Anda di halaman 1dari 15

PENDIDIKAN BAHAHASA INDONESIA

TUGAS AKHIR SEBELUM UTS


(PERTEMUAN-7)

Tentang :
“Opini Mengenai Perkembangan Dunia Saat Ini Mengenai
Covid-19 dan Kaitannya dengan Perekonomian Bangsa”

Dosen Pembimbing :
Adi Nurhadi, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh :
Erwin Aji Saputra (201030700183)

02FKKP005 (2E)

STIKES WDH
Tahun Ajaran 2020/2021
Jl. Pajajaran No.1, Pamulang Bar., Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15417
Jumlah tenaga medis yang meninggal selama menangani Covid-19 terus bertambah. Mereka
bekerja keras melawan pandemi, mengesampingkan kepentingan pribadi demi kemanusiaan.
Kematian tenaga medis tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan kepatuhan
masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Berdasarkan data ilmiah terakhir, penularan utama virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-


19 adalah memang antarmanusia, yaitu bila ada kontak dekat (biasanya sekitar 1 meter)
antara orang yang sudah terinfeksi virus dan orang sehat di sekitarnya.

Kemungkinan penularan akan tergantung dari jumlah virus hidup yang dikeluarkan pasien,
bagaimana dekat dan lamanya kontak yang terjadi, dan juga situasi lingkungan yang ada.
Virus dapat menular ketika batuk, bersin, dan pada beberapa kesempatan ketika  bernyanyi,
bernapas keras dan bahkan berbicara. Semua inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa
kita harus memakai masker dan menjaga jarak.

Tentang penularan melalui permukaan benda-benda yang tercemar, maka sebenarnya bukti
ilmiahnya tidaklah sekuat penularan langsung antarmanusia. Tetapi memang ada berbagai
laporan ilmiah yang menunjukkan kemungkinan penularan lewat kontaminasi alat makan,
meja kursi, stetoskop, thermometer, dll., karena itulah kita harus sering-sering mencuci
tangan.

Hal yang banyak dibahas juga adalah kemungkinan penularan melalui aerosol di dalam
ruangan. Sejauh ini, yang dibahas adalah kemungkinan keluarnya aerosol akibat tindakan
medis di dalam ruangan fasilitas kesehatan.

Untuk di luar klinik dan rumah sakit, pernah dilakukan penelitian tentang kemungkinan
aerosol COVID-19 yang ada di dalam ruangan tertutup, penuh orang dan tidak ada ventilasi
yang baik. Beberapa ruangan yang sudah diteliti antara lain restoran, tempat latihan paduan
suara, ruang kebugaran (fitness), klub malam, kantor tempat kerja dan juga tempat ibadah.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bukti ilmiah lebih mendalam tentang hal ini.

Data ilmiah sejauh ini menunjukkan bahwa seseorang dapat saja menularkan virus, baik ia
dalam keadaan dengan atau tanpa gejala. Tetapi perlu diketahui bahwa data menunjukkan
bahwa saat jumlah tertinggi keberadaan virus dalam tubuh pasien adalah beberapa saat
sebelum gelaja mulai muncul dan pada saat penyakit di hari ke-5 sampai ke-7. Harus
diketahui juga bahwa lamanya hari seseorang yang mungkin menularkan penyakit adalah
lebih pendek dari waktu RNA dapat ditemukan, atau test PCR positif. Jadi bisa saja hasil test
PCR positif tapi sudah tidak menular lagi ke orang lain.

Data terbaru masa inkubasi COVID-19, lama antara terpapar virus dan timbul gejala, rata-rata
adalah 5-6 hari, tapi bisa saja sampai 14 hari, cukup lama memang. Di sisi lain, mungkin juga
masa pra gejala, sebelum gejala timbul, seseorang sudah PCR positip dan satu sampai tiga
hari sesudahnya barulah gejala mulai timbul.

Ada juga beberapa penelitian tentang penularan dari orang yang tanpa gejala. Juga sudah
ditemukan virus “hidup” (viable virus) pada mereka yang tanpa gejala dan dalam masa pra
gejala, yang tentunya artinya mereka yang OTG memang dapat menularkan virus SARS CoV
2 penyebab COVID-19 ini. Tetapi memang secara umum penelitian menujukkan bahwa
kemungkinan penularan dari mereka yang tanpa gelaja adalah lebih kecil daripada penularan
dari mereka yang memang menunjukkan gejala.

Pengetahuan tentang mekanisme penularan tentu masih akan mungkin berkembang di waktu
mendatang, kalau saja ditemukan bukti ilmiah baru yang valid, baik di dalam ataupun di luar
negeri. Untuk kita sebagaiu masyarakat luas maka “3 M” dan “M lainnya”. Artinya kita
semua tetap menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dan juga memelihara etika
batuk, menyampaikan salam dengan cara baik dan senantiasa menjaga pola hidup bersih
sehat. 

Sebenarnya asal usul Pandemi Covid-19 merupakan virus corona yang berasal dan pertama
kali muncul dari kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Di duga Covid-19 ini
berasal dari hewan kelewar dan setelah di telusuri, orang-orang yang terinfeksi virus ini
merupakan orang-orang yang memiliki riwayat telah mengunjungi pasar basah makanan laut
dan hewan lokal di Wuhan, China.

Manusia merupakan mahluk sosial yang memungkinkan saling berinteraksi secara langsung
sehingga tingkat penyebaran pandemi Covid-19 semakin pesat, hingga Kamis, 26 maret 2020
tercatat 198 negara yang terinfeksi oleh Covid-19.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terinfeksi pandemi Covid-19, pada 26 Maret
2020 tercatat 893 orang positif virus Corona. Diantaranya, 35 orang sembuh, 780 orang di
rawat, dan 78 orang meninggal.

Salah satu penyebab virus corona mudah menyebar di Indonesia adalah karena Indonesia
merupakan negara dengan Sektor pariwisata. Sektor pariwisata merupakan salah satu faktor
yang berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia dan memiliki kontribusi
devisa terbesar kedua di Indonesia setelah devisa hasil ekspor Kelapa Sawit.

Sektor pariwisata memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang pada perekonomian
Indonesia. Dampak jangka pendek dapat di rasakan secara langsung, sedangkan dampak
jangka Panjang dapat dilihat dengan bertambahnya pendapatan nasional, namun dengan
adanya Covid-19 semuanya tak lagi sama.

Sektor pariwisata yang sekarang mengalami kelesuan sehingga daya beli menurun secara
drastis karena berkurangnya pengunjung baik turis lokal maupun turis mancanegara, yang
secara otomatis pendapatan dan devisa yang di hasilkan dari sektor pariwisata semakin
menurun.

Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan pemerintah pada 18 Maret 2020, segala kegiatan di
dalam dan di luar ruangan di semua sektor yang terkait pariwisata dan ekonomi kreatif
ditunda sementara waktu demi mengurangi penyebaran corona. Hal ini mengakibatkan sektor
pariwisata menjadi lumpuh sementara, sehingga pengangguran semakin bertambah karena
pariwisata merupakan salah satu wadah yang memberikan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat sekitar tempat wisata maupun masyarakat dari luar.

Contohnya, Aston Bogor Hotel & Resort melakukan penutupan yang di mulai pada tanggal
22 Maret 2020 serta 120 karyawan dipulangkan karena adanya penurunan bisnis yang di
akibatkan oleh pandemi dari virus corona ini.

Bukan hanya sektor pariwisata yang mengalami kelumpuhan sementara, tetapi para karyawan
dari jenis perusahaan lainnya ikut merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Yang dimana
pekerjaan atau kegiatan yang biasanya dilakukan diluar rumah secara langsung sekaran
terpaksa harus dilakukan di dalam rumah.
Serta ada banyak pula karyawan yang terancam pemberhentian hak kerja (PHK) karena
banyak pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk dikerjakan dirumah, seperti halnya
kegiatan produksi yang bergantung pada mesin yang berada di tempat produksi.

PHK ini juga dilakukan karena kurangnya pembelian dari konsumen dan dibatasinya ekspor
ke negara tertentu sehingga akan menghambat ekspor dan mengurangi pendapatan
perusahaan, bahkan perusahaaan bisa mengalami kerugian. Ada pun penyebab lain dari di
PHK nya para karyawan yaitu karena kelangkaan bahan baku untuk diproduksi yang di impor
dari negara luar seperti dari negara Thiongkok sehingga akan menghambat kegiatan industri.

Perusahaan yang berhenti beroperasi dan peningkatan jumlah angka pengangguran dapat
menghambat dan mengurangi produk domestik bruto (PDB) serta menghambat pertumbuhan
ekonomi Indonesia.

Presiden Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan alasan mengapa tidak
mengeluarkan kebijakan lockdown dalam pencegahan penyebaran Covid-19.

"Kemudian ada yang bertanya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan. Perlu saya
sampaikan setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya berbeda-beda, kedisplinan
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita tidak memilih jalan itu (lockdown)," kata Jokowi
saat memberikan pengarahan kepada gubernur se-Indonesia melalui video conference, Selasa
(24/3/2020).

Presiden Indonesia tidak mengeluarkan kebijakan lockdown bukan tanpa alasan, menurut
beliau setiap negara memiliki karakter dan budaya yang berbeda-beda. Beliau juga mengaku
telah melakukan kalkulasi dan analisis yang matang terhadap negara-negara yang melakukan
kebijakan lockdown.

“Kebijakannya seperti apa semua dari Kemenlu dari Dubes yang ada terus kita pantau setiap
hari. Jadi yang paling pas di negara kita physical distancing, menjaga jarak aman," jelas dia.

"Kalau itu bisa kita lakukan saya yakin kita bisa mencegah penyebaran Covid-19 ini,"
sambung Jokowi.
Jika presiden mengeluarkan kebijakan lockdown maka akan berdampak besar pada
pertumbuhan perekonomian Indonesia, hal ini di sebabkan oleh kegiatan perekonomian yang
akan berhenti secara besar-besaran. Sebagai gantinya pemerintah juga mengeluarkan
kebijakan lainnya seperti belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah untuk menekan
penyebaran Covid-19.

Meskipun kebijakan tersebut di berlakukan, namun masih ada saja masyarakat yang
menyalahgunakan kebijakan ini, seperti kegiatan belajar dan bekerja di rumah di gunakan
untuk berlibur di luar kota. 

Sehingga penyelewengan kebijakan ini dapat memperluas dan mempercepat penyebaran


virus Corona, baik dari yang disebarkan oleh para pengunjung kepada masyarakat setempat,
maupun yang disebarkan oleh masyarkat setempat kepada para pengunjung.

Sebagai warga negara yang baik dan patuh pada pemerintah dan aturan kita hanya perlu
disiplin terhadap kebijakan social distancing dan physical distancing (jaga jarak aman)
#dirumahAja untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 dan perekonomian Indonesia cepat
pulih kembali.

Selain itu Dampak wabah Covid-19 kepada perekonomian dunia juga sangat dahsyat. Pada
triwulan pertama 2020 ini pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara mitra dagang Indonesia
tumbuh negatif: Singapura -2.2, Hongkong -8,9, Uni Eropa -2,7 dan China mengalami
penurunan sampai minus 6,8. Beberapa negara masih tumbuh positif namun menurun bila
dibanding dengan kuartal sebelumnya. Amerika Serikat turun dari 2,3 menjadi 0,3, Koreea
Selatan dari 2,3 menjadi 1,3 dan Vietnam dari 6,8 menjadi 3,8. Indonesia mengalami
kontraksi yang cukup dalam dari 4,97 di kuartal 4 tahun 2019 menjadi tumbuh hanya 2,97
pada kuartal pertama 2020 ini. Kontraksi yang cukup dalam pada kuartal 1 di Indonesia ini di
luar perkiraan mengingat pengaturan physical distancing dan PSBB mulai diberlakukan pada
awal bulan April 2020.

Berdasarkan pertumbuhan year-on-year, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada


triwulan 1 2020 terbesar pada sektor informasi dan komunikasi sebesar 0,53 persen. Hal ini
wajar mengingat dengan adanya anjuran untuk tidak keluar rumah maka banyak orang
mengakses pekerjaan, hiburan dan pendidikan melalui teknologi informasi.
Seiring hal tersebut, volume penjualan listrik PLN ke rumah tangga meningkat. Berdasarkan
rilis dari Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia
pada Triwulan I-2020 juga turun drastis hanya sejumlah 2,61 juta kunjungan, berkurang 34,9
persen bila dibanding tahun lalu. Hal ini sejalan dengan adanya larangan penerbangan antar
negara yang mulai diberlakukan pada pertengahan Februari lalu. Jumlah penumpang
angkutan rel dan udara juga tumbuh negative seiring dengan diberlakukannya PSBB. Lalu
kapan wabah Covid-19 ini berakhir dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian
Indoensia?

Berdasarkan analisa data yang dikeluarkan oleh The Singapore University of Technology and
Design dengan menggunakan metode estimasi pandemi, Susceptible Infected Recovered
(SIR) dengan DDE (Data Driven Estimation), maka diperkirakan puncak pandemi di
Indonesia telah terjadi pada bulan 19 April 2020 yang lalu dan secara berangsur akan
berakhir secara total pada akhir Juli 2020. Data ini dikeluarkan per 5 Mei 2020 yang diambil
berdasarkan data dari berbagai negara untuk memprediksi berakhirnya pandemi di dunia.
Berdasarkan data tersebut, diperkirakan akhir Mei 2020 kebijakan PSBB dapat segera
berakhir. Dengan demikian, awal Juni seluruh aktifitas dapat berjalan dengan normal.

Bila prediksi yang ditujukan untuk pendidikan dan penelitian ini benar, maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia akan mencapai titik terendah pada kuartal kedua. Idul Fitri yang biasanya
mempunyai pengaruh cukup besar untuk menggerakkan perekonomian, akan menjadi
sebaliknya karena PSBB. Sisi baiknya, bila bulan Juni aktifitas sudah berjalan maka
perusahaan dan pengusaha masih mempunyai waktu untuk langsung operasional.

Kekosongan aktifitas selama hampir 3 bulan sejak pertengahan Maret masih memberikan
peluang bagi perusahaan untuk langsung bangkit. Keuangan perusahaan diperkirakan masih
bisa bertahan sampai tiga bulan. Beda halnya bila aktifitas normal mulai diadakan pada bulan
Agustus atau bahkan Desember. Perusahaan perlu waktu mencari lagi pegawai baru untuk
memulai operasi. Banyak perusahaan juga akan tidak kuat bertahan selama lebih dari tiga
bulan.

Dari sisi makro ekonomi, dengan adanya stimulus fiskal yang disertai dengan realokasi
anggaran untuk kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi nasional dari sektor
keuangan, diharapkan akan dapat meningkatkan perekonomian secara perlahan di kuartal
ketiga.

Dengan menggunakan model Input-Output (IO), Tim Riset Ekonomi PT Sarana Multi
Infrastruktur memperkirakan bahwa stimulus fiskal oleh pemerintah sebesar Rp 405,1 triliun
akan tercipta output dalam perekonomian sebesar Rp 649,3 triliun. Sementara itu, nilai
tambah dan pendapatan pekerja akan meningkat masing-masing sebesar Rp 355 triliun dan
Rp 146,9 triliun.

Dengan penciptaan output, nilai tambah, dan pendapatan dalam perekonomian, stimulus
fiskal yang digelontorkan akan menyerap tambahan tenaga kerja sebesar 15 juta orang atau
11,84 persen dari total tenaga kerja. Stimulus fiskal ini diharapkan dapat memberi kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 sebesar 3,24 persen.

Stimulus fiskal juga telah diikuti dengan stimulus moneter yang diberikan oleh Bank
Indonesia dengan menurunkan tingkat bunga acuan dan pelonggaran Giro Wajib Minimum
(GWM). Penurunan tingkat bunga acuan ini diharapkan akan diikuti dengan penurunan
tingkat bunga pasar sehingga dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pandemi Covid-19 ini juga telah memberikan nuansa baru pada rantai pasokan dunia (global
supply chain). Sumber pasokan dunia yang tadinya dikuasai kurang lebih 20 persen oleh
negara China, telah bergeser ke beberapa negara lain karena adanya pandemi ini. Tentu saja
untuk dapat merebut kue pada global supply chain, Indonesia harus berbenah diri agar lebih
menarik investor.

Penurunan tarif pajak penghasilan perusahaan yang telah dikeluarkan dalam Perppu I/2020
perlu diikuti oleh pembenahan dari sisi kepastian hukum investasi, reformasi birokrasi dan
iklim ketenagakerjaan yang sehat. Segala daya upaya perlu dikerahkan secara bersinergi agar
Indonesia dapat bangkit dari dampak pandemi Covid-19 ini.

Namun, Anggatan pemerintah untuk menghadapi wabah virus korona (Covid-19) sangat kecil
jika dibandingkan negara maju sehingga efektivitasnya perlu dipastikan. Paket stimulus yang
dialokasikan pemerintah Rp 10,3 triliun (700 juta dollar AS), termasuk insentif fiskal, hibah
kepada pemerintah daerah, dan dorongan untuk dana jaminan sosial. Insentif fiskal kedua
sedang diformulasikan.

Bandingkan dengan Pemerintah China yang mengalokasikan 110,48 miliar yuan (16 miliar
dollar AS) per 4 Maret 2020. Jepang mengalokasikan pengeluaran tambahan 5 triliun yen (47
miliar dollar AS) untuk meredam dampak Covid-19. Korea Selatan dan Singapura masing-
masing mengalokasikan 9,9 miliar dollar AS dan 4,06 miliar dollar AS untuk membantu
medis, bisnis, rumah tangga.

Anggaran Indonesia yang tak banyak itu akan semakin tidak efektif bila terlambat diserap
atau dibelanjakan dan tidak tepat sasaran. Karena itu, terbitnya surat edaran dari Kementerian
Dalam Negeri kepada seluruh pemerintah daerah agar mengendalikan dan mempercepat
penyerapan anggaran untuk mengatasi wabah Covid-19 beserta dampak ikutannya berupa
perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah langkah tepat.

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah,
Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir,
Biologi, dan Kimia pun mengamanatkan para gubernur dan bupati/wali kota untuk
menggerakkan segala sumber daya sesuai tanggung jawab dan kewenangannya;
mengintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah; dan
mengalokasikan anggaran yang memadai dalam upaya mencegah, mendeteksi, dan
merespons cepat berbagai penyakit yang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kita berharap, anggaran yang minim itu difokuskan pada kegiatan yang dampaknya langsung
dirasakan masyarakat, seperti peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
ataupun rumah sakit rujukan di daerah yang potensial terjangkit. Pemerintah telah
mengeluarkan protokol kesehatan untuk menghadapi Covid-19, mulai dari proses screening
suspect, pengantaran ke RS rujukan, pengambilan spesimen, hingga proses isolasi dan
penyembuhan.

Tanpa dukungan anggaran, protokol itu akan menjadi kertas belaka. Begitu pula
implementasi protokol area pendidikan, seperti pengintensifan kebersihan lingkungan di
sekolah, ataupun protokol penanganan Covid-19 di berbagai pintu masuk di daerah, mulai
dari bandara, pelabuhan, hingga pos lintas batas darat negara. Tidak kalah penting adalah
protokol komunikasi.
Di era banjir informasi, kegiatan komunikasi yang masif sangat vital untuk mengatasi bias
informasi. Anggaran yang ada sungguh-sungguh digunakan untuk menggerakkan ekonomi
masyarakat. Percepatan penyerapan anggaran jangan disalahgunakan untuk kegiatan yang
tidak urgen atau balas jasa menjelang pilkada. Dengan kesungguhan, keterpaduan, anggaran
yang tidak banyak bisa menjadi modal kuat bagi bangsa ini untuk menghadapi Covid-19.

Namun seperti yang diketahui. Tanpa ampun, pandemi Covid-19 dan gejolak perekonomian
global menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia sekaligus dalam sekali
pukul. Telaknya lagi, kedua pukulan itu mendarat di kuartal pertama di mana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 baru saja dilaksanakan. Tidak mudah bagi
APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal untuk menyesuaikan diri dengan arus
ketidakpastian yang masih akan terus berubah dalam tiga kuartal ke depan.

Januari lalu, ketika baru beberapa pekan saja dilaksanakan, sejumlah indikator APBN 2020
sudah menjadi perdebatan. Nilai tukar rupiah menguat tajam hingga ke level Rp 13.500 per
dolar AS, cukup jauh dari asumsi makro APBN di level Rp 14.400 per dolar AS. Namun, tak
lama berselang, angin mulai berubah arah. Pandemi Covid-19 yang berawal dari China mulai
menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Pertengahan Maret, pemerintah
resmi mengeluarkan imbauan bekerja dari rumah dan social distancing untuk menekan
penyebaran Covid-19. Bak komidi putar, rupiah berbalik arah melemah tajam hingga
menembus batas psikologis Rp 16.000 per dolar AS pada akhir Maret.

Di tengah kekhawatiran penurunan volume perdagangan internasional akibat pandemi Covid-


19, Putra dari Arab Saudi membawa kabar yang tak kalah mendebarkan. Pangeran
Muhammad bin Salman (MBS) memulai perang harga dengan Rusia yang menyebabkan
minyak dunia terjun bebas dari level 60 dolar AS per barel ke level di bawah 30 dolar AS per
barel. APBN 2020 kembali mendapat tekanan hebat karena pada asumsi makronya,
Indonesian Crude Price (ICP) yang sangat terpengaruh harga minyak dunia terlanjur dipatok
di angka 63 dolar AS per barel. Artinya, terjadi deviasi asumsi harga minyak mentah lebih
dari 50%.

Perlu diketahui, peraturan perundang-undangan membatasi deviasi indikator-indikator makro


APBN dalam koridor yang relatif sempit dibanding kebutuhan di masa penuh gejolak saat ini.
Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau
MD3, misalnya, membatasi perubahan asumsi makro dan postur anggaran dengan deviasi
maksimal 10% serta penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%. Apabila realisasi diyakini
melewati batas tersebut, maka APBN harus direvisi. Di sisi lain, UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dalam penjelasan pasal 27 ayat (3) membatasi defisit anggaran di
angka 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) setiap tahunnya.

Yang menjadi persoalan terberat sebenarnya bukan pada perubahan drastis yang terjadi,
namun pada faktor penggerak perubahan-perubahan tersebut yang sifatnya sulit diprediksi.
Terkait minyak dunia, misalnya, sebagian analis memperkirakan harganya masih akan terus
tertekan hingga menembus level 10 dolar AS per barel oleh menurunnya permintaan akibat
pandemi Covid-19. Perkiraan ini bisa berbalik 180 derajat kapan saja, apabila suasana hati
Pangeran MBS tiba-tiba berubah dan mengurangi produksi minyak mentahnya. Soal turun
drastisnya harga minyak, asumsi ICP di APBN bisa saja direvisi menyesuaikan.
Persoalannya, jika sudah direvisi kemudian mood Pangeran MBS benar-benar berubah,
normalnya APBN tidak bisa direvisi dua kali.

Begitu pula dengan isu pandemi Covid-19 yang tengah melanda negeri ini, sangat sulit
diprediksi. Pemerintah Indonesia belum pernah memiliki pengalaman menangani wabah
dengan tingkat penularan tinggi macam Covid-19 ini. Jangan heran apabila pemerintah
terkesan ragu dan lamban dalam menentukan metode penanganannya, apakah akan
menerapkan lockdown, atau mengandalkan herd immunity, atau sebatas imbauan social
distancing. Penanganan Covid-19 memang bukan perkara yang mudah dan sederhana. Hanya
saja, setiap metode penanganan memiliki tingkat ketidakpastian yang berbeda. Dengan tidak
menerapkan lockdown, misalnya, ketidakpastian terkait seberapa lama pandemi ini
berlangsung menjadi lebih tinggi. Padahal, dampak ekonomi Covid-19 sangat bergantung
pada durasi wabah itu berlangsung, semakin lama maka dampaknya akan semakin buruk.

Tingginya ketidakpastian dampak pandemi Covid-19 tersirat dari pernyataan Menteri


Keuangan Sri Mulyani seperti dikutip laman berita CNBC Indonesia, 20/3/2020. Bendahara
Negara menyiapkan sejumlah skenario dampak Covid-19 dalam rumusan perubahan APBN
2020 yang tengah digodok bersama jajaran pemerintahan lainnya. Skenario sedangnya,
apabila pandemi bisa ditangani dalam kurun 3-6 bulan, maka pertumbuhan ekonomi
diprediksi berkisar 2,5% hingga 3%. Skenario terburuknya, apabila pandemi berlangsung
lebih dari 3-6 bulan, maka pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 0% hingga 2,5%. Semua
skenario ini tentu jauh di bawah asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2020 di angka
5,3%.

Potensi persoalannya adalah jika pemerintah keliru memilih skenario dalam merumuskan
postur, alokasi anggaran, serta asumsi makro dalam perubahan APBN yang kabarnya akan
segera diproses. Merujuk pada stimulus fiskal jilid satu dan dua yang telah diterbitkan,
penulis menangkap sinyal bahwa pemerintah akan menggunakan skenario sedang. Hal ini
terlihat, misalnya, dari pembebasan PPh Pasal 21, 22, dan 25 yang didesain berlangsung
hingga 6 bulan. Skenario sedang ini akan tepat sasaran apabila asumsi puncak pandemi
Covid-19 benar-benar terjadi di bulan Mei, seperti yang diperkirakan pemerintah. Namun,
dengan tidak adanya kebijakan lockdown dan sikap tegas terhadap lalu lintas orang, perkiraan
tersebut berpotensi meleset. Apabila benar-benar meleset, semoga tidak, dan yang terjadi
adalah skenario terburuk bahwa pandemi berlangsung lebih dari 6 bulan, maka asumsi dan
target yang ada pada perubahan APBN sebelumnya menjadi tidak relevan.

Tingginya tingkat ketidakpastian memunculkan risiko terjadinya perubahan indikator


perekonomian yang signifikan di setiap kuartal sepanjang 2020. Untuk mengatasi segala
ketidakpastian tersebut, setidaknya terdapat tiga skenario mekanisme perubahan APBN 2020
yang bisa dilakukan.

Skenario pertama adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


(Perppu) APBN 2020. Ini merupakan rekomendasi Badan Anggaran DPR RI untuk
mengakomodir kebutuhan yang mendesak terhadap anggaran bagi program-program
penanganan pandemi Covid-19. Untuk membiayai program tersebut diperlukan realokasi
anggaran pada belanja Pemerintah Pusat hingga Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Melalui perppu, pemerintah dapat melakukan perubahan APBN 2020 tanpa perlu melakukan
banyak rapat bersama DPR. Ini sejalan dengan semangat social distancing yang menghindari
kegiatan yang melibatkan banyak orang. Setelah Perppu APBN 2020 diterbitkan, sesuai Pasal
52 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3),
maka pada masa sidang berikutnya DPR harus memberikan persetujuan untuk
menetapkannya menjadi UU atau mencabutnya. Dengan diterbitkannya Perppu, Pemerintah
memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengeksekusi program penanganan pandemi.

Hanya saja, terdapat pertanyaan terkait keabsahan perppu APBN 2020. Apakah APBN dapat
menjadi objek perppu? Pertanyaan ini diperkuat dengan Pasal 23 ayat (2) UUD NRI 1945
yang menyebutkan bahwa APBN yang diajukan Presiden adalah berbentuk Rancangan
Undang-Undang (RUU) bukan perppu. Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan Pasal
22 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden
dapat menerbitkan perppu. Selain itu, dalam UU P3, APBN dikategorikan sebagai UU, lebih
tepatnya dalam daftar kumulatif terbuka. Artinya, sebagai UU, APBN dapat menjadi objek
perppu. Yang menarik kemudian adalah ketika Perppu APBN 2020 telah disetujui oleh DPR
dan ditetapkan sebagai UU, apakah bisa menjadi objek dari RUU APBN Perubahan (APBN-
P) di kemudian hari? Secara normatif, menurut penulis, bisa. Karena, apabila telah mendapat
persetujuan DPR, Perppu APBN 2020 ditetapkan menjadi UU APBN 2020. Jika demikian,
maka APBN bisa lebih fleksibel untuk menjawab tantangan gejolak ketidakpastian dengan
perubahan APBN yang lebih dari satu kali.

Skenario kedua adalah RUU APBN-P 2020 dengan jadwal yang lebih awal. Tujuannya mirip
dengan skenario perppu, yakni memberikan kepastian hukum terhadap mendesaknya
eksekusi program penanganan pandemi. Perbedaannya, RUU memiliki keabsahan lebih kuat
dibanding perppu. RUU APBN-P lazim diajukan dan dibahas lebih awal apabila terdapat
perbedaan yang signifikan antara target dan asumsi APBN tahun sebelumnya dengan
realisasinya. Hal ini karena APBN tahun berjalan disusun berdasarkan outlook realisasi
APBN tahun sebelumnya. Jika realisasinya banyak meleset, maka hampir dapat dipastikan
target pada APBN tahun berjalan juga akan meleset. Sebagai contoh, RUU APBN-P 2008
diajukan pada bulan Maret dan disetujui oleh DPR pada April. RUU APBN-P 2014 diajukan
pada Maret dan disahkan Juni.

Mengikuti pola tersebut, pemerintah dapat mengajukan RUU APBN-P 2020 sejak bulan
Maret atau April untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan pada Mei. Hal itu sesuai dengan
Pasal 182 UU MD3 yang mengamanatkan pembahasan RUU APBN-P selama satu bulan
masa sidang setelah diajukan. Namun, akibat tingginya ketidakpastian pandemi Covid-19 dan
gejolak perekonomian global, realisasi RUU APBN-P 2020 yang lebih awal berisiko meleset
dari target dan asumsinya. Bisa kita bayangkan apabila di kuartal ketiga angin kembali
berubah arah, pandemi Covid-19 ternyata belum mencapai puncaknya dan harga minyak
dunia kembali ke level sebelumnya di 60 dolar AS per barel. APBN yang telah direvisi
menjadi tidak relevan. Sedangkan lazimnya, UU APBN hanya direvisi satu kali melalui RUU
APBN-P.

Skenario ketiga adalah RUU APBN-P 2020 dengan jadwal normal atau lebih akhir. Berbeda
dengan RUU APBN yang diatur secara rinci waktu dan siklusnya dari pengajuan Kerangka
Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal, Nota Keuangan, hingga pembahasan
dan penetapannya, RUU APBN-P tidak diatur secara baku waktu dan tahapannya. Pasal 27
ayat (5) UU Keuangan Negara hanya menyebutkan RUU APBN-P diajukan dan mendapat
persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. Kemudian pada
Penjelasan Umum UU yang sama disebutkan bahwa laporan realisasi semester pertama
diajukan Pemerintah pada bulan Juli dan menjadi bahan evaluasi untuk perubahan APBN.
Artinya, jika mengikuti jadwal normal, Pemerintah dan DPR membahas RUU APBN-P 2020
setelah bulan Juli untuk ditetapkan pada Agustus. Pemerintah dan DPR juga dapat
mengakhirkan pembahasannya hingga sebelum tahun anggaran berakhir.

Dengan mengikuti jadwal normal atau mengakhirkan RUU APBN-P, pemerintah memiliki
cukup waktu untuk memantau perkembangan situasi yang terus bergejolak. Apabila kembali
terjadi perubahan signifikan pada akhir semester pertama atau kuartal ketiga 2020 baik di sisi
penanganan pandemi maupun perekonomian global, pemerintah dan DPR masih dapat
mengakomodirnya dalam pembahasan RUU. Lantas bagaimana dengan kebutuhan anggaran
penanganan pandemi yang mendesak di kuartal pertama ini? Sejatinya pemerintah memiliki
ruang untuk tetap dapat melakukan realokasi anggaran sekaligus mengeksekusi program
penanganan pandemi tanpa perubahan APBN terlebih dulu. Seperti disebutkan pada Pasal 27
ayat (4) UU Keuangan Negara, "dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan
perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran."

Setiap skenario pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekuarangannya masing-masing. Di


atas semua itu, kesepahaman setiap pihak bahwa pandemi Covid-19 serta gejolak
perekonomian global adalah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi bersama merupakan
poin yang paling utama. Dengan demikian, bangsa Indonesia bisa saling bahu-membahu
menelurkan solusi yang tepat sasaran untuk melewati badai yang tengah menerjang ini.
Dengan demikian, APBN dapat menjadi instrumen yang fleksibel dan efektif menghadapi
situasi yang penuh ketidakpastian, namun tetap kredibel dan andal untuk mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jadi, Permasalahan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 dapat dilihat dari dua
sudut pandang ekonomi yang berbeda, yaitu permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan,
kondisi pandemi Covid-19 jelas akan mengurangi sektor konsumsi, kegiatan perjalanan dan
transportasi, serta perdagangan. Sedangkan dari sisi penawaran, kemungkinan besar yang
terjadi adalah terkontraksinya produktivitas pekerja/buruh, penurunan investasi dan kegiatan
pendanaan, serta terganggunya rantai pasokan global (global value chain) .

Melalui peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat dengan protokol kesehatan yang ketat dan
percepatan realisasi stimulus oleh pemerintah dari anggaran negara, diharapkan pertumbuhan
ekonomi Kuartal III dan IV tahun 2020 tidak berada pada level negatif. DPR dengan fungsi
pengawasannya perlu mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang sebaiknya
diarahkan pada upaya mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Salah satunya
yaitu dengan mempercepat realisasi belanja pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai