Anda di halaman 1dari 8

M.

Fathan Ali Rahman Nst


XI IPS 1

A. Unsur Intristik Cerpen Robohnya Surau Kami.

1. Tokoh :
Kakek, Ajo Sidi, Aku, Haji Saleh, Istri Aku, Istri Ajo Sidi, Tuhan

Watak Tokoh:
 Kakek : Rajin beribadah, baik hati, ikhlas, tapi ketika penyeselan dan
ketakutan datang berpikiran pendek.
 Ajo Sidi : Jahil, pembuat bualan, ramah, tapi dibalik bualannya ada
makna tersirat.
 Aku : Baik, dermawan, perhatian, sebagai perantara tokoh lainnya.
 Haji Saleh : Rajin beribadah, mengabdikan diri hanya untuk Tuhan,
tapi terlalu membanggakan tindakannya hingga gelap mata pada
lainnya, berani menentang.
 Istri ‘Aku’ : Baik,
 Istri Ajo Sidi: Menurut pada suami, bisa dipercaya menyampaikan
amanat, baik.
 Tuhan : -Segala sifatnya yang baik .

2. Tema:
Hubungan manusia dengan Tuhan nya

3. Latar Waktu:
beberapa tahun lalu, sudah bertahun-tahun, sekali enam bulan, sekali
setahun, di malam hari, sepanjang hari, besoknya, pagi-pagi, subuh

4.Alur:
Campuran
5.Amanat:
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita
karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain

B. Membuat satu resensi karya dari Marah Rusli!

Judul Buku : Memang Jodoh


Penulis : Marah Rusli
Penerbit : Qanita
Kota terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2013
Cetakan : Pertama, Mei 2013
Tebal Buku : 535 halaman
ISBN : 978-979-907-167-0
Novel ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang bernama Marah
Hamli. Hamli adalah seorang bangsawan di Padang. Ayahnya merupakan
bangsawan Padang yang terpandang beserta keluarga besarnya dan
ibunya adalah bangsawan Jawa yang telah memilih untuk patuh pada adat
istiadat dan menjadi bangsawan melayu.

Setamat Sekolah Raja di Bukit tinggi, Hamli berencana malanjutkan


sekolahnya ke Belanda dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah
Hindia Belanda. Namun sayang niat itu ditentang oleh Ibunya Siti Anjani,
bahkan Ibunya mengancam akan bunuh diri kalau Hamli jadi pergi. Sang
ibu ketakutan kalau Hamli akan melupakan tanah minang dan menikah
dengan orang asing. Akhirnya Hamli melanjutkan kuliahnya di tanah Jawa.
Ia belajar ilmu pertanian di Bogor ditemani sang nenek Khatijah.

Setelah melihat perubahan yang terjadi pada hamli, Khatijah dan bibi Hamli
bermaksud untuk menikahkan Hamli dengan din Wati. Akan tetapi, banyak
sekali perseteruan di keluarga Din Wati yang tidak percaya dengan hamli
karena berasal dari jauh, tetapi sungguh di luar perkiraan bahwa orang tua
Din Wati menyetujui pernikahan anaknya dengan lelaki seberang itu.
Begitupun dengan Hamli, ia pun mendapatkan izin dari ayahandanya yang
ada di Medan.

Beberapa waktu kemuadian, kabar pernikahan Hamli tersebar juga ke


Padang hingga terjadi sebuah perseteruan di antara keluarganya. Ibunda
Hamli pun jadi bulan-bulanan, beliau disalahkan karena tidak mampu
menjaga Hamli karena sebenarnya Hamli sudah dijodohkan dengan putri
Baginda Raja saudaranya. Bahkan ibunda Hamli dikucilkan oleh
keluarganya karena dianggap tidak becus mengurus anak.

Setelah beberapa lama menikah Hamli dan Istrinya diundang ke Medan


oleh Ayah dan ibu tirinya. Hamli dan Din Wati pun berangkat, setibanya di
sana mereka disambut dengan sangat meriah layaknya seorang anak raja.
Di sisnilah ujian datang silih berganti, tipu daya orang yang hendak
menjemput dan memaksa Hamli menikah dengan putri Minang asli, namun
hamli tetap tegar dengan pendiriannya. Lebih dari itu, Din Wati pun
mendapatkan ujian yang sama, hampir-hampir ia terkena jebakan dari
orang yang iri dan hendak memisahkannya dengan Hamli.

Setelah Hamli menamatkan sekolahnya di Bogor, ia memutuskan untuk


pulang ke padang untuk menemui ibunya. Din Wati tidak ingin ikut, karena
ia takut kalau kejadian di Medan terulang lagi. Hamli bertemu ibunya dan
sahabat-sahabat karibnya dan tentunya menceritakan perihal
pernikahannya di Bogor. Meskipun mengejutkan, Anjani bersuka cita dan
ingin bertemu dengan menantu dan cucunya. Tetapi urusan Anjani dengan
keluarga Baginda Raja belum selesai dan berbuntut panjang.

Karena kepulangan Hamli pula sanak saudaranya mengadakan pertemuan


dengan Hamli perihal pernikahannya. Laki-laki Padang tidak diizinkan kawin
dengan perempuan selain Padang dan akan dipandang sangat hina jika
menikahi wanita bangsa lain. Hamli dipaksa menceraikan istrinya atau
berpoligami dengan menikahi perempuan Minang. Namun Hamli tetap
berpegang teguh dan tak pernah ingin sedikitpun berpoligami karena akan
menyakiti hati istrinya. Hamli pun dibuang dari kaumnya dan diharamkan
untuk pulang kembali ke Padang. Hamli kembali ke Jawa dengan rasa
menyesal tak dapat membawa ibunya bersamanya. Hamli pun bekerja
sebagai ahli pertanian yang ditempatkan di berbagai tempat seperti
Sumbawa, Semarang, dan Kalimantan. Namun, rintangan tak pernah henti
karena sanak saudara Hamli pun tersebar hampir di seluruh nusantara dan
mereka sangat menyayangkan sekali mengetahui bangsawan Padang
menikahi perempuan Sunda. Pinangan silih berganti untuk menjemput
Hamli oleh ibu-ibu Padang melalui nenek, ayah, bibi, dan paman Hamli.
Namun semuanya tidak berani menerima jemputan itu karena menghargai
keputusan Hamli.Tak kalah dari Hamli, Din Wati yang merupakan
bangsawan Sunda pun mendapat pinangan dan hasutan dari para
bangsawan Sunda perihal pernikahan dengan orang seberang. Din Wati
diceritakan beberapa peristiwa yang memang telah terjadi di kalangan
Sunda yang menikah dengan orang pulau Sumatra yang dibawa pergi
suaminya dan tak bisa pulang lagi. Bahkan di sana suami mereka menikah
lagi dengan jodohnya, dan perempuan sunda tak dianggap ada dirumah
keluarga suaminya. Meski was-was dalam diri, Din Wati tetap percaya
bahwa Hamli tidak pernah ingin mempoligaminya.Saat bertugas di
Semarang, ada surat untuk Hamli dari rekan ayahnya untuk menjemput
isteri kedua Hamli di Padang yang hendak ke Semarang. Rupanya Hamli
dijemput dan di wali-nikahkan oleh pamannya di Padang dengan
perempuan minang. Din Wati hendak pergi meninggalkan Hamli namun
keesokan harinya ada kabar kalau isteri Hamli yang dari Padang itu
meninggal. Tak sempat bertemu sama sekali, Din Wati tak jadi pergi.Hamli
pun mengambil pensiun karena kondisi kesehatannya yang memburuk
walaupun pemerintah masih membutuhkan tenaganya. Genap pernikahan
yang ke-50 Hamli menceritakan kisah perjodohan sejatinya dari Allah SWT
dengan Din Wati yang penuh liku. Semua terharu sedih karena perbedaan
adat-istiadat yang membuat Hamli tidak dapat pulang lagi ke Padang dan
Din Wati dipandang buruk oleh keluarga Hamli di Padang. Namun begitu
Hamli dan Din Wati hidup bahagia dan bersyukur kepada Yang Maha
Kuasa.

Kelebihan

Saya akan memaparkan beberapa kelebihan dari novel Memang Jodoh ini
dari beberapa aspek, seperti aspek judul, tema, setting, gaya bahasa, nilai
dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Dari segi judul, judul novel
ini mampu menggambarkan isi cerita secara utuh dan menyeluruh.Adapun
dari segi setting, setting atau latar yang diciptakan oleh penyair sangat
apik dan menarik. Baik itu setting tempat, waktu, maupun suasana. Hal ini
dikarenakan bahwa novel ini merupakan semiautobiografi dari penyair
sendiri (Marah Rusli) sehingga setting yang dilukiskan sangat apik dan
menakjubkan, menjadikan pembaca seolah-olah melihat, mengalami, dan
merasakan apa yang dirasakan oleh para tokohnya. Dari segi gaya bahasa;
walaupun novel ini karangan pujangga Balai Pustaka, akan tetapi gaya
bahasa yang digunakan sangat menarik dan familiar. Bahasa yang
digunakan mampu memaparakan pemikiran penyair secara utuh mengenai
sesuatu. Sehingga pembaca seolah-olah ikut hanyut dalam permainan kata
atau bahasa yang digunakan dalam menceritakan latar, tokoh dan
dialognya. Sungguh gaya bahasa yang apik dan estetis. Selain itu, pada
bagian-bagian tertentu penyair membubuhkan beberapa pantun yang
berasal dari tanah minang yang sejatinya menambah nilai estetika novel
ini. Dari segi nilai dan pesan moral; novel ini mengandung nilai sosial yang
sangat tinggi. Nilai sosial di sini berupa nilai tanggug jawab, yakni
bagaimana seorang lelaki sejati bertanggung jawab kepada orang yang
dicintainya. Ia senantiasa mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya
walaupun badai menghadang dari segala penjuru. Selain nilai sosial, nilai
feminisme juga sangat dikedepankan oleh penyair. Yang mana penyair
menolak habis-habisan budaya Minang yang memperbolehkan seorang
laki-laki untuk berpoligami.

Kekurangan

Tak ada gading yang tak retak, begitulah pepatah lamanya. Kekurangan
novel ini terletak pada nilai-niali yang bersifat religius yang terkesan
mengada-ada dan bertentangan dengan syariat islam. Pertentangan itu
berupa adanya reingkarnasi kepada orang yang telah mati. Pada beberapa
bagian di novel ini banyak diceritakan hal-hal gaib seperti itu. Misalnya saja
guru spiritual ayah dari Din Wati, Radin Jaya Kesuma yang bernama kiai
Naidan yang mengatakan bahwa ia akan meninggal dan sepuluh tahun
yang akan datang ia akan bangkit kembali menjadi anak dari Din Wati dan
Hamli. Begitupun dengan Radin Jaya Kesuma ketika ia telah meninggal ia
juga kembali ke dunia menjadi seorang anak dari adik Din Wati sendiri
yakni Radin Munigar. Ia menjelma menjadi anak laki-laki yang sangat
tampan. Tidak hanya itu, ibu dari Din Wati, Ratu Maemunah setelah ia
meninggal ia akan kembali ke dunia melalui perantara rahim Radin
Munigar, anak kandungnya sendiri. Sehingga ia dan suaminya di
kehidupannya yang kedua di dunia akan menjadi adik kakak, bukan
sebagai suami istri lagi. Anehnya lagi, anak perempuan yang dilahirkan
oleh Radin Munigar secara fisik dan biologis memang anak kandungnya,
akan tetapi secara batiniah ia adalah anak dari Din Wati.Hal inilah yang
menurut saya bertentangan dengan nilai-nilai agama, terutama agama
Islam yang tidak mengenal konsep reingkarnasi.

C. Teks ceramah dengan tema nilai kejujuran dalam dunia


pendidikan.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mari bersama-sama kita semua panjatkan puja dan puji pada nikmat dan
berkah yang sudah dilimpahkan oleh Allah SWT, dan syukur atas
kehidupan yang masih kita miliki hingga sekarang. Syukur juga wajib kita
panjatkan atas semua kesehatan yang kita rasakan hingga detik ini,
sehingga kita bisa berkumpul bersama-sama di hari yang cerah pada pagi
ini.

Saya ingin menyampaikan mengenai betapa pentingnya pendidikan dan


akan begitu berpengaruh pada moral, karakter hingga perilaku anak-anak
penerus bangsa. Generasi muda kita seharusnya mendapatkan pendidikan
berkualitas dengan didorong oleh para tenaga pendidik yang berdedikasi.

Sayangnya, hingga saat ini pun, pendidikan di Indonesia masih belum


merata. Tenaga pendidik pun masih banyak yang tidak memperoleh hak
yang sudah seharusnya diterima. Hal tersebut tentu sangat miris dan
menyakitkan mengingat tanpa guru yang mengabdi, tak akan bisa anak-
anak bangsa mendapatkan ilmu di sekolah.

Guru yang cakap dan andal menjadi gerbang utama terbentuknya karakter
anak-anak bangsa bertanggung jawab dan cerdas bukan hanya dari
pikirannya saja, tapi dari emosinya juga. Untuk dapat mewujudkannya
bersama, mari kita sama-sama melanjutkan perjuangan tersebut dengan
memberikan pengajaran yang baik, pendidikan yang baik bagi anak-anak
penerus bangsa.

Demikian yang bisa saya sampaikan pada hari ini, mudah-mudahan kita
semua dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah disampaikan tadi.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Anda mungkin juga menyukai