Anda di halaman 1dari 12

PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan penentuan Kadar asam lemak bebas dan penentuan angka
asam pada beberapa sampel minyak antara lain minyak jelantah, minyak kemasan, minyak
tradisional, minyak urut, dan minyak zaitun. Untuk mengetahui kualitas minyak terdapat
beberapa macam pengujian secara kimia. Uji ini didasarkan pada penetapan bagian tertentu dari
komponen kimia minyak, antara lain penetapan bilangan peroksida, bilangan penyabunan,
bilangan iod, dan bilangan asam. Ada juga cara uji secara fisika seperti bobot jenis, titik cair,
indeks bias, dan kadar air dalam minyak. Pada praktikum ini kualitas minyak ditentukan dengan
uji secara kimia yaitu didasarkan pada parameter kimia yaitu kadar asam lemak bebas dan angka
asam.

Sampel yang digunakan rata-rata berwujud minyak, dimana Minyak merupakan salah
satu kelompok yang termasuk kelompok lipida. Salah satu sifat yang khas dan mencirikan
golongan lipida (termasuk minyak) adalah daya larutnya dalam pelarut organik (misalnya ether,
benzene, khloroform) atau sebaliknya ketidak-larutannya dalam pelarut air (Krisdianto 2010).
Minyak merupakan suatu trigliserida yang apabila terurai akan menghasilkan asam lemak bebas
dan gliserol. Kadar asam lemak bebas merupakan persentase jumlah asam lemak bebas yang
terdapat dalam minyak yang dinetralkan oleh NaOH/KOH. Nilai kadar asam lemak bebas
dipakai untuk menghitung bilangan asam menggunakan persamaan. Baik kadar asam lemak
bebas maupun bilangan asam digunakan untuk menentukan kualitas minyak. (Suroso.2013).

Parameter mutu kimia minyak berdasarkan asam lemak bebas dan angka asam
menentukan kualitas minyak. Asam lemak bebas merupakan asam lemak yang berada sebagai
asam bebas tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis
dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Asam lemak terdiri dari elemen karbon
(C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang tersusun berupa rantai karbon dengan gugus karboksil
(-COOH) pada salah satu ujungnya. Asam lemak diperoleh dari hasil hidrolisis lemak. Kadar
asam lemak adalah jumlah total asam lemak yang terdapat dalam sampel. Kadar asam lemak
bebas merupakan penentuan dari jumlah rantai asam lemak hasil hidrolisis ikatan
trigliserida yang belum didegradasi menjadi komponen tak tertitrasi atau mungkin dibentuk
melalui proses oksidasi (Resky.2015). Kandungan asam lemak bebas (free fatty acid, FFA)
dalam minyak merupakan ukuran kualitas minyak. FFA dinyatakan dengan bilangan asam atau
angka asam, sedangkan Angka asam adalah Angka yang dinyatakan sebagai jumlah miligram
KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram
minyak atau lebih. Angka asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang
berasal dari hidrolisa minyak atau karena proses pengolahan yang kurang baik, semakin tinggi
angka asam semakin rendah kualitasnya. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur
jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak(Ketaren 2005). Kenaikan
asam lemak bebas ini disebabkan adanya reaksi hidrolisa pada minyak. Hasil reaksi hidrolisa
minyak sawit adalah gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya
faktor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi berlangsung
semakin banyak kadar asam lemak bebas yang terbentuk (Agustini 2009).

Kadar keasaman sampel dalam praktikum ini dihitung dengan menitrasi asam dengan
menggunakan metode alkalimetri yaitu menentukan konsentrasi asam dengan larutan standar
basa yang sudah diketahui konsentrasinya dimana pada praktikum ini kadar asam lemak
ditentukan dengan menitrasi menggunakan larutan NaOH sebagai titran yang sebelumnya
distandarisasi dengan menggunakan asam oksalat. Sebelum melakukan penetapan kadar asam
lemak secara alkalimetri dengan menggunakan larutan NaOH, terlebih dahulu dilakukan
pembakuan atau standarisasi menggunakan larutan baku primer Asam oksalat dimana asam
oksalat merupakan Larutan standar primer yang merupakan larutan yang telah diketahui
konsentrasinya (molaritas atau normalitas) secara pasti yang dipersiapkan dengan menimbang
dan melarutkannya dengan kemurnian tinggi (konsentrasi diketahui dari massa-volum
larutan).

Asam oksalat berfungsi sebagai larutan standar primer karena memenuhi syarat yaitu
Harus mudah didapat dan dalam keadaan murni, Tidak higroskopis, tidak mudah teroksidasi,
tidak menyerap udara dan selama penyimpanan tidak boleh berubah (stabil), Mengandung
kotoran (zat lain) tidak melebihi 0,01%, Harus mempunyai berat ekivalen yang tinggi, Mudah
larut dalam pelarut yang sesuai, Reaksinya stoikiometri dan berlangsung terus-menerus. Untuk
mengetahui normalitas dari NaOH sebagai larutan baku sekunder dilakukan standarisasi dengan
metode Asidimetri. Dilakukannya pembakuan larutan NaOH yaitu untuk mengetahui Normalitas
NaOH yang sebenarnya setelah dibakukan.selain itu karena NaOH merupakan larutan standar
sekunder dimana Larutan standar sekunder adalah larutan standar yang dipersiapkan dengan
menimbang dan melarutkan suatu zat tertentu dengan kemurnian relatif rendah sehingga
konsentrasi diketahui dari hasil standardisasi(Day Underwood, 1999),selain itu NaOH bersifat
tidak stabil dan sangat higroskopis, sehingga cepat rusak dan konsentrasinya mudah berubah.
Indikator dari standarisasi ini menggunakan phenolftalein (Pp).

Penggunaan indikator ini adalah agar titik akhir titrasi yang didapat mendekati titik
equivalen dari standarisasi ini yang cenderung bersifat basa. Hal ini terjadi karena reaksi antara
basa kuat dan asam lemah titik equivalennya akan cenderung bersifat basa dengan pH >7. Titik
akhir titrasi adalah suatu keadaan dimana titrasi harus dihentikan tepat saat terjadi perubahan
warna indikator yang berdekatan dengan titik ekuivalen dimana mol asam tepat habis bereaksi
dengan mol basa. Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi harus sedekat
mungkin dengan titik ekuivalen, hal ini dapat dilakukan dengan memilih indikator yang tepat dan
sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan.

Titik ekuivalen yang mendekati pH Basa dimana produk reaksi berupa Natrium oksalat
merupakan senyawa yang terbentuk dari reaktan asam lemah dan basa kuat sehingga titik akhir
titrasinya akan berada pada rentang pH basa. Asam oksalat merupakan suatu asam lemah yang
direaksikan dengan larutan basa kuat Natrium hidroksida sehingga titik ekuivalen berada pada
pH Basa atau sekitar pada trayek pH dari Phenolptalein yaitu 8,3 sampai 10,0 dan perubahan
warnanya dari tak berwarna sampai warnanya merah muda(Fuchsia). Pemilihan indikator harus
disesuaikan dengan produk dari hasil reaksi agar titik akhir titrasi berimpitan dengan titik
ekuivalen. Selain itu indikator ini sangat baik digunakan dalam menitrasi asam karena perubahan
warnanya yang jelas yaitu pada titrasi alkalimetri warnanya dari tidak berwarna karena analit
pada Erlenmeyer bersifat asam yang dalam hal ini asam oksalat, menjadi merah muda akibat
kelebihan NaOH yang menyebabkan perubahan warna. Reaksi yang dihasilkan antara NaOH
dengan asam oksalat membentuk garam natrium okasalat sebagai hasil netralisasi antara asam
dan basa dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

H2C2O4 + 2NaOH  Na2C2O4 + 2H2O

Proses pembakuan larutan NaOH dilakukan dengan memipet larutan asam oksalat
sebanyak 25 ml pada Erlenmeyer yang kemudian ditambahkan 3 tetes indikator phenolptalein,
dimana setelah ditambahkan indikator tidak terjadi perubahan warna karena indikator yang
digunakan tetap bening tak berwarna dalam keadaan asam. Asam oksalat yang terdapat pada
Erlenmeyer kemudian dititrasi dengan larutan NaOH dalam buret hingga terjadi perubahan
warna menjadi warna merah muda (fuchsia) yang stabil, dimana kestabilan warna ini
menandakan bahwa asam tepat habis bereaksi dengan basa sehingga kelebihan basa akan
menyebabkan perubahan warna pada larutan. Pembakuan larutan NaOH ini dilakukan secara
triplo. Titrasi 1 memerlukan 17 ml NaOH, Titrasi 2 memerlukan 16,5ml NaOH, dan Titrasi 3
memerlukan 16,2ml NaOH, dari data tersebut volume rata-rata titrasi yang didapatkan adalah
16,57 ml sementara asam oksalat yang dibuat ditimbang dari 0,1 gram asam oksalat yang
dilarutkan dalam 25ml akuades sehingga dari proses perhitungan dengan rumus pengenceran
didapatkan normalitas dari NaOH sebesar 0,096 N. Perhitungan juga dilakukan pada masing-
masing hasil titrasi yaitu pada titrasi pertama dengan volume NaOH 17ml didapatkan konsentrasi
0,093N, titrasi kedua dengan volume NaOH 16,5ml didapatkan konsentrasi 0,096N dan titrasi
ketiga dengan volume NaOH 16,2ml didapatkan perhitungan konsentrasi sebesar 0,098N. dalam
pembakuan larutan NaOH, titrasi dihentikan apabila warna larutan telah berubah menjadi merah
muda pudar (Fuchsia) yang menandakan mol asam tepat habis bereaksi dengan mol basa yang
disebut sebagai “titik ekuvailen” sehingga kelebihan sedikit NaOH akan menyebabkan larutan
berubah warna yang merah muda pudar dan konstan dengan harapan titik ekuivalen sedekat
mungkin dengan titik akhir titrasi.

Sebelum mentitrasi sampel dengan NaOH, masing-masing sampel diuji pHnya untu
mengetahui pH dari sampel yang dapat diindikasikan sebagai banyak sedikitnya jumlah asam
lemak bebas yang nantinya kadar dari asam lemak tersebut dapat diketahui dari titrasi dengan
larutan NaOH. Sampel minyak memiliki nilai pH sebagai berikut, m inyak jelantah memiliki pH
5, minyak kemasan memiliki pH 5, minyak tradisional memiliki pH 4, minyak urut memiliki pH
5, dan minyak zaitun memiliki pH 5. Perbedaan pH dari masing-masing sampel ini disebabkan
oleh perbedaan kadar asam lemak yang terdapat dalam masing-masing sampel, semakin tinggi
kandungan asam lemak bebas dalam sampel maka semakin asam suatu minyak yang
menyebabkan pH semakin turun sehingga untuk mengetahui kadar asam lemak secara kuantitatif
dapat dilakukan dengan mentitrasinya dengan larutan basa yang sudah diketahui konsentrasinya.

Sebelum dititrasi dilakukan preparasi sampel yaitu dengan melarutkan sebanyak 14,1 gr
sampel dengan alkohol netral yang panas. Penggunaan alkohol yang sifatnya netral dan panas
berfungsi untuk melarutkan sampel karena sifat polaritas dari alcohol yang semipolar sehingga
dapat melarutkan lemak atau minyak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa alkali, selain
itu fungsi penggunaan alcohol netral yaitu agar saat dititrasi tidak bereaksi dengan komponen
yang lain, dimana jika digunakan alkohol yang bersifat asam, maka nantinya saat dititrasi
ternyata tidak sepenuhnya NaOH menetralkan Asam lemak yang terdapat dalam sampel, tetapi
juga dapat bereaksi menetralkan alkohol yang sifatnya asam ini sehingga alcohol perlu
dinetralkan dimana pada praktikum ini alkohol dengan konsentrasi 95% dinetralkan dengan
menambahkan NaOH. Alcohol yang digunakan juga dipanaskan sebelumnya karena alkohol
dalam kondisi panas akan lebih baik melarutkan sampel yang juga nonpolar. Pemanasan juga
berfungsi agar reaksi antara alkohol dan minyak tersebut bereaksi dengan cepat, sehingga pada
saat titrasi diharapkan alkohol (etanol) larut seutuhnya dan reaksi berlangsung lebih cepat.
(Himka.2011).

Setelah dilakukan pembakuan dan preparasi sampel, kemudian dilakukan pengukuran


kadar asam lemak bebas dengan mentitrasi sampel dengan larutan NaOH yang sudah ditentukan
kadarnya. Penggunaan NaOH berfungsi untuk mengukur beberapa besar asam lemak yang bebas
dari minyak karena NaOH mampu menghidrolisis minyak menjadi gliserol dan asam lemak.
Pada prinsipnya, metode ini menganalisis asam lemak bebas berdasarkan dengan jumlah NaOH
yang digunakan dalam titrasi hingga membentuk warna sampel menjadi merah jambu. Analisis
jumlah asam lemak bebas dalam suatu sampel ekuivalen dengan jumlah basa (NaOH) yang
ditambahkan dalam titrasi yang ditandai dengan berubahnya warna sampel menjadi warna merah
jambu (Maligan 2014). Dalam penentuan kadar asam lemak juga menggunakan indicator
Phenolptalein dimana Indikator PP (phenolphthalein) merupakan senyawa organik yang juga
digunakan dalam pengujian asam lemak bebas sebelum sampel dititrasi dengan NaOH. Pada
larutan asam atau netral, indikator PP tidak berwarna sedangkan saat bercampur dengan zat yang
bersifat basa seperti NaOH maka akan mengubah warna larutan menjadi merah jambu. Dalam
hal ini penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang
mengarah ke kanan sehingga mengubah indikator menjadi merah jambu Cahyati (2012).

Sampel pertama adalah minyak jelantah, Minyak jelantah (waste cooking oil) adalah
minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti sawit, jagung, minyak sayur dan minyak
samin yang telah digunakan sebagai minyak goreng (sisa penggorengan) (Hajar 2016). Minyak
jelantah yang digunakan dalam praktikum memiliki warna coklat gelap. Warna minyak
disebabkan oleh adanya pigmen, dari kelapa/sawit sendiri maupun pigmen dari bumbu-bumbu
masakan makanan yang digoreng. Warna gelap pada minyak jelantah disebabkan oleh adanya
kerusakan oksidatif. Reaksi oksidasi terjadi antara oksigen dengan ikatan rangkap dari
trigliserida/minyak. Adanya antioksidan (tokoferol) dalam minyak berguna untuk mengalihkan
proses oksidasi dari minyak ke antioksidan sehingga ikatan minyak tetap utuh. Warna coklat
minyak jelantah dapat disebabkan adanya ikatan molekul karbohidrat dan protein, disebut
sebagai Reaksi Maillard yaitu reaksi antara gugus karbonil dengan gugus amin dari protein.
Warna gelap pada minyak juga dapat terjadi selama proses pengolahan, penyimpanan dan
penggunaan minyak. Pemanasan yang terlalu tinggi dan berulang, menyebabkan terjadinya
reaksi polimerasi dan reaksi Maillard yang menyebabkan minyak mengental dan berwarna gelap.
Walaupun demikian tidak berarti jelantah warna hitam mengindikasikan minyak lebih sering
digunakan dibanding minyak jelantah warna coklat. Karena kemungkinan ada bumbu masakan
makanan yang digoreng (Suroso.2013). Pengukuran kadar asam lemak bebas pada sampel
minyak jelantah secara alkalimetri dilakukan secara triplo dimana pada titrasi pertama
membutuhkan 2,4ml NaOH, titrasi kedua membutuhkan 2,6ml NaOH, dan tirasi ketiga
membutuhkan 2,7ml NaOH. Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi
merah jambu yang konstan selama 30 detik yang menandakan asam lemak bebas dalam sampel
telah habis bereaksi dengan NaOH sehingga kelebihan sedikit NaOH menyebabkan larutan
menjadi sedikit basa sehingga terjadi perubahan warna sebagai tanda titik akhir titrasi. Dari
masing-masing volume NaOH yang diperoleh dilakukan perhitungan kadar asam lemak bebas
(Free Fatty Acid) dan diperoleh %FFA dengan volume NaOH 2,4ml sebesar 0,33%, %FFA
dengan volume NaOH 2,6ml sebsar 0,35%, %FFA dengan volume NaOH 2,7ml sebesar 0,37%.
Dari ketiga data tersebut agar dapat dibandingkan dengan standar maka digunakan volume rata-
rata NaOH yaitu 2,567mL dan didapatkan perhitungan %FFA sebesar 0,35%. Minyak dengan
kualitas tinggi memiliki asam lemak bebas rendah atau bilangan asam rendah. Trigliserida,
karena adanya air, terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut:
Dalam menentukan kualitas minyak ada standar yang menjadi rujukan. Untuk di dalam negeri
standar yang digunakan cukup menggunakan SNI (Standar Nasional Indonesia), tetapi untuk
minyak goreng yang akan diekspor menggunakan standar SPB (Special Prime Bleach). Nilai
kadar asam lemak 0,37% menunjukkan kadar asam lemak bebas (free fatty acid) dari minyak
jelantah berada diatas yang ditetapkan oleh SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak
Goreng maks 0.30 % b/b. Kadar asam lemak bebas pada minyak jelantah menjadi tinggi artinya
terdapat banyak trigliserida yang terurai menjadi asam lemak bebasnya. Rusaknya trigliserida
disebabkan oleh pemanasan tinggi secara berulang (Suroso 2013). Dari data tersebut dilakukan
perhitungan angka asam. Angka asam didapat dengan mengalikan kadar asam lemak bebas
dengan faktor konversi, yaitu bobot molekul (BM) KOH (56,1 g/mol) dibagi persepuluh BM
asam lemak yang dalam hal ini BM 200. Penggunaan BM KOH sebagai faktor konversi adalah
untuk mengubah nilai kadar asam lemak bebas menjadi bilangan asam (Suroso.2013). factor
konversi dari yang diperoleh yaitu sebesar 2,805 sehingga didapatkan angka asam sebesar
0,981%. Nilai tersebut berada diatas standar yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 0,06 mg
KOH/g. Untuk menetralkan asam lemak-asam lemak dalam minyak jelantah tersebut diperlukan
KOH lebih dari standar yang ditentukan. Tingginya angka asam ini artinya setara dengan tinggi
pula kadar asam lemak bebasnya. Trigliserida yang terkandung di dalam sudah banyak yang
terurai menjadi asam lemak bebasnya akibat reaksi hidrolisa. Hal ini bisa terjadi pada proses
pemanasan minyak pada suhu tinggi dan berulang-ulang (Suroso 2013).

Sampel yang kedua adalah minyak goreng kemasan dimana minyak goreng kemasan
tersusun atas asam lemak berbeda yaitu sekitar dua puluh jenis asam lemak. Setiap minyak atau
lemak tidak ada yang hanya tersusun atas satu jenis asam lemak, karena minyak atau lemak
selalu ada dalam bentuk campuran dari berberapa asam lemak. Asam lemak yang dikandung oleh
minyak sangat menentukan mutu dari minyak, karena asam lemak tersebut menentukan sifat
kimia dan stabilitas minyak (Noriko.2012). Pengukuran kadar asam lemak bebas pada sampel
minyak goreng kemasan secara alkalimetri dilakukan secara triplo dimana pada titrasi pertama
membutuhkan 2 ml NaOH, titrasi kedua membutuhkan 1,8 ml NaOH, dan tirasi ketiga
membutuhkan 1,8 ml NaOH. Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi
merah jambu yang konstan selama 30 detik yang menandakan asam lemak bebas dalam sampel
telah habis bereaksi dengan NaOH sehingga kelebihan sedikit NaOH menyebabkan larutan
menjadi sedikit basa sehingga terjadi perubahan warna sebagai tanda titik akhir titrasi. Dari
masing-masing volume NaOH yang diperoleh dilakukan perhitungan kadar asam lemak bebas
(Free Fatty Acid) dan diperoleh %FFA dengan volume NaOH 2 ml sebesar 0,28%, %FFA
dengan volume NaOH 1,8 ml sebesar 0,252%, %FFA dengan volume NaOH 1,8ml sebesar
0,252%. Dari ketiga data tersebut agar dapat dibandingkan dengan standar maka digunakan
volume rata-rata NaOH yaitu 1,867mL dan didapatkan perhitungan %FFA sebesar 0,261%.
Kadar asam lemak pada sampel minyak goreng di bawah kadar yang disyaratkan SNI, yaitu
maksimal 0,30% sehingga masih dalam keadaan standar. Dari data tersebut dilakukan
perhitungan angka asam. Faktor konversi yang diperoleh yaitu sebesar 2,805 sehingga
didapatkan angka asam sebesar 0,732%. Nilai tersebut berada diatas standar yang ditentukan
oleh SNI yaitu sebesar 0,06 mg KOH/g. Untuk menetralkan asam lemak-asam lemak dalam
minyak kemasan tersebut diperlukan KOH lebih dari standar yang ditentukan.

Sampel yang ketiga adalah Minyak kelapa tradisional. Berdasarkan asam lemaknya,
minyak kelapa digolongkan kedalam asam laurat yang mempunyai karakteristik khas yaitu
mengandung asam laurat (40-50%), asam lemak berantai C6 ,C8 dan C10 dalam jumlah sedang dan
jumlah asamlemak tak jenuh rendah. Sedangkan berat molekulnya berbeda-beda untuk berbagai
jenis asam lemak. Dalam praktikum minyak kelapa memiliki warna kuning kecoklatan. Warna
minyak kelapa dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan dan suhu selama pengolahan.
Daging kelapa yang mengandung protein dan karbohidrat dibantu oleh suhu
pengolahan yang tinggi (> 100oC) dan pemanasan yang lama (+4 jam) akan menghasilkan
warna kuning kecoklatan pada minyak kelapa. Hal ini disebabkan selama pengolahan
terjadi reaksi antara karbonil dari karbohidrat dengan asam amino dari protein (reaksi
pencoklatan) (Swern,dalam Margaretha, 1992). Pengukuran kadar asam lemak bebas pada
sampel minyak tradisional secara alkalimetri dilakukan secara triplo dimana pada titrasi pertama
membutuhkan 0,5 ml NaOH, titrasi kedua membutuhkan 0,5 ml NaOH, dan tirasi ketiga
membutuhkan 0,4 ml NaOH. Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi
merah jambu yang konstan selama 30 detik yang menandakan asam lemak bebas dalam sampel
telah habis bereaksi dengan NaOH sehingga kelebihan sedikit NaOH menyebabkan larutan
menjadi sedikit basa sehingga terjadi perubahan warna sebagai tanda titik akhir titrasi. Dari
masing-masing volume NaOH yang diperoleh dilakukan perhitungan kadar asam lemak bebas
(Free Fatty Acid) dan diperoleh %FFA dengan volume NaOH 0,5 ml sebesar 0,679%, %FFA
dengan volume NaOH 0,5 ml sebesar 0,679%, %FFA dengan volume NaOH 0,4ml sebesar
0,541%. Dari ketiga data tersebut agar dapat dibandingkan dengan standar maka digunakan
volume rata-rata NaOH yaitu 0,466 mL dan didapatkan perhitungan %FFA sebesar 0,633%.
Kadar asam lemak pada sampel minyak tradisional berada di atas kadar yang disyaratkan SNI,
yaitu maksimal 0,30%. Dari data tersebut dilakukan perhitungan angka asam. Faktor konversi
yang diperoleh yaitu sebesar 2,805 sehingga didapatkan angka asam sebesar 1,775 %. Nilai
tersebut berada diatas standar yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 0,06 mg KOH/g dimana
angka ini berarti untuk Untuk menetralkan asam lemak-asam lemak dalam minyak kelapa
tradisional tersebut diperlukan KOH lebih dari 1 miligram setiap 100 gram minyak.

Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar asam lemak bebas pada sampel minyak urut
secara alkalimetri dilakukan secara triplo dimana pada titrasi pertama membutuhkan 3,5 ml
NaOH, titrasi kedua membutuhkan 3,3 ml NaOH, dan tirasi ketiga membutuhkan 3,4 ml NaOH.
Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi merah jambu yang konstan
selama 30 detik yang menandakan asam lemak bebas dalam sampel telah habis bereaksi dengan
NaOH sehingga kelebihan sedikit NaOH menyebabkan larutan menjadi sedikit basa sehingga
terjadi perubahan warna sebagai tanda titik akhir titrasi. Dari masing-masing volume NaOH yang
diperoleh dilakukan perhitungan kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid) dan diperoleh %FFA
dengan volume NaOH 3,5 ml sebesar 2,41%, %FFA dengan volume NaOH 3,3 ml sebesar
2,27%, %FFA dengan volume NaOH 3,4ml sebesar 2,34%. Dari ketiga data tersebut agar dapat
dibandingkan dengan standar maka digunakan volume rata-rata NaOH yaitu 3,4 mL dan
didapatkan perhitungan %FFA sebesar 2,34%. Dari data tersebut dilakukan perhitungan angka
asam. Faktor konversi yang diperoleh yaitu sebesar 2,018 sehingga didapatkan angka asam
sebesar 4,722 %. Nilai tersebut berada diatas standar yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar
0,06 mg KOH/g dimana angka ini berarti untuk Untuk menetralkan asam lemak-asam lemak
dalam minyak urut tersebut diperlukan KOH lebih dari 1 miligram setiap 100 gram minyak.

Sampel terakhir adalah minyak zaitun, Minyak zaitun merupakan salah satu pangan
fungsional yang mempunyai kandungan MUFA, yang sebagian besar terdapat dalam bentuk
asam oleat. Hasil penelitian Nugraheni.2012 minyak zaitun memiliki komposisi asam lemak
Asam Palmitat 10.809%, Asam Palmitoleat 0.940%, Asam Stearat 3.529%, Asam Oleat
77.478%, Asam Linoleat 5.325% Asam Linolenat 1.287%. Pengukuran kadar asam lemak
bebas pada sampel minyak zaitun secara alkalimetri dilakukan secara triplo dimana pada titrasi
pertama membutuhkan 0,4 ml NaOH, titrasi kedua membutuhkan 0,3 ml NaOH, dan tirasi ketiga
membutuhkan 0,3 ml NaOH. Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi
merah jambu yang konstan selama 30 detik yang menandakan asam lemak bebas dalam sampel
telah habis bereaksi dengan NaOH sehingga kelebihan sedikit NaOH menyebabkan larutan
menjadi sedikit basa sehingga terjadi perubahan warna sebagai tanda titik akhir titrasi. Dari
masing-masing volume NaOH yang diperoleh dilakukan perhitungan kadar asam lemak bebas
(Free Fatty Acid) dan diperoleh %FFA dengan volume NaOH 0,4 ml sebesar 0,266 %, %FFA
dengan volume NaOH 0,3 ml sebesar 0,199 %, %FFA dengan volume NaOH 0,3 ml sebesar
0,199 %. Dari ketiga data tersebut agar dapat dibandingkan dengan standar maka digunakan
volume rata-rata NaOH yaitu 0,33 mL dan didapatkan perhitungan %FFA sebesar 0,221 %. Dari
data tersebut dilakukan perhitungan angka asam. Faktor konversi yang diperoleh yaitu sebesar
2,0006 sehingga didapatkan angka asam sebesar 0,442 %. Nilai tersebut berada diatas standar
yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 0,06 mg KOH/g dimana angka ini berarti untuk Untuk
menetralkan asam lemak-asam lemak dalam minyak zaitun tersebut diperlukan KOH lebih dari
standar.

Dalam pengukuran kadar dengan titrasi ini terdapat hal yang perlu diperhatikan yaitu
Pengamatan warna yang diusahakan menjadi merah jambu \ pudar dengan maksud agar titik
ekuivalen sedekat mungkin dengan titik akhir titrasi sehingga akurasi dan presisi dalam
penentuan kadar asam lemak bebas menjadi tepat. Perubahan warna yang menjadi merah muda
pekat, menandakan kelebihan dalam meneteskan titran sehingga titik ekuivalen tidak berimpit
dengan titik akhir titrasi dan kelebihan NaOH menyebabkan suasana larutan menjadi basa
sehingga berwarna merah muda pekat yang dapat mempengaruhi akurasi dan presisi dari
perhitungan kadar. Adapun kesalahan-kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil penentuan
kadar antara lain kesalahan saat pembuatan larutan NaOH yang tidak sesuai konsentrasi,
kesalahan dalam preparasi sampel, kesalahan dalam pembacaan miniskus saat melakukan titrasi,
juga kesalahan dalam menentukan titik akhir titrasi dimana dalam penentuan warna titik akhir
titrasi bersifat subjektif.

KESIMPULAN:

Berdasarkan praktikum penentuan Kadar asam lemak bebas dan penentuan angka asam
pada beberapa sampel minyak yaitu minyak jelantah, minyak kemasan, minyak tradisional,
minyak urut, dan minyak zaitun, didapatkan hasil sebagai berikut: Minyak Jelantah %FFA
0,37%,angka asam 0,981% dimana nilai %FFA dan Angka asam berada diatas standar yang
ditentukan. Sampel kedua yaitu minyak goreng kemasan %FFA 0,261%,angka asam 0,732%
dimana nilai %FFA berada dalam kadar standar dan Angka asam berada diatas standar yang
ditentukan. Sampel ketiga yaitu Minyak kelapa tradisional %FFA 0,633%,angka asam 1,775%
dimana nilai %FFA dan Angka asam berada diatas standar yang ditentukan. Sampel keempat
adalah miyak urut didapatkan perhitungan %FFA sebesar 2,34%.,angka asam sebesar 4,722 %.
Nilai tersebut berada diatas standar yang ditentukan oleh SNI. Sampel terakhir adalah minyak
zaitun didapatkan perhitungan %FFA sebesar 0,221 %, angka asam sebesar 0,442 %. Nilai
tersebut berada diatas standar yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 0,06 mg KOH/g dimana
angka ini berarti untuk Untuk menetralkan asam lemak-asam lemak dalam minyak zaitun
tersebut diperlukan KOH lebih dari standar. Adapun kesalahan-kesalahan yang dapat
mempengaruhi hasil penentuan kadar antara lain kesalahan saat pembuatan larutan NaOH yang
tidak sesuai konsentrasi, kesalahan dalam preparasi sampel, kesalahan dalam pembacaan
miniskus saat melakukan titrasi, juga kesalahan dalam menentukan titik akhir titrasi dimana
dalam penentuan warna titik akhir titrasi bersifat subjektif.

Suroso, Asri Sulistijowati. 2013. Kualitas Minyak Goreng Habis Pakai Ditinjau dari
Bilangan Peroksida, Bilangan Asam dan Kadar Air.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=324013&val=4889&title=Kualitas
%20Minyak%20Goreng%20Habis%20Pakai%20Ditinjau%20dari%20Bilangan%20Peroksida,
%20Bilangan%20Asam%20dan%20Kadar%20Air

Nur Asni. 2012. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MUTU MINYAK KELAPA DI TINGKAT PETANI PROVINSI
JAMBI. http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/09/MP-6-Nur-Asni-dan-
Linda-Yanti.pdf

Ramdja,A. Fuadi.2010. PEMURNIAN MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN AMPAS TEBU SEBAGAI


ADSORBEN. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya

Hajar,Erna Wati Ibnu.2016. PENURUNAN ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK GORENG BEKAS
MENGGUNAKAN AMPAS TEBU UNTUK PEMBUATAN SABUN. 1Progam Studi Teknik Kimia, Fakultas
Teknik,Universitas Mulawarman

PT. Dragon Prima Farma. Designed by IT Department . 2017. Minyak urut. Tersedia di
http://www.dragonpf.com/products/minyak-urut.html. Diakses pada tanggal 11 Maret 2017

Nugraheni, 2012. Pengaruh Pemberian Minyak Zaitun Ekstrak Virgin Terhadap Profil
Lipid Serum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Sprague Dawley Hiperkolesterolemia.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2017.

Noriko, Nita.2012. Analisis Penggunaan dan Syarat Mutu Minyak Goreng pada Penjaja Makanan
di Food Court UAI. Jakarta: Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Al Azhar
Indonesia, Jl. Sisingamangaraja

Putri, Ni Putu Egi Suarjani. 2014. MEASUREMENT OF FREE FATTY ACIDS IN COCONUT OIL MILLS
PRODUCTION AND TRADITIONAL BY ASIDI ALKALIMETRI METHOD. Denpasar: STIKes Wira Medika Bali

Anda mungkin juga menyukai