Anda di halaman 1dari 44

HIKAYAT SRI RAM…

24MEI
HIKAYAT SRI RAMA

Pada suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka berjalan menelusuri hutan rimba
belantara namun tak juga mendapat kabar keberadaan Sita Dewi.

Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka bertemu dengan seekor burung jantan dan
empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama bertanya pada burung jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang
diculik orang. Burung jantan mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya dengan baik, tak seperti
dia yang memiliki empat istri namun bisa menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama mendengar perkataan burung
itu. Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya agar memgutuk burung itu menjadi buta hingga
tak dapat melihat istri-istrinya lagi. Seketika burung itu buta atas takdir Dewata Mulia Raya.
Malam tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seekor bangau yang sedang minum
di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada bangau itu. Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang
seorang wanita dibawa oleh Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena mendapat petunjuk dari
cerita bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya untuk membuat leher 
bangau menjadi lebih panjang sesuai dengan keinginan bangau. Namun, Sri Rama khawatir jika leher bangau
terlalu panjang maka dapat dijerat orang.

Setelah Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian datanglah seorang
anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu melihat bangau yang sedang minum kemudian menjerat lehernya
untuk dijual ke pasar. Sri Rama dan Laksamana bertemu dengan anak itu dan membebaskan bangau dengan
memberi anak itu sebuah cincin.

Ketika dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk mencarikannya air. Sri
Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti jatunya anak panah agar dapat menemukan sumber air. Setelah
berhasil mendapatkan air itu, Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum air itu,
ternyata air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana untuk mengantarnya ke tempat sumber air dimana
Laksamana memperolehnya. Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu berlinang-linang. Sri Rama mengatakan
bahwa dulu pernah ada binatang besar yang mati di hulu sungai itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana
memutuskan untuk mengikuti jalan ke hulu sungai itu.

Mereka bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang tertambat sayapnya dan yang sebelah
rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa sampai Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya
pada Sri Rama tentang pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai bercerita, ia lalu
memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat Jentayu gugur ke bumi saat berperang dengan Maharaja
Rawana. Kemudian, cincin itu diambil oleh Sri Rama. Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang benar 
cincin istrinya, Sita Dewi.

Jentayu berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke negeri Langka Puri, Sri Rama tidak boleh
singgah ke tepi laut karena di sana terdapat gunung bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit tersebut ada
saudara Jentayu yang bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak ingin saudaranya itu mengetahui
bahwa dirinya akan segera mati. Setelah Jentayu selesai berpesan, ia pun mati.

Sri Rama menyuruh Laksamana mencari tempat yang tidak terdapat manusia dengan memberinya sebuah
tongkat. Tetapi, Laksamana tidak berhasil menemukan tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana
mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak dapat menemukan tempat sesuai perintah Sri Rama. Kemudian,
Sri Rama menyuruh Laksamana untuk menghimpun semua kayu api dan meletakkannya di tanagn Sri Rama.
Lalu diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu api itu dan di bakar oleh Laksamana. Beberapa lama
kemudian, api itu padam. Laksamana heran melihat kesaktian Sri Rama yang tangannya tidak terluka bakar 
sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu.

Unsur-unsur intrinsik Hikayat Sri Rama:

1. Tema: Kesetiaan dan pengorbanan


Tema:
 bukti: Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi membantu Sri Rama yang sedang kesulitan
mencari Sita Dewi. Mereka bakti akan perintah Sri Rama dengan menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri
Rama.
1. Alur : Maju
 bukti: Sri Rama mencari Sita Dewi yang dibawa lari oleh Maharaja Rawana. Dia berhasil menemukan
petunjuk tentang keberadaan Sita Dewi saat bertemu dengan Jentayu. Namun, Jentayu mati setelah
menceritakan tentang pertarungannya melawan Maharaja rawana. Mayat Jentayu dibakar di atas tangan
Sri Rama.
1. Penokohan:: diceritakan secara dramatik (tidak langsung)
Penokohan
2. Tokoh::
Tokoh
1. Tokoh utama: Sri Rama
2. Tokoh tambahan: Laksamana, Sita Dewi, Maharaja Rawana, Jentayu, Dasampani, burung jantan, dan
bangau.
3. Setting/latar cerita
1. Latar waktu: siang hari
bukti: pada paragraf enam kalimat pertama pada hikayat
1. Latar tempat: di hutan rimba belantara
bukti: pada paragraf pertama kalimat kedua

1. Latar suasana: bahagia, mengaharukan


bukti: Sri Rama terharu melihat kesetiaan Jentayu atas pengabdiannya menolong Sita Dewi.

1. Sudut pandang:
pandang: menggunakan orang ketiga sebagai pelaku utama
2. Amanat:: hargailah pengorbanan seseorang yang telah rela mati demi menbantu kita.
Amanat
http://desveeta.wordpress.com/2012/05/24/hikayat-sri-ram/

HIKAYAT SERI RAMA

Posted on 27 Juni 2011 by ayiesta

HIKAYAT SERI RAMA

Raja Dasarata di negeri Ayoda mohon kepada para dew a agar dikaruniai anak.Permohonannya
dikabulkan,Dasarata dikaruniai 4 orang anak yaitu Rama,Barata,Laksamana,dan Satrugna.

Setelah besar Rama berhasil dalam mengikuti sayembara memanah,sehingga dapat memperistri Sita, anak
raja Janaka di negeri Mantili.

Pada suatu hari salah seorang istri Dasarata bernama Kaikayi yang melahirkan barata,setelah berhasil
menyembuhkan raja Dasarata ketika sakit,menuntut agar kelak yang me nggantikan Dasarata bukan
Rama,melainkan Barata. Dengan perasaan sedih tuntutan itu dikabulkan oleh Dasarata.

Sebenarnya Barata tidak mau menjadi raja me nggantikan ayahnya, karena yang berhak menduduki takhta
adalah Rama. Sedangkan Rama sendiri mengambil langkah lebih bijaksana, yakni agar tidak menimbulkan
keresahan dalam keluarga kerajaan, ia rela melepaskan haknya menjadi raja. Maka ia pun dengan disertai
Sitadan Laksamana meninggalkan kerajaan dan mengembara ke hutan selama 14 tahun. Sebelum Rama
meninggalkan kerajaan, Barata minta kepada Rama, agar sepatunya ditinggalkan untuk dijadikan lambang
bahwa Ramalah yang menjadi Raja, sedangkan Barata yang terpaksa menduduki takhta keraj aan itu hanyalah
untuk mewakili Rama. Tak lama kemudian Dasarata meninggal dunia karena sedihnya.

Di dalam hutan, sita diculik Rahwana dan dilarikan ke negeri di kerajaan Langka Puri untuk diperistri. Akhirnya
dengan pertolongan Hanoman, Rama dapat membebaskan Sita setelah berhasil berhasil menaklukan dan
menewaskan Rahwana.

Setelah Rama dan Sita bertemu, tiba-tiba terdengar kabar buruk yang mencemarkan nama baik Sita.
Diberitakan bahwa Sita sudah tidak suci lagi selama di kerajaan Langka Puri. Untuk memcampakkan aib dan
malu, maka Sita pun dikucilkan oleh Rama, yang kemudian mendapat perlindungan seorang resi bernama
Walmiki.

Rama masih belum mempercayai kesucian Sita. Rama baru mau menerima sita jika ia benar-benar suci.
Mendengar hal itu Sita berkata, bahwa bumi akan terbuka dan menelannya jika ia benar-benar suci.
Terkabullah permohonan Sita dan barulah Rama percaya akan kesucian Sita.

Setelah kejadian itu Rama pun mengundurkan diri ke hutan ssampai akhir hayatnya dan kembalilah ia sebagai
Wisnu di keindraan.
Karakteristik

Bentuk : prosa
Bahasa : Melayu tradisional

Dipengaruhi : Kehidupan tradisi

Sifat Masyarakat : statis

Sifat Karya Sastra : statis

Sifat Isi : Khayal

Pengarang :Anonim

Penyajia : tertulis

Gaya : Menggunakan bahasa mudah dipahami

Isi / Amanat / pesan : Pendidikan

Tokoh : Manusia

http://midu02.wordpress.com/2011/06/27/hikayat-seri-rama/

Hikayat Sri Rama


Hikayat Sri Rama 

Raja Dasarata ialah raja di Ispahana Boga. Baginda keturunan Nabi Adam, dikatakan turunan yang
keempat. Baginda hendak mendirikan negeri dan istana baru, lalu perdana menteri disuruh mencari tempat
yang baik. Di tempat yang akan didirikan istana itu terdapat serumpun bamboo hijau. Berkali-kali dicoba orang
mencabut rumpun bambu itu tetapi tidak tercabut. Akhirnya baginda sendirilah yang datang merubuhkan
rumpun bambu itu, di sana terlihat oleh seorang perempuan sedang duduk di atas tahtanya Mandudari
namanya, perempuan itu lalu djambil Raja Dasarata untuk dijadikan sebagai permaisurinya.
Sesudah perkawinan berlangsung barulah di tempat itu didirikan negeri lengkap dengan istananya
yang bernama negeri Mandurapura. Mula-mula Raja, Dasarata tiada mendapatkan putra. Lama
kelamaanbarulah baginda mempunyai juga putra dari Mandudari, Rama, dan Laksamana nama putranya itu.
Baginda mempunyai putra itu berkat bagawan (maharesi). Dari istri yang kedua baginda berputra tiga orang,
yaitu dua laki-laki dan seorang perempuan. Yang laki-laki bernama Bardana serta Citradana serta yang
perempuan bernama Kikurvi.

Baginda berjanji kepada Baliadari (gundik Baginda) bahwa anaknyalah yang akan diangkat menjadi raja
kelak menggantikan baginda. Putri yang dijanjikan itu adalah Bardana, namun yang sebenarnya berhak
menjadi raja adalah Sri Rama. Hal itu terjadi karena Jogi yang telah menyumpahi Dasarata bahwa Sri Rama
tidak akan dilihat dewasa oleh bapaknya karena Dasarata berdosa telah membunuh anak Jogi. Timbullah
berita ada seorang raja raksasa mencintai Mandudari. Mandudari yang dicintainya itu dikiranya Mandudari asli
karena rupanya persis seperti Mandudari, Rawana lalu mengambil Mandudari dan disangkanya
sebagai Mandudari yang asli. Waktu diambil Rawana sebenarnya perempuan itu telah mengandung
anak Dasarata. Setelah sampai waktunya Mandudari melahirkan seorang anak perempuan yangsebenarnya
bayi itu anak Dasarata.

Rawana tidak suka kepada anak yang dilahirkan Mandudari karena menurut ramalan anak itu akan
dibinasakan oleh bakal suaminya kelak. Karena itu, Rawana hendak melenyapkan nya. Akan tetapi atas
desakan istrinya, perbuatan itu tidak jadi dilakukannya. Anak itu kemudian dimasukkan ke dalam peti besi dan
dihanyutkan. Anak itu kemudian ditemukan oleh Maharesi Kali, dan diberi nama Sita Dewi. Maharesi Kali
menanam 40 batang pohon lontar serta berjanji barang siapa yang dapat menembusnya dengan satu
kali panah saja maka ia akan dijadikan suami Sita Dewi. Rama dan Laksamana diundang oleh Maharesi
Kali untuk ikut serta dalam perlombaan memanah yang diadakan dalam sayembara. Pada mulanya,
Dasarata tidak suka kedua anaknya itu ikut sayembara. Dasarata mengirimkan saja saudara Rama yang
lain,hanya tidak seorang pun diantaranya yang sanggup menembus keempat puluh pohon lontar itu.
Karena tidak seorang pun yang berhasil, akhirnya Rama dan Laksamana diberi izin untuk turut dalam
sayembara itu.

Dalam perjalanan menuju ke tempat Maharesi Kali, Rama melakukan beberapa perbuatan yang hebat,
panah Rama lah yang dapat menembus keempat puluh pohon lontar itu dengan baik. Rawana yang menjadi
saingannya hanya dapat menembus 35 pohon. Karena kemenangan itu, Rama lalu dikawinkan dengan Sita
Dewi. Rama sebenarnya kawin dengan saudaranya sendiri karena sebelumnya Mandudari jatuh ke tangan
Rawana, ia telah mengandung anak Dasarata Bapak Sri Rama.

 Atas kemenangan, itu Rawana menaruh dengki dan amarah kepada Rama, tetapi ia belum
berani menyerang karena belum datang saatnya. Sebelum Rawana menyerang, Rama telah mengalahkan
beberapa musuhnya. la telah memperlihatkan kesaktiannya pula dalan bermacam-macam hal, dia
telah berhasil mengalahkan Pusparama.

Seperti telah dikatakan bahwa Rama tidak dapat menggantikan ayahnya menjadi raja, Rama sendiri tidak
menyesal tentang itu karena ia sendiri lebih suka bertapa. Tetapi sebaliknya, Dasarata, ayahnya, selalu
bersedih hati sampai meninggal. Kemudian, Sri Rama, Laksamana, dan Sita Dewi mengasingkan diri ke dalam
hutan untuk bertapa.

Terdengar pula berita bahwa Rawana bermusuhan dengan raja-raja kera. Karena Balia dan Semburana,
telah melanggar negeri kera. Istri Rawana, Belia Putri, dari raja kera yang lain. Hanoman melarikan 40 orang
perempuan dariistana. Rawana telah kehilangan istrinya. Berkat pertolongan Maharesi, Rawana dapat
memperoleh istrinya kembali. Istrinya itu sudah hamil pula dan kandungannya itu dilahirkan dengan
perantaraan seekor kambing. Anaknya laki-laki diberi nama Anggada. Rupanya persis seperti kera.

Dalam cerita itu, panjang lebar diuraikan asal-usul kera itu. Yang penting di dalamnya ialah kelahiran
Hanoman. la dilahirkan oleh seorang putri, Dewi Anjani namanya. Dewi Anjani hamil dengan cara yang luar 
biasa sebab mani Sri Rama dengan perantaraan Bagu dimaksukkan ke dalam badan Dewi Anjani. Setelah
besar, Hanoman ingin mengetahuisiapa ayahnya dan karena itu ia pergi bertapa supaya mendapat
pengetahuan.

Dalam hutan tempat pertapaan Rama, terdapat seorang gergasi (raksasa) perempuan, Sura Pendaki
namanya, saudara perempuan Rawana. Anak raksasa itu akan dibunuh oleh Laksamana. Semula ia marah,
tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada Laksamana, tetapi Laksamana menolaknya dan memotong hidung
gergasi itu.

Rawana mencari akal untuk memisahkan untuk memisahkan Sita dan Rama. Dengan
bermacammacam tipu daya yang digunakan, Rawana agar berhasil melarikan Sita. Untuk melaksanakan itu
Rawana agak sulit karena ia selalu berada di dalam lingkaran sakti. Akhirnya dengan segala tipu muslihat
Rawana berhasil juga, Sita dibujuknya untuk mengeluarkan tangannya dari lingkaran itu lalu ia ditangkapnya.
Kejadian itu disaksikan oleh burung jatayu. Burung itu pun dibunuh oleh Rawana. Sebelum meninggalkan
tempat itu Sita berhasil meninggalkan cincinnya dalam burung itu dan akan jadi tanda bagi Rama. Dalam
keadaan sakaratul maut, Jatayu berhasil juga memberitahukan tentang Sita kepada Rama, lima puluh hari
lamanya Rama berduka cita.

http://fajarkurniadi1.blogspot.com/2011/11/hikayat-sri-rama.html

Hikayat Seri Rama


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Hikayat Seri Rama merupakan salah satu cerita adaptasi dalam bahasa Melayu dari epik Ramayana yang tersebar 

luas mulai dari India sampai ke seluruh Asia Tenggara, bersama denganHikayat Maharaja Wana. Garis besar cerita

masih sama dengan cerita aslinya yang merupakan karya sastra berbahasa Sanskerta, tetapi ada perubahan dalam

penyebutan nama dan tempat menyesuaikan dengan lidah Melayu. Ramayana versi Melayu telah dikembangkan
oleh para sastrawan Melayu, sehingga mempunyai perbedaan dengan versi aslinya, contohnya
kisahLaksmana(Lakshman) adik dari Seri Rama yang diceritakan mempunyai peran yang lebih besar daripada
kakaknya, hal ini mirip dengan cerita Ramayana versi Laos yaitu kisah Phra Lak Phra Lam (Laksamasa dan Rama)

yang juga memberikan perhatian lebih besar kepada Laksamana daripada Rama.

Hikayat Seri Rama yang aslinya ditulis dalam huruf Jawi gundul, banyak menunjukkan variasi ejaan nama karena
 juru salin tidak mengenali nama-nama tokoh ini secara benar lagi. Beberapa contoh:

Rawana -> Duwana

(si) Hanuman -> Syah Numan

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Karakter

o 1.1 Dewa

o 1.2 Manusia

o 1.3 Sekutu dari Seri Rama

o 1.4 Musuh dari Seri Rama

2 Lihat pula

[sunting]Karakter 

[sunting]Dewa

 Iswara/Siwa (Iswara/Syiwa)

 Wisnu

 Berahma (Brahma)

 Indera (Indra)

 Suria (Surya)

 Bayu- Dewa angin dan ayah Hanuman

[sunting]Manusia

 Seri Rama (Sri Rama)

 Siti Dewi (Sita Devi)

 Barata (Bharata), Laksmana (Lakshman) and Satrugna (Shatrughna)- saudara saudara Rama

 Dasarata (Dasaratha)- Ayah dari rama

[sunting]Sekutu dari Seri Rama

 Hanuman
 Sugriwa

 Jatayu

[sunting]Musuh dari Seri Rama

 Rawana (Rahwana)- raksasa berlengan 20 dan ber-wajah 20 Raja dari Langkapuri

[sunting]Lihat pula

 Sastra Melayu

 Ramayana

 Kakawin Ramayana - Ramayana versi Jawa

 Reamker (Kemenangan Rama) - Puisi Epik Kamboja yang berdasar pada epik Ramayana

 Ramakien - Ramayana versi Thailand

 Phra Lak Phra Lam - Ramayana versi Laos


http://id.wikipedia.org/wiki/Hikayat_Seri_Rama

Hikayat Seri Rama

Ramayana, Cerita yang Tidak Pernah Usang

 Judul : Hikajat Seri Rama


Penerbit : Balai Poestaka
Tahun : 1938
Tebal : 256 halaman

RAMA dan Sita (Sinta) merupakan sejoli yang berasal dari e pik Ramayana. Dalam proses perjalanan dari
negeri asalnya, kedua sosok tersebut telah ber ubah dari versi aslinya menjadi bentuk cerita yang sarat dengan
muatan lokal di mana cerita itu berkembang. Sebenarnya kisah Ramayana bukanlah sekadar cerita cinta
seperti Romeo dan Juliet, tetapi sebuah drama ke hidupan yang penuh idealisme, nilai moral, penggambaran
kondisi sosial, budaya, dan politik.

Inilah yang terjadi dengan Hikajat Ser i Rama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1938. Tradisi lisan yang
mengusung kisah Ramayana ke Nusantara pada abad ke-13 itu biasanya dibawakan oleh seorang penutur
cerita atau pendongeng dalam sebuah pertunjukan.

Sejak abad ke-16, saling terjemah naskah genre "yang indah" atau kesusastraan antara Jawa dan Melayu
terjadi. Itu pula yang terjadi dengan e pik Ramayana. Kisah tersebut pernah diterbitkan PP Roorda van Eysinga
tahun 1843, dan pernah dimuat di majalah Journal of the S traits Branch of Royal Asiatic Society, April 1917.
WH Rassers, seorang ahli ilmu bahasa Timur yang menulis Disertasi De Pandji Roman (1922) mengungkapkan
bahwa Hikajat Seri Rama, Rama Keling, dan lakon-lakon wayang purwa yang menceritakan tentang Rama
sama dengan Rama Kekawin dan Serat Rama karangan Walmiki atau ada yang menyebut Valmiki.

Akan tetapi, tradisi lisan tidak mampu menjaga cerita itu sama persis seperti aslinya. Lingkungan sosial yang
kemudian diadaptasikan oleh penutur cerita menjadikan cerita Ramayana sarat dengan muatan lokal. Hal ini
pernah diungkapkan oleh WG Shellabear yang menerbitkan epik Ramayana tahun 1957. Menurut dia, ce rita
itu sama sekali tidak sesuai dengan karangan Walmiki sebab pengaruh Islam tampak kuat dalam cerita
tersebut. Sementara cerita Ramayana yang diterbitkan Balai Pustaka adalah hasil tulisan PP Roorda van
Eysinga.

Sebenarnya sejak kapan Ramayana ditulis? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Perkiraan kasar antara tahun
1500 SM sampai 200 SM. Sebuah laporan Press Trust of India, yang dimuat oleh koran Ananda Bazar Patrika
pada tanggal 24 Desember 1980, me ngungkap bahwa jika hasil penyelidikan yang dilakukan ahli geologi
Ahmedabad bisa dipercaya, maka Ramayana tidak mungkin berumur lebih dari 2.800 tahun.

Dalam Hikajat Seri Rama dikisahkan tentang Dasarata Maharaja dari negeri Ispaha Boga yang memiliki lima
anak dari dua istri. Istri pertama Mandoe Daki memiliki anak S eri Rama dan Laksmana. Sementara dari Selir
Balia Dari punya tiga anak, yaitu Tjitradana, Kikoewi Dewi, dan Berdana. Setelah dewasa, dikisahkan Dasarata
menetapkan Seri Rama sebagai putra mahkota. Namun, atas de sakan selir, akhirnya Tjitradana-lah yang harus
menjadi raja. Hingga akhirnya Seri Rama harus dibuang ke hutan dan ditemani oleh istrinya, Sita Dewi, serta
adiknya, Laksmana. Dalam pengasingannya itu Seri Rama dan Laksmana berkelahi dengan Soera Pandaki,
raksasa perempuan adik Rahwana. Kalah bertarung membuat Soera Pandaki meminta kakaknya untuk
menculik Sita Dewi.

Cerita terbitan Balai Pustaka ini mengadaptasi kisah yang berasal dari India t ersebut menjadi bermuatan lokal
dan dengan bahasa Melayu, seperti dialog yang muncul saat Sugriwa bertemu Rama : "Ja toeanku sjah alam,
hambalah yang bernama Soegriwa, saudara maharadja Balia (Subali), radja segala kera, beroe k, lotong, dan
koekang siamang, radja negeri Lagoer Katagina".

Penulis India, P Lal, menerjemahkan Ramayana dari tulisan asli Walmiki dalam bahasa Sansekerta ke dalam
bahasa Inggris, dengan judul The Ramayana of Valmiki tahun 1981, kemudian diterjemahkan kembali ke
bahasa Indonesia oleh Djokolelono tahun 1995. P Lal mencoba menyingkat karya asli Walmiki menjadi
sepertiganya, tetapi dia tidak memperluas, mengadaptasi, menafsirkan. Namun, yang ia lakukan hanyalah
memperpendek dengan jalan menyunting dengan taat mengikuti naskah Sansekerta asli, meskipun dia
mengakui penyingkatan itu sendiri semacam penafsiran. Dalam epik terjemahan P Lal menunjukkan bahwa
Walmiki seorang penyair utama, banyak dialog antartokoh diungkapkan secara puitis dengan gaya tulisan
yang baik. Sementara dalam buku Hikajat Seri Rama, tradisi lisan masih tampak kuat di dalamnya. Tulisannya
menggunakan gaya bertutur sehingga pembaca merasa seolah-olah ada pendongeng yang membawakan
cerita itu secara lisan.

Dalam tulisan P Lal dikisahkan, Dasarata, Raja Ayodya, mempunyai empat putra dari tiga istri. Yang tertua
Rama dari permaisuri Kausalya, kemudian Laksmana dan Satrugna dari ibu Sumitra, serta Barata dari istri
kesayangan raja, Keikayi. Menjelang usia tua, Dasarata memutuskan untuk menobatkan Rama sebagai putra
mahkota. Namun, rencana itu berubah karena Dasarata pernah berjanji akan menjadikan putra Keikayi,
Barata, sebagai penggantinya. Karena khawatir akan terjadi pere butan kekuasaan, maka Rama dibuang ke
hutan selama 14 tahun. Ditemani istrinya, Sita, dan adiknya, Laksmana, Rama meninggalkan Ayodya. dalam
pengasingan tersebut, Laksmana dan Rama berkelahi dengan Sarpakenaka, adik Rahwana, kemudian
hidungnya dipotong oleh Rama. Karena kekalahan tersebut, Sarpakenaka membujuk Rahwana untuk
menculik Sita hingga terlaksana. Rahwana berkeras tidak akan mengembalikan Sita ke Rama hingga
pertempuran terjadi.
TAMPAKNYA epik Ramayana telah menjelma dalam berbagai bentuk di Indonesia. Ini terbukti dengan adanya
Kekawin Ramayana dalam bahasa Kawi (Jawa kuno), yaitu cerita dalam bentuk macapat. Macapat adalah syair
tertulis menceritakan kehidupan dengan filosofi tinggi. Macapat juga merupakan bagian dari tradisi lisan Jawa
karena disampaikan secara lisan sambil berdendang atau biasanya dikenal dengan nembang. Penerjemahan
Kekawin Ramayana itu dilakukan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali dari bahasa Kawi (Jawa
kuno) ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan tahun 1987. Buku ini tetap menggunakan bentuk asli
macapat dalam huruf latin dan diberikan terjemahannya.

Ada lagi epik Ramayana yang ditulis Sunardi DM tahun 1976 bersumber dari buku Serat Padhalangan Ringgit
Purwa Jilid 36 dan jilid 37, kemudian dipadu dengan cerita-ce rita silsilah yang terdapat dalam buku Arjuna
Sasrabahu karangan Raden Ngabehi Sindusastra terbitan Balai Pustaka Weltevreden 1930. Penulis sendiri
menyebut kisah Ramayana yang dibuatnya adalah versi Indonesia sebagai terjemahan bebas dari Kekawin
Ramayana.

Nuansa Indonesia tampak dari ilustrasi tempat, seperti kutipan berikut: "Berbahagia juga Rama menyaksikan
istrinya, Putri Mantili, itu bergembira selalu mengejar capung atau kupu-kupu, memetik bunga-bunga, atau
duduk di bawah pohon-pohon rindang sambil mendengarkan burung-burung prenjak, srigunting, dan cocak
berkicau bersahut-sahutan". Selain itu, kesan Jawa sangat terasa di sini, seper ti Anoman (Hanoman) dikatakan
sangat pandai mendendangkan macapat, dan dalam buku itu pun masih memuat beberapa macapat.

Ada perbedaan mendasar tentang asal-usul Sita, dalam Hikajat Seri Rama diceritakan Sita adalah anak
Rahwana yang dibuang saat bayi karena dia tak menghendaki anak perempuan. Sementara ve rsi Sita tulisan P
Lal mirip yang diceritakan Sunardi DM bahwa Sita adalah anak Janaka dari negeri Mantili.

Selain dari penulisan Ramayana dalam fiksi roman, RA Kosasih membuat epik Ramayana dalam bentuk komik
dan membuat kisah India itu menjadi sangat Jawa dengan bahasa lisan dan kostum para tokoh yang
mengenakan pakaian seperti raja-raja Jawa. Sejak tahun 1980-an sampai sekarang, komik wayang ini masih
beredar dan digemari masyarakat. (Umi Kulsum/Litbang Kompas)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/21/pustaka/379292.htm
http://klipingartikel.blogspot.com/2007/07/hikayat-seri-rama.html

Analisis Hikayat Sri Rama

ANALISIS HIKAYAT SRI RAMA (HSR )

Oleh ASEP SAEPUDIN

Penyunting : Achadiati Ikram

Penerbit : Penerbit Universitas Indonesia

Jakarta, 1980

1. Ikhtisar Cerita

Awal hikayat, diceritakan perihal lahirnya Rawana setelah dikandung ibunya, Raksagandi, selama dua tahun.
Pada usia 12 tahun Rawana sudah biasa memukul mati teman-teman sepermainannya sehingga ia dibuang
oleh kakeknya, Bermaraja ke bukit Srandib. Setelah bertapa selama 12 tahun di sana, ia bertemu dengan Nabi
Adam. Dengan syarat taat akan hukum Allah SWT., ia dianugerahi empat alam kearajaan yang kesemua
rajanya tunduk kepadanya, yaitu kerajaan alam keindraan, kerajaan di dalam bumi, kerajaan di laut, dan
kerajaan di permukaan bumi. Di negeri ke indraan ia berkuasa, beristri Nila Utama dan beranak yang
dinamainya Indrajit. Di dalam bumi ia berkuasa, beristri Putri Pertiwi Dewi ber anak Patala Maharayan. Di laut
ia berkuasa, beristri Gangga Mahadewi dan beranak Rawana Gangga Mahasura. Dalam usia 12 tahun anak-
anaknya diangkatnya menjadi raja. Di Serandib sendiri Rawana mendirikan istana kerajaan besar, Langkapuri.
Semua kerajaan di permukaan bumi (alam dunia) takluk kepadanya kecuali kerajaan Indrapuri,
Birukasyapurwa, Lakurkatakina, dan negeri Aspahaboga.

Sepeninggal Rawana, Negeri Indrapurinegara, Bermaraja, kakek Rawana meninggal digantikan oleh Badanul.
Setelah Badanul meninggal, naik tahtalah Raja Citrabaha, ayah Rawana. Citrabaha memiliki tiga or ang anak,
yaitu Kumbakarna, Bibusanam, dan Surapandaki. Citrabaha me ninggal digantikan oleh Naruna. Naruna
meninggal digantikan oleh Raja Syaksya.

Alkisah, terjadi permusuhan antara kerajaan Biruhasyapurwa dengan kerajaan Indrapurinegara. Citrabaha
menyerang Birukasyapurwa dan membunuh keluarga raja Datikawaca.Balikasya, anak adik Datikawaca, naik
takhta. Setelah mengembalikan kejayaan Birukasyapurwa, Balikasya ingin membalas dendam, menyerang
kerajaan Indrapuranegara. Untuk itu, Balikasya mengutus Sipanjalma dan hulubalang lainnya, menyelidiki
negeri Indrapuranegara. Dalam penyelidikannya Sipanjalma meracuni menteri dan hulubalang musuh. Setelah
meninggalkan surat tantangan, Sipanjalma mengundurkan diri ke negerinya. Sardal dan Kemendekata atas
suruhan Raja Syaksya, mengejar Sipanjalma ke Biruhasyapurwa. Terjadilan perang besar-besaran. Rawana
berusaha dan berhasil mendamaikan peperangan antara kerajaan-kerajaan tersebut.

Alkisah pula, Dasarata Raman cucu Nabi Adam dari Dasarata Cakrawati, m enikah dengan putri Mandudari,
anak Mahabisnu. Dari perkawinan mereka, lahirlah Sri Rama dan Laksmana. Sebagai balas jasa atas
pertolongannya, Dasarata juga mengawini Baliadari. Dari baliadari Dasarata dikaruniai dua orang anak, yaitu
Berdana dan Citradana.

Rawana mendengar kabar bahwa Dasarata memiliki seorang istri yang sangat c antik. Merasa tertarik, dia
menemui Dasarata dan meminta Mandudari. Tanpa sepengetahuan suaminya, Mandudari berusaha
menciptakan Mandudari tiruan. Mandudari tiruan inilah yang diberikan Dasar ata kepada Rawana. Dengan
menyamar sebagai anak-anak, Dasarata menemuni Mandudari tiruan. Pada malam harinya, Dasarata kembali
ke wujud aslinya dan bersetubuh dengan Mandudari tiruan. Pagi hari Dasarata kembali menjadi anak-anak
dan pulang.

Beberapa bulan kemudian Mandudari tiruan melahirkan seorang anak perempuan yang sangat cantik. Akan
tetapi, karena ramalan Bibusyanam, saudaranya, bahwa suami anak tersebut akan membahayakannya, anak
perempuan tersebut dimasukkan ke dalam lung besi dan dibuangnya ke laut.

Lung besi itu hanyut ke laut negeri D arwatipura dan ditemukan oleh raja negeri itu, Maharaja Kala. Dengan
serta merta air susu istrinya, Minuram Dewi pun te rpancar. Putri temuannya itu dinamai oleh Maharaja Kala
Sita Dewi. Maharaja Kala menamam 40 pohon lontar berbanjar dan berkata, “barang siapa yang berhasil
memanah 40 pohon lontar tersebut dengan sekali panah, maka putri itu akan diberikan kepadanya”.

Mencapai usia 12 tahun, Sita Dewi tumbuh dan termashur sebagai putri M aharaja Kala yang sangat cantik.
Banyak putra raja yang datang memintanya untuk dijadikan istri. Maka Maharaja Kala mengumumkan bahwa
siap yang dapat memanah 40 pohon lontar yang ditanamnya dalam sekali panah, maka Sita Dewi akan
diberikan kepadanya. Dalam sayembara itu, atas panggilan langsung Maharaja Kala, Sri Rama datang
mengikuti sayembara. Sri Rama memenangkan sayembara. Akhirnya Sri Rama menikah dengan Sita Dewi.

Setelah berhasil melewati peperangan dengan empat anak r aja yang sama-sama menginginkan Sita Dewi, Sri
Rama memutuskan untuk tinggal di hutan Dalinam, artinya rimba manikam. Mereka ditemani oleh Laksmana.
Di hutan itu, Sri Rama dan Sita Dewi mandi di kolam jernih Kala Sehari Bunting. Serta merta mereka jadi kera.
Pada saat menjadi kera itu mereka melakukan hubungan intim. Akibatnya, kata Laksmana, Sita akan
melahirkan seekor kera. Dengan diurut, akhirnya Sita Dewi mengeluarkan manikam melalui
kerongkongannya. Dengan bantuan Bayu Bata, manikam yang telah dibungkus dengan daun budi,
dimasukkan ke dalam mulut Dewi Anjani yang sedang bertapa. Akhirnya Dewi Anjani melahirkan seorang
anak laki-laki serupa kera yang dinaminya Hanuman.

Merasa sakit hati karena hidung Surapandaki, saudaranya, dirumpungkan oleh Laksmana, Rawana berniat
membalas dendam melalui Sita Dewi. Dengan akal dan kesaktiannya, Rawana menculik Sita Dewi.

Dalam perjalanannya mencari Sita Dewi, Sri Rama bertemu dengan bangau yang memberikan kabar bahwa
istrinya diculik Rawana. Sri Rama juga bertemu dengan Jentayu yang melawan Rawana ketika Rawana
menculik Sita Dewi. Rawana juga bertem ua dengan Sugriwa serta Baliraja. Pada saat di Negeri L akurkatakina,
negeri baliraja itu, datanglah Citradana dan Berdana, dua saudaranya dari ne geri Indrapura. Mereka datang
untuk mengabarkan kematian ayah mereka, Dasarata, dan ingin menjemput Sri Rama agar bersedia menjadi
raja di Inderapuri. Sri Rama menolaknya.

Di negeri Lakurkatakina, Sri Rama memperoleh bantuan. Di sini Sri Rama bertemu dengan Hanuman, anaknya
yang lahir melalui Dewi Anjani. Hanuman pula yang disuruhnya untuk menyelidiki keadaan Sita Dewi di
Langkapuri . Di Langkapuri Hanuman membakar semua istana kecuali tempat tinggal Sita Dewi. Kalau pada
saat pergi bertumpukan lengan Sri Rama, m aka ketika pulang Hanuman bertumpukan batu kecil di bukit
Serandib.

Berdasarkan informasi hasil penyelidikan Hanuman, Sri Rama memutuskan untuk menyerang negeri Rawana
itu. Untuk menyeberang ke Langkapuri, dibuatlah tambak dan jembatan penyeberangan. Dalam pekerjaan itu
Sri Rama dibantu oleh Maharesi Sahagentala. Setelah tambak dan jembatan penyeberangan selesai dibangun,
dimulailah penyeberangan ke Langkapuri dan pecahlah perang antara pihak Sri Rama dan pihak Rawana.
Betapa banyaknya rakyat dan prajurit dari kedua belah pihak yang gugur dalam peperangan itu. Sri Rama
sendiri berhasil membinasakan Kumbakarna, Badubisa, Patala Marayan, Gangga Mahasura, Indrajit, dan
Mulamatani.

Dalam peperangan itu, Sri Rama keluar sebagai pemenang. Dengan begitu Sri Rama berhak menguasai
Langkapuri dan menjadi raja yang kedaulatannya sangat luas. Ucapan selamat datang dari ker ajaan-kerajaan
lain, antara lain dari Maharaja Kala dari negeri Dar wati dan Citradana serta Berdana, saudaranya, dari negeri
Mandupuranegara. Karena ragu akan kesuciannya, Sita Dewi diuji Sri Rama dengan cara dibakar. Ternyata Sita
Dewi tidak terbakar sedikit pun. Artinya, Sita Dewi m asih suci.

Atas saran Bibusanam, Sri Rama mendirikan negeri baru, yaitu negeri Daryapuranegara. Adapun kerajaan
Langkapuri dikuasakan kepada Jamumenteri. Di negeri baru itu, Sri Rama me ndirikan pemerintahan yang adil
dan makmur. Pada saat itu pula, Sita Dewi hamil atas upaya Maharesi Kala. Namun, Sita Dewi dipitnah Kikuwi,
adik Sri Rama, sehingga Sita Dewi pergi dan menetap selama 12 tahun di negeri Darwati, bersama Maharesi
Kala. Dalam pembuangannya itu Sita Dewi melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Tilawi. Karena
kehilangan Tilawi, saat diasuhnya, Maharesi Kala menciptakan seorang anak laki-laki lain yaitu Gusi yang
segalanya persis Tilawi. Kedua anak tersebut akhirnya hidup bersama seperti dua saudara kandung.

Setelah sekian lama, Sri Rama mmenyadari kekeliruannya. Menurut keyakinannya Sita Dewi tidak bersalah.
Justru Kikuwilah yang bersalah. Karena itu, Sri Rama me njemput Sita Dewi. Sri Rama dan Sita Dewi
dikawinkan lagi dengan upacara kebesaran. Mereka kembali ke negeri Daryapuranegara, hidup rukun dan
bahagia di negeri yang adil makmur.
Dalam kondisi yang sentosa itu, Sri Rama mengawinkan Tilawi dengan putri Indra Kusuma Dewi, anak Indrajit.
Sedangkan Gusi dikawinkan dengan Gangga Surani Dewi, putri Gangga Mahasura. Adapun Hanuman menolak
untuk dikawinkan dengan putri Balikasya dari negeri Biruhsyapurwa.

Hanuman sempat berperang dengan Tilawi dan Gusi. Peperangan terjadi karena Hanuman menodai istri
muda Tilawi, Sendari Dewi. Peperangan terhenti karena Sri Rama turun tangan mendamaikan mereka.

Setelah kejadian itu, Sri Rama me ngasingkan diri bertapa di Indipuri bersama Sita Dewi. Di sana Sri Rama
ditemani Laksmana dan Hanuman. Dalam masa pertapaan Sri Rama dan Sita Dewi mengajari anak-anaknya
tentang tata tertib kerajaan. Demikian j uga raja-raja lain banyak yang datang menemuinya. Setelah hampir
selama empat puluh tahun, Sri Rama akhirnya meninggal dunia.

2. Struktur Hikayat

2.1 Alur

Secara garis besar alur hikayat ini sebagai berikut. Merasa sebagai raja besar di Langkapuri, Rawana meminta
Mandudari istri Dasarata, kepada suaminya. Dasarata t idak menolak. Rawana diberi Mandudari tiruan oleh
Mandudari Asli. Dasarata meniduri Mandudari tiruan. Mandudari tiruan melahirkan anak perempuan yang
kemudian dibuang oleh Rawana. Maharaja Kala menemukan anak perempuan yang dinamainya Sita Dewi.
Karena menang sayembara, Sri Rama ber hasil memperistri Sita Dewi. Sita Dewi diculik Rawana sebagai balas
dendam terhadap Laksmana yang telah menganiaya saudaranya, Surapandaki. Sri Rama berusaha mencari
dan merebut Sita Dewi dari Rawana, mendapat bantuan dari Sugriwa dan Hanuman dari kerajaan
Lakurkatakina, dari Maharesi Sahagenta. Terjadilah perang besar-besaran antara pihak Sri Rama dan Rawana,
dimenangkan Sri Rama. Sri Rama berkuasa di kerajaan Langkapuri kemudian mendirikan negeri
Daryapuranegara yang adil makmur aman sejahtera. Sri Rama memiliki anak Tilawi dan Gusi dari Sita Dewi. Sri
Rama mengasingkan diri bertapa selama empat puluh tahun dan meninggal.

Pada umumnya alur dalam Hikayat Sri Rama (HSR) ini terjalin rapi dan merupakan suatu unsur yang
menunjang amanat. Akan tetapi, walaupun dalam keseluruhannya demikian halnya, dalam bagian-bagiannya
ia ciri khas lain, sehingga tampaknya menjadi amat kompleks. Ini disebabkan juga ole h gaya yang menyukai
pengulangan, banyaknya tokoh, dan keanekaan peristiwa.

Unsur lain yang menambah kerumitan ialah kenyataan bahwa kisah utama ditinggalkan untuk menceritakan
peristiwa-peristiwa yang dimaksudkan sebagai persiapan, tumpuan, atau penjelasan dari kejadian-kejadian
selanjutnya. Alur-alur kcil semacam itu, yang kemudian masuk dalam alur besar, dinamakan sub-alur (Ikram,
1980: 22). Dalam novel modern, bagian-bagian seperti ini ibarat sorot balik, yaitu sisipan yang menguraikan
latar belakang suatu tokoh di masa lampau tanpa melepaskan alur utamanya. Perbedaannya, bahwa
dalam HSR hampir tak mengenal masa lampau dan tidak membedakan mana yang lebih pe nting: semuanya
adalah sekarang.

Dalam (HSR) ini banyak subalur yang menjadi bagian dari alur. Bagian-bagian alur ini merupakan pengantar
bagian yang sebenarnya atau bagian alur yang penting. Selain itu, ber fungsi sebagai sarana untuk
memperkenalkan tokoh yang akan memegang pernana penting dalam cerita. Hal ini m isalnya, terjadai pada
kisah Rawana. Setelah memberi gamabaran yang sempurna mengenai pribadi Rawana, penulis
meninggalkannya dan beralih ke kejadian-kejadian yang berlangsung selama Rawana bertapa ( HSR II). Setelah
 jelas, keadaan ini pun ditinggalkannya untuk beralih ke cerita yang menjelaskan asal usul Raja Baliksya dan
permusuhannya dengan keluarga Rawana (HSR III). Kedua sub alur ini bertemu dalam HSRIV dan berpaut
kembali dengan HSR I dalam HSR V yang menceritakan Rawana mendamaikan kedua raja yang berpe rang
dalam HSR IV tadi. Dua kali pergantian tempat dan pokok cerita ini cukup ditandai dengan kata ”alkisah” dan
dengan menyebutkan nama tokoh utamanya: ” ... ini diceritakan orang yang empunya cerita ini. Tatkala
itu tersebut pulang perkataan Bermara ja.” (HSR : 12). Kata ”pulang” ini mengaitkan pokok baru ini kepada
cerita pembukaan (HSR: 1). Kadang-kadang juga didijelaskan tempatnya, ” ... datanglah kepada hikayat
Maharaja Balikasya di negeri Biruhasyapurwa.” (HSR: hlm. 24).

Untuk memperjelas alur berikut ini adalah kutipan Garis Besar HSR (Ikram, 1980: 36-43).

Lampiran A Garis Besar Hikayat Sri Rama

I. Rawana jadi raja 1. Pembuangannya ke Bukit Srandib. (h. 1)


besar(h. 1)
2. Pertapaannya selama dua belas tahun (h. 2)

3. Pertemuan dan perjanjian dengan Nabi Adam(h. 4)

4. Ra jadi raja dalam empat alam (h. 7)

5. Kelahiran anak-anaknya: Indrajit, Patala


Maharayan, Gangga Mahasura (h. 8)

6. Rawana ajdi raja raja di Langkapuri (h. 11)

II. Negeri 1. Bermaraja, kakek Rawana, meninggal (h. 12)


Indrapurinegara
sepeninggal 2. Badanul jadi raja; meninggal (h. 12)
Rawana (h. 12)
3. Citrabaha, ayah Rawana, jadi raja, kelahiran
Kumbakarna, Bibusanam, dan Surapandaki, anak-
anaknya; Citrabaha meninggal (h. 14)

4. Naruna jadi raja; meninggal (h. 18)

5. Syaksya jadi raja (h. 22)

III. Awal mula 1. Negeri Biruhasyapurwa dikalahkan Citrabaha; raja


permusuhan Balikasya Datikawaca sekeluarga dibunuh (h. 24)
terhadap Syakasya (h.
24) 2. Kelahiran Balikasya, anak adik Datikawaca (h. 24)

3. Balikasya mengembalikan kebesaran negeri


Biruhasyapurwa; ia ingin membalas (h. 25)

IV. Peperangan antara 1. Sipanjalma dikirim untuk menyelidiki negeri


Balikasya dan Indrapuranegara (h. 31)
Syaksya(h. 31)
2. Sipanjalma meracuni menteri dan hulubalang
musuh; iameninggalkan surat tantangan (h. 40)

3. Sipanjalma mengundurkan diri ke negerinya (h. 49)

4. Sradal dan Kemendakata mengejar ke


Biruhsyapurwa (h. 61)

5. Perang besar-besaran (h. 61)


V. Rawana mendamaikan 1. Rawana menemui Syaksya untuk usahaperdamaian
raja-raja (h. 93) (h. 93)

2. Indrajit diutus ke Baliksya (h. 96)

3. Perdamaian terlaksana (h. 126)

4. Rawana membawa saudara-saudaranya dan


Jamumenteri ke Langkapuri (h. 136)

VI. Kelahiran Sri Rama (h. 1. Dasarata mendirikan negeri (h. 140)
140)
2. Ia mendapat putri Mandudari, anak Mahabisnu;
mereka kawin (h. 143)

3. Baliadari menyelamatkan Dasarata dan Mandudari


(h. 146)

4. Mandudari melahirkan Sri Rama dan Laksmana;


Baliadari melahirkan Berdana dan Citradana (h. 148)

5. Dasarata diselamatkan oleh Baliadari (h. 152)

VII. Kelahiran Sita Dewi (h. 1. Rawana datang meminta Mandudari; diberi
153) Mandudari tiruan (h. 153)

2. Kutukan Kisuberisu (h. 159)

3. Dasarata mengunjungi Mandudari tiruan (h. 159)

4. Rawana dan Mandudari kawin (h. 163)

5. Sita Dewi lahir dan dibuang (h. 165)

VIII. Perkawinan Sri Rama 1. Sita Dewi ditemukan oleh Maharesi Kala (h. 172)
dan Sita Dewi (h. 168)
2. Sayembara Sita Dewi (h. 171)

3. Sri Rama dijemput oleh Maharesi Kala (h. 172)

4. Sri Rama membunuh Jagini dan Giaganda (h. 181)

5. Ia menang sayembara (h. 185)

6. Sri Rama mengusir Gagak Sura (h. 18 7)Sita Dewi


disembunyikan (h. 190)

7. Perkawinan Sri Rama dan Sita Dew i (194)

8. Perkawinan Sri Rama dan Sita Dew i (h. 194)

IX. Sri Rama, Sita Dewi, 1. Peperangan dengan empat anak raja (h. 196)
dan Laksmana
menetap di hutan (h. 2. Sri Rama memutuskan tidak akan pulang (h. 204)
196) 3. Kelahiran Hanuman dari Sri Rama dan Sita Dewi
dengan perantaraan Anjani (h. 209)

4. Sri Rama membunuh Raksasa (h. 213)

5. Pemukiman di hutan (h. 214)

X. Penculikan Sita Dewi 1. Rawana ingin mengalahkan matahari (h. 216)


(h. 216)
2. Kematian Bergasinga oleh Rawana (h. 217)

3. Anak Surapandaki terbunuh oleh Laksmana (h. 20)

4. Perkelahian antara Laksmana dan Surapandaki(h.


222)

5. Rawana melarikan Sita Dewi (h. 232)

6. Catayu dikalahkan oleh Rawana (h. 234)

XI. Pencarian jejak Sita 1. Kisah kerbau jantan yang dibunuh oleh anaknya(h.
Dewi (h. 214) 214)

2. Baliraja mengalahkan kerbau Hamuk (h. 245)

3. Kekalahan dan pembuangan Sugriwa (h. 250)

4. Pertemuan Sri Rama dengan bangau (h. 254)

5. Pertemuan dengan Catayu (h. 258)

6. Pertemuan dengan raksasa (h. 263)

7. Pertemuan dan perjanjian dengan Sugriwa (h. 266)

8. Sri Rama dicobai (h. 269)

9. Kematian Baliraja oleh Sri Rama (h. 273)

XII. Penyerahan kerajaan 1. Dasarata meninggal (h. 281)


kepada Berdana dan
Citradana (h. 281) 2. Berdana dan Citradana menjemput Sri Rama(h.
284)

XIII. Perjalanan Hanuman 1. Sri Rama mencari orang yang dapat me lompat ke
menemui Sita Dewi (h. Langkapuri (h. 290)
290)
2. Hanuman dikenal oleh Sri Rama sebagai anaknya;
ia sanggup melompat (h. 297)

3. Hanuman berangkat (h. 303)

4. Pertemuan dengan Maharesi Kipabara (h. 304)

5. Hanuman menyelundupkan cincin Sri Rama kepada


Sita Dewi (h. 307)

6. Pertemuan dengan Sita Dewi (h. 309)

7. Hanuman merusak Langkapuri (h. 313)

XIV. Persiapan pembuatan 1. Dua orang hulubalang mencari tempat terdekat(h.


tambak (h. 329) 329)

2. Sri Rama berangkat (h. 336)

3. Pengaduan maharesi Sahagentala kepada Sri Rama


(h. 338)

4. Peperangan melawan jayasinga (h. 346)

XV. Pembangunan 1. Pekerjaan dimulai (h. 383)


 jembatan dan
peristiwa-peristiwa 2. Perkelahian Hanuman dengan Nola Nila (h. 385)
selama itu (h. 383)
3. Penemuan maulhayat (h. 389)

4. Sita Dewi ditipu oleh Rawana dengan berita Sri


Rama sudah mati (h. 393)

5. Sagasadana memata-matai tentara Sri Rama


(h.409)

6. Gangga Mahasura merusak tambak (h. 418)

7. Tambak selesai (h. 421)

XVI. Permulaan 1. Sri Rama berangkat menyeberang ke


Peperangan (h. 421) Langkapuri. (h. 421)

2. Peringatan Bibusanam dan penyeberangannya ke


pihak Sri Rama (h. 426)

3. Peringatan Indrajit kepada Rawana (h. 435)

XVII. Kematian Kumbakarna 1. Sepuluh hulubalang Rawana mati dalam


(h. 439) peperangan (h. 439)

2. Kumbakarna dipanggil (h. 443)

3. Peringatan Kumbakarna (h. 446)

4. Kematian Kumbakarna oleh Sri rama (h. 449)

XVIII. Kematian Badubisa (h. 1. Hanuman diutus ke Rawana membawa surat (h.
461) 461)

2. Badubisa dikeluarkan untuk melawan Sri Rama(h.


468)
3. Kematian Badubisa berkat petunjuk Bibusanam(h.
469)

XIX Kematian Patala 1. Patala Maharayan sanggup melawan Rawana(h.


Maharayan (h. 479) 479)

2. Peringatan Jamu Menteri (h. 482)

3. Penculikan Sri Rama (h. 486)

4. Pengejaran oleh Hanuman (h. 498)

5. Perang dengan Laguda Indra dan Sampa Wadini (h.


499)

6. Pertemuan dengan Niwarani (h. 505)

7. Kisah tamanta Gangga (h. 511)

8. Amiraba dibunuh; Periaban dirajakan (h. 519)

9. Sri Rama dibawa pulang (h. 520)

10. Patala Maharayan dibunuh oleh Sri Rama (h. 523)

XX. Kematian empat anak 1. Mereka ditinggalkan oleh Indrajit (h. 530)
Rawana (h. 529)
2. Mereka berperang dan mati (h. 532)

XXI. Kematian Gangga


Mahasura (h. 543)

XXII Kematian Indrajit (h. 1. Indrajit akan maju (h. 549)


549)
2. Sri Rama bersiap diri dengan petunjuk Hanuman (h.
551)

3. Indrajit menyerang (h. 552)

4. Sri Rama kena panah; Anggada mengambil obat (h.


555)

5. Indrajit mau membunuh Sri Rama dengan diam-


diam (h. 557)

6. Hanuman mengambil obat untuk yang mati (h.


565)

7. Pemujaan Indrajit digagalkan oleh Laksmana(h.


577)

8. Peperangan (h. 582)

9. Indrajit berpamitan kepada istrinya (h. 596)


10. Indrajit melawan Laksmana; kematiannya oleh Sri
Rama (h. 605).

11. Peringatan Mandudari (618)

XXIII. Kematian 1. Sejarah Mulamantani (h. 620)


Mulamantani (h. 620)
2. Mulamatani dibujuk oleh Rawana (h. 624)

3. kematiannya oleh Sri Rama (h. 632)

XXIV. Kemenangan Sri Rama 1. Peperangan (h. 648)


atas Rawana (h. 648)
2. Laksmana kena panah Rawana (h. 655)

3. Hanuman memanggil obat (h. 656)

4. Ia mengiikat rambut Rawana dan Mandudari (h.


667)

5. Perang antara Sri Rama dan rawana (h. 672)

6. Hanuman menanyakan kematian Rawana kepada


Sita Dewi (h. 690)

XXV. Sri Rama jadi raja di 1. Sri Rama masuk kota (h. 690)
Langkapuri (h. 690)
2. Sita Dewi membakar diri (h. 692)

3. Sri Rama menata negeri (h. 695)

4. Berdana dan Citradana datang (h. 703)

5. Perkawinan Kikuwi dan Bibusanam (h. 706)

6. Kunjungan Maharesi Kala (h. 709)

7. Pengungkapan rahasia kelahiran Sita Dewi (h. 710)

8. Berdana dan Citradana pulang (h. 715)

XXVI. Pendirian negeri 1. Saran Bibusanam untuk mendirikan negeri (h. 717)
baru(h. 717)
2. Pembangunan negeri idaman Daryapurenegara(h.
717)

3. Gambaran pemerintahan yang adil dan makmur(h.


725)

XXVII. Pengusiran Sita 1. Sita Dewi hamil (h. 730)


Dewi(h. 730)
2. Ia dipitnah oleh Kikuwi (h. 733)

3. Ia pergi ke Maharesi Kala (h. 736)


XXVIII. Masa kanak-kanak 1. Kelahiran Tilawi (h. 738)
Tilawi dan Gusi (h.
738) 2. Gusi diciptakan oleh maharesi Kala (h. 738)

3. Kepahlawanan mereka (h. 741)

XXIX Sri Rama dan Sita Dewi 1. Sri Rama insaf bahwa Sita Dewi tidak bersalah(h.
rukun kembali (h. 749) 749)

2. Penjemputan Sita Dewi (h. 750)

3. Laksmana ditangkap oleh Tilawi dan Gusi (h. 751)

4. Sri Rama dan Sita Dewi dikawinkan lagi dengan


upacara kebesaran (h. 757)

5. Mereka pulang ke daryapuranegara (h. 759)

6. Gambaran negeri yang makmur dan bahagia (h.


760)

XXX Sri Rama mengatur 1. Berdana dan Citradana dijemput (h. 762)
rakyatnya (h. 763)
2. Perkawinan Tilawi dan Gusi (h. 764)

3. Hanuman tidak mau dikawinkan (h. 777)

4. Percakapan Laksmana, Berdana, dan Citradana


mengenai Hanuman (h. 778)

5. Berturut-turut Sri Rama mengawinkan dan


merajakan Hanuman Tugangga, Pariaban, Jambuana,
Sugriwa, anila, Anggada, Anggata, Mahabiru, Karang,
Ketula, dan janda-janda raksasa (h. 781)

6. Bibusanam tidak mau menjadi raja (h. 784)

7. Perkawinan anak-anakBerdana dan Citradana(h.


785)

XXXI. Perkelahian Tilawi dan 1. Tilawi kawin dengan anak Bibusanam (h. 787)
Hanuman (h. 787)
2. Hanuman menodai istrinya (h. 789)

3. Perang antara Tilawi dan Gusi melawan Hanuman


(h. 792)

4. Pendamaian oleh Sri Rama (h. 796)

XXXII. Pengunduran Sri 1. Sri Rama membuat negeri tempat bertapa (h. 797)
Rama(h. 798)
2. Sri rama dan Sita Dewi bertapa dan ditunggui oleh
Laksmana dan Hanuman.(h. 802)
3. Ciradana dirajakan di Aspahaboga (h. 800)

XXXIII. Akhir hayat Sri 1. Sri Rama memberi pelajaran kepada Tilawi dan
Rama(h. 802) raja-raja yang lain (h. 803)

2. Sri Rama wafat setelah empat puluh tahun bertapa


(h. 806)

Berdasarkan Garis Besar HSR di atas, kita bisa melihat bahwa HSR VI merupakan permulaan cerita
utama. HSR I –V merupakan sub-alur yang berfungsi untuk memperkenalkan Rawana yang nanti dalam hidup
Rama akan memegang peranan yang penting. Pola semacam ini dijumpai berkali-kali dalam hubungan yang
lebih sempit. HSR VI-IX memperlihatkan kejadian-kejadian yang membina ke arah pertemuan antara k edua
tokoh utama; suatu tahap yang terutama merupakan perkembangan watak. Dalam HSR X terjadi paeristiwa
yang menentukan jalannya cerita setelah sebelumnya peristiwa tersebut dibina dengan baik: Sita Dewi
diculik; dan tugas Rama jelas, yaitu ia harus merebutnya kembali. HSR X-XXVI merupakan penyelesaian tugas
itu. Titik puncak terjadi pada HSR XXIV. Setelah itu alur mejadi sangat lemah karena cerita hanya menyoroti
perkembangan pribadi Sri Rama, yaitu dalam HSR XXV-XXVI yang merupakan masa konsolidasi pertama bagi
kedudukan Rama sebagai raja. Sesungguhnya di sini sudah terjadi penyelesaian yang memuaskan, tetapi
kegoncangan timbul dengan pembuangan Sita Dewi. Seperti layaknya seorang raja, Sri Rama dapat juga
memperbaiki kesalahannya. Pengalaman pahit serta masa konsolidasi yang kedua lebih mengokohkan
kedudukannya dan mematangkan budinya sehingga petualangan Hanuman pada HSR XXXI dan XXXIII
merupakan penutup yang pantas dari hidup seorang raja yang penuh kebaktian terhadap tugasnya sebagai
pelindung alam.

Tokoh dan Perwatakan

Kisah dalam HSR diceritakan dengan gaya diaan, dan si penutur adalah sebagai the third person point of 
view. Pengarang bertindak sebagai orang yang menceritakan apa adanya secara objekt if. Para Pelaku yang
diceritakan sangat banyak. Di antara para pelaku tersebut yang bisa dianggap sebagai tokoh ce rita adalah:

1) Sri Rama, seorang yang secara fisik sangat sempurna. Akan tetapi, dari segi watak sesekali diceritakan
berwatak tidak seperti seorang pahlawan. Ia anak D asarata, cicit Nabi Adam, AS(?) yang dianugerahi Dewata
Mulia Raya (Allah Swt) kerajaan, kekuatan, kekuasaan yang tiada bandingnya.

2) Rawana, seorang raja yang pada awalnya memiliki sifat agung sebgai raja. Akan tetapi, kemudian ia
menjadi sangat sombong, serakah, kasar, kejam, dan bengis, Ia merupakan tokoh antagonis Sri Rama.

3) Hanuman, seorang anak Sri Rama dan Sita D ewi yang dilahirkan secara tak lazim melalui Anjani. Dia juga
sebagai orang kepercayaan Sri Rama dalam melawan Rawana. Dia digambarkan sebagai seekor kera sakti
yang terampil, penuh akal, dan tipu daya.

4) Laksmana, adik kandung dan sekaligus abdi Sri Rama. Hampir selama hidupnya, ia mengabdikan diri kepada
Sri Rama.

5) Sita Dewi, istri Sri Rama. Ia seorang istri yang ideal model k uno, setia, pasif. Ia tahu akan kewajiban Sri
Rama sebagai raja dan ksatria. Dia juga sangat tahu kewajibannya sebagai seorang seorang istri.

Tokoh-tokoh lainnya yang bisa dianggap sebagai pelaku cerita yang tidak terlalu penting, yaitu: Dasarata,
Mandudari, Maharaja Kala, Citradana, Berdana, Gagak Sura, C atayu, Sugriwa, Kikuwi, Bibusanam, Tilawi, Gusi,
Hanuman Tugangga, Pariaban, Janbuana, Anila, Anggada, Anggata, Mahabiru, Karang, dan Ketula (pelaku
cerita pembatu Sri Rama); Surapandaki, Sagasadana, Gangga Mahasura, Indrajit, K umbakarna, Badubisa,
Patala Maharayan, Laguda Indra, Sampa Wadini, Mulamatani (pelaku-pelaku pembantu Rawana); Bermaraja,
Raksagandi, Citrabaha,Naruna, Syaksya, Balikasya, Sipanjalma, sardal, Kemendakata, dan Jamu Menteri,
Baliadari, Kisuberisu, Jagini, dan Gigandini (sebagai pelaku cerita yang netral).

Perwatakan para tokoh dilakukan dengan cara penjelasan langsung oleh pengarang, prilaku tokoh tersebut,
dan dialog tokoh-tokoh lain.

Pengarang memaparkan secara lengsung watak tokoh cerit a, misalnya:

Adapun anak baginda yang bernama Sri Rama itu pun besarlah, terlalu maha e lok rupanya, dalam alam dunia
ini seorang pun tiada sebagainya. Syahdan lagi perkasya dan berani. Datanglah usianya baginda kepada tujuh
tahun tahun Maka terlalu sekali nakal. ( HSR: 149).

Dari awal pemunculannya, Sri Rama ditampilkan sebagai seorang yang memang dipastikan akan menjadi
penguasa dunia. Dari pihak ibunya, ia anak dasarata, cucu Maharaja Bisnu ( HSR: 264, 278), sedangkan dari
ayahnya ia cicit nabi Adam a alaihissalam ( HSR: 140). Baik dari sudut agama Hindu maupun Islam ia amat
berhak menjadi raja dunia. Ini dikemukakan olehpengarang secara langsung.

Pemaparan tokoh Sri Rama dilakukan juga melalui prilakunya atau peranannya. Hal ini tampak misalnya
dalam HSR VIII-IX yang menggambarkan bagaimana gagah dan saktinya Sri Rama. Demikian juga pada HSR XI-
XII, XVI-XXIV. Pada HSR XII Sri Rama tampak prilakunya sebagai seorang guru yang mengajarkan ajaran raja
adil. Mulai HSR XII ini tampak ada perubahan yang substantif dalam watak Sri Rama. Sebelumnya ia berperan
sebagai pahlawan yang bertindak; sekarang ia menjadi tokoh raja yang memer intah dan dijaga hambanya.

Demikianlah, pengarang memberikan gambaran watak Sri Rama hampir seluruhnya dilakukan melalui
prilakunya. Cara demikian juga dilakukan oleh pengarang dalam menggambarkan watak Rawana ( HSR I, V, X,
XVI-XXIV). Dalam HSR X tampak prilaku Rawana yang sangat sombong sehingga ingin mengalahkan matahari.
”Aku hendak mengalahkan matahari. Sampaikan aku ke langit.” (HSR, 217).

Di bagian tertentu yang terbatas, misalnya pada HSR XIX, watak Sri Rama digambarkan melalui dialog tokoh
lain. ”jikalau dipanah tiada membunuh dia, jika ditikam dengan senjata tiadakan membunuh Sri Rama, jika
dibakar tiada hangus, jika dibuangkan ke air itu pun tiada ia mati, jika kamu beri makan racun pun tiada ia
mati” (HSR: 487-488).

Latar

Kisah Sri Rama berlatarkan kerajaan-kerajaan yang tidak secara eksplisit disebutkan di mana persisnya.
Bahkan nama beberapa kerajaan tidak disebutkan. Nama-nama kerajaan yang tersebut dalam kisah ini yaitu
kerajaan Langkapuri, Inderapuranegara, Biruhsyapurwa, Mandupuranegara, Darwatipurwa, Daryapuranegara,
Lakurkatakina, Asphaboga.Berdasarkan asal usul cerita HSR, diperkirakan nama-nama kerajaan itu berasal
dari daerah India.

Di samping nama-nama kerajaan, HSR juga menyebutkan nama tempat, yaitu bukit Serandib. Lokasi persisnya
tempat tersebut juga tidak jelas. Kemungkinan juga berasal dari dari India. Selain itu disebutkan beberapa
tempat lain sebagai latar khusus peristiwa, yaitu bumi, hutan, danau, lautan ,
dan langit/udara(angkasa), taman dan kota. ”Maka tatkalala Catayu pun sampailah ke bumi maka ia
telentang-lentang ke langit lalu berkata, ”Ya tuhanku, pertemukan kiranya hambamu dengan Sri Rama.” (HSR:
238).

Berkenaan dengan latar waktu, dalam HSR ini tidak banyak yang bisa dikemukakan. HSR memberi kesan
bahwa itu tidak merupakan faktor dalam cerita. Kejadian-kejadian dalam cerita diurutkan tanpa suatu
petunjuk kapan terjadi, mana yang yang terj adi lebih dahulu, mana yang bersamaan, dan mana yang
kemudian.
Unsur waktu yang bisa diperoleh dari kisah ini adalah waktu-waktu khusus kejadian suatu peristiwa cerita,
waktu sehari-hari seperti pagi, siang, malam. Selain itu, kalaupun ada hanyalah penjelas lamanya suatu
peristiwa terjadi. Berikut adalah sebagai contohnya:

Maka dengan kodrat Allah subhana (hu) wa taala itu Nabi Adam pun diturunkan Allah taala dari dalam syorga,
berapa lamanya dalam dunia. Maka sekali peristiwa Nabi Adam alaihissalam berjalan-jalan pada waktu subuh.
Maka tatkala itu Nnabi Adam pun bertemu dengan Rawanapertapa itu, kakinya digantungnya ke atas,
kepalanya ke bawah. Maka Adam bertanya, ”Hai Rawana ngapa engkau melakukan dirimu demikian dan
berapa lama sekarang?” Maka sahut Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, lama hamba sekarang baharu dua belas
tahun pertapa demikian ini.” (HSR: 4)

Perlu dikemukakan di sini bahwa rupanya bagi pengarang bilangan dua belas merupakan angka kesayangan
(Ikram, 1980:22). Rawana bertapa dua belas tahun (HSR: 3), me njadi raja di dalam negeri keindraan, di dalam
bumi, di laut masing-masing selama dua belas tahun ( HSR: 8-9). Sita Dewi kawin waktu dua belas t ahun (HSR:
171), ditawan Rawana dua belas tahun ( HSR: 615), juga waktu dibuang selama dua belas tahun ( HSR: 749).

Adapun latar sosial yang tampak dalam kisah ini adalah keadaan masyarakat di lingkungan istana kerajaan.
Hal ini tampak pada status para pelaku yang terkelompokkan atas paduka raja yang disembah dan kawula
yang mengabdi.

Maka hari pun malam. Maka Bibusanam menghadap Sri Rama. Maka titah Sri Rama pada maharaja S ugriwa
dan maharaja Bibusanam dan Hanuman, A nila, Anggada dan hanuman Tugangga, Anggata, Mahabiru, Nola,
Nila, Karang, Ketula dan segala raja- raja dan pada segala hulubalang tiga puluh tiga itu, ”Malam ini kita
berjaga karena kita hendak menganugerahi ayapan akan segala ra’yat.” (HSR: 557).

Seluruh kawula selalu mengabdikan hidupnya bagi kepentingan sang raja sebagai tuannya.

Maka kata maharaja Bibusanam, ”Jikalau tuan hamba hendak berdatang sembah pun nanti hari siang karena
Sri Rama lagi beradu. ”Maka Indrajit (sangat) ditegur oleh maharaja Bibusanam maka Indrajit pun undur
daripada tempat itu. Maka maharaja Bibusanam pun tahulah akan Indrajit. Maka oleh maharaja Bibusanam
dihunusnya senjatanya maka ia turun ke tanah mendapatkan Indrajit. Maka ditegurnya Indrajit katanya,
”Mengapatah maka tuan hamba selaku ini menghilangkannnn nama segala laki-laki? Adapun Sri Rama dan
Laksmana lagi beradu. Jikalau tuan hamba hendak bertikam marilah dengan hamba karena hamba seorang
 juga yuang jaga.” (HSR: 560).

3. Bahasa Hikayat Sri Rama

Hikayat Sri Rama sebagai bagian dari sastra Melayu, menggunakan bahasa Melayu sebagai medianya. Dalam
mengisahkan hikayat ini, pengarang menggunakan bahasa seperti orang yang menceritakan sejarah. Apa yang
diceritakan dan digambarkan dari tokohnya adalah apa-apa yang teramati serta eksistensi kejiwaaan yang
tersimpulkan dari prilaku para tokoh. Jadi, bahasa digunakan sebagai alat pemaparan (ekspositoris). Bahasa
yang digunakan berkesan bahasa lugas, objektif. Bukan bahasa artifisial yang dibuat-buat demi keindahan
cerita. Bahkan untuk menggambarkan watak tokoh yang luar biasa sekali pun, pengarang lebih m emilih kata-
kata pembanding yang terbatas.

Adapun anak baginda yang bernama Sri Rama itu pun besarlah, terlalu m aha elok rupanya, dalam alam dunia
ini seorang pun tiada sebagainya. Syahdan lagi perkasya dan berani. Datanglah usianya baginda kepada tujuh
tahun Maka terlalu sekali nakal. ( HSR: 149).

Dalam hal penggunaan kosakata, HSR cenderung menggunakan kata-kata yang sederhana, tanpa banyak
variasi atau perbedaan nuansa. Kata henan, misalnya, digunakan belasan kali dalam pengertian yang berbeda-
beda; misalnya, menunjukkan ’heran’ (HSR: 42), ’kagum’ (HSR: 36), ’tertegun’ (HSR: 143), ’bingung’ (HSR:
202), ’sedih’ (HSR: 677), prihatin’ (HSR: 658). Demikian pula halnya dengan sukacita dan dukacita. Kesedihan
yang sangat mendalam pada suatu adegan dinyatakan dengan kata-kata sebagai berikut: Maka maharaja
Rawana kembali ke istananya dengan dukacitanya .... empat puluh ari empat puluh malam dalam percintaan ”
(HSR:461) atau dengan menangisnya tokoh-tokoh, umpamanya, Laksmana ketika melihat Sri Rama telah
diculik (HSR: 499).

Dalam HSR, unsur bahasa selain sebagai media untuk mengantarkan cerita, j uga berfungsi sebagai pembentuk
struktur cerita. Hal ini ditandai dengan penggunaan kalimat-kalimat tertentu sebagai judul dan pengawal
episode. Dalam episode-episode awal peperangan mulai HSR XIII sampai dengan HSR XXXII tidak dipisah-
pisahkan oleh kalimat-kalimat yang menandakan episode baru. Namun, Kematian Indrajit dalam HSR XXII dan
kematian Mulamatani, HSR XXIII, diawali oleh semacam judul yang di sini digunakan untuk menekankan
kepentingan peristiwa tersebut. Pemasangan kalimat-kalimat judul di sini selain sebagai pengantar episode
baru, juga merupakan upaya penonjolan suatu kejadian, walaupun kecil. Selanjutnya, episode-episode yang
berjudul ialahHSR I, II, III, V, VI, X, XI, XII, XXIII, XXVII, XXIX, dan XXXI dua di antaranya mendapat tekanan
khsuus dengan ditandai oleh kata-kata ”Ini hikayat ...” . kata-kata ini tidak digunakan pada e pisode-episode
lain. Pada dua puluh episode lainnya kalimat pertama langsung memasuki cerita, meskipun diantar juga
dengan kata-kata khusus seperti hata, kalakian, berapa lamanya, alkisah, atau kombinasi kata-kata itu.
Acapkali hanya dengan kata yang lebih umum, seperti maka, sudah itu, dan sebagainya.

Hal yang menarik dari penggunaan bahasa Melayu dalam hikayat ini, setidaknya bagi penulis yang tidak
pernah menggunakan (mengenal) bahasa tersebut adalah bahwa dalam kisah ini sangat sering digunakana
kata maka. Berikut penulis kemukakan dua petikan:

Maka beberapa lamanya maka putri itu pun bunting datang kepada masanya akan beranak. Maka jadilah
anak maharaja rawana seorang laki-laki terlalu baik rupanya dan maha besar panjang sekali. Maka dinamai
maharaja Rawana Indrajit. Apabila anak raja itu amarah maka keluar ke palanya tiga dan tanganya enam.
Setelah datang umurnya kepada dua belas tahun usianya maka anaknya itu dirajakan oleh maharaja Rawana
(pada negeri) pada negeri keinderaan. Sudah itu maka maharaja Rawana pun masuk ke dalam bumi maka ia
 jadi raja dalam bumi. maka segala raja jin dan sjaitan dalam bumi itu semuhanya dalam
hukumnya. Maka maharaja Rawana beristri mengambil anak raja dalam bumi bernama putri Pertiwi Dewi.
Dengan demikian berapa lamanya makaberanak seorang laki-laki anaknya itu terlalu elok rupanya lagi gagah
(maka) [maka] dinamai baginda anak itu Patala Maharayan. Maka datang kepada dua belas tahun usia Patala
Maharayan maka dirajakan ayahnya dalam bumi ... ( HSR: 8-9).

Maka Patala Maharayan pun datang. Maka dilihatnya istana Sri Rama tiada kelihatan karena roma
Hanuman. Maka ia naik ke udara maka dilihatnya roma Hanuman sempai ke uadara, tiada ia beroleh
masuk. Maka patala maharayan pun turun ke bumi lalu masuk ke dalam bumi maka dikelilinginya bumi
dilihatnya roma Hanuman terus ke bawah bumi. Maka ia keluar dari dalam bumi maka iamenjadikan dirinya
hama masuk ke dalam roma Hanuman. maka dicaharinya istana Sri Rama. Maka Patala Maharayan pun
bertemu dengan istana Sri Rama. Maka dilihatnya para hulubalang berkawal, setengah mengelilingi istana Sri
Rama, setengah di bawah istana Sri Rama. Maka Patala Maharayan pun pergi. Maka .... (HSR: 492).

4. Amanat Hikayat Sri Rama

Menurut Ikram (1980: 9), cerita Me layu, khusunya yang tertulis, tidak lepas dari sifatnya sebagai alat
pengajaran. DalamHSR hal ini tampak pada bagian tertentu yang beberapa kali muncul, dapat dieknalnya
sebagai ’Leitmotif’. ’Leitmotif’ ini merupakan perumusan dari ajaran etika yang dikemukakan oleh cerita
sebagai keseluruhan, yang terkandung dalam segenap unsur ceritanya. Untuk pertama kali ’Leitmotif’ ini
muncul dalam dialog Nabi Adam dan Rawana ( HSR: 5-6). Melihat perjuangan Rawana yang begitu gigih untuk
mencapai kemuliaan dan kebesaran, Nabi Adam meluluskan permohonannya dengan memohonkan kepada
Allah dengan syarat Rawana harus menjadi raja yang baik.

”Sekarang engkau dijadikan Allah taala raja kepada keempat ne geri. Bukan barang-barang kebesaran
kauperoleh karena itu kepada seseorang pun belum ada demikian dianugerahkan Allah taala; baharulah
kepadamu juga jikalau dapat engkau baik kerajaanmu dan ingat engkau me nghukumkan karena Allah
subhanahu wa taala, karena dipinjaminya juga kerajaan itu dan berkata benar / dan jangan kaubinasakan hati
ra’yatmu dan teguh-teguh negerimu dengan kelengkapan dan segala senjatamu dan kasihi segala rakyatmu
dengan hukum sebenarnya dan jangan kaukerjakan barang yang dilarangkan Allah taala. Sekarang engkau
hendaklah berjanji engkau dengan aku apabila kauperbuat pekerjaan yang salah atau rakyatmu berbuat
pekerjaan yang salah keuperkenankan dan tiada kauhukumkan dengan hukum sebenarnya dengan segala itu
 juga engkau dibinasakan Allah subhanahu wa taala. Jika engkau mau berjanji demikian, maka aku mau
memohonkan kehendakmu itu kepada Allah karena segala raja-raja dunia semuhanya raja pinjaman. Jangan
kamu takabur karena kerajaan kamu dan kebesaran kamu semuhanya semuhanya pinjaman juga. Jangan
kamu seperti aku inilah keluar dari dalam syorga sebab tiada menurut titah / Tuhanku dan melalui firmanNya.
... (HSR: 5-7).

Amanat yang hampir sama dengan yang dikemukakan Nabi Adam di atas, antara lain dikemukakan pula oleh
Jamumenteri ketika ia akan diangkat menjadi raja. Pe ngangkatan itu ditolaknya karena ia merasa tidak dapat
memenuhi persyaratan-persyaratannya (HSR: 18-19). Dari dialog penolakannya sebagai raja, Jamumenteri
mengemukakan tujuh persyaratan sebagai raja. Tidak layak menjadi raja j ika seseorang tidak memenuhi tujuh
persyaratan tersebut. Jika dianalisis dan disusun kembali maka diperoleh tujuh sifat raja yang ideal,
yaitu (1) kearifan, (2) keadilan, (3) kasih, (4) sifat-sifat lahiriah yang menarik, (5) keberanian demi harga diri,
(6) keahlian perang, dan (7) pertapa.

Berikut adalah sekilas penjelasan amanat-amanat tersebut.

1) Kearifan

Arif diartikan tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk. rasa moral yang tinggi
seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku raja, bahkan harus menjadi kepribadiannya.
Dalam HSR digambarkan, karena kurangnya sifat arif itu raja dapat berbuat hal yang akibatnya mencelakakan
atau membuat sengsara orang. Rawana yang memperturutkan hawa nafsunya terjatuh dalam perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan: menculik Sita Dewi, dan keras kepala, menolak mengembalikan Sita De wi bahkan
berniat melawan Sri Rama. Dalam hubungan ini disarankan agar dipertimbangkan baik buruknya suatu
perbuatan sebelum dilakukan. ”Itulah segala raja-raja hendak dengan budi bicara agar supaya ia sempurna
dalam dunia” (HSR: 243), karena ”manusia tiada pernah menyesal dahulu, kemudian juga ia menyesal”. (HSR:
436, 438).

2) Keadilan

Dalam HSR keadilan sering disebut bersamaan dengan kasih. Dapatlah ditafsirkan bahwa keadilan
berdasarkan kasih karena dalam hubungan ini raja adalah penguasa, sedangkan rakyat yang tidak berdaya ada
dalam naungannya (HSR: 243, 285).

3) Kasih

Sri Rama menasihat kedua saudaranya, ”Jangan tiada mengasihi segala ra’yat yang teraniaya dan me ngasihi
segala hamba”. (HSR: 286). Sifat ini mendapat penekanan yang utama dalam HSR. Raja harus merasa sayang
kepada rakyat dan umat manusia pada umumnya; janganlah ia aniaya kepada siapa pun juga. Rawana telah
melanggar hukum ini ketika melarikan Sita Dewi tanpa ”meme liharakan rasa segala hambanya”, begitu kata
Catayu (HSR: 235).

4) Sifat-sifat lahriah yang menarik 

Anggapan unsur ini penting bagi seorang raja bisa terlihat dari g ambaran beberapa raja. Maharaja Dasarata
dikatakan bahwa ia ”terlalu baik parasnya” (HSR: 140). Sri Rama digambarkan sebagai ”terlalu amat elok
rupanya, dalam alam dunia ini seorang pun tiada sebagainya” (HSR: 149). Demikian pula Tabalawi dikatakan
”terlalu elok rupanya” (HSR: 738).

5) Keberanian demi harga diri 

Raja harus disegani oleh sesamanya. Jika tidak, percumalah martabatnya yang tinggi. Raja wajib berani
bertindak jika merasa terhina. Ini dikemukakan oleh Baliksya ketika, untuk menjaga namanya sebagai raja, ia
hendak membalas kekalahan yang pernah diderita keluarganya dari tangan keluarga raja Syaksya di masa
silam; hanya dengan demikian seorang raja dapat mengharapkan penghargaan dari sesama raja ( HSR: 28-29).

6) Keahlian perang

Dalam ajaran mengenai perang dan segala sesuatu yang bertalian dengan keprajuritan m enduduki tempat
yang penting dalam ’Leitmotif’ ini. Keahlian perang tidak terbatas pada pemainan senjata, te tapi mencakup
 juga segala pikiran yang melatarbelakangi peperangan dan tingkah laku yang bersumber padanya.

Bagi raja, termasuk laki-laki dalam peranannya sebagai prajurit, sebagai hulubalang, intinya dikemukakan oleh
Bermarajadiraja di depan mayat anaknya yang tewas me lawan Sri Rama, ”Baik engkau mati dengan nama laki-
laki daripada akan menyembah sama raja- raja yang dijadikan Dewata Mulia Raya dalam dunia” (HSR: 215).

7) Pertapa

Sifat pertapa adalah yang paling menentukan bagi perangai dan sepak terj ang raja. Seorang raja yang selalu
berkecimpung dalam kemewahan dan kekuasaan jelas sangat terbuka jiwanya bagi rasa takabur, tinggi hati,
dan lupa. Dengan pertapaan, yang berarti hidup dalam segala kekurangan, keprihatinan, dan t irakat, kata
hikmat tujuh perkara rahasia *akan+ membukakan dirinya”; maksudnya ia akan mencapai kearifan yang begitu
diperlukan dalam jabatannya ( HSR: 19). Ia akan menyadari keterbatasannya sebagai manusia serta menginsafi
segala kekuasaannya dan kekayaannya itu tidak kekal; semuanya bisa hilang begitu saja. Tambahan pula
segala kekuasaan dan kekayaan itu hanyalah pinjaman dari Dewata Mulia Raya yang justru membawa beban
berat sehingga tidak pada tempatnya mereka takabur dan lupa (HSR, 5-6, 203-204). Kealpaan ini dapat
dihindari dengan menjauhkan diri dari kesenangan dunia. ”Jangan engkau alpa dengan permainan”, tutur Sri
Rama kepada anaknya Tilawi ( HSR: 806). ”Jangan lupa lalai dalam kerajaan” (HSR: 285). ”Dunia ini tiada akan
sungguh”, semua akan hilang musnah kecuali nama. ”Adapun nama yang baik itu tiada binasa lagi
kekal selama-lamanya dalam dunia dan akhirat”, pesan Sri Rama kepada adik -adiknya (HSR: 289).

Pada seorang raja, keenam sifat yang lain ak an lebih mantap dan pasti dengan terlaksananya sifat yang
terakhir. Begitulah amanat terpenting yang diajarkan HSR dan dibawakan oleh S ri Rama dan tokoh-tokoh lain.

Beberapa amanat tersebut merupakan amanat utama. Ada beberapa hal lain sebagai amanat penunjang,
yaitu:

1) Contoh kerajaan
Untuk melengkapi HSR sebagai suatu teladan bagi para raja ada pula dikisahkan kebijaksanaan Sri Rama
dalam mendirikan suatu kerajaan (HSR: 718-730), mulai dari bentuk ideal sebuah keraton dengan tembok
pertahanannya dan perabotannya semapi kepada cara mencari penduduk yang serba cakap untuk isi negeri.

2) Hamba setia

Sifat ini dapat dilihat sebagai penopang yang kokoh bagi wibawa raja. Seiring dengan ketinggian martabat
raja, HSRmengajarkan kepatuhan mutlak kepada semua orang yang mengabdi raja. Ini bukan berarti suatu
kepatuhan yang buta; justru sebaliknya, kepatuhan yang disertai usaha agar tuannya selalu di jalan yang
benar. Hanuman merumuskan penafsiran tentang hamba yang baik sebagai berikut: ”... manikam yang tiada
terhargakan itu menteri yang budiman, yang adil acaranya, dan hamba yang baik menjadikan kerja tuannya ...
(HSR: 780).

5. Aspek Mimesis Hikayat Sri Rama

Karya seni merupakan dokumen sosial (Teuw, 2003:184). Hal tersebut bermakna bahwa karya seni tidak lepas
dan mencerminkan dunia nyata, masyarakat tempat karya seni itu diciptakan. Pada proses penciptaannya,
karya seni tidak dapat lepas dari kehidupan sosial sebagai sumber inspirasi. Demikian juga, makna karya seni
tersebut, tidak bisa lepas dari penilaian berdasarkan unsur-unsur kenyataan sosial yang ada.

Pendapat tersebut didasari oleh pandangan Plato. Menurut Plato, tidak ada pertentangan antara realisme
dan idealisme dalam seni: seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu
makna hakiki kenyataan itu. (Teuw, 2003: 181). Selanjutnya, Teuw menjelaskan, bahwa dalam puitika Cina
umumnya aspek mimetik ditekankan: seni, sastra harus meneladani tata semesta, kebenaran kesejahteraan
dan kebenaran kemanusiaan. Ciptaan dalam arti rekaan murni tidak dianggap seni (Teuw, 2003:183). Jadi
 jelaslah, sebagai karya seni, sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan kenyataan sehari-hari.
Sebagaimana, dikemukakan Wellek (1990: 79-153) bahwa ada 4 faktor ekstrinsik yang saling berkaitan
dengan makna karya sastra, yakni: (1) biografi pengarang, (2) psikologis (proses kreatif), (3) sosiologis
(kemasyarakatan), sosal budaya masyarakat, dan (4) filosofis.

Demikian juga halnya dengan Hikayat Sri Rama ( HSR).Pemaknaan hikayat ini bisa dipahami dengan
meninjaunya dari aspek mimesisnya.

Berkenaan dengan hal itu, menurut Ikram (1980: 1) HSRtidak hanya disenangi pada masa kini, tetapi juga
pada masa lampau. Dari zaman ke zaman cerita ini tidak per nah lepas dari angan-angan nenek moyang kita.
Dalam bentuk sastra masih tersimpan antara lain Kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno;Hikayat Sri 
Rama berbahasa Melayu; Rama Keling, Serat Kanda, dan Serat Rama gubahan Yasadipura dalam bahasa Jawa
Baru. Dalam bentuk pahatan batu, kisah Rama tersimpan pada relief-relief c andi Prambanan dan Panataran.
Di Bali pun pengaruhnya terasa dan tersimpan dalam berbagai bentuk. Semuanya ini meliputi kurun waktu
seribu tahun lebih.

Secara umum diketahui, bahwa cerita Sri Rama berasal dari India. Di tanah asalnya kisah Sri Rama ter dapat
dalam berbagai bentuk dengan berbagai bahasa daerah; berulang-ualng diolah sejak beberapa abad sebelum
Masehi sampai zaman modern. Di antaranya yang paling terkenal dan yang dianggap baku
ialahRamayana karangan Walmiki.

Di Indonesia, kisah Rama ini menarik perhatian beberapa orang peneliti, antara H. Kern (1900), Juynboll
(1922, 1936), Poerbatjaraka (1940), Manomohan Gosh (1936), Hooykaas (1958). Khusus mengenai HSR sudah
diteliti sejak awal, antara lain oleh Roorda van Eijsinga (1843), Maxwell (1886), Shellabear (1915), Gerth van
Wijk (1891), Winsteadt (1929) dan Overbeck (1933) (Ikram, 1980:1-2).
Berdasarkan metode penelitian struktur cerita yang dikembangkan oleh Propp dalam telaahnya mengenai
dongeng rakyat Rusia, Ikram (1980) menganalisis HSR berdasarkan pendekatan sinkronis. Menurut Ikram,
cara-cara tersebut dapat diterapkan juga pada sastra Melayu Lama karena keduanya memiliki banyak ciri
yang serupa (Ikram, 1980: 5). Be rkenaan dengan aspek mimesis, sangat sedikit yang dikemukakannya,
meskipun diekmukakannya pula bahwa ”cipta sastra adalah hasil daripa kumpulan paham serta ko nvensi yang
dianut oleh masyarakat yang menghasilkan sastra itu pada suatu kurun waktu tertentu”.

Sebagai hasil karya seni manusia, HSR tetap saja mencerminkan kehidupan masyarakat, paling tidak pada
aspek-aspek tertentu. Menurut pengamatan penulis, dalam HSR, tercermin aspek ke hidupan nyata antara lain
latar kehidupan sosial yang melatari kisah ini, alam fisik, alam khayali (metafisik), agama,dan budaya.

HSR yang diteliti oleh Ikram (1980) ini didasarkan pada kisah Rama yang ada pada Naskah Laud. Kisah ini
tergolong naskah Melayu tertua. Jika naskah ini dibeli oleh Laud pada tahun 1633, se bagaimana tertulis pada
catatan kaki naskah, maka naskah ini merupakan penanggalan yang palin awal dari naskah Rama Melayu
(Ikram, 1980: 72). Naskah tersebut memiliki ketebalan 807 halaman.

Berdasarkan identitas naskah tersebut, HSR ini diciptakan pengarangnya sebelum abad ke-15 atau ke-16.
Pada kurun waktu itu, masyarakat dunia, sedang dikuasai oleh penguasa-penguasa berstatus raja. Wajarlah
 jika HSR ini berlatar sosial masyarakat di sekitar kerajaan (istana centris). Tidak mengherankan jika ke hidupan
sosial yang digambarkan adalah kehidupan masyarakat feodal, yang terdiri dari masyarakat umum yang
berstatus sebagai abdi (kawula) di satu sisi, dengan kelompok penguasa yang bestatus sebagai tuan. Dari dua
kategori masyarakat cerita, yang dominan, bahkan hampir selamanya, berperan adalah kelompok tuan,
pembesar kerajaan (raja-raja, hulubalang, dan kalangan istana lainnya), masyarakat kawula hampir tidak
pernah diceritakan.

Aspek latar cerita lain kisah ini adalah latar fisik cer ita. Dalam kisah ini yang diceritakan adalah istana
kerajaan, medan peperangan, kota kerajaan, hutan, angkasa, dan lautan. Dai aspek-aspek fisik tersebut yang
paling banyak menjadi latar cerita adalah istana kerajaan. Sebagian besar peristiwa yang terjadi pada kisah ini
berlatarkan istana kerajaan.

Sebagai cerita lama, yang masyarakatnya menganut kepercayaan terhadap dewa-dew a, maka dalam kisah ini
banyak kejadian-kejadian yang melampaui batas akal pikiran manusia saat ini yang dilakoni oleh tokoh-tokoh
khayali atau tokoh metafisik. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain,

Maka dengan kodrat Allah subhana (hu) wa taala itu Nabi Adam pun diturunkan Allah taala dari dalam syorga,
berapa lamanya dalam dunia. Maka sekali peristiwa Nabi Adam alaihissalam berjalan-jalan pada waktu subuh.
Maka tatkala itu Nabi Adam pun bertemu dengan Rawana pertapa itu, kakinya digantungnya ke atas,
kepalanya ke bawah. Maka Adam bertanya, ”Hai rawana ngapa engkau melakukan dirimu demikian dan
berapa lama sekarang?” Maka sahut Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, lama hamba sekarang baharu dua belas
tahun pertapa demikian ini.” Maka kata Nabi Adam: ”Hai Rawana apa juga engkau pohonkan kepada Allah
subhanahu wa taala engkau menghalkan dirimu demikian ini?” Maka sembah Rawana, ”Ya tuhanku Nabi
Allah, jikalau dapat kiranya hamba pohonkan anugerah Allah taala yang hamba kehendaki itu, maka mau
hamba bersembahkan diakepada tuan hamba” Maka sabda Nabi Adam, ”Hai Rawana kaukatakanlah yang
kehendak hatimu itu, kudengar. Mudah-mudahan dapat kupohonkan kepada Allah subhanahu taala. ”Maka
kata Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Adam yang kehendak hati hamba itu jikalau dapat kiranya hamba poh onkan
empat kerajaan kepada / empat tempat. Suatu kerajaan dalam dunia, kedua kerajaan pada keinderaan, ketiga
kerajaan di dalam dalam bumi, keempat kerajaan di dalam laut”. Maka sahut Adam alaihissalam, ”Jikalau
engkau mau berjanji-janjian dan teguh-teguh pada katamu, mau aku mo honkan kehendakmu itu kepada Allah
taala” Maka sembah Rawana, barang janji tuan hamba hamba turut t iada hambasalahi lamun kehendak
hamba ini jadi hamba peroleh.” Maka ujar Nabi Adam alaihissalam, ”Sekarang engkau dijadikan Allah t aala
raja kepada keempat negeri. Bukan barang-barang ke besaran kauperoleh karena itu kepada seseorang
pun belum ada demikian dianugerahkan Allah taala; barulah kepadamu ... ( HSR: 4-5)

Adapun dihikayatkan orang yang empunyai cerita hikayat ini setelah sudah Rawana dibuangkan ayahnya ke
bukit Serandib maka Citrabaha pun beranak tiga orang. Seorang bernama Kumbakarna, mulanya jadi sepuluh
hasta tingginya tiga hasta lebar dadanya, rupanya menurut rupa nenenya maharaja Datikawaca r aja
raksyasya. Hata kalakian datang kepada dua belas tahun usianya. Kumbakarna jika ia tidur maka ia jaga, tiga
bulan lamanya jaga, siang malam makan kumbakarna itu, tigapuluh tempayan air sekali diminum
Kumbakarna. ... (HSR: 15)

Dua kejadian tersebut merupakan contoh kejadian yang menurut hemat penulis, tidak bisa diterima akal
sehat. Berikut ini adalah ringkasan kejadian-kejadian sejenis.

¨ Maharaja Dasarata menemukan putri yang sangat cantik yang sedang duduk di atas parasana buluh betung
yang ditebasnya. Sebelumnya, ketika ditetak (ditebas) oleh abdinya, betung tersebut selalu tumbuh kembali.
Putri tersebut kemudian dinamainya Mandudari dan dinikahinya ( HSR: 143)

¨ Kedua istri Maharaja Dasarata, Mandudari dan Baliadari, tidak juga punya anak. Karena itu, Dasarata
meminta anak kepada Maharesi Dewata. Diberi empat biji ge liga. Dua biji diberikan kepada mandudari, dia
biji diberikan kepeda Baliadari. beberapa bulan kemudian, kedua istrinya masing-masing melahirkan dua
orang anak. Mandudari melahirkan Sri Rama dan Laksmana; Baliadari melahirkan Berdana dan Citradana
(HSR: 148)

¨ Mandudari menciptakan Mandudari tiruan ketika dia diminta oleh Rawana kepada suaminya, Dasarata.
Mandudari tiruan itu diciptakannya dari daki yang dipujanya ( HSR: 59).

¨ Hanuman anaka Sri Rama dan Sita Dewi melalui perantara Dewi Anjani. Pada pengembaraannya di hutan, Sri
Rama dan Sita Dewi sempat menjadi kera karena mencerburkan diri pada kolam sehari bunting. Saat menjadi
kera itu, mereka bersetubuh. Setelah menjadi manusia kembali, diketahui bahwa mereka akan melahirkan
anak berwujud kera. Dipaksalah agar Sita Dewi mengeluarkan manikam dari tubuhnya. Manikamitu
dibungkus Sri Rama dengan daun budi , kemudian diberikan kepada angin Bayu bata supaya dibubuhkan
kepada mulut Dewi Anjani yang sedang bertapa di tengah laut. Kemudian lahirlah Hanuman (HSR: 209)

¨ Maharesi Kala menciptakan Gusi (kembaran Tilawi, anak Sita Dewi), dari daun pucuk ilalang. Gusi diciptakan
Maharesi Kala karena Tilawi yang sedang dalam asuhannya, hilang. Gusi akan diajdikan sebagi pengganti
Tilawi. Ternyata Tilawi menemui ibunya, Sita Dewi ( HSR: 738).

Selanjutnya, dalam aspek agama, Ikram (1980: 8 ) menjelaskan bahwa pada zaman itu sebagian besar
penduduk Sumatra sudah beragama Islam, tetapi setebal apa keimaan dan sekuat apa sisa-sisa agama Hindu
dan kepercayaan pribumi tak ada gambaran yang jelas. Dalam HSR, misalnya, kita lihat bahwa frekuensi
penggunaan ungkapan ’Dewata Mulia Raya’ jauh lebih tinggi daripada ungkapan ’Allah taala’, Akan tetapi, hal
itu mungkin hanya merupakan penyesuaian dengan suasana cerita saja, bukan bukti kekuatan unsur Hindu
yang lebih besar. Kita tahu pula bahwa di sekitar z aman itulah di Aceh berkembang sastra keagamaan Islam
dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin; suatu zaman yang merupakan taraf konsolidasi agama Islam di
Indonesia. Juga suatu zaman yang sudah mengenal cerita-cerita Islam seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah,
dan Hikayat Amir Hamzah. Ditinjau secara umum, nilai-nilai yang dikemukakan HSR tak ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam Bahkan ada yang sesuai sekali seperti kedermawanan yang
termasuk amal yang saleh, kesabaran, dan kerendahan hati.

Menurut isinya, hikayat ditujukan kepada raja, tetapi tidak kurang pula unsur menarik bagi or ang kebanyakan
sehingga dalam abad ke-19 ia disukai sebagai bacaan umum di daerah Bet awi(Ikram, 1980: 8). Winstead
pernah mengemukakan bahwa naskah Laud sangat boleh jadi ditulis untuk khalayak istana kerajaan Islam
yang masih menyukai cerita Hindu, asal saja isinya disesuaikan dengan persyaratan Islam (dalam Ikram, 1980:
8).

Berkenaan dengan budaya, dalam HSR ini terungkap kisah tentang pembuatan jembatan penyeberangan.
Jembatan penyeberangan yang dibuat, tidak tanggung-tanggung, yaitu jembatan untuk menyeberangi lautan
dalam upaya menyerang negeri Langkapuri tempat berkuasanya Rawana yang me nculik Sita Dewi. Meskipun
dalam kisah ini, pembuatan jembatan itu dibumbui dengan kejadian-kejadian yang luar biasa, tetapi sudah
menggambarkan adanya upaya, penggunaan akal budi, guna mencapai tujuan.

6. Keterkaitan antara Struktur, Bahasa, dan Aspek Mimesis dalam HSR

Keterkaitan antara Struktur dan Bahasa

Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa dalam mengisahkan hikayat ini, pengarang
menggunakan bahasa seperti orang yang menceritakan sejarah. Apa yang dice ritakan dan digambarkan dari
tokohnya adalah apa-apa yang teramati. Eksistensi kejiwaaan para tokoh pun tersimpulkan dari prilaku para
tokoh tersebut. Jadi, bahasa digunakan sebagai alat pemaparan (ekspositoris). Bahasa yang digunakan
berkesan bahasa lugas, objektif, bukan bahasa artifisial yang dibuat-buat demi keindahan cerita.

Dalam HSR, unsur bahasa selain sebagai media untuk mengantarkan cerita, juga ber fungsi sebagai pembentuk
struktur cerita. Hal ini ditandai dengan penggunaan kalimat-kalimat tertentu sebagai judul dan pengawal
episode.

Dalam hal penggunaan kosakata, HSR cenderung menggunakan kata-kata yang sederhana, tanpa banyak
variasi atau perbedaan nuansa. Kese derhanaan penggunaan bahasa tersebut berpengaruh pada penyampaian
amanat oleh pengarang melalui tokoh-tokohnya. Amanat-amanat yang diajarkan HSR tidak hanya
disampaikan oleh tokoh tertentu, tokoh utama atau atau tokoh protagonis, tet api juga dibawakan oleh tokoh-
tokoh lain secara berulang-ulang. Penekanan amanat dilakukan dengan cara pengulangan tidak dengan
bahasa yang padat dan dalam.

Keterkaitan antara Struktur dan Mimesis

Sebagaimana karya satra lainnya, HSR, terbentuk atas unsur-unsur cerita yang membangunnya. Mengenai
struktur HSR ini sudah dijelaskan secara lengkap pada bagian yang lalu. Demikian juga sebagai karya seorang
sastrawan, HSR tidak terlepas dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada di sekitar pengarangnya. Ada
keterkaitan yang erat antara struktur (intrinsik) dengan unsur mimesis (ekstrinsik).

Unsur kehidupan nyata atau mimesis (ekstrinsik) dalam HSRtecermin antara lain terkandung dalam unsur
tokoh, latar, dan amanat.

Berdasarkan identitas naskah tersebut, HSR ini diciptakan pengarangnya sebelum abad ke-15 atau ke-16.
Pada kurun waktu itu, masyarakat dunia, sedang dikuasai oleh penguasa-penguasa berstatus raja. Wajarlah
 jika HSR ini berlatar fisik dan sosial lingkungan masyarakat kerajaan ( istana centris). Tidak mengherankan jika
tempat-tempat peristiwa berlatar istana kerajaan. Demikian juga kehidupan sosial yang digambarkan adalah
kehidupan masyarakat feodal, yang terdiri dari masyarakat umum yang berstatus sebagai abdi (kawula) di
satu sisi, dengan kelompok penguasa yang bestatus sebagai tuan. Dari dua kategori masyarakat ce rita, yang
dominan, bahkan hampir selamanya, berperan adalah kelompok tuan, pembesar kerajaan (raja-raja,
hulubalang, dan kalangan istana lainnya), masyarakat kawula hampir tidak pernah diceritakan.

Pada saat itu juga, masyarakat Sumatra, bisa dikatakan berada pada masa transisi keyakinan akan agama.
Agama Islam sedang memasuki tahap konsolidasi, khususnya di Aceh. Sedangkan agama Hindu memasuki
masa meredup. Keadaan ini tampak pada HSR. Pada kisah ini terdapat tokoh Islam, yaitu Nabi Adam yang
berperan menyampaikan amanat cerita dalam dialognya dengan Rawana. (lihat HSR: 4-5). Selanjutnya,
amanat tersebut meskipun disampaikan sebagai persyaratan raja yang ideal, pada dasarnya, secara umum,
nilai-nilai yang dikemukakan HSR tak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam B ahkan ada yang
sesuai sekali seperti kedermawanan yang termasuk amal yang saleh, ke sabaran, dan kerendahan hati.

Adapun alam khayali, bagi masyarakat masa kini, banyak terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang
membentuk alur kisah ini. Demikian juga aspek budaya.

Keterkaitan antara Bahasa dan Mimesis

Dalam HSR, bahasa yang merupakan media cerita, juga dipengaruhi oleh aspek mimesis yang mempengaruhi
cerita. Dalam kisah ini frekuensi penggunaan ungkapan ’Dewata Mulia Raya’ jauh lebih tinggi daripada ’Allah
taala’, Akan tetapi, hal itu mungkin han ya merupakan penyesuaian dengan suasana cerita saja, bukan bukti
kekuatan unsur Hindu yang lebih besar. Kita tahu pula bahwa di sekitar zaman itulah di Aceh berkembang
sastra keagamaan Islam dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin; suatu zaman yang merupakan t araf 
konsolidasi agama Islam di Indonesia. Juga suatu zaman yang sudah mengenal cerita-cerita Islam
sepertiHikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Hikayat Amir Hamzah.

HSR yang diteliti oleh Ikram (1980) ini didasarkan pada kisah Rama yang ada pada Naskah Laud. Kisah ini
tergolong naskah Melayu tertua. Naskah ini jelas menggunakan bahasa Melayu sebagai medianya. Dengan
begitu, dari kisah ini kita bisa memperkirakan bahwa hikayat, yang sudah dipengaruhi oleh agama Islam, pada
masa itu sudah merupakan suatu karya sastra. Hikayat ini terutama ditujukan untuk masyarakat istana atau
raja-raja Islam. Selain itu, ditujukan juga untuk masyarakat umum. Sebagaimana pendapat Ikram (1980: 8 )
bahwa menurut isinya, hikayat ditujukan kepada raja, tetapi tidak kurang pula unsur me narik bagi orang
kebanyakan sehingga dalam abad ke-19 ia disukai sebagai bacaan umum di daerah Betawi.

Aspek mimesis lain yang justru paling penting adalah nilai-nilai kehidupan yang disampaikan dalam amanat
cerita. Asepk ini terungkap dalam HSR dalam beberapa kali dan melalui beberapa tokoh. Hal ini karena bahasa
yang digunakan adalah bahasa yang e kspositoris dan objektif. Penekanan nilai-nilai kehidupan yang ingin
disampaikan dilakukan cara pengulangan, bukan dengan bahasa yang direkayasa.

Akhirnya, secara umum bisa disimpulkan bahwa pengarang cerita ini seakan-akan ingin mengatakan bahwa
kisah dalam HSRini bukan rekayasa, terutama bukan rekayasa dirinya (baca: ini kisah yang benar-benar
terjadi). Dia menceritakan kisah ini berdasarkan orang lain. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa yang
sederhana, ekspositoris, lugas dan objektif. Hal ini tampak pula dari penggunaan beberapa ungkapan seperti :
Ini hikayat yang terlalu indah-indah termashur diperkatakan orang di atas angin dan di bawah angin, nyata
kepada segala sastra, ..., Alkisah ini diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini ..., Adapun dihikayatkan
orang yang empunya hikayat ini ..., Ini hikayat ...., Datanglah kepada hikayat ....

Daftar Pustaka

Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Ikram, Achadiati. 1980. Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur . Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
 ________. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi . Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

http://asdin-jembar-cianjur.blogspot.com/2009/01/analisis-hikayat-sri-rama.html
Kakawin Ramayana
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dua lembar lontar kakawin Ramayana yang tertua dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional R.I. Lontar ini berasal dari

pegunungan Merapi-Merbabu, Jawa Tengah dari abad ke-16 M.

Kakawin Rāmâyaṇa (aksara Bali: , Jawa: )

adalah kakawin (syair) berisi ceritaRamayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat

di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M.

kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya
bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali, Kakawin Ramayana ini dipercaya ditulis oleh seorang

bernama Yogiswara. Hal ini ditolak olehProf. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya, Yogiswara memang tercantum

pada baris terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi hal itu bukan merupakan identitas penulis, tetapi kalimat penutup
yang berbunnyi :

Sang Yogiswara çista, sang sujana suddha menahira huwus matje sira

kalimat tersebut jika diterjemahkan demikian:

Sang Yogi (pendeta/begawan) semakin bertambah pandai, Para sujana (cendekia/bijak) semakin bersih hatinya

setelah membaca cerita ini .

Jadi jelas bahwa Yogiswara bukan merupakan nama penulis Ramayana Jawa ini.

Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah s atu dari banyak versi mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita

agung yang versi awalnya digubah di I ndia oleh Walmiki dalam bahasa Sanskerta. Beberapa peneliti

mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada

Ramayana versi Walmiki, akan tetapi mengacu ini merupakan transf ormasi dari kitab Rawanawadha yang ditulis
oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra

dari India yang menemukan beberapa bait Ramayana Ja wa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.

Dari segi alur cerita, Kekawin Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana Walmiki. Pada akhir cerita,
sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka berpisah kembali, jadi Rama dna Sita tidak hidup bersama,

demikian versi Walmiki. Sedang dalam versi Jawa, Rama dan Sita hidup bersama di Ayodya.
Daftar isi

[sembunyikan]

1 Ringkasan

2 Contoh teks

o 2.1 Kiasan

o 2.2 Aliterasi

o 2.3 Lukisan alam

3 Hubungan dengan teks-teks lain

4 Panala luar

5 Bacaan lebih lanjut

[sunting]Ringkasan

Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu

hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan

pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.

Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di
mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh

merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka

pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.

Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun
Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa

Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang

pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama,
raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta

Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sanskerta: pâduka) kepada

Bharata sebagai lambang kekuasaannya.

Relief Sita yang diculik. Relief ini terdapat di Candi Prambanan, Jawa Tengah.
Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hut an Dandaka. Di sana ada s eorang raksasi bernama Surpanakha yang
 jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan

malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah d an mengadu kepada kakaknya sang Rahwana
(Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica,

seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok.

Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi

mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat ges it dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan

memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raks asa dan mati. Sita yang

berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak
tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal

sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.

Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha

menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang s ekarat masih bisa melapor 

kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.

Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan

seorang raja kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan ist rinya dikembalikan

ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang

dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke

 Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

[sunting]Contoh teks

Oleh para pakar dan sastrawan, kakawin Ramayana dianggap sebuah syair yang sangat indah dalam bahasa Jawa

Kuna seperti sudah disinggung di atas. Di bawah disajikan beberapa cuplikan dari teks ini beserta terjemahannya
dalam bahasa Indonesia.

[sunting]Kiasan

I.5

Jawa Kuna Terjemahan

Kadi mégha manghudanaken, Seolah-olah awan yang menghujani,

pad.anira yar wéhaken ikang dâna, begitu persamaannya apabila memberi sumbangan,

dînândha krepan.a ya winéh, orang hina-dina dan cacat juga diberi,

nguni-nguni d.ang hyang d.ang âcârya. apalagi para pandita dan orang suci.
[sunting]Aliterasi

XI.7

Jawa Kuna Terjemahan

Molah wwaining tasik ghûrnnitatara gumuruh Air laut berombang-ambing dengan dahsyat dan b ergemuruh karena
dényangin sang Hanûmân, angin sang Hanuman.

kagyat sésînikang sâgara kadi ginugah nâga Terkejutlah seluruh isi laut, seakan-akan naga dikocok dan menjerit
kolâh alâwû, terbangun.

lunghâ tang bâyu madres kayu-kayu ya katûb Berlalulah angin ribut dan pohon-pohon kayu jatuh bertumbangan,
kampitékang Mahéndra, seakan-akan gunung Mahendra bergetar.

sakwéhning wânarâ nghér kaburu kabarasat Semua kera yang berdiam di sana terbirit-birit lari ketakutan seakan-
sangshayé shatru shakti. akan dikejar oleh musuh yang sakti.

[sunting]Lukisan alam

Hanuman dalam bentuk boneka wayang kulit dari Yogyakarta.

XVI.31 (Bhramara Wilasita)

Jawa Kuna Terjemahan

Jahnî yâhning talaga kadi langit, Air telaga jernih bagaikan langit,

mambang tang pâs wulan upamanikâ, Seekor kura-kura yang mengambang seolah-olah bulan,
wintang tulya ng kusuma ya sumawur, Bintang-bintangnya adalah bunga-bunga yang tersebar,

lumrâ pwêkang sari kadi jalada. Menyebarlah sari-sarinya, seakan-akan awan.

[sunting]Hubungan dengan teks-teks lain

Kakawin Ramayana setelah diteliti oleh para pakar t ernyata secara detail tidak mirip dengan versi-versi Ramayana

di Nusantara lainnya, seperti Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, Serat Rama Keling dalam bahasa Jawa

Baru dan juga relief -relief Ramayana yang terdapatkan di Candi Prambanan.

Setelah diteliti ternyata sebagian besar kakawin Ramayana berdasarkan sebuah syair dalam bahasa Sanskerta dari

India yang berjudul Rāvaṇavadhayang ditulis oleh pujangga bernama Bhaṭṭikāvya dari abad ke-6 sampai 7.

Dalam sastra Jawa Baru, kakawin Ramayana digubah ulang oleh kyai Yasadipura menjadi Serat Rama.

[sunting]Panala luar 

 (Indonesia) (Inggris) Ramayana versi Jawa

[sunting]Bacaan lebih lanjut

 (Indonesia) Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka, 1952,Kapustakaan Djawi , Jakarta : Djambatan. Edisi Bahasa

Jawa.

 (Indonesia) Dinas Pendidikan Dasar Propinsi DATI Bali, 1987, Kekawin Ramayana. 2 jilid. (Suntingan teks dan

terjemahan dalam bahasa Indonesia)

 (Inggris) C. Hooykaas, 1955, The Old-Javanese Rāmāyaṇa kakawin, VKI 16, The Hague: Martinus Nijhoff.

(Resensi)

 (Belanda) Hendrik Kern, 1900, Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht , ’s Gravenhage: Martinus

Nijhoff. (Suntingan teks saja, menggunakan aksara Jawa)

 (Inggris) Soewito Santoso, 1980, Rāmāyaṇa kakawin, New Delhi: International Academy of Indian Culture. 3

 jilid. (Suntingan teks dalam huruf Latin dan terjemahan dalam bahasa Inggris)

 (Inggris) P. J. Zoetmulder , 1974, Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature , The Hague: Martinus Nijhoff.

Edisi bahasa Inggris. (Resensi, hal 218-233) ISBN 90-247-1674-8

 (Indonesia) P. J. Zoetmulder , 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang , Jakarta: Djambatan.

Edisi bahasa Indonesia. (Resensi, hal. 277-297)

Awal hikayat, diceritakan  perihal lahirnya Rawana setelah dikandung ibunya,


Raksagandi, selama dua tahun. Pada usia 12 tahun Rawana sudah  biasa memukul mati
teman-teman sepermainannya sehingga ia dibuang oleh kakeknya, Bermaraja ke  bukit
Srandib. Setelah  bertapa selama 12 tahun di sana, ia  bertemu dengan  Nabi Adam. Dengan
syarat taat akan hukum Allah SWT., ia dianugerahi empat alam kearajaan yang kesemua
rajanya tunduk  kepadanya, yaitu kerajaan alam keindraan, kerajaan di dalam  bumi, kerajaan
di laut, dan kerajaan di  permukaan  bumi. Di negeri keindraan ia  berkuasa,  beristri  Nila
Utama dan  beranak  yang dinamainya Indrajit. Di dalam  bumi ia  berkuasa,  beristri Putri
Pertiwi Dewi  beranak Patala Maharayan. Di laut ia berkuasa, beristri Gangga Mahadewi dan
 beranak Rawana Gangga Mahasura. Dalam usia 12 tahun anak-anaknya diangkatnya menjadi
raja. Di Serandib sendiri Rawana mendirikan istana kerajaan  besar, Langkapuri. Semua
kerajaan di  permukaan  bumi (alam dunia) takluk  kepadanya kecuali kerajaan Indrapuri,
Birukasyapurwa, Lakurkatakina, dan negeri Aspahaboga.

Sepeninggal Rawana,  Negeri Indrapurinegara, Bermaraja, kakek  Rawana meninggal


digantikan oleh Badanul. Setelah Badanul meninggal, naik  tahtalah Raja Citrabaha, ayah
Rawana. Citrabaha memiliki tiga orang anak, yaitu Kumbakarna, Bibusanam, dan
Surapandaki. Citrabaha meninggal digantikan oleh  Naruna.  Naruna meninggal digantikan
oleh Raja Syaksya.

Alkisah, terjadi  permusuhan antara kerajaan Biruhasyapurwa dengan kerajaan


Indrapurinegara. Citrabaha menyerang Birukasyapurwa dan membunuh keluarga raja
Datikawaca. Balikasya, anak adik Datikawaca, naik takhta. Setelah mengembalikan kejayaan
Birukasyapurwa, Balikasya ingin membalas dendam, menyerang kerajaan Indrapuranegara.
Untuk  itu, Balikasya mengutus Sipanjalma dan hulubalang lainnya, menyelidiki negeri
Indrapuranegara. Dalam  penyelidikannya Sipanjalma meracuni menteri dan hulubalang
musuh. Setelah meninggalkan surat tantangan, Sipanjalma mengundurkan diri ke negerinya.
Sardal dan Kemendekata atas suruhan Raja Syaksya, mengejar  Sipanjalma ke
Biruhasyapurwa. Terjadilan  perang  besar-besaran. Rawana  berusaha dan  berhasil
mendamaikan peperangan antara kerajaan-kerajaan tersebut.

Alkisah  pula, Dasarata Raman cucu  Nabi Adam dari Dasarata Cakrawati, menikah
dengan  putri Mandudari, anak  Mahabisnu. Dari  perkawinan mereka, lahirlah Sri Rama dan
Laksmana. Sebagai  balas  jasa atas pertolongannya, Dasarata juga mengawini Baliadari. Dari
 baliadari Dasarata dikaruniai dua orang anak, yaitu Berdana dan Citradana.

Rawana mendengar  kabar  bahwa Dasarata memiliki seorang istri yang sangat cantik.
Merasa tertarik, dia menemui Dasarata dan meminta Mandudari. Tanpa sepengetahuan
suaminya, Mandudari berusaha menciptakan Mandudari tiruan. Mandudari tiruan inilah yang
diberikan Dasarata kepada Rawana. Dengan menyamar  sebagai anak-anak, Dasarata
menemuni Mandudari tiruan. Pada malam harinya, Dasarata kembali ke wujud aslinya dan
 bersetubuh dengan Mandudari tiruan. Pagi hari Dasarata kembali menjadi anak-anak  dan
 pulang.

Beberapa  bulan kemudian Mandudari tiruan melahirkan seorang anak  perempuan yang


sangat cantik. Akan tetapi, karena ramalan Bibusyanam, saudaranya,  bahwa suami anak 
tersebut akan membahayakannya, anak  perempuan tersebut dimasukkan ke dalam lung  besi
dan dibuangnya ke laut.

Lung  besi itu hanyut ke laut negeri Darwatipura dan ditemukan oleh raja negeri itu,
Maharaja Kala. Dengan serta merta air  susu istrinya, Minuram Dewi  pun terpancar. Putri
temuannya itu dinamai oleh Maharaja Kala Sita Dewi. Maharaja Kala menamam 40  pohon
lontar  berbanjar dan berkata, “barang siapa yang  berhasil memanah 40  pohon lontar tersebut
dengan sekali panah, maka putri itu akan diberikan kepadanya”.

Mencapai usia 12 tahun, Sita Dewi tumbuh dan termashur  sebagai  putri Maharaja Kala
yang sangat cantik. Banyak  putra raja yang datang memintanya untuk  dijadikan istri. Maka
Maharaja Kala mengumumkan  bahwa siap yang dapat memanah 40  pohon lontar  yang
ditanamnya dalam sekali  panah, maka Sita Dewi akan diberikan kepadanya. Dalam
sayembara itu, atas  panggilan langsung Maharaja Kala, Sri Rama datang mengikuti
sayembara. Sri Rama memenangkan sayembara. Akhirnya Sri Rama menikah dengan Sita
Dewi.

Setelah  berhasil melewati  peperangan dengan empat anak  raja yang sama-sama
menginginkan Sita Dewi, Sri Rama memutuskan untuk  tinggal di hutan Dalinam, artinya
rimba manikam. Mereka ditemani oleh Laksmana. Di hutan itu, Sri Rama dan Sita Dewi
mandi di kolam jernih Kala Sehari Bunting. Serta merta mereka jadi kera. Pada saat menjadi
kera itu mereka melakukan hubungan intim. Akibatnya, kata Laksmana, Sita akan
melahirkan seekor  kera. Dengan diurut, akhirnya Sita Dewi mengeluarkan manikam melalui
kerongkongannya. Dengan bantuan Bayu Bata, manikam yang telah dibungkus dengan daun
 budi, dimasukkan ke dalam mulut Dewi Anjani yang sedang bertapa. Akhirnya Dewi Anjani
melahirkan seorang anak laki-laki serupa kera yang dinaminya Hanuman.

Merasa sakit hati karena hidung Surapandaki, saudaranya, dirumpungkan oleh Laksmana,
Rawana  berniat membalas dendam melalui Sita Dewi. Dengan akal dan kesaktiannya,
Rawana menculik Sita Dewi.

Dalam  perjalanannya mencari Sita Dewi, Sri Rama  bertemu dengan  bangau yang
memberikan kabar  bahwa istrinya diculik  Rawana. Sri Rama  juga  bertemu dengan Jentayu
yang melawan Rawana ketika Rawana menculik  Sita Dewi. Rawana  juga  bertemua dengan
Sugriwa serta Baliraja. Pada saat di  Negeri Lakurkatakina, negeri  baliraja itu, datanglah
Citradana dan Berdana, dua saudaranya dari negeri Indrapura. Mereka datang untuk 
mengabarkan kematian ayah mereka, Dasarata, dan ingin menjemput Sri Rama agar  bersedia
menjadi raja di Inderapuri. Sri Rama menolaknya.

Di negeri Lakurkatakina, Sri Rama memperoleh  bantuan. Di sini Sri Rama  bertemu
dengan Hanuman, anaknya yang lahir  melalui Dewi Anjani. Hanuman pula yang disuruhnya
untuk  menyelidiki keadaan Sita Dewi di Langkapuri . Di Langkapuri Hanuman membakar 
semua istana kecuali tempat tinggal Sita Dewi. Kalau pada saat pergi bertumpukan lengan Sri
Rama, maka ketika pulang Hanuman bertumpukan batu kecil di bukit Serandib.

Berdasarkan informasi hasil  penyelidikan Hanuman, Sri Rama memutuskan untuk 


menyerang negeri Rawana itu. Untuk  menyeberang ke Langkapuri, dibuatlah tambak  dan
 jembatan penyeberangan. Dalam pekerjaan itu Sri Rama dibantu oleh Maharesi Sahagentala.
Setelah tambak dan jembatan penyeberangan selesai dibangun, dimulailah penyeberangan ke
Langkapuri dan  pecahlah  perang antara  pihak  Sri Rama dan  pihak  Rawana. Betapa
 banyaknya rakyat dan  prajurit dari kedua  belah  pihak  yang gugur dalam  peperangan itu. Sri
Rama sendiri  berhasil membinasakan Kumbakarna, Badubisa, Patala Marayan, Gangga
Mahasura, Indrajit, dan Mulamatani.

Dalam  peperangan itu, Sri Rama keluar  sebagai  pemenang. Dengan  begitu Sri Rama
 berhak  menguasai Langkapuri dan menjadi raja yang kedaulatannya sangat luas. Ucapan
selamat datang dari kerajaan-kerajaan lain, antara lain dari Maharaja Kala dari negeri
Darwati dan Citradana serta Berdana, saudaranya, dari negeri Mandupuranegara. Karen
a
ragu akan kesuciannya, Sita Dewi diuji Sri Rama dengan cara dibakar. Ternyata Sita Dewi
tidak terbakar sedikit pun. Artinya, Sita Dewi masih suci.

Atas saran Bibusanam, Sri Rama mendirikan negeri  baru, yaitu negeri Daryapuranegara.
Adapun kerajaan Langkapuri dikuasakan kepada Jamumenteri. Di negeri  baru itu, Sri Rama
mendirikan  pemerintahan yang adil dan makmur. Pada saat itu  pula, Sita Dewi hamil ata
s
upaya Maharesi Kala.  Namun, Sita Dewi dipitnah Kikuwi, adik  Sri Rama, sehingga Sit
a
Dewi  pergi dan menetap selama 12 tahun di negeri Darwati,  bersama Maharesi Kala. Dalam
 pembuangannya itu Sita Dewi melahirkan seorang anak  laki-
laki yang dinamai Tilawi.
Karena kehilangan Tilawi, saat diasuhnya, Maharesi Kala menciptakan seorang anak  laki-
laki lain yaitu Gusi yang segalanya  persis Tilawi. Kedua anak  tersebut akhirnya hidu
 p
 bersama seperti dua saudara kandung.

Setelah sekian lama, Sri Rama mmenyadari kekeliruannya. Menurut keyakinannya Sit

a
Dewi tidak  bersalah. Justru Kikuwilah yang  bersalah. Karena itu, Sri Rama menjemput Sit
a
Dewi. Sri Rama dan Sita Dewi dikawinkan lagi dengan upacara kebesaran. Mereka kembali
ke negeri Daryapuranegara, hidup rukun dan bahagia di negeri yang adil makmur.

Dalam kondisi yang sentosa itu, Sri Rama mengawinkan Tilawi dengan  putri Indr 

a
Kusuma Dewi, anak Indrajit. Sedangkan Gusi dikawinkan dengan Gangga Surani Dewi, putri
Gangga Mahasura. Adapun Hanuman menolak  untuk  dikawinkan dengan  putri Balikasy
a
dari negeri Biruhsyapurwa.

Anda mungkin juga menyukai