Anda di halaman 1dari 7

Definisi

Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsila palatina yang merupakan


bagian dari cincin Waldeyer. Sebagai bagian dari sistem imun, tonsil membantu
tubuh untuk melawan infeksi yang ikut masuk bersama makanan atau minuman dan
udara pernapasan. Tapi walau bagaimanapun bakteri atau virus dapat menginfeksi
tonsil yang akhirnya akan menyebabkan infeksi pada tonsil yang kita kenal dengan
tonsilitis. Tonsilitis kronis secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu proses
infeksi dan peradangan yang bersifat menetap. Penyakit ini dapat terjadi akibat
serangan ulang tonsilitis akut yang akhirnya dapat menyebabkan perubahan atau
kerusakan permanen pada jaringan tonsil.3,5
2.2 Anatomi dan Fisiologi Tonsil
2.2.1 Anatomi tonsil
Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi
kantong faringeal kedua. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin
Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia pubertas. Tonsil palatina
merupakan jaringan limfoid yang terletak pada fosa tonsil di sudut orofaring. Bagian
anterior pilar tonsil dibentuk oleh otot palatoglosus dan pilar posterior tonsil dibentuk
oleh otot palatopharingeus, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor superior,
bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual, dan bagian
medial oleh ruang orofaring. Pada permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang
meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripte. Epitel kripte
tonsil bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik
dari pernapasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil.2,8
Tonsil mendapatkan perdarahan yang baik dengan suplai darah yang berasal
dari cabang-cabang arteri karoris eksterna. Arteri tonsilaris memberikan cabang untuk
tonsil dan palatum mole serta arteri ini berjalan ke arah atas pada bagian luar otot
konstriktor superior. Arteri faringeal asenden memberikan cabanganya ke tonsil
5
melalui bagian luar otot konstriktor faring superior. Arteri palatina asenden
memberikan percabangannya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil.
Arteri palatina desenden membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden
memberikan perdarahan pada tonsil dan palatum mole. Arteri lingualis dorsal naik ke
pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil,plika anterior dan plika posterior.2,8
Gambar 1. Perdarahan Tonsil2
Persarafan pada tonsil berasal dari saraf kranialis ke IX (glosofaringeus) dan
percabangan desenden dari nervus palatina dan percabangan pada timpani, sehingga
dapat ditemukan nyeri alih pada telinga di beberapa kasus tonsillitis. Tonsil bagian
atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina. Tonsil
tidak memiliki pembuluh getah bening aferen, hanya memiliki pembuluh getah
bening eferen. Aliran getah bening dari tonsil mengalir menuju rangkaian getah
bening servikal profunda bagian superior di bawah otot sternokleidomastoideus.2,8,9
2.2.2 Fisiologi tonsil
Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan dalam
mekanisme pertahanan tubuh. Mekanisme pertahanan tubuh dapat bersifat spesifik
6
dan non spesifik. Bila bakteri patogen masuk menembus lapisan epitel tonsil maka
sel-sel fagositik mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi antigen. Tonsil
memiliki dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan
efektif dan tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal
dari diferensiasi limfosit B. Limfosit yang paling banyak ditemukan pada tonsil
adalah limfosit B. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian
menyebarkannya ke sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelanjar sekretori di
seluruh tubuh. 2,9
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (Antigen presenting cells) yang berperan
dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG. Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4-10 tahun. Tonsil mulai
mengalami involusi pada saat pubertas, sehingga produksi sel B menurun. Pada
tonsilitis berulang terjadi perubahan epitel squamous stratified yang menyebabkan
rusaknya afinitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen yang pada
akhirnya dapat menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi
antibodi.2,8
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT-KL di tujuh provinsi di
Indonesia tahun 1994-1996, tonsilitis kronis memiliki prevalensi tertinggi setelah
nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Menurut Survey Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) data morbiditas pada anak yang menderita tonsilitis kronis pada
umur 5-14 tahun menempati urutan ke lima (10,5% laki-laki dan 13,7% perempuan).
Pada penelitian yang dilakukan di Poli THT-KL Rumah Sakit Serawak, Malaysia
selama 1 tahun dijumpai 8.118 pasien dan jumlah penderita tonsilitis kronis
menempati urutan ke empat yakni sebanyak 657 (81%) penderita. 1,2,4,5
Data dari RSUD Raden Mattaher Jambi terdapat peningkatan jumlah pendeita
tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010-2011 yaitu
sebanyak 44 orang di tahun 2010 dan 58 orang di tahun 2011. Di Rumah sakit
7
Fatmawati di dapatkan data bahwa dalam tiga tahun terakhir (2002-2004)
menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.1
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Tonsilitis Kronis
2.4.1 Etiologi Tonsilitis Kronis
Peradangan pada tonsil ini dapat disebabkan oleh infeksi baik oleh virus
maupun bakteri yaitu infeksi grup A Streptococcus β hemoliticus, Pneumococcus,
Stphylococcus dan Haemofilus influenza, biasanya menyerang anak-anak usia pra
sekolah hingga dewasa. Bakteri menyebabkan sekitar 15-30 persen kasus
faringotonsilitis dan group A Streptococcus β hemoliticus merupakan bakteri
terbanyak. Pada umumnya sama dengan tonsilitis akut tetapi terkadang kuman
berubah menjadi kuman golongan gram negatif. Tonsilitis kronis terjadi serangan
berulang dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada jaringan
tonsil atau kerusakan ini juga dapat disebabkan oleh resolusi yang tidak sempurna
dari tonsilitis akut.4,5,10
2.4.2 Faktor Risiko Tonsilitis Kronis
Faktor risiko untuk terjadinya tonsilitis kronis antara lain disebabkan oleh
iritasi yang bersifat kronis misalnya akibat paparan asap rokok menahun atau
makanan, higiene mulut yang buruk, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah dan
pengaruh cuaca serta pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Tunjung Sari tahun 2014 di Klaten didapatkan data bahwa ada
hubungan antara kebiasaan makan gorengan dan minum minuman dingin serta
higiene mulut yang buruk dengan kejadian tonsilitis pada anak dengan kelompok usia
5-6 tahun.5,11
2.5 Patofisiologi Tonsilitis Kronis
Infeksi pada tonsil terjadi jika antigen baik inhalan ataupun ingestan dengan
mudah masuk ke dalam tonsil dan terjadi perlawanan tubuh kemudian terbentuk
fokus infeksi. Pada awalnya infeksi bersifat akut yang umumnya disebabkan oleh
virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Jika
daya tahan tubuh penderita menurun, maka peradangan tersebut akan bertambah
8
berat. Setelah terjadi peradangan akut ini, tonsil dapat benar-benar sembuh atau
bahkan tidak dapat kembali seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini
akan mengakibatkan perdangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri
patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang bersifat kronis.2
Akibat peradangan kronis tersebut, maka ukuran tonsil akan membesar akibat
hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Infeksi
yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil akan menyebabkan peningkatan stasis
debris maupun antigen di dalam kripte, sehingga memudahkan bakteri masuk dalam
parenkim tonsil. Pada tonsilitis kronis akan dapat dijumpai bakteri yang berlipat
ganda.2
2.6 Gejala Klinis
Adapun gejala klinis tonsilitis kronis antara lain, nyeri tenggorok berulang
yang tidak hilang dengan sempurna. Dalam penelitian yang dilakukan Vivit, dkk
tahun 2013 di RSUD Raden Mattaher Jambi, didapatkan keluhan utama pasien
tonsilitis kronis adalah nyeri tenggorok 100%. Debris atau bercak keputihan pada
yang terdapat pada permukaan tonsil. Halitosis (Bau mulut) yang disebabkan oleh
debris yang tertahan di dalam kripte tonsil. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Khammas AH., dkk tahun 2010 di Poli THT Rumah Sakit Pendidikan Al-Yarmouk
halitosis didapatkan sebanyak 56% pasien yang mengalami hipertrofi tonsil. Pada
penelitian di Tokyo tahun 2000 juga didapatkan prevalensi halitosis sebanyak 27,5%.
Sulit menelan, sleep apnea dan obstruksi saluran napas dapat disebabkan oleh karena
pembesaran tonsil yang menutupi saluran napas. Pembesaran kelenjar getah bening
pada servikal (jugulodigastric nodes).1,2,10,12
9
Gambar 2. Tonsilitis Kronis
2.7 Diagnosis Tonsilitis Kronis
Untuk menegakkan diagnosis tonsilitis kronis diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan utama penderita saat
berkunjung ke layanan kesehatan yaitu berupa nyeri tenggorok, lalu keluhan yang
dirasakan tersebut bersifat berulang dan tidak menghilang dengan pengobatan yang
adekuat. Selain itu pasien juga dapat merasa lemas (malaise), terkadang mengeluh
sakit pada sendi.2
2.7.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan demam, dan pembesaran ukuran
tonsil. Ukuran pembesaran tonsil pada tiap penderita dapat berbeda kadang tonsil
dapat bertemu di tengah sehingga menimbulkan keluhan gangguan menelan dan
kesulitan bernapas. Menurut Brodsky 2006 yang dikutip oleh N.Amalia, bahwa
standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral)
yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil,
T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75%.10,13
10
Gambar 3. Ukuran Pembesaran Tonsil13
Akan tampak tonsil mengalami peradangan berupa warna kemerahan dan
kripte melebar. Selain itu akan dapat ditemukan bercak atau butir berwarna putih
kekuningan di dalam kripte tonsil yang dikenal dengan detritus yaitu kumpulan
bakteri yang sudah mati dan leukosit. Pembesaran kelenjar getah bening
(jugulodigastric nodes) di daerah servikal, bau napas yang tidak sedap (halitosis),
tidak nafsu makan. Jika keluhan dan ditemukan gejala klinis di atas maka diagnosis
tonsilitis kronis dapat ditegakkan.13
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikrobiologi yaitu melalui swab permukaan tonsil maupun jaringan inti tonsil.
Pemeriksaan sedian swab dengan pewarnaan Ziehl-Nelson atau dengan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran penyebab
tonsilitis yang lebih akurat karena bakteri yang menginfeksi tonsil adalah bakteri
yang masuk ke dalan parenkim tonsil, sedangkan pada permukaan tonsil mengalami
kontaminasi dengan flora normal di saluran napas atas sehingga bisa jadi bukan
bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan permukaan tonsil dilakukan sesaat
pasien telah dalam narkose dan diswab dengan lidi kapas steril. Pemeriksaan inti
tonsil dilakukan dengan mengambil swab sesaat setelah tonsilektomi.2,4,13
11
Seperti yang dikutip oleh Novialdi, 2011 dari Gaffney bahwa pemeriksaan
mikrobiologi inti tonsil dapat dilakukan dengan menggunakan aspirasi jarum halus
pada tonsil. Pasien dewasa dilakukan dalam posisi duduk kemudian tonsil dianastesi
lokal menggunakan silokain semprot. Pada anak-anak dilakukan dalam narkose
umum setelah pengangkatan tonsil.2
Selain pemeriksaan mikrobiologi, pemeriksaan histopatologi juga dikatakan
dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis tonsilitis kronis.Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ugras dan Kultuhan di Turkey tahun 2008, bahwa
diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Menurut
penelitan tersebut, terdapat tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan-sedang
infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infiltrasi limfosit yang difus. Kombinasi
ketiga kriteria tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosis tonsilitis kronis.14
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis meliputi terapi medikamentosa dan operatif.
Terapi ini ditujukan untuk mengatasi higiene mulut yang buruk dengan cara
berkumur ataupun pemberian antibiotik. Antibiotik jenis penisilin masih merupakan
pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan
terjadinya perubahan bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain
jenis penisilin. Untuk bakteri penghasil β laktamase perlu antibiotik yang stabil
terhadap enzim ini seperti amoksisilin klavulanat.2
Terapi pembedahan pada tonsilitis kronis dilakukan bila terapi konservatif
gagal. Tindakan pembedahan ini dikenal dengan tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi
dahulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam
menentukan indikasi tonsilektomi saat ini. Berdasarkan American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) indikasi tonsilektomi
dikelompokkan menjadi indikasi absolut dan relatif.
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan ostruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
12
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronis yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
c. Tonsilitis kronis atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada kasus abses peritonsilar, tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.2,9
Kontraindikasi dari tindakan tonsilektomi yaitu pada gangguan perdarahan,
risiko anastesi yang besar atau penyakit berat, anemia, infeksi akut yang berat.
Keadaan-keadaan tersebut disebutkan sebagai kontraindikasi tonsilektomi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilakukan dengan tetap
memperhitungkan manfaat dan risiko.9
Laporan operasi tonsilektomi pertama kali dilakukan oleh Celcus pada abad
ke-1 Masehi di Roma. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
adalah teknik Guillotine dan Diseksi. Tosilektomi dengan cara Guillotine dikenal
sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Hingga saat ini teknik
tonsilektomi dengan cara ini masih aman digunakan dan merupakan teknik
tonsilektomi tertua. Akan tetapi negara-negara maju sudah jarang yang melakukan
cara ini. Teknik kedua yaitu diseksi dan teknik ini merupakan yang terbanyak
dilakukan saat ini. Dilakukan dengan memposisikan mouth gag dengan benar, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukosa,
mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fosa hati-hati
kemudian dilakukan hemostasis dengan ligasi.9,13
13
Selain kedua teknik tersebut terdapat beberapa teknik tonsilektomi yang
lainnya yaitu: 9,13
1. Electrosurgery (Bedah Listrik)
Teknik bedah listrik yang paling umum adalah monopolar blade, monopolar
suction, bipolar, dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong
dan hemostase dalam satu prosedur.
2. Radiofrekuensi
Pada teknik ini, elektroda disisipkan langsung ke jaringan tonsil. Dengan alat
ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang
volumenya. Penggunaan teknik ini dapat menurunkan morbiditas
tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi lebih lanjut untuk mengevaluasi
keuntungan dari teknik ini.
3. Skalpel harmonik
Menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu
yang lebih rendah daripada elektrokauter dan laser. Keuntungan teknik adalah
jumlah perdarahan yang tidak banyak dan mengurangi nyeri pasca operasi.
Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak dapat
mentoleransi kehilangan darah seperti pasien dengan anemia atau defisiensi
faktor VII.
4. Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik
radiofrekuansi baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini
menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Teknik
ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan.
14
5. Intracapsular partial tonsillectomy
Merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan
mikrodebrider endoskopi dimana dengan alat ini jaringan tonsil dapat
dibersihkan tanpa melukai kapsulnya. Hal ini akan mencegah terjadinya
perlukaan jaringn dan mencegah peradangan lokal yang menimbulkan nyeri,
sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan.
6. Laser (CO2-KTP)
Pada teknik ini menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote)
untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.Teknik ini mengurangi
volume tonsil dan menghilangkan ‘recesses’ pada tonsil yang menyebabkan
infeksi kronik dan rekuren. Teknik ini direkomendasikan untuk tonsillitis
kronis, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan napas yang
disebabkan pembesaran tonsil.
2.9 Komplikasi
Peradangan kronis pada tonsil ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi
antara lain:13
a. Abses peritonsilar. Abses ini terjadi karena adanya perluasan infeksi ke kapsul
tonsil hingga mengenai jaringan sekitarnya. Pasien akan mengeluhkan
demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, pembesaran tonsil unilateral,
kesulitan membuka mulut (trismus) dan membutuhkan penanganan berupa
insisi dan drainase abses, pemberian antibiotik dan tonsilektomi.15Komplikasi
ini paling sering terjadi pada kasus tonsilitis berulang.
b. Abses parafaring. Terjadi karena proses supurasi kelenjar getah bening leher
bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan mastoid.
c. Obstruksi jalan napas atas (Obstructive sleep apnea) biasanya terjadi pada
anak-anak, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada orang
dewasa. Hal ini dapat terjadi jika terdapat pembesaran pada tonsil dan adenoid
terutama pada anak-anak, sehingga tonsilektomi dan atau adenoidektomi
harus segera dilakukan.15
15
d. Tonsilolith merupakan perwujudan dari debris epitelial dan dapat ditemukan
pada tonsilitis kronis bila kripte diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam
inorganik kalsium dan magnesium tersimpan memicu terbentuknya batu. Batu
tersebut lalu membesar secara bertahap, lalu terjadi ulserasi dari tonsil.
Tonsilolith ini akan tampak seperti pasir, berwarna putih kekuningan dengan
ukuran sekitar 1 cm atau lebih dan berbau tidak sedap.15 Lebih sering
ditemukan pada dewasa sebagai rasa tidak nyaman bersifat lokal atau foreign
body sensation.
e. Glomerulonefritis. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi kuman
Streptokokus beta hemolitikus grup A pada tonsil dan faring. Seperti yang
dikutip oleh N.Amalia, pada penelitian Xie dilaporkan bahwa antistreptokokal
antibodi meningkat pada 43% penderita glomerulonefritis dan
33% diantaranya mendapatkan kuman streptokokus beta hemolitikus grup A
pada swab tonsil dan faring sebagai kuman terbanyak.
2.10 Prognosis
Tonsilitis merupakan penyakit yang sering dijumpai dan pada umumnya dapat
sembuh dalam waktu beberapa hari dengan pemberian terapi yang tepat. Pemberian
atau pemilihan terapi antibiotik dalam penatalaksanaan tonsilitis perlu memperhatikan
bakteri penyebab sesuai dengan bukti empiris yang ada, sehingga akan dapat
mengurangi resistensi bakteri terhadap antibiotik. Pada beberapa kasus, tonsillitis
dapat menjadi sumber infeksi serius seperti glomerulonefritis atau demam rematik.
Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat pada penyakit ini.2,13
16

Anda mungkin juga menyukai