1. Tokoh :
Kakek, Ajo Sidi, Aku, Haji Saleh, Istri Aku, Istri Ajo Sidi, Tuhan
Watak Tokoh:
Kakek : Rajin beribadah, baik hati, ikhlas, tapi ketika penyeselan dan
ketakutan datang berpikiran pendek.
Ajo Sidi : Jahil, pembuat bualan, ramah, tapi dibalik bualannya ada
makna tersirat.
Aku : Baik, dermawan, perhatian, sebagai perantara tokoh lainnya.
Haji Saleh : Rajin beribadah, mengabdikan diri hanya untuk Tuhan,
tapi terlalu membanggakan tindakannya hingga gelap mata pada
lainnya, berani menentang.
Istri ‘Aku’ : Baik,
Istri Ajo Sidi: Menurut pada suami, bisa dipercaya menyampaikan
amanat, baik.
Tuhan : -Segala sifatnya yang baik .
2. Tema:
Hubungan manusia dengan Tuhan nya
3. Latar Waktu:
beberapa tahun lalu, sudah bertahun-tahun, sekali enam bulan, sekali
setahun, di malam hari, sepanjang hari, besoknya, pagi-pagi, subuh
4.Alur:
Campuran
5.Amanat:
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita
karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain
Setelah melihat perubahan yang terjadi pada hamli, Khatijah dan bibi Hamli
bermaksud untuk menikahkan Hamli dengan din Wati. Akan tetapi, banyak
sekali perseteruan di keluarga Din Wati yang tidak percaya dengan hamli
karena berasal dari jauh, tetapi sungguh di luar perkiraan bahwa orang tua
Din Wati menyetujui pernikahan anaknya dengan lelaki seberang itu.
Begitupun dengan Hamli, ia pun mendapatkan izin dari ayahandanya yang
ada di Medan.
Kelebihan
Saya akan memaparkan beberapa kelebihan dari novel Memang Jodoh ini
dari beberapa aspek, seperti aspek judul, tema, setting, gaya bahasa, nilai
dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Dari segi judul, judul novel
ini mampu menggambarkan isi cerita secara utuh dan menyeluruh.Adapun
dari segi setting, setting atau latar yang diciptakan oleh penyair sangat
apik dan menarik. Baik itu setting tempat, waktu, maupun suasana. Hal ini
dikarenakan bahwa novel ini merupakan semiautobiografi dari penyair
sendiri (Marah Rusli) sehingga setting yang dilukiskan sangat apik dan
menakjubkan, menjadikan pembaca seolah-olah melihat, mengalami, dan
merasakan apa yang dirasakan oleh para tokohnya. Dari segi gaya bahasa;
walaupun novel ini karangan pujangga Balai Pustaka, akan tetapi gaya
bahasa yang digunakan sangat menarik dan familiar. Bahasa yang
digunakan mampu memaparakan pemikiran penyair secara utuh mengenai
sesuatu. Sehingga pembaca seolah-olah ikut hanyut dalam permainan kata
atau bahasa yang digunakan dalam menceritakan latar, tokoh dan
dialognya. Sungguh gaya bahasa yang apik dan estetis. Selain itu, pada
bagian-bagian tertentu penyair membubuhkan beberapa pantun yang
berasal dari tanah minang yang sejatinya menambah nilai estetika novel
ini. Dari segi nilai dan pesan moral; novel ini mengandung nilai sosial yang
sangat tinggi. Nilai sosial di sini berupa nilai tanggug jawab, yakni
bagaimana seorang lelaki sejati bertanggung jawab kepada orang yang
dicintainya. Ia senantiasa mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya
walaupun badai menghadang dari segala penjuru. Selain nilai sosial, nilai
feminisme juga sangat dikedepankan oleh penyair. Yang mana penyair
menolak habis-habisan budaya Minang yang memperbolehkan seorang
laki-laki untuk berpoligami.
Kekurangan
Tak ada gading yang tak retak, begitulah pepatah lamanya. Kekurangan
novel ini terletak pada nilai-niali yang bersifat religius yang terkesan
mengada-ada dan bertentangan dengan syariat islam. Pertentangan itu
berupa adanya reingkarnasi kepada orang yang telah mati. Pada beberapa
bagian di novel ini banyak diceritakan hal-hal gaib seperti itu. Misalnya saja
guru spiritual ayah dari Din Wati, Radin Jaya Kesuma yang bernama kiai
Naidan yang mengatakan bahwa ia akan meninggal dan sepuluh tahun
yang akan datang ia akan bangkit kembali menjadi anak dari Din Wati dan
Hamli. Begitupun dengan Radin Jaya Kesuma ketika ia telah meninggal ia
juga kembali ke dunia menjadi seorang anak dari adik Din Wati sendiri
yakni Radin Munigar. Ia menjelma menjadi anak laki-laki yang sangat
tampan. Tidak hanya itu, ibu dari Din Wati, Ratu Maemunah setelah ia
meninggal ia akan kembali ke dunia melalui perantara rahim Radin
Munigar, anak kandungnya sendiri. Sehingga ia dan suaminya di
kehidupannya yang kedua di dunia akan menjadi adik kakak, bukan
sebagai suami istri lagi. Anehnya lagi, anak perempuan yang dilahirkan
oleh Radin Munigar secara fisik dan biologis memang anak kandungnya,
akan tetapi secara batiniah ia adalah anak dari Din Wati.Hal inilah yang
menurut saya bertentangan dengan nilai-nilai agama, terutama agama
Islam yang tidak mengenal konsep reingkarnasi.
Mari bersama-sama kita semua panjatkan puja dan puji pada nikmat dan
berkah yang sudah dilimpahkan oleh Allah SWT, dan syukur atas
kehidupan yang masih kita miliki hingga sekarang. Syukur juga wajib kita
panjatkan atas semua kesehatan yang kita rasakan hingga detik ini,
sehingga kita bisa berkumpul bersama-sama di hari yang cerah pada pagi
ini.
Guru yang cakap dan andal menjadi gerbang utama terbentuknya karakter
anak-anak bangsa bertanggung jawab dan cerdas bukan hanya dari
pikirannya saja, tapi dari emosinya juga. Untuk dapat mewujudkannya
bersama, mari kita sama-sama melanjutkan perjuangan tersebut dengan
memberikan pengajaran yang baik, pendidikan yang baik bagi anak-anak
penerus bangsa.
Demikian yang bisa saya sampaikan pada hari ini, mudah-mudahan kita
semua dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah disampaikan tadi.