Anda di halaman 1dari 355

BAGIAN I

KAWASAN METROPOLITAN:
KONSEP DAN DEFINISI
2 Metropolitan di Indonesia
1

Pendahuluan

PERTUMBUHAN PENDUDUK

Suatu laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada
tahun 2006 menuliskan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk perkotaan di dunia
dengan sangat berarti, pada tahun 2000, 41 persen dari penduduk dunia tinggal di
perkotaan, pada tahun 2005, 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sementara
itu laporan dari United Nations dan World Bank juga menunjukkan perkembangan yang
relatif tinggi untuk penduduk di negara berkembang, dikatakan dalam laporan tersebut
bahwa pada tahun 2050, lebih dari 85 persen penduduk di dunia akan hidup di negara
berkembang dan 80 persen dari penduduk di negara berkembang tersebut akan hidup di
perkotaan.
United Nations memperkirakan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Afrika, Asia
dan Amerika Latin akan naik dua kali lipat dalam 30 tahun mendatang (sejak tahun
2003), naik dari 1,9 miliar di tahun 2000 menjadi 3,9 miliar di tahun 2030. Hampir
semua negara di dunia mengalami proses urbanisasi yang sangat cepat seperti terlihat
pada GAMBAR 1 - 1. Meskipun demikian, statistik yang berhasil dikumpulkan
menunjukkan bahwa negara-negara di Asia mempunyai angka kenaikan absolut yang
paling tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Proses urbanisasi di dunia tersebut akan terus berlanjut dan di beberapa kota
urbanisasi ini juga tercermin pada perubahan luas kawasan perkotaannya. Keadaan
tersebut menyebabkan ukuran kota menjadi hal yang perlu mendapat perhatian. Berapa
besar ukuran geografis suatu kota? Ukuran besar kota ini menjadi perhatian karena pada
daerah-daerah administratif yang bersebelahan dan telah berciri kota akan membentuk
konurbasi1 dan menjadi suatu “kota” yang sangat besar. Fenomena ini di beberapa
literatur sering disebut sebagai Metropolitan, Extended Metropolitan ataupun
Megalopolis (Mc Gee, dan Robison 1995, Jones, 2002; Montgomery, dkk, 2003,

1
Konurbasi (conurbation) adalah suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota
4 Metropolitan di Indonesia

Doxiadis, 1969). Adanya istilah-istilah ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan


karakter di antara kota-kota di dunia jika dilihat dari ukurannya2.

5,000,000
4,500,000

(ribuan)
(thousands)
4,000,000
Penduduk 3,500,000
3,000,000
Kota
urban
Population

2,500,000
Desa
rural
2,000,000
Jumlah

1,500,000
Total

1,000,000
500,000
0
50

60

70

80

90

00

10

20

30
19

19

19

19

19

20

20

20

20
Tahun
Year Source: World Urbanization
Prospects 2001

GAMBAR 1 - 1 Perkiraan dan Proyeksi Penduduk di Perkotaan dan


Perdesaan di Dunia Tahun 1950 – 2030
Sumber: United Nations 2002

6000000
2000
5000000 2015
Penduduk kota (x 000)

2030
4000000

3000000

2000000

1000000

0
Europe

Northern

Oceania
World

Latin America
Asia

America
Africa

Kawasan
Tolona
GAMBAR 1 - 2 Perkiraan dan Proyeksi Persentasi Penduduk
Perkotaan per Kawasan Tahun 1950-2030
Sumber: UNCHS 2001

2
Secara lebih mendalam definisi metropolitan ini akan dibahas di Bab 2. Dalam buku ini, kecuali jika
dijelaskan lain, istilah kota besar dan metropolitan akan digunakan bersama-sama.
Pendahuluan 5

Salah satu contoh dari penggabungan kawasan kota-kota menjadi suatu kawasan
perkotaan yang besar adalah Kota Meksiko. Meksiko mendefinisikan Kota Meksiko
dalam Distrik Federal dengan mengikutsertakan daerah adminsitratif di sebelah kota
intinya hingga penduduk perkotaannya yang dihitung dalam Larger Meksiko City
Metropolitan Area mencapai 17,9 juta jiwa (Montgomery dkk, 2003). Beberapa kota
lain di dunia juga menunjukkan fenomena yang sama, yaitu kota besar biasanya terjadi
karena bersatunya beberapa daerah administratif yang telah menjadi kota karena
pertambahan penduduk dan pertambahan fasilitas perkotaannya.
Sebagai gambaran bahwa kota bisa menjadi sangat besar karena bersatunya
beberapa daerah adminsitratif yang berdekatan menjadi kawasan perkotaan yang besar,
dapat ditunjukkan melalui perbandingan beberapa kota di Asia (lihat TABEL 1 - 1).

TABEL 1 - 1 Perbandingan dari Dua Perkiraan Jumlah Penduduk dan Pertumbuhannya


di Empat Extended Metropolitan Regions (EMRs) di Asia
Bangkok Jakarta Manila Taipei
1980 1990 1980 1990 1980 1990 1980 1990
Jumlah
Penduduk
Aglomerasi 4.723 5.901 5.985 7.650 5.955 7.968 2.217 2.711
perkotaan
Kota inti 4.697 5.876 6.481 8.223 5.926 7.948 2.268 2.761
Kawasan 1.947 2.706 5.413 7.676 2.820 4.107 3.070 4.035
dalam
Kawasan luar 2.513 3.061 t.d t.d 2.932 3.908 709 7.533
Seluruh 9.157 11.643 11.894 15.899 11.678 15.963 6.047 7.533
kawasan EMR

Rata-rata
pertumbuhan
1980-1990
Aglomerasi 2,22 2,45 2,91 2,01
perkotaan
Kota inti 2,33 2,38 2,93 1,96
Kawasan 3,29 3,49 3.,75 2,73
dalam
Kawasan luar 2,40 t.d 2,87 0,65
Seluruh EMR 2,40 2,90 3,12 2,22
Sumber: Montgomery, dkk. (2003)
Catatan: Data untuk aglomerasi dari UN 2001; data lain dari Jones 2002.

TABEL 1 - 1 menunjukkan bahwa kota-kota menjadi semakin besar dengan


mengikutsertakan kawasan di sekelilingnya. Secara geografis ukuran kota-kota ini sangat
beragam, yang jika dilihat dari jumlah penduduk saja tidak bisa segera diketahui besaran
kota secara geografis. Mega urban dapat saja membentang dari 100 km persegi hingga
200 km persegi hingga 200 – 10.000 km persegi atau lebih (Hamer 1994, seperti ditulis
dalam Rosan dkk., 2005). Untuk Jakarta Extended Metropolitan Region, pada tahun
6 Metropolitan di Indonesia

2000 jumlah penduduknya telah mencapai 21,95 juta jiwa dengan kepadatan 3.432 jiwa
per km persegi3, yang berarti luas kawasan kotanya mencapai sekitar 6.396 km persegi.

TABEL 1 - 2 Jumlah dan rata-rata pertumbuhan penduduk di beberapa kota di


dunia
Jumlah Penduduk (ribuan) Tingkat Pertumbuhan
Pengelompokan Kota
dan Desa 1975 1995 2015 1975-1995 1995-2015
Negara Berkembang
Beijing, Cina 8545 11299 15572 1,4 1,6
Bombay, India 6856 15138 26218 4,0 2,8
Buenos Aires, Argentina 9144 11802 13856 1,3 0,8
Kairo, Mesir 6079 9690 14418 2,4 2,0
Kalkuta, India 7888 11923 17305 2,1 1,9
Delhi, India 4426 9948 16860 4,1 2,7
Daka, Bangladesh 1925 8545 19486 7,7 4,2
Hangzhou, Cina 1097 4207 11407 7,0 5,1
Hyderabad, India 2086 5477 10489 4,9 3,3
Istambul, Turki 3601 7911 12328 4,0 2,2
Jakarta, Indonesia 4814 8621 13923 3,0 2,4
Karaci, Pakistan 3983 9733 19377 4,6 3,5
Lagos, Nigeria 3300 10287 24640 5,8 4,5
Lahore, Pakistan 2399 5012 10047 3,8 3,5
Metro Manila, Filipina 5000 9286 14657 3,1 2,3
Meksiko, Meksiko 11236 16562 19180 2,0 0,7
Rio de Janeiro, Brazil 7854 10181 11860 1,3 0,8
Sao Paulo, Brazil 10047 16533 20320 2,5 1,0
Seoul, Republik Korea 6808 11609 12980 2,7 0,6
Shanghai, Cina 11443 13584 17969 0,9 1,4
Teheran, Iran 4274 6836 10309 2,4 2,1
Tianjin, Cina 6160 9415 13530 2,1 1,8

Negara Maju
Los Angeles, Amerika 8926 12410 14217 1,7 0,7
New York, Amerika 15880 16332 17602 0,1 0,4
Osaka, Jepang 9844 10609 10609 0,4 0,0
Tokyo, Jepang 19771 26959 28887 1,6 0,3
Sumber: United Nation 1998 dalam Rosan dkk., 2005

Kawasan perkotaan yang melewati batas administratif menunjukkan bahwa dalam


pengelolaan kawasan tersebut diperlukan kerjasama yang baik antara daerah-daerah
administratif pembentuk kawasan perkotaan. Beberapa kota besar di dunia mempunyai

3
Lihat pembahasan mengenai kependudukan di Bab 5
Pendahuluan 7

kerjasama antar daerah yang diwujudkan dalam kelembagaan formal yang mempunyai
wewenang tertentu di dalam pengelolaan dan perencanaan fasilitas pelayanan perkotaan.
Dalam laporan yang sama (Rosan dkk., 2005) disebutkan bahwa United Nations
pada tahun 1998 memperkirakan pertumbuhan kota-kota di Asia dan Afrika akan
mengalami pertumbuhan yang hampir sama. India menunjukkan pertumbuhan yang
sangat pesat demikian juga Pakistan dan Bangladesh. Hangzhou di Cina mengalami rata-
rata pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, disusul oleh Daka di Bangladesh.
Menarik untuk dicermati bahwa kota di atas 10 juta jiwa terus berkembang dan sebagian
berada di Asia dan Afrika yang termasuk dalam negara-negara sedang berkembang dan
masih mengalami kesulitan di dalam melakukan pelayanan perkotaan (lihat TABEL 1 -
2).

PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI KOTA-KOTA BESAR (METROPOLITAN)

Perkembangan jumlah penduduk yang besar tentu harus menjadi perhatian, karena tidak
semua kota mampu memberikan pelayanan yang mencukupi, apalagi jika pertambahan
penduduk yang besar tersebut juga disertai dengan pertambahan luas kota yang harus
dilayani. Pelayanan yang rendah ini terutama dialami oleh kota-kota di negara
berkembang. Dalam suatu laporan (Rosan dkk., 2005) dikatakan bahwa sekitar 30 persen
penduduk perkotaan di negara berkembang tidak mempunyai akses pada air bersih, dan
50 persen tidak mempunyai sistem sanitasi yang baik, yang terlihat pada permukiman
dalam bentuk slum dan squatter4.
Banyaknya slum dan squatter juga menjadi persoalan yang harus dihadapi oleh kota-
kota besar tersebut. Laporan dari UN Habitat (2003) menunjukkan bahwa 64 persen
lingkungan slum akan berada di negara-negara Asia, dengan keadaan yang sangat buruk.
Di Indonesia, kawasan kumuh ini juga menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu,
yang paling mencolok adalah perubahan kawasan kumuh ini jika dilihat dari
kepemilikan tanahnya yang tidak jelas5. Sementara itu di kota-kota besar tersebut juga
terjadi kesenjangan yang besar antara yang kaya dan miskin yang juga tergambarkan
dalam segregasi ruang perumahannya. Terdapat pengelompokan dalam enclave-enclave
perumahan bagi masyarakat kaya di samping slum yang dihuni oleh kaum miskin
perkotaan. Keadaan tersebut menurut beberapa pendapat menjadi salah satu penyebab
konflik di perkotaan (Winarso, 2005).
Kota-kota besar tersebut menghadapi pula persoalan ekonomi, terutama dalam
menyediakan lapangan pekerjaan formal bagi masyarakatnya. Walaupun demikian
penelitian di beberapa kota di dunia menunjukkan bahwa ekonomi perkotaan memiliki
kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Di Meksiko
misalnya, lima kota besarnya menyumbang 53 persen dari pertambahan nilai (value
added) pada aktivitas industri, komersial dan jasa-jasa; kelima kota tersebut sebenarnya

4
Slum diartikan sebagai permukiman yang kumuh; tidak mempunyai akses yang baik pada air bersih
dan sanitasi, padat dan tidak teratur, walaupun sebagian besar penduduknya mampu menunjukkan
legalitas kepemilikan lahan dan rumahnya. Squatter mengacu pada ilegalitas kepemilikan lahannya, di
negara berkembang, squatter identik dengan slum dalam arti kekumuhannya, sementara di negara maju
squatter tidak mesti merupakan pemukiman kumuh.
5
Lihat pembahasan perumahan di Bab 6
8 Metropolitan di Indonesia

hanya ditempati oleh 28 persen penduduk Meksiko (Montgomery et all, 2003). Di


Indonesia sumbangan ekonomi perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional juga
cukup besar; 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbang oleh hanya
14 kota besar6. Sementara itu sektor informalnya7 sulit untuk diketahui, walaupun
dipercaya sangat besar dan seperti di beberapa negara berkembang, merupakan “katup
penyelamat” bagi ekonomi nasionalnya, perannya terhadap ekonomi nasional sering
tidak terbaca dengan baik. Montgomery, dkk. (2003) mengutip Arnaud (1998) misalnya,
menunjukkan bahwa 70 persen dari pekerjaan yang ada pada kota-kota di Afrika Barat
adalah pekerjaan di sektor informal.
Selain itu, metropolitan juga menghadapi masalah lingkungan hidup. Kualitas
lingkungan menurun tajam dapat terlihat dari besarnya tingkat polusi di kota-kota
tersebut akibat kemacetan lalu lintas dan sistem transportasi umum yang tidak baik.
Penurunan kualitas lingkungan juga terlihat dari penyediaan infrastruktur dasar seperti
air bersih dan sanitasi (lihat TABEL 1 - 3). Sementara itu ketersediaan ruang terbuka
untuk ruang terbuka hijau maupun ruang untuk aktivitas sosial juga menurun tajam. Di
beberapa kota bahkan sudah mencapai kurang dari sepuluh persen luas kotanya. Ruang
hijau yang diperlukan untuk membersihkan udara sangat terbatas menyebabkan polusi
udara tidak dapat cepat dibersihkan kembali.

TABEL 1 - 3 Proporsi penduduk perkotaan yang mempunyai akses ke air bersih dan sanitasi
Data statistik dari UNDP Human Data statistik dari World Bank World
Development Report 1996 Development Indicators 2000
persen penduduk persen penduduk persen penduduk persen penduduk
kota yang kota yang kota yang kota yang
mempunyai akses mempuyai mempunyai akses mempuyai
Negara ke air bersih sanitasi ke air bersih sanitasi
Bangladesh 99 75 47 77
Burkina Faso Td 42 Td 8
Ethiopia 91 97 90 Td
Gana 70 53 70 53
India 85 0 85 46
Indonesia 79 73 78 73
Jamaika Td 100 92 89
Nigeria 63 40 63 61
Pakistan 96 62 77 53
Filipina 93 79 91 88
Sudan 84 79 66 79
Tanzania 67 74 65 97
Uganda 47 94 47 75
Zimbabwe 99 9 99 99
Td = tidak ada data
Sumber:UNCHS, 2001

6
Lihat pembahasan ekonomi perkotaan di Bab 5
7
Definisi mengenai sektor informal ini masih selalu menjadi perdebatan, apalagi saat ini sektor
informal di negara berkembang sebenarnya mampu memberikan pendapatan yang sangat tinggi bagi
pelakunya.
Pendahuluan 9

Persoalan lingkungan juga terjadi pada kota-kota besar yang terus membangun jalan
dan bangunan beton sehingga resapan air menjadi sangat berkurang. Ditambah dengan
kedekatan terhadap kawasan penyangga lingkungan di sekitar kota inti yang juga tidak
terawat, menyebabkan air hujan yang turun tidak bisa terserap dengan cepat dan dapat
mengakibatkan terjadinya banjir tahunan yang menyengsarakan masyarakat.

PERSOALAN DI INDONESIA

Persoalan sektoral
Persoalan-persoalan metropolitan sebagaimana tersebut di atas juga terjadi di beberapa
kota metropolitan di Indonesia. Terdapat pertambahan penduduk yang cepat, bahkan
pada tahun 2025 diperkirakan bahwa 80 persen dari total penduduk di Pulau Jawa akan
tinggal pada kawasan perkotaan8. Pertanyaannya adalah “apakah kota-kota akan mampu
memberikan pelayanan yang layak bagi penduduknya?” Urbanisasi tidak selalu berarti
negatif (Talen 2005)9 karena jika dilihat dari sisi ekonomi, kota-kota selalu memberikan
kontribusi yang besar pada pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi, kenyataan dalam
penyediaan pelayanan yang memadai bagi penduduk perkotaan yang besar adalah
persoalan yang berat, walaupun secara statistik tetap terlihat bahwa proporsi penduduk
kota mendapatkan pelayanan lebih besar daripada penduduk perdesaan. Persoalan-
persoalan sektoral lain seperti kemacetan lalu lintas dan kurangnya fasilitas angkutan
publik merupakan keadaan yang sering dihadapi oleh kota-kota besar.
Infrastruktur dasar seperti air bersih, sistem sanitasi dan telekomunikasi menjadi
persoalan sektoral lain yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia. Pertambahan
penduduk yang besar tanpa pertambahan dana investasi pada infrastruktur bagaikan
“pasak lebih besar dari tiang” yang berarti dalam beberapa tahun ke depan, jika tidak ada
perbaikan investasi, yang terjadi adalah kekacauan. Dalam hal investasi ini, Indonesia
termasuk negara yang tertinggal. Indonesia hanya memberikan investasi sebesar 4 persen
dari PDB untuk infrastruktur yang sangat tertinggal jika dibandingkan dengan negara
lain.10
Persoalan yang sama dihadapi perkotaan di Indonesia dalam sektor perumahan,
transportasi, penyediaan ruang terbuka hijau (RTH), dan persampahan. RTH di sebagian
besar kota-kota di Indonesia, sangat tidak memadai baik kuantitas (besarannya) maupun
kualitas, dalam arti fungsi RTH sebagai pembentuk iklim mikro perkotaan tidak dapat
tercapai11. Persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi permasalahan
besar bagi beberapa kota di Indonesia. Jakarta mengalami masalah dengan pembuangan
akhir di Bantar Gebang; Bandung mengalami persoalan pembuangan sampah yang
sangat rumit pada tahun 2006, sehingga mengubah julukan Bandung menjadi “Bandung
kota sampah”.

8
Lihat pembahasan mengenai kependudukan di Bab 5
9
Lihat juga pembahasan di Bab 5
10
Lihat pembahasan mengenai infrastruktur dasar di Bab 6
11
Lihat pembahasan mengenai RTH dan Lingkungan di Bab 6
10 Metropolitan di Indonesia

Persoalan Tata Ruang


Persoalan sektoral di atas, juga tercermin pada tata ruang kawasan perkotaannya karena
tata ruang adalah wujud struktural dari aktivitas yang terjadi. Walaupun terlihat ada
pusat-pusat dan sub pusat-sub pusat aktivitas dalam tata ruang kawasan perkotaan, tetapi
struktur yang terjadi tidak tertata dengan baik yang mencerminkan terjadinya
ketidakseimbangan pelayanan fasilitas perkotaan. Dengan kata lain, terjadi kerancuan di
dalam sistem pelayanannya. RTH tidak mampu membentuk iklim mikro yang baik
karena luasan dan lokasinya yang tidak tertata dan tidak tepat. Kemacetan lalu lintas
menunjukkan bahwa terjadi ketidakcocokan antara lokasi tempat tinggal dengan tempat
kerja atau tempat fasilitas lain.
Penataan ruang yang baik diperlukan untuk dapat menjadikan pelayanan perkotaan
yang dapat dinikmati oleh warga kota sehingga ketidakcocokan antara tempat tinggal
dan fasilitas pelayanan perkotaan dapat dikurangi hingga sekecil mungkin. Jika fasilitas
pelayanan perkotaan ada dalam ”jangkauan” yang baik, masyarakat tidak harus
mencarinya di tempat lain.

MAKSUD PENULISAN BUKU

Uraian di atas menunjukkan bahwa metropolitan di dunia, terutama di negara


berkembang, tidak hanya menghadapi persoalan-persoalan, tetapi juga mempunyai
potensi. Pemahaman mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi dan potensi yang
dipunyai kawasan metropolitan sebagai suatu sistem kota besar di Indonesia masih
dirasakan kurang memadai, terutama bagi penyelenggara pemerintahan. Padahal
kawasan metropolitan dapat mempunyai arti yang sangat penting dalam pengembangan
wilayah dan perekonomian nasional karena sumbangan pada pertumbuhan ekonomi
yang besar.
Persoalan-persoalan metropolitan tercermin dalam struktur dan pola keruangannya.
Jika ditata dan dikelola dengan baik, kawasan metropolitan dapat berfungsi lebih baik
lagi sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang luas karena skala kegiatan ekonomi yang
berkembang di dalamnya. Sebaliknya, pengelolaan kawasan metropolitan secara tidak
tepat malahan dapat menyebabkan ketidakefisienan dan menimbulkan berbagai
persoalan, baik persoalan teknis maupun persoalan sosial ekonomi. Kawasan perkotaan
metropolitan dituntut untuk mampu berfungsi secara efektif sebagai pusat pertumbuhan
wilayah yang efisien sehingga dapat menunjang upaya percepatan pembangunan
nasional. Ketidakefisienan dalam pengelolaan kawasan perkotaan dikhawatirkan dapat
berdampak pada penurunan kinerja pembangunan dalam skala yang lebih luas, bahkan
nasional.
Agar pengelola kawasan perkotaan metropolitan dapat lebih memahami persoalan
kawasan metropolitan secara lebih mendalam, diperlukan suatu bacaan yang dapat
dijadikan acuan bagi para pemangku kepentingan dalam menyelenggarakan kegiatan
pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan metropolitan. Terkait dengan hal
tersebut, pada Tahun Anggaran 2006 Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen
Pekerjaan Umum, membentuk tim untuk menyiapkan buku yang dapat digunakan
sebagai source book oleh para pemangku kepentingan dalam meningkatkan pemahaman
mengenai persoalan metropolitan.
Pendahuluan 11

METODA DAN PENDEKATAN

Yang menjadi perhatian utama dalam buku ini adalah peningkatan pemahaman
mengenai persoalan metropolitan terutama dalam hal:
• Definisi dan pengertian metropolitan
• Dinamika pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi perkotaan
• Penyediaan infrastruktur dasar dan lingkungan hidup metropolitan
• Hukum dan kelembagaan metropolitan
• Penataan ruang kawasan metropolitan
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, dibentuk tim yang mempelajari literatur
mengenai metropolitan di dunia dan di Indonesia yang didapatkan dari penelitian melalui
internet maupun pada data-data sekunder hasil studi dari berbagai institusi. Meminta
beberapa pakar, pemerhati metropolitan dari kalangan akademisi maupun praktisi untuk
mendiskusikan dan menuliskan hasil pengamatan mereka pada sektor tertentu di dalam
penataan ruang kawasan metropolitan. Hasil dari studi dan pengamatan pakar
didiskusikan dalam seminar dan kemudian ditulis ulang dan disusun sesuai dengan
tujuan penulisan buku ini.

SISTEMATIKA BUKU

Buku ini terdiri dari tiga bagian besar: bagian pertama bertajuk Kawasan Metropolitan:
Konsep dan Pengertian; bagian kedua bertajuk Metropolitan di Indonesia, dan bagian
ketiga bertajuk Penataan Ruang Kawasan Metropolitan.
Bagian pertama dimaksudkan sebagai penyatu pandangan mengenai definisi
metropolitan, yang dipakai dalam diskusi dan analisis dalam bagian pertama dan kedua
buku. Pada bagian tiga, definisi baru mengenai kawasan metropolitan untuk Indonesia
dirumuskan berdasarkan diskusi-diskusi pada bagian sebelumnya. Bagian pertama ini
terdiri dari dua bab; Bab 1 menguraikan isi buku secara keseluruhan serta memberikan
konteks analisis metropolitan; Bab 2 menguraikan konsep dan definisi metropolitan serta
memberikan gambaran mengenai metropolitan di dunia, struktur tata ruang dan
persoalan yang dihadapi metropolitan di dunia tersebut.
Bagian kedua, dengan mengacu pada pengertian metropolitan yang telah dijelaskan
di bagian pertama, menguraikan persoalan dan tantangan serta kemungkinan kebijakan
sektoral untuk menjawab persoalan-persoalan tertentu pada metropolitan di Indonesia.
Bagian kedua ini terdiri dari empat bab. Dimulai dengan Bab 3 yang menggambarkan,
berdasarkan data-data sekunder, mengenai sejarah pembentukan, perkembangan, dan
persoalan yang dihadapi metropolitan di Indonesia. Selanjutnya pada Bab 4, secara
umum membahas mengenai persoalan kependudukan, sosial ekonomi, infrastruktur dan
hukum serta kelembagaan yang dihadapi oleh metropolitan di Indonesia. Tiga bab
berikutnya; Bab 5, 6 dan 7, membahas secara lebih mendalam persoalan kependudukan
dan sosial ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan serta hukum dan kelembagaan.
12 Metropolitan di Indonesia

Bagian ketiga dimaksudkan sebagai penutup yang menunjukkan usulan dan


pandangan mengenai bagaimana sebaiknya penataan kawasan metropolitan
dilaksanakan. Bagian ini terdiri dari 2 bab, yaitu Bab 8 menguraikan arahan kebijakan
penataan ruang metropolitan dan Bab 9 yang berisi catatan penutup.
2

Konsep dan Struktur Metropolitan

DEFINISI DAN STRUKTUR METROPOLITAN

Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah


dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan
tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan
karakteristik dan persoalan yang spesifik. Oleh karenanya, suatu kota atau kawasan
metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang
dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan
pembangunannya. Istilah metropolitan pertama kali digunakan secara resmi berkenaan
dengan skala dan pola pertumbuhan kota yang sangat cepat di Amerika. Perubahan
fundamental dalam cara hidup Amerika ini dikenali pada awal abad ke-20 ketika Biro
Sensus [Amerika] pada tahun 1910 secara resmi memperkenalkan istilah Metropolitan
Districts ke dalam sistem klasifikasi wilayahnya (Goheen, dalam Bourne, ed. 1971).
Metropolitan selalu menghadapi persoalan-persoalan bukan saja karena besarnya
jumlah penduduk, tetapi juga karena karakternya yang berbeda dengan kota bukan
metropolitan. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan dan pembangunan
kota atau kawasan metropolitan di negara maju pun sudah cukup kompleks, apalagi di
negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Secara umum orang mengartikan
metropolitan sebagai suatu kota besar yang berhubungan dengan kehidupan modern,
kehidupan kota -bukan pertanian- yang kompleks. Pengertian seperti ini memang tidak
salah namun agak sulit dipakai jika suatu kebijakan teknis akan diimplementasikan pada
kota metropolitan. Pertanyaaan yang muncul biasanya adalah apa ketentuan
pembentukan kota atau kawasan metropolitan? Berapa besar penduduknya? Bagaimana
karakternya? Bagaimana pengukurannya? Bagaimana kelembagaan pengelolaannya?
Mendefinisikan kawasan metropolitan bukan merupakan tugas yang mudah.
Metropolitan tidak bisa dengan mudah didefinisikan hanya berdasarkan jumlah
penduduk saja, karena ada kota yang mempunyai penduduk lebih kecil tetapi
mempunyai luas wilayah yang besar; ada kota dengan penduduk lebih besar mempunyai
14 Metropolitan di Indonesia

luas kota yang lebih kecil, dan ada pula kota-kota dengan penduduk lebih kecil tetapi
mempunyai sifat kekotaan yang mencolok.
Dalam kerangka seperti itu, bagian ini akan membahas definisi metropolitan yaitu
dengan: pertama, membahas sejarah penggunaan kata dan terbentuknya metropolitan;
kedua, membahas ciri-ciri metropolitan; ketiga, menjelaskan struktur metropolitan; dan
di akhir merumuskan definisi metropolitan.

Sejarah Penggunaan Istilah dan Terbentuknya Metropolis


Kata metropolitan atau metropolis (metropolitan sebagai kata sifat, metropolis sebagai
kata benda) telah banyak digunakan untuk menunjukkan berbagai realita perkotaan yang
berbeda-beda. Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan metropolitan atau metropolis
ini? Apabila dikaji dari sudut pandang historis dan leksikal (etimology), istilah
metropolis berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni berasal dari kata meter yang berarti
ibu dan kata polis yang berarti kota (Wackermann, 2000). Pada masa itu, secara harafiah,
metropolis dapat diartikan sebagai “kota ibu” yang memiliki kota-kota satelit sebagai
anak, namun dapat juga berarti pusat dari sebuah kota, sebuah kota-negara (city-state),
atau sebuah propinsi di kawasan Mediterania, sehingga dapat dikatakan juga bahwa pada
masa itu istilah “metropolis” memiliki konotasi yang berkaitan dengan fatherland.
Hingga saat ini konotasi tersebut masih digunakan, istilah Metropolitan France misalnya
mengacu pada bagian dari Republik Perancis yang berada di Eropa, yakni daratan
Perancis dan Korsika sebagai mother country, di samping wilayah-wilayah di luar itu
sebagai bekas koloni yang bergabung dalam Republik Perancis. Istilah metropolitan juga
dikatakan sebagai berasal dari kata “metro” yang mengambil kata dari sistem
“perkereta-apian ringan” (light train system) di wilayah perkotaan. Kebutuhan sistem
transportasi perkotaan tersebut adalah akibat dari pertumbuhan kota yang sudah
mempunyai sistem “commuter” penduduk perkotaan, misal dari kota-kota “dormitory”
ke kota induknya. “The metropolitan area is created by combining those counties which
are integrated in terms of commuting with the central city and the county in which it
lies.” (Bourne, 1971, hal. 15)
Istilah metropolis juga digunakan untuk: … “to denote the central city in a
metropolitan area” (Bergel, 1955, hal. 121-131). Secara statistik, Bourne (1971, Internal
Structure of The City, hal. 50) mengindikasikan dalam suatu definisi bagi istilah
metropolitan yang dikategorikan dalam dua pertimbangan utama:

“First, a city or cities of specified population to constitute the central city and to
define the county in which it is located as the central county; and second, economic
and social relationships with contiguous counties which are metropolitan in
character, so that the periphery of the specific metropolitan area may be
determined”

Setelah Perang Dunia Kedua, istilah metropolis seringkali digunakan sebagai kata
yang sinonim dengan istilah “ibu kota”. Baru pada akhir tahun 1970 an istilah ini
menjadi objek pendekatan keilmuan untuk mengkaji ledakan pertumbuhan perkotaan,
perluasan kawasan perkotaan, dan migrasi perkotaan. Secara cepat istilah ini kemudian
berkembang menjadi istilah yang berkaitan dengan kajian penemuan kembali dan
rehabilitasi dari pusat kota dan aglomerasi perkotaan modern (Wackermann, 2000).
Konsep dan Struktur Metropolitan 15

Sejak awal 1980 an penggunaan pendekatan keilmuan dalam mempelajari


fenomena metropolitan menjadi semakin berkembang. Tetapi para ilmuwan dan
organisasi-organisasi perencanaan lebih banyak memperhatikan perkembangan kawasan-
kawasan metropolitan daripada menyusun definisi yang tepat bagi fenomena ini.
Wackermann (2000) mengutip Michela Paal menyebutkan bahwa kurangnya bahan akan
definisi metropolitan ini nampak dari penjelasan akan arti kata tersebut di Kamus dan
Ensiklopedia Webster, yang hingga tahun 2003 tidak membahas arti dari kata metropolis
di luar konteks sebagai ibu kota sebuah negara atau pusat utama dari aktivitas penting di
suatu wilayah. Di tahun 1989, Gottmann mendefinisikan modern metropolis sebagai the
largest and most complex artifact that humankind has ever produced. Beberapa tahun
setelah itu, di tahun 1991, Jean Bastie dan Bernard Dezert menyusun definisi dari
metropolis modern yang didasarkan dari fungsi sebuah kota, yakni bahwa definisi
sebuah metropolis:
- Tidak selalu ditentukan oleh ukuran demografik, dapat saja ukurannya ditentukan
oleh faktor yang lebih penting dari ukuran kuantitatif populasinya
- Dicirikan oleh sistem infrastruktur komunikasi dan transportasi yang melayani
pergerakan commuting, aliran informasi, dan pengambilan keputusan.
- Sebagai pusat aktivitas keuangan di tingkat atas.
- Sebagai pusat berkumpulnya perusahaan-perusahaan internasional.
- Sebagai pusat kekuatan politik dan administrasi dari sebuah negara.
- Sebagai tempat pengembangan atau penggunaan teknologi tinggi dan
telekomunikasi canggih.
- Sebagai tempat penting aktivitas-aktivitas budaya dan ilmiah.
- Sebagai tempat tujuan wisata internasional.
- Sebagai pusat fungsional tenaga kerja dan perumahan.
Seorang pakar perkotaan, Angotti (1993) berpendapat bahwa sebuah metropolis
bukan saja sebuah kota yang sangat besar, tetapi juga sebuah bentuk baru dari
masyarakat, lebih besar, lebih kompleks dan memiliki peran kekuasaan yang lebih
sentral, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Kota-kota industri abad 19 lebih
tepat disebut sebagai pendahulu dari kota-kota metropolis yang menjadi karakteristik
dari kota-kota abad 20. Sebuah metropolis adalah ekspresi urban di dunia yang saling
terkait pada banyak fungsi sosial budaya dan ekonomi transnasional dan internasional.
Menurut Angotti metropolis menawarkan pertumbuhan dan akumulasi dari potensi-
potensi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah.
Namun Angotti juga berpendapat bahwa sebuah kota yang berpenduduk lebih dari
satu juta dapat dikategorikan sebagai kota metropolitan. Ukuran demografik ini
didukung oleh Meijer (1993) yang berpendapat bahwa sebuah metropolis dicirikan oleh
besaran penduduknya, yang juga mencirikan pusat-pusat di Eropa. Blumenfeld (1971)
menjelaskan metropolis sebagai sebuah pusat permukiman dengan penduduk paling
sedikit 500.000 jiwa, namun dia menganjurkan ukuran minimum satu juta jiwa bagi
kota-kota di Amerika Utara. Ekistic (Doxiadis 1968) mengartikan metropolis sebagai
16 Metropolitan di Indonesia

suatu permukiman besar yang terdiri dari satu atau lebih pusat yang berpenduduk 50.000
atau lebih dan mempunyai karakter kota yang lebih besar daripada karakter perdesaan,
dengan kepadatan secara bruto sebesar 66 jiwa per ha. Sementara itu Blumenfeld (1971)
juga mendeskripsikan metropolis sebagai permukiman dengan penduduk paling tidak
50.000 jiwa, namun menurutnya, satu juta adalah kriteria yang cocok untuk ukuran
metropolis di Amerika Utara1. Angotti (1993) mengikuti Goodman (1960) yang
mengatakan bahwa kota metropolis itu berpenduduk satu juta atau lebih.
Selain menggambarkan kondisi banyak fungsi sosial ekonomi dan ukuran penduduk
dari sebuah kota, istilah metropolis menurut Kamus Geografi dari Baud (1995) dapat
ditinjau dari ukuran hirarki, yang mempertimbangkan sebuah metropolis sebagai pusat
fungsional. Fungsi-fungsi dari kekuatan yang inheren dalam metropolislah yang
kemudian menjadi dasar dari perilaku pertumbuhan kota. Di sini kekuatan finansial dan
pertimbangan geopolitiklah yang memainkan peran utama dari sebuah kawasan
metropolitan. Dengan demikian, istilah metropolis tidak lagi hanya dipertimbangkan
sebagai sebuah ibu kota. Sebuah kota besar atau yang sangat besar pun harus
dipertimbangkan sebagai sebuah kota metropolitan. Luasan kota metropolitan pun
bervariasi, bergantung pada wilayah (Wackermann, 2000). Di Eropa, misalnya, luasan
sebuah metropolis adalah antara 25.000 hingga 50.000 km persegi, sementara di
Amerika Serikat hingga 200.000 km persegi.
Antara kota-kota metropolitan tersebut juga dapat dibedakan antara kota
metropolitan internasional, nasional, serta regional. Menurut Wackermann (2000), kota
metropolitan internasional adalah kota yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Memiliki populasi yang secara kualitatif aktivitasnya berada di tingkat internasional
dan berada di jaringan perdagangan raksasa.
- Memiliki pelayanan tingkat internasional di bidang teknologi, konsultansi dan riset.
- Memiliki infrastruktur untuk penyelenggaraan aktivitas internasional seperti:
kongres, festival, dll.
- Memiliki komunitas tenaga kerja asing yang merepresentasikan perusahaan dan
institusi multinasional yang jumlahnya cukup untuk mempengaruhi kehidupan lokal.
- Memiliki citra internasional terutama dalam bidang pariwisata dan budaya.
Dalam hal ini, hampir seluruh kota metropolitan nasional juga memiliki kriteria
seperti di atas. Di negara-negara berkembang, kota-kota metropolitan secara umum
adalah kota-kota yang sangat besar dari segi demografik hingga mencapai jutaan jiwa.
Kota-kota tersebut tidak selalu memiliki profil sebagai kota-kota yang benar-benar
metropolitan, namun sebagian besar dari kota-kota tersebut telah mulai masuk dalam
proses internasionalisasi dan globalisasi. Di Amerika Serikat, yang termasuk dalam kota
metropolitan internasional dan nasional ini adalah New York, Chicago, San Francisco,
dan Los Angeles.

1
Penduduk kota-kota di Eropa biasanya sangat rendah jika dibanding dengan kota-kota di Asia,
terutama India dan Indonesia. Penduduk sebesar 100.000 jiwa sudah dianggap besar di Eropa, termasuk
kecil di Indonesia.
Konsep dan Struktur Metropolitan 17

Adapun yang disebut sebagai kota metropolitan regional adalah kota-kota yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
- kota yang mempunyai peran besar dalam perekonomian negara.
- ibu kota regional.
- pusat pertumbuhan wilayah dan tempat berpusatnya sebagian besar pelayanan
perkotaan.
- menjadi gerbang wilayah untuk berhubungan dengan wilayah lain di tingkat
nasional dan internasional
Di Amerika Serikat, kota-kota metropolitan yang berfungsi sebagai kota metropolitan
regional antara lain adalah Boston, Philadelphia, Atlanta, Houston, Dallas, Minneapolis
dan Phoenix.

Definisi Umum Metropolitan


Berdasarkan uraian di atas dan praktek dalam pengelolaan perkotaan, metropolitan
didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman yang besar yang terdiri dari satu kota
besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar
melayani sebagai titik hubung (hub) dengan kota-kota sekitarnya tersebut. Suatu
kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak
harus kawasan permukiman yang bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk
suatu satu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat (kota besar
yang merupakan inti) yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial.
Menurut Goheen (dalam Bourne, ed. 1971), Kota/Distrik Metropolitan adalah kawasan
perkotaan dengan karakteristik penduduk yang menonjol dibandingkan dengan
penduduk perdesaan di sekitarnya. Istilah ini digunakan untuk memberikan gambaran
yang lebih tepat mengenai besaran dan konsentrasi penduduk dalam wilayah yang luas,
yang selanjutnya dapat menunjukkan besaran pusat-pusat permukiman yang utama di
satu negara. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai ‘satu
kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan
sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota’

Struktur metropolitan
Suatu metropolitan bisa saja mempunyai satu pusat (monocentric), atau lebih dari satu
pusat (polycentric). Pada suatu metropolitan yang polycentric, pusat metropolitan tidak
harus secara fisik tersambung dalam bentuk kawasan terbangun (built-up area),- berbeda
dengan pengertian conurbation,- kota-kota yang menjadi pusat metropolitan polycentric
terhubung secara ekonomi dan fisik, dan secara keseluruhan menjadi kawasan perkotaan
yang besar. Contoh dari bentuk polycentric ini misalnya adalah Tokyo-Kawasaki-
Yokohama (the Keihin area), atau Osaka-Kobe dan Kyoto sebagai Kehanshin Zone. Jika
metropolitan-metropolitan sangat berdekatan, mereka bisa membentuk suatu
Megalopolis.
Untuk operasionalisasi kebijakan, definisi umum seperti di atas memang sulit untuk
dijadikan pegangan. Dapat juga metropolitan dikenali dari berbagai ciri-ciri yang
kemudian dapat digunakan untuk menentukan suatu kawasan disebut sebagai
18 Metropolitan di Indonesia

metropolitan atau bukan. Pertanyaan ini muncul karena di Indonesia saat ini Departemen
Pekerjaan Umum mendefinisikan metropolitan lebih pada jumlah penduduknya saja.
Sehingga ada beberapa kota yang sudah memiliki ciri metropolitan belum dikatakan
sebagai metropolitan.

Ciri Metropolitan
Beberapa ciri metropolitan dapat dilihat dari kependudukan dan aspek lain sebagaimana
dijelaskan di bawah ini.

Kependudukan
Jumlah penduduk merupakan salah satu karaktersistik suatu metropolis yang ditentukan
untuk kepentingan penghitungan statistik, mengumpulkan, mentabulasikan dan
mempublikasikan data-data statistik. Untuk kepentingan ini misalnya SMSA (Standard
Metropolitan Statistical Areas) di Amerika mendefiniskan Metropolitan sebagai:

“ a large population nucleus, together with adjacent communities having a high


degree of social and economic integration with that core. Metropolitan areas
comprise one or more entire counties”(U.S. Census Bureau 2006).

MSA (Metropolitan Statistical Areas) mempunyai paling tidak satu kawasan kota
(urbanised) dengan penduduk 50.000 jiwa atau lebih ditambah kawasan di sekitarnya
yang mempunyai keterkaitan besar secara sosial dan ekonomi yang diukur dari
banyaknya penglaju. Definisi Metropolitan District berdasarkan jumlah penduduk yang
diperkenalkan Biro Sensus Amerika sejak tahun 1910 ini, mengalami perubahan dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1920 definisi metropolitan didasarkan pada jumlah penduduk
perkotaan di atas 200.000 penduduk. Ketentuan jumlah ini mengalami perubahan dalam
penerapannya pada tahun 1920, 1930, dan 1940. Pada tahun 1940, ketentuan
Metropolitan Distrik tersebut dapat diterapkan pada semua kota dengan jumlah
penduduk kota di atas 50.000, ditambah wilayah di sekitarnya yang mempunyai
kepadatan penduduk di atas 150 jiwa/mil persegi. Pada tahun 1950, Standard
Metropolitan Area (SMA) dirumuskan agar berbagai variasi data statistik dapat disajikan
dalam basis yang seragam. Kota-kota di sekitarnya yang dimasukkan dalam wilayah
metropolitan harus mempunyai integrasi sosial dan ekonomi dengan kota utama.
Pada tahun 1990 dan 2000 SMA (1950) dan SMSA (1970 dan 1980) berubah lagi
menjadi MA (Metropolitan Areas), dengan konsep yang tetap sama. Metropolitan Area
dibagi menjadi:
a. Free-standing Metropolitan Statistical Areas (MSAs), adalah Metropolitan Area
yang berdiri sendiri dikelilingi oleh permukiman yang bukan metropolitan
b. Primary Metropolitan Statistical Areas (PMSAs), seperti MSAs tetapi dekat dan
secara ekonomi/sosial berkaitan dengan PMSA yang lain dan membentuk "CMSAs"
- Consolidated Metropolitan Statistical Areas.
c. Jika beberapa permukiman menjadi satu dan besar diidentifikasikan sebagai
Consolidated Metropolitan Statistical Area (CMSA), jumlah penduduknya adalah
satu juta jiwa atau lebih.
Konsep dan Struktur Metropolitan 19

Ciri lain
Jumlah penduduk memang bukan satu-satunya karakteristik yang signifikan dari
metropolitan yang membedakan permukiman lain dengan metropolitan. Kriteria lain
yang penting adalah aktivitas sosial ekonomi yang menunjukkan adanya spesialisasi
fungsi. Biasanya merupakan industri-industri dan jasa. Metropolitan merupakan pusat
aktivitas jasa yang kemudian tercermin dalam pembagian fungsi keruangannya secara
nyata. Integrasi antar kawasan permukiman dan tempat kerja adalah persoalan nyata di
metropolitan saat ini dan merupakan karakter khas metropolitan. Angotti (1993)
menyatakan bahwa proses spesialisasi di metropolitan terjadi karena selalu
berkembangnya teknologi produksi dan distribusi dan komunikasi.
Karakter lain dari suatu metropolitan adalah kemudahan mobilitas yang menurut
Angotti (1993) terlihat dalam 3 bentuk mobilitas:
1. Mobilitas Pekerjaan (Employment Mobility)
2. Mobilitas Perumahan (Residential Mobility)
3. Mobilitas Perjalanan (Trip Mobility)
Mobilitas pekerjaan dicirikan dari mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus
berpindah tempat tinggal karena lebih banyak jenis dan variasi pekerjaan tersedia di kota
metropolitan. Mobilitas pekerjaan ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas
modal yang besar. Mobilitas tempat tinggal biasanya mengikuti perubahan tempat kerja.
Perpindahan tempat tinggal ini tidak selalu karena keinginan sendiri, berhubungan
dengan pindahnya tempat kerja, tetapi sering kali juga terjadi karena dipindahkan
(digusur) secara paksa maupun tidak. Tidak dipaksa terjadi karena perubahan harga
lahan yang disebabkan oleh dinamika pembangunan real estate. Mobilitas perjalanan
lebih mudah dilakukan di metropolitan daripada di permukiman lain karena ketersediaan
sarana transportasi yang lebih baik (Penglaju Jakarta-Tangerang misalnya). Secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa metropolitan dicirikan dengan adanya mobilitas dari
modal dan tenaga kerja yang sangat tinggi.
Guna lahan tidak menjadi definisi metropolitan, sehingga guna lahan di kawasan
metropolitan tidak harus semuanya non-pertanian, walaupun demikian, tentu kawasan
pertanian di metropolitan, kalau ada dengan luas yang tidak besar, sesuai dengan definisi
tenaga kerja seperti di atas. Meskipun demikian ada beberapa kota metropolitan besar di
dunia yang memasukkan hutan kota sebagai bagian dari metropolitan, misalnya London
dengan Hamstead Heath, Tokyo, New York dengan Central park dsb. Lingkungan
metropolitan berbeda dengan bukan metropolitan karena aktivitas bersifat kota lebih
besar dan lebih banyak man made structure daripada natural structure. Lingkungan
lebih menjadi persoalan di kota besar, seperti ketersediaan air bersih, polusi udara,
pengelolaan sampah dan sebagainya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendefinisan metropolitan akan sangat
tergantung dari untuk apa pendefinisan itu dibuat:
a. Alternatif jumlah penduduk:
- Satu kota dengan jumlah penduduk di atas 50.000 jiwa, atau
20 Metropolitan di Indonesia

- Dua kota atau lebih yang menerus dan terintegrasi secara sosial dan ekonomi,
dengan jumlah penduduk kota induk di atas 50.000 jiwa, dan kota terkecil di
atas 15.000 jiwa
- Satu kota dengan jumlah penduduk 200.000-300.000 jiwa (Yeates and Garner
1980)
- Satu kota dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa (NUDS 1985)
Untuk kondisi di Indonesia, mungkin ketentuan jumlah penduduk yang
dikemukakan dalam NUDS ditambah permukiman di sekitarnya yang terkait secara
fisik, sosial dan ekonomi layak dipertimbangkan.
b. Minimum 75 persen dari tenaga di kawasan bekerja dalam bidang non-pertanian
c. 50 persen atau lebih dari penduduknya berada dalam satu kesatuan wilayah yang
menerus dengan kepadatan di atas 150 jiwa/mil persegi.
d. Minimum 15 persen tenaga kerja dalam wilayah metropolitan bekerja di kota induk

METROPOLITAN DI DUNIA

Sejarah Metropolitan di Negara Maju


Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan
dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggirannya. Ditemukannya mesin uap yang
memicu revolusi industri menyebabkan kota seperti London menjadi tempat
berkembangnya industri dan urbanisasi dari desa ke kota meningkat sangat tajam, antara
tahun 1821 sampai 1851 atau hanya dalam 30 tahun penduduk London meningkat 4 juta
jiwa (Rydin 1993). Angka tersebut sangat tinggi dalam konteks Eropa pada saat itu.
Pertumbuhan tersebut sering juga dilihat sebagai “penjajahan” kota terhadap daerah
pinggirannya atau bahkan terhadap kawasan perdesaan. Kota menyerap semuanya dan
sering juga dilihat sebagai pusat berkembangnya penyakit dan perbuatan-perbuatan
asusila (Angotti 1993). Keadaan itu memicu timbulnya aliran anti-urban. London,
Machester, New York, Chicago dianggap sebagai tempat yang menyebabkan
kemaksiatan yang dipicu oleh perkembangan industri dan modal.
Kota besar adalah sumber dari polusi udara karena kendaraan bermotor dan industri,
sumber dari segala penyakit karena keadaan perumahan yang kumuh dan berdesak-
desakan terutama perumahan bagi masyarakat pekerja yang miskin. Sumber dari
penyakit sosial karena adanya kemiskinan dan perbedaan kaya dan miskin yang sangat
terlihat. Keadaan ini memicu pemikiran mengenai Doomsday theory of metropolis yang
pada dasarnya beragumen bahwa jika tidak dibatasi perkembangannya, kota
metropolitan ini akan menghancurkan umat manusia. Metropolitan bisa menjadi “black
hole” yang menyerap semua energi disekelilingnya masuk ke dalam kota. Namun
demikian pengalaman di dunia menunjukkan bahwa negara-negara maju yang mampu
mengatur dan mengelola metropolitannya mendapat manfaat dari keberadaan kota-kota
besar. Kata kuncinya adalah pada kemampuan pengelolaan kota metropolitan tersebut.
Karakter metropolitan tidak sama di dunia, ini terutama terjadi karena sejarah yang
berbeda serta perkembangan ekonomi yang berbeda juga. Angotti (1993) membedakan
metropolis di dunia menjadi tiga jenis, yaitu Metropolitan di Amerika (US Metropolis);
Konsep dan Struktur Metropolitan 21

Metropolitan yang tidak mandiri (Dependent Metropolis); dan Metropolitan di Uni


Soviet (Soviet Metropolis)
Pembagian ini lebih dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi politik. Metropolitan di
Amerika (dan juga Eropa) adalah cerminan dari ekonomi kapitalis, sedang Metropolitan
di bekas Uni Soviet adalah gambaran dari ekonomi sosialis, sementara itu Dependent
Metropolis adalah gambaran dari ekonomi campuran (mixed economy). Angotti
membagi metropolitan ini di tahun 1993 sebelum perubahan mendasar yang terjadi di
Uni Soviet, namun demikian secara umum ciri-ciri ini masih bisa terlihat sampai saat ini,
walaupun ada transformasi di beberapa metropolitan pada jenis-jenis yang disebutkan.
Metropolitan di Amerika mencerminkan inequality dan mobility; Dependent
Metropolis menunjukkan adanya development dan inequality, sementara itu metropolitan
di Uni Soviet menunjukkan integrasi sosial dan struktur politik yang lebih terbatas dan
mobilitas sosial rendah. Metropolitan di Amerika menunjukkan segregasi sosial dan
keruangan yang tinggi, terlihat fragmentasi dalam kelompok etnis dan kelompok politik.
Dicirikan oleh adanya Central Business District (CBD) yang sangat kuat menarik tenaga
kerja. Sementara itu, walaupun di Eropa dan Jepang juga kapitalis, dominasi CBD-nya
berbeda dengan di Amerika. Metropolis di Eropa dan Jepang lebih terintegrasi, lebih
kompak, dan tidak menunjukkan terjadinya sprawl seperti di Amerika. Metropolitan di
Eropa mempunyai pusat-pusat yang telah tumbuh lama dan telah mempunyai sejarah
yang panjang. Sementara Dependent Metropolis merupakan perkembangan terakhir yang
lebih disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang besar akibat dari
push factor. Metropolitan seperti ini terdapat di negara-negara Afrika, Amerika Latin
dan Asia, yang bergantung pada sistem kapitalis.
Metropolitan di negara-negara maju merupakan akibat dari revolusi industri di abad
19. Walau demikian, beberapa di antara kota-kota tersebut seperti London dan Paris
telah tumbuh jauh sebelum masa revolusi industri. Di akhir abad 17, London telah
memiliki 670.000 penduduk dan Paris memiliki 500.000 penduduk. London di masa itu
telah berfungsi sebagai pusat politik atau kekuasaan dari kerajaan Inggris, dan sekaligus
sebagai pusat perdagangan internasional. Sebelum tumbuhnya industri-industri besar,
London bahkan telah memiliki penduduk dengan jumlah lebih dari satu juta jiwa dan
telah berfungsi sebagai pusat keuangan penting di dunia yang dimulai dengan
didirikannya Bursa London di tahun 1773 (George 1952).
Sementara itu, pertumbuhan Paris lebih disebabkan oleh fungsinya sebagai ibu kota
Perancis. Peran Paris sebagai pusat politik Perancis telah dimulai sejak abad 10, bahkan
pemindahan Ibu kota Perancis ke Versailles di tahun 1681 hingga 1789, dan 1871 hingga
1879, tidak melemahkan daya tarik Paris sebagai pusat kekuasaan. Paris menjadi tempat
berkumpulnya para bangsawan, pedagang, dan artis akibat sentralisasi monarki yang
kemudian setelah masa revolusi dilanjutkan oleh sentralisasi kaum republikan
(Guglielmo 1996). Akan tetapi, Paris bukanlah sebuah kota pelabuhan laut. Kekuatan
perusahaan-perusahaan kolonial Perancis pun tingkatnya masih berada dibawah
kekuatan perusahaan-perusahaan kolonial Inggris pada masa itu. Selain itu, Perancis
terimbas revolusi industri setengah abad lebih lambat daripada Inggris. Oleh karena itu,
penduduk Paris hingga awal abad 19 hanyalah sedikit lebih besar dari separuh penduduk
London. Penduduk Paris baru mencapai satu juta jiwa pada tahun 1835.
Adapun di Amerika Serikat, New York hanyalah sebuah tempat berpenduduk sekitar
35.000 jiwa di awal abad 19 (Guglielmo 1996). Tahap pertumbuhan yang pesat dari New
22 Metropolitan di Indonesia

York pertama dimulai terkait erat dengan pembukaan Kanal Erie. Namun penduduknya
belumlah mencapai satu juta jiwa sampai dengan tahun 1860, ketika pembangunan
industri mulai pesat. Hal yang sama juga terjadi dengan Chicago, yang pada tahun 1875
telah menjadi pusat penjualan produk-produk pertanian namun hingga tahun tersebut
jumlah penduduknya belum mencapai setengah juta jiwa.
Pola pertumbuhan yang sama, namun lebih lambat, juga terjadi pada kasus Moskow
dan St. Petersburg di Rusia. Ketika St. Petersburg menjadi ibu kota Rusia selama abad
18 dan 19, Moskow tetaplah memiliki fungsi sebagai pusat perekonomian nasional.
Namun jika jumlah penduduk St. Petersburg telah mencapai 500.000 jiwa di tahun 1860,
Moskow belum mencapai sejumlah itu di tahun yang sama. Pertumbuhan Moskow baru
meningkat sejak ditetapkannya sebagai ibu kota Uni Soviet di tahun 1918. Selain itu,
pertumbuhan industri di Soviet tidaklah pesat hingga tahun 1925. Baru di awal abad 20
lah jumlah penduduk Moskow dan St. Petersburg mencapai lebih dari 1 juta jiwa.
Dari berbagai kota metropolitan di negara-negara maju, kasus yang agak berbeda
adalah Tokyo. Sebagai ibu kota dari ke-shogunan Tokugawa sejak abad 16 hingga abad
18, Tokyo yang pada masa itu bernama Edo, tumbuh melampaui Kyoto, ibu kota resmi
kekaisaran. Jumlah penduduk Tokyo telah melampaui satu juta jiwa di akhir abad 18.
Namun seiring dengan berkurangnya pengaruh kekuasaan ke-shogunan Tokugawa,
terjadi penurunan jumlah penduduk Tokyo di awal paruh abad 19 menjadi sekitar
600.000 jiwa (Pons 1988). Sejak restorasi Meiji, ketika Jepang membuka diri terhadap
negara-negara barat, dan Tokyo secara resmi menjadi ibu kota negara, pertumbuhan
penduduk Tokyo kembali meningkat sehingga di tahun 1900 penduduknya telah
mencapai 1,4 juta jiwa.
Di Amerika Latin, kota-kota metropolitan modern umumnya tumbuh sebagai akibat
kolonisasi Spanyol maupun Portugis, yakni akibat perdagangan kolonial, terutama pada
bagian yang menghadap Samudera Atlantik tempat pendatang-pendatang awal dari
Eropa, dan juga tanah yang subur bagi pertanian yang pada masa itu menarik para
pendatang tersebut. Sebaliknya di bagian pegunungan serta bagian yang menghadap
Pasifik, pertumbuhan kota-kotanya lebih lambat. Kasus yang agak berbeda dalam hal ini
adalah Kota Meksiko, yang sejak 1325 telah menjadi ibu kota Kerajaan Aztek Meksiko-
Tenochtitlan. Dalam perkembangannya sebagai ibu kota Meksiko, kekuatan politiklah
yang menyebabkan kota tersebut tumbuh dengan pesat. Sementara itu, Sao Paulo di
Brazil memiliki sejarah pertumbuhan yang berbeda dari Meksiko. Berawal dari lokasi
sekolah sekte Jesuit yang berada di persimpangan jalur menuju kawasan pedalaman, Sao
Paulo kemudian berkembang pesat akibat perdagangan kopi.
Di Asia sendiri perkembangan kota-kota metropolitan awalnya tak lepas dari
pengaruh perdagangan kolonial. Manila, misalnya, baru mulai berkembang sejak
kolonisasi Spanyol tahun 1565. Demikian pula dengan Jakarta yang dahulu bernama
Batavia, juga Mumbai dan Kalkuta. Aktivitas perdagangan di Mumbai berkembang pesat
sehingga penduduk kota tersebut yang di tahun 1814 berjumlah 170.000 jiwa menjadi
566.000 di tahun 1845, dan 817.000 jiwa di tahun 1864. Sejarah yang agak berbeda
mungkin ditemukan di Bangkok, yang telah merupakan ibu kota kerajaan sebelum
orang-orang Eropa datang. Demikian juga Seoul yang telah menjadi ibu kota kekaisaran
Dinasti Li sejak abad 14, jauh sebelum pendudukan Jepang di tahun 1910.
Salah satu fenomena pertumbuhan metropolitan yang menarik adalah pertumbuhan
Shenzhen di Cina. Shenzen di awal tahun 1980 an hanyalah sebuah kota kecil nelayan
Konsep dan Struktur Metropolitan 23

dengan penduduk 70.000 jiwa. Semuanya berubah ketika Shenzhen terpilih sebagai
Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone) yang pertama di China. Lokasinya
yang strategis, yakni berseberangan dengan Hongkong membuat kawasan tersebut
banyak menarik investasi dari Hongkong. Hanya dalam kurun waktu seperempat abad,
Shenzhen berubah menjadi metropolitan berpenduduk 7 juta jiwa dengan kekuatan
ekonomi nomor empat di Cina. Fenomena unik ini mungkin hanya dapat didekati oleh
Chicago yang membutuhkan waktu 50 tahun untuk menjadi kota berpenduduk jutaan.
Kawasan metropolitan terdapat di hampir semua negara di dunia, khususnya pada
kota yang terus tumbuh dan berkembang. Sebagai perbandingan di bawah ini dijelaskan
beberapa karakter metropolitan di dunia dilihat dari struktur, jumlah penduduk,
kelembagaan dan persoalan-persoalan yang dihadapi. Metropolitan yang dibahas adalah
Greater Tokyo Area, New York Metropolitan Area, dan Metropolitan London untuk
metropolitan di negara maju; Mumbai, Kairo, dan Bangkok untuk metropolitan di negara
berkembang; serta Moskow dan Shanghai untuk metropolitan di bekas negara sosialis.

Metropolitan di Negara Maju

Greater Tokyo Area2

GAMBAR 2 - 1 Foto Udara The Greater Tokyo


Sumber: diambil dari www.earthobservatory.nasa.gov

2
Tulisan ini mengambil dari banyak sumber di internet, antara lain dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Transportation_in_Greater_Tokyo
http://www.stat.go.jp/English/data/handbook/c02cont.htm
http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee0g.htm
24 Metropolitan di Indonesia

Penduduk
Kawasan metropolitan Tokyo merupakan kawasan metropolitan terbesar di dunia,
dengan jumlah populasi sebesar 35.327.000 jiwa pada tahun 2005 (hasil estimasi)
dengan luas wilayah 13.500 km persegi (lihat GAMBAR 2 - 1). Akan tetapi merupakan
wilayah terbesar kedua dalam hal jumlah kawasan terbangun atau kawasan perkotaan
yaitu seluas 7000 km persegi. Pada tahun 2000, populasi tertinggi terdapat di Tokyo,
yaitu 12,06 juta penduduk (lihat GAMBAR 2 - 2).

Per km persegi

Kurang dari 200


200 - 299
300 - 499
500 - 999
1000 orang atau lebih

GAMBAR 2 - 2 Kepadatan Penduduk Menurut Prefektur (2000)


Sumber: www.stat.go.jp
Konsep dan Struktur Metropolitan 25

TABEL 2 - 1 Jumlah Penduduk Prefektur Tahun 2000


Jumlah
Kepadatan
Perfektur Populasi
(per km2)
(1000)
Jepang 126.926 340
Tokyo-to 12.064 5.517
Osaka-fu 8.805 4.652
Kanagawa-ken 8.490 3.515
Aichi-ken 7.043 1.366
Saitama-ken 6.983 1.827
Chiba-ken 5.926 1.149
Hokkaido 5.683 73
Hyogo-ken 5.551 661
Fukuoka-ken 5.016 1.009
Shizuoka-ken 3.767 484
Sumber: diambil dari www.stat.go.jp

TABEL 2 - 2 Jumlah Penduduk Kota Besar Tahun 1995 dan 2000


Kota Jumlah Populasi (1000)
1995 2000
Tokyo 7.968 8.135
Yokohama-shi 3.307 3.427
Osaka-shi 2.602 2.599
Nagoya-shi 2.152 2.172
Sapporo-shi 1.757 1.822
Kobe-shi 1.424 1.493
Kyoto-shi 1.464 1.468
Fukuoka-shi 1.285 1.341
Kawasaki-shi 1.203 1.250
Hiroshima-shi 1.109 1.126
Kitakyushu-shi 1.020 1.011
Sendai-shi 971 1.008
Chiba-shi 857 887
Sumber: diambil dari www.stat.go.jp

TABEL 2 - 3 Jumlah Penduduk Tiga Metropolitan Utama Tahun 1980, 1990, 1995,
dan 2000 (Ribu Jiwa)
Wilayah 1980 1990 1995 2000
Jepang 117.060 123.611 125.570 126.926
Kawasan Metropolitan Tokyo 26.343 29.200 29.872 30.724
Kawasan Metropolitan Osaka 15.422 16.210 16.349 16.567
Kawasan Metropolitan Nagoya 7.828 8.432 8.657 8.852
Jumlah 49.593 53.842 54.878 56.143
persen terhadap Total jumlah 42.4 43.6 43.7 44.2
penduduk
Sumber: diambil dari www.stat.go.jp
26 Metropolitan di Indonesia

Sejak tahun 1980, 42,4 persen penduduk Tokyo telah terkonsentrasi pada tiga
kawasan metropolitan dengan radius 50 km. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 44,2
persen dari seluruh populasi terkonsentrasi pada ketiga wilayah metropolitan ini, dan
konsentrasi terbesar berada di Kawasan Metropolitan Tokyo (lihat TABEL 2 - 3).

Struktur ruang

Kawasan Metropolitan Tokyo terletak di barat daya Teluk Tokyo, mempunyai struktur
yang terdiri dari pusat dan sub pusat yang mencakup Kota Metropolitan Tokyo, wilayah
Chiba, Kanagawa, Ibaraki, dan Saitama. Kota Tokyo, yang merupakan gabungan dari
The Eastern Portion, terdiri dari 23 distrik khusus dengan pemerintahan sendiri dan
beberapa kota sub-urban (The Western Portion) yang berada di dalam wilayah
metropolitan. Struktur dari Kawasan Metropolitan Tokyo sering digambarkan sebagai
gambar berikut (lihat GAMBAR 2 - 3) yang menunjukkan adanya pusat dan sub-pusat.
Kawasan Metropolitan Tokyo ini terdiri dari beberapa daerah administratif yang berdiri
sendiri.

Pusat
Metropolitan

Pusat Bisnis

Sub Pusat

GAMBAR 2 - 3 Kawasan Metropolitan Tokyo


Sumber: www.unu.edu
Konsep dan Struktur Metropolitan 27

GAMBAR 2 - 4 Foto Udara Kawasan Metropolitan Tokyo


Sumber: Google Earth 2006

Struktur ruang Metropolitan Tokyo dibentuk oleh sistem jaringan transportasi yang
mencakup jalan raya dan rel kereta; pelabuhan udara internasional, domestik, dan tujuan
umum; bis; dan kapal komersial. Transportasi umum di Tokyo mencakup jaringan kereta
yang bersih dan efisien, serta fasilitas bawah tanah berupa monorail, bis, taksi (seperti
pada GAMBAR 2 - 5)

GAMBAR 2 - 5 Rencana Jaringan Jalan di Kawasan Metropolitan Tokyo


Sumber: www.unu.edu
28 Metropolitan di Indonesia

Pemerintahan
Kawasan metropolitan Tokyo dikelola oleh The Tokyo Metropolitan Government (TMG)
dengan kewajibannya tidak hanya melaksanakan pelayanan publik pada skala regional
(prefektur), tetapi juga mengambil alih sebagian kewenangan yang pada daerah lain di
Jepang dilaksanakan oleh pemerintah kota. Diantaranya pengelolaan sumber daya air
dan pengelolaan pajak. Pengambilalihan kewenangan ini dilakukan untuk menjaga
kohesivitas Tokyo sebagai sebuah kota metropolitan. TMG dipimpin oleh gubernur dan
terdapat beberapa departemen dan biro.

Persoalan
Permasalahan yang dihadapi oleh Metropolitan Tokyo antara lain adalah polusi udara,
seperti photochemical smog pada tahun 1960 an dan 1970 an. Walaupun persoalan
tersebut telah dicoba diatasi dengan peraturan yang ketat dan proses desulfurasi di setiap
pabrik, polusi udara masih ditimbulkan dari kendaraan bermotor. Sampah juga
merupakan persoalan yang dihadapi oleh Metropolitan Tokyo, bukan karena
teknologinya, tetapi lebih pada proses di setiap lokasi geografis. Produksi sampah
dilaporkan mencapai 1,1 - 1,3 kg sampah per hari. Sampah yang dihasilkan oleh Kota
Tokyo, dua pertiganya mengalami proses pembakaran, dan satu pertiganya di buang ke
landfill pada teluk. Transportasi, terutama adalah kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi
disebabkan karena jumlah penglaju yang tinggi dan sempitnya jaringan jalan. Penglaju
melakukan perjalanan setiap hari ke konsentrasi pusat aktivitas kerja yang lebih banyak
berada di pusat-pusat kota, sedangkan permukimannya tersebar ke banyak wilayah.
Persoalan lain yang cukup besar adalah perumahan, terutama karena mahalnya lahan
di kota perumahan dengan rancangan yang sangat kecil dan mahal, serta lokasi yang
terlalu jauh (www.unu.edu.com). Tabel di bawah ini memberikan gambaran mengenai
kepemilikan perumahan di Tokyo:

TABEL 2 - 4 Rumah Milik dan Rumah Sewa di Tokyo 1990


Tokyo Jepang
No. ('000) Persen (persen)
Hak milik 1,762 44 63
Sewa 2,238 56 37
Perumahan oleh pemerintah (Publik) 393 10 8
Perumahan oleh swasta 1,612 40 24
Perumahan perusahaan (Company housing) 233 6 5
Total 4,000 100 100
Sumber: National Land Agency 1990.
Konsep dan Struktur Metropolitan 29

Greater London3

Penduduk
London mempunyai penduduk 7.400.600 juta di area seluas 1580 km persegi dengan
kepadatan 4.725 jiwa/km persegi di tahun 2006 (lihat GAMBAR 2 - 6). Jumlah penduduk
dari Greater London terus meningkat dari tahun 1801 sebesar 1,1 juta menjadi 8,6 juta
pada tahun 1939, tetapi mengalami penurunan pada tahun 1980 menjadi 6,8 juta.

GAMBAR 2 - 6 Peta Satelit Greater London


Sumber: Google Earth 2006

Struktur Ruang
Greater London dibagi menjadi dua wilayah yaitu Inner London dan Outer London.
Akan tetapi untuk perencanaan strategis, London dibagi menjadi 5 sub-wilayah. Greater
London dibagi menjadi 32 distrik yang dipimpin oleh pemerintah lokalnya masing-
masing, seperti yang ada pada GAMBAR 2 - 7.

3
Tulisan ini mengambil dari banyak sumber di internet, antara lain dari:
www.demographia.com --- Wendell Cox Consultancy; http://en.wikipedia.org/wiki/Greater_London;
http://www.thamesweb.com/topic.php?topic_name=Waste; http://www.tfl.gov.uk/tfl/low-emission-
zone/faq.asp ; http://www.alg.gov.uk/doc.asp?doc=17220&cat=1027
30 Metropolitan di Indonesia

1. City of London 12. Brent 23. Bexley


2. City of Westminster 13. Ealing 24. Havering
3. Kensington and Chelsea 14. Hounslow 25. Barking and Dagenham
4. Hammersmith and Fulham 15. Richmond 26. Redbridge
5. Wandsworth 16. Kingston 27. Newham
6. Lambeth 17. Merton 28. Waltham Forest
7. Southwark 18. Sutton 29. Haringey
8. Tower Hamlets 19. Croydon 30. Enfield
9. Hackney 20. Bromley 31. Barnet
10. Islington 21. Lewisham 32. Harrow
11. Camden 22. Greenwich 33. Hillingdon

GAMBAR 2 - 7 Pembagian Distrik dalam Greater London


Sumber: http:// www.wikipedia.org

Pemerintahan
Greater London bukanlah suatu kota yang memiliki status administratif tersendiri.
Greater London secara formal dibentuk melalui London Government Act pada tahun
1963. Pada dasarnya Greater London memiliki dua pemerintah lokal, yaitu Greater
London Council yang bekerja sama dengan London City Council, serta 32 pemerintah di
setiap distrik yang ada di dalamnya. Selain itu juga terdapat Greater London Authority
yang mengkoordinasikan kota-kota di London dan memperhatikan pergerakan bisnis di
dalam kota (lihat GAMBAR 2 - 8).
Konsep dan Struktur Metropolitan 31

GAMBAR 2 - 8 Gedung Kantor The Greater


London Authority

Persoalan
Greater London menghadapi beberapa masalah yang besar dalam hal polusi udara dan
persampahan. Tingkat polusi di London dapat tergambarkan pada tabel berikut:

TABEL 2 - 5 Tingkat Polusi di Greater London


Tahun Urban (jumlah hari) Rural (jumlah hari)
1993 59 33
1994 47 44
1995 50 44
1996 48 41
1997 40 42
1998 24 29
1999 33 48
2000 21 27
2001 25 34
2002 20 30
2003 50 63
Sumber: Defra News Release 14 Jan 2004

Kualitas udara yang paling buruk di Eropa adalah London, dan telah menyebabkan
kematian bayi secara dini serta gangguan pernapasan. Untuk mengatasi persoalan polusi
ini, pemerintah London menerapkan peraturan untuk zona rendah emisi, yang mencakup
seluruh wilayah Greater London, untuk mengurangi emisi yang dihasilkan di wilayah
tersebut (Edie News Summaries, 2004). Permasalahan lainnya adalah sampah; sampah
rumah tangga yang dihasilkan di Metropolitan London dapat mencapai 600.000 ton per
tahunnya, sebagian sampah dibuang dengan sistem landfill yang saat ini dilaksanakan di
Rainham. Pemerintah memperkirakan kapasitas pembuangan sampah untuk Greater
32 Metropolitan di Indonesia

London saat ini (2006) hanya akan mencukupi untuk lima tahun kedepan. Oleh karena
itu dilakukan kebijakan untuk mengurangi sampah pada tempat penghasil, dan saat ini
pemerintah juga sedang mengadakan proyek dalam hal pengurangan sampah

New York Metropolitan Area

GAMBAR 2 - 9 Foto Udara New York Metropolitan Area


Sumber: diambil dari Google Earth

Penduduk
Metropolitan New York terdiri dari New York, Newark Jersey City, Yonkers, Paterson
dan Bridgeport berpenduduk 21,858,830 jiwa (2004) di atas kawasan seluas 30.671 Km
persegi, dan mempunyai kepadatan penduduk 715/km persegi. Dengan demikian, New
York merupakan kota yang terpadat penduduknya di Amerika Serikat (lihat GAMBAR 2
- 10).

Struktur Ruang
Struktur kawasan metropolitan di Metropolitan New York tidak beraturan (sprawl).
Kawasan ini terdiri dari tujuh counties di New York City and Long Island, tiga belas
counties di utara New Jersey, enam counties sebelah utara dari Kota New York di New
York State, tiga counties di sebelah barat daya Connecticut, dan satu county di sebelah
timur laut Pennsylvania. Metropolitan New York mencakup kota terbesar di Amerika
Serikat (New York), lima kota terbesar di New Jersey (Newark, Jersey City, Paterson,
Elizabeth and Trenton) dan kota terbesar di Connecticut (Bridgeport). Luas keseluruhan
dari kawasan metropolitan ini adalah 30,671 km persegi.
Konsep dan Struktur Metropolitan 33

Kota-kota utama.
Lebih biru berarti lebih padat.
Daerah lainnya dalam

Jumlah Penduduk (Juta)


Kawasan Metropolitan

GAMBAR 2 - 10 Jumlah Penduduk Metropolitan


di Amerika Serikat
Sumber: diambil dari:http://en.wikipedia.org/wiki/
New_York_metropolitan_area

GAMBAR 2 - 11 Pembagian Wilayah New York


Metropolitan Area
34 Metropolitan di Indonesia

Persoalan
Persoalan yang terjadi di kawasan Metropolitan New York adalah tingkat pemakaian
energi yang sangat tinggi yang ditimbulkan oleh tingginya jumlah penglaju setiap hari.
Penglaju yang besar tersebut selain menimbulkan polusi, juga menimbulkan kemacetan
lalu lintas yang berat dan menyebabkan frustasi atau stress karena harus menempuh
jarak yang cukup jauh. Besarnya penglaju ini adalah akibat tersebarnya daerah sub-
urban yang merupakan kawasan perumahan, sementara tempat kerja berada di pusat-
pusat kota. Sebagai gambaran beratnya persoalan tersebut dapat dilihat dari besarnya
biaya eksternalitas yang dihasilkan dalam satuan jutaan dollar di Kota New York berikut
ini:

TABEL 2 - 6 Biaya Eksternalitas Transportasi di Kota New York Tahun 2000


(Juta Dollar)
Total Kota
Biaya Eksternalitas Manhattan Brooklyn Queens The Bronx Richmond New York
Pemakaian dan 234 294 488 193 128 1,337
Kerusakan Jalan
Biaya Pemakaian 84 99 171 71 29 455
Kerusakan akibat 56 78 106 33 21 294
Getaran
Biaya Kecelakaan 1,506 2,578 3,843 1,342 1,040 10,309
Lalu Lintas
Biaya Kemacetan 1,991 1,897 2,898 999 503 8,289
Biaya Polusi Udara 1,742 1,627 2,541 884 484 7,279
Biaya Polusi Suara 504 413 654 243 124 1,939
Total Biaya 6,118 6,986 10,701 3,766 2,331 29,901
Eksternalitas
Sumber: Community Consulting Services, Inc. 2000

Metropolitan di Negara Berkembang

Greater Mumbai4
Mumbai di India termasuk salah satu kawasan metropolitan yang sangat besar, kawasan
metropolitannya terdiri dari Greater Mumbai ditambah beberapa kawasan perkotaan di
sekelilingnya hingga membentuk kawasan metropolitan yang sangat besar yang disebut
sebagai Mumbai Metropolitan Region (MMR) (lihat GAMBAR 2 - 12). Penduduk MMR
diperkirakan akan mencapai 22,4 juta pada tahun 2011, dengan hanya 12,9 juta yang
diharapkan akan tinggal di Greater Mumbai. Tingkat pertumbuhan di MMR adalah 4,2
persen per tahun, sedangkan kepadatan penduduknya adalah 45.989 jiwa per km persegi.
Pekerjaan penduduknya tercatat beralih dari manufaktur ke sektor jasa dan keuangan,
yang bekerja di bidang manufaktur berkurang jumlahnya dari 36 persen pada tahun 1980
menjadi 28,5 persen pada tahun 1990. Pada tahun yang sama, sektor perdagangan,
keuangan, dan jasa telah meningkat dari 52,1 persen menjadi 64,3 persen (lihat
GAMBAR 2 - 13).

4
Tulisan ini diambil dari banyak sumber di Internet, antara lain: www.theory.tifr.res.in,
www.mmrdamumbai.org/ index.htm.
Konsep dan Struktur Metropolitan 35

GAMBAR 2 - 12 Foto Udara Greater Mumbai


Sumber : Google Earth 2006

Jasa
Jasa

Lain Lain

Industri
Manufa
Manufaktur ktur

GAMBAR 2 - 13 Struktur Ekonomi Greater Mumbai

Struktur Ruang
MMR atau yang juga dikenal dengan Greater Mumbai Urban Agglomeration terdiri dari
Kota Metropolitan Mumbai dan beberapa kota satelit. Wilayah metropolitan ini terdiri
dari 5 municipal corporations dan 15 municipal councils yang lebih kecil. Municipal
Corporations yang terdapat di Mumbai adalah:
1. Brihan Mumbai (Mumbai),
2. Thane sebelah barat daya Mumbai
36 Metropolitan di Indonesia

3. Kalyan-Dombivali
4. Navi Mumbai sebelah timur Mumbai
5. Ulhasnagar
Sementara itu, Municipal Council yang ada adalah sebagai berikut:
- Alibag - Nala Sopara
- Ambernath - Navghar-Manikpur
- Bhiwandi - Panvel
- Karjat - Pen
- Khopoli - Uran
- Kulgaon - Badlapur - Vasai
- Matheran - Virar
- Mira - Bhayandar
Kawasan metropolitan ini ini juga mencakup empat distrik dari Maharashtra State:
1. Kota Mumbai (seluruhnya)
2. Mumbai sub-urban district (seluruhnya)
3. Thane district (sebagian)
4. Raigad (sebagian)

GAMBAR 2 - 14 Peta Mumbai


Metropolitan Region
Sumber: www.mmrdamumbai.org/
index.htm
Konsep dan Struktur Metropolitan 37

Pemerintahan
Keseluruhan wilayah MMR dikelola oleh Mumbai Metropolitan Development Authority
(MMRDA), suatu organisasi pemerintahan Negara Bagian Maharashtra, yang tugasnya
mencakup perencanaan kota, pembangunan, transportasi, dan perumahan. MMRDA juga
bertanggungjawab dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur di MMR yang
mempunyai total luas kawasan sebesar 4.355 km persegi, 468 km persegi diantaranya
merupakan bagian dari Greater Mumbai, dan sisanya merupakan 5 municipal
corporations, 15 municipal council, dan beberapa desa. Sumber dana MMRDA berasal
dari pemerintah pusat, melalui penjualan lahan dan pajak. Proyek utama yang dikerjakan
oleh MMRDA adalah Mumbai Urban Transport Project (MUTP), The Mumbai Urban
Development Project, pembangunan di Bandra-Kurla Complex, Wadala Truck Terminal,
dan Mahim Nature Park.

Persoalan
Pada studi yang dilakukan pada tahun 1990, ditemukan bahwa terdapat tingkat polusi
yang tinggi di India. Polusi ini juga memiliki korelasi pada penyakit flu dan sesak nafas.
Studi yang dilakukan oleh World Bank menunjukkan bahwa 4.500 kematian yang terjadi
di Mumbai pada tahun 1997-1998 disebabkan oleh gangguan pernapasan dan komplikasi
pada dada yang disebabkan oleh polutan. Hal ini tentu saja akan berpengaruh untuk
menyebabkan rendahnya produktivitas penduduk, kawasan yang kotor, dan lingkungan
yang tidak sehat. Setiap harinya terdapat lebih dari sepuluh juta penumpang yang
menggunakan sub-urban railway dan public transport, yaitu bis. Selain itu kelima jalur
utama yang menghubungkan bagian utara dengan selatan tidak direncanakan dengan
baik, karena memiliki banyak titik-titik bottleneck dan hambatan-hambatan pada
persimpangan jalan utama dengan jalan lokal. Kemacetan dan besarnya penggunaan
kendaraan bermotor ini adalah penyebab utama polusi. MMRDA merencanakan
beberapa proyek untuk mengatasi masalah transportasi ini antara lain adalah Mumbai
Urban Infrastructure Project yang tujuan utamanya adalah perbaikan jaringan jalan dan
menciptakan sistem lalu lintas yang efisien. Master plan dari proyek ini adalah
perbaikan DP Roads, Elevated Roads, Flyovers, ROBs, Vehicular Subways, Pedestrian
Subways, Station Area Improvement Schemes (SATIS), High Capacity Bus Corridors,
dan lainnya (www.mmrdamumbai.org/index.htm).

Cairo Metropolitan Area

Kairo merupakan kota terpadat di benua Afrika dan di peringkat dunia merupakan kota
terpadat ke-17 (ke-10 berdasarkan data statistik tahun 2004). Jumlah penduduk di
wilayah metropolitan Kairo (seperti tertampil pada GAMBAR 2 - 15) berkisar 15,2 juta
jiwa (www.wikipedia.org). Jumlah penduduk Kota Kairo pada tahun 1965 sebesar 6 juta
jiwa bertambah menjadi 10 juta jiwa pada tahun 1998 (United Nations Population
Division, World Urbanization Prospects, the 1999 revision). Luas area metropolitan
tumbuh menjadi dua kali lipat, sekitar 400 km persegi (1965-1998) dan telah mencapai
1,492 km persegi di tahun 2005.
GAMBAR 2 - 16 menunjukkan proporsi penduduk di tiga kawsan Greater Cairo
Region (GCR): Kairo, Giza, dan Qalyubia. Jumlah penduduk Kairo dan daerah
38 Metropolitan di Indonesia

sekitarnya mencapai 70 persen lebih dari total penduduk GCR hingga tahun 1960. Pada
saat itu daerah terbangun memadai dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Sejak tahun
1990 pertumbuhan kota diarahkan ke dua bagian kota lainnya yaitu Giza dan Qalyubia,
sehingga proporsi penduduk yang tinggal di Kairo berkurang sedikit demi sedikit hingga
diestimasikan mencapai 55 persen pada tahun 1994.

GAMBAR 2 - 15 Foto Udara Kairo dsk


Sumber: Google Earth 2006

Jumlah
Penduduk
(juta)

Tahun
GAMBAR 2 - 16 Jumlah Penduduk Greater Cairo 1927 - 1994
Sumber: http://www.unu.edu/ unupress/unupbooks/ uu26ue/uu26ue0d.htm
Konsep dan Struktur Metropolitan 39

Struktur Ruang
Kairo terletak di tepi Sungai Nil, bagian utara Mesir. Bagian tertua Kota Kairo berada di
bagian timur Sungai Nil. Bagian barat dibangun menyerupai model Paris pada
pertengahan abad 19 yang ditandai dengan adanya boulevard, taman dan ruang terbuka
yang luas. Bagian timur kota yang tertua sangat berbeda dengan bagian barat kota,
bagian ini tumbuh dalam kondisi yang tidak pasti selama berabad-abad sehingga dapat
dijumpai adanya jalan sempit dan permukiman yang padat. Bagian barat didominasi oleh
bangunan pemerintahan dan arsitektur modern sedangkan di bagian timur terdapat
ratusan masjid-masjid kuno sebagai landmark. Pertumbuhan kota Kairo dapat dilihat
pada GAMBAR 2 - 18.

GAMBAR 2 - 17 Kepadatan penduduk di Greater Cairo Region 1986 dan 1994


Sumber: http://www.unu.edu /unupress/unupbooks/ uu26ue/uu26ue0e.htm
40 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 2 - 18 Pertumbuhan Kota Kairo dan Cairo Metropolitan Area


(1980-1994)
Sumber: http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu26ue/uu26ue0e.htm

Persoalan
Masalah yang dihadapi Kota Metropolitan Kairo adalah pencemaran udara, tanah dan
air. Lebih dari dua juta kendaraan yang ada di Kairo, 60 persennya sudah berumur lebih
dari 10 tahun yang tidak dilengkapi dengan sistem pengurangan emisi (catalytic
converters). Polusi udara ini menjadi semakin buruk dengan tambahan polusi dari
peleburan timah dan tembaga ilegal. Polusi udara di Kota Kairo mejadi permasalahan
Konsep dan Struktur Metropolitan 41

besar, konsentrasi particulate matter (PM) pencemar udara telah mencapai tiga kali lipat
dari batas normal. Undang-undang lingkungan telah diterapkan pada tahun 1995 untuk
mengatasi permasalahan ini. Persoalan lain adalah pencemaran tanah yang terjadi karena
adanya produksi sampah yang mencapai 10.000 ton sampah per hari, 4.000 ton tidak
dapat dikelola, sedangkan pencemaran air yang terjadi diakibatkan oleh kegagalan
sistem saluran air kotor.
Persoalan transportasi telah dicoba diatasi dengan sistem transportasi umum yang
meliputi kereta api, kereta bawah tanah, jalan raya dan bis. Kairo mengalami
pertumbuhan kendaraan pribadi yang cukup drastis. Kepemilikan kendaraan pribadi di
Kairo diperkirakan sebesar 114 per 1.000 penduduk. Pada tahun 1993, 73 jiwa per 1000
penduduk memiliki kendaraan pribadi. Pelayanan bus, tram, dan jaringan jalan sekunder
sangat kurang. Kereta bawah tanah Kairo sepanjang 42,5 kilometer mengangkut 60.000
penumpang per jam per arah.

GAMBAR 2 - 19 Sistem Transportasi Kairo dsk


Sumber: www.wikipedia.org

Bangkok

Struktur Ruang
Wilayah Metropolitan Bangkok telah berkembang secara menyebar (sprawl) hingga
melebihi batas Propinsi Bangkok dan meluas ke propinsi sekitar (lihat GAMBAR 2 - 20).
Berdasarkan sensus tahun 2000, penduduk Kota Bangkok tercatat 6.355.144 jiwa.
Jumlah ini belum termasuk penduduk yang tidak terdaftar dan penduduk siang hari yang
melakukan aktivitas di Kota Bangkok dari wilayah sekitar. Metropolitan Bangkok dapat
dibedakan menjadi Bangkok Metropolitan Administration (BMA) dengan penduduk 8
juta jiwa dan Bangkok Metropolitan Region (BMR) yang terdiri dari BMA dan 5
propinsi yang berbatasan dengan penduduk pada tahun 2000 sekitar 11,5 juta jiwa.
42 Metropolitan di Indonesia

Selain itu dengan memasukkan kawasan industri di jantung wilayah Thailand,


terbentuklah apa yang disebut sebagai Extended Metropolitan Region (EMR) dengan
penduduk pada tahun 2000 sejumlah 17,5 juta jiwa atau 28 persen dari penduduk
Thailand (Webster 2000).

GAMBAR 2 - 20 Foto Udara Kota Bangkok dsk.


Sumber: Google Earth 2006

Kawasan tersebut menjadi andalan bagi pembangunan ekonomi Thailand, terutama


sejak perubahan arah orientasi kebijakan pembangunan di tahun 1980 an, dari ekonomi
berbasis ekspor pertanian beras menjadi ekonomi berbasis manufaktur, terutama
penanaman modal asing (PMA) dengan porsi terbesar investasi dari Jepang. Akibatnya
terjadi pertumbuhan yang sangat pesat yang membuat Bangkok menjadi salah satu
kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang tercepat di dunia, yakni sekitar 17,5 persen
per tahun antara tahun 1990 hingga 1996, sebelum krisis ekonomi melanda.
Pertumbuhan yang sangat cepat ini meningkatkan migrasi masuk ke kawasan tersebut
yang membuat meledaknya pertumbuhan penduduk diikuti dengan urban sprawl. Hal ini
menyebabkan Bangkok memiliki berbagai permasalahan yang umum terjadi di kota-kota
besar dunia, yakni kemacetan lalu-lintas, polusi lingkungan, dan permasalahan-
permasalahan penyediaan infrastruktur seperti kurangnya air bersih serta permasalahan
perumahan yang tidak layak.
Dengan munculnya permasalahan-permasalahan tersebut dibutuhkan sebuah sistem
pemerintahan yang mampu mengelola kawasan metropolitan secara terpadu. Bangkok
Metropolitan Area sendiri dipimpin oleh seorang gubernur dengan 60 wakil rakyat
(councilors). Namun demikian tidak ada satu otorita tunggal yang memimpin Bangkok
Metropolitan Region (BMR). Wewenang perencanaan umumnya berada di tangan
propinsi-propinsi. Bahkan untuk EMR tidak ada satu rencana wilayah yang terpadu.
Permasalahan lainnya adalah bahwa BMA tidak memiliki wewenang terhadap
penyediaan beberapa jenis pelayanan perkotaan seperti listrik dan air yang menjadi
tanggungjawab institusi nasional.
Konsep dan Struktur Metropolitan 43

Persoalan
Bangkok menghadapi persoalan kemacetan lalu lintas yang sangat berat. Meskipun saat
ini telah dibangun jalan tol dan Bangkok Mass Transit System (Sky Trains), namun
hanya mampu mengurangi sedikit masalah kemacetan dan masih diperlukan
infrastruktur transportasi yang lebih baik untuk mengatasinya. Permasalahan lingkungan
yang dihadapi berupa pencemaran udara yang sebagian besar disebabkan oleh kendaraan
bermotor dan debu-debu yang bersumber dari proyek konstruksi. Pembuangan limbah
industri juga mencemari udara dan mengurangi kualitas air. Pencemaran di sungai-
sungai ditangani secara biologis (water hyacinths) untuk mengurangi pencemaran air
tetapi jumlah sampah yang begitu banyak harus diselesaikan dengan cara lain.
Meskipun pembangunan jalan tol, perbaikan persimpangan dan pembangunan jalan
dan kereta api telah dilakukan di Kota Bangkok, permasalahan kemacetan belum teratasi
dengan baik karena tingkat penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat
melebihi tingkat pembangunan jalan.

Metropolitan di Negara Sosialis5

Moscow Metropolitan Area

Struktur Ruang
Struktur Moskow secara makro adalah radial konsentrik seperti yang terlihat pada foto di
atas. Struktur ini telah lama terbentuk sesuai dengan pertumbuhan kota di Moskow.
Perluasan daerah permukiman secara sentrifugal telah terlihat sejak tahun 1930 an,
mencirikan pola radial konsentrik. Populasi penduduk Moskow sampai sekarang terus
meningkat. Hal ini disebabkan adanya migran baik yang legal maupun yang ilegal, yang
permanen dan tidak permanen, serta gabungan dari penduduk sub-urban. Bila digabung
jumlahnya penduduk moskow kini mencapai 13,5 juta jiwa.
Berdasarkan GAMBAR 2 - 23, struktur Metropolitan Moskow antara lain:
1. Pusat Kota: merupakan elemen struktural yang paling penting dari Kota Moskow
yang adalah inner ring road, dan dikenal dengan sebutan ‘‘garden ring’’.
2. The compact city: merupakan daerah yang dibatasi oleh suatu orbit atau lingkaran
berupa jalur transportasi atau yang dikenal dengan the 3rd ring.
3. The inner periphery: merupakan daerah dengan fungsi-fungsi antara lain: untuk
kegiatan industri, infrastruktur transportasi, mixed use, ruang terbuka hijau yang
luas, dan bangunan-bangunan tinggi sebagai tempat tinggal penduduk Moskow.
Daerah ini terbentang dari luar compact city sampai dengan Moscow Motorway
Orbital.

5
Metropolitan Moskow dan Shanghai berkembang ketika Rusia (waktu itu Uni Soviet) dan RRC
menganut paham sosialis. Walaupun sistem negara saat ini sudah berubah, tetapi di beberapa bagian
kota peninggalan sistem tersebut masih terlihat.
44 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 2 - 21 Foto Udara Kota Moskow


Sumber: Google Earth 2006
Jumlah Penduduk

Tahun

GAMBAR 2 - 22 Grafik Pertumbuhan Penduduk Kota Moskow


Tahun 1350-2005
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Moscow
Konsep dan Struktur Metropolitan 45

GAMBAR 2 - 23 Moskow dan Daerah Urbannya


Sumber: Rudolf 2005

4. The outer periphery: batas administrasi antara Moskow dengan Moscow oblast
adalah Moscow Orbital. The outer periphery merupakan komposisi dari kota-kota
dan distrik di Moscow oblast, yang berada di luar Moscow Motorway orbital. Zona
ini merupakan kawasan penyangga atau “forest protection zone”.
5. The Moscow urban region: adalah Kota Moskow ditambah dengan zona yang dekat
daerah pinggirannya (the outer periphery). Jumlah penduduk dari kawasan
perkotaan ini kurang lebih mencapai 11,9 juta jiwa.
Perluasan daerah teritorial dan urbanisasi yang terjadi selama periode Soviet,
menambah jumlah permukiman dan meningkatkan aglomerasi industri di luar compact
city. Pembangunan scientific towns setelah perang dunia kedua, di sekitar Moskow,
berupa industri manufaktur, penelitian, dan lainnya, menunjukkan suatu fungsi khusus
dari daerah tersebut. Akan tetapi, pada kota lain terdapat suatu daerah yang hanya
memiliki fungsi sebagai permukiman, yang penduduknya memiliki pekerjaan di
Moskow. Para pekerja di Moskow yang tidak memiliki hak untuk tinggal di sana,
bermukim di pinggiran Kota Moskow. Secara makro dapat dilihat bahwa zona kota
merupakan kombinasi dari adanya fungsi permukiman dan akses transportasi, serta
adanya fungsi rekreasi, perumahan musim panas, zona militer, dan daerah hijau serta
permukiman tradisional (lihat GAMBAR 2 - 24, GAMBAR 2 - 25, dan GAMBAR 2 - 26).
46 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 2 - 24 Rencana Restrukturisasi Lokasi


Industri di Moskow menurut Rencana Umum
Sumber: Rudolf 2005

GAMBAR 2 - 25 Konsentrasi Perdagangan disekitar


Moscow Motorway Orbital Tahun 2000
Sumber: Rudolf 2005
Konsep dan Struktur Metropolitan 47

GAMBAR 2 - 26 Pusat Baru dan Zona Pertumbuhan


di Daerah Pinggiran Moskow
Sumber: Rudolf 2005

Pemerintahan
Pemerintahan dari kawasan metropolitan di Moskow dipegang oleh pemerintah lokal.
Akan tetapi, walaupun pemerintah distrik masing-masing memiliki peranan dalam
mengatur kota/distriknya masing-masing, atau memiliki town council (gorsovet), mereka
tidak memiliki anggaran sendiri dan tidak memiliki hak untuk memiliki aset mereka. Hal
ini dikarenakan pemegang dan pengoperasian ekonomi utama berada pada tingkat
gubernur.

Persoalan
Persoalan yang terjadi pada kota ini tidak jauh berbeda dengan kota lainnya, yaitu polusi
air dan udara. Pemilik kendaraan bermotor di Moskow hanya sedikit, akan tetapi tetap
berhubungan kuat dengan metropolitan subway, bus, streetcar, dan trolleybus. Hal ini
menyebabkan adanya lalu lintas yang padat dan ditambah dengan tidak adanya kontrol
uji emisi kendaraan. Polusi terjadi pada bagian selatan, tenggara, timur, dan pusat kota.
Hal ini sesuai dengan pola dari lokasi perusahaan dan arah angin. Saat ini juga terdapat
informasi mengenai polusi dari bahan radioaktif beserta lokasi secara spesifik.
Permasalahan lain adalah kriminalitas atau aksi teroris.
48 Metropolitan di Indonesia

TABEL 2 - 7 Tingkat kriminalitas di Kota Moskow Tahun 2005 (per 100.000


penduduk termasuk di dalamnya 3 juta jiwa penduduk illegal)

Jenis Kriminalitas Tingkat


Pembunuhan dan Usaha Pembunuhan 9.8
Kriminalitas Kuburan 13.85
Perampokan 178.9
Perampokan Bersenjata 42.3
Pencurian 671.7
Perncurian Kendaraan Bermotor 104.3
Sumber: www.wikipedia.org

Kota Moskow juga mengalami permasalahan parkir karena terdapat 2,5 juta mobil
yang setiap hari beroperasi serta meningkatnya jumlah pemilik kendaraan pada beberapa
tahun belakangan. Transportasi lokal di kota ini mencakup Moscow Metro yaitu
merupakan jalur subway (metro) yang terkenal dengan seninya, grafiti, mosaik, dan
reliefnya. Oleh karena stasiunnya terletak jauh dari luar pusat kota, kurang lebih sejauh 4
km, maka terdapat jaringan bus yang menghubungkan setiap stasiun. Selain itu untuk
menghubungkan daerah pinggiran dan beberapa kota lain, juga terdapat jaringan kereta
listrik. Setiap jalan besar pasti dilayani paling tidak dengan bus. Selain itu juga terdapat
tram dan trolleybus.
Sistem jaringan jalan di Moskow memiliki pola radial dan berbentuk cincin/ring.
Yang pertama dikenal dengan Boulevard Ring yang dibangun pada abad ke-16 tetapi
ring yang pertama ini tidak sepenuhnya bulat, tetapi memiliki bentuk ’tapal kuda’. Yang
kedua adalah Garden Ring, setelah perang tahun 1812 dinding Earth yang membatasi
Kota Earth dirubuhkan dan diganti dengan jalan dan taman, akan tetapi pada tahun 1930
taman menjadi hilang karena terdapat pelebaran jalan. Ring yang ketiga selesai dibangun
pada tahun 2003, dan ring yang keempat, yang dibangun untuk mengurangi kemacetan,
masih dalam tahap konstruksi. Ring yang paling luar dikenal dengan MKAD yang
berada di pinggiran dan membentuk Kota Moskow.

Shanghai6

Struktur Ruang dan Kependudukan


Kota Shanghai terletak di delta Sungai Yangtze di bagian timur Cina yang merupakan
kota terbesar di Republik Rakyat Cina. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000,
jumlah penduduk Kota Shanghai mencapai 16.738 juta jiwa termasuk jumlah penduduk
tidak tetap yang mencapai 3.871 juta jiwa. Peningkatan penduduk terjadi sekitar 3.396
juta jiwa (25,5 persen) dari tahun 1990. Penduduk pria sebesar 51,4 persen dan wanita
sekitar 48,6 persen dari total jumlah penduduk. Penduduk usia 0-14 tahun 12,2 persen,
usia 15-64 tahun 11,5 persen dan usia lebih dari 65 tahun sekitar 5,4 persen. Pada tahun
2003 tercatat jumlah penduduk Kota Shanghai 13,42 juta jiwa. Terdapat lebih dari 5 juta

6
Tulisan ini diambil dari banyak sumber di internet, antara lain adalah: www.wikipedia.org,
http://www.un.org/cyberschoolbus/habitat/profiles/shanghai.asp.
Konsep dan Struktur Metropolitan 49

jiwa penduduk yang bekerja dan tinggal di Kota Shanghai tidak terdaftar yang 4 juta
jiwanya merupakan penduduk musiman yang merupakan pekerja migran yang tidak
tetap.

GAMBAR 2 - 27 Struktur Kota Shanghai


Sumber: www.wikipedia.org

GAMBAR 2 - 28 Foto Udara Kota Shanghai


Sumber: Google Earth 2006
50 Metropolitan di Indonesia

Kepadatan penduduk di pusat kota sangat tinggi mencapai 8.265 jiwa per km
persegi. Penyebab utama tingginya tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 1950 an
adalah karena pertumbuhan alami dan tidak adanya aturan in-migrasi dari wilayah
sekitar. Faktor penyebab stabilnya jumlah penduduk setelah periode tersebut (tahun
1950 an) adalah karena suksesnya program keluarga berencana dan suksesnya program
desentralisasi dengan mengembangkan kota-kota satelit sehingga mampu menyerap
pertumbuhan jumlah penduduk yang terjadi.

Pemerintahan
Secara administratif, Kota Shanghai merupakan kota yang memiliki status setingkat
propinsi yang langsung berada dibawah pemerintah pusat Republik Rakyat Cina.
Shanghai terdiri dari 19 county-level division, 18 district dan 1 county. Tidak terdapat
satu pun distrik yang membawahi pusat kota, dan pusat kota terbagi ke dalam beberapa
distrik secara administratif.

GAMBAR 2 - 29 Shanghai District dan County

Persoalan
Permasalahan infrastruktur dan lingkungan yang dihadapi Kota Shanghai adalah
kurangnya penyediaan rumah dan air bersih serta terjadinya pencemaran air.
Ketergantungan yang besar pada batubara sebagai sumber bahan bakar bagi industri dan
permukiman di Shanghai mengakibatkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Shanghai
memiliki tingkat kematian tertinggi akibat kanker di Cina. Masalah lain yang dihadapi
adalah pencemaran air yang disebabkan oleh untreated human waste yang mengalir ke
Sungai Huangpu sebesar 4 juta m kubik per hari.
Shanghai memiliki sistem transportasi publik yang terdiri dari moda bus dan kereta
bawah tanah yang berkembang pesat. Kondisi jalan di Kota Shanghai cukup baik dan
memiliki sistem jaringan bis yang terbesar di dunia hingga mencapai hampir satu juta
jurusan. Shanghai Metro (kereta bawah tanah dan lightrail) memiliki 5 jalur saat ini.
Konsep dan Struktur Metropolitan 51

Berdasarkan rencana pengembangan pemerintah kota, akan dibangun 8 jalur baru hingga
akhir tahun 2010. Jumlah taksi yang sangat banyak di Kota Shanghai membuat harga
taksi sangat kompetitif hingga cukup terjangkau bagi konsumen. Sebelum tahun 1990,
sepeda merupakan moda transportasi yang banyak digunakan tetapi kemudian
pemerintah melarang penggunaan sepeda untuk mengurangi kemacetan di ruas-ruas
utama jalan kota dan dengan meningkatnya pendapatan, kepemilikan kendaraan pribadi
meningkat secara tajam. Shanghai memiliki 2 bandar udara: Hongjao dan Pudong
International. Kota Shanghai membangun kereta magnet levitation untuk kepentingan
komersial pada tahun 2002 yang menghubungkan stasiun Shanghai`s Longyang Road
dengan Bandara Pudong International. Kereta ini beroperasi sejak 2003 dengan
kecepatan maksimum 431 km/jam (267,8 mil per jam) menempuh 30 km dalam waktu 7
menit 21 detik. Shanghai memiliki pelabuhan terbesar di dunia, Pelabuhan Shanghai
termasuk Pelabuhan Yangshan yang baru beroperasi.
52 Metropolitan di Indonesia
Konsep dan Struktur Metropolitan 53

Catatan Editor
Bagian pertama ini (Bab 1 dan Bab 2) mengulas konsep dan definisi
metropolitan dengan pertama-tama menjelaskan persoalan kota-kota besar
termasuk metropolitan secara umum. Dijelaskan perkembangan penduduk
yang besar menyebabkan perubahan keadaan, baik fisik maupun sosial
ekonomi kawasan perkotaan yang kemudian membentuk kawasan
metropolitan; Dijelaskan, secara garis besar, persoalan kawasan
metropolitan di Indonesia; kemudian disampaikan definisi metropolitan,
struktur ruang yang terbentuk dan ciri-ciri suatu kawasan metropolitan.
Penjelasan mengenai definisi ini dimaksudkan agar pembaca mempunyai
gambaran yang sama mengenai kawasan metropolitan yang akan dibicarakan
pada bagian selanjutnya. Di bagian akhir Bab 2 digambarkan kawasan-
kawasan metropolitan di negara maju, negara berkembang, dan di bekas
negara-negara sosialis.
Bagian pertama ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang sama
dan sebagai pembanding bagi pembaca yang ingin melihat lebih jauh
pembahasan mengenai metropolitan di Indonesia yang disampaikan di bagian
kedua dan bagian ketiga buku ini.
Di Bagian kedua akan dibahas kawasan metropolitan di Indonesia; dimulai
dengan memberikan gambaran keadaan beberapa kawasan metropolitan di
Indonesia, dilanjutkan dengan uraian mengenai persoalan dan tantangan
yang dihadapi metropolitan di Indonesia. Pada Bab 5, 6 dan 7 akan diulas
secara lebih mendalam persoalan-persoalan kependudukan, ekonomi dan
sosial, serta persoalan infrastruktur, perumahan dan lingkungan.
Konsep dan Struktur Metropolitan 1
BAGIAN II

KAWASAN METROPOLITAN
DI INDONESIA
56 Metropolitan di Indonesia
3

Perkembangan Kawasan Metropolitan

MEDAN

Sejarah
Kota Medan berkembang seiring dengan pesatnya pertumbuhan aktivitas perkotaan yang
menjalar ke wilayah sekitarnya. Perkembangan aktivitas ini telah membentuk suatu
kawasan metropolitan yang dikenal dengan Mebidang (Kota Medan, Kota Binjai, dan
Kabupaten Deli Serdang). Istilah Mebidang lahir sejak tahun 1980-an. Hal ini dapat
dilihat dalam beberapa studi perkotaan Kota Medan yang telah melibatkan wilayah
sekitarnya dalam studi tersebut. Beberapa studi yang memperkenalkan konsep Mebidang
adalah MUDS (Medan Urban Development Study 1980), MULMS (Medan Urban Land
Management Study 1986) dan penilaian ADB (Asian Development Bank) atas proyek
MUDP II tahun 1987. Secara resmi kawasan Mebidang telah ditetapkan oleh Gubernur
Propinsi Sumatera Utara sebagai Mebidang Metropolitan Area (MMA) pada tahun 1985.
Pada tahun yang sama, Ditjen Cipta Karya Departemen PU mempersiapkan Rencana
Umum Kota Kawasan Medan Raya yang merupakan rencana pengembangan kawasan
yang meliputi beberapa daerah regional. Pada saat itu pengembangan kawasan
metropolitan Mebidang diarahkan untuk menjadi salah satu titik pertumbuhan segitiga
pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand – Growth Triangle) dalam
rangka menyongsong AFTA 1992.
Kawasan Mebidang saat ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah
Propinsi Sumatera Utara dan juga sebagai pintu gerbang keluar masuknya barang.
Metropolitan Mebidang merupakan salah satu dari 6 kawasan tertentu di Indonesia
sebagai Pusat Kegiatan Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN). Perkembangan yang terus terjadi di Kawasan Metropolitan Mebidang
dirasakan perlu adanya suatu perencanaan yang mencakup seluruh wilayah Mebidang,
sehingga lahirlah Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP) Kawasan Mebidang
Metropolitan tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.
Penyusunan RUTRP Mebidang merupakan pemaduan dan tindak lanjut dari studi-studi
yang telah dilakukan di wilayah Mebidang dan juga memadukan ketiga RTRW DT II
58 Metropolitan di Indonesia

yang termasuk di Kawasan Perkotaan Mebidang. Dokumen ini menjadi acuan dalam
penyusunan program pembangunan di Kawasan Metropolitan Mebidang (RUTRK
Kawasan Metropolitan Mebidang, 1996).
Wilayah Mebidang itu sendiri terdiri dari 40 kecamatan yang meliputi 21 kecamatan
di Kota Medan, 5 kecamatan di Kota Binjai dan 14 kecamatan (dari 33 kecamatan) di
Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan-kecamatan yang membentuk wilayah Mebidang
adalah sebagai berikut:

TABEL 3 - 1 Wilayah Administrasi Mebidang


Kabupaten/Kota Kecamatan
Medan Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Johor, Medan
Amplas, Medan Denai, Medan Tembung, Medan Kota, Medan
Area, Medan Baru, Medan Polonia, Medan Maimun, Medan
Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Barat, Medan
Timur, Medan Perjuangan, Medan Deli, Medan Labuhan,
Medan Marelan, dan Medan Belawan
Binjai Binjai Selatan, Binjai Kota, Binjai Timur, Binjai Utara, dan
Binjai Barat
Deli Serdang Hamparan Perak, Labuhan Deli, Sunggal, Percut Sei Tuan,
Batang Kuis, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Pagar Merbau,
Beringin, Pantai Labu, Patumbak, Deli Tua, Namo Rambe, dan
Pancur Batu

Batas wilayah Kawasan Metropolitan Mebidang ini diperkirakan akan terus berubah
seiring dengan perkembangan aktivitas perkotaan yang sangat dinamis. Perkembangan
ini dapat terus meluas ke luar wilayah yang telah ada saat ini. Kemungkinan ini dapat
dipertegas dengan adanya proses perancangan pengembangan kawasan perkotaan
metropolitan Medan – Binjai – Deli Serdang dan Kabupaten Karo (Mebidangro) yang
saat ini tengah dilakukan Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Propinsi Sumatera
Utara.

Struktur Ruang
Kawasan Mebidang ditetapkan sebagai pusat pelayanan primer A di wilayah Propinsi
Sumatera Utara (Perda No. 7 Tahun 2003) dengan Kota Medan menjadi kota inti
kawasan Mebidang dan didukung oleh kabupaten/kota di sekitarnya. Perkembangan
aktivitas perkotaan di wilayah Mebidang Metropolitan Area mengarah ke bagian barat
secara dominan dan kearah timur serta utara.
Perkembangan aktivitas perkotaan kawasan Mebidang tidak terlepas dari
perkembangan fisik berupa jaringan tranportasi yang ada. Struktur jaringan jalan dan
kereta api yang berpola menjari menghubungkan wilayah inti dengan pusat-pusat
kegiatan perkotaan di wilayah tepi. Hal ini membentuk struktur perkotaan di kawasan
Mebidang seperti terlihat pada gambar berikut:
Perkembangan Kawasan Metropolitan 59

GAMBAR 3 - 1 Struktur Mebidang Metropolitan


Sumber: Google Earth 2006

Pada GAMBAR 3 - 1 terlihat bahwa kawasan terbangun dan aktivitas perkotaan


terpusat di Kota Medan sebagai wilayah inti dan juga tersebar sepanjang jaringan jalan
yang menghubungkan wilayah inti dengan sub pusat di wilayah tepi. Hal ini
menunjukkan adanya pola linear yang menjari dari wilayah inti ke wilayah tepi.
Dalam RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan, pusat-pusat kegiatan di kawasan
Mebidang yang diarahkan adalah Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Belawan dan Kuala
Namu. Arahan tersebut mengikuti kecenderungan yang ada serta asumsi akan
terealisasinya pemindahan bandara dari lokasi lama di Polonia ke lokasi baru di Kuala
Namu. Dua skenario yang ditetapkan dalam RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan
adalah:
• Perkembangan Ekstensif
Pada tahap awal, kegiatan perkotaan dipusatkan di bekas lokasi bandara lama
Polonia, maka Kota Medan dan sekitarnya akan membentuk suatu pusat
pertumbuhan dengan fungsi sebagai Financial and Business Center sekaligus
sebagai pusat pengembangan kawasan perkotaan Mebidang. Sedangkan di sebelah
barat, Kota Binjai dengan daya tariknya akan menarik kota satelit di Sunggal Barat
hingga akhirnya akan membentuk suatu lingkup kota baru dengan Kota Binjai yang
berpusat di Binjai Kota. Di sebelah utara diharapkan Belawan dan kota-kota kecil di
sekitarnya akan membentuk kota tersendiri dan akan terdapat juga kota-kota di
sebelah timur yang relatif berjauhan (Lubuk Pakam, Tanjung Morawa, Serdang).
Lalu sedikit demi sedikit akan berkembang koridor yang menghubungkan kota-kota
tersebut yang pada tahap selanjutnya ekstensifikasi kota akan terus meluas sejalan
dengan meningkatnya intensitas kegiatan perkotaan (lihat GAMBAR 3 - 2).
60 Metropolitan di Indonesia

• Perkembangan Terbatas
Skenario ini dibentuk dengan pendekatan pemanfaatan ruang yang lebih bijaksana
serta memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan kawasan perkotaan yang dianggap
ideal. Perkembangan yang terjadi pada tahap awal skenario ini tidak jauh berbeda
dengan skenario perkembangan ekstensif. Struktur ruang terbentuk oleh adanya
fungsi pusat-pusat pelayanan dan area prospektif dengan pusat perkembangan di
Medan Kota Inti. Untuk menghindari perkembangan perkotaan yang terus meluas,
maka perkembangan kawasan perkotaan Mebidang diarahkan membentuk pola
ribbon (pita) seperti terlihat pada GAMBAR 3 - 3.
Dari kedua skenario rencana pengembangan kawasan Mebidang di atas, terlihat
memang pada dasarnya Kota Medan diarahkan sebagai kota inti kawasan Mebidang dan
didukung dengan sub pusat-sub pusatnya yaitu Kota Binjai, Belawan, dan Lubuk Pakam.

Penduduk
Pertumbuhan penduduk di kawasan metropolitan Mebidang terus mengalami
peningkatan. Jumlah dan distribusi penduduk di wilayah Mebidang dapat dilihat pada
tabel berikut:

TABEL 3 - 2 Jumlah dan Distribusi Penduduk Mebidang Tahun 1988, 1998


dan 2003
Jumlah (Jiwa) Distribusi (%)
Kabupaten/Kota 1988 1998 2003 1988 1998 2003
Medan 1807466 2004999 1772317 66.47 60.80 57.67
Binjai 158861 209475 202706 5.84 6.35 6.60
Deli Serdang* 752690 1082960 1098320 27.68 32.84 35.74
*) Data hanya mencakup sebagian daerah yang termasuk ke dalam kawasan Mebidang
(14 kecamatan)
Sumber: Kotamadya Medan Dalam Angka, Tahun 1988 dan 1998 (dalam Tobing, 2001),
Kotamadya Binjai Dalam Angka, Tahun 1988 dan 1998 (dalam Tobing, 2001), Kabupaten Deli
Serdang Dalam Angka, Tahun 1988 dan 1998 (dalam Tobing, 2001), Data Potensi Desa Tahun
2003.

Penduduk Kota Medan yang begitu besar sehingga menjadikan Kota Medan sebagai
kota yang memiliki distribusi penduduk terbesar di wilayah Mebidang (±60 persen),
kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang (±30 persen) dan Kota Binjai (±6
persen). Dilihat dari kecenderungan distribusi penduduk dari tahun ke tahun, proporsi
penduduk di Kota Medan terus berkurang dibandingkan dengan Kota Binjai dan
Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai terus
mengalami peningkatan proporsi distribusi penduduk jika dilihat dalam konteks kawasan
Mebidang.
Perkembangan Kawasan Metropolitan 61

GAMBAR 3 - 2 Rencana Struktur Skenario


Perkembangan Ekstensif
Sumber: RUTRP Kawasan Mebidang
Metropolitan, 1996

GAMBAR 3 - 3 Rencana Struktur Skenario


Perkembangan Terbatas
Sumber: RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan,
1996
62 Metropolitan di Indonesia

Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan di wilayah tepi kawasan Mebidang


cukup pesat. Laju pertumbuhan Kota Medan yang hanya sebesar 0,92 persen jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan wilayah tepinya yang berkisar 3,08 persen. Beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan hal di atas adalah bahwa wilayah tepi dicirikan
oleh perkembangan industri yang pesat sehingga pertumbuhan penduduk diduga
berkaitan erat dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor industri dan dapat diduga
perkembangan ini terjadi bukan hanya karena migrasi desa-kota tetapi juga karena
mobilitas tempat tinggal dari kota inti (Tobing 2001). Hal ini dapat juga menunjukkan
adanya gejala dekonsentrasi penduduk dari kota inti ke wilayah tepi di kawasan
Mebidang.
Jika dilihat arah perkembangan jumlah penduduk di kawasan Mebidang, penduduk
di kawasan ini berkembang ke arah utara, timur dan barat dari wilayah inti Mebidang
yaitu Kota Medan (GAMBAR 3 - 1). Sebelah timur Kota Medan adalah Kota Binjai,
sebelah utara adalah Belawan dan Timur adalah Lubuk Pakam (Kabupaten Deli
Serdang). Perkembangan ini dapat terlihat jelas dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan
pada GAMBAR 3 - 4.

GAMBAR 3 - 4 Jumlah Penduduk Mebidang Tahun 1998, 1998 dan


2003
Perkembangan Kawasan Metropolitan 63

Pada Tahun 1988, jumlah penduduk mulai menyebar ke utara, kemudian menjalar
ke arah timur dan barat. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk mulai
berkembang ke wilayah selatan. Sebelah selatan Kota Medan adalah Pancur Batu
(Kabupaten Deli Serdang).
Kepadatan penduduk kawasan Mebidang menunjukkan masih terpusatnya penduduk
di Kota Medan. Kota Binjai juga telah menunjukkan adanya pemusatan penduduk di
wilayahnya. Jika dilihat dari tahun ke tahun, kepadatan penduduk di wilayah inti
memiliki kecenderungan penurunan meskipun hanya sedikit. Distribusi kepadatan
penduduk kawasan Mebidang dapat dilihat pada GAMBAR 3 - 5.

GAMBAR 3 - 5 Kepadatan Penduduk Mebidang Tahun 1998, 1998


dan 2003

Kelembagaan
Secara administratif kawasan Mebidang terdiri dari tiga daerah administrasi yang
memiliki pemerintahan sendiri, yaitu Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai
dan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Pelaksanaan penataan ruang kawasan
Mebidang tentunya harus dilakukan melalui koordinasi antara tiga pemerintahan
kabupaten/ kota tersebut dan di bawah koordinasi Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.
64 Metropolitan di Indonesia

Bentuk struktur pemerintahan yang yang diarahkan dalam RUTRP Kawasan Mebidang
Metropolitan ditunjukkan oleh GAMBAR 3 - 6.

Pemerintah DT I
Prop. Sumatera Utara

Badan Koordinasi

Pemerintah DT II Pemerintah DT II Pemerintah DT I


Kotamadya Binjai Kotamadya Medan Kab. Deli Serdang

Garis Komando
Garis Koordinasi

GAMBAR 3 - 6 Struktur Pemerintahan di Kawasan Perkotaan Mebidang


Sumber: RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan, 1996

Perkembangan sistem kelembagaan dalam melakukan pembangunan kawasan


Mebidang terus berlanjut. Pada tahun 2001 telah dilakukan upaya inisiasi pembentukan
forum pembangunan Mebidang. Saat ini Badan Kerjasama Pembangunan telah dibentuk
oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara melalui Keputusan Gubernur Sumatera Utara
Nomor 050/699 tanggal 31 Mei 2006 tentang Pembentukan Badan Kerjasama
Pembangunan (BKSP) Metropolitan Mebidang. Lembaga ini memiliki peran utama
untuk melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi pembangunan lintas daerah serta
pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang di Kawasan Metropolitan Mebidang
dan Kabupaten Karo.

Isu-isu
Dalam perkembangannya, kawasan metropolitan menghadapi banyak permasalahan
mulai dari permasalahan fisik, kelembagaan, pendanaan hingga sosial. Perkembangan
metropolitan Mebidang juga tentu tidak terlepas dari isu-isu dan permasalahan-
permasalahan yang menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat.
Isu utama yang dihadapi Kawasan Metropolitan Mebidang adalah masalah
transportasi. Permasalahannya terletak pada penyediaan prasarana transportasi seperti
jaringan jalan. Tingkat aksesibilitas antar pusat pertumbuhan di Mebidang belum
terintegrasi dengan baik. Pembangunan jalan tol terus dilakukan untuk menghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan di Kawasan Mebidang, antara lain pengembangan jalan tol
Medan – Binjai dan pengembangan jalan tol Medan–Tebing Tinggi sebagai terusan
jalan tol Belmera. Kemacetan juga menjadi permasalahan serius terutama di Kota
Medan. Pada jam-jam sibuk kemacetan seringkali terjadi. Angkutan kota yang sering
Perkembangan Kawasan Metropolitan 65

menaikkan dan menurunkan penumpang dimana saja semakin memperparah kemacetan


yang terjadi. Saat ini pusat perbelanjaan di Kota Medan kian menjamur dan kemacetan
biasanya juga terjadi di daerah dimana terdapat pusat perbelanjaan.
Isu transportasi lain yang saat ini menjadi fokus utama di Kawasan Mebidang adalah
adanya rencana pembangunan Bandara Kuala Namu untuk menggantikan Bandara
Polonia yang dianggap sudah tidak mampu lagi menampung arus penumpang serta
menghambat pembangunan Kota Medan. Bandara Kuala Namu diharapkan akan mampu
melayani arus penumpang dan akan mampu menunjang perkembangan Kawasan
Mebidang. Menurut rencana, lahan bekas Bandara Polonia nantinya akan dijadikan pusat
bisnis Kota Medan.
Terlepas dari permasalahan transportasi, ada isu lingkungan yang terus menjadi
perhatian utama yaitu masalah banjir yang selalu melanda Kota Medan setiap musim
hujan tiba. Masalah banjir ini tidak terlepas dari kondisi geografis Kota Medan yang
dilalui beberapa sungai besar (Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut dan Sungai
Serdang), sungai kecil (Sungai Batuan, Sungai Badera dan Sungai Kera) dan beberapa
anak sungai lainnya. Masalah banjir ini juga disebabkan karena terjadinya sedimentasi
(pelumpuran) saluran drainase dan kecenderungan masyarakat yang terbiasa membuang
sampah ke sungai. Alih fungsi daerah resapan menjadi permukiman dan pertumbuhan
penduduk di sepanjang bantaran sungai juga berkontribusi terhadap terjadinya banjir.
Permasalahan banjir di Kota Medan tidak bisa dilepaskan dari wilayah-wilayah
sekitarnya (Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo) yang merupakan
kawasan tangkapan hujan dan air yang sangat strategis untuk pembangunan wilayah
Propinsi Sumatera Utara secara keseluruhan.
Masalah penyediaan energi listrik merupakan masalah tersendiri yang juga terjadi di
Kawasan Perkotaan Mebidang. Penyediaan energi listrik mengalami kekurangan untuk
memfasilitasi aktivitas perkotaan skala metropolitan sehingga seringkali terjadi
pemadaman.
Secara garis besar banyak sekali permasalahan perkotaan yang dihadapi, misalnya
perumahan dan pemukiman, tata guna lahan ruang terbuka hijau, pelestarian lingkungan
hidup serta bangunan bersejarah, pengangguran dan kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan dan kesehatan, kriminalitas, kenakalan remaja, anak jalanan, kawasan kumuh
dan kurangnya pembinaan kekayaan seni budaya lokal.
Semua permasalahan yang dihadapi kawasan Mebidang merupakan suatu kenyataan
yang dihadapi oleh wilayah metropolitan. Dalam hal prasarana transportasi, Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara saat ini sedang berusaha merealisasikan
rencana pembangunan jalan tol Medan - Binjai dan Tanjung Morawa - Kuala Namu -
Tebing Tinggi. Pembangunan bandara baru di Kuala Namu sebagai pengganti Bandara
Polonia juga merupakan prioritas pemerintah dalam melakukan pembangunan di
kawasan Mebidang. Selain itu pengembangan pelabuhan Belawan, pembangunan dan
pemanfaatan jaringan rel kereta api sebagai sarana angkutan barang dan angkutan
penumpang, pembangunan sarana transportasi angkutan umum massal menjadi perhatian
pemerintah. Dalam hal penanganan banjir dilakukan dengan pengelolaan kawasan
sekitar daerah aliran sungai (DAS) dari hulu di kabupaten Karo hingga ke hilir.
Pembangunan di sektor lain dilakukan dengan menyusun rencana pengembangan
kawasan Central Business District (CDB) di Kota Medan, pembangunan infrastruktur
66 Metropolitan di Indonesia

energi dan kelistrikan, dan pengembangan kawasan industri di Kota Medan dan
Kabupaten Deli Serdang.

METROPOLITAN JABODETABEKJUR

Sejarah
Pembentukan Kawasan Metropolitan Jakarta atau yang dikenal dengan Jabodetabek
(sekarang Jabodetabekjur), disebabkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah yang
membuat adanya suatu hubungan sehingga setiap kabupaten/kota yang terkait terus
berkembang, belum lagi adanya aliran investasi asing dan dalam negeri serta kebijakan-
kebijakan pemerintah yang mendukung pembentukan wilayah metropolitan. Pada tahun
1970-an, wilayah ini dikenal dengan sebutan Jabotabek, yaitu singkatan dari Jakarta-
Bogor-Tangerang-Bekasi. Akan tetapi seiring dengan bertumbuhnya jumlah penduduk
dan meluasnya kegiatan perekonomian perkotaan, pada tahun 1990-an, kawasan ini
dikenal dengan Jabodetabek (ditambah dengan Kota Depok) dan kini Jabodetabekjur
(ditambah dengan beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur). Melihat perkembangan
yang terus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan bertambahnya kawasan
metropolitan baru di dalam Kawasan Metropolitan Jakarta ini.
Sebelum terbentuknya wilayah metropolitan ini, Jakarta yang dulu dikenal dengan
Sunda Kelapa, merupakan pelabuhan perdagangan kecil di hilir Sungai Ciliwung.
Setelah kemenangan Portugis tahun 1527, berdasarkan ketentuan adat Sunda, Sunda
Kelapa beralih nama menjadi Jayakarta yang mengandung arti ‘Kemenangan’ (The
Victory). Pada tahun 1618 Jayakarta beralih nama kembali menjadi Batavia pada masa
penjajahan Belanda yang melakukan perluasan kota demi keperluan VOC sebagai
pelabuhan utama di Indonesia. Hingga abad berikutnya, Batavia terus tumbuh menjadi
kota yang berpenduduk 500.000 jiwa. Jalur kereta api dalam kota menghubungkan
Batavia dengan Tangerang (bagian barat Batavia), Serpong, dan Selat Sunda di barat
daya, Bogor dan Bandung di bagian selatan, Bekasi dan Cirebon di bagian Timur. Sejak
saat itu, perluasan Kota Batavia telah dimulai seiring dengan permintaan akan lahan
perumahan.
Setelah pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia, nama
Batavia kembali menjadi Jakarta yang berfungsi sebagai ibukota negara. Akan tetapi,
pada tahun 1960-an terjadi kesulitan oleh karena adanya transformasi sosial dari negara
jajahan ke negara merdeka, dan adanya kebijakan anti-kapitalis yang mempersulit
pertumbuhan ekonomi akibat menurunnya investasi asing dan domestik.
Apabila dilihat dari perkembangan jumlah penduduknya, pada tahun 1950-an jumlah
penduduk Jakarta telah mencapai 1,5 juta jiwa, lebih dari dua kali lipat dari tahun 1945.
Lalu, pada tahun 1961, jumlah penduduk Jakarta mencapai 2,9 juta yang menjadikan
Jakarta sebagai kota terbesar di dunia. Sebagian penduduk Jakarta tinggal di kampung-
kampung padat penduduk dengan infrastruktur yang buruk, selain itu transportasi publik
juga sangat tidak diperhatikan. Master Plan pertama untuk Kota Jakarta disiapkan pada
tahun 1952 yang merencanakan jalan lingkar (ring road) sebagai batas pertumbuhan
kota yang dikelilingi oleh green belt mengikuti prinsip-prinsip Garden City Ebenezer
Howard. Rencana ini tidak pernah terealisasi, sampai 35 tahun berikutnya terjadi
pertumbuhan pesat dan perubahan struktur kota. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
Jakarta menjadi pusat pertumbuhan nasional. Sejak tahun 1961 sampai 1971, jumlah
Perkembangan Kawasan Metropolitan 67

penduduk Jakarta hampir mencapai dua kali lipat dari 2,9 juta jiwa menjadi 4,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 5,8 persen per tahun. Dengan adanya industrialisasi di wilayah
Jakarta, tingkat urbanisasi meningkat melebihi batas-batas adminitratif hingga ke
kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Oleh karena itu, Master Plan kedua tahun 1967,
untuk periode 1965 – 1985, berusaha untuk mengatasi pertumbuhan besar baru.
Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya peningkatan perekonomian
dan pembangunan infrastruktur telah mendorong pertumbuhan wilayah di sekitarnya
sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan seperti sekarang. Saat ini kawasan
metropolitan Jabodetabekjur tidak dapat dipandang sebagai suatu unit yang berdiri
sendiri, akan tetapi terus memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah
yang terintegrasi.

Struktur Ruang
Adapun struktur Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, menunjukkan suatu pola
struktur yang polisentrik (banyak pusat), yaitu DKI Jakarta sebagai pusat utamanya, dan
memiliki Bogor (kabupaten dan kota), Kota Depok, Tangerang (kabupaten dan kota),
Bekasi (kabupaten dan kota) sebagai sub pusat yang melayani kota dan daerah
otonomnya, serta ditambah dengan kawasan Puncak-Cianjur yang juga diperhatikan
pengaruhnya terhadap wilayah metropolitan.
Selain itu dapat dengan jelas kita lihat bagaimana pengaruh DKI Jakarta sebagai
pusat terhadap wilayah sekitarnya yang menghasilkan suatu daerah perkotaan yang
meluas, seperti ditunjukkan pada GAMBAR 3 - 7.

KABUPATEN
TANGERANG
KOTA
TANGERANG
DKI JAKARTA
KABUPATEN
BEKASI

KOTA BEKASI

KOTA
DEPOK

Pusat
KABUPATEN
BOGOR
KOTA BOGOR
Sub-Pusat (Kota)

Sub-Pusat (Kabupaten)

GAMBAR 3 - 7 Struktur Wilayah Metropolitan Jabodetabekjur


Sumber: Google Earth 2006
68 Metropolitan di Indonesia

Berdasarkan Raperpres Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur, metropolitan


Jabodetabek-Punjur merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Wilayah ini meliputi:
• Seluruh wilayah DKI Jakarta;
• Sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat, mencakup seluruh wilayah Kabupaten
Bekasi, seluruh wilayah Kota Bekasi, seluruh wilayah Kota Depok, seluruh wilayah
Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota bogor, dan sebagian wilayah Kabupaten
Cianjur, yang meliputi Kecamatan Cugenang, Kecamatan Pacet, dan Kecamatan
Sukaresmi.
• Sebagian wilayah Propinsi Banten, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaten
Tangerang dan seluruh wilayah Kota Tangerang.

PKN PKN

AP
AP AP

PKW KP
PKW

KP KP
PKN : Pusat Kegiatan
Nasional
PKW: Pusat Kegiatan
PKL LP PKL
Wilayah
PKW: Pusat Kegiatan
Lokal
LP LP

AP : Arteri Primer
Perdesaan Perdesaan KP : Kolektor Primer
LP : Lokal Primer

GAMBAR 3 - 8 Keterkaitan Fungsi Jalan dengan Fungsi Kota yang Dihubungkan


Berdasarkan Fungsi
Sumber: Kebijakan Penataan Ruang kawasan Jabodetabekpunjur

Struktur dari wilayah metropolitan Jabodetabekjur, dapat dilihat dengan adanya


jumlah migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan Kota Sekitarnya. Jumlah ini
menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat disebabkan oleh
kegiatan ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal), dan lainnya.
Keterkaitan ini juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama transportasi dan
komunikasi yang mendorong aliran informasi antar daerah.
Perkembangan Kawasan Metropolitan 69

Keluar antar Propinsi


Kuningan

Serang 1
jt
106,4 Jt.
0,6 Jt. 0,6 Jt. Subang
JAKARTA
6,6 Jt. Tasikmalaya
0,3 0,1
Tangerang 14,1 Jt. jt
jt 1.5 Jt.
0,12 Jt. 22,9 Jt. Bekasi 0,8 Jt.
n.
0,15 Jt. 1,2 Jt. 5,1 Jt.
Depo a 1.6 Jt.
Leba 0,9 Jt. k Karawang
9,1 Jt. 1.9 Jt. 0,1 Jt.
k 25
Jt. 1,1 Jt. Purwakarta

Bogor 0,7
jt Indramayu
0,5
jt 2,5 0,1
2,3 jt 0,9 jt
jt Cianju jt
Sukabumi r
Bandung

GAMBAR 3 - 9 Keterkaitan Antar Kota PKN Metropolitan Jabodetabek-Punjur (Eksisting)


Sumber: Kebijakan Penataan Ruang kawasan Jabodetabekpunjur.

Penduduk
Perkembangan jumlah penduduk juga dapat memberikan suatu gambaran bagaimana
perkembangan suatu kawasan metropolitan terjadi. Pada TABEL 3 - 3 dapat kita lihat
bahwa jumlah penduduk Jabodetabekjur, dengan memasukkan seluruh unit kecamatan,
sebagian besar tinggal di wilayah kota. Akan tetapi jumlah ini sedikit menurun dari
tahun 2000 ke tahun 2003, sedangkan keadaan yang sebaliknya terjadi pada wilayah
kabupaten, dimana jumlah penduduk pada tahun 2003 meningkat dari 7,58 juta jiwa
menjadi 8,90 juta jiwa. Pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan
alamiah atau pun adanya migrasi. Adapun DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk dan
kepadatan terbesar pada wilayah metropolitan, akan tetapi angka tersebut terus menurun
dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2003. Penurunan yang cukup mencolok terjadi dari
tahun 1997 ke tahun 2000, yaitu dari 9,37 juta jiwa menjadi 7,79 juta jiwa. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh adanya krisis moneter yang membuat banyak penduduk
pendatang kembali ke daerah asalnya masing-masing. Penurunan ini juga terjadi pada
tahun 2003, bersamaan dengan itu terjadi pertambahan jumlah penduduk pada
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor, serta Kota Depok.
Pertambahan tersebut mengindikasikan adanya gejala sub urbanisasi dengan didukung
oleh peningkatan pembangunan infrastruktur seperti jalan, transportasi umum, bahkan
perumahan yang mendorong pergerakan keluar dari pusat atau inti.
70 Metropolitan di Indonesia

Pada GAMBAR 3 - 10 dan GAMBAR 3 - 11 dapat dilihat perkembangan jumlah


penduduk dan perubahan kepadatan penduduk pada tahun 1997, 2000, dan 2003. peta
tersebut menunjukkan suatu perkembangan yang meluas, tidak hanya di pusat kota (DKI
Jakarta) tetapi terus bergerak ke luar, bahkan dapat sampai kepada wilayah metropolitan
Bandung. Adapun daerah yang jelas terlihat perubahannya adalah daerah yang berada di
sepanjang koridor Utara, yaitu Tangerang-Jakarta-Bekasi, dan koridor Selatan, yaitu
Jakarta-Depok-Bogor-Cianjur.

TABEL 3 - 3 Pertumbuhan Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan Jabodetabekjur


Tahun 1997, 2000, dan 2003
Luas Populasi (jiwa) Kepadatan (pddk/km2)
Wilayah Wilayah 1997 2000 2003 1997 2000 2003
Kabupaten
Bogor 2,237 2,862,292 3,060,618 3,097,409 1279 1368 1385
Bekasi 1,065 1,544,900 1,330,389 1,556,278 1450 1249 1461
Cianjur 2,639 1,812,936 934,409 2,066,787 687 354 783
Tangerang 1,098 2,594,084 2,258,244 2,187,512 2362 2056 1992
Jumlah 7,040 8,814,212 7,583,660 8,907,986 1252 1077 1265
Kota
DKI 660 9,373,900 7,798,679 7,356,456 14199 11813 11143
Bogor 109 673,882 691,421 748,353 6183 6344 6867
Bekasi 210 1,471,477 1,294,258 1,170,458 7022 6176 5585
Tangerang 305 1,765,819 1,506,757 837,056 5782 4934 2741
Depok 212 834,556 949,207 953,121 3932 4472 4491
Jumlah 1,496 14,119,634 12,240,322 11,065,444 9436 8180 7395
Jabodetabekjur 8,536 22,933,846 19,823,982 19,973,430 2687 2322 2340
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 1997, Podes 2000 dan 2003, Hasil Analisis

Kelembagaan
Lembaga tingkat metropolitan yang ada di Jabodetabek adalah Badan Kerjasama yang
mengalami perkembangan sejak tahun 1975 dengan penjelasan sebagai berikut:
• Inpres 13 Tahun 1976, tentang ”Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-
Bekasi” yang disingkat Jabotabek, ditujukan kepada Menteri Negara Ekonomi,
Keuangan, dan Industri/ Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Listrik.
Perkembangan Kawasan Metropolitan 71

Tahun 1997 Tahun 2000

15902 - 111525
111526 -
193601 -
377170 - 1628400
1628401 - 2491500

Tahun 2003

GAMBAR 3 - 10 Jumlah Penduduk di Jabodetabekjur Tahun 1997, 2000, dan


2003
72 Metropolitan di Indonesia

Tahun 1997 Tahun 2000

93 - 886
887 - 2122
2123 - 3971
3972 - 9002
9003 - 19726

Tahun 2003

GAMBAR 3 - 11 Kepadatan Penduduk di Jabodetabekjur Tahun 1997, 2000,


dan 2003
73

• Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
Nomor 6375/A-1/1975
2450 / A / K/BKD/ 75
Tentang ”Pembentukan Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan
Metropolitan”.
Nomor 1/DP 1040/PD/76
3 Tahun 1976
Tentang ”kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta-Bogor-Tangerang-
Bekasi”
Nomor D. IV-320Id/11/1976
197. Pem. 121isk11976
Tentang ”Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan Jabotabek”
BKSP diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
• Peraturan Bersama Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 5 tahun 1990
2 tahun 1990
Tentang ”Perubahan Pertama Peraturan Bersama Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta”
Nomor 8 Tahun 1994
7 Tahun 1994
Tentang penetapan ”Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan
Jabotabek”
Akan tetapi BKSP kemudian mengalami kegagalan akibat adanya kendala
struktural, yaitu Kepala BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) tidak bisa secara
efektif mengkoordinasikan berbagai instansi terkait di wilayah Jabodetabekjur.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah ketiadaan dana khusus bagi kegiatan BKSP,
tumpang tindihnya kegiatan dengan beberapa lembaga pemerintahan lainnya, terutama
Bappeda, ketidakjelasan peran, dan tidak adanya petunjuk anggaran pembangunan
Jabodetabekjur (RUU pengganti UU No. 34 tahun 1999).

Isu-Isu
Adapun isu-isu yang terdapat di kawasan Jabodetabekjur terbagi dalam beberapa bagian,
antara lain:

Adanya Penyalahgunaan Peruntukan Lahan


Adanya penyalahgunaan peruntukan lahan seringkali menjadi penyebab munculnya
permasalahan lain pada kawasan Jabodetabekjur, terutama permasalahan lingkungan.
Hal ini adalah bentuk dari pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah dibuat.
Misalnya saja banjir pun menjadi bencana yang rutin terjadi setiap tahun, kerusakan
lingkungan di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur
(Jabodetabek-Punjur) kini semakin berkembang. Bukti dari pelanggaran ini adalah
74

terdapatnya penyimpangan sebesar 20 persen terhadap arahan guna lahan Rencana Tata
Ruang Kawasan Jabodetabek dari tahun 1992 sampai dengan 2001. Penyimpangan ini
ditunjukkan dengan pengurangan kawasan lindung hingga 16 persen dan peningkatan
guna lahan permukiman sebesar 10 persen di Jabodetabek pada tahun 1992 hingga 2001.
Sementara itu, berdasarkan informasi citra landsat tahun 2001, di Kawasan Bopunjur
yang merupakan hulu dari Kawasan Jabodetabek, telah terjadi penyimpangan
pemanfaatan lahan sebesar 79,5 persen dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres
No.114/1999. Penyebab penyimpangan ini adalah adanya pertumbuhan kawasan
permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai 35.000 ha atau 29
persen dari total luasan Kawasan Bopunjur. Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya
diantaranya adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk permukiman pada
sepanjang bantaran sungai-sungai dan pemanfaatan ruang untuk permukiman pada
wilayah tangkapan air, seperti rawa-rawa dan lahan basah.

TABEL 3 - 4 Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Jabodetabek


Tahun 1992 Tahun 2001
No. Jenis Lahan (Ha) (%) (Ha) (%)
1 Lahan Terbuka 142.718,9 19,94 169.276,8 23,65
2 Lahan Pertanian 104.186,4 14,55 104.108,9 14,54
3 Vegetasi Campuran 176.614,7 24,67 183.534,8 25,64
4 Hutan/ perkebunan dan 197.792 27,63 64.084,14 8,95
tanaman tahunan
5 Permukiman 68.169,24 9,52 139.684,1 19,51
6 Lahan Lainnya 26.351,64 3,68 55.144,35 7,70
Total 715.832,9 100 715.832,9 100
Sumber : Hasil Pengolahan Satelit LAPAN (Direktorat Jenderal Penataan Ruang Dep.
PU 2004)

TABEL 3 - 5 Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Bopunjur dibandingkan


dengan Keppres No.114/1999
Keppres/
Tahun 1993 Tahun 1997 1999No.114
No Jenis Penggunaan (Ha) % (Ha) % (Ha) %
1 Kawasan 16.985 14,03 20.500 16,93 19.500 16,12
Perkotaan
2 Kawasan Lindung 20.448 16,89 18.500 15,28 18.600 15,37
Basah/sawah
3 Kawasan Hutan 12.308 10,16 15.000 12,39 19.475 16,10
Lindung
4 Cagar Alam 550 0,45 550 0,45 550 0,45
5 Taman Nasional 3.500 2,89 3.500 2,89 3.500 2,89
6 Taman Wisata 450 0,37 450 0,37 450 0,37
Alam
7 Kawasan Lainnya 66.854 55,21 62.595 51,69 59.020 48,70
Total Penggunaan 121.095 100,00 121.095 100,00 121.09 100,0
Lahan 5 0
Sumber: Lampiran Keppres No.114/1999; Strategi Pengembangan Kawasan Bopunjur dan
sekitarnya, 1996/1997; Peta Penggunaan Tanah, 1997, dalam kebijakan penataan ruang
Kawasan jabodetabek punjur (Dirjen Penataan Ruang)
75

Isu Lingkungan Hidup


Permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup di kawasan Jabodetabekjur antara
lain terdiri dari empat masalah penting, yaitu pencemaran udara, krisis air, masalah
banjir dan masalah pengolahan sampah.
a. Pencemaran Udara
Pencemaran udara akan menimbulkan kerugian kurang lebih senilai Rp 4,3 triliun pada
tahun 2015 apabila masalah tersebut tidak segera ditangani. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan DKI Jakarta, cukup banyak warga Jakarta yang menderita infeksi saluran
pernapasan jika dibandingkan dengan daerah lain. Penyebab utama dari polusi udara
sekitar 70 persen dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor. Pada tahun 1998, kerugian
akibat pencemaran udara sudah mencapai Rp1,8 triliun.
b. Pengelolaan Sampah
Jumlah sampah setiap harinya yang dihasilkan oleh DKI Jakarta adalah 25.650 meter
kubik atau setara dengan 6.000 ton. Padahal, sampah yang dapat diolah di TPA yang
dimiliki oleh Pemda Jakarta baru 88 persennya atau setara dengan 22.500 meter kubik.
Permasalahan ini kemudian terus meningkat dan diantaranya ditunjukkan oleh
longsornya TPA Bantar Gebang akibat volume sampah yang terlalu besar.
c. Permasalahan Banjir
Permasalahan banjir terkait dengan aktivitas dan jumlah penduduk yang terus meningkat
di wilayah metropolitan ini. Setidaknya ada 78 titik rawan genangan di DKI Jakarta yang
menyebabkan pada tahun 1996 dan 2002 terjadi banjir cukup besar. Selain itu,
permasalahan banjir juga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu terdapatnya penyempitan
sungai akibat sedimentasi partikel-partikel yang terbawa, yang berdampak pada
meningkatnya aliran air permukaan (run-off), perubahan lahan alami menjadi lahan
terbangun yang menimbulkan bahaya erosi dan menurunkan infiltrasi air tanah,
terjadinya genangan di kawasan pantai lama yang mengalami amblesan (land
subsidance), dan hingga tahun 2002, situ-situ mengalami penyusutan yang cukup
signifikan (sebesar 65,8 persen) seperti yang ditunjukkan oleh TABEL 3 - 6. Tambahan
pula apabila land subsidance mencapai 2 m, sementara kenaikan muka air laut mencapai
60 cm, diperlukan upaya untuk memompa air di daerah genangan yang kedalamannya
mencapai 2,6 m di bawah permukaan laut.

TABEL 3 - 6 Kondisi Situ-situ di Kawasan Jabodetabek


Wilayah Jumlah Luas (Ha) Kapasitas (m3)
NoAdministrasi Situ Semula Sekarang (%) Asal Sekarang
1 DKI Jakarta 16 182,9 n.a n.a 1.684.200 600.000
2 Kab. Bogor 94 502,1 47,9 5,4 5.905.750 2.298.000
3 Kota Bogor 6 15,4 12,5 13,8 246.000 135.000
4 Kota Depok 22 167,9 151 10,1 2.538.000 1.523.000
5 Kab. Tangerang 37 1.063,1 686,7 35,4 13.313.000 6.667.000
6 Kota Tangerang 8 195,8 136,4 30,3 3.260.000 1.304.000
7 Kab. Bekasi 17 110,1 10 90,9 1.511.000 100.000
Jumlah 193 2.237,3 1.471,5 65,8 28.457,950 12.827.000
Sumber: Ditjen Penataan Ruang 2002.
76

GAMBAR 3 - 12 Banjir di Kota Jakarta yang Menghambat


Aktivitas Penduduk

d. Terjadinya Krisis Air


Isu lainnya yang terdapat dalam kawasan Jabodetabekjur adalah adanya krisis air. Hal ini
terlihat dari fakta bahwa warga ibukota mengkonsumsi air tanah yang tidak sehat karena
sudah tercemar oleh berbagai bahan polutan padahal sekitar 55 persen warga Jakarta
menggunakan air tanah dan hanya 45 persen saja yang menggunakan air dari PDAM.
Studi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun
2004 menyebutkan bahwa hampir sebagian besar sumur dari 48 sumur yang dipantau di
Jakarta telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah
melebihi baku mutu untuk parameter coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu
mencapai 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober 2004. Kualitas
besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta juga semakin meningkat. Bahkan, beberapa
sumur terindikasi memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Persentase jumlah sumur
yang melebihi baku mutu mangan (Mn) di seluruh DKI Jakarta secara umum sebesar 27
persen pada bulan Juni 2004 dan meningkat pada bulan Oktober sebesar 33 persen.
Untuk parameter deterjen, persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI
Jakarta sebesar 29 persen pada bulan Juni dan meningkat menjadi 46 persen pada bulan
Oktober. Diduga peningkatan ini terjadi karena memasuki musim hujan.
Permasalahan lain yang terkait adalah tidak memadainya fasilitas MCK (mandi,
cuci, kakus), truk tinja, saluran air limbah (sewerage system), dan Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPLT) yang sudah banyak yang tidak memadai. Kasus ini juga terdapat di
wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdasarkan Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas), baru sekitar 55 persen penduduk Indonesia yang
mempunyai akses sanitasi. Kondisi ini diperparah dengan kondisi sejumlah septic tank
rumah tangga yang tidak dibangun dengan benar, sehingga sebagian tinja meresap ke
dalam tanah dan tercampur dengan air tanah. Sementara, jarak septic tank dengan air
tanah yang disedot untuk kebutuhan harian sangat dekat. Kurangnya fasilitas sanitasi
tersebut menimbulkan berbagai penyakit mulai dari diare, demam berdarah hingga polio.
77

Lebih jauh lagi, persoalan ini mengurangi minat investor berinvestasi ke Indonesia. Hasil
penelitian juga menemukan bahwa sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan
tercemar bakteri tinja. Ironisnya, sebagian penduduk perkotaan masih menggunakan air
tanah untuk memenuhi kebutuhan harian.

Isu Infrastruktur
a. Kemacetan
Berdasarkan data di Ditlantas Polda Metro Jaya (Oktober 2003), jumlah kendaraan di
DKI Jakarta tercatat 6.506.244 buah, yang terdiri dari 449.169 truk pengangkut barang,
315.559 buah bus, 3.276.890 buah sepeda motor, dan sisanya mobil penumpang. Dinas
Perhubungan DKI Jakarta mencatat bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor
rata-rata 11 persen per tahun, sedangkan pertambahan jalan tidak sampai satu persen per
tahun. Hal ini menyebabkan ketimpangan prasarana jalan dengan kendaraan.
Jika kendaraan roda empat saja panjangnya rata-rata empat meter dan dibariskan
secara berurutan, maka lahan yang dibutuhkan sepanjang 12.800 kilometer. Jumlah ini
tidak akan bisa tertampung pada ruas jalan yang tersedia. Selain itu, setiap hari terdapat
kendaraan yang masuk dari daerah-daerah sekitar Jakarta yang berjumlah lebih dari 1,2
juta.
Dari sisi kelembagaan, permasalahan kemacetan disebabkan oleh tidak adanya
sistem pengelolaan transportasi yang utuh dan terpadu untuk wilayah Jabodetabek
(Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), baik dalam pengelolaan lalu lintas, termasuk
program pembangunan infrastrukturnya. Akibatnya, tidak ada integrasi dalam
pembiayaan sehingga masing-masing instansi memiliki program dan kegiatan yang tidak
terpadu.

TABEL 3 - 7 Perbandingan Perkembangan Jumlah Kendaraan dan Penyediaan


Fasilitas Jalan di Jakarta
Perkembangan Perkembangan
Tahun Jumlah Kendaraan Penyediaan Fasilitas Jalan
1985 300.000 305,0 km
1990 500.000 442,5 km
1995 850.000 429,0 km
2000 1.100.000 585,0 km
Sumber: Ruchyat 2003.

b. Rendahnya Pelayanan Transportasi Umum


Selain jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan yang ada,
komposisi kendaraan yang lalu lalang di Jakarta juga tidak seimbang. Dari jumlah itu,
kendaraan pribadi mencapai lebih dari 90 persen, mulai dari sepeda motor, mobil
berumur tua, hingga mobil-mobil mewah. Pada tahun 2002, kendaraan angkutan
penumpang umum hanya sekitar 96.750 buah atau 2,5 persen, dan kendaraan pengangkut
barang sekitar 239.940 buah atau sekitar 6,2 persen. Hal ini diperburuk dengan kondisi
bahwa dari 96.750 buah kendaraan angkutan penumpang umum tersebut, 2.670 buah di
antaranya merupakan bus umum yang kondisinya rusak dan sebenarnya tak laik jalan.
78

Bahkan, 839 buah di antaranya rusak berat karena kelangkaan suku cadang. Kondisi ini
memprihatinkan karena dari sekitar 5.400 buah bus kota, 2.670 buah rusak, yang berarti
hanya sekitar 50 persen yang laik jalan. Hingga akhir tahun 2003, kondisi ini belum
berubah.
Selain itu, fasilitas kereta api juga belum dapat menampung 25 juta pergerakan yang
ada di Jabodetabek, karena yang dapat ditampung oleh KA hanya 2,5 persen saja. Jika
masalah-masalah kereta api tidak bisa dicarikan solusinya maka pada tahun 2014,
masyarakat akan menderita karena luas jalan dibanding dengan luas kendaraan yang ada
tidak sebanding lagi. Ini berarti akan terjadi kemacetan total di seluruh jalan di Jakarta.

BANDUNG

Sejarah
Perkembangan Kota Bandung yang dari tahun ke tahun semakin pesat baik dalam hal
penduduk, sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasarana maupun perluasan fisik
perkotaan menyebabkan perkembangan tersebut melintasi batas-batas administrasinya.
Hal ini dapat dilihat di daerah perbatasan yang sudah membaur menjadi perkotaan. Daya
tarik Kota Bandung yang kuat dari sisi ekonomi dan ketersediaan fasilitas menyebabkan
kota-kota lain di sekitarnya beraglomerasi dengan Kota Bandung. Kecepatan
perkembangan tersebut menjadi tidak terkendali sehingga diperlukan suatu perencanaan
Kota Bandung dengan wilayah sekitarnya secara terpadu dalam konteks wilayah
Metropolitan Bandung.
Kawasan Metropolitan Bandung ini terdiri dari daerah-daerah yang memiliki
keterkaitan antar satu dengan yang lainnya dan memiliki kemiripan karakteristik fisik
dan non fisik. Berdasarkan RTRW Propinsi Jawa Barat Tahun 2010, wilayah yang
termasuk dalam Metropolitan Bandung memiliki luas sebesar 347.105 hektar yang
terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten
Sumedang (Kecamatan Cimanggung, Tanjung Sari, Sukasari, Jatinangor, dan
Rancakalong). Kemudian wilayah tersebut bertambah seiring dengan perubahan status
Kota Cimahi yang tadinya masuk dalam wilayah Kota Bandung sekarang menjadi kota
yang berdiri sendiri di dalam Propinsi Jawa Barat pada tahun 2001.
Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, Kawasan Metropolitan
Bandung memiliki kedudukan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN)
sehingga fungsi kawasan ini sangat penting sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan
internasional dan sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, simpul transportasi dengan skala
pelayanan Propinsi dan nasional. Di samping itu, berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997
tentang RTRWN dan RTRWP Jawa Barat, Kawasan Metropolitan Bandung merupakan
salah satu kawasan andalan yang memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan industri,
pemerintahan, perguruan tinggi, teknologi, pertanian, pariwisata serta pertahanan dan
keamanan.
Berdasarkan pendapat McGee (1998) mengenai Extended Metropolitan Region
(EMR), Kota Metropolitan memiliki salah satuciri berupa adanya transformasi kegiatan
dari pertanian ke berbagai kegiatan non pertanian termasuk perdagangan, transportasi
dan industri. Transformasi tersebut dapat dilihat dari sisi perekonomian Metropolitan
Bandung yang mulai tumbuh kembali sejak tahun 2001 pasca krisis ekonomi di tahun
1997-1998. Gejala ini terlihat dari besarnya angka pertumbuhan ekonomi wilayah
79

tersebut yang relatif mendekati kembali angka pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut
sebelum krisis ekonomi. Laju Pertumbuhan Ekonomi dari tahun 1995 sebesar 5 persen
lalu ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 menurun drastis menjadi -0,2 persen dan
tahun 2002 mulai kembali seperti semula menjadi 5 persen. Kontribusi PDRB
Metropolitan Bandung terhadap PDRB Jawa Barat berdasarkan harga konstan pada
tahun 2001 sebesar 25,03 persen dan pada tahun 2003 menjadi 25,78 persen. Kontribusi
terbesar pada tahun 2003 berada pada sektor tersier yaitu Perdagangan, Hotel dan
Restoran sebesar 34,37 persen dari total kontribusi PDRB di Metropolitan Bandung. Hal
ini menunjukkan bahwa secara umum peran Metropolitan Bandung semakin penting
dalam mendukung perekonomian di Jawa Barat.

Struktur Ruang
Di dalam RTRWP Jawa Barat Tahun 2010, kebijakan pengembangan struktur tata ruang
Propinsi Jawa Barat mengikuti model pengembangan wilayah fungsional terintegrasi
(functional integration) yang sesuai dengan Perda No.3 Tahun 1994. Model ini bertujuan
untuk meningkatkan keterkaitan internal antara pusat-pusat pertumbuhan dengan
wilayah belakangnya, dan agar pusat-pusat pertumbuhan mampu melayani arus
pergerakan orang, barang, dan modal dari wilayah di bawahnya menuju wilayah-wilayah
lainnya sehingga terwujud pemerataan pembangunan baik melalui penyebaran kegiatan
sosial ekonomi maupun infrastruktur pendukungnya. Pengembangan struktur ini terbagi
menjadi tiga wilayah pengembangan, yaitu Wilayah Pengembangan Barat, Tengah dan
Timur. Masing-masing wilayah pengembangan ini memiliki sistem kota-kota dengan
hirarki kota I sampai dengan IV. Kota hirarki I berfungsi sebagai pusat pertumbuhan
utama dengan skala pelayanan nasional dan internasional. Kota hirarki II berfungsi
sebagai pusat pertumbuhan perdagangan, jasa, permukiman, dan industri, yang skala
pelayanannya antar wilayah. Kota hirarki III berfungsi sebagai pusat produksi,
pengumpulan, dan distribusi dengan skala pelayanan wilayah dan lokal. Kota hirarki IV
berfungsi sebagai pusat produksi pertanian dengan skala pelayanan lokal.
Berdasarkan RTRWP Jawa Barat tersebut, diketahui bahwa wilayah metropolitan
Bandung yang terdiri dari 4 wilayah administratif ini berada di Wilayah Pengembangan
Tengah dengan Hirarki Kota I. Kemudian berdasarkan PP no 47 Tahun 1997 mengenai
RTRWN, Wilayah Metropolitan Bandung ditetapkan sebagai kawasan andalan yang
mencakup beberapa kota dengan masing-masing fungsinya yaitu:
1. Kota Bandung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional Wilayah Metropolitan
Bandung
2. Kota Cimahi, Padalarang, Lembang, Majalaya, Cileunyi, Banjaran, Soreang,
Pangalengan, Ciwidey, Ciparay, Sumedang dan Subang ditetapkan sebagai sebagai
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Wilayah Metropolitan Bandung
Adapun struktur wilayah di Kawasan Metropolitan Bandung dapat dilihat pada
GAMBAR 3 - 13, dengan Bandung sebagai pusatnya kemudian terdapat beberapa sub
pusatnya.
80

GAMBAR 3 - 13 Struktur Kawasan Bandung Metropolitan


Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2001

Kota Bandung yang ditetapkan sebagai PKN ini didasarkan pada kecenderungan
perkembangan perkotaannya yang intensif. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan
berbagai sektor pembangunan yang cukup tinggi di Kota Bandung. Dari sisi ekonomi,
data PDRB tahun 2001-2003 menunjukkan bahwa sektor sekunder dan sektor tersier
selalu berperan cukup signifikan dalam PDRB Kota Bandung dengan pertumbuhan di
atas laju pertumbuhan PDRB yaitu 7,39 persen dan 7,07 persen (ADH Konstan tahun
2002). Dominasi lapangan usaha industri pengolahan di beberapa wilayah lain dalam
Metropolitan Bandung digantikan dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
30,97 persen pada tahun 2003.
Dilihat dari tingkat aksesibilitas dari dan ke wilayah Metropolitan Bandung, Kota
Bandung memiliki aksesibilitas paling tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah di
sekitarnya. Hal ini disebabkan adanya jaringan jalan arteri yang menghubungkan Kota
Bandung dengan wilayah-wilayah lain sehingga mempengaruhi juga tingkat mobilitas
penduduk dari dan ke Kota Bandung. Selain itu, pengembangan Kota Bandung sebagai
PKN ini akan sangat sejalan dengan beberapa rencana lainnya yang terkait dengan
sistem transportasi jalan tol yang menghubungkan Bandung dengan PKN Metropolitan
Cirebon dan PKN Metropolitan Bandung dengan PKW Tasikmalaya. Tingkat
aksesibilitas ini pun dapat dilihat dari keberadaan Bandara Hussein Sastranegara yang
merupakan salah satu pintu masuk dan keluar PKN Metropolitan Bandung. Khusus
untuk Kota Bandung, tingginya intensitas kegiatan perkotaan juga dipacu oleh fungsi
Kota Bandung sebagai pusat kegiatan pemerintahan Propinsi Jawa Barat.
81

Penduduk
Jumlah penduduk Wilayah Metropolitan Bandung pada tahun 2003 sebesar 7.009.089
jiwa. Lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk wilayah Metropolitan Bandung
tersebar di wilayah Kabupaten Bandung (4.017.582 jiwa). Sementara itu, sejumlah besar
lainnya terkonsentrasi di Kota Bandung (2.228.267 jiwa). Selama tahun 1997-2003
terjadi peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pula pada peningkatan kepadatan
penduduk. Kepadatan penduduk di Metropolitan Bandung dari tahun 1997 ke tahun 2003
mengalami peningkatan, yaitu dari 16 jiwa per hektar menjadi 20 jiwa per hektar. Dari
angka tersebut, terlihat bahwa penyebaran penduduk tidak merata dalam wilayah
Metropolitan Bandung. Penduduk kebanyakan terkonsentrasi di dua kota inti dalam
wilayah Metropolitan Bandung yaitu Kota Bandung sebesar 132 jiwa per hektar dan
Kota Cimahi sebesar 120 jiwa per hektar. Kabupaten Bandung yang dari segi jumlah
menampung sebagian besar penduduk wilayah Metropolitan Bandung hanya memiliki
tingkat kepadatan 13 jiwa per hektar. Lebih jauh lagi, jumlah dan kepadatan penduduk di
Metropolitan Bandung dijelaskan menurut kecamatan dalam kabupaten/ kota (TABEL 3 -
8) serta persebaran jumlah dan kepadatan penduduk dalam rentang waktu dari tahun
1997-2003 dapat dilihat pada GAMBAR 3 - 14 dan GAMBAR 3 - 15.
Kota Bandung memiliki luas sebesar 16.833,10 hektar dan jumlah penduduk sebesar
2.228.267 jiwa. Dengan demikian, kepadatan penduduk Kota Bandung telah mencapai
132 jiwa per hektar pada tahun 2003. Kepadatan penduduk tiap kecamatan umumnya
telah melebihi 125 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan
Bojongloa Kaler (336 jiwa per hektar). Sementara itu, kepadatan terendah terdapat di
Kecamatan Rancasari (41 jiwa per hektar).
Kota Cimahi memiliki luas wilayah sebesar 4.074 hektar dan jumlah penduduknya
sebesar 483.242 jiwa, dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 119 jiwa per
hektar. Kecamatan Cimahi Tengah merupakan kecamatan dengan angka kepadatan
tertinggi (140 jiwa per hektar). Kecamatan Cimahi Tengah merupakan pusat dari
berbagai kegiatan seperti pemerintahan dan perdagangan dan dilalui oleh jalur jalan
regional yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kecamatan Padalarang
(Kabupaten Bandung). Jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya di
Metropolitan Bandung, laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Cimahi merupakan yang
paling cepat, yaitu sebesar 4,54 persen tiap tahunnya. Sementara itu, LPP wilayah
Metropolitan Bandung pada umumnya adalah 3.05 tiap tahunnya.
Kabupaten Bandung memiliki luas sebesar 302.240,13 hektar sehingga
mendominasi luas keseluruhan Metropolitan Bandung. Namun, kepadatan penduduk
Kabupaten Bandung pada tahun 2003 hanya 13 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk di
tiap kecamatan bervariasi dengan rata-rata kepadatan di bawah 30 jiwa per hektar.
Bahkan, terdapat beberapa kecamatan yang kepadatan penduduknya di bawah 10 jiwa
per hektar yang umumnya adalah kecamatan-kecamatan yang terletak di daerah
pinggiran luar Wilayah Metropolitan Bandung. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di
Kecamatan Margahayu (97 jiwa per hektar) diikuti oleh Kecamatan Dayeuhkolot (92
jiwa per hektar). Kedua kecamatan ini berbatasan langsung dengan batas selatan Kota
Bandung.
Kabupaten Sumedang yang termasuk Wilayah Metropolitan Bandung hanya
mencakup lima kecamatan. Kelima kecamatan di Kabupaten Sumedang ini berbatasan
langsung dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Kecamatan Jatinangor
82

merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dan kepadatan penduduk


tertinggi dibandingkan empat kecamatan lainnya (33 jiwa per hektar). Di kecamatan ini
terdapat beberapa perguruan tinggi yang merupakan salah satu faktor penarik penduduk.

TABEL 3 - 8 Jumlah Penduduk di Metropolitan Bandung Tahun 1991, 1997,


2000, dan 2003

Kecamatan/ Luas Jumlah Penduduk (jiwa)


Kawasan (Ha) 1991 1997 2000 2003
Metropolitan
Bandung 347.105 5079144 5572163 6535266 7009089
Kota Bandung 16.833 1808765 1818694 2136260 2228267
Kota Cimahi 4075 293213 350781 442167 483242
Kab. Bandung 302240 2786461 3127025 3716534 4017582
Kabupaten Sumedang*
• Kec. Cimanggung 4.324 45585 52320 63686 64421
• Kec. Tanjung Sari 8.167 91102 106252 58728 63692
• Kec. Sukasari** 3.805 - - - 28420
• Kec. Jatinangor 2.587 54018 63324 83206 87238
• Kec. Rancakalong 5.074 - 53767 34685 36227
Sumber : BPS, Kotamadya Bandung dalam Angka; Kota Cimahi dalam Angka; Kabupaten Bandung
dalam Angka; Kabupaten Sumedang dalam Angka Tahun1991, 1997 dan 2003; BPS, Sensus
Penduduk 2000; BPS Kabupaten Sumedang, Registrasi Penduduk Akhir Tahun 1997
Keterangan : * Pada tahun 2002 Kecamatan Tanjungsari terpecah menjadi Kecamatan Tanjungsari
dan Sukasari (R4D Kabupaten Sumedang). Berdasarkan data luas wilayah kecamatan dalam
Sumedang dalam Angka 2003, Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari masing-masing mempunyai luas
3.562 Ha dan 47.12 Ha. Oleh sebab itu, dalam penghitungan kepadatan penduduk Kecamatan
Tanjungsari sebelum tahun 2003 luas wilayah Kecamatan Tanjungsari yang dipergunakan adalah
gabungan dari luas Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari setelah tahun 2002. Dalam Studi ini,
Kecamatan Pamulihan yang merupakan Kecamatan yang terbentuk dari gabungan beberapa desa di
Tanjungsari dan Rancakalong tidak diikutsertakan dalam analisis karena keterbatasan data-data
pendukung.
** Merupakan pecahan dari Kecamatan Tanjungsari

Adapun peta jumlah dan kepadatan penduduk dalam rentang waktu dari tahun 1997-
2003 dapat dilihat pada GAMBAR 3 - 14 sampai GAMBAR 3 - 15.

Kelembagaan
Secara administratif, Kawasan Metropolitan Bandung meliputi empat wilayah
Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten Sumedang. Dengan demikian,
termasuk Pemerintahan Propinsi Jawa Barat, pada Metropolitan Bandung terdapat lima
kewenangan administratif daerah. Kelembagaan metropolitan Bandung mengacu pada
Pasal 65 UU No. 5/1974 tentang Pemerintah Daerah; Pasal 87, 88, dan 91 UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Pasal 195 dan 196 UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
83

GAMBAR 3 - 14 Jumlah Penduduk Tahun 1997, 2000, dan 2003

Setiap Daerah Kabupaten/Kota di Wilayah Metropolitan Bandung telah memiliki


sistem kelembagaan tersendiri yang terkait dengan berbagai aspek pembangunan.
Namun, terdapat beberapa lembaga yang tujuan pembentukannya berkaitan langsung
dengan penataan ruang antara lain (Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung,
Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2005):
1. Tim Pengarah (Steering Committee) Pembangunan Kota di Jawa Barat (Kep.Gub
Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 650/Kep.1579-Pemb/87).
2. Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Tingkat Propinsi (SK. Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 050/SK-602-Bapp/1990)
3. Tim Koordinasi Penataan Ruang Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (SK.
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 120.05/SK.1409-Huk/97)
4. Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi Jawa Barat (Keputusan Gubernur
Jawa Barat No. 120.05/Kep.691-ORG/2004)
84

GAMBAR 3 - 15 Kepadatan Penduduk Tahun 1997, 2000, dan 2003

Dalam rangka menjawab berbagai tantangan dalam pengelolaan pembangunan, telah


dijajaki suatu kerjasama antar tingkat pemerintahan yang antara lain:
1. Kerjasama Sinergitas Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Jawa
Barat 2004-2008. Tujuan kerjasama ini adalah untuk memperkuat pelaksanaan
otonomi daerah dan meningkatkan koordinasi serta sinergitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota
2. Kerjasama Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Metropolitan
Bandung. Tujuan kerjasama ini adalah untuk mengoptimalkan daya dukung dan
daya tampung lingkungan serta mensinergikan pengelolaan infrastruktur di wilayah
Metropolitan Bandung.
85

Isu-isu
Beberapa permasalahan dalam pengembangan Metropolitan Bandung sebagaimana
disebutkan dalam Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung (2005) antara lain:
1. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan dan Dampaknya terhadap Kebutuhan
Pengembangan Kawasan Terbangun
• Angka jumlah penduduk di Kawasan Metropolitan Bandung yang meningkat
dari tahun 1991 sebesar + 5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 15 jiwa per
hektar menjadi + 7 juta jiwa pada tahun 2003 dengan kepadatan penduduk 20
jiwa per hektar. Kemudian diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 2025
sebesar + 15 juta jiwa.
• Lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk wilayah Metropolitan Bandung
tersebar di wilayah Kabupaten Bandung (4.017.582 jiwa) sementara sejumlah
besar lainnya terkonsentrasi di Kota Bandung (2.228.267 jiwa).
• Perkembangan penduduk tersebut berimplikasi terhadap perkembangan lahan
terbangun di wilayah tersebut, yaitu penyediaan lahan tambahan untuk
penyediaan perumahan serta sarana pendukung perumahan tersebut. Pada tahun
2003, kepadatan penduduk permukiman di Metropolitan Bandung sebesar 190
jiwa per hektar. Diprediksikan bahwa pada tahun 2025 kepadatan penduduk
permukiman di Metropolitan Bandung sebesar 264 jiwa per hektar.

TABEL 3 - 9 Kepadatan Penduduk Permukiman di Metropolitan


Bandung Tahun 2003
Luas Kawasan Jumlah Kepadatan
Kecamatan/ Permukiman Penduduk netto
Kawasan (Ha) (jiwa) (jiwa/Ha)
METROPOLITAN
BANDUNG 36871 7.009.089 190
Kota Bandung 8.922,00 2.228.267 250
Kota Cimahi 1.860,14 483.242 260
Kabupaten Bandung 23.746,65 4017582 169
Kec. Cimanggung 423,98 64.421 152
Kec. Tanjung Sari 878,71 63.692 72
Kec. Sukasari 243,60 28.420 117
Kec. Jatinangor 491,40 87.238 178
Kec. Rancakalong 304,98 36.227 119
Sumber: Hasil Analisis di dalam Buku Laporan Penunjang Metropolitan
Bandung, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2005
86

2. Sistem transportasi
Menurut Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2005), terdapat
beberapa permasalahan dalam sistem transportasi Kawasan Metropolitan Bandung
antara lain:
a. Keterbatasan tingkat pelayanan jalan meliputi :
• Kemacetan pada beberapa ruas utama di kota inti dan beberapa kota satelit
(Kopo, Soreang, Moh. Toha, Dayeuhkolot), antar kota inti – kota satelit
(Bandung-Lembang, Cimahi-Padalarang) dan antar kota satelit (Rancaekek-
Jatinangor).
• Tingkat pergerakan internal kota inti (Bandung) yang tinggi tidak didukung
dengan kualitas pelayanan jalan internal kota inti.
b. Keterbatasan prasarana pendukung pergerakan berupa terminal utama
meliputi:
• Ketersediaan prasarana transportasi (berupa terminal) yang kurang
memadai
• Tingkat pergerakan angkutan umum yang tinggi dan ketidakteraturan rute
angkutan umum
• Keberadaan terminal bayangan
c. Keterbatasan pelayanan transportasi udara meliputi:
• Keterbatasan panjang landas pacu bandara Husein Sastranegara
• Keterbatasan pelayanan bandara
• Luas dan fasilitas terminal penumpang dan barang yang tidak mendukung
3. Kebutuhan Pengembangan Prasarana Perkotaan
a. Air Bersih meliputi:
• Keterbatasan sumber daya air pada beberapa kawasan:
• Bandung-Cimahi, Padalarang-Ngamprah, Rancaekek-Cicalengka,
Majalaya-Ciparay serta Jatinangor-Tanjungsari dan juga pada beberapa
wilayah perdesaan yang belum tersentuh pembangunan sarana infrastruktur
air bersih dan mendapat tekanan yang berat dari wilayah industri
(Rancaekek, Cicalengka, Ibun, dsb).
• Berdasarkan laporan Rencana Struktur Tata Ruang Metropolitan Bandung
2025, pada tahun 2010, diperkirakan tingkat kebutuhan air telah melampaui
potensi yang dapat dimanfaatkan. Kenaikan terutama untuk rumah tangga
dan kegiatan perkotaan.
87

TABEL 3 - 10 Perbandingan Potensi dan Kebutuhan Air di Metropolitan


Bandung
Potensi Kebutuhan Perbandingan Kebutuhan
Tahun (Juta m3/tahun) (Juta m3/tahun) dan Potensi (%)
2002 1.850 1.710 92,4
2005 1.850 1.843 99,6
2010 1.850 1.985 107,3
Sumber : Rencana Struktur Tata Ruang Metropolitan Bandung 2025 (Bappeda Jawa
Barat, 2005)

b. Air Limbah meliputi:


• saluran drainase tidak optimal karena belum terbangun (terutama di
Kabupaten Bandung dan wilayah Kabupaten Sumedang) atau kurang
terawat.
• Tingginya beban pencemaran industri dan domestik terhadap air
permukaan, serta keterbatasan wilayah pelayanan air limbah off-site
PDAM. Di samping itu, wilayah dengan tingkat ekonomi rendah, seperti di
perdesaan, masih belum memiliki sarana sanitasi yang layak.
• Operasi pemeliharaan yang kurang memadai karena kurangnya tenaga
operasional dalam melakukan pemeliharan rutin dan berkala serta
kurangnya peralatan yang memadai.

TABEL 3 - 11 Proyeksi Produksi Air Limbah di Metropolitan Bandung


Kecamatan/ Jumlah Penduduk Produksi Air Limbah (m3/hari)
Kawasan 2005 2010 2015 2005 2010 2015
Kota Bandung 2369020 2761040 3217931 248747 289909 337883
Kota Cimahi 513767 598784 697869 53946 62872 73276
Kabupaten
Bandung 4271361 4978176 5801953 448493 522708 609205
Sumber: Hasil Analisis di dalam Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung, Dinas
Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2005

c. Drainase meliputi:
• Saluran drainase tidak optimal karena belum terbangun (terutama di Kab.
Bandung dan wilayah Kab. Sumedang) atau kurang terawat sehingga sering
terjadi banjir.
• Pada saat musim hujan tiba, di Kota Bandung hampir tiap hari dilanda
banjir, yang biasanya merupakan banjir bandang yang menyebabkan
banyak ruas jalan terendam air, antara lain pada ruas Jalan K.H. Wahid
Hasyid, Moh. Toha, Buah Batu, Gedebage, Terusan Pasteur, Pasirkoja,
Soekarno Hatta, Kopo Cirangrang, Lengkong Kecil, Gatot Subroto,
Turangga, Laswi, Pelajar Pejuang, dan Katamso. Banjir ini selain
88

diakibatkan oleh keterbatasan kondisi lahan juga disebabkan kebiasaan


penduduk yang membuang sampah ke selokan atau sungai sehingga
saluran-saluran air di jalan tidak berfungsi.
d. Persampahan meliputi (Harian Pikiran Rakyat, 6 Mei 2006):
• Ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) yang tidak
memadai
• Sistem pengolahan sampah yang belum terpadu karena membutuhkan
kerjasama lintas kota/kabupaten
• Timbulan sampah di Metropolitan Bandung akan meningkat hingga dua
kali lipat dari tahun 2003, yakni mencapai 27.389 meter kubik per hari atau
setara dengan 5.965 ton per hari pada tahun 2025. Diperkirakan akan terjadi
penumpukan sampah di TPA 24.966.074 meter kubik pada akhir tahun
2015 dan 58.878.433 meter kubik pada akhir tahun 2025.

TABEL 3 - 12 Proyeksi Timbulan Sampah Metropolitan Bandung


Timbulan Sampah m3/hari
Wilayah 2003 2005 2010 2015 2020 2025
Kota Bandung 7.500 7.974 9.293 10.831 12.623 14.712
Kota Cimahi 1.172 1.246 1.452 1.693 1.973 2.299
Kab. Bandung 5.247 5.578 6.502 7.577 8.831 10.293
Kab. Sumedang 43 46 54 63 73 85
Total 13.962 14.844 17.301 20.164 23.500 27.389
Sumber: Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung 2005.

4. Keterbatasan Daya Dukung Alam meliputi:


a. Keterbatasan Daya Dukung Lahan yaitu
• Perkembangan penduduk yang terus meningkat diperkirakan pada tahun
2015 akan melebihi daya dukung dan daya tampung ruang di Metropolitan
Bandung (lihat TABEL 3 - 16).
b. Keterbatasan Daya Dukung Sumber Daya Air meliputi:
• Perkembangan penduduk yang terus meningkat menyebabkan pada masa
yang akan datang akan melebihi ketersediaan air bersih
• Wilayah pelayanan PDAM Kota Bandung relatif masih rendah
c. Keterbatasan Daya Dukung Lahan Pertanian
• Alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian akan menurunkan
produksi pertanian
• Konversi hutan akan menyebabkan permasalahan lingkungan meningkat
89

18,000

Jumlah Penduduk (Ribu Orang)


16,000 proyeksi pertumbuhan penduduk

14,000
12,000
10,000 daya tampung optimal
8,000 daya tampung minimal
6,000 `
4,000
2,000
0
2005 2010 2015 2020 2025 2030
Tahun

GAMBAR 3 - 16 Daya Tampung vs. Kecenderungan Perkembangan


Penduduk Metropolitan Bandung
Sumber: Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung 2005

5. Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang


• Meluasnya kegiatan perkotaan di kawasan penyangga
• Perkembangan kawasan terbangun yang sangat tinggi ditandai dengan
adanya penambahan kawasan terbangun seluas 13.600 hektar dalam kurun
waktu dari tahun 1987-1993 atau rata-rata 2266 hektar per tahun
• Meluasnya kegiatan perkotaan secara tidak terstruktur, terutama di titik-titik
pertumbuhan perkotaan (di bagian selatan Jalan Tol Padalarang Cileunyi
dan Kawasan Bandung Timur) sehingga sulit dilayani dan tidak efisien.
• Perkembangan kawasan terjadi secara sporadis dan tidak mempunyai pola
tertentu yang dapat dilihat dari pusat kegiatan dan jasa yang tidak sesuai
dengan hirarki pusat maupun sub pusat
• Pemusatan kegiatan di Kota Bandung yang menampung 70 sampai 95
persen penduduk kawasan pinggiran. Kota Bandung dan kota-kota kecil di
sekitar Bandung mengkonsumsi fasilitas perbelanjaan, pendidikan
menengah ke atas, dan rekreasi yang ada di pusat Kota Bandung
• Kota-kota kecil di sekitar Bandung yang diharapkan berfungsi sebagai
counter magnet secara fungsional belum terbentuk.
6. Kelembagaan meliputi:
• Belum adanya keterpaduan dan koordinasi lintas sektor serta antara lintas
wilayah dan sektor
• Lemahnya sistem dan mekanisme perijinan sehingga banyak terjadi
penyimpangan pemanfaatan ruang
90

• Rentang kendali kelembagaan tidak bisa mengakomodasi permasalahan


yang terus berkembang
• Terbatasnya sosialisasi peraturan perundangan yang ada
• Potensi konflik kewenangan antar sektor dan antar tingkat pemerintahan
• Ketidakjelasan dari peran yang digariskan dalam kerjasama yang tercermin
dari rancunya pengaturan mengenai siapa berbuat apa, kapan, dimana dan
seberapa jauh melakukan peran tersebut.
• Terbatasnya anggaran yang tersedia di masing-masing daerah.

SEMARANG

Sejarah
Dalam kurun waktu tahun 1975 sampai dengan tahun 2000, penduduk kota-kota di Pulau
Jawa bertambah lebih dari 20 juta jiwa. Hal ini disebabkan terbatasnya daya dukung
tanah pertanian di pulau Jawa sehingga kota-kota di pulau Jawa harus menampung lebih
dari 50 persen dari jumlah penduduknya. (RUTRK metropolitan Semarang 1988).
Semarang merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Jawa. Sebagai pusat
perdagangan, khususnya beras, Semarang berkembang menjadi kota yang padat
penduduknya (Valentijn 1724 dalam Stevens 1986). Perpindahan administratif yang
pernah terjadi di Semarang seperti diungkapkan oleh Roorda, 1850 (dalam Stevens
1986):
“The old ‘Kasteel’ had been demolished in 1824 and replaced by a modest fort-like
buiding ‘Paris van Oranje’ or Poncol. In the time, the city had become an important
trade-centre for java`s interior. It was not longer situated near the coast but farther
inland, where new buildings were constructed in the surroundings of Bojong. The
removal of colonial administration to the more healthy Bojong wa the beginning of the
transfer of residential quarters fro the old urban nucleus”.
Pada akhir abad ke 18 sampai permulaan abad ke 19, Semarang menjadi semakin
berkembang dengan pembukaan jalur kereta api kearah timur menghubungkan
Semarang-Joana dan kearah barat menghubungkan Semarang–Cirebon, serta
perdagangan internasional yang perannya semakin penting. Kedudukan Metropolitan
Semarang dalam konstelasi regional sangat strategis karena adanya keuntungan lokasi,
yaitu sebagai simpul atau transit point wilayah. Hal itu menjadikan Semarang
berkembang sebagai simpul jasa dan distribusi serta gerbang menuju wilayah lain.
Fungsi itu didukung oleh keberadaan Pelabuhan Samudera Tanjung Emas dan Bandara
A Yani.
Pada tahun 1984 disusun RTRW Metropolitan Semarang yang merupakan tindak
lanjut dari hasil diskusi pengembangan Wilayah Semarang, Demak, Kendal, dan
Ungaran. Diskusi tersebut merupakan hasil kerjasama antara Bappeda Dati I Jawa
Tengah dengan Pusat Riset dan Pengembangan Universitas Diponegoro. Diskusi tersebut
menghasilkan rumusan sebagai berikut:
• Semarang, Kendal, dan Ungaran dipandang sebagai satu kesatuan wilayah
91

• Tindak lanjut penanganan satuan pengembangan wilayah tersebut dibawah


koordinasi Bappeda Dati I dan Dati II
• Untuk menunjang program pengembangan wilayah Semarang dan sekelilingnya
diperlukan penelitian dan studi operasional lebih lanjut.
Kota Semarang dalam perkembangnya telah melampaui batas wilayah
adminstrasinya. Kondisi ini memerlukan penanganan yang koordinatif di masing-
masing wilayah sekitarnya. Luas Metropolitan Semarang secara tentatif diperkirakan
seluas 93.623,83 hektar, yang antara lain mencakup seluruh wilayah administrasi Kota
Semarang, sebagian wilayah Kendal (Kecamatan Kaliwungu dan Boja), sebagian
wilayah Kabupaten Semarang (Kecamatan Ungaran, Pringapus, Bergas), dan sebagian
wilayah Demak (Mranggen, Sayung dan Karangawen).

TABEL 3 - 13 Pembagian Wilayah Administratif Metropolitan Semarang


Kabupaten/ Luas Kabupaten/ Luas
kota Kecamatan (Ha) kota Kecamatan (Ha)
Mijen 6.215,25 Kab. Boja 6.409
Kota Gunungpati 5.399,08 Kendal Kaliwungu 10.769
Semarang Semarang
Selatan 848,05 Luas 17.178
Banyumanik 2.513,06
Gajah
Mungkur 764,98 Ungaran 6.228,64
Kab.
Genuk 2.738,44 Semarang Pringapus 6.302,09
Pedurungan 2.072,00 Bergas 4.758,21
Gayamsari 549,47 Luas 17.288
Semarang
Timur 770,25
Kab.
Candisari 555,51 Demak Mranggen 7.221,7
Tembalang 4.420,00 Sayung 7.869,2
Semarang
Utara 1.133,28 Karangawen 6.695,6
Semarang
Tengah 604,99 Luas 21.786,5
Semarang
Barat 2.386,7
Ngaliyan 3.269,98
Tugu 3.129,35
Luas Metropolitan
Luas 37.370,39 Semarang 93.623,83
Sumber: www.pu.go.id 2006
92

Struktur Ruang
Metropolitan Semarang merupakan wilayah metropolitan yang terletak di Jawa Tengah
dengan batas administrasi serta deliniasi wilayah sebagai berikut:
• Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
• Sebelah selatan dengan Kecamatan Bawen (Kabupaten Semarang)
• Sebelah barat dengan Kecamatan Brangsong Singorojo (Kab. Kendal)
• Sebelah timur dengan Kecamatan Karang Tengah dan Tegowanu (Kab. Demak)
Dalam perwujudan fisiknya struktur kota dapat dirumuskan sebagai satu kota atau
dapat berupa satu kota inti dengan satelit-satelitnya. Pada umumnya, kota ini
berkembang karena adanya hubungan antara dua atau lebih kota inti oleh jaringan
transportasi. Wilayah ini meliputi kota-kota utama, kawasan peri-urban dan kawasan
campuran kegiatan rural-urban. Hal ini juga berlaku pada wilayah Metropolitan
Semarang dengan Kota Semarang merupakan kota inti, dengan kota-kota satelitnya yaitu
Ungaran, Demak, dan Kendal.

GAMBAR 3 - 17 Kawasan Metropolitan Semarang

Terbentuknya Metropolitan Semarang merupakan akibat dari pesatnya


perkembangan yang terjadi di Kota Semarang dan menyebar ke wilayah pinggirannya,
yaitu Kab. Semarang, Kab. Kendal, dan Kab. Demak. Letak Kawasan Metropolitan
Semarang ini sangat strategis, baik dalam skala intra dan antar wilayah maupun dalam
skala nasional. Secara intra wilayah, kawasan ini jelas akan sangat besar peranannya
sebagai pusat distribusi produk-produk yang berasal dari daerah perdesaan karena
berada pada persimpangan jalur pantura. Adapun dalam skala antar wilayah dan
nasional kawasan ini lebih banyak berperan sebagai tempat transit perdagangan dan
93

jasa dari wilayah Barat dan Timur Jawa serta pulau-pulau lainnya terutama
Kalimantan. Struktur Metropolitan Semarang dapat dilihat pada gambar berikut.

GAMBAR 3 - 18 Struktur Metropolitan Semarang


Cat. : peta dasar diambil dari Google Earth 2006

Pada gambar di atas terlihat bahwa kawasan terbangun dan aktivitas perkotaan
terpusat di Kota Semarang sebagai wilayah inti dan juga tersebar sepanjang jaringan
jalan yang menghubungkan wilayah inti dengan sub pusat di wilayah tepi. Hal ini
menunjukkan adanya pola linear yang menjari dari wilayah inti ke wilayah tepi.
Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah
Kedungsepur ditetapkan sebagai kawasan tertentu. Tata ruang yang saling bersinergi itu
diharapkan dapat mendukung perkembangan Semarang sebagai pusat pertumbuhan
Propinsi Jawa Tengah dan daerah-daerah pinggirannya sebagai wilayah pendukung.
Dalam konstelasi regional maupun sub-regional, Kawasan Metropolitan Semarang
menurut RTRWN maupun RTRWP Jateng, ditetapkan sebagai pusat kawasan andalan
94

Kedungsepur (Kendal, Demak, Kabupaten Semarang, Grobogan, Kota Semarang dan


Salatiga). Yang perlu diwaspadai adalah, begitu proses aglomerasi industri di
Metropolitan Semarang mencapai skala ekonomi maksimum, maka perluasan setelah
titik tersebut hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi kota maupun daerah
sekitarnya.

Penduduk
Pertumbuhan penduduk di semarang terus mengalami peningkatan. Khusus untuk kota
inti Semarang pertumbuhannya adalah sekitar 2,01 persen per tahun pada sekitar tahun
1980-1990 dan menurun menjadi sekitar 1,82 persen per tahun pada tahun 1990-1995.
Pada periode ini, pemerintah daerah terlihat sukses mengendalikan pertumbuhan
penduduk, sekalipun Semarang telah berkembang menjadi salah satu pusat pertumbuhan
ekonomi di Indonesia.

TABEL 3 - 14 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Metropolitan Semarang


Jumlah Penduduk Kepadatan penduduk
Kabupaten Kecamatan 1983 2002 1983 2002
Mranggen 67940 126735 941 1755
Karangawen 52935 77891 791 1163
Demak Sayung 50561 90926 643 1155
Kab Pringapus-Bergas 85538 92547 631 736
Semarang Ungaran 53394 115082 971 1556
Mijen 30138 38843 531 6456
Gunung Pati 37521 58130 729 8400
Banyumanik 106834 7179
Tembalang 106090 12550
Genuk 80780 63904 1339 4684
Semarang Utara 171389 122929 14366 3725
Semarang Tengah 73178 76810 878 1244
Semarang Timur 202617 84044 7011 1731
Gayamsari 64104 942
Padurungan 141695 7850
Semarang Selatan 195218 84103 3098 1909
Candisari 78336 1167
Gajahmungkur 58482 1199
Semarang Barat 246805 148753 7969 9505
Kota Ngaliyan 92548 8098
Semarang Tugu 42895 24400 1077 2042
Boja 46608 63347 727 1010
Kendal Kaliwungu 69826 91515 648 1274
95

Dalam jangka waktu 20 tahun, penduduk kawasan metropolitan Semarang


mengalami peningkatan sebesar 50 persen, belum ditambah dengan wilayah lain di
sekitarnya. Hal ini menggambarkan kawasan Metropolitan Semarang ini diperkirakan
akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kota yang dinamis.
Jika dilihat arah perkembangan jumlah penduduk di kawasan Metropolitan
Semarang, penduduk dikawasan ini berkembang ke arah Selatan dan Timur dari wilayah
inti yaitu Kota Semarang. Sebelah timur Kota Semarang adalah Kabupaten Demak,
sebelah Barat adalah Kabupaten Kendal, dan selatan adalah Kabupaten Semarang.
Perkembangan ini dapat terlihat jelas dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan pada
GAMBAR 3 - 19. Sementara itu, kepadatan penduduk kawasan Metropolitan Semarang
menunjukkan masih terpusatnya penduduk di Kota Semarang. Kepadatan penduduk
kawasan Metropolitan Semarang dapat dilihat pada GAMBAR 3 - 20.

GAMBAR 3 - 19 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan Semarang tahun 1983


dan 2002
96

GAMBAR 3 - 20 Perkembangan Kepadatan Penduduk Metropolitan Semarang


tahun 1983 dan 2002

Kelembagaan
Badan kerjasama dalam pengelolaan dan pengembangan infrastruktur di wilayah
metropolitan Semarang belum terbentuk, tetapi langkah-langkah ke arah pembentukan
badan kerjasama tersebut telah dilakukan. Salah satunya adalah telah dilakukan studi
tentang “Fasilitasi Kerjasama antara Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Kendal, dan Kabupaten Demak” oleh Dinas Permukiman dan Tata Ruang propinsi Jawa
Tengah tahun 2003. Dalam studi tersebut telah dibuat konsep “Kesepakatan Bersama
antara Pemerintah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan
Kabupaten Demak” tentang “Kerjasama di bidang Pembangunan Perkotaan antara
Pemerintah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten
Demak”.
Contoh lainnya adalah dengan terbentuknya suatu kerjasama di Metropolitan
Semarang, yaitu antara Pemerintah Kota Semarang dan Kabupaten Kendal tentang
“Pemanfaatan air bersih di Kecamatan Boja Kabupaten Kendal” Kesepakatan tersebut
tertuang di dalam surat perjanjian No. 690/5 dan No. 690/1795A tentang “Perpanjangan
Kerjasama Pemanfaatan Air Bersih di Kecamatan Boja Kabupaten Kendal antara
Pemerintah Kabupaten Kendal dan Pemerintah Kota Semarang” yang ditetapkan tanggal
23 Mei 2003.
Selain itu, terdapat pula penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of
Understanding/MoU) oleh enam kepala daerah dari Kabupaten Kendal, Kabupaten
Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan, Kota Semarang, dan Kota Salatiga.
Hal ini dilakukan untuk memperbarui perjanjian kerjasama antar daerah di wilayah
97

Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Salatiga, dan Purwodadi) yang


berarti memulai babak baru yang periodenya telah habis beberapa tahun sebelumnya.
Naskah perjanjian kerja sama tersebut berisi kesepakatan menjalin kemitraan di bidang
tata ruang, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya alam serta lingkungan hidup,
industri dan perdagangan, pembangunan sarana dan prasarana, perhubungan dan
pariwisata, kebersihan dan kesehatan, pertanian dan pengairan, pendidikan dan
kebudayaan, kependudukan, ketenagakerjaan, masalah sosial, serta keamanan dan
ketertiban.
Kerja sama wilayah Kedungsepur yang dirintis sejak tahun 1998 itu merupakan
upaya untuk menciptakan keterpaduan dan sinergi antardaerah. Hal itu dilakukan agar
pembangunan daerah dapat berjalan secara terintegrasi dan seimbang, sehingga
kesenjangan antara daerah satu dengan yang lain akan semakin berkurang.

Isu-Isu
Pesatnya perkembangan yang terjadi tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah.
Secara garis besar, permasalahan yang dihadapi oleh Metropolitan Semarang dapat
ditinjau dari dua pendekatan, yaitu struktur ruang dan sistem prasarananya.
Secara keruangan, struktur metropolitan yang terbentuk belum dapat mencerminkan
sebuah struktur ruang yang ideal karena masih terlihat penumpukan kegiatan di kota
utama dan belum terlihat adanya hubungan hierarkis antar pusat-pusat pelayanan.
Apabila diperhatikan, konsentrasi perkembangan masih berada di Kota Semarang
sedangkan kota-kota di sekitarnya belum berkembang dan mengimbangi Kota Semarang.
Bahkan yang terjadi adalah proses pembangunan memita (ribbon development) di
sepanjang jalur pantura (lintas barat – timur). Hal ini apabila tidak diperhatikan akan
menimbulkan beban berat bagi jaringan jalan wilayah yang pada akhirnya kemacetan
yang terjadi akan lebih parah.
Keberadaan ruang terbuka sebagai pembatas perkembangan antara kota satu dengan
lainnya layak untuk dipertahankan untuk menghindari perkembangan yang tidak
terkendali. Selain itu, RTH ini juga akan dapat berfungsi sebagai wilayah lindung
sehingga perkembangan yang terjadi dapat berkelanjutan.
Permasalahan yang dihadapi masing-masing sistem prasarana antara lain drainase
berupa menurunnya permukaan tanah yang mengakibatkan rob serta kurangnya
perawatan. Persampahan berupa rendahnya cakupan pelayanan dan kurangnya armada
pengangkut sampah. Air limbah terkait dengan rendahnya cakupan sistem pelayanan
dan terjadinya pencemaran air tanah serta sungai. Sementara itu, permasalahan
transportasi yang terjadi berupa rendahnya aksesibilitas sebagai akibat dari tingginya
volume kendaraan dan rendahnya kualitas jaringan jalan wilayah.
Jika ditinjau secara internal dan eksternal, Kawasan Metropolitan Semarang secara
umum juga akan menghadapi berbagai permasalahan akibat perkembangan kawasan
sekitarnya. Masalah internal meliputi tata guna lahan dan limitasi kondisi alam.
Permasalahan tata guna lahan meliputi:
1. Kecenderungan perkembangan kawasan permukiman
Pertumbuhan kawasan ini cenderung menuju ke arah luar kota. Padahal, lahan di
luar kota semula merupakan lahan pertanian dan hutan lindung/resapan air.
Sementara itu, arah perkembangan permukiman di dalam kota mengindikasikan
98

adanya pertambahan jumlah kawasan permukiman kumuh, terutama di sekitar pusat


kota, pusat perdagangan dan bantaran sungai
2. Kecenderungan perkembangan kawasan industri
Kawasan ini cenderung berkembang menuju arah luar kota di perbatasan dengan
Kabupaten Semarang, Kendal dan Demak.
3. Keberadaan Kawasan Lindung
Permasalahan ini terutama menyangkut pengelolaan kawasan lindung sekitar
Gunung Ungaran yang semakin memprihatinkan, mengingat fungsi kawasan
tersebut sangat penting sebagai kawasan penyangga untuk Kota Semarang bawah.
Sementara itu, permasalahan keterbatasan kondisi alam meliputi:
1. Daerah rawan rob berada di pesisir
2. Daerah rawan banjir, terutama kawasan kota Semarang bagian bawah
3. Daerah rawan gerakan tanah. Beberapa daerah patahan terdapat di wilayah
Ngaliyan, Gunungpati, Gombel, dan Tembalang
4. Daerah ambles (land subsidence), umumnya berada di sepanjang kawasan pesisir
5. Daerah lereng dengan kemiringan di atas 40 persen. Kawasan ini sebagian besar
berada di wilayah kota bagian selatan
Adapun masalah eksternal, yang umumnya terjadi di wilayah perbatasan adalah
sebagai berikut:
1. Kawasan Perbatasaan Kota Semarang-Sayung-Mranggen
Adanya pertumbuhan industri dan pemukiman baru yang pesat di kawasan
perbatasan menuju wilayah Demak. Di wilayah perbatasan Demak ini sebagian
besar masih berupa lahan pertanian
2. Kawasan perbatasan Kota Semarang-Kaliwungu
Pertumbuhan kawasan industri dan permukiman baru di kawasan ini belum terarah,
sehingga dikhawatirkan akan merubah pola hutan lindung dan pertanian yang ada
3. Kawasan perbatasan Kota Semarang-Ungaran
Pertumbuhan kawasan permukiman baru yang mengarah ke perbatasan dengan
Kabupaten Semarang yang sebelumnya merupakan daerah hutan dan pertanian
penyangga kawasan kota bawah.
99

MAMMINASATA

Sejarah
Wilayah Metropolitan Mamminasata, atau juga disebut Metropolitan Mamminasata,
adalah akronim dari Sungguminasa, Maros, Makassar dan Takalar yang merupakan
kawasan pengembangan yang terbentuk akibat pengembangan kota Makassar yang
demikian pesatnya sehingga terjadi aglomerasi antara tiga kota utama lainnya.
Wilayahnya meliputi Kota Makassar, Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar yang
dibentuk berdasarkan SK Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003. Wilayah
Mamminasata mencakup seluruh kecamatan di Kota Makassar dan Kabupaten Takalar,
kecuali 2 dari 14 kecamatan di Maros dan 6 dari 16 kecamatan di Gowa. Pengecualian
tersebut dilakukan mengingat jarak lokasi kecamatan yang jauh dari wilayah
metropolitan. Luas wilayah Mamminasata adalah 2.462,3 kilometer persegi (246.230
hektar) dengan total jumlah penduduk sekitar 2,06 juta jiwa (2003).
Kota Makassar mendominasi semua kegiatan perkotaan di Kawasan Metropolitan
Mamminasata. Jadi, Kota Makassar, yang saat ini juga berkembang sebagai pintu
gerbang bagi pembangunan Indonesia di Kawasan Timur, adalah cerminan dari Kawasan
Metropolitan Mamminasata. Di dalam sistem perkotaan nasional, Kota Makassar sebagai
kota utama dalam lingkup Metropolitan Mamminasata berperan sebagai Pusat Kegiatan
Nasional (PKN). Hal ini berarti cakupan pelayanan Kota Makassar menjangkau wilayah
nasional dan berfungsi sebagai pusat pelayanan produksi, distribusi dan jasa serta
berfungsi sebagai simpul transportasi untuk melayani wilayah nasional atau beberapa
propinsi.
Secara administratif kawasan ini mempunyai batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah utara: : Kabupaten Pangkep
- Sebelah timur: : Kecamatan Persiapan Cendrana (Kabupaten
Maros)
- Sebelah selatan : Kecamatan Bungaya (Kabupaten Gowa) dan
Kecamatan Magerabombang (Kabupaten Takalar)
- Sebelah barat : Selat Makassar

Struktur Ruang
Berdasarkan kondisi perkembangan perkotaan yang saat ini terbentuk sebagaimana
ditunjukkan oleh peta satelit pada GAMBAR 3 - 21, konsep struktur kawasan
Metropolitan Mamminasata dapat digambarkan sebagai berikut :
• Poros Utara, menghubungkan kota utama (Makasar) dengan Kota Maros.
• Poros Timur, menghubungkan kota utama (Makasar) dengan Kota Sungguminasa.
• Poros Selatan, menghubungkan kota utama (Makasar) dengan Kota Takalar.
Konsep struktur tersebut menjelaskan bahwa seluruh orientasi kegiatan di kawasan
Metropolitan Mamminasata ini masih terpusat di Kota Makasar. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat tidak atau belum adanya kegiatan yang dapat menarik pergerakan
secara besar ke kota-kota satelit tersebut. Sketsa kondisi struktur ruang perkotaan
sekarang di Kawasan Metropolitan Mamminasata dapat dilihat pada GAMBAR 3 - 22.
100

GAMBAR 3 - 21 Peta Satelit Metropolitan Mamminasata


Sumber: Google Earth 2006

GAMBAR 3 - 22 Sketsa Struktur Metropolitan Mamminasata


Sumber: Dinas Pekerjaan Umum 2006
101

Penduduk
Jumlah penduduk Indonesia adalah 215,28 juta jiwa (2003). Sebanyak 7,1 persen di
antaranya berada di wilayah Sulawesi. Lebih dari setengah jumlah penduduk Sulawesi
berada di Propinsi Sulawesi Selatan (Lihat TABEL 3 - 1).

TABEL 3 - 15 Perbandingan Jumlah Penduduk (2003)


Sulawesi Wilayah
Indonesia
Selatan Sulawesi
Jumlah Penduduk (2003) (‘000) 8.253 15.382 215.276
Bagian Penduduk (Sulawesi) 53,7% - -
Bagian Penduduk (Indonesia) 3,8% 7,1% -
Sumber: BPS, 2004

Kawasan Metropolitan Mamminasata secara keseluruhan berpenduduk 2,06 juta


jiwa (2003) dengan luas wilayah 246.230 hektar, yang mencakup kota Makassar, dua
belas kecamatan di Kabupaten Maros, sepuluh kecamatan di Kabupaten Gowa, dan
Kabupaten Takalar. Lebih dari setengah jumlah penduduk Mamminasata tinggal di
Makassar sedangkan di Gowa 19,4 persen, di Maros 12,7 persen, dan di Takalar 11,6
persen (lihat TABEL 3 - 16).

TABEL 3 - 16 Luas dan Jumlah Penduduk Wilayah Metropolitan


Mamminasata (2003)
Luas
Kabupaten/Kota (ha)* (%) Penduduk** (%)
Makassar (Seluruh 14 Kecamatan) 18.057 7,3 1.160.011 56,3
Maros (12 dari 14 Kecamatan) 103.902 42,2 261.732 12,7
Gowa (10 dari 16 Kecamatan) 72.325 29,4 399.698 19,4
Takalar (Seluruh 7 Kecamatan) 51.947 21,1 239.425 11,6
Total 246.230 100,0 2.060.866 100,0
Sumber: Tim Studi JICA *; BPS**

Penduduk Mamminasata meningkat tajam dengan angka pertumbuhan rata-rata per


tahun sebesar 1,9 persen antara tahun 2000 dan 2003. Dari empat kabupaten/ kota, Gowa
memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 2,5 persen, sedangkan yang
lainnya masih di bawah 2 persen (yakni, Makassar 1,8 persen; Maros 1,8 persen; Takalar
1,4 persen).

Kelembagaan
Di samping organisasi-organisasi pemerintahan konvensional yang telah ada di tiap
kabupaten/kota, khususnya berupa Bappeda dan Dinas Tata Ruang, terdapat pula
beberapa badan yang sifatnya lintas kabupaten/ kota. Pertama adalah Badan Kerja Sama
Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKSPMM) yang dibentuk sesuai dengan SK
Gubernur No. 860-XII-2003 yang diterbitkan dalam rangka untuk memenuhi Peraturan
Daerah No. 10/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Metropolitan Mamminasata.
Badan ini bertugas melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang
102

dalam kawasan metropolitan Mamminasata. Di samping diketuai oleh wakil gubernur


Sulawesi Selatan, sejumlah pejabat di lingkungan Dinas Tata Ruang Propinsi Sulawesi
Selatan pun menduduki kesekretariatan badan ini.
Kedua, Departemen Dalam Negeri juga mencoba untuk membentuk Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Badan yang dibentuk berdasarkan
Kepmen No. 147/2004 ini bertugas mengkoordinasikan, memadukan dan mensinergikan
penataan ruang daerah-daerah di Kawasan Metropolitan Mamminasata. Hal ini
dilakukan dengan cara mengendalikan proses perencanaan dan penerapan dokumen-
dokumen perencanaan. Namun, SK tersebut tidak menyebutkan kewenangan BKPRD
dalam mengendalikan Bappeda atau dinas-dinas terkait. Dengan kata lain, penjelasan
fungsi-fungsi BKPRD tidak memperlihatkan kekuatan peran koordinasi BKPRD atas
Bappeda dan Dinas. Namun, hal lain yang perlu dicatat adalah BKPRD berupaya
memadukan partisipasi publik dalam pelaksanaan tugasnya.

Isu-isu
Sejalan dengan pesatnya perkembangan Kota Makassar, perkembangan Kawasan
Metropolitan Mamminasata juga diikuti dengan berbagai persoalan di bidang
lingkungan, transportasi, kelangkaan sarana dan prasarana permukiman, sosial dan
ekonomi. Persoalan tersebut saling berkaitan erat dan tidak dapat dibatasi oleh batas
administrasi sehingga tidak dapat lagi dilihat sebagai persoalan masing-masing kota
melainkan dalam sistem metropolitan yang terpadu.
Isu yang paling penting di wilayah Metropolitan Mamminasata adalah perlindungan
ekosistem dan lingkungan. Semakin tinggi tingkat kerusakan, maka semakin besar biaya
yang dibutuhkan untuk pemulihannya. Sejumlah ekosistem bahkan tidak bisa dipulihkan.
Selain itu, aspek kenyamanan perkotaan juga harus dipertimbangkan, karena masyarakat
mengharapkan kondisi lingkungan perkotaaan dan pedesaan yang lebih nyaman dan
lebih menyenangkan. Limbah hasil kegiatan sosial ekonomi harus dikelola dengan baik.
Oleh sebab itu, RTRW Mamminasata seharusnya mencurahkan lebih banyak perhatian
pada aspek ekosistem, kenyamanan, dan lingkungan di daerah.
Isu wilayah lain di Mamminasata adalah produktivitas yang relatif rendah dalam
berbagai kegiatan ekonomi. Sumber daya lokal relatif terbatas, utamanya di daerah
pertanian. Sebagian besar produk pertanian dipasarkan dengan tingkat pengolahan yang
terbatas. Misalnya, sebagian besar kakao diekspor ke Surabaya dan ke pasar luar negeri
masih dalam bentuk biji mentah. Meskipun sejumlah gudang berlokasi dekat pelabuhan
Makassar, namun nilai tambah pergudangan masih relatif rendah. Pelabuhan Makassar
dianggap sebagai pelabuhan “pusat” untuk kawasan Timur Indonesia. Namun, pelabuhan
ini tidak berfungsi sebagai “pusat” logistik yang memiliki kontribusi dalam perbaikan
ekonomi kawasan Makassar. Oleh karena itu, rencana tata ruang Mamminasata
sebaiknya dilaksanakan dengan lebih memperhatikan peningkatan nilai tambah
ekonomis di daerah ini.
Isu-isu lain yang terkait prasarana antara lain dijelaskan sebagai berikut:

Air Bersih
Pelayanan PDAM saat ini baik dari segi kualitas maupun kuantitas masih sangat
terbatas. Secara kuantitas baru melayani hanya rata-rata 23 persen dari total potensi
103

sambungan rumah tangga. Secara kualitas, pelayanan air bersih yang diberikan kepada
pelanggan masih jauh dari harapan konsumen baik dari segi jumlah maupun kualitas air
yang diperoleh. Demikian juga tingkat kebocoran yang masih tinggi yaitu di atas 50
persen sebagai akibat dari kelemahan pengelolaan.

Transportasi Darat
Perkembangan kegiatan perkotaan di kawasan Mamminasata yang sangat cepat dalam 5
tahun terakhir ini mengakibatkan volume lalu lintas yang semakin tinggi. Terdapat
beberapa lokasi seperti Makassar – Maros (Jalan Urip Sumaharjo), Koridor Makassar –
Sungguminasa (Jalan Sultan Alaudin) dan Koridor Urip Sumaharjo ke arah pusat kota
menjadi lokasi kemacetan yang cukup berarti.

Perumahan
Perkembangan daerah permukiman yang tidak terencana dengan baik mengakibatkan
banyak daerah perumahan untuk tingkat menengah – rendah menjadi kawasan kumuh.
Hal ini diakibatkan prasarana dan fasilitas yang tidak memadai, yaitu antara lain jalan,
lingkungan, air bersih dan saluran drainase.

Banjir
Pengelolaan sistem saluran drainase mengakibatkan sering banjir pada daerah tertentu.
Hal ini diakibatkan antara lain semua saluran drainase bermuara ke Sungai Tallo. Banjir
ini juga diakibatkan oleh pembangunan perumahan skala besar di kawasan segitiga
antara sungai Tallo, Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Ir. Sutami.

Persampahan
Masalah sampah menjadi salah satu perhatian utama dalam pengelolaan perkotaan di
Makassar dan Mamminasata. Pengelolaan sampah yang kurang memadai
mengakibatkan masih banyak sampah di daerah permukiman yang tidak dapat diangkut.
Hal ini diakibatkan angkutan armada sampah yang masih kurang. Demikian juga
kapasitas dan lokasi TPA yang sudah tidak memadai lagi memerlukan pengelolaan yang
serius.
104
4

Persoalan dan Tantangan


Metropolitan di Indonesia

PERSOALAN DAN TANTANGAN UMUM

Seperti halnya negara maju dan negara-negara yang kemudian berkembang, gejala
penumpukan modal, penduduk, fungsi, pelayanan, kemudahan, dan lainnya, demikian
pula persoalan dan tantangan di kota-kota metropolitan terjadi juga di Indonesia (Djamal
1993). Kota-kota metropolitan tumbuh dengan pesatnya melebihi antisipasi para
perencana, pengambil keputusan kebijakan, manajer, politisi, dan ahli-ahli perkotaan.
Seakan-akan tidak ada kekuatan dan kemampuan yang dapat menghentikan tumbuh dan
berkembangnya kota-kota metropolitan sampai suatu saat membangkitkan tuntutan
kebutuhan (Lo dan Yueng 1998) untuk membahas persoalan dan tantangan metropolitan
di Indonesia seperti dikupas secara panjang lebar dan mendalam dalam buku ini. Yang
jelas, hadirnya persoalan dan tantangan metropolitan di Indonesia adalah suatu fakta
yang harus diterima. Tidak banyak manfaatnya untuk mempersoalkan lagi apakah
misalnya terdapat kelalaian atau kecerobohan dalam kebijakan publik sehingga terjadi
kota-kota metropolitan dengan persoalan dan tantangan yang dihadapi sekarang dan
yang masih harus dihadapi terus untuk jangka waktu yang cukup panjang.

Ciri dan Sikap


Ciri persoalan dan tantangan metropolitan adalah: skalanya yang besar, keterkaitannya
yang kompleks, tingkat kesulitan dan kecanggihannya yang tinggi. Timbullah keraguan
apakah suatu saat tumbuh dan berkembangnya wilayah metropolitan dapat dibatasi dan
apakah dapat tumbuh dan lahir keterampilan dan kemampuan untuk mengatasi dan
mengelolanya? Keraguan menumbuhkan sikap pesimisme dan fatalisme menghadapi;
pada sisi lain, keyakinan dan kepercayaan bahwa suatu saat bangsa kita akan dapat
memanfaatkan energi dan inersia dari pertumbuhan dan perkembangan wilayah
metropolitan untuk kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat kita akan
menumbuhkan optimisme. Namun, optimisme yang tidak berlandaskan pada realitas
serta prospek gambaran yang jelas akan masa depan yang cerah akan kehidupan wilayah
106 Metropolitan di Indonesia

metropolitan adalah suatu fatamorgana yang tidak banyak manfaatnya. Semua pemangku
kepentingan masa depan bangsa dan nasib wilayah perkotaan kita mau tidak mau harus
mencurahkan segenap pemikiran dan akal untuk mencari jejak jalan yang paling mampu
dilakoni dan harus menjadi panduan kemana semua wilayah kota metropolitan akan
menuju dan dapat dilabuhkan.

Skala Persoalan dan Jakarta

Skala persoalan dan tantangan pengelolaan metropolitan merupakan hal yang selalu
menjadi pertanyaan tetapi, sampai sekarang belum ditemukan jawaban yang pasti. Para
pengamat percaya bahwa kawasan metropolitan menampung lebih dari 60 persen
penduduk perkotaan dari seluruh negara dan menyumbangkan persentase besarannya
yang sama dalam produk domestik bruto perekonomian seluruh negara1. Apakah karena
faktor ini maka kawasan metropolitan layak menyedot perhatian yang lebih besar dalam
kebijakan dan alokasi sumber daya publik dibandingkan dengan wilayah perkotaan
lainnya secara agregat? Sementara itu apakah semua wilayah kota metropolitan memang
sama dalam sumbangan dan perannya dalam pembangunan nasional? Banyak pengamat
umumnya terpaku dan terkecoh oleh persoalan dan tantangan wilayah kota metropolitan
Jakarta yang skalanya memang melebihi semua metropolitan lainnya di Indonesia.
Selain itu karena Jakarta memegang peran dan fungsi khusus sebagai Ibukota Negara,
apa pun yang terjadi di Kota Jakarta akan menarik perhatian nasional dan dunia
internasional. Jakarta juga memiliki persoalan dan tantangan yang khusus karena
statusnya yang menjangkau lebih luas dari wilayah administrasi DKI Jakarta, sehingga
meliputi sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat dan Banten serta enam atau lebih daerah
berstatus kota dan kabupaten di sekitarnya. Selain itu bukankah DKI Jakarta sendiri
sudah berstatus sebagai Propinsi. Persoalan dan tantangan metropolitan Jakarta, apapun
wilayah yang dicakupinya, memerlukan perhatian yang sangat khusus dan sulit untuk
menyamakan tindak dan sikap serta kebijakan yang sama dengan metropolitan lainnya.

Cakupan Wilayah (Ilustrasi Kasus Metropolitan Jakarta)2


Masih dalam skalanya yang besar, menjadi pertanyaan apa wilayah yang dapat
mencakupi semua persoalan dan tantangan metropolitan Jakarta? Semula pengamat
percaya, perlu dikenali dan disepakati suatu wilayah yang merupakan wilayah ‘urban’
luapan perkembangan kota Jakarta atau wilayah ‘terbangun’ Jakarta raya yang meluber
ke daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Bogor, Bekasi, dan Tangerang namun tidak
mencakupi keseluruhan batasan administrasi ketiga kabupaten yang dimaksud. Pada
awalnya wilayah yang seluas itu pun ada yang menganggap dan bahkan
mengkhawatirkan terlalu luas sebagai wilayah cakupan metropolitan Jakarta raya.
Namun waktu bergulir dan otoritas pengambil kebijakan sudah mempersoalkan dan
melihat tantangan perkembangan Jakarta raya meliputi keseluruhan daerah administrasi
Kota dan Kabupaten Bogor, Tangerang, dan Bekasi yaitu dalam wilayah yang dikenal
sebagai Jabotabek. Bukan sekedar untuk melihat persoalan dan tantangan perkembangan

1
Lihat pembahasan di Bab 5 mengenai kependudukan dan ekonomi perkotaan.
2
Lihat juga misalnya Suselo 2002
Persoalan dan Tantangan 107

metropolitan Jakarta raya tetapi juga dari segi kepraktisan legal dan pengambilan
keputusan sangat masuk akal untuk membatasinya dengan batasan daerah administrasi
yang sudah ditentukan.
Berkejaran dengan waktu dan dengan kenyataan pembangunan yang kemudian
terjadi, para pemangku kepentingan sudah beranggapan bahwa wilayah Jabotabek sudah
terlalu sempit dan menjadi kadaluwarsa untuk menjadi pijakan dalam mengamati
persoalan dan tantangan metropolitan Jakarta Raya. Pembangunan jalan tol Jakarta-
Cikampek (yang kemudian diteruskan ke Bandung) dan juga Jakarta-Merak
mengarahkan kita untuk berpikir metropolitan Jakarta, dalam konteks wilayah yang lebih
luas, yang meliputi wilayah perkotaan Pantai Utara Jawa Barat (dan Banten) (Suselo
1994). Maka diperkenalkan konsep wilayah metropolitan Pantura (Pantai Utara) Jawa
Barat/Banten. Pada perkembangan terakhir garis batas metropolitan Jakarta, telah
berkembang dan kini dikenali sebagai Jabodetabekjur, meliputi kawasan perkotaan
dalam daerah DKI Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi,
Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Depok, dan Kota dan Kabupaten Cianjur
(Reksomartono 2006). Mungkin para pengamat akan sependapat sampai sekarang belum
diyakini mana batasan wilayah metropolitan Jakarta yang paling layak untuk menjadi
pijakan bagi pemecahan persoalan dan dalam menghadapi tantangan metropolitan
Jakarta. Dalam skala yang berbeda pasti persoalan dan tantangan untuk menentukan
batasan wilayah metropolitan merupakan suatu hal yang pelik dan memerlukan
pertimbangan yang cermat.

KEPENDUDUKAN, EKONOMI, DAN SOSIAL

Kependudukan
Seringkali persoalan kependudukan metropolitan menyangkut pertimbangan, perlukah
dan dapatkah pertambahan penduduk kota metropolitan dikurangi, dikurangi
kecepatannya dan bahkan kalau mungkin dihentikan sama sekali. Kebijaksanaan tertentu
pemerintah seringkali dimaksudkan untuk secara sadar membatasi dan melawan
kecenderungan penduduk yang berbondong-bondong memasuki metropolitan, seperti
kebijakan mempersulit pemberian kartu penduduk bagi mereka yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap dan jelas, upaya menyadarkan penduduk betapa beratnya kehidupan di
metropolitan yang tidak ramah bagi pendatang (menakut-nakuti), dan menutup
metropolitan bagi pendatang baru. Seringkali manajer metropolitan mengeluh diluar
kemampuannya untuk mengurangi besarnya arus penduduk yang masuk ke kawasan
metropolitan dan mengandalkan kebijaksanaan nasional untuk mengendalikan migrasi
penduduk dari perdesaan ke kota-kota termasuk kota metropolitan. Sejauh ini belum
jelas kebijakan nasional untuk mengendalikan dan mengarahkan arus migrasi penduduk
ke wilayah perkotaan. Ada keyakinan lain yang menyarankan bahwa hak untuk
bertempat tinggal, mencari kehidupan dan pekerjaan merupakan salah satu hak asasi
manusia yang tidak selayaknya dihalang-halangi oleh kebijakan pemerintah. Ada sudut
pandang yang melihat aglomerasi penduduk merupakan suatu kekuatan yang
menumbuhkan skala ekonomi usaha yang tidak seharusnya dihambat3, dan upaya

3
Lihat misalnya analisis kependudukan dan ekonomi perkotaan di Bab 5.
108 Metropolitan di Indonesia

menghambatnya dianggap suatu tindakan menciptakan disekonomi terhadap proses


pembangunan nasional dan wilayah perkotaan pada khususnya.
Kesulitan yang umum dihadapi dalam membandingkan pertumbuhan penduduk
metropolitan di Indonesia adalah seringnya terjadi kerancuan antara penduduk
metropolitan yang wilayahnya dibatasi secara fungsional perkotaan dengan wilayah yang
dibatasi dalam batas administrasi. Wilayah administratif perkotaan biasanya sudah jenuh
dan tidak memiliki lahan dan sumber daya lagi untuk mendukung pertambahan
penduduk, karenanya cenderung pertambahan penduduknya nol bahkan berkurang.
Pertambahan penduduk secara cepat terjadi di daerah sekitar metropolitan sehingga
pertumbuhan penduduk yang terjadi adalah dalam metropolitan yang mencakup daerah
administratif di sekitarnya. Dalam kasus metropolitan di Indonesia, khususnya terdapat
kebiasaan di masa lalu, terutama untuk maksud perencanaan program untuk membatasi
wilayah metropolitan dari segi jumlah penduduk perkotaan, yaitu yang melebihi satu juta
penduduk. Padahal, metropolitan memiliki ciri-ciri struktur perkotaan yang lebih dari
sekedar jumlah penduduknya, termasuk adanya interaksi dan interdependensi antara kota
inti dengan kota satelit di sekelilingnya serta kawasan pertanian dengan sistem perkotaan
dan jaringan prasarana dan sarana perkotaan yang lebih luas. Kenyataan diatas menuntut
sikap kehati-hatian dalam membandingkan persoalan dan tantangan yang dihadapi
berbagai metropolitan di Indonesia.
Struktur dan pola perkembangan kependudukan metropolitan amat penting sebagai
landasan berbagai macam kebijakan pembangunan metropolitan. Struktur dan pola
tersebut, selain kecepatan pertumbuhannya, memerlukan pendalaman dalam aspek
lapangan kerja, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat
pengeluaran/ konsumsi, tingkat pemanfaatan pelayanan umum, dan segi-segi kehidupan
lainnya. Selain itu, diperlukan informasi dan kajian yang mendalam pula tentang struktur
dan pola pergerakan penduduk secara nasional, antar daerah, antar perkotaan perdesaan,
antar kota menengah dan kecil dengan metropolitan, dan di dalam metropolitan itu
sendiri. Secara nasional diperlukan kebijakan urbanisasi yang menjelaskan
kecenderungan dan keinginan untuk mempengaruhi pergerakan dan pengumpulan
penduduk di dalam ruang nasional, propinsi, kota, dan kabupaten, dengan menyoroti
pula harapan yang ditumpahkan pada peran metropolitan. Kebijakan urbanisasi nasional
tersebut perlu melihat pula kecenderungan primacy rate yang umum terjadi di banyak
negara mengenai perkembangan metropolitan terhadap pusat-pusat permukiman lainnya.
Kecenderungan ”primacy” tersebut tidaklah demografis semata tetapi meliputi suatu
sistem dominasi metropolitan dalam segi perdagangan, produk industri, keterampilan
dan penguasaan teknologi, peran politik, dan berbagai kecenderungan dominasi lainnya
yang perlu dipermasalahkan.

Ekonomi Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkotaan merupakan faktor pendorong
terjadinya metropolitan dan akan terus berpengaruh terhadap prospek metropolitan di
masa depan. Kenyataannya, metropolitan di mana saja mengemban fungsi ekonomi
nasional yang amat berarti sumbangannya bagi seluruh negara4. Metropolitan dituntut
mampu berperan dan berfungsi sesuai dengan bagiannya dalam pembangunan ekonomi
4
Lihat analisis Ekonomi perkotaan di Bab 5
Persoalan dan Tantangan 109

nasional. Di sisi lain, peran ekonomi nasional metropolitan harus diimbangi dengan
tingkat ekonomi yang sebanding dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi
warga masyarakat metropolitan itu sendiri. Metropolitan harus mampu menciptakan
kesempatan kerja dan tingkat pendapatan yang memadai bagi masyarakatnya untuk
dapat bertahan dan bahkan menikmati kehidupan di dalam lingkungan metropolitan.
Tingkat pendapatan di metropolitan pada umumnya jauh melebihi kota dan daerah lain
serta perdesaan, dan menjadi daya tarik metropolitan bagi arus penduduk yang mencari
kerja dan kehidupan yang layak. Tentunya harus diperhitungkan bahwa tingkat
pengeluaran masyarakat metropolitan pada umumnya juga jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kota dan daerah lainnya.
Adalah kenyataan yang sulit dicegah bahwa dalam suatu metropolitan lebih mudah
terjadi perbedaan besar dan yang semakin besar antara kelompok yang tingkat
pendapatan dan konsumsinya tinggi dengan yang paling rendah. Meskipun dengan
kenyataan ini seringkali tingkat pendapatan dan konsumsi yang paling rendah di
metropolitan masih lebih tinggi dan lebih menarik dibandingkan dengan kota dan daerah
lain yang lebih kecil atau perdesaan yang merupakan daya penarik arus pergerakan
penduduk ke metropolitan. Cukup diketahui bahwa metropolitan merupakan pusat
mencari nafkah bagi masyarakat beserta keluarganya yang bermukim di perkotaan dan
perdesaan di luar metropolitan itu sehingga terjadi arus sumber dana yang cukup besar
dari metropolitan ke perkotaan dan perdesaan dalam jangkauan yang cukup luas. Pada
sisi ini, dampak yang ditimbulkan oleh metropolitan adalah positif dalam membangun
ekonomi rumah tangga dan juga investasi di perkotaan dan perdesaan. Apabila arus dana
yang mengalir dapat ditingkatkan dengan produktivitas yang lebih tinggi dan upah yang
lebih tinggi maka dampak positif metropolitan akan menjadi semakin besar dan berarti.
Metropolitan merupakan pusat aglomerasi ekonomi yang memberikan lapangan
pekerjaan bagi semua golongan pendapatan yang terdiri atas spektrum luas keahlian dan
keterampilan. Selain lembaga ekonomi formal, metropolitan dapat bertahan karena
kemampuan untuk memberikan ruang gerak yang cukup leluasa bagi sektor ekonomi
informal. Kesenjangan antara kelompok berdasarkan tingkatan ekonomi dan pendapatan
merupakan persoalan tetapi sistem dualisme ekonomi yang terjadi juga memungkinkan
kehidupan metropolitan terus berjalan dalam suasana saling menguntungkan antara
berbagai lapisan masyarakat. Meskipun pada dasarnya saling menguntungkan, dalam
kenyataannya dualisme ekonomi yang ada dalam metropolitan tidak selalu berjalan
mulus, dan tidak jarang terjadi konflik dan tindakan yang tidak selalu adil bagi yang
tergolong lemah.
Golongan yang lebih kuat ekonominya memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan
dalam suatu tatanan ekonomi pasar yang memungkinkan terjadinya akumulasi sumber
daya yang luar biasa besarnya tanpa tersentuh kebijakan yang dapat mendistribusikannya
secara lebih adil dan merata di antara semua lapisan masyarakat (Cahyono tt, Dahuri tt,
Wibowo tt). Golongan ekonomi yang lemah lebih sering menjadi korban penggusuran
secara paksa atas nama ketertiban dan disiplin dalam perkotaan tanpa adanya kebijakan
yang efektif untuk memberikan ruang usaha yang lebih memadai bagi mereka. Kekuatan
ekonomi pasar menempatkan kelompok ekonomi kuat dan teristimewa sebagai pemodal
besar yang seringkali berasosiasi dengan pemilik kekuasaan, berperan menentukan
dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan publik yang memihak pada kepentingan
mereka. Jelas bahwa potensi dunia usaha dan sektor swasta hadir secara meyakinkan
110 Metropolitan di Indonesia

dalam suatu metropolitan. Sayangnya tidak selalu diimbangi dengan otoritas publik
dengan keterampilan, kebijakan, dan kemampuan efektif untuk mengerahkan potensinya
secara menguntungkan bagi masyarakat banyak.
Ekonomi metropolitan seperti layaknya wilayah perkotaan bertumpu pada sektor
industri manufaktur yang dalam kurun waktu belakangan ini cenderung menyusut.
Kehidupan ekonomi perkotaan diwarnai oleh berkembang dan tumbuhnya sektor jasa
yang spektrumnya luas dan semakin canggih dari jasa angkutan, perdagangan grosir dan
eceran, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan
pengembangan teknologi, sampai pada pelayanan teknologi informasi yang paling
mutakhir. Semua sektor kegiatan ekonomi tampil dalam berbagai bentuk yang formal,
semi formal, dan informal yang dapat saling bersaing, saling mendukung, dan kadang-
kadang saling mematikan. Semua bentuk kegiatan ekonomi metropolitan memberikan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakatnya dari kegiatan yang sifatnya padat
karya sampai padat modal, dari upah yang bersifat balas jasa terhadap modal sampai
pada upah tenaga kerja dari yang profesional sampai yang kasar, dari tenaga kerja lepas
sampai pada yang sifatnya kontrak dan pekerja tetap. Berdasarkan statistik struktur dan
pola kegiatan ekonomi dan tenaga kerja dapat dibaca bagian ekonomi metropolitan yang
menyumbang penciptaan lapangan pekerjaan dan besaran pendapatan paling besar dan
bagian ekonomi metropolitan yang masih memberikan sumbangan terlalu rendah.
Terhadap bagian yang terakhir diperlukan kebijakan dan intervensi publik untuk
meningkatkan peran dan kontribusinya. Di samping itu, diperlukan juga upaya dan peran
publik untuk terus meningkatkan besaran kegiatan ekonomi yang lebih produktif dari sisi
pemberdayaan masyarakat. Peran publik dalam hal ini amat strategis karena akan
mempengaruhi tingkatan mutu kehidupan perkotaan yang dapat dinikmati oleh
masyarakat metropolitan itu sendiri dan yang dapat menciptakan citra peran metropolitan
negara kita dalam skala nasional dan internasional. Tantangan inilah yang perlu
mendapatkan perhatian dalam kebijakan publik dalam pembangunan ekonomi perkotaan
metropolitan.
Pembangunan ekonomi metropolitan memiliki dua dimensi, yaitu nasional dan
lokal. Dalam dimensi nasionalnya, sumbangan dan peran ekonomi metropolitan harus
diperhitungkan dalam pembangunan ekonomi perkotaan secara keseluruhan dan
pembangunan ekonomi nasional. Para pemegang otoritas ekonomi dan keuangan
seringkali terpaku pada indikator-indikator makro ekonomi, seperti pendapatan domestik
bruto, laju inflasi, tingkat investasi, cadangan devisa dan nilai tukar rupiah, dan ukuran-
ukuran makro lainnya, dan masih kurang memperhitungkan peran ekonomi lokal seperti
pembangunan perkotaan dan metropolitan. Dimensi spasial dan lokal dari pembangunan
ekonomi akan lebih mendekatkan lagi makna dari kemajuan pertumbuhan ekonomi dari
segi wujudnya dalam menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan
keluarga, meningkatkan kemampuan konsumsi, meningkatkan daya beli terhadap
pelayanan umum, dan pada akhirnya menciptakan mutu kehidupan perkotaan dan
metropolitan yang ingin dicapai. Dalam era desentralisasi, pembangunan ekonomi lokal
di perkotaan dan metropolitan akan memberikan arti pula dalam wujud peran pemerintah
daerah yang melampaui dari sekedar membelanjakan anggaran publik untuk membangun
berbagai prasarana dan sarana pelayanan umum. Dalam konteks pembangunan ekonomi
perkotaan, pemerintah daerah akan berperan sebagai manajer yang harus mampu
mengelola dan memberdayakan semua sumber daya yang dimiliki suatu daerah untuk
Persoalan dan Tantangan 111

mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil melalui pemberdayaan ekonomi dan


keuangannya. Diperlukan suatu visi pemimpin daerah yang berwawasan terpadu dalam
menggerakan kemampuan sumber daya (alam, tenaga manusia, dan modal), sektor
kegiatan ekonomi (pertanian, industri, jasa, dan ekonomi tersier), di semua aspek
kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi), dan dalam semua kebutuhan
hidup masyarakat (lapangan kerja, pendapatan, konsumsi rumah tangga, dan mutu
kehidupan).
Cermin dari struktur ekonomi nasional yang masih ditandai oleh tingkat kemiskinan
dan pengangguran yang tinggi sangat jelas kehadirannya di metropolitan kita. Persoalan
dan tantangan untuk menanggulangi kemiskinan tampil dalam bentuk kawasan
permukiman kumuh dan kegiatan sektor ekonomi informal, yang selain menimbulkan
persoalan juga menumbuhkan kekuatan ekonomi dan sosial dalam wilayah metropolitan.
Upaya penanggulangan kemiskinan di metropolitan harus dilihat sebagai usaha untuk
mengatasi persoalan dan tantangan ekonomi perkotaan daripada sosial budaya. Menurut
keyakinan seorang pengamat ahli, persoalan dan tantangan kemiskinan bukanlah terletak
pada kemiskinannya tetapi pada masalah penggangguran yaitu tidak tersedianya
kesempatan kerja yang layak sesuai dengan struktur penduduk yang mampu memberikan
struktur upah yang memadai. Penanggulangan kemiskinan perkotaan haruslah
melampaui tindakan yang hanya bersifat memenuhi kebutuhan untuk dapat bertahan
hidup, menjadi dapat mengatasi persoalan dan tantangan kemiskinan struktural yang
berdimensi pembangunan manusia yang utuh dan berjangka panjang (Kartono tt).

Sosial Budaya
Seperti halnya dengan ekonomi, keadaan sosial budaya metropolitan adalah serba
kompleks dan sangat berwarna-warni. Metropolitan sering diberi julukan sebagai
‘tempat berkumpulnya’ (melting pot) dari semua macam dan asal kebudayaan, dari yang
bercirikan lokal, kedaerahan, nasional sampai internasional, dari yang bercirikan etnis
tertentu sampai agama dan budaya tertentu, dari yang klasik sampai kontemporer, dari
berbagai macam seni (musik, tari, lukis, pahat, dan lainnya) sampai pada yang tertuang
dalam wujud arsitektur bangunan tertentu (yang bersejarah, bernilai sebagai daya tarik
wisata, karya unik yang masuk dalam rekor, dan lainnya), dari yang bersifat olahraga
sampai pada olah pikir (produk dan kemampuan sains dan teknologi), dari yang bersifat
semua umur, hanya untuk dewasa sampai pada yang khusus untuk wanita atau pria.
Kesemuanya hadir dan perlu mendapatkan penampungan dan penyaluran diberikan
ruang gerak dan insentif untuk menumbuhkembangkannya, prasarana dan sarana yang
memadai, dan visi kepemimpinan sosial budaya yang berjangkauan luas dan multi
dimensi.
Persoalan dan tantangan sosial budaya dalam konteks metropolitan menyangkut
dimensi manusia, baik yang bersifat individu dalam berbagai bentuk kelompok (etnis,
agama, ras, keluarga, dan lainnya) sampai pada masyarakat secara keseluruhan.
Persoalan yang sering dihadapi adalah terjadinya konflik, kesenjangan, dan ketimpangan
sosial yang bersifat antar kelompok antar kawasan dan antar lapisan dalam masyarakat.
yang jika tidak dikelola secara hati-hati dan baik dapat menjurus ke arah degradasi
sosial, yang pada akhirnya dapat berakhir pada disintegrasi sosial. Setiap pembangunan
metropolitan bertujuan untuk menciptakan suatu kehidupan masyarakat yang harmonis.
Dan untuk mewujudkannya diperlukan pembangunan yang berlandaskan tata nilai
112 Metropolitan di Indonesia

tertentu (pembangunan berbasis nilai atau ‘value-based development’) (Wirutomo 2003).


Dari sudut pandangan ini pembangunan sosial budaya seringkali disebut sebagai
pembangunan yang berbasis nilai yang selayaknya mendapatkan tempat dan perhatian
yang seimbang dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan fisik dalam
pembangunan nasional, dan khususnya juga di metropolitan.
Apa yang berkembang di metropolitan mudah sekali ditiru dan menular ke kota-kota
dan daerah lainnya karena sifat demonstrasi (demonstration effect) yang merupakan
salah satu ciri pengaruh metropolitan. Metropolitan merupakan wadah terbentuknya nilai
sosial budaya yang agung dan indah. Seperti dari metropolitan dapat diharapkan sumber
kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil penelitian dan inovasi, nilai seni
yang bermutu tinggi baik yang bersifat domestik maupun manca negara, bangunan
berarsitektur dan memiliki nilai sejarah dan seni yang tinggi, kehidupan spiritual yang
mengikuti perkembangan zaman, contoh toleransi dalam menyikapi masyarakat yang
sifatnya beragam dan aneka ragam. pameran produksi barang mutakhir, sistem
pelayanan dan jasa modern dan lebih canggih di bidang ekonomi dan sosial, data dan
informasi, serta berbagai keunggulan lainnya. Masyarakat metropolitan juga memiliki
ciri produktivitas tinggi karena efisiensi dalam proses produksi dan pelayanan, etos kerja
keras, komunikasi antar manusia yang lancar dan bersifat lugas, dan masih sederetan tata
nilai lagi yang sangat diperlukan untuk membangun manusia dan bangsa yang berbudaya
dan memiliki peradaban yang unggul.
Sayang bahwa di akhir-akhir ini metropolitan lebih menonjol karena tata nilainya
yang mengagungkan hedonisme, konsumerisme, liberalisme, materialisme, (Kompas
2006) dan cara hidup yang tidak mengindahkan aturan disiplin, hak asasi manusia,
pluralisme, spiritualisme, dan etika muncul dalam berbagai bentuknya dalam wajah
kehidupan maupun kebijakan publik di wilayah metropolitan. Demikian pula berbagai
bentuk keserakahan dan sikap kurang bertanggung jawab dari dunia usaha, serta arogansi
dan sikap yang hanya mengunggulkan kekuasaan dan membela kepentingan kelompok
yang ditunjukan oleh elit politik dan birokrasi dan terjalinnya persekongkolan antara
penguasa dan pengusaha, pasti terpancar dari kehidupan metropolitan. Tata nilai
kehidupan masyarakat metropolitan yang demikian mudah merasuki dan dicontoh oleh
anak-anak dan generasi muda. yang secara berangsur tapi pasti akan merusak tatanan
kehidupan masyarakat yang bermula pada tingkat lokal metropolitan tetapi dengan
mudah melalui jaringan media massa akan menyebar ke seluruh negara.
Produk interaksi dan berdampingan antara tata nilai yang unggul dan yang mampu
merusak serta menghancurkan peradaban menghasilkan wajah fisik dan tata ruang
metropolitan yang megah, mewah, unik, bersinar-sinar, dan gemerlapan bercampuran
dengan bentuk wajah kota dan kehidupan sosialnya yang. tidak terpelihara. Setiap saat
terancam bahaya, tidak nyaman, saling sikut, dan sikap menang sendiri, mengunggulkan
kebenaran sendiri, marjinalisasi. Kekumuhan, ‘survival of the fittest’, tawuran, narkoba,
sikap ekstrimisme, tidak adanya kepastian hukum, rendahnya mutu pelayanan,
tumbuhnya kecemburuan sosial, hadirnya enclave-enclave dan ekslusivisme, memudar
dan hilangnya struktur sosial di semua tingkatan skala keruangan dari lingkungan
perumahan sampai pada tingkatan kota, dan pemerasan dan bunuh diri di kalangan anak-
anak dan remaja.
Persoalan dan Tantangan 113

Hubungan Kota-Desa
Persoalan dan tantangan yang dihadapi metropolitan adalah membangun interaksi antara
kehidupan perkotaan dan perdesaan yang saling menguntungkan dalam berbagai
dimensinya. Interaksi ekonomi terwujud dalam hubungan perdagangan barang dan jasa
antara kota dan desa, dimana kota merupakan konsumen produk dan jasa yang berasal
dari desa seperti bahan pangan dan bahan baku untuk industri serta keindahan dan
keunikan lingkungan alam di desa yang merupakan daya tarik untuk kegiatan olah raga
dan pariwisata. Sebaliknya desa merupakan konsumen bagi produk industri bahan pokok
seperti pakaian dan bahan bangunan untuk rumah serta berbagai jasa seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, hasil riset dan ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang pada
umumnya merupakan produk yang dihasilkan oleh kota. Selain barang dan jasa, desa
merupakan pemasok tenaga kerja terlatih dan kasar untuk industri konstruksi, serta
pelayanan yang tidak memerlukan ketrampilan terlalu tinggi dan dapat mudah diperoleh
dan interaksi dalam bentuk aliran tenaga kerja telah menciptakan arus uang yang
nilainya berarti dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di desa.
Interaksi antara kota dan desa dalam konteks metropolitan pasti terjadi pula,
meskipun tidak selalu jelas pola dan strukturnya dalam bidang sosial budaya. Banyak
anak-anak generasi muda dan kaum perempuan desa yang mudah meniru mode dan cara
berpakaian dan bersolek ‘orang kota’. Salon-salon yang sebelumnya hanya terdapat di
kota sekarang banyak bertebaran di perdesaan. Peran media massa yang membawakan
tata nilai dan mempertunjukan cara kehidupan perkotaan mudah diakses oleh masyarakat
perdesaan. Usaha untuk menciptakan hubungan ketergantungan dan saling memerlukan
yang menguntungkan secara adil antara kota dan desa memang tidak mudah. Salah satu
sebabnya karena kota merupakan pusat kekuasaan dan modal serta kekayaan intelektual
sehingga selalu lebih kuat, lebih pintar, lebih cerdas, lebih mampu, dan pasti memiliki
daya mengalahkan perdesaan. Adalah suatu kebenaran betapa interaksi antara kota dan
desa, apalagi antara metropolitan dengan desa, pasti akan di’menang’kan oleh kota, dan
desa selalu di pihak yang akan ‘kalah’. Diperlukan suatu nurani yang mulia untuk dapat
memutuskan rantai ketidakadilan antara kota dan desa, dari pihak yang paling besar
memiliki kekuasaan dan sumber daya modal dan kecerdasan, yang semuanya berkumpul
di kota, yang sementara ini sulit untuk diharapkan.

Ada kecenderungan belakangan ini untuk menemukan jawaban dalam menghadapi


persoalan dan tantangan hubungan kota dan desa dengan memberikan arti baru
(‘reinvent’) konsep ‘agropolitan’ yaitu mengembangkan wadah permukiman yang
memiliki ciri khusus mengkombinasikan fungsi kota dan desa. Konsep agropolitan
adalah suatu konsep lama perencanaan pengembangan wilayah yang sudah
diperkenalkan beberapa dasawarsa yang lalu dan sudah tidak terlalu populer lagi.
Memudarnya konsep agropolitan karena dengan kemajuan ekonomi dan tingkat
urbanisasi yang semakin tinggi di banyak negara berkembang, kota semakin lebih
mengandalkan produk dan peluang bagi tenaga kerjanya pada sektor industri manufaktur
dan tersier daripada sektor pertanian. Konsep agropolitan pada awalnya lebih diterapkan
terhadap kota-kota kecil daripada yang berskala metropolitan. Salah satu hal yang perlu
diwaspadai apabila pengertian ‘agropolitan’ lebih dikaitkan dengan bisnis pertanian
(agrobusiness) yang cenderung pada bisnis orang-orang kota di sektor pertanian yang
bersifat eksploitatif.
114 Metropolitan di Indonesia

Globalisasi dan Metropolitan


Berbeda dengan konsep agropolitan yang lebih dekat dengan kota kecil sampai
menengah, maka persoalan dan tantangan globalisasi lebih terkait dengan kota dan
wilayah berskala metropolitan. Jelas dan pasti semua negara akan semakin dipengaruhi
dan berada dalam tatanan interkoneksi sistem global dalam bidang ekonomi maupun
sosial budayanya. Globalisasi yang bersifat sosial budaya perlu ditekankan di sini karena
seringkali globalisasi diinterpretasikan hanya dalam konteks ekonomi, jarang dalam
aspek sosial budaya5. Globalisasi menyangkut kerjasama tapi juga persaingan.
ketergantungan dan juga kebebasan bergerak (seperti perdagangan bebas) antar negara.
Meskipun interkoneksi global dapat terjadi dari tempat mana pun, namun pasti
interkoneksi yang paling utama akan melewati semua metropolitan di negara kita. Semua
pusat metropolitan menduduki peran kunci dan menjadi ‘pemimpin’ yang akan
menghubungkan negara kita dengan dunia luar, yang akan me’wakili’ dalam persaingan
dengan kota dan metropolitan lainnya dalam tataran global dan yang berfungsi sebagai
simpul yang memberikan cerminan citra kekuatan ekonomi dan sosial budaya bangsa
kita. Jaringan global metropolitan harus dikenali dalam semua bidang kehidupan, seperti
dalam bidang ekonomi (pergerakan keluar masuk barang dan jasa, termasuk tenaga kerja
dan tenaga ahli, migrasi penduduk secara global, arus penerbangan, arus pelayaran, arus
telekomunikasi, pariwisata atau keluar masuknya wisatawan, arus keluar masuknya uang
dan hubungan perbankan, dan lain sebagainya), bidang sosial budaya (perdagangan
anak-anak dan perempuan, arus keluar masuknya produk film termasuk CD/VCD/DVD,
gerakan tukar-menukar misi kebudayaan termasuk festival film dan kerjasama seni
budaya antar negara, olahraga, dan lainnya), bidang politik, hukum dan keamanan
(hubungan diplomatik bilateral dan multilateral, jaringan memerangi terorisme,
perjanjian ekstradiksi, kerjasama global dalam menangani masalah lingkungan hidup dan
permukiman, hubungan kerjasama regional dan dalam kelompok politik tertentu, dan
lainnya). Interkoneksi global yang dimaksud akan menentukan berbagai jenis prasarana,
sarana dan pelayanan yang akan berpengaruh pada pengalokasian dan penataan ruang
metropolitan.

INFRASTRUKTUR

Transportasi
Transportasi memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu metropolitan terutama
karena metropolitan memiliki kota induk dan kota di sekitarnya yang bersifat satelit,
yang mandiri atau masih erat terkait dengan kota induknya; besarnya jumlah penduduk
serta mobilitasnya yang tinggi internal dan eksternal, serta fungsi metropolitan yang
bersifat nasional, regional, dan global. Jaringan transportasi penumpang untuk
menghubungkan perumahan dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat
menentukan struktur transportasi metropolitan. Pergerakan barang harus diatur
sedemikian sehingga tidak menggangu kelancaran transportasi penumpang namun
memberikan pelayanan angkutan barang yang bersifat distributif atau kolektif, dan
menghubungkan pusat-pusat produksi ke pintu-pintu gerbang utama secara efisien dan

5
Lihat uraian mengenai globalisasi di Bab 5.
Persoalan dan Tantangan 115

dengan hambatan minimal. Untuk mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan
mobilitasnya tinggi diperlukan jaringan transportasi massal (mass transit) yang perlu
ditetapkan jenis dan kombinasinya yang mampu dibayar oleh masyarakatnya dan tidak
terlalu membebani anggaran daerah. Idealnya metropolitan memiliki transportasi massal
berupa kereta listrik di bawah tanah yang disadari investasinya besar dan umumnya
diluar jangkauan kemampuan metropolitan negara berkembang. Menghadapi kesulitan
pendanaan banyak metropolitan memilih jenis transportasi yang relatif lebih terjangkau
investasi dan pembayaran kembalinya seperti yang dilakukan metropolitan Jakarta
sekarang yaitu dengan jenis monorail dan busway, dan tetap memfungsikan dengan
meningkatkan mutu pelayanan sistem transportasi massal yang tradisional seperti bus-
bus dan kereta api listrik yang beroperasi dipermukaan berdasarkan skema transportasi
lama. Sementara itu metropolitan secara tradisi dilayani oleh sistem angkutan bus atau
minibus untuk jarak jauh yang suatu saat harus menyerahkan jalur pelayanannya pada
sistem transportasi massal yang lebih mutakhir seperti busway dan monorail6.
Pengalaman di metropolitan negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara
mengajarkan bahwa diperlukan waktu cukup lama untuk membangun sistem transportasi
massal yang lebih memenuhi tuntutan kebutuhan. Metropolitan di wilayah Asia
Tenggara (Kuala Lumpur, Bangkok, Jakarta, Manila) seakan berlomba untuk
membangun sistem transportasi massalnya, yang satu lebih cepat dari yang lain dan
semuanya mempunyai cita-cita suatu saat dapat membangun sistem transportasi kereta di
bawah tanah seperti halnya dengan negara-negara Asia yang lebih maju seperti
Singapura, Hongkong, Korea, dan Jepang. Persoalan dan tantangan transportasi untuk
metropolitan pada dasarnya hampir sejalan antara satu metropolitan dengan lainnya yaitu
mencari solusi interim sebelum secara finansial mampu membangun sistem yang lebih
memuaskan kebutuhan yaitu dengan kereta di bawah tanah. Membangun keseluruhan
sistem transportasi yang merupakan solusi interim juga memerlukan waktu, dan dalam
masa tenggang harus dihadapi permasalahan kemacetan lalu lintas di jalur transportasi
yang ada. Sudah harus direncanakan peralihan peran dari sistem transportasi tradisional
yang nanti akan digantikannya. Pemikiran yang terpadu antara sistem yang interim dan
yang dicita-citakan, antara kebutuhan kota induk dengan kota-kota lain dan perdesaan
disekitarnya, antara yang harus menjadi tugas pemerintah dan yang diharapkan dari
sektor swasta, antara kebutuhan seluruh wilayah dengan tiap-tiap lingkungan; antara
jaringan prasarana dengan alat angkutan dan terminalnya, dan berbagai aspek lain
memerlukan kecermatan dalam perencanaan ruang metropolitan. Ketepatan waktu kapan
harus dimulainya membangun dan kapan jadwal penyelesaiannya yang sangat
mempengaruhi faktor pembiayaannya juga menjadi pertimbangan pokok dalam
perencanaan transportasi metropolitan. Pengalaman di Negara Asia yang lebih maju
memberi petunjuk bahwa betapa pun kemampuan bayar masyarakatnya, pengembalian
investasi untuk transportasi massal tidak dapat diharapkan tanpa bantuan subsidi
pemerintah. Ini disebabkan karena pembangunan jaringan transportasi massal tidak dapat
sekaligus beroperasi seluruhnya tetapi harus dibangun secara bertahap. Kemampuan
pemerintah untuk memikul beban sebagian biaya pembangunan transportasi massal perlu
diperhitungkan dalam menetapkan rencana dan program penyediaan sistem transportasi
massal metropolitan.

6
Lihat pembahasan mengenai transportasi di Bab 6.
116 Metropolitan di Indonesia

Selain transportasi massal yang menjadi tugas pemerintah, transportasi umum


metropolitan melibatkan pengusaha swasta yang mengusahakan berbagai macam
angkutan umum, diantaranya sistem pertaksian dan minibus untuk jarak sedang dan jauh.
Berbeda dengan taksi yang beroperasi di seluruh metropolitan atau bagian dari
wilayahnya, maka angkutan minibus beroperasi melayani jaringan tertentu yang
umumnya bersifat ‘pengumpan’ atau ‘feeder’ terhadap jaringan transportasi jarak jauh
yang seharusnya dilayani oleh transportasi massal. Pada dasarnya operasi transportasi
yang diusahakan sektor swasta berjalan dengan prinsip persaingan bebas, dan tugas
pemerintah adalah menciptakan kebijakan publik yang sebaik-baiknya guna mendorong
operasi transportasi jenis ini dapat terselenggara secara optimal sesuai dengan kebutuhan
masyarakat metropolitan dan dengan transportasi yang disediakan oleh pemerintah.
Kebijakan ini meliputi penetapan tarif dan rute pelayanan yang memberikan peluang
yang adil di antara pengusaha angkutan, dan menyerasikan dengan angkutan publik
lainnya terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Pada tingkatan di bawah pelayanan seluruh wilayah dan bagian wilayah yang
berjarak jauh dan sedang, persoalan dan tantangan metropolitan adalah menetapkan
pilihan untuk angkutan umum jarak dekat pada skala terbatas lingkungan atau kawasan
permukiman. Metropolitan di mana-mana sudah mengikuti kecenderungan sama untuk
menghapuskan per’becak’an yang dianggap terlalu mengganggu kelancaran lalu lintas
selain kurang manusiawi. Meskipun kecenderungannya demikian, apabila terjadi krisis
ekonomi dan keuangan dalam masyarakat, akan tumbuh lagi pelayanan angkutan becak
yang merupakan kesempatan termudah dan termurah untuk menciptakan lapangan
pekerjaan. Selain angkutan yang bersifat door to door yang dapat melayani jalan-jalan
yang sempit, dan dapat mengangkut serba aneka barang, becak dianggap sebagai alat
angkutan yang tidak menimbulkan polusi udara dibandingkan dengan kendaraan
bermotor. Dengan berbagai pertimbangan yang dianggap masuk akal, pemerintahan
metropolitan mempunyai keinginan kuat untuk menggantikan semua becak dengan
kendaraan beroda tiga yang memakai motor (bemo, bajaj, dan kancil). Langkah
penggantian jenis angkutan seringkali menimbulkan resistensi karena bernuansa kolusi
publik dengan pengusaha, dan karenanya memerlukan banyak waktu untuk melakukan
pendekatan sosial yang paling tepat, serta memikirkan nasib pengusaha dan pengemudi
dari angkutan yang akan digantikan oleh jenis yang baru. Angkutan yang cocok untuk
melayani lingkungan permukiman kemudian berkembang dengan beroperasinya
angkutan ‘ojek’ yang sudah membudaya di mana-mana. Persoalan pangkalan untuk
terminal angkutan ini agar tidak menciptakan gangguan terhadap kegiatan ekonomi pada
tingkatan lingkungan permukiman lainnya (seperti pasar, dan warung kaki lima)
merupakan persoalan transportasi lokal yang memerlukan pemecahan yang cermat.
Transportasi metropolitan juga menuntut pemikiran mengenai perletakan terminal
angkutan laut, udara dan kereta api yang berdampak terhadap efisiensi dan kelancaran
fungsi perhubungan internal dan eksternal dalam suatu metropolitan. Pelabuhan laut dan
udara serta stasiun kereta api selalu memerlukan ruang yang cukup luas, dan seringkali
diserahkan pengelolaannya secara otonom pada pihak pengelola terminal yang
bersangkutan. Perletakan fasilitas terminal jenis ini perlu memperhatikan dampak serta
pengaruhnya terhadap kawasan permukiman, karena gangguan dan kecelakaan yang
dapat ditimbulkannya, dan kaitannya dengan pelayanan transportasi umum lainnya serta
kondisi jaringan jalan yang melayaninya. Persoalan dan tantangan untuk menjamin
Persoalan dan Tantangan 117

kelancaran dan efisiensi pelayanan terminal angkutan laut, udara dan kereta api meliputi
aspek pola dan struktur permukiman, penataan ruang, manajemen lalu lintas, dan
manajemen perkotaan lainnya hanya melampaui sektor transportasi. Selain arus
penumpang transportasi yang menggunakan terminal angkutan laut, udara, dan kereta api
juga menyangkut arus pergerakan barang yang memerlukan fasilitas yang khusus seperti
angkutan kontainer, dan peralatan bongkar muat khusus untuk jenis-jenis produk industri
tertentu seperti semen, tepung terigu, minyak, dan lainnya. Secara khusus lagi persoalan
dan tantangan jaringan transportasi metropolitan meliputi juga pergerakan dan arus
distribusi bahan bakar, dan energi yang diperlukan dalam wilayah metropolitan.
Perletakan terminal laut, udara dan kereta api harus memperhatikan kebutuhan jangka
panjang, termasuk rencana pemakaian lahan yang ditinggalkan dalam kasus pemindahan
lokasi terminal yang sering terjadi di dalam wilayah metropolitan.

Perumahan dan Prasarana Dasar


Persoalan dan tantangan penyediaan perumahan bagi penduduk metropolitan terkait
dengan penyediaan prasarana dasarnya seperti penyediaan air minum, prasarana
penyehatan lingkungan (pembuangan air limbah, persampahan dan pengaliran air hujan).
Tuntutan kebutuhan akan perumahan dan prasarana dasar besar sekali dan tumbuh
dengan cepat, dan khususnya menjadi persoalan dan tantangan karena masih banyaknya
golongan penduduk miskin yang tidak mampu menyediakan prasarana dan sarana
permukiman bagi mereka sendiri. Kebijakan nasional pembangunan perumahan dan
permukiman berprinsip bahwa penyediaan perumahan merupakan tugas dan tanggung
jawab masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah7. Persoalan utama yang
dihadapi dalam pembangunan perumahan adalah penyediaan lahan yang cukup dan
terjangkau bagi masyarakat metropolitan. Dalam kerangka kebijakan nasional
dikehendaki adanya intervensi publik untuk mengatur penyediaan lahan permukiman
melalui mekanisme ‘kawasan siap bangun’ dan ‘lingkungan siap bangun’ (Kasiba dan
Lisiba) dengan insentif penyediaan prasarana dan sarana utama yang dibangun
pemerintah. Meskipun kebijakan ini telah mendapatkan dukungan legal dalam bentuk
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah-nya, tetapi mekanisme yang dimaksud belum
berjalan seperti diharapkan. Demikian pula meskipun sudah ada persiapan untuk
memprakarsai program nasional untuk mengembangkan Kasiba dan Lisiba di beberapa
kota dengan kerjasama Asian Development Bank, implementasinya masih terbentur pada
persoalan kelembagaan siapa instansi pusat yang bertanggung jawab menanganinya.
Persoalan pengembangan Kasiba dan Lisiba meskipun pengaturannya terkait dengan
masalah perumahan dan permukiman, tujuannya tidak harus terbatas pada masalah
pengembangan lahan untuk perumahan saja tetapi pengembangan kota.
Program pengembangan Kasiba dan Lisiba masih memerlukan sosialisasi untuk
dapat diterima sebagai bagian dari program metropolitan, selain itu persoalan ‘badan
pelaksana pengembangan’nya masih perlu dipersiapkan secara cermat. Menurut
aturannya badan pelaksana yang dimaksud adalah suatu BUMN atau BUMD dan suatu
saat ada keinginan untuk menugaskan Perum Perumnas sebagai badan pelaksananya. Di
pihak lain ada keinginan sektor swasta untuk ikut berperan secara aktif, sebagai sumber
pembiayaan dan juga dalam badan pelaksana. Persoalan dan tantangan perumahan
7
Lihat uraian perumahan di Bab 6.
118 Metropolitan di Indonesia

metropolitan masih banyak tergantung pada kebijakan nasional dalam pengembangan


perumahan dan permukiman, serta bagaimana program Kasiba dan Lisiba nantinya dapat
melembaga sebagai bagian dari program daerah, khususnya di metropolitan. Sejauh ini
peran pemerintah dalam penyediaan perumahan di metropolitan dan di perkotaan pada
umumnya tidaklah lagi dalam pembangunannya tetapi lebih dalam bentuk fasilitas
pembiayaan dengan sasaran masyarakat calon pemilik melalui kredit KPR BTN dan
perbankan lainnya. Dengan potensi ekonomi dan dana publik yang dikuasai pemerintah
daerah dapat diperkirakan besar kemungkinan bagi metropolitan untuk proaktif dalam
menangani penyediaan perumahan rakyat, bagi golongan penghasilan rendah. Selama ini
intervensi daerah sudah banyak dilakukan dalam kasus-kasus tertentu seperti dalam hal
menanggulangi paska kebakaran, atau dalam hal tindak relokasi penduduk misalnya dari
bantaran sungai dan lahan publik dalam rangka penertiban dan peningkatan kualitas
lingkungan. Peran pemerintah daerah akan terus meningkat di masa depan untuk
menangani persoalan dan tantangan kebutuhan perumahan rakyat dengan melaksanakan
program daerah dalam bidang perumahan dan permukiman.
Pembangunan perumahan di metropolitan juga menyangkut penentuan pilihan antara
pembangunan rumah tunggal dan semi tunggal, atau rumah tidak bertingkat yang
memerlukan lahan luas dan rumah susun tinggi yang hemat lahan dan memberi peluang
penyediaan ruang terbuka yang lebih luas. Peran pengusaha swasta besar perannya
sebagai pelaku dan pengembang perumahan dalam segala skala dan sasaran konsumen.
termasuk minatnya dalam membangun perumahan susun. Perlu kiranya diwaspadai
kenyataan bahwa investasi dalam perumahan merupakan salah satu bentuk investasi
yang dianggap menjanjikan dalam situasi lemahnya daya tarik investasi di bidang
lainnya. Persoalan yang dapat dilihat di metropolitan adalah banyaknya kompleks
perumahan yang sudah terjual habis namun kosong penghuninya karena sebagian besar
pembeli rumah hanyalah untuk maksud investasi. Terjadinya lingkungan perumahan
yang berbentuk ‘enclave’ yang dijaga ketat dan dibatasi dengan pagar yang membuatnya
ekslusif perlu dipertanyakan apakah pola lingkungan yang demikian adalah yang kita
kehendaki di metropolitan di Indonesia. Perkampungan baru seperti banyak terbentuk
sekarang pantas kita bandingkan dengan perkampungan tradisional perkotaan pada masa
sebelumnya, yang ditandai oleh akrabnya hubungan antar manusia dan keamanan
lingkungannya digantungkan pada penduduknya yang saling menjaga dan mengawasi
dan tidak dengan batasan fisik seperti pagar tinggi dan satpam yang berjaga 24 jam.
Pemasaran rumah susun yang tinggi-tinggi perlu dipertanyakan apakah dilengkapi
dengan jaminan keamanan bangunan, kelancaran dan keandalan aliran air dan buangan
limbah, serta didukung oleh manajemen pemeliharaan purna jual yang
berkesinambungan. Selain itu, perlu dipersoalkan sejauh mana pengembangan
perumahan yang terjadi di metropolitan disertai dengan perhatian yang seimbang untuk
membangun komunitas sosial budaya dan ekonomi perkotaan yang memadai
(community development) (Lo dan yeung 1998).
Pola pertumbuhan perumahan dan permukiman berubah dari waktu ke waktu. Pada
awalnya permukiman yang tumbuh mengisi lahan di pinggiran metropolitan yang tidak
teratur dan membentuk permukiman acak (urban sprawl). Pengembangan permukiman
di pinggiran metropolitan mendapatkan dorongan dari pemerintah dengan dibangunnya
Kota Baru Depok pada awal pembentukan Perum Perumnas. Secara sistematis kebijakan
pembangunan perumahan juga diarahkan ke pembangunan permukiman skala besar yang
Persoalan dan Tantangan 119

menumbuhkan kota-kota baru di pinggiran metropolitan yang dipacu lebih cepat dengan
kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan industri. Menyadari akan dampak
pembangunan kawasan permukiman eksklusif bagi golongan penduduk yang
penghasilannya menengah dan tinggi yang berpotensi menciptakan kerawanan sosial,
pemerintah memberlakukan formula 1-3-6 yang dimaksudkan untuk menciptakan
keseimbangan sosial dalam pembangunan permukiman. Ketentuan ini juga dimaksudkan
untuk menarik sumbangan investasi para pengembang besar untuk membangun
perumahan bagi golongan penghasilan yang lebih rendah. Pembangunan permukiman
skala besar dan kota-kota baru meskipun terjadi, menghadapi kendala tersedianya lahan
sesuai dengan luasan yang dibutuhkan, sehingga pada akhirnya pola permukiman yang
tumbuh bersifat permukiman sisipan dimana-mana dengan skala yang lebih terbatas.
Kecenderungan berikutnya, pengusaha pengembang menyadari bahwa penghuni
kawasan perumahan dan permukiman di pinggiran kota harus setiap hari memikul derita
karena lamanya perjalanan dari rumah ke tempat pekerjaannya pulang pergi. Kenyataan
ini kebetulan bertemu dengan kondisi masih banyaknya lahan di tengah kota yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai perumahan apartemen bangunan bertingkat
tinggi yang kemudian merupakan pola pemadatan permukiman di tengah kota. Kawasan
hunian bertingkat tinggi berdampingan dengan menjamurnya pembangunan pusat
perbelanjaan, perkantoran, dan perhotelan yang secara bersama meningkatkan kepadatan
di dalam metropolitan. Meskipun meningkatnya kepadatan di tengah kota merupakan
kecenderungan yang menguntungkan dari segi optimasi pemanfaatan lahan yang bernilai
ekonomi tinggi, pola permukiman yang demikian menyedot energi yang luar biasa,
memerlukan dukungan prasarana dan sarana dasar yang berkehandalan tinggi, serta pasti
memadatkan lalu lintas yang sudah semerawut dan harus menghadapi persoalan
kemacetan akibat konstruksi prasarana dan sarana di tengah kota.
Pembangunan perumahan dan permukiman memerlukan jaminan pelayanan
prasarana dan sarana dasar perkotaan seperti air minum, pembuangan air limbah,
pengaliran air hujan, pembuangan sampah, jalan kota dan jalan lingkungan serta sarana
sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut kebiasaan yang berlaku, dalam hal
pengembangan perumahan dan permukiman dilaksanakan oleh pengusaha pengembang
maka para pengusaha diikat oleh peraturan untuk menyediakan dan kemudian
menyerahkan semua fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos dan fasum) kepada
pemerintah daerah. Namun tidak semua perumahan dan permukiman terbangun sebagai
hasil kegiatan para pengusaha pengembang sehingga pemerintah daerah harus memiliki
program terpadu dalam penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan
permukiman. Prasarana dan sarana dasar tersebut melayani pada tingkatan lingkungan
perumahan. dan untuk perkotaan secara keseluruhan. Selama ini sudah dikenal program
nasional yang menggunakan pendekatan ‘program pembangunan prasarana kota terpadu’
atau P3KT’ (Suselo 2005, 1995) yang dilaksanakan melalui berbagai proyek-proyek
pengembangan perkotaan (urban development projects) di semua daerah perkotaan di
Indonesia, tidak terkecuali di metropolitan seperti Jakarta, Medan, Bandung,
Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan kota metropolitan lainnya. Penyediaan
prasarana dan sarana dasar perkotaan menurut pendekatan tersebut disediakan dengan
mementingkan penyediaan ‘kebutuhan dasar’, yang mendapatkan fasilitas pembiayaan
120 Metropolitan di Indonesia

dari pemerintah pusat8,serta pembiayaan dari pinjaman luar negeri yang diteruskan
pinjamannya kepada daerah. Kekuatan dari pendekatan tersebut terletak pada jaminan
tersedianya pembiayaan untuk jangka panjang, atau sedikitnya menengah (lima tahun)
dan dapat dicapainya kesepakatan skema patungan atau gotong royong pembiayaan (baik
dalam menanggung beban pinjaman maupun dana lokal pendamping). Skema
keterpaduan pada tingkat lingkungan dilaksanakan dengan program perbaikan kampung
dan perbaikan lingkungan pasar, dan untuk seluruh perkotaan dengan program sektoral
yang sudah dipaketkan dalam suatu program terpadu.
Persoalan dan tantangan berikut yang perlu dijawab adalah kesinambungan program
pembangunan prasarana kota terpadu yang selama ini sudah dilaksanakan, khususnya
dalam keadaan kebijakan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar
negeri, dorongan untuk memperluas lingkup keterpaduan meliputi spektrum yang lebih
luas dari sekedar prasarana dan sarana dasar dan semakin kurang tegasnya bentuk
kerjasama antar instansi di pusat dan antara pusat dan daerah dalam menangani
pembangunan perkotaan. Bentuk pendekatan keterpaduan yang akan diterapkan di
kemudian hari belum mengemukakan dengan jelas, malahan ada kecenderungan untuk
mengembalikan cara pembangunan prasarana dan sarana dasar kembali melalui sistem
dan pendekatan sektoral. Masih ada keengganan dan ‘ketakutan’ di kalangan instansi
pusat untuk menegaskan tanggung jawab atas pengembangan wilayah seperti perkotaan
dan metropolitan kepada daerah, walaupun pada sistem desentralisasi pemerintahan saat
ini, urusan pengembangan perkotaan sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Mobilisasi sumber pendanaan untuk membiayai investasi pembangunan prasarana dan
sarana dasar adalah persoalan dan tantangan bagi metropolitan dan pembangunan
perkotaan pada umumnya. Di lain pihak dalam kenyataannya masih belum dapat dijamin
beroperasinya sistem manajemen yang handal, efisien dan mampu menghimpun
pendapatan yang cukup (dapat mengombinasikan kemampuan pengumpulan pendapatan
serta sistem tarif yang memadai) untuk dapat mengembalikan investasi dan menjaga
keberlanjutan pembangunannya. Dalam kenyataannya lebih dari separuh perusahaan
daerah yang mengelola air minum kota mengalami kerugian dan tidak mampu
mengembalikan hutang-hutangnya. Pengelolaan persampahan dan sistem pembuangan
air limbah masih lebih terbelakang lagi, karena selain banyak yang belum berbentuk
badan usaha, masih belum dapat diciptakan pelayanan yang terpadu dalam suatu wilayah
metropolitan. Sistem pengelolaan prasarana dan sarana dasar yang menekankan otonomi
perusahaan dan mengabaikan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah seperti
di’ajar’kan oleh lembaga internasional, ternyata tidak memberikan jaminan dapat
beroperasinya pengelolaan prasarana dan sarana dasar secara efisien dan handal.
Pembagian tanggung jawab antara pemerintah daerah dengan perusahaan yang ditugasi
mengelola prasarana dan sarana dasar perlu mendapatkan penegasan, yang memberikan
peran dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Bentuk-bentuk
‘badan regulator’ yang dipisahkan dari aparat pemerintah seperti juga dipromosikan oleh
lembaga pinjaman luar negeri belum memberikan harapan akan meningkatnya mutu
pelayanan prasarana dan sarana dasar, malahan dalam beberapa situasi dikhawatirkan
dapat menciptakan kerancuan dengan tugas pemerintahan.

8
Lihat pembahasan mengenai infrasruktur di Bab 6.
Persoalan dan Tantangan 121

Lingkungan Hidup dan Ruang Terbuka


Semua metropolitan menghadapi persoalan ancaman terhadap mutu lingkungan
hidupnya yang sudah dapat diantisipasi karena besarnya sumber daya yang dipakai untuk
menghidupi jumlah penduduk yang besar, besarnya bahan buangan yang dihasilkan
dalam proses produksi dan konsumsi, besarnya energi yang perlu disediakan dan
kepadatan yang tinggi dari penduduk dan bangunannya. Sumber yang menjadi persoalan
terbesar dalam kehidupan metropolitan adalah sumber daya lahan dan ruang, termasuk
sumber daya air, udara dan kandungan mineral yang berada di dalamnya. Persediaannya
sangat terbatas untuk dapat memenuhi tuntutan kebutuhan yang besar di metropolitan,
sehingga terjadi persaingan penggunaan yang memerlukan pengaturan yang seksama
agar pemanfaatannya adil, memperhatikan kebutuhan jangka panjang terjaga mutunya
sehingga berkelanjutan. Metropolitan kita dikhawatirkan akan semakin sulit untuk
mendapatkan air baku untuk air minum karena umumnya semua sumber air yang paling
ekonomis sudah semuanya dimanfaatkan. Sumber ini pada musim kemarau seringkali
mengalami kekeringan, dan pilihan sumber air lainnya sudah sangat terbatas.
Penggunaan tanah yang berlebihan telah mengurangi penyerapan air tanah yang menjadi
sebab semakin parahnya ancaman banjir di wilayah metropolitan. Sudah diyakini bahwa
salah satu sebab utama terjadinya banjir di metropolitan adalah lemahnya ketaatan
masyarakat dan kurang efektifnya kinerja aparat dalam pemanfaatan ruang dan lahan
untuk kepentingan permukiman.
Meskipun terus dicari, namun belum dapat ditemukan cara pengelolaan yang
terpadu antara sumber daya alam, seperti misalnya sungai, dengan pembangunan
permukiman. Koordinasi antara pengelolaan sektor oleh Instansi Teknis Pusat dengan
Otoritas Wilayah dan Daerah yang mengelola pembangunan permukiman masih terus
menjadi bahan kajian, sehingga baru pada tingkatan wacana. Persoalan pembuangan
sampah memerlukan tindak koordinasi dan rekayasa teknis dan sosial yang cermat
karena kecenderungan masyarakat untuk menolak tempat pembuangan sampah serta
lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembuangan sampah yang secara teknis
benar dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akhir-akhir ini timbul
persoalan baru yang ditimbulkan karena eksplorasi pertambangan minyak dan gas yang
dilakukan di kawasan permukiman. yang berawal dengan penipuan pada pemilik tanah
dan berakhir dengan derita dan sengsaranya ribuan warga metropolitan yang tidak
berdaya.
Persoalan lingkungan hidup yang sangat menurunkan mutu kehidupan di
metropolitan adalah kemacetan lalu lintas yang sulit diatasi, semakin hari semakin parah.
meskipun ada prospek perbaikan tapi masih menunggu waktu dapat diselesaikannya
seluruh jaringan transportasi metropolitan. Kemacetan terjadi tidak saja pada tingkatan
kota tetapi juga umum terjadi di bagian bagian kawasan perkotaan dan juga di
lingkungan permukiman. Selain disefisiensi, semakin merosotnya mutu kehidupan,
kemacetan lalu lintas dan tumbuhnya jumlah kendaraan motor secara tak terkendali
mengancam kesehatan masyarakat kota karena tingkat polusi udara yang semakin
melampaui baku mutunya. Pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua, dan alat
angkutan umum bermotor jarak pendek seperti bemo, bajaj, dan lainnya berpotensi
menyebabkan polusi udara dengan intensitas tinggi. Beberapa metropolitan terutama
yang berada di luar Jawa belakangan ini juga terancam terkena gangguan asap yang
122 Metropolitan di Indonesia

ditimbulkan karena kebakaran hutan disekitarnya yang sudah mencapai tingkatan yang
mengkhawatirkan bagi kesehatan penduduk.
Perkembangan dan pertumbuhan pesat metropolitan umumnya diikuti dengan makin
menyusutnya persediaan lahan perkotaan yang cenderung habis dipakai untuk
permukiman dan sangat kurang menyisakan lahan untuk ruang terbuka, serta ruang
terbuka hijau. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ancaman terhadap ruang terbuka
yang masih ada, yang semuanya menjadi bahan incaran para pemilik modal besar.
Kekuatan ekonomi besar yang berkolusi dengan penguasa, di tingkat daerah dan pusat,
telah menyebabkan penyerahan dalam skala besar ruang terbuka hijau untuk kepentingan
pembangunan pusat-pusat pertokoan dan perbelanjaan, perdagangan, perhotelan, dan
perkantoran. Lahan yang paling potensial menjadi korban adalah tanah-tanah milik
pemerintah seperti lapangan olahraga, bekas fasilitas umum yang direlokasi dan tanah
negara yang sementara ini tidak terpakai atau direbut oleh pemukim ilegal. Lemahnya
pengelolaan dan pengawasan serta ketiadaan dokumen administrasi pertanahan dari
tanah-tanah negara merupakan sebab mudahnya tanah-tanah tersebut berpindah tangan
dan digunakan untuk pembangunan oleh pemodal besar yang menguasai metropolitan.
Seringkali terjadi pula aparat birokrasi sendiri memberikan teladan dengan mulai
merubah penggunaan ruang terbuka hijau untuk keperluan kantor pemerintah, dan
menghilangkan ruang terbuka hijau yang semula tersedia cukup di lingkungan
permukiman.
Perlu disadari bahwa persoalan dan tantangan metropolitan tidak semata bersifat
lokal namun sangat terkait dengan wilayah yang menjadi latar belakang tempat
metropolitan itu berada. Kepadatan penduduk, aksi perusakan lingkungan, dan
keterbatasan alam sendiri menunjukkan sudah terlampauinya daya dukung lingkungan
dari keseluruhan ekosistem dan sistem sosial budaya (Suselo 1991). Sudah diingatkan
betapa pulau ini sudah seperti kapal yang mendekati karam, dan kita berada di dalamnya.
Untuk menyelamatkan kapal itu maka bebannya harus dikurangi dan langkah
penyelamatan yang bersifat menyelesaikan persoalannya secara mendasar perlu
dilakukan (Sutami 1980). Upaya pemerintah seperti program transmigrasi merupakan
salah satu langkah penyelamatan yang demikian, tetapi sayangnya tidak banyak yang
tersisa lagi dari program kependudukan yang semula memberikan harapan itu. Banyak
sekali persoalan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan sebab kegagalan dan
sulitnya pencapaian sasaran program itu, namun sementara ini belum ada pemikiran dan
hasilnya yang dapat memberikan harapan dapat diatasinya persoalan dan tantangan
lingkungan hidup yang pasti berpengaruh terhadap perkembangan dan masa depan
metropolitan. Apakah program revitalisasi pertanian, kehutanan, dan pembangunan
perdesaan merupakan strategi besar yang mampu ikut menyelesaikan persoalan dan
tantangan kependudukan di negara kita masih perlu dilihat langkahnya dan hasilnya
yang nyata untuk menjadi harapan di masa depan.

HUKUM DAN KELEMBAGAAN

Selama ini sudah ada peraturan perundangan tentang ‘ibukota negara’ yang mencoba
mengatur mengenai metropolitan Jakarta secara khususnya. Belum ada gagasan dan niat
untuk menyiapkan peraturan perundangan yang khusus ditujukan pada masalah
pengembangan perkotaan dan metropolitan. Meski sudah ada Peraturan Menteri
Persoalan dan Tantangan 123

Pekerjaan Umum yang menetapkan Kebijakan Nasional dan Strategi Pembangunan


Perkotaan atau KNSP, belum banyak yang dibicarakan dan acuan yang diberikan dalam
Peraturan Menteri tersebut mengenai arah perkembangan dan sasaran yang dikehendaki
untuk metropolitan di negara kita. Pada awal konsep Jabotabek diluncurkan di
pertengahan tahun 1970an oleh suatu kelompok studi tenaga ahli Belanda dari
Departemen Pekerjaan Umum, secara proaktif Departemen Dalam Negeri segera
mengeluarkan pedoman mengenai perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek yang
mengandung gagasan perlunya dibentuk suatu ‘badan otoritas pembangunan’ Jabotabek.
Mungkin karena implikasi politik dari pembentukan badan semacam itu dalam
perkembangannya tidak tumbuh wacana lebih lanjut mengenai perlunya pembentukan
badan semacam itu.
Yang kemudian berkembang adalah pembentukan otoritas yang terbatas menangani
masalah ‘perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek’ dan kerjasama antar daerah
yang berkepentingan pada tingkat propinsi mengenai pengembangan Jabotabek. Sejak
awalnya peran pemerintah Pusat besar dalam pengaturan perencanaan pembangunan
wilayah Jabotabek, dan berdasarkan suatu Inpres telah dibentuk suatu otoritas
perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek yang dipimpin oleh Bappenas,
beranggotakan instansi Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, dan
Ketua Bappeda dari kedua propinsi yang berkepentingan. Permasalahan perencanaan
pembangunan wilayah Jabotabek kemudian menjadi salah satu kelompok kerja dalam
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Meskipun konsep penataan ruang
wilayah Jabotabek sudah tersusun dan didiskusikan dalam berbagai forum, namun
sampai sekarang belum dapat ditetapkan dalam suatu produk hukum. Ada gagasan
semula untuk menuangkannya dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) seperti
halnya dengan Rencana Tata Ruang Kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur (Bopunjur),
tetapi masih ada keraguan mengenai layak dan tepatnya pengaturan penataan ruang
wilayah dalam bentuk Keppres-Keppres.
Dengan berkembangnya waktu timbul gagasan baru mengenai perlunya suatu
perencanaan yang mempunyai jangkauan ‘megalopolitan’ yang diusulkan oleh Gubernur
DKI Jakarta Sutiyoso. Gagasan ‘perencanaan’ megapolitan ini merupakan pengecilan
dari konsep otoritas megalopolitan yang pernah diusulkan oleh Gubernur DJI Jakarta Ali
Sadikin yang mengamati perlunya pengelolaan wilayah Jabotabek dibawah koordinasi
seorang Menteri Koordinasi di tingkat pusat (Sadikin 2003). Belajar dari pengalaman
pengelolaan penataan ruang wilayah Bopunjur sangatlah sulit melakukan supervisi dan
pengendalian terhadap pemanfaatan ruang wilayah metropolitan yang kewenangan
perencanaan detail dan perizinan penggunaan tanahnya berada dan tersebar di banyak
sekali pemerintah daerah kota dan kabupaten. Kembali perlu dipertanyakan seberapa
luasnya ruang lingkup wilayah yang layak dan tepat bagi pengelolaan wilayah
metropolitan seperti Jakarta. Apakah misalnya harus meliputi seluruh wilayah konurbasi
‘Pantai Utara’ Jawa Barat?
124 Metropolitan di Indonesia

PENUTUP

Demikian beberapa indikasi persoalan dan tantangan pengembangan metropolitan di


Indonesia, yang seperti diakui, pada permulaannya sangat dipengaruhi oleh situasi yang
dihadapi oleh wilayah metropolitan ibukota yaitu Jakarta dan wilayah
pengembangannya. Dalam bab-bab berikut akan dibahas persoalan dan tantangan
pengembangan metropolitan secara lebih detail, tidak selalu bertolak dari apa yang
dikemukakan dalam bab ini, dan pasti ada jangkauan pengamatan yang lebih luas dari
yang sekedar dituangkan dalam bab ini.
5

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

KEPENDUDUKAN

Pendahuluan

Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota telah menjadi bagian yang penting dalam
pembangunan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir. Berdasarkan definisi dari
Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kota meningkat dari 32,8 juta jiwa
pada tahun 1980 menjadi 55,4 juta jiwa pada tahun 1990 dan meningkat kembali
menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada saat yang sama, jumlah penduduk desa
meningkat dari 114,5 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 122,8 juta jiwa pada tahun
1990. Namun, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 119,4 juta jiwa pada tahun
2000. Pada akhirnya, proporsi penduduk kota meningkat tajam dari 22 persen pada
tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 (TABEL 5 - 1).1
Jumlah tersebut menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam masyarakat
Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, dari yang masyarakat berciri desa, yang
terlihat dari sistem pemerintahan dan perdagangannya (terutama adalah komoditas
pertanian) yang mendukung pengembangan kota secara terbatas, menjadi masyarakat
kota, gaya hidup kota dan yang paling penting adalah keterkaitan penduduk dengan
ekonomi kota yang akan membentuk pola pembangunan dan pertumbuhan kota. Dalam
hal ini, tingkat pertumbuhan penduduk desa yang rendah (berangka negatif pada tahun
1990-an) pada TABEL 5 - 1 tidak menunjukkan penurunan angka pada pertumbuhan
penduduk desa yang sebenarnya, akan tetapi karena terjadinya perubahan dari tempat
dengan karekateristik desa menjadi tempat dengan karakteristik kota walaupun jumlah
penduduknya tetap statis.

1
Karena beberapa masalah pada sensus tahun 2000, jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar
459.557 jiwa (kota) dan 1.857.659 jiwa (desa). Tambahan sebesar 566.403 jiwa penduduk kota dan
1.717.478 jiwa penduduk desa dihitung secara formal tetapi tidak menjawab karakteristik individual.
126 Metropolitan di Indonesia

TABEL 5 - 1 Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk


Berdasarkan Kota/Desa di Indonesia Tahun 1980, 1990 dan 2000
Tahun Kota Desa Jumlah % Kota

Jumlah Penduduk
1980 32.845.829 114.485.994 147.331.823 22,3
1990 55.389.171 123.805.052 179.194.223 30,9
2000 86.406.587 119.436.609 205.843.196 42,0
Tingkat Pertumbuhan Penduduk (%)
1980-1990 5,23 0,78 1,96
1990-2000 4,58 -0,37 1,43

Catatan: (1) Jumlah penduduk kota tidak memasukkan penduduk yang


tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (tuna wisma,
penduduk yang tinggal di atas perahu, dll.) yang memiliki
jumlah sekitar 158 ribu pada tahun 1980 dan 127 ribu pada
tahun 1990. Jumlah penduduk tersebut pada tahun 2000 tidak
diketahui.
(2) Tingkat pertumbuhan dihitung berdasarkan rumus P(t)=P(0)ert
Sumber: Biro Pusat Statistik (1991), Badan Pusat Statistik (2001)

Bagian ini akan menjelaskan secara singkat karakteristik urbanisasi di Indonesia


berdasarkan kependudukannya yang dipusatkan pada lima kota besar yang secara umum
didefinisikan sebagai kawasan metropolitan antara lain: (1) Mebidang yaitu Kawasan
Metropolitan Medan yang meliputi Kota Medan dan sekitar Kota Binjai dan Kabupaten
Deli Serdang; (2) Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, meliputi Ibukota Jakarta dan
kawasan sekitar Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten
Tangerang, dan Kota dan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cianjur; (3) Kawasan
Bandung Metropolitan meliputi Kota dan Kabupaten Bandung dan sebagian dari
Kabupaten Sumedang; (4) Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila yang terdiri dari
Kota Surabaya sebagai pusat, kawasan sekitar meliputi Kabupaten Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, dan juga Kota Mojokerto; (5) Kawasan Metropolitan
Mamminasata meliputi Kota Makassar dengan Kabupaten di sekitarnya, yaitu Maros,
Takalar dan Gowa (dulunya bernama Sungguminasa). Tulisan ini akan melihat pola
urbanisasi, yang menekankan pada pengelompokan kembali2 beberapa karakteristik
sosial ekonomi penduduk dalam ruang lingkup metropolitan dan beberapa diskusi
mengenai bagaimana terjadinya perubahan pola tersebut.

Definisi Kota
Bagaimanapun juga perlu kehati-hatian dalam menganalisis pola pertumbuhan penduduk
kota. Ada dua alternatif definisi kota di Indonesia. Pertama adalah definisi secara
administratif, yaitu berdasarkan unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut
Kotamadya yang setara dengan status hukum pemerintahan kota. Kedua adalah secara

2
Pendekatan ini digunakan karena kurangnya data rinci mengenai penduduk untuk menghitung
perubahan penduduk berdasarkan demografi-pertumbuhan alami (perbedaan antara kelahiran dan
kematian) dan net-migrasi (perbedaan antara migrasi masuk dan keluar).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 127

fungsional, yaitu setiap unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan
status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya.
Ciri utama dalam definisi fungsional yang digunakan oleh BPS yaitu status
desa/kelurahan dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya
penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan
kota. Pengelompokan kembali (secara jelas antara desa dan kota) menjadi faktor utama
dalam menjelaskan pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang cepat, yaitu
membandingkan 30-35 persen dari pertumbuhan kota pada tahun 1990an dengan jumlah
migrasi desa-kota sebesar 20-25 persen (World Bank 2003).

TABEL 5 - 2 Perubahan Definisi Kota Sebelum dan Sesudah Podes 2000


Kepadatan Penduduk Persentase Rumah Nilai terhadap
(per Km2) Tangga Pertanian Jumlah Fasilitas Umum
1980- 2000- 1980– 2000– Keter- Keter- Nilai
Nilai Nilai
1990 Sekarang 1990 sekarang sediaan jangkauan

<500 <500 1 >95 70,0 1 0 0 2


500-999 500-1249 2 91-95 50-69 2 1 1 3
1000-1499 1250-2499 3 86-90 30-49 3 2 2 4
1500-1999 3500-3999 4 76-85 20-29 4 3 3 5
2000-2499 4000-5999 5 66-75 15-19 5 4 4 6
2500-2999 6000-7499 6 56-65 10-14 6 5 5 7
3000-3499 7500-8499 7 46-55 5-9 7 6 6 8
3500-3999 8500+ 8 36-45 5- 8 7 7 9
4000-4999 9 26-35 9 8 8 10
5000+ 10 25- 10 9 9

Catatan: Definisi Kota tahun 2000 berdasarkan data PODES 2000


(a) dapat digunakan dari tahun 1980 sampai 1990-an;
(b) dapat digunakan sejak tahun 2000
Tipe-tipe fasilitas publik:
(a) Skor hanya untuk ketersediaan: SD, SMP, SMA, rumah sakit, klinik ibu dan
anak, pusat kesehatan, jalan yang dapat digunakan kendaraan roda 3 atau 4,
kantor pos, pasar permanen, pusat perbelanjaan, bank, pabrik, restoran, pelayanan
umum listrik dan jasa penyewaan.
(b) Skor untuk keterjangkauan (1 atau 0): TK (1 jika ≤ 2,5 Km), SMP dan SMA ((1
tiap ≤ 2,5 Km), pasar (1 jika ≤ 2Km), bioskop (1 jika ≤ 5 Km), pertokoan (1 jika
≤ 2 Km), rumah sakit (1 jika ≤ 5 Km), hotel/bilyard/diskotek/salon (1 jika
tersedia), % rumah tangga yang memiliki telepon (1 jika ≥ 8%), dan % rumah
tangga yang menggunakan listrik (1 jika ≥ 90%)
Sumber: Definisi awal berasal dari Sigit dan Sutanti 1983 dalam Peter Gardiner 1993 dan
juga pada BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 1990an. Definisi berdasarkan PODES
2000 didapatkan dari BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2000an.

Perubahan definisi fungsional BPS – menganggap status kota berdasarkan sistem


penilaian yang melibatkan kriteria kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga pertanian
dan jumlah fasilitas kota – dapat dilihat pada TABEL 5 - 2. Definisi kota fungsional yang
dikembangkan pada dekade 1970-an diterapkan pertama kali secara nasional pada
Sensus Penduduk tahun 1980 dan dipertahankan sampai tahun 1990an. Perubahan yang
128 Metropolitan di Indonesia

signifikan diperkenalkan berdasarkan PODES (Potensi Desa) 2000.3 Definisi terkini


sangat berbeda dengan definisi sebelumnya dalam hal isi (walaupun metodologi yang
digunakan, indeks komposit dan skor masih tetap sama). Berdasarkan definisi baru
tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk desa meningkat secara signifikan dan proporsi
rumah tangga pertanian menurun. Definisi baru juga memperkenalkan perubahan pada
jenis fasilitas publik dan pada apa yang diukur. Definisi awal hanya mempertimbangkan
ketersediaan sebagai ukuran, sementara definisi terkini mempertimbangkan akses yang
kebanyakan diukur berdasarkan jarak capai.
Sebagai contoh, perhitungan berdasarkan data pada tingkat desa/ kelurahan
menunjukkan bahwa perubahan pada Jabotabek dan Metropolitan Bandung selama tahun
1980-an telah berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan jumlah penduduk di
kawasan metropolitan. Setiap tahun penduduk kota di Jabotabek dan Metro Bandung
masing-masing tumbuh sebesar 5,8 persen dan 4,8 persen dan jumlah penduduk desa
menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 1,4 persen dan 0,4 persen. Di dalam
kawasan kota inti, pertumbuhan penduduk per tahun pada dua kawasan metropolitan
tersebut masing-masing adalah sebesar 2,3 persen dan 1,6 persen, sementara
pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas meningkat lebih tinggi yaitu
sebesar 7,9 persen di Jabotabek dan 5,2 persen di Metro Bandung sehingga masing-
masing berkontribusi sebesar 41 persen dan 31 persen dari seluruh pertumbuhan
penduduk di kawasan metropolitan tersebut (Gardiner 1993).

TABEL 5 - 3 Dekomposisi Pertumbuhan Penduduk di Jabotabek dan Metropolitan


Bandung tahun 1980 – 1990
Jabotabek Metro Bandung
Jumlah Penduduk Tingkat Jumlah Penduduk Tingkat
Kawasan
(ribu jiwa) Pertumbuhan (ribu jiwa) Pertumbuhan
1980 1990 (%/th) 1980 1990 (%/th)

Yang terdata
Kota 7.337 13.050 5,8 2.063 3.322 4,8
desa 4.558 3.946 (1,4) 2.068 1.987 (0,4)
Total 11.895 16.996 3,6 4.131 5.309 2,5
Kawasan stabil
1980 Kota 7.337 9.220 2,3 2.063 2.411 1,6
Perluasan 1.730 3.830 7,9 544 911 5,2
1990 Kota 9.067 13.050 3,6 2.607 3.322 2,4
Desa 2.828 3.946 3,3 1.524 1.987 2,7

Sumber: Peter Gardiner (1993), berdasarkan analisis dari data-data tahun 1980 dan 1990 pada
tingkat desa yang menjelaskan perubahan-perubahan nama, kode dan batas wilayah.

Pentingnya pengelompokan dalam menghitung pertumbuhan penduduk kota tidak


dapat diabaikan, khususnya di Pulau Jawa yang pemerintah dan kegiatan ekonominya
sangat berperan dalam konversi guna lahan dan untuk kepentingan pengelompokan yang

3
PODES (Potensi Desa) dilakukan untuk mempersiapkan tiga sensus utama yaitu. Sensus Penduduk
pada tahun yang berakhiran 0. Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 3. dan
Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 6.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 129

lain. Pengelompokan tersebut memberi kesan bahwa urbanisasi mempercepat peran


parameter demografi, pertumbuhan alami dan migrasi dalam pertumbuhan penduduk
metropolitan yang akan dikelompokkan dan dikembangkan kembali.

Pola Permukiman Penduduk dan Pertumbuhan Kota


Pola ekologi urbanisasi di Indonesia ditunjukkan oleh perkembangan Kawasan
Metropolitan Jabodetabek yang semakin besar. Walaupun pada awalnya terlihat seperti
pola konsentrik4, tetapi belakangan ini perkembangan pergerakan penduduk
menunjukkan fenomena seperti pada teori kombinasi antar sektor5 dan pola konsentrik6,
sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan
pengembangan wilayah dan jalur transportasi. Secara demografis, ciri utama kota-kota
besar di Indonesia adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang didefinisikan untuk
kawasan inti kota yang sebagian besar proporsi guna lahan pada kawasan tersebut
dimanfaatkan terutama untuk, atau mengalami perubahan, dari permukiman menjadi
non-permukiman khususnya untuk kegiatan komersial; dan kawasan pinggiran kota
digunakan sebagai perluasan permukiman penduduk. Kawasan inti dicirikan dengan
berbagai faktor antara lain penurunan penduduk absolut, tingkat migrasi keluar yang
tinggi, sedangkan kawasan pinggiran kota dicirikan dengan tingkat migrasi ke dalam
yang tinggi dan sebagai akibatnya adalah meningkatnya jumlah penduduk absolut.
Walaupun akhir-akhir ini (khususnya setelah krisis moneter) muncul perubahan ke
arah jentrifikasi7 pada kawasan inti di beberapa kawasan metropolitan melalui
peningkatan pembangunan apartemen dan town house yang sering kali dengan standar
kenyamanan internasional, tetapi hal tersebut tidak akan menyebabkan perubahan besar
pada pertumbuhan penduduk di pusat kota karena pembangunan di pusat kota tersebut
seringkali tidak menggantikan permukiman kumuh (untuk masyarakat miskin)
sebelumnya yang lebih padat; dan karena pembangunan di kawasan pusat kota tersebut
juga memerlukan fasilitas, bukan permukiman yang cukup luas, seperti pusat
perbelanjaan dan supermarket mewah.

4
Berdasarkan Ernest Burgess tahun 1925 dengan judul the pattern of growth of American cities
(Chinoy 1967, hal. 279).
5
Dikemukakan oleh Homer Hoyt tahun 1939 yang memodifikasi rencana Burgess dengan
memfokuskan pada pergerakan-pergerakan antar sektor yang didesak dari arah luar dengan mengikuti
jaringan jalan utama (Chinoy 1967: 279)
6
Dikembangkan oleh Edward Ullman dan Chauncey Harris yang mengidentifikasi pertumbuhan
khusus di daerah inti yang mengalami perubahan karena fungsinya seperti komersial, industri ringan,
industri berat, dan perluasan kawasan permukiman.
7
jentrifikasi (gentrification) adalah perubahan sosial ekonomi kawasan pusat kota karena berpindahnya
penduduk miskin digantikan oleh penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.
130 Metropolitan di Indonesia

TABEL 5 - 4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan


Metropolitan Jabotabek Tahun 1990-2000
Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk
Luas (Juta jiwa) (Jiwa/Km2)
Kawasan
(Km2)
1990 1995 2000 1990 1995 2000

JABOTABEK 6.174,7 17,10 20,16 21,19 2,769 3,265 3,432

Core 662,0 8,22 9,11 8,35 12,421 13,765 12,609


Jakarta Selatan 145,7 2,03 2,04 1,78 13,922 14,008 12,245
Jakarta Timur 187,7 2,01 2,38 2,35 10,701 12,698 12,509
Jakarta Pusat 48,3 1,16 0,98 0,87 24,021 20,267 18,108
Jakarta Barat 126,2 1,67 2,15 1,90 13,246 17,011 15,089
Jakarta Utara 154,1 1,35 1,56 1,44 8,785 10,140 9,321

Inner Zone 2.373,8 5,43 7,28 9,44 2,289 3,065 3,975


Bogor 1.020,3 2,28 2,48 3,58 2,235 2,435 3,507
Bekasi 606,1 1,42 2,14 2,71 2,345 3,526 4,471
Tangerang 747,4 1,73 2,65 3,15 2,317 3,551 4,212

Outer Zone 3.138,9 3,44 3,77 3,41 1,097 1,201 1,085


Bogor 2.164,2 1,73 2,22 1,83 798 1,024 843
Bekasi 437,9 0,68 0,62 0,62 1,560 1,416 1,422
Tangerang 536,8 1,03 0,93 0,96 1,925 1,742 1,787

Catatan: Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan
data survey penduduk desa tahun 1995
Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)

Mamas dan Komalasari (akan datang)8 membagi Kawasan Metropolitan


Jabodetabek menjadi core, inner dan outer fringe, serta menunjukkan bahwa kawasan
fringe yang sebagian besar masih merupakan kawasan perdesaan masih berada di dalam
kawasan metropolitan yang besar dan menunjukkan bahwa perubahan ke arah kota
sedang berjalan atau baru akan dimulai9. Dinamika perubahan kawasan di core
Jabotabek yang akan datang dapat menjadi indikasi pola pertumbuhan dan penurunan
jumlah penduduk di kawasan metropolitan di Indonesia. Pertumbuhan dan penurunan
penduduk di kawasan core Jakarta menunjukkan pola konsentrik/memusat dengan
Jakarta Pusat sebagai the inner core dan kawasan lain di dalam Jakarta sebagai lapisan

8
Sangat disayangkan pekerjaan Mamas dan Komalasari ini tidak dapat diulangi untuk tulisan ini karena
memerlukan pemakaian data pada tingkat desa yang tidak bisa didapatkan.
9
Sebagai ibukota negara. yang memiliki keistimewaan dibandingkan kota-kota lain. peran Jakarta di
dalam negara maupun di dunia internasional menjadi menarik untuk diteliti seperti yang telah dilakukan
oleh T. Firman (1998. 1999 dan 2004).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 131

pertama yaitu outer zone, bergerak ke luar dari Jakarta Pusat sebagai inner core ke
daerah sekitarnya yang disebut outer zone disebabkan kepadatan permukiman yang
rendah. Di Jakarta Pusat, kepadatan penduduk mencapai 18 ribu jiwa/km2 sedangkan di
kawasan outer fringes, khususnya daerah Bogor, kepadatan penduduknya masih kurang
dari 1000 jiwa/km persegi (TABEL 5 - 4).

TABEL 5 - 5 Rata-rata dari Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Alami dan Migrasi


di Jabotabek Tahun 1990-1995 dan 1995-2000
Rata-Rata Rata-rata Rata-rata
Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Alami Net-migrasi
Kawasan (%) (per 000) (per 000)
1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000
JABOTABEK 3,35 1,00 1,82 16,9 6,1 -7,4
Core 2,08 -1,74 16,1 16,0 3,5 -34,1
Jakarta Selatan 0,12 -0,30 15,5 15,6 -14,3 -44,4
Jakarta Timur 3,48 -2,23 17,0 16,9 14,4 -19,9
Jakarta Pusat -3,34 -2,37 13,7 14,0 -50,7 -37,8
Jakarta Barat 5,13 -1,67 15,6 15,8 28,6 -41,2
Jakarta Utara 2,91 -1,74 17,3 15,5 9,4 -33,0

Inner Zone 6,01 5,33 19,7 17,6 30,8 28,2


Bogor 1,73 7,56 15,9 17,1 0,5 44,0
Bekasi 8,50 4,86 24,9 17,8 42,0 24,4
Tangerang 8,91 3,47 19,5 17,8 50,0 13,5

Outer Zone 1,84 -2,01 22,8 18,8 - 5,4 -40,2


Bogor 5,12 -3,80 23,9 19,2 20,3 -62,0
Bekasi -1,91 0,07 18,8 16,9 -39,0 -16,1
Tangerang -1,98 0,52 23,3 19,6 -44,3 -14,5

Catatan : Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data Survey Penduduk
Tahun 1995. Tanda positif menyatakan migrasi masuk dan tanda negatif menyatakan migrasi
keluar.
Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)

Untuk mengetahui penyebab pertumbuhan penduduk, tulisan ini melihat komponen-


komponen pertumbuhan penduduk tersebut dari pertumbuhan alami dan net-migrasi
(TABEL 5 - 5). Perubahan pola pertumbuhan penduduk penting untuk dicatat. Secara
umum, tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek pelahan-lahan menurun secara
signifikan sepanjang dekade 1990-an dari 3,35 persen per tahun selama paruh pertama
menjadi hanya 1 persen selama paruh kedua sampai akhir abad ini. Penurunan tingkat
pertumbuhan penduduk terjadi meskipun pertumbuhan alami meningkat secara positif
(selisih antara kelahiran dan kematian) ketika tingkat migrasi masuk menurun secara
signifikan dari 6,1persen (positif) selama paruh pertama menjadi -7,4 persen (negatif)
selama paruh kedua dekade 1990-an. Dengan kata lain, secara umum Jabotabek ditandai
132 Metropolitan di Indonesia

dengan jumlah migrasi masuk selama paruh pertama dari dekade terakhir yang kemudian
ditandai dengan migrasi keluar pada paruh akhir dekade tersebut.
Pada tingkat lokal, perubahan pertumbuhan penduduk terjadi karena beberapa
alasan. Pada kawasan core Jakarta, peningkatan harga lahan untuk kegiatan komersial
dan permukiman mewah seperti mall, bangunan-bangunan perkantoran bertingkat, dan
apartemen, menggantikan villa dan rumah tinggal yang hanya satu lantai, yang
menyebabkan pertumbuhan negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka migrasi
keluar. Dengan kata lain, pada kawasan luar kota (outer fringe) Jabotabek, khususnya
Bekasi dan Tangerang, orang-orang membangun kawasan industri pada pertengahan
pertama 1990-an yang menyebabkan angka migrasi keluar tinggi.
Di antara dua kawasan ekstrim Jabotabek yaitu kawasan core dan outer, penduduk
di inner zone akan meningkat karena banyaknya migrasi yang masuk ke kawasan
tersebut. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan penduduk di inner zone perlahan-
lahan menurun, dari 6,01 persen menjadi 5,33 persen per tahun selama pertengahan awal
dan akhir tahun 1990-an. Penurunan ini diakibatkan oleh seluruh penurunan pada
pertumbuhan alami dan net-migrasi.
Gambaran pertumbuhan penduduk di Jabotabek tersebut menunjukkan bahwa
sebagai sebuah kawasan metropolitan, pertumbuhan penduduk di Jabodetabek cenderung
didorong oleh kekuatan pasar dan pemanfaatan lahan. Harga dan guna lahan
mempengaruhi tingkat migrasi yang masuk dan keluar.

Metropolitanisasi – Lima Kawasan Metropolitan


Tahun 1980-an dan paruh pertama dekade 1990-an (sampai krisis ekonomi) merupakan
periode pengembangan metropolitan secara besar-besaran, khususnya di Pulau Jawa.
Secara demografis, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk yang relatif
cepat di beberapa kota utama, lebih cepat lagi di kota-kota besar – Jabotabek (sekarang
Jabodetabekjur), Surabaya dan Bandung – jika dibandingkan dengan daerah lain (baik
desa maupun kota) yang berada di dalam kawasan tersebut. Cepatnya perluasan kawasan
perkotaan (urbanized area) ke kawasan-kawasan yang berdekatan merupakan salah satu
ciri proses tersebut, yang berarti bahwa reklasifikasi merupakan faktor yang signifikan
dalam menentukan pertumbuhan kota secara keseluruhan. Net-migrasi juga merupakan
penyebab meluasnya kawasan metropolitan ini. Bagaimanapun juga, sebagian besar
migrasi sebenarnya terjadi di dalam metropolitan itu sendiri yaitu penduduk yang
bergerak keluar dari kota induk (core) sekarang ke daerah-daerah lain di pinggiran atau
perbatasan kota.
Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek penting yang terjadi di Kawasan
Metropolitan Jabotabek menjadi ciri perubahan yang juga terjadi pada kawasan-kawasan
metropolitan lain. Perubahan Jabotabek menunjukkan sebuah kombinasi tiga pola
pertumbuhan kota – konsentrik, sektoral dan banyak pusat – dimulai dengan sebuah
pusat atau core yang terdiri dari kota utama dan dikelilingi daerah-daerah yang sedang
mengalami proses urbanisasi.
Lima Kawasan Metropolitan yang menarik untuk diteliti antara lain: (1) Mebidang.
yang terdiri dari Kota Medan dan Binjai serta Kabupaten Deli Serdang; (2)
Jabodetabekjur terdiri dari DKI Jakarta dan Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi,
serta Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur; (3) Bandung Raya terdiri dari
Kota Bandung dan Cimahi, serta Kabupaten Bandung dan Sumedang; (4)
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 133

Gerbangkertosusila terdiri dari Kota Surabaya dan Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo,
Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan; (5) Mamminasata terdiri dari Kota
Makassar dan Kabupaten Takalar, Goa dan Maros.

TABEL 5 - 6 Pertumbuhan Penduduk Desa di beberapa Kawasan Metropolitan


Kawasan Jumlah Jumlah Penduduk Kota (%)
Metropolitan 1995 1999 2005 1995 1999 2005

Jumlah Penduduk Desa (ribu)

Mebidang 825 825 827 30,4 32,5 41,8


Jabodetabekjur 1,762 1,829 1,847 39,9 39,9 56,0
Bandung Raya 855 859 863 30,6 31,0 47,7
Gerbangkertosusila 1,951 1,949 1,949 22,7 22,5 40,0
Mamminasata 447 448 473 36,9 35,0 37,6

Total Penduduk (juta)

Mebidang 3,3 3,6 4,2 65,2 66,5 76,3


Jabodetabekjur 18,8 20,6 23,9 69,8 67,4 79,0
Bandung Raya 5,9 6,4 7,3 53,6 52,0 67,7
Gerbangkertosusila 7,2 7,5 8,1 48,5 48,3 63,3
Mamminasata 2,1 2,1 2,2 60,8 57,7 61,5

Catatan: Mebidang terdiri dari: Kota Medan dan Binjai; Kabupaten: Deli Serdang
Jabodetabekjur terdiri dari: Semua Kota di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok Tangerang,
dan Bekasi; Kabupaten: Bogor, Tangerang, Bekasi dan Cianjur.
Bandung Raya terdiri dari: Kota Bandung dan Cimahi; Kabupaten: Bandung dan Sumedang
Gerbangkertosusila terdiri dari: Kota Surabaya dan Mojokerto; Kabupaten: Sidoarjo,
Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan
Mamminasata terdiri dari: Kota Makassar; dan Kabupaten: Takalar, Goa dan Maros.
Jumlah Penduduk dari data Podes yang didapat dari kepala desa, unit data lebih kecil dari
penelahan khusus oleh IHS berdasarkan data dari BPS Podes (Potensi Desa) dalam beberapa
tahun.

Data Podes (Potensi desa) BPS saat ini memungkinkan untuk dianalisis dengan
memperhatikan sejarah perkembangan secara terbatas dalam memahami proses
urbanisasi dengan memfokuskan pada tiga periode terakhir, yaitu tahun 1995, 1999 dan
200510. Dengan menggunakan delineasi desa, desa-desa yang dapat dikelompokkan
sebagai kota dan penduduk yang bertempat tinggal di desa tersebut diidentifikasi sebagai
dasar untuk menghitung persentase desa-desa yang menjadi kota dan persentase jumlah
penduduk kota yang tinggal di desa tersebut (TABEL 5 - 6).

10
Seperti penjelasan sebelumnya. Podes dilibatkan dalam persiapan sensus utama: Podes tahun 1995
sebagai persiapan Sensus Pertanian tahun 1996. Podes tahun 1999 sebagai persiapan Sensus Penduduk
tahun 2000 dan Podes tahun 2005 untuk Sensus Ekonomi tahun 2006. Pemakaian tahun dalam Podes
oleh BPS berdasarkan tujuan tertentu. Tahun yang menjadi referensi disini menggambarkan tahun
pengumpulan data
134 Metropolitan di Indonesia

Pembahasan selanjutnya perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, tanpa


kecuali, proses urbanisasi secara ekologis di lima kawasan metropolitan jauh lebih
lambat dibandingkan dengan perkembangan demografisnya. Perluasan kawasan
metropolitan menunjukkan bahwa kecuali Jabodetabekjur, kawasan metropolitan lainnya
secara ekologis masih lebih berciri desa daripada kota. Contohnya, hanya kurang dari
setengah desa-desa tersebut sudah dikelompokkan menjadi kota. Dengan kata lain, dari
perspektif kependudukan, kecenderungan untuk mengkategorikan penduduk desa-desa
tersebut menjadi penduduk kota secara umum meningkatkan tingkat urbanisasi secara
tajam. Dari lima kawasan metropolitan tersebut, Mebidang dan Jabodetabekjur memiliki
lebih dari 3 dari 4 rumah tangga penduduk di desa yang berciri kota (urban village),
sedangkan tiga kawasan metropolitan lainnya antara 6 dan 7 dari 10 penduduk yang
tinggal di desa berciri kota.
Kedua, proses urbanisasi menjadi semakin cepat dan terlihat jelas bahkan dalam
periode pendek selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1995 sampai tahun 2005.
Kecenderungan ini terjadi meskipun definisi desa yang menjadi kota tersebut lebih ketat
(lihat TABEL 5 - 2). Kecenderungan ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekologi tetapi
juga dari sisi demografi. Pada lima kawasan metropolitan tersebut, wilayah desa berciri
kota serta jumlah penduduknya meningkat secara signifikan selama lima tahun terakhir
dalam abad ini dibandingkan abad sebelumnya sedangkan secara anekdot dirasakan
bahwa ketika bergerak keluar dari pusat kota dan melihat iklan-iklan untuk komplek
perumahan, dimana proses urbanisasi terjadi. Lebih lanjut, perlu diingat bahwa
kecenderungan percepatan urbanisasi pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997
terus berlangsung dan tetap bertahan. Pada saat itu, krisis pertama kali mempengaruhi
dinamika sektor konstruksi yang menyebabkan pembuat kebijakan menjadi khawatir
akan dampak sosialnya berupa demonstrasi para pekerja yang di-PHK di jalan-jalan
Jakarta. Data ini menunjukkan adanya kemungkinan sektor konstruksi kembali menjadi
penggerak urbanisasi yang terjadi di semua kota-kota besar di negeri ini.
Kondisi pada tahun 2005 digambarkan oleh peta pada gambar-gambar di bawah.
Peta tersebut menunjukkan penyebaran desa berciri kota (urban village) dan desa
berpenduduk paling sedikit 2000 jiwa atau lebih di lima kawasan metropolitan.
Berdasarkan data kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan pulau lainnya. Kawasan
metropolitan terbesar berada di Pulau Jawa. Dari lima kawasan metropolitan yang
diteliti, terdapat tiga kawasan metropolitan besar yang terletak di Pulau Jawa–
Jabodetabekjur yang memiliki keistimewaan dibandingkan kawasan metropolitan lain,
diikuti oleh Gerbangkertosusilo, dan Metropolitan Bandung – yang keempat adalah
Mebidang di Sumatera Utara, dan yang kelima adalah Mamminasata, dengan Kota
Makassar sebagai core-nya. Kawasan Metropolitan di Pulau Jawa lebih besar secara
ekologis (jumlah desa) dan secara demografis (jumlah penduduk). Jabodetabekjur
memiliki keistimewaan tidak hanya dalam cakupan wilayahnya tetapi juga dalam hal
jumlah penduduknya. Berdasarkan data Podes tahun 2005, Jabodetabekjur memiliki
jumlah penduduk sebanyak 23,9 juta jiwa11 sedangkan kawasan metropolitan terbesar

11
Angka penduduk dalam Podes didapatkan dari wawancara kepada kepala desa. Walaupun ada
kecenderungan dalam pengambilan data podes kurang sistematis. Namun hasilnya masuk akal untuk
membandingkan dengan proyeksi penduduk yang digunakan untuk SUSENAS (Survei Sosial-Ekonomi
Nasional).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 135

kedua, Gerbangkertosusila hanya memiliki 8,1 juta jiwa, yaitu kurang dari sepertiga
jumlah penduduk di Jabodetabekjur, dan Metropolitan Bandung dengan 7,3 juta jiwa.
Kawasan metropolitan di luar Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit,
dengan Penduduk Mebidang hanya sebesar 4,2 juta jiwa dan Mamminasata hanya
sebesar 2,2 juta jiwa (TABEL 5 - 6).12
Disamping itu, peta-peta tersebut juga menunjukkan koridor perkotaan, bermula
pada daerah inti yang berkembang menjadi lebih terbangun dan proses urbanisasi terus
meluas, biasanya perluasan itu mengikuti jaringan transportasi utama khususnya pada
jalan utama. Urbanisasi merupakan suatu bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan
ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya ditunjang dengan
pembangunan jalan-jalan arteri utama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Jabotabek yang
perkembangan kotanya terjadi di sepanjang koridor arteri timur – barat. Oleh karena itu,
jika pembangunan jalan arteri utama dibangun berdasarkan keputusan pemerintah maka
perkembangan perkotaan juga ditentukan secara langsung oleh pemerintah. Pihak swasta
dan pengembang merespon terhadap inisiatif-inisiatif tersebut dengan membangun
lingkungan perkotaan dan kawasan tertutup (enclave) berupa real estate baik yang
berskala besar maupun kecil. Pihak swasta membangun perumahan untuk golongan
ekonomi menengah ke atas dengan mengesampingkan masyarakat miskin. Masyarakat
miskin dengan sendirinya mengisi ruang-ruang antara yang tersisa baik yang legal
maupun ilegal.

GAMBAR 5 - 1 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan


Mebidang

12
Data SUSENAS 2004, proyeksi penduduk di lima wilayah metropolitan sebagai berikut: Mebidang
4.3 juta jiwa. Jabodetabekjur 25,3 juta jiwa. Metropolitan Bandung 7,8 juta jiwa.
136 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 2 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan


Metropolitan Jabodetabekjur

GAMBAR 5 - 3 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan


Metropolitan Bandung Raya
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 137

GAMBAR 5 - 4 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan


Metropolitan Gerbangkertosusila

GAMBAR 5 - 5 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan


Metropolitan Mamminasata
138 Metropolitan di Indonesia

Perbandingan pola kepadatan dan penyebaran desa-kota dan kota pada lima kota-
kota metropolitan ditunjukkan oleh TABEL 5 - 7 yang mengkombinasikan perbedaan
mencolok antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Kota-kota metropolitan di Pulau Jawa
biasanya lebih besar, seperti Jabodetabekjur, yang memiliki primacy rate13 yang besar
mengungguli kota-kota metropolitan lainnya. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak
hanya dalam arti wilayah ataupun karakteristik desa-kotanya, tetapi terutama dalam hal
penduduk. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena Pulau Jawa sejak dahulu memiliki
penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, sehingga
kota-kota metropolitan di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar.
Pembangunan di masa lalu pun cenderung terpusatkan pada wilayah barat Indonesia,
sehingga tidak mengherankan jika kota metropolitan pertama di luar Pulau Jawa adalah
Kota Medan, Pulau Sumatera. Kota metropolitan terkecil yang dibahas dalam bab ini
adalah Mamminasata yang relatif kurang terbangun.

Mengapa Tinggal di Kota-Kota Metropolitan?


Pembahasan mengenai proses urbanisasi dan metropolitanisasi serta pertumbuhan dan
penurunan penduduk di atas terlepas dari penilaian baik atau buruk. Hal ini dilakukan
dengan asumsi bahwa penilaian dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu.
Jika dilihat dari sudut pandang perencana atau pengelola kota, kedatangan penduduk,
terutama mereka yang miskin, merupakan suatu masalah. Para pendatang dituding
sebagai penyebab meningkatnya kemacetan dan mereka menggunakan fasilitas dan
pelayanan kota yang tidak direncanakan untuk mereka. Bagaimanapun mereka terlalu
menggantungkan pada kondisi fisik dan sosial infrastruktur kota yang juga menyebabkan
keterpurukan mereka. Namun, pendatang juga membayar pajak yang dapat dimanfaatkan
untuk memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial perkotaan.

13
Angka yang menunjukkan daya tarik kota besar yang didapatkan dari perbandingan jumlah penduduk
kota besar tersebut dengan jumlah penduduk di dua kota berikutnya
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 139

TABEL 5 - 7 Sudut Pandang Ekologi dan Kependudukan Metropolitanisasi


Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata
Penyebaran Berawal dari Kota Lima wilayah kota di Perkembangan Perkembangan kawasan Mamminasata
Kawasan Medan sebagai kota DKI Jakarta merupakan kawasan perkotaan di perkotaan di merupakan kawasan
Perkotaan inti, secara dominan kawasan inti perkotaan Metropolitan Bandung Gerbangkertosusila metropolitan yang
berkembang sepanjang dengan kepadatan berawal dari pusat berawal dari pusat Kota kurang terbangun
koridor barat – timur . tinggi yang terus Kota Bandung ke Surabaya, meliputi dibandingkan dengan
Perkembangan ke arah berkembang ke arah wilayah sekitarnya sebagian besar wilayah lima kota metropolitan
barat menghubungkan utara – selatan dan hingga ke wilayah Sidoarjo dan desa-desa yang dibahas disini,
Kota Medan dengan timur – barat hingga ke Kabupaten Bandung. sekitarnya hingga kawasan terbangun
Kota Binjai. wilayah Tangerang di terhubung dengan Kota masih terpusat pada
Ke arah timur bagian barat. Bekasi di Mojokerto. daerah inti dengan
Kabupaten Deli bagian timur dan Bogor beberapa kantung-
Serdang yang di bagian selatan. kantung pertumbuhan
merupakan daerah disekitarnya.
pantai.
Tingkat Mebidang bukan Seluruh wilayah Diluar Kota Bandung, Tingkat desa-kota yang Dibandingkan dengan
Ekologi merupakan kawasan Jakarta merupakan daerah sekitar tinggi tentu saja lima kota metropolitan
Perkotaan terbangun yang padat kawasan terbangun. Kabupaten Bandung ditemukan di Kota lain yang dibahas di
melainkan bentuk Tangerang dan Bekasi dan Kabupaten Surabaya dan Kota sini. Mamminasata
penyebaran desa-kota pada proses terbangun Sumedang memiliki Mojokerto bahkan juga merupakan kawasan
hingga ke wilayah dengan tingkat yang kawasan terbangun di Kabupaten Sidoarjo. metropolitan yang
kabupaten Deli Serdang tinggi sedangkan Bogor yang terbatas. Di Kabupaten Mojokerto kurang terbangun.
masih memiliki dan Kabupaten
wilayah pedesaan yang Lamongan desa-kota
lebih luas. nya lebih tersebar.
Tingkat Kepadatan desa-kota Pola urbanisasi Desa dengan jumlah Gerbangkertosusila Hal yang sama, angka-
Urbanisasi dengan populasi lebih ditunjukkan sebagai penduduk 2000 jiwa memiliki karakteristik angka menunjukkan
Penduduk dari 2000 jiwa tidak desa-kota dan desa atau lebih tersebar tingkat urbanisasi tingkat urbanisasi
terlalu banyak dan di dengan populasi 2000 hampir diseluruh penduduk yang tinggi penduduk di kawasan
wilayah luar Kota jiwa atau lebih kawasan metropolitan yang dapat dilihat dari metropolitan ini masih
Medan desa-desa ini merupakan patokan Bandung, tetapi lebih persebaran desa-desa rendah.
lebih tersebar. yang dapat terpusat di sekitar Kota dengan jumlah penduduk
140 Metropolitan di Indonesia

Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata


dibandingkan. Bandung. 2000 jiwa atau lebih
Perluasan Perluasan kawasan Penambahan wilayah Kawasan terbangun Desa-kota di kawasan Masih serupa dengan
Ekologi metropolitan ke wilayah Cianjur yang memiliki masih terjadi di sekitar metropolitan ini Makassar dan
Perkotaan Kabupaten Deli kawasan terbangun Kota Bandung, cenderung untuk menyebar secara
Serdang menunjukkan rendah ke dalam sedangkan Kabupaten mengelompok keluar lambat ke desa-desa
tingkat kawasan kawasan metropolitan Bandung dan dari wilayah inti Kota sekitarnya.
terbangun yang relatif mempengaruhi tingkat Kabupaten Sumedang Surabaya menuju
rendah. kawasan terbangun masih terdapat banyak kabupaten-kabupaten
secara keseluruhan. kawasan pedesaan. sekitarnya.
Penyebaran Penyebaran desa-desa Desa-desa di Pulau Desa-desa dengan Seperti kawasan Dalam hal urbanisasi
Urbanisasi dengan jumlah Jawa, termasuk Bogor jumlah penduduk 2000 metropolitan lainnya di penduduk, desa-desa
Penduduk penduduk 2000 jiwa dan Cianjur, memiliki jiwa atau lebih, Pulau Jawa yang dengan jumlah
atau lebih menyerupai jumlah penduduk yang terpusat di sekitar Kota penduduknya sangat penduduk 2000 jiwa
perluasan desa-kota, lebih banyak, sebagian Bandung, dapat juga besar, dalam hal atau lebih tidak
melalui Kota Medan besar memiliki ditemukan pada kependudukan wilayah tersebar secara luas di
menuju Kota Binjai dan penduduk lebih dari sebagian besar wilayah ini sangat terbangun wilayah metropolitan
ke arah selatan 2000 jiwa. metropolitan. karena desa-desa dengan ini.
sepanjang pantai. jumlah penduduk 2000
jiwa atau lebih secara
luas tersebar di seluruh
wilayah ini.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 141

Seringkali orang ditanya mengapa ingin tinggal di Jakarta, atau di kota-kota


metropolitan lainnya di Indonesia, padahal kota-kota metropolitan itu identik dengan
masalah kemacetan, polusi dan banyak terdapat penyakit-penyakit perkotaan lainnya.
Jawabannya sangatlah sederhana. Di kota-kota itulah terdapat banyak aktivitas,
meskipun orang tahu bahwa jalan-jalan tidak berlapis emas, tetapi disitulah tempat orang
dapat menemukan susu dan madu walaupun tidak berlimpah. Hal yang sama juga dilihat
oleh golongan kaya dan miskin, golongan kuat dan lemah, pria dan wanita, muda dan
tua. Para politisi akan berada di ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan dan
keuangan. Bisnis, terutama bisnis skala besar, akan tinggal di metropolitan yang
merupakan pusat bisnis yang merupakan tempat kehidupan bagi mereka. Bahkan,
pemulung yang sangat miskin pun masih menganggap kehidupan di kota besar ‘lebih
baik’ daripada di tempat asal mereka yang memiliki peluang ekonomi terbatas atau
bahkan sama sekali tidak ada karena mereka tidak memiliki lahan. Keberuntungan masih
dapat ditemukan di kota-kota besar di kawasan metropolitan. Generasi muda dapat
memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih baik dan memperoleh ‘kebebasan’
berekspresi termasuk dalam hal berbusana, jauh dari pengawasan sosial keluarga serta
fasilitas-fasilitas hiburan yang banyak dan beragam. Kemacetan, polusi, kriminalitas dan
hal-hal negatif lainnya menjadi konsekuensi yang dapat diterima untuk mendapatkan
semua keuntungan tersebut.

TABEL 5 - 8 Daya Tarik Permukiman di Kawasan Metropolitan


Mebidang Jabodeta- Bandung Gerbang- Mammina-
Indikator bekjur Raya kertosusila sata
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Rasio
49 60 42 63 47 54 42 49 47 59
Ketergantungan
Rasio Registrasi
Sekolah usia 72 59 65 27 59 40 72 52 66 39
16-18 tahun
% populasi
penduduk usia
47 29 48 16 38 18 48 30 55 38
di atas 15 tahun
lulusan SMA
% Tenaga Kerja
7 59 3 45 8 39 6 58 4 58
di Bidang Pertanian
% Tenaga Kerja
29 17 33 17 36 27 33 17 18 13
di Bidang Industri
% Tenaga Kerja
64 34 65 39 56 34 61 26 77 29
di Bidang Jasa
Tingkat
19 16 17 17 21 15 13 12 20 17
Pengangguran
Catatan: Rasio Ketergantungan merupakan pembagian antara jumlah penduduk usia 0 -14 tahun
ditambah dengan usia diatas 65 tahun dengan jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun (usia produktif).
Rasio Registrasi Sekolah adalah perbandingan antara penduduk yang bersekolah dengan jumlah
penduduk pada rentang umur tertentu.
Bidang Pertanian mencakup pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan.
Bidang Industri meliputi industri manufaktur, pertambangan dan penggalian, dan konstruksi.
Bidang Jasa mencakup perdagangan, transportasi, keuangan, pelayanan sosial dan lain-lain.
Sumber : Tabulasi khusus oleh IHS berdasarkan data Susenas BPS 2004
142 Metropolitan di Indonesia

Kenyataan di atas didukung oleh beberapa fakta dalam hal pendidikan dan
pekerjaan, sebagaimana ditunjukkan dengan perbandingan indikator kependudukan
antara kota dan desa di beberapa metropolitan yang dibahas (TABEL 5 - 8). Secara
khusus, wilayah terbangun metropolitan dihuni oleh penduduk usia produktif yang dapat
menikmati pendidikan yang lebih baik dan menemukan pilihan pekerjaan yang beragam
meskipun di tengah-tengah ancaman pengangguran. Rasio ketergantungan
(perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 dan >65 tahun dengan jumlah
penduduk berumur 15-64 tahun) lebih rendah di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah perdesaan di wilayah metropolitan yang menggambarkan dinamika pola ruang.
Ini menunjukkan bahwa penduduk kota memiliki beban tanggungan lebih ringan yang
biasanya memiliki jumlah anak yang membutuhkan investasi sosial berupa kesehatan
dan pendidikan yang lebih sedikit.
Sebagaimana kita ketahui, fasilitas dan pelayanan pendidikan, dan terutama dari segi
jumlahnya, lebih banyak tersedia di daerah perkotaan daripada daerah perdesaan. Kami
telah memilih dua indikator pendidikan, yaitu tingkat registrasi penduduk usia sekolah
menengah atas dan persentase penduduk dewasa (di atas 15 tahun) yang telah
menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas. Hasilnya di beberapa metropolitan
terpilih menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut lebih tinggi di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Dengan kata lain, penduduk kota jauh lebih
terdidik daripada penduduk desa.
Lebih beragamnya jenis pekerjaan dan peluang penghidupan di kota dibandingkan di
desa adalah penyebab dan akibat dari kesemerawutan kota. Sebaliknya, hanya sebagian
kecil penduduk perkotaan yang bekerja atau terpaksa bekerja di sektor pertanian
mengingat mereka memiliki pilihan kerja yang lebih luas. Penyerapan tenaga kerja di
bidang industri, termasuk industri skala kecil dan menengah, masih merupakan
fenomena perkotaan daripada perdesaan. Ketimpangan yang lebih signifikan terjadi pada
sektor jasa, meskipun termasuk perdagangan skala kecil yang dikenal sebagai sektor
informal. Namun, mall hanya dibangun di daerah padat dimana penjual dapat
menemukan sumber penghidupannya. Sektor transportasi, termasuk angkutan kendaraan
bermotor roda dua yang dikenal dengan nama “ojek” masih lebih banyak tersedia di
daerah permukiman padat. Inovasi terbaru tentu saja berupa bus way Jakarta, yang
merupakan satu-satunya sistem transportasi yang diterapkan di negara yang membayar
sopir dengan gaji tetap dan terbuka baik bagi pria maupun wanita. Sektor keuangan atau
perbankan biasanya ditemukan di perkotaan yang memiliki peluang bisnis. Hal yang
sama juga terjadi pada sektor pemerintahan yang terletak di kota pusat pemerintahan.
Terdapat beberapa peluang penghidupan di perkotaan, namun, tidak semuanya
membawa sukses. Dengan harapan dapat memenuhi keinginan, menjadi pengangguran
pun tidak masalah sekalipun kemungkinannya tinggi, karena ini hanyalah sementara. Di
samping itu, seiring dengan semakin orang miskin lebih memilih tinggal di perdesaan
dan status pengangguran seringkali menjadi sesuatu yang sulit diterima, satu-satunya
perbedaan tipis antara tingkat pengangguran yang tinggi di kota dan di desa menjadi
tanda perlunya perhatian, yang biasanya menyulut gejolak sosial.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 143

TABEL 5 - 9 Ketersediaan Fasilitas dan Pelayanan


Mebidang Jabodeta Bandung Gerbang- Mamminasata
bekjur Raya kertosusila
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
% Rumah 89 85 93 69 86 74 88 69 91 67
Tangga dengan
Listrik
Fasiltas/1000 penduduk
Rumah Sakit 34 143 85 263 121 2370 73 51
Puskesmas 44 31 38 56 33 44 35 55 33 23
Praktek Dokter 3 21 4 32 3 24 3 21 4 33
% Desa-desa dengan fasilitas
Sumber air 99 75 98 82 88 52 90 74 99 71
minum/masak
dari PAM.
pompa atau
sumur
Jalan beraspal 82 41 92 59 93 81 91 53 95 62
Kantor Pos 13 2 32 3 23 4 13 1 15 2
Telepon 89 30 99 70 99 65 97 67 98 59
Umum/Wartel
Pusat Perbelan- 42 1 60 7 51 6 39 6 52 5
jaan
Pasar Permanen/ 26 5 34 7 26 9 26 12 24 21
Semi-permanen
Hotel/guest 20 3 24 4 23 4 13 1 29 2
house
Bank 30 42 1 35 2 24 2 32 4
Supermarket 30 0 64 4 48 3 32 1 19 1
Sumber : Tabulasi Khusus oleh IHS berdasarkan data PODES 2005 BPS

Penegasan mengenai keberutungan di kota secara jelas ditunjukkan pada TABEL 5 -


9. Tabel itu memperlihatkan bahwa secara umum proporsi rumah tangga yang memiliki
akses listrik di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan di beberapa
kawasan metropolitan yang dibahas. Hal yang sama juga terjadi dalam hal ketersediaan
fasilitas dan pelayanan kesehatan serta fasilitas dan infrastruktur yang mempengaruhi
kualitas kehidupan. Akses terhadap air bersih, jalan dan infrastruktur ekonomi (kantor
pos, wartel, pusat perbelanjaan, pasar, hotel, bank dan supermarket) lebih besar di
perkotaan dibanding di pedesaaan.

Tantangan
Urbanisasi bukan hanya fakta kehidupan tetapi juga terus meningkat. Proyeksi BPS
menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Indonesia terus bertambah dari 206 juta
pada tahun 2000 menjadi 275 juta pada tahun 2025 (TABEL 5 - 10). Sementara 4 dari 10
orang tinggal di kota pada tahun 2000, dalam dua dekade ke depan diperkirakan bahwa
hampir 7 dari 10 orang akan tinggal di kota. Yang terpenting untuk dicatat adalah, walau
bagaimanapun, tingkat urbanisasi nasional terutama dipengaruhi oleh kondisi Pulau
Jawa. Menurut sensus penduduk tahun 2000, hampir separuh (49 persen) jumlah
penduduk Pulau Jawa tinggal di perkotaan dan diperkirakan pada tahun 2025 hampir 8
dari 10 penduduk Pulau Jawa akan tinggal di perkotaan. Dengan perkiraan jumlah
penduduk Jawa akan mencapai 151 juta pada tahun 2025, berarti 120 juta akan tinggal di
aglomerasi perkotaan. Hal ini mengingatkan pengelola kota dan perencana tata ruang
144 Metropolitan di Indonesia

akan tantangan yang akan mereka hadapi. Peran apa yang ingin mereka mainkan?
Apakah mereka akan berperan sebagai fasilitator atau justru berupaya menghalau
kecenderungan ini?

TABEL 5 - 10 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Proporsi Penduduk


Perkotaan Indonesia Menurut Pulau-pulau Utama Tahun 2000 - 2025
2000 2005 2010 2015 2020 2025
Jumlah Penduduk (juta)

Sumatra 43 47 51 55 59 63
Jawa 121 128 134 141 147 151
Bali & Nusa Tenggara 11 12 13 14 14 15
Kalimantan 11 13 14 15 17 18
Sulawesi 15 16 17 18 19 20
Maluku & Papua 4 4 5 5 5 6
INDONESIA 206 220 234 248 262 274
Penduduk Perkotaan (juta)

Sumatra 33,7 38,8 44,1 49,3 54,4 59,3


Jawa 48,8 56,5 63,6 69,7 74,8 79,0
Bali & Nusa Tenggara 32,3 38,1 43,5 48,6 53,1 57,0
Kalimantan 35,4 40,0 44,8 49,4 54,0 58,5
Sulawesi 27,6 30,8 34,1 37,5 41,1 44,8
Maluku & Papua 24,3 24,9 25,6 26,3 27,1 28,0
INDONESIA 42,0 48,3 54,2 59,5 64,2 68,3

Sumber: BPS, BAPPENAS, UNFPA, Proyeksi Penduduk Indonesia 2000–2025

Penutup
Secara jelas telah dinyatakan bahwa metropolitanisasi menguntungkan, atau bukan suatu
masalah, paling tidak bagi mereka yang gaya hidupnya terpenuhi oleh fasilitas-fasilitas
dan pelayanan yang tersedia. Dengan kata lain, jika ada permasalahan yang diidentifikasi
oleh perencana dan pengelola kota, solusinya harus ditujukan untuk mereka yang
menikmati berbagai macam aktivitas kehidupan metropolitan karena mereka tidak
meninggalkan metropolitan tetapi justru terus mengajak orang lain untuk tinggal di kota.
Atau mungkin sudut pandang lain harus juga diperhatikan, perencana kota harus
merencanakan masa depan dan masa depan berarti meningkatnya kawasan terbangun
dan meluasnya kawasan metropolitan yang ada saat ini. Pembangunan infrastruktur fisik
perkotaan harus direncanakan sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan
berlangsung terus menerus dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di kawasan
metropolitan.
Indikator-indikator yang ditunjukkan TABEL 5 - 8 dan TABEL 5 - 9 memunculkan
lebih banyak pertanyaan daripada menyediakan jawaban. Seseorang bisa hanya
mengasumsikan mengapa desa tumbuh menjadi kota yang terus meluas kemudian
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 145

bersama-sama dengan desa disekitarnya berubah menjadi permukiman perkotaan.


Pertanyaan-pertanyaan berikut juga mengandung rekomendasi untuk diteliti lebih lanjut.
• Mengapa pola pertumbuhan kota metropolitan menjadi seperti yang selama ini
terjadi, apakah ada ‘invisible hand’ yang mengarahkan proses itu?
• Apa peran dan tanggung jawab pemerintah? Pemerintah pada tingkat mana?
• Bagaimana dengan peraturan zoning? Apakah ada dan dijalankan?
• Apakah pemerintah mengarahkan di mana seharusnya pihak swasta harus
membangun atau sebaliknya?
• Apakah proses urbanisasi dan metropolitanisasi merupakan proses ‘alami’ dengan
pasar merupakan kekuatan satu-satunya?

EKONOMI PERKOTAAN14

Pendahuluan

Pertumbuhan kota-kota selalu berbasis pada faktor ekonomi. Titik tolaknya selalu terkait
dengan keuntungan lokasi kota bersangkutan. Kota-kota yang cepat berkembang pada
dua dekade terakhir ini dapat ditengarai adanya potensi lokasi yang sangat menonjol.
Semua ini berwujud kegiatan ekonomi riil baik ekonomi formal maupun informal.
Kota-kota besar yang ada sekarang ini, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan,
dan Makassar yang sering disebut dengan metropolitan menunjukkan kekuatan lokasi
yang strategis sehingga terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan ini dapat diwakili
oleh pertumbuhan penduduk yang pesat dan sekaligus pertumbuhan ekonominya.
Dibandingkan dengan kota-kota atau daerah-daerah lain, ada beberapa kota di
Indonesia mempunyai ukuran besar dengan penduduk lebih dari 700 ribu jiwa15. Jumlah
kota-kota besar ini ada sekitar 14 kota, yang paling kecil adalah Kota Padang dengan
penduduk 702 ribu jiwa (tahun 2000).
Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar, kota-kota tersebut
mengalami berbagai persoalan, utamanya dalam pelayanan. Persoalan ini semakin kronis
ketika jumlah penduduk terus meningkat yang umumnya berasal dari migrasi masuk ke
kota yang disebut dengan urbanisasi.

14
Catatan editor: Analisis ekonomi di bab ini menggunakan batasan jumlah penduduk perkotaan yang
berbeda dengan analisis kependudukan di bab sebelumnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak
mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh buku ini.
15
Hasil penelitian empiris oleh Bambang dan Ringgi (2003) dalam pengelompokan besaran kota-kota
di Indonesia ditemukan 3 kelompok, yaitu: kota besar/metropolitan mempunyai penduduk lebih dari
700 ribu jiwa. Kota sedang berpenduduk antara 200 ribu jiwa dan 700 ribu jiwa, sedangkan kota kecil
berpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa.
146 Metropolitan di Indonesia

TABEL 5 - 11 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota 1980-1990 dan


1990-2000
1980-1990 (%) 1990-2000 (%)
Kota Besar (>700 ribu) 2,7 1,1*
Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 2,2 1,5
Kota Kecil (<200 ribu) 2,4 0,07
Rata-rata Kota 2,4 1,3
Sumber: Hasil Analisis
*) Secara fungsional, pertumbuhan kota besar jauh lebih besar dari angka 1,1persen.
Baca penjelasan TABEL 5 - 13.

Pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode 1980-1990
dengan laju pertumbuhan 2,4 persen16, sedangkan kota-kota besar sekitar 2,7 persen,
Lihat TABEL 5 - 11. Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu 1990-2000, terjadi
penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen (hampir sama dengan laju
pertumbuhan penduduk nasional). Dengan demikian, pada periode 1990-2000 terjadi
penurunan urbanisasi. Diduga, menurunnya tingkat urbanisasi ini selain dampak
menurunnya tingkat ekonomi kota akibat krisis ekonomi 1998 yang lalu, juga karena
adanya alternatif bagi migran untuk menjadi TKI di luar negeri (menurut informasi dari
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah TKI di Luar Negeri sekitar 5 juta
jiwa). TABEL 5 - 12 di bawah ini menunjukkan kemungkinan tersebut.

TABEL 5 - 12 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota dan Nasional


Sebelum dan Pasca Krisis
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
Skala Wilayah 1996 1998 1999 2002
Kota Kecil (<200 ribu) 7,4 -5,1 -0,2 1,8
Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 9,3 -6,9 -0,0 6,4
Kota Besar + Metropolitan(>700 ribu) 11,0 -13,9 -1,5 3,1
Rata-rata Kota 8,9 -6,0 -0,4 5,1
Nasional 5,6 -13,0 3,5 4,0
Sumber: Hasil analisis. Data PDRB Kabupaten/Kota. BPS

Pada TABEL 5 - 12 di atas juga dapat dikenali karakteristik kota-kota besar yang
berbeda dengan kota-kota ukuran lebih rendah yaitu :
1. Kota-kota besar/metropolitan mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi,
tetapi bila terjadi krisis ekonomi, maka kota-kota besar/metropolitan mengalami
kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam. Seperti yang bisa disimak pada

16
Perhitungan laju pertumbuhan pada periode 1980-1990 sebesar 2,4 persen adalah hasil
penelitian oleh penulis. Selama ini laju pertumbuhan yang diakui pada periode tersebut sebesar 3,4
persen. Menurut penulis angka pertumbuhan 3,4 persen tersebut terdapat kesalahan yaitu memasukkan
desa-desa yang menjadi kota dan memasukkan daerah-daerah perluasan kota dalam perhitungan
pertumbuhan.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 147

TABEL 5 - 12, pada periode 1996 pertumbuhan ekonomi sebesar 11 persen, tetapi
pasca krisis tahun 1997 yang lalu, laju pertumbuhan ekonomi mendadak kontraksi
(minus) 13 persen. Namun demikian, ketika kondisi normal, maka laju pertumbuhan
ekonomi kota-kota besar/metropolitan kembali ”leading”. Ini menunjukkan bahwa
ekonomi kota-kota besar/metropolitan cukup ”vulnerable”.
2. Bandingkan dengan kota-kota kecil yaitu ketika situasi normal mempunyai laju
pertumbuhan moderat sebesar 7,4 persen dan ketika terjadi krisis hanya mengalami
kontraksi sebesar 5,1 persen. Kemudian ketika situasi normal hanya terangkat
menjadi 1,8 persen. Perbandingan ini menunjukkan bahwa kota-kota kecil
kelihatannya sudah steady atau mungkin terhambat.

TABEL 5 - 13 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Metropolitan


Laju Pert. Laju Pert.
Penddk Penddk
1980-1900 1990-2000
No. Nama Kota (%) (%) Keterangan
1. Jakarta 2,41 0,16 Terjadi penurunan laju
pertumbuhan karena kejenuhan
Kab. Bogor 4,13 2,25 Terjadi pengurangan wilayah
akibat pemekaran kota Bogor
dan kota Depok.
Kota Bogor 0,94 10,97 Terjadi pemekaran wilayah kota
Kota Depok - - Belum terbentuk.
Kab. Tangerang 6,10 4,12 Laju pertumbuhan tetap tinggi
Kota Tangerang - - Belum terbentuk kota, belum
ada data
Kab. Bekasi 6,29 4,70 Laju pertumbuhan tetap tinggi
Kota Bekasi - - Belum terbentuk kota,
belum ada data
2. Surabaya 2,05 0,43 Terjadi penurunan laju
pertumbuhan
karena kejenuhan.
Kab. Sidoarjo 3,17 2,97 Laju pertumbuhan tetap tinggi
3. Medan 2,30 0,97 Terjadi penurunan laju
Pertumbuhan karena kejenuhan
Kab. 2,59 2,09 Laju pertumbuhan tetap tinggi
Deliserdang
4. Bandung 3,47 0,41 Terjadi penurunan laju
Pertumbuhan karena kejenuhan.
Kab. Bandung 1,83 2,71 Kenaikan laju pertumbuhan
Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2000, BPS

Berdasarkan kajian di atas memperteguh kesimpulan bahwa :


1. Kota-kota besar/metropolitan sangatlah lentur dalam menanggapi pertumbuhan,
sementara kota-kota kecil terlalu kenyal. Dengan sifat yang lentur, maka kota-kota
besar/metropolitan akan selalu menghadapi dinamika pertumbuhan dan sekaligus
menghadapi dampak pertumbuhan itu sendiri.
148 Metropolitan di Indonesia

2. Dampak dari pertumbuhan yang mulai meningkat lagi pada pasca krisis adalah
meningkatnya lagi urbanisasi pada pasca tahun 2000 walaupun tidak sedramatis
tahun sebelum 1990 yang lalu.
Angka-angka urbanisasi memang sulit diidentifikasi, tetapi bisa ditandai dari laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi pada kota bersangkutan. Namun demikian,
perkembangan kota-kota besar/metropolitan umumnya sudah melampaui batas
administrasinya atau mengalami kejenuhan sehingga laju pertumbuhan penduduk
(dengan data penduduk sesuai dengan batas administrasi) akan terdata rendah (karena
sedikitnya pemukiman baru). Dengan demikian, pertumbuhan penduduk di kota-kota
besar/metropolitan akan terdata rendah dan kecenderungan urbanisasi itu akan terdata
pada daerah-daerah/kota-kota yang berada di sekitar kota metropolitan bersangkutan
dengan laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat dikaji pada beberapa kota besar/
metropolitan seperti Jakarta dengan Bodetabek, Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo,
Medan dengan Deli Serdang dan Binjai, atau Bandung dengan Kabupaten Bandung
sebagaimana yang bisa diteliti pada TABEL 5 - 13.
Pertumbuhan penduduk kota-kota metropolitan tersebut akan berimplikasi pada
corak ekonomi kota-kota bersangkutan. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi daerah
diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah bersangkutan. Seberapa
jauh pertumbuhan penduduk kota-kota besar dibarengi oleh pertumbuhan ekonominya.
maka bisa dikaji bagaimana corak PDRB perkapita dengan data-data PDRB tahun 1998
dan 2002 atas dasar harga tetap (1993) dan estimasi data penduduk tahun 1998 dan
200217 sehingga dapat dihitung PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB per
kapita sebagaimana yang dapat disimak pada TABEL 5 - 14 di atas. Dengan demikian,
ada empat kategori pertumbuhan ekonomi yang dapat diberikan sebutan sebagai berikut:
a. Kota besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB per kapita juga lebih
tinggi dari rata-rata. Kota seperti ini disebut sebagai kota ”star”. Hanya Jakarta
Pusat dan Jakarta Utara yang pertumbuhan “leading” dan termasuk kota “star”;
b. Kota besar dengan PDRB per kapita lebih rendah dari rata-rata tetapi pertumbuhan
PDRB perkapitanya lebih tinggi dari rata-rata, disebut sebagai kota “growing”. Kota
Bandung, Padang, dan Palembang termasuk kota yang sedang tumbuh atau
“growing”.
c. Kota Besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB perkapitanya juga
lebih rendah dari rata-rata, disebut Kota “steady”. Ada sembilan kota dari 19 kota-
kota besar/metropolitan yang termasuk dalam kota “teady” atau kota yang
pertumbuhan ekonominya terhambat.
d. Kota Besar dengan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata, tetapi pertumbuhan
PDRB per kapitanya lebih rendah dari rata-rata disebut sebagai Kota ”mature”.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta
Barat, dan Surabaya.

17
Data PDRB tahun 1998 digunakan atas pertimbangan linearitas. Seperti diketahui bahwa pada tahun
1997 terjadi krisis dan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang drastis sehingga data-data
tahun 1997 dan sebelumnya tidak bisa dibandingkan atau tidak linear. Data PDRB tahun 2002
digunakan karena data ini sudah merupakan data final.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 149

TABEL 5 - 14 PDRB Per kapita dan Laju Pertumbuhannya


PDRB/ PDRB/ LAJU PERTBH
PDRB KAPITA PDRB KAPITA PDRB / KAPITA
1998 JML PDDK 1998 Po 2002 JML PDDK Pt 1998 - 2002
NAMA KOTA (juta) 1998 (3) = (juta) 2002 / 2003 (6) = α=(Pt/Po)¼ -1
(0) (1) (2) (1)/(2) (4) (5) (4)/(5) (7)
Medan 4.833.911,19 1.881.080 2,570 5.799.222,07 1.993.602 2.909 0.0315
Padang 2.321.172,65 702.638 3,304 2.682.462,36 765.450 3.504 0.0149
Palembang 2.652.629,00 1.406.774 1,886 3.179.588,00 1.339.315 2.374 0.0593
Bandar Lampung 1.584.900.00 731.406 2,167 1.815.272,00 790.895 2.295 0.0145
Jakarta Selatan 12.264.754,68 1.783.298 6,878 11.644.849,21 1.707.093 6.821 -0.0020
Jakarta Timur 16.074.778,28 2.337.276 6,878 12.305.853,81 2.103.525 5.850 -0.0396
Jakarta Pusat 6.109.404,20 888.309 6,878 15.929.738,60 893.195 17.835 0.2690
Jakarta Barat 13.074.022,33 1.900.966 6,878 10.353.071,91 1.565.708 6.612 -0.0098
Jakarta Utara 9.857.557,04 1.433.291 6,878 14.050.749,60 1.182.749 11.880 0.1464
Tangerang 5.680.177,00 1.259.840 4,509 6.616.456,50 1.416.840 4.670 0.0088
Bandung 5.294.952,14 2.133.091 2,482 6.694.331,05 1.867.010 3.586 0.0963
Bekasi 3.060.637,00 1.565.698 1,955 3.732.084,00 1.809.306 2.063 0.0135
Depok 1.327.648,33 1.120.836 1,185 1.459.981,62 1.247.233 1.171 -0.0030
Bogor 915.583,00 727.118 1,259 1.279.881,96 789.423 1.621 0.0652
Semarang 4.737.732,57 1.335.042 3,549 5.626.854,73 1.350.002 4.168 0.0410
Malang 2.323.694,19 743.965 3,123 2.692.919,81 772.642 3.485 0.0278
Surabaya 15.429.196,46 2.577.732 5,986 14.565.521,28 2.659.566 5.477 -0.0220
Makassar 2.589.506,89 1.075.404 2,408 3.205.558,44 1.148.312 2.792 0.0376
Rata-rata 4.950 0.0416
150 Metropolitan di Indonesia

Berdasarkan kategori di atas maka implikasi pertumbuhan ekonomi dapat


digambarkan sebagai berikut:
1. Kota-kota “star” seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara merupakan kota yang
ekonominya terus berkembang dan sangat dinamis. Karena terjadi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi maka terjadi desakan-desakan pemanfaatan ruang ke arah
penggunaan yang lebih komersial. Dalam banyak kasus yang mengalami tekanan
seperti ini adalah peruntukan perumahan. Dengan demikian secara berangsur dan
cepat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara akan menjadi kawasan komersial.
2. Kota-kota “rowing” seperti Bandung, Padang, dan Palembang sedang mengalami
perkembangan yang sangat cepat, termasuk implikasinya terhadap pergeseran tata
ruang (perumahan menjadi komersial), hanya saja modal ekonominya masih rapuh.
3. Kota-kota ”steady” yang merupakan sebagian besar kota-kota besar/metropolitan ini
walaupun sedang tumbuh, tetapi masih banyak hal yang menghambat, sehingga
pertumbuhannya relatif melambat. Diperkirakan masih banyak faktor-faktor
percepatan ekonomi yang belum kondusif.
4. Kota-kota ”mature” seperti Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan
Surabaya mempunyai fenomena yang sama dengan ”star” di atas, tetapi masih
mengalami hambatan karena layanan prasarana dan fungsi perumahan yang masih
kuat. Akibat dari hambatan ini, pertumbuhannya tersendat dan berjalan tidak secepat
kota-kota ”star”.
Posisi pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan tersebut ditunjukan
dalam GAMBAR 5 - 6.
Dari kategorisasi kota-kota besar/metropolitan tersebut di atas, walaupun sebagian
besar dikategorikan sebagai ”steady”, tetapi tetap kota-kota besar/metropolitan
mempunyai posisi pertumbuhan PDRB per kapita yang rata-ratanya 4,16 persen (lihat
TABEL 5 - 14) adalah jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDRB
per kapita total kota-kota yang sebesar 2,3 persen18. Oleh karena itu, pertumbuhan
ekonomi kota-kota besar/metropolitan di Indonesia mempunyai implikasi sosial dan fisik
sebagai berikut:
1. Tetap mempunyai daya tarik ekonomi dan akan menarik kembali tingkat urbanisasi.
2. Terjadinya pergeseran peruntukan lahan kota dari perumahan menjadi kawasan
komersial dengan tingkat perubahan yang berbeda-beda.
3. Kembalinya urbanisasi yang meningkat (butir 1). Karena tidak didukung oleh
ketersediaan lahan yang mencukupi maka perkembangan kota akibat tekanan
pertumbuhan ekonomi ini akan berimbas pada kawasan sekitar kota besar/
metropolitan yang bersangkutan (spread development).
4. Pertumbuhan ”spread” adalah pertumbuhan kota yang tidak efisien dan
menimbulkan banyak dampak antara lain: kemacetan lalu lintas, berkurangnya

18
PDRB Per Kapita dan pertumbuhannya secara nasional dari sumber: ”Kajian Pertumbuhan Kota-kota
Dalam Rangka Pembangunan Prasarana Ke-PU-an”. PUSTRA. Kegiatan TA 2005.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 151

fungsi kawasan lindung akibat dimanfaatkan untuk perumahan, dan sulitnya


mengembangkan jaringan prasarana secara terpadu.

PDRB/Kap.
Lj. Pert.
“growing” “star”

Palembang, Jakarta Pusat dan Jakarta


Bandung, Bogor, Utara
dan Makassar

PDRB/Kap.

Medan, Padang, Jakarta Selatan,


Bd.Lampung,Tangerang, Jakarta Barat,
Bekasi, Depok, Semarang. Jakarta Timur, dan
Malang, dan Makassar Surabaya

“steady” “mature”

GAMBAR 5 - 6 Kategorisasi Kota-kota Besar/Metropolitan


Cat: Analisis berdasarkan TABEL 5 - 14

Bagaimanapun juga kota-kota besar/metropolitan tetap tumbuh ”leading” dibandingkan


kota-kota lain yang kesemuanya didorong oleh fungsi ekonomi dan peranan ini tentunya
juga ”leading” bagi perekonomian nasional.

Tantangan
Kota sebagai pusat aglomerasi ekonomi dengan pola pertumbuhan sebagaimana
diuraikan sebelumnya diakui mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekonomi
kota masing-masing dan ekonomi secara nasional karena:
1. Sekitar 40-50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional disumbang oleh 90
kota19 atau sekitar 20 persen dari sekitar 430 kabupaten/ kota di Indonesia;

19
Yang dimaksud kota adalah kota otonom, tidak termasuk kota-kota kabupaten yang tidak otonom.
152 Metropolitan di Indonesia

2. Peranan ekonomi kota ini semakin menonjol pada kota-kota besar/metropolitan.


Sekitar 14 kota-kota metropolitan atau 3 persen dari total daerah menyumbang 30
persen PDB Nasional20;
3. Selain penting dalam perekonomian nasional, kota-kota metropolitan juga
mempunyai peranan bagi sumber fiskal nasional. Seperti diketahui 80 persen APBN
berasal dari pajak dan dari 80 persen pajak ini, sekitar 70 persen berasal dari pajak
badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber dari perkotaan;
dan
4. Diperkirakan 50 persen dari APBN berasal dari pajak kota-kota besar/
metropolitan21.

Walaupun kota-kota metropolitan secara agregat merupakan sumber ekonomi dan


keuangan nasional, tetapi secara kapita kinerjanya lebih rendah dibandingkan kapita
nasional yang dapat ditunjukkan bahwa :
1. PDRB per kapita kota-kota besar/metropolitan rata-rata Rp 4,5 juta.
2. Sedangkan PDRB Nasional per kapita sebesar Rp 6,7 juta.
3. Angka-angka per kapita kota-kota besar/metropolitan ini (yaitu Rp 4,5 juta) yang
rendah ini dibandingkan dengan nasional (Rp 6,7 juta) menunjukkan 3
kemungkinan 22, yaitu:
a. Kemungkinan pertama: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan
yang masih miskin dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh dan juga berarti
terdapat kesenjangan kesejahteraan yang besar di kota-kota metropolitan.
b. Kemungkinan kedua: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan
bekerja di ekonomi informal sementara angka PDRB tidak memasukkan
kegiatan ekonomi informal.
c. Kemungkinan ketiga: kemungkinan butir 1 dan 2 ada semua. Ini berarti
tumbuhnya kota-kota besar/metropolitan selalu diikuti dengan jumlah
kemiskinan yang besar dan berkembangnya ekonomi informal seiring dengan
besaran PDRB itu sendiri. Semakin besar PDRB sebagai indikator ekonomi
formal, semakin berkembang pula kegiatan ekonomi informalnya.
Kota-kota besar/metropolitan dengan kompleksitas dan intensitas yang demikian
tinggi serta merupakan ”focal point” ekonomi yang potensial itu, selain menjadi pusat
pertumbuhan utama, juga membawa resiko beban-beban berat yang selalu mengiringi
potensi-potensi pertumbuhannya. Potensi pertumbuhan yang sedang berlangsung itu
tampaknya sulit dihentikan dan serta-merta beban-beban yang mengiringi juga terus
menggelanjut.

20
Berdasarkan data-data PDRB 1999 – 2003.
21
Berdasarkan perkiraan perhitungan APBN 2005.
22
Data-data APBD dan PDB dari BPS.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 153

Dengan kemungkinan masalah perekonomian seperti kemiskinan dan kesenjangan


kesejahteraan serta corak ekonomi informal yang mewarnai kehidupan kota-kota besar/
metropolitan sebagaimana yang diperkirakan di atas, maka keluaran persoalan yang
muncul utamanya pada persoalan fisik klasik menyangkut soal kemacetan lalu lintas,
kawasan kumuh, persampahan, kekurangan prasarana pada umumnya, dan menurunnya
tingkat kualitas lingkungan. Semua ini menengarai bahwa perekonomian kota yang
tumbuh selama ini ditopang oleh ”tulang-tulang penyangga” yang rapuh. Dalam situasi
ini kota-kota besar/metropolitan seolah mengalami obesitas yang beresiko tinggi, atau
sensitif terhadap persoalan-persoalan yang mengiringi pertumbuhannya.
Sebagaimana telah diungkap di atas tentang adanya kemungkinan konsentrasi
kemiskinan yang tinggi dengan corak praktik ekonomi informal yang berserak maka ada
kesulitan bagi pemerintah kota-kota metropolitan untuk menanganinya. Namun
demikian, adanya kemiskinan adalah kenyataan dan menjadi tugas pemerintah daerah
bersama masyarakat untuk mengentaskannya; dan adanya ekonomi informal adalah
kenyataan lain yang harus diatur agar menjadi kekuatan ekonomi alternatif.
Cara pengentasan kemiskinan dan pengaturan ekonomi informal oleh pemerintah
daerah dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal daerah dengan kapasitas yang
dimilikinya. Pada umumnya kapasitas fiskal kota-kota besar/metropolitan cukup
potensial yang diperoleh melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak-pajak
(BHP) yang ada (yang dikelola oleh Pemerintah), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP), dan
bantuan Pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Penjumlahan penerimaan
tersebut terangkum dalam APBD. Adapun belanja APBD yang dikeluarkan setiap tahun
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kota. Namun bagi kota-kota besar/
metropolitan, jumlah kapasitas fiskal berupa APBD ini dibandingkan dengan kapasitas
ekonomi daerah ternyata tidaklah seberapa. Rasio APBD terhadap PDRB bagi kota-kota
besar/metropolitan rata-rata hanya 4 persen. Artinya bahwa peranan fiskal daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah hanya 4 persen dan 96 persen berasal dari sektor
riil atau ekonomi masyarakat (Lihat TABEL 5 - 15). Porsi APBD terhadap PDRB
sebesar 4 persen ini sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 23
persen23.
Mengingat bahwa porsi fiskal terhadap ekonomi kota ternyata sangat tidak
signifikan dengan rasio yang hanya 4 persen, maka sebenarnya upaya fiskal melalui
belanja langsung APBD berupa belanja barang, kenaikan gaji, bantuan tunai, dan
semacam itu kemungkinan besar tidak memberikan tambahan nilai yang berarti; yang
mungkin bermanfaat adalah belanja modal berupa prasarana yang bisa lebih memacu
ekonomi riil masyarakat serta memicu investasi langsung. Dengan demikian, tantangan
utama dalam pengelolaan kota-kota besar/metropolitan adalah strategi pembangunan
prasarana yang memberi kemungkinan tumbuhnya investasi langsung baik dalam negeri
maupun luar negeri (Foreign Direct Investment).
Dalam rangka menyongsong investasi itu, masing-masing kota haruslah
meningkatkan daya saing. Laporan penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD), menyatakan bahwa daya saing kota-kota besar/metropolitan secara

23
Rasio APBD/ PDRB secara nasional 23 persen, kota-kota ukuran sedang 9,8 persen, dan kota-kota
kecil sebesar 20 persen (Samiaji 2003).
154 Metropolitan di Indonesia

umum semakin meningkat. Daya saing kota-kota besar/metropolitan berdasarkan


penelitian KPPOD secara berurutan adalah disajikan pada TABEL 5 - 16.

TABEL 5 - 15 Rasio APBD terhadap PDRB (Harga Berlaku)


No. Nama Kota APBD (2003) PDRB (2004) Rasio
Dlm. Milyar Dlm. Milyar (1)/(2)
(1) (2)
1. Medan 1.168 33.078 0,04
2. Palembang 547 14.360 0,04
3. Padang 397 11.507 0,03
4. Bd. Lampung 369 6.022 0,06
5. DKI Jakarta 9.982 375.825 0,03
6. Bandung 962 27.977 0,03
7. Bogor 342 4.051 0,08
8. Depok 390 6.314 0,06
9. Tangerang 523 20.812 0,02
10. Bekasi 542 14.399 0,04
11. Semarang 638 20.250 0,03
12. Surabaya 1.320 59.290 0,02
13. Malang 336 9.745 0,03
14. Makassar 531 13.127 0,04
Rata-rata 0,04
Sumber : Hasil Analisis dari Data Keuangan SIKD Dep. Keuangan dan Data PDRB (atas Harga
Berlaku) - BPS

TABEL 5 - 16 Peringkat Daya Tarik Investasi Kota-kota Besar/Metropolitan


Tahun 2004
Peringkat Peringkat
No. Nama Kota 2003 2004 Keterangan
1. Malang C AAA Kenaikan
2. Jakarta C AA Kenaikan
3. Palembang C AA Kenaikan
4. Makassar - AA 2003 belum diteliti
5. Surabaya B BBB Kenaikan
6. Semarang BB BB Tetap
7. Padang B BB Kenaikan
8. Bandar Lampung C BB Kenaikan
9. Medan C BB Kenaikan
10. Tangerang C BB Kenaikan
11. Bandung BB C Penurunan
12. Bogor C C tetap
13. Bekasi D C Kenaikan
14. Depok - - Belum diteliti.
Sumber: KPPOD
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 155

Peringkat di atas berbeda dengan TABEL 5 - 15 yang mengkategorikan Kota Malang


sebagai kota ”steady”. Pada tabel di atas, Kota Malang malahan mempunyai daya saing
yang paling tinggi di antara kota-kota besar/metropolitan lainnya. Perbedaan ini terjadi
karena pemantauan dan penilaian daya saing yang dilakukan oleh KPPOD adalah potret
sesaat dengan kemungkinan setiap tahun peringkatannya bisa berbeda, sementara hasil
analisis di TABEL 5 - 16 menunjukkan kualitas yang konstan. Sebagai contoh:
Semarang, di peringkat KPPOD, pada dua tahun lalu ada di peringkat pertama, namun
belum sempat menikmati datangnya investasi, pada tahun 2003 peringkatnya turun
menjadi peringkat sepuluh dan pada tahun 2006 terperosok ke peringkat sembilan belas.
Bagaimanapun juga, daya tarik investasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
prasarana dan faktor kelembagaan. Hubungan antara prasarana dan kelembagaan adalah:
1. Walaupun unsur kelembagaan juga menentukan, tanpa kelengkapan prasarana tetap
saja tidak akan mengundang investasi.
2. Walaupun prasarana suatu kota telah lengkap, tanpa pengembangan kelembagaan,
maka pemanfaatan prasarana tidaklah optimal.
3. Oleh karena itu bagi kota-kota besar/metropolitan yang memiliki prasarana yang
lebih lengkap dan kinerja ekonomi yang dinamis, apabila ada upaya peningkatan
kualitas kelembagaan, maka daya tarik terhadap investasi akan lebih nyata.
Dengan demikian, untuk meningkatkan daya tarik investasi kota-kota besar/
metropolitan diperlukan pengembangan kelembagaan yang lebih dinamis.
Sebagai kota besar/metropolitan dengan karakteristik perkembangan ”spread” dan
bergabung dengan daerah-daerah di sekitarnya maka daya saing akan lebih mantap
apabila ada sinerji antara kota besar/metropolitan dengan daerah-daerah di sekitarnya.
Untuk itu, pengembangan kelembagaan melalui kerja sama antar daerah khususnya
dalam bidang pembangunan prasarana akan meningkatkan daya saing dan mampu
mengundang investor untuk menanamkan modalnya di kota-kota metropolitan dan
daerah-daerah yang berbatasan dengannya.

Implikasi Tata Ruang


Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar secara fisik telah
melampaui batas administrasi sehingga ada tanda bahwa telah terjadi dua pola
pertumbuhan fisik kota-kota besar sebagai berikut:
1. Perkembangan ke luar yang terus melebar sehingga mulai menyatu secara fisik
dengan daerah yang berbatasan.
2. Perkembangan ke dalam, yaitu pergeseran di dalam kawasan terbangun kota.
Umumnya yang terjadi adalah pergeseran atau transformasi dari kegiatan perumahan
menjadi kegiatan komersial.
Perkembangan kota yang bersifat ke luar dan ke dalam di kota-kota besar/
metropolitan ini sampai sekarang belum bisa dikendalikan baik melalui instrumen
rencana tata ruang maupun melalui pengendalian tata ruang, termasuk zoning regulation.
Kegagalan pengendalian tersebut diduga terjadi karena:
156 Metropolitan di Indonesia

1. ”Property Right” pemilik lahan lebih kuat daripada ”Development Right”


pemerintah daerah.
2. Kurangnya kapasitas pengawasan terhadap perubahan guna lahan dan kurangnya
sistem data dan informasi geografi kota yang terbaharui untuk mendukung
pengawasan.
3. Tidak adanya kerja sama antar daerah yang solid di antara kota besar/metropolitan
dan daerah yang berbatasan.
4. Persepsi terhadap nilai-nilai ekonomi jangka pendek lebih kuat daripada nilai-nilai
kelestarian yang efisien.
Sebagai akibat dari pola perubahan tata ruang dari dua sumber, yaitu ke dalam dan ke
luar tersebut, maka kota menjadi terus meluas. Berbagai kebijakan pengembangan tata
ruang malahan semakin memicu dan memacu perkembangan kota yang meluas, seperti:
1. Pengembangan struktur kota seperti:
a. Pembentukan sub-pusat sub-pusat kota mendorong munculnya permukiman-
permukiman baru;
b. Zonasi-zonasi guna lahan, terutama pemisahan zona bisnis dan zona industri
dengan permukiman semakin memperbesar jarak antara kedua fungsi sehingga
tidak efisien baik dalam pelayanan maupun pembangunan prasarana.
2. Pembangunan perumahan murah, yang harga jualnya ditentukan oleh pemerintah,
menyebabkan pengembang mencari lokasi yang harga tanahnya murah dan tentunya
lokasinya jauh dari tempat kerja;
3. Penyebaran fasilitas-fasilitas sosial-ekonomi seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar
semakin memberi kemudahan bagi lokasi perumahan yang berada di luar lota;
4. Pembangunan outer ring road akan merangsang tumbuhnya permukiman-
permukiman baru.

Penutup
Kebijakan tata ruang menyebabkan kota besar semakin membesar dan meluas semacam
Kota Obesitas. Kota yang mengalami obesitas ini merupakan akibat langsung dari
perkembangan ekonomi kota yang maju, tetapi tergambarkan dalam perkembangan tata
ruang yang justru tidak efisien. Dengan demikian, nilai-nilai tambah ekonomi yang
diciptakan oleh kota besar itu dikurangi sendiri oleh kebijakan tata ruang yang tidak
efisien itu. Jika kebijakan pengembangan tata ruang masih berkutat pada pola pikir
yang lama, tanpa berupaya reorientasi terhadap masalah melalui terobosan-terobosan
baru dan jitu, maka pada masa datang kota besar/metropolitan yang mengalami obesitas
akan selalu beresiko (seperti manusia kegemukan yang beresiko tinggi terhadap penyakit
degeneratif).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 157

GLOBALISASI DAN METROPOLITAN DI INDONESIA

Pendahuluan
Walau sudah sering menjadi topik pembicaraan dalam, kurang lebih, seperempat abad
terakhir ini—bahkan cenderung menjadi jargon yang klise—istilah “globalisasi” yang
mulai dikenal pada awal 1980-an masih belum memiliki definisi yang disepakati
bersama (Centre for Developing Cities 2006). Padahal, pemahaman tentang apa yang
dimaksud dengan globalisasi akan mempengaruhi sikap terhadap globalisasi tersebut.
Lebih-lebih, globalisasi dalam pengertian yang luas sebagai suatu fenomena interaksi
dan proses pengaruh-mempengaruhi secara sosial-ekonomi-budaya-demografi dari
bagian bumi yang satu ke bagian yang lain pun dapat dikatakan telah berlangsung
selama berabad-abad sebagaimana yang tergambarkan dalam kisah Marco Polo atau
Admiral Cheng Ho. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang
pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir telah membuat fenomena tersebut saat ini
berlangsung jauh lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar, dengan lingkup
yang lebih luas menjangkau berbagai bidang, serta memiliki tingkat kerumitan yang
lebih tinggi (UN-Habitat 2004).
Terlepas dari perdebatan akademik tentang arti globalisasi, fenomena intensifikasi
keterkaitan yang semakin mendunia sebenarnya dapat dirasakan oleh sebagian besar
orang, khususnya mereka yang tinggal atau bekerja di kota-kota besar atau metropolitan.
Sungguh, globalisasi dan kota adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Di satu sisi kota
hampir selalu menjadi sumber, simpul dan penggerak dari berbagai perubahan, di sisi
lain kota pun merupakan bagian bumi yang paling cepat dipengaruhi oleh berbagai
perubahan global. Proses urbanisasi (baik karena migrasi desa-kota ataupun akibat
pengalihan fungsi lahan) pun menjadi atribut yang tidak terpisahkan dari globalisasi.
Implikasinya, kemampuan suatu bangsa dalam mengelola kota-kotanya sesuai dengan
tuntutan global (yang bisa bersifat eksternal maupun internal) akan mempengaruhi
kemajuan relatif bangsa tersebut di tengah-tengah masyarakat global yang semakin
kompetitif. Demikian pula, kemampuan pengelola kota dalam memahami berbagai
perubahan global—yang bersifat terus menerus—serta pengaruhnya terhadap kehidupan
kota yang dikelolanya akan sangat mempengaruhi kemampuan kota tersebut untuk
berkembang dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang semakin saling tergantung
satu sama lain. Dalam konteks inilah pembahasan globalisasi dan kota-kota metropolitan
di Indonesia masih (dan selalu akan) dianggap perlu.

Mengunjungi Kembali Globalisasi


Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kunjungi kembali “globalisasi” sebagai
suatu fenomena sosial-ekonomi-budaya dan demografi, yang menyebabkan semakin hari
semakin banyak bagian dari bumi yang semakin terkait dan saling mempengaruhi. Jan
Art Scholte (2000, sebagaimana disarikan oleh Smith 2002) melihat setidaknya ada lima
jenis pemahaman tentang globalisasi:
1. Globalisasi dilihat sebagai internasionalisasi: yaitu proses meningkatnya hubungan
antar-negara, pertukaran antar-negara (international exchange) serta
kesalingtergantungan. Dalam konteks inilah globalisasi dianggap telah terjadi
selama berabad-abad walaupun kecepatan, besaran, lingkup dan kompleksitas
158 Metropolitan di Indonesia

perubahannya berbeda. Namun pada kurun waktu setengah abad terakhir ini terjadi
pula proses multilateralisasi yang lebih mendasar, akibat peran penting lembaga-
lembaga seperti PBB, Bank Dunia, IMF, Mahkamah Internasional dan belakangan
WTO dan terkadang bahkan dapat mendikte kebijakan suatu negara24, khususnya
yang berkaitan dengan penyesuaian struktural (structural adjustment) negara-negara
berkembang terhadap sistem ekonomi neo-klasik yang dipercaya oleh lembaga-
lembaga multilateral tersebut sebagai pilihan terbaik dalam menghadapi globalisasi.
Termasuk dalam kategori pemahaman ini adalah konsep kesaling-tergantungan
(inter-dependency) yang juga merupakan ciri globalisasi.
2. Globalisasi dilihat sebagai liberalisasi; yaitu sebagai proses terhapusnya secara
gradual hambatan-hambatan yang ditetapkan oleh masing-masing negara bagi
pergerakan barang, jasa, informasi dan manusia sehingga akan terbentuk suatu
ekonomi dunia yang tanpa batas. Termasuk dalam hal ini adalah penerimaan atau
imposisi model ekonomi neo-klasik sebagai paradigma dominan (kalau tidak mau
mengatakannya sebagai paradigma tunggal) untuk pembangunan ekonomi, dan oleh
karenanya sistem ekonomi nasional pun harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip
ekonomi neo-klasik.
3. Globalisasi dilihat sebagai universalisasi; yaitu sebagai proses terbentuknya
kesamaan nilai-nilai, norma-norma, cara-pandang serta perilaku ke segala penjuru
dunia akibat persebaran informasi, pengalaman, barang, orang dan lain-lain. Peran
globalisasi pendidikan— semakin banyaknya orang yang bersekolah di negara-
negara lain, khususnya di negara-negara Barat yang dianggap “maju”—serta
perkembangan teknologi komputer dan internet, serta televisi dan film dilihat
sebagai sangat kuat mempengaruhi universalisasi tata-nilai ini.
4. Globalisasi dilihat sebagai modernisasi dan, secara lebih sempit, pembaratan
(westernization): yaitu sebagai dinamika, ditunjukkan oleh struktur dan atribut sosial
modern (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme dan lain-lain) yang tersebar ke
berbagai penjuru dunia. Seringkali dalam proses memoderenisasi ini menghancurkan
budaya serta atribut dan bahkan keswadayaan lokal yang ada. Karena Amerika
Serikat—beserta budaya kontemporernya—sering dilihat sangat mendominasi
proses-proses yang ada, salah satu pandangan yang masuk dalam kategori ini
melihat globalisasi secara lebih sempit lagi sebagai Amerikanisasi (sebagaimana
merebaknya model celana jeans, gerai makan cepat saji ala McDonald atau KFC,
minuman ala Coca Cola, media berita ala CNN, bisnis multi-level marketing ala
Amway dan lain-lain).
5. Globalisasi dilihat sebagai de-teritorialisasi (atau malah terbentuknya suatu supra-
teritorial); yaitu proses rekonfigurasi geografis yang menyebabkan ruang-ruang
sosial tidak lagi selalu diartikan secara fisik-teritorial. Pernyataan-pernyataan yang
agak berlebih seperti terjadinya “death of distance” atau bahkan “death of
geography”25 pun muncul sebagai salah satu penekanan cerminan sudut pandang ini.

24
Sebagai salah satu contoh baca Kwik 2006.
25
Pernyataan “death of geography” sebagaimana dikutip dalam Smith 2000 tentunya terlalu
berlebihan,apalagi mengingat bahwa justru banyak ahli geografi yang menekuni persoalan globalisasi.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 159

Dengan pemahaman semacam ini, Anthony Giddens (1990, sebagaimana dikutip


oleh Smith 2002) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan-
hubungan sosial yang menyeluruh dunia dan menghubungkan tempat-tempat yang
berjauhan sedemikian sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain yang berjauhan. Lebih
lanjut lagi, perusahaan-perusahaan atau produk-produk tertentu tidak lagi dapat
diasosiasikan dengan suatu negara karena baik kepemilikan atau proses
pembuatannya tidak lagi terbatas pada pihak-pihak dari satu negara. Demikian pula
dengan timbulnya komunitas-komunitas maya (virtual) yang terbentuk melalui
media internet dan tidak mengenal batas-batas geografis. Salah satu fenomena
menarik yang terjadi akhir-akhir ini adalah apa yang disebut e-tutoring; banyak
murid-murid di Amerika Serikat mengambil semacam les dari guru-guru sekolah di
India yang bisa menawarkan jasanya jauh lebih murah daripada guru-guru di
Amerika Serikat (Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari fenomena e-sub-
contracting; perusahaan-perusahaan software di negara maju mensubkontrakkan
sebagian pekerjaannya kepada perusahaan atau individu di negara berkembang—
mungkin tanpa harus bertemu muka—demi menghemat biaya, atau bisa juga
merupakan bentuk lain dari kursus-kursus melalui internet yang ditawarkan sekolah-
sekolah di negara-negara maju kepada murid-murid di negara berkembang).
Berbagai ilustrasi di atas menggambarkan karakteristik kesaling-terkaitan (inter-
connectedness) dari globalisasi.
Walaupun Scholte lebih cenderung menggunakan pemahaman yang terakhir (de-
teritorialisasi) sebagai penjelasan globalisasi, namun sebenarnya masing-masing
pemahaman di atas memiliki kandungan kebenaran jika dikaitkan dengan apa yang
sesungguhnya terjadi, hanya berbeda aspek atau sudut pandang. Oleh karenanya tulisan
ini—dalam melihat pengaruh globalisasi kepada kota-kota—justru akan menggunakan
secara komprehensif kelima pemahaman di atas secara lebih bebas sebagai atribut dari
globalisasi, yaitu: (i) meningkatnya interaksi global. (ii) berkurangnya batas-batas bagi
mobilitas barang, jasa, informasi dan manusia. (iii) merebaknya tata-nilai ‘universal’.
(iv) industrialisasi barang dan jasa, dan (v) de-teritorialisasi.
Apapun definisinya, globalisasi sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
informasi dan telekomunikasi yang telah mempermudah dan mempercepat arus
informasi, barang, jasa dan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Akses ke informasi
pun semakin terbuka bagi semakin banyak orang. Orang-orang di desa, misalnya,
mungkin saja memperoleh informasi tentang pasar global komoditasnya bahkan secara
real-time melalui internet, telepon genggam atau media lainnya. Suatu unit usaha di
suatu negara bisa saja melakukan suatu sub-kontrak dengan suatu pihak dari belahan
bumi yang lain tanpa harus bertemu muka. Dan hal-hal seperti ini mempengaruhi hampir
semua aspek kehidupan manusia, baik dalam bekerja, belajar, bertinggal, berbelanja,
berlibur, bersosialisasi dan bahkan dalam berpikir.
Sebaliknya, perluasan pasar yang semakin mengglobal mengakibatkan timbulnya
perusahaan-perusahaan berskala besar yang mampu mengalokasikan anggaran yang
sangat besar untuk penelitian dan pengembangan produknya. Hal ini, dikombinasikan
dengan perkembangan pasar yang juga semakin kompetitif menyebabkan percepatan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya pada perangkat lunak
160 Metropolitan di Indonesia

maupun keras bagi komputer, telepon genggam, televisi dan lain-lain). Jadi keterkaitan
antara globalisasi dan perkembangan teknologi adalah hubungan yang bersifat timbal
balik dan saling mendorong.
Globalisasi juga dipahami tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi saja; proses
yang sangat kompleks ini juga menyangkut dimensi sosial (misalnya dengan berubahnya
struktur dan tingkat kerekatan komunitas di dalam masyarakat); budaya (misalnya
dengan kemunculan generasi MTV di kalangan generasi muda di belahan bumi mana
pun dan merasa lebih memiliki kesamaan di antara mereka dibanding dengan generasi
orang tua di negara yang sama); politik-kelembagaan (misalnya dengan semakin
diadopsinya sistem demokrasi ala Barat, yang seringkali diterapkan hanya secara
prosedural, jauh dari kultur setempat, di berbagai belahan dunia); lingkungan hidup
(misalnya polusi antar-bangsa dalam bentuk asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang
diderita warga di Singapura, Malaysia dan lainnya); dan juga spatial atau tata-ruang
(termasuk di dalamnya proses migrasi yang semakin meningkat sehingga menyebabkan
tumbuh dan semakin beragamnya “urban ethnic space” atau bagian-bagian kota yang
dihuni oleh berbagai suku-bangsa secara mengelompok26) (Habitat, 2004; Soegijoko,
2005). Di sini aspek multi-kulturalisme menjadi atribut yang sangat kental bahkan
menjadi ciri dari kota-kota global yang kosmopolitan.
Globalisasi pun dipengaruhi oleh perubahan atau pergeseran cara pandang atau cara
berpikir, yang kemudian mempengaruhi perilaku di berbagai bidang. Richard Norgaard
(1994) melihat, di dunia ini, setidaknya terjadi lima pergeseran cara pandang. Pertama
adalah pergeseran dari cara pandang yang bersifat atomistic (dengan mana keseluruhan
sistem dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya) ke cara pandang
holistic (dengan mana keseluruhan sistem tidak selalu dianggap sama dengan jumlah
total dari bagian-bagiannya, bisa lebih besar/kuat atau lebih kecil/lemah tergantung
bagaimana berhubungan antar-bagian yang ada). Dengan pengertian ini, konsep modal
sosial menjadi lebih mudah dipahami. Masyarakat yang memiliki modal sosial besar
walau secara individu mungkin memiliki kapasitas terbatas bisa saja lebih maju dan
berkembang daripada masyarakat yang secara individu memiliki kapasitas tinggi tetapi
secara kesuluruhan memiliki modal sosial yang lemah.
Kedua adalah pergeseran dari cara pandang yang mekanistik (Newtownian) yang
menganggap suatu sistem selalu mempunyai ekuilibrium, ke cara pandang yang lebih
mengakui kemungkinan terjadinya ketidakpastian, diskontinuitas dan bahkan chaos yang
tak terjelaskan. Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan terhadap eksistensi ekonomi
informal perkotaan yang seringkali sulit dijelaskan dan didekati secara formal.
Ketiga adalah dari cara pandang universal, yang melihat prinsip-prinsip universal
sebagai sesuatu yang tak terbantahkan, ke cara pandang “kontekstualistik” yang
mengakui konteks lokal, waktu dan budaya sebagai faktor yang tidak hanya harus
dipertimbangkan tetapi justru harus dominan. Pergeseran dalam hal ini tidak bisa

26
“Urban ethnic space” sebagaimana yang dikemukakan dalam Habitat 2004 sebenarnya juga sudah
terjadi sejak adanya proses migrasi besar-besaran selama berabad-abad. Kota-kota besar di Nusantara
seperti Jakarta misalnya,pernah memiliki sudut-sudut kota yang dihuni oleh migran dari berbagai
tempat di Nuantara secara berkelompok-kelompok (Kampung Ambon,Kampung Bali,Kampung
Jawa,Kampung Bugis,dan lain-lain). Demikian halnya dengan kota-kota dunia (global cities) seperti
London. New York atau Paris.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 161

dikatakan tuntas karena masih banyak pelaku pembangunan dunia yang sangat percaya
dengan nilai-nilai yang sifatnya universal dan berusaha mempromosikan hal tersebut
namun di sisi lain juga cukup banyak pelaku pembangunan yang selalu menekankan
pentingnya konteks lokal.
Keempat adalah pergeseran dari cara pandang (umumnya di dunia penelitian atau
keilmuan) yang mengagung-agungkan “objektivitas positivisme” ke cara pandang yang
mengakui kemungkinan adanya subyektivitas atau keberpihakan di dalam ilmu (yang
bisa dianggap sebagai konstruksi sosial). Oleh karenanya, tuntutan akan partisipasi
masyarakat menjadi lebih tinggi, terutama untuk mengurangi bias dari si pengambil
keputusan. Pendekatan dalam penelitian maupun perencanaan yang diakui pun tidak lagi
harus yang bersifat positivistik dan bebas-nilai tetapi mencakup pendekatan penelitian
“participant-observation” dan pendekatan perencanaan melalui proses-proses
komunikasi (“planning through communication”).
Kelima, Norgaard melihat adanya pergeseran dari cara pandang yang “monistik”
yang hanya mengakui satu kebenaran atau penjelasan akan suatu fenomena ke cara
pandang yang “pluralistik” yang mengakui kemungkinan adanya beberapa kebenaran
atau penjelasan. Kini lebih banyak orang yang bisa (atau terpaksa) menerima perbedaan
pendapat dibanding di masa lalu. Terkandung di dalam pergeseran paradigma yang
kelima ini adalah multi-kulturalisme sebagai pengakuan bahwa dunia—khususnya kota-
kota besar—tidak hanya dihuni oleh manusia-manusia yang berbudaya sama. Namun
pada saat yang hampir bersamaan bisa saja terjadi pula penguasaan cara pandang
(misalnya pandangan neo-klasik sebagai paradigma dominan ekonomi dunia) atau
pemaksaan cara pandang tertentu oleh kekuasaan adidaya (misalnya dalam hal terorisme
global).
Pada tataran yang lebih praktis, di dalam pelaksanaan pembangunan dan
pengelolaan publik sehari-hari pun telah terjadi pula pergeseran yang cukup berarti. Di
masa lalu, pada umumnya pembangunan maupun pengelolaan publik sangat didominasi
oleh pemerintah (dan seringkali pemerintah pusat). Kemudian disadari bahwa
pemerintah tidak akan mampu mengerjakan semua hal. Ada hal-hal yang dikenal sebagai
“government failures” seperti ketidakefisienan, kekakuan birokrasi, kelembaman untuk
berubah dan lain-lain. Memang ada hal-hal yang lebih baik diserahkan kepada pihak-
pihak yang dapat bekerja lebih efisien, cepat dan sangat berorientasi pada hasil. Maka
timbul era yang menganggap sektor swasta lebih mampu menyediakan berbagai
pelayanan maupun melaksanakan pembangunan, sehingga tidak hanya penyediaan air
minum yang diswastakan tetapi bahkan terdapat kota-kota yang hampir sepenuhnya
dibangun oleh swasta. Terjadilah gelombang privatisasi di berbagai sektor sebagai
bagian dari perubahan pola berpikir global. Di era ini pemerintah diharapkan untuk
berperan sebagai regulator saja.
Namum pendekatan yang berorientasi swasta seperti ini pun tidak lepas dari
berbagai persoalan, khususnya yang berkaitan dengan kegagalan pasar, swasta tidak
akan pernah mampu menyediakan barang atau pelayanan yang sepenuhnya bersifat
publik (public goods) yang bisa dinikmati oleh semua orang tanpa harus membayar.
Swasta pun cenderung tidak mau menyediakan barang atau pelayanan bagi kaum yang
162 Metropolitan di Indonesia

sangat miskin di mana marjin keuntungan dianggap sangat tipis atau bahkan tidak ada27.
Swasta juga cenderung tidak mau melakukan investasi dengan modal yang sangat besar
dengan pengembalian modal yang berjangka sangat panjang serta beresiko tinggi. Maka
pada tahap berikutnya, pergeseran peran-peran dalam pembangunan ini,peran (atau
tuntutan akan peran) masyarakat madani semakin meningkat untuk mengimbangi baik
kegagalan pemerintah (government failures) maupun kegagalan pasar GAMBAR 5 - 7.

tahap 1 tahap2 tahap 3

Pemerintah dianggap Sistem pasar dianggap paling Kemitraan yang setara


paling mengetahui apa efisien dalam memenuhi dianggap sebagai cara
yang dikehendaki rakyat kebutuhan masyarakat terbaik

swasta swasta swasta

Masya- Masya-
pemerintah rakat rakat
pemerintah pemerintah
Masya-
rakat
Terjadi “kegagalan Terjadi “kegagalan
pemerintah”; masyarakat pasar”; penurunan kualitas
kehilangan kepercayaan ruang publik
?

GAMBAR 5 - 7 Diagram Pergeseran Peran Pelaku dalam Pembangunan/


Pengelolaan Publik

Perubahan-perubahan semacam di atas terjadi di mana-mana, baik di negara maju


maupun di negara berkembang—termasuk Indonesia—baik pada tingkatan negara,
regional, lokal, komunitas maupun individu—tentunya dengan tahap dan skala maupun
intensitas yang berbeda-beda. Salah satu implikasi dari situasi seperti ini adalah
timbulnya berbagai ketegangan (tensions), baik yang bersifat global, regional maupun
lokal dan bahkan pada tataran komunitas dan keluarga. Ketegangan sendiri sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan (embedded) dalam globalisasi. Di satu sisi
globalisasi membuat batas-batas negara semakin menipis, namun di sisi lain juga terjadi
pula gelombang desentralisasi atau lokalisasi di mana timbul tuntutan agar sebanyak
mungkin keputusan publik dan pelaksanaannya di lakukan ditingkat lokal/komunitas

27
Padahal Prahalad (2004) justru melihat potensi investasi di tengah-tengah masyarakat yang paling
miskin sekalipun.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 163

(atau bahkan primordialisme; “putra daerah” dianggap punya hak lebih dalam banyak
hal daripada “pendatang”).
Timbul fenomena “globalization” yang penuh ketegangan atau tarik ulur antara
kekuatan-kekuatan global dan kekuatan-kekuatan lokal. Ketegangan (tension) juga
timbul manakala produk-produk import yang bisa masuk secara lebih mudah ternyata
mematikan atau melemahkan usaha lokal/domestik yang menghasilkan produk-produk
sejenis. Simbol-simbol globalisasi seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Walmart
atau Carrefour sering mendapat tentangan dari komunitas lokal yang tidak menghendaki
bisnis-bisnis kecil dan khas tergusur oleh perusahaan global tersebut. Bahkan tentangan
terhadap lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF sudah merupakan berita
sehari-hari. Lembaga-lembaga global ini sering dilihat sebagai simbol neo-kolonialisme,
baik melalui pemaksaan perubahan cara berpikir, kebijakan sosial-ekonomi dan lain-lain
melalui persyaratan-persyaratan hutang yang seringkali dibutuhkan oleh negara yang
sedang berkembang.
Ketegangan juga timbul akibat dari semakin menguatnya proses privatisasi yang
bahkan masuk ke ruang-ruang yang selama ini merupakan domain publik: taman-taman,
ruang kota untuk bersosialisasi, penyediaan rumah-rumah, prasarana air minum, jalan
utama bahkan pembangunan seluruh kota. Salah satu implikasi dari privatisasi adalah
sulitnya dipenuhi kebutuhan kaum miskin karena pihak swasta tentunya lebih memberi
perhatian kepada mereka yang mampu membeli layanan atau barang komoditasnya.
Selanjutnya, banyak pengusaha-pengusaha kecil yang tidak terlindungi oleh
pemerintah lokal terpaksa tergusur oleh toko-toko wholesale global seperti Walmart atau
Carrefour. Demikian pula dengan bertumbangannya tingkat keswadayaan lokal dan
meningkatnya ketergantungan pada faktor-faktor eksternal yang lebih jauh dapat
dianggap mengancam keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Pada intinya, selama
akses kepada sumberdaya (termasuk teknologi dan informasi) masih belum merata—dan
prospek untuk terjadi pemerataan belum terlihat jelas—maka distribusi manfaat dan
biaya dari globalisasi masih akan selalu timpang28. Terdapat pihak-pihak yang harus
turut menanggung biaya tetapi tidak menikmati manfaat dari proses yang sedang
berlangsung. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian timbul gerakan anti-globalisasi
yang kemudian berubah menjadi “globalisasi dari bawah” dan menuntut adanya keadilan
global.
Karena hal tersebut di ataslah globalisasi tidak selalu dianggap sebagai suatu yang
positif. Bagi mereka yang memiliki akses kepada teknologi dan informasi serta
sumberdaya finansial atau lainnya untuk berkompetisi maka globalisasi dapat dianggap
sebagai menguntungkan (beneficial) secara ekonomi. Demikian pula bagi mereka yang
ingin memajukan nilai-nilai seperti demokratisasi, maka proses globalisasi dianggap
dapat menyebarkan tata-nilai yang dianggap baik tersebut. Namun proses-proses ini
terjadi tidak tanpa ongkos, yang seringkali harus dipikul oleh pihak-pihak yang tidak
menikmati, sehingga timbul penentangan-penentangan sebagaimana diilustrasikan di
atas. Memang, ketegangan atau bahkan konflik sudah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari globalisasi—dengan skala, intensitas dan kompleksitas konflik yang

28
Kenyataan ironis di era yang sangat berorientasi kepada teknologi informasi adalah angka yang
menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penduduk dunia belum pernah menggunakan sarana telepon
(lihat misalnya Jakarta Post. September 21. 2006. hal. 17).
164 Metropolitan di Indonesia

lebih tinggi dibanding dengan apa yang terjadi di era pra-kontemporer. Upaya
mengantisipasi dan merespon pun perlu memasukkan pertimbangan adanya ketegangan-
ketegangan atau konflik ini.

Implikasi bagi Kota-kota Metropolitan


Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, globalisasi dan urbanisasi merupakan dua
konsep yang tidak terpisahkan. Kota-kota, khususnya kawasan metropolitan, merupakan
sumber, simpul dan penggerak berbagai perubahan yang kemudian menggelinding
menjadi apa yang disebut globalisasi. Sebaliknya pengaruh globalisasi paling cepat dan
paling besar dirasakan di kota-kota (oleh masyarakat kota). Dan karena seringkali kota-
kota besar atau metropolitan memiliki keunggulan infrastruktur dibanding kota-kota
yang lebih kecil, maka terjadi proses pelebaran kesenjangan penerimaan manfaat
globalisasi antara kota-kota besar dan kota-kota yang lebih kecil atau kawasan
perdesaan.
Pengusaha-pengusaha global cenderung memilih kota-kota besar sebagai pusat dan
simpul operasinya, terutama karena keunggulan dalam ketersediaan sarana dan prasarana
yang bersifat global (misalnya jaringan telekomunikasi global), tempat berkumpulnya
berbagai bisnis sejenis atau terkait yang dapat menciptakan apa yang agglomeration of
economies (pengumpulan berbagai ekonomi terkait). Kota-kota besar umumnya juga
menawarkan pasar—atau akses ke pasar—yang relatif lebih besar daripada yang ada
pada kota-kota yang lebih kecil. Demikian pula, kota-kota besar juga cenderung
memiliki pool yang lebih besar akan tenaga ahli dengan pendidikan atau keterampilan
yang sesuai dengan kebutuhannya.
Lebih jauh lagi, Manuel Castells menekankan pentingnya suatu milleu of innovation
atau suatu kumpulan komunitas manusia yang berorientasi ke inovasi bagi perusahaan-
perusahaan yang berorientasi teknologi informasi untuk dapat selalu memiliki
keunggulan komparatif di era globalisasi ini (Castells 1986). Milleu of innovation
semacam ini cenderung terbentuk di sekitar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga
risetnya; dan umumnya perguruan tinggi tersebut berada di dekat kota besar. Contoh
yang sering dirujuk adalah kota San Francisco dengan Bay Area-nya (tempat Silicon
Valley berada) yang merupakan tempat bagi Stanford University, University of
California at Berkeley dan berbagai universitas lain, atau Boston Metropolitan Area
(tempat Route 128 berada) dengan Harvard University dan Massachussett Institute of
Technology dan berbagai universitas terpandang lainnya. Berbagai inovasi yang
kemudian mendunia sering muncul dari kedua kawasan perkotaan tersebut maupun dari
tempat-tempat lain yang sejenis.
Namun dalam perkembangan paling akhir, sebagaimana dilaporkan dalam
Newsweek July 3-10, 2006, telah terjadi pergeseran pilihan lokasi investasi (khususnya
di sektor jasa dan industri informasi-telekomunikasi) dengan adanya kecenderungan
untuk memilih kota-kota kedua (secondary cities) yang dianggap lebih nyaman
ditinggali daripada kota-kota metropolitan yang ditandai dengan harga properti yang
semakin mahal, kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, polusi yang semakin
menyesakkan serta kriminalitas yang semakin mengkhawatirkan. Namun pergeseran
seperti ini hanya terjadi pada secondary cities yang memiliki akses teknologi komunikasi
informasi serta amenities (atribut untuk kenyamanan, baik secara fisik maupun sosio-
kultural) yang baik dan tidak kalah dengan kota-kota besar. Dengan perkembangan
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 165

terakhir seperti ini, kota-kota metropolitan pun bersaing dengan kota-kota yang lebih
kecil dalam upaya mendatangkan investasi yang lebih memiliki nilai tambah relatif lebih
besar yang ada pada sektor-sektor yang terkait dengan teknologi-telekomunikasi-
informasi (dibanding pada sektor-sektor manufaktur konvesional yang sering lebih
mengandalkan tenaga buruh murah sebagai basis pilihan lokasi).
Globalisasi pun dapat mempengaruhi struktur tata ruang internal kawasan
metropolitan. Walaupun pola aktifitas ekonomi yang berpusat pada kawasan pusat kota
masih tetap mendominasi kegiatan sehari-hari di berbagai kota metropolitan di dunia
(sehingga menimbulkan arus penglaju yang sangat besar dari pinggiran kota ke pusat
kota di pagi hari dan sebaliknya di sore hari), namun perkembangan teknologi-informasi
telah sedikit-banyak mengurangi ketergantungan untuk aktifitas tatap-muka sehingga
timbul pusat-pusat baru di pinggiran kota, baik yang berskala kota-baru atau kota satelit
maupun yang hanya berupa warung-warung telekomunikasi di kawasan-kawasan
permukiman pinggiran.
Di banyak kota-kota besar dunia, misalnya, perusahaan-perusahaan tertentu
membolehkan karyawannya untuk datang ke kantor pusat hanya dua atau tiga hari
seminggu, sisanya mereka dapat berkantor di kantor-kantor cabang di pinggiran kota
atau di fasilitas semacam warung telekomunikasi di dekat mereka tinggal, atau bahkan
dari rumah mereka masing-masing. Toh mereka tetap bisa mengerjakan banyak hal,
termasuk berkomunikasi dengan mitra usaha di mancanegara dari rumah atau kantor di
pinggiran atau warung telekomunikasi terdekat. Hal seperti ini tentunya dapat
mengurangi biaya transportasi dan jumlah penglaju harian di kawasan kota metropolitan
sekaligus mempengaruhi tata-ruang yang ada. Kecenderungan yang terjadi di banyak
kawasan metropolitan di dunia—khususnya di negara-negara maju—adalah
terbentuknya apa yang sering disebut sebagai decentralized concentration atau
konsentrasi yang terdesentralisasi. Sementara di kota-kota besar di negara berkembang
yang berpenduduk besar tetapi memiliki keterbatasan infrastruktur seperti Indonesia
yang umumnya terjadi justru suatu mega urban sprawl; kawasan perkotaan
menyambung menjadi satu (walaupun mungkin saja masih terdapat kawasan berkarakter
perdesaan di dalamnya), yang seringkali tumbuh tidak teratur.
Secara terstruktur, pengaruh globalisasi terhadap kota-kota, khususnya kota
metropolitan dapat dilihat sebagai memiliki tiga tataran atau aras:
[1] Pengaruh globalisasi pada sistem perkotaan global; menurut Sassen (1994),
terdapat kota-kota global tingkatan pertama seperti New York, London dan Tokyo, serta
tingkatan-tingkatan di bawahnya yang menunjukkan besarnya/luasnya cakupan pengaruh
kota-kota tersebut—khususnya di bidang ekonomi-finansial—baik di tingkat global
maupun regional. Walau di tingkat teratas sistem perkotaan global mungkin tidak banyak
terjadi perubahan (ketiga kota yang disebut di atas masih belum tergoyahkan oleh kota-
kota lainnya), namun pada tingkatan-tingkatan di bawahnya susunan kota-kota lebih
mudah berubah. Tersirat di sini adalah adanya kompetisi antar-kota untuk menjadi
semacam “pusat” atau “hub” (simpul) kegiatan ekonomi dari suatu region—kalau bukan
dunia—sebagaimana yang terlihat pada persaingan yang cukup ketat antara Singapura
dan Bangkok dalam upaya mereka menjadi hub bagi lalu-lintas udara di Asia Tenggara.
[2] Pengaruh globalisasi pada hubungan yang juga dinamis (selalu berubah) antara
kota-kota utama atau metropolitan dan kota-kota sekunder di sekitarnya. Kalau di masa
lalu kota-kota sekunder sering dilihat hanya sebagai pendukung bagi kota-kota
166 Metropolitan di Indonesia

metropolitan, khususnya dalam penyediaan hunian yang murah dan nyaman, atau
setidaknya sebagai kota-kota pinggiran (edge cities), maka dengan kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informasi banyak kota-kota sekunder yang kemudian berkembang
menjadi kota-kota yang lebih mandiri (self-sustained) dan mempunyai aktifitas-aktifitas
yang berhubungan langsung ke bagian dunia yang lain tanpa harus tergantung pada atau
melalui kota metropolitan terdekat. Sebagaimana yang diuraikan di atas, terdapat pula
kecenderungan pelaku dunia usaha global justru untuk memilih kota-kota sekunder yang
memiliki amenities yang baik namun terbebas dari kemacetan dan polusi kota-kota
metropolitan. Namun pergeseran semacam ini tidak bisa dibilang permanen.
Perkembangan ke depan akan sangat tergantung pada perkembangan teknologi
telekomunikasi-informasi dan pola aktifitas sosial-ekonomi.
[3] Pengaruh globalisasi pada tata-ruang internal suatu kawasan metropolitan.
Dalam hal ini, yang terjadi di suatu kota metropolitan tidak sama dengan yang terjadi di
kawasan metroplitan lain, sangat tergantung kepada seberapa jauh kota metropolitan
tersebut terbuka (exposed) terhadap globalisasi serta faktor-faktor sosial, ekonomi,
politik, budaya dan geografis yang ada serta seberapa jauh pemerintah dan warga kota
metropolitan tersebut mampu mempertahankan ciri-ciri khasnya. Namun secara umum
terdapat pola perubahan tata-ruang yang sangat dipengaruhi oleh berubahnya sistem
ekonomi-bisnis dunia. Sebagai contoh, dengan banyaknya industri manufaktur yang
pindah dari negara-negara dengan biaya buruh tinggi (umumnya di negara maju) ke
negara-negara dengan biaya buruh rendah (umumnya di negara berkembang)—
seringkali masih menyisakan kantor pusatnya di kota asal, tetapi banyak pula yang
memindahkan kantor pusatnya ke kota lain yang lebih strategis. Akibatnya, banyak kota-
kota di negara maju yang harus berjuang untuk “mengisi kekosongan sosial-ekonomi”
yang diakibatkan oleh perginya tempat-tempat usaha (dan sumber-sumber pekerjaan)
tersebut; ada yang berhasil mendapatkan basis ekonomi baru namun banyak juga yang
masih struggling hingga kini. Sementara kota-kota di negara berkembang pun tidak luput
dari ancaman yang sama dari apa yang disebut footloose industries tersebut, karena
seiring dengan kemajuan ekonomi negara berkembang tersebut, maka ongkos buruh
akan semakin meningkat dan selalu ada saja negara atau kota lain yang dapat
menawarkan lingkungan usaha dengan ongkos yang lebih murah.
Dari sudut berbagai dimensi yang ada, pengaruh globalisasi pada kota-kota
metropolitan dapat disusun ke dalam suatu matriks atau kerangka analisis sebagai
ditunjukan dalam tabel TABEL 5 - 17 berikut:

TABEL 5 - 17 Pengaruh Globalisasi Pada Umumnya dan Terhadap Tata Ruang Kota
Pengaruh pada Tata Ruang Kota
Dimensi Pengaruh Umum (Dimensi Spasial)
Dimensi Paradigma neo-klasik sebagai Privatisasi ruang-ruang publik
Ekonomi- paradigma tunggal/dominan. Pasar serta berbagai pelayanan umum—
Finansial bebas diagung-agungkan, hambatan seperti penyediaan air,
dan tarif perdagangan dikurangi. pengelolaan sampah, pendidikan
dan kesehatan—yang di masa lalu
Tumbuh dan tersebarnya perusahaan lebih banyak diasosiasikan
global seperti McDonald, Walmart, sebagai pelayanan publik.
Carrefour, dll. yang mendesak atau
mematikan usaha-usaha lokal yang Konflik keruangan antara tekanan
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 167

Pengaruh pada Tata Ruang Kota


Dimensi Pengaruh Umum (Dimensi Spasial)
kecil. ekonomi global dan keinginan
untuk mempertahankan usaha-
Pembagian kerja yang bersifat usaha yang bersifat lokal.
global (komponen-komponen bisa
dibuat terpisah, tergantung Berkembangnya kegiatan-
pengaturan mana yang paling kegiatan usaha di tempat-tempat
menguntungkan). tinggal (banyak yang bekerja dari
rumah) atau di “warung
Banyak pula perusahaan-perusahaan telekomunikasi” terdekat. Salah
global yang bersifat footloose atau satu akibatnya adalah pola
mudah berpindah tempat usaha commuting menjadi tidak sejelas
(biasanya meninggalkan mitra lokal pada tatanan yang konvensional
begitu saja). (pagi berangkat sore pulang, sama
Arus aliran modal, barang dan jasa setiap hari kerja).
(serta manusia) yang semakin deras Kontras yang semakin lebar
meningkat antara kawasan bagi orang-orang
Kesenjangan ekonomi cenderung yang berpenghasilan
melebar (lebih terasa di kota-kota menengah/tinggi (punya akses ke
negara berkembang, tetapi juga jaringan global) dan kawasan bagi
terjadi di kota-kota negara maju). mereka yang tidak punya akses ke
jaringan global atau yang terdesak
oleh globalisasi ekonomi.
Di sisi lain terdapat pula
pengakuan (secara parsial)
terhadap aktifitas ekonomi
perkotaan informal, termasuk
akomodasi spasialnya.
Dimensi Sosial- Tumbuhnya budaya-budaya dan Wajah kota “moderen” yang
Budaya nilai-nilai sosial yang bersifat hampir sama di mana-mana
Demografis mendunia (diakui dan diadopsi di (termasuk dalam wujud shopping
berbagai tempat di dunia),baik yang mall atau pusat belanja yang tidak
bersifat positif (saling memahami berbeda secara signifikan antara
perbedaan, demokratis, dll.) maupun mall di Jakarta atau mal di
yang bersifat negatif (hilangnya atau Bangkok atau di Buenos Aires).
berkurangnya ke-khasan lokal)
Tumbuhnya ruang-ruang kota
Arus migrasi yang semakin pesat yang terkait dengan etnik atau
dan semakin menglobal (semakin bangsa-bangsa tertentu dalam satu
banyak orang yang tidak hanya kota metropolitan (sesuai dengan
berpindah dari desa ke kota tapi juga negara atau tempat asal-usul dari
dari suatu negara ke negara lain). para migran kota tersebut).
Tumbuhnya multikulturalisme, tapi
juga disertai dengan konflik antar
budaya.
Dimensi Politik- Peran atau pengaruh negara semakin Peran negara dalam pengelolaan
Kelembagaan berkurang seiring dengan kota semakin berkurang, diambil
menguatnya peran dan pengaruh alih oleh peran pemerintah kota,
lembaga-lembaga multi-lateral dan masyarakat kota dan swasta
MNCs. (termasuk swasta yang bersifat
168 Metropolitan di Indonesia

Pengaruh pada Tata Ruang Kota


Dimensi Pengaruh Umum (Dimensi Spasial)
global).
Namun pada saat yang sama juga
terjadi desentralisasi; peran Tumbuhnya kerekatan komunitas
pemerintah dan masyarakat yang tidak sepenuhnya
daerah/kota semakin besar. berdasarkan kesamaan tempat,
tetapi lebih berdasarkan kesamaan
Peran partisipasi masyarakat yang profesi, hobby atau lainnya.
semakin penting (atau tuntutan akan
partisipasi yang semakin besar), Tuntutan akan pengelolaan kota
namun pada saat yang bersamaan, yang demokratik dan
pendidikan yang umumnya belum terbentuknya wujud kota yang
merata di masyarakat juga berkeadilan (pada saat yang
menyebabkan proses demokratisasi bersamaan dengan semakin
yang lebih “prosedural” daripada melebarnya kesenjangan sosial-
substantif. ekonomi).

Dimensi Ling- Dampak lingkungan suatu kegiatan Tuntutan akan kerjasama antar-
kungan (Ekologis) yang bisa bersifat antar-negara kota (tidak terbatas pada kota-
seperti dalam pembuangan sampah kota yang berada dalam suatu
baik yang bersifat berbahaya region) semakin meningkat.
maupun yang tidak (umumnya dari
negara lebih maju ke negara Tuntutan akan perhatian
berkembang—seringkali tidak pemerintah kota kepada aspek-
terbatas pada yang bertetangga). aspek lingkungan dalam tata
ruang kota seperti jumlah ruang
Secara umum “ecological hijau, kebun kota dan lain-lain.
footprints” (tapak ekologis) yang Pemerintah kota tidak lagi dapat
semakin meluas dan bahkan dengan mudah mengurangi ruang
mengglobal. hijau tanpa mendapat resistensi
dari masyarakat.
Berkembangnya kesadaran akan
pentingnya lingkungan alam Investor global pun turut
(termasuk taman-taman dan memperhatikan kualitas
kehijauan) dalam mendukung lingkungan kota yang ada
keberlanjutan lingkungan binaan. (terutama dalam kaitannya dengan
kompetisi antar-kota yang
sejenis).

Implikasi dan Tantangan bagi Kota-kota Metropolitan di Indonesia


Di Indonesia, karena tingkat ketersediaan infrastruktur yang terkait dengan berbagai
aspek globalisasi di atas sangat timpang antara kawasan metropolitan Jabodetabek
dengan kawasan-kawasan metropolitan lainnya (Surabaya, Bandung, Semarang, Medan,
masing-masing dengan kota dan kabupaten di sekitarnya) dan apalagi dengan sekian
banyak kota-kota kecil yang ada, maka tingkat keterbukaan (exposure) dan saling
pengaruh-mempengaruhi antara kota dan globalisasi pun sangat berbeda. Bahkan di
dalam kawasan Jabodetabek pun, tingkat keterbukaan terhadap globalisasi tidak
merata—ada bagian-bagian kawasan yang sangat mencerminkan kota global (misalnya
di Jakarta; kawasan Kemang, Thamrin-Sudirman-Kuningan, atau bahkan Jalan Jaksa),
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 169

namun masih banyak pula bagian-bagian kawasan yang seolah-olah tidak atau sangat
sedikit tersentuh oleh globalisasi (misalnya di beberapa perkampungan-perkampungan
kumuh)29. Ketimpangan tersebut membuat generalisasi menjadi sesuatu hal yang sulit.
Ketika membicarakan pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan di Indonesia,
apa yang dialami oleh Jakarta dan sekitarnya tidak sama dengan apa yang dialami oleh
kota-kota metropolitan lainnya.
Jakarta—beserta wilayah di sekitarnya—dapat dikatakan merupakan kawasan
metropolitan yang paling mendalam dan langsung bersinggungan (exposed) oleh
globalisasi30. Hampir seluruh pusat perwakilan badan usaha internasional (perusahaan
multinasional, bank internasional, perwakilan kamar dagang asing dll.) di Indonesia
berlokasi di Jakarta; demikian pula untuk aspek-aspek non-ekonomi seperti pusat
kebudayaan asing, perpustakaan asing dan lain-lain. Kawasan industri yang menampung
berbagai industri yang bersifat internasional—kalau belum bisa dikatakan global—pun
lebih banyak berada di sekitar Jakarta daripada di sekitar kota-kota metropolitan lain di
Indonesia. Bagi Indonesia, bandar udara Soekarno-Hatta pun merupakan bandara yang
paling banyak melayani penerbangan internasional.
Namun demikian, di tingkat global atau bahkan regional peran Jakarta masih sangat
terbatas. Di Asia Tenggara saja, Jakarta bisa dikatakan masih kalah dari Singapura dan
Bangkok sebagai pusat aktifitas internasional—baik yang bersifat ekonomi-finansial,
politik-kelembagaan (tempat lembaga-lembaga internasional dengan salah satu
perkecualian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta), budaya, pendidikan maupun
sebagai hub lalu-lintas udara dan laut. Apalagi kalau diangkat ke tingkat Asia di mana
terdapat Tokyo, Hong Kong dan Shanghai maupun Mumbai (khususnya untuk Asia
Selatan). Kota-kota metropolitan Indonesia lain tentunya punya peran dan
ketersinggungan dengan globalisasi yang jauh lebih kecil daripada Jakarta.
Sementara itu, sebagaimana yang sudah ditulis di atas, pada tataran nasional Jakarta
masih merupakan kawasan perkotaan yang paling berpengaruh, jauh melampaui kota-
kota dengan pengaruh besar berikutnya, yaitu Surabaya, Bandung dan Medan. Fenomena
global di mana kota-kota sekunder (bukan metropolitan) mulai bersinggungan dengan
globalisasi belum cukup terasa di Indonesia, terutama karena ketersediaan infrastruktur
yang masih sangat terbatas. Kawasan perkotaan Denpasar-Kuta-Nusa Dua di Bali dan
kota Yogyakarta mungkin secara nyata juga memiliki exposure internasional yang sangat
besar, namun terkonsentrasi pada satu sektor utama yaitu pariwisata, dan dalam taraf
tertentu pendidikan (khusus untuk Yogyakarta). Sehingga boleh dikatakan bahwa
globalisasi belum mempengaruhi, apalagi mengubah, sistem kota-kota yang ada di
Indonesia.
Dengan tingkat exposure yang masih sangat terbatas tersebut, dapat dikatakan
bahwa globalisasi juga belum secara signifikan mempengaruhi tata ruang perkotaan
metropolitan di Indonesia, masih terbatas pada tumbuhnya—secara sporadis—kawasan-

29
Dapat pula kita cermati bahwa di beberapa perkampungan kumuh pun terdapat berbagai aktivitas
yang memiliki “nuansa globalisasi” seperti produksi kerajinan dari fiberglass di kawasan Prumpung
yang sudah menjual produksi hingga ke Malaysia dan Timur Tengah.
30
Sebenarnya Balipun merupakan bagian Indonesia yang sangat terimbas dan bersinggungan langsung
dengan globalisasi (dalam arti “internasionalisasi” maupun lainnya), namun sangat spesifik berkaitan
dengan satu sektor ekonomi-budaya yaitu pariwisata.
170 Metropolitan di Indonesia

kawasan industri yang melayani unit-unit usaha internasional atau melakukan sub-
kontrak dari jaringan usaha internasional. Seringkali jenis usaha dan sistem
kerjasamanya memudahkan pemilik jaringan usaha internasional untuk memindahkan
usahanya kemanapun mereka ingin lakukan (umumnya bargaining position pihak
Indonesia—atau tuan rumah di mana pun di negara berkembang lainnya—dalam hal ini
relatif rendah).
Hal di atas dapat disimpulkan kalau kita hanya melihat globalisasi dari sudut
pandang “internasionalisasi” saja. Dari sudut pandang lain, mungkin kita bisa
mendapatkan gambaran yang agak berbeda. Dalam konteks “liberalisasi” misalnya,
secara keseluruhan Indonesia sebenarnya sudah sangat terbuka. Kita dapat menemui
gerai-gerai internasional seperti McDonalds atau KFC tidak hanya di Jakarta tetapi
bahkan hingga di kota-kota sekunder (sebagai perbandingan, Hanoi hingga tulisan ini
dibuat masih belum mengijinkan adanya gerai-gerai internasional semacam itu).
Wholesale retailers seperti Carrefour pun memiliki cukup banyak outlets di Jakarta.
Berbagai merek internasional mewarnai pusat-pusat perdagangan baik di Jakarta maupun
di kota-kota besar lain. Privatisasi pun telah berjalan cukup lama. Bahkan sejumlah kota
baru seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Bintaro Jaya, Bukit Sentul, Kota
Wisata dan lain-lain hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Di kota-kota
metropolitan lain pun terdapat kawasan hunian cukup luas—kalau belum bisa disebut
kota—yang hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta.
Sudut pandang bernuansa “universalisasi” dan “modernisasi” pun sudah banyak
merasuk ke dalam pola berpikir masyarakat kota, baik di pejabat pemerintah maupun
pelaku swasta. Proses pergeseran peran dari situasi pemerintah mendominasi ke situasi
swasta mengambil peran cukup signifikan dalam pembangunan hingga situasi di mana
tuntutan akan peran masyarakat yang semakin besar pun terjadi di kota-kota di
Indonesia. Implikasi peran besar swasta dalam tata ruang kota dapat dilihat dari
banyaknya bagian-bagian kota yang mengalami proses “urban renewal” seperti misalnya
kawasan Segitiga Emas (Sudirman-Kuningan-Gatot Subroto) yang kemudian diikuti oleh
proses jentrifikasi masyarakat berpenghasilan rendah ke daerah-daerah pinggiran
(GAMBAR 5 - 8).

GAMBAR 5 - 8 Kawasan “Segitiga Emas” di Jakarta


Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 171

Atribut “de-teritorialisasi” dari globalisasi pun dalam skala yang relatif kecil dan
terpisah-pisah telah terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, lebih
khusus lagi pada segmen-segmen masyarakat yang memiliki akses ke jaringan global
secara mudah. Ada saja—walaupun mungkin belum tersebar luas—kegiatan-kegiatan
yang mencerminkan ketiadaan batas-batas negara atau kota seperti terlihat pada
kegiatan-kegiatan sub-kontrak pembuatan software, animasi, gambar rancang-bangun
dan lain-lain yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar di negara maju untuk
proyek-proyek yang mungkin di negara lainnya.
Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang lain, kota-kota besar di
Indonesia juga mencerminkan kontras yang sangat tajam. Ada bagian-bagian kota atau
anggota masyarakat kota yang sudah sangat ter-exposed oleh globalisasi, dan sebagian
dari kelompok ini mampu memanfaatkan exposure ini secara baik, namun ada pula
bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sama sekali belum “tersentuh”
oleh globalisasi. Demikian pula dengan cara berfikir, cara pandang, terhadap berbagai
persoalan. Ada yang sudah membuka wawasannya dengan cara-pandang yang “baru”
seperti yang bersifat holistik, kontekstual dan pluralistik, sementara tidak sedikit yang
masih berfikir dengan cara-pandang yang atomistik, Newtonian, positivistik dan
monistik. Hal ini tentunya mengakibatkan berbagai ketegangan yang semakin terasa
dengan semakin besar dan terbukanya suatu kota.

Penutup
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya
sudah mulai bersinggungan dengan globalisasi dengan derajat yang berbeda-beda.
Namun kecuali kawasan metropolitan Jakarta, persinggungan dengan globalisasi masih
sangat terbatas. Di dalam suatu kawasan metropolitanpun—termasuk Jakarta—
ketimpangan globalisasi sangat besar. Seringkali, mereka yang tidak turut mendapat
manfaat dari globalisasi harus turut menanggung biaya atau beban yang ditimbulkan
oleh globalisasi.
Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bagaimana mengambil manfaat sebesar
mungkin dan secara merata dari proses-proses globalisasi dan mengurangi sejauh
mungkin dampak negatifnya, termasuk implikasinya dalam tata-ruang. Jika Indonesia
tidak mau ketinggalan di era globalisasi yang semakin kompetitif, konsentrasi
pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta harus dikurangi. Kawasan-kawasan
metropolitan lainnya harus mendapat dukungan infrastruktur secara lebih memadai
sehingga tidak terlalu ketinggalan dan dapat turut berkompetisi di tingkat internasional.
Peran kota-kota sekunder pun tidak dapat diabaikan, apalagi jika dikaitkan dengan
keinginan untuk memajukan sektor pertanian—kota-kota sekunder tersebut dapat
menjadi pusat koleksi dan distribusi komoditas pertanian (konsep agropolitan)—namun
tidak harus terbatas pada konsep itu. Persebaran pusat-pusat kegiatan pun menjadi sangat
penting, tanpa mengurangi kecenderungan pasar untuk membentuk apa yang disebut
agglomeration of economies. Secara internal, tata ruang kawasan metropolitan pun harus
mampu mengikuti dinamika globalisasi tanpa harus mengabaikan kepentingan konteks
dan kekhasan lokal.
172 Metropolitan di Indonesia

SOSIO-KULTURAL

Sudah semenjak beberapa abad yang silam sastrawan Inggris Shakespeare menyatakan
“What is a city but its people”, apalah artinya kota tanpa penduduknya? Kota dan warga
dapat diibaratkan seperti cangkang dengan kerangnya yang tumbuh kembang bersama-
sama. Ditilik dari segi etimologi pun, city dekat sekali kaitannya dengan citizen. Dalam
buku terbarunya berjudul “Recombinant Urbanism” (2005 : 19). David Graham Shane
mengutip pendapat Louis Wirth bahwa “A city is a relatively large. dense. and
permanent settlement of socially heterogenous individuals”.
Kota merupakan produk sosio-kultural, perilaku dan gaya hidup manusia yang selalu
berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi
penduduknya, Meminjam kata – kata Malcolm Miles et al dalam bukunya “The City
Cultures Reader” (2000 : 2): “Cities are sites of constant flux. their built form mediated
by successive acts of destruction and creation … affected by social factors such as
gender, class and ethnicity.”
Semakin besar kotanya semakin kompleks penduduknya semakin rumit masalahnya
dan semakin banyak konflik yang dihadapinya. Saat ini kita sudah memasuki era
perkotaan abad ke-21 atau milenium ketiga. Ditilik dari sisi positifnya, kota metropolitan
merupakan mesin pertumbuhan dan inkubator peradaban, sebagai pusat persilangan ide
dan wadah inovasi. Namun, seperti pernyataan Kofi Annan selaku Sekjen PBB yang
dikutip oleh Girarde (2004: 86) “Cities can also be places of exploitation. disease
violent crime, unemployment, and extreme poverty”. Hampir seluruh metropolis atau
mega-cities di dunia menghadapi masalah infrastruktur, kemiskinan, disilusi politik,
ketidakadilan dan keterasingan sosio-budaya atau socio-cultural alienation (baca tulisan
Badshah & Parlman berjudul “Mega-cities and The Urban Future” dalam buku
suntingan Bridge & Watson “The Blackwell City Reader” 2004: 549).
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kota – kota yang sudah termasuk kategori
metropolitan di tanah air kita (Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar)
cenderung semakin tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk
kehidupan manusia yang berbudaya. Fenomena dehumanisasi metropolitan di Indonesia
merebak antara lain karena perhatian para pengelola dan aktor – aktor pembangunannya
terlalu tercurah pada aspek fisik, tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi.
Dimensi sosio-kultural di hampir seluruh kota metropolitan di segenap pelosok tanah air
nyaris terabaikan. Banyak yang tidak memahami betul bahwa berbeda dengan
metropolitan di negara maju yang sudah affluent, kota – kota metropolitan di tanah air
kita yang sedang berkembang ini merupakan kota – kota yang bersifat dualistik.
Di satu sisi, sebagian warganya sudah mulai berubah menjadi modern, di sisi lain
sebagian besar warganya masih berperilaku tradisional. Pembangunan shopping centres,
department stores, malls, super-malls marak di segenap penjuru kota, namun pasar
tradisional, toko – toko kecil, warung, pedagang kaki lima juga tidak berkurang.
Apartemen, flats atau rumah susun sudah mulai digalakkan pembangunannya, namun
perumahan kampung juga masih terus bertahan.
Sektor formal dan sektor informal berkembang terus, kendati tokoh – tokoh di
puncak kekuasaan cenderung lebih mengakomodasi kepentingan sektor formal yang
modern. Tidak heran bila sampai saat ini selalu saja terjadi kisah-kisah penggusuran atau
pembongkaran permukiman kumuh dan kios-kios pedagang kaki lima.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 173

Sebagai kota yang dualistik, mestinya sikap yang diambil oleh penentu kebijakan
pembangunan kota metropolitan adalah sikap Yin-Yang atau Both-And. Keduanya mesti
dirangkul dan dikembangkan bersama – sama, jadi tidak Either-Or atau mementingkan
salah satu pihak saja. Dari sebutannya, sektor informal mengandung konotasi tidak sah,
tidak layak berada di kota metropolitan yang serba formal. Selain itu, gagasan, ide, dan
upaya-upaya untuk memadukan kota-kota metropolitan dengan daerah di sekitarnya
dalam wujud conurbation (lihat pembahasan mengenai kependudukan dan bagian 1 buku
ini), seperti Jabodetabek, Gerbang Kertasusilo, Kedungsepur, dan lain-lain masih sulit
diimplementasikan karena masih kentalnya sikap primordial dan sektoral dari para
pimpinan daerah atau penentu kebijakan. Itu pula sebabnya metropolis di Indonesia
lantas diledek dan dipelesetkan menjadi metropolost alias kota ibu yang hilang.
Kebijakan pembangunan kota metropolitan yang keliru, elitis, dan tidak pro-poor itu
akan menjadikan metropolitan kita menjadi kota yang menyengsarakan warga kotanya.
Itu pula sebabnya muncul tudingan bahwa kota metropolitan negara berkembang, seperti
Indonesia, di masa depan akan menjadi miseropolitan atau kota yang menyengsarakan.
City of tomorrow pun jangan – jangan akan menjadi City of sorrow alias kota yang sarat
dengan kesedihan.
Kota – kota metropolitan di era globalisasi yang tidak memperhatikan dimensi
sosio-kultural dari warganya, diduga akan terlanda arus McWorld, McDonaldization,
atau Manhattanization. Memang, aneka pengaruh globalisasi akan sulit ditangkal
sehingga seperti dikatakan Manuel Castells: “Globalization must be understood in
relation to an historical, processual analysis of labour in relation to the state and the
regulation of the variable incursions, inclusions, or exclusions of the global networks”.
(Susser 2002: 11). Pernik-pernik tata nilai, norma, perilaku, dan artefak bersejarah yang
amat kaya dan beragam di kota – kota metropolitan di tanah air kita bila tidak dijaga
akan tergerus, luntur, dan hilang.
Padahal bila diingat kembali bahwa kota merupakan karya seni sosial (a social work
of art), model – model penyeragaman, apalagi yang bercitra Barat, pasti akan
meluluhlantakkan identitas, jati diri, kekhasan, atau karakter dari kota – kota
metropolitan. Memang perkembangan teknologi abad 20 dan 21 seperti yang terwujud
dalam bentuk mobil, pendingin ruangan, televisi, komputer, dan lain – lain tak akan bisa
dihambat. Pasti akan besar pengaruhnya terhadap pola habitat manusia, tak terkecuali di
kota metropolitan.
Namun, jangan sampai kekhawatiran Daniel Solomon (Global City Blues. 2003: xi)
mengejawantah menjadi kenyataan: “We obliterate the distinctiveness of places and
create new forms of metropolitan confusion”. Jangan sampai obsesi terhadap modernitas
dan teknologi lantas melunturkan atau bahkan menghancurkan kearifan tradisional dan
budaya lokal yang ikut mewarnai wajah metropolitan kita. Martin Heidegger sebagai
seorang filsuf kelas dunia menyebutnya dengan istilah “cultural malaise” dan “loss of
nearness”, yang mengakibatkan xenophobia, psikosis, kebencian, panik, dan bahkan
teror.
Sedangkan Rem Koolhas sebagai arsitek dan perencana kota mengungkapkannya
dengan frasa “globalizing modernism” dan ”cultural homogenization” yang secara
sistematik menghancurkan pusaka budaya atau warisan budaya yang unik. Rasa tempat
atau sense of place yang tercipta dari keunikan budaya setempat mesti dipertahankan,
jangan sampai punah atau lenyap.
174 Metropolitan di Indonesia

Kota – kota metropolitan yang berkembang tak terkendali, memarjinalkan manusia


dengan mengabaikan dimensi sosial-budayanya, akan menjadikannya sebagai monster
yang mengerikan. Dalam kiprah pembangunan kota – kota metropolitan di Indonesia
seyogianya segenap pihak mengambil pelajaran dari kisah-sukses maupun kegagalan
dari pembangunan kota – kota di negara maju. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan
yang sama, yang telah disesali di negara maju.
Misalnya di kota Houston yang angka kriminalitasnya meningkat sehingga orang –
orang kaya di Houston sampai ketakutan dan membuat jalur khusus di bawah tanah yang
diberi nama Connexion yang menghubungkan kawasan pemukiman mewah dengan
down-town. Houston pun lantas memperoleh nick name ‘Ghost-town’. Kita juga jangan
mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi di kota Chicago ketika bangunan kuno
bersejarah dihancurkan untuk memberi tempat pada bangunan pencakar langit yang
modern, sampai muncul ledekan dengan nama paraban Sickago alias kota yang sakit.
Dalam buku terbarunya berjudul “Sociopolis: Project for a City for the Future”
(2004:9), Vicente Guallart dkk mengungkapkan tentang kota metropolitan masa depan di
Eropa dan Amerika yang selalu saja menghadapi persaingan antara The Old dengan The
New, pertempuran kepentingan antara The Rich melawan The Poor, tarik-menarik antara
city centre dengan urban agglomerations. Muncullah gagasan tentang Sociopolis yang
disebutkannya sebagai “A truly integrative and hybrid version of the metropolis for the
future … setting new standards by realizing a dream of social balance. where all citizens
potentially have the same opportunities”.
Aneka bencana perkotaan yang telah terjadi di masa silam akibat kurangnya
perhatian terhadap isu-isu sosio-kultural, keadilan, demokratisasi, keberlanjutan, dan
lain-lain tak seyogianya terulang di masa depan sebagaimana disebutkan oleh Raffacle
Poloscia dalam bukunya “The Contested Metropolis” (2004: 14), bahwa bagaimana pun
juga “Metropolises are containers of dreams, desires, and hopes”.
Ke depan, ada baiknya kita merenungkan kaidah – kaidah pembangunan kota
termasuk kota metropolitan yang antara lain dikemukakan oleh tokoh – tokoh garda
depan gerakan New Urbanism yang berupaya menangkal kecenderungan social-cultural
disintegration, urban sprawl, dan placelessness. Sebetulnya keseluruhannya ada 27
butir, tapi saya peras menjadi 10 saja sehingga bisa disebut sebagai ‘The Ten
Commandments’ atau ‘Sepuluh Perintah Tuhan’ dalam pembangunan kota metropolitan
abad ke-21 atau di era milenium ketiga yang berwajah manusia dan berkelanjutan.
Pertama, dengan prinsip change without loss mengakomodasi evolusi dan
kesinambungan kehidupan warga metropolitan yang multikultur. Konservasi dan
pembangunan, struktur dan kultur, pusat dan periferi merupakan dua muka dari keping
uang yang sama. Kedua, tanpa henti mencoba menciptakan progressive identity dari
kota metropolitan, melepaskan diri dari telikungan regressive identity melalui
pengembangan budaya demokrasi, transportasi, akuntabilitas, dan partisipasi segenap
pemangku kepentingan sesuai tuntutan zaman. Ketiga, mengupayakan pusat – pusat
pertumbuhan jamak (multiple centres atau polynuclei) untuk mencegah kecenderungan
centremania agar terjadi penyebaran aktivitas pada berbagai pelosok kota metropolitan
secara lebih merata dengan keunikan sendiri-sendiri sehingga tercipta mosaik perkotaan
yang indah. Keempat, menjaga eksistensi pusaka budaya sebagai historical precedents,
dilandasi prinsip kota sebagai panggung kenangan. Mesti selalu ditanamkan di benak
kepala bahwa kota tanpa bangunan kuno bersejarah serupa saja dengan manusia tanpa
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 175

ingatan alias gila. Membongkar warisan budaya bukanlah dosa kecil. Kelima,
memelihara taman dan ruang terbuka dalam berbagai level sebagai shared public spaces
yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa aman. Perlu dicamkan bahwa taman
adalah sorganya perkotaan. Keenam, penyediaan affordable housing pada lokasi yang
tepat untuk mencegah konsentrasi kemiskinan. Perumahan jangan sekadar dilihat sebagai
komoditas ekonomi, melainkan lebih merupakan fenomena sosio-kultural sebagai
instrumen pembangunan manusia. Ketujuh, mengupayakan interconnected networks of
streets yang menghargai pedestrian dan memberikan rasa nyaman serta arah yang jelas.
Perhatian pada public transport, terutama mass rapid transit, mesti lebih ditingkatkan.
Kedelapan, menyediakan fasilitas sosial dan infrastruktur atau prasarana umum yang
memadai untuk segenap lapisan warga metropolitan tanpa terkecuali. Segenap agen
pembangunan kota metropolitan dituntut untuk menyediakan fasilitas dan prasarana
umum sesuai standar pelayanan minimum. Kesembilan, menata kawasan pinggiran
secara dini untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkendali. Kawasan pinggiran
mesti disiapkan dengan prinsip kemandirian agar bisa self sufficient, tidak tergantung
pada pusat kota dan tidak sekadar sebagai bedroom community. Kesepuluh, pelibatan
masyarakat dan segenap pemangku kepentingan dalam pembangunan untuk menciptakan
kota metropolitan yang otentik dan rasa paguyuban (sense of community) yang kental.
Tanpa rasa memiliki kota metropolitan, tidak dapat diharapkan tumbuh kembangnya
secara berkelanjutan. Melalui penerapan dan pengejawantahan sepuluh butir panduan
pembangunan seperti tersebut di atas, diharapkan bahwa penduduk atau warga kota
metropolitan di masa depan akan termotivasi untuk ikut aktif berkiprah secara kreatif,
inovatif, dan bertanggung jawab atas keberlanjutan pembangunan kota metropolitan
tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, bersantai, dan beraktivitas budaya sebagai
cerminan masyarakat yang beradab.

KETERKAITAN DESA – KOTA

Pendahuluan

Kinerja kota-kota di abad 21 akan menjadi perhatian global karena pesatnya peningkatan
penduduk perkotaan. Pada tahun 2030, minimal 61persen penduduk dunia akan tinggal
di kota-kota. Pada tahun 2060, lebih dari 80 persen penduduk dunia akan tinggal di kota-
kota (Cities Alliance 2006). Kawasan perkotaan akan menjadi lebih penting karena lebih
dari 80 persen pertumbuhan ekonomi global terjadi di kota-kota. Selain itu, kota-kota
mempunyai produktivitas yang tinggi karena kepadatan penduduknya menciptakan
lingkungan transaksi yang tinggi. Hal ini meningkatkan pendapatan rumah tangga, lebih
dari di kawasan-kawasan non-urban. Kota-kota juga menggunakan energi lebih rendah
per unit output ekonomi, dan biaya per kapita pembangunan infrastruktur lingkungan
juga lebih rendah.
Kawasan perkotaan merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur
dan jasa, yang akan meningkatkan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan.
Perkembangan kawasan perkotaan selalu diiringi arus transformasi, yaitu meningkatnya
jumlah penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri
manufaktur dan jasa. Perkembangan kawasan perkotaan terutama akan terjadi di kota-
kota besar dan metropolitan, yang selanjutnya akan memicu pemanfaatan kawasan-
176 Metropolitan di Indonesia

kawasan di sekitarnya. Meluasnya pemanfaatan ruang di sekitar kota-kota besar dan


metropolitan akan mewujudkan keterhubungan dari kota inti dengan kawasan-kawasan
baru dan kota-kota satelit di sekitarnya. Terjadilah penyatuan kawasan-kawasan
terbangun tersebut.
Perkembangan kawasan perkotaan juga terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade
terakhir, jumlah penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat31.
Sebagaimana halnya di dunia, di Indonesia, pertambahan penduduk perkotaan yang
terjadi tidak tersebar secara merata, terjadi pemusatan di beberapa lokasi, cenderung di
kota-kota besar dan metropolitan, mengakibatkan meningkatnya perkembangan kota-
kota ini, meluap ke kawasan pinggirannya. Secara lebih khusus di Indonesia akan
berkonsentrasi di Jawa, terutama di Jabodetabek.
Kawasan pinggiran ini perlu mendapat perhatian karena di sana telah terjadi
perkembangan yang campur aduk dan tidak terkendali. Guna lahan juga berubah – dari
yang tadinya bersifat desa menjadi bersifat kota. Hilanglah lahan-lahan pertanian,
perkebunan, empang-empang, permukiman berkepadatan rendah menjadi perumahan
berkepadatan tinggi memenuhi kebutuhan kota inti dan untuk pembangunan-
pembangunan industri yang membutuhkan lokasi mendekati kota inti. Ini semua terjadi
secara acak, sendiri, dan terpisah-pisah. Tidak mengacu pada suatu rencana tata ruang
yang disepakati. Akibatnya, kawasan-kawasan perdesaan mengalami transformasi yang
tidak terarah dan terkendali.
Tata guna lahan, pola hidup penduduknya, perekonomian, dan lapangan kerja dapat
memicu pengangguran yang pada gilirannya memicu penduduk masuk ke kota inti.
Kawasan yang baru terbentuk, yaitu dari yang bersifat desa menjadi bersifat kota, juga
akan mengalami kondisi yang jauh dari ideal. Antara lain karena tak tersedianya
perumahan dan infrastruktur yang memadai.
Kepadatan tinggi, keterbatasan infrastruktur lingkungan dasar, keterbatasan akses ke
kota inti membebani jaringan transportasi yang telah ada serta membebani fasilitas-
fasilitas, seperti pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya hal ini akan menambah
beban kota inti, membebani jaringan transportasi dan membebani biaya hidup penghuni
kawasan pinggiran. Belum lagi dampak pada lingkungan alamnya – polusi udara (karena
transportasi), polusi sungai (karena pembuangan limbah dan sampah), polusi air –
tercemarnya air bersih oleh limbah cair permukiman, perusakan ruang-ruang terbuka
hijau, dan sebagainya. Diperlukan program dan intervensi untuk menangani kawasan
pinggiran kota, baik yang berkarakteristik desa maupun kota.
Kawasan pinggiran dikelompokkan dalam tiga tipologi untuk dapat
mengembangkan program intervensi penanganan kawasan pinggiran. Tipologi ini
dirumuskan berdasarkan karakteristik ke’kota’annya karena akan dapat menggambarkan
isu atau masalah yang dihadapi. Berdasarkan itu dapat diperkirakan program dan
intervensi yang sesuai. Ketiga tipologi tersebut adalah: (a) kawasan pre dominantly
urban; (b) kawasan semi urban; (c) kawasan potential urban. Program intervensi dan
keterkaitan dengan kota inti dapat diturunkan berdasarkan ketiga tipologi tersebut. Di
kawasan pinggiran ini dapat diobservasi desa dan kota serta peranannya di kawasan
metropolitan.

31
Lihat uraian di Bab 5
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 177

Kawasan Metropolitan
Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri dari kota inti dengan kawasan di
sekitarnya yang mempunyai keterkaitan erat dengan kota inti dan berfungsi menerima
luapan kegiatan atau kebutuhan permukiman dan kegiatan dari kota inti. Kawasan
sekitarnya ini dapat meliputi kawasan permukiman skala besar atau skala menengah,
permukiman baru yang tersebar, kota-kota baru, atau kota-kota kecil lainnya. Kawasan
ini sering disebut sebagai ”urban fringe”.
Untuk menggambarkan karakteristik kawasan metropolitan ini akan digunakan
kawasan metropolitan Jabodetabek sebagai contoh. Sebagai tambahan dari analisis
kependudukan yang telah dijelaskan di bagian depan bab ini, akan dibahas di sini
mengenai guna lahan: dominasi, persebaran, serta pola perubahannya. Selanjutnya,
dibahas pola pengembangan kawasan-kawasan permukiman: pembangunan baru
berskala besar, kota-kota baru, dan kota-kota kecil sekitarnya yang tumbuh dengan pesat.
Ini semua akan membangkitkan pola pergerakan ulang alik ke kota inti (dalam hal ini
DKI Jakarta) dan menggunakan jaringan transportasi yang ada. Kesenjangan antara
kebutuhan dan ketersediaan infrastruktur biasanya merupakan permasalahan utama
kawasan pinggiran.

Struktur Ruang dan Pergerakan Penduduk


Struktur ruang kawasan Jabodetabek dibentuk oleh jaringan jalan dan kereta api serta
pusat-pusat permukiman, seperti kota baru atau permukiman skala besar.
a. Sampai paruh kedua dekade 1990-an (+ 1996) ratusan kawasan permukiman baru
dibangun di wilayah Jabodetabek, yaitu 103 kawasan di DKI Jakarta, 130 di
Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Kabupaten dan Kodya Bekasi, dan 152 di
Kabupaten dan Kodya Tangerang (Uguy 2006).
Kawasan permukiman baru ini kebanyakan bukan merupakan kawasan permukiman
skala besar. Baru mulai akhir tahun 1900-an mulai dibangun permukiman skala
besar (> 500 ha) dan kota-kota baru oleh pengembang swasta. Pembangunan kota
baru dimulai sekitar tahun 1989 dengan Kota Baru Mandiri BSD (Bumi Serpong
Damai), diikuti dengan Bintaro Jaya, Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Tiga Raksa,
Kota Legenda (Bekasi 2000), dan sebagainya. Selanjutnya, di Kabupaten Bogor ada
lima wilayah baru, yaitu Rancamaya (550 ha). Royal Sentul (2000 ha), Kota
Cileungsi (2000 ha). ditambah dengan Lido Lake Resort dan Jonggol. Di Tangerang,
selain Bumi Serpong Damai (6000 ha) dan Tiga Raksa (3000 ha), banyak
perumahan lain, seperti Citra Karya, Bintaro Jaya, Gading Serpong, Pantai Indah
Kapuk, Lippo Karawaci, Alam Sutra, dan Perumahan Modern. Di Bekasi ada Lippo
Cikarang (5000 ha), Kota Legenda, Cikarang Baru, dan lain-lain. Tabel 4
memberikan luas kawasan-kawasan permukiman skala besar ini (> 500 ha).
b. Kawasan Jabodetabek dilayani jaringan jalan dan jaringan kereta api. Panjang
jaringan jalan yang ada di wilayah Jabodetabek adalah 11.344 km, lebih dari 50
persen jaringan jalan berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sisanya tersebar
merata di seluruh kota/kabupaten di sekitarnya (1.450 km di Kabupaten/Kota
Bekasi, 1.358 km di Kota/Kabupaten Tangerang, 1.763 km di Kota/Kabupaten
178 Metropolitan di Indonesia

Bogor, dan 245 km di Depok). Panjang jalan tol di DKI Jakarta juga mencapai lebih
dari 50 km dari total panjang jalan tol (lihat TABEL 5 - 19).

TABEL 5 - 18 Kawasan Permukiman Skala Besar (>500 ha) di Jabotabek


No. Nama Luas (ha) Lokasi
1 Milik PT Pembangunan Delta Bekasi 1.500 Kab. Bekasi
2 Milik PT Lippo City Development 780 Kab. Bekasi
3 Milik PT Pura Delta Bekasi 1.500 Kab. Bekasi
4 Cikarang Baru 1.400 Kab. Bekasi
5 Bekasi Matra Real Estate 500 Kab. Bekasi
6 Milik PT Dwigunatama Rintisprima 850 Kab. Bekasi
7 Kota Legenda (Bekasi 2000) 2.000 Kab & Kot. Bekasi
8 Milik PT Sinar Bahana Mulia 800 Kab. Bekasi
9 Pantai Modern 500 Kab. Bekasi
10 Lippo Cikarang 3.000 Kab. Bekasi
11 Harapan Indah 800 Kab. Bekasi
12 Bukit Jonggol Asri 30.000 Kab. Bogor
13 Citra Indah 1.000 Kab. Bogor
14 Kota Taman Metropolitan 600 Kab. Bogor
15 Kota Wisata 1.000 Kab. Bogor
16 Bukit Sentul 2.000 Kab. Bogor
17 Rancamaya 500 Kab. Bogor
18 Resort Danau Lido 1.700 Kab. Bogor
19 Taruma Resort 1.100 Kab. Bogor
20 Talaga Kahuripan 750 Kab. Bogor
21 Kota Tenjo 3.000 Kab. Bogor
22 Milik PT Bangun Jaya Triperkasa 500 Kab. Bogor
23 Maharani Citra Pertiwi 1.679 Kab. Bogor
24 Milik PT Banyu Buana Adhi Lestari 500 Kab. Bogor
25 Kotabaru Tigaraksa 3.000 Kab. Tangerang
26 Puri Jaya 7.145 Kab. Tangerang
27 Citra Raya 3.000 Kab. Tangerang
28 Lippo Karawaci 2.000 Kab. Tangerang
29 Gading Serpong 1.500 Kab. Tangerang
30 Alam Sutera 700 Kab. Tangerang
31 Bumi Serpong Damai 6.000 Kab. Tangerang
32 Bintaro Jaya 2.321 Kab. Tangerang
33 Kota Modern 770 Kab. Tangerang
34 Kota Wisata Teluk Naga 8.000 Kab. Tangerang
35 Kota Jaya 1.745 Kab. Tangerang
36 Pantai Indah Kapuk 800 DKI Jakarta
Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 1997
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 179

TABEL 5 - 19 Panjang Jalan di Kawasan Jabodetabek


Panjang Jalan Jalan Tol
No. Kota/Kabupaten Km % Km %
1 DKI Jakarta 6.548.4 58% 113.0 52%
Kota/Kabupaten
2 1.762.7 16% 23.9 11%
Bogor
Kota/Kabupaten
3 1.450.1 13% 34.2 16%
Bekasi
Kota/Kabupaten
4 1.357.7 12% 36.4 17%
Tangerang
5 Kota Depok 245.0 2% 7.8 4%
6 TOTAL 11.363.9 100% 215.3 100%
Sumber : SITRAMP II. 2006

TABEL 5 - 20 Perkapita Jalan dan Jalan Tol


Panjang Jalan Jalan Tol
Perkapita Perkapita
Jumlah (km/1000 (km/1000
Kota/Kabupaten Penduduk Km % penduduk) Km % penduduk)
DKI Jakarta 7.610.349 6.548.4 58% 0.9 113.0 52% 0.02
Kota/Kab. Bogor 4.212.605 1.762.7 16% 0.4 23.9 11% 0.01
Kota/Kab. Bekasi 3.280.810 1.450.1 13% 0.4 34.2 16% 0.01
Kota/Kab. Tangerang 4.093.174 1.357.7 12% 0.3 36.4 17% 0.01
Kota Depok n.a 245.0 2% n.a 7.8 4% n.a
TOTAL 19.196.938 11.363.9 100% 2.0 215.3 100% 0.05

GAMBAR 5 - 9 memberikan gambaran persebaran jaringan jalan dan jalan tol.


Panjang jalan tol di DKI juga mencapai hampir 50 persen dari total panjang jalan tol
di Jabodetabek. Dari panjang jalan dan jalan tol, DKI Jakarta paling terlayani
dengan baik dibandingkan kota/kabupaten lainnya. Perkapita (panjang jalan per
jumlah penduduk) jalan dan jalan tol DKI Jakarta masih mendominasi (Lihat
TABEL 5 - 20).
Jaringan jalan kereta api dapat dilihat pada GAMBAR 5 - 10. Dari DKI Jakarta ada 3
jalur utama yaitu menghubungkan dengan Kabupaten/Kota Tangerang dengan
Kabupaten/Kota Bogor dan Kabupaten/Kota Bekasi, menggunakan KRL atau KRD.
GAMBAR 5 - 11 menunjukkan stasiun yang dilalui kereta api dengan jumlah
penumpangnya per hari. Terpadat adalah jalur dari Jakarta Kota (di Utara) ke Bogor
(Selatan) terutama jalur tengah. Jaringan jalan dan jaringan kereta api saling
melengkapi menghubungkan DKI Jakarta dengan pusat-pusat permukiman di
sekitarnya.
180 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 9 Jaringan Jalan Jabodetabek


Sumber : SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master
Plan for Jabodetabek II) Railway Passenger Survey 2000
Legenda : - jaringan jalan
----- jaringan jalan tol

GAMBAR 5 - 10 Jaringan Jalan Kereta Api Jabodetabek


Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey 2000
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 181

GAMBAR 5 - 11 Peta Volume Penumpang Jalur Kereta


Api
Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey. 2000

c. Jaringan jalan dan jalan kereta api tersebut di atas melayani pergerakan ulang alik
dari kawasan Botabek ke DKI Jakarta (URDI 2006). Meskipun jumlah penduduk
DKI Jakarta sebagai kota inti mengalami penurunan, namun daya tariknya masih
kuat sebagai penyedia lapangan kerja serta pelayanan sosial-ekonomi-budaya.
Fasilitas-fasilitas dan peluang kerja yang ditawarkan masih besar sehingga menarik
pendatang-pendatang baru ataupun pekerja/karyawan yang tinggal di kawasan
pinggirannya, di Bodetabek. Ini mengakibatkan meningkatnya jumlah penglaju baik
dengan angkutan umum, angkutan dari kantor, maupun kendaraan pribadi (Lihat
TABEL 5 - 21).
Pejalan ulang alik terbanyak adalah dari Kabupaten Tangerang (241.570) diikuti
Kota Bekasi (129.020) dan Kota Depok (99.413). Ini terutama dari kawasan-
kawasan permukiman yang langsung berbatasan atau dekat dengan DKI Jakarta.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar komuter ke Jakarta adalah
dari golongan pendapatan Rp 1,2 juta – Rp 2 juta (+ 45 persen) dan dari golongan
pendapatan Rp 2,0 juta – Rp 3,8 juta (+ 30 persen). Golongan pendapatan > Rp 3,8
182 Metropolitan di Indonesia

paling sedikit (+ 4 persen). Ini dapat disebabkan mereka bertempat tinggal di DKI
Jakarta.

TABEL 5 - 21 Pekerja Komuter Usia 15 Tahun Ke Atas


Golongan Pendapatan (Rp 000) Jumlah
Kab/Kot 100-1999 1200-1999 2000-3799 > 3799 (100%)
27.385 26.640 15.311 1.690
71.026
Kab Bogor (38.56%) (37.51%) (21.56%) (2.38%)
9.871 15.839 16.602 1.595
43.907
Kab Bekasi (22.48%) (36.07%) (37.81%) (3.63%)
1.927 4.575 3.762 635
10.899
Kota Bogor (17.68%) (41.98%) (34.52%) (5.83%)
18.528 67.537 37.790 5.165
129.020
Kota Bekasi (14.36%) (52.35%) (29.29%) (4.00%)
19.691 42.934 32.504 4.284
99.413
Kota Depok (19.81%) (43.19%) (32.70%) (4.31%)
52.000 106.906 72.088 10.576
241.570
Kab Tangerang (21.53%) 44.25%) (29.84%) (4.38%)
Kota 12.334 37.921 24.111 2.534
76.900
Tangerang (16.04%) (49.31%) (31.35%) (3.30%)
141.736 302.352 202.168 26.479
Jumlah 672.735
(21.07%) (44.94%) (30.05%) (3.94%)
Sumber: diolah dari LP3E Unpad. 2006

Guna Lahan
Dari studi SITRAMP II sebagaimana disebutkan dalam URDI (2006) pada tahun 2000,
klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota meliputi 14 penggunaan. Untuk
menyederhanakan, maka penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4
kelompok yaitu permukiman, kegiatan ekonomi, fasilitas publik, dan ruang terbuka
(Lihat TABEL 5 - 22).
GAMBAR 5 - 12 menunjukkan bahwa proporsi penggunaan lahan tahun 2000, yang
terbesar adalah untuk pertanian dan ruang terbuka (51 persen) diikuti dengan kampung
berkepadatan rendah (20 persen) serta semak dan hutan (10 persen). Luas penggunaan
lahan lain (perumahan terencana, kampung kepadatan tinggi, industri dan gudang,
komersial dan bisnis) relatif rendah, kurang dari 10 persen.
Penggunaan terbesar di Jabodetabek adalah untuk pertanian dan ruang terbuka di
Kabupaten Bogor (+ 111.000 ha), di Kabupaten Bekasi (+ 84.000 ha), dan di Kabupaten
Tangerang (+ 67.000 ha). Sedangkan semak dan hutan banyak terdapat di Kabupaten
Bogor (+ 60.000 ha) dan Kota Depok (+ 304 ha). Hal tersebut berarti bahwa masih
cukup banyak kawasan/kampung yang bersifat perdesaan. Namun, dengan berjalannya
waktu, telah terjadi perubahan guna lahan yang sangat pesat dalam kurun waktu + 1,5
tahun (1985-2002) (Lihat TABEL 5 - 23).
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 183

TABEL 5 - 22 Penggunaan Lahan per Kab/Kota Jabodetabek. tahun 2000


Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002

Penggunaan Lahan
Perumahan Kampung Kampung Industri & Komersial & Pendidikan &
No Kab/Kota Luas (ha) Terencana Kep.Tinggi Kep.Rendah Gudang Bisnis Fas.Publik Pemerintahan
1 Jakarta Selatan 14.573 3.341.6 6.152.7 836.5 37.9 1.190.6 505.7 196.7
2 Jakarta Timur 18.773 3.221.4 6.262.7 1.873.5 1.184.6 580.1 475.0 118.3
3 Jakarta Pusat 4.790 743.9 1.727.8 94.8 24.4 1.081.6 213.6 198.3
4 Jakarta Barat 12.615 3.370.7 3.832.4 880.5 691.3 830.1 282.6 53.0
5 Jakarta Utara 15.401 3.228.0 2.006.8 857.8 2.957.0 679.2 195.6 38.5
6 Kota Tangerang 16.455 1.872.6 1.359.2 5.107.6 1.688.3 133.3 29.6 1.6
7 Kab. Tangerang 111.038 5.629.6 1.376.9 26.049.5 2.720.4 344.2 33.3 11.1
8 Kota Depok 20.029 2.866.1 699.0 8.993.0 326.5 88.1 394.6 6.0
9 Kota Bogor 11.850 1.800.0 0.0 5.359.8 406.5 124.4 0.0 0.0
10 Kab. Bogor 206.327 1.671.2 0.0 30.185.6 1.052.3 61.9 165.1 0.0
11 Kota Bekasi 21.049 4.258.2 585.2 10.772.9 791.4 122.1 29.5 8.4
12 Kab. Bekasi 127.954 2.047.3 0.0 23.812.2 3.633.9 89.6 0.0 0.0
13 Jakarta Selatan 14.573 182.2 1.509.8 266.7 37.9 2.9 0.0 311.9
14 Jakarta Timur 18.773 107.0 3.955.5 268.5 319.1 1.9 0.0 403.6
15 Jakarta Pusat 4.790 148.5 298.4 88.6 13.9 0.0 0.0 156.6
16 Jakarta Barat 12.615 49.2 2.340.1 251.0 16.4 1.3 0.0 16.4
17 Jakarta Utara 15.401 98.6 3.454.4 1.640.2 12.3 1.5 3.1 229.5
18 Kota Tangerang 16.455 16.5 5.505.8 314.3 383.4 41.1 0.0 0.0
19 Kab. Tangerang 111.038 55.5 66.967.0 6.962.1 299.8 88.8 11.1 499.7
20 Kota Depok 20.029 38.1 5.479.9 368.5 6.0 304.4 0.0 460.7
21 Kota Bogor 11.850 0.0 3.902.2 181.3 0.0 75.8 0.0 0.0
22 Kab. Bogor 206.327 0.0 111.561.0 1.774.4 227.0 59.546.0 0.0 41.3
23 Kota Bekasi 21.049 2.1 4.336.1 130.5 2.1 6.3 0.0 0.0
24 Kab. Bekasi 127.954 0.0 83.963.4 14.049.3 0.0 38.4 230.3 0.0
184 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 12 Rasio Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 2000

Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002

TABEL 5 - 23 Konversi Lahan Pertanian


Luas Total Total Luas Prosentase Hasil Konversi (%)
Wilayah Konversi Peru- Perkan- Lain-
Wilayah (ribu ha) (ribu ha) mahan Industri toran Lain
Kota Bekasi 148.44 5.62 30.7 67.4 1.4 0.4
Kab. Tangerang 123.53 4.18 36.9 37.1 2.5 23.5
Kota Tangerang 18.38 3.28 62.1 35.8 1.9 0.2
Total 290.35 13.08 40.6 49.8 1.9 7.7
Sumber: BPS Jawa Barat. 1998 dalam Yulinawati 2005

TABEL 5 - 24 Perubahan Guna Lahan


Guna Lahan Tahun 1985 (ha) Tahun 2002 (ha)
Perumahan Formal 10.816 11.11% 20.900 22.02%
Perumahan Informal 37.865 38.89% 43.167 44.33%
Industri 4.621 4.75% 7.346 7.54%
Pertanian 44.074 45.26% 23.501 24.13%
Sumber : SITRAMP 2. 2004

Perumahan, baik formal maupun informal, menunjukkan perubahan yang besar,


hampir 15.000 ha. Industri mengalami peningkatan hampir 3.000 ha. Pertanian
mengalami pengurangan yang cukup besar yakni sekitar 11.000 ha. Konversi lahan
pertanian dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat pada TABEL 5 - 24.
Dari Kabupaten/Kota Bekasi dan Tangerang, dari total wilayah 13.08 ribu ha, 40,6
persen terkonversi menjadi perumahan, 49,8 persen menjadi industri, dan 9,6 persen
menjadi perkantoran dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa banyak lahan dan kegiatan
yang mencirikan perdesaan terkonversikan menjadi kegiatan yang berciri urban –
perumahan dan industri. Dari kelompok perumahan, paling tinggi menjadi kampung
berkepadatan rendah (20 persen), sedangkan penggunaan untuk perumahan terencana
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 185

dan kampung berkepadatan tinggi mencapai 10 persen. Jelas ini sudah merupakan
kawasan berkarakteristik perkotaan.

Dinamika Kawasan Pinggiran Metropolitan


Kawasan Pinggiran di sini diartikan urban fringe, yaitu kawasan yang terdapat di sekitar
kota besar atau metropolitan. Bersama sebuah atau lebih kota inti membentuk kawasan
metropolitan. Pada umumnya kawasan pinggiran ini terdiri dari penggunaan lahan yang
campur aduk: permukiman, industri, pertanian, lahan terbuka, dan sebagainya. Secara
teoritis, urban fringe merupakan titik perpotongan antara kurva permintaan lahan
perkotaan dengan kurva permintaan lahan perdesaan (Lihat GAMBAR 5 - 13).
Sumber mendatar merupakan jarak dari pusat kota, sedangkan sumbu vertikal
menyatakan nilai lahan. Titik (0.0) adalah suatu titik yang ditetapkan sebagai pusat kota.
Dengan perkembangan kota, titik yang menyatakan batas antara wilayah desa dan kota
akan bergeser menjauhi pusat kota (Lihat GAMBAR 5 - 14).
Titik perpotongan kedua kurva permintaan tersebut secara teoritis berupa suatu garis
mengelilingi pusat kota. Namun, pada kenyataannya merupakan suatu kawasan dengan
lebar yang bervariasi. Ini yang diartikan sebagai kawasan pinggiran metropolitan.

GAMBAR 5 - 13 Lokasi Urban Fringe Secara Teoretis


186 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 14 Pergeseran Urban Fringe

Tipologi Kawasan Pinggiran


Pada kenyataannya kawasan pinggiran tidak homogen. Berdasarkan penggunaan lahan
serta fungsi kegiatan ekonominya, kawasan pinggiran ini dapat dikelompokkan dalam
tiga kategori atau tipologi:
a. Predominantly Urban = kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan berciri
perkotaan. Karakteristik kota ini antara lain adalah perumahan berkepadatan tinggi,
penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri
ringan/manufaktur. Kegiatan-kegiatannya lebih berciri urban, biasanya akses ke
kota inti relatif baik. Kawasan predominantly urban ini kemungkinan besar tercipta
karena telah ada kota-kota atau permukiman sebelumnya di kawasan ini, seperti kota
Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok. Kemudian ditambah adanya pengembangan
permukiman skala besar yang baru seperti kota-kota baru BSD, Deltamas, dan
sebagainya. Kawasan ini juga meningkat perkembangannya karena sudah ada atau
sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jaringan jalan
arteri, jalan tol, dan sebagainya. Proses ini adalah yang kita kenal sebagai
”suburbanisasi” dan biasanya berbatasan langsung dengan kota inti.
b. Semi Urban = kawasan ini adalah wilayah transisi dari perdesaan ke perkotaan. Ciri
utamanya adalah keberadaan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah,
baik terencana (kawasan permukiman berskala kecil) maupun tidak terencana,
kepadatannya campuran antara kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Kegiatannya
juga sebagian masih rural (pertanian, perkebunan, empang-empang dan ruang
terbuka atau belum terbangun). Penggunaan lahan sebagian besar masih berupa
pertanian dan ladang, serta industri yang berorientasi tenaga kerja (labor oriented
industries). Guna lahannya campur aduk, antara untuk kegiatan rural dan kegiatan
perkotaan (perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, jasa pelayanan,
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 187

dan sebagainya). Akses ke kota inti terbatas; ini merupakan kawasan periurbanisasi
atau awal proses suburbanisasi.
c. Potential Urban = adalah kawasan yang pada saat ini ciri utamanya masih rural –
berkarakteristik desa tapi mempunyai peluang besar untuk lambat laun menjadi
urban. Kawasan ini tidak berbatasan langsung ke kota inti, namun dekat dengan
kawasan semi urban. Salah satu faktor yang mendorong pengembangan kegiatan
perkotaan ke kawasan ini adalah tersedianya aksesibilitas berupa jaringan jalan atau
kereta api yang melalui kawasan ini serta harga lahan yang relatif masih murah. Juga
adanya imbas dari daerah sekitarnya yang sudah atau menuju perkembangan
perkotaan (URDI. 2006). Kepadatan relatif rendah, kegiatan masih cenderung ke
pertanian dan perkebunan serta masih banyak lahan-lahan yang belum terbangun.
Akses ke kota inti sangat terbatas. hampir tidak ada.
Untuk kawasan metropolitan Jabodetabek ketiganya dapat dilihat dari GAMBAR 5 - 15.
Terkait dengan kepadatan penduduk dan guna lahan serta aktivitas penduduknya,
maka desa-desa di kawasan pinggiran ini ada yang masih bersifat rural, ada yang sudah
menunjukkan gejala-gejala menuju urban, dan ada yang sudah bersifat urban.
Dari GAMBAR 5 - 15 maka terlihat bahwa kebanyakan kecamatan-kecamatan yang
langsung berbatasan dengan DKI Jakarta berkarakteristik predominantly urban atau semi
urban. Dikaitkan dengan jaringan transportasi, kedua tipe kawasan ini dilalui jaringan
jalan atau jalan kereta api. Lihat juga pada peta 1 dan peta 2 (jaringan jalan dan kereta
api); peta 4 (penggunaan lahan 2000) serta peta 5 dan peta 6 (jumlah penduduk
Jabodetabek 2000 dan 2004 per kecamatan).

Pola Perubahan
Ketiga tipologi kawasan pinggiran akan turut mengalami perubahan dengan adanya
perkembangan di kawasan metropolitan Jabodetabek dan di kota inti DKI Jakarta.
Perkembangan global akan mempengaruhi kawasan metropolitan Jabodetabek terutama
dalam bidang perekonomian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kependudukan
(jumlah dan struktur) dan perubahan tata guna lahan.
a. Ekonomi dan konversi lahan
Sebagaimana telah disampaikan di muka, peranan kawasan metropolitan
Jabodetabek dalam perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan masih
akan tetap tinggi. Sektor industri pengolahan/manufaktur dan sektor jasa, yang
secara nasional meningkat pangsanya – dari 23.8 persen menjadi 26.8 persen - akan
meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jabodetabek.
Lokasi peningkatan kegiatan ekonomi tersebut akan menyebar sebagai berikut:
- industri jasa dan perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan
metropolitan yakni di kota inti DKI Jakarta (GAMBAR 5 - 19), tetapi mulai
menyebar mengikuti jaringan transport dan konsentrasi permukiman terutama
ke arah Selatan. Kegiatan ini terjadi di tipe kawasan predominantly urban.
188 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 15 Peta Urban Fringe Jabodetabek Berdasarkan Tipologinya

GAMBAR 5 - 16 Pengunaan Lahan Jabodetabek 2000


Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 189

GAMBAR 5 - 17 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2000 per Kecamatan

GAMBAR 5 - 18 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2004 per Kecamatan


190 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 19 Sebaran Lokasi Fasilitas Komersial dan Bisnis di


Jabodetabek
Sumber: SITRAMP2. 2004

GAMBAR 5 - 20 Sebaran Kawasan Industri dan Pergudangan Jabodetabek


Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 191

- industri manufaktur dan pergudangan (GAMBAR 5 - 20) terkonsentrasi di


kawasan pelabuhan kota inti DKI Jakarta, mengikuti jaringan transport ke Barat
ke arah Tangerang; Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi di tipe
kawasan semi urban dan potential urban. Persebaran ini terjadi di kawasan
predominantly urban dekat Kota Depok.
- pertanian (lihat TABEL 5 - 23) mengalami penyusutan luas dari sekitar 44 ha di
tahun 1985 menjadi sekitar 23,5 H di tahun 2002. Konversi ini (lihatTABEL 5 -
22) terjadi di Kabupaten/Kota Tangerang dan Bekasi terutama untuk
penggunaan perumahan dan industri (sekitar 13 ribu ha dari total 290,4 ha lahan
pertanian). Konversi lahan pertanian ini paling agresif terjadi di Kabupaten
Bekasi terutama untuk mewadahi kegiatan industri yang merupakan sektor
utama di daerah tersebut. Perubahan tersebut terjadi di kawasan-kawasan
sebagai berikut:

TABEL 5 - 25 Perubahan Kegiatan


- peningkatan industri jasa dan perdagangan
Predominantly Urban
- peningkatan industri manufaktur
- peningkatan industri manufaktur
Semi Urban
- peningkatan permukiman
- peningkatan industri manufaktur
Potential Urban
- konversi lahan pertanian ke perumahan dan industri

b. Kependudukan
Sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir
meningkat di Jabodetabek, kecuali di DKI Jakarta yang relatif stabil bahkan di
Jakarta Pusat yang mengalami penyusutan. Secara spasial peningkatan jumlah
penduduk terdapat di kecamatan-kecamatan yang berdekatan atau berbatasan dengan
DKI terutama di Kota Tangerang dan Kota Depok (kawasan predominantly urban).
Walaupun ada juga di beberapa kecamatan di pinggiran Kabupaten-kabupaten
Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang relatif jauh dari DKI Jakarta. Kecamatan-
kecamatan di atas berdasarkan jumlah penduduknya berubah dari tipologi semi
urban dan potential urban menjadi predominantly urban dan semi urban.
Terkait dengan kepadatan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2004) telah
terjadi juga kenaikan kepadatan penduduk. Paling tinggi kepadatan masih tetap di
DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan Jabodetabek. Di luar DKI Jakarta peningkatan
kepadatan tinggi terjadi di kota-kota sekitar, seperti Kota Bekasi, Kota Tangerang,
Kota Bogor, dan Kota Depok. Kota-kota ini meningkat perannya sebagai sub pusat
kegiatan dengan fungsi permukiman atau pendidikan. Kota-kota ini termasuk tipe
kawasan predominantly urban dan di sekelilingnya adalah kebanyakan tipe kawasan
semi urban. Kemungkinan besar kawasan-kawasan ini akan menjadi predominantly
urban dan kawasan yang potential urban akan menjadi semi urban.
192 Metropolitan di Indonesia

Strategi dan Kebijakan


Perubahan atau perkembangan tipologi kawasan dari predominantly urban menjadi fully
urban – dalam arti kecamatan-kecamatannya mengalami transformasi menyatu dengan
kota inti; dari semi urban menjadi predominantly urban dan dari potential urban menjadi
semi urban atau bahkan predominantly urban akan dipengaruhi oleh beberapa kebijakan
atau intervensi dari pemerintah maupun dari masyarakat/dunia usaha. Pada saat ini
strategi yang ingin digunakan di Kawasan Metropolitan Jabodetabek adalah mendorong
pengembangan poros Timur – Barat dan membatasi pengembangan ke arah Selatan yang
merupakan resapan air.
Bila dilihat GAMBAR 5 - 15 (tipologi urban fringe) maka poros Timur – Barat
masih memungkinkan untuk dikembangkan terutama di kawasan-kawasan semi urban,
potential urban, dan predominantly rural. Hal ini terkait pada kebijakan makro untuk
Kawasan Metropolitan Jabodetabek – seberapa luas lahan yang akan dipertahankan dan
di mana lokasinya untuk tetap menjadi kawasan perdesaan/pertanian (predominantly
rural) yang saat ini masih cukup banyak yakni 51 persen. Pembatasan ke arah selatan
memerlukan regulasi yang cukup ketat dan diawasi pelaksanaannya secara konsisten.
Pengembangan saat ini banyak yang mengarah ke selatan. Masyarakat perlu dilibatkan
dalam pengawasan ini.
Kebijakan umum dan khusus berupa program dan instrumen bagi ketiga tipologi
dapat dilihat dari TABEL 5 - 26 dan TABEL 5 - 27. Kebijakan-kebijakan ini pada
ujungnya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan makro nasional
dan sektoral seperti antara lain:
- Keputusan pembangunan jaringan transportasi baru – jalan tol, jalan kereta api, dan
jalan raya (arteri nasional).
- Keputusan pengembangan permukiman baru – antara lain dengan meningkatkan
kepadatan (KLB tinggi, KLB rendah).
Keputusan-keputusan ini penting untuk menetapkan di mana akan dilaksanakan.
Kedua kegiatan tersebut akan menarik kegiatan-kegiatan terkait seperti pusat-pusat
kegiatan dan pelayanan serta membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana
pendukung. Seyogianya itu semua mengacu pada satu tata ruang Kawasan Metropolitan
yang disepakati semua pihak – Pemerintah Pusat, Pemerintah-pemerintah Daerah, serta
masyarakat dan dunia usaha terkait di sektor-sektor terkait (seperti jaringan jalan raya,
jalan kereta api, jaringan air bersih dan pembuangan, industri dan perdagangan, dan
sebagainya).

Penutup

Bagaimana implikasi perkembangan metropolitan pada desa dan kota yang berada dalam
Kawasan Metropolitan serta kebijakan dan kelembagaan seperti apa yang dapat
mengelola/menanganinya merupakan isu yang akan dibahas dalam bagian ini.
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 193

TABEL 5 - 26 Kebijakan Umum dan Usulan Program per Tipologi Urban Fringe
Predominantly
No Jenis Kebijakan Urban Semi Urban Potential Urban
1 Pemanfaatan Pengembangan mixed Pengembangan lahan Dipertahankan
lahan untuk use; Pembangunan terbangun yang sebagai lahan tidak
kegiatan budi secara vertikal (KLB menunjang kegiatan terbangun;
daya tinggi. KDB rendah) perkotaan Mempertahankan
fungsi ekologis /
lindung kawasan.
2 Pengembangan Pengembangan pusat- Pengembangan urban Pengembangan urban
pusat-pusat pusat kegiatan agriculture dan industri agriculture
kegiatan baru regional padat karya Kegiatan eknomi
yang tidak
merugikan fungsi
ekologis (eco-
tourism. dll)
3 Mengefisienkan Pengembangan Pengembangan urban Pengembangan urban
dan kegiatan perkotaan agriculture dan industri agriculture
mengefektifkan yang berorientasi
lokasi pusat-pusat tenaga kerja
kegiatan ekonomi
4 Peningkatan Penyediaan prasarana Penyediaan prasarana Penyediaan
penyediaan yang mendukung yang mendukung urban prasarana yang
prasarana kegiatan perkotaan agriculture dan industri mendukung urban
untuk skala regional agriculture
Sumber : URDI 2006

TABEL 5 - 27 Contoh Instrumen untuk Kebijakan-kebijakan Khusus


Predominantly
No Jenis Kebijakan Semi Urban Potential Urban
Urban
Kebijakan
Khusus
1 Pengembangan Menaikkan Beban Membatasi Akses Jalan Membatasi Akses
Yang Ada Pajak Untuk Kegiatan Tol Dan Non Tol; Jalan Tol Dan Non
Dibatasi Perkotaan: Bisnis Dan Membatasi Ijin-Ijin Tol;
Komersial; Untuk Kegiatan Yang Meningkatkan
Mengurangi Ijin-Ijin Menyebabkan Fungsi Lindung
Pembangunan; Degradasi Lingkungan Kawasan Untuk
Mengembalikan Bagian Selatan
Fungsi Ruang Jabodetabek
Terbuka Hijau
2 Pengembangan Meningkatkan Meningkatkan Meningkatkan
Yang Ada Pelayanan Sarana Dan Pelayanan Sarana Dan Penyediaan Sarana
Didorong Prasarana Perkotaan Prasarana Perkotaan; Dan Prasarana Kota;
Meningkatkan Meningkatkan
Pemanfaatan Lahan Pembangunan Jalan
Terbangun Baru Untuk
Pergerakan Internal
Dan Eksternal
Jabodetabek
Sumber : URDI 2006
194 Metropolitan di Indonesia

Hubungan Desa dan Kota


Dari gambaran di atas terlihat bahwa desa dan kota sangat erat kaitannya dan dengan
mudah terjadi perubahan dari desa menjadi kota. Dari yang predominantly rural atau
potential urban dapat menjadi semi urban dan predominantly urban.
Suatu studi kasus (Uguy 2006) di suatu kecamatan (Cimanggis) memberikan hasil
sebagai berikut: Kecamatan Cimanggis merupakan kawasan peri urban yaitu
mempunyai tata guna lahan campuran rural dan urban yang tak tertata. Perubahan
peruntukan lahan yang sangat cepat untuk pembangunan permukiman. Kecamatan ini
juga membangkitkan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan di jalan lingkungan, jalan
arteri, dan jalan tol. Kepadatan penduduknya 75 jiwa/ha lebih tinggi dari kepadatan
kabupaten tapi belum setinggi kepadatan kota. Tetapi peningkatan kepadatan ini sangat
tinggi (6,3 persen per tahun). Kompleks perumahan bertambah dari 32 kompleks (1992)
menjadi 57 kompleks (2002) hampir dua kalinya (Uguy 2006: hal. 127). Pertambahan
penduduk terjadi terutama karena perpindahan dari DKI Jakarta. Sebanyak 84 persen
dari penghuni di kompleks perumahan dan 54 persen dari penghuni non perumahan
(kampung) sebelumnya tinggal di DKI Jakarta.
Kegiatan utama Cimanggis sebagian masih berupa pertanian (sawah, ladang, kebun
campuran dengan rumah) sebesar 73 persen. Namun, sekitar 27 persen telah berubah
menjadi perumahan, industri, jalan, dan lain-lain. Hal ini semua menunjukkan bahwa
kecamatan Cimanggis yang sekitar 5 tahun yang lalu masih berciri desa, kini telah
mengalami transformasi dalam transisi menjadi kecamatan berciri kota. Ini merupakan
fenomena yang umum terjadi di kecamatan-kecamatan sekitar DKI Jakarta,. yaitu di
kawasan pinggiran yang semula hanya tipe potential urban menjadi predominantly
urban. Desa-desa yang dilalui atau dekat dengan jaringan transportasi ke Jakarta akan
mengalami transformasi menjadi kota yang lebih cepat. Jika tidak ada intervensi dari
pemerintah, hal ini akan menerus terjadi dan akan menimbulkan urban sprawl.

Intervensi Strategi dan Kebijakan


Intervensi yang dapat dilakukan perlu secara menyeluruh dari tingkat nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota, meliputi intervensi dalam aspek kelembagaan dan keuangan, aspek
pembangunan fisik dan lingkungan, serta dalam aspek pelayanan publik. (URDI. 2006).
Dalam hal ini intervensi kelembagaan dan keuangan antara lain dapat dilakukan melalui:
- membentuk wadah kerja sama (baru atau revitalisasi/perluasan wadah yang sudah
ada);
- merumuskan mekanisme kerja sama dan pembuatan keputusan;
- koordinasi perencanaan dan pendanaan pembangunan secara terpadu (lintas sektor
dan lintas wilayah).
Dalam hal intervensi aspek pembangunan fisik dan lingkungan dapat dilakukan antara
lain :
- penyusunan rencana tata ruang wilayah yang terintegrasi dan terpadu secara
bersama-sama;
Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 195

- perencanaan pengembangan jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan secara


bersama (spasial maupun temporal);
- perencanaan pemanfaatan sumber daya alam, seperti sumber air baku, sungai dan
danau, dan sebagainya.
Dalam hal intervensi aspek pelayanan publik antara lain dapat dilakukan melalui
pengembangan program-program :
- pelayanan transportasi terpadu multimoda.
- pelayanan penyediaan air bersih, pembuangan, dan persampahan (disarikan dari
URDI 2006).
Beberapa intervensi itu harus dilakukan dari tingkat pusat, seperti mekanisme
perencanaan yang melibatkan propinsi-propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten),
pembangunan skala besar dan banyak daerah seperti jaringan transportasi multimoda
yang melayani ketiga propinsi, dan sebagainya.
196 Metropolitan di Indonesia
6

Infrastruktur

TRANSPORTASI

Pendahuluan
Transportasi adalah pergerakan orang dan/atau barang dari satu lokasi ke lokasi lain dari
satu pusat kegiatan ke pusat kegiatan lain. Transportasi bukan merupakan suatu tujuan
akhir, melainkan turunan dari permintaan, misalnya pergerakan untuk tujuan kerja,
rekreasi, pengumpulan bahan baku, distribusi barang produk, dan lain-lain. Pergerakan
orang/barang antar lokasi tersebut dalam skala lokal sampai global, misalnya pergerakan
antar pusat kegiatan dalam suatu kota sampai pergerakan antarnegara.
Untuk skala metropolitan, tujuan akhir dari transportasi adalah terpenuhinya
permintaan pergerakan orang/barang dalam rangka menunjang kesejahteraan masyarakat
metropolitan terkait, yakni untuk menuju terwujudnya metropolitan yang nyaman
sebagai tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat rekreasi. Selanjutnya, bagaimana
transportasi dapat menunjang terwujudnya suatu wilayah metropolitan yang sejahtera
tergantung dari karakteristik wilayah terkait. Misalnya, kebutuhan fasilitas dan layanan
transportasi untuk wilayah kota industri berbeda dengan untuk kota pendidikan.
Hubungan antara fasilitas dan layanan transportasi dengan wilayah terkait
merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa sistem/subsistem sebagai berikut:
a) Sistem Kegiatan, yakni pusat-pusat penduduk dengan kegiatannya, misalnya
wilayah metropolitan, kawasan perumahan, kawasan perdagangan, dan sebagainya;
Sistem / Sub-sistem Kegiatan ini membangkitkan (produksi dan tarikan) pergerakan
yang membutuhkan fasilitas dan layanan transportasi
b) Sistem Jaringan, yakni jaringan dan simpul-simpul fasilitas & layanan transportasi,
misalnya jaringan jalan raya (arteri, kolektor, lokal), jaringan rel kereta-api, jaringan
layanan transportasi umum, bandara udara, pelabuhan laut, dan lain-lain;
Sistem/Sub-Sistem Jaringan melayani pergerakan Sistem Kegiatan sebagai suatu
sistem, misalnya longsornya sebagian kecil jalan tol Cipularang praktis
melumpuhkan fungsi utama jalan tol tersebut, yakni jalan tol Jakarta-Bandung;
198 Metropolitan di Indonesia

dengan tidak terpenuhinya tujuan akhir transportasi Jakarta-Bandung tersebut, maka


hal ini selanjutnya juga berdampak terhadap peran sistem/subsistem jaringan
lainnya, misalnya peningkatan peran jaringan layanan kereta api dan jaringan jalan
alternatif lainnya.
c) Sistem Pergerakan, yakni pergerakan orang dan/atau barang berdasar jumlah, tujuan,
lokasi asal-tujuan, waktu perjalanan, jarak atau lama perjalanan, kecepatan,
frekuensi, moda yang digunakan, dan sebagainya; Sistem Pergerakan adalah
bangkitan pergerakan yang dihasilkan Sistem Kegiatan
d) Ketiga sistem/sub-sistem di atas saling terkait, makin tinggi kuantitas dan kualitas
Sistem Kegiatan dan/atau Sistem Jaringan, makin tinggi pula pergerakan yang
dihasilkan; sebaliknya makin tinggi kuantitas dan kualitas Sistem Pergerakan, makin
tinggi pula dampak yang ditimbulkan terhadap Sistem Kegiatan dan Sistem
Jaringan.
Sebagaimana disinggung di atas, transportasi bukan tujuan akhir tetapi timbul akibat
adanya permintaan Sistem Kegiatan. Peran transportasi terhadap perkembangan dan
pertumbuhan wilayah metropolitan tercermin dari interaksi antara Sistem Jaringan dan
Sistem Pergerakan dengan Sistem kegiatan wilayah perkotaan. Setiap perubahan atau
perkembangan Sistem Kegiatan akan menimbulkan perubahan atau kenaikan pergerakan
(volume, jarak, dsb.); perubahan dan perkembangan ini dilayani melalui pengelolaan dan
pengembangan Sistem Pergerakan (misalnya lalu-lintas dua arah menjadi lalu-lintas satu
arah) dan/atau Sistem Jaringan (misalnya pelebaran jalan); pada gilirannya, peningkatan
fasilitas dan layanan transportasi akan meningkatkan perkembangan Sistem Kegiatan,
meningkatkan bangkitan pergerakan, dan menimbulkan kemacetan baru, dst.; siklus ini
adalah peran “pasif” dari Sistem Pergerakan dan/atau Sistem Jaringan dalam melayani
perubahan dan perkembangan Sistem Kegiatan. Sebaliknya, Sistem Pergerakan dan/atau
Sistem Jaringan juga dapat berperan “aktif” terhadap perkembangan Sistem Kegiatan;
pengelolaan serta pengembangan Sistem Pergerakan dan/atau Sistem Jaringan dapat
memberikan dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan Sistem Kegiatan;
misalnya penerapan lalu-lintas satu arah serta pelarangan parkir tepi jalan (on-street
parking) pada suatu koridor jalan dapat mengakibatkan dampak negatif berupa matinya
kegiatan ekonomi sepanjang koridor tersebut khususnya pada lokasi-lokasi yang tidak
memiliki lahan parkir khusus (off-street parking). Sebaliknya, pengalihan rute angkutan
umum pada satu koridor dapat memberikan dampak positif dengan meningkatkan
perkembangan Sistem Kegiatan sepanjang koridor tersebut (misalnya meningkatnya
kegiatan transaksi kawasan perbelanjaan); demikian pula pembangunan serta
peningkatan kualitas jaringan jalan ke arah timur-barat dibarengi dengan penurunan
kualitas jaringan jalan ke arah selatan akan memberikan dampak positif mendorong
perkembangan Sistem Kegiatan ke arah timur-barat sekaligus dampak negatif terhadap
perkembangan ke arah selatan; pembangunan Sistem Jaringan juga dapat membelah
kehidupan sosial suatu Sistem Kegiatan.
Peran “pasif dan aktif” Sistem Jaringan tersebut pada gilirannya juga mengarahkan
perencanaan dan pembangunan sistem infrastruktur lainnya (jaringan listrik, telepon, air
bersih, limbah, dsb.); perencanaan dan pembangunan Sistem Jaringan juga merupakan
perencanaan dan pembangunan struktur Sistem Kegiatan; Peran strategis Sistem
Infrastruktur 199

Jaringan tersebut menyebabkan pembangunan Sistem Jaringan tidak saja kompleks


tetapi juga menyangkut dana besar serta sekali dibangun tidak mudah untuk di ubah-
ubah.
Ketiga sistem di atas dengan karakteristik serta keterkaitannya juga dipengaruhi oleh
keberadaan serta kesiapan Sistem Kelembagaan yang terdiri atas:
a) aspek legal, yakni kesiapan serta kesesuaian UU, PP, kebijakan, RTRW, dsb;
misal kebijakan walikota untuk lebih mementingkan “makan” ketimbang
“macet” mengakibatkan perubahan guna lahan perumahan menjadi pusat
perbelanjaan; penerapan sistem setoran dibandingkan dengan sistem gaji
bulanan mengakibatkan kemacetan akibat sopir angkutan umum mengejar
setoran tanpa menghiraukan ketertiban serta rambu-rambu lalu-lintas.
b) aspek organisasi, yakni kesiapan serta kejelasan pembagian tugas, tanggung
jawab, serta koordinasi intra dan antar unit-unit organisasi pemerintah, dunia
usaha, serta masyarakat; misal kemacetan yang ditimbulkan akibat buruknya
organisasi antar sektor dalam masalah klasik gali-tutup lubang jalan untuk
listrik, air minum, telepon.
c) aspek sumber daya insani, yakni kesiapan sumber daya insani (operator, user,
non-user, regulator, dsb.) misalnya pelanggaran RTRW karena ketidaksiapan
sumber daya insani pengawasan / pengendalian.
d) aspek keuangan, yakni kesiapan serta kesesuaian pendanaan, misal terlambatnya
pembangunan jalan layang karena adanya masalah pencairan dana pinjaman
luar negeri.
Selanjutnya sistem-sistem di atas juga dipengaruhi oleh Sistem Lingkungan Internal dan
Eksternal dengan dinamika perubahannya:
a) internal – aspek ekonomi, sosial-budaya-politik, fisik, teknologi; misalnya tidak
ada becak di Padang karena aspek budaya setempat; sebaliknya tidak ada becak
di Lembang karena kondisi fisik geografisnya
b) eksternal – aspek ekonomi, sosial-budaya-politik, fisik, teknologi; misalnya
dampak bom Bali terhadap transportasi wisata asing ke Indonesia.
Akhirnya semua sistem di atas saling terkait dalam suatu Sistem Spatial mulai dari
skala lokal, regional, nasional, sampai global; misalnya adanya pertemuan APEC di
Bogor (kegiatan ekonomi tingkat internasional dengan lokasi di luar Bandung) serta
adanya keputusan Gubernur DKI Jakarta untuk meliburkan Jakarta (aspek legal juga dari
luar Bandung); hal ini mengakibatkan penduduk Jakarta mengalir ke Bandung untuk
liburan panjang, pada gilirannya berbagai faktor eksternal tersebut mengakibatkan
transportasi Bandung macet total sepanjang hari.
Secara singkat transportasi merupakan suatu sistem/subsistem yang kompleks;
Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan merupakan sistem yang saling
berhubungan. Ketiga sistem ini dipengaruhi oleh Sistem Kelembagaan, yang
kesemuanya juga dipengaruhi oleh Sistem Internal dan Eksternal serta Sistem Spatial
(lihat GAMBAR 6 - 1).
200 Metropolitan di Indonesia

Nas / Int
Regional
Lokal
Sistem Eksternal: Ekonomi-Sosial-Politik-Budaya-Fisik-

Sistem Sistem
Kegiata Jaringan
Sistem n
Kelembagaan
- legal
- organisasi Sistem
- SDM Pergera
kan
- dana

Sistem Internal: Ekonomi-Sosial-Politik-Budaya-Fisik-Teknologi

GAMBAR 6 - 1 Sistem Transportasi

Tantangan Transportasi Perkotaan


Sebagaimana disampaikan di atas, transportasi bukan tujuan akhir tetapi adalah untuk
pemenuhan permintaan pergerakan penduduk dengan kegiatannya; fasilitas dan layanan
transportasi metropolitan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
metropolitan, dalam arti:
a) seluruh masyarakat, artinya kinerja fasilitas dan layanan transportasi makin baik bila
dapat menjangkau lebih banyak masyarakat secara keseluruhan; sebaliknya terus
memburuknya fasilitas dan pelayanan akan menyebabkan kerugian ekonomi seluruh
masyarakat menuju matinya metropolitan; merupakan tantangan bagaimana fasilitas
dan layanan transportasi dapat menunjang keberlanjutan ekonomi dari metropolitan
terkait (economically sustainable);
b) semua masyarakat, artinya kinerja fasilitas dan layanan transportasi makin baik bila
tidak hanya menjangkau lebih banyak masyarakat, tetapi terutama menjangkau juga
semua masyarakat; artinya menjangkau secara merata berbagai kelompok
masyarakat berdasar penghasilan, gender, usia, lokasi tempat tinggal; merupakan
tantangan bagaimana mewujudkan keadilan sosial berupa pemerataan fasilitas dan
layanan transportasi untuk semua masyarakat metropolitan (socially sustainable);
Infrastruktur 201

c) masyarakat generasi nenek-moyang, merupakan tantangan bagaimana pembangunan


dan pengelolaan fasilitas dan layanan transportasi tidak merusak lingkungan binaan
peninggalan nenek-moyang kita yang bernilai sejarah (culturally sustainable);
d) masyarakat generasi anak-cucu, artinya bagaimana fasilitas dan layanan transportasi
tidak memboroskan sumber daya tidak terbarukan serta tidak merusak lingkungan
alam yang merupakan titipan untuk anak-cucu kita (environmentally sustainable);
e) masyarakat sebagai pelaku aktif – untuk-dari-oleh, bagaimana proses perencanaan,
pembangunan, dan pengelolaan fasilitas dapat melibatkan semua masyarakat hingga
semua dapat menggunakan haknya yang bertanggung jawab untuk mencapai
kesepakatan, dan pada gilirannya tidak menimbulkan gejolak politik (politically
sustainable).
Secara singkat tantangan peningkatan kinerja fasilitas dan layanan transportasi
adalah bagaimana meningkatkan pemenuhan kebutuhan pergerakan untuk seluruh
masyarakat, untuk semua masyarakat, tanpa merusak lingkungan binaan peninggalan
masyarakat masa lalu yang bernilai sejarah tanpa merusak lingkungan alam yang
merupakan titipan masyarakat generasi mendatang, dan untuk menjawab tantangan ini
bagaimana semua masyarakat dapat berperan serta sebagai pelaku aktif. Merupakan
tantangan bagaimana mewujudkan fasilitas dan layanan transportasi yang berkelanjutan
secara ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan politik.
Sebelum menjawab semua tantangan di atas, bagian berikut akan membahas lebih
rinci permasalahan transportasi, yakni permasalahan tiap sistem/sub-sistem dan antar
sistem/sub-sistem (Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan) serta
permasalahan ketiga sistem ini terkait dengan permasalahan Sistem Kelembagaan,
Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal, serta Sistem Spatial. Demikian juga akan
dibahas permasalahan kinerja Sistem Jaringan dalam memenuhi kebutuhan pergerakan
Sistem Kegiatan.

Permasalahan Transportasi Perkotaan


Permasalahan Sistem Kegiatan diwarnai oleh makin memusatnya penduduk dengan
kegiatannya secara spatial maupun temporal, yakni dengan tingginya urbanisasi terutama
pada wilayah metropolitan, besar serta cepatnya perubahan guna lahan terutama
sepanjang jaringan jalan utama. Sebaliknya terjadi pula ekspansi spatial, yakni sub-
urbanisasi dengan tumbuhnya pemusatan kegiatan sepanjang koridor sekitar kota utama.
Semua kecenderungan di atas pada gilirannya meningkatkan kemacetan serta
memperbesar jarak dan waktu pergerakan dari rumah ke tempat kerja dan ke tempat lain.
Pembangunan Sistem Kegiatan juga diwarnai oleh makin terpinggirnya penduduk lemah
ekonomi ke lokasi-lokasi dengan akses buruk ke fasilitas dan layanan transportasi.
Pada sisi lain, permasalahan Sistem Jaringan diwarnai oleh terbatas serta buruknya
kualitas fasilitas dan pelayanan transportasi. Sistem Jaringan juga diperburuk dengan
rusaknya hierarki jaringan, misalnya percampuran berbagai moda besar-kecil, kendaraan
cepat-lambat pada jaringan jalan arteri. Sistem jaringan yang terbatas tersebut juga tidak
digunakan secara efisien untuk mengangkut orang/barang, mayoritas penggunanya
adalah kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) yang kapasitas penumpangnya lebih
202 Metropolitan di Indonesia

rendah. Demikian pula jaringan yang ada dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan lain,
misal untuk PKL, parkir, dsb.
Permasalahan Sistem Jaringan juga diperparah dengan makin tidak berimbangnya
perkembangan Sistem Jaringan yang merambat dibandingkan dengan Sistem Kegiatan
yang melaju. Permasalahan kedua sistem di atas pada gilirannya berdampak pada
permasalahan Sistem Pergerakan, yakni semuanya menyebabkan meningkatnya
kemacetan, perjalanan ulang-alik, polusi, pemborosan energi, kecelakaan, keamanan,
dsb.
Beberapa permasalahan kurang terpadunya ketiga sistem di atas, antara lain adalah:
a) pesatnya perubahan Sistem Kegiatan seperti pembangunan gedung-gedung
bertingkat tanpa diimbangi dengan penyediaan Sistem Jaringan penunjangnya,
dalam arti eksternalitas yang ditimbulkan dari perubahan Sistem Kegiatan berskala
makro/regional, tetapi Sistem Jaringan yang disediakan hanya berskala mikro/lokal.
Misalnya perubahan guna lahan dari rumah menjadi mall hanya diwajibkan untuk
menyediakan lahan parkir, padahal mall tersebut juga masih menimbulkan berbagai
eksternalitas skala mikro lain, misalnya terjadinya antrian kendaraan yang
menggunakan jalan umum, mangkalnya angkutan umum sekitar mall, menjamurnya
kegiatan PKL, dsb. Artinya, ekseternalitas skala mikro tersebut harus dihilangkan,
misalnya dengan penyediaan lahan di dalam kawasan mal untuk antrian kendaraan,
lahan untuk tempat mangkal angkutan umum, lahan untuk PKL. Selanjutnya,
kegiatan mal tersebut mungkin menimbulkan juga eksternalitas skala makro,
misalnya menyebabkan rusaknya sistem hierarki jaringan jalan sekitar mal tersebut.
Untuk ini, pembangunan mal tersebut juga diharuskan untuk memperbaiki sistem
hierarki jaringan jalan terkait, misalnya dengan menyediakan jaringan jalan lokal.
Secara singkat, untuk tiap perubahan guna lahan skala kecil/besar, seyogianya tidak
saja diwajibkan untuk melakukan Amdal/Amdal Regional, tetapi juga diterapkan
“development impact fee” hingga eksternalitas mikro/makro yang ditimbulkan harus
dihilangkan dengan upaya mikro/makro juga.
b) pembangunan Sistem Jaringan jalan yang tidak seimbang, misalnya pesatnya
pembangunan jalan tol serta jalan arteri lainnya tanpa diimbangi dengan
pembangunan jaringan jalan kolektor pendukungnya, dengan akibat terjadi
kemacetan serta antrian yang panjang menjelang pintu-pintu keluar-masuk tol
karena terbatasnya jaringan kolektor.
c) penerapan secara partial “transportation demand system”; misalnya pemberlakuan
“3 in 1” tanpa diimbangi dengan penyediaan transportasi publik yang memadai
(misalnya tingkat pelayanan “door-to-door” sangat rendah) dengan akibat
menurunnya fungsi Sistem Kegiatan sepanjang koridor “3 in 1” tersebut (padahal
salah satu peran Sistem Jaringan adalah untuk melayani Sistem Kegiatan).
Pada gilirannya berbagai permasalahan transportasi terkait dengan ketiga sistem di
atas berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat; misalnya kerugian ekonomi seluruh
masyarakat akibat makin meningkatnya kemacetan, akses masyarakat miskin makin
buruk, ketidakadilan pemanfaatan fasilitas transportasi terutama oleh sebagian kecil
masyarakat pemilik kendaraan pribadi, makin meningkatnya penggunaan kendaraan
Infrastruktur 203

pribadi yang mengakibatkan pemborosan energi tidak terbarukan serta peningkatan


kerusakan lingkungan, dll.
Permasalahan di atas juga menjadi semakin berat dengan Sistem Kelembagaan yang
tidak baik:
a) dalam aspek legal; misalnya belum siapnya ketentuan hukum yang memungkinkan
dana yang diperoleh dari sektor transportasi untuk pembangunan fasilitas dan
layanan transportasi, belum siapnya ketentuan hukum untuk mencegah joki ”3 in 1”,
penegakan hukum yang lemah hingga fasilitas jalan digunakan oleh PKL; ketidak-
pastian hukum dan ketidakberlanjutan arah kebijakan seperti tidak konsistennya
pelaksanaan program BBG (Bahan Bakar Gas) yang sebenarnya telah dirintis di
Jakarta awal/mid 1990-an
b) dalam aspek organisasi; misalnya masalah klasik gali lubang tutup lubang
pembangunan jaringan infrastruktur (listrik, telepon, air bersih) yang mengakibatkan
kemacetan, benturan kepentingan antar sektor dan antar daerah dalam pengoperasian
rute layanan transpotasi kota, lemahnya koordinasi intra/antar lembaga-lembaga
pemerintah (pusat-daerah, antar sektor, antar daerah), dunia usaha, dan masyarakat.
c) dalam aspek sumber daya insani, misalnya seperti disampaikan di atas, yakni
perubahan guna lahan yang menimbulkan dampak kemacetan skala makro tetapi
oleh pemberi ijin hanya dipersyaratkan membangun parkir yang merupakan
pemecahan skala mikro; demikian pula sektor swasta yang cenderung memperoleh
keuntungan dalam waktu singkat serta pejabat dengan masa jabatan terbatas 5-10
tahun cenderung ingin menghasilkan sesuatu dalam masa jabatannya, pada sisi lain
pembangunan jaringan transportasi merupakan hal yang kompleks dan berjangka
panjang serta membutuhkan dana besar.
d) dalam aspek pendanaan, misalnya terlalu berorientasi pada pinjaman luar negeri
dengan berbagai ikatan yang memberatkan, belum termanfaatkannya sumber daya
dunia usaha, konsep pendanaan pembangunan SAUM (Sistem Angkutan Umum
Masal) yang cenderung bersifat sektoral-partial serta bertentangan dengan prinsip-
prinsip transportasi sebagai sistem/subsistem yang kompleks serta saling berkaitan.
Pemecahan permasalahan transportasi juga umumnya kurang memperhatikan Sistem
Lingkungan Internal dan Eksternal serta Sistem Spatial:
a) Sistem Lingkungan Internal; misalnya macetnya pembangunan jalan tol karena
masalah komunikasi dengan masyarakat lokal
b) Sistem Lingkungan Eksternal; misalnya menghadapi krisis ekonomi regional 1998
pemerintah menghentikan semua pembangunan infrastruktur hingga Indonesia
makin tidak kompetitif (tidak belajar dari Amerika serta negara lain yang justru
membangun infrastruktur besar-besaran untuk menciptakan lapangan kerja pada
masa resesi dunia 1930-an)
c) Sistem Spatial; era otonomi daerah cenderung meningkatkan permasalahan
perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan fasilitas dan layanan transportasi
antardaerah otonom yang saling bertetangga.
204 Metropolitan di Indonesia

Akhirnya permasalahan dikaitkan dengan tantangan Transportasi Metropolitan di


atas, yakni penyediaan fasilitas dan layanan transportasi untuk pemenuhan kebutuhan
pergerakan adalah sbb:
a) transportasi untuk seluruh masyarakat, kinerja fasilitas dan layanan transportasi
masih jauh dari yang diharapkan, ratio luas jalan berbanding luas kota untuk kota-
kota di Indonesia jauh di bawah ratio yang sama untuk kota-kota di luar negeri,
investasi infrastruktur termasuk untuk transportasi menurun sangat tajam sejak krisis
ekonomi tahun 1998.
b) transportasi untuk semua masyarakat, serupa dengan kondisi di atas. Ketimpangan
fasilitas dan layanan transportasi makin tidak merata, misalnya ratio jumlah
kendaraan bermotor pribadi terhadap kendaraan umum makin membesar.
c) transportasi yang melestarikan peninggalan masyarakat masa lampau yang bernilai
sejarah, perubahan guna lahan serta pembangunan fasilitas transportasi cenderung
menghilangkan beberapa bangunan bernilai sejarah.
d) transportasi yang tidak merusak titipan masyarakat generasi mendatang,
membengkaknya kenaikan kendaraan bermotor pribadi merupakan salah satu
penyebab utama makin meningkatnya polusi, memburuknya iklim mikro, serta
pemborosan energi tidak terbarukan.
e) transportasi yang melibatkan peran serta aktif semua masyarakat, misalnya
perusakan taksi tertentu oleh pengemudi taksi lain, protes pengemudi transportasi
kota merupakan belum dilaksanakannya prinsip untuk-oleh-dari semua masyarakat
Secara singkat, permasalahan transportasi metropolitan diwarnai oleh permasalahan
terkait dengan Sistem-Sistem Kegiatan, Jaringan, dan Pergerakan serta dipengaruhi pula
oleh permasalahan Sistem Kelembagaan. yang selanjutnya juga terkait dengan
permasalahan sistem lingkungan internal dan eksternal serta sistem spatial. Selanjutnya,
transportasi metropolitan juga diwarnai oleh masih rendahnya kinerja dalam melayani
kebutuhan pergerakan untuk seluruh dan semua masyarakat serta masih besarnya
dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan binaan bernilai sejarah dan
lingkungan alam. serta masih rendahnya peran serta semua masyarakat sebagai pelaku
aktif dalam perencanaan dan pembangunan serta pengelolaan fasilitas dan layanan
transportasi.

Arah Kebijakan Transportasi Perkotaan


Kebijakan pengembangan Sistem Kegiatan seyogianya diarahkan untuk menyebar
pemusatan spatial dan temporal yang terjadi, yakni dengan membangun multi-centers –
masing-masing dengan keunikan/kekhasannya, misalnya adanya berbagai jenis pusat
perbelanjaan – elektronik, pakaian, alat perkantoran, dsb. Selanjutnya, penyebaran
pemusatan temporal dapat dilakukan dengan pembedaan jam-jam kantor, sekolah, dsb.
pembedaan ini dapat dilakukan intra unit (misal direktur dengan tukang sapu dalam
suatu industri besar tidak harus masuk jam kantor pada waktu yang bersamaan), antar
unit (misalnya antara satu sekolah favorit dengan sekolah favorit lainnya), antarwilayah
(misalnya industri di lokasi A dengan industri di lokasi B), serta kombinasi penyebaran
butir-butir tersebut.
Infrastruktur 205

Arah kebijakan lain untuk Sistem Kegiatan adalah dengan memperkecil kebutuhan
akan adanya pergerakan, misalnya dengan mewujudkan terciptanya “toward zero
transportation city”, yakni melalui pembangunan yang compact/high-rise building serta
mixed land-use dan mixed-groups. Demikian pula dapat diterapkan “zero externalities”,
misalnya tiap perubahan guna lahan dipersyaratkan untuk menyediakan prasarana-sarana
yang dibutuhkan guna mencegah timbulnya eksternalitas (kemacetan, polusi, banjir,
dsb), termasuk penerapan development impact fee, dsb. Misalnya untuk kawasan
perumahan yang diubah menjadi pusat perbelanjaan, maka pengembang diwajibkan
untuk menyediakan berbagai prasarana-sarana untuk mencegah timbulnya eksternalitas
makro dan mikro; untuk mencegah eksternalitas mikro mulai dari penyediaan lahan
parkir, lahan untuk antrian parkir, lahan untuk antrian kendaraan angkutan umum (“bus
stop”), lahan untuk PKL, sampai jembatan penyeberang, dsb.
Selanjutnya, perlu dilakukan penataan kembali hierarki Sistem Jaringan, baik yang
terkait dengan arteri-kolektor-lokal maupun primer-sekunder. Demikian juga
pembenahan persimpangan kereta api dengan jalan raya; penataan fasilitas untuk
kendaraan lambat atau kendaraan rawan kecelakaan; pejalan kaki, dsb. Peningkatan
efisiensi pemanfaatan Sistem Jaringan, yakni dengan memberikan prioritas pada
angkutan umum serta pembatasan penggunaan kendaraan pribadi (mobil, sepeda motor);
termasuk penyediaan layanan angkutan umum yang layak serta terjangkau untuk semua,
misalnya adanya angkutan umum kelas argo, eksekutif, bisnis, ekonomi, dsb. Untuk
moda, dapat pula diterapkan kebijakan yang bertujuan mengurangi gangguan kemacetan
akibat mogoknya kendaraan (tua), misalnya melalui penerapan pajak progresif untuk
mobil tua – sekaligus dalam kaitan dengan masalah energi dan polusi.
Arah kebijakan untuk Sistem Pergerakan diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan eksternalitas terkait dengan kemacetan, kecelakaan, polusi, energi, dsb;
serta dampaknya terhadap Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan; misalnya melalui
penerapan one way traffic, lampu serta rambu-rambu lalu lintas, jalur-jalur khusus untuk
angkutan umum, untuk kendaraan rawan kecelakaan, untuk pejalan kaki, dsb. Berbagai
upaya pembenahan Sistem Pergerakan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh
dengan memperhatikan keterkaitannya dengan Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan,
misalnya penerapan one way traffic harus dilengkapi dengan penyediaan jembatan
penyeberang, dsb.
Realisasi berbagai arah kebijakan di atas membutuhkan dukungan pembenahan
Sistem Kelembagaan, misalnya ketentuan hukum tentang insentif/disinsentif dari
pemerintah sebagai lembaga regulator / fasilitator, pembenahan organisasi menuju tata
kelola yang baik, peningkatan kompetensi sumber daya insani, dan aspek dana. Untuk
ini, uraian berikut secara khusus akan memfokuskan pada pembangunan SAUM yang
membutuhkan dana besar.

Pendanaan Pembangunan SAUM

Sebagai analogi, gedung empat lantai hanya membutuhkan fasilitas tangga, tetapi untuk
gedung 100 lantai jelas tangga saja tidak cukup, dibutuhkan elevator yang dapat
mengangkut orang secara cepat. Alternatif lain adalah gedung tersebut dilayani oleh
berbagai escalator, misalnya escalator dari lantai-1 ke lantai-2; lantai-2 ke lantai-5. dst.
Demikian pula wilayah metropolitan tidak cukup hanya dilayani oleh angkutan umum,
206 Metropolitan di Indonesia

dibutuhkan SAUM, bentuknya dapat berupa kereta api (”elevator”) atau rangkaian bus
yang beroperasi seperti kereta api (”escalator”). Pada sisi lain, pembangunan SAUM
membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk ini, secara khusus akan difokuskan pada
permasalahan terkait dengan pendanaan SAUM untuk Jakarta dan sekitarnya.
a) pembangunan dan pengelolaan SAUM tidak ada yang menguntungkan; di
beberapa negara maju, pembangunan dan operasi SAUM disubsidi oleh
pemerintah, di beberapa negara lain pembangunan SAUM dilaksanakan oleh
pemerintah dan operasinya diserahkan pada sektor swasta. Terdapat pula yang
menggabungkan pendanaan pembangunan dan pengelolaan SAUM dengan guna
lahan sekitar.
b) pemerintah kita jelas tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan subsidi
untuk pembangunan dan operasi SAUM, dan dalam era desentralisasi, subsidi
pemerintah pusat terhadap wilayah metropolitan dengan kegiatan ekonomi
tinggi akan menimbulkan ketidak-adilan untuk daerah-daerah lain.
c) menggunakan pinjaman luar negeri untuk pembiayaan akan makin membebani
anak cucu kita yang sudah menanggung beban hutang yang sangat besar.
d) pembangunan dan operasi SAUM secara terbatas, seperti di Kuala Lumpur dan
Bangkok, memperlihatkan bahwa jumlah penumpang sangat jauh dari proyeksi
yang diperkirakan, dengan akibat pemerintah akhirnya terpaksa mengambil alih
pengelolaan dari sektor swasta yang semula membangun dan mengelolanya,
e) berbagai perencanaan pendanaan SAUM yang diajukan berbagai pihak sejak
1980-an sampai yang terakhir untuk Jakarta dan sekitarnya serupa dengan
model Kuala Lumpur dan Bangkok atau menggantungkan pada pinjaman luar
negeri, pendekatan ini bila dilaksanakan kemungkinan besar akan mengalami
nasib yang sama.
Permasalahan beberapa rintisan upaya pembangunan SAUM untuk Jakarta dan
sekitarnya adalah penggunaan konsep pendanaan yang menyalahi prinsip serta
karakteristik transportasi metropolitan. Suatu wilayah metropolitan membutuhkan
puluhan/ratusan km jaringan SAUM serta dilengkapi dengan jaringan layanan penunjang
(bus besar, bus kecil, dst) hingga tercipta jaringan fasilitas dan layanan yang
memungkinkan tercapainya tujuan pergerakan ”door-to-door”. Dengan membangun
hanya belasan km jaringan SAUM, jaringan ini tidak mungkin berfungsi sebagaimana
yang diharapkan, jelas penumpang yang dilayani akan jauh di bawah proyeksi berdasar
asumsi sudah terbangunnya semua jaringan SAUM dengan jaringan pendukungnya;
kesalahan model pendanaan ini dilakukan di Kuala Lumpur dan Bangkok serta akan
dilakukan di Jakarta.
Salah satu kemungkinan model pendanaan adalah dengan menggabungkan
pendanaan dan pembangunan SAUM dengan lahan sekitarnya. Kasus-kasus di berbagai
negara menunjukkan meningkatnya nilai lahan sekitar jaringan SAUM, artinya
pemerintah dapat menawarkan pada pihak swasta untuk membangun SAUM dengan
koridor lahan sepanjang jaringan SAUM tersebut; pendapatan dari penjualan atau
penyewaan kawasan perkantoran dan permukiman sepanjang koridor untuk mensubsidi
pembangunan dan pengelolaan SAUM. Pemerintah dapat menetapkan pembangunan
Infrastruktur 207

tersebut sesuai dengan ketentuan RTRW koridor tersebut disertai dengan berbagai
insentif, misalnya konsesi selama 100 tahun pada pihak swasta. Pemerintah dapat
menyusun rencana jaringan SAUM beserta jaringan penunjangnya secara menyeluruh
serta RTRW untuk koridor-koridor terkait (lihat model ”toward zero city” di atas).
Selanjutnya, pemerintah dapat menawarkan pada pihak swasta untuk melakukan
peremajaan kota pada koridor-koridor tsb; dengan demikian dalam waktu singkat akan
terbangun jaringan SAUM beserta jaringan penunjangnya.

Penutup
Transportasi adalah pergerakan orang/barang dari satu lokasi ke lokasi lain, artinya
peningkatan layanan transportasi adalah peningkatan kelancaran (cepat, aman, nyaman)
pergerakan orang/barang dibandingkan dengan kelancaran arus lalu lintas kendaraan
(kosong). Transportasi bukan tujuan akhir, artinya fasilitas dan layanan transportasi
adalah untuk memenuhi permintaan pergerakan orang/barang untuk tujuan tertentu
(bekerja, sekolah, distribusi barang). Selama fasilitas/layanan ”door-to-door” dari lokasi
asal ke lokasi tujuan belum terwujud sebagai satu sistem yang lengkap, maka fasilitas
dan layanan transportasi belum berfungsi secara baik (misalnya adanya jalan longsor 100
m dari keseluruhan 100 km jalan tol; bus way tanpa ditunjang feeder). Sebaliknya,
fasilitas dan layanan transportasi mengecil perannya bila berbagai tujuan pergerakan
orang/barang (untuk belanja, bekerja) telah terpenuhi dalam satu lokasi.
Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan merupakan sistem yang
saling terkait, artinya sistem Jaringan dan/atau Sistem Pergerakan dapat berperan secara
”pasif” melayani permintaan Sistem Kegiatan (misal jalan diperlebar dan/atau
diberlakukan jalan searah karena peningkatan intensitas guna lahan). Sistem Jaringan
dan/atau Sistem Pergerakan juga dapat berperan secara ”aktif” mengarahkan
(positif/negatif) perkembangan Sistem Kegiatan (misal fasilitas dan layanan transportasi
ditingkatkan ke wilayah barat-timur dan sebaliknya ditekan untuk wilayah utara-selatan.
yakni agar kota berkembang ke arah barat-timur, ketimbang ke arah utara-selatan).
Ketiga sistem di atas (Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan)
juga dipengaruhi oleh sistem non-transportasi, yakni Sistem Kelembagaan, yang pada
gilirannya kesemuanya juga dipengaruhi oleh Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal
(ekonomi, sosial, budaya, politik, geografi/fisik) dan Sistem Spatial (lokal, regional,
nasional, internasional); artinya kemacetan adalah gejala (symptom) yang akar
permasalahan dapat disebabkan oleh:
• Sistem Pergerakan (misal lampu lalu lintas mati, percampuran kendaraan cepat
dengan lambat).
• Sistem Jaringan (misal jalan yang tiba-tiba mengecil ”bottle neck”, jalan rusak).
• Sistem Kegiatan (misal kawasan permukiman berubah menjadi kawasan komersial).
• Sistem Kelembagaan (misal tidak adanya koordinasi perijinan/pembangunan antar
sektor dan tidak adanya ”law enforcement”).
• Sistem Lingkungan Internal (misalnya longsor, ”Lumpur Sidoarjo”).
• Sistem Lingkungan Eksternal (misalnya adanya embargo ekonomi).
208 Metropolitan di Indonesia

• Sistem Spatial (misalnya tidak sinkronnya sistem-sistem di atas antardaerah


otonom).
• Kombinasi dari berbagai sistem-sistem di atas.
Peningkatan fasilitas dan layanan transportasi perkotaan (cepat, aman, nyaman,
ekonomis, dsb) ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat perkotaan, artinya
untuk seluruh masyarakat, semua masyarakat (tua-muda, pria-perempuan, kaya-miskin,
dsb) masyarakat generasi yang lalu (tanpa merusak lingkungan binaan bernilai sejarah),
masyarakat generasi mendatang (tanpa merusak lingkungan alam titipan generasi
mendatang), dan melibatkan partisipasi semua masyarakat (dari-oleh-untuk).
Secara singkat, transportasi dan penataan ruang merupakan dua hal yang tidak
terpisah, dalam arti peran ”pasif dan aktif”. Sistem Jaringan dan/atau Sistem Pergerakan
terkait dengan penataan ruang Sistem Kegiatan. Untuk keberhasilan penerapan beberapa
prinsip dasar di atas serta keterpaduan transportasi dengan penataan ruang, dibutuhkan
kemauan politik dan komitmen dari berbagai pemangku kepentingan untuk-dari-oleh).
Demikian pula hal ini juga harus ditunjang dengan kesiapan Sistem Kelembagaannya
(legal, organisasi, SDM, dana), dan akhirnya dibutuhkan kepemimpinan (leadership)
yang memiliki visi serta keberanian untuk melakukan berbagai terobosan yang bersifat
menyeluruh dan berjangka panjang untuk mewujudkan penataan ruang dan transportasi
perkotaan yang berkelanjutan.

INFRASTRUKTUR DASAR

Pendahuluan
Pesatnya urbanisasi kota-kota besar di kawasan Asia memberikan tekanan berarti bagi
perkembangan di kota-kota di kawasan tersebut. Sebagaimana dicatat dari pantauan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2004, diperlukan waktu hanya kurang dari 50
tahun untuk kota-kota tersebut untuk menambah populasinya hingga 50 persen
dibandingkan dengan kota-kota besar di Eropa yang memerlukan waktu hingga 80 tahun.
Kota-kota megapolitan di Indonesia tercatat memiliki tingkat urbanisasi yang terpesat
jika dibandingkan dengan kota-kota besar Asia lainnya, seperti Malaysia, Jepang, dan
Thailand. Diperlukan waktu hanya 30 tahun bagi kota besar di Indonesia untuk
menambah populasinya hingga 50 persen (GAMBAR 6 - 2).
Peningkatan jumlah populasi ini memberikan tantangan bagi pemerintah dan
perencana perkotaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan tersebut. Upaya
merespons kebutuhan ini semakin hari semakin kompleks dan biaya untuk
membangunnya juga semakin mahal. Pola dan strategi pembangunan perlu terus
disempurnakan guna menopang tatanan hidup masyarakat perkotaan yang cepat berubah.
Berbagai prasarana dan sarana baru harus dibangun agar kualitas hidup tidak semakin
menurun, sementara sisi persediaan malah semakin terbatas. Jika hal ini diabaikan, maka
akan timbul masalah besar di masa datang bagi kota itu sendiri, menyangkut kualitas
lingkungan hidup, kehidupan ekonomi, aktivitas sosial, dan lebih jauh lagi terhadap nilai
maupun norma – norma kemanusiaan.
Infrastruktur 209

Indonesia Japan
US

urban population (% of total)


50
sia

es
Korea ay
al

pin
M nd
ila

ilip
Th
a Europe

Ph
40

30

20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
Time (year)
GAMBAR 6 - 2 Pertumbuhan Populasi Megapolitan di
Kawasan Asia Tenggara
Sumber: United Nations (2004)

Kesenjangan pemenuhan kebutuhan infrastruktur hampir terjadi di seluruh sektor. Di


seluruh kawasan tidak hanya di Indonesia namun juga di berbagai negara di Asia Timur.
Dampak kesenjangan ini cenderung memberikan pengaruh paling besar terhadap
kalangan miskin perkotaan yang tinggal di wilayah pinggiran (Foster, Vivian, and araujo
Caridad. 2004). Tentunya kenyataan ini menjadi hal yang miris ketika kota diharapkan
menjadi penarik pedati kemajuan ekonomi, namun di sisi lain malah tumbuh sebagai
kawasan yang semakin kumuh.
Dalam kaitan dengan upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDG),
infrastruktur perkotaan berperan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
kehidupan masyarakat perkotaan tersebut. Secara langsung, penyediaan jasa pelayanan
infrastruktur akan dapat memastikan kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga melalui
peningkatan layanan air minum dan sanitasi kepada masyarakat kota serta memberikan
penghematan energi sekaligus mendorong pemanfaatan energi alternatif (Yepes 2003).
Secara tidak langsung, infrastruktur melalui rangkaian aktivitas ekonomi dan sosial yang
dibangkitkannya seperti prasarana transportasi akan medorong perluasan akses bagi
setiap masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan peningkatan
produktivitasnya. Memahami lebih jauh mengenai dampak penyediaan infrastruktur
terhadap pencapaian target MDG diuraikan dalam tabel 1. Bagi Indonesia, MDG telah
menjadi satu acuan penting dalam RPJM Nasional dan sekaligus juga menjadi dasar bagi
perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional dan daerah
(Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005).
210 Metropolitan di Indonesia

TABEL 6 - 1 Potensi dampak positif dari infrastruktur perkotaan terhadap


masyarakat miskin
Sektor Dampak langsung bagi Dampak tidak langsung bagi
masyarakat miskin masyarakat miskin
Listrik Utamanya untuk penerangan. Menguruangi biaya energi untuk
TV atau radio Perusahaan; Mendorong penciptaan
lapangan kerja untuk berbagai
aktivitas
Penghangat, memasak, Meningkatkan kesehatan dan
dan perangkat rumah jasa layanan
tangga lainnya. Meningkatkan akses teknologi
informasi (ICT)
Jalan Akses untuk ke tempat kerja Mengurangi biaya transportasi
dan pasar dan meningkatkan akses kepada
Akses ke pusat pelayanan perusahaan atau penyedia jasa
kesehatan dan pendidikan dan menurunkan biaya pelaynan
bagi masyarakat terpencil
Sarana Akses menuju tempat kerja Penciptaan lapangan kerja dari
Angkutan pasar tenaga kerja yang efisien
Umum Masal
Teknologi Akses komunikasi menjadi Penciptaan lapangan kerja melalui
Informasi lebih baik. Better peningkatan pengetahuan
(ICT) communication access. tentang pasar, mengurangi biaya
memudahkan proses Pengawasan, akses lebih luas
pertukaran informasi. terhadap sumber pengetahuan
membuka akses terhadap
sumber pengetahuan dan
meningkatkan ikatan antar
komunitas secara lebih luas
Air Minum Meningkatkan kesehatan. Terbatas
Perpipaan menghemat waktu dan biaya
Sanitasi Meningkatkan kesehatan Meningkatkan kesehatan (contoh:
mengurangi polusi dari rumah
tangga sejahtera dan lainnya)
Sumber: Jones (2004a). diolah

Kondisi Infrastruktur Perkotaan di Indonesia


Jika dibandingkan dengan negeri-negeri di kawasan Asia Timur, ketersediaan
infrastruktur fisik di wilayah perkotaan di Indonesia masih berada di bawah kualitas rata-
rata ketersediaan infrastruktur bagi kawasan tersebut. Hal ini akan jauh lebih mencolok
jika dibandingkan dengan negara-negara jiran, seperti Malaysia maupun Singapura,
maka kualitas infrastruktur Indonesia jauh tertinggal (GAMBAR 6 - 3 dan TABEL 6 - 1).
Menurut survei bisnis terhadap kalangan investor internasional, Indonesia hanya
menduduki peringkat ke-69 dari 104 negara dalam hal kualitas infrastrukturnya. Lebih
jauh lagi jika diukur dari berbagai indikator infrastruktur, Indonesia menjadi semakin
kurang kompetitif relatif terhadap 11 negara tetangga di Asia dan Australia (Bank Dunia
2004). Hal ini semakin rumit ketika pada pertengahan tahun 2006 ini, peringkat
Indonesia dalam melakukan usaha juga semakin terpuruk dan hanya menempati urutan
ke-135 dari 175 negara yang disurvei (IFC. 2006).
Infrastruktur 211

Ove r a ll in f r a s t r u ct u r e T e le p h o n e s Ele c tr icit y s u p p ly


q u ality
M alaysia M alaysia
M alaysia
Thailand T hailand
Thailand
China C hina
China
Indo nesia Indo nesia
Indo nesia
Vietnam Vietnam
Vietnam

P hilippines P hilippines P hilippines

Singapo re Singapo re Singapo re

Ho ng Ko ng Ho ng Ko ng H o ng Ko ng

Ko rea Ko rea Ko rea

T aiwan T aiwan Taiwan

Japan Japan Japan

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 0 .0 2 .0 4 .0 6 .0 8 .0

Railr o ad s P o r ts A ir T r a n s p o r t

M alaysia M alaysia M alaysia

Thailand Thailand T hailand

China China C hina

Indo nesia Indo nesia Indo nesia

Vietnam Vietnam Vietnam

P hilippines P hilippines P hilippines

Singapo re Singapo re Singapo re

Ho ng Ko ng Ho ng Ko ng H o ng Ko ng

Ko rea Ko rea Ko rea

T aiwan T aiwan Taiwan

Japan Japan Japan

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 0 .0 2 .0 4 .0 6 .0 8 .0

Catatan:
o Ketersediaan infrastruktur untuk negara berkembang di Asia Timur ditunjukkan pada
grafik biru.
o Ketersediaan infrastruktur pada negara maju di Asia Timur ditunjukkan pada grafik
abu-abu.
o Garis merah adalah nilai rata-rata ketersediaan infrastruktur negara yang disurvei.

GAMBAR 6 - 3 Peringkat Ketersediaan Infrastruktur dan Tingkat Daya


Saing di Asia Timur
Sumber: World Economic Forum 2003

Temuan lain dari catatan asosiasi pengusaha nasional – KADIN mengungkapkan


bahwa infrastruktur merupakan salah satu permasalahan utama yang saat ini dihadapi
oleh dunia bisnis dalam melakukan usahanya (KADIN 2004). Selain itu, sejumlah
perusahaan di Indonesia yang disurvei oleh Bank Dunia menyatakan bahwa biaya –
biaya yang terkait dengan suap atau korupsi, ketidakpastian hukum dan ketidakhandalan
infrastruktur telah menambah biaya jual (cost of sales) hingga 20 persen dari biaya
produksi (Bank Dunia. 2004) (GAMBAR 6 - 4).
212 Metropolitan di Indonesia

TABEL 6 - 2 Akses Terhadap Air Minum, Listrik, dan Telekomunikasi di Beberapa


Negara Asia
Akses Air Akses Akses Akses Akses
Minum Sanitasi Listrik Telepon * Internet **

Malaysia 93 .. 97 62 34.4
Thailand 93 98 84 50 11.1
Filipina 86 83 79 31 4.4
China 76 39 99 42 6.3
Indonesia 78 55 55 13 3.8
Vietnam 49 25 81 9 4.3
Kamboja 44 22 17 4 0.2
Lao PDR 58 30 41 3 0.3
Mongolia 60 30 90 19 5.8
Samoa 99 99 95 13 2.2
Tonga 100 .. 85 15 2.9
Timor Leste .. .. 22 .. ..
Myanmar 72 64 5 1 0.1
Negara berpenghasilan
rendah dan menengah 77 70 64 27 6.5
Catatan :
o Warna abu menunjukkan nilai berada di atas nilai rata-rata negara berpenghasilan rendah
dan menengah
o * jumlah pelanggan telepon per 100 penduduk.
o **jumlah pengguna per 100 penduduk
Sumber: IEA (2003). Bank Dunia - World Development Indicators. ITU Telecommunications
Indicators Database.

25
% Ekonomi BiayaTinggi
Tambahan Nilai Jual Sebagai Persentasi Dari Biaya Produksi

20
Kesulitan Menerapkan kontrak

15 Peraturan
Suap
10
Kriminalitas

5
Infrastruktur Yang Tidak Mendukung
0

GAMBAR 6 - 4 Tambahan biaya jual Sebagai persentase dari


biaya produksi
Sumber : PICS. Bank Dunia 2004
Infrastruktur 213

Air Bersih dan Sanitasi


Cakupan pelayanan air minum perpipaan di perkotaan hanya mencapai 39 persen,
sedangkan cakupan pelayanan sanitasi di perkotaan baru mencapai 3 persen. Secara
umum penyelenggaraan air bersih di Indonesia oleh PDAM dirasakan masih kurang
optimal. baik ditinjau dari aspek manajemen, teknis, maupun institutional dan legal.
Penyelenggaraan pelayanan pada sektor ini masih membutuhkan dana subsidi yang besar
dilihat dari selisih biaya operasi rata-rata dan harga jual air rata-rata.
Buruknya aksesibilitas untuk mendapatkan air bersih dan sanitasi merupakan salah
satu hal yang mempengaruhi kemiskinan. Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan
infrastruktur di bidang air bersih dan sanitasi. Adanya pembangunan infrastruktur
tersebut dapat memberikan dampak, baik langsung maupun tidak langsung, bagi
penanggulangan kemiskinan. Secara langsung pembangunan infrastruktur air bersih dan
sanitasi dapat meningkatkan kualitas kesehatan.
Sebuah riset dari Bank Dunia menyatakan bahwa masyarakat dengan akses air
minum akan mendapatkan harga pelayanan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jaringan tersebut. Di Indonesia,
masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jaringan pipa distribusi PDAM harus
membayar 33 hingga 122 kali dari biaya per m3 air minum yang dikenakan kepada
pelanggan PDAM (World Bank 2004a).
Kondisi infrastruktur air minum di Indonesia berdasarkan hasil survei JBIC (Tabel
3) digambarkan masih dalam kondisi yang buruk, yakni sekitar 51 persen. Bahkan pada
beberapa kota, seperti Makasar dan Pontianak, kondisi penyediaan air minum terhitung
sangat buruk karena ketiadaan jaringan serta kondisi infrastruktur yang tidak terawat
baik.

TABEL 6 - 3 Kondisi Infrastruktur Air Minum di Indonesia


Sangat Buruk Sangat Baik
Tidak
1 2 3 4 5 6
Ada
Palembang 0.0% 20.0% 20.0% 26.7% 13.3% 20.0% 0.0%
Bandung 0.0% 3.0% 18.0% 33.0% 24.0% 13.0% 9.0%
Semarang 0.0% 6.7% 23.3% 26.7% 20.0% 15.0% 8.3%
Malang 0.0% 0.0% 0.0% 28.6% 14.3% 42.9% 14.3%
Pontianak 0.0% 7.7% 61.5% 7.7% 23.1% 0.0% 0.0%
Makasar 2.5% 0.0% 5.0% 17.5% 45.0% 25.0% 5.0%
Total 0.4% 4.7% 19.1% 26.8% 25.5% 16.2% 7.2%
Sumber: Survei JBIC 2002

Persampahan
Semenjak krisis ekonomi pada tahun 1997 dan juga dengan dihapuskannya program
Adipura, maka banyak kota yang tidak menaruh perhatian yang cukup pada pengelolaan
sampah secara proporsional. Anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah untuk
pengelolaan sampah rata-rata kurang dari 3 persen APBD-nya. Sementara itu,
masyarakat baru mengalokasikan sekitar 0,6 persen dari penghasilannya untuk
membayar retribusi persampahan.
214 Metropolitan di Indonesia

TABEL 6 - 4 Kinerja Pelayanan Persampahan di Indonesia 2002


Item Kinerja
Tingkat Pelayanan 41%
Jangka waktu pengambilan 2 – 4 hari
Pengomposan 5%
Rasio jumlah petugas dengan penduduk yang 1 – 1.5 :
dilayani 1000
Rasio retribusi dengan biaya pengeluaran 23%
Kerja sama dengan swasta 15%
Sumber : Bappenas. 2002

Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah
sebesar 80.235.87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 persen. yang dibakar sebesar 37,6
persen. yang dibuang ke sungai 4,9 persen, dan tidak tertangani sebesar 53,3 persen
(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2002).

Permasalahan Pembangunan Infrastruktur Perkotaan


Rendahnya kualitas pelayanan infrstruktur tersebut secara umum sangat terkait erat oleh
karena tidak adanya unsur memperbaiki diri dan unsur perlindungan kepada pengguna,
penyedia jasa, pemerintah, maupun kepada publik atas ketersediaan jasa infrastruktur
tersebut. Upaya memperbaiki diri akan timbul bilamana terjadi unsur kompetisi yang
sehat di antara penyedia jasa. Sementara unsur perlindungan akan terjadi bila terdapat
fasilitas bagi suatu badan pengatur sebagai “penjaga” pelaksanaan pelayanan oleh
penyedia jasa pemegang monopoli alamiah.
Juga harus diakui bahwa saat ini pemerintah ataupun penyedia jasa cenderung
kurang mampu melakukan pemeliharaan terhadap infrastruktur yang telah dibangun.
Akibatnya, tingkat pelayanan infrastruktur cenderung semakin menurun dari waktu ke
waktu. Dan apabila ditelaah, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor perencanaan yang
kurang akurat dan lebih berorientasi pada pembangunan proyek baru ketimbang
melakukan pemeliharaan. Sementara itu, pada saat pelaksanaan proyek infrastruktur
seringkali diwarnai dengan faktor-faktor KKN.
Permasalahan tarif dapat dianggap layaknya dua sisi mata uang. Dari sisi penyedia
jasa, besaran tarif awal dan setiap penyesuaiannya dianggap tidak sesuai dengan
pengeluaran (Capital Expenditures atau CAPEX), pemeliharaan dan operasi
(Operational Expenditures atau OPEX), serta pengembalian (Internal Rate of Return
atau IRR) yang diharapkan. Penyedia jasa menganggap bahwa cakupan pelayanan sangat
erat kaitannya dengan besar tarif yang ditetapkan. Minimnya penerimaan dari tarif
berdampak kepada penyedia jasa tidak dapat memperluas cakupan pelayanan, dan
bahkan menjaga tingkat kualitas dan kuantitas pelayanannya.
Permasalahan tarif dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
a. Ketiadaan perhitungan yang akurat mengenai CAPEX, OPEX, dan IRR;
b. Kebijakan pemerintah yang belum jelas dalam menetapkan dukungan atau subsidi
terhadap pengeluaran penyedia jasa terhadap suatu pelayanan infrastruktur;
Infrastruktur 215

c. Terdapat kesenjangan informasi antara konsumen dan penyedia jasa mengenai


tingkat pelayanan yang diharapkan disandingkan dengan seluruh pengeluaran
penyedia jasa untuk pelayanan dan subsidi yang diberikan pemerintah;
d. Penyedia jasa belum melaksanakan manajemen secara efisien, sehingga masyarakat
harus menanggungnya melalui besaran tarif. Mekanisme penetapan tarif awal dan
penyesuaiannya yang ditetapkan pemerintah belum memberikan insentif
penyesuaian tarif sesuai kebutuhan penyedia jasa. Keputusan mengenai penyesuaian
tarif yang ditetapkan oleh pemerintah/pemerintah daerah dan/atau DPR/DPRD
sering dipengaruhi oleh faktor politis.
Dalam sektor air minum, permasalahan juga timbul akibat kebocoran pipa air terjadi
cukup tingi dan mencapai 39,85 persen dari jumlah air bersih yang diproduksi. Sumber
kebocoran disebabkan oleh adanya kebocoran teknis dan administrasi. Berdasarkan
temuan di lapangan didapatkan bahwa tingkat kebocoran administrasi lebih tinggi dari
kebocoran teknis. Di sisi lain, fasilitas instalasi pengolahan dan jaringan distribusi dan
tata cara pengolahan yang belum memenuhi standar kesehatan dan standar teknis (“safe
drinking water”) juga telah berkontribusi terhadap buruknya pelayanan air minum di
Indonesia.
Inefektivitas pelayanan air minum terjadi karena cakupan pelayanan belum
mempertimbangkan skala ekonomis dan jumlah penduduk. Dalam beberapa hal, PDAM-
PDAM baru terbentuk hanya sebagai akibat dari euphoria otonomi daerah untuk
melakukan pengelolaannya secara tersendiri. Akibatnya, jumlah sambungan menjadi
semakin rendah (85 persen PDAM memiliki jumlah sambungan < 10.000 unit) dan
ketersediaan air baku dalam wilayah administrasinya menjadi terbatas dalam memenuhi.
Hal ini semakin rumit jika keterlibatan pemerintah daerah terlalu tinggi dalam
pengelolaan PDAM yang menyebabkan timbulnya “agency problem” (KKPPI. 2003)
Menurunnya kualitas lingkungan juga turut menyumbang akan turunnya kuantitas
dan kualitas air baku sehingga mengakibatkan semakin sulit dan mahalnya dalam
melakukan pengolahan air baku. Hal ini berdampak akan jumlah pasokan serta kualitas
dari penyediaan minum yang semakin terbatas dan sangat fluktuatif dari waktu ke
waktu.
Kemampuan PDAM baik secara finansial, teknis, dan operasional semakin anjlok
sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Hanya 9 persen dari PDAM-
PDAM di seluruh Indonesia dinyatakan sehat. Sementara 31 persen lainnya tidak dapat
memperoleh keuntungan dengan keterbatasan kemampuan berkembang, dan 28 persen
lainnya dalam kondisi kritis dengan pendapatan yang tidak mampu menutup semua
biaya. Tingginya hutang PDAM yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri
sebagai konsekuensi dari rendahnya kemampuan finansial PDAM dalam meningkatkan
pelayanan terhadap masyarakat, menyebabkan kesulitan yang cukup berarti bagi PDAM
untuk berkembang lebih lanjut (KKPPI. 2003)
Pertambahan jumlah sampah di perkotaan di Indonesia selain diakibatkan oleh
pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat, juga diakibatkan oleh karena
kapasitas pelayanan yang ada sama sekali tidak memadai. Kendaraan pengangkut yang
jumlah maupun kondisinya kurang memadai. Sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat
dan tidak ramah lingkungan, dan belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse, dan
recycle (3R) semakin memperumit masalah dalam pengelolaan persampahan ini. Secara
216 Metropolitan di Indonesia

jumlah cakupan, pelayanan persampahan di kota-kota besar di Indonesia masih dalam


ambang batas yang sangat rendah, yaitu hanya baru mencapai 32,1 persen dari penduduk
kota (Ditjen TPTP. Dep. Kimpraswil. 2001)
Minimnya upaya untuk melakukan restrukturisasi dalam proses pengelolaan
ditambah rendahnya kompetisi serta adanya tekanan politik membuat proses pelayanan
infrastruktur hanya mampu memberikan dampak singkat yang tidak terjamin
keberlanjutannya.

Pembiayaan Infrastruktur
Kemampuan fiskal yang semakin terbatas dalam beberapa tahun ini telah menciptakan
backlog terhadap ketersediaan infrastruktur perkotaan. Akibatnya, upaya mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan menjadi semakin terkendala.
Secara bertahap, selama 10 hingga 15 tahun penyediaan infrastruktur perkotaan
diserahkan pengelolaannya kepada BUMN ataupun BUMD dan kepada perusahan
swasta dengan tingkat efisiensi yang masih rendah.
Sejak krisis moneter, investasi sektor publik untuk infrastruktur di Indonesia
mengalami penurunan sangat dramatis yang dalam ukuran persentase terhadap PDB
berada hingga kurang dari 2 persen (di bawah angka investasi selama periode 1990-1996
sekitar 5 persen) (GAMBAR 6 - 5). Kondisi ini menempatkan persentase investasi
infrastruktur Indonesia berada setaraf dengan Kamboja dan Filipina, serta masih jauh di
bawah Thailand dan Vietnam dengan rasio investasi bagi infrastruktur per GDP adalah
di atas 7 persen per tahun (TABEL 6 - 5).
Diperlukan lebih dari Rp 202 triliun per tahun bagi Indonesia untuk dapat
membangun dan memelihara infrastruktur agar dapat mencapai tingkat pertumbuhan 6-7
persen setiap tahun selama 5 tahun ke depan. Dari total kebutuhan tersebut, rata-rata
alokasi anggaran negara hanya mampu meliputi sekitar Rp 39 Triliun. Hal ini berarti
menyisakan lebih dari Rp 163 triliun kebutuhan investasi yang masih perlu dicarikan
sumber pendanaannya, baik yang diharapkan berasal dari keikutsertaan pihak swasta
maupun dukungan kredit dari kreditur multilateral/bilateral serta sumber pembiayaan
lainnya (GAMBAR 6 - 6).
Pembiayaan Infrastruktur Indonesia
(% dari PDB)
6.0
5.3 4

5.0
4 .3 9
4 .10
4.0 3 . 53
3 . 13 3 .12
3.0 2 .78
2 .3 3

2.0

1.0

0.0
1993/ 1994 1994/ 1995 1995/ 1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 2000 2002

GAMBAR 6 - 5 Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia


(sebagai % dari PDB)
Sumber : Bank Dunia. 2004
Infrastruktur 217

TABEL 6 - 5 Investasi Infrastruktur sebagai persentase


dari GDP
0-4% 4-7% Lebih dari 7%
Kamboja Lao PDR China
Indonesia Mongolia Thailand
Filipina Vietnam
Sumber: Triple Joint Study WB. ADB and JBIC. 2005

Rata-Rata Kebutuhan Pembiayaan Tahunan


(2006-2010)
Rp.202,5 Triliun (US$ 22 Billion)

Funding Gap:
Rata-rata kebutuhan dana bagi
pembiayaan infrastruktur pertahun
Rata-Rata Kebutuhan yang mungkin didapat dari
Pembiayaan Tahunan keikutsertaan swasta dan dukungan
(2006-2010) : lembaga pembiayaan multilateral /
Rp.202,5 Triliun bilateral senilai :
Rp. 163,5 Triliun
(US$ 22 Billion) (US$ 17.80 Billion)

Rata-rata Alokasi
Anggaran Negara bagi
pembiayaan Infrastruktur
setiap tahun Kebutuhan Ungkitan
Kebutuhan Ungkitan
(Leveraging Needs)
(2005-2010) (Leveraging Needs)
163,5 / 39 =
berkisar : 163,5 / 39 =
setiap Rp.1 dari Alokasi Anggaran Negara Bagi Infrastruktur
setiap Rp.1 dari Alokasi Anggaran Negara Bagi Infrastruktur
Rp. 39 Triliun diupayakan dapat mengungkit dana hingga
diupayakan dapat mengungkit dana hingga
Rp. 4,2 dari swasta maupun lembaga multilateral/bilateral
(US$ 4.2 Billion) Rp. 4,2 dari swasta maupun lembaga multilateral/bilateral

GAMBAR 6 - 6 Kebutuhan Pembiayaan Infrastruktur Per Tahun (2006-2010)


Sumber : Data Bank Dunia diolah oleh Kantor Menko Perekonomian. 2006

Jika melihat kebutuhan pembiayaan di atas, bila direnungkan maka siapa sebenarnya
yang akan membiayai pembangunan infrastruktur ini? Pada dasarnya hanya terdapat dua
sumber yang akan membiayai pembangunan infrastruktur ini. Pertama, pengguna jasa
layanan infrastruktur melalui pembayaran tarif (user charges) dan juga pembayar pajak.
Para pemodal (financiers) dalam pembiayaan infrastruktur pada dasarnya hanya
memerankan peran antara dalam pembiayaan ini karena kontribusi yang diberikannya
akan dibayar kembali oleh para pengguna jasa maupun oleh para pembayar pajak
(GAMBAR 6 - 7).
218 Metropolitan di Indonesia

FINANCIERS

STATE
PROVIDERS
BUDGET

INFRASTRUCTURE

TAX USERS
PAYERS
growth

GAMBAR 6 - 7 Pembiayaan Infrastruktur


Sumber : Triple Joint Study WB. ADB and JBIC. 2005

Ketika pengguna membayar jasa layanan infrastruktur maka yang menjadi isu
adalah tentang imbal jasa yang diberikan apakah dapat menutupi besarnya biaya atas jasa
pelayanan. Biasanya masyarakat merasa telah mengeluarkan uang terlalu banyak untuk
membayar suatu pelayanan. Masyarakat berkeberatan akan kenyataan kenaikan tarif
secara terus-menerus. Sementara pelayanan yang diterima belum juga mencapai tingkat
yang diharapkan. Di sisi lain, kemampuan penyedia jasa dalam menutupi biaya sangat
beragam pada setiap sektor. Pada sektor air minum di Indonesia, hampir seluruh PDAM
beroperasi dengan tingkat tarif yang tidak mampu menutupi biaya operasional maupun
pengembalian modalnya. Hal ini merupakan cerminan atas berbagai permasalahan
sebagaimana diuraikan sebelumnya. Walaupun ada konsensus bahwa dalam penggunaan
layanan air minum harus dilakukan dengan mekanisme subsidi, namum dalam
kenyataannya amatlah sulit dilaksanakan mengingat diperlukan keseimbangan antara
besaran tarif yang harus dikenakan dengan besaran subsidi yang harus ditanggung
pembayar pajak. Hal ini berarti bahwa tantangan nyata yang juga dihadapi dalam
membuat pembiayaan infrastruktur perkotaan ini dapat berkesinambungan adalah adanya
kepastian bahwa subsidi diberikan mengena kepada masyarakat yang memang
membutuhkan. Sementara tingkat tarif itu sendiri masih harus terjangkau dan juga
memberikan pengembalian atas biaya dan modal (cost recovery). Dari pengamatan Bank
Dunia, baru sedikit kota di Asia yang mampu mencapai tingkat tarif yang dapat
mencerminkan tingkat pemulihan biaya tersebut (GAMBAR 6 - 8).
Infrastruktur 219

Ulaanbaatar
Jakarta

Vientiane

Ho Chi Minh

Hong Kong
England and Wales

Shanghai
Phnom Penh

Chengdu

Kuala Lumpur
Manila
GAMBAR 6 - 8 Rasio Kerja Perusahaan Air Minum Perpipaan
di Perkotaan Tertentu (biaya O&P per m3 / tarif per m3)
Sumber: ADB.2004

Bagi para pembayar pajak, subsidi yang diberikan bagi pembangunan / pelayanan
infrastruktur menjadi perhatian, khususnya mengenai akan ketepatan sasaran. Di
samping itu, pajak yang mereka berikan perlu dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah
khususnya terhadap besaran imbal balik investasi publik. Imbal balik investasi tertentu
untuk optimum dengan diselenggarakan secara transparan dengan tentunya
mempertimbangkan keseimbangan antara investasi maupun pemeliharaan lanjutnya.
Peran lembaga-lembaga pembiayaan multilateral/bilateral dalam pembiayaan
infrastruktur cukup berpengaruh dalam menentukan pola dan strategi penyediaan
infrastruktur di kawasan-kawasan megapolitan di Indonesia pada saat-saat lalu. Pinjaman
maupun hibah yang diberikan pada masa lalu lebih mendorong investasi sektor publik
dalam berbagai aspek pelayanan infrastruktur perkotaan. Namun saat ini, peranan
pembiayaan lembaga-lembaga tersebut tersebut lebih difokuskan kepada pembiayaan-
pembiayaan sektor infrastruktur yang lebih ditujukan untuk pengentasan kemiskinan
yang pada umumnya merupakan proyek-proyek yang kurang diminati oleh sektor
swasta. Tantangan dalam mengoptimalkan peranan lembaga – lembaga ini terletak pada
fokus penciptaan inovasi agar terjadi efisiensi serta perlindungan kepentingan
lingkungan dan sosial. Lebih jauh lagi upaya menempatkan peran lembaga-lembaga
pembiayaan ini juga harus diletakkan dalam kaitan upaya pemerintah menarik peran
sektor swasta termasuk upaya melakukan pengelolaan risiko, pengembangan kapasitas
kelembagaan, dan dalam upaya mensinergikan pembangunan infrastruktur.
Sektor swasta dapat berperan penting dalam meningkatkan dan mengefektifkan
investasi di bidang infra`struktur. Di Asia timur sendiri sektor swasta diperkirakan telah
menginvestasikan kurang lebih $190 billion untuk penyediaan infrastruktur di kawasan
tersebut semenjak 1990 (gambar 8). Porsi ini masih merupakan minoritas jika
dibandingkan dengan total kebutuhan akan investasi di infrastruktur saat itu. Semenjak
terjadinya krisis ekonomi di Asia, keterlibatan sektor swasta ini cenderung semakin
menurun secara signifikan (walaupun sinyalemen untuk kebangkitan keikutsertaan
tersebut saat ini sudah nampak). Sebuah survei yang dilakukan dalam studi bersama
220 Metropolitan di Indonesia

antara 3 lembaga pembiayaan multilateral/bilateral memperlihatkan sentimen positif


pelaku-pelaku sektor swasta terhadap keikutsertaan mereka kembali kedalam penyediaan
infrastruktur. Walaupun hal ini beragam tergantung dari kondisi negara yang
bersangkutan menyangkut kerangka kebijakan serta persepsi mereka atas risiko (gambar
9). Bagi mereka, kunci utama dalam hal ini adalah adanya proses alokasi risiko dan
penghargaan (risk & reward) yang wajar bagi kedua belah pihak (pemerintah maupun
swasta). Sementara itu, masalah kepemilikan (ownership) dan pembiayaan (financing)
menjadi masalah yang bersifat sekunder bagi mereka (Joint Study WB.ADB.JBIC. 2005).

140

120

100

80
$ billion

60
$11.5 billion private
sector investment in
40 EAP infrastructure

20

0
1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003
EAP Total

GAMBAR 6 - 9 Investasi Sektor Swasta Dalam


Infrastruktur di Kawasan Asia Timur (US$ billion)
Sumber : World Bank PPI database.

Akan tetapi, perlu juga dipahami bahwa pada kenyataannya, kemampuan kapasitas
dari sektor swasta pun terbatas dalam memenuhi kebutuhan atas penyediaan
infrastruktur. Dari sebuah konferensi yang diselenggarakan Bank Dunia pada bulan Mei
2006, telah ditekankan pentingnya upaya menyelaraskan upaya pembangunan
infrastruktur yang dilakukan oleh sektor swasta dengan sektor publik. Berdasarkan
pengamatan Bank Dunia 2006, sektor swasta hanya mampu membiayai pembangunan
infrastruktur tidak lebih dari 20-25 persen dari total investasi yang dibutuhkan saat ini
dan cenderung menurun setiap waktunya (Estache. 2006). Sementara itu, dari
pengalaman berbagai negara dalam melibatkan sektor swasta, perlu juga adanya
keterlibatan yang optimal dari sektor publik sehingga sektor swasta dapat menyediakan
infrastruktur secara efektif (Wolfowitz, 2006). Upaya-upaya menyusun strategi
penyediaan infrastruktur melalui peranan dominan pihak swasta perlu juga dialokasikan
untuk mendorong pengelola infrastruktur baik sektor publik maupun swasta dalam
mengelola perusahaan infrastruktur menjadi lebih baik (Wolfowitz, 2006).
Infrastruktur 221

88%

firm expectations on
67% future investment in
the region is strongly
positive

24%

8% 10%
4%

increase sustain decrease

Global firms East Asian firms

Attitudes towards infrastructure


investment levels
GAMBAR 6 - 10 Persepsi Investor Terhadap
Investasi Infrastruktur di Asia Timur
Sumber : East Asia and Pacific PrivateInvestors in
Infrastructure Perception Survey (2004)

Keikutsertaan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur


Perkotaan di Indonesia
Berbagai inisiatif pembaharuan atau reformasi telah diagendakan dalam RPJM, termasuk
memberikan peluang keikutsertaan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Beragam
kepentingan dimungkinkan dalam melibatkan sektor swasta kedalam penyediaan
infrastruktur antara lain (Susantono.2006):
a. Memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen yang terus meningkat;
b. Meningkatkan kualitas pelayanan;
c. Menarik investasi untuk mengisi/menutup funding gaps;
d. Meningkatkan efisiensi dalam penyediaan pelayanan, antara lain mengurangi
kebocoran, penghematan konsumsi energi, dan sebagainya;
e. Memperkenalkan inovasi teknologi;
f. Memperbesar jangkauan sepanjang waktu;
g. Melaksanakan proyek secara tepat-waktu; dan memperkuat citra otoritas publik dan
menjadikan negara menjadi lebih kompetitif dalam pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, sejauh ini efektivitas keikutsertaan swasta di Indonesia masih
terkendala oleh berbagai faktor, antara lain kerangka hukum dan pengaturan yang tidak
222 Metropolitan di Indonesia

memadai, hambatan kelembagaan, penyiapan konsesi dan kontrak kerja sama yang tidak
terstruktur dengan baik (tidak memenuhi standar internasional), biaya transaksi yang
tinggi dan tidak memiliki rekam jejak (track records) yang memuaskan dalam kerja
sama pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur (khususnya dalam hal
penyelesaian sengketa/ dispute resolution). Akibatnya, peran serta swasta dalam
pembiayaan infrastruktur di Indonesia menjadi semakin menurun (gambar 10).
Meskipun demikian, alternatif sumber-sumber pendanaan dengan melibatkan peran aktif
swasta baik di dalam negeri maupun luar negeri harus terus didorong di masa mendatang
yang dibarengi dengan perlindungan konsumen dan kepentingan publik. Untuk itu maka
sangat diperlukan suatu kerangka pengaturan yang dapat menimbulkan situasi yang
kondusif bagi penanaman modal di bidang penyelenggaraan infrastruktur.

Private and Public Contribution to Infrastructure as a


% of GDP (Current 1993)

6%

5%
Central

4% National
PPI
3%

2%

1%

0%
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

GAMBAR 6 - 11 Kontribusi Swasta dalam Pembiayaan


Infrastruktur di Indonesia
Sumber : World Bank 2003

Tanpa mengesampingkan pengalaman-pengalaman internasional dalam melibatkan


sektor swasta ini bagi Indonesia maka beberapa langkah strategis perlu ditempuh
sehingga pelaksanaan KPS ini dapat terlaksana dengan baik. Dari international best
practice, keberhasilan KPS dalam penyediaan infrastruktur akan tergantung kepada
ketersediaan kerangka kerja keikutsertaan swasta (PSP framework) yang kredibel
(termasuk kerangka kebijakan, kerangka pengaturan/regulasi, dan kerangka
kelembagaan). Di sisi lain, komitmen politik yang kuat atas proyek infrastruktur yang
akan di-KPS-kan akan mendorong pelaksanaan KPS ke arah yang lebih kuat. Dukungan
kerangka administratif serta kesiapan pemenuhan syarat bagi KPS perlu dipenuhi agar
pelaksanaan KPS tersebut dapat berjalan dengan norma-norma yang wajar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pengembangan proyek (project development) yang dipersiapkan secara matang dan
seksama adalah kunci dari keberhasilan suatu pelaksanaan proyek KPS. Ketiadaan
pengembangan proyek yang dipersiapkan secara cermat (rigorous) merupakan missing
Infrastruktur 223

link terselenggaranya proyek KPS secara berkelanjutan. Untuk itu, perlu bagi setiap
pelaksana untuk dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan
keputusan yang tepat serta mengurangi resiko dan ketidakpastian. Dari sisi
pengembangan proyek, maka derajat/tingkat pengembangan proyek akan tergantung
pada kekuatan hakiki (intrinsic) dan kelangsungan hidup (viability) proyek itu sendiri.
Dalam pengembangan proyek ini, sejumlah kajian harus dipenuhi ditahap awal yang
meliputi aspek teknis, lingkungan, sosial, finansial, dan legal termasuk didalamnya
adalah identifikasi dan mitigasi risiko. Mengingat proyek ini merupakan proyek yang
akan dikerjasamakan, maka proyek tersebut perlu memenuhi kriteria dan kaidah-kaidah
kelayakan komersial baik bagi sponsor proyek maupun bagi para calon pembiaya. Bagi
calon pembiaya, kelayakan proyek itu untuk memberikan tingkat pengembalian modal
dan hutang menjadi hal yang paling penting untuk dinilai. Oleh karenanya, selain
kelayakan komersial, maka kelayakan pembiayaan (project bankability) perlu menjadi
acuan dalam pengembangan proyek ini.
Menimbang pengalaman-pengalaman sebelumnya serta melihat international best
practises dalam melibatkan sektor swasta maka bagi Indonesia upaya untuk
mengembangkan usaha di bidang penyediaan infrastruktur sebagai usaha komersial perlu
dilakukan melalui format kemitraan pemerintah dan swasta (KPS) atau public-private
partnership (PPP) yang bercirikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dukungan finansial dari Pemerintah seminimal mungkin;
b. Proyek dipimpin oleh mitra swasta. Pemerintah menjalankan peran pendukung
dan enabling;
c. Kepemilikan dan penguasaan sarana dan prasarana dikembalikan kepada
Pemerintah setelah jangka waktu konsesi;
d. Jasa layanan diperkenankan untuk dikenakan tarif; namun tarif ditetapkan
secara kompetitif dan berdasarkan peraturan pemerintah;
e. Pembiayaan proyek disusun dan direncanakan dari sumber-sumber komersial;
dan
f. Komitmen pemerintah dibatasi pada kewajibannya terhadap dukungan
kontraktual, dukungan/keikutsertaan ekuitas (Penyertaan Modal Pemerintah)
bilamana diperlukan.
Selanjutnya, prinsip-prinsip yang dianut oleh Indonesia dalam menyusun suatu
kerangka kerja KPS adalah dengan menyertakan hal-hal pokok sebagai berikut:
(Bappenas. 2006)
a. Kerja sama dalam bentuk kemitraan (partnership) dengan prinsip saling
memerlukan, saling mendukung, dan saling menguntungkan;
b. Uji kelayakan proyek kerja sama oleh pemerintah (due dilligence) sebelum
proyek ditenderkan;
c. Penetapan dan penyesuaian tarif, pengelolaan risiko, dan dukungan pemerintah
(government support);
224 Metropolitan di Indonesia

d. Tatacara pengadaan berdasarkan penawaran secara kompetitif yang adil,


terbuka, transparan dan bertanggung-gugat (procurement), serta menyediakan
mekanisme pengaduan dan penyelesaian pertikaian;
e. Penyediaan tanah sebelum pemilihan badan usaha (land availability); dan
f. Pembentukan badan pengatur di tiap sektor (regulatory body).

Perkembangan Kebijakan KPS di Indonesia


Hingga saat ini upaya menyempurnakan kebijakan atas KPS di Indonesia telah
menunjukkan kemajuan yang cukup berarti dan telah menimbulkan sentimen positif dari
para pelaku investasi. Akan tetapi, masih diperlukan cukup banyak hal yang harus
dilakukan agar terjadi efektivitas penyelenggaraan KPS di berbagai sektor dan di
berbagai level pemerintahan.
Paket Kebijakan Infrastruktur yang diumumkan Pemerintah pada tanggal 16
Februari 2006 telah cukup menegaskan agenda kebijakan tahun 2006 bagi percepatan
penyediaan infrastruktur baik melalui kewajiban pelayanan publik (public service
obligation/ PSO) maupun KPS (PPP). Dalam paket tersebut, Pemerintah
mengagendakan empat pokok kebijakan, yaitu: pertama, mengembangkan kerangka
kebijakan, pengaturan dan kelembagaan secara lintas-sektor yang efektif; kedua,
menyelaraskan pelaksanaan reformasi sektor dengan kerangka lintas-sektor; ketiga,
meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam penyediaan infrastruktur; dan
keempat, mendorong percepatan proses transaksi proyek infrastruktur (Ktr Menko
Perekonomian, 2006). Paket kebijakan juga mengidentifikasikan sejumlah kemajuan
kebijakan yang dicapai dalam tahun 2005, terutama dengan diterbitkannya pada awal
November 2005 Perpres 67/2005 tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur. Bagi Indonesia, Perpres ini meletakkan kerangka dasar
“aturan main” lintas-sektor tentang KPS mengikuti international best practice yang
dimaksud.
Selain itu, Pemerintah telah menerbitkan Perpres 42/2005 tentang Komite Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur dan Perpres 36/2005 (yang kemudian diperbaharui
dengan Perpres 65/2006) tentang Pengadaan Tanah bagi Proyek-proyek Kepentingan
Umum. Menteri Keuangan kemudian menindaklanjuti ketentuan tentang dukungan fiskal
Pemerintah yang diamanatkan dalam Perpres 67/2005 menerbitkan Kepmen
518/KMK.01/2005 tentang Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pemerintah semakin mencoba
memantapkan penyediaan kerangka pengaturan dan kerangka kelembagaan KPS melalui
penyiapan Manual Pedoman Pelaksanaan (operational guidelines manual/OGM) Perpres
67/2005 yang menjelaskan secara terinci mengenai proses KPS. Sementara itu, Menteri
Keuangan telah menetapkan kerangka pengelolaan risiko melalui Permenkeu
38/PM.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko
atas Penyediaan Infrastruktur. Melalui peraturan ini maka telah didudukan kejelasan atas
risiko-risiko yang perlu ditanggung sehingga memberikan kepastian investasi khususnya
bagi investor dalam menghitung arus kas dari suatu proyek infrastruktur. Lebih jauh lagi
dalam pelaksanaan alokasi risiko ini. Pemerintah juga perlu turut serta mengelola risiko
yang timbul dari proyek kerja sama tersebut, khususnya pada risiko-riesiko yang
Infrastruktur 225

nonkomersial sehingga proyek tersebut menjadi layak secara finansial dan memiliki
bankability.
Dari aspek kelembagaan. Menko Perekonomian selaku Ketua KKPPI, pada tanggal
5 Mei 2006 telah menerbitkan Permenko 01/M.EKON/05/06 tentang Struktur Organisasi
dan Tata Kerja KKPPI yang merinci mekanisme kerja Sekretariat KKPPI. Menurut
rencana dalam waktu dekat ini akan ditetapkan beberapa Permenko yang berkenaan
dengan (i) pembentukan Pusat Pengembangan KPS (PPP Center) dan jejaring Simpul
Pengembangan KPS (PPP Nodes), (ii) tata cara dan kriteria penyusunan daftar prioritas
proyek infrastruktur KPS, dan (iii) tata cara evaluasi proyek KPS yang membutuhkan
dukungan pemerintah.
Adapun proses kemajuan dalam pengembangan kerangka KPS sektoral cukup
bervariasi di antara sektor-sektor infrastruktur. Bagi infrastruktur perkotaan, seperti air
bersih, sanitasi, dan telekomunikasi telah memiliki landasan hukum (peraturan
perundang-undangan) yang telah mengakomodasi kerangka KPS secara eksplisit.
Sementara sektor lainnya, seperti persampahan, masih terkendala oleh belum tuntasnya
kerangka regulasi yang mendukung.

Menciptakan Iklim yang Kondusif bagi Investasi


Sebagai upaya lanjut mendorong perbaikan iklim investasi di Indonesia, maka pada
tanggal 27 Februari 2006, Pemerintah telah menetapkan Inpres 3/2006 tentang Paket
Kebijakan bagi Perbaikan Iklim Investasi di Indonesia. Indikator kinerjanya diukur
dengan tercapainya upaya untuk (i) mempersingkat waktu pengurusan berbagai
perizinan menjadi tidak lebih dari 30 hari; (ii) melakukan revisi peraturan –perundang-
undangan tentang investasi dan penyediaan infrastruktur; dan (iii) pemberian insentif
perpajakan untuk mendorong kegiatan investasi langsung di bidang usaha dan atau di
daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dan dalam rangka
pemerataan pembangunan.
Paket kebijakan ini meliputi lima bidang kebijakan untuk dilaksanakan pada tahun
2006. Kebijakan pertama menekankan pada berbagai permasalahan umum, termasuk
penguatan kelembagaan bagi layanan investasi (terutama menyelesaikan naskah RUU
Penanaman Modal yang baru). Kebijakan kedua berkenaan dengan reformasi bea dan
cukai. Ketiga mengenai reformasi perpajakan. Keempat tentang masalah
ketenagakerjaan. Dan kelima memfokuskan pada kebijakan pemberdayaan usaha kecil
dan menengah serta koperasi. Pada waktunya, paket ini melengkapi Paket Kebijakan
Infrastruktur untuk menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk menjadikan bisnis
infrastruktur lebih menarik bagi swasta. Meskipun kedua paket kebijakan ini
menunjukkan dukungan dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan keterlibatan
swasta dalam penyediaan infrastruktur, namun masih ada beberapa outstanding issues
yang perlu diperhatikan agar proses reformasi yang menyeluruh di bidang KPS
khususnya.

Beberapa Langkah Lanjut


Upaya-upaya percepatan penyediaan infrastruktur dengan melakukan serangkaian
reformasi kebijakan dan pengaturan serta pengaturan kelembagaan masih harus
dilengkapi dengan upaya kongkrit di tingkat pelaksanaan. Penyediaan paket kebijakan
226 Metropolitan di Indonesia

tidak serta merta membuat proses menjadi lebih cepat, masih ada sejumlah PR yang
harus digarap dalam mempercepat penyediaan infrastruktur, khususnya bagi wilayah
perkotaan. Langkah-langkah lanjut tersebut meliputi empat kerangka kerja, yaitu
kebijakan, pengaturan (regulatory, kelembagaan, dan peran pemerintah daerah.
Dalam konteks kerangka kebijakan, permasalahan atas ketersediaan dan pengadaan
lahan merupakan hal yang harus segera dituntaskan. Lahan bagi proyek infrastruktur
perlu segera tersedia sebelum proyek tersebut akan dibangun. Bila tidak, maka
pembangunan akan tehambat dan semakin menciptakan kesenjangan ketersediaan
infrastruktur di wilayah tersebut. Untuk proyek yang dilakukan melalui KPS, maka
risiko pengadaan lahan akan menjadi beban investor yang tidak lazim menurut
international best practice. Bagaimana pun jarang sekali lenders menyetujui pembiayaan
proyek (financial close) bilamana tanah masih harus dibebaskan. Perpres 65/2006 yang
menggantikan Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Proyek-proyek
Kepentingan Umum yang baru saja diumumkan diharapkan dapat lebih efektif dan
operasional dalam pelaksanaannya. Walaupun Pemerintah telah menyatakan bahwa
proses pengadaan tanah merupakan tanggung jawabnya sebagaimana tercermin dalam
Permenkeu 38/2006 yang menyangkut risiko lokasi, yang penting dalam hal ini adalah
bagaimana pemerintah dapat memastikan bahwa tanah tersebut dapat tersedia pada
waktunya. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan administrasi pertanahan,
penyempurnaan prosedur, penetapan unsur kepanitiaan, dan lainnya. Dalam jangka
panjang, untuk mengatasi masalah pengadaan tanah ini perlu dikembangkan ketentuan
tentang land banking melalui penggunaan konsep eminent domain yang sudah ada
peraturan perundang-undangannya, tapi pelaksanaannya memerlukan pendekatan yang
arif namun tegas. Karena merupakan isu yang cukup sensitif, perlu dilakukan proses
sosialisasi tentang makna kepentingan umum dan implikasinya kepada proses pengadaan
tanah. Untuk jangka pendek bisa dijajaki pembentukan land revolving fund, hanya saja
agar mekanisme ini berjalan efektif diperlukan perguliran dana yang cukup cepat.
Sisi lain dari konteks kerangka kebijakan yang juga perlu dilakukan adalah dengan
mendorong sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri. Mengingat besarnya
financing gap bagi pembiayaan infrastruktur di Indonesia, maka upaya memperoleh
akses kepada pinjaman dalam negeri merupakan pendekatan kebijakan yang paling
sensible. Berbagai lembaga keuangan dalam negeri, khususnya sektor non-bank
menyatakan kesediaannya untuk memberikan pinjaman kepada proyek infrastruktur
yang bankable. Selain itu, upaya mendorong pembiayaan dalam negeri ini dapat
dilakukan melalui mekanisme pemberian jaminan bagi tujuan-tujuan credit
enhancement. Penerbitan berbagai mekanisme pembiayaan melalui penerbitan sovereign
bond terkait pembiayaan proyek infrastruktur publik perlu juga dieksplorasi dan
dikembangkan, sehingga arus kapital yang tersedia di pasar domestik saat ini dapat
dimanfaatkan bagi pembiayaan infrastruktur mendatang.
Dari sisi kerangka Pengaturan, guna melengkapi berbagai peraturan pelaksanaan
dari Perpres 67/2005 maka perlu disusun suatu aturan menyangkut prosedur uji tuntas
terhadap pengembangan proyek yang akan dikerjasamakan dengan pihak swasta. Karena
seperti disampaikan terdahulu, pengembangan proyek (project development) yang
disiapkan secara seksama (rigorous) merupakan missing link untuk menciptakan proyek
infrastruktur yang bankable. Lihat saja buktinya bahwa dari 91 proyek yang ditawarkan
pada Infrastructure Summit 2005, belum ada satu pun yang mencapai financial close.
Infrastruktur 227

Sebagian besar instansi pembuat kontrak (contracting agencies) yang mengusulkan


berbagai proyek KPS belum memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan uji
tuntas kelayakan yang benar, serta tidak memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk
melakukan uji tuntas tersebut. Oleh karena itu, sudah saatnya dibentuk project
development facility (PDF) untuk membiayai pengembangan proyek KPS. PDF ini harus
dikelola secara profesional dan pada saatnya nanti perlu didorong terbentuknya PDF
yang disponsori oleh swasta.
Dari sisi kelembagaan, beberapa upaya perlu dilakukan dalam hal mengembangkan
lembaga-lembaga KPS di berbagai instansi/departemen terkait. Pusat pengembangan
KPS secara lintas sektor perlu dibentuk agar terjadi koordinasi dan sinkronisasi
infromasi dalam hal penyelengaraan KPS di setiap sektor infrastruktur. Pada pihak lain,
Unit Pengelolaan Risiko di Kementerian Keuangan telah dibentuk untuk mendukung
pengkajian risiko atas proyek-proyek yang perlu diberikan dukungan oleh pemerintah.
Simpul Pengembangan KPS di berbagai sektor juga perlu dibentuk untuk menangani
semua aspek penyelenggaraan KPS pada sektor yang bersangkutan. Tiap-tiap lembaga
KPS ini mempunyai peran, tugas, dan fungsi masing-masing sesuai dengan mandatnya
yang ditetapkan dalam tiap-tiap peraturan menteri. Berfungsinya lembaga KPS ini akan
membantu meningkatkan efektivitas persiapan dan pelaksanaan proyek KPS, dan
sekaligus memberikan kepastian bagi swasta untuk melakukan bisnis di bidang
infrastruktur.
Dalam agenda kebijakan jelas telah dinyatakan perlunya memisahkan fungsi
operator dengan fungsi regulator. Namun, memisahkan fungsi pembuat kontrak
(contracting role) dari fungsi regulator belum tercantum secara eksplisit dalam agenda
kebijakan. Sampai saat ini masih ada BUMN yang mempunyai fungsi ganda sebagai
regulator dan sebagai contracting agency yang berpotensi untuk terjadinya benturan
kepentingan. Sebaiknya fungsi pembuat kebijakan juga dipisahkan dari fungsi regulator
dengan argumentasi bahwa badan pengatur sektor tidak hanya mengatur operator dan
contracting agency, tapi juga pemerintah terutama dalam hal bilamana kementerian yang
bersangkutan bertindak melampaui kewenangannya.
Suatu badan pengatur yang secara fungsional independen atau otonom merupakan
persyaratan pokok yang diharapkan oleh swasta untuk meyakinkan mereka bahwa ada
level playing field dan transparansi, khususnya dalam hal proses pengadaan mitra KPS,
penyelesaian sengketa, maupun dalam penetapan tarif.
Penyelenggaraan KPS oleh Pemerintah Daerah dihadapkan pada dua kendala utama.
Pertama, pemerintah daerah harus mengembangkan kemampuan finansial untuk
melakukan kontrak dengan swasta (baik langsung maupun tidak langsung melalui
BUMD). Masih belum jelasnya peran pemerintah daerah dalam menyediakan dukungan
fiskal dari APBD-nya kepada proyek infrastruktur yang dilakukan dengan KPS
menyebabkan sejumlah upaya penyediaan infrastruktur masih terkendala. Klarifikasi
lebih lanjut atas reformasi di bidang keuangan daerah adalah hal yang sangat diperlukan.
Kedua, pemerintah daerah menghadapi kendala institusional dalam arti belum/tidak
memiliki kemampuan untuk memilih, melakukan pemrioritasan, dan mentransaksikan
proyek KPS. Pengembangan kelembagaan KPS di tingkat daerah perlu dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan daerah dalam menyiapkan pengembangan proyek KPS.
Proses ini kemungkinan besar membutuhkan waktu yang cukup lama, namun ada
beberapa pemerintah daerah yang sudah lebih siap dalam menyelenggarakan proyek
228 Metropolitan di Indonesia

KPS, seperti DKI. Untuk menegakkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good
governance), pemerintah daerahnya hendaknya mengikuti aturan main KPS lintas-
sektor yang berlaku demi kepentingan terwujudnya transparansi dan kepastian dalam
upaya untuk menarik keikutsertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur di daerah.
Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan yang terlibat dalam
penyelenggaraan proyek KPS sangatlah nyata dan diperlukan. Seluruh lembaga KPS
hendaknya memiliki staf dan pendanaan yang memadai apabila kita menginginkan
lembaga tersebut berfungsi secara efektif dan efisien. Dalam periode interim,
ketrampilan teknis yang dibutuhkan untuk memberikan petunjuk dalam melakukan
review dan monitoring transaksi proyek KPS yang diselenggarakan oleh berbagai
contracting agencies perlu diperoleh melalui outsourcing atau buy in dengan melibatkan
jasa konsultan dengan pendampingan oleh staf yang nantinya menjadi staf inti dari
lembaga KPS tersebut.

Penutup
Upaya menyediakan infrastruktur perkotaan tidak terlepas dari peran serta semua pihak,
termasuk pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, pengguna, swasta, dan lain
sebagainya. Setiap pihak turut andil memberikan peran dengan berbagai cara. Dinamika
kehidupan perkotaan cenderung menyebabkan pembaharuan pola pembangunan
infrastruktur perkotaan perlu terus dilakukan dengan menimbang aspek-aspek regulasi,
kebijakan, kelembagaan, pembiayaan, peran serta masyarakat/pengguna dan kemitraan
dengan swasta.

PERUMAHAN

Pendahuluan
Ketika di pertengahan dasawarsa sembilan puluhan terjadi gempa paling dahsyat dalam
ingatan generasi Jepang saat ini di wilayah Hanshin dengan kota Kobe yang menderita
korban manusia dan bangunan yang paling parah, diniatkan agar hal ini tidak terulang
dan menempatkan Kobe sebagai kota abad XXI. Dengan dukungan dana rekonstruksi
sebesar 85 persen ditanggung pemerintah pusat, idaman meraih kota yang berdaya saing
tinggi tidak sulit diraih Kobe.
Gagasan baik ini bukan tanpa konsekuensi, yaitu hilangnya kekhasan kota serta ada
jumlah ribuan warga Kobe lapis bawah termasuk para burakumin yang tidak mungkin
dan tidak mampu membayar standar perumahan dan sarana usaha kota yang terlanjur
tinggi, mutakhir, dan mahal. Mereka juga keberatan harus mengubah pola hidup agar
dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan kota abad XXI yang asing bagi mereka.
Akhirnya warga lapisan bawah ini termarjinalkan dan hanya mampu tinggal di pinggiran
kota. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan pula dalam melakukan rekonstruksi dan
rehabilitasi akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh. Bencana ini tidak saja
merusakan barang dan jiwa, tetapi banyak dokumentasi, arsip, sampai tanah dan
bangunan leyap tak berbekas. Ini berbeda dengan gempa yang menyisakan data dan
informasi walaupun kadang dalam bentuk rusak.
Menjelang penghujung abad XX lalu, dunia menutup abad dan millennium dengan
mengadakan KTT Habitat II yang oleh Sekjen PBB waktu itu, Boutros Boutros Ghali,
Infrastruktur 229

setahun sebelum mengakhiri masa jabatannya, disebut sebagai KTT Kota. Ini disebabkan
di akhir abad XX ini separo penduduk dunia menghuni daerah perkotaan dan perubahan
ini tidak akan berbalik kembali. Bersama dengan gejala perubahan keberadaan penduduk
ini, perkembangan kota juga mengalami perubahan, yaitu pertumbuhan kota besar
melambat sebaliknya kota sedang dan kota kecil tumbuh lebih pesat. Bahkan banyak
kota “besar” baru tumbuh kurang dari satu generasi warganya, seperti yang nampak di
sekitar Jakarta.
Fenomena lain yang ikut menandai keberadaan abad XXI adalah perubahan
paradigma manusia dari paradigma biologis atau human (pangan-sandang-papan-
kesehatan-pendidikan) pasca perang dunia I ke paradigma hak asasi atau humane yang
mucul setelah perang dunia II melengkapi paradigma terdahulu. Di abad XXI, paradigma
manusia menjadi kemanusiaan atau humanity. Paradigma yang hendak melihat manusia
punya kelebihan seperti berpikir, beremosi, berkehendak, berkreasi, dan mempunyai
prioritasnya sendiri ini belum banyak dibahas. Perubahan terakhir ini masih didukung
oleh berkembangnya teknologi begitu pesat, terutama teknologi informasi yang mampu
menghapus batas politik baik itu kota/kabupaten, propinsi sampai batas negara (seperti di
Uni Eropa) bahkan juga batas wawasan dan pikiran manusia. Catatan terakhir tentang
abad XXI adalah dikeluarkannya The Millenium Development Goals (MDGs) yang
menyatakan bahwa masyarakat dunia masih dihantui oleh kemiskinan, kebodohan, dan
ketidakadilan; termasuk keadaan di kota. Ini semua merupakan tantangan yang harus
dihadapi oleh kota-kota di Indonesia yang berambisi hadir layak di abad ini
berdampingan dengan kota-kota negara lain di sekitarnya.

Latar Belakang
Membahas keberadaan perumahan dan pemukiman di kota, perlu dimulai dengan
melihat beberapa ciri perubahan kependudukan yang menjadi penyebab dan tujuan
adanya perumahan dan pemukiman yang membentuk kota. Karena paradigma manusia
itu sendiri terus berubah, terutama setelah masuk ke abad XXI, dengan sendirinya bentuk
dan keberadaan perumahan dan pemukiman serta kota juga mengalami perubahan luar
biasa. Perubahan yang mencemaskan adalah bahwa perubahan secara kualitas dan
kuantitas tersebut tidak mungkin dinikmati secara merata. Keadaan tersebut sudah sejak
dasawarsa tujuhpuluhan menjadi sorotan dan kritik keras kaum sosialis dan marxis,
seperti tergambar dalam tulisan Manual Castells dalam bukunya yang terkenal The
Urban Question (1977): “……it suggest the hypothesis of a production of social content
(the urban) by a trans-historical form (the city) ...(but) the city creates nothing... .The
link between space, the urban and a certain system of behaviour regarded as typical of
'urban culture' has no other foundation than an ideological one ...”.
Kependudukan perlu lebih dahulu dipahami dengan baik karena merupakan unsur
penting dan selalu dikaitkan dengan masalah perumahan dan dianggap sebagai penyebab
utama masalah di perkotaan. Pendapat ini walau belum sepenuhnya disepakati umum,
namun dianut banyak pihak mulai dari pengambil keputusan, awam, hingga para
cendekiawan. Bahkan sempat berkembang masalah housing backlog tanpa data, konsep,
atau nalar yang jelas. Bagi Indonesia, penduduk adalah unsur dominan karena sampai
dengan sensus penduduk 2000, Indonesia menduduki negara berpenduduk terbesar
230 Metropolitan di Indonesia

keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Menurut sensus 2000,
penduduk kota telah mencapai 86,4 juta jiwa atau 42 persen1. Menjelang tahun 2010,
separuh penduduk Indonesia akan berdiam di kota, beberapa propinsi dan kabupaten
telah urbanised kota sejak sensus penduduk 1990 lalu.
Sejak dulu Jawa punya catatan kependudukan terlengkap dibandingkan daerah lain.
Cacahan pemerintahan interim T.S Raffles (1815) menemukan penduduk Jawa dan
Madura mencapai 4.615.270 jiwa. Lalu selama Cultuur stelsel,Crawfurd menduga
penduduk Jawa menjadi 6-7 juta jiwa. Pergantian abad lalu, penduduk Jawa dan Madura
diperkirakan mencapai 28.400.000 jiwa. Berarti dalam kurun waktu 85 tahun penduduk
Jawa dan Madura meningkat lebih dari enam kali lipat. Hasil sensus penduduk formal
yang lengkap adalah sebagai berikut:
1930 : 60.731.025 jiwa
1961 : 97.085.348 jiwa; kenaikan tahunan : 1,5 persen.
1971 : 119.208.229 jiwa; kenaikan tahunan : 2,10 persen.
1980 : 147.490.298 jiwa; kenaikan tahunan : 2,32 persen.
1990 : 178.631.196 jiwa; kenaikan tahunan : 1,96 persen.
2000 : 205.843.196 jiwa; kenaikan tahunan : 1,43 persen
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa kecepatan perkembangan penduduk relatif
awalnya meningkat, kini sudah reda. Dalam waktu antar dua sensus terakhir penduduk
Indonesia bertambah 24,8 juta jiwa atau lebih lambat dari selisih dua sensus sebelumnya.
Di samping itu ada masalah distribusi penduduk tidak merata, tingkat perkembangan
penduduk kota cepat dan ada masalah nonkualitatif, seperti penghasilan, tenaga kerja,
dan pendidikan atau ketrampilan. Bila perkembangan penduduk per pulau diamati. Jawa
merupakan pulau berpenduduk terbesar. Meskipun persentase penduduk Jawa turun
terhadap penduduk Indonesia, namun keadaannya tidak menggembirakan. Sensus 1961
mencatat jumlah penduduk Pulau Jawa 63,1 juta jiwa atau 64,95 persen dari penduduk
Indonesia. Sensus tahun 2000 angka ini menjadi 93,1 juta atau turun menjadi 46,28
persen. Padahal luas Pulau Jawa hanya 6,89 persen dari luas total pulau yang ada di
Indonesia. Dari sudut kepadatan penduduk, Pulau Jawa menghadapi masalah lebih berat
dibanding pulau-pulau lain. Nusa Tenggara, pulau terpadat kedua setelah Jawa,
penduduknya lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Tentang jumlah penduduk Indonesia ada, beberapa pendapat saat pergantian abad,
Biro Pusat Statistik (BPS) membuat ramalan optimistis, sebab pada waktu itu penduduk
Indonesia diperkirakan hanya akan mencapai 222.753.000 jiwa. Prediksi ini dilakukan
berdasarkan pada tiga asumsi; pertama, tingkat kelahiran turun sekitar 2 persen per tahun
sesuai kecenderungan tahun 1967-1979; kedua, tingkat kematian juga menurun, ketiga
migrasi internasional diabaikan. Ramalan pesimistis berasal dari kelompok Prof. Sumitro
Djojohadikusumo (Djojohadikusumo 1977), menyatakan bahwa pada tahun 2001
penduduk Indonesia mencapai 250 juta jiwa atau 12,23 persen di atas ramalan BPS. Pada
waktu itu penduduk Jawa akan mencapai 146 juta jiwa atau 58,4 persen dari seluruh

1
Lihat juga analisis kependudukan di bab ini.
Infrastruktur 231

penduduk Indonesia. Dari segi kepadatan, Prof. Sumitro mengibaratkan Jawa sebagai
Pulau Kota. Peter Gardiner dan Mayling Oey-Gardiner yang menulis analisis
kependudukan di Bab 5 ini memperkirakan pada tahun 2025, 8 dari 10 orang di Jawa
tinggal di kota. Dalam kenyataan sampai tahun 2006 ini, perkembangan penduduk
Indonesia cenderung lebih lambat, namun tidak membuat masalah perumahan lebih
ringan.
Perkembangan penduduk kota di Indonesia tampak lebih cepat setelah awal abad
XX dilaksanakan kebijaksanaan PAX NEERLANDICA guna menciptakan suasana damai
dalam negeri, baik karena perang maupun gangguan keamanan. Perkembangan makin
mantap setelah ditetapkan undang-undang desentralisasi (stbl.1903/329) yang diawali di
Batavia dan kemudian diikuti kota-kota lain. Pada sensus penduduk pertama (1920),
rumusan kota adalah (130) daerah yang berpenduduk 1.000 orang ke atas. Waktu itu di
Jawa ada 2.320.000 penduduk kota atau 4,7 persen penduduk Indonesia. Pada sensus
1930, definisi kota adalah wilayah yang menunjukkan ciri konsentrasi bangunan
permanen, jalan beraspal, berpenduduk 1.000 orang ke atas. Jumlah kota meningkat jadi
172 dan persentase penduduk kota naik menjadi 7,4 persen. Sensus tahun 1961 kembali
memperbaiki definisi kota dengan menambah syarat berpemerintahan sendiri, persentase
tertentu bagi penduduk yang tak bekerja pada sektor nonagraris (80 persen ke atas),
berpenduduk di atas 20.000 orang dan sebagainya. Ini mempertegas adanya masalah
kependudukan kota yang sebagian besar ada di Jawa; sekalipun beberapa kota di luar
Jawa menunjukkan perkembangan cepat. Kajian Strategi Nasional Pengembangan
Perkotaan (National Urban Development Strategies-NUDS) memperkirakan pada tahun
1980 dari 384 kota yang ada, 239 kota atau 62 persen terletak di Jawa. Jumlah kota terus
bertambah dan diperkiraan di seluruh Indonesia akan ada lebih dari 400 kota sebagai
konsekuensi dari lajunya pembangunan.
Harus dicatat bahwa dari lima kota berpenduduk satu juta orang ke atas pada tahun
1980, menurut sensus penduduk 2000 jumlah kota berpenduduk satu juta ke atas
mencapai 13 termasuk lima di Jakarta, sehingga pada pergantian abad kepadatan
penduduk di Jakarta maupun Surabaya belum sepadat Bandung tahun 1980 sebagai kota
terpadat waktu itu. Keadaan itu menunjukkan adanya mobilitas penduduk keluar dan
masuk kota, seperti Jakarta dan Surabaya. Untuk menentukan jumlah penduduk efektif
di kota, harus ditambah penduduk musiman maupun migran tidak tetap yang jumlahnya
sekitar 10-30 persen di atas jumlah penduduk terdaftar. Dua hal tesebut menunjukkan
bahwa kota besar mulai tergantung pada kota-kota kecil di sekitarnya dan membentuk
mega-urbanisasi.
Dari uraian di atas jelas bahwa perkembangan jumlah penduduk di Indonesia
menggembirakan. Pertumbuhan kota akibat pembangunan perumahan dan pemukiman
juga membaik, apalagi nampak pertumbuhan kota besar mereda karena beban diambil
alih kota sedang dan kecil, yang merisaukan dan masih kurang diperhatikan karena
belum dapat dimengerti dengan baik adalah gelaja mega-urbanisasi2 yang antara lain

2
Kata urbanisasi diartikan sebagai proses mengkotanya suatu wilayah (pemanfaatan beragam fasilitas
kehidupan yang bermutu dan ada pilihan) baik baru maupun lama yang menuntut penghuninya mampu
berkegiatan di keadaan dan memenuhi tuntutan kawasan urban. Mega urbanisasi adalah perkembangan
yang membentuk jejaring kawasan urban dengan hubungan resiprokal bagi penghuninya, melintasi
batas politik kota, kabupaten, propinsi bahkan nasional. (Catatan editor: lihat juga analisis
232 Metropolitan di Indonesia

menghasilkan kota sejuta penduduk dalam kurun waktu dua sensus penduduk, seperti
Bekasi, Tangerang dan Depok. Pertumbuhan kota tidak lagi dibatasi oleh batas
administratif kota atau kabupaten, dilengkapi dengan proses in-urbanisasi dan ex-
urbanisasi serta banyak masalah pertumbuhan perumahan dan pemukiman lainnya.
Rumah tidak hanya sebagai tempat hunian atau berteduh saja, tetapi diperhatikan nilai
dan fungsi produktifnya. Bahkan perkembangan ekonomi liberal yang diobral di
Indonesia, lebih lanjut memasukkan rumah kedalam jajaran komoditi ekonomi yang
dipakai dalam banyak bentuk, termasuk berspekulasi dalam sekala besar dan kecil.

Konteks Sejarah
Saat awal Belanda berkuasa (abad XIX), pemukiman baru dibangun bagi penduduk
Eropa dan mereka yang dianggap setingkat sesuai dengan pola di Eropa hampir tanpa
penyesuaian apa pun. Rumah-rumah tersebut berbeda dengan pola rumah penduduk
yang sesuai dengan gaya hidup dan tuntutan iklim tropis basah. Pemukiman baru zaman
kolonial dibangun membatasi dan mengelilingi kampung yang ada; dilengkapi pelayanan
kota yang ”baru” dan baik. Akibatnya, terjadi polarisasi pola perumahan. Dibandingkan
dengan yang baru maka yang lama lebih kecil, “semi-permanen”, rapat dan sesak serta
dengan fasilitas sederhana dan terbatas dan dihuni oleh penduduk pribumi. Perumahan
baru lebih besar, permanen berkepadatan rendah, dan bergaya Barat; dilengkapi dengan
fasilitas yang baik bagi penduduk lebih mampu dan mempunyai kedudukan sosial,
terutama adalah warga Belanda dan Eropa lainnya.
Untuk perkembangan perumahan kota, menurut Dr. F de Haan dikeluarkan statuta
VOC (1642) yang menetapkan Dewan Kota Batavia bertanggung jawab atas prasarana
umum, jalan, dan saluran, sedangkan pembangunan rumah diserahkan pada swasta;
terutama bagi kelompok masyarakat mampu. Akibat perkembangan ini, ada polarisasi
dualistik yang kontras antara perumahan formal dengan perumahan yang dibuat rakyat
sendiri. Kelanjutan pola dualistis ini dikuatkan Regeringsreglement 1845 yang
menetapkan bahwa kampung kota boleh bertahan namun berada di luar wewenang
pemerintah kota; kampung selanjutnya diatur oleh pemerintah pusat dengan perantara
Bupati. Walaupun kelak pemerintah kota mengatur secara utuh, namun pola perumahan
dualistis ini bertahan sampai sekarang. Dalam melaksanakan pembangunan saat ini
kecenderungan dan perhatian pemerintah kota umumnya memihak pada perumahan
formal daripada yang diusahakan oleh masyarakat sendiri.
Sistem pengadaan perumahan kota sampai perang dunia II dapat dibagi dalam tiga
pola. Pertama, perumahan dibangun swasta, bermutu baik, mahal dan diperuntukkan
bagi penduduk berpenghasilan menengah ke atas terutama bagi orang Eropa dan Timur-
asing. Sebagian dijual untuk dimiliki sedang sisanya disewakan; besar sewa diatur
pemerintah. Karena bentuk dasarnya sama dan mencolok, rumah-rumah ini mudah
dikenal. Pola kedua adalah yang untuk dipakai sendiri, baik pribadi maupun oleh badan
usaha; termasuk di dalam pola ini adalah perumahan dinas untuk pegawai negeri maupun
swasta. Pola ini dianjurkan pemerintah untuk meringankan kekurangan rumah yang ada
tiap tahun. Bentuk perumahan pada pola ini lebih bervariasi. Ketiga adalah pola
perumahan di kampung yang jumlahnya mencapai dua pertiga rumah yang ada ditinjau

kependudukan yang ditulis oleh Peter Gardiner dan Mayling Oey Gardiner pada bab ini). Ini bukan
merupakan aglomerasi kawasan urban seperti yang dipakai pada istilah mega-urban.
Infrastruktur 233

dari jumlah penghuni. Umumnya perumahan ini dibangun oleh penghuni sendiri
menurut pola dan bentuk yang berkembang secara inkrimental. Oleh karenanya, rumah
selalu berubah sebagai proses dinamis.
Di samping membangun perumahan untuk rakyat banyak, di pusat pemerintah
(Batavia) mulai memikirkan keadaan kampung kota yang dinilai amat menyedihkan
(allertreurigst), seperti tercatat dalam Gedenkboek van Nederlandsch Indie 1889-1923.
Sasaran yang dituju adalah kampung yang dibangun penghuninya sendiri. Sejak
pembentukan pemerintahan kota (1904), pemerintahan di pusat mengingatkan dewan
kota perlu memperhatikan kesehatan masyarakat kampung dan mengusahakan
perbaikannya di kota masing-masing sejalan dengan politik etis dan humanisme yang
berkembang usai perang dunia pertama. Surat pertama (tanggal 30/5/1917) tentang hal
ini ditujukan ke Dewan Kota Semarang dan Surabaya yang mengusulkan agar dilakukan
perbaikan keadaan perkampungannya. Surat ini menanggapi pula keberatan Walikota
Surabaya dan Semarang atas pemisahan atas pengaturan penduduk kampung tersebut.
Namun, ternyata baru Surabaya bersama Semarang yang pertama kali melaksanakan
Kampoeng Verbetering (1924)3.
Pada tanggal 20 Maret 1934, ditetapkan Burgelijke Woningreglement guna mengatur
pembangunan perumahan bagi pegawai pemerintah serta menentukan besar sewa dan
kelengkapan pemukiman. Penetapan ini merupakan babak baru dalam pembangunan
rumah oleh pemerintah sebagai pelayanan kepada karyawan sendiri. Hingga kini
peraturan ini belum secara resmi dicabut dan berlanjut dengan pembentukan Yayasan
Kas Pembangunan (YKP) yang meneruskan pembangunan perumahan bagi pegawai
negeri setelah kemerdekaan. Tujuan dari yayasan tersebut secara tak langsung dan tak
sengaja dilanjutkan dalam bentuk PERUM PERUMNAS; yang mulanya mendahulukan
perumahan bagi pegawai negeri.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, masalah perumahan mendapat perhatian cukup
dini. Menjelang penyerahan kedaulatan, ditetapkan Stadsvormings Ordonantie (SVO)
1948 dan Stadsvorming Verordening (SVV) 1949. Kedua peraturan ini hendak
menanggapi perkembangan kota yang mendesak yaitu mengatasi kerusakan akibat
perang; termasuk pembangunan perumahan yang terus diperhatikan pemerintah. Namun,
SVO dan SVV hanya berlaku bagi limabelas dari limapuluh kotapraja yang ada. Dan
pelaksanaannya juga sebatas pemeliharaan kota bukan pembangunan.
Diselenggarakan pula Kongres Perumahan Rakyat Sehat (25-30 Agustus 1950) yang
pembukaannya dilakukan oleh Wakil Presiden R.I, Drs. Moh. Hatta, dan menghasilkan
tiga keputusan penting berikut (Sardjono 1977)
1. Menganjurkan kepada pemerintah agar diusahakan pendirian perusahaan
pembangunan perumahan yang dibantu pemerintah di tiap propinsi.

3
Agaknya sejak dulu Surabaya tanggap dengan masalah yang dihadapi penduduk. Ketika oleh
pemerintah Batavia diminta membuktikan kemampuan menangani penduduk pribumi yang ada di kota,
maka kampong Verbetering dilaksanakan sebagai jawab jauh sebelum kota-kota lain berminat
melakukannya. Ini antara lain ditulis dalam disertasi James L. Cobban The City on Java : an Essay in
Historical Geography. 1970.
234 Metropolitan di Indonesia

2. Pembangunan perumahan rakyat memakai syarat/norma minimum. yaitu rumah


induk dua kamar tidur dan luas 36m persegi; ditambah rumah-sisir 17,5m persegi.
Syarat minimum ini hendaknya menjadi undang-undang.
3. Agar dibentuk Badan/Lembaga Perumahan yang pembiayaannya dimasukkan dalam
anggaran pemerintah.
Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 1 Januari 1951 di Kementerian Pekerjaan Umum
dan Tenaga dibentuk Jawatan Perumahan Rakyat yang dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Presidaen R.I. No.65/1952, sedangkan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga
membentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat (20 Maret 1951), disusul dengan
pembentukan Yayasan Kas Pembangunan Perumahan Rakyat (YKP) di daerah otonom
tingkat II serta Bank Pembangunan Perumahan. Pada tahun 1952, Pemerintah Pusat
menganjurkan pemerintah daerah membentuk YKP; dalam periode sekitar dua tahun
terbentuk lebih kurang 200 YKP. Modal dasar YKP yang berbentuk koperasi diperoleh
dari anggaran Jawatan Perumahan Rakyat karena belum ada Bank Pembangunan
Perumahan. Pada awalnya YKP hanya melayani pegawai negeri yang tidak mendapat
rumah dinas; melalui keanggotaan dan menabung hingga separo dari harga rumah,
sisanya diangsur sampai sekitar 100 bulan.
Berangsur-angsur masyarakat umum dapat pula menjadi anggota YKP. Sepuluh
tahun kemudian proyek YKP terpaksa dibubarkan sebab modal dan simpanan anggota
habis “dimakan” inflasi sekitar 800 persen setahun. Jumlah rumah yang dibangun pun
tidak seberapa yaitu dalam kurun waktu satu dasawarsa hanya terbangun sedikit lebih
dari 10.000 unit. Hanya YKP Surabaya tak dilikuidasi sebab mampu terus membangun
dan mengembalikan pinjaman dalam rupiah “baru” atau seribu kali nilai semula.
Di beberapa kota didirikan perusahaan pembangunan perumahan swasta. Namun,
perusahaan perusahan tersebut menghentikan usaha sebab ada ketidakjelasan wewenang
pengatur penghunian rumah yang selesai dibangun terutama terjadi setelah perang
kemerdekaan usai. Saat itu ada penyerobotan rumah-rumah kosong terutama milik asing
yang ditinggal mengungsi atau pulang ke negerinya. Untuk mengatasinya, penguasa
perang mengatur dan mengawasi penempatan atau penghunian rumah. Baru setelah
ditetapkan Undang-undang darurat No. 3/1958 pengaturan penghunian rumah memakai
Surat Ijin Perumahan (SIP) yang dikeluarkan Kantor Urusan Perumahan (KUP).
Wewenang beralih dari penguasa militer ke sipil. Namun, kekaburan belum hilang
seluruhnya. Di satu pihak pemerintah dan penguasa masih memerlukan gedung dan
rumah. jadi ikut dalam alokasi pemanfaatannya. Di pihak lain, KUP merasa tugas
mengatur penghunian rumah mencakup rumah baru yang dibangun setelah UUD
No.3/1958 berlaku.
Hambatan ini baru disadari beberapa tahun kemudian. Untuk mengatasinya
ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) No.6/1962 yang
isinya antara lain menetapkan setiap warga negara dan badan-badan swasta bebas
membangun perumahan dan menetapkan penggunaannya, baik untuk sendiri maupun
disewakan (pasal 1). Dua tahun kemudian perpu No.6/1962 menjadi Undang-undang
No.1/1964. Perbaikan sarana hukum belum efektif mendorong pembangunan perumahan
antara lain karena situasi ekonomi yang lemah dan kebijakan perumahan yang belum
jelas, ditambah tak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanannya. Pembangunan rumah
oleh masyarakat sendiri berlangsung bersama perumahan YKP.
Infrastruktur 235

Upaya mengembangkan rumah dilengkapi pembentukan Lembaga Penyelidikan


Masalah Bangunan (LPMB-1953) yang dibentuk bersama oleh tokoh pemerintah dan
masyarakat. Dua tahun kemudian (1955) badan ini diakui pemerintah dan ditetapkan
menjadi U.N. Regional Housing Centre (RHC). Ir. Pangeran Mohamad Noor, Menteri
Pekerjaan Umum dan Tenaga mengatakan : “…tujuan LPMB adalah untuk menurunkan
biaya pembangunan dan memudahkan rakyat memakai konstruksi-konstruksi yang lekas
dapat dipelajarkan…” Cita-cita ini tidak pernah terwujud walaupun hingga kini turunan
dari lembaga ini masih ada dalam bentuk PUSLITBANGKIM.
Berdasarkan keputusan Menteri P.U.T.L. tahun 1975, lembaga ini menjadi
Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB) di bawah Departemen Pekerjaan
Umum dan Tenaga Listrik. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.15/1984 DPMB
diubah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman dengan tugas:
“…membina, mengkoordinasikan penelitian dan pengembangan pemukiman sesuai
kebijaksanaan Badan LITBANG Departemen Pekerjaan Umum”. Lembaga ini mencetak
banyak ahli di bidang perumahan dan mendapat bantuan dari lembaga yang sama di
negara maju termasuk International Housing Study (IHS-BIE) Rotterdam.
Di era Orde Baru, DPMB mempunyai pengaruh dalam perumusan program
perumahan Pelita I (1969-1974); terutama meletakkan konsep dasar program perumahan
yang dilaksanakan, termasuk mengembangkan beragam model rumah. Di Pelita II dibuat
tiga keputusan yang ditetapkan pada tahun 1974 yaitu :
1. Keputusan Presiden RI No.29/1974 tentang pembentukan Perusahaan Umum
Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) dengan tugas melaksanakan
pembangunan perumahan dan pembangunan kota terutama untuk melayani
penduduk berpenghasilan rendah di seluruh Indonesia.
2. Keputusan Presiden No.34/1974 Tentang Pembentukan Badan Kebijaksanaan
Perumahan Nasional (BKPN) yang diperbaharui dengan keputusan No.8/1985.
Keputusan ini memperluas keanggotaan BKPN menjadi 10 Menteri dan Gubernur
Bank Sentral. Badan ini bertugas merumuskan kebijaksanaan perumahan nasional
pada umumnya. Walaupun terus berganti nama dan susunan, namun badan ini tidak
pernah efektif.
3. Keputusan Menteri Keuangan No. B 49/MK/N/1/1974 yang menugaskan Bank
Tabungan Negara (BTN) menyelenggarakan pemberian Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, baik yang dibangun
pemerintah maupun swasta, namun masih terbatas pelayanannya.
Swasta terlibat membangun rumah sejak di tetapkannya undang-undang penanaman
modal asing (1967) dan modal dalam negeri (1968). Untuk pelaksanaannya, Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat keputusan no. 28/1974
tentang tata-cara penanaman modal di bidang perumahan. Sementara untuk menangani
pengadaan lahan dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5/1974 tentang
penyediaan dan pembelian tanah. Sejak itu di beberapa kota nampak kegiatan pihak
swasta untuk membangun perumahan terutama perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas. Saat ekonomi tumbuh pesat pembangunan perumahan
memainkan peran penting; namun perumahan juga termasuk salah satu penyebab krisis
keuangan 1998.
236 Metropolitan di Indonesia

Peningkatan pembangunan rumah formal dikuatkan oleh penghasilan negara yang


berlimpah saat harga minyak bumi naik pesat. Kemudian keluar surat keputusan BKPM
yang mengharuskan swasta membangun perumahan dengan perbandingan 1 mewah : 3
sedang : 6 murah. Pembangunan perumahan swasta diharapkan ikut melayani
masyarakat secara lebih merata; termasuk bagi yang penghasilannya terbatas. Untuk
enam bagian perumahan murah tersebut didukung Kredit Pemilikan rumah dari Bank
Tabungan Negara (KPR-BTN). Pada tahun 1987 dicoba perbandingan diubah menjadi 1
: 4 : 15. Dalam kenyataannya, pelaksanaan ketentuan ini sulit diawasi sebab saat
pembangunan tiap tipe rumah beda waktu dan lokasi sehingga pengusaha selalu dapat
mengadakan penyesuaian demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Menjelang
pergantian abad keluar keputusan bersama Menteri PU dan Meneg Perumahan-
Permukiman yang menentukan bahwa pembangunan perumahan harus kembali pada
rumus 1:3:6.
Dalam pada itu, Pemerintah Daerah di Jakarta dan Surabaya pada tahun anggaran
1968/1969 mulai memperhatikan perumahan bagi penduduk berpenghasilan rendah yang
diwujudkan dengan melaksanakan program perbaikan kampung atau KIP. Perbaikan
lingkungan kampung yang dilaksanakan meliputi pembangunan prasarana dasar, seperti
jalan, saluran pematusan, air minum, dan sebagainya. Upaya ini diperhatikan pemerintah
pusat dan Bank Dunia (IBRD). Pada tahun 1974, Jakarta mendapat pinjaman IBRD
untuk mempercepat pelaksanaan KIP-nya. Pada tahun 1976, Surabaya ikut dalam
bantuan ini. Sejak itu, KIP menjadi program nasional. Sejak tahun 1979, KIP telah
dilaksanakan di 200 kota berbagai ukuran dan di seluruh Indonesia; dalam Repelita IV
jumlah tersebut meningkat menjadi 400 kota ditambah dengan 100 kota untuk perbaikan
prasarana pemukiman dekat pasar. Sementara itu, dana KIP di samping berasal dari
APBN dan Pinjaman IBRD, juga berasal dari pinjaman Pemerintah Kerajaan Belanda
dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pada Pelita berikutnya jumlah kota yang ikut
bertambah, namun karena dilaksanakan sebagai proyek maka manfaatnya terbatas. Saat
ini (2006) Surabaya masih terus melaksakan KIP dalam tiga bentuk: KIP partisipatoris
(KIP WR Supratman-PLP) untuk kampung berpendapatan sedang, KIP komprehensif
terutama berpenghasilan rendah, dan Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK) untuk
kampung yang sangat miskin dan kumuh.
Pemerintah tidak hanya memperhatikan perumahan kota; sejak tahun 1973 dirintis
perbaikan perumahan di desa. Perintisan dilakukan di daerah Yogyakarta diteruskan ke
Jawa Tengah dan Timur. Dalam Pelita III, program ini dilaksanakan di seluruh propinsi,
dan dalam Pelita IV diperbaiki lebih dari 10.000 desa. Di samping itu, dilaksanakan pula
program pengadaan air bersih dan peningkatan kesehatan lingkungan. Beragam program
ini diupayakan pelaksanaan terpadu dengan program lain. Konsep juga terus
berkembang; Penyelenggaraan Konferensi Habitat I (31/5-11/6 1976) di Vancouver
menghasilkan keputusan yang berpengaruh di banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia. Salah satu keputusan adalah pengakuan usaha masyarakat membuat
rumahnya sendiri (Rekomendasi Country report yang disusun untuk konferensi ini
merupakan laporan resmi pertama tentang masalah pemukiman yang ada dan
menyadarkan para pengambil keputusan). Bagi Indonesia, dokumen ini merupakan
ungkapan resmi tentang konsep perumahan yang dianut (1975). Pada KTT Habitat II
(Istanbul 6/1996) Indonesia aktif ikut merumuskan keputusannya the Habitat Agenda
dan buku An Urbanizing World.
Infrastruktur 237

Keputusan yang cukup berarti adalah Pengangkatan Menteri untuk urusan


perumahan sejak Kabinet Pembangunan III dan Keputusan Presiden No.1/1984 tentang
pembentukan Dewan Riset Nasional (DRN) yang di dalamnya terdapat sub-kelompok
Perumahan dan Permukiman untuk mengelola kegiatan penelitian di bidang perumahan
dan pemukiman. Berbagai perguruan tinggi ikut mengembangkan pengetahuan tentang
perumahan dan permukiman; BPPT juga memperhatikan masalah perumahan. Setelah
masa reformasi, perumahan digabung dengan Pekerjaan Umum menjadi Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL), namun dari segi pelaksanaan
berbagai program perumahan dan permukiman tidak mengalami perkembangan yang
berarti, bahkan terkesan masih mencari di dalam kandang sendiri. Kini Kementerian
Perumahan Rakyat dihidupkan kembali dengan mandat sedikit berubah tetapi masih
dengan pola berpikir yang tidak beda jauh seperti di tahun tujuhpuluhan.

Keadaan Pemukiman dan Masalah


Sekalipun pembanguan perumahan telah resmi dilaksanakan dalam program
pembangunan nasional sejak Pelita I, cara-cara menilai keadaan perumahan belum
dirumuskan secara jelas. Pada sensus penduduk, perumahan dimasukkan di bagian
kependudukan dan klasifikasinya berubah-ubah. Perumahan kadang diproses sebagai
bagian dari lingkungan hidup atau dilihat hanya sebagai hasil program formal yang
diselenggarakan pemerintah dan swasta. Pendekatan itu menganggap perumahan sebagai
produk/hasil kuantitatif. Dalam sensus penduduk 2000, perumahan mendapat perhatian
yang lebih luas dan hasilnya diterbitkan terpisah namun tidak mudah diakses masyarakat
luas.
Perumahan yang dibangun oleh penduduk sendiri dalam jumlah yang (amat) besar
belum disajikan secara utuh; ada kesulitan pada BPS untuk menentukan bentuk
klasifikasi dan analisis yang dipakai. Di sini masalah ini hendak ditinjau secara khusus
dalam keseluruhan keadaan perumahan dan melihat pula kaitannya dengan pendekatan
kebutuhan (need) dan hasil usaha berdasarkan proses perumahan yang selama ini
dilakukan masyarakat sendiri. Data yang dipakai untuk analisis berasal dari BPS yang
diolah dan dirangkum kembali.
Angka tentang jumlah rumah yang ada terdapat pada pendaftaran rumah tangga
1970 yang mencatat jumlah 22.471.227 buah; terdiri dari 98,08 persen rumah tinggal
murni dan sisanya rumah campuran. Ditinjau dari letak, hanya 2.877.109 atau 13,05
persen rumah tinggal murni ada di kota; jauh lebih kecil dari jumlah penduduk kawasan
kota hasil sensus 1971 yaitu 17,09 persen. Angka ini selanjutnya disajikan dalam bentuk
hasil sampling yang tidak diakui secara terbuka. Ini menunjukkan keadaan satu rumah
kota dihuni oleh lebih dari satu rumah tangga. Kenyataan ini adalah masalah awal dari
perumahan di Indonesia. Pada tahun 2000, di kota ada 1.563.765 bukan rumah atau 7.01
persen dari seluruh bangunan yang didata.
Pembahasan keadaan perumahan harus dilihat dari segi jumlah dan mutunya, baik
dalam kaitan dengan keadaan lingkungan maupun penghuniannya. Jadi, rumah tidak
hanya dilihat sebagai unsur fisik yang berdiri sendiri, hendak diketahui pula potensi dan
usaha yang dilakukan penghuni sendiri. Seperti telah diuraikan, format penyusunan data
perumahan hasil sensus penduduk tidak selalu sesuai untuk kebutuhan analisis atau
merumuskan tindakan. Agar perkembangannya dapat digambarkan dengan baik, dipakai
data lainnya terutama Survei Sosial Ekonomi Nasional. Ternyata ada perkembangan
238 Metropolitan di Indonesia

besarnya rumah tangga di antara data tersebut. Jelas bahwa norma yang dipakai
menentukan kebutuhan perumahan sebesar 5 orang per rumah ternyata awalnya
dianggap terlalu kecil, namun kini berlebihan. Secara menyeluruh gambaran besar rumah
tangga adalah:

TABEL 6 - 6 Perbandingan Besar Rumah Tangga


SATUAN RUMAH TANGGA 1971 1980 1985 1990 2000
Besar Rumah Tangga Kota 5,258 5,326 4,682 -- --
Besar Rumah Tangga Desa 4,750 4,728 4,533 -- --
Besar Rumah Tangga Indonesia 4,830 4,850 4,571 4,500 3,900
Sumber : Sensus penduduk. SUPAS. BPS.

Jadi dalam kurun waktu lima sensus, secara menyeluruh terjadi penurunan yang
berarti pada rata-rata besar rumah tangga di Indonesia. Masalah perumahan kuantitatif
tak berhenti sampai besar rumah tangga saja, tetapi terkait perkembangan kondisi
perumahan yang berpengaruh terhadap kebutuhan maupun permintaan. Apalagi bila
konsep ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat membuat dan
mencukupi perumahannya sendiri. Data perumahan juga menunjukkan arah yang
cenderung membaik. Rumah yang luasnya lebih besar proporsinya makin banyak,
sementara yang luasnya <19 m persegi hanya 5,86 persen (BPS 2001), dan yang belum
mampu mencapai 10 m persegi per orang, seperti standar WHO, terus berkurang. Rumah
yang dihuni satu rumah tangga sudah 91,31 persen; bila karena hanya mempunyai satu
anak, maka saat berkeluarga diminta tetap serumah dengan orang tuanya sehingga rumah
yang dihuni dua rumah tangga mencapai sekitar 97,98 persen (BPS 2000) yang artinya
sudah sangat baik. Harus dicatat bahwa intensitas penghunian rumah mengalami
pergeseran positif; yaitu luas yang lebih besar jumlahnya meningkat terutama pada
keluarga ‘kecil’, sedangkan rumah yang luasnya kecil atau terbatas semakin berkurang.
Setelah mengetahui dengan baik perkembangan keadaan fisik rumah, perlu
diperhatikan keadaan pemilikannya. Hal ini penting dalam rangka mengisi persepsi
rumah yang dianut masyarakat, baik tentang penghunian yang berlanjut maupun
menjamin proses berkeluarga. Data yang ada ternyata menunjukkan bahwa angka
kepemilikan rumah kecenderungannya terus meningkat. Dilihat dari status lahan angka
yang ada juga menunjukkan peningkatan bersamaan dengan turunnya jumlah rumah
sewa, kontrak, dan lain- lain yang kini mencapai 83,5 persen.
Untuk melengkapi telaah mengenai keadaan perumahan, perlu dikaji kualitas rumah
yang terdiri dari fasilitas jamban, bahan bangunan, dan air bersih yang tersedia di
rumah/pekarangan. Data sensus penduduk dan SUPAS menyajikan keadaan fasilitas
jamban dan air bersih yang juga berkembang baik. Sementara itu, data bahan rumah
pada sensus terakhir disajikan dalam klasifikasi berbeda; pada sensus penduduk 1971
kualitas rumah digolongkan dalam empat kelas mutu bahan yang dipakai; sedangkan
pada sensus penduduk 1980 sistem kelas bahan tak dilanjuntkan dan diganti dengan
rincian menurut jenis bahan-bahan sendiri seperti yang dipakai pada Survei Keadaan
Rumah Tangga 1976. Pada sensus 2000 klasifikasi keadaan rumah berubah lagi dengan
melihat bukan hanya fisik bahan bangunan, tetapi juga kelengkapan ruang, seperti kamar
tidur, ruang keluarga, dapur, kamar mandi dan jamban, dan sebagainya. Angka-angka
yang dihasilkan juga menunjukkan bahwa kualitas rumah membaik.
Infrastruktur 239

Dari tiga unsur kualitas rumah yang disajikan, hanya air bersih yang pengadaannya
masih kurang karena tergantung pada program pemerintah yang dananya tidak pernah
cukup. Sedangkan pengadaan jamban maupun perbaikan bahan bangunan rumah semua
berjalan baik dan atas upaya penghuni/pemilik sendiri. Dapat disimpulkan dari
perkembangan tingkat hunian, pemilikan rumah, fasilitas jamban, kualitas bahan
bangunan, dan penyediaan air bersih sendiri bahwa ternyata keadaan perumahan pada
umumnya menunjukkan perbaikan menyeluruh.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tiap tahun sektor formal rata-rata hanya
mampu membangun sekitar 200.000 rumah, sedangkan tiap tahun diperlukan sekitar
800.000 rumah baru untuk menyongsong pertambahan penduduk. Lalu siapa yang
bertanggung jawab terhadap kekurangannya? Kalau misalnya warga tidak
menyelesaikan sendiri maka keadaan perumahan di Indonesia makin tahun akan makin
buruk. Hal ini sebenarnya tidak pernah terjadi seperti nampak pada data di TABEL 6 - 7
di bawah. Sekali lagi terbukti bahwa masyarakat berpotensi besar membuat perumahan
yang membaik dengan mengandalkan sumber daya sendiri dan tidak tergantung pihak
luar. Dengan sendirinya pendapat bahwa perkembangan penduduk kota yang tinggi
menyebabkan keadaan perumahan memburuk, sama sekali tidak terbukti, tidak berdasar,
dan juga tidak perlu diindahkan.

TABEL 6 - 7 Kondisi Perumahan Indonesia (%)


Kota Desa Desa dan Kota
Komponen 1977 2000 2004 1977 2000 2003 1977 2000 2003
Lantai <10m2 29,5 26,7 21,5 27,7 24,7 19,0 28,3 25,5 20,0
Tanah 6,2 5,2 6,7 27,6 23,0 21,3 19,6 15,5 15,1
Atap yang cukup 98,0 98,5 98,8 89,6 91,9 92,9 92,7 94,7 95,4
berkualitas
Diding permanen 91,7 92,3 93,9 74,8 78,0 82,1 81,1 84,0 87,2
Listrik 96,4 97,9 98,4 65,9 77,8 82,1 77,2 86,3 89,0
Air ledeng 39,9 36,2 37,8 7,0 6,9 7,6 19,2 18,6 20,4
Air bersih 57,5 48,3 60,3 45,3 34,9 39,9 49,7 40,6 48,6
Toilet+septic 48,3 46,3 55,7 13,8 15,5 22,1 26,1 28,5 36,4
tank
Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat (BPS) 1999; 2000; 2003

Walaupun angka di atas menunjukkan kecenderungan yang membaik, masalah


perumahan kumuh masih menjadi ganjalan bagi perumahan kota. Pengertian kumuh
seharusnya dilihat dari kelayakan huninya (adequacy), selanjutnya “kekumuhan” dapat
mulai dicari dari cara mendapatkan lahannya seperti menyerobot. Dengan sendirinya
tidak punya bukti atas tanah juga dapat dipakai sebagai kriteria “kumuh”. Luas kavling
sulit dipakai sebagai kriteria sebab rumah susun pasti memiliki luas kavling yang sangat
terbatas. Tetapi luas bangunan harus dipakai sebagai kriteria yaitu yang luas rumahnya
kurang dari 20 m persegi dan antara 21 - 27 m persegi yang berarti mereka mendiami
rumah yang berada jauh di bawah standar Depkes, yaitu 8 m persegi per orang. Kondisi
fisik bangunan yang rusak dan rusak berat harus digolongkan sebagai “kumuh”. Lokasi
rumah di tepian sungai-danau-waduk-laut serta di tempat rawan bencana pasti perlu
perhatian. TABEL 6 - 8 di bawah ini memberi gambaran yang juga tidak mustahil untuk
diselesaikan dengan cara menggusur, tetapi lebih beradab.
240 Metropolitan di Indonesia

TABEL 6 - 8 Keadaan Kawasan Pemukiman “Kumuh” (%)


2001 2004
Kriteria “KUMUH” desa kota desa kota
Asal bangunan dari menyerobot 0.60 0.78 0.31 0.47
Tidak jelas hak atas tanah 12.11 5.39 20.19 10.09
24
Luas bangunan < 20 m 4.87 5.86 2.26 7.30
25
antara 21-27 m n.a. n.a. 2.84 4.24
Kondisi Fisik Bangunan rusak berat 0.75 0.34 0.48 0.23
rusak 9.68 5.29 0.17 4.21
Di tepian sungai-danau-waduk-laut 8.30 7.27 7.72 6.10
Daerah rawan bencana 6.67 8.20 6.88 8.43
Sumber: Statistik Tistik Perumahan 2001; 2004; BPS 2201

Dari dua tabel data sederhana yang disajikan di atas ternyata keadaan perumahan
dan pemukiman di Indonesia beragam keadaannya. Memang masih banyak pekerjaan
yang harus dilakukan, namun sama sekali tidak mustahil dan juga tidak menunjang
konsep housing backlog yaitu seakan rumah yang tidak layak bersifat utuh dan berada di
tempat tertentu. Upaya memperbaiki keadaan perumahan dan pemukiman dapat
dilakukan lebih terarah, tepat sasaran, dan dengan biaya lebih ringan serta tidak perlu
dilakukan tersentral, baik di pusat maupun propinsi.

Dasar Dan Arah Menuju Perumahan dan Pemukiman Abad XXI


Dari berbagai uraian di atas, ada beberapa prinsip dasar bagi pengembangan perumahan
dan pemukiman abad XXI yang perlu diperhatikan yaitu:
 Perkembangan penduduk telah menunjukkan kecenderungan yang positif, namun
peningkatan kualitas sebagian besar warga belum mampu menghadapi tantangan dan
peluang yang ada di abad XXI. Mobilitas dan inisiatif warga lapis bawah masih
harus menghadapi banyak halangan dan hampir tidak ada dukungan dari institusi
publik.
 Pengembangan perumahan dan pemukiman tidak boleh dijadikan sebagai tujuan,
melainkan hanya sebagai sarana untuk membangun manusia dan masyarakat yang
tangguh dan handal. Harus diperhatikan pula bahwa membangun perumahan dan
pemukiman bermutu dan canggih dapat lebih banyak menyisihkan warga untuk
dapat meraihnya.
 Harus dipertimbangkan dan dimanfaatkan kaitan erat perkembangan perumahan dan
pemukiman dengan perkembangan kota pada umumnya. Kota secara signifikan

4
Pada data tahun 2001. batas yang dipakai BPS adalah < 19 m2
5
Pada data tahun 2001. batas yang dipakai BPS adalah 20-49 m2
Infrastruktur 241

menjadi baik, produktif, dan kompetitif bila perkembangan yang sama terjadi lebih
dahulu pada pengembangan perumahan dan pemukimannya.
 Dinamika perkembangan perumahan dan pemukiman tidak mungkin dibatasi oleh
batas administratif kota atau kabupaten. Kota, baik besar atau kecil, akan ikut
terpengaruh oleh kegiatan pembangunan perumahan dan pemukiman yang
mengikuti peluang yang ada maupun yang diciptakannya sendiri.
 Makin maju serta berperannya globalisasi dan kemajuan teknologi harus disikapi
positif dan dipakai menjadi dasar penting dalam memajukan kota abad XXI melalui
pembangunan dan pengembangan perumahan dan pemukiman yang memenuhi
syarat dan tuntutan serta peluang yang diberikan abad XXI, tanpa terjebak
kehebatannya yang berdampak negatif terhadap eksistensi warga lapis bawah.
Dengan demikian, pembangunan kota harus terintegrasi dengan pembangunan
perumahan dan pemukiman yang saling terkait dan mempengaruhi. Oleh karena itu, kota
harus ditata sedemikian rupa agar sekitar separo dari kota merupakan kawasan
permukiman bagi semua lapisan masyarakat yang menjalankan dan menghidupkan kota;
sepertiga bagi aspek lingkungan baik hijau maupun air dan udara segar dan sisanya
merupakan kawasan niaga yang intensif dan bermutu tinggi. Sarana kota harus menjamin
manusia yang bermutu sesuai dengan paradigma manusia ketiga yaitu kemanusiaan.
Bagian lama kota yang sebagian besar berupa kawasan perumahan dan pemukiman tetap
harus dijaga, dirawat, dan ditingkatkan kemanfaatan sosial dan ekonominya.

Implikasi Keruangan
Sistem perumahan dan bangunan umum tetap harus mematuhi pola low-rise high
density, artinya bangunan paling tinggi seperti diterapkan di Surabaya adalah 30 lantai
dengan kendali kerapatan melalui KDB dan KLB. Biasanya kawasan dibagi dalam
beberapa blok dan tiap blok hanya ada satu bangunan tinggi. Hal ini beda dengan yang
dilakukan di kawasan Sudirman Jakarta, tetapi umum di kota-kota Eropa baik Inggris,
Perancis, Belanda dan Jerman. Banyak kota di Jepang juga memakai pola ini, kecuali
Osaka dan Tokyo. Penataan seperti itu akan berdampak positif terhadap sistem lalu lintas
dan angkutan umum.
Biasanya makin ke pinggiran kota ketinggian bangunan juga makin berkurang jadi
kota mengikuti pola pyramidal. Dengan demikian, skala manusia (human scale) kota
tetap terjaga dan manusia merasa punya tempat di ruang kotanya yang keruangannya
terbagi lebih merata dan terkendali dengan baik. Juga ruang terbuka dapat lebih mudah
diadakan.
Di kota perumahan berlantai banyak merupakan keniscayaan. Kawasan perumahan
berada di tengah blok, sehingga bagian yang ada di tepi jalan dengan nilai ekonomi
tinggi diperuntukkan bagi bangunan komersial. Di belakangnya ada perumahan bagi
berbagai lapisan masyarakat.
Ada blok bagi perumahan kelas atas, kelas menengah, dan lapisan bawah. Jadi blok-
blok ini harus ditata dengan memperhatikan nilai ekonominya. Ada blok dengan fasilitas
komersial tinggi, di dalamnya ada perumahan tingkat atas dan seterusnya.
Sebaiknya kota memakai pola grid yang luwes, bukan berdasarkan koridor. Pola
grid dapat diterapkan pula pada kota lama seperti dilakukan di Surabaya. Pola ini lebih
242 Metropolitan di Indonesia

baik dalam membagi kepadatan dan distribusi ruang kota serta kepadatan lalu lintas.
Tiap blok dengan sendirinya dapat dicapai dari berbagai arah sehingga menghindari
konsentrasi lalu lintas seperti yang terjadi pada pola koridor.
Sebaiknya kota, terutama di pusatnya, juga bersifat high-tech, artinya berbagai
perlengkapan kota dilakukan memakai sistem ICT dan low energy seperti penerangan
umum yang memakai enerji dari solar cell dan dikendalikan oleh solar switching.
Demikian pula di bagian kota tersedia hot-spot agar warga mudah melek ICT.
Semua bangunan adalah bangunan cerdas dengan arsitektur yang memakai prinsip
passive low energy. Hal ini bukan lagi merupakan barang mewah dan mahal tetapi sudah
merupakan keniscayaan. Rumah dapat dikendalikan dan diawasi memakai mobile phone
dan sebagainya. Taman harus banyak dan tersebar, namun tidak harus besar sebagai
konsekuensi dari ICT yang membuat manusia makin perlu melakukan sosialisasi dengan
sesamanya.
Pelaksanaan tidak harus sekaligus di seluruh kota, tetapi memasuki dasawarsa kedua
abad ini tiap kota punya kawasan model yang sudah memakai prinsip di atas. Kecepatan
penyebaran dari model ini diserahkan pada kemajuan sosial-ekonominya.

Penutup
Masih ada beberapa catatan penutup yang perlu dikemukakan. Pertama adalah bahwa
tidak mungkin dikemukakan atau ditemukan satu resep atau konsep umum yang dapat
dipakai untuk menyelesaikan masalah perumahan dan pemukiman yang dapat
diberlakukan bagi dan pada semua kota di Indonesia. Kota di Indonesia dapat dan harus
dikonsepsikan sebagai kawasan bermukim yang handal, berkepribadian, dan mampu
memajukan kemanusiaan warganya. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
dilakukan sebagai pilihan yang bijak serta terpadu dengan kepribadian dan kekhasan
lokal dari tiap-tiap kota. Pengembangan perumahan dan pemukiman di kota-kota Jepang
dan Perancis dapat menjadi acuan yang menarik. Banyak ahli perumahan, pemukiman,
dan perencanaan kota yang dilatih di dua negara ini pasti dapat memberikan
pemikirannya dalam mengembangkan perumahan dan pemukiman Indonesia siap berada
di abad XXI bersama kota-kota lain di dunia dalam jejaring yang terbentuk makin erat.

RUANG TERBUKA HIJAU

Pendahuluan
Pembangunan ruang terbuka kota harus merupakan pertimbangan dan perhatian
pengelola kota, terutama para arsitek lansekap, para pemakai, serta publik umumnya.
Beberapa studi menemukan bahwa persyaratan untuk dapat menyediakan ruang-ruang
terbuka yang baik, tak hanya hijau/ taman, tetapi juga plasa dan bentuk-bentuk ruang
terbuka kota lain, adalah dengan mengikuti apa yang merupakan kebutuhan publik kota
tersebut. Kebutuhan dalam ruang terbuka termasuk berbagai pertimbangan yang
mungkin persyaratannya berbeda-beda, seperti perlunya kenyamanan dan relaksasi,
privatisasi ruang publik, dan pengurangan kemungkinan konflik antar pengguna pada
masing-masing tipe ruang terbuka kota tersebut.
Kota memerlukan pengelolaan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi
kebutuhan penduduknya untuk kualitas hidup yang baik. Karena karakteristiknya yang
Infrastruktur 243

khas, maka kota memerlukan kebijakan kepemerintahan pengelolaan lingkungan hidup


(PLH) yang baik (good environmental governance) guna mempertahankan kualitas
fungsi lingkungan hidup secara optimal yang salah satu cirinya adalah tersedianya ruang
terbuka hijau (RTH) yang mencukupi.
Akibatnya terjadi perubahan bentuk kota-kota yang beranekaragam baik karena
pengaruh tata nilai kemanusiaan lokal, regional, maupun internasional, pertimbangan
akan eksistensi ruang-ruang terbuka termasuk di dalamnya RTH menjadi semakin
mendesak, walaupun diakui bahwa kriteria penentuan bentuk, lokasi, dan mutu RTH
masih terus-menerus memerlukan pengkajian (Haeruman 1996).
Penataan RTH kota yang menyebar rata di seluruh kota merupakan upaya
meningkatkan kualitas lingkungan pada semua sudut kota. Penataan kembali struktur
kota yang menyeimbangkan antara kawasan terbangun dan tidak memerlukan ‘gerakan
penghijauan kota’. Di Eropa, gerakan ini diilhami konsep Kota Taman yang
dikembangkan Ebenezer Howard di Inggris (1989) dalam bukunya ’The Garden Cities
of Tomorrow’ yang muncul akibat kondisi lingkungan Kota London yang memburuk.
Konsep ini segera diikuti oleh kota-kota besar lain di Eropa yang kualitas lingkungannya
pun terus menurun akibat digalakkannya industri pada akhir abad XIX tersebut yang
ternyata menimbulkan polusi. Upaya utama untuk ’memerangi’ polusi ini adalah melalui
penataan kota terutama di kawasan permukiman dengan menyediakan ruang-ruang
terbuka yang ’hijau’ sebagai ventilasi kota sekaligus untuk rekreasi dan sosialisasi warga
kotanya. Diyakini bahwa RTH sebagai bagian dari sistem tata ruang kota mampu
meredam berbagai dampak negatif akibat kegiatan manusia yang melampaui daya
dukung dan daya tampung lingkungan sekitarnya. Dalam rangka memperbaiki kualitas
lingkungan hidup kota, Francis (2003) seorang arsitek dan kawan-kawan nya (Steve
Carr, arsitek; Leanne Rivlin, ahli kejiwaan lingkungan; Andrew Stone, planolog)
mengusulkan tiga dimensi perencanaan ruang publik yang baik, yaitu: (1) responsif
terhadap kebutuhan pemakai; (2) persamaan hak (akses untuk semua, demokratis), dan
(3) mampu menjadi berarti bagi komunitas lain atau sosial masyarakat lain yang lebih
luas.

Permasalahan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, timbulnya permasalahan lingkungan di wilayah
perkotaan diakibatkan oleh tidak tersedianya ruang karena penduduk terus bertambah,
sedang ruang relatif tetap. Demikian pula yang terjadi di wilayah perdesaan, apalagi
yang berbatasan dengan kota-kota besar. Perdesaan menjadi sasaran penguasaan lahan
sebagai limpahan pemenuhan kebutuhan akan ruang berakibat pada semakin
menurunnya fungsi lingkungan secara umum.
Dapat dilihat pada GAMBAR 6 - 12 di bawah ini suasana perdesaan di Bali dan biasa
ditemukan juga di Jawa Barat, tempat kehidupan tradisional biasa berlangsung yang
menunjukkan adanya sistem pekarangan yang dikelola sedemikian rupa sehingga
buangan (di sini kulit beras atau ’dedak’ dan ’menir’ hasil ’tampian’) sengaja
dimasukkan ke dalam proses kehidupan yang memerlukan masukan energi dari daur-
ulang buangan yang dibantu pula oleh adanya mikroba.
244 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 6 - 12 Upaya daur-ulang dalam sistem taman


pekarangan yang memanfaatkan ’limbah’ untuk budi daya
ikan di perdesaan Bali
Sumber: Hill. 1995

Penduduk kota sebenarnya masih mungkin menerapkan sistem kehidupan semacam


itu, tentu dalam skala yang lebih kecil sehubungan dengan ’kavling’ kota yang juga
terbatas. Bahkan penduduk kota di Eropa, misalnya, yang biasa tinggal di rumah susun
sangat merindukan untuk bisa ’menyentuh alam secara langsung’. Oleh karena itu,
pemerintah kota khusus menyediakan suatu ruang khusus untuk bertani, yang disebut
’allotments’ disewa dengan kontrak sekian tahun hingga tiap musim panas mereka masih
berkesempatan untuk ’bertani’.
Sketsa ’sustainable (eco) house’ semacam yang disajikan di GAMBAR 6 - 13.
ditinjau dari sistem ’daur ulang’ dan efektivitas pemanfaatan sumber daya alam (SDA)
adalah merupakan ”rumah tinggal ideal”. Sangat mungkin diterapkan secara penuh di
wilayah pinggiran kota (suburb) atau di perdesaan. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan
hidup sehari-hari penghuninya terutama persediaan makanan sehat dalam lingkungan
(udara, tanah, dan air) dari sistem pertanian yang bersih, segar, bebas pengawet kimiawi
akan selalu tersedia. Kecenderungan ’back to nature’ semacam ini sudah benar-benar
dipraktekkan di negara-negara yang sudah mapan, khususnya di Jerman. Mereka pun
bekerja dengan teknologi dan komunikasi elektronik (website) tanpa harus berdesakan
dalam lalu lintas macet. Kecenderungan hidup dalam sistem ‘eco-house’ semacam ini
sudah menjadi bagian kehidupan orang-orang Barat, seperti orang-orang kota yang
sekitar dua dekade ini justru pindah ke kawasan perdesaan menghindari polutan,
kebisingan, dan hiruk pikuk perkotaan menuju kawasan perdesaan, kemudian
membangun sistem kehidupan secara subsisten.
Infrastruktur 245

GAMBAR 6 - 13 Sustainable Eco-House


Sumber: Cutler 1983
Kota metropolitan adalah mutlak harus ada pengelolaan terpadu air limbah (sewerage
system) dan sampah padat sehingga kalau mungkin menjadi ‘zero-waste’ dari sumbernya
sehingga volume sampah padat tidak menumpuk di TPAS atau TPS. yang menjadi
pemborosan ruang dan ongkos.

Masalah Khusus di Lingkungan Perkotaan


Kemacetan lalu lintas adalah akibat jumlah kendaraan bermotor berbahan bakar fosil/
BBF, terutama kendaraan bermotor milik pribadi yang melebihi kapasitas jalan,
menyebabkan polusi udara; kondisi udara yang mengandung satu atau lebih zat kimia
dalam konsentrasi yang cukup tinggi sehingga menyebabkan gangguan pada makhluk
hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) maupun benda mati (karat, kotor, rusak). Akibat
langsung dari polusi adalah menurunnya kesehatan dan secara tidak langsung akan
menurunkan produktivitas serta potensi ekonomi masyarakat pada umumnya. Banyak
pula bagian tanaman di Jakarta yang sudah mengandung zat timbal (Pb) akibat
penjerapan maupun penyerapan.
Kontribusi pencemar udara yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor
(khususnya timbal) mencapai 60-70 persen, sedangkan industri ’hanya’ sekitar 10-15
persen; sisanya berasal dari kegiatan lain, seperti dari rumah tangga, pembakaran
sampah, dll. (Purnomohadi. 1994). Zat pencemar karbon monoksida (CO) bersumber
dari kendaraan bermotor adalah yang terbanyak. Namun, hendaknya tak
dipertimbangkan hanya dari jenis dan total emisi serta sumber per tahun semata-mata,
yang penting bagi dasar penanggulangan dan pengendalian pencemaran udara adalah
harus dipertimbangkan pula dampak negatif (bahaya) tiap jenis zat pencemar khususnya
terhadap kesehatan manusia. Misalnya, Sulfur dioksida (SO2) dan partikulat (SPM)
ternyata memiliki jumlah yang tinggi (sangat nyata), sedangkan karbon dioksida (CO2)
justru paling rendah dari lima zat pencemar tersebut (Anies 2002).
246 Metropolitan di Indonesia

Kewenangan pemantauan kualitas bahan bakar diberikan kepada kantor


Kementerian Negara Lingkungan Hidup (selain kepada Dirjen Minyak dan Gas Bumi)
melalui Permen KLH No. 1/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerjanya. Bekerja sama
dengan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, KLH telah melakukan kegiatan
pemantauan kualitas bahan bakar di Indonesia dengan objek pemantauan bensin
premium dan minyak solar di 20 kota (Indonesian Fuel Quality Report, 6 Sep 2006).
Upaya ini dilakukan untuk mengendalikan kualitas udara kota sehingga emisi
hidrokarbon (HC) maupun sulfur (SOx) akan menurun serta mendorong industri
otomotif untuk memproduksi kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Dilaporkan bahwa dibandingkan tahun 2005 lalu maka tahun ini (2006) terdapat
penurunan tajam kandungan zat pencemar timbal di udara, dari 0,133 gram/liter menjadi
0,038 gram/liter, berarti ada penurunan sebesar 0,095 gram/liter atau setara 71,43 persen.
Apabila bahan bakar sudah bebas timbal, maka untuk mengurangi emisi gas buang
kendaraan sampai 90 persen perlu dengan dilengkapi catalytic converter. Untuk bahan
bakar solar terdapat penurunan kandungan belerang dari 2950 ppm di tahun 2005
menjadi hanya 700 ppm di tahun 2006 yang berarti turun 76,3 persen. Terdapat
hubungan erat antara belerang ini dengan partikulat (PM); kandungan belerang dari 500
menjadi 30 ppm akan menurunkan emisi partikulat menjadi 7 persen. Terdapat pula
pengaruh negatif akibat emisi nitrogen oksida (NOx) maupun karbon monoksida (CO)
yang bila terhirup, sangat cepat mengikat oksigen dalam cairan darah sehingga bisa
menyebabkan orang mati lemas; kedua bahan tersebut tidak berbau dan tidak berwarna.
Dampak negatif berupa bahaya terhadap kesehatan ini penting untuk diinformasikan
kepada masyarakat.
Pencemar udara menimbulkan gangguan kesehatan, menyebabkan rangsangan atau
pencetus timbulnya sejumlah penyakit terutama terhadap kelompok yang rentan, seperti
bayi dan balita, manula, dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang biasanya
termarjinalkan ke dalam lingkungan perumahan yang buruk. Penyakit pernapasan
menahun (bronkhitis, asma, dan emfisema paru), selain disebabkan oleh asap rokok juga
karena adanya partikulat asam sulfur, nitrogen oksida, dan seterusnya. Di Amerika
(penelitian tahun 70-an), bronkhitis kronik menyerang satu di antara lima orang laki-laki
berumur 40-60 tahun sehubungan dengan asap rokok dan udara tercemar kota. Banyak
penemuan berupa kelainan fisiologis kehidupan manusia dapat dilihat lebih dini sebelum
tanda-tanda penyakitnya benar-benar muncul atau dapat dirasakan. Hal ini penting untuk
mengambil segera langkah-langkah penanggulangannya (Anies 2002).
Tindakan sedini mungkin, sangat perlu diupayakan sebelum satu atau lebih jenis
penyakit menjadi wabah bagi masyarakat umum (menjadi endemic dan atau pandemic).
World Health Organization (WHO) dalam ’Inter-regional Symposium on Criteria for Air
Quality dan Method of Measurement’ telah sepakat menetapkan tingkat konsentrasi
polusi udara dalam hubungan dengan kesehatan manusia dan lingkungan sebagai berikut
(Anies 2002, dimodifikasi):
Tingkat I : Konsentrasi rendah dan tidak (belum) ditemuinya akibat langsung
maupun tidak;
Tingkat II : Konsentrasi yang mungkin sudah ditemui iritasi pada alat pancaindera;
batasan penglihatan atau akibat lain yang berbahaya bagi lingkungan
(misal sudah membahayakan tumbuh-tumbuhan) disebut adverse level;
Infrastruktur 247

Tingkat III : Konsentrasi yang mungkin sudah menimbulkan hambatan pada fungsi-
fungsi fatal dan vital serta mungkin dapat menimbulkan penyakit
menahun atau umur pendek (serious level);
Tingkat IV : Konsentrasi yang mungkin sudah menimbulkan penyakit akut atau
kematian pada golongan populasi yang peka (emergency level).
Bahaya pencemaran udara tersebut di atas terutama yang berkaitan dengan
kesehatan manusia juga akan berpengaruh langsung terhadap media lain, yaitu air dan
tanah. Sebagaimana diketahui bahwa di bumi ini terdapat siklus alam yang terus
berlangsung dalam proses alami maupun buata,n kualitas udara yang buruk atau semakin
menurun akibat pencemaran udara secara langsung maupun tidak, akan menyapu barang
atau tumbuhan di atas permukaan tanah melalui aliran atau curahan air hujan masuk ke
dalam sistem hidrologi maupun struktur tanah di bawah permukaan. Apabila
pencemaran udara dapat dikendalikan atau konsentrasinya dapat semakin diturunkan
maka pencemaran terhadap media lingkungan yang lain juga akan berkurang. Sudah
dibuktikan oleh banyak peneliti bahwa unsur hijau tanaman, apalagi bila peletakannya
dapat dirancang dengan baik (pengisi taman, taman hutan kota, ataupun sekadar padang
rumput) akan mampu mereduksi zat pencemar udara tersebut.

RTH sebagai suatu sistem


Keberadaan RTH dalam kota sangat penting ditinjau dari segi ekologis, ekonomis,
edukatif, dan estetika (TABEL 6 - 9). RTH dapat berfungsi sebagai:
• Fisik/bio-ekologis: pembentuk iklim mikro (udara kota biasanya lebih hangat 2-3
derajat celsius dibanding wilayah perdesaan pinggirannya) dan keseimbangan
lingkungan hidup
• Sosial-ekonomi-budaya: Produktivitas (sumber makanan, bahan baku industri),
pendidikan, terpeliharanya tata-nilai (etika) kemanusiaan, dan sebagainya.
• Estetika: Asri, konservasi pengkayaan plasma nutfah, pendidikan lingkungan,
sumber inspirasi (rekreasi), dan untuk bersosialisasi antaranggota masyarakat.
Secara umum tanaman dalam berbagai jenis RTH akan:
• Menjamin ketersediaan oksigen dalam proses asimilasi alami (photosintesis dan
respirasi).
• Menciptakan iklim yang sehat dan ‘bebas’ polusi karena keseimbangan lingkungan
terpelihara.
• Menciptakan suasana teduh, nyaman, bersih, dan indah.
• Mengendalikan tata air secara optimal.
• Menyediakan sarana rekreasi dan wisata kota yang ‘terjangkau’.
• ‘Lokasi cadangan’ untuk sistem sanitasi kota.
• Sebagai sarana penunjang pendidikan dan penelitian.
248 Metropolitan di Indonesia

TABEL 6 - 9 Tipologi Ruang Terbuka Kota


Tipe/sub Tipe Ruang Keterangan
Terbuka
1 TAMAN UMUM (Public Parks)
Taman Umum (Central) Ruang terbuka yang dibangun dan dikelola umum sebagai bagian dari sistem zona
ruang terbuka kota; ruang terbuka yang penting bagi kota dan sekitarnya seringkali
lebih luas dari taman lingkungan

Taman Kota Tua Taman hijau dengan rerumputan dan pepohonan yang terletak di kawasan Kota
(Perdagangan Down Tua (downtown); bisa tradisional, taman bersejarah, maupun ruang terbuka yang
Town) baru dibangun

Umum (common area) Sebuah area hijau yang luas dibangun di kota-kota tua dimanfaatkan untuk
bersantai.

Taman Lingkungan Ruang terbuka di lingkungan permukiman yang dibangun dan dikelola publik
(neighborhood) sebagai bagian dari zonasi ruang terbuka kota-kota atau sebagai permukiman yang
dibangun oleh privat (swasta); bisa termasuk taman bermain atau olahraga.

Taman Mini (Vest pocket) Taman kota yang relatif kecil dibatasi oleh dinding-dinding gedung; bisa termasuk
air mancur atau perlengkapan dekorasi air mancur.
2 SQUARES dan PLAZAS
Central Square Square dan Plaza seringkali sebagai bagian dari pembangunan taman sejarah di
pusat kota; bisa ditanami secara formal atau sebagai tempat bertemu atau jalan
secara teratur dibangun dan dikelola oleh pemerintah.

3 MEMORIALS
Tempat umum untuk mengenang orang atau kejadian, baik skala lokal maupun
nasional
4 MARKETS
Ruang terbuka atau jalan yang digunakan oleh petani untuk berjualan atau pasar
lokal, seringkali hanya sementara, hanya ada pada waktu-waktu tertentu pada
ruang yang ada, seperti taman, jalan-jalan di kota tua, atau di lokasi parkir.

5 JALUR-JALUR JALAN (Streets)


Jalur Jalan Bagian kota tempat orang bergerak dengan berjalan kaki; biasanya jalur samping
pedestrian jalan dan jalur jalan yang direncanakan atau ditemukan
Pedestrian Mall Jalan ditutup dari lalu lintas kendaraan, disediakan kenyamanan bagi pejalan kaki
seperti bangku-bangku, jalur-jalur tanaman; seringkali terletak di jalan utama di
kawasan kota tua
Transit Mall Pembangunan transit untuk umum menuju kota tua sebagai pengganti tradisional
pedestrian mall.
Jalur lalu-lintas Jalan Jalur jalan dipergunakan sebagai ruang terbuka; kendaraan dilarang masuk.
Terbatas Termasuk peningkatan pedestrian, peningkatan dan pelebaran jalur jalan, tanaman
tepi jalan
Tapak Jalur Jalan-Jalan Menghubungkan bagian-bagian kota melalui tapak-tapak (trails) pedestrian yang
Kota (Town trails) terintegrasi. Pemanfaatan jalan dan ruang terbuka yang direncanakan untuk
pelajaran atau pelatihan lingkungan hidup, beberapa sengaja dirancang untuk
petualangan (marked trails)
Infrastruktur 249

Tipe/sub Tipe Ruang Keterangan


Terbuka

6 TAMAN BERMAIN (Play ground)


Taman Bermain Taman bermain yang terletak di lingkungan perumahan; seringkali termasuk
sarana (perlengkapan) permainan tradisional seperti papan luncur dan ayunan,
kadang termasuk perlengkapan taman seperti bangku-bangku untuk orangtua.
Dapat juga termasuk perancangan inovatif seperti taman bermain petualangan
Halaman sekolah Halaman sekolah sebagai area bermain; beberapa dimanfaatkan sebagai lokasi
untuk pengenalan dan pembelajaran tentang lingkungan atau dapat digunakan pula
untuk ruang pertemuan warga.
7 RUANG TERBUKA KOMUNITAS
Taman Warga Dirancang untuk ruang lingkungan permukiman; dibangun dan dikelola oleh
penduduk lokal pada lahan tidur (kosong). Termasuk taman pasif yang untuk
dilihat saja, area bermain, dan kebun bersama. Sering dibangun di atas lahan
pribadi. Secara formal tidak dilihat sebagai bagian dari sistem ruang terbuka kota
sebab sangat mudah dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti dibangun untuk
perumahan atau sebagai areal komersial
8 Jalur hijau &Taman Jalur rekreasi dan area alami yang saling berhubungan melalui jalur jalan kaki atau
Jalur Hijau Linier jalur sepeda.
9 Daerah Kota Alami Daerah tidak dibangun (alami, liar) di dalam atau dekat kota untuk pendakian dan
(liar/Wilderness) rekreasi. Sering menyebabkan konflik antar rekreasi dan konservasi ekologi
10 ATRIUM / PLASA DALAM BANGUNAN
Atrium Ruang interior pribadi yang dibangun sebagai ruang atrium dalam; plaza yang
tertutup (dapat dikunci) atau jalur pedestrian sebagai bagian dari sistem ruang
terbuka. Di beberapa kota atrium dibangun dan dikelola secara pribadi sebagai
bagian perkantoran baru atau bangunan komersial
Pasar/pertokoan Kota Tua Interior area perbelanjaan pribadi biasanya berdiri atau rehabilitasi gedung lama.
bisa terdiri dari ruang dalam atau luar; kadang dinamakan ’pasar festival’.
Dibangun dan dikelola sebagai bagian perkantoran baru/bangunan komersial
11 RUANG-RUANG LINGKUNGAN PERMUKIMAN
Ruang Aktivitas Harian Ruang terbuka yang bisa diakses publik seperti sudut jalan dan tangga menuju
bangunan yang dapat diakui dan dimanfaatkan oleh semua penghuni
Ruang Permukiman Ruang terbuka yang bisa diakses publik seperti sudut jalan atau lahan terbuka,
dekat permukiman bisa juga kosong atau tidak dibangun di lingkungan
permukiman atau di lapangan kosong, sering dipakai oleh anak-anak, remaja, dan
penduduk lokal
12 TEPI AIR (Waterfront)
Tepi air, pelabuhan, pe- Ruang terbuka sepanjang jalur air di dalam kota
sisir, tepi sungai, darmaga,
tepian danau .

Sumber: Francis. 2003


Catatan: Istilah Park diterjemahkan sebagai Taman
250 Metropolitan di Indonesia

(1) Pentingnya Penataan Taman Lingkungan Mulai dari Unit Terkecil Tingkat
Kelurahan sampai ke Lingkungan Kota
Berbagai program pemerintah maupun masyarakat, seperti gerakan penghijauan dan
rehabilitasi lahan, termasuk penghargaan Adipura dalam Program Bangun Praja,
dimaksudkan untuk membentuk kondisi lingkungan yang baik untuk kehidupan,
khususnya bagi manusia penghuninya. Pada hakikatnya perbaikan kualitas lingkungan
harus dimulai dari diri sendiri, anggota keluarga dalam zona lingkungan permukiman.
Perlu dicermati pemilihan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan habitus, fungsi, dan
skala ruang yang ada.
Sebagai negara kepulauan beriklim tropis lembab maka faktor pohon lindung untuk
melindungi dari sinar matahari, angin dan polutan yang berupa pohon dengan tajuk
(kanopi) lebar dan berdaun relatif kecil (transparan) merupakan unsur RTH yang mutlak
harus ada. Oleh karena lahan untuk ditanami pohon ini sangat terbatas (terutama di
permukiman ’padat dan kumuh’), sangat diperlukan inovasi dan kreasi khusus agar
tujuan perencanaan taman maupun penanaman tanaman individual tercapai. Penentuan
perletakannya pun harus ditentukan dan mengacu pada perencanaan RTH Kota dan bisa
dilaksanakan masing-masing oleh masyarakat; merupakan kegiatan masyarakat lokal
sendiri. Dengan demikian, masyarakat akan merasa ikut memiliki dan dengan sendirinya
akan bertanggung jawab untuk memelihara keberlanjutan hidup berbagai tanaman
peneduh yang biasanya ditanam di lahan umum untuk kepentingan bersama. Pimpinan
masyarakat dapat langsung memantau di lapangan pada daerahnya masing-masing dan
cukup sebagai fasilitator saja.
Terdapat beberapa teknik penanaman yang sedikit berbeda bagi pohon pelindung
dan bentuk-bentuk tanaman lain (yang pertumbuhannya relatif lebih rendah dari
pepohonan). Degradasi ketinggian dapat diatur sedemikian rupa; dari rumput, penutup
tanah, semak, perdu sampai pohon, sehingga menghasilkan suatu karya seni yang indah
dan fungsional tentu akan menyenangkan dan yang penting menyehatkan penghuni yang
hidup di lingkungan tersebut.
Seringkali ditemui dan nampaknya akan lebih sulit bila mengelola taman
pekarangan di atas ruang yang relatif sempit. Namun, apabila direnungkan dan diamati
lebih dalam maka menata ruang sempit di kota justru relatif mudah dalam arti energi
yang dibutuhkan lebih sedikit, hanya diperlukan sedikit kreativitas, ide, dan inovasi
teknis, misalnya dalam perancangan serta kejelian pemakaian jenis tanaman yang ’tahan’
terhadap ’ruang yang sempit’ dan kondisi kurang cahaya matahari langsung. Jenis
penutup tanah, apalagi rumput, umumnya sangat memerlukan sinar matahari langsung,
namun tetap ada jenis yang ’kuat’ di keteduhan, misalnya jenis rumput paitan (carpet
grass), sebagai ’lawan’: rumput embun, rumput manila (Zoysea matrella) yang sangat
perlu sinar matahari penuh.

(2) Fungsi Tanaman


Metode pengendalian polusi di kawasan perkotaan khususnya terhadap media
lingkungan yang penting agar tidak menimbulkan masalah kesehatan secara langsung
dan tepat, seharusnya ditargetkan pada sumbernya. Misalnya: Penerbitan Peraturan
Perundang-undangan dan pelaksanaannya (dan penegakkan hukum yang konsisten),
antara lain terkait dengan penataan ruang, rasionalisasi antara jumlah kendaraan
Infrastruktur 251

bermotor, industri dan pembangunan sarana berbentuk struktur fisik (seperti bangunan,
pabrik, jalur lalu lintas, dan lain-lain) seharusnya berbanding rasional dengan daya
dukung dan daya tampung ruang kota yang ada, atau diperlukan inovasi teknologi yang
dapat diterapkan. Namun, yang tak kalah penting, adalah upaya tidak langsung melalui
pembangunan berbagai macam (tipologi) RTH dengan elemen pokok tanaman, yang
menyebar merata ke seluruh pelosok kota sebagai penyeimbang ”ruang terbangun”
tersebut. Taman rumah (pekarangan, halaman, kalau ada) sampai taman lingkungan,
adalah aspek penting bagian RTH yang kegunaannya bagi pemenuhan kebutuhan dasar
penduduknya khususnya bagi kesehatan fisik dan mental serta kesejahteraan sangat
nyata.
Diskusi tentang eksistensi RTH ini amat penting dan harus terus-menerus dilakukan
dan kualitasnya pun agar selalu ditingkatkan terutama pada skala rumah tangga.
Pembahasan tentang multifungsi tanaman sebagai produsen primer sudah diajarkan sejak
tingkat SD bahkan TK. Namun demikian, disayangkan bahwa untuk proses pemahaman
selanjutnya, terutama praktek lapangan, pengetahuan dasar tentang eksistensi kehidupan
primer yang amat penting bagi kehidupan ini justru semakin jarang diingat apalagi
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan dasar tentang habitus jenis tanaman tertentu perlu diperhatikan agar
dapat tercapai hasil perancangan sesuai yang diimajinasikan, antara lain:

Kebutuhan RTH di Masa Depan


Pada waktu jumlah manusia di kawasan perkotaan tidak sebanyak sekarang, Ruang
Terbuka Hijau (RTH) kota belum banyak didiskusikan karena lingkungan hijau alami
secara nyata ada di sekeliling kehidupan manusia di mana pun ia berada. Kemudian
peradaban termasuk kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta teknologi terus
berkembang, demikian pula jumlah manusia di dunia sehingga manusia hidup
bersosialisasi membentuk berbagai jenis permukiman dalam ukuran relatif kecil, seperti
lingkungan perdesaan yang paling ’hanya’ terdiri dari sekelompok orang dari sekitar 10
keluarga ke ukuran menengah yang disebut lingkungan kota (kecil, sedang, besar)
sampai ke metropolitan, megalopolitan yang jumlah penduduknya sampai berjuta-juta
seperti New York, Beijing.
Taman, apa pun nama, ukuran maupun bentuknya, sesuai fungsinya mulai dari
pekarangan sampai taman umum adalah bagian lingkungan alami di perkotaan yang
dikenal sebagai RTH di perkotaan. RTH menjadi suatu unsur penting untuk
keberlangsungan kehidupan manusia khususnya sebagai penyeimbang unsur bangunan
(struktur) di lingkungan perkotaan. Dalam kehidupan yang penuh tekanan di lingkungan
perkotaan, tamanlah yang mampu memenuhi kebutuhan naluri kemanusiaan agar tetap
dapat meneruskan kehidupannya secara berkualitas lahir dan batin. Dengan semakin
terbatas serta mahalnya nilai lahan perkotaan, satu-satunya hak milik yang masih bisa
dinikmati sebagai ruang perlindungan kehidupan ini adalah taman rumah atau garden
yang mungkin hanya berupa pot-pot berisi tanaman yang sengaja disusun di sekitar
tempat tinggal kita, termasuk di teras-teras (terrace/roof garden) di antara ruang-ruang
sisa di rumah susun yang mulai banyak dibangun di lingkungan kota (khususnya
Jakarta).
Untuk memenuhi kerinduan akan dunia alami yang sangat penting guna menunjang
semangat (spirit) hidup manusia kota, sangatlah penting bila tiap orang mampu bersikap
252 Metropolitan di Indonesia

efektif dan seoptimal mungkin memanfaatkan ruang yang masih ’tersisa’ seberapa pun
sempitnya, baik di sekitar tempat tinggal maupun (mungkin) di dalam rumah. Kalau
ternyata memang ruang sisa ini terlalu sempit sehingga tidak mungkin menciptakan
ruang hijau, maka pasti dengan tetangga terdekat bisa disatukan sisa-sisa ruang itu untuk
kepentingan bersama.
Kebutuhan akan RTH pada berbagai tipe ekologi (kawasan perdesaan, perkotaan,
dan daerah alami) akan berbeda-beda. Bagi kota Jakarta misalnya, berdasar RTRW
tahun 2010 target luas ‘Hijau Binaan’ adalah 9.204,01 hektar. Setelah dikurangi taman
permakaman, penghijauan pulau, dan budi daya tTanaman (urban agriculture), RTH
yang berada di bawah wewenang Dinas Perrtamanan hanya seluas 4.611,91 hektar. RTH
kota ini seharusnya dipelihara dan dipertahankan keberadaannya, mengingat fungsi
pokoknya dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup. RTH kota juga merupakan
aset, potensi, dan sekaligus investasi jangka panjang.
Pada dasarnya manusia sebagaimana makhluk hidup lain sangat membutuhkan air
sebab jumlah air dalam sel akan menentukan keadaan sel dan jaringan. Apabila tubuh
kekurangan air atau cairan (dehidrasi), orang bisa meninggal sebab protoplasma dalam
sel akan kekurangan cairan sehingga bisa hancur. Melalui berbagai jenis tanaman yang
menyebar dalam berbagai RTH kota sesuai fungsinya, air mampu ditahan baik secara
fisiologis (dalam tanaman itu sendiri, melalui proses fisiologis mikro, yaitu respirasi,
transpirasi, dan fotisintesis) maupun secara ekologis. Penyebaran vegetasi secara bio-
geography juga ditentukan oleh kandungan air yang ada dalam media lingkungan (tanah,
udara, dan badan air) serta menentukan pula jenis dan penyebaran vegetasinya.

Tantangan
Lahan permukiman di kawasan perkotaan semakin lama menjadi semakin sempit akibat
selalu bertambahnya penduduk. Harga lahan menjadi relatif makin tinggi sehingga
semua ruang yang ada dimanfaatkan seoptimal mungkin bahkan pembangunan ke arah
vertikal sudah menjadi keharusan. Disayangkan bahwa mereka yang sebenarnya masih
mampu dan berpeluang menata ruang permukimannya lebih seimbang, artinya unsur
terbangun seimbang dengan unsur alami pendukung kehidupan, tidak mau menyisakan
ruang yang memadai untuk kesehatan manusia di lingkungan permukiman secara
menyeluruh (kompleks perumahan), bahkan ’kavling’ mereka diberi pagar tinggi-tinggi
dengan alasan ’privacy’ dan keamanan.
Taman yang ditata menurut kaidah pokok yang disesuaikan dengan maksud dan
tujuan pembangunannya pasti akan membentuk suasana yang asri, nyaman, dan sehat.
Jumlah penduduk kota di Indonesia yang selalu bertambah juga menyebabkan sumber
kekotoran dan kegersangan semakin bertambah, maka mutlak diperlukan adanya
kawasan ’tidak terbangun’ di kota.
Perancangan lansekap di kawasan permukiman di bagian kota yang amat padat akan
sangat berbeda dengan bagian kota yang relatif luas. Bila diperlukan penataan RTH
dapat dilakukan di sepanjang tepian badan air, seperti sungai, waduk maupun sepanjang
pesisir pantai. Pertimbangan itu ’hanya’ dilihat dari tersedianya ruang saja, belum
dilihat dari faktor pertimbangan lain yang amat penting, yaitu biogeography-nya atau
letak geografis yang secara alami sudah mempunyai karakteristik fisik dan biota tertentu.
Demikian pula bentuk materi pelengkap taman seharusnya disesuaikan dengan kondisi
Infrastruktur 253

lingkungan tertentu misalnya di sepanjang jalur jalan; pot dan tanaman tidak boleh
mengganggu para pengguna fasilitas jalan, khususnya pejalan kaki. Dari skala ’terbatas’
dimulai dari rumah pribadi, ke kompleks perumahan beserta segala sarana-prasarana
kegiatan perkotaan, semuanya mutlak ada ruang terbuka (hijau) yang satu sama lain
saling berhubungan dalam istilah perkotaan disebut: ”Integrated Metropolitan Park
System”

GAMBAR 6 - 14 Nampak penempatan pot tanaman yang tak pada tempatnya

(1) Program Penghargaan Adipura dan Bangun Praja


Kantor Menteri Negara lingkungan hidup sejak tahun 1988 telah berusaha untuk
menjadikan lingkungan kota menjadi sehat, aman dan nyaman serta asri untuk tempat
tinggal dan usaha. Penghargaan Adipura kepada kota-kota yang bersih, teduh, dan
nyaman hanyalah merupakan salah satu program menuju lingkungan perkotaan yang
layak huni dan manusiawi. Upaya meningkatkan kualitas hidup dengan program ini
menunjukkan mulai ada perubahan pandangan manusia terhadap lingkungan hidupnya,
apalagi setelah orang merasakan betapa tingginya biaya yang harus dibayarkan untuk
menanggulangi krisis lingkungan hidup terutama terhadap kesehatan. Artinya, bila kita
tidak mau mengelola lingkungan hidup kita dengan baik maka kita sendirilah yang akan
tertimpa risiko negatifnya, seperti timbulnya wabah penyakit demam dengue, flu burung,
polio, dan lumpuh laya, di samping penyakit-penyakit yang sudah lama melanda kita
akibat sanitasi lingkungan buruk, seperti penyakit kulit (eksim), lepra, malaria, Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA), penyakit pencernaan (TCD), dan lain-lain.

(2) Pengelolaan RTH Kota dan Aplikasinya dalam Program Bangun Praja.
Kegiatan penilaian yang dimulai sejak tahun 2002 semakin meningkat kualitas dan
kuantitasnya. Kriteria penilaiannya pun, karena sifat perkembangan kota yang dinamis,
selalu ditingkatkan. Berdasar pada evaluasi setelah akhir penilaian, khusus sejak tahun
ini (menjelang peringatan Hari Lingkungan Hidup/HLH Sedunia yang biasanya
diselengggarakan di pertengahan tahun tepatnya setiap 5 Juni), diumumkan pula kota-
kota yang dinilai masih belum memperlihatkan kinerjanya atau masih di bawah angka
254 Metropolitan di Indonesia

rata-rata. Dengan demikian, diharapkan agar kota-kota tersebut dapat meningkatkan


kinerjanya.
Lingkungan kota yang berkepadatan tinggi tetap bisa diusahakan agar selalu bersih,
hijau, dan produktif; semua tergantung kepada niat dan partisipasi seluruh anggota
masyarakat untuk mengejawantahkan tuntunan agama bahwa ”kebersihan adalah
sebagian dari iman” dan seterusnya, menjadi perilaku terpuji dalam hidup keseharian.
Kebersihan media tanah, air, dan udara yang menggambarkan kualitas lingkungan hidup
yang sejati merupakan kebutuhan hidup hakiki manusia. Kemampuan untuk mau dan
mampu bekerja sama antar satu anggota masyarakat sedikit demi sedikit agar ”peduli
lingkungan” ini perlu terus dikembangkan. Program-program pemerintah (KLH dan
sektor lain) apa pun namanya, termasuk BP ini hanya lah suatu sarana agar situasi dan
kondisi lingkungan hidup (perkotaan, khususnya) bisa memenuhi kebutuhan manusia
agar bisa hidup sesuai hak asasinya, yaitu lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Program-program yang ada hanya dimaksudkan untuk memicu para pengelola kota
(bersama masyarakatnya) untuk terus-menerus meningkatkan upayanya agar kualitas
lingkungan hidup dapat terus ditingkatkan, diperbaiki, dan bermanfaat bagi
kemaslahatan hidup orang banyak.

Kebijakan yang seharusnya dilakukan


Mengingat kondisi bio-geografi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beraneka-
ragam dan merupakan Negara Kepulauan yang terluas di dunia, maka paradigma
penyelesaian permasalahan lingkungan khususnya RTH kota semakin tidak bisa
diseragamkan seperti kebijakan pembangunan pada masa lalu. Pertimbangan pada
kenyataan akan keanekaragaman fisik, sosial, ekonomi, dan budaya kota-kota di
Indonesia perlu didekati secara spesifik dari lokasi ke lokasi. Apalagi dengan iklim
desentralisasi hendaknya kepemerintahan di daerah dapat lebih mandiri dalam
menerapkan good environmental governance (GEG)-nya.
Meskipun demikian kapabilitas dan kredibilitas sumber daya manusia pada tiap-tiap
daerah sangat perlu mendapat dorongan terus-menerus baik dalam pengelolaan sumber
daya alam maupun hubungan antarmanusianya yang mampu untuk saling bekerja sama
terutama dalam mengembangkan kota-kota secara modern sesuai dengan kebutuhan
lokal yang sebelumnya sudah diidentifikasi terlebih dulu. Pengaruh global termasuk
pentingnya “komoditi ekosistem” dan hak azasi manusia tidak bisa dihindari.
Penampilan kepemerintahan di mana pun di dunia seringkali menyoroti ’perlakuan’ kita
terhadap ekosistem, khususnya upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati
flora dan faunanya. Untuk itulah tiap-tiap negara berusaha pula memperhatikan agar
jangan sampai kerusakan lapisan ozon akibat kegiatan negatif di lapisan atmosfer bumi
ini terkait pula dengan kecenderungan pemanasan bumi. Belum lagi masalah HAM,
pengentasan kemiskinan, dan seterusnya.
Ini berarti pembangunan RTH secara optimal dan meluas harus dijalankan, terkait
dengan penyediaan sumber air dan udara bersih serta tanah yang subur, juga menjadi
kebutuhan penduduk kota metropolitan. Peran masyarakat dalam pembangunan RTH
kota, hendaknya menjadi prioritas utama dengan memperhatikan keanekaragaman
kebutuhan pokok maupun kebutuhan rekreatif dalam berbagai lapisan masyarakat. RTH
yang sudah ada harus dipertahankan secara konsisten dan konsekuen melalui upaya
pemeliharaan yang tepat, sambil meningkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Infrastruktur 255

Permasalahan kebijakan, strategi, dan prospek pembangunan serta pengelolaan RTH


merupakan hal-hal yang harus selalu menjadi bahan pertimbangan pokok agar tujuan
pembangunan RTH dapat dicapai. Berbagai kendala yang perlu diperhatikan adalah
beberapa kondisi dan situasi yang sampai sekarang masih belum dapat diatasi secara
tuntas sebagai berikut:
1 Degradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indonesia (Purnomohadi
1995), sebagai berikut:
(1) meningkatnya suhu media udara di atas kawasan perkotaan,
(2) penurunan muka (aras) air tanah,
(3) pencemaran air tanah,
(4) amblesan permukaan tanah,
(5) intrusi air laut,
(6) abrasi pantai,
(7) suasana gersang (apalagi di musim kemarau, namun sebaliknya banjir di musim
hujan),
(8) suasana monoton, membosankan,
(9) bising, bau, serta kotor.
2 Kurangnya apresiasi akan pentingnya eksistensi RTH sehingga kualitas dan
kuantitas RTH semakin berkurang.
3 Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan dalam Tata Ruang Kota disebabkan
karena lemahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan.
4 Belum adanya pedoman baku manajemen (perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan
serta pengawasan) RTH di kawasan perkotaan yang sesuai dengan paradigma tata
pemerintahan yang baik (good governance).
5 Pemeliharaan RTH juga tidak konsisten dan tidak rutin, termasuk pemeliharaan jenis
tanaman yang sudah tidak sesuai dengan persyaratan ekologis (tua, keropos,
penyakitan atau membahayakan, dan seterusnya) pada tiap-tiap lokasi.
6 Dana yang biasanya terbatas (berhubungan dengan kurangnya apresiasi pada
pentingnya eksistensi RTH) menyebabkan pengelolaan pun tidak tuntas atau tidak
bisa berkesinambungan.
7 Hambatan teknis lain, seperti perluasan lahan akibat benturan kepentingan dalam
fenomena pembangunan perkotaan yang lebih ditekankan pada kepentingan
ekonomi jangka pendek termasuk langkanya ruang untuk pembibitan tanaman
penghijauan.
8 Etika dan estetika khususnya dalam penempatan iklan (papan reklame) yang belum
ditata menurut ‘kaidah’ penataan ‘ruang luar’ yang lebih sesuai dan serasi.
256 Metropolitan di Indonesia

9 Penyediaan ruang khusus untuk sarana dan prasarana khusus perkotaan seperti
adanya taman pemakaman umum (TPU) tempat pengelolaan sampah. Demikian pula
sistem pengelolaan limbah cair (sewerage system) yang belum terpadu.
10 RTH seringkali masih dianggap sebagai lahan tidak berguna dijadikan tempat
buangan (sampah) akhirnya menjadi sarang berbagai vektor penyakit (lalat, nyamuk,
dan lain-lain).
11 Pemahaman serta kesadaran masyarakat akan arti dan fungsi hakiki RTH umumnya
masih sangat kurang.
12 Minimnya fasilitas RTH, khusus bagi kelompok usia tertentu atau bagi para
penyandang berbagai macam kekurangan fisik (dan mental), seperti taman bermain
anak, taman lansia (lanjut usia atau warga usia lanjut/Wulan), serta taman-taman
rekreasi aktif maupun pasif, seperti taman olahraga.
13 SDM yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH juga sangat terbatas, baik
kualitas maupun kuantitasnya.
14 Bentuk kelembagaan untuk pengelolaan dan penyelenggaraan serta pengembangan
dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai ke pengawasan dan pengendalian RTH
dapat dikatakan masih terpilah-pilah ke dalam beberapa sektor yang seyogianya
bekerja secara terkoordinasi, karena tugas pokok dan fungsinya yang hampir
bersamaan bahkan terkait erat seperti Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, Dinas
Kehutanan dan Pertanian, Dinas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Permakaman, Dinas Pasar & Perdagangan, dan instansi lain yang terkait erat, seperti
Pengelolaan Dampak Lingkungan dan lain-lain.

Kelembagaan yang diharapkan


Fungsi dan peran kota sebagai pusat pelayanan bagi penduduk dan daerah sekitarnya
penting diidentifikasi dan kebutuhannya dikenali secara baik. Lingkungan kota harus
aman, produktif, dan sehat sambil melayani berbagai lapisan masyarakat dengan
keinginan berbeda sampai seoptimal mungkin. Pola pembangunan perkotaan baik
ditinjau dari segi sosial-ekonomi dan budayanya yang sesuai adalah yang mengikuti
siklus ekologi alami setempat. Perlu diingat bahwa pembangunan apa pun harus selalu
mempertimbangkan tetap berlangsungnya siklus-siklus alami yang meskipun terganggu
perlu diberi peluang untuk mengasimilasi kondisinya kembali sehingga fungsi
pemanfaatannya pun lestari.
Dalam sistem penataan ruang nasional maka berdasarkan fungsinya kota-kota di
Indonesia dikelompokkan dalam tiga bentuk: (1) Pusat Kegiatan Nasional (umumnya
kota metropolitan); (2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan (3) Pusat Kegiatan Lokal
(PKL, umumnya kota kecil) (Haeruman. 1996). Namun demikian, ketiga bentuk
tersebut berkaitan erat dengan sistem kota dalam kawasan andalan yang didasarkan pada
perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, serta lingkungan hidupnya. Dengan
demikian, maka bentuk kota dan RTH kotanya tidak lagi hanya dikaitkan dengan jumlah
penduduk kotanya tetapi dengan kegiatan-kegiatan antarkota yang terkait tersebut yang
tentu jumlah penduduk yang harus dilayani melebihi jumlah kota tertentu yang soliter
saja.
Infrastruktur 257

Standar koefisien lantai bangunan yang ditetapkan di kota-kota Jepang adalah 70-80
persen sekitar 5 persen dicadangkan untuk kepentingan umum dan 15 persen untuk jalan
permukiman atau untuk fasilitas jalan masuk atau trotoar sebesar 15-20 persen. Dengan
demikian, ruang untuk RTH menjadi nampak lebih luas dan efektif penggunaannya
(Haeruman 1996). Sedangkan di kota-kota besar telah ditetapkan luas RTH seharusnya
diproyeksi sebesar 30 persen dari total luas kotanya. Idealnya pun telah ditetapkan
bahwa seorang warga kota membutuhkan RTH seluas 20-30 meter persegi. Tentu dalam
penetapan luas tapak masih diperlukan studi lebih mendalam antara lain tentang
kebutuhan oksigen serta kebutuhan dasar penduduk umumnya akan sumber daya air,
kebutuhan akan rekreasi, dan lain lain.
Berbagai lembaga (kedinasan) terkait atau pemerintahan daerah hendaknya lebih
banyak berfungsi sebagai penyedia layanan serta berfungsi koordinatif, sedangkan
pengelolaan di lapangan dapat dilaksanakan melalui beberapa skema pengelolaan
maupun kerja sama sistem public private partnership dalam suatu kontrak kerja sama
pelayanan kepemerintahan seperti:
(1) RTH berfungsi sosial pelayanan sebagai bagian dari kawasan penghijauan kota
(fungsi ekologis) mungkin dikelola penuh oleh badan/instansi pemerintah.
(2) RTH yang memerlukan kerja sama dengan mitra swasta, misalnya pengelolaan RTH
(taman) pada kawasan usaha mitra swasta masing-masing.
(3) RTH yang bersifat ‘menjual jasa’ (komersial) dapat dikelola swasta sesuai dengan
peraturan perpajakan (pendapatan) yang berlaku.
(4) RTH dalam skala permukiman dan perumahan individu tentu menjadi tanggung
jawab masing-masing penduduk; hanya bagi anggota masyarakat yang tidak mampu
dapat disubsidi silang atau memperoleh subsidi langsung dengan memberi tanggung
jawab pemeliharaan kepada masyarakat pengguna lokal.
(5) Kemungkinan kerja sama ini masih luas dan dapat dibangun secara khusus terutama
bila menyangkut lahan-lahan produktif untuk taman-taman di kawasan perhutanan
dan pertanian.

Akhirnya kebijakan pengelolaan RTH-kota, khususnya kota metropolitan yang pasti


akan menjadi masalah kompleks, tentu sebaiknya dikelola secara berjenjang sesuai
dengan jenis dan fungsi RTH pada zona tipe-tipe RTH sebagaimana diuraikan pada
TABEL 6 - 9 di atas. Para pengelola kepemerintahan tidak hanya terbatas pada
pemerintah saja tetapi terbuka transparan bagi seluruh penduduk kota tersebut. Oleh
karena itu, perlu penyesuaian sejak awal, yaitu sejak tahap rencana, apa saja kebutuhan
penduduk kota (metropolitan) pada tiap-tiap lokasi perlu dipertimbangkan secara
sungguh-sungguh agar tepat sasaran sebab masyarakat akan merasa ikut memiliki dan
dengan sendirinya karena merupakan suatu kebutuhan, mereka akan ikut
memeliharanya.

Penutup
Dari diskusi dan pengamatan contoh melalui sketsa maupun foto dan gambar yang ada,
secara umum dapat diambil intisarinya bahwa:
1 Semua RTH pada prinsipnya berfungsi ekologis: penyeimbang antara lingkungan
alam dengan lingkungan buatan, yaitu akan berfungsi sebagai ‘penjaga fungsi
258 Metropolitan di Indonesia

kelestarian’ pada media air, tanah, dan udara, serta konservasi sumber daya alam
(keanekaragaman hayati flora dan fauna) dan lingkungan. Di samping bermanfaat
untuk peningkatan kualitas fungsi lingkungan, tanaman bisa dimanfaatkan sekaligus
bagi penambahan (nilai tambah) pendapatan masyarakat.
2 RTH merupakan bagian Sistem Tata Ruang Kota yaitu sebagai ruang terbuka (open
space) tempat berbagai fungsi dapat berlangsung sesuai dengan tujuan perencanaan
maupun perancangannya.
3 Dari batasan ukuran luas, ruang terbuka ini dapat dikategorikan secara sederhana ke
dalam dua kelompok besar yaitu:
(1) Skala mikro: Taman-taman lingkungan permukiman, taman kota antarstruktur
bangunan (luasan terbatas), bisa juga berupa public plazza, dan sebagainya.
(2) Skala makro: Hutan kota, daerah penyangga (koridor atau green belt), sungai
serta SARPRAS wilayah lain (SUTET, rel KA, dan penyangga Jalur Jalan Bebas
Hambatan, Rel KA, dll), kawasan pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dll).
4 Kawasan RTH merupakan keterkaitan hubungan antara bentang alam (landscape)
termasuk pesisir pantai (seascape), atau peruntukan yang sesuai fungsi dengan jenis
vegetasinya.
5 Letak RTH sesuai dengan kawasan peruntukan ruang kota, yaitu:
- Kawasan permukiman berkepadatan tinggi, sedang, dan rendah.
- Kawasan industri.
- Kawasan perkantoran.
- Kawasan sekolah/kampus perguruan tinggi.
- Kawasan perdagangan.
- Kawasan jalur hijau: sungai–waduk/dam-danau, pesisir pantai, pengaman
utilitas.
6 Jenis tumbuhan adalah penutup tanah, semak/perdu, dan pohon (tegakan),
sedangkan kriteria pemilihannya: bentuk morfologi yang bervariasi, bernilai
keindahan, penghasil oksigen tinggi, tahan cuaca dan hama penyakit, peredam
intensif, daya resapan air tinggi, pemeliharaan relatif mudah.

LINGKUNGAN

Pendahuluan
Komitmen untuk meningkatkan pelestarian lingkungan hidup di perkotaan telah
dicanangkan beberapa kali, baik yang berskala dunia seperti Urban Environment pada
Habitat II: Urban Environment6 1996 di Istanbul, Turki, ataupun Millenium

6
Untuk pertama kalinya, secara formal, perlunya pertimbangan pelestarian lingkungan hidup di
perkotaan dipromosikan, mengingat hampir setengah penduduk dunia akan menghuni perkotaan.
Infrastruktur 259

Development Goals (MDG)7 2015 yang dicanangkan tahun 2000, maupun yang berskala
lokal, yang dibuat sebagai Local Agenda 21, State of the Environment (SER) program,
ataupun dalam bentuk partisipasi publik di berbagai sektor kebutuhan dasar. Komitmen
ini pun dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, LSM,
dan bisnis. Di Indonesia, selama hampir satu dekade ini, komitmen terhadap pelestarian
lingkungan hidup di kota metropolitan menghadapi tantangan yang semakin beragam
dan berantai. Dimulai dari tantangan yang selama ini klasik menghantui kota kota besar
di Indonesia, seperti besarnya jumlah penduduk, tingginya migrasi ke perkotaan, tekanan
akibat pembangunan fisik yang intensif, maupun munculnya kelompok miskin
perkotaan. Tantangan tersebut diperberat dengan adanya penyebab yang bersifat
suprastruktural, seperti krisis keuangan 1997, demokrasi, pergantian kepemimpinan,
bencana alam seperti kebakaran hutan, llegal logging, terorisme ataupun kebijakan
kenaikan BBM 2005, yang menuntut fleksibilitas dan perubahan sistem dalam
meresponsnya. Hal ini berakibat semakin beratnya tekanan pada kondisi lingkungan
hidup di kota-kota besar Indonesia. Lingkungan hidup perkotaan di negara berkembang
semula diartikan sebagai unsur dan sistem fisik seperti keberadaan air, udara, tanah,
biomassa, dan ruang terbuka. Dan ‘konsumsi’ dari unsur fisik tersebut, misalnya
digunakannya sungai untuk sumber air, mandi, tempat sampah, memelihara ikan,
seringkali disebut ‘brown environment’. Unsur dan sistem fisik tidak dapat dihindari
mengalami degradasi kualitas dan kuantitas, maka unsur fisik tersebut semakin
kehilangan makna dan arti sebagai lingkungan hidup jika tidak dikaitkan dengan lokasi
permukiman kumuh, rusaknya infrastruktur, penggunaan kendaraan bermotor, kepadatan
bangunan, tingkat kriminalitas, bahkan epidemi penyakit. Tantangan lingkungan hidup
pada metropolitan mencapai hal yang bersifat multiperspektif dan tidak dapat
diselesaikan jika hanya mendorong dilindunginya unsur dan sistem fisik tersebut, tanpa
menyelesaikan persoalan yang terdapat di masyarakat. Bab ini akan mengkaitkan antara
pendekatan arena ruang di kawasan perkotaan yang semakin lama tentu tidak akan
mampu mendukung kehidupan dan kebutuhan penduduknya yang terus bertambah dan
terus ’berkembang’ variasinya, tentu tidak akan pernah bisa memenuhi sebesar apa yang
dikehendaki terutama oleh tiap individu. Di negara-negara tetangga telah dilaksanakan
upaya “penambahan ruang”, seperti Negara Pulau Singapura, sedikit demi sedikit dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terpenting didasari oleh kemauan dan
komitmen seluruh unsur kepemerintahan, terus menambah daratannya terutama ke arah
timur dan selatan, dengan mengimpor media pasir dari Kepulauan Riau. Demikian pula
suatu konstruksi bangunan raksasa (Seven Island project) untuk membendung laut
dengan struktur pulau-pulau kecil di bawah permukaan yang dangkal, telah disatukan
dengan pengurugan sampah padat maupun media tanah dan pasir di bagian selatan pulau
tersebut yang berbatasan dengan Kepulauan Riau, dalam waktu beberapa tahun lagi akan
menjadi daratan sehingga menjadi suatu pulau milik Negara Singapura.

Sebelumnya, lembaga setinggi UN Habitat belum menyatakan bahwa perlindungan lingkungan hidup di
perkotaan dapat dimungkinkan.
7
MDG merupakan salah satu program yang merealisasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan yang
diprakarsai oleh Komisi Brundtland (1986) bahwa pembangunan dapat dijalankan selaras dengan
pelestarian lingkungan hidup.
260 Metropolitan di Indonesia

Persoalan lingkungan hidup di kota-kota besar saat ini dengan peran penataan ruang
sebagai alat untuk dapat memperbaiki kegiatan pelestarian lingkungan hidup, diharapkan
memiliki keterkaitan. Perspektif dalam penataan ruang di metropolitan akan didasarkan
pada integrasi antara keperluan untuk mengakomodasi pembangunan fisik yang
mendukung pelestarian lingkungan hidup. Integrasi ini diharapkan pula tidak lagi
menciptakan ketergantungan pada pemerintah sebagai pengatur pembangunan dan
pelestarian lingkungan hidup, namun juga pihak nonpemerintah terlibat di dalamnya.

Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Metropolitan


Wilayah yang disebut sebagai metropolitan di Indonesia, belum memiliki definisi yang
tegas. Seringkali ditunjukkan dengan kepadatan penduduk, gaya hidup, keragaman sosial
budaya, serta semakin terintegrasinya dengan kegiatan di kota sekitarnya membentuk
suatu luasan metropolitan. Kota seperti Jakarta dengan wilayah pengaruhnya Bodetabek,
Semarang, Yogyakarta (Kertamantul), Surabaya (Gerbangkertosusila), Solo di Jawa atau
Makassar (Mamminasata), Medan (Mebidang), Palembang, dianggap memiliki
karakteristik Metropolitan. Kota ini umumnya memiliki kepadatan penduduk yang lebih
tinggi, dengan tingkat pendapatan yang lebih baik, namun dengan laju pertumbuhan
penduduk yang merendah. Sebaliknya, laju pertumbuhan penduduk umumnya memacu
percepatan pembangunan di kota-kota sekitarnya sebagai akibat dari terlemparnya
aktivitas ekonomi dan permukiman ke kota-kota sekitarnya ini. Kota-kota sekitarnya
meskipun lebih kecil, baik dari luasan maupun penduduknya, memiliki persoalan
lingkungan hidup perkotaan yang semakin seragam dengan kota utamanya.
Kondisi lingkungan hidup (state of the environment) pada kota-kota di Indonesia
telah diukur selama beberapa tahun belakangan ini. Buku seperti Neraca Lingkungan
Hidup rutin diterbitkan oleh instansi (dinas atau badan atau kantor) Lingkungan hidup
menunjukkan kondisi yang ada. Dari tahun ke tahun, kondisi lingkungan hidup tidak
mengalami perbaikan yang berarti. Dari buku State of the Environment Indonesia
2002,yang dibiayai oleh UNEP, akibat dari krisis finansial, kondisi lingkungan hidup
Indonesia mengalami degradasi hampir di semua lini (Meneg LH 2003), dengan illegal
logging menempati urutan teratas. Meskipun terjadi di luar perkotaan, implikasi dari
illegal logging mengubah kondisi lingkungan hidup di perkotaan. Bencana banjir rutin di
Jakarta, terbesar terjadi tahun 2002, salah satunya merupakan akibat dari penggundulan
hutan di hulu sungai. Di beberapa kota di luar Jawa, illegal logging, mengakibatkan
polusi udara. Di antara berbagai unsur dan sistem fisik, kondisi udara mengalami
penurunan yang paling berarti di perkotaan. Dengan kenaikan jumlah kendaraan
bermotor di Jakarta sekitar 5 juta (10 persennya kendaraan umum), mengakibatkan
Jakarta merupakan salah satu kota terkotor di dunia. Polusi udara juga mengakibatkan
munculnya ongkos sekitar USD 400 juta pada perekonomian Indonesia setiap tahunnya
(EIA 2004). Polusi air tetap menjadi sorotan, terutama karena tidak tertanganinya limbah
industri maupun limbah rumah tangga. Di kota Bandung, Sungai Cikapundung secara
rutin menerima sampah rumah tangga. Tidak adanya pelayanan air kotor juga
mengakibatkan sumber air tanah dangkal terkontaminasi. Di Jakarta, kontaminasi air
tanah dangkal yang masih digunakan sebagai sumber air mencapai 70 persen
(Muhammad 2006).
Infrastruktur 261

GAMBAR 6 - 15 Sungai di kota Jakarta

Terjadi perbaikan pelayanan akan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sampah,
jika diamati dengan semakin banyaknya penduduk yang terlayani oleh pelayanan
tersebut. Perbaikan pelayanan akan air bersih dan sanitasi, misalnya, dipicu oleh
banyaknya program kegiatan yang mendorong perluasan pemenuhan kebutuhan tersebut.
Misalnya Program yang dibangun untuk mencapai MDG disektor air bersih
memungkinkan keterlibatan pihak swasta maupun masyarakat. Pelayanan publik, seperti
air bersih, sampah, dan air kotor secara tradisional dilakukan oleh pemerintah secara
terpusat dengan mengasumsikan tingkat kebutuhan rumah tangga. Hal ini menganggap
bahwa pelayanan terpusat merupakan yang paling efisien dan dapat menciptakan standar
pelayanan yang berlaku di mana-mana. Semakin tidak seragamnya kebutuhan warga,
dan semakin tidak seragamnya kondisi dasar masyarakat mengakibatkan model
pelayanan umum yang bersifat terpusat tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat (Spiegelman 2006:11). Ketidakmampuan memberikan pelayanan terpusat
inilah telah bergeser menjadi pelayanan yang mementingkan pemenuhan kebutuhan
konsumen. Akibatnya, pemberi pelayanan umum harus fleksibel terhadap kebutuhan
konsumennya. Tidak dapat disangkal pula bahwa berubahnya pelaku pemberi pelayanan
umum ini memberi dampak terhadap ongkos pelayanan. Pelaku pemberi pelayanan
umum memiliki skema rencana anggaran yang meminta ongkos lebih tinggi dari
konsumen dengan subsidi minimal dari pemerintah.
Meskipun semakin banyak penduduk yang mendapatkan pelayanan umum yang
memadai, misalnya untuk Jakarta, diklaim sekitar 45 persen penduduk telah terlayani air
bersih (Muhammad 2006). Upaya untuk memperluas pelayanan air bersih
memungkinkan munculnya operator nonpemerintah dengan skema tertentu. Misalnya di
Kota Bandung, terdapat operator yang merupakan koperasi air maupun paguyuban air
262 Metropolitan di Indonesia

bersih. Persoalan berikutnya berkenaan dengan kesinambungan pelayanan. Di wilayah


Jakarta Utara, di mana tingkat pelayanan air oleh PAM Jaya tertinggi, namun fluktuasi
pelayanan yang dirasakan, terutama pada musim kemarau pada saat sumber air
mengering, atau jika terjadi bencana alam, juga mengakibatkan kekeringan. Kondisi
sumber air yang semakin tidak terprediksi ini memperburuk tingkat pelayanan air bersih.
Di pinggiran kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta, danau dan situ yang
merupakan sumber air dan reservoir air alamiah semakin terdesak keberadaannya. Areal
ini terkonversi menjadi lahan permukiman. Bandung, misalnya, akan membuka lahan di
selatan kota untuk dijadikan reservoir setelah kehilangan seluruh situ di dalam kota
Bandung. Konversi lahan tidak saja yang berskala besar, pada area kecil semakin banyak
pula tanah yang diperkeras atau dibangun. Hal ini berakibat tingkat penyerapan air
bersih menurun dan turut menimbulkan banjir. Di Bodetabek, Situ Babakan dan Situ
Cilangkap sedang dinormalisasi untuk meningkatkan pasokan air bersih.
Perbaikan lingkungan perkotaan terutama wilayah metropolitan, cenderung ternegasi
dengan tingginya jumlah penduduk yang berakibat pada peningkatan kebutuhan
perumahan dan transportasi umum yang memadai dan nyaman. Kota metropolitan di
Indonesia tidak terencana dengan baik berkenaan dengan penyediaan transportasi umum
ini. Selain daripada itu, kondisi urban sprawl menuju kota-kota disekitar kota utama
memperburuk kondisi lingkungan hidup, baik dari udara, ruang dan penggunaan sumber
daya alam (BBM). Akibatnya, pergerakan penduduk mengalami kemacetan yang
berakibat pada biaya ekonomi tinggi dan juga berpengaruh pada produktivitas tenaga
kerja.
Berbagai upaya perbaikan lingkungan hidup, baik untuk tujuan perbaikan pelayanan
umum atau pengurangan eksploitasi lingkungan hidup maupun untuk tujuan tersedianya
kualitas hidup yang layak telah dilakukan, namun upaya ini belum membalikkan realita
akan memburuknya lingkungan hidup. Bahkan dapat diramalkan akan mengakibatkan
penurunan kualitas hidup anggota masyarakat di kota-kota di Indonesia. Penurunan ini
akan terasakan dari mulai tingkat kecerdasan sampai pada tingkat harapan hidup yang
menurun (Bappenas 2005). Dalam dimensi ruang fisik, penurunan kualitas lingkungan
hidup ditandai dengan adanya penggunaan ruang yang sarat sebagai lokasi kemiskinan,
epidemi penyakit yang menerus, kawasan yang tidak dihuni, meluasnya kawasan
bencana dan adanya ongkos yang dibayar masyarakat untuk dapat hidup normal dan
beradab.

Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang:


Antara Alternatif Solusi dan Kebijakan
Penyelesaian berbagai persoalan lingkungan hidup di wilayah metropolitan memiliki
paling tidak dua pendekatan. Pendekatan pertama, merupakan pembuatan kesepakatan di
antara pemangku kepentingan yang terlibat. Kesepakatan ini kadang disertai pula dengan
target capaian. Pada skala dunia, MDG misalnya menyatakan bahwa separuh dari
penduduk yang berpenghasilan USD 1 per hari akan berkurang. Kesepakatan pada skala
dunia ini kemudian diadopsi untuk diterapkan pada skala nasional dan lokal. Pendekatan
ini bersifat top-down dan komprehensif. Kesepakatan mengenai pelestarian lingkungan
hidup juga muncul pada tingkat nasional yang dinyatakan sebagai kebijakan baik skala
nasional maupun lokal. Umumnya kebijakan lingkungan hidup ini merupakan bagian
dari kebijakan pembangunan nasional atau daerah. Dalam konteks ini, pelestarian
Infrastruktur 263

lingkungan hidup merupakan bagian integral dan selaras dengan kebijakan


pembangunan (fisik dan non fisik). Pada kota metropolitan, umumnya kebijakan ini
terdapat pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
maupun pada rencana tahunan. Komitmen yang dinyatakan dalam kebijakan seperti ini
meskipun dalam semangatnya merupakan upaya menyelaraskan antara pelestarian
lingkungan hidup dan pembangunan, namun tidak terlampau mudah untuk dijalankan.
Kebijakan ini umumnya merupakan kebijakan yang bersifat preventif, direktif, dan
membentuk kondisi yang ideal. Kebijakan ini tertuang dengan memiliki nilai, seperti
keberlanjutan (sustainable), keadilan (justice), dan kesetaraan (equality). Untuk konteks
perkotaan metropolitan, sifat dari kebijakan seperti ini berorientasi pada antroposentrik
daripada biosentrik. Dalam kebijakan ini terkandung pula nilai kuratif, terutama dalam
upaya memperbaiki kondisi polusi. Meskipun seharusnya muncul dengan target yang
ingin dicapai, namun pada skala metropolitan, kebijakan di Indonesia belum mencapai
skala ini.
Isi dari kebijakan seperti ini dapat meliputi unsur yang mengandung pendekatan
sistem, seperti kepastian penyediaan air bersih dari hulu ke hilir, pembuangan sampah
yang sampai ke sistemnya, demikian pula dengan pembuangan air kotor, maupun
perlunya ruang terbuka hijau (RTH). Kebijakan yang muncul umumnya berasal dari
kesadaran akan perlunya eksistensi lingkungan hidup untuk di’konsumsi’. Munculnya
kebutuhan dan keinginan untuk ‘menikmati’ menjadi dasar bagi eksistensi lingkungan
hidup di metropolitan. Misalnya kesadaran akan perlunya RTH muncul setelah
mengamati tingginya intensitas pembangunan fisik yang tidak lagi mengindahkan
keberadaan non built up areas.
Selain dari kesepakatan muncul pula kebijakan yang berorientasi standard setting.
Penetapan standar ini digunakan untuk menentukan kondisi yang dapat diterima atau
risiko yang akan ditanggung, dengan yang tidak dapat diterima. Sejauh mana risiko yang
akan ditanggung ketika pembangunan fisik diperbolehkan. Penetapan standar di
Indonesia dikenali melalui penetapan standar yang didasari oleh cara kerja command and
control. Cara kerja ini mengandalkan pada kemampuan birokrasi untuk melaksanakan
peraturan, sedangkan cara kerja seperti emission trading atau tax belum diberlakukan di
Indonesia8.
Pendekatan penyelesaian persoalan lingkungan hidup di kota metropolitan yang
kedua adalah participatory action activities atau kegiatan tindak partisipatif. Dengan
kata lain, penyelesaian ini merupakan yang bersifat partisipatif, mengajak masyarakat,
dilaksanakan pada konsep tertentu yang dapat dilaksanakan, dilaksanakan pada areal
tertentu. Contohnya pengelolaan sampah terpadu di wilayah Banjarsari, Jakarta, atau di
Cibangkong, Bandung. Pendekatan kedua ini memang bersifat terpencar, tidak diarahkan
pada suatu pendekatan sistem, namun bisa menyelesaikan persoalan lingkungan hidup
pada skala lokal. Pendekatan ini mengubah cara penyelesaian persoalan lingkungan
hidup dari yang tadinya terpusat dan komprehensif menjadi tersebar dan partisipatif.
Pemangku kepentingan yang terlibat aktif dapat menjadi lebih banyak dan beragam serta
sumber daya untuk berkontribusi dalam penyelesaian persoalan juga dapat berasal dari
berbagai pihak. Penyelesaian persoalan lingkungan hidup dengan pendekatan ini

8
Meskipun saat ini. Indonesia sudah meratifikasi Kyoto Protocol yang memungkinkan Indonesia
terlibat dalam Clean Development Mechanism (CDM) berprinsip pada emission trading.
264 Metropolitan di Indonesia

umumnya belum dapat terkumpul dan menciptakan suatu standardisasi penyelesaian


persoalan yang merata. Di satu sisi, penyelesaian persoalan seperti ini membela nilai-
nilai kesetaraan dan keadilan terutama bagi persoalan yang belum sempat tersentuh
penyelesaiannya. Di sisi lain, nilai kesinambungan dari pendekatan ini masih
memerlukan curahan perhatian, kesempatan yang intensif. Pendekatan ini dipercaya
memberikan hasil yang nyata dan langsung kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat
menjadi faktor penentu dalam menciptakan keberhasilannya.
Dengan kedua pendekatan tersebut, penyelesaian persoalan lingkungan hidup di
perkotaan Indonesia menghadapi wajah yang beragam. Dengan keseluruhannya masih
belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam meningkatnya pelestarian
lingkungan hidup perkotaan.
Kebijakan dalam penataan ruang didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan
fisik akan terus berlangsung. Adalah tugas dari penataan ruang untuk
mengakomodasikan pembangunan fisik ini sehingga meminimalkan dampak negatif
yang muncul, dengan tetap memberi kesempatan dan mengakomodasi bagi terus
berlangsungnya pembangunan fisik yang menjadi bahan pertimbangan dalam penataan
ruang, tidak semata-mata dari sisi pelestarian lingkungan hidup. Hal yang lebih utama
dari penataan ruang adalah munculnya kesempatan yang lebih baik sehingga tercipta
profit, lapangan kerja, dan kualitas kehidupan yang layak. Prinsip ini didukung oleh
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ingin dituju. Selain itu pula didukung oleh
prinsip efisien dan efektif dari pembangunan fisik tersebut dan aktor yang terlibat
mendapat manfaat optimal.
Penyediaan pelayanan umum pada penataan ruang memang masih terbatas pada
lokasi penyediaan dan pelayanan dengan mengasumsikan sistem penyediaan terpusat.
Sistem penyediaan yang tersebar dan dikelola oleh operator nonpemerintah tidak
ternyatakan dalam penataan ruang. Asumsi dalam penataan ruang penyediaan pelayanan
umum dilakukan secara terpusat dan memiliki jalur penyediaan yang resmi dan
permanen. Oleh karena itu, penataan ruang tidak mudah mengakomodasi pelayanan
umum dengan operator nonpemerintah.
Dalam mengurangi ongkos biaya tinggi, misalnya akibat kemacetan lalu lintas atau
polusi udara, penataan ruang menawarkan solusi dari titik pandang: supply oriented, atau
akomodatif bahwa kebutuhan masyarakat itu perlu dipenuhi. Sedangkan pendekatan
demand management memang masih memerlukan penjabaran berbeda dari supply
management. Dalam kondisi pembangunan yang mengupayakan peningkatan
penggunaan sumber daya, prinsip seperti pemanfaatan ruang yang optimal, misalnya
untuk sampah, memang masih berdasarkan pada prinsip non zero waste. Pada
penyediaan RTH misalnya, prinsip penyediaannya didasarkan pada satuan ruang per
penduduk. Sedangkan dari sisi penyebarannya, kepadatan penduduk dan struktur
penduduk, ataupun hubungan antara satu RTH dengan RTH lainnya belum diamati
secara intensif. Tantangan eksistensi RTH masih terbatas pada ruang-ruang yang
mungkin dimunculkan dalam penataan ruang.
Dengan adanya penataan ruang yang belum secara intensif menerima perubahan
perspektif dalam penyediaan pelayanan umum, terutama untuk mengurangi tekanan pada
lingkungan hidup, maka cara kerja penataan ruang di wilayah metropolitan masih
bersandar pada pemikiran pemusatan kegiatan. Lebih lanjut lagi, persoalan dan
tantangan lingkungan hidup memerlukan pendekatan sistemik secara fungsional.
Infrastruktur 265

Contohnya penyelesaian persoalan penyediaan air bersih yang tidak hanya ditentukan
oleh ketersediaan air bersih pada wilayah administrasi tertentu melainkan pada wilayah
fungsional, seperti DAS atau aliran air tanah dalam, atau persoalan lokasi pembuangan
sampah akhir juga memerlukan pendekatan yang integratif. Pada wilayah metropolitan,
pendekatan fungsional ini semakin penting terutama penyelesaiannya yang tergantung
pada interaksi antar kota utama dan kota sekitarnya.

Penutup
Upaya pelestarian lingkungan hidup perkotaan, terutama metropolitan, masih terbatas
pada mengurangi degradasi lingkungan hidup secara lebih lanjut daripada menciptakan
pelestarian lingkungan hidup yang lebih baik. Agenda mengenai peningkatan pelayanan
umum (brown environment) memiliki skala prioritas yang tinggi dibandingkan dengan
agenda mengenai green environment atau penciptaan kualitas hidup yang layak dan
memadai. Akan tetapi, perubahan perspektif dalam penyediaan pelayanan umum itu
sendiri belum dapat terakomodasi baik dalam penataan ruang. Perubahan perspektif
menyangkut operator nonpemerintah, demand management, ataupun sistem pelayanan
tidak terpusat. Perubahan cara kerja dan pelayanan ini mengindikasikan kebutuhan ruang
yang berbeda dan permintaan akan sumber daya yang berbeda. Bahkan prinsip
akomodatif dalam penataan ruang dapat menjadi prinsip yang mengindahkan adanya
penggunaan sumber daya baik ruang maupun alam yang bersifat conservationist,
daripada productionist.
Sebaliknya, penataan ruang dalam era pembangunan fisik yang intensif, dalam
suasana mengejar pertumbuhan ekonomi, mengindikasikan pemberian peluang yang
setinggi-tingginya pada upaya pembangunan fisik tersebut. Hal ini mengasumsikan
bahwa kebutuhan masyarakat belum mencapai standar kebutuhan minimal. Dengan
demikian, kebutuhan ini dipenuhi dengan mengorbankan ukuran ketersediaannya.
Sebenarnya tekanan lingkungan hidup telah mengakibatkan kebutuhan ini akan terus
sukar dipenuhi. Kesukaran ini, selain disebabkan oleh persoalan yang berkaitan dengan
pengelolaan pelayanan umum itu sendiri, juga berkenaan dengan kurang diindahkannya
eksistensi ‘green environment’ atau eksistensi kawasan lindung atau kawasan ruang
terbuka dengan pepohonan dan tanaman yang indah dan menyenangkan, untuk memberi
kesempatan masuknya air tanah dangkal, memelihara suhu udara mikro, memproduksi
lebih banyak oksigen, dan menciptakan suasana tenang dan nyaman. Implikasi dari
terpeliharanya green environment adalah tekanan untuk menjadi brown environment
berkurang. Pada saat sekarang, ketika hutan-hutan telah digunduli, pepohonan telah
ditebangi, ruang terbuka telah banyak berkurang dan udara telah tercemari, upaya
memulihkannya akan membutuhkan waktu. Untuk sementara ini, kebutuhan pelayanan
umum akan tidak mudah terpenuhi dengan baik.
Munculnya kepedulian pada green environment atau lingkungan hidup yang
berfungsi sebagai modal (capital) bukan sumber daya yang akan dieksploitasi, pada
kasus metropolitan Indonesia lebih karena terdesaknya ruang terbuka oleh pembangunan
fisik, rasa tidak nyaman akibat meningginya suhu, terpolusinya udara, dan berkurangnya
resapan air. Pembangunan fisik cenderung mengindikasikan munculnya polusi baik
udara, air, maupun tanah. Implikasi dari kecenderungan manusia untuk mengotori
sarangnya sendiri (man’s tendency to foul his own nest) – yang seringkali merupakan
efek samping dari pembangunan itu sendiri (de Roo 2003: 19). Efek dari pembangunan
266 Metropolitan di Indonesia

fisik ini dalam konteks Indonesia menjadi tanggung jawab dari pihak lingkungan hidup.
Adanya studi AMDAL sebagai persyaratan berlangsungnya kegiatan, misalnya, memberi
kesempatan bagi kerja sama antara kebijakan penataan ruang dan lingkungan hidup.
Kebijakan mengenai pemenuhan pelayanan umum atau munculnya RTH dengan
berprinsip pada productivist umumnya dilaksanakan dengan pihak yang terlibat dalam
pembangunan fisik. Tidak memerlukan keterlibatan pihak LH yang secara khusus
didatangkan dari luar.
GAMBAR 6 - 16 menunjukkan tahapan penataan ruang yang mendapat masukan
secara khusus dari kebijakan lingkungan hidup. Penataan ruang sebagai suatu proses
prosedural, sedangkan lingkungan hidup sebagai suatu substansi yang dipertimbangkan.
Bahkan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu substansi yang bersifat antarsektor
dan antarwilayah yang menjadi perhatian utama dalam penataan ruang. Meskipun pada
semua lini prosedur penataan ruang, kebijakan lingkungan hidup mempengaruhi
keputusan dalam penataan ruang, secara eksplisit pelestarian lingkungan hidup
menemukan tempat yang penting pada lini perencanaan dan pengawasan. Dalam
pelaksanaannya, pelestarian lingkungan hidup merupakan salah satu dari beberapa
perspektif lainnya yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan fisik.
Pembangunan fisik yang berorientasi pada perspektif pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan sosial, tidak menempatkan prioritas yang setara dengan perspektif
pelestarian lingkungan hidup. Dengan prinsip yang belum sejalan antara perspektif
tersebut mengakibatkan keduanya menjadi dikotomi.

Penataan Ruang

Perencanaan Pemanfaatan Pengendalian

AMDAL Tercapainya standar & Target;


Standar & Target; Komitmen (Evaluasi Diri, Pengawasan
bersama Birokrasi)

GAMBAR 6 - 16 Hubungan antara Penataan Ruang (versi UU 24/1992) dengan Kebijakan


pada Lingkungan Hidup

Wilayah metropolitan ini memerlukan adanya konsep kepedulian publik yang


ditengarai dengan pelaksanaan kebijakan perlindungan lingkungan hidup. Hal ini bisa
meliputi kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup perkotaan
minimal, dan kebijakan mengenai penggunaan ruang publik terbuka. Lebih penting dari
ini adalah apakah tantangan yang akan menghambat terlaksananya upaya menciptakan
ruang publik yang layak huni melalui penanganan lingkungan hidup. Tantangan dan
hambatan ini akan meliputi kondisi yang kurang kondusif untuk melakukan pelestarian
lingkungan hidup sehingga menjadi bagian dari struktur. Misalnya penggunaan air bersih
Infrastruktur 267

perpipaan hanya akan menyentuh kawasan perumahan menengah dan mewah, atau
kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh tidak mendapat pelayanan yang
layak, atau kelompok masyarakat ilegal dan informal adalah mereka yang akan
mengeksploitasi secara langsung. Lingkungan hidup semakin lama semakin menjadi
‘korban’ dari pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek, dengan tidak mempedulikan
kepentingan jangka panjang. Kepedulian publik sebaliknya tidak hanya bagi kehidupan
saat ini. Kehidupan yang akan datang merupakan bagian tidak terpisahkan. Dengan
adanya penataan ruang yang memiliki dimensi waktu yang panjang, kepedulian publik
yang berperspektif pelestarian lingkungan hidup menjadi bagian penting. Masyarakat
melalui investasi pribadi dapat terlibat dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup. Ini
ditunjukkan dengan kemauan masyarakat untuk terlibat dalam upaya memelihara
lingkungan hidup di sekitarnya. Misalnya termasuk membuat sumur resapan, membuat
gorong-gorong di depan rumah, menanam tanaman tinggi, memiliki ruang terbuka
pribadi, perilaku individu untuk bertransportasi umum, ataupun untuk menjadi pejalan
kaki akan memperbaiki kondisi ini. Selain itu, perlunya suatu komitmen untuk
mengubah struktur ruang sehingga penikmat lingkungan hidup tidak lagi dari kalangan
terbatas saja. Udara yang bersih, jalan yang indah, atau taman taman yang bersih tidak
lagi berlokasi di permukiman tertentu saja melainkan dapat dinikmati di lingkungan
padat penduduk sekalipun.
Dengan demikian, apa kemungkinan yang dapat mengarahkan perspektif pelestarian
lingkungan hidup dapat sejalan dengan penataan ruang? Prinsip integrasi atau
pendekatan holisme, seperti yang disampaikan pada GAMBAR 6 - 16 merupakan salah
satu cara untuk mengaitkan antara pelestarian lingkungan hidup dengan penataan ruang.
Model integrasi ini, menurut Partidaro dan Voogd (2004, hal. 288) termasuk model
deliberasi. Model ini ditujukan untuk menciptakan suatu rencana komprehensif untuk
‘masyarakat dan lingkungan hidup’ sekaligus di berbagai arena kebijakan yang
memerlukan pendekatan holistik. Keuntungan model ini adalah memudahkan untuk
memelihara dan memperbaiki aset positif yang diperlukan, tidak saja jangka pendek
tetapi juga jangka panjang dalam penataan ruang. Kerugiannya, model seperti ini
menghabiskan waktu terutama karena negosiasi antarsektor harus diselesaikan terlebih
dahulu. Pada konteks metropolitan Indonesia, model ini justru dibutuhkan, terutama
untuk brown environment atau pemenuhan pelayanan umum. Akan tetapi, terbatasnya
penataan ruang di Indonesia pada wilayah administratif serta kelemahan Pemda dalam
bekerja sama dengan pihak lainnya mengakibatkan penataan ruang antarwilayah atau
metropolitan tidak menjadi prioritas. Kebijakan Mamminasata, misalnya, mendorong
terjadinya Rencana Penataan Ruang yang merujuk pada pemenuhan pelayanan umum.
Namun, pada posisi konsumsi, banyak dilakukan pada kota inti dan pembuangan
dilakukan di kota sekitarnya untuk kasus air bersih, sampah, dan air kotor. Padahal
terdapat pula produksi yang harus dilakukan di kota sekitar dan wilayah sekitarnya untuk
dapat menyediakan kebutuhan kota inti, seperti adanya perumahan, transportasi yang
terintegrasi, serta ketersediaan pangan (food supply).
Secara teoritis, dimungkinkan pula kebijakan sektoral yang dituangkan dalam
penataan ruang memiliki perspektif pelestarian lingkungan hidup. Model seperti ini
disebut model otonomi, yang meletakkan kekuatan tertinggi pada pada sektor-sektor
(Partidaro dan Voogd (2004, hal. 288). Misalnya sektor pertanian di kota metropolitan
dipertahankan demi terdapatnya lahan produktif sebagai sumber pangan atau sumber
268 Metropolitan di Indonesia

produksi ekonomi, seperti perikanan atau kehutanan. Sektor industri juga memiliki
perspektif lingkungan hidup sehingga menjadi industri yang dapat bertahan di dalam
kota.
Selain model integrasi yaitu lingkungan hidup menjadi substansi dalam penataan
ruang, tidak saja dari brown environment melainkan dari green environment, model
integrasi juga dapat dilakukan dari sisi organisasi. Contohnya adalah berbagai kota
metropolitan membentuk Badan Kerja sama (BKS) yang merupakan organisasi supra
struktur, yang dapat diberi otonomi untuk mengambil keputusan. Sampai saat ini yang
berlaku pada metropolitan di Indonesia adalah BKS yang diberi mandat sebagai
penasihat bagi kota-kotanya. Kota-kota dalam metropolitan tersebut masih bertanggung
jawab penuh pada keputusan akhirnya.
Agar perspektif pelestarian lingkungan hidup dapat diterapkan, penataan ruang
menjadi salah satu wahana utama terutama karena sifat penataan ruang yang menetapkan
kondisi yang ingin dicapai dalam kerangka waktu yang panjang. Penataan ruang juga
merupakan wahana di mana konsekuensi dari pilihan pembangunan fisik
dipertimbangkan. Jika penataan ruang akan semakin memiliki kepedulian lingkungan
hidup, maka dapat mengikuti prinsip dalam hukum ekologi: everything is connected to
everything else. Pada dasarnya prinsip pelestarian lingkungan hidup dapat mendukung
upaya penataan ruang untuk menciptakan kualitas ruang yang menciptakan kelayakan,
kenyamanan, dan kesinambungan.
Infrastruktur 269
7

Hukum dan Kelembagaan

HUKUM

Pendahuluan

Aspek hukum penataan ruang metropolitan adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur bagaimana suatu metropolitan ditata (mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaannya) dan juga meliputi
lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam
masyarakat metropolitan (Kusumaatmadja 1986; Jacqueline 1992). Dengan demikian,
aspek hukum penataan ruang metropolitan bukan hanya merupakan kumpulan aturan-
aturan − yang mungkin dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dilaksanakan. Akan
tetapi, juga meliputi institusi (pranata) yang membuat aturan tersebut dilaksanakan serta
proses-proses yang menjadikan aturan tersebut berlaku dan dilaksanakan dalam
masyarakat metropolitan. Oleh karena itu, dalam bagian aspek hukum penataan
metropolitan ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan langsung dengan peraturan
penataan ruang metropolitan dan masalah penegakkan peraturan tersebut. Secara garis
besar akan dibahas dasar-dasar hukum metropolitan, permasalahan pengaturan penataan
ruang metropolitan, dan perspektif aspek hukum penataan ruang metropolitan ke depan.

Dasar Hukum Penataan Ruang Metropolitan


Pada hakikatnya, pada hampir seluruh kawasan metropolitan di dunia, baik di negara-
negara maju maupun di negara-negara berkembang, dijumpai permasalahan yang hampir
sama (Derycke, 1999), yaitu menurunnya tingkat pelayanan umum yang dibutuhkan oleh
masyarakat metropolitan. Untuk konteks Indonesia, pembangunan kawasan perkotaan
selain menunjukkan hasil berupa terbangunnya prasarana dan sarana fisik yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, menyimpan pula berbagai permasalahan yang makin
lama makin kompleks dan multidimensional. Permasalahan pokok yang mengiringi
pembangunan perkotaan tersebut di antaranya: terjadinya degradasi kondisi sosial
masyarakat yang semakin tajam, bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran,
270 Metropolitan di Indonesia

tidak terkendalinya pertumbuhan sektor informal, terjadinya penurunan daya dukung


lingkungan, makin terbatasnya prasarana dan sarana pendukung, makin menurunnya
kualitas pelayanan umum, lemahnya sumber daya manusia, serta pemahaman yang
masih kurang terhadap prinsip-prinsip manajemen pengelolaan perkotaan yang baik
(good urban governance).
Berbagai permasalahan tersebut terutama disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
(1) keterbatasan sumber daya pembangunan metropolitan; (2) ketidakjelasan manajemen
pembangunan metropolitan; (3) belum optimal dan tidak jelasnya pembagian peran
antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam pembangunan
metropolitan; serta (4) belum adanya peraturan perundang-undangan sebagai landasan
hukum dalam penyelenggaraan pembangunan metropolitan yang mampu memberikan
jaminan kepastian dan keberlanjutan pembangunan metropolitan sesuai dengan prinsip-
prinsip pengelolaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Permasalahan belum adanya
peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan
pembangunan metropolitan dapat dilihat dari adanya fakta hukum sebagaimana akan
dibahas di bawah.

Sumber Hukum Penataan Ruang Metropolitan


Sumber hukum adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membahas atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan: mengapa hukum itu mengikat? Dimanakah hukum itu sendiri
dapat ditemukan? Persoalan pertama dijelaskan oleh beberapa teori mengapa orang taat
kepada hukum. Pada tulisan ini kita hanya akan membahas secara singkat persoalan
kedua, yaitu persoalan mengenai keseluruhan sumber aturan sebagai alasan hak untuk
melakukan suatu tindakan. Secara teoritis, sumber hukum dapat dibedakan kedalam
sumber hukum formal dan sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah
dokumen atau “tempat” di mana saja kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan hukum/
kaidah-kaidah hukum. Untuk itu harus diketahui hukum positif (hukum yang saat ini
berlaku di suatu tempat) yang meliputi: (1) Sumber hukum langsung, yang meliputi:
undang-undang hingga peraturan daerah, kebiasaan dan adat, serta traktat/ perjanjian
antar negara; dan (2) Sumber hukum tak langsung, yang meliputi yurisprudensi/
keputusan hakim yang diikuti oleh hakim lainnya untuk kasus yang sama dan doktrin/
ilmu pengetahuan. Sedangkan sumber hukum material merupakan suatu usaha
pendalaman teoritis tentang hukum yang dapat menggunakan banyak pendekatan, baik
itu pendekatan sejarah, falsafah, sosiologi, ekonomi, agama, hukum itu sendiri, atau
kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut.
Untuk konteks penataan ruang metropolitan, sumber hukum formal yang dikenal
dapat dikategorikan kedalam dua fase, yaitu fase sebelum dan sesudah ditetapkannya
Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR 1992).

Fase sebelum UUPR 92


Meskipun kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, tetapi Pemerintah
Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi pada tahun 1959 dengan
dilakukannya penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Oleh
karena itu, selama kurun waktu 1945 sampai dengan 1959, pemerintah kolonial masih
tetap mengeluarkan berbagai peraturan termasuk undang-undang tentang Pembentukan
Hukum dan Kelembagaan 271

Kota (Stadsvormings Ordonantie [SVO]) pada tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah
tentang Pembentukan Kota (Stadsvormings Verordening [SVV]) pada tahun 1949.
Semula, peraturan-peraturan tersebut berlaku hanya untuk 14 kota yang hancur akibat
perang, kemudian dijadikan rujukan dalam pembangunan kota secara umum di
Indonesia. Semangat pembaharuan hukum pada tahun 1970-an untuk mengganti
peraturan peninggalan pemerintah kolonial menyentuh pula bidang pembangunan
perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya prakarsa Departemen Pekerjaan Umum
dan Tenaga Listrik untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pokok-
Pokok Bina Kota pada tahun 1972 yang mengalami perubahan baik substansi maupun
judulnya menjadi RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pembinaan Kota pada tahun
1975, kemudiaan menjadi RUU tentang Tata Ruang Kota pada tahun 1978. Perubahan
tersebut terutama untuk menyesuaikan dengan RUU tentang Pemerintah di daerah, yang
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, dan RUU tentang Tata Guna Tanah yang diajukan oleh
Departemen Dalam Negeri1. Dengan demikian, hingga saat itu tidak ada peraturan
khusus tentang pembangunan kota setingkat undang-undang yang dilahirkan.
Seiring dengan pelaksanaan pembangunan nasional yang diusung Pemerintah Orde
Baru, mulai dirasakan perlunya peraturan tentang pembangunan kota yang lebih cepat
dapat dioperasionalkan sambil menunggu terbitnya peraturan tingkat Undang-Undang
yang penyusunan dan prosesnya memakan waktu lama. Untuk itu pada dekade 1980-an
terbit berbagai peraturan tentang pembangunan kota, khususnya tentang perencanaan
kota. Pada masa ini terdapat dualisme pengaturan yang ditandai dengan “konflik”
kewenangan antara Departemen Pekerjaan Umum dengan Departemen Dalam Negeri
dalam pembinaan pembangunan kota kepada pemerintah daerah. Masing-masing pihak
menganggap bahwa dirinya berwenang dalam bidang pembangunan kota. Pada
Depertemen Pekerjaan Umum terdapat Direktorat Jenderal Cipta Karya yang memiliki
Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, sedangkan pada Departemen Dalam Negeri
terdapat Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah yang memiliki Direktorat Bina
Pembangunan Kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang mirip. “Konflik” ini
sangat tampak dari berbagai peraturan terkait pembangunan kota yang dikeluarkan oleh
masing-masing instansi, antara lain: Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri
No. 4 tahun 1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota yang direvisi dengan
Permendagri No. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota,
Kepmendagri No. 650-658 tahun 1986 tentang Keterbukaan Rencana Kota untuk Umum,
dan Permendagri No. 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota; sedangkan
Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang
Perencanaan Tata Ruang Kota dan pada tahun 1987 mempelopori penyerahan sebagian
urusan pemerintahanan kepada daerah termasuk urusan pembangunan kota melalui
terbitnya PP No. 14 tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di

1
Perubahan-perubahan tersebut juga didasari oleh pemikiran bahwa berbagai RUU berkaitan erat satu
sama lain sehingga perlu dirangkum dalam satu RUU tentang Pokok-pokok Tata Ruang yang
selanjutnya melalui berbagai pembahasan dan perubahan menjadi Undang-Undang Penataan Ruang
yang ditetapkan pada tahun 1992. Lihat Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen
Penataan Ruang. 2003. Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Jakarta :
Ditjen Penataan Ruang.
272 Metropolitan di Indonesia

Bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Permen PU No.
57/PRT/1991 dan No. 58/PRT/1991 tentang Pengawasan Teknis Bidang PU kepada
Dinas PU. Dualisme tersebut tentunya mengakibatkan kebingungan bagi pemerintah
daerah, khususnya pemerintah kabupaten/ kotamadya, dalam pelaksanaan pembangunan
kota, khususnya perencanaan kota. Masing-masing pihak, baik Departemen Dalam
Negeri maupun Departemen Pekerjaan Umum, memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Sebenarnya pada tahun 1985 diupayakan penyelesaiaan untuk
mengakhiri “konflik” kewenangan tersebut dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama
Mendagri dan MenPU No. 650-1597 dan No. 503/KPTS/1985 tentang Tugas-Tugas dan
Tanggung Jawab Perencanaan Kota di mana Departemen Dalam Negeri bertanggung
jawab dalam pembinaan administrasi perencanaan kota dan Departemen Pekerjaan
Umum bertanggung jawab dalam teknis perencanaan kota. Namun, dalam praktek
perencanaan kota, “konflik” ini tetap berlangsung.

Fase sesudah penetapan UUPR


Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 (UUPR 1992) tentang
Penataan Ruang dapat dikatakan bahwa secara nasional Indonesia memiliki peraturan
tentang penataan ruang metropolitan pada tingkat undang-undang meskipun undang-
undang tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang penataan ruang metropolitan.
Kawasan metropolitan merupakan objek pengaturan dari kawasan perkotaan maupun
kawasan tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Saat ini, pengaturan perkotaan,
terutama sepanjang mengenai pembangunan kota atau perkotaan termasuk metropolitan,
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa undang-
undang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembangunan
perkotaan yang berarti juga sebagai landasan hukum dalam penataan ruang metropolitan,
yaitu:
1. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; UUPR memuat
kaidah-kaidah administrasi berupa kewenangan, proses dan prosedur, serta
kelembagaan sebagai pedoman bagi administrasi dalam kegiatan penataan ruang
yang meliputi: penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang di sini meliputi penataan ruang
pada wilayah administrasi maupun pada kawasan fungsional termasuk metropolitan.
2. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; Undang-
undang ini mengatur mengenai penataan dan pengelolaan perumahan dan
permukiman. Khusus yang berkaitan dengan penataan metropolitan adalah
sepanjang mengenai penataan permukiman yang mencakup kegiatan pembangunan
baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; Undang-undang
ini mengatur penyelenggaraan bangunan gedung sebagai kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan
pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Bangunan gedung dimaksud adalah
wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/ atau di dalam tanah dan/ atau air, yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau
Hukum dan Kelembagaan 273

tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya,


maupun kegiatan khusus.
4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Undang-
undang ini mengatur pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA); Undang-undang ini mengatur peruntukan tanah kedalam berbagai kategori
seperti untuk kepentingan pertanian, perkantoran, tempat ibadah, fasilitas umum,
dan sebagainya. Peruntukan tersebut dikenal dengan istilah tata guna tanah atau tata
guna lahan (land use) yang merupakan bagian penting dalam perencanaan kota.
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Undang-undang ini mengatur pengelolaan lingkungan hidup termasuk persyaratan
penataan lingkungan hidup yang antara lain meliputi perizinan, khususnya
penerbitan izin melakukan usaha dan/ atau kegiatan pada metropolitan.
7. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air; Undang-undang ini
antara lain juga mengatur peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna
memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata,
pertahanan, pertambangan, energi, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan
lainnya termasuk untuk mendukung kebutuhan metropolitan yang harus
dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
8. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan; Undang-undang ini mengatur
tentang penyelenggaraan jalan sebagai infrastruktur penting guna menjamin
terselenggaranya kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara optimal termasuk di
dalamnya adalah penyelenggaraan jalan untuk perkotaan.
9. Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional; Undang-Undang ini mengatur tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah.
Dari berbagai undang-undang yang diulas di atas, hanya empat undang-undang yang
berkaitan erat dengan penataan metropolitan, yaitu: undang-undang tentang penataan
ruang, undang-undang tentang perumahan dan permukiman, undang-undang tentang
bangunan gedung, dan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Undang-undang
tentang Penataan Ruang (UUPR 1992) serta peraturan pelaksanaannya pada dasarnya
hanya mengatur tentang bagaimana tata ruang kawasan perkotaan direncanakan,
sedangkan bagaimana tata ruang perkotaan tersebut diwujudkan dalam suatu upaya
pembangunan tidak diatur.
Undang-undang tentang perumahan dan permukiman berikut peraturan
pelaksanaannya sebenarnya sudah mengatur bagaimana suatu kota diwujudkan, baik
mulai dari metode penyiapan lahannya maupun pembangunan prasarana dan sarananya.
Namun, undang-undang ini hanya terbatas mengatur perumahan dan permukiman,
sedangkan sektor-sektor kegiatan perkotaan yang lain masih belum lengkap diatur,
seperti pusat-pusat bisnis, industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Undang-undang
tentang bangunan gedung beserta peraturan pelaksanaannya hanya mengatur perwujudan
274 Metropolitan di Indonesia

fisik bangunan gedung yang pada dasarnya mendominasi penggunaan ruang pada
kawasan metropolitan.
Sementar itu, undang-undang tentang pemerintahan daerah berikut peraturan
pelaksanaannya hanya mengatur tentang arah administratif atau aspek pemerintahan dari
satu daerah (termasuk daerah kota). Selain itu, perangkat undang-undang ini hanya
mengatur kewenangan yang dimiliki oleh tiap-tiap pemerintah (kabupaten/ kota), tetapi
tidak mengatur bagaimana pembangunan dan pengelolaan kota dan perkotaan dilakukan.
Dengan kata lain, tidak ada suatu peraturan yang khusus mengatur pembangunan
perkotaan termasuk metropolitan pada tingkat undang-undang. Hal ini dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakadaan peraturan khusus dan
komprehensif yang langsung dapat dijadikan sebagai landasan dan rujukan dalam
pembangunan perkotaan.
Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan tugasnya selaku Ketua Tim Teknis Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional2 (terakhir ditetapkan dengan Keppres No. 62 tahun
2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional), Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah yang membidangi urusan Pekerjaan Umum menetapkan Kepmen Kimpraswil
No. 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang.
Termasuk di antaranya adalah Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan dan Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan.
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang termuat
dalam Lampiran V Keputusan Menteri tersebut diatur mengenai Rencana Struktur Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan yang terutama memuat ketentuan-ketentuan
tentang: Fungsi Rencana, Manfaat Rencana, Muatan Rencana, Proses Rencana, Produk
Rencana dan Legalisasi Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan.
Sedangkan pada Lampiran VI diatur Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan (termasuk kawasan perkotaan metropolitan) yang berisi antara lain:
Dasar Peninjauan Kembali, Kriteria Peninjauan Kembali, dan Tata Cara Peninjauan
Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. Dengan kata lain, sudah ada
peraturan tentang perencanaan tata ruang metropolitan, tetapi belum ada peraturan
tentang pelaksanaan dan pengawasan pembangunan perkotaan (metropolitan). Dengan
demikian, untuk level peraturan di bawah undang-undang pun, belum ada peraturan
penataan metropolitan yang menyeluruh dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan
pembangunannya.

Permasalahan Pengaturan Penataan Metropolitan

Belum Lengkapnya Peraturan dalam Penataan Ruang Metropolitan


Dari sedikit uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejauh ini peraturan yang ada baru
menyentuh perencanaan kawasan metropolitan dan komponen fisik pembentuk
metropolitan, belum ada peraturan yang secara menyeluruh mengatur kawasan
metropolitan dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan/pengelolaannya.
Di lain pihak, SVO sebagai landasan pembangunan kota yang sebenarnya juga dapat
dijadikan acuan dalam perencanaan dan pembangunan fisik metropolitan telah dicabut

2
Badan ini merupakan Badan Koordinasi sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang No. 24 tahun
1992 tentang Penataan Ruang.
Hukum dan Kelembagaan 275

oleh UUPR 1992. Dengan demikian, terdapat kekosongan hukum/ recht vacuum
(khususnya peraturan setingkat undang-undang) dalam penataan metropolitan, dalam arti
pembangunan dan pengelolaannya. Catatan di bawah ini menunjukkan adanya
kekosongan tersebut :
a. SVO/ SVV sebagai landasan pembangunan kota setingkat undang-undang dan
peraturan pemerintah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang
No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Secara substansial, SVO/SVV memuat
ketentuan yang mengatur mengenai pembangunan perkotaan walaupun dalam skala
kota pada lokasi tertentu.
b. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang lebih bersifat umum
mengatur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Amanat Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penataan
Ruang Kawasan Perkotaan sebagai tindak lanjut dan peraturan pelaksanaan dari
undang-undang sampai saat ini belum juga ditetapkan.
c. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya
memberikan pengaturan yang terbatas terhadap kawasan perkotaan dan lebih
dititikberatkan pada pengaturan yang lebih bersifat administratif. Undang-undang ini
secara implisit memperlihatkan bahwa untuk pengaturan kawasan perkotaan lebih
lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam akan diatur oleh peraturan perundang-
undangan.
d. Peraturan operasional lainnya ditemukan tersebar dan partial yang menunjukkan
pengaturan dalam ruang lingkup terbatas terhadap kawasan perkotaan dan/ atau kota
dalam pengertian administratif, sehingga cukup menyulitkan dalam
pengimplementasiannya secara terpadu, serta belum mampu memberikan jaminan
kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan
perkotaan.
Dengan ditemuinya fakta-fakta hukum tersebut, maka pengaturan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan termasuk kawasan metropolitan
belum dilakukan secara lengkap sehingga landasan hukum yang kuat dan memiliki
kepastian hukum guna menjamin kepentingan-kepentingan masyarakat pada kawasan
metropolitan masih belum memadai.

Masalah Penegakan Peraturan Penataan Ruang Metropolitan


Berkembangnya berbagai permasalahan pada kawasan metropolitan, seperti semakin
meningkatnya permasalahan bencana banjir; semakin meningkatnya kemacetan lalu
lintas dan perumahan kumuh, semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka
hijau; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah
penduduk; dan maraknya premanisme sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh
lemahnya penegakkan hukum daripada masih kurangnya peraturan dalam penataan
metropolitan. Penegakan hukum merupakan aspek penting dalam keseluruhan sistem
hukum, tetapi seringkali aspek ini dirasakan sebagai aspek yang paling lemah. Dalam
penataan metropolitan, penegakan hukum juga merupakan aspek yang paling sering
276 Metropolitan di Indonesia

diucapkan dan dipersalahkan dalam menjelaskan kegagalan menata metropolitan secara


tertib. Hal ini dapat diterima karena memang aspek inilah yang paling sulit dilaksanakan
dari semua aspek yang berkaitan dengan penataan metropolitan. Ada empat faktor yang
berkaitan langsung dengan penegakan hukum, yaitu: substansi peraturannya sendiri,
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan kesadaran hukum masyarakat.
Lemahnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang sebagai perangkat penegakan
hukum, dari sisi substansi peraturannya sendiri antara lain karena UUPR sebagai
landasan dasar penataan metropolitan yang ada lebih banyak mengatur keterpaduan
proses, sedangkan kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat adminitratif,
khususnya kaidah-kadaih penuntun bagi administrasi negara dalam perencanaan tata
ruang. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang
tidak banyak diatur dalam UUPR, didasarkan pada pertimbangan bahwa kaidah-kaidah
perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral. Dengan semikian, jika
seseorang melanggar rencana tata ruang maka penerapan sanksi tergantung pada
peruntukan yang dilanggar. Sanksi tersebut dapat dikenakan mungkin dari Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang
Konservasi Sumber Daya Alam, atau undang-undang lainnya. Pendekatan ini ternyata
dalam praktek tidak berjalan efektif, antara lain disebabkan undang-undang sektoral
belum spesifik mengadopsi pendekatan penataan ruang. Undang-Undang No. 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, yang terkait langsung dengan
penataan ruang hanya dapat diterapkan sanksinya, sepanjang pada perubahan fungsi
ruang (peruntukan) itu terdapat unsur “pencemaran” dan/ atau “kerusakan” lingkungan.
Dengan demikian, dalam praktek, kaidah perilaku luput dari pengaturan UUPR. Oleh
karena UUPR lebih banyak mengatur kaidah-kaidah perencanaan tata ruang, dimana
subyek utamanya adalah administrasi negara, maka terhadap administrasi negara tersebut
tidak dapat digunakan instrumen hukum pidana, melainkan hukum administrasi.
Selain itu, kesadaran masyarakat untuk secara sukarela tunduk pada peraturan-
peraturan yang ada masih dirasa belum memadai. Banyak ketentuan hukum termasuk di
bidang penataan ruang dan lingkungan hidup dengan sengaja dilanggar. Persepsi yang
telah berkembang di masyarakat telah menjadi pembenaran bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan penataan ruang pun bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari,
apalagi ditakuti. Pemanfaatan lahan-lahan di sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan,
taman, dan lahan-lahan yang seharusnya bebas dari kegiatan untuk perumahan,
perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang biasa di kawasan-kawasan
perkotaan.
Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari aparat
pemerintah. Pemerintah daerah tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan hukum,
hal ini disebabkan tidak mempunyai wibawa hukum yang memadai karena prinsip-
prinsip good urban governance yang intinya terdiri dari accountability, transparancy,
dan rule of law tidak dilaksanakan secara konsisten.
Sebagai ilustrasi, izin sebagai instrumen penegakan hukum belum diikuti dengan
pengawasan yang cukup. Pengawasan yang dimaksud merupakan tindakan yang
dilakukan pemerintah pusat atau daerah untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran
terhadap izin atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini seyogianya
ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat dan juga kedisiplinan aparat. Untuk
itu, kewenangan membatalkan izin seperti yang diatur dalam UUPR, termasuk terhadap
Hukum dan Kelembagaan 277

izin-izin yang diterbitkan oleh bupati/ walikota atau perangkat administrasi negara
lainnya harus disertai dengan prosedur penegakannya. Sementara itu, instrumen
perizinan yang semestinya berperan sebagai perangkat penegakkan hukum seringkali
bergeser peran secara paradoksal menjadi alat penyimpangan terhadap aturan hukum.
Misalnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang seharusnya berperan sebagai alat
kontrol untuk menjamin kesesuaian pembangunan fisik dengan rencana tata ruang,
setelah era otonomi dijadikan sebagai alat untuk menambah Pendapatan Asli Daerah
dengan dibebani target pemasukan tertentu setiap tahunnya. Dengan demikian, pada
hakikatnya IMB tidak lagi berfungsi sebagai instrumen pengendalian, melainkan lebih
berperan sebagai mesin penghasil PAD. Seringkali izin yang dikeluarkan tidak lagi
sesuai dengan rencana tata ruang, demi untuk mengejar target pemasukan.
Selain itu, seringkali izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
lolos karena berbagai hal. UUPR mengenal konsep insentif dan disinsentif untuk
melapisi pengendalian izin yang seringkali lolos tersebut, tetapi konsep itu sejauh ini
tidak pernah dilaksanakan dalam penataan metropolitan bahkan dalam penataan ruang
secara keseluruhan.

Perspektif Aspek Hukum Penataan Metropolitan

Wacana Pengaturan Kawasan Metropolitan dalam Rancangan Peraturan


Penataan ruang metropolitan hendaknya mampu mengantisipasi berbagai permasalahan
akibat terjadinya perubahan fungsi ruang atau pengalihan fungsi lahan kawasan
perkotaan sebagai akibat dinamika kegiatan pembangunan kawasan perkotaan yang di
dalamnya termasuk peremajaan fisik perkotaan dan pembangunan permukiman
perkotaan dalam skala besar maupun kecil. Pertumbuhan kawasan perkotaan yang pesat
dan dinamis perlu diarahkan secara terencana dan terpadu baik dalam penataan
perkotaan sebagai suatu sistem perkotaan maupun secara individu perkotaan. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kawasan perkotaan
yang semakin pesat serta untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat di
kawasan perkotaan, diperlukan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang
mengatur pengelolaan kawasan perkotaan termasuk metropolitan.
Sebagaimana telah dikupas di atas bahwa peraturan perundang-undangan yang ada
dipandang belum cukup mengatur secara menyeluruh dan memberikan kepastian hukum
yang memadai dalam pembangunan kawasan perkotaan secara efisien dan efektif. Oleh
karenanya, berkembang pemikiran untuk menyusun suatu peraturan tentang pengelolaan
kawasan perkotaan yang bertujuan3 mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang
optimal, baik secara sistem maupun individu; mengatur pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial;
meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara
perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat; mencapai kualitas tata

3
Pemikiran ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Penataan Ruang untuk menyusun dan
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan disusunnya Peraturan Pemerintah tentang
Pemerintahan Kota.
278 Metropolitan di Indonesia

ruang kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam
pengembangan kualitas hidup manusia; mendorong dinamika kegiatan pembangunan
perkotaan sehingga dicapai kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal,
berwawasan lingkungan, berkeadilan, serta menunjang pelestarian nilai-nilai budaya;
menyelenggarakan pemerintahan di kawasan perkotaan yang mampu memberikan
pelayanan perkotaan secara efektif dan efisien kepada masyarakat kawasan perkotaan;
meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam
pembangunan kawasan perkotaan sebagai usaha bersama sesuai dengan tatanan yang
efisien, efektif, demokratis, dan bertanggung jawab; dan mendayagunakan seluruh
potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam
upaya menciptakan kawasan perkotaan sebagai ruang kehidupan yang serasi, selaras,
seimbang, layak, berkeadilan, berkelanjutan, dan menunjang pelestarian nilai-nilai sosial
budaya; menumbuh-kembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan dan
peningkatan lingkungan fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi, serta menciptakan
kohesi sosial. Selanjutnya, pemikiran ini dituangkan dalam suatu naskah Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengelolaan Kawasaan Perkotaan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tentang Penataan Ruang dan
undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dalam RPP tersebut, yang saat ini
statusnya masih dalam pembahasan intern departemen, dikembangkan landasan
pengaturan yang kuat yang ditunjukkan dengan dimuatnya beberapa peristilahan kunci
yang antara lain meliputi kawasan perkotaan, kawasan perkotaan baru, metropolitan,
pengelolaan kawasan perkotaan, rencana tata ruang kawasan perkotaan, forum pengelola
kawasan perkotaan, forum perkotaan, peran masyarakat dalam pembangunan perkotaan,
dan warga perkotaan.
Secara garis besar muatan pokok dalam RPP tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1) Kriteria dan klasifikasi kawasan perkotaan

Kawasan perkotaan adalah kawasan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a)


memiliki fungsi kegiatan utama budi daya bukan pertanian atau lebih dari 75 persen
mata pencaharian penduduknya di bidang industri, perdagangan, dan jasa; b)
memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa; c) memiliki
kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; dan d) memiliki fungsi
sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa yang didukung dengan
prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi.
Secara umum, suatu kawasan perkotaan dapat merupakan daerah kota, atau bagian
dari daerah kabupaten, atau bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten dan atau
kota. Sedangkan secara kategoris, terutama untuk pengembangan sistem
pelayanannya, kawasan-kawasan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan
jumlah penduduk sebagai berikut: a) Kawasan perkotaan kecil dengan jumlah
penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa; b) Kawasan perkotaan
sedang dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000
jiwa; c) Kawasan perkotaan besar dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih
besar dari 500.000 jiwa. Selain itu, terdapat metropolitan yang harus memenuhi
kriteria sebagai berikut: memiliki sistem pusat permukiman perkotaan yang terdiri
Hukum dan Kelembagaan 279

dari suatu kota inti dan kawasan pusat permukiman di wilayah sekitarnya yang
berfungsi sebagai satelit sebagai satu kesatuan fungsional secara fisik, ekonomi, dan
sosial; dan jumlah penduduknya secara keseluruhan lebih dari 1.000.000 (satu juta)
jiwa.
2) Kelembagaan dan pembiayaan kawasan perkotaan

Untuk kawasan perkotaan selain metropolitan (kawasan perkotaan kecil, sedang, dan
besar), kelembagaannya diatur oleh kepala daerah dan dimungkinkan serta didorong
dengan adanya kerja sama antara daerah dalam rangka pembangunan perkotaan.
Dalam hal kawasan perkotaan merupakan kawasan perkotaan baru (yang biasanya
berada pada suatu kabupaten) maka dapat dibentuk badan atau unit pengelola
pembangunan yang ditetapkan dengan keputusan bupati. Sedangkan dari segi
pembiayaan pada dasarnya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten bersangkutan atau sumber pendanaan lain yang sah.
Pembiayaan di sini terdiri atas penetapan komponen-komponen dan besaran
pembiayaan yang disesuaikan dengan prioritas program. Khusus untuk
pembangunan kawasan perkotaan baru, maka pembiayaannya dapat bersumber dari:
a) dana masyarakat; b) dana publik yang berasal dari pemerintah pusat, daerah, dan
atau desa; c) pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil pengelolaan aset pemerintah
pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, swasta dan aset badan atau lembaga
masyarakat di kawasan yang direncanakan sebagai kawasan perkotaan baru; dan d)
dana yang berasal dari pinjaman sesuai ketentuan perundang-undangan. Untuk
pengelolaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan pasca
pembangunan, selain sebagaimana dimaksud di atas, sumber dana dapat juga berasal
dari pendapatan yang dipungut dari konsumen.
Untuk kawasan perkotaan metropolitan yang mencakup dua atau lebih daerah
kabupaten dan atau kota yang berbatasan langsung dilakukan atas dasar kerja sama
antardaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka
kerja sama antardaerah tersebut dapat dibentuk badan metropolitan. Badan ini dapat
memperoleh pelimpahan kewenangan dari kepala daerah yang ditetapkan dengan
keputusan bersama kepala daerah setelah mendapat persetujuan dewan perwakilan
rakyat daerah masing-masing. Adapun kewenangan dimaksud dapat meliputi: a)
penyusunan program dan pemberian izin bagi kegiatan dan pelayanan lintas daerah
dalam kawasan metropolitan; b) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
pembangunan di kawasan metropolitan. Dalam hal pembiayaannya, badan
metropolitan ditetapkan dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran badan
metropolitan, yang bersumber dari: a) anggaran pendapatan dan belanja daerah dari
tiap-tiap pemerintah daerah yang disepakati bersama; b) sumber pendapatan lain
yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Peran Masyarakat

Dalam penyelenggaraan pengelolaan kawasan perkotaan, pengelola kawasan


perkotaan mengikutsertakan masyarakat perkotaan. Pengikutsertaan masyarakat
perkotaan dapat diselenggarakan melalui suatu forum perkotaan atau bentuk lain
yang sesuai dengan karakteristik masyarakat perkotaan setempat. Masyarakat dapat
280 Metropolitan di Indonesia

secara aktif ikut serta dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan
kawasan perkotaan, penyusunan rencana tata ruang, penyusunan program
pembangunan, dan pengendaliannya.
4) Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan

Dalam rangka pengelolaan kawasan perkotaan disusun rencana tata ruang kawasan
perkotaan. Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang berada di dalam wilayah
daerah kabupaten adalah bagian dari rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten
yang bersangkutan. Dalam hal kawasan perkotaan merupakan daerah kota, rencana
tata ruang kawasan perkotaan adalah rencana tata ruang wilayah kota. Rencana tata
ruang kawasan perkotaan berisi rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang.
Rencana struktur ruang mencakup rencana pusat-pusat pelayanan perkotaan, pusat-
pusat lingkungan permukiman, dan rencana infrastruktur. Sementara itu, rencana
pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan merupakan bentuk pemanfaatan ruang
kawasan perkotaan yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan
manusia dan atau kegiatan alam.
Rencana tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan kedalaman rencananya
dibedakan atas: a) rencana struktur tata ruang metropolitan; b) rencana umum tata
ruang kawasan perkotaan; c) rencana detail tata ruang kawasan perkotaan; d)
rencana teknik ruang kawasan perkotaan atau rencana tata bangunan dan
lingkungan.
Rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat ditinjau kembali dan atau
disempurnakan sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan kawasan
perkotaan. Peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan
bagian dari peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota dan
dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun, sedangkan penyempurnaan
rencana tata ruang kawasan perkotaan dilakukan dalam hal peninjauan kembali
rencana tata ruang kawasan perkotaan yang menunjukkan perubahan dan atau
penyimpangan yang mendasar.
5) Pembangunan kawasan perkotaan

Pembangunan kawasan perkotaan dilaksanakan melalui program dan pelaksanaan


pembangunan kawasan sebagai berikut:
(1) Program Pembangunan
Pembangunan kawasan perkotaan diselenggarakan dalam rangka pemanfaatan ruang
berdasarkan rencana tata ruang. Untuk itu dapat disusun suatu rencana program
pembangunan kawasan perkotaan. Program pembangunan beserta pembiayaannya
diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang.
Program pembangunan kawasan perkotaan terdiri dari program jangka pendek
(tahunan) dan program jangka menengah (lima tahunan). Penyusunan program
pembangunan kawasan perkotaan didasarkan pada kemampuan nyata pengelola
kawasan perkotaan termasuk kemampuan untuk pengoperasian dan
pemeliharaannya;
Hukum dan Kelembagaan 281

(2) Pelaksanaan Pembangunan


Pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan, baik fisik maupun nonfisik,
mengacu pada program pembangunan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di
atas yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat, baik secara sendiri-
sendiri maupun melalui pola kemitraan.
6) Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan

Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan dilakukan melalui mekanisme


perizinan, pengawasan, penertiban, dan pemberian informasi. Dalam hal ini,
pemerintah perlu menetapkan pedoman penyusunan ketentuan perizinan di kawasan
perkotaan.
Pengawasan terhadap pengelolaan kawasan perkotaan dilaksanakan oleh pemerintah
pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/ kota dan masyarakat sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku; sedangkan penertiban atas
pelanggaran ketentuan perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan pembangunan
kawasan perkotaan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota.
7) Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan pengelolaan kawasan perkotaan dilakukan oleh


pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila
terjadi perselisihan antardaerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan diselesaikan
oleh pemerintah pusat secara musyawarah.
Pada tingkat nasional dan atau propinsi dapat dibentuk forum pengembangan
perkotaan yang berfungsi memberikan masukan kebijakan pembangunan kawasan
perkotaan. Keanggotaan forum pengembangan perkotaan terdiri atas: instansi
pemerintah terkait, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, perguruan tinggi,
dan organisasi nonpemerintah.
Sementara itu, dalam RUU Penataan Ruang yang merupakan rancangan pengganti
UUPR diatur juga penataan metropolitan sebagai bagian dari kawasan perkotaan. Dalam
hal ini, penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada kawasan perkotaan
yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten atau kawasan yang secara fungsional
berciri perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota pada satu atau
lebih wilayah propinsi. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di atas dapat
berbentuk kawasan metropolitan atau megapolitan.
Secara garis besar RUU memuat hal-hal pokok mengenai kawasan perkotaan
sebagai berikut:
1) Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan

Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah
kabupaten adalah rencana detail dari rencana tata ruang wilayah kabupaten. Untuk
kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota, maka
rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan
pembangunan yang bersifat lintas wilayah. Rencana tata ruang ini berisi arahan
282 Metropolitan di Indonesia

struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang bersifat lintas wilayah
administratif.
Sementara itu, rencana tata ruang kawasan metropolitan merupakan alat koordinasi
pelaksanaan pembangunan lintas wilayah yang tidak berbentuk sebagai rencana
seperti halnya rencana tata ruang wilayah tetapi merupakan pedoman untuk
sinkronisasi perencanaan wilayah administrasi di dalam kawasan. Rencana ini berisi
rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang merupakan
sinkronisasi dari struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang wilayah administratif di
dalam kawasan; arahan pengelolaan kawasan metropolitan; dan indikasi program
pemanfaatan ruang kawasan metropolitan.
2) Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan

Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah


kabupaten merupakan bagian dari pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, sedangkan
pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih
wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan
beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten/ kota terkait.
3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan

Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari


wilayah kabupaten merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten. Sementara itu, pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan oleh tiap-tiap
kabupaten/ kota. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah
kabupaten/ kota yang mempunyai lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya
dapat dilaksanakan oleh lembaga yang dimaksud.
4) Kerja sama Pengelolaan Kawasan Perkotaan

Pengelolaan kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/
kota dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.

Kebutuhan peraturan metropolitan


Peraturan metropolitan seyogianya merupakan suatu keseluruhan kaidah-kaidah tertulis
yang mengatur penataan metropolitan dari mulai perencanaan, pembangunan hingga
operasionalisasi kegiatan-kegiatan perkotaan yang menjadi domain publik dalam
pengaturannya.
Dari uraian tentang rancangan peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa
penataan kawasan perkotaan termasuk penataan metropolitan ke depan akan diatur
secara lebih menyeluruh, tetapi aspek-aspek penegakan hukumnya masih belum diatur
secara lebih rinci. Pengaturan aspek penegakan hukum secara rinci sangat diperlukan
untuk memudahkan implementasi materi peraturan yang akan ditetapkan. Sebagus
apapun materi suatu aturan, kalau penegakannya lemah maka peraturan tersebut
sebenarnya sudah kedaluwarsa atau dengan kata lain hanyalah merupakan ‘macan
kertas’.
Hukum dan Kelembagaan 283

Secara umum kaidah-kaidah yang perlu ada dan disusun dalam suatu sistem
pengaturan penataan metropolitan adalah pertama, pengaturan yang berkaitan dengan
perencanaan penataan metropolitan. Sesuai dengan pengalaman dalam pengembangan
metropolitan selama ini serta “Best Practice” yang dijalankan di negara-negara lain,
khususnya negara-negara maju, maka pengaturan perencanaan metropolitan meliputi
perencanaan tata ruang yang bersifat makro yang produknya biasa dikenal sebagai
master plan atau schéma directeur dan perencanaan tata ruang yang bersifat mikro yang
produknya dalam bentuk rencana rinci atau rencana detail tata ruang yang memuat atau
dilengkapi dengan peraturan zoning
Rencana tata ruang yang bersifat makro menurut UU No. 24 tahun 1992 dikenal
sebagai rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota merupakan dokumen rencana yang
harus menjadi acuan pertama dalam pengembangan perkotaan. Rencana ini mestinya
memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat kaku sehingga tidak dimungkinkan adanya
perubahan peruntukan pemanfaatan ruang, juga memuat ketentuan-ketentuan yang dapat
bersifat fleksibel sehingga dapat menampung dinamika yang terjadi pada masyarakat.
Rencana yang bersifat makro ini haruslah merupakan dasar perizinan lokasi kegiatan.
Pada tataran rencana mikro atau rencana rinci, rencana ini harus menjadi arahan bagi
perizinan mendirikan bangunan. Dalam hal ini tidak perlu ada dualisme pengaturan tata
ruang dan tata guna tanah. Rencana rinci tersebut merupakan satu-satunya dokumen
legal yang mengatur peruntukan penggunaan ruang termasuk tanah.
Kedua, perlunya pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan perkotaan/
metropolitan. Dalam hal ini diperlukan pengaturan tentang bagaimana rencana tata ruang
metropolitan diimplementasikan menjadi suatu kegiatan penataan metropolitan untuk
mewujudkan rencana yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ketentuan yang memuat
tentang program penataan ruang metropolitan dan ketentuan-ketentuan tentang
penyiapan kawasan maupun lingkungan siap bangun, yang semestinya menjadi bagian
sentral dari pengaturan pada tahap ini. Selama ini, UU No. 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman baru mengatur kawasan dan lingkungan siap bangun untuk
perumahan dan permukiman. Dalam pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan
perkotaan di sini harus memuat seluruh pengaturan tentang penyediaan kawasan maupun
lingkungan siap bangun untuk seluruh sektor kegiatan pembangunan perkotaan. Selain
diperlukan kaidah-kaidah tentang penyiapan tanah matang, juga sangat diperlukan
pengaturan atau rujukan pengaturan tentang perolehan tanah (land acquisition), seperti
pembebasan tanah, konsolidasi tanah, bank tanah, dan lain-lain untuk keperluan
pembangunan perkotaan.
Ketiga, perlunya pengaturan tentang pengelolaan pelayanan umum. Maksudnya,
perlu pengaturan tentang jenis metode pengelolaan dan penanggung jawab atau pelaku
pengelolanya sendiri. Secara umum, jenis metode pengelolaan pelayanan umum dapat
dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu :
1) Pengelolaan langsung yang dilakukan sendiri secara swakelola oleh dinas-dinas
terkait maupun melalui kerja sama antardinas di bawah sistem kerja sama antara
daerah;
2) Pengelolaan yang didelegasikan baik kepada organisasi semi publik seperti Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) atau organisasi sejenis lainnya, maupun kepada
perusahaan swasta dengan jenis-jenis kerja sama yang terukur dan diatur secara rinci
284 Metropolitan di Indonesia

dalam peraturan perundang-undangan. Jenis-jenis pengelolaan pelayanan umum


yang dapat disediakan oleh swasta dapat dilakukan antara lain melalui skema BOO,
BOT, Ruilslag, Turn Key, dan konsesi.
Keempat, perlunya pengaturan tentang aspek-aspek penegakan hukum yang
dititikberatkan pada mekanisme perizinan berikut pengawasannya, ketentuan sanksi serta
prosedur penerapannya, pengembangan kemampuan dan integritas aparatur,
pengembangan prasarana dan sarana penegakan hukum, dan pengembangan kesadaran
masyarakat untuk patuh pada peraturan penataan metropolitan.

Penutup
Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari kawasan perkotaan
dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan sebagai
kawasan metropolitan yang perlu dikelola secara khusus dalam berbagai rancangan
peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan yang jelas batas
dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan dalam mengelola suatu kawasan metropolitan
akan tergantung kepada: Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan
akan dibawa. Hal ini mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam
masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini
mesti didukung oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan
oleh masyarakat untuk mengelola metropolitan; Kedua, aturan hukum yang lengkap
dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan aturan yang disusun dan disepakati
bersama. Kelengkapan aturan beserta penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang
telah ditentukan dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan
applicable. Penegakan hukum mesti dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero
tolerance, yaitu penerapan hukum tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama di depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid
sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan
aparat dan aparatur atau birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan
kewenangan dan tugasnya secara jujur dan bersih.

KELEMBAGAAN

Pendahuluan

Kawasan metropolitan atau metropolis sebagai kawasan fungsional yang bersifat


metropolitan memerlukan perhatian khusus dari sisi pengelolaannya. Oleh karena sifat
fungsional perkotaannya yang lintas batas wewenang administratif, maka pengelolaan
tidak dapat dilakukan secara legal formal oleh tiap-tiap daerah otonom pemegang
kekuasaan otoritas administratif, khususnya dalam penataan ruang, tanpa menimbulkan
eksternalitas ke daerah lainnya. Jika yang terdorong adalah eksternalitas positif, tentunya
tidak akan banyak timbul persoalan di antara tiap-tiap daerah, dan juga di antara
masyarakat dalam lingkup kawasan metropolitan tersebut. Sayangnya, justru berbagai
eksternalitas yang negatif yang seringkali muncul ke permukaan, sebagai implikasi dari
tuntutan layanan fasilitas, utilitas, serta infrastruktur yang bersifat makro – lintas daerah,
lintas fungsi, dan lintas dampak. Oleh karena itulah muncul usaha untuk
Hukum dan Kelembagaan 285

menginternalisasi berbagai eksternalitas penataan ruang yang timbul dari kebutuhan


penyediaan pelayanan jasa dan produk yang bersifat “inter-local public goods/ services”
kedalam pembentukan suatu institusi kawasan secara lebih luas. Tingkat kebutuhan akan
institusi ini akan hampir sama besarnya dengan tingkat kebutuhan kita atas ada/ tersedia
dan berfungsinya infrastuktur, fasilitas, dan utilitas dasar makro untuk mempertahankan
kehidupan dan penghidupan penduduk kawasan metropolitan itu sendiri.
Meskipun masyarakat yang tinggal di berbagai kawasan metropolitan di seluruh
dunia sepakat membutuhkan suatu bentuk kelembagaan dan lembaga formal untuk
menjamin terselenggaranya dan/ atau terpenuhinya standar tingkat layanan makro yang
dibutuhkannya, tetapi dapat dipastikan tidak ada bentuk kelembagaan dan/ atau lembaga
metropolitan yang persis sama di dunia ini. Hal yang paling dekat diketemukan adalah
kemiripan saja antara satu dengan lainnya dalam beberapa aspek sehingga kemudian
dijadikan alat pengklasifikasian untuk mengelompokkan bentuk atau format lembaga-
lembaga metropolitan tersebut.
Oleh karena itu, berbagai pengklasifikasian bentuk lembaga metropolitan seperti
“interkomunalitas”4, “suprakomunalitas”5, atau “wadah koordinasi” adalah lebih kepada
kemiripan proses dan prosedur pengaturan ketatalaksanaan kerja yang digunakan oleh
daerah-daerah di metropolitan tersebut untuk menyelesaikan persoalan bersama mereka.

Kelembagaan

Untuk menjelaskan mengapa tidak ada kelembagaan yang sama antara satu daerah
dengan daerah lainnya, atau dalam kasus ini antara satu kawasan metropolitan dengan
kawasan metropolitan lainnya, berikut ini akan dikemukakan hal-hal yang konsepsional
tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kelembagaan, termasuk nantinya adalah
apa bedanya dengan lembaga/organisasi. Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli
kelembagaan yang mengemukakan bahwa ‘kelembagaan’ adalah:
 “The humanly devised constraints that shape human interaction ... They stucture
incentives in human exchange, whether political, social or economic ... Institutions
reduce uncertainty by providing a structure to everyday life ... Institutions include any
form of constraint that human beings devise to shape interaction” (Bainbridge, et.al,
2000:6)
 “Institutions are the constraints that human beings impose on human interaction. They
consist of formal rules (constitutions, statute law, common law, and regulations) and
informal constraints (conventions, norms, and self-enforced codes of conduct) and
their enforcement characteristic” (North, 1998:11)

4
Interkomunalitas adalah bentuk kerja sama yang diwujudkan melalui pembentukan suatu lembaga
yang bertugas mengelola kepentingan bersama daerah-daerah yang bekerja sama, dibentuk dan diserahi
tugas oleh daerah-daerah yang bekerja sama untuk mengurus beberapa kegiatan yang menjadi
kepentingan bersama.
5
Suprakomunalitas adalah bentuk kerja sama antardaerah yang diwujudkan melalui pembentukan suatu
wilayah administrasi baru dengan menggabungkan daerah lama kedalam sebuah struktur yang besar
atau daerah lama menjadi subordinasi lembaga yang baru.
286 Metropolitan di Indonesia

 “Wherever we encounter substantial, continued, organized activity with means


structures to pursue shared goals, we deal with behavior that at some stage of
consequence can be called institutional.” (Hurst, 1977:48)
Sementara itu, menurut Israel (1990:11) kelembagaan mempunyai konsep yang luas
yaitu:
“…encompasses entities at the local or community level, project management units,
parastatals, line agencies in the central government, and so on. An institution can belong
to the public or the private sector and may also refer to governmentwide administrative
functions.”
Memperhatikan berbagai kutipan tersebut, pada prinsipnya dapat disimpulkan
bahwa pengertian kelembagaan adalah lebih luas dari sekadar lembaga. Kelembagaan/
kepranataan/ institusi adalah suatu bentuk kesatuan unsur ‘formal’ (kesepakatan) beserta
jaringan dukungan yang dikembangkan di dalamnya secara terorganisasi, yang secara
berkesinambungan mempengaruhi sistem pengelolaan sumber daya suatu entitas
tertentu, untuk menghasilkan dan/ atau melindungi perubahan ke arah pencapaian tujuan
pembangunan tertentu.
Konsepsi mengenai kelembagaan tersebut beserta faktor-faktor penentunya dapat
dilihat dalam GAMBAR 7 - 1. Gambar tersebut secara tidak langsung menjelaskan
bahwa kelembagaan adalah bersifat dinamis, bergantung pada berbagai aspek di
lingkungannya yang spesifik, yang juga ternyata bersifat dinamis. Kompleksitas dan
kerumitan sistem kelembagaan yang dibentuk (misalnya untuk metropolitan tertentu)
akan ditentukan oleh kondisi dan situasi lingkungan manusianya (sosial-budaya, sosial-
ekonomi, sosial-politik, ketatanegaraan, dan lain-lainnya), situasi lingkungan alam dan
kondisi ketersediaan sumber daya (alam, teknologi, energi, dan sumber daya lainnya), di
samping dari tujuan khusus pengembangan dan/ atau pembangunan yang ditetapkan.
Jadi, meskipun dengan satu tujuan yang sama pun, misalnya penataan ruang untuk
pembangunan berkelanjutan, di setiap metropolitan kelihatannya akan memerlukan
bentuk kelembagaan yang berbeda-beda. Unsur pertimbangan lingkungan pembentuknya
berbeda. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sistem kelembagaan metropolitan dari
satu tempat ke tempat lain akan mempunyai perbedaan.

Lembaga Kawasan Metropolitan dan Permasalahannya

Kawasan Metropolitan di Indonesia terus berkembang sesuai dengan percepatan jumlah


penduduk dan kegiatan perekonomian seiring dengan proses aglomerasi dalam segala
aspek di kota-kota besar yang sudah ada, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung,
Makassar, dan lain-lain yang segera menyusul. Sayangnya, kecenderungan
berkembangnya wilayah fungsional perkotaan yang membentuk kawasan metropolitan
ini tidak diantisipasi dan dipersiapkan sedini mungkin dengan pembentukan lembaga
metropolitan yang jelas sehingga dapat secara efektif mengawal pertumbuhan
perkembangan tiap-tiap wilayah metropolitan tersebut secara optimal di berbagai
belahan wilayah Indonesia.
Hukum dan Kelembagaan 287

TUJUAN
PEMBANGUNAN

LIN
AN

GK
S
G

R
UN

Me ses DUR
DE

UN
OL SI

Pr OSE
EH P A
GK

ST RT N &

PR

ka ,

GA
o
AK ISI
L IN

nis
PAERA

N
me
P

,
KELEMBAGAAN

KONDISI SUMBERDAYA,
BENTUK,
SOS-
SOS-BUD-
BUD- TEKNOLOGI,
STRUKTUR
EKONOMI-
EKONOMI- ENERGI, DLL
POLITIK
LINGKUNGAN

GAMBAR 7 - 1 Lingkup Kelembagaan

Persoalan dan konflik antardaerah kota/ kabupaten yang secara administratif


otoritasnya terpisah, tetapi secara fungsional kawasan perkotaannya menyatu menjadi
hal yang biasa dan malah cenderung melebar ke berbagai aspek pembangunan kota,
tidak hanya sekadar masalah fisik ruang dan lingkungan saja. Berbagai persoalan dan
konflik pelayanan publik, seperti kependudukan, kesehatan, pendidikan, industri dan
perdagangan, dan lain-lainnya menunjukkan eskalasi yang meningkat tajam, karena
memang sangat bervariasinya standar pelayanan yang diberikan tiap-tiap unit daerah
otonom di kawasan metropolitan tersebut. Contoh saja adalah standar pelayanan publik
yang diberikan DKI Jakarta sangat berbeda dengan daerah tetangganya, seperti Kota
Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan beberapa kabupaten seperti
Bogor, Tangerang, Bekasi yang kesemuanya membentuk satu kawasan Metropolitan
Jakarta. Hal yang sama dialami pula dengan Kota Surabaya dengan kota dan kabupaten
di sekitarnya di Jawa Timur seperti Gresik, Bangkalan, Sidoarjo, dan Lamongan; serta
Kota Bandung dengan daerah di sekitarnya seperti Kota Cimahi, Kabupaten Bandung,
dan Kabupaten Sumedang; dan juga berbagai daerah di sekitar Kota Medan, Kota
Makassar, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan segera menyusul kota-kota besar
lainnya.
Kawasan-kawasan metropolitan di Indonesia, dan juga di berbagai negara sedang
berkembang lainnya, memiliki persoalan-persoalan yang hampir sama, yaitu:
• Mundurnya aspek kehidupan perkotaan, seperti: segregasi sosial dan spasial;
peningkatan kemiskinan kota; peningkatan kriminalitas, kekerasan; kekurangan
288 Metropolitan di Indonesia

perumahan layak; kemacetan lalu lintas; kerusakan lingkungan hidup, dan lain
sebagainya.
• Kekacauan pengelolaan kawasan perkotaan, seperti: tidak adanya kewenangan yang
memadai dalam mengelola kawasan perkotaan secara keseluruhan, rencana tata
ruang yang susah dilaksanakan – bahkan saling berbenturan, kelangkaan dana
publik, lemahnya pengelolaan lahan (pertanahan), dan lain-lainnya.
Untuk itu, suatu bentuk lembaga yang khusus diperlukan untuk mengelola kawasan
metropolitan. Meskipun tetap terjadi perdebatan panjang secara teoritis antara penganut
pilihan publik/ ‘public choice’ seperti Ostrom, Tiebout, dan Warren dengan penganut
‘reformator’ seperti Wood, lembaga di tingkat ini sudah menjadi kebijakan nasional di
berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang maju baik di Amerika, Eropa,
Australia, maupun Asia, dengan memberikan suatu bentuk khusus pola lembaga
pengelola metropolitan yang tidak mengikuti pola-pola umum lembaga pengelolaan
publik seperti yang diberlakukan di negara masing-masing.
Beberapa tipologi lembaga kawasan metropolitan yang ada pada saat ini di
antaranya:
1. Adanya otoritas khusus pada skala metropolitan, misalnya Greater Vancouver
Regional District (GVRD), Greater London Authority (GLA), Bangkok
Metropolitan Authority (BMA), Kolkata (Calcutta) Metropolitan Development
Authority (KMDA), Metro Naga Development Council (MNDC), dan lain-lain.
2. Adanya administrasi lokal setingkat propinsi, misalnya Metropolitan Paris, Prefektur
Metropolitan Tokyo, dan Metropolitan Manila.
3. Tidak ada otoritas lembaga khusus maupun administrasi lokal pada skala
metropolitan, misalnya Bandar Raya Kuala Lumpur, dan yang ada di Indonesia
(Jabodetabekjur di sekitar Jakarta, Cekungan Bandung, Gerbangkertosusila di
sekitar Surabaya, dll).
Tipologi ke 3 di atas, seperti yang dipraktekkan Indonesia, berimplikasi pada
diterapkannya keharusan untuk kerja sama antardaerah otonom di kawasan metropolitan.
Khusus di Indonesia, kerja sama antardaerah ternyata masih belum efektif dengan
adanya berbagai kendala seperti (Oetomo, 2004):
• ketidakjelasan otoritas/ kewenangan,
• rendahnya komitmen,
• rendahnya kapasitas lembaga pembangunan – khususnya penataan ruang, dan
• kurang tersedianya pendukung kelembagaan yang memadai.
Kendala-kendala tersebut telah memunculkan berbagai persoalan serius dalam beberapa
hal, yaitu:
• pengelolaan pertumbuhan (growth management) kawasan metropolitan;
• pengelolaan partisipatif (participatory management) sebagai pengejawantahan
penatakelolaan yang baik (good governance);
Hukum dan Kelembagaan 289

• pembangunan berkelanjutan (sustainable development) baik secara ekonomi, sosial,


maupun ekologi; serta
• pembentukan dan pengefektifan kelembagaan formal antardaerah.

Bentuk dan Struktur Lembaga Metropolitan di Berbagai Negara

Sebagai contoh dari lembaga metropolitan tersebut di atas, di sini akan diberikan contoh
Greater Vancouver Regional District (GVRD) yang menggunakan adanya otoritas
khusus pada skala metropolitan, dan Metropolitan Tokyo yang menggunakan
administrasi lokal setingkat propinsi, serta Metropolitan Manila Development Authority
(MMDA) yang berada di antara dua jenis kelembagaan metropolitan tersebut di atas,
yaitu membentuk lembaga dengan otoritas khusus pada skala metropolitan tetapi
kemudian dilegalkan oleh Presiden dengan menunjuk Gubernur Metropolitan untuk
memimpin lembaga ini. Selain itu, juga ditambahkan dengan Kolkata Metropolitan
Development Authority (KMDA) yang menggabungkan peran Pemerintah Negara
Bagian dengan Pemerintah Daerah secara bersamaan dalam satu bentuk lembaga
metropolitan.

Greater Vancouver Regional District (GVRD)


Greater Vancouver Regional District atau disingkat GVRD adalah entitas pemerintahan
(partnership) yang berkedudukan di bawah propinsi tapi di atas kabupaten/ kota di
Kawasan Metropolitan Vancouver, British Columbia – Kanada. GVRD telah berdiri
sejak tahun 1967. Berikut ini adalah selintas hal-hal yang berkaitan dengan GVRD
tersebut.
GVRD beranggotakan 21 kabupaten/ kota ditambah satu wilayah elektoral yang
tidak tergabung di sekitar kota Vancouver. Fungsi utama GVRD adalah
mengadministrasikan sumber daya dan pelayanan yang bersifat lintas kawasan
metropolitan termasuk perencanaan komunitas (community planning), sumber daya air,
buangan (sewage), drainase, perumahan, transportasi, kualitas udara (air quality), dan
pertamanan (parks).
Tiap-tiap pemerintah kabupaten/ kota mengirim wakilnya (walikota/ anggota dewan
yang dipilih) untuk menjadi Board of Directors di GVRD, dengan jumlah total 35 orang.
Jumlah wakil proporsional dengan jumlah penduduk (tahun 2004: sampai dengan
100.000 penduduk satu wakil). Satu Director mempunyai hak suara 1 untuk setiap
20.000 penduduk di kabupaten/ kota yang diwakilinya, sampai maksimum 5 suara (vote).
Board of Directors dipimpin oleh 1 ketua dan 1 wakil ketua yang dipilih. Board of
Directors mempunyai 8 komisi dan 1 biro, yang masing-masing dipimpin oleh 1 ketua
komisi & 1 wakil ketua komisi. Komisi & Biro dari GVRD terdiri dari Communities
Committee, Corporate and Intergovernmental Committee, Finance Committee, Housing
Committee, Planning and Environment Committee, Parks Committee, Waste
Management Committee, Water Committee, dan Labour Relations Bureau.
Board of Directors didukung oleh eksekutif administrasi yang merupakan pegawai
pemerintah metropolitan yang terbagi kedalam departemen-departemen/ dinas sebagai
berikut:
290 Metropolitan di Indonesia

• Chief Administrator's Office;


• Corporate Secretary's Department;
• Engineering and Construction Department;
• Finance and Administration Department;
• Housing Department;
• Human Resources;
• Information Technology Department;
• Labour Relations Department;
• Operations and Maintenance Department;
• Policy and Planning Department;
• Regional Parks Department.
Tiap-tiap departemen dipimpin oleh seorang manager. Secara keseluruhan, eksekutif
administrasi ini dipimpin oleh seorang Chief Administrative Officer dan seorang Deputy
Chief Administrative Officer.
Rencana skala wilayah (Regional Plan) yang ditetapkan oleh GVRD adalah:
• Air Quality Management Plan;
• Liquid Waste Management Plan;
• Livable Region Strategic Plan - Growth Management Strategy;
• Solid Waste Management Plan;
• Watershed Management Plan;
• LSCR Management Plan (Lower Seymour Conservation Reserve).
Beberapa proyek pembangunan wilayah (Regional Development Projects) yang
dilakukan antara lain:
• Economic Strategy for Agriculture in the Lower Mainland
• Livable Centres
• Sustainable Region Initiative
• Regional Plan on Homelessness
• GVRD Involvement in Treaty Negotiations
• Howe Sound Community Forum
Rencana pada skala metropolitan yang dihasilkan oleh GVRD di antaranya adalah
Livable Region Strategic Plan – GVRD. Sasaran-sasaran utama dari Rencana ini antara
lain:
1. Melindungi zona hijau; Zona hijau melindungi sumber daya alam Greater
Vancouver, termasuk taman-taman/ hutan kota utama, daerah aliran sungai,
kawasan-kawasan yang secara ekologis penting, dan lahan-lahan sumber daya
seperti lahan pertanian. Dalam hal ini, rencana ini juga menetapkan batas
pertumbuhan wilayah jangka panjang.
2. Membangunan komunitas yang lengkap; Rencana tersebut mendukung keinginan
publik atas komunitas yang diharapkan dengan rentang kesempatan yang lebih luas
bagi kehidupan sehari-hari. Pembangunan difokuskan pada pusat-pusat wilayah dan
kota. Komunitas yang lengkap diharapkan akan menghasilkan lebih banyak
pekerjaan yang lebih dekat dengan tempat di mana penduduk tinggal dan aksesibel
Hukum dan Kelembagaan 291

terhadap transit, pertokoan dan pelayanan dekat rumah, serta pilihan yang luas atas
tipe-tipe rumah.
3. Menuju wilayah metropolitan yang kompak; Rencana tersebut menghindari
penyebaran pembangunan yang meluas dan mengakomodasi proporsi pertumbuhan
penduduk yang signifikan di dalam “kawasan konsentrasi pertumbuhan” di bagian
pusat wilayah.
4. Meningkatkan pilihan transportasi; Rencana tersebut mendukung peningkatan
penggunaan transit, jalan kaki, dan bersepeda dengan meminimasi keinginan dan
kebutuhan untuk perjalanan (melalui pengaturan penggunaan lahan yang nyaman)
dan dengan melakukan manajemen penyediaan dan kebutuhan transportasi.
McGee (1998, hal. 125) mengatakan bahwa model pembentukan sistem
pemerintahan di Kawasan Metropolitan Vancouver yang berbasis pada pemerintah lokal
tersebut mencirikan proses “good governance”. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan
tujuan dan fungsi pembentukan GVRD yang lebih diarahkan untuk manajemen
pertumbuhan, penciptaan suatu “livable region”, dan peningkatan pilihan untuk
penduduk wilayah dalam hal transportasi, pekerjaan, dan rekreasi di dalam kerangka
yang bekerja dengan tekanan pasar, bukan berlawanan dengan pasar. Disimpulkannya
pula bahwa bagaimanapun baiknya model seperti ini, tidak selalu dapat dicontoh dan
dipindahkan ke negara-negara Asia yang mempunyai karakteristik yang berbeda.

Metropolitan Tokyo
Kawasan Metropolitan Tokyo berbentuk Prefektur (setingkat propinsi di Indonesia) di
antara 47 Prefektur di seluruh Jepang. Dalam bahasa Jepang, Kawasan Metropolitan
Tokyo disebut Tokyo-to, berbeda dengan prefekture lain di Jepang yang biasanya
disebut ken seperti Akita-ken atau Aomori-ken.
Dalam Kawasan Metropolitan Tokyo terdapat 26 shi (kota besar), 5 cho (kota kecil)
and 8 son (desa). Selain itu, dalam Kawasan Metropolitan Tokyo juga terdapat daerah
khusus (special ward) yang hanya terdapat di Tokyo, dan dalam bahasa Jepang disebut
ku, yang berjumlah 23 special ward. Ke-23 special-ward area di Tokyo ini membentuk
suatu kawasan administratif untuk “the center of the capital”. Special ward ini
wewenangnya sama dengan shi tetapi disesuaikan dengan kebutuhan suatu metropolitan
besar. Tokyo Metropolitan Government (TMG) melaksanakan beberapa pekerjaan
administratif yang juga biasanya dilakukan oleh Shi, misalnya menarik dan
mengumpulkan sejumlah jenis pajak kota.
Suatu sistem adminitrasi yang khusus kemudian dibentuk antara TMG dengan ke-23
special ward, yang tidak dijumpai di tempat lain. TMG mengelola pelayanan publik
seperti waterworks, sewerage dan pemadam kebakaran untuk keseluruhan 23 special-
ward area sebagai suatu lembaga tunggal, demikian juga untuk keseluruhan shi. Hal ini
dilakukan untuk menjaga keseragaman pelayanan, dan efisiensi pelayanan untuk
keseluruhan daerah metropolitan. TMG juga melakukan penarikan pajak seperti yang
dilakukan oleh Shi di tempat lain. Pajak-pajak ini di antaranya adalah ‘the corporate
portion of residents' taxes’, dan ‘the fixed assets tax’.
TMG dan 23 special ward bertanggung jawab untuk urusan administratif yang
biasanya dilakukan oleh Shi, dan mereka membagi hasil sumber-sumber pendapatan
292 Metropolitan di Indonesia

pajak untuk membiayai hal tersebut. Sistem penyesuaian keuangan ini dirancang untuk
menjamin keseimbangan distribusi sumber-sumber keuangan. Saat ini, proporsi tertentu
dari tiga jenis pajak metropolitan (corporate portion of the residents' tax, fixed assets tax
dan special land ownership tax) dialokasikan kepada pemerintahan Special Ward dengan
sistem semacam Dana Alokasi Umum (mengisi fiscal gap) di Indonesia.
Sejak 1974, ke 23 special ward dipersilakan untuk memilih walikota mereka dengan
pemilu (popular vote) dan melaksanakan urusan yang sama dengan kota-kota lain.
Kemudian persoalan muncul terkait dengan kejelasan peran dan kewajiban administratif
antara special ward dengan TMG tersebut. Untuk itu, TMG dan special ward melakukan
studi dan meminta kepada pemerintah pusat untuk mengubah peraturan perundang-
undangan terkait. Sebagai hasilnya pada tahun 2000 sistem ward yang baru muncul
sebagai suatu ‘basic local public entities’, yang berwenang mengurusi pelayanan umum
yang memang harus dekat kepada kehidupan masyarakat, sehingga seperti pengelolaan
buangan harus diserahkan kepada wards.
Dalam hal kewenangan, TMG melaksanakan kewenangan yang lebih makro,
sedangkan shi/ cho/ son untuk urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan
kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi, meskipun berdasarkan peraturan
perundang-undangan otonomi daerah di Jepang kewenangan untuk pemadaman
kebakaran seharusnya menjadi kewenangan kota, tetapi untuk kepentingan efisiensi dan
keefektivan bagi metropolitan seperti Tokyo, hal tersebut kemudian ditetapkan menjadi
urusan TMG. Secara umum, TMG terbagi ke dalam organisasi legislatif (Tokyo
Metropolitan Assembly, disingkat TMA) dan eksekutif (Gubernur dan Sub-Agencies
yang membantunya). Struktur organisasinya dapat dilihat pada GAMBAR 7 - 2.
Tokyo Metropolitan Assembly (TMA) terdiri atas 127 anggota yang secara langsung
dipilih rakyat Tokyo untuk bekerja selama empat tahun. Ketuanya (the President of the
Assembly) dipilih di antara anggota dan dibantu oleh suatu sekretariat yang pekerjanya
ditentukan oleh ‘Ketua’ ini. TMA mempunyai komisi-komisi, baik yang tetap maupun
yang ad hoc, sesuai dengan persoalan yang dibahas. Pada prinsipnya, TMA inilah yang
mempunyai kewenangan dalam memutuskan semua kebijakan TMG mulai dari
membuat, mengubah, atau mencabut peraturan metropolitan, mengesahkan anggaran, di
samping fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan administrasi publik oleh eksekutif.
Gubernur dipilih langsung oleh rakyat dan mewakili Kawasan Metropolitan Tokyo
selama empat tahun. Gubernur mempunyai kewenangan penuh dalam mengendalikan
urusan metropolitan dan bertanggung jawab menjaga integritas kolektif administrasi
metropolitan. Gubernur dibantu oleh wakil gubernur, seorang comptroller general dan
staf lain. Pada tahun 2003, total sejumlah 174,950 orang dipekerjakan sebagai staf dari
berbagai sub-agencies/ biro/dinas yang membantu gubernur, yaitu terdiri dari governor's
bureaus, 31.643; executive commissions and the Assembly, 1.159; public enterprises,
16.897; police/fire fighting, 62.875; dan school staff, 62.376).
Hukum dan Kelembagaan 293

GAMBAR 7 - 2 Organisasi Metropolitan Tokyo

Metropolitan di Indonesia, khususnya Daerah Khusus Ibukota Jakarta, lebih dekat


dengan model yang dikembangkan oleh Tokyo Metropolitan Government ini, tetapi
dalam beberapa prinsip dasarnya berbeda. Di DKI Jakarta, hanya di tingkat propinsi
terdapat otonomi, sedangkan 5 kotamadya, dan 1 kabupaten yang merupakan
subordinasinya berstatus administratif. Sementara itu, dengan kabupaten/ kota lain di
sekitarnya yang mempunyai fungsi perkotaan yang terkait, DKI Jakarta tidak
mempunyai hubungan formal kelembagaan dalam kaitannya dengan sistem otonomi
daerah yang berlaku di Indonesia.

Metropolitan Manila Development Authority (MMDA)


MMDA didirikan sebagai propinsi khusus untuk mengelola pembangunan Metro Manila
yang pada tahun 2006 berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Pada saat ini, Metro Manila
dibentuk oleh 14 ‘city’ (Manila, Quezon City, Caloocan, Pasay, Mandaluyong, Makati,
294 Metropolitan di Indonesia

Pasig, Muntinlupa, Las Pinas, Marikina, Paranaque, Valenzuela, Malabon, dan Taguig)
dan 3 ‘municipality’(Navotas, Pateros, dan San Juan). Metropolitan Manila adalah
ibukota negara yang mempunyai kekhususan sebagai daerah administrasi dan
pembangunan khusus, dan untuk itu langsung dalam pengawasan Presiden Filipina. Pada
awal pembentukannya di tahun 1975 oleh Presiden Marcos, lembaganya diberi nama
Metropolitan Manila Commission (MMC), kemudian oleh Presiden Aquino pada tahun
1990 diubah menjadi Metro Manila Authority (MMA), dan akhirnya sejak 1995
ditetapkan oleh Kongres Filipina menjadi Metropolitan Manila Development Authority
(MMDA).
MMDA melakukan fungsi-fungsi perencanaan, pemantauan, dan koordinasi dalam
rangka melaksanakan kewenangan pengaturan perundangan dan pengawasan terhadap
penyediaan pelayanan skala metropolitan di Metro Manila, tanpa mengurangi otonomi
pemerintah daerah terkait dengan urusan-urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
lokal. MMDA dikepalai seorang pimpinan yang ditunjuk oleh presiden, dan selanjutnya
bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan. Pimpinan (chairman) ini dibantu oleh
seorang general manager, seorang assistant general manager for finance and
administration, seorang assistant general manager for planning dan assistant general
manager for operation, yang kesemuanya ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan
dari mayoritas anggora Dewan (the Council), dan tunduk pada hukum, aturan, dan
perundang-undangan pelayanan publik. Assistant general manager for planning harus
mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dalam pembangunan dan perencanaan, atau
harus mempunyai gelar master (S2) dalam perencanaan kota atau disiplin yang sejenis.
Pelayanan skala metro di bawah kewenangan MMDA adalah pelayanan yang
mempunyai dampak skala metropolitan dan lintas batas politik lokal atau memerlukan
biaya yang sangat besar sedemikian sehingga pelayanan tersebut tidak dapat ditanggung
oleh salah satu pemerintah kota di Metropolitan Manila. Pelayanan skala makro tersebut
adalah:
a) Perencanaan pembangunan, termasuk penyiapan rencana pembangunan jangka
menengah dan jangka panjang; pembangunan; evaluasi dan pengemasan proyek;
pemrograman investasi dan koordinasi serta pemantauan rencana, implementasi
program, dan proyek;
b) Transportasi dan manajemen lalu lintas, termasuk formulasi, koordinasi, dan
pemantauan kebijakan, standar, program dan proyek untuk merasionalisasi operasi
transportasi yang ada, kebutuhan infrastruktur, promosi pergerakan orang dan
barang yang aman dan nyaman; penyediaan sistem transportasi masal dan
pelembagaan sistem untuk pengaturan pengguna jalan; administrasi dan pelaksanaan
operasi lalu lintas, pelayanan rekayasa lalu lintas dan program pendidikan lalu lintas,
termasuk pelembagaan sistem tiket tunggal di Metropolitan Manila;
c) Pembuangan dan pengelolaan buangan padat yang termasuk formulasi dan
pelaksanaan kebijakan, standar, program dan proyek bagi pembuangan sampah yang
tepat dan sehat;
d) Pengendalian banjir dan pengelolaan limbah cair yang termasuk formulasi dan
pelaksanaan kebijakan, standar, program dan proyek untuk pengendalian banjir
terpadu, drainase, dan sistem pembuangan limbah cair;
Hukum dan Kelembagaan 295

e) Peremajaan kota, zoning/ peruntukan, dan perencanaan tata guna lahan, dan
pelayanan perumahan termasuk formulasi, pengambilan dan pelaksanaan kebijakan,
standar, aturan dan regulasi, program dan proyek untuk rasionalisasi dan
mengoptimalkan penggunaan lahan kota dan mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan kota, rehabilitasi dan pembangunan kawasan-kawasan kumuh, dan
pembangunan fasilitas perumahan dan pelayanan sosial yang diperlukan;
f) Kesehatan dan sanitasi, perlindungan perkotaan dan pengendalian polusi yang
termasuk formulasi kebijakan, aturan dan regulasi, standar, program dan proyek bagi
promosi dan penjagaan kesehatan dan sanitasi wilayah serta untuk memantapkan
keseimbangan ekologis, serta pencegahan dan pengendalian polusi lingkungan; dan
g) Keselamatan publik yang termasuk formulasi dan pelaksanaan program dan
kebijakan serta prosedur untuk mencapai keselamatan masyarakat, terutama
kesiapsiagaan bagi pencegahan bencana atau operasi pertolongan pada saat terjadi
bencana, koordinasi serta mobilisasi sumber daya dan pelaksanaan rencana darurat
untuk rehabilitasi dan rekonstruksi dengan berkoordinasi dengan instansi nasional
untuk itu.
Berikut ini dijelaskan struktur lembaga dan fungsi-fungsi khusus dari posisi
struktural tersebut di MMDA. MMDA terdiri dari perangkat eksekutif dan perangkat
dewan. Perangkat eksekutif strukturnya telah disinggung di atas, yaitu pimpinan
(chairman) yang dibantu oleh seorang general manager, seorang assistant general
manager for finance and administration, seorang assistant general manager for
planning dan assistant general manager for operation. Perangkat dewan/ legislatif
adalah the Metro Manila Council, yang terdiri dari walikota-walikota dari seluruh city
dan municipality yang ada di Metro Manila. Badan ini adalah pembuat kebijakan di
MMDA. Dalam Metro Manila Council ini ada beberapa anggota tambahan yang hadir
dalam rapat sesuai dengan tugasnya tetapi tidak memiliki hak suara, yaitu pimpinan dari
the Department of Transportation and Communications (DOTC), Department of Public
Works and Highways (DPWH), Department of Tourism (DOT), Department of Budget
and Management (DBM), Housing and Urban Development Coordinating Committee
(HUDCC), dan Philippine National Police (PNP).
Fungsi dari “Chairman” MMDA adalah mengangkat pegawai berdasarkan ketentuan
yang berlaku termasuk menunjuk konsultan dan ahli yang dibutuhkan untuk
membantunya; melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Metro Manila
Council dan bertanggung jawab untuk pengelolaan pelaksanaan sehari-hari yang efektif
dan efisien di MMDA; menyiapkan anggaran tahunan untuk operasi MMDA untuk
diserahkan kepada Metro Manila Council; mengirimkan berbagai kebutuhan kebijakan
yang diperlukan untuk pelaksanaan pelayanan MMDA untuk menjadi pertimbangan
Metro Manila Council; menyiapkan laporan tahunan pencapaian MMDA di akhir tahun
kalender untuk diserahkan kepada Metro Manila Council dan ke presiden; dan
melaksanakan berbagai kewajiban dan tugas yang mungkin diberikan oleh Metro Manila
Council atau oleh Presiden Filipina.
MMDA berkonsultasi, berkoordinasi, dan bekerja secara erat dengan pemerintah
kota, the National Economic and Development Authority (NEDA) dan instansi
pemerintah nasional lainnya, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan
296 Metropolitan di Indonesia

sektor swasta yang beroperasi di Metro Manila. Anggaran MMDA diperoleh dari
Anggaran Nasional (berdasarkan the General Appropriations Act). Selain itu, juga
menerima Internal Revenue Allotment (IRA) dari presiden.
Secara ringkas, dalam kaitannya dengan penataan ruang, MMDA sangat berperan,
terutama dalam tataran makro. Hal ini juga terkait dengan diharuskannya “Assistant
general manager for planning” mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dalam
pembangunan dan perencanaan, atau harus mempunyai gelar master (S2) dalam
perencanaan kota (urban planning) atau disiplin yang sejenis.

Kolkata Metropolitan Development Authority (KMDA)


KMDA adalah otoritas pembangunan dan perencanaan untuk Kolkata Metropolitan Area
(KMA) yang dibentuk berdasarkan the West Bengal Town and Country (Planning &
Development) Act tahun 1979. Saat ini lembaga ini bertugas dan berfungsi sebagai
institusi untuk perencanaan, promosi, dan pembangunan KMA. KMA terdiri dari 3
municipal corporations, 38 municipalities, 72 cities, 527 towns dan villages. Kolkata
(Calcutta) adalah metropolitan tertua di India dan kawasan metropolitan terbesar kedua
di India yang berpenduduk lebih dari 15 juta jiwa.
Peran KMDA sangat beragam dan multidisiplin, yaitu sebagai institusi perencanaan
kota, institusi pembentuk kota-kota baru, pengembang infrastruktur fisik, serta penyedia
pelayanan kebutuhan dasar seperti air bersih, drainase, dan pengelolaan buangan. Selain
itu, KMDA juga merupakan sekretariat teknis untuk Kolkata Metropolitan Planning
Committee (KMPC), yang juga merupakan institusi pertama untuk hal ini di India, yang
dibentuk berdasarkan the West Bengal Metropolitan Planning Committee Act tahun
1994.
KMDA mempunyai tim multidisiplin yang kompeten dengan pengalaman dan
keahlian yang luas. Tim ini terdiri dari para ahli kerekayasaan, perencana, ilmuwan
sosial, dan lain-lain yang menjadi kelompok inti untuk memikirkan pengembangan kota,
regenerasi perkotaan, dan menyediakan suatu pengkayaan kualitas lingkungan
kehidupan. Saat ini, KMDA sedang melaksanakan suatu rencana pertumbuhan yang
ambisus untuk Kolkata.
Sudah lebih dari tiga dekade KMDA telah melakukan penyiapan masterplan atau
rencana tata ruang, formulasi dan pelaksanaan proposal-proposal proyek, di samping
melaksanakan fungsi pengendalian penggunaan lahan dan pembangunan. Intervensi
KMDA tidak hanya terbatas untuk infrastruktur fisik seperti penyediaan air bersih,
sanitasi dan jalan raya, tapi juga termasuk layanan kesehatan dan penciptaan lapangan
pekerjaan di antara masyarakat miskin perkotaan.
KMDA memiliki dewan/ board yang terdiri dari gabungan antara wakil (walikota
dan/ atau anggota dewan/ councillor) dari municipal corporation dan municipality di
KMA, serta pejabat dari beberapa departemen terkait di tingkat Negara Bagian West
Bengal (dalam hal ini misalnya adalah: Urban Development. & Municipal Affairs
Department, Government of West Bengal; UD Department, Govt. of WB; Finance
Department, Govt. of WB; Municipal Affairs Department, Govt. of WB), serta satu orang
CEO (Chief Executive Officer) yang kedudukannya dalam board bersifat ex-officio yang
tidak mempunyai hak suara. Chairman dari Board ini adalah pejabat dari Urban
Development and Municipal Affairs Department, Pemerintah West Bengal. CEO
menjalankan semua kebijakan yang diambil oleh Board KMDA dibantu oleh satu
Hukum dan Kelembagaan 297

struktur lembaga eksekutif KMDA yang terdiri dari sekretariat dan beberapa divisi
teknis, yang salah satu di antaranya adalah Directorate of Planning yang mempunyai
tiga unit, yaitu Statutory Planning Unit, Advance Planning Unit, dan Project Planning
Unit.
Jadi, keunikan dari KMDA adalah adanya campuran antara perangkat pemerintah
pusat (negara bagian) dan wakil-wakil dari pemerintah daerah setempat yang tergabung
dalam kawasan metropolitan Kolkata. Selain itu, untuk penataan ruang juga dikenal
suatu komite tersendiri yang juga bersekretariat di KMDA, yaitu Kolkata Metropolitan
Planning Committee (KMPC) yang bersama-sama KMDA melaksanakan fungsi-fungsi
penataan ruang, khususnya dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Perbandingan antar Beberapa Lembaga Metropolitan di Dunia Terkait Penataan Ruang


Dari pembahasan berbagai bentuk lembaga metropolitan di bagian sebelumnya,
khususnya yang terkait dengan tugas dan fungsinya dalam penataan ruang di skala
makro, maka antara lembaga satu dengan yang lainnya dapat diperbandingkan secara
langsung berdasarkan aspek tertentu. Perbandingan langsung antara berbagai bentuk
lembaga metropolitan tersebut di atas dapat dilihat pada TABEL 7 - 1.
Dari berbagai bentuk lembaga metropolitan tersebut di atas, tidak satu pun mirip
dengan kelembagaan metropolitan yang diterapkan di Indonesia. Hal ini terutama karena
di Indonesia lebih menekankan pada bentuk-bentuk koordinasi saja, seperti yang akan
dibahas lebih rinci di bagian selanjutnya.

”Kelembagaan Metropolitan” yang ada di Indonesia


Pengembangan fungsi kelembagaan kawasan metropolitan yang telah dicoba dilakukan
di Indonesia lebih didasari pada kerja sama antardaerah secara horizontal dengan
melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sejak UU No. 5
tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, dan terakhir adalah UU No. 32 tahun 2004 dengan
berbagai aturan pelaksanaan dan aturan pelengkapnya. Hanya saja perlu pula diingat
bahwa contoh-contoh yang akan dibahas tidak/ belum semuanya dapat diklasifikasikan
sebagai kawasan metropolitan seperti apa yang telah didefinisikan di Indonesia, yang
pada prinsipnya mengindikasikan kawasan fungsional perkotaan yang masif. Meskipun
demikian, praktik-praktik yang dijalankan dapat dipelajari polanya untuk kemungkinan
diterapkan pula di kawasan metropolitan seperti yang telah didefinisikan.
Dengan menggunakan dasar hukum UU Pemerintahan Daerah tersebut di atas,
muncul berbagai pola kerja sama antardaerah yang tipikal Indonesia, misalnya:
• Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), yang membentuk Sekretariat Bersama
pada tahun 2001 untuk memfasilitasi koordinasi antara Kota Yogyakarta dengan
Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Fokus utama kerja sama antarkota adalah
efisiensi dalam mengelola secara bersama pelayanan bagi masyarakat perkotaan
untuk kepentingan bersama. Saat ini, Sekretariat Bersama secara kolaborasi
mengelola tempat pembuangan sampah, pengelolaan air limbah, drainase,
transportasi dan jalan, mengkoordinasikan persiapan anggaran tahunan bagi
pelaksanaan dan perawatan fasilitas bersama untuk pembuangan sampah dan
pengolahan air dan mengevaluasi kinerja fasilitas dalam rapat bulanan. Untuk
mensinkronkan pelayanan, dibentuk kebijakan dan peraturan bersama berkaitan
298 Metropolitan di Indonesia

dengan pelayanan umum, sebagai contoh: struktur tarif air dan organisasi
transportasi umum yang efektif. Selain itu, Sekretariat Bersama memfasilitasi
koordinasi proyek infrastruktur yang dilakukan di wilayah perbatasan pemerintah-
pemerintah daerah tersebut. Konsultasi dengan pemangku kepentingan setempat
dilakukan untuk menentukan skala prioritas. Standar pelayanan disusun secara
bersama untuk menjamin kelancaran hubungan fungsi infrastruktur di wilayah
tersebut.

TABEL 7 - 1 Perbandingan Beberapa Lembaga Metropolitan di Dunia (Kondisi tahun


2006)
Aspek Tokyo Calcutta Manila Vancouver
Nama Tokyo Metropolitan Kolkata Metropolitan Manila Greater Vancouver
Government Metropolitan Development Regional District
(TMG) Development Authority (MMDA) (GVRD)
Authority (KMDA)

Kedudukan Prefektur/ Propinsi Interkomunalitas/qu Propinsi khusus Suprakomunalitas


khusus asi administratif kab./ kota

Pembentukan Pusat, dipimpin Gabungan daerah Gabungan Daerah, Gabungan daerah,


gubernur yang dan pusat, dipimpin dipimpin gubernur dipimpin salah satu
dipilih langsung Board Members, yang ditunjuk anggota Board of
rakyat dan salah satu presiden Directors
anggotanya sebagai
CEO

Cakupan 26 shi (city), 5 cho 3 municipal 14 city dan 3 11 city, 6 district


administratif (town) and 8 son corporation, 38 municipality municipality, 1
(village) dan 23 ku/ municipality, 72 island municipality,
special ward city, 527 town dan 3 village, 1
village unincorporated
electoral area

Otoritas dalam TMG (Bureau of KMDA (Planning MMDA (Office of GVRD (Policy and
penataan ruang City Planning) Directorate) the Assistant Planning
bersama dengan General Manager Department)
Kolkata for Planning)
Metropolitan
Planning Committee
(KMPC)

Fungsi lain Infrastruktur, Infrastruktur, Infrastruktur, Infrastruktur,


terkait transportasi, perumahan, transportasi dan lalu perumahan,
pelayanan keamanan umum, kesehatan, lintas, perumahan, transportasi,
publik lingkungan, lingkungan, kesehatan dan kualitas udara, dan
kesehatan, penciptaan lapangan lingkungan, pertamanan/hutan
pendidikan, kerja keamanan umum kota
perumahan

• Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri,


Sragen, Klaten) membentuk Badan Kerja sama Antardaerah pada tahun 2001, yang
sekretariatnya ada di Kota Surakarta yang bertujuan untuk memelihara persatuan
dan kesatuan serta mengembangkan berbagai potensi daerah dalam rangka
Hukum dan Kelembagaan 299

meningkatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Fokus dan


lingkup kerja sama yang dilakukan oleh tujuh daerah ini adalah:
a) Ketenagakerjaan dan kepegawaian.
b) Tata ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup.
c) Pembangunan sarana dan prasarana.
d) Perhubungan dan pariwisata.
e) Kependudukan, pemukiman, dan masalah sosial.
f) Air bersih.
g) Perindustrian dan perdagangan.
h) Penelitian dan pengembangan iptek.
i) Sumber daya manusia.
j) Kesehatan.
k) Pertanian dan pengairan.
l) Lain-lain yang dianggap perlu.
Hanya saja pembiayaan yang timbul akibat adanya kerja sama ini dibebankan pada
APBD masing-masing.
• Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen)
yang merupakan Lembaga Kerja sama Regional Management yang diorientasikan
pada regional marketing di wilayah barat daya Jawa Tengah, dibentuk pada tahun
2003. Regional Marketing dalam hal ini merupakan konsep kerja sama antardaerah
dalam memasarkan potensi-potensi yang dimiliki tiap-tiap daerah guna
meningkatkan kapasitas dan daya saing daerah untuk dapat mengakses pasar
regional, nasional, dan internasional. Operasionalisasinya dilakukan oleh Regional
Manager yang direkrut melalui proses yang panjang dan berdasarkan hasil seleksi
secara terbuka (umum).
Khusus untuk kawasan metropolitan seperti yang didefinisikan di Indonesia, di
Jakarta misalnya, sejak tahun 1973 telah dibentuk Badan Kerja Sama Pembangunan
(BKSP) Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek), yang kemudian berkembang
menjadi Jabodetabek setelah Kota Depok terbentuk, meskipun kiprahnya jauh dari apa
yang diharapkan karena adanya persoalan otoritas/ kewenangan kelembagaan BKSP
tersebut. Ketiadaan kewenangan super-ordinasi tersebut telah memunculkan berbagai
persoalan ego daerah dan ego sektoral yang parah sehingga BKSP Jabodetabek tidak
dapat berfungsi untuk melaksanakan ‘growth management’ kawasan metropolitan
Jakarta. Demikian pula hal ini menjadi kelemahan utama dalam menginstitusionalkan
penataan ruang makro yang harus dilakukan untuk digunakan sebagai panduan
memadukan penataan ruang di tiap-tiap daerah.
Dari berbagai pengalaman pengembangan kelembagaan metropolitan di Indonesia,
pada prinsipnya akan terfokus pada bagaimana menginternalisasi berbagai isu strategis
yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kelembagaan metropolitan yang
efektif dan efisien. Isu-isu strategis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Usaha pengelolaan pertumbuhan (growth management)
b. Usaha pengelolaan partisipatif (participatory management) sebagai
pengejawantahan tata kelola yang baik (good governance)
300 Metropolitan di Indonesia

c. Usaha pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara ekonomi,


sosial, maupun ekologi, dan
d. Formalisasi berbagi/ sharing kewenangan antardaerah otonom.

Membangun Kelembagaan Pembangunan Metropolitan di Indonesia ke Depan


Otonomi Daerah (UU No. 32/ 2004 dan UU No. 33/ 2004) pada prinsipnya telah
memberi kesempatan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara penuh,
termasuk penataan ruang. Keotonomian ini berimplikasi menjadikan daerah-daerah
saling independen. Demikian juga halnya terjadi pada daerah-daerah yang secara
geografis berdekatan dan secara fungsional membentuk kawasan metropolitan. Padahal,
pada dasarnya daerah-daerah tersebut secara fungsional dan geografis terkait
(dependensi) dan saling bergantung (interdependensi). Pembiaran independensi daerah
akan berimplikasi lanjut pada pemanfaatan sumber daya secara tidak optimal, pelayanan
kepada masyarakat yang tidak efisien, dan timbul perselisihan antar daerah. Implikasi ini
pada masa datang akan semakin kompleks dan terus mencuat seiring dengan
berkembangnya daerah masing-masing. Mengantisipasi situasi yang tidak diinginkan
tersebut diperlukan kerja sama antardaerah yang dilembagakan sehingga mempunyai
posisi dan status legal formal yang jelas. Kedudukan, peran, kewajiban, dan hak satu
daerah dengan daerah lainnya dapat ditentukan bersama-sama dilengkapi dengan
dukungan organisasi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan bersama
pembangunan metropolitan.
UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri telah mengatur kerja sama
antardaerah itu pada BAB IX Pasal 195 sampai dengan 198 mencakup sasaran, perlunya
Badan Kerja Sama, legalisasi berupa Keputusan Bersama, dan perlunya diatur lebih
lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Hanya memang PP yang dimaksud
belum pernah ditetapkan hingga tahun 2006 ini, meskipun penyusunan dan/ atau
perancangannya telah dimulai sejak UU No. 22 tahun 1999 ditetapkan. Dalam
pengkajian yang telah dilakukan selama ini, beberapa persoalan penting dalam
penyelenggaraan kerja sama antar daerah selama ini utamanya adalah menyangkut soal
kelembagaan yang mencakup pemantapan sasaran, organisasi, pendanaan, dan legalisasi.
Berkenaan dengan hal ini, maka seringkali harus ada usaha untuk menyamakan
pemahaman dan sumbang pikir terlebih dahulu di antara daerah-daerah yang secara
fungsional telah, sedang, dan akan membentuk kawasan metropolitan tersebut,
khususnya tentang bagaimana mewujudkan dan melembagakan kerja sama secara utuh,
khususnya untuk urusan-urusan pelayanan publik makro lintas daerah di kawasan
metropolitan untuk masa mendatang.
Kerja sama antardaerah dalam kerangka pembangunan metropolitan pada masa
mendatang memerlukan pemantapan kelembagaan sesuai dengan peraturan perundangan
yang ada. Oleh karena itu, dalam pengembangan kelembagaan metropolitan di Indonesia
hal yang penting adalah mewujudkan kerja sama antardaerah dengan fokus pada aspek
perencanaan dan layanan publik berskala makro atau lintas daerah otonom. Pembatasan
fokus ini lebih disebabkan kedua aspek merupakan pokok tugas pemerintahan yang
utama dan berkait.
Dengan melihat berbagai konsepsi dasar pola kerja sama serta berbagai dimensi
kunci dalam kerja sama antardaerah dalam subbab sebelumnya, maka pola kelembagaan
Hukum dan Kelembagaan 301

metropolitan di Indonesia sudah selayaknya diarahkan kedalam bentuk


‘suprakomunalitas’ atau setidaknya ‘interkomunalitas’ (semi-administratif). Sebaiknya
dihindari yang hanya bersifat koordinatif, karena dari pengalaman selama ini misalnya
seperti BKSP Jabodetabek dapat dikatakan tidak efektif. Wacana untuk ini juga
sebenarnya telah beberapa kali dikemukakan, baik yang berskala nasional dengan
kelembagaan setingkat menteri/ departemen atau menggabungkannya dalam suatu
daerah metropolitan di bawah satu gubernur. Hanya saja penyusunan rencana
pelaksanaan (action plan)-nya memang harus sangat hati-hati terkait dengan proses
otonomi daerah yang sangat kuat dewasa ini di Indonesia.
Dalam gambaran singkatnya, dengan:
1. memperhatikan isu-isu strategis metropolitan di Indonesia;
2. memperhatikan keberhasilan dan kegagalan pembentukan kelembagaan antar-
daerah di Indonesia, khususnya menyangkut kawasan metropolitannya;
3. memperhatikan berbagai pengalaman negara lain dalam pengembangan
kelembagaan metropolitannya; serta
4. memperhatikan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 serta berbagai
aturan pelaksanaannya;
maka pengusulan bentuk ”Badan Metropolitan yang Otonom” (meskipun hanya diawali
dalam beberapa aspek infrastruktur makro/ lintas-Daerah saja fungsinya) menjadi pilihan
yang akan lebih tepat. Pembentukan Badan Metropolitan yang Otonom ini tidak harus
dibentuk secara top-down dari pemerintah pusat, meskipun dengan proses top-down
relatif akan lebih cepat, mengingat hal ini terkait dengan perlunya amandemen terhadap
UU Pemerintahan Daerah. Sementara hal itu mungkin pula menimbulkan kontroversi
lanjutan antardaerah yang terkait, suatu proses bottom-up untuk pembentukan Badan
Metropolitan yang Otonom ini dapat pula dijalankan sebagai alternatif.
Dalam proses bottom-up ini, terdapat beberapa rencana tindak untuk kelembagaan
metropolitan yang dapat dilaksanakan sebagai berikut:
• Kerja sama antardaerah kota/ kabupaten di sekitar Kota Inti Perkotaan yang
membentuk entitas Badan Metropolitan, dapat dibentuk dengan Peraturan Daerah
(Perda) Bersama, sehingga dapat mempunyai kewenangan yang mengikat
(Memorandum of Understanding/ MOU saja antar kepala daerah tidak akan efektif);
• Tiap-tiap kota/ kabupaten mengirimkan wakilnya (bisa bupati, walikota, dan/ atau
anggota DPRD-nya sebagai anggota Dewan Direksi Metropolitan melalui pemilihan
di daerah masing-masing);
• Jumlah wakil daerah kota/ kabupaten di Badan Metropolitan proporsional dengan
jumlah penduduk yang diwakili dan masuk dalam wilayah metropolitan;
• Badan Metropolitan memiliki struktur organisasi pelaksana sendiri untuk fungsi-
fungsi antarwilayah yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Divisi-divisi ini
dikoordinasikan oleh Kepala Pelaksana Eksekutif Badan, dan bertugas
melaksanakan seluruh ketetapan dan/ atau keputusan Dewan Direksi Metropolitan.
302 Metropolitan di Indonesia

• Bidang kewenangan yang diserahkan kepada Badan Metropolitan Otonom adalah


bidang lintas daerah kota/ kabupaten, seperti perencanaan pembangunan
metropolitan, prasarana transportasi, drainase/ pengendalian banjir, air bersih,
pembuangan limbah dan persampahan, kualitas udara, perumahan, dan rute
angkutan umum atau angkutan umum masal;
• Kawasan lindung yang diperlukan untuk menjamin kualitas pelayanan kota
metropolitan (misalnya up-stream untuk pengelolaan air dan banjir) dibentuk
sebagai regional park, yang dikelola oleh Badan Metropolitan dengan membentuk
Sub-Badan khusus.
• Penyerahan wewenang kepada Badan Metropolitan dapat dilakukan bertahap sesuai
dengan tingkat kompleksitas dan/ atau kekritisan persoalan serta kesiapan support
system seperti sumber pendanaan.
• Pemerintah daerah propinsi/ kabupaten/ kota terkait membantu secara teknis dan
administratif tugas dan fungsi Badan Metropolitan yang dibentuk.
Hukum dan Kelembagaan 303

Catatan Editor
Bagian kedua telah membahas secara mendalam perkembangan kawasan
metropolitan di Indonesia dan mendiskusikan persoalan-persolan yang
dihadapi. Bab 4 pada bagian dua ini menguraikan bagaimana faktor
kependudukan sangat berpengaruh pada terbentuknya kawasan metropolitan
dan bahwa sebenarnya penduduk di kawasan metropolitan secara
proposional mendapatkan pelayanan lebih baik daripada penduduk
perdesaan. Pada bab berikutnya dibahas potensi ekonomi yang
disumbangkan oleh kawasan metropolitan bagi negara, dan bagaimana
kawasan metropolitan mempengaruhi kota-kecil/desa di sekelilingnya.
Dibahas pula pengaruh global terhadap kawasan metropolitan yang
kemudian juga mempengaruhi budaya kota menjadi budaya yang
kosmopolitan. Kesemuanya bermuara pada implikasi keruangan kawasan
metropolitan.
Bab 6 pada bagian dua ini menjelaskan mengenai kesiapan infrastruktur bagi
pelayanan penduduk kawasan perkotaan yang terus bertambah, terutama di
bahas mengenai kesiapan trasportasi, infrastruktur dasar, dan perumahan. Di
bab ini dibahas pula ketersediaan ruang terbuka, khususnya ruang terbuka
hijau yang akan sangat berpengaruh pada kualitas lingkungan kawasan
metropolitan. Di bagian akhir bab ini dibahas keadaan lingkungan hidup dan
bagaimana sebaiknya persoalan lingkungan hidup kawasan perkotaan di
selesaikan. Sebagaiman pada bab sebelumnya, implikasi keruangan dari
keadaan infrastruktur, transportasi, perumahan, dan lingkungan menjadi
perhatian yang utama.
Di akhir bagian dua, pada Bab 7 dan 8 dibahas secara mendalam persoalan
hukum dan kelembagaan untuk kawasan metropolitan. Hukum dan
kelembagaan adalah faktor penentu dalam pengelolaan kawasan
metropolitan; termasuk di dalamnya adalah hukum dan kelembagaan untuk
penataan ruang kawasan metropolitan di Indonesia.
Pembahasan pada bagian 1 dan bagian 2 buku ini menjadi dasar bagi
pembahasan di bagian tiga (Bab 8 dan 9) mengenai pengelolaan kawasan
metropolitan, terutama upaya-upaya yang harus dilakukan untuk penataan
ruang.
BAGIAN III

PENATAAN RUANG
KAWASAN METROPOLITAN
306 Metropolitan di Indonesia
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 307

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

PENDAHULUAN

Perancanaan tata ruang di Indonesia sudah menjadi perhatian pemerintah sejak tahun
1980-an. Pada waktu itu perhatian terutama diberikan pada usaha untuk mengganti
praktek perencanaan kota yang masih berlandaskan pada undang-undang yang dibuat
pada masa pendudukan Belanda, yaitu SVO dan SVV1, sebagai suatu konsep
perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Diskusi mengenai tata ruang di Indonesia ini
sudah termasuk sangat maju. Di Eropa, konsep tata ruang baru secara umum dipakai
pada tahun 1990-an.:
"Spatial planning refers to the methods used largely by the public sector to influence the
future distribution of activities in space. It is undertaken with the aims of creating a more
rational territorial organisation of land uses and the linkages between them, to balance
demands for development with the need to protect the environment, and to achieve social
and economic objectives. Spatial planning embraces measures to co-ordinate the spatial
impacts of other sector policies, to achieve a more even distribution of economic
development between regions than would otherwise be created by market forces, and to
regulate the conversion of land and property uses." (European Commission 1997,
Compendium of European Spatial Planning Systems, p.24)
Perencanaan tata ruang dibedakan dari perencanaan tata guna lahan yang biasa
dipakai di Eropa (selain di Belanda dan Jerman yang sudah menggunakan istilah
Ruijmtelijke planning atau Raumordnung). Dikatakan bahwa:
'Spatial planning goes beyond traditional land use planning to bring together and
integrate policies for the development and use of land with other policies and
programmes which influence the nature of places and how they function. This will
include policies which can impact on land use, for example, by influencing the demands

1
Penjelasan yang lebih lengkap bisa dibaca di buku “Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang di
Indonesia 1948-2000” Ditjen Penataan Ruang, Dep. Kimpraswil (2001)
308 Metropolitan di Indonesia

on or needs for development, but which are not capable of being delivered solely or
mainly through the granting of planning permission and may be delivered through other
means,' (ODPM, 2004, pp3).
Pengertian seperti di atas pun sudah digunakan di Indonesia; secara legal formal
penataan ruang di Indonesia didefinisikan sebagai proses perencanaan tata ruang,
pemanfatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 1: UU 24- 1992). Jelas
dalam proses ini termasuk kebijakan yang terintegrasi dalam perencanaan, pemanfaatan,
dan pengendalian tata ruang. Namun demikian, pengertian yang tertulis dalam UU 24
tahun 1992 tersebut adalah berlaku umum untuk seluruh kawasan; tidak disebutkan
secara khusus mengenai kawasan metropolitan.
Bagaimana penataan ruang untuk kawasan metropolitan di Indonesia harus
dilakukan? Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu, berdasarkan uraian dari bab-
bab sebelumnya; definisi metropolitan di Indonesia; mengapa metropolitan perlu
mendapat perhatian khusus; dan arah kebijakan dan strategi penataan ruang seperti apa
yang harus dilakukan untuk kawasan metropolitan.

DEFINISI METROPOLITAN DI INDONESIA

Di bagian pertama buku ini dijelaskan bahwa kawasan metropolitan secara umum
didefinisikan sebagai “satu kawasan yang mempunyai konsentrasi penduduk yang besar,
kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan ativitas kota”, dan jumlah
penduduk kawasan tersebut melebihi 1 juta jiwa. Definisi umum tersebut digunakan
dalam bagian pertama dan kedua buku ini semata-mata untuk mendapatkan gambaran
bahwa di beberapa kawasan perkotaan di Indonesia telah terjadi fenomena kawasan
metropolitan. Beberapa kawasan tersebut antara lain adalah Jabodetabekjur, Bandung
dan sekitarnya, Mebidang, Kedungsepur, Mamminasata. Pembahasan mengenai
kependudukan di Bab 5 dengan jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di
beberapa kawasan perkotaan di Indonesia mengalami lonjakan yang besar, terutama di
beberapa kawasan di Jawa dengan Jabodetabekjur sebagai kawasan yang mengalami
pertumbuhan paling cepat.
Namun, apakah semua kawasan dengan ciri umum seperti itu adalah metropolitan?
Bagaimana dengan Barlingmascakeb (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen)?
Apakah kawasan ini bisa dikatakan sebagai kawasan metropolitan? Kawasan tersebut
berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa dan telah mengarah pada kesatuan ekonomi dan sosial
yang terpadu, walaupun belum semuanya bercirikan aktivitas kota. Sebaliknya,
bagaimana dengan Yogyakarta dan Denpasar yang penduduknya kurang dari 1 juta jiwa?
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa diperlukan definisi yang lebih tegas mengenai
kawasan metropolitan untuk Indonesia.
Dengan memperhatikan hal di atas dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya,
kawasan metropolitan di Indonesia dapat didefinisikan sebagai: “suatu kawasan dengan
konsentrasi penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa dan sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor non pertanian. Secara struktur, kawasan itu dapat terbentuk oleh satu
atau beberapa pusat dengan konfigurasi menyebar atau berbentuk pita; Aktivitas
ekonomi yang terjadi ditunjang oleh jaringan distribusi yang berada dalam satu kesatuan
orientasi menuju pada kota inti yang menjadi pusat utama”.
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 309

Memang tidak ada alasan yang kuat untuk menyatakan batasan jumlah penduduk,
apakah 1 juta jiwa, 700.000 jiwa, 500.000 jiwa atau jumlah yang lain. Batasan penduduk
1 juta jiwa diambil lebih untuk kepraktisan untuk menyatakan bahwa kawasan tersebut
adalah kota besar. Demikian juga mengenai sebagian besar penduduk bekerja disektor
non pertanian sesuai dengan definisi kota yang ditentukan oleh BPS. Ciri utama
metropolitan, selain dari jumlah penduduk dan jenis pekerjaan, adalah ciri mobilitas
penduduk dan budaya kota – budaya cosmopolis – yang sulit diukur tetapi dapat
dirasakan. Untuk kasus Denpasar misalnya, yang sudah merasakan budaya kota dan
pengaruh budaya global, maka yang disebut kawasan metropolitan adalah Sarbagita
(Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) dengan jumlah penduduk 1.581.215 jiwa
(BPS Propinsi Bali, 2004) dan secara kultural telah menunjukkan aktivitas sebagai suatu
kawasan metropolitan.
Diskusi di bagian dua buku ini menggambarkan bahwa struktur tata ruang yang
terbentuk karena berbagai aktivitas merupakan hal yang penting. Pertambahan penduduk
yang signifikan seperti diuraikan di Bab 5 menunjukkan bahwa pola-pola konsentris
telah lama ditinggalkan, pola yang terjadi adalah mengikuti jalan atau mengikuti
tumbuhnya pusat-pusat baru. Gambaran pola ruang yang mengikuti sektor dan multi
pusatlah yang terbentuk. Dari sisi ekonomi pembahasan pada Bab 5 menunjukkan bahwa
dominasi ekonomi kota besar akan meluas dan akan terjadi pusat dan sub-pusat kegiatan
ekonomi, dengan implikasi keruangan yang mengarah ke banyak pusat.
Sementara itu, pembahasan di Bab 5 juga menunjukkan bahwa pengaruh budaya
global cepat berkembang di kawasan metropolitan. Budaya ini mempunyai implikasi
pada berkembangnya aktivitas-aktivitas yang mempunyai nilai global (mall, kafe-kafe)
yang terkelompok pada beberapa pusat di kawasan metropolitan. Implikasi keruangan
dari perumahan sebagaimana dibahas di Bab 6 juga menunjukkan bahwa dalam
metropolitan akan terjadi segregasi keruangan yang jelas, ada perumahan untuk
golongan menengah yang harus berbentuk rumah susun. Demikian juga pusat
metropolitan karena harga lahan yang semakin mahal maka kecenderungan akan
semakin mengefisienkan penggunaan lahannya dengan membangun perumahan yang
vertikal.
Bagian kedua buku ini juga telah membicarakan persoalan yang dihadapi oleh
metropolitan di Indonesia. Ada metropolitan yang sudah ”jadi” seperti Jabodetabek,
Membidang, ada yang masih dalam proses menjadi metropolitan seperti Metropolitan
Bandung, Kedungsepur, Mamminasata, dan Yogyakarta. Di kedua tipe metropolitan
tersebut persoalan latent yang sama harus dihadapi: kemacetan lalu-lintas, pengelolaan
sampah, perumahan, dan menurunnya kualitas lingkungan alam walaupun dalam tingkat
yang berbeda. Persoalan-persoalan tersebut jika tidak diantisipasi secara dini akan
menjadi persolan yang nyata dan akan memerlukan biaya besar untuk
menanggulanginya. Uraian-uraian di bagian dua buku ini juga menunjukkan implikasi
keruangan yang terjadi dari persoalan-persoalan sektoral tersebut. Bagian pertama dan
kedua buku ini juga menunjukkan adanya beberapa fenomena yang dihadapi kawasan
metropolitan yang mesti mendapat perhatian khusus dalam penataan ruangnya.
Fenomena tersebut antara lain adalah:
1. Penduduk metropolitan akan terus bertambah besar dan di beberapa kawasan
metropolitan yang besar pertambahan penduduknya lebih cepat dari perkembangan
310 Metropolitan di Indonesia

kawasannya sehingga akan menjurus pada kepadatan yang lebih tinggi. Sementara
pengabungan secara fungsional beberapa kawasan di dekatnya mengarah pada pada
terbentuknya megalopolitan (misalnya Jabodetabekjur);
2. Kawasan metropolitan yang masih kecil mengalami perkembangan wilayah yang
pesat dengan penggabungan beberapa kawasan di sekeliling kota inti menjadi satu
kawasan metropolitan yang besar.
3. Luas kawasan metropolitan yang semakin bertambah besar memerlukan sistem
infrastruktur yang terpadu, jaringan sarana dan prasarana transportasi yang lebih
baik dan jangkauan pelayanan yang semakin luas dan besar.
4. Struktur metropolitan menunjukkan perubahan ke arah banyak pusat dengan
perkembangan penduduk terutama di sepanjang jalan penghubung pusat-pusat
aktivitas dalam metropolitan.
5. Terjadi segregasi perumahan yang mengarah pada pengelompokan sosial walaupun
ditengarai terjadi perbaikan dalam luasan rumah; rumah dengan ukuran yang lebih
besar meningkat, sementara rumah dengan ukuran kecil menurun.
6. Pengelolaan lingkungan menjadi semakin rumit karena luasan yang bertambah besar
dan keterkaitan ekologis pada kawasan yang lebih luas. Persoalan ini terkait dengan
pengendalian banjir, penyediaan air minum, dan pengelolaan sampah yang
produksinya terus bertambah dan dalan kawasan yang semakin luas.
7. Penyediaan fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, dan ruang terbuka hijau
dan fasilitas perkotaan lain, memerlukan perhatian yang besar seiring dengan
pertambahan penduduk kawasan metropolitan.
8. Kawasan metropolitan mempunyai peran ekonomi yang signifikan dan terus
meningkat baik di tingkat regional, propinsi, maupun nasional.
9. Kawasan metropolitan umumnya menyediakan peluang investasi dan lapangan
pekerjaan yang lebih banyak daripada umumnya kawasan perkotaan atau perdesaan.
10. Kawasan metropolitan memberikan fasilitas pelayanan dan jasa yang lebih efisien,
seperti sistem informasi, perbankan, jaringan pemasaran dan prasarana ekonomi
lainnya yang lebih baik dibandingkan kawasan perkotaan atau perdesaan pada
umumnya .

ARAH KEBIJAKAN PENATAAN RUANG KAWASAN METROPOLITAN

Dengan memperhatikan fenomena-fenomena dan peran kawasan metropolitan seperti


disebutkan di atas, pertanyaan yang muncul adalah kebijakan penataan ruang seperti apa
yang seharusnya dilakukan? Karena secara alamiah pembentukan kawasan metropolitan
tersebut terus terjadi. Apakah harus dibatasi? Atau diarahkan? Sebelum menjelaskan
kebijakan penataan ruang, ada baiknya dilihat perkembangan pendekatan dalam
menangani masalah metropolitan di dunia.
Perkembangan kota yang terus membesar di berbagai belahan dunia ini
menumbuhkan suatu aliran yang disebut urbanisme. Aliran ini percaya bahwa kota
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 311

memberikan berbagai keuntungan, dan merupakan proses alami bahwa kota akan terus
berkembang. Kota-kota besar akan memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan berperan sebagai engine of growth suatu negara.
Untuk menciptakan keadaan tersebut maka yang diperlukan adalah suatu penataan yang
memungkinkan orang makin cepat bekerja; transportasi yang harus mampu
menghubungkan berbagai aktivitas dengan baik sehingga memungkinkan kecepatan
pencapaiannya (Talen 2005, Moule 2002).
Namun, pengalaman juga menunjukkan bahwa kota yang semakin besar dan
semakin cepat ini menimbulkan persoalan-persoalan lain. Secara sosial, penduduk kota
menjadi semakin individualis, tergesa-gesa. Sementara itu, pertumbuhan kendaraan yang
digunakan untuk menjamin kecepatan bahkan menyebabkan polusi udara dan suara
sehingga udara kota menjadi semakin panas. Beberapa ahli yang berkumpul untuk
menjawab persoalan ini pada akhir tahun 1990-an memperkenalkan aliran pemikiran
baru yang dikenal sebagai ”new urbanism”. Pemikiran ”baru” ini melihat bahwa
pertumbuhan kota sebaiknya tidak dibiarkan semakin meluas. Kredo-kredo yang
diyakini oleh ”new urbanism” adalah slowness, inclusiveness dan legibility (Moule
2002). Slowness; tidak lagi cepat, tetapi perlahan. Manusia yang tinggal di kota
sebaiknya bekerja di dekat tempat tinggalnya dalam sebuah ”compact city”. Pada kota
metropolitan harus didesain pusat-pusat yang mewadahi aktivitas bekerja dan perumahan
dalam kawasan guna campuran kredonya adalah inclusiveness semua orang harus
mempunyai kesempatan yang sama. Orang bisa berjalan dengan tenang tanpa terganggu
oleh polusi dan kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kota harus terdiri dari beberapa
pusat yang di antara pusat tersebut dihubungkan dengan sistem transportasi yang baik.
Sementara legibility menuntut bahwa kota harus dapat memberikan kejelasan bagi
masyarakat. Struktur yang jelas, struktur yang mampu membedakan pusat dan subpusat.
Fungsi yang jelas tidak saling tumpang tindih sangat diperlukan sehingga masyarakat
tidak bingung dalam menggunakan dan ”membaca” tata ruang perkotaan tempat mereka
tinggal dan bekerja.
Konsep ’new urbanism” memang keluar dari pengalaman kota-kota di Amerika
yang telah lebih matang dan berkembang lebih dulu dan dalam luasan yang sangat besar
jika dibandingkan dengan metropolitan di Indonesia. Sebagai suatu konsep penataan
ruang, pendekatan slowness, inclusiveness, dan legibility itu patut dipertimbangkan
untuk dapat digunakan pada kawasan metropolitan di Indonesia.
Sebagaimana telah diindikasikan di pengantar buku ini, penataan ruang untuk
kawasan metropolitan adalah mengaturnya dalam beberapa pusat dan sub-pusat yang
memungkinkan adanya pembagian hierarkial aktivitas-aktivitas sosial ekonomi
metropolitan. Hal ini penting untuk menjaga supaya tidak terjadi penumpukan aktivitas
di satu kawasan saja. Penataan ruang harus diarahkan sedemikian sehingga suatu pusat
dapat mempunyai fasilitas yang memadai untuk aktivitas sosial ekonominya dan yang
proporsional terhadap kebutuhan pusat. Demikian juga di dalam sub-pusat terdapat
fasilitas-fasilitas yang menunjukkan kejelasan fungsi pelayanannya. Untuk mencapai apa
yang diiginkan tersebut maka kebijakan diarahkan pada perencanaan tata ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruangnya.
312 Metropolitan di Indonesia

Perencanaan Tata Ruang


Secara garis besar dapat dikatakan bahwa perencanaan ruang kawasan metropolitan,
di samping mengikuti asas yang telah digariskan dalam UU no 24 pasal 2, harus pula
memperhatikan 4 hal berikut:
1. Kejelasan struktur;
2. Kejelasan fungsi;
3. Efisiensi pemanfaatan ruang;
4. Kemudahan transportasi; dan
5. Penyediaan fasilitas perkotaan yang memadai.

Kejelasan Struktur
Penataan ruang kawasan metropolitan harus mampu menunjukkan struktur tata ruang
yang jelas yang terbentuk karena adanya pusat dan sub-pusat kegiatan yang saling terkait
dan dihubungkan oleh sistem tranportasi yang terpadu. Pusat dan sub-pusat mempunyai
skala layanan yang harus dapat didefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan,
selain harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut, juga harus dapat
melayani kebutuhan regional di luar kawasan metropolitan, bahkan nasional, karena
tidak dapat disangkal bahwa kawasan metropolitan mempunyai peran yang sangat
strategis di tingkat nasional. Sub pusat di kawasan metropolitan sebaiknya berupa kota
satelit yang berfungsi untuk mendukung Pusat dalam pengembangan kawasan
metropolitan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan tentunya lingkungan. Secara
lebih jelas, struktur kawasan metropolitan tersebut diilustrasikan pada Error! Reference
source not found. (hal. ix) dan GAMBAR 8 - 1.

GAMBAR 8 - 1 Ilustrasi Sub Kawasan Metropolitan yang Memiliki


Kejelasan Struktur
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 313

Kejelasan Fungsi
Struktur perkotaan dalam kawasan metropolitan harus mempunyai kejelasan fungsi
masing-masing, walaupun beberapa perkotaan dapat mempunyai fungsi yang sama.
Fungsi tersebut antara lain dapat berupa pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat
pendidikan, pusat industri, pusat tempat tinggal (dormitory town), dan sebagainya. Kota
pusat kawasan metropolitan biasanya menyandang fungsi sebagai pusat bisnis dan
pemerintahan, sedangkan kota-kota lainnya dapat berfungsi sebagai dormitory town,
pusat pendidkan, dan sebagainya. Dengan adanya kejelasan fungsi tersebut maka
diharapkan akan terbentuk sinergi antar kota-kota tersebut, dan terdapat kejelasan arah
pengembangan masing-masing kota tersebut. Secara internal, di masing-masing kota
tersebut juga perlu membentuk struktur tertentu berupa pusat kota yang berfungsi untuk
melayani kota secara keseluruhan, dan sub pusat yang berfungsi untuk melayani bagian
wilayah kota.

GAMBAR 8 - 2 Ilustrasi Sub Kawasan Metropolitan yang Memiliki Kejelasan


Fungsi

Efisiensi Pemanfaatan Ruang


Keterbatasan ruang di kawasan metropolitan mengharuskan perencanaan penataan ruang
harus memperhatikan keadilan. Ruang kota digunakan sesuai dengan nilai ruang yang
terbentuk. Kawasan pusat kota misalnya, harus mempunyai kepadatan tinggi dan oleh
karenanya jika untuk perumahan harus perumahan vertikal yang mampu
mengakomodasi penduduk yang lebih banyak dan memungkinkan terjangkau dari
berbagai tingkat ekonomi, tetapi pada saat yang sama mampu memberikan ruang terbuka
hijau yang cukup. Dengan demikian, termasuk dalam efisiensi pemanfaatan ruang ini
adalah penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai untuk menjaga keberlanjutan
pembangunan.
314 Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 8 - 3 Ilustrasi Kawasan yang Mencerminkan Efisiensi


dalam Pemanfaatan Ruang

Kemudahan Transportasi
Kejelasan struktur menuntut adanya kejelasan sistem jaringan trasportasi (sebagai
ilustrasi, lihat GAMBAR 8 - 4 dan GAMBAR 8 - 5). Sistem jaringan transportasi yang
jelas akan memudahkan mobilitas penduduk. Kemudahan transportasi juga terjadi jika
ada pembagian fungsi ruang yang baik termasuk adanya fungsi campuran di pusat atau
sub-pusat kegiatan kawasan metropolitan. Perencanaan dan pemaanfaatan ruang
kawasan metropolitan tersebut harus lintas daerah dan menjadi acuan bagi daerah-daerah
administratif yang menjadi bagian kawasan metropolitan tersebut.
Kawasan metropolitan, walaupun terus bertambah besar, namun ruang yang tersedia
hampir selalu kurang. Sementara itu, kawasan metropolitan yang besar juga peka
terhadap perubahan lingkungan alamnya. Oleh sebab itu, pemanfaatan ruang kawasan
metropolitan harus secara sadar dilakukan untuk mendapatkan keseimbangan lingkungan
hidup sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diciptakan.
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 315

Arteri Primer

Kolektor
primer
Arteri
Kolektor Primer
primer

Kolektor
Primer

Lokal
primer

GAMBAR 8 - 4 Ilustrasi Sistem Jaringan Jalan Kawasan Metropolitan

Arteri Primer
Arteri Sekunder
Kolektor Primer

GAMBAR 8 - 5 Ilustrasi Sistem Jaringan Jalan di Sub Kawasan Metropolitan (Kota


Satelit)
316 Metropolitan di Indonesia

Penyediaan Fasilitas Perkotaan yang Memadai Sesuai Hirarkinya


Fasilitas perkotaan, baik berupa fasilitas pendidikan, maupun antara lain fasilitas
kesehatan, fasilitas RTH, dan fasilitas perdagangan, perlu disediakan secara cukup di
semua kota sesuai dengan hierarkinya. Secara diagramatis, struktur penyediaan fasilitas
perkotaan tersebut dapat digambarkan seperti pada Error! Reference source not found.
(hal. xii). Dukungan fasilitas yang memadai tersebut akan dapat menunjang setiap kota-
kota tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan fungsinya masing-masing, dan
dengan demikian diharapkan akan mendorong berkembangnya saling sinergi antar kota-
kota tersebut.

Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pengendalian pembangunan, pendekatan
negatif dan pendekatan positif. Pendekatan negatif dilakukan dengan cara membatasi
pembangunan dengan arahan, baik yang bersifat ”discretionary” ataupun yang bersifat
”regulatory”. Sementara pendekatan positif dilakukan dengan cara pemerintah memulai
pembangunan di kawasan yang sudah direncanakan kemudian baru diteruskan oleh
swasta atau masyarakat. (Leung 1989; Pickvance dalam Paris 1982). Bentuk pendekatan
negatif antara lain adalah dengan ”development control” seperti yang dilakukan di
Inggris, atau dengan ”zoning regulation” seperti dilakukan di Amerika dan Kanada.
Pendekatan development control di Inggris memberikan banyak keleluasaan
(discretionary) pada pemerintah lokal untuk menentukan apakah suatu usulan
pembangunan boleh dilaksanakan atau tidak. Sementara untuk zoning regulation di
Amerika dan Kanada, pemerintah lokal harus mengacu pada aturan yang sudah dibuat
sebelumnya.
Bentuk pendekatan positif lebih disukai pada kawasan atau kota-kota yang
mengalami perkembangan sangat pesat. Pendekatan positif misalnya dilakukan dengan
melakukan investasi pada infrastruktur utama seperti jalan raya, infrastruktur dasar, dan
sebagainya yang diharapkan akan mengarahkan pengembangan. Pendekatan ini biasa
disebut sebagai priming decision (Chapin dan Kaiser 1979). Sementara secondary
decision dibuat untuk pembangunan skala kecil di antara infrastruktur utama yang sudah
dibuat tersebut, misalnya pembanguan perumahan, perkantoran, dan pertokoan. Banyak
cara dilakukan untuk mengarahkan pembangunan ini misalnya dengan land assembly,
capital work programming, development corporation, atau community improvement.
Kedua konsep tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan. Konsep
pengendalian positif dapat dilakukan jika pemerintah mempunyai dana yang cukup
untuk memulai pembangunan apalagi kalau akan masuk pada “secondary decision”;
pendekatan ini lebih bisa mengadopsi dan mengarahkan keinginan pasar (Pickvane di
Paris 1982). Sementara itu, pendekatan negatif, baik dengan discretionary maupun
dengan regulatory, sering kali dinilai kalah cepat oleh keinginan pasar dan
mengakibatkan seringnya terjadi perubahan peraturan karena desakan pasar.
Pengendalian seperti apa yang sebaiknya dilakukan untuk kawasan metropolitan?
Secara konsepsual, pengendalian yang dilakukan harus dapat menjaga perencanaan dan
pemanfaatan ruang yang telah dibuat terutama untuk menjaga kejelasan struktur ruang,
kejelasan fungsi ruang, keadilan penggunaan ruang, dan kemudahan tranportasi. Dengan
memperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia, pendekatan pengendalian
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 317

yang utama haruslah pendekatan negatif, walaupun di beberapa kasus dapat juga
dilakukan dengan pendekatan positif. Pengendalian yang dilakukan juga harus dapat
menjangkau persoalan lintas daerah administratif.

STRATEGI

Kawasan metropolitan selalu akan terdiri dari beberapa daerah administratif dan
biasanya, satu daerah administratif yang secara luasan barangkali tidak terbesar, tetapi
menjadi pusat orientasi aktivitas sosial dan ekonomi kawasan. Bersatunya beberapa
daerah administratif ini seringkali menjadi masalah dalam pengelolaan, bukan saja
karena ada perbedaan peraturan, tetapi sering kali karena kemampuan pendanaan dan
kapasitas pemerintahannya berbeda. Jabodetabek misalnya, menunjukkan perbedaan
yang mencolok dalam kapasitas pendanaan. Pada anggaran daerah tahun 2006, misalnya,
DKI Jakarta mempunyai APBD sekitar 17,9 triliun rupiah (Bappeda DKI 2006) untuk
memberikan pelayanan pada 8,5 juta jiwa penduduknya (BPS DKI 2006); sementara
Jawa Barat yang langsung bersebelahan dengan DKI Jakarta mempunyai APBD sebesar
4,1 triliun rupiah (Bappeda Jabar 2006) untuk penduduk sebanyak 35 juta jiwa (BPS
Jabar 2006). Keadaan tersebut menggambarkan ketidakseimbangan anggaran
pembangunan antar daerah administratif dalam suatu kawasan metropolitan, yang pada
akhirnya menunjukkan ketidakseimbangan dalam kemampuan untuk menyediakan
fasilitas pelayan publik, seperti air bersih, jalan, transportasi, dan fasiltas pelayanan lain.
Sementara itu, keadaan lingkungan alam sebagian Propinsi Jawa Barat akan
mempunyai pengaruh besar terhadap keadaan lingkungan alam DKI. Kerusakan
lingkungan di Kabupaten Cianjur dan Bogor misalnya akan dapat menyebabkan banjir
besar di DKI Jakarta. Keadaan yang sama juga terjadi di kawasan metropolitan lain.
Tabanan di kawasan metropolitan Sarbagita di Bali misalnya harus tetap dijaga
kelestarian lingkungannya karena daerah ini menyediakan air dan beras untuk Denpasar
yang menjadi kota induk. Ketidakseimbangan kapasitas, termasuk didalamnya kapasitas
manusia dan kapasitas keuangan antar daerah dalam kawasan metropolitan, adalah
karakter yang terlihat pada metropolitan di Indonesia sampai saat ini. Karakter lain yang
juga penting adalah keberagaman antar daerah, terutama dalam tingkat pendidikan dan
pekerjaan.
Dengan melihat keadaan seperti di atas maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
potensi dan persoalan di kawasan metropolitan dapat dilihat sebagai cerminan dari
potensi dan persoalan negara. Jika dianalogkan dengan ungkapan Jane Jacobs (Jacobs
1965) “. If city’s streets look interseting, the city looks intersting”. Jika ingin melihat
pengelolaan kota yang baik maka lihatlah jalan-jalan di kota tersebut; jika jalan tertata
rapi dan orang dapat berjalan dengan aman, berarti kota dikelola dengan baik. Untuk
kawasan metropolitan dapat diungkapkan sebagai berikut: “Jika ingin melihat
keberhasilan pengelolaan suatu negara, lihatlah keadaan kawasan metropolitannya; jika
kawasan metropolitan tertata dengan baik, berarti negaranya pun dikelola dengan baik”.
Keberhasilan dalam mengelola kawasan metropolitan dengan baik akan menunjukkan
keberhasilan dalam mengelola negara.
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan di bagian satu dan bagian dua,
kawasan metropolitan akan terus berkembang. Tanpa pengelolaan yang baik maka
318 Metropolitan di Indonesia

perkembangan kawasan akan menjadi tidak terarah dan akan berakibat pada menurunnya
kualitas hidup di perkotaan; kota tidak lagi menjadi liveable, tidak lagi competitive.
Ada dua strategi yang dapat dilakukan dalam jangka menengah yang bertujuan
untuk mengarahkan perkembangan kawasan metropolitan ke arah pengembangan yang
berkelanjutan dan dapat memberikan nilai positif yang lebih besar, baik secara ekonomi
maupun secara sosial. Kedua strategi tersebut adalah:
• Mengarahkan perkembangan dengan penataan ruang terpadu
• Mengelola pertumbuhan dengan kelembagaan dan peraturan yang efektif

Mengarahkan Perkembangan dengan Penataan Ruang yang Terpadu


Penataan ruang mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti penataan fisik saja. Akan
tetapi, juga berarti integrasi kebijakan, pemanfaatan lahan, dan program
pembangunannya. Dengan kata lain, Jones (di Albrecht dkk. 2001) misalnya
mengatakan:
Spatial planning aims to provide coherence and coordination of policy making for the
variety of authorities and agencies that may need to take spatial decisions and provide
guidance and greater certainty for private sector development.
Penataan ruang kawasan metropolitan akan dapat mengarahkan perkembangan dalam
bentuk banyak pusat dan memastikan bahwa di tiap pusat ataupun subpusat mempunyai
fasilitas pelayanan yang mencukupi sesuai dengan skala layanannya. Penataan ruang
juga bertujuan mengintegrasikan perencanaan pembangunan antar daerah dalam
kawasan metropolitan sehingga terjadi kesinambungan didalam penyediaan infrastruktur
dasar. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi dapat menerus dan terintegrasi di
antara beberapa daerah dalam kawasan metropolitan. Dengan demikian, penataan ruang
ini akan mencakup aktivitas-aktivitas:
• Mengelompokan atau memisahkan aktivitas dalam kawasan metropolitan
• Mengatur dan menetapkan kepentingan suatu pusat atau sub-pusat
• Mengembangkan visi pengembangan banyak pusat di kawasan metropolitan

Mengelola Pertumbuhan dengan Kelembagaan dan Peraturan yang Efektif


Ada dua hal yang penting dalam pengelolaan kawasan metropolitan untuk dapat
meyakinkan bahwa penataan ruangnya dapat berjalan dengan baik. Kedua hal tersebut
adalah kelembagaan dan peraturan. Kelembagaan terutama bertujuan mendapatkan
kesepakatan secara terorganisasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang
mengakomodasikan kepentingan bersama. Pembahasan di Bab 6 dan Bab 7 buku ini
mengindikasikan perlunya kelembagaan yang memungkinkan pengelolaan kawasan
metropolitan dapat berjalan baik, terutama dalam pelaksanaan penataan tata ruangnya.
Kelembagaan yang disiapkan sebaiknya adalah lembaga yang berbentuk badan yang
otonom dan dalam bentuk suprakomunalitas. Lembaga tersebut sebaiknya tidak hanya
berbentuk badan koordinatif, tetapi bisa mempunyai kewenangan mengambil keputusan
perencanaan tata ruang kawasan metropolitan yang akan menjadi payung bagi
perencanaan tata ruang di daerah yang berada dalam kawasan metropolitan.
Arahan Kebijakan Penataan Ruang 319

Lembaga tersebut harus pula didukung dengan peraturan-peraturan pembangunan


dan pengendalian pemanfaatan tata ruang dengan pendekatan yang bersifat negatif dalam
bentuk peraturan perizinan. Zoning regulation merupakan pilihan yang baik untuk
pembangunan pada skala-skala yang lebih kecil sesuai dengan rencana tata ruang yang
ditetapkan. Pada skala kawasan metropolitan, rencana tata ruang yang dibuat harus dapat
mengikat, baik bagi aparat pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, rencana
tata ruang kawasan metropolitan yang meliputi beberapa daerah administratif dapat
disahkan menjadi rencana yang berkekuatan hukum yang mengikat (statutory plan).
320 Metropolitan di Indonesia
9

Penutup

Buku ini telah secara mendalam mendiskusikan kawasan metropolitan di Indonesia,


persoalan dan tantangan yang harus dihadapi dalam penataan ruang; dimulai dari diskusi
mengenai sejarah kawasan metropolitan, definisi yang umum dipakai untuk menjelaskan
kawasan metropolitan di dunia hingga pengalaman beberapa kawasan metropolitan, baik
dari negara maju maupun negara berkembang. Telah diuraikan pula pengalaman
beberapa kawasan di Indonesia yang terus berkembang sehingga mempunyai keadaan
yang mendekati ciri-ciri kawasan metropolitan. Diuraikan juga tantangan dalam
mewujudkan penataan ruang yang optimal untuk suatu kawasan metropolitan.
Diskusi dan penjelasan yang disampaikan di dalam buku ini memberikan beberapa
hal penting yang dapat dicatat:

BUKAN SUMBER PENYAKIT

Kawasan metropolitan terbentuk karena urbanisasi yang tidak hanya berarti migrasi dari
desa ke kota, tetapi lebih berarti pada perubahan atau transformasi dari keadaan desa ke
keadaan kota di beberapa desa/ kota kecil yang letaknya berdekatan dengan suatu kota
yang mempunyai aktivitas sosial ekonomi dominan. Walaupun sering dikatakan bahwa
di kawasan metropolitan sering terjadi kemacetan, polusi, banjir, penyakit sosial, dsb.,
namun jelas bahwa kawasan metropolitan di Indonesia, sampai saat ini, masih
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada penduduknya dibandingkan dengan
pelayanan di kawasan perdesaan.
Kawasan metropolitan menyumbang pada perkembangan ekonomi negara,
memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik kepada penduduk, memberikan
lapangan pekerjaan yang juga lebih baik. Dari sisi perumahan pun, walaupun masih
terdapat slum dan squatter, namun secara keseluruhan menunjukkan perbaikan yang
berarti dan meyediakan perumahan yang lebih berkualitas daripada perumahan di
perdesaan.
Dengan demikian, jelas bahwa kawasan metropolitan bukan sumber “penyakit”
seperti yang sering dikhawatirkan oleh banyak pihak, kawasan metropolitan masih
merupakan “engine of growth”. Hanya saja tentu masih ada hal-hal yang perlu
322 Metropolitan di Indonesia

diperbaiki, terutama secara sektoral, jika kawasan metropolitan yang sudah ada di
Indonesia hendak dibuat lebih baik lagi. Perbaikan yang paling penting adalah pada
penataan ruangnya.

CERMINAN DARI PENGELOLAAN NEGARA

Di samping potensi yang besar seperti disebutkan di atas, kawasan metropolitan juga
menyimpan persoalan-persoalan laten yang juga besar. Hal ini terjadi karena di kawasan
metropolitan terdapat banyak kesenjangan dan keberagaman akibat dari jumlah
penduduknya yang besar. Ada kesenjangan pendapatan; metropolitan tidak hanya
menjadi tempat tinggal bagi orang-orang yang sangat kaya, tetapi juga tempat tinggal
bagi orang-orang yang sangat miskin. Ada kesenjangan etnik; metropolitan menjadi
tempat tinggal berbagai macam etnik yang ada di Indonesia. Ada kesenjangan
pendidikan; metropolitan menjadi tempat tinggal bagi orang-orang yang sangat terdidik,
tetapi juga tempat tinggal orang-orang yang tidak terdidik.
Metropolitan memerlukan fasilitas bagi kendaraan pribadi yang mewah, tetapi juga
harus mampu menyediakan angkutan bagi semua lapisan masyarakat. Metropolitan juga
harus mampu menyediakan infrastruktur dasar, seperti air minum, listrik, gas,
transportasi, dan ruang terbuka hijau (RTH) bagi semua lapisan masyarakat. Ada
kesenjangan pendapatan antardaerah; kawasan metropolitan terdiri dari beberapa daerah
administratif yang pendapatan daerahnya tidak sama besar, sehingga diperlukan
koordinasi yang baik jika ingin berkembang secara terpadu. Di atas semua itu, kawasan
metropolitan juga harus tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonominya suapaya dapat
memberikan pekerjaan yang layak bagi penduduk dan pada gilirannya metropolitan bisa
menjadi kawasan yang liveable dan competitive.
Persoalan tersebut di atas adalah persoalan yang juga dihadapi oleh negara, sehingga
tidak berlebihanlah jika dikatakan bahwa kawasan metropolitan adalah cerminan dari
negara tempat kawasan metropolitan itu berada, yang dapat diartikan pengelolaan
kawasan metropolitan yang baik akan dapat menyelesaikan sebagian dari persoalan
bangsa. Penataan ruang yang terpadu yang akan dapat menjadi payung bagi semua
aktivitas pembangunan merupakan salah satu cara untuk dapat mengelola kawasan
metropolitan dengan baik.

PENATAAN RUANG YANG TERPADU DAN KOMPAK

Kawasan metropolitan terdiri dari beberapa daerah administratif yang bergabung karena
adanya aktivitas perkotaan yang bermuara di kota yang menjadi pusat kawasan. Keadaan
ini mengharuskan kawasan metropolitan mempunyai tata ruang terpadu, yang menjadi
payung dari penataan ruang di setiap daerah pembentuk kawasan metropolitan tersebut.
Walaupun kawasan metropolitan bisa berukuran besar, namun penataan ruangnya harus
menunjukkan kekompakan, artinya penataan ruang harus menunjukkan kejelasan fungsi
dan pelayanan yang tercermin dari adanya pusat dan sub-pusat. Ada lima hal yang harus
menjadi dasar penataan ruang kawasan metropolitan: 1) adanya kejelasan struktur; 2)
adanya kejelasan fungsi; 3) adanya efisiensi dalam pemanfaatan ruang; 4) adanya
kemudahan transportasi; dan 5) perencanaan fasilitas yang memadai.
Penutup 323

Penataan yang memperhatikan kelima hal tersebut tentu berkaitan dengan adanya
kelembagaan suprakomunalitas yang bisa mewadahi aktivitas penataan ruang
antardaerah administratif dengan baik. Diperlukan juga kepastian hukum, baik untuk
kelembagaan maupun untuk implementasi hingga pada tingkat zoning regulation. Jika
kelima hal tersebut di atas dapat diciptakan dalam suatu kawasan metropolitan, maka
sebagian persoalan kawasan metropolitan, dan sebagian persoalan negara, akan
terselesaikan.
324 Metropolitan di Indonesia
Penutup 325
Daftar Pustaka

______ (1988) Rencana Umum Tata Ruang Kota Metropolitan Semarang.


______ (1993) Mebidang Metropolitan Area, Revised Strategic Plan and Review
Process Volume 2 Background, Review Urban Development Strategy For Mebidang
Metropolitan Area (RUDS-MMA), Final Interim Report (Indonesia), Juni 1993.
______ (1995) Metropolitan Mebidang Urban Development Programme, Review
Dokumen Rencana Tata Ruang , April 1995.
______ (1996) Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan Kawasan Mebidang
Metropolitan, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara Bappeda
Tingkat I Sumatera Utara.
______ (1999) Naskah akademik RUU pengganti UU no 34 tahun 1999
______ (2001) World Urbanisation Prospect, the 2001 revision. Special Tabulations.
United Nations Department of Economic and Social affairs. New York, Populations
Division – World Bank.
______ (2001) World Urbanisation prospect: the 2001 revision. Special
Tabulations. United Nations
______ (2002) Jabotabek, the Jakarta metropolitan area. http://www.unu.edu/
unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee16.htm [9 09 2006].
______ (2004) Reforming Infrastructure Privatization, Regulation, and Competition.
Washington DC, World Bank.
______ (2005) Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung, Dinas Tata Ruang dan
Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2005
______ (2005) Laporan Penunjang Metropolitan Bandung. Bandung, Dinas Tata Ruang
dan Permukiman Propinsi Jawa Barat.
______ (2005) Pengembangan Infrastruktur Perdesaan, Peran Dalam Pencapaian
Millenium Development Goals, Penanggulangan Kemiskinan dan Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Briefing Notes, Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian,
______ (2006) Bandung Dinyatakan Darurat Sampah, dalam Harian Pikiran Rakyat, 6
Mei 2006.
______ (2006) Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and
Action. World Bank, Jakarta.
326 Metropolitan di Indonesia

______ (2006) Indonesian Fuel Quality Report. Clean Fuel: A Requirement for Air
Quality Improvement. Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan
Joint Committee for leaded Gasoline Phase-Out.
______ (2006) Infrastructure Indonesia Outlook. Jakarta, Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian.
______ (2006) It’s All in the Percentages, The Jakarta Post, September 21, 2006, hal. 17.
______ (2006) The Draft Operational Guidelines Manual Volume 2, Jakarta, Kantor
Menko Perekonomian
Albrechts, Louis., Jeremy Alden, dan Artur Da Rosa Pires (ed) (2001) The Changing
Institutional Landscape of Planning. England, Ashgate Publishing Ltd.
Angotti, Thomas.1993.Metropolis 2000, Planning, Poverty and Politics.New York,
Routledge.
Anies, H. (2002) Dampak Polusi Asap Kendaraan bagi Kesehatan, dalam Harian Suara
Merdeka, Sabtu 11 Mei 2002.
Asian Development Bank (2005) The International Bank for Reconstruction and
Development/ The World Bank, and Japan Bank for International Cooperation,
March 2005, “Connecting East Asia: A New Framework for Infrastructure”.
Washington. DC, The World Bank.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002) Infrastruktur Indonesia Sebelum,
Selama dan Pasca Krisis. Jakarta, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United Nations
Population Fund (2005) Projeksi Penduduk 2000-2005. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (2001) Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000,
Seri L-2.2, Jakarta, Indonesia
Badan Pusat Statistik (2004) Statistik Kesejahteraan Rakyat 2004, Survei Sosial
Ekonomi Nasional. Jakarta, Indonesia. Katalog BPS: 4101.
Bainbride, Vanessa, et.al. (2000) Transforming Bureaucracies. London, International
Institute for Environment and Development.
Bambang T. S. (2003) Perkembangan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis
(1993-1999) dan Implikasi Pengembangannya, Working Paper III. 2003. Jakarta,
URDI.
Bappenas, 2005. National Urban Environmental Strategy. Jakarta: Bappenas
Biro Pusat Statisitk (1991). Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1990, Seri L-1,
Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik (1995) Statistik Kesejahteraan Rakyat 1994, Survei Sosial Ekonomi
Nasional. Jakarta, Indonesia. ISBN. 979-598-174-9 05310.9501.
Biro Pusat Statistik, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Sumedang
dalam Angka 1997, 2000, 2003.
Bridge, G. & W. Sophie (2004) The Blackwell City Reader. Oxford, Blacwell.
Budihardjo, E. & D. Sujarto (2006) Kota Berkelanjutan. Bandung, penerbit Alumni.
Burgess, E. W. (1925) The growth of a city: an introduction to a research project, in
Robert E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City. Chicago:
University of Chicago press. Pp. 47-62.
Cahyono, Imam (2005) Dalam Cengkeraman Pasar. Kompas, Sabtu, 29 Oktober.
Castells, Manuel (1986) The Informational City: Information Technology, Economic
Restructuring and the Urban-Regional Process. London, Blackwell.
327

Centre for Developing Cities (2006) Course Manual for District and Provincial Planning
in Australia in Indonesia-Australia Specialized Training Project Phase III, Hal. 11.
Canberra, University of Canberra.
Cheema, S. et al. (1995) Towards HABITAT-II: The Role of South-South Cooperation
through the United Nations Development Programme. <http://tcdc.undp.org/
coopsouth/1995_oct/habitat2.asp> [31-8-2006].
Cities Alliance (2006) Improving Urban Performance.
Cutler, Laurence S. & Sherrie S. Cutler (1983) Recycling Cities for People. The Urban
Design Process (second edition). Van Nostrand Reinhold Company. ISBN 0-442-
21604-1.
Dahury, Rokhmin (2005) Positioning Indonesia dalam Peta Ekonomi Global. Kompas,.
Kamis, 11 Agustus.
De Roo, G. D. (2003) Environmental Planning in the Netherlands: Too Good to be True,
From Command and Control Planning to Shared Governance. London, Ashgate.
Deni, Ruchyat (2003) Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek Punjur.
Jakarta, Dirjen Penataan Ruang.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Penataan Ruang. 2003.
Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Jakarta : Ditjen
Penataan Ruang.
Derycke, Pierre-Henri (1999) Comprendre les dynamiques métropolitaines. Paris,
Anthropos.
Dharmapatni, IAI & T. Firman (2005) “Problems and Challenges of Mega-Urban
Regions in Indonesia: The Case of Jabodetabek and the Bandung Metropolitan
Area” in T.G. Mc Gee & Ira M. Robinson eds. (2005) The Mega-Urban regions of
South East Asia, UBC Press.
Dikun, S. (2003) Rebuilding The Indonesia Infrastructure - A Road Map from Economic
Recovery to Investment The 2005-2009, Agenda Paper Presented at The Special
Session of CGI Meeting Jakarta, Jakarta, Bappenas
Dirjen Cipta Karya Departemen PU (1999) Pengembangan Kawasan Perkotaan,
Kawasan Perdesaan dan Kawasan Tertentu Menuju Indonesia Baru. Jakarta, Dirjen
Cipta Karya Departemen PU.
Dirjen Penataan Ruang (2006) kebijakan penataan ruang Kawasan jabodetabek punjur.
Jakarta, Departemen Pekerjaan Umum.
Dirjen Penataan Ruang Departemen PU (2004) Lokakarya Nasional “Pengelolaan
Kawasan Jabopunjur untuk Pemberdayaan Sumber Daya Air”. Jakarta, LIPI.
Dirjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.(2003).
Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Jakarta:
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah.
Djamal, Irzal (1996) “City Study of Jakarta”, in Jeffrey Stubbs & Giles Clarke (1996)
Megacity Management in the Asian and Pacific Region, Volume Two. Manila, ADB.
Djojohadikusumo. S. Science. Resources and Development. LP3ES. 1977
Doxiadis, C. (1974) Ekistics an Introduction to the Science of Human Settlements.
London, Hutchinson.
Energy Institute (EIA) (2004) Indonesia: Environmental Issues.
http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/indoe.html [31 Agustus 2006]
328 Metropolitan di Indonesia

Europe Aid Cooperation Office (2005) Investing in Indonesian Infrastructure, Asia


Invest Jakarta May 2005.
Firman, T. (1998). The restructuring of Jakarta Metropolitan Area: A “global city” in
Asia, in Cities, 15(4): 229-243.
Firman, T. (1999). From “Global City” to “City of Crisis”: Jakarta metropolitan region
under economic turmoil. Habitat International, 25(4): 447-446.
Firman, T. (2004). New town development in Jakarta Metropolitan Region: a perspective
of spatial segregation. Habitat International, 28: 349-368.
Foster, Vivian & Araujo Caridad (2004) Does infrastructure reform work for the poor?
A case study from Guatemala. Washington DC, World Bank
Francis, Mark (2003) Urban Open Space, designing for user needs. Land and
Community Design Case Study Series. Washington, Covelo & London, Landscape
Architecture Foundation. Island Press.
Freire, Mila & Richard Stren (ed) (2001) The Challenge of Urban Government. World
Bank Institute Development Studies.
Gardiner, Peter (1993) Urbanization, urban growth and poverty reduction in Indonesia.
Background (unpublished) paper prepared for World Bank 1993 Indonesia Country
Report.
Gie, Kwik Kian (2006) “Pengemis Tak Punya Pilihan,” Kompas, 26 September 2006,
hal. 6.
Girardet, Herbert (2004) Cities People Planet..Chichester, Willey-Academy.
Guallart, Vicente (2004) Sociopolis: Project for a City of the Future. Wien, Actar and
Architektur-Zentrum.
Haeruman, Herman (1996) Profil RTH Kota di Indonesia pada masa mendatang.
Makalah Kunci disampaikan pada: Lokakarya Nasional RTH Kota. Jakarta, 3
Agustus 1996 (Tidak dipublikasikan).
Harris, Chauncey D. & Edward L. Ullman (1945) The nature of cities, in The Annals of
the American Academy of Political and Social Science. CCXLII, November: 13.
Heynen, N. et. Al. (2006) The Political Ecology of Uneven Green Space. Urban Affairs
Review 42(1): 3-25.
Hill, William F. (1995) Landscape Handbook for The Tropics. London, Garden Art
Press.
Hoyt, Homer (1939) The Structure and Growth of Residential Neighborhoods in
American Cities. Washington, DC., U.S. Federal Housing Administration.
Ikhsan, Mohamad (2003) Infrastructure Gap in Indonesia: Constraints and Possible
Solutions - Paper Presented at the Infrastructure Seminar. Jakarta, KKPPI.
International Finance Cooperation (2006) Doing Bussiness in 2007 How To Reform.
Washington, DC.,The International Bank for Reconstruction and Development / The
World Bank.
Israel, Arturo (1990) Institutional Development. Washington D.C., The World Bank.
Jacobs, Jane. (1961) The Death and Life of Great American Cities, The Failure of Town
Planning. England, Penguin Books Ltd.
Jawa Barat Dalam Angka 1997.
JICA (2004) SITRAMP II – Study on Integrated Transportation Master Plan for
Jabodetabek II.
329

Jones, G. W. (1998) Southeast Asian Urbanisation and the Growth of Mega-urban


Regions. Journal of Population Research, 19 ( 2) hal. 119-136.
Jones, Gavin W. (2001) Studying Extended Metropolitan Regions in South-East Asia
Kanonier, A. (2004) Strategies for Protecting Environmental Quality in the Spatial
Planning Law of Austria. In: Miller D. & G. De Roo eds. (2004) Integrating City
Planning and Environmental Improvement: Practicable Strategies for Sustainable
Urban Development, hal. 55-67. London, Ashgate.
Kelompok Kerja Penyehatan PDAM (2003) Laporan Akhir Penyehatan PDAM. Jakarta,
Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur.
Kusbiantoro (1996a) Transportation Problems in New Rapidly Developing Town Areas,
paper presented at the 4th PRSCO Summer Institute of RSAI, Tsukuba, 7-8
May.
Kusbiantoro (1996b) Urban Mass Transit Planning and Management: some basic
concepts, paper presented as expert from the 3rd world country at Seminar
on Urban Mass Transit, JICA / NCTS University of the Philippines,
Manila, 18-22 March
Kusbiantoro (1998) Transportation Problems in Jabotabek. in R. Cervero and J. Mason
eds. (1998) Transportation in Developing Countries Conference
Proceedings. IURD University of California at Berkeley, Working Paper
98-07, September.
Kusbiantoro (1999a) Sustainability of Jabotabek-Indonesia: lessons learned from the
Asian crisis, paper presented at the Pacific E-conomy in the 21st Century,
Pacific Economic Cooperation Council (PECC), Manila, 21-23 October.
Kusbiantoro (1999b) The Need for Efficient, Reliable, and Modern Public Transport
System in Jakarta, keynote paper presented at the Discussion on Public
Transport System in Jakarta, MTI, Jakarta 7 April.
Kusbiantoro (1999c) Dampak Krisis Ekonomi dan Angkutan Umum Perkotaan, Jurnal
Perencanaan Wiayah dan Kota, Vol. 10, No. 1, Maret.
Kusbiantoro (2001a) Some Notes on Urban Management, in G. Dubois-Taine and C.
Henriot eds., Cities of the Pacific Rim: Diversity and Sustainability,
PUCA.
Kusbiantoro (2001b) Urban Management to reach Sustainability, paper presented at the
14th General Meeting of Pacific Economic Cooperation Council (PECC),
Hong Kong, 28-20 November.
Kusbiantoro (2001c) Sinkronisasi Struktur Tata Ruang Nasional dengan Sistem
Transportasi Nasional, makalah disampaikan pada Seminar Undang-
Undang dan Konsepsi Sistim Transportasi Nasional, Dephub, Jakarta, 15
Nopember.
Kusbiantoro (2001d) “Visi dan Strategi Pembangunan Era Indonesia Baru,
Menyongsong Indonesia Baru Menuju Globalisasi”, dalam Bunga Rampai
Sumbangan Pikiran Alumni SMU St. Yosef Surakarta.
Kusbiantoro (2001e) “Review on Land Use and Integrated Transportation System: some
principles”, makalah disampaikan dalam Seminar on Integrated
Transportation System for Jabotabek, Bappenas-JICA, Jakarta, 3 April.
Kusbiantoro (2002a) “Pengelolaan dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah di Era
Otonomi Daerah: suatu gagasan awal”, makalah disampaikan pada
330 Metropolitan di Indonesia

Lokakarya Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Infrastruktur


Wilayah di Jawa Barat, Bapeda Jabar, Bandung, 21 Oktober.
Kusbiantoro (2002b) “MRT Development without Government Subsidy: an alternative
financing scheme”, makalah disampaikan dalam The International
Symposium on Regional, City, and Building Planning in Globalization and
Autonomy Era, Universitas Kristen Indonesia – Universitat Karlshure,
Jakarta 19 October.
Kusbiantoro (2002c) “Globalization and the Sustainability of Jabotabek, Indonesia”,
dalam F. Lo and P.J. Marcotullio, eds., Globalization and the
Sustainability of Cities in the Asia Pacific Region, UNU (co-author).
Kusbiantoro (2004a) “Peran Transportasi terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan
Wilayah Perkotaan”, dalam Seminar Nasional Transportasi, UNDIP,
Semarang, 14 Desember.
Kusbiantoro (2004b) “Interaksi Tata Guna Lahan dengan Sistim Transportasi pada
Kawasan Cekungan Bandung”, makalah disampaikan pada Diskusi Teknik
1 Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Cekungan
Bandung, Departemen Pekerjaan Umum, Lembang, 8 Nopember
Kusbiantoro (2004c) “Sistem Transportasi Publik yang Ramah Lingkungan dan
Terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Kota”, makalah disampaikan
pada Diskusi Panel Menuju Pembangunan Kota Berkelanjutan, Bappenas,
Jakarta, 9 September
Kusbiantoro (2004d) “Potensi Pengembangan Transportasi Multimoda”, makalah
disampaikan pada Ceramah Ilmiah Potensi Pengembangan Transportasi
Multimoda dalam Rangka Perwujudan Sistranas, Balitbang-Dephub,
Jakarta, 1 April.
Kusbiantoro (2004e) Re-organizing Urban Form through Re-structuring Transportation
Infrastructure: a conceptual approach, paper presented at Seminar on
Trend of Spatial Infrastructure Development System for 21st Century,
Faculty of Engineering and Planning, Institute of Technology Bandung &
Graduate School of Engineering, Hokaido University, Bandung, 18 March.
Kusbiantoro (2005) Potensi dan Tata Ruang Daerah dan Konsistensinya dengan Tata
Ruang Nasional, Dialog Keterpaduan Pengembangan Kawasan Indistri
dalam Pembangunan Infrastruktur Wilayah, HKI Indonesia, Jakarta, 27
Januari.
Kusbiantoro (2006) Megalopolitan. Dengar Pendapat DPRD Jabar, Bandung, 23
Februari.
Kusbiantoro (2006b) Perencanaan Transportasi Umum, Seminar Upaya Peningkatan
Kinerja Pelayanan Transportasi Umum, Universitas Bung Hatta, Padang,
14 Juni
Kusbiantoro (2006c) Konsep Perencanaan Transportasi Jabodetabekjur, dalam
Lokakarya Sinergi Penataan Ruang dan Revitalisasi Kerja sama antar
Daerah di Wilayah Jabodetabekjur, Bappenas, Jakarta, 27 Maret
Kusbiantoro (2006d) Pembangunan Infrastruktur: Suatu pemikiran, Lokakarya dan
Seminar Pengembangan Manajemen Infrastruktur Indonesia yang Berkelanjutan,
UGM, Yogyakarta, 17-18 Februari
331

Kusumaatmadja, Mochtar (1986) Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan


Nasional. Bandung, Binacipta.
Kuswartojo, Tjuk (2004) Mengembangkan Kualitas Hidup dengan Program Bangun
Praja. Dalam Bangun Praja Program, 2rd edition. hal vii-Xi.
Leipziger, Danny et. Al. (2003) Achieving the Millennium Development Goals The Role
of Infrastructure - World Bank Policy Research Working Paper 3163. Washington,
World Bank.
Leung, Hok Lin (1989) Land Use Planning Made Plain. Canada, Ronald P.Frye &
Company.
Lo, Fu-chen & Yue-Man Yeung (1998) Globalization and the World of Large Cities,
UNU Press.
Lo, Fu-Chen & Yue-Man Yeung (eds) (1996) Emerging World Cities in Pacific Asia,
UNU.
Mamas, Si Gde Made, & Rizky Komalasari. (akan datang). Dynamics of change and
livability. Jakarta.
McGee, T.G & I.M. Robinson, (eds) (1995) The Megaurban Regions of South East Asia.
Vancouver, University of British Columbia Press.
McGee, Terry (1998) “Governing Mega-Urban Regions: The Case of Vancouver”,
dalam John Friedman, ed. (1998) Urban and Regional Governance in the Asia
Pacific. Vancouver, Institute for Asian Research.
Meneg Lingkungan Hidup Indonesia (2003) State of the Environment Indonesia 2002.
Jakarta, Meneg LH.
Meneg Lingkungan Hidup Indonesia (2004) State of the Environment Indonesia 2003.
Jakarta, Meneg LH.
Miles, Malcolm, et.al. (2000) The city cultures reader. Routledge, London.
Mohamad, Kartono (2006) Rakyat Kecil, Kompas, Rabu, 26 April.
Montgomery, M.R., R. Stren, B. Cohen,. H.E. Reed (eds.) (2003) Cities Transformed.
Washington, National Academies Press.
Morand-Deviller, Jacqueline (1992) Droit de l’urbanisme. Paris, Mementos Dalloz
Moule, Elizabeth (2002) “The Charter of The New Urbanism” dalam The Seaside
Institute (2002) The Seaside Debates: A Critique of The New Urbanism.
New York, Rizolli International Publications, Inc.
Muhammad, H. 2006. Bencana Ekologis dan Keberlanjutan Indonesia. http://
www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/060728_benceko_li/>. [1 Agustus 2006]
Naskah akademik RUU pengganti UU no 34 tahun 1999
National Research Council (2003) Cities Transformed. Washington D.C, The National
Academic Press.
Nazaruddin (1996) Penghijauan Kota. Jakarta, Swadaya.
North, Douglass C (1998) “Five Propositions about Institutional Change”, dalam Knight,
Jack & Itai Sened, eds. (1998) Explaining Social Institutions. The University of
Michigan Press.
ODPM (2004) Planning Policy Statement 12: Local Development Frameworks, HMSO,
London. Diambil dari http://www.odpm.gov.uk/.
Oetomo, Andi. (2004) “Pengembangan Fungsi Kelembagaan Metropolitan Bandung”
dalam Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Cekungan
332 Metropolitan di Indonesia

Bandung. Departemen Pekerjaan Umum. Diskusi Teknis, Bandung 8 November


2004.
Planning Officers' Society (2004) Polices for Spatial Plans: Consultation Draft, POS.
Diambil dari http://www.planningofficers.org.uk/
Poloscia, Raffaele (ed.) (2004) The Contested metropolis. Berlin, Birkhauser.
Potensi Desa 2000
Potensi Desa 2003
Price, Catherine W. (2000) Subsidies And The Reform Of Infrastructure Services -
Infrastructure for Development: Private Solutions and the Poor. London, University
of Warwick.
Purnomohadi, Ning (1994) Pengelolaan RTH untuk Mengurangi Kualitas dan Kuantitas
Pencemaran Udara, kasus studi Kota Jakarta. Konsep disertasi (tidak dipublikasi),
FPS-IPB, Bogor
Raffles. T.S. The History of Java. Vol. I & II. Oxford University Press. 1978
Reksomarnoto, H.Moerdiman (2006) Megapolitan Jabodetabekjur, Gagasan Sutiyoso
Menjawab Tantangan dan Perkembangan Ibukota Negara Jakarta, Pustaka
Cerdasindo.
Rimmer, P.J. (1996) Transport and Communications Interactions” in Lo and Yeung.
Robinson, I. M. (1995) Emerging Spatial Patterns in ASEAN Mega Urban Regions:
Alternative Startegies” in T.G. Mc Gee & Ira M. Robinson eds, The Mega-Urban
regions of South East Asia, UBC Press.
Rosan, C., B.R. Ruble., & J.S. Tulchin (2005) Urbanization, Population, Environment,
and Security, A report of the Comparative Urban Studies Project. Washington,
Wodrow Wilson International Centre for Scholar.
Rukmana, Dadang (2001) Réforme Institutionnelle de la Métropole de Jabotabek (d’une
nécessaire mise en œuvre à une méthode d’application). Thése pour obtenir le grade
de Docteur en urbanisme et aménagement. Paris, Université Paris XII – Val de
Marne.
Rukmana, Dadang (2004) Kajian Materi Muatan Rancangan Undang-Undang
Perkotaan. Bahan Diskusi Awal disampaikan pada Diskusi di Bagian Hukum
Setditjen Perkotaan dan Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah, Jakarta 16 Juli 2004.
Rydin, Y. (1993) The British Planning System an Introduction. London, Macmillan.
Sadikin, Ali (2003) “Memimpin Pembangunan Kota dengan Konsep Community
Development dan Perusahaan Besar”, dalam Pembudayaan Tugas Pembangunan
Perkotaan dalam Era Desentralisasi, Proceeding Diskusi Staf, Direktorat Jenderal
tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil.
Shane, David Grahame (2005) Recombinant Urbanism: Conceptual Modeling in
Architecture, Urban Design, and City Theory, John Wiley, Chichester, 2005
Sieverts, Thomas (2003) Cities without Cities. New York, Spon press.
Sigit, Hananto & Agus Sutanto (1983) Desa dan penduduk perkotaan menurut definisi
perkotaan sensus penduduk 1971 dan 1980, in P.F. McDonald (ed.), Pedoman
Analisa Data Sensus 1971-1980. Australian Vice-Chancellor’s Comitee, Canberra.
Solomon, Daniel (2003) Global City Blues. Washington, Island Press.
Spiegelman, H. (2006) Hope in Wasteland. Alternatives, 32(1): 8-12.
333

Staalduine, J.A. & M.T.T. Simons (2004) Environment and Space: Towards More
Cohesion in Environmental and Spatial Policy. In Miller D. and De Roo, G. eds.
2004. Integrating City Planning and Environmental Improvement: Practicable
Strategies for Sustainable Urban Development, hal. 19-26. London, Ashgate.
Stehr, S.D. (2006) The Political Economy of Urban Disaster Assistance. Urban Affairs
Review, 41(4): 492-500.
Stevens, Theo (1986) The Indonesian City: Semarang, Central Java and the Wold
Market. USA, Foris Publication.
Suryadi, Charles (2004) Program Kota Sehat di Indonesia sebagai Bagian dari
Pembangunan Kota yang Berkelanjutan. Pusat Penelitian Kesehatan UNIKA
ATMAJAYA, Staf Bagian Kesehatan Masyarakat, FK Unika Atma Jaya.
Susantono, Bambang (2006) Pembangunan Infrastruktur Indonesia, Paparan Dalam
Seminar Manajemen Bisnis - Managing Infrastructure Business, Jakarta , Prasetya
Mulya Business School
Suselo, Hendropranoto (1991) “Sutami Sosok Manusia Pembangunan”. PRISMA, Edisi
Khusus 20 Tahun 1991.
Suselo, Hendropranoto (1994) Jabotabek or Pantura, A Case of an Expanded City, World
Bank’s Second Annual Conference on Environmentally Sustainable Development,
Washington D.C..
Suselo, Hendropranoto (2003) ”Jabotabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah”, dalam
Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang di Indonesia 1948-2000. Jakarta,
Direktorat Jenderal Penataan Ruang.
Suselo, Hendropranoto (2005) “Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT),
Awal Mula dan Perkembangannya”, dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota
Indonesia dalam Abad 21” Buku 1, Konsep, dan Pendekatan Pembangunan
Perkotaan di Indonesia. Jakarta, URDI, YSS dan Lembaga Penerbit FE UI.
Suselo, Hendropranoto, John L. Taylor & Emiel A Wegelin (1995) Indonesia’s Urban
Infrastructure Development Experience: Critical Lessons of Good Practice,
UNCHS Habitat.
Susser, Ida (2002) The Castells Reader on Cities and Social Theory. Oxford, Blackwell.
Sutami (1980) Ilmu Wilayah. Dalam Beberapa Pemikiran untuk Pembangunan
Nasional. Badan Penerbit PU.
Talen, E. (2005) New Urbanism and American Planning, The Conflict of Cultures. New
York, Routledge.
The Seaside Institute (2002) The Seaside Debates: A Critique of The New Urbanism.
New York, Rizolli International Publications, Inc.
The World Bank & Oxford University (2005) World Development Report 2005- A
Better Investment Climate for Everyone. New York, Oxford University Press.
Tobing, Jonathan (2001) Kajian Pengaruh KIM dalam Redistribusi Penduduk
Metropolitan Mebidang, Bandung, Tesis Magister PWK ITB
U.S. Census Bureau (2006) Metropolitan Statistical Area. Diambil dari
http://quickfacts.census.gov/qfd/meta/long_metro.htm pada tanggal 18 Desember
2006.
Uguy, M.H. (2006) Pengembangan Lingkungan Peri-Urban yang Menuju
Keberlanjutan, Suatu Analisis tentang Urban Sprawl sebagai Akibat Suburbanisasi.
Disertation PSIL UI.
334 Metropolitan di Indonesia

UN-Habitat (2004) The State of the World’s Cities 2004/2005. London and Sterling, VA:
Earthscan dan UN-Habitat.
UNHCS (2001) Cities in Globalising World, Global report on Human Settlements 2001.
London, Earthscan.
United nation (2002) World Urbanisation Prospect: 2001 Revision. Data tables and
Highlights, United nations, Department of Economic and Social Affairs, Population
Division, New York.
URDI (2006) Strategi Penanganan Pembangunan Kawasan di Sekitar Kota Besar dan
Metropolitan. Report to the PW-CK.
Walhi (2004) The Jakarta Court is Misleading, Reclamation Continues. http://
www.eng.walhi.or.id/ kampanye/pela/reklamasi/jakcourt_mislead/ [1 September
2006].
Wibowo, I. (2005) Akhir Neoliberalisme Sachs? Kompas, Senin, 24 Oktober.
Winarso, Haryo (2005) City for the Rich. Makalah disampaikan dalam The 8th APSA
International Congress, Penang, Malaysia : 11- 14 September.
Winarso, Haryo (1999) Private Residential Developers and the Spatial Structure of
Jabodetabek, dalam Urban Growth and Development in Asia vol.I: Making
the Cities, p. 277 – 304.
Wirutomo, Paulus (2003) “Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya”, dalam
Pemberdayaan Tugas Pembangunan Perkotaan dalam Era Desentralisasi,
Proceeding Diskusi Staf, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan,
Departemen Kimpraswil.
World Bank (1999) Entering the 21st Century World Development Report 1999/2000.
New York, Oxford University Press.
World Bank (2003) Cities in Transition: Urban Sector Review in an Era of
Decentralization in Indonesia, East Asia Working Paper Series, Dissemination
Paper No. 7, Urban Sector Development Unit, Infrastructure Department, East Asia
and Pacific Region.
Yoshiteru, Nishikawa (2004) Parks and Green Space Administration in Japan.
Director, Green Space Environment Enhancement Office, Parks and Green Space
Division. City and Regional Development Bureau, Ministry of Land, Infrastructure
and Transport, JAPAN.
Daftar Penulis

1. A. Hermanto Dardak:
Bab 8, Arah Kebijakan Penataan Ruang
2. Andi Oetomo:
Bab 7, Kelembagaan
3. Bambang Susantono dan Wahyu Utomo:
Bab 6, Infrastruktur Dasar
4. Bambang Tata Samiadji:
Bab 5, Ekonomi Perkotaan
5. B.S. Kusbiatoro:
Bab 6, Transportasi
6. Budhy Tjahjati S. Soegijoko:
Bab 6, Keterkaitan Desa-Kota
7. Dadang Rukmana:
Bab 7, Hukum
8. Eko Budihardjo:
Bab 5, Sosio Kultural
9. Haryo Winarso:
Bab 1 Pendahuluan; Bab 2: Konsep dan Struktur Metropolitan;
Bab 3, Perkembangan Kawasan Metropolitan; Bab 9, Penutup
10. Hendropranoto Suselo:
Bab 4, Persoalan dan Tantangan Metropolitan di Indonesia
11. Johan Silas:
Bab 6, Perumahan
12. Peter Gardiner dan Mayling Oey-Gardiner:
Bab 5. Kependudukan
13. Srihartiningsih Purnomohadi:
Bab 6, Ruang Terbuka Hijau
14. Teti Armiati Argo,
Bab 6, Lingkungan
15. Wicaksono Sarosa:
Bab 5, Globalisasi dan Metropolitan di Indonesia.
336 Metropolitan di Indonesia

Biografi Penulis

Biografi Tim Pengarah

Nama : A. Hermanto Dardak


Jabatan : Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU

Nama : Setia Budhy Algamar


Jabatan : Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
Departemen PU

Nama : I.F. Poernomosidhi Poerwohadikoesoemo


Jabatan : Direktur Penataan Ruang Wilayah II, Ditjen Penataan
Ruang, Departemen PU.
337

Nama : Iman Soedradjat


Jabatan : Plt. Direktur Penataan Ruang Nasional,
Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU

Biografi Tim Teknis

Nama : Doni J. Widiantono


Jabatan : Kasie Pedoman Penataan Ruang Provinsi,
Subdit Pedoman Penataan Ruang,
Direktorat Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan
Ruang,
Departemen PU

Nama : Firman Mulia Hutapea


Jabatan : Kasubdit Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan
dan Metropolitan, Direktorat Penataan Ruang Wilayah II,
Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU

Nama : Lina Marlia


Jabatan : Kasubdit Pedoman Penataan Ruang,
Direktorat Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan
Ruang,
Departemen PU

Nama : Maman Djumantri


Jabatan : Kasubdit Pedoman Pengembangan Kawasan,
Direktorat Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan
Ruang,
Departemen PU
338 Metropolitan di Indonesia

Biografi Tim Penulis

A. Hermanto Dardak lahir di Trenggalek pada tanggal 9 Januari


1957. Ia menyelesaikan pendidikan S-1 Teknik Sipil, ITB tahun
1980. Pendidikan S-2 Teknik Sipil dan S-3 bidang Transportasi
Ekonomi diselesaikan di Universitas of NSW, Sydney, Australia
tahun 1985-1990.
Perjalanan karirnya diawali di Departemen Pekerjaan Umum
pada tahun 1980. Penulis sempat menjabat sebagai Kepala Biro
Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekditjen Bina Marga,
Kakanwil PU di Kalsel, dan Kepala Pusat Kajian Kebijakan tahun
1995-2003, serta Staf Ahli Menteri Bidang Otonomi & Keterpaduan Pembangunan
Daerah tahun 2003-2005 di Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Kemudian
mulai tahun 2005 hingga sekarang, penulis menjabat sebagai Direktur Jenderal Penataan
Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.
Dalam bidang organisasi, saat ini penulis sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni
Australia (IKAMA) dan Ketua Badan Kejuruan Sipil Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
serta anggota Dewan Riset Nasional. Penulis sempat mendapat berbagai penugasan
antara lain sebagai delegasi RI pada Forum Infrastruktur Asia Pasifik (ASPAC) di India
tahun 1995 dan ketua delegasi RI dalam Expert Meeting Infrastructure ASPAC di
Malaysia tahun 2004.
A. Hermanto Dardak ikut menyumbangkan tulisannya mengenai Arah
Kebijakan Penataan Ruang di Bab 8.

Andi Oetomo lahir di Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1961.


Ia menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 1986 di Institut
Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah
dan Kota dan pendidikan S-2 di Universitas Adelaide, Australia
Selatan.
Karier perjalanan penulis dimulai dari lembaga penelitian
Planologi ITB pada tahun 1984 sebagai staf peneliti. Pada tahun
1986 bergabung menjadi staf peneliti di Lembaga Afiliasi
Penelitian & Industri (LAPI)-ITB. Kemudian beliau berprofesi
sebagai staf pengajar program studi (tahun 1988-sekarang) dan
pascasarjana (1995-sekarang) perencanaan wilayah dan kota di Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Keterlibatan penulis di dalam beberapa lembaga penelitian di ITB seperti Peneliti,
Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dan Kota/P3WK (1993-2004); Peneliti, Pusat
Penelitian Kepariwisataan/P2PAR (1995-sekarang); Peneliti, Pusat Penelitian
Kelautan/PPK (1999-2004); Pusat Mitigasi Bencana (2003-sekarang), Pusat
Pengembangan Pesisir Laut (2004-sekarang); Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah
dan Infrastruktur (2004-sekarang) serta Pusat Kebijakan Publik dan Kepemerintahan
ITB (2005-sekarang).
Andi Oetomo menyumbangkan tulisan mengenai Kelembagaan di Bab 7.
339

Bambang Susantono menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan


Teknik Sipil-Manajemen Konstruksi, ITB, pada tahun 1987,
pendidikan S-2 di University of California Berkeley Jurusan
City and Regional Planning tahun 1996 dan Jurusan Teknik
Sipil-Transportasi tahun 1998, serta pendidikan S-3 di
universitas yang sama dengan Jurusan Perencanaan
Infrastruktur tahun 2000.
Karier perjalanan penulis bermula dari tahun 2000-2004
sebagai sekretaris umum the Sustainable Transportation action
Network (SUSTRAN) Asia and the Pacific. Pada tahun 2000
sampai sekarang penulis juga merupakan dosen program S-2 fakultas teknik di
Universitas Indonesia. Sejak tahun 2004 sampai sekarang, penulis berprofesi sebagai The
President of Indonesian Transportation Society dan Senior Advisor to Minister of
Coordinating Ministry for Economic Affairs (tahun 2005-sekarang). Selain itu, penulis
juga ikut serta dalam beberapa organisasi yaitu American Society of Civil Engineers
(ASCE), American Planning Association (APA), Institute of Transportation Engineers
(ITE), Urban Land Institute (ULI), Urban Ecology, World Affairs Council.
Sejak tahun 2000, penulis juga aktif sebagai pembicara dalam beberapa kegiatan
forum seperti International Conference on Sustainable Transport and Clean Air, World
Bank/ADB/USAID/USAEP, Jakarta, May 2000; Expert Panel Roundtable Discussion on
Public Transportation. Institute for Energy Agency – OECD. Paris, France, 6-8 June
2001; Clean City Vehicle, Institute for Energy Agency – OECD, September 2002,
PARIS; OECD Global Forum on International Investment, International Investor
Participation in Infrastructure, OECD, Istanbul, Turkey, 6-7 November 2006.
Beberapa tulisan yang pernah diterbitkan, antara lain, Landasan dan Strategi
Kebijakan Pengembangan Infrastruktur Pedesaan (ISBN 979-98360-O-X),
International Labor Organization (ILO)–Coordinating Ministry for Economic Affairs;
Pengembangan Infrastruktur Pedesaan; Problem dan Perspektif (ISBN 979-98360-1-8)
International Labor Organization (ILO)–Coordinating Ministry for Economic Affairs;1-
2-3 Steps : Toward Sustainable Transportation. Indonesia Transportation Society.2004;
serta Transportation and Development in Indonesia : Role, Challenge and Perspective
Multi Aspects (forthcoming Fall 2005).
Bambang Susantono bersama Wahyu Utomo menyumbangkan tulisan
mengenai Infrastruktur Dasar di Bab 6 dalam buku ini.

Bambang Tata Samiadji lahir di Madiun 3 Maret 1956,


menyelesaikan pendidikan S-1 dari Jurusan Teknik Pembangunan
Daerah dan Kota, ITB, tahun 1975-1981 dan S-2 dari Sekolah
Bisnis Prasetiya Mulya-Jakarta tahun 1993-1995. Ia mempunyai
pengalaman penelitian dan konsultansi selama 25 tahun di bidang
pengembangan dan manajemen kota.
Beberapa penelitian yang dilakukan penulis antara lain: Pola
Keuangan Daerah Satu Tahun Otonomi Daerah (2002) dan
Perkembangan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis serta
340 Metropolitan di Indonesia

Implikasi Pengembangannya (diterbitkan URDI, 2004); sedangkan beberapa tulisan


yang dipublikasikan antara lain: Kota dan Bisnis Properti: Tinjauan Teoritis (Forum
Manajemen Prasetiya Mulya, 1992), Pembangunan Perumahan dengan Sistem Sewa
Lahan (PROPERTI INODONESIA, 1998); Teori Pengembangan Ekonomi Regional dan
Implementasinya (URDI, 2003); Pendanaan Pembangunan Perkotaan (Bunga Rampai:
Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Yayasan Sugijanto Soegijoko-URDI,
2005); dan banyak tulisan di media masa daerah seperti Serambi Indonesia (NAD) dan
WASPADA (Medan) serta berbagai makalah sebagai pembicara dalam seminar.
Saat ini, penulis bekerja sebagai konsultan free lancer untuk bidang manajemen
kota, ekonomi regional, dan keuangan daerah.
Bambang Tata Samiadji menyumbangkan tulisan mengenai Ekonomi
Perkotaan di Bab 5.

BS. Kusbiantoro lahir 3 Februari 1942 serta menyelesaikan


pendidikan SD, SMP, dan SMA di Solo. Penulis memiliki hobi
dalam bidang transportasi yang telah dirintis sejak menjalani
pendidikan di perguruan tinggi. Semua tesis/research
paper/disertasi S1/S2/S3 dalam bidang transportasi: Sistem
Transportasi Darat di Djawa (Ir, ITB, 1970); Bandung: Travel
Demand Analysis and Its Policy Implications (MA, UCLA,
1979); A Study of Urban Travel Analysis in LDCs (MSc, MIT,
1982); A Study on Measurement and Role of Quality
Performance of Bus Companies (MA, U-Penn, 1985); A Study of
Urban Mass Transit Performance: concept, measurement, and explanation (PhD, U-
Penn, 1985). Demikian juga penulis telah mengikuti berbagai pelatihan transportasi,
misalnya Urban Transportation Programs and Projects, EDI-World Bank, Washington,
D.C., 1976; Urban Transportation, MIT, Cambridge-MA, 1978; Urban Transportation
Planning System, UMTA-FHA, Chicago, 1979.
Sebagai staf pengajar di ITB sejak 1970, penulis memberikan beberapa mata kuliah
transportasi. Demikian pula penulis telah menjadi pembimbing utama tugas
akhir/tesis/disertasi lebih dari 135 mahasiswa dan umumnya dengan topik penelitian
transportasi. Jabatan terakhir penulis sebagai guru besar di ITB adalah Ketua KK Sistem
Infrastruktur Wilayah dan Kota. Menjelang pensiun awal tahun 2007, penulis sedang
menyelesaikan buku Memanusiakan Perencanaan Sistem Transportasi. Buku ini
ditujukan terutama untuk masyarakat awam.
BS. Kusbiantoro menyumbangkan tulisan mengenai Transportasi di Bab 5.

Budhy Tjahjati S. Soegijoko lahir di Purwokerto pada tanggal 18


Mei 1941. Penulis menyelesaikan pendidikan S-1 di Institut
Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah
dan Kota pada tahun 1970. Pendidikan S-2 diselesaikan pada tahun
1973 di School of Design, Harvard University, Cambridge,
Massachusetts. Kemudian pada tahun 1977 meneruskan pendidikan
S-3 di Massachusetts Institute of Technology, Cambridge,
341

Massachusetts khususnya di bidang urban studies and planning dan diselesaikan


pada tahun 1982.
Perjalanan karier penulis pertama kali sebagai Kepala Biro Sosial Ekonomi dan Tata
Ruang di Bappenas pada tahun 1988 sampai 1993. Penulis juga pernah menjabat sebagai
Asisten Menteri Negara PPN Bidang Peningkatan Peran serta Masyarakat dan
Keterpaduan dalam Pembangunan pada tahun 1994-1995. Pada tahun 1997 sampai 2001,
penulis juga menjabat sebagai anggota MPR-RI.
Sejak tahun 2002 sampai sekarang, beliau menjabat sebagai Direktur Eksekutif
Senior Lembaga Komunikasi Pengembangan Perkotaan dan Daerah (Urban and
Regional Development Institute/URDI). Di samping itu juga, beliau merupakan Guru
Besar di ITB (sejak tahun 1996) dan anggota Dewan Riset Nasional (sejak tahun 1999).
Budhy Tjahjati S. Soegijoko menyumbangkan tulisan mengenai Hubungan
Desa-Kota di Bab 5.

Dadang Rukmana lahir di Bandung pada tanggal 1 Juli 1965


menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Padjajaran di bidang
hukum dan melanjutkan pascasarjana (SP-1) di bidang New Town
Development di Ecole Nationale des Travaux Publics de l'Etat,
Lyon, France 1993. Pendidikan S-2 penulis diselesaikan pada
tahun 1998 di bidang Urban Management, Institut d'Urbanisme de
Paris, France dan pendidikan S-3 di bidang Urban Management,
Universite de Paris XII, France, 2001.
Penulis sempat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Kajian
Kebijakan, Pusat Kajian Kebijakan, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah pada tahun 2002-2003. Kemudian pada tahun 2003 sampai sekarang,
beliau menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat
Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Penulis aktif dalam kegiatan
mengajar di beberapa tempat antara lain pada Program Pasca Sarjana Pengembangan
Wilayah dan Kota, Universitas Krisnadwipayana, Jakarta (2004 – sekarang) dan pada
Program Pascasarjana Pengembangan Wilayah dan Kota (kerja sama dengan institusi
pendidikan pengembangan wilayah dan kota di Perancis), Universitas Diponegoro,
Semarang (2006-sekarang).
Dadang Rukmana menyumbangkan tulisan mengenai persoalan Hukum di Bab
7.

Eko Budihardjo lahir di Purbalingga pada tanggal 9 Juni 1944


menempuh pendidikan S-1 di Universitas Gadjah Mada di bidang
arsitektur tahun 1962-1969. Pendidikan S-2 penulis ditempuh
pada tahun 1976-1978 di Departement of Town Planning,
University of Wales Institute of Science and Technology,
Cardiff, Inggris.
342 Metropolitan di Indonesia

Karier perjalanan penulis pertama kali sebagai Sekretaris Jurusan Arsitektur


Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT-UNDIP) pada tahun 1971-1973. Kemudian
penulis sempat menjabat sebagai Kepala Biro Bangunan UNDIP (1973-1976) sebelum
tugas belajar ke Inggris. Sepulang tugas tersebut, langsung menduduki jabatan sebagai
Kepala Biro Penelitian FT UNDIP (1978-1990) di samping juga sebagai Ketua Jurusan
Arsitektur (1987-1990). Pada tahun 1990-1993 menjadi Pembantu Dekan I Bidang
Akademis dan tahun 1993 dipromosikan sebagai Dekan Fakultas Teknik UNDIP yang
dijabatnya dua kali masa jabatan. Tahun 1998 diangkat sebagai Rektor Universitas
Diponegoro.
Dalam bidang organisasi, penulis pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Arsitek
Indonesia (IAI) dan Ketua Ahli Ikatan Perencanaan (IAP) Cabang Jawa Tengah, dan
Presiden Rotary Club Semarang. Jabatannya yang lain adalah sebagai Ketua Dewan
Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Ketua Dewan Penasehat Arsitektur dan Pembangunan
Kota serta sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Riset, Konsultasi, dan Pengembangan.
Penulis juga telah memperoleh berbagai penghargaan antara lain sebagai Dosen
Teladan UNDIP pada tahun 1981, Man of The year 1993 dari Suara Merdeka, Seroja
Wibawa Nugraha dari Lemhannas tahun 1994, Bintang Emas Budaya dari Pusat
Lembaga Kebudayaan Jawa tahun 1995. Ia memperoleh gelar Kanjeng Raden
Tumenggung (KRT) dari Mangkunegara IX, tahun 1995 karena kiprahnya dalam
kegiatan budaya dan konservasi warisan bersejarah, Lentera Award dari Forum
Wartawan Peduli Pendidikan Semarang (FORWARDS) tahun 2006.
Semenjak tahun 1994, penulis terpilih sebagai anggota Dewan Riset Nasional
(DRN) dan telah menerbitkan 22 buku dalam bidang arsitektur, perumahan, dan
perkotaan, antara lain pada tahun 1997 Preservation and Conservation of Cultural
Heritage in Indonesia (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta); Lingkungan Binaan
dan Tata Ruang Kota, (Penerbit Andi, Yogyakarta) dan Arsitektur sebagai Warisan
Budaya, (Penerbit Djambatan, Jakarta) serta yang terakhir Kota yang Berkelanjutan,
(Penerbit Alumni, Bandung 1999) dan Gayeng Semarang, (Penerbit Suara Merdeka,
Semarang, 2000).
Eko Budihardjo menyumbangkan tulisan mengenai Sosial-Kultural di Bab 5.

;
Haryo Winarso lahir di Yogyakarta 14 April 1959,
menyelesaikan pendidikan SD, SMP, SMA di Yogyakarta,
pendidikan arsitektur di UGM dan menyelesaikan M.Eng. di AIT
Bangkok. PhD dari Development Planning Unit, The Bartlett,
University College London. Ia mempunyai pengalaman penelitian
di beberapa negara Asia: Thailand, Malaysia, Singapura, dan
Nepal. Saat ini menjabat sebagai Ketua Kelompok Keahlian
Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi
Bandung.
Beberapa penelitian yang dilakukan antara lain: 2006. Pengembangan lahan
informal di Cirebon, 2005, 2001, Energy Poverty and Sustainable Urban Livelihood
bersama the DPU UCL dibiayai oleh DFID.; 2000 Rapid Spatial Planning for
343

Investment in Urban Services bersama , DPU, University College London; 2000, Good
Practice in Core Area Development, bersama Westminster University, London;
Keaktifan beliau dalam menulis buku dapat dilihat dari tulisan yang dipublikasikan
antara lain: 2004, With B. Kombaitan, “Public Intervention in the Formal Housing
Market in Indonesia: Who gets the benefit? Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol
15, No 2, April;, 2003 “Access to main roads or low cost land? Residential land
developers' behaviour in Indonesia ” in Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde;
Journal of the humanities and social sciences of Southeast Asia and Oceania. ; 2002,
bersama Pradono, Denny Z. and Miming, M.,: Pemikiran dan Praktek Perencanaan
dalam era Transformasi di Indonesia (Planning thought and practice in the
transformation era in Indonesia). Department of Regional and City Planning-ITB; 2002,
bersama Tommy Firman: 'Residential Land Development in Jabotabek : Triggering
economic crisis?', Habitat International., Vol. 26 No 4; 2002, bersama Michael
Mattingly: Spatial Planning in The Programming of Urban Investment: The Experience
of Indonesia’s Integrated Urban Infrastructure Investment Programme, International
Development Planning Review. Vol. 24., No. 2; ‘Innercity Redevelopment Strategy: The
Role of Agents in The Development Process, A lesson from two cases in Indonesia’ in
Third World Planning Review, V0l.21, No 4
Sebagai editor buku ini, Haryo Winarso dibantu oleh Delik Hudalah, ST., MT.,
MSc., Mahasiswa program Doktor Rijksuniversiteit Groningen dan Research Asscociate
di Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB. Selain sebagai editor, Haryo Winarso
juga menulis dan mengkoordinasikan tulisan-tulisan di Bagian I yang disiapkan oleh
Ivan Kurniadi, Novrida, Juweti Kharisma dan Astri Aulia, (kesemuanya adalah sarjana
teknik dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB dan asisten di Kelompok
Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota-SAPPK ITB) serta Eko Budikurniawan
ST., DEA. (Mahasiswa Doktoral, dari Paris VII).
Selain menyumbangkan tulisan tulisan di Bagian I Kawasan Metropolitan:
Konsep dan Definisi, Haryo Winarso juga menulis Bab 9 Penutup.

Hendropanoto Suselo lahir pada tahun 1940. Ia adalah Penasihat


Ahli Senior Perkotaan Direktorat Jenderal Cipta Karya sejak
tahun 2003 sampai sekarang. Sebelumnya bergabung dengan
Institute for Housing and Urban Studies, Rotterdam sejak
Agustus 2000, dan sejak itu bertugas sebagai Senior Urban Policy
Advisor pada Direktorat Jenderal Pengembangan Kota,
Departemen Permukiman dan Pembangunan Wilayah atau
‘Kimbangwil’ (sejak Agustus 2002 menjadi Direktorat Tata
Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah atau ‘Kimpraswil’).
Penulis bergabung dengan lembaga United Nations Center
for Regional Development (UNCRD) di Nagoya, Jepang dari Juni 1995 sampai dengan
Agustus 2000. Beliau lulus sebagai Sarjana Teknik Planologi, Institut Teknologi
Bandung pada tahun 1965 dan memperoleh gelar Master of Public Works dari University
344 Metropolitan di Indonesia

of Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1969. Sebelum bertugas di UNCRD, penulis
adalah Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum Bidang Keterpaduan Pembangunan dan
Planologi Kota. Ia bertugas sebagai Kepala Bagian Perancang (kemudian Perencanaan)
Direktorat Jenderal Cipta Karya dari tahun 1974 sampai dengan 1984, dan kemudian
bertugas sebagai Direktur Bina Program Cipta Karya dari tahun 1984 sampai dengan
1988, Direktur Tata Kota dan Tata Daerah dari tahun 1988 sampai dengan tahun 1990.
Dalam kariernya sebagai pegawai negeri, penulis beberapa kali ikut serta dalam
anggota delegasi Pemerintah R.I. untuk menegosiasikan proyek-proyek pengembangan
perkotaan dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, dan sering menjadi
pembicara di dalam dan luar negeri tentang konsep P3KT (Program Pembangunan
Prasarana Kota Terpadu), serta aktif dalam pelbagai kegiatan profesional di bidang
perumahan dan perencanaan di Asia. Beliau adalah dosen dari pelbagai perguruan tinggi
dan sering menjadi pembicara dalam pelbagai pertemuan nasional tentang perkotaan dan
prasarana. Ia memperoleh tanda penghargaan dari Pemerintah R.I. berupa Lencana Satya
Karya, Lencana Wira Karya dan Satya Lencana Pembangunan
Hendropranoto Suselo menyumbangkan tulisan mengenai Persoalan dan
Tantangan Metropolitan di Indonesia di Bab 4.

Johan Silas lahir pada tanggal 24 Mei 1936 di Samarinda,


menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 1963 di Institut
Teknologi Bandung di Jurusan Arsitektur. Pendidikan lain/
khusus yang diikuti meliputi Housing in Urban Development
DPU/ UCL 1979; Housing, Building and Planning, IHS
Rotterdam 1980; Research Methods, Vrije Universiteit
Amsterdam 1980; Lain-lain tentang koperasi perumahan (Jepang),
konservasi kota lama (Berlin/Aga Khan Award for Architecture),
dan urban anthropology (Perancis). Beberapa penelitian yang
dilakukan penulis umumnya tentang perumahan dan pemukiman
warga kota berpenghasilan rendah, mulai tentang perbaikan
kampung (komprehensif), rumah susun (sewa) sampai rekonstruksi kerusakan di
Aceh/Nias. Selain itu, juga tentang penataan kota (Kuala Kencana) dan lingkungan
hidup kota (staf khusus MenLH (Nabiel M).
Perjalanan karier penulis bermula dari menjadi staf pengajar di Institut Teknologi
Sepuluh November (ITS) pada tahun 1965-2006 yang kemudian pada tahun 1980-2006
dipercaya sebagai Ketua Laboratorium Perumahan dan Pemukiman ITS. Selain itu,
beliau juga aktif menjadi delegasi RI ke berbagai pertemuan serta mendampingi
Walikota Surabaya dalam berbagai pertemuan dan menjadi konsultan di PBB (Habitat),
Bank Dunia (EDI), ADB, dan sebagainya. Sekarang beliau sudah pensiun sejak tanggal 1
Juni 2006 menjadi guru besar ITS. Pada tahun 2005, beliau mendapat penghargaan dari
UNHABITAT atas riset dan pekerjaannya yang didedikasikan untuk penyediaan tempat
tinggal bagi masyarakat miskin.
Johan Silas menyumbangkan tulisan mengenai Perumahan di Bab 6.
345

Mayling Oey-Gardiner mendapatkan gelar master dari College


of William and Mary dan Harvard University serta gelar Ph.D.
dalam Demografi dari Australian National University. Penulis
mendapatkan gelar profesor dari FE UI pada tahun 2001.
Sejak tahun 1991 sampai sekarang, penulis bergabung dengan
Insan Hitawasana Sejahtera (IHS) sebagai Direktur Eksekutif. IHS
adalah perusahaan domestik yang khusus bergerak di bidang
penelitian dan pelayanan konsultasi. Sebagai tambahan dalam
menjalankan tanggung jawabnya, penulis juga merupakan peneliti
senior yang turut ambil bagian dalam kapasitas substantif sebagai
pimpinan tim dari proyek penelitian yang diadakan perusahaan.
Lebih dari 20 tahun silam, penulis berprofesi sebagai peneliti senior dalam proyek
penelitian di berbagai bidang mencakup isu-isu sosial, ekonomi dan demografi.
Sejak 30 tahun terakhir, penulis juga menjadi staf pengajar bagi sarjana dan
pascasarjana di bidang sosiologi, metode penelitian dan studi kependudukan di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI). Beliau cukup sering memberikan kuliah khusus
dengan topik sosial dan demografi baik untuk program sarjana dan pascasarjana di UI
maupun universitas lainnya. Akhir-akhir ini, sebagai masyarakat yang menginginkan
peran yang lebih besar dalam pemerintahan, beliau aktif terlibat dalam berbagai lembaga
nonprofit dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang isu-isu
gender (GPSP) dan antikorupsi (TI-I, Transparency International – Indonesia).
Mayling Oey menyumbangkan tulisan mengenai Kependudukan di Bab 5
sebagai penulis kedua.

Peter Gardiner seorang Doctor yang telah berpengalaman lebih


dari 35 tahun dalam analisis demografi dan sosial-ekonomi dengan
lebih dari 30 tahun pengalaman di Indonesia. Sejak tahun 1991
sampai sekarang, Gardiner berprofesi sebagai Senior Technical
Advisor di Insan Hitawasana Sejahtera (IHS), yaitu sebuah
perusahaan konsultan dan penelitian di bidang sosial yang
bertanggung jawab terhadap manajemen teknis dalam kegiatan-
kegiatan penelitian yang diselenggaraan oleh perusahaan. Penulis
memiliki pengalaman langsung dengan susunan data-data nasional
dalam skala besartermasuk semua sensus-sensus utama dan
survei-survei sosial-ekonomi yang diadakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Selain itu, penulis juga bekerja dengan data lokal, khususnya dalam pekerjaan
perencanaan infrastruktur kota. Data-data tersebut digunakan sebagai basis perencanaan
dan target pelayanan bagi penduduk kota yang miskin.
Selanjutnya, penulis juga dilibatkan oleh BPS dalam merencanakan dan
melaksanakan usaha pengumpulan data utama pada tahun 1970-an dan baru-baru ini
dengan IHS, penulis dilibatkan dalam merencanakan dan melaksanakan pekerjaan survei
yang diadakan oleh perusahaan tersebut. Penulis memiliki banyak pengalaman dalam
perencanaan dan pembangunan sistem analisis indikator dan aplikasinya untuk
mendukung perencanaan dan evaluasi pengembangan kota, baik untuk proyek National
346 Metropolitan di Indonesia

Urban Development Strategy (NUDS) maupun pekerjaan lanjutan dalam perencanaan


infrastruktur kota pada beberapa pusat-pusat kota utama di Indonesia.
Peter Gardiner bersama Mayling Oey menyumbangkan tulisan mengenai
Kependudukan di Bab 5.

Srihartiningsih (Ning) Purnomohadi lahir di Banyuwangi 10


Januari 1945. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda
Arsitektur Pertamanan (BAP) dari Akademi Arsitektur Pertamanan
Pemda DKI Jakarta Raya (AKAP Jaya) tahun 1968, S-1 (1978)
Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan-Universitas
Trisakti Jakarta, S-2 (1985) dan S-3 (1995) Bidang Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pascasarjana,
Jurusan PSL, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1966-1970, penulis menjadi asisten dosen mata
kuliah tata hijau, merancang dan merencana arsitektur pertamanan
dan dosen tetap di Sekolah Tinggi Arsitektur Pertamanan Indonesia (STAPI) yang
diubah menjadi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas
Trisakti (1975-1978), dosen luar biasa (1978-2003).
Pada tahun 1978 menjadi pegawai negeri sipil pada Kantor Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (LH) yang sekarang menjadi
Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahun 2005, penulis pensiun dan
sampai sekarang menjadi widyaiswara (nara sumber) pada Diklat peningkatan SDM-
KLH Serpong-Tangerang, PTT di FPS-FMIPA-UI, Jurusan Ilmu Kelautan, Pengelolaan
SD-Pesisir dan Laut. Sejak tahun 1979, penulis juga mengikuti berbagai diskusi
mengenai arsitektur lansekap, lingkungan pesisir dan laut serta pengelolaan RTH di
dalam dan luar negeri sebagai anggota Ikatan Profesi Arsitek Lansekap Indonesia (IALI)
dan Majelis IALI (MALI).
Beberapa tulisan, baik yang sudah maupun akan dipublikasikan, sebagian
menyangkut Pengelolaan dan Pedoman RTH Kota yang diterbitkan oleh KLH, dan
sekarang sedang mempersiapkan buku yang bekerja sama dengan Departemen PU
berjudul RTH sebagai Unsur Utama Perencanaan Tata Ruang Kota Taman. Artikel hasil
karya penulis yang pernah dimuat dalam surat kabar antara lain majalah lingkungan,
EKISTIC, vol 61 (double issue) Nov 364/365, Jan/Feb 1994 berjudul The Landscape
Design and Planning.
Srihartiningsih (Ning) Purnomohadi menyumbangkan tulisan mengenai Ruang
Terbuka Hijau di Bab 6.

Teti Armiati Argo menyelesiakan pendidikan Ph.D di bidang


Community and Regional Planning pada University of British
Columbia-Kanada pada tahun 1999. Sementara itu, gelar
MES (Environmental Studies) diperolehnya dari York University, di
negara yang sama pada tahun 1993. Selain itu, gelar Sarjana Teknik
diperolehnya dari Teknik Planologi ITB pada tahun 1988.
Penulus memiliki minat dalam bidang Lingkungan Hidup dan
Pengaruhnya dalam Pengembangan Masyarakat; Perencanaan Tata
347

Ruang berorientasi Lingkungan (Ecological Base for Spatial Planning); Ekologi Politik
dan Konstruksi Sosial Alam (Social Construction of Nature); dan Karakter
Pembangunan di Asia Timur.
Teti Armiati Argo menyumbangkan tulisan mengenai Lingkungan di Bab 6.

Wahyu Utomo lahir di Jakarta pada tanggal 11 Februari 1964,


menyelesaikan pendidikan S-1 jurusan Teknik Sipil pada tahun
1987, pendidikan S-2 dan S-3 di bidang Regional Science tahun
1999 dan 2000 yaitu, Urban Planning di Sheffield University dan
Private Sector Participation di University of Washington. Selain
itu juga, penulis aktif mengikuti pelatihan maupun seminar baik di
dalam maupun luar negeri antara lain Manajemen Proyek di
Universitas Indonesia pada tahun 1989.
Pada bulan Oktober tahun 1987, penulis memulai karirnya
sebagai Staf Direktorat Bina Program di Departemen Pekerjaan
Umum. Kemudian pada tanggal 12 Oktober 1991, penulis menjabat sebagai Kepala
Staf Unit Proyek Pusat Pembina PMU P3KT. Pada bulan Agustus 1992 penulis
menjabat sebagai Pimbagro Program PLP dan pada tahun 1993 menjabat sebagai
Pimpro Program AB, PLP, Perumahan dan Permukiman. Sejak tanggal 10 Maret
2005, penulis menjabat sebagai Plt. Asisten Deputi Urusan IPW Kalimantan –
Sulawesi di Menko Bidang Perekonomian Pada Deputi V Bidang Koordinasi
Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah. Pada tahun 2001, penulis mendapat
penghargaan berupa Satya Lencana Karya Satya X.
Wahyu Utomo menyumbangkan tulisan mengenai Infrastruktur Dasar di Bab 6
sebagai penulis kedua.

Wicaksono Sarosa lahir pada tanggal 11 Oktober 1959,


menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Arsitektur ITB pada
tahun 1984. Kemudian dari tahun 1990-1992, penulis mendapatkan
beasiswa dari Fullbright sehingga dapat melanjutkan sekolahnya di
Amerika Serikat. Pada tahun 1993, penulis menyelesaikan
pendidikan S-2 di University of California, USA dengan judul tesis
The Dual Formal-Informal Growth of Jakarta: A Study of the
Morphological Impacts of Economic Growth in Metropolis of the
Developing World. Kemudian pada tahun 2001, ia menyelesaikan
pendidikan S-3 di universitas yang sama dengan judul disertasi
Infrastructure-based Community Development: Theories and Practices of Sustainable
Development at the Lokal Level with a Participant-Observation of Three Pilot-Projects
in Rural Villages of Java, Indonesia. Salah satu working paper yang ditulis dan telah
dipublikasikan berjudul A Framework for the Analysis of Urban Sustainability: Linking
Theory and Practice (Urban and Regional Development Paper Series 2002/2).
348 Metropolitan di Indonesia

Penulis juga terlibat dalam beberapa proyek perencanaan dan pengembangan kota
sejak tahun 1984, salah satunya adalah proses perencanaan dan desain Kota Baru Bumi
Serpong Damai pada pertengahan tahun kedua 1980-an dan sampai akhir 1990-an.
Kontribusi tersebut juga diberikan dalam proses perencanaan dan desain kota baru dan
perumahan lainnya. Selain itu, penulis juga terlibat dalam proyek partisipasi dalam
tingkat masyarakat, seperti program perbaikan kampung dan kegiatan-kegiatan
pengembangan masyarakat lainnya. Pada tahun-tahun ini-khususnya setelah sistem
desentralisasi diberlakukan di Indonesia-penulis aktif sebagai instruktur pelatihan pada
beberapa pelatihan pembangunan kapasitas lokal.
Saat ini, penulis adalah Direktur Ekskutif di Urban and Regional Development
Institute (URDI) di Jakarta, yaitu organisasi nonprofit yang mendukung pengembangan
wilayah dan kota yang berkelanjutan di Indonesia melalui tiga kegiatan utama yaitu
penelitian, pelatihan dan komunikasi. Beliau juga merupakan staf pengajar di Universitas
Trisakti dan merupakan pimpinan Ronakota Selaras yaitu perusahaan konsultan
perencanaan dan desain. Minat utamanya adalah perencanaan dan manajemen
pengembangan kota yang berkelanjutan khususnya di tingkat lokal dan masyarakat.
Wicaksono Sarosa menyumbangkan tulisan mengenai Globalisasi dan
Metropolitan di Indonesia di Bab 5.

Anda mungkin juga menyukai