Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/pwk
____________________________________________________________________________________________________________
HUBUNGAN TINGKAT URBANISASI DAN TINGKAT KETIMPANGAN WILAYAH
DI DAERAH PANTURA JAWA TENGAH
1 2
Hendra Saputra dan Sri Rahayu
1
Mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
2
Dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
email : hendra13saputra@gmail.com
Abstrak: Urbanisasi dan ketimpangan wilayah merupakan dua hal penting yang sedang dihadapi oleh negara
berkembang. Urbanisasi yang dialami Amerika selama 90 tahun, dialami oleh Korea selama 20 tahun dan Brazil
selama 30 tahun. Sekitar 70% dari negara yang mengalami urbanisasi mempunyai pendapatan perkapita yang
berbeda-beda.Hal tersebut juga terindikasi pada daerah Pantura Jawa Tengah.Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Jawa Tengah tahun 2011, sebesar 11,53% penduduk di daerah Pantura Jawa Tengah berada di Kota
Semarang dan pendapatan perkapita daerah Pantura Jawa Tengah sangat mencolok pada Kabupaten Kudus
(Rp. 42.941.164,-) dan Kota Semarang (Rp. 30.566.980,-) dibandingkan dengan wilayah lain yang mempunyai
proporsi dibawah Rp. 15.000.000,- terhadap pendapatan perkapita daerah Pantura Jawa Tengah. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat urbanisasi dan tingkat ketimpangan wilayah di
daerah Pantura Jawa Tengah dengan pendekatan kuantitatif menggunakan data Badan Pusat Statistik tahun
2006 dan 2011. Analisis metode nilai entropi digunakan untuk menghitung tingkat urbanisasi, sedangkan
tingkat ketimpangan wilayah menggunakan koefisien Theil. Tingkat urbanisasi di daerah Pantura Jawa Tengah
mengalami peningkatan sedangkan tingkat ketimpangan wilayahnya mengalami penurunan pada tahun 2011
dibandingkan tahun 2006. Hubungan antara tingkat urbanisasi dan tingkat ketimpangan wilayah di daerah
Pantura Jawa Tengah berbanding lurus yang dapat dilihat pada Kota Semarang dan Kabupaten Rembang. Hal
ini berarti jika tingkat urbanisasi tinggi maka tingkat ketimpangan wilayah juga akan tinggi dan begitu juga
sebaliknya.
Abstract: Urbanization and regional inequality are two important things that should be faced by
developing country. In America urbanization occurs for 90 years, Korea had been through
urbanization for 20 years and Brazil had been through it for 30 years. Around 70% of countries that
had been through the urbanization have difference income per capita. It is also indicated on the
northern coast area of Central Java. Based on data from Statistic Central Agency of Central Java year
of 2011, around 11,53% population of the northern coast area of Central Javalive in Semarang City.
There are a huge ratio of income per capita proportion of the northern coast area of Central Java,
between Kudus Regency (Rp. 42.941.164,-), Semarang City (Rp. 30.566.980,-), and the other regions
under Rp. 15.000.000,-. The purpose of this study was to determine the relation between urbanization
leveland regional inequality levelin the northern coast area of Central Java. This study uses a
quantitative research approach and uses secondary data from Statistic Central Agency of Central Java
year of 2006 and 2011. Entropy analysis method is used for counting urbanizationlevel, while theil
coefficient is used for counting regional inequalitylevel. Urbanization level in the northern coast area
of Central Java increases, while regional inequality level decreases in the year of 2011 which is
compared by its condition in the years of 2006. The relationship between urbanization level and
regional inequality level in the northern coast area of Central Java is directly proportional, as can be
seen in Semarang CityandRembang Regency. It means that if urbanization level is high, so does the
inequality region level and if urbanization level is low, so does the inequality region level.
Keyword : Relationship, Urbanization, regional inequality, the northern coast area of Central Java.
PENDAHULUAN
Urbanisasi dan ketimpangan wilayah diantara negara-negara telah meningkat
merupakan dua hal penting yang sedang selama dua dekade terakhir.
dihadapi oleh negara-negara berkembang.USA Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengalami urbanisasi sebesar 40% di tahun mengkaji hubungan tingkat urbanisasi dan
1990, 70% di tahun 1960 dan di atas 75% di tingkat ketimpangan wilayah di daerah
tahun 1990 sedangkan di negara-negara Pantura Jawa Tengah.Letaknya yang berada di
berkembang, misalnya Republik Korea bagian tengah Pulau Jawa menjadikan daerah
mengalami urbanisasi sebesar 40% di tahun Pantura Jawa Tengah jembatan penghubung
1970 dan 78% di tahun 1990. Urbanisasi yang antara daerah bagian barat dan bagian timur
dialami Amerika selama 90 tahun, dialami oleh Pulau Jawa.Indikasi terjadinya urbanisasi di
Korea selama 20 tahun dan Brazil selama 30 daerah Pantura Jawa Tengah dapat dilihat
tahun (Henderson, 2002). berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jawa
Lebih dari setengah dari populasi dunia Tengah yaitu pada tahun 2013, rumah tangga
saat ini terdiri dari penduduk kota dan usaha pertanian di daerah Pantura Jawa
proporsi ini diprediksi meningkat menjadi Tengah berjumlah 1.349.794 rumah tangga
lebih dari dua pertiga pada tahun 2030 atau berkurang sekitar 34,17% dibandingkan
dengan puncak di Afrika dan Asia (PBB, 1996 pada tahun 2003 yang berjumlah 2.050.500
dalam Esch et al, 2014).Pada tahun 2010, rumah tangga. Penurunan rata-rata rumah
populasi dunia yang tinggal di daerah tangga usaha pertanian di daerah Pantura
perkotaan merupakan 52% dari total Jawa Tengah yaitu sebesar 7,14%.
penduduk (Bank Dunia, 2012 dalam Wan et al, Sedangkan indikasi terjadinya
2015). ketimpangan wilayah di daerah Pantura Jawa
Henderson (2002) menyebutkan sekitar Tengah yaitu dapat dilihat bahwa Kabupaten
70% dari berbagai negara yang mengalami Kudus (Rp. 42.941.164,-) memiliki nilai
urbanisasi mempunyai pendapatan perkapita pendapatan perkapita tertinggi kemudian
yang berbeda-beda.Williamson (1965) dalam diikuti oleh Kota Semarang (Rp. 30.566.980,-),
Henderson (2002) menambahkan pada negara sedangkan di sisi lain sebagian besar daerah
berkembang, konsentrasi perkotaan Pantura Jawa Tengah mempunyai pendapatan
meningkat pada tahapan awal dari perkapita dibawah Rp. 15.000.000,- terhadap
pengembangan ekonomi sebagai bagian dari pendapatan perkapita seluruh daerah Pantura
peningkatan ketimpangan wilayah. Jawa Tengah.
McKay (2002) mengatakan banyak Konsentrasi penduduk dan kegiatan
contoh membuktikan ketimpangan dalam dan ekonomi di daerah Pantura Jawa Tengah
diantara negara-negara.Pada tahun 2000 masih terpusat di Kota Semarang. Hal ini
negara terkaya di dunia (Luksemburg) dapat dilihat dari 11,53% penduduk di daerah
menikmati tingkat pendapatan nasional bruto Pantura Jawa Tengah berada di Kota
perkapita lebih dari 90 kali dari yang paling Semarang dengan kepadatan penduduk
miskin (Sierra Leone). Pada tahun 1998 tingkat 6.981,07 jiwa/km2.Begitu juga dengan
konsumsi rata-rata dari 10% orang terkaya proporsi penduduk nonpertanian Kota
dari Zambia adalah 37 kali dari 10% orang- Semarang yang sudah mencapai 96% pada
orang termiskin. Semakin banyak bukti bahwa tahun 2011.
ketimpangan wilayah (setidaknya) dalam dan
KAJIAN LITERATUR
Urbanisasi
Urbanisasi merupakan kata yang berasal
dari bahasa Inggris yaitu urbanization dengan
asal kata urban yang merupakan kata sifat dan
berarti bersifat kekotaan sehingga mempunyai
makna secara harfiah suatu proses menjadi
bersifat kekotaan. Menurut Yunus (2006)
urbanisasi adalah proses menjadi sifat
kekotaan baik perubahan dari sifat bukan
kekotaan (kedesaan) menjadi kekotaan atau
Sumber: Hasil Olahan Penyusun, 2015 perubahan tingkat kekotaan yang lebih rendah
GAMBAR 1 menjadi tingkat kekotaan yang lebih tinggi.
DAERAH PANTURA JAWA TENGAH Ahrné, Bengtsson dan Elmqvist (2009)
menyebutkan bahwa urbanisasi adalah suatu
Kota Semarang dengan statusnya proses yang melibatkan perubahan dramatis
sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah menjadi dan terus-menerus yang meningkatkan jumlah
daya tarik kegiatan perekonomian terutama daerah terbangun sekaligus mengurangi
sektor industri.Pada tahun 2011, proporsi nilai jumlah daerah hijau.
sektor industri sekunder dan tersier mencapai Dalam kasus kebanyakan, makna
98% dengan laju pertumbuhan ekonomi rata- tersirat dari urbanisasi salah satunya
rata dari tahun 2006-2011 sebesar 5,84% yang konsentrasi penduduk. Hal ini berdasarkan
merupakan paling tinggi dibandingkan dengan pendapat Tisdale (1942) yang mengatakan
wilayah lain di daerah Pantura Jawa urbanisasi adalah proses dari konsentrasi
Tengah.Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk. Proses tersebut terjadi dalam dua
terpusatnya kegiatan ekonomi di Kota cara yaitu penggandaan titik konsentrasi dan
Semarang menyebabkan terjadinya peningkatan dalam ukuran konsentrasi
ketimpangan wilayah di daerah Pantura Jawa individu. Coulumbe (2000) menggunakan
Tengah.Daerah Pantura Jawa Tengah dapat penduduk perkotaan yaitu penduduk yang
dilihat pada Gambar 1. tinggal dalam sensus daerah metropolitan dan
Sesuai dengan pendapat yang sensus aglomerasi di atas 10.000 penduduk
disampaikan oleh Li dan Wei (2010), kota sebagai tingkat urbanisasi. Sedangkan Hsieh
merupakan komponen penting yang (2014) mengatakan urbanisasi adalah
menyebabkan ketimpangan yang cukup besar peningkatan proporsi penduduk suatu negara
antardaerah di Cina dengan distribusi spasial yang berada di daerah perkotaan, di mana
dari kota adalah salah satu alasan untuk ukuran kota tidak dipertimbangkan,
ketimpangan wilayah yang serius sejak tiga sedangkan secara eksogen pertumbuhan kota
kota terkaya (Beijing, Shanghai, dan Tianjin) adalah peningkatan jumlah orang yang tinggal
terletak di wilayah timur Cina. Selain itu, kota di daerah perkotaan.
telah memainkan peran penting dalam Menurut Gibbs (1966), skala urbanisasi
perubahan pola ketimpangan wilayah. Efek didefinisikan sebagai ∑XY dimana X adalah
kota adalah contoh bagaimana kekuatan ini proporsi penduduk perkotaan dalam unit
telah didorong pertumbuhan regional karena diatas ukuran tertentu (contohnya diatas
kota memiliki kebijakan yang lebih 4.999) dan Y adalah proporsi dari total
preferensial dari pemerintah pusat, otonomi penduduk dalam satuan yang sama. Mcgee
daerah yang lebih tinggi, dan dapat menarik (1971:10) juga menyatakan bahwa secara
lebih banyak investasi asing. umum ukuran produk akhir dari proses tingkat
penjualan ritel barang konsumsi perkapita, c. Hitung proporsi indikator j yang dicatat
tempat tinggal perkapita, jumlah dokter per pada tahun-i:
10.000 orang, jumlah tempat tidur rumah
sakit per 10.000 orang dan konsumsi listrik
hunian perkapita).
Adapun tingkat ketimpangan wilayah
dilihat dari sumber daya alam (proporsi sektor Pij adalah proporsi indikator proporsi
pertanian, proporsi sektor pertambangan dan penduduk perkotaan Kota Semarang tahun
galian, laju pertumbuhan ekonomi dan 2006 dan ∑Xij adalah total standarisasi
pendapatan perkapita) dan kondisi demografi indikator proporsi penduduk perkotaan
(IPM, gini rasio, tingkat kemiskinan dan tingkat Daerah Pantura Jawa Tengah tahun 2006.
pengangguran).
Analisis yang digunakan untuk d. Hitung nilai entropi untuk indikator j:
menganalisis tingkat urbanisasi di daerah
Pantura Jawa Tengah adalah analisis metode
nilai entropi yang digunakan oleh Wanet al
(2015). Analisis ini juga digunakan untuk
menganalisis tingkat ketimpangan wilayah
namun hanya melihat kontribusi tiap variabel ej adalah nilai entropi indikator proporsi
dan indikator.Langkah-langkah analisis penduduk perkotaan Kota Semarang tahun
metode nilai entropi sebagai berikut. 2006 dan n adalah jumlah wilayah yang
a. Pilih indikator: xij adalah indikator j untuk berada di daerah Pantura Jawa Tengah yaitu
tahun i. Sebagai contoh, xij adalah nilai sebanyak 14 kabupaten/kota. Sedangkan ∑( Pij
indikator proporsi penduduk perkotaan . ln Pij) adalah jumlah nilai proporsi indikator
Kota Semarang pada tahun 2006. proporsi penduduk perkotaan Kota Semarang
tahun 2006 dikalikan dengan nilai ln dari nilai
b. Standarisasi indikator: proporsi indikator proporsi penduduk
perkotaan Kota Semarang tahun 2006. Nilai ini
menunjukkan nilai untuk satu daerah Pantura
Jawa Tengah tahun 2006. Nilai ej proporsi
penduduk perkotaan akan sama pada tiap
Xij adalah standarisasi indikator proporsi wilayah di daerah Pantura Jawa Tengah.
penduduk perkotaan Kota Semarang tahun Begitu juga untuk nilai ej untuk indikator
2006, min (x1j,x2j,…xnj) adalah nilai terendah lainnya. Sedangkan nilai k akan sama untuk
dari indikator proporsi penduduk perkotaan semua wilayah pada setiap indikator baik pada
daerah Pantura Jawa Tengah tahun 2006 dan tahun 2006 dan 2011.
max (x1j,x2j,…xnj) adalah nilai tertinggi dari
indikator proporsi penduduk perkotaan e. Hitung koefisien perbedaan untuk indikator
daerah Pantura Jawa Tengah tahun 2006. Nilai j:
Xij berada pada rentang nilai 0 sampai 1
artinya nilai 0 merupakan nilai standarisasi
indikator paling rendah sedangkan nilai 1
merupakan nilai standarisasi indikator paling
tinggi.
gj adalah koefisien untuk indikator proporsi
penduduk perkotaan Kota Semarang tahun
2006 dengan m adalah jumlah wilayah yang perkotaan daerah Pantura Jawa Tengah tahun
ada di daerah Pantura Jawa Tengah yaitu 2006 yang didapat dari penjumlahan nilai
sebanyak 14 kabupaten/kota. Ee merupakan komprehensif indikator proporsi penduduk
nilai entropi (ej) indikator proporsi penduduk perkotaan tiap wilayah di daerah Pantura
perkotaan daerah Pantura Jawa Tengah tahun Jawa Tengah tahun 2006. Nilai komprehensif
2006. Nilai entropi tiap daerah yang sama indikator lain pada tahun 2006 dan 2011 juga
maka dikalikan sebanyak 14 kabupaten/kota dihitung dengan cara yang sama yang telah
menghasilkan nilai entropi (ej) daerah Pantura dijelaskan.
Jawa Tengah tahun 2006. Nilai gj akan sama Nilai urbanisasi demografi daerah Pantura
pada tiap wilayah di daerah Pantura Jawa Jawa Tengah dihitung dengan menjumlahkan
Tengah. Begitu juga untuk nilai gj untuk nilai komprehensif tiap wilayah dari setiap
indikator lainnya baik tahun 2006 maupun indikator urbanisasi demografi (proporsi
2011. penduduk perkotaan, kepadatan penduduk
perkotaan, proporsi penduduk nonpertanian
f. Menghitung nilai tertimbang: dan persentase lapangan kerja industri
tersier). Hal yang sama juga dilakukan untuk
menghitung nilai urbanisasi spasial, ekonomi
dan sosial. Sedangkan nilai tingkat urbanisasi
Wj merupakan nilai tertimbang indikator komprehensif dihitung dengan menjumlahkan
proporsi penduduk perkotaan Kota Semarang nilai urbanisasi demografi, spasial, ekonomi
tahun 2006. ∑gj adalah koefisien untuk dan sosial.
indikator proporsi penduduk perkotaan Untuk menghitung tingkat ketimpangan
daerah Pantura Jawa Tengah tahun 2006. Nilai wilayah juga menggunakan koefisien Theil
tertimbang tiap daerah yang sama maka yang digunakan Novotny (2007) yang dapat
dikalikan sebanyak 14 kabupaten/kota ditulis sebagai berikut.
menghasilkan nilai tertimbang (gj) daerah
Pantura Jawa Tengah tahun 2006. Nilai Wj
akan sama pada tiap wilayah di daerah
Pantura Jawa Tengah. Begitu juga untuk nilai dimana T menunjukkan ketimpangan wilayah
Wj untuk indikator lainnya baik tahun 2006 secara keseluruhan, n adalah ukuran populasi
maupun 2011. (jumlah wilayah), y merupakan pendapatan
perkapita rata-rata Daerah Pantura, dan yi
g. Menghitung tingkat komprehensif untuk adalah pendapatan perkapita wilayah i di
setiap tahun: daerah Pantura Jawa Tengah. Jika populasi
secara teritorial dapat dibagi menjadi k
daerah, maka T dapat diperinci sebagai:
Tengah, dan yij merupakan pendapatan urbanisasi dan tingkat ketimpangan wilayah di
perkapita wilayah i pada region j daerah bawah rata-rata.
Pantura Jawa Tengah. Nilai pendapatan Mcgee (1971:20) menyatakan model
perkapita dihitung dengan harga berlaku pertumbuhan ekonomi berdasarkan sejarah
(Syafrizal, 2014:153). pertumbuhan ekonomi di dunia kapitalis yang
Hubungan antara tingkat urbanisasi dan maju menunjukkan perkembangan ekonomi
tingkat ketimpangan wilayah di daerah bersamaan dengan proses urbanisasi.
Pantura Jawa Tengah dapat dilihat dengan Williamson (1965) dalam Henderson (2002)
cara mengelompokkan wilayah di daerah menambahkan pada negara berkembang,
Pantura Jawa Tengah berdasarkan tingkat konsentrasi perkotaan meningkat pada
urbanisasi dan tingkat ketimpangan tahapan awal dari pengembangan ekonomi
wilayahnya. Nilai tingkat urbanisasi yang sebagai bagian dari peningkatan ketimpangan
digunakan yaitu nilai dari analisis metode nilai wilayah. Henderson (2002) juga menyebutkan
entropi dan nilai tingkat ketimpangan wilayah sekitar 70% dari berbagai negara yang
yang digunakan yaitu nilai koefisien Theilyang mengalami urbanisasi mempunyai
dapat dilihat pada Tabel III. pendapatan perkapita yang berbeda-beda.
Jadi dapat diajukan suatu hipotesis bahwa
TABEL III hubungan antara tingkat urbanisasi dan
HUBUNGAN TINGKAT URBANISASI DAN tingkat ketimpangan wilayah berbanding
TINGKAT KETIMPANGAN WILAYAH lurus. Jika suatu wilayah mempunyai nilai
DI DAERAH PANTURA JAWA TENGAH tingkat urbanisasi yang tinggi, maka
Tingkat Tingkat Tingkat ketimpangan wilayahnya juga tinggi dan jika
Ketimpangan Ketimpangan Ketimpangan suatu wilayah mempunyai nilai tingkat
Wilayah Wilayah Wilayah
di atas rata-rata di bawah rata-
urbanisasi yang rendah, maka ketimpangan
Tingkat rata wilayahnya juga rendah yang dapat dilihat jika
Urbanisasi wilayah berada pada kuadran I dan kuadran
Tingkat Kuadran I Kuadran II IV. Sedangkan jika suatu wilayah berada pada
Urbanisasi kuadran II dan kuadran III, maka hubungan
di atas rata-rata
Tingkat Kuadran III Kuadran IV
tingkat urbanisasi dan tingkat ketimpangan
Urbanisasi wilayah berbanding terbalik dan tidak sesuai
di bawah rata- dengan hipotesis yang diajukan.
rata
Sumber : Modifikasi Tipologi Klassen, 2015
HASIL PENELITIAN
Analisis Tingkat Urbanisasi
Daerah pada kuadran I merupakan daerah Hasil metode nilai entropi tingkat
dengan nilai tingkat urbanisasi dan nilai urbanisasi daerah Pantura Jawa Tengah yang
tingkat ketimpangan wilayah yang berada di mempunyai nilai di atas rata-rata (0,10714)
atas rata-rata. Daerah pada kuadran II yaitu Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota
merupakan daerah dengan nilai tingkat Semarang dan Kabupaten Kudus baik pada
urbanisasi di atas rata-rata dan nilai tingkat tahun 2006 maupun pada tahun 2011. Hasil
ketimpangan wilayah di bawah rata-rata dan metode nilai entropi tingkat urbanisasi paling
daerah pada kuadran III merupakan daerah tinggi pada tahun 2006 terjadi pada Kota
dengan nilai tingkat urbanisasi di bawah rata- Semarang dengan nilai sebesar 0,29169,
rata dan nilai tingkat ketimpangan wilayah di sedangkan hasil metode nilai entropi tingkat
atas rata-rata. Sedangkan daaerah pada urbanisasi paling rendah terjadi pada
kuadran IV berarti mempunyai nilai tingkat Kabupaten Demak sebesar 0,05206.
Hasil metode nilai entropi tingkat urbanisasi mengalami pergeseran dari urbanisasi sosial
paling tinggi pada tahun 2011juga terjadi pada menjadi urbanisasi ekonomi. Urbanisasi sosial
Kota Semarang yang mengalami peningkatan merupakan urbanisasi yang paling banyak
dengan nilai sebesar 0,29856, sedangkan hasil terjadi pada tahun 2006 yaitu sebanyak 7
metode nilai entropi tingkat urbanisasi paling wilayah, sedangkan pada tahun 2011 terdapat
rendah terjadi pada Kabupaten Brebes dengan urbanisasi sosial dan urbanisasi ekonomi yang
nilai 0,05074. paling banyak terjadi di daerah Pantura Jawa
Tengah yaitu sebanyak 5 wilayah.
0,30
0,28
0,26
0,24
0,22
0,20
0,18
0,16
0,14
0,12
0,10
0,08
0,06
0,04
0,02
0,00
2006 2011
Kota Semarang mempunyai hasil metode nilai Sebagian besar wilayah di daerah
entropi tingkat urbanisasi 5 kali lipat lebih Pantura Jawa Tengah pada tahun 2011
tinggi dari Kabupaten Demak dan Kabupaten mengalami peningkatan tingkat urbanisasi
Brebes sebagai daerah dengan hasil metode dibandingkan pada tahun 2006 kecuali pada
nilai entropi tingkat urbanisasi paling Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal,
rendah.Pada tahun 2006, Kota Tegal dan Kota Kabupaten Pemalang, Kabupaten Jepara dan
Pekalongan mempunyai nilai urbanisasi Kabupaten Rembang. Kabupaten Pemalang
demografi paling tinggi dibandingkan mengalami penurunan tingkat urbanisasi
urbanisasi lainnya.Kabupaten Rembang paling besar yaitu sebesar 0,01740, sedangkan
mempunyai nilai urbanisasi spasial paling peningkatan tingkat urbanisasi paling besar
tinggi.Sedangkan Kabupaten Kendal, Kota dialami oleh Kabupaten Pekalongan sebesar
Semarang, Kabupaten Kudus dan Kabupaten 0,01507 yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Jepara mempunyai nilai urbanisasi ekonomi Pada tahun 2006, Sebagian besar
paling tinggi. Adapun Kabupaten Brebes, daerah Pantura Jawa Tengah mempunyai nilai
Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, tingkat urbanisasi pada kategori <0,1000. Kota
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, Tegal, Kota Pekalongan dan Kabupaten Kudus
Kabupaten Demak dan Kabupaten Pati mempunyai nilai tingkat urbanisasi pada
mempunyai nilai urbanisasi sosial paling tinggi. kategori 0,1000-0,2000. Sedangkan Kota
Pada tahun 2011, Kabupaten Tegal Semarang berada pada kategori >0,2000. Pada
mengalami pergeseran dari urbanisasi sosial tahun 2011, Kota Tegal mengalami pergeseran
menjadi urbanisasi demografi dengan nilai dari kategori 0,1000-0,2000 menjadi kategori
paling tinggi.Adapun Kabupaten Pekalongan
>0,2000 bersama dengan Kota Semarang yang Nilai koefisien Theil paling tinggi yaitu
dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. pada Kabupaten Kudus dengan rata-rata
4,08393, Kota Semarang dengan rata-rata
1,86534 dan Kota Pekalongan dengan rata-
rata 0,17459 yang bernilai positif
dibandingkan wilayah lain di daerah Pantura
Jawa Tengah mempunyai nilai koefisien Theil
yang bernilai negatif.
1,00
0,00
-1,00
2006 2011
TABEL V
HUBUNGAN TINGKAT URBANISASI DAN
TINGKAT KETIMPANGAN WILAYAH
TAHUN 2011
Tingkat Tingkat Tingkat
Ketimpangan Ketimpangan Ketimpangan
Wilayah Wilayah Wilayah
di atas rata-rata di bawah rata-
Tingkat rata
Urbanisasi
Tingkat Kuadran I Kuadran II
Urbanisasi di Kota Semarang Kota
atas rata-rata dan Kudus Pekalongan dan
Kota Tegal Sumber : Hasil analisis, 2015
Tingkat Kuadran III Kuadran IV GAMBAR 8
Urbanisasidi --------- Brebes, Kab. PETA TIPOLOGI DAERAH PANTURA JAWA TENGAH
bawah rata-rata Tegal, TAHUN 2006
Pemalang, Kab.
Pekalongan, Hubungan tingkat urbanisasi dan tingkat
Batang, Kendal, ketimpangan wilayah dapat dilihat pada
Demak, Jepara,
Pati, Rembang wilayah Kuadran I yaitu pada Kota Semarang
Sumber : Hasil analisis, 2015 yang mempunyai pendapatan perkapita yang
tinggi dan nilai gini rasio yang tinggi.Kota
Kota Pekalongan mengalami pergeseran Semarang merupakan wilayah dengan
dari Kuadran I pada tahun 2006 menjadi pendapatan perkapita tertinggi kedua sebesar
Kuadran II pada tahun 2011 yang diakibatkan Rp. 18.132.799,- pada tahun 2006 dan
oleh nilai tingkat ketimpangan wilayah yang mengalami peningkatan pada tahun 2011
mengalami penurunan sehingga berada di menjadi sebesar Rp. 30.566.980,-.
bawah rata-rata. Sedangkan Kota Semarang Adapun nilai gini rasio Kota Semarang
dan Kabupaten Kudus berada di Kuadran I merupakan nilai tertinggi sebesar 0,2923
yang berarti mempunyai nilai tingkat pada tahun 2006 dan tertinggi kedua pada
urbanisasi dan tingkat ketimpangan wilayah di tahun 2011 sebesar 0,3545. Hal ini berarti
atas rata-rata yang dapat dilihat pada Tabel V. peningkatan urbanisasi ekonomi
Tipologi daerah Pantura Jawa Tengah dapat menyebabkan peningkatan ketimpangan
dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. wilayah dalam distribusi pendapatan pada
Karakteristik wilayah tahun 2006pada kota Semarang.
Kuadran I yaitu mempunyai nilai urbanisasi
ekonomi yang tinggi dan faktor kondisi
demografi yang tinggi. Adapun karakteristik
wilayah pada Kuadran II yaitu mempunyai nilai
urbanisasi demografi yang tinggi dan faktor
kondisi demografi yang juga tinggi. Sedangkan
wilayah Kuadran IV mempunyai nilai
urbanisasi sosial yang tinggi dan faktor kondisi
demografi yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Li, Yingru dan Y.H. Dennis Wei. 2010. The
spatial-temporal hierarchy of regional
Ahrné, K et al. 2009. Bumble bees (Bombus inequality of China. Applied Geography,
spp) along a gradient of increasing 30, 303-316.
urbanization. PLoS ONE, 4. McGee, T. G. 1971. The Urbanization Process
BPS. 2011. Jawa Tengah dalam Angka 2011. In The Third World. London: G. Bell And
Kantor Statistik Provinsi Jawa Tengah. Sons, Ltd.
BPS. 2013. Analisis Sosial Ekonomi Petani Di Mckay, A. 2002. Defining and Measuring
Jawa Tengah Hasil Survei Pendapatan Inequality. Briefing Paper, 1, 1-3.
Rumah Tangga Usaha Pertanian Sensus Novotny, J. 2007. Measuring Regional
Pertanian 2013. Kantor Statistik Provinsi Inequality: A Comparison of Coefficient
Jawa Tengah. of Variation and Hoover Concentration
Dunford, M. 2009. Regional inequalities. Index. The Open Geography Journal, 2,
Socio-Economic Planning Sciences, 44, 25-34.
212-219. Sjafrizal. 2008. Ekonomi regional: teori dan
Esch, T et al. 2014. Dimensioning aplikasi. Jakarta: Niaga Swadaya.
urbanization—An advanced procedure Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan
for characterizing human settlement Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta: PT
properties and patterns using spatial RajaGrafindo Persada.
network analysis. Applied Geography, Tisdale, H. 1942. The Process of Urbanization.
55, 212-228. Social Forces, 20 (3), 311–316.
Gibbs, J. P. 1966. Measures of urbanization. Wan, L et al. 2015. Effects of urbanization on
Social Forces, 45(2), 170–177. ecosystem service values in a
Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. mineralresource-based city. Habitat
Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia International, 46, 54-63.
Ketiga. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Wang, S et al. 2014. Exploring the relationship
Yogya. between urbanization and theeco-
Henderson, Vernon. 2002. "Urbanization in environment—A case study of Beijing–
Developing Countries. The World Bank Tianjin–Hebei region. Ecological
Research Observer, 17(1), 89-112. Indicators, 45, 171-183.
Hsieh, S. C. 2014. Analyzing urbanization data Yunus, Hadi Sabari. 2006. Megapolitan:
using rural–urban interaction and Konsep, Problematika, dan Prospek.
logistic growth model. Computers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Environment and Urban Systems 45,
89-100.