dekat, hingga Firdaus
merasa dirinya telah jatuh cinta kepada Ibrahim. Tetapi, ia merasa hancur ketika ia
mendengar bahwa Ibrahim telah bertunangan dengan anak perempuan seorang direktur.
Firdaus semakin membenci laki-laki. Ia merasa dipermainkan dan ia memutuskan untuk
keluar dari perusahaan tersebut.
Firdaus kembali bekerja sebagai pelacur, pelacur kelas atas tepatnya. Karena, ia tak
mau dibayar dengan harga murah, ia selalu meminta upah yang tinggi. Karena ia kembali
bkerja sebagai pelacur, ia mempunyai sebuah apartemen mewah, sebagai tempat tinggalnya
dan tempat untuk bekerja. hingga suatu hari ada seorang germo mendatanginya dan memaksa
Firdaus untuk ikut dengannya dan bekerja dengannya. Firdaus menolak dan membuat laki-
laki germo itu naik pitam dan mengeluarkan sebuah pisau untuk membunuh Firdaus, tetapi
Firdaus berhasil merebut pisau itu dan menikam leher germo itu berulang kali. Dan kemudian
ia pergi. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pangeran yang mau membayarnya mahal,
dan Firdaus mengatakan bahwa ia telah mebunuh seorang laki-laki dan akan membunuh
setiap laki-laki. Pangeran itu ketakutan dan lari sambil melaporkannya kepada polisi. Firdaus
pun ditangkap dan divonis hukuman mati akrena ia dianggap sebagai pembunuh yang gila.
Firdaus menolak ketika diminta untuk mengajukan grasi kepada presiden, karena ia
beranggapan bahwa dengan vonis hukuman mati adalah jalan terbaik untuk bebas dari laki-
laki.

Analisis:
Buku ini adalah salah satu novel bergaya Feminisme. Dimana penulis menceritakan
bagaimana seorang perempuan seperti Firdaus bertahan hidup dengan dunianya yang sangat
kejam. Perlakuan terhadap kaum perempuan yang tidak manusiawi sangat jelas terlihat dalam
novel ini. Novel ini menjelaskan bagaimana perlakuan laki-laki terhadap perempuan yang
tidak semestinya. Dan menuntut adanya persamaan gender. Penulis menggambarkan tokoh
Firdaus sebagai tokoh yang sangat menentang adanya kaum laki-laki. Ia menganggap bahwa
laki-laki hanyalah memperbudak perempuan. Menjadi seorang istri juga dianggap rendah di
dalam novel ini, karena kewajiban seorang istri melayani suami dan mengurusi rumah tangga
dilaksanakan tanpa upah sedikitpun. Dalam novel ini juga menggambarkan bagaimana
seorang istri hanya dimanfaatkan dan diperbudak oleh suaminya. Jika istri melakukan
kesalahan maka seorang suami tidak segan untuk memukul istrinya.
Menurut saya, novel ini sangat bagus untuk kalangan laki-laki maupun perempuan. Karena
banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari novel ini. Bagaimana perjuangan seorang
perempuan untuk mendapatkan haknya dan bagaimana perlakuan yang seharusnya tidak
diberikan kepada perempuan diberikan oleh laki-laki. Untuk kaum laki-laki, novel ini
memberikan gambaran bagaimana perasaan perempuan jika disakiti hati dan fisiknya.
Begitulah gambaran yang perasaan perempuan yang diperlakukan kasar oleh laki-laki jelas
terlihat dalam tokoh Firdaus. Untuk kaum perempuan, perjalanan hidup Firdaus adalah
sebuah potret kecil bagaimana harga diri perempuan yang terinjak-injak. Sehingga,
perempuan lebih bias menjaga diri dan kelakuannya agar diakui dan disamakan gendernya
dengan laki-laki, agar kaum laki-laki tidak semaunya sendiri memperlakukan perempuan.
--
“Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki.
Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengobarkan
dalam diri saya hanya satu hasrat saja; untuk mengangkat tangan saya dan
menghantamkannya ke muka mereka.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 149)
Kutipan diatas merupakan sepenggal dialog yang terdapat pada novel Perempuan di Titik Nol
yang ditulis Nawal El Saadawi. Novel ini mengisahkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-
perempuan Mesir di tengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Ketika
perempuan masih mengalami ketimpangan hak dan tidak tidak pernah mendapatkan hak yang
sama seperti yang didapatkan laki-laki. Seperti halnya bangsa Arab, budaya patriarki menjadi
salah satu dasar perdebatan akan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan masih menuai
konflik. Mengenai hak-hak perempuan yang kurang terjamin, kebebasan dalam dunia politik,
serta kungkungan hierarkis suami membuat perempuan terbelakang dalam segala
kesempatan, mengalami diskriminasi, kekerasan, serta kemiskinan.
Negeri Arab yang dikenal dengan kondisi perempuan yang amat terbelakang menghadirkan
sejuta cerita mengenai perempuan korban budaya patriarki. Nawal El Saadawi seorang doktor
berkebangsaan Mesir menghadirkan sebuah novel yang menunjukkan perjuangan perempuan
Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dan untuk mendapatkan perubahan
nilai dan sikap laki-laki Mesir terhadap perempuan yang sepenuhnya belum tercapai. Lewat
tokoh Firdaus, Nawal menguak sebuah alur cerita yang sangat pedas, keras, dan berani yang
mengandung jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan yang
diderita, dirasakan, dan dilihat oleh perempuan itu sendiri. Perempuan di Titik Nol
merupakan novel yang menghadirkan figur perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam
budaya patriarki. Ia adalah seorang perempuan yang diciptakan oleh masyarakat yang sangat
laki-laki menjadi makhluk kelas kedua yang berarti inferior.
Firdaus: Identitas Perempuan yang Dinomorduakan
“Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan
membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam.
Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam
dan merebahkan diri untuk tidur.” (Nawal El Saadawi 2002, h. 26)

Hidup di tengah-tengah keluarga patriarkat sudah dirasakan oleh Firdaus sejak kecil. Hidup
di tengah keluarga miskin, tak jarang Firdaus merasakan dan melihat seorang ayah
diperlakukan seperti seorang raja oleh istri dan anak-anaknya. Seorang laki-laki (ayah)
diperlakukan sebagai individu nomor satu di antara individu-individu lainnya. Relasi ini
menunjukkan ketidaksetaraan di dalam sebuah keluarga, bahwa di posisi inipun perempuan
mengalami dampak budaya patriarki. Begitu juga dalam lingkungan sosial, tokoh Firdaus
kerap mengalami ketidakadilan sosial karena ia seorang perempuan. Saat Firdaus memasuki
masa remaja, ia ingin sekali belajar di Kairo mengikuti jejak pamannya. Namun, ia tidak
diperbolehkan belajar di sana karena dia adalah seorang perempuan.
“Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?”
Lalu saya menjawab: “saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti paman.”
Kemudian paman tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria
saja.
El Azhar merupakan suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh laki-laki
saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka. Dan dia adalah seorang laki-
laki. (Nawal El Saadawi 2002, h. 22 dan 30)

Dalam budaya patriarki seorang perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua atau yang
disebut liyan oleh Simone De Beauvoir. Konstruksi masyarakat yang menganggap bahwa
wilayah perempuan adalah pada arena domestik menciptakan suatu hubungan yang
terdominasi dan tersubordinasi, hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis,
yakni laki-laki berada pada kedudukan yang dominan sedangkan perempuan subordinat (laki-
laki menentukan, perempuan ditentukan).

Akibat adanya ketimpangan relasi ini tak jarang perempuan dibatasi ruang geraknya antara
privat dan publik. Privat bermuara pada wilayah rumah tangga yang stereotipnya
diperuntukan bagi perempuan, kemudian wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan
negara diperuntukkan bagi laki-laki. Budaya patriarki juga yang membuat perempuan inferior
lantaran tubuhnya. Keadaan inilah yang membuat perempuan mengalami diskriminasi dalam
segala hal baik ekonomi, politik maupun sosial. Dalam esainya yang berjudul “Inti
Problematika Perempuan Mesir”dalam Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan (2007),
Nawal pernah mengemukakan bahwa mayoritas kaum laki-laki dari Partai Sosialis Arab
menganggap bahwa menghimpun kekuatan politik kaum perempuan adalah pemikiran yang
salah dan dianggap sebuah usaha untuk memecah belah barisan persatuan kaum laki-laki dan
perempuan. Ini juga dianggap usaha mengalihkan perjuangan dari tujuan pokoknya, baik
dalam bidang politik maupun ekonomi, sehingga menjadi perseteruan antara kaum laki-laki
dan perempuan.

Relasi Patriarki terhadap Tubuh Perempuan


Dalam budaya patriarki, sisi laki-laki yang sangat dominan menciptakan identitas perempuan
menjadi makhluk kelas dua. Akibat budaya patriarki ini sejak kecil Firdaus kerapa kali
mengalami tindak kekerasan dan sewenang-wenang dari laki-laki. Ayah Firdaus adalah sosok
yang ditakuti dalam keluarganya. Sebagaimana dalam budaya patriarki, ayah mempunyai
peranan dominan dalam keluarga. Tak jarang Firdaus mendapatkan kekerasan dari ayahnya
yang membiarkannya lapar dan membasuh kaki ayahnya apabila sedang kedinginan.
Ayahnya pula yang menciptakan identitas Firdaus sebagai pelayan rumah tangga pengganti
ibunya.

Pelecehan seksual kerap kali didapatkan oleh Firdaus dari pamannya sejak kecil. “Saya
melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang Ia baca menyentuh kaki
saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.”(Nawal El Saadawi
2002, h. 20). Perlakuan inilah yang nantinya membentuk identitas Firdaus menjadi
perempuan lacur. Ketika Firdaus memasuki usia remaja, ia dinikahkan oleh pamannya
kepada seorang laki-laki bernama Syekh Mahmoud seorang laki-laki tua yang berperangai
kasar dan kikir. Firdaus ditukar dengan mahar yang sangat mahal. Dalam rumah tangganya
tidak jarang Firdaus mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya karena dia adalah seorang
istri dan seorang perempuan. “Pada suatu peristiwa ia memukul badan saya dengan
sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah
dan pergi ke rumah paman.”(Nawal El Saadawi 2002, h. 63)
Identitas Firdaus sebagai seorang perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas dua
membuat Firdaus pasrah menerima perlakuan kekerasan dari suaminya. Di tengah-tengah
budaya patriarki kejadian tersebut dianggap lumrah, ketika seorang suami memukul istri.
Bahkan pamannya berkata bahwa ia juga sering memukul istrinya. Kewajiban seorang istri
ialah kepatuhan yang sempurna. Pengalaman demi pengalaman yang dialami oleh Firdaus
sejak kecil memberikan pelajaran kepada Firdaus bahwa identitasnya sebagai seorang
perempuan hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan
sewenang-wenang. perlakuan sewenang-wenang yang diterima Firdaus mengajarkan bahwa
ia juga pantas menerima sebuah kebebasan, tanpa kontrol dan siksaan dari laki-laki. Dalam
kondisinya yang miskin Firdaus lebih memilih menjalani profesinya sebagai pelacur.

Dalam mencapai kesusksesan menjadi pelacur yang bebas tersebut, Firdaus sampai pada
permenungan bahwa peran laki-laki dalam budaya patriarki mempunyai peran besar
membentuk tubuhnya menjadi pelacur. “Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh
seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang
pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.” (Nawal El Saadawi
2002, h. 133)

Diskriminasi Perempuan dalam Aspek Sosial, Ekonomi, dan Politik


Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu berbagai negara dibelahan bumi
mengadakan demonstrasi besar-besaran melawan kekerasan terhadap perempuan atau yang
dikenal dengan istilah femicide. Di Indonesia sendiri angka kekerasan terhadap perempuan
meningkat drastis, menurut Catatan Akhir Tahun 2014 Komisi Nasional Anti kekerasan
terhadap Perempuan terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun
2014. Tidak hanya sampai di situ, berbagai Perda diskriminatif kemudian muncul mengatur
tubuh perempuan, misalnya larangan beraktivitas malam bagi perempuan oleh pemerintah
kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.

Berbagai bentuk penindasan pun kerap kali diberitakan dialami oleh perempuan. Penindasan
tersebut dapat dialami dengan berbagai bentuk, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga,
pemerkosaan, serta pemecatan di tempat kerja. Tidak jarang pula kita sering disuguhi dengan
berita diskriminasi lainnya, seperti anggapan tentang baik tidaknya tubuh perempuan,
larangan bagi perempuan beraktivitas malam, larangan bagi perempuan memakai celana,
serta peraturan-peraturan diskriminatif lainnya.

Tindak diskriminatif dalam bidang pekerjaan sangat terlihat. Nilai patriarkal yang
menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah dimanfaatkan oleh sejumlah
perusahaan dengan menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji
dengan murah, tanpa jaminan sosial dan hak-hak kerja lainnya. Begitu juga dalam bidang
politik, budaya patriarkis mengonstruksikan bahwa yang berhak memerintah adalah seorang
laki-laki. Budaya patriarkis menciptakan suatu mitos bahwa ruang perempuan adalah
mengurus rumah tangga (domestik) sedangkan wilayah publik atau politik dianggap sebagai
ruang bagi laki-laki. Tidak heran jika sampai saat ini jumlah perempuan dalam jabatan publik
masih sangat minim.
Dalam budaya patriarki identitas perempuan diidentikkan dengan sifat lemah lembut dan
membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah dan mudah didominasi.
Mitos yang diciptakan tentang perempuan dalam budaya patriarki menghalangi perempuan
untuk mengembangkan kekuatan serta potensi yang ada pada tubuhnya dan bukan untuk
membuatnya kuat serta mampu bertahan dan berkreasi dalam menghadapi ketidakpastian
hidup. Di dalam budaya patriarki kelemahan tubuh perempuan dijadikan sebagai kelemahan
absolut sebagai jenis kelamin kedua.

Anda mungkin juga menyukai