Anda di halaman 1dari 208

Intro

Hey semuanya perkenalkan nama aku Arip Hidayat, aku pemilik youtube channel DAPUR PLUS PLUS
dan UJANG ARIP. Jujur aja buku ini aku gunakan untuk promosi dua channel tersebut. Mohon di
subscribe dulu ya guys sebelum kita mulai pembahasan di buku ini. Dengan begitu aku semakin
semangat lagi berkarya.

Awalnya channel tersebut digunakan sebagai mediaku dalam berbagi, sejak adanya corona dan
seorang temen memberikan saran, akhirnya aku bener-bener lagi building channel tersebut. Awalnya
aku menahan-nahan karya-karyaku sehingga tidak massive influencenya. Tapi selalu ada temen-
temen yang say thanks atas informasi yang kuberikan.

Channel UJANG ARIP aku gunakan untuk sharing hal-hal umum apa yang kualami dalam hidup
sehingga aku bisa memiliki kesempatan sejauh ini. Aku ingin memberikan gambaran kalau kita itu bisa
meraih sesuatu yang besar dan gak mungkin dengan cara-cara yang aplikatif dan ngawang-ngawang.
Nyaranin investasi saham lah, reksadana, ini itu tapi Cuma segelintir orang aja yang bisa, malahan
presentasenya sedikit. Sedangkan aku mau ngasih info yang semua orang bisa melakukanya.

Orang tuaku memang berada karena hasil kerja keras mereka mendirikan pabrik kerupuknya, tapi
mereka mana mungkin kepikiran nyekolahin anak ke luar negri. Aku aja ampe hampir putus sekolah
kok setelah SD usai. Kami pernah hidup miskin tapi kami selalu gerak dan alhamdulillah sampai hari
ini kehidupan kami jauh lebih baik.

Channel DAPUR PLUS PLUS aku gunakan untuk berbagi ilmuku selain itu, channel ini dikhususkan
untuk sharing skill masak, ide bisnis, resep, olahan makanan dan kewirausahaan yang mungkin bisa
kita temukan di indusri kuliner. Aku bangun channel ini bersama istriku.

Well, jadi sebenarnya anggaplah aku sedang bersedekah ilmu. aku memiliki kesempatan semudah ini
mungkin diberi misi untuk memudahkan pula orang lain. Aku ngerasain gimana ALLAH yang Maha Baik
telah memberiku banyak hal. Jadi aku sendiri bukan hanya sedang membantu kalian yang butuh
informasi. Aku membantu diriku sendiri dalam membentuk karma baik. Ya setidaknya aku happy lah
dengan berbagi.

Aku yakin someday ada diantara kalian yang berhasil dan masih mengingat aku ini. Ketika aku melihat
dampaknya tulisan sederhana ini. Tentu itu jadi ladang kebaikan untuku. Happy reading temen-temen.
PERSEMBAHAN PENULIS

Terima kasih kepada Tuhan yang Maha Baik ALLAH S.W.T yang telah memberiku banyak kesempatan
sejauh ini. Diberikan otak yang setiap waktu rasa ingin tahunya meningkat, diberikan antusias untuk
terus berkarya, diberi kesempatan untuk membanggakan orang tua, diberikan kemampuan untuk bisa
berbagi dengan kerabat dan tetangga, diberikan sifat ceria dan aksen ketawa yang aneh, ditemukan
dengan teman-teman yang tidak pelit memberikan informasi, dipertemukan dengan istri yang menjadi
rekan kerja, rekan diskusi dan traveling, dan diberikan kesempatan untuk menjalin hubungan baru
dengan kalian para pembaca buku ini.

Terima kasih yang teramat dalam kepada orang tua tercinta Bapak Engkus Kusnadi dan Ibu Eti yang
telah banyak bersumbangsih besar terhadap perkembangan diriku. Aku merasakan semua level hidup
yang kita alami. Semua itu adalah cara ALLAH dalam membentuku hingga bisa seperti ini. Kalian
dengan kesederhanaan dan keterbatasan diri telah menjadikan aku manusia yang setidaknya bisa
berpikir untuk menjadi hebat. Kalian mungkin tak menyangka aku akan seperti ini sekarang. Didikan
keras yang diterima anak sulung, uang jajan yang sedikit, banyak meminta mengerjakan pekerjaan
rumah, dan titahan yang memaksa lainya, telah menghasilkan pemuda ini kreatif dan tidak bisa diam
untuk terus berkarya.

Aku gak berani minta apapun lagi ke kalian, karena dengan merasakan hal seperti ini pun. Aku
mengerti kalau kalian sudah cukup baik dalam mendidiku. Sejak usia 23 tahun saat pertama kali aku
keluar negri aku sudah mendamaikan diri dan mensyukuri kalian berdua yang telah menjadi orang
tuaku. Mamah dan bapa, terima kasih banyak. I love you!!

Terima kasih kepada adik-adiku yang juga sedang berproses. Harapanku adalah kalian juga bisa
membaca tulisan ini. Tapi bagaimanapun memberi nasihat kepada saudara sendiri kadang lebih susah
dari pada ke orang lain. Yang jelas setiap hari aku mendoakan kalian untuk bisa menjadi mandiri dan
hebat pada bidang masing-masing. Bisa memaksimalkan potensi. Adanya kalian membuatku bertekad
untuk mampu berdiri kuat, agar kelak dimasa depan tidak ada cekcok mengenai duniawi seperti harta
warisan.

Terima kasih kepada guru-guru ngaji yang juga sering ngomel-ngomel karena bandelnya diriku. Tapi
mereka menyayangi dan selalu teringat kepadaku. Saking terlalu dominan dan lucu kali ya. Maafkan
aku yang hingga kini ilmu tajwidnya masih jelek, duduk silanya gak bisa lama-lama dan malah bolos
demi nonton telenovela atau bolliwood.
Terima kasih kepada orang-orang yang sering memarahi dan menjudgeku sebagai anak
badeg/badung. Begitupun dengan guru yang meragukan potensiku. Gapapa, kalian adalah orang yang
berkontribusi dalam pola pikirku. Teman-teman yang pernah memusihiku, memakiku. Aku berterima
kasih atas pengalaman tersebut karena tanpa kalian aku tak akan bisa berlari mengejar kemajuan diri
untuk melakukan perbaikan.

Terima kasih kepada kalian yang hadir dalam hidupku dan menjadi keberkahan dengan memberikan
ilmu yang berguna. Aku mungkin kurang bagus dalam memaintain relationship ini. Tapi apapun
kebaikan kalian aku coba mengingatnya dan kudoakan agar mendapatkan balasan yang besar dari
ALLAH. Kalian pula yang menginspirasi aku untuk terus maju agar kelak bisa berguna.

Satu hal baik apabila tersampaikan pada moment yang tepat akan mampu memberikan perubahan.
Mungkin kalian gak memberikan hal yang nampak, tapi cerita kalian mampu menginspirasi. Semoga
kita selalu diberikan kesehatan agar bisa terus menanam karma baik.

Kepada istriku Ryaniraffiyaditaterima kasih sekali sudah mau menerima diri dengan kriteria gila ini.
Setiap diskusi denganmu menjadi gairah. Membuka banyak kejutan-kejutan nilai hidup. Semoga kita
menjadi pasangan yang baik dan bisa berguna bagi banyak orang.

Kepada teman-teman pembaca semua, aku terima kasih sekali atas apreasiasi dan waktunya yang
telah diluangkan untuk membaca tulisan ini. Aku minta maaf jika terkesan sombong atau ingin show
up pencapaian hidupku. Aku tidak ingin terkesan bahwa hidupku terjamin baik selamanya. Sekali lagi
mohon dinikmati tulisan yang menggambarkan bagaimana caraku meniti karir, ngumpulin uang selagi
muda, belajar hidup di luar negri yang kurasa caraku ini sangat applicable atau mudah untuk dilakukan.

I love you semuanya!!


Perlu diketahui

Bekerja di luar negri secara legal dan sesuai prosedur akan membuat kalian tenang dan tidak buang-
buang waktu. Usia makin tua, apakah kalian mau terus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran
karena kerja ilegal?

Jadi lebih baik gunakan waktu sebaik mungkin. bila perlu investasi uang untuk bisa ke luar negri,
Kenapa nggak gitu loh.

Bekerja secara ilegal juga akan membuat image bangsa kita makin buruk, sulit mendapatkan
kepercayaan dari negara lain, sehingga perlu dokumen dan prosedur yang rumit ketika mengajukan
berbagai izin, termasuk izin berkunjung sebagai turis.

Bekerja secara ilegal bisa membuat kalian terpaksa diam di negara tersebut sampai kalian
memutuskan balik. Bayangkan bagaimana rasanya menahan rasa rindu kampung dan suasana
indonesia. hal ini bisa menyiksa psikologis kalian. Seandainya memilih pulang, tentu aja gak akan ada
lagi kesempatan untuk tinggal di negara tersebut dan paspor kalian akan memiliki riwayat buruk.

Tambahan jika kalian mendapatkan kejadian buruk atau tindakan kejahatan orang lain, maka akan
menyulitkan diri kalian sendiri ketika ditangani. Beberapa orang mungkin akan take advantage dari
status ilegal kalian dengan mengancam untuk melaporkan dan memberi upah kecil. Apa masih mau
hidup seperti dijajah begitu?

Ok gak ada pilihan? Bisa ke luar negri aja untung, saya hidup miskin di Indonesia mas.

Well, ketika kalian dapat uang dari cara ilegal itu, jangan dulu dikirim-kirim ke kampung terus dibuat
beli ini-itu untuk keluarga yang akhirnya jadi sampah doang. Tabung uangnya, jadikan modal untuk
sekolah, nambah skill yang bisa mengantarkan kalian untuk mengejar karir di negara tersebut atau
nyari negara lain yang bisa memberikan kesempatan lebih baik dengan cara legal.

Contohnya kuliah di Canada atau Australia. Kuliah yang murah dulu, terus tingkatin dan tingkatin lagi.

Kalau gak mampu sekolah lagi ya tambah ilmu di berbagai media, baca buku, nonton youtube dan
belajar keahlian dari warga sekitar. Sehingga sekalipun harus pulang, kalian tidak akan jatuh miskin
menjual semua kekayaan hasil kerja di luar negri. Tapi ada hal yang bisa dikembangkan.

Sebelum lanjut jangan lupa, udah subscribe dapur plus plus belum di youtube!
Imigrant di Australia

Australia menjadi negara yang populer sebagai tujuan pencari rezeki untuk mengubah kehidupan yang
jauh lebih baik. Negara ini termasuk ke dalam 10 urutan negara yang memberikan gaji tertinggi di
dunia.

Aku sendiri sekarang sudah 4 tahun di Australia dan lewat tulisan ini aku akan menjelaskan apa saja
yang aku alami dan aku ketahui berdasarkan informasi yang aku terima selama ini ya guys. Jadi terus
baca hingga selesai dan jangan lupa bantu aku kembangkan channel dapur plus plus dengan cara
subscribe channelnya di youtube ya!!

Negara ini multikultural banget, semua ras ada di negara ini. Jangan kalah sama orang-orang dari
negara lain yang berani invest money untuk pendidikan dan akhirnya bisa tinggal di sini.

Kadang aku jelous sama orang-orang india yang banyak menempati posisi-posisi
bagus di berbagai instansi. Aku juga banyak menemui mereka yang memilih sekolah
dengan biaya fantastis untuk bisa sekolah disini dan berharap bisa tinggal di sini.
Mereka aja bisa kenapa kita enggak.
Source: Australian Bureau of Statistics (2019)
Place of birth Estimated resident population
Total Australian-born 17,836,000
Total foreign-born 7,529,570
England[B] 986,460

Mainland China[C] 677,240

India 660,350

New Zealand 570,000


Philippines 293,770

Vietnam 262,910

South Africa 193,860

Italy 182,520

Malaysia 175,920
Sri Lanka 140,260
Scotland[D] 133,920

Nepal 117,870

South Korea 116,030

Germany 112,420

Greece 106,660

United States 108,570

Hong Kong SAR[E] 101,290

Liat orang-orang dari Philippines, India dan Nepal. Banyak banget ya, populasi mereka itu gak Cuma
merajai di Australia, tapi di berbagai negara lain juga. kalian bisa cek aja data-datanya di negara-negara
lain. Indonesia jumlahnya tidak sebesar mereka.

Jadi tunggu apalagi. Ayo merantau dan merasakan keajaiban-keajaiban hidup yang banyak
berpengaruh pada pengembangan diri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi ke depanya.
Bekerja di Australia

Negara Australia udah transparant sekali mengenai data, semua informasi sangat terbuka dan
transparant tertera di website milik government. Jadi kalian bisa dive lebih dalam lagi untuk segala
urusan.

Bagi temen-temen yang malas baca kaya aku, bisa bertanya kepada orang yang sudah tinggal di negara
tersebut. Misalnya ke aku. Cuma catet, at least jangan start dari pertanyaan yang sangat basic.

Tidak ada pertanyaan yang bodoh ataupun tidak berarti. Namun kalian harus mengerti juga, berapa
banyak orang yang menanyakan hal yang sama. Kadang bikin bete, apalagi ketika sibuk dan cape.

Jadi coba cari tahu dulu yang basic-basic dan tanyakan yang spesifik. Contohnya gini.

“halo ka, selamat pagi. Aku ujang arip dari dapur plus plus. Aku udah baca nih ka, untuk bisa ke
australia itu bisa pake whv dan student. Aku udah baca sih ka mengenai urusan visa dan segala macam,
kemungkinan aku bisa mengumpulkan itu semua dan aku ingin memilih kota sydney. Menurut kaka
ini gimana ya ka? Terus ka, aku khawatir banget gak bisa bayar kuliah. Kaka bisa sharing langsung gak
gimana kaka bisa bertahan! Makasih ya ka, sukses terus ya ka!”

Pesan seperti di atas kayaknya lebih menarik dari pada

“assalamualaikum ka. Aku ingin sekali kerja di australia ka, gimana cara biar bisa kerja di sana ya ka?”

Aku mengerti mungkin kalian masih exited banget dengan informasi yang baru kalian dapatkan. Tapi
banyak sekali artikel yang memuat informasi ini. Channel youtube juga banyak yang ngehits loh. Aku
sendiri banyak sharing di channel Belajar dari Nol.

Buat kalian yang ingin tahu kesempatan apa aja yang bisa didapatkan dari Australia. Kalian bisa
berkunjung ke website Immigration and Citizenship di link ini

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-finder

disana secara garis besar semua pertanyaan dan berisi program-program yang memungkinkan dapat
mewujudkan impianmu untuk tinggal di Australia.

Ketika kalian sudah mengetahui jenis visa apa yang ingin kalian ambil. Kalian bisa mencari agent
pengurusan visa atau bisa apply sendiri melalui link di bawah ini

https://online.immi.gov.au
untuk agent sendiri kalian bisa nyari tahu sendiri di mana, aku gak bis rekomendasikan disini karena
aku sendiri gak dapat endorse kan dari mereka. Hehehehe kecuali mereka bantu share juga youtube
channel aku dapur plus plus gitu.

Jangan lupa subscribe ya guys.!! Please banget.

Besaran gaji

Besarnya gaji yang diterima itu setiap state, wilayah atau negara bagian Australia memiliki rate yang
berbeda namun tidak terlalu keliatan banyak perbedaan.

Kita ambil contoh pekerjaan di Darwin aja ya!

Kalau kerja di restaurant dan hotel itu kira-kira dari mulai $21-25 perjam saat weekdays $28 perjam
pada hari sabtu $35 pada hari minggu.

Kerja di perkebunan $21-$23 perjamnya

Kerja cleaner $25-$28 perjam

Dengan pendapatan kalian yang besar ini tentu aja bisa dengan mudah membeli apapun yang kalian
mau dan mengaktualisasikan semua rencana kalian. Makanya aku encourage banget kalian untuk
datang ke Australia karena dengan begitu kalian bisa memulai hidup jauh lebih gampang dan bisa
mencapai sesuatu yang lebih besar lagi dengan shortcut.

Aku juga bisa beli beberapa hal, terutama alat-alat pendukung vloggingku dan juga membeli aplikasi-
aplikasi berbayar.

Makanya dukung terus channel youtubeku agar makin berkembang lagi ya guys!!
Passport

Just in case kalian gak tahu passport, jadi kalau ingin berpergian ke luar negri, kalian
harus memiliki yang namanya passport. Jadi ini udah kaya KTP lagi ketika di luar negri
tapi berbentuk buku. Dimana nanti pas mau terbang ke negara lain harus menunjukan
pasport, begitupun ketika tiba dan masuk negara tujuan. Kalian wajib menunjukan passport.

Untuk ngurusnya sendiri bisa online atau datangi kantor imigrasi yang biasanya tiap kota selalu punya
perwakilanya.

Untuk nyari informasi tentang visa kalian bisa berkunjung ke website https://www.imigrasi.go.id/

Visas
Visa merupakan otorisasi bersyarat yang diberikan oleh suatu wilayah kepada orang asing, yang
memungkinkan mereka untuk masuk, tetap di dalam, atau meninggalkan wilayah itu. Visa biasanya
dapat mencakup batasan durasi tinggal orang asing, area dalam negara yang mereka masuki, tanggal
masuknya mereka, jumlah kunjungan yang diizinkan atau hak individu untuk bekerja di negara yang
bersangkutan. Visa dikaitkan dengan permintaan izin untuk memasuki suatu wilayah dan dengan
demikian, di sebagian besar negara, berbeda dari izin formal yang sebenarnya bagi orang asing untuk
masuk dan tetap tinggal di negara itu. Dalam setiap contoh, visa tunduk pada izin masuk oleh petugas
imigrasi pada saat masuk sebenarnya, dan dapat dicabut kapan saja. Visa paling umum berupa stiker
yang disahkan di paspor pemohon atau dokumen perjalanan lainnya.

Saat ini ada 71 negara yang membebaskan pemilik passport Indonesia untuk berkunjung secara
mudah, beberapa negara tersebut mengijinkan kita masuk hanya dengan membawa passport,
sedangkan beberapanya lagi meminta kita untuk mengurus visa on arrival atau tanda izin berkunjung
yang didapat di airport saat kita tiba di sana. sisanya dari total jumlah negara di dunia ini mewajibkan
Indonesian people untuk apply visa sebelum berkunjung.
Visa australia

Ada beberapa jenis visa yang memungkinkan Indonesian people dengan mudah bisa datang ke
Australia untuk mencari peruntungan hidup. Berikut akan aku jelaskan satu persatu ya!

Work and holiday visa Subclass 462

Visa ini mengijinkan kalian bisa tinggal selama 3 tahun lamanya, tentu saja ada prosedur yang harus
diikuti untuk bisa tinggal hingga 3 tahun. Aku akan selalu meyakinkan kalian kalau hal itu mudah
dilakukan.

Aku tiba di Australia pertama kali menggunakan visa ini, saat itu izinya sendiri masih untuk satu tahun
saja. Sedangkan sekarang sudah bisa 3 tahun. Enak banget kan. Dalam setahun aku bisa
mengumpulkan uang hingga 680 juta kotor. Apalagi kalau dikasih izin 3 tahun. Usia belum 30 aku bisa
dapat uang hingga satu milyar kalau aku bisa save sampe 350 jutaan bersih.

Informasi mengenai visa ini bisa kalian cari tahu di web ini

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-listing/work-holiday-462

Visa ini dikhususkan untuk anak muda dibawah 31 tahun dan setidaknya masih aktif kuliah dan sudah
belajar 4 semester.

Kalian tidak perlu pake agent untuk mengurusnya, melainkan harus bersaing dengan jutaan anak
muda lainya yang ingin datang ke Australia saat pendaftaran onlinenya dibuka oleh direktorat jendral
imigrasi.

Step pertama yang harus dilakukan adalah mendapatkan surat rekomendasi dari Direktorat Jendral
Imigrasi dengan mendaftarkan diri di website ini nih guys https://whv.imigrasi.go.id/home gratis
tanpa dipungut biaya. Wawancara gampang, gak usah takut! Tell them that you want to learn
something incredible di luar negri yang kelak bisa bersumbangsih ke negara. bisa dikatakan
wawancara hanya untuk verifikasi dokumen kalian aja. Gak ada pilihan gagal atau lolos. Kalian akan
lolos selama dokumen lengkap.
Dokumen yang harus dipersiapkan antara lain nih guys :
1. Passort
2. KTP
3. Akta lahir
4. Kartu Keluarga
5. Ijazah atau surat keterangan mahasiswa aktif
6. IELTS dengan total nilai 4,5
7. bukti keuangan sebanyak 50 juta atau senilai dengan AUD 5,000 (fotokopi buku tabungan,
rekening koran atau bank statment yang dilegalisir bank)
8. foto passort
9. form yang harus didownload dari website di atas.

Setelah dapat surat rekomendasi, kalian harus print semua dokumen ditambah surat itu dan diajukan
ke Kedubes Australia melalui kurir, kalian gak bisa kirim langsung ke alamat Kedubesnya ya. Harus
lewat kurir dan bayar biaya visanya di awal. Selama dokumen lengkap dan ok pasti lolos.

Tunggu e-mail untuk medhical check up, mereka akan kirimkan hap-id yang nanti diberikan kepada
pihak rumah sakit yang direkomendasikan untuk medchek ok. Asal gak punya penyakit di paru-paru
seperti TBC pasti aman.

Mau kalian pesek, tinggi, jelek, item, tamvan, keriting, tatoan, tindikan, gak masalah.

Tidur dengan tenang dan tunggu aja dapat email yang membuat kalian bisa sumringah dan sujud
syukur. Setelah visa granted kalian bisa berpikir mau kemana dan merencanakan perjalanya selama
setahun. Dalam periode setahun itu kalian bisa pergi kapan
aja dan kemanapun. Visa kalian akan dihitung dari awal mula
tiba di Australia dan berlaku setahun.

Untuk apply visa kedua kalian bisa urus sendiri lewat online
dengan syarat-syarat tertentu, yaitu harus bekerja di wilayah
utara atau diatas garis carpricorn pada bidang hopitality dan
farming.

Total biaya kisaran 12 jutaan diluar tiket pesawat untuk


melakukan wawancara di gedungnya Direktorat Jendral Imigrasi yang ada di jakarta. (visa fee AUD 485
dan IELTS 3.5 juta rupiah).
Selama di Autralia aku memilih kota Darwin karena banyak yang bilang kalau di kota ini gaji yang
diterima lebih tinggi dari pada wilayah lain. Aku setahun full kerja di restoran di kota Darwin dan
Palmerston. Sehari kerja bisa 8-12 jam selama 6 hari.

Aku pernah kerja di empat tempat dalam seminggu, tinggal dimanage aja kapan saja aku bisa kerja di
tempat-tempat tersebut. Kalau dirasa bagus dan dibutuhkan, waktu itu negotiable banget deh.

Ini nih enaknya kalau kerja di Australia, kita itu tidak terikat dengan jam kerja dan rutinitas yang kaku.
Apalagi kerja di industri hopitality, kita gak punya roster atau jadwal kerja yang exact nih. Bisa kapan
aja dipulangkan sesuai dengan kebutuhan.

Bekerja di Australia juga membebaskan kita untuk bisa holiday kapan aja kita mau, namun jangan
sering-sering. Karena bisa bikin kantong jebol dan reputasimu jelek. Kalian bisa bilang jika ingin holiday
at least beberapa minggu sebelumnya.

Aku pernah dipertanyakan oleh sebagian orang terutama yang belum tau aku. “kerja apaan sih,
bohong kali, kok enak banget bisa liburan kapan aja.” Karena mindset orang Indonesia kalau kerja itu
ya tiap hari, cuti Cuma 11 hari. Gak mungkin sering pulang dan holiday belum lagi kan mahal banget
kalau traveling terus.

Ini yang membuat aku untuk mikir ulang tentang hidup di Autralia.

Mendapatkan kerja
Cara melamar kerjanya pun gampang dan gak ribet. Pekerjaan bisa didapat dari website seperti
https://www.gumtree.com.au/ ini adalah website yang serba ada, termasuk jika kalian mencari
akomodasi dan kebutuhan lainya.

kalau kalian ingin kerja di mining site dengan gaji besar dan pulang pergi dijemput pesawat bisa
melamar kerja di website berikut.

https://www.hays.com.au/

https://www.sodexo.com/home.html

http://www.compass-group.com.au/

kalian juga bisa mendatangi tempat kerjanya langsung dan mendropkan cv yang sebisa mungkin
dirangkum dalam 1-2 lembar aja.
Jenis pekerjaan yang bisa diambil, sorry banget kalau nyari yang profesionnal job yang sesuai dengan
background pendidikan di Indonesia agak sulit dan susah didapatkan. Jadi ambil aja yang ada dan
mudah didapatkan bagi para imigrant, daripada kelaparan mempertahankan ego mending ambil
kerjaan apa aja yang bisa earning 1-2juta perhari.

Gak usah dengan pengalaman kerja. Karena pemerintah Australia udah mempersiapkan apapun itu
sedetail mungkin, sampai ke masalah pekerjaan ini. Makanya pekerjaan yang mudah didapatkan itu
adalah pekerjaan yang tidak perlu skill luar biasa dan tanggung jawab yang ribet. Jadi banyak sekali
jenis pekerjaan yang mungkin kalian bisa bilang rendahan tapi bergaji dua ratus ribuan perjamnya.

Trainingnya pun gampang sedangkan perkejaan lebih tinggi lahi menuntut kalian memiliki sertifikat
tertentu yang menunujukan kalau kalian memiliki kompetesi yang valid ketika bekerja agar bisa
dipertanggung jawabkan semuanya.

Jenis pekerjaan
Kerja di industry hospitality (pelayan, housekeeper, kasir, all rounder, barista, bartender, unskillful
cook, pembuat sandwich.

Farming (sayuran, buah, perkebunan, peternakan, tukang sembeli hewan, kerja di pabrik daging)

Cleaning (cleaning di sekolah, kantor, tempat gym dan lainya)

Retail (supermarket)

Kerja di perusahaan.

Kalian perlu
Ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan kalian memiliki dan menuntut kalian melakukan
sesuatu seperti:

1. SIM Card dan e-mail diperlukan untuk berkomunikasi tentang pekerjaan dan pengiriman
dokumen.
2. TFN atau tax file number harus dimiliki ketika bekerja, karena gaji yang diterima akan dipotong
pajak dan sesegera mungkin dikirimkan ke nomor pajakmu.
3. RSA responsiblity service of alcohol digunakan untuk kalian yang ingin kerja di bar atau serving
alcohol.
4. White Card kartu ini dibutuhkan kalau kalian ingin bekerja id bidang konstruksi
5. Vaccines diminta ketika kalian bekerja di tempat-tempat tertentu, pabrik daging atau mining
site
6. ABN Australian Business Number diperlukan ketika kalian memiliki usaha sendiri

Kalau Cuma kerja di hotel atau restoran sih gak perlu ya! Santaai

Pasca WHV
Banyak para pemegang WHV ini yang bingung mau ngapain setelah WHV, apalagi pikiranya masih
idealis banget kan ngerasa di Indonesia bisa hebat atau lebih menyukai tinggal di indonesia, tapi
tinggal di Australia juga sangat mudah ngapa-ngapain gitu.

Mau nungging, mau gunta-ganti warna rambut, kelamin, sampai nyari modal buat oplas aja mudah
terealisasi gitu. Jadinya galau merana.

Aku waktu itu kepikiran untuk sekolah cookery tapi belum 100 persen. Akhirnya aku membeli tiket ke
beberapa negara untuk menghibur setelah setelah setahun penuh kerja mati-matian demi dollar. Iran,
Nepal, Myanmar, Hongkong, Macau, Shenzen, dan beberapa kota di Indonesia menjadi pilihan.

Aku juga berkunjung ke Padang dan menikmati indahnya Sumatra Barat, saat itu pula aku mengatakan
kalau suatu saat aku ingin tinggal di sana dan ingin membawa orang tuaku ke sana. akhirnya

Tapi akhirnya aku mutusin untuk kembali ke Australia, mengingat usaha orang tua masih bisa mereka
pegang dan mereka masih semangat nyari duit. Jadi lebih baik aku biarkan dari pada take over sumber
duit mereka. Yang ada berantem terus.
Student visa subclass 500

Visa ini gak kenal umur, tapi kalau masih muda tentu aja memiliki peluang lebih besar. Gimana kalau
udah tuir dan gak pede lagi bakal keterima visanya. Gini! Logikanya, udah tuir ambil sekolah abal-abal
atau jurusan-jurusan yang gak make sense. 40 tahun belajar bahasa inggris, ya kemungkinan besar
ditolak. Ini orang mungkin aja emang beneran mau belajar, tapi yang apply student visa itu banyak
dan siapa yang menjamin mereka sungguh-sungguh ingin belajar bahasa. Pasti jawaban paling
memungkinkan adalah bahwa ini orang Cuma pengen kerja doang di Australia. Kecuali memang ambil
bidang pendidikan bahasa inggris di universitas, itu beda cerita. Kalau Cuma college atau sekolah-
sekolah biasa aja mah kemungkinan besar ditolak. Sekalipun sungguh-sungguh ingin sekolah.

Tapi ada juga yang berhasil kok, dengan catatan mereka berkunjung dulu dengan turis visa dan
langsung convert ke study visa. Perlu diperhatikan

KALAU CARA INI TIDAK MENJAMIN VISA KALIAN GRANTED.

Baiklah, sekolah di Australia dengan bayar sendiri atau dapat beasiswa tentu saja nguntungin. Paling
enak yang dapat beasiswa terus datang ke sini dengan keluarganya yang juga dapat izin tinggal dan
merasakan hak-hak yang sama. Bisa double income dan cara yang mujarab untuk memperkaya
kerajaan keluarganya.

Kuliah dibiayai terus masih boleh kerja saat sekolah, pasangan kita juga bisa kerja, belum kalau bawa
anak. Anaknya bisa sekolah di sini dan bisa juga kerja di retail. Mantap dah. 2-4 tahun kuliah pulang-
pulang bisa jadi milyarder. Naik jabatan pula karena lulusan luar negri.

Kita doakan semoga kemudahan-kemudahan yang diterima para pemegang beasiswa ini bisa berguna
untuk memajukan bangsa kita agar lebih baik dan menyajikan konten-konten luar biasa dalam
kehidupan masyarakat Indonesian. AMIN YA RABBAL ALAMIN.

Bagi yang gak pinter kaya aku alias bodoh tapi aktif ngeyoutube untuk berbagi informasi dan
memohon untuk bantu subscribe channel dapur plus plusnya. Ya sekolah aja lah bayar sendiri. Yang
penting kebayar dan masih bisa nabung dikit-dikit. Masih hidup lebih baik secara financial ketimbang
di negara sendiri yang tiap hari makin runyam aja beritanya.

Setiap mahasiswa yang datang membawa partner dan anggota keluarganya, tentu aja mereka bisa
bekerja juga dibawah student visa. Jadi manfaatkan hal ini sebagai strategi memperbaiki hidup.
Tenang aja, kelihatanaya mahal biaya kuliah di Australia. Tapi ketika dapat income dari negara
tersebut. Semua itu akan terbayar dan bahkan masih ada uang lebihnya.
Enak bukan!!

Pengurusan visa

Kalian bisa menggunakan jasa agency pendidikan untuk membantu semua urusan visa ini. BANYAK
AGENCY YANG TIDAK MEMBEBANKAN FEE karena mereka akan mendapatkanya dari sekolah. agency
juga akan mereview dokumen kalian agar sesuai dan bisa diacc oleh pemerintah alias bisa granted.

Biaya yang kukeluarkan untuk pengurusan visa adalah sekitar 75 juta biaya semester pertama ketika
mendaftar di universitas untuk mendapatkan COE atau confirmation of enrolment sebagai salah satu
syarat visa. Jadi kita harus daftar dulu ke sekolahnya ya!! Didaftarin oleh agency dan kalian harus
memberikan dokumen-dokumen juga yang nantinya juga akan digunakan untuk apply student visa.

Kalian bisa milih kampunya di website milik government atau tanya ke agent dan konsultasikan jenis
sekolah apa yang kalian butuhkan yang disesuaikan dengan kapasitas dirimu. Tiap jurusan, tiap
organisasi memiliki harga yang berbeda. Kalian bisa cek di internet seperti :

https://studynt.nt.gov.au/

https://www.study.sydney/learn/types-of-study

https://studyadelaide.com/

https://www.studyperth.com.au/

https://study.tas.gov.au/

dan banyak lagi ya link nya!! Jadi tinggal pilih-pilih aja.

Untuk harga visa sendiri itu sekitar AUD 620 ya!!

Pengurusan visaku dibantu oleh Nona Fitria

https://www.facebook.com/hungrybabe yang bekerja di

https://www.studynet.com.au/

dia membantu mentranslete dokumen dan mengurus semua urusan visaku dari Sydney, Australia.
Terima kasih Nona. Kalau kalian daftar ke dia, tolong kasih tau ya tau dari aku gitu. Hehehe
Syarat Dokumen
1. COE
2. Passport
3. KTP
4. KK
5. Surat dukungan dari orang tua
6. Statement of Purpose yang berisi surat pernyataan kenapa ambil jurusan tersebut
7. Ijazah
8. akta lahir
9. buku nikah jika sudah menikah
10. SIUP orang tua atau nomor pajak
11. bukti keuangan (berupa photokopi buku tabungan, bank statment atau rekening koran)
dengan nilai cukup fantatis yang meliputi biaya hidup setahun + biaya kuliah setahun + tiket
PP.
12. Dan nilai IELTS dengan skor sesuai yang sesuai dengan jurusan yang akan diambil.
13. Asuransi selama mas pendidikan harus dibeli diawal karena bukti pembelianya nanti harus
diattached. Bisa diskusi dengan agent kalian atau bisa langsung buka BUPA dan Allianze.

Setelah semua dokumen lengkap tinggal disubmit aja dan tunggu undangan untuk melakukan medical
check up. Di indonesia medchek itu sekitar 1.2 juta rupiah sedangkan kalau melamar dari Autralia dan
harus melakukan medcheck di sini maka biayanya sekitar AUD 400.
Kuliah GUEEEHH
Karena selama ini kerja di industry hospitality dan aku suka banget masak. Jadinya aku milih kuliah
masak. Selain itu ada kesempatan untuk mendapatkan permanent residence kalau sudah lulus dan
mengikuti prosedurnya. Wah makin lama lagi tinggal di australia

Ok aku elaborate ya jurusan kuliahnya ya!!

Certificate III commercial Cookery


Kuliah ini ditempuh selama 1 tahun dengan biaya 74 juta per semester. Biaya kuliah harus dibarkan
sebelum kuliah dimulai dan tidak boleh dicicil. Biaya ini sudah termasuk berbagai macam resources
yang dibutuhkan selama perkuliahan diluar seragam dan satu set pisau.

Di semester pertama aku belajar makanan umum yang berkiblat kepada france cuisine ya. Tapi ada
juga menu-menu yang sudah memiliki pamor international dan sering ditemui di restoran. 70 persen
perkuliahan itu praktek. Jadi seharian bisa di dalam kitchen yang dilengkapi fasilitas lengkap dan
bahan-bahan yang berkualitas.

Tiap orang memiliki satu meja dan bahan-bahan yang cukup, jadi lebih banyak melakukan individual
tasks. Kalau lagi ngolah ayam ya tiap anak bakal dapat ayam, ikan, dan lainya. Tugas tim untuk menu-
menu besar.

Kami juga dikasih pendidikan lain yang berkaitan dengan industri hospitality seperti food hygyne, work
safety dan work health. Jadi bener-bener kita disamakan standarnya sesuai tuntutan negara maju.

Jadwal kuliahnya itu 2 minggu kuliah 2 minggu off. Dalam satu semester bisa dibilang 4 bulan masa
aktif dan sisanya libur.

Assesmentnya berupa praktek langsung dengan mengulang beberapa makanan terpilih yang pernah
dilakukan sebelumnya. Kalau bahas ayam bearti nanti akan ada beberapa menu ayam yang akan
diujiankan. Assestment lainya adalah teori, duduk dikelas dan jawab pertanyaan-pertanyaan.
Jawabanya gak ribet dan sering disampaikan oleh dosen. Tapi sayang banget gue sering ngulang.

Ngulang diperbolehkan hingga 3 kali, selama masih salah ya harus terus diisi, sesekali dosenya bantu
ngarahin nyari jawabanya dengan mencoba memancing jawaban dari otaku.

Semester dua ngomongin tentang dessert ditambah kami juga harus melakukan restaurant service
dimana akan ada beberapa kali pelayanan makan malam untuk orang umum di restaurant milik
Charles Darwin University. Kami dibagi dalam kolompok Entree, main Course dan dessert dan menu
selalu berubah-ubah. Seru banget sih jadinya!!

Di semester dua ini kita juga harus membuat satu set menu dan mengkalkulasikan biaya produksi per
item dan tiap item atau kategori memiliki batasan biaya tertentu. Contohnya entree harus dibawah
$2 ongkos produksi per itemnya.

Kalau kalian ambil kuliah masak, pastikan kalian juga bekerja di dapur, karena akan ada beberapa tugas
yang datanya harus diambil dari tempat kerja.

Di akhir pendidikan ada yang namanya cook out dimana kami harus membuat satu set menu dan
membuat makanan tersebut dalam durasi waktu yang sudah ditentukan. Menu makananya pun hanya
boleh dibuat dari bahan-bahan yang disediakan atau telah ditetapkan porsinya.

Aku suka banget cook out ini, kala itu aku jadi ingin ikutan kompetensi. Aku bangga pada diriku sendiri
karena aku membuat cukup complicated food dengan baik dan mudah.

Certificate IV commercial cookery


Aturan baru bahwa untuk mendapatkan permanent residence dari jalur chef harus menempuh
pendidikan hingga cert IV. Di level ini pendidikan akan ditempuh selama setahun dan bayarnya pun
sama aja sekitar 74 jutaan persemester.

Kalau cert IV ini full teori dan membahas tentang manajerial kitchen dan hal-hal yang menyangkut
industri hospility. Yang berkaitan dengan kitchenya sendiri kami memiliki 1 kali pertemuan
persemesternya namun tugasnya seabreg-abreg.

Kami harus membuat satu set menu dan ini begitu detail banget sampai buat brandnya dan tampilan
presentasi produknya harus digambar. Kami juga harus mendata menu yang ada di tempat kerja dan
menuliskan semua resep dan aktifitas pekerjaan kami.

Tugas berikutnya kami harus membuat menu yang sesuai dengan berbagai macam dietary. Menu
untuk orang diabetes, gluten free, vegan, vegetarian, islam, kristen, yahudi, dan hindu.

Di semester dua kami diminta untuk membuat program sustainability yang berkaitan dengan aktifitas
kitchen agar bisnis lebih ramah lingkungan. Terus kami juga harus membedah tentang nutrisi yang
sesuai dengan kategori usia-usia tertentu dan gendre, ditambah kami harus menambahkan cycle
menu yang diset perminggu untuk periode waktu tertentu.
Kebayang kan gila banget, tapi tenang aja. Dosenya akan membimbing kalian hingga kalian ke sana
kok. Jangan ditanya lagi, aku sering banget dibalikin dan dicurat-coret.

Pelajaran di luar manajerial kitchen adalah tentang staff and business. Gimana kami diberikan project-
project aplicatif lainya yang aku sendiri suka sih. Semua yang berkaitan dan ada di industri hospitality
di ajarin bener-bener.

Ada yang bilang beberapa kualitas dosen itu buruk. Namun bagiku yang penting kuliah aja udah.
Hahaha udah cape nyari duit dan kuliah pula.

Kalau dapat beasiswa lebih enak lagi. anganku adalah bisa kuliah dengan serius, karena sumpah ini
bagus sih topiknya. Aku suka!!

Eh guys udah subscribe dapur plus plus belum di youtube. Ajak temenya juga dong!

Diploma Of Hospitality
bisa dibilang ambil jurusan ini tuh kaya buang-buang duit. Karena aku kan kerja di dapur gak perlu
banget belajar bagian front of house. Tapi ya udah kubayar dan aku ambil sepaket kan pas daftar.
Terus malas urus cancelation visa dan segala macam.

Di stage ini kami belajar tentang table manner, boring banget sumpah, karena prakteknya pun gitu-
gitu aja. Teori kebanyakan. Kami melakukan praktek saat restaurant service. Jadi student Cer III
commercial cookery yang masak. Kami yang hidangkan ke customer yang sudah booking jauh-jauh
hari untuk bisa dapatin dinner exclusive dan murah itu.

Aku belajar cara nuangin wine, nyapa tamu, dan memantain meja tamu. Di luar itu kami belajar ilmu
lainya yang juga berkaitan dengan hospitality dan basic ilmu bisnis seperti akuntansi, presentasi dan
manajemen staff.

Sayang aku gagal satu unit karena telat submit perbaikan assestmen, aku tunangan kala itu dengan
orang Padang Panjang Sumatra barat.

Jadi aku belum dapat sertifikatnya dan harus ulang masuk kuliah. Tapi gak mesti bayar.

Kesempatan Bekerja untuk Student

Sebagai student kita diperbolehkan kerja 40 jam totalnya dalam 2 minggu, jadi kalau misalnya minggu
ini kerja 15 jam berarti minggu depan boleh kerja 25 jam tapi minggu berikutnya lagi Cuma boleh 15
jam lagi. makanya lebih gampangnya itu dibilang 20 jam perminggu.
Ketika libur sekolah kalian boleh bekerja sebanyak-banyaknya kalian bisa. Jadi make sure bagus-bagus
ya ditempat kerja biar rezekinya lancar.

Kota besar tentu memberikan kemudahan dan peluang kerja yang lebih banyak dibandingkan kota
kecil. Namun tidak semua kota memberikan peluang permanent residence. Jadi pikirkan baik-baik!!

Terus-terusan pake student visa juga gak enak, mau sampai kapan? Someday pasti dipaksa pulang.
Jadi mending coba PR aja biar bisa tinggal lebih lama.

Tantangan

Tantangan kuliah di luar negri tentu bahasa ya, jadi harus kurang bisa menjelaskan banyak hal ketika
diskusi atau kadang kurang percaya diri karena takut salah.

Kerja dan aktifitas lainya yang membuat lelah juga menjadi tantangan karena ke kampus bawaanya
jadi ngantuk banget, sehingga ilmu tidak bisa diserap maksimal. Kalau gak kerja takut gak kebayar
kuliahnya. Makanya kan pemerintah membatasi maksimal 20 jam aja kerja perminggu, itu udah paling
relevan lah untuk nyerap ilmu.

Memerangi rasa malas ketika banyak assesment dan sering menundanya. Untungnya assesment juga
dibahas sama dosennya dan dikerjakan bareng-bareng. Dosen memberikan gambaran gimana
menjawabnya dan kita memindahkanya dengan bahasa sendiri dan mengelaborate maksudnya itu
apa.

Jujur selama menjadi student aku kurang bergaul dengan orang, jadi kebanyakan homesick dan
kesepian. Gak seperti saat whv dulu.

Tantanganku belum seberapa jika dibandingkan dengan teman-teman yang kuliah ambil jurusa
tekhnik, nursing, akuntan, MBA dan lainya yang bayar kuliahnya nyampe 250 jutaan pertahun.

Kalian juga bisa bayangkan banyak orang dari negara seperti china, korea, taiwan dan jepang yang
harus belajar extra dalam bahasa, nulis latin dan belajar bahasa inggris. Lebih banyak effortnya.
Tips sukses
Lebih bagus sebelum ke Australia kalian menikah dulu bagi yang udah punya pacar. Biar enak nanti di
Australia bisa saling bantu. Yang satu kuliah dan kerja, yang satu lagi bisa full bener-bener kerja. Ini
kesempatan bagus loh.

Kalau milih kuliah s1 ke bawah kesempatan kerja untuk masing-masing Cuma 20 jam aja perminggu.
Kalau untuk s2 ke atas bisa kerja sebanyak-banyaknya buat partner.
Graduated visa subclass 485

Ketika kalian sudah sekolah selama dua tahun di Australia dan memilih jurusan yang mengarah ke PR
terutama, kalian bisa mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Australia 1.5 tahun – 2 tahun
lamanya.

Berikut penjelasan mengenai visa ini berdasarkan website pemerintah

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-listing/temporary-graduate-485

This visa is for international students who have recently graduated with skills and qualifications that
are relevant to specific occupations in Australia needs. It lets you live, study and work in Australia
temporarily.

Nah dengan visa ini aku bisa kerja sakarep dewek di australia dan harus memiliki kualifikasi bekerja
pada bidang yang ada di occupation list nih. Aku juga bisa aja wanita yang baru kunikahi untuk join
bersama visanya. Seneng banget kan!! Berdua bisa nyari duit.

Jadi sebelum memilih sekolah dan jurusan, kalian bisa check dulu nih apakah jurusan kalian itu bisa
nantinya mendapatkan graduated visa dengan nyari tahu di link ini ya guys

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/working-in-australia/skill-occupation-list

Semua effort yang sudah kita lakukan untuk bayar kuliah, waktu yang sudah dicurahkan bisa terbayar
dengan graduated visa ini sehingga bisa mengembalikan modal yang sudah diinvestasikan
sebelumnya.

So guys, jangan pernah merasa rugi ya untuk investasi diri.

Kalau semuanya berjalan mulus ketika selesai graduated visa ini kalian bisa apply yang namanya
permanent residence.

Harga visa ini adalah AUD 1.650 ya


Syarat graduated visa
1. Passport
2. KK (transleted)
3. akta lahir
4. ijazah dan transkrip nilai dari CDU
5. buku nikah
6. surat keterangan baik dari pemerintah
7. mengisi form 80, IELTS dengan nilai overall 6
8. surat dari lembaga TRA atau trade recognition Australia yang melakukan skill assesment.
9. Asuransi untuk apply graduated visa 485. Kalian bisa cek di google. Insurance for 485 visa.

Untuk police clearance kalian bisa apply online dengan biaya sekitar AUD 50

https://www.afp.gov.au/what-we-do/services/criminal-records/national-police-checks

Apply untuk TRA https://www.tradesrecognitionaustralia.gov.au/ dengan biaya sekitar AUD 500


untuk step pertama

Jadi kalian harus apply dulu TRA nya sebelum apply visanya. Jadi begitu kalian dinyatakan lulus dan
dapat ijazah segala macam, kalian harus langsung daftar biar tenang. Karena gak bisa dijamin kapan
akan direlease.

Syarat untuk apply TRA ini akan aku lampirkan dibagian akhir nanti ya dokumen-dokumenya bisa
disusun seperti yang punyaku ok. Bantu aku juga dong dengan subscribe dan share channel youtube
dapur plus plusku.

Proses apply visa


Aku coba untuk apply sendiri ya. Jadi setelah lulus sekolah aku punya waktu 3 bulanan sisa visaku. Aku
nikah dulu sama gadis padang panjang yang juga baru lulus kuliah S2 di Universitas Pertahanan
Negara, dia mendapatkan beasiswa guys. Jadi mampir ke channelku dan berkenalan ya. Atau bisa
follow instagramnya @ry_kdm.

Semua dokumen yang dimiliki langsung disubmit di website

https://immi.homeaffairs.gov.au/help-support/applying-online-or-on-paper/online

kalau belum punya akunya silahkan dibikin lah.


Untuk apply visa ini sangat memungkinkan banget dilakukan sendiri karena kata temenku sih pasti
granted aja visanya gitu. So gak usah khawatir banget.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dan itu cukup detail banget sehingga banyak bagian yang
harus dengan sabar diisi. Kalian bisa save beberapa kolom dulu kok, gak mesti langsung disubmit. Jadi
selama nunggu kelengkapan semua dokumen, kalian bisa nyoba untuk mulai mengisi kolom-kolom
lainya.

Begitupun ketika disubmit, kalau belum lengkap, masa granted visanya akan lama atau bahkan gagal.
Jangan sampai ya! Begitu kalian mengsubmit semua dokumenya, beberapa jam kemudian kalian akan
mendapatkan e-mail pergantian visa dari student ke bridging visa A.

Bridging visa diberikan kepada orang yang lagi masa transisi pindah status visanya. Kaya aku kan visa
studentku mau berakhir, nah ketika visa berakhir langsung masih dapat izin lagi pake bridging ini
sampai visa baruku keluar.

Bridging A ini tidak memperbolehkan kalian untuk keluar Australia, kalau kalian kepaksa banget harus
pulang, ya sebaiknya apply briding B.

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-listing/bridging-visa-a-010

aku sendiri nunggu visanya hingga 2 bulan lebih lamanya saat masa corona. Niatnya bisa ngedulang
dollar tapi malah gak berkutik nasibnya. Kasian banget. Istriku juga gak bisa datang karena border
ditutup. 2 hari setelah ditutup visa turisnya baru granted multiple. Kasian banget kan kita.

Akhirnya kami menyibukan diri ngeyoutube dan sekarang aku juga masih berkarya sampai benar-
benar pulih nih kondisi di muka bumi ini. Jadi mohon bantuanya ya guys untuk subscribe channel dapur
plus plusnya. Plis banget.
TRA

Trade Recognition Australia menyatakan begini nih guys Trades Recognition Australia (TRA) is a skills
assessment service provider specialising in assessments for people with trade skills gained overseas
or in Australia, for the purpose of migration and skills recognition. Please refer to the three options
below to assist you to find the right program, to access detailed program information or to progress
a TRA application.

https://www.tradesrecognitionaustralia.gov.au/

Jadi kalau mau diakui kemampuanya harus melakukan hal skill assesment ini dan untuk chef sendiri
itu ada 4 tahap. Untuk mendapatkan graduated visa setidaknya kalian lolos tahap pertama. Untuk PR
sendiri kalian harus melewati 3 stages berikutnya ya!!

Di stage pertama syaratnya nih


1. Form yang didapat dari website tersebut.
2. Passport
3. Foto ukurang pasport
4. Ijazah dan transkrip nilai
5. Surat pernyataan dari tempat kerja kalau kita bekerja disana dengan tugas yang sesuai
dengan level kerjaku di kitchen. Boleh lebih dari 1 tempat kerja
6. Screen shoot bank account, aku sortir dulu income moneynya yang Cuma dari perusahaan
ku aja. Jadi lebih gampang menunjukan kalau aku tiap minggu dapat income dari
perusahaanya. Cuma bukti income yang kira-kira juga sesuai dengan jumlah payslip yang
akan dilampirkan.
7. Semua slip gaji yang jika ditotalkan itu terakumulasi hingga 360 jam. Jika dibagi 20 jam
perminggu berarti 18 mingguan payslip dan 18 transaksi uang masuk harus diattached.

Semua dokumen ini harus disusun sesuai yang diminta atau kurang lebih seperti di atas terus
diexport dalam bentuk pdf dan di submit di website TRA.

Stages berikutnya saat aku urus lagi ya guys. Jadi terus pantengin youtube channelku belajar dari nol
dan dapur plus plus. Please banget subscribe ya guys.
Penutup

Nah jadi itu dia guys beberapa visa yang memungkinkan untuk temen-temen ambil ketika ingin bekerja
di Australia dan mencari peruntungan hidup di tanah rantau.

Ada visa lainya juga sih seperti Partner visa

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-listing/partner-onshore

permanent residence visa

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/permanent-resident/evidence-of-residency-status

dan citizenship visa jika kalian ingin pindah kewarganegaraan menjadi Australian.

Katanya ada juga visa yang diperuntukan bagi mereka yang mencari perlindungan karena di negara
asalnya mengalami tindakan yang kurang baik atau mengancam keeksistensianya.

Buat temen-temen yang bener-bener pengen banget merantau dan mengubah nasib. Ada banyak
jalan untuk memenuhi semua persayaratanya, banyak yang bisa bantu asalkan kita juga bisa membuat
brand image diri kita baik.

Minta bantu keluarga dan tunjukan bukti nyatanya. Ya diriku ini biar mereka masuk sama itungan-
itungan kita dan akhirnya kalian bisa mendapatkan restu serta dukungan dari mereka.

Jangan pantang menyerah dan terus berdoa disertai melakukan sesuatu yang berguna untuk dirimu
sendiri kelak, mendatangkan rezeki dan kemudahan.

Inget ketika financial kita oke, menjalani hidup pun akan terasa mudah. Beribadah pun bisa lebih
banyak ya guys. Jadi ayo menjadi orang kaya raya dan sukses makmur gemah ripah lohjinawi.

Bukan Cuma duit yang bisa kita dapat, tapi kesempatan lainya juga terutama banyak hal yang bisa
meningkatkan potensi dan kualitas diri kalian.

Merantau adalah cara dimana kita bisa makin berguna lagi untuk diri sendiri dan sekitar dan bisa
memaknai value-value hidup yang terbentuk di masyarakat. Kita juga bisa memandang sesuatu lebih
bijak dari berbagai sisi. Sehingga kita bisa memperbaiki masa depan bangsa agar lebih baik lagi ke
depanya.

Makasih banget temen-temen sudah sampai sejauh ini membaca karyaku ini. Semoga kalian makin
jaya dan sukses terus.
Doakan aku dan keluarga agar bisa menjadi keluarga yang baik dan berguna lagi untuk banyak orang.

Jangan lupa untuk dukung channel youtube kami agar kami makin semangat lagi nih berkaryanya.

Di bagian akhir aku akan melampirkan beberapa dokumen yang dibutuhkan untuk apply visa.

Semoga ilmunya berkah dan menjadi penyemangat agar kalian terus bergerak maju.

Mohon maaf apabila ada salah dalam penyebutan, perkataan atau tulisan yang kurang berkenan.

I love you guys.


Bukti keuangan dan payslip untuk apply graduated visa
DI BAWAH INI AKU SERTAKAN BEBERAPA BUKU
JADI BIAR MAKIN SERU LAGI BACANYA AKU ATTACHED BUKU YANG KU RILIS DULU BARENG TEMEN-
TEMEN DAN BUKU SAAT AKU SEKOLAH MEMAMASAK

GUYS, BANTU JUGA UNTUK SUBSCRIBE CHANNEL DAPUR PLUS PLUS DAN CHANNEL UJANG ARIP
DONG. BIAR CHANNEL KITA JUGA MAKIN BERKEMBANG.

TERIMA KASIH.
Sekolah di CDU

arip hidayat
Contents
Pengantar ...................................................................................................................................... 33
Study in australia............................................................................... Error! Bookmark not defined.
Opportunity.................................................................................................................................... 40
Student visa .................................................................................................................................. 44
Syaratnya................................................................................................................................... 45
Prosesnya.................................................................................................................................. 50
Biaya kuliah di CDU................................................................................................................... 53
Biaya Hidup................................................................................................................................ 55
Regulasi bekerja ....................................................................................................................... 58
Kenapa ambil Certificate III commercial cookery...................................................................... 59
Proses Belajar .......................................................................................................................... 61
Peralatan Sekolah .................................................................................................................... 63
Practical..................................................................................................................................... 64
Theory ........................................................................................................................................ 65
Suka dan duka ........................................................................................................................... 66
Advantages and disadvantage ................................................................................................. 68
Persembahan Penulis
Syukur alhamdulillah, Buku Merantau ke Australia terbit ditengah-tengah kesibukan baruku sebagai
suami dan bekerja di dapur untuk mengejar step berikutnya agar bisa lulus skill assesmentku yang
nantinya bisa kugunakan untuk berkarir sebagai seorang chef.

Tiada Tuhan yang Maha Baik selain ALLAH yang telah memberiku banyak kesempatan baik. Diberikan
otak yang setiap waktu rasa ingin tahunya meningkat, diberikan antusias untuk terus berkarya, diberi
kesempatan untuk membanggakan orang tua, diberikan kemampuan untuk bisa berbagi dengan
kerabat dan tetangga, diberikan sifat ceria dan aksen ketawa yang aneh, ditemukan dengan teman-
teman yang tidak pelit memberikan informasi, dipertemukan dengan istri yang menjadi rekan kerja,
rekan diskusi dan traveling, dan diberikan kesempatan untuk menjalin hubungan baru dengan kalian
para pembaca buku ini.

Terima kasih yang teramat dalam kepada orang tua tercinta Bapak Engkus Kusnadi dan Ibu Eti yang
telah banyak bersumbangsih besar terhadap perkembangan diriku. Aku merasakan semua level hidup
yang kita alami. Semua itu adalah cara ALLAH dalam membentuku hingga bisa seperti ini. Kalian
dengan kesederhanaan dan keterbatasan diri telah menjadikan aku manusia yang setidaknya bisa
berpikir untuk menjadi hebat. Kalian mungkin tak menyangka aku akan seperti ini sekarang. Didikan
keras yang diterima anak sulung, uang jajan yang sedikit, interaksi yang kurang, permintaan
mengerjakan pekerjaan rumah, dan titahan yang memaksa telah menghasilkan pemuda ini kreatif dan
tidak bisa diam menikmati kesuksesan kalian.

Aku baru saja nonton Pak Nadiem Makariem menjawab pertanyaan di youtubenya Bang Deddy
Cobuzer “kalau di rumah tangganya itu orang tuanya yang berguru atau mendidik, itu mau sekolah
sebagus atau sejelek apapun itu anak bakal oke. Itu anak bakal baik.”

Aku gak berani minta apapun lagi ke kalian, karena dengan merasakan hal seperti ini pun. Aku
mengerti kalau kalian sudah cukup baik dalam mendidiku. 8 tahun lalu aku sudah mendamaikan diri
dan mensyukuri kalian berdua yang telah menjadi orang tuaku. Mamah dan bapa, terima kasih banyak.
I love you!!

Terima kasih kepada adik-adiku yang juga sedang berproses. Harapanku adalah kalian juga bisa
membaca tulisan ini. Tapi bagaimanapun memberi nasihat kepada saudara sendiri kadang lebih susah
dari pada ke orang lain. Yang jelas setiap hari aku mendoakan kalian untuk bisa menjadi mandiri dan
hebat pada bidang masing-masing. Bisa memaksimalkan potensi. Adanya kalian membuatku bertekad
untuk mampu berdiri kuat, agar kelak dimasa depan tidak ada cekcok mengenai duniawi seperti harta
warisan.

Terima kasih kepada guru-guru ngaji yang juga sering ngomel-ngomel karena bandelnya diriku. Tapi
mereka menyayangi dan selalu teringat kepadaku. Saking terlalu dominan dan lucu kali ya. Maafkan
aku yang hingga kini ilmu tajwidnya masih jelek, duduk silanya gak bisa lama-lama dan malah bolos
demi nonton telenovela atau boliwood.

Terima kasih kepada orang-orang yang sering memarahi dan menjudgeku sebagai anak
badeg/badung. Begitupun dengan guru yang meragukan potensiku. Gapapa, kalian adalah orang yang
berkontribusi dalam pola pikirku. Teman-teman yang pernah memusihiku, memakiku. Aku berterima
kasih atas pengalaman tersebut karena tanpa kalian aku tak akan bisa berlari mengejar kemajuan diri
untuk melakukan perbaikan.
Terima kasih kepada kalian yang hadir dalam hidupku dan menjadi keberkahan dengan memberikan
ilmu yang berguna. Aku mungkin kurang bagus dalam memaintain relationship ini. Tapi apapun
kebaikan kalian aku coba mengingatnya dan kudoakan agar mendapatkan balasan yang besar dari
ALLAH. Kalian pula yang menginspirasi aku untuk berbuat pula bagi orang lain. Satu hal baik
tersampaikan pada moment yang tepat akan mampu memberikan perubahan. Semoga kita selalu
diberikan kesehatan agar bisa terus menanam karma baik.

Kepada istriku Ryaniraffiyaditaterima kasih sekali sudah mau menerima diri dengan kriteria gila ini.
Aku bisa seberkomitmen kepadamu karena kecerdasan intelegensimu dan kedekatan dengan
keluargamu yang kamu refleksikan di beberapa moment yang kamu upload di sosmedmu. Setiap
diskusi denganmu menjadi gairah. Jika aku tak mengatakan kalau kamu adalah jawaban semua doa.
Rasanya aku kufur nikmat. Kudoakan agar kau menjadi wanita hebat dan banyak berkarya untuk
masyarakat.

Kepada teman-teman pembaca semua, aku terima kasih sekali atau apreasiasi dan waktunya yang
telah diluangkan untuk membaca tulisan ini. Aku minta maaf jika terkesan sombong atau ingin show
up pencapaian hidupku. Aku selalu suka akan cerita naik turunya hidup seorang manusia. Aku tidak
ingin terkesan bahwa hidupku terjamin baik selamanya. Akan tetapi setiap detik ada kesempatan
untuk belajar dan encourage diri tentang makna hidup dan arti kesuksesan. Apa yang terkesan
sombong atau show up. Mohon dimaklumi. Sekali lagi ini adalah tulisan yang menggambarkan
bagaimana caraku meniti karir, ngumpulin uang selagi muda, belajar hidup di luar negri yang kurasa
caraku ini sangat applicable atau mudah untuk dilakukan.

I love you semuanya!!


Catatan penulis

Setelah tulisan pertama published tentang pengalaman aku work and holiday di
Australia selama setahun dengan total pendapatan 680 juta dan segudang kisah. Kini kembali
hadir buku tentang perjuangan aku tinggal di Australia. Dimana uang yang aku dapatkan
tersebut, digunakan sebagai modal kuliah dan di buku inilah kalian akan bener-bener
mendapatkan contoh yang blak-blakan dan bisa dilakukan hampir oleh semua orang.
Sayang sekali jika informasi seperti ini kurang diketahui oleh kebanyakan orang,
padahal proses untuk sampai ke Australia itu bisa dikatakan gampang. Apalagi Australia
adalah negara maju yang informasi tentang pemerintahan aja bener-bener terbuka. Apalagi
untuk migrasi ke Australia. Di website Australia government tertera semua informasi yang
ditawarkan. Malah ini banyak diambil oleh orang-orang dari negara lain seperti India, Nepal,
China dan Philipina.
Kenapa sih aku ingin sekali berbagi kisah ini. Semakin banyak orang Indonesia di Luar
Negri semakin bagus. Misalnya Gaji yang diterima lebih besar dan dalam bentuk mata uang
asing. Dari gaji itu bisa ditransfer atau dibawa ketika pulang ke tanah air. Bisa bikin usaha,
bangun rumah, investasi, hajiin orang tua, kasih ke kerabat dan menyumbangkanya. Tentu
saja apapun yang dilakukan dengan uang itu. Setidaknya bisa berpengaruh untuk lingkungan
sekitar.
Selain itu banyak sekali potensi yang bisa digali ketika tinggal di luar negri. Makin
dimana-mana komunitas orang Indonesia makin bagus lah. Indonesian People mendunia.
Tentu aja nantinya akan berkontribusi besar untuk kemajuan negara. lihat saja seperti India
dan China. Orangnya dimana-mana ada.
Oleh karena itu aku meyakinkan diri untuk tinggal dulu di luar negri agar bisa terus
mengembangkan potensi dan menjadi salah satu manusia yang bisa memberikan pengaruh
baik untuk masyarakat.
Salah satu pintu masuk ke Australia adalah dengan cara menjadi seorang pelajar di
sekolah di Australia. Pilihanku jatuh ke bidang masak-memasak. Yaitu; Certificate III
Commercial Cookery, Certificate IV Comercial Cookery dan Diploma of Hospitality
Management. Pendidikan akan kutempuh selama dua tahun setengah dengan biaya kuliah
AU$ 7.400 per semester atau AU$ 14.800 pertahun (biaya pertahun selalu naik).
Ibarat kata, tak ada gading yang tak retak. Aku sangat menyadari dengan segala
keterbatasan ini, karya ini jauh dari kata sempurna, jadi mohon maaf apabila kurang
berkenan.
Riwayat Pendidikan

Aku pernah putus sekolah. Setelah kelas 6 SD,

Orang tua tidak mampu membiayai sekolah

karena mereka baru memulai usaha kerupuknya

di Karawang, Jawa Barat. Di tahun berikutnya ibu

bersikeras mendaftarkan aku ke SMP. Ada

perasaan kurang percaya diri, bahkan aku takut

bertemu teman SD yang sekolah di SMP yang

sama.

Aku gagal masuk SMK negri. Rasanya makin

tambah kurang percaya diri sama keberuntungan

diri. Akhirnya kuliah di SMK swasta jurusan mesin

otomotif, entahlah itu ilmu nempel di aku atau

kaga. Aku sih lupa, apa yang sudah dipelajari.

Lanjut kuliah di Karawang yang tak jauh dari rumah. Isunya Universitas Singaperbangsa ini

akan jadi universitas negri. Kenyataanya aku menjadi mahasiswa terakhir yang mendapatkan

ijazah dari Universitas tersebut saat masih berstatus swasta. Teman aku yang skripsinya

masih keteteran belum kelar malah mendapatkan ijazah berstatus negri. Aku lulus sebagai

sarjana ekonomi.
Pengaruh Membaca
Saat SMK aku memiliki sahabat yang begitu asik. Dia memiliki bakat comedian yang alami,
semua yang dia ucapkan bisa menjadi tertawaan. Orangnya kreatif dan pinter. Dia sering
mengajaku membeli buku komik one piece. Sedangkan aku memisahkan diri ke bagian
pengembangan diri, motivasi, encouragement dan biograpi.
Awal-awal baca buku, tentu aja membosankan. Namun segala sesuatu yang kita paksakan
bisa menjadi aktifitas yang konsisten dilakukan dan nantinya terbiasa. Bahkan menjadi
sebuah addiction. Hampir semua pembaca mengalami susahnya mengawali kegemaranya
membaca. Tapi semakin lama membaca seperti hobi-hobi lainya. Bikin nagih!
Membaca pula yang membuat gue akhirnya menemukan banyak informasi berharga. Salah
satunya mengantarkan gue hingga bisa sekolah ke Australia. Pantas saja ada yang bilang;
Reading makes immigrants of us all. It takes us away from home, but more important, it finds
homes for us everywhere. —Jean Rhys
Books are the plane, and the train, and the road. They are the destination, and the journey.
They are home. —Anna Quindlen
Informasi yang kita baca mampu mendorong kita untuk makin berkembang dan berpikir
seluas jagat raya ini. Bahkan bisa mengantarkan kita pada sesuatu yang lebih besar lagi.
Jika kamu pikir untuk menjadi manusia hebat atau luar biasa karena turunan dan kekayaan
orang tua yang mereka miliki. Itu salah banget, karena banyak banget cara untuk menjadi
hebat. Membaca adalah salah satu langkah untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya
dan kelak bisa membawa kamu ke pencapaian hidup yang lebih besar lagi.
Jangan pernah berkata tentang nasib, karena untuk memiliki nasib baik itu perlu banyak
waktu dan upaya yang tercurahkan semaksimal mungkin.
Selain informasi bagaimana bisa ke Australia dan sekolah di Australia. Aku juga banyak
membaca pengalaman orang lain yang berjuang mati-matian di negara lain; Jepang, Korea,
German dan Canada. Ada banyak orang-orang baik disana yang berbaik hati menuliskan
pengalamanya, itupun sangat outspoken dan memungkinkan untuk bisa dilakukan oleh
siapapun dari setiap kalangan.
Backpacker
Backpacker, sebuah kata yang menurutku adalah salah satu kunci/jendela pintu hidup. Sabtu

pagi aku menyaksikan berita pagi di TV One. Ada dua bintang tamu yang sedang

membicarakan Backpacker. Yaitu perjalanan yang dilakukan perorangan ataupun kelompok

dengan menggendong ransel dan mengurus semua keperluan travelingnya seorang diri mau

di dalam negri atau luar negri. Sayangnya aku diminta beli pelastik untuk bungkus kerupuk.

Acara tersebut tidak full aku saksikan.

Semua hal yang berbau backpacker aku cari di internet. Ketemu sebuah grup yang pendirinya

menjadi bintang tamu di acara berita itu. Ternyata dia adalah sosok yang humble dan sabar

menuntunku. Dia adalah sosok yang sampai sekarang aku kagumi dan rasa terima kasih saja

tidak akan cukup. Terima kasih sebanyak-banyaknya mba Elok Dyah Meswati dan suaminya

mas Arief Hendarto. Semoga selalu dilimpahkan kasih sayang yang banyak.

Tahun 2013 menjadi pengalaman pertama backpackeran luar negri, ke 5 negara di Asia

tenggara; Singapore, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam. Seorang diri dan pertama kali naik

pesawat. Perjalanan ini sangat berpengaruh besar terhadap perubahan diriku. Aku seperti

mendapatkan power untuk makin berkembang lagi.

Seorang diri ke luar negri merupakan


Belajar bahasa Inggris
Bahasa inggris adalah bahasa yang multifungsi dan berguna ketika kita berada dimanapun. Jadi
mempelajari bahasa ini adalah salah satu modal untuk membuka pintu rezeki. Komunikasi dengan
cakupan luas mampu kamu lakukan ketika memiliki kemampuan berbahasa.

Kalau kata dokter Aisyah tentang mengenal watak, tipe dan karakter manusia. Setiap orang itu
memiliki 5 karakter yang menonjol. Kemampuan dalam bahasa menjadi salah satunya. Jika merasa
sulit dalam belajar bahasa mungkin karakter ini tidak cukup dominan di diri.

Tidak semua orang mampu mastering bahasa. Paling penting adalah terus belajar dan berlatih
mengaplikasikanya. Gak usah patah semangat kalau ujian bahasa nilainya jelek. Setidaknya kita
cukup mengerti dengan percakapan.

Mempelajari bahasa juga tidak sebentar. Perlu banyak waktu tercurahkan dan terus diasah terus-
menerus.

Work and Holiday Visa (Subclass 462)


Terima kasih sekali kepada mas Nanang yang sudah sharing tulisan mengenai work and

holiday di Backpacker Dunia. Aku sangat tertarik karena proses mendapatkan visa ini jauh

lebih gampang dari pada apply turis visa negara lain.

Bagi temen-temen yang baru lulus kuliah atau sedang kuliah dan sudah melewati 4

semester, gak punya pengalaman kerja, belum punya passport, atau passportnya masih

kosong. Apply visa ini bisa banget. Asal semua prosedurnya diikuti pasti granted.

Beruntungnya, pemerintah Australia terus mengupgrade ketentuan visa ini. Terakhir izin

tinggal diperpanjang menjadi tiga tahun dan denger-denger akan ada penambahan kuota dari

1000 menjadi 4000.

Tolong hal ini jangan dirusak dengan cara-cara ilegal atau kurang baik. Karena nantinya akan

berdampak terhadap nama baik Indonesia. Di negara manapun ya!

Untuk mendapatkan visa ini, kalian tidak perlu bayar agent!

1. Buka website Direktorat Jendral Imigrasi Indonesia. kalian bisa cari tahu apa yang

namanya work and holiday Australia. Disana dijelaskan dengan bahasa Indonesia.

2. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan surat rekomendasi dari DIRJEN Imigrasi

dengan cara register secara online di website resminya. Kalian mesti pantengin
instagram, page atau website DIRJEN Imigrasi untuk mengetahui kapan mereka

membuka regristrasi online.

3. Wawancara dan ferivikasi data, dimana kamu akan diundang DIRJEN IMIGRASI yang

tertera di websitenya dan dalam bentuk PDF. Kalau semua dokumen dianggap asli,

maka surat rekomendasi akan dikirimkan ke e-mailmu.

4. Apply work and holiday visa ke Kedutaan besar Australia lewat VFS jakarta. Kayaknya

pake kantor pos juga bisa deh. Sekaligus membayar biaya visanya.

5. Jika dokumen diterima dan bukan abal-abal. Kamu akan menerima surat undangan

melakukan medichal check-up di rumah sakit yang direkomendasikan. Kamu bisa

memilih. Bayarnya sekitar 1 juta. Yang dicek adalah paru-paru, karena mereka sangat

concern terhadap penyakit TBC.

6. Granted visa dikirim lewat e-mail. Kalau biasanya kita dapat sticker di passport. Beda

dengan Australia.

Informasi umum, visa ini bisa diapply oleh siapa saja dibawah usia 30 tahun dan setidaknya

sudah kuliah empat semester dan masih aktif dalam perkuliahan.

Syarat mendapatkan visa


1. Passport
2. KTP
3. KK
4. Ijazah
5. Akta lahir
6. IELTS

Pekerjaan untuk WHV


1. Farm
2. Cleaning
3. Housekeeping
4. Kitchen hand
5. Kasir
6. Pelayan
7. Gardening
8. All rounder
9. Penjaga toko
Opportunity

Di tempat kerja, aku bertemu banyak orang

dari berbagai negara. paling banyak orang

philipina, India, China, Hongkong, Korea,

dan Nepal. Kebanyakan dari mereka,

berangkat dengan modal student visa atau

visa kerja sampai akhirnya mendapatkan

permanent residence visa.

Ratusan juta telah mereka keluarkan demi

tinggal di Australia sampai akhirnya

mereka berhasil mendapatkan status

yang diinginkan dan tinggal di negara ini

layaknya penduduk lokal. Keuntungan

materi tentu mereka dapatkan.

Ketika orang lain berbondong-bondong dan bersusah payah untuk bisa tinggal di Australia.

Kenapa kalian terus banyak berpikir? Mulailah cari kemungkinan bagaimana bisa masuk dan

akhirnya berkarir di negara ini. Cari informasi yang logis dan sesuaikan kapasitas diri,

kemudian cari jalanya. Jangan ditunda lagi, semakin ditunda, semakin rumit nantinya.

Jangan kalah dengan negara lain, setidaknya ketika kelak kamu berhasil, akan banyak

perbuatan baik yang bisa dilakukan. Akan banyak peluang yang bisa diraih. Gak usah ragu

lagi!!

Banyak orang yang memulai petualanganya sebagai student dan kemudian mereka apply

untuk permanent residence. Banyak juga yang akhirnya mengganti kewarganegaraanya. So,

mungkin kamu tertarik.


Student visa

Jika kamu ingin pergi ke luar negri, yang paling penting adalah memiliki pasport. Pasport

merupakan bukti identitas yang diakui secara international. Dokumen ini wajib dibawa.

Pembuatan passport sebaiknya lakukan sendiri, biayanya juga murah. Syarat dan prosesnya

bisa dilihat di internet. Mau e-passport atau bukan, semuanya bisa digunakan.

Selain itu tidak semua negara memperbolehkan WNI untuk bebas masuk ke negaranya hanya

dengan membawa pasport di tangan. Kamu bisa cek mengenai; negara-negara bebas visa

bagi Indonesia, visa on arrival untuk indonesia, atau negara-negara yang membutuhkan visa

untuk berkunjung.

Untuk Australia sendiri, WNI harus mengajukan visa terlebih dahulu ke kedutaan besar

Australia. Pemerintah Australia memiliki banyak pilihan visa sesuai yang dibutuhkan si

pelamar. Masing-masing visa juga memiliki requarement tersendiri dan semuanya jelas

terpampang di website mereka.

Nah buat kalian yang sekarang sedang memikirkan untuk kuliah di Australia dan ingin banyak

bertanya tentang lika-likunya mendapatkan student visa, atau ingin berdiskusi tentang

student visa. Aku bisa saranin untuk mencek persyaratan yang dibutuhkan dan mulai

mencicilnya. Jika semua sudah bisa terpenuhi, langkah selanjutnya berdialog lebih serius

dengan agent pendidikan yang bisa membantu mengurusi proses student visa dan urusan

sekolahmu.

Di bawah ini adalah syarat yang aku urus ketika apply student visa.
Syaratnya

Berikut ini adalah dokumen yang aku berikan saat apply student visa;

1. KTP
2. Passport
3. Ijazah SMK dan Kuliah
4. IELTS
Setiap jurusan kuliah, ada standar requrement yang diminta oleh sekolah. Aku
harus memiliki nilai IELTS minimal 5.5 poin. IELTS memang perlu waktu ekstra
untuk belajar. Aku juga sempat stress untuk mengejar nilai tersebut, padahal
untuk mendapatkan poin sebanyak itu tidak perlu high english skill.
Aku sempat belajar di kampung Inggris, Pare, Kediri untuk mengetahui lebih
dalam. Meski singkat, Pare cukup membantu juga. Apalagi aku bisa membangun
pertemanan dengan anak-anak muda yang sedang mengejar mimpi mendapatkan
beasiswa kuliah di berbagai negara.
5. Transkip Nilai (SMK dan kuliah)
6. Akta Lahir
7. Kartu Keluarga
8. Slip gaji
Semua slip gaji yang aku dapatkan saat bekerja di restoran dilampirkan untuk
memperkuat alasan kenapa ingin kuliah pada jurusan Cookery.
9. Surat Izin Usaha Perorangan /Slip Gaji orang tua
Bukti ini membantu memperkuat dari mana sumber dana orang tua.
Bagaimanapun mereka merupakan penjamin keberlangungan aktifitas aku di OZ.
Pemerintah juga selektif dan akan melihat profil diri kita secara lengkap. Agar
negara mereka tetap aman dan damai.
10. Tanda Daftar Perusahaan
TDP hanya bukti tambahan saja sebenarnya agar lebih meyakinkan bahwa orang
tua aku memiliki usaha sendiri.
11. Bukti keuangan
Bisa menggunakan tabungan sendiri, orang tua atau anggota keluarga yang masih
dalam satu KK. Bukti keuangan juga memiliki standar yang harus dipenuhi.
Misalnya harus memiliki dana untuk biaya hidup pertahun + biaya kuliah pertahun
+ biaya lainya (tiket pesawat kepulangan).
Agent meminta aku melampirkan dana minimal 350 juta rupiah yang terdiri dari ;
200 juta biaya hidup + 140 juta biaya kuliah + 20 juta biaya tiket kepulangan.
12. Statment of purpose
Surat ditulis oleh aku sendiri tentang penyataan singkat diri dan alasan kenapa
aku sekolah. Setelah beberapa kali mencoba menulis, si Uni mengirimkan format
penulisan SOP. Aku perlu merombak dan mengikuti format itu.
13. Surat pernyataan dukungan dari orang tua
Surat ini juga ditulis sendiri dan ditanda tangani oleh pihak yang menjadi penjamin
atau orang yang bukti keuanganya aku lampirkan (ibu aku).

Tipsnya bikin list dari syarat di atas, terus ceklis syarat mana aja yang sudah kamu penuhi.
Jadi secara mudah, kamu sudah tahu apa aja syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat
tambahan sebaiknya diskusikan dengan agent pendidikan.

Dibawah aku lampirkan beberapa contoh dokumen:


STATEMENT OF PURPOSE

My name is Arip Pudin Hidayat. I was born on April 7 th, 1991. I am Indonesian. I was
currently living in Karawang, West Java, Indonesia. I surely want to study general english in
Navitas Darwin and then continue to study certificate III commercial cookery in Charles
Darwin University. Previously, I have ever lived in Darwin by work and holiday visa, so I
attempted to earn much money to pay the tuition and my parents willing to sponsor me for
other expenses.

I studied about engineering in high school in SMK Bina Karya 2 Karawang. Then, I
continued my study about business management in Universitas Singaperbangsa Karawang.
I graduated as bachelor of economic in 2015. While, my hobby is traveling, I have been
traveling abroad since 2012. I also really wanted to study abroad someday.

I have been working in my family business (culinary business) as manager until now.
In 2015, my parent allowed me to go to Darwin. I worked as kitchen hand in 21 Café, Airport
Tavern, FreeSpirit Resort Caravan Park and I worked as Sushi Chef in Sushi Izu Palmerston.

Consciously, I was more likely loved to work in the kitchen when I was working in
some workplaces throughout a year. I was impressively comfort with the culture,
circumstances and hospitality. My boss and peers taught me patiently. Apparently, I got my
passion. In contrast, though I was fast learner, but my English skill was poor. Unfortunately,
I could not do some jobs which need intensively communication such as teller or waiter.

Moreover, I require more education about culinary. I decided to study in Charles


Darwin University for one year, because I think I used to live there and I will be more
comfortable in Darwin. Darwin is like my second home town, the weather as same as in
Indonesia. I also have some friends who was like family.

I have been interesting to be entrepreneur since I was studying in university. So, after
study in Australia, I hope I can manage my family business professionally and I will open my
own restaurant or culinary business in Indonesia. Perhaps, I could have good carrier as
international chef later on. The important thing I hope that study abroad will improve my
expertise and give me wonderful experience as international student. Study abroad is one of
my dream, when I saw the tuition was slightly affordable, I was more believe that I could
reach it.
I declare that the particulars given above are true and correct in every detail. I
understand that incorrect or misleading statements may result in refusal of my admission
and/or student visa application.

Signature ……………………………………………. Date …………………………………………….


Financial Sponsorship Declaration
TO WHOM IT MAY CONCERN

I am Engkus Kusnadi. Resident of Indonesia do solemnly and sincerely declare as follows:

That I am sponsoring my Son, Known as Arip Pudin Hidayat. Resident of Indonesia and will be

undertaking further studies in Certificate IV Commercial Cookery and Diploma of Hospitality

Management at Charles Darwin University for roughly three years and I shall provide him with full

financial support during his stay in Australia which Includes tuition fee of AUD 14,000 per annum and

living expenses of AUD 19,830 per annum.

Engkus Kusnadi

(+628522222222220)
Karawang, 10 February 2017

Visa Section

Australian Embassy

Dear Sirs/Madam,

With this letter, I would like to inform you that I am the undersigned :

Name : Eti

Occupation : House Wife

Relation : Mother

Would like to certify that :

Name : Arip Pudin Hidayat

Passport No. : A4700000

Relationship : Son

He is planning to have study in Charles Darwin University on July 2017.

All kind of expenses during the study above purpose are fully covered by my personal account.

Kindly grant his necessary visa(s) in order to have study in your country. Your kind assistance will be
very highly appreciated.

Sincerely Yours,

(Eti)
Prosesnya

Dalam proses mendapatkan visa aku dibantu oleh Nona Fitria yang bekerja di agen

pendidikan bernama StudyNet. Aku mengenal dia dari grup

work and holiday visa Indonesia. Dia juga pernah

merasakan WHV dan dia ingin membantu siapapun yang

ingin lanjut sekolah di Australia.

Saat aku tanyakan mengenai fee, dia dengan jelas mengatakan bahwa fee akan mereka

dapatkan dari sekolah. Jadi tidak dibebankan kepada calon student. “wah lega dong rasanya.”

Selain itu, Nona membantu mentranslate semua dokumen yang diperlukan. Sehingga, aku

hanya perlu mengirimkan semua scan dokumen yang diminta.

Aku perlu beribu-ribu bilang terima kasih kepada Nona, karena dia sangat sabar dan bener-

bener mau diskusi dengan aku tentang rencana study ini. Sekalipun kita belum pernah

ketemu, tapi rasa percaya itu tumbuh dengan sendirinya.

Baik Nona ataupun aku, selalu make sure mengenai proses aplikasi ini sampai tahap mana.

Apakah perlu melengkapi dokumen tertentu, apakah surat pernyataan yang dibuat itu sudah

sesuai, dan lainya. Kalau kita serius ingin sekolah, memfollow up kapan saja juga perlu.

Kemungkinan Nona sibuk dan kamu belum dapat jawaban, sehingga perlu bertanya.

Jadi biaya yang pertama aku keluarkan adalah tentang pengurusan dokumen, biaya scan ke

warnet, print beberapa lembar dokumen. Gak mahal sih.

Biaya berikutnya adalah tuition fee untuk satu semester di awal. Untuk mengajukan visa

student, kita harus melampirkan Confirmation-of-Enrolment dari CDU. Untuk mendapatkan

CoE ini Nona mendapatarkan aku ke CDU dan aku diminta membayar biaya kuliah setahun

serta membeli asuransi.


Jurusan aku tahun 2017 masih mematok harga $7000 per semester dan biaya asuransi atau

OSHC $1428 untuk setahun. Setelah membayar, aku akan menerima surat pernyataan

penerimaan mahasiswa. Surat ini yang kemudian dilampirkan untuk mengajukan student

visa.

Pengajuan visa dilakukan dari Sydney. Nona meminta uang pembayaran visa sebesar $500.

Aku tinggal duduk manis di rumah tanpa pusing harus apply visa.

Masuklah email dari Australian Goverment berupa undangan untuk melakukan medhical

check-up. Ada beberapa rumah sakit yang direkomendasikan. So, biaya transportasi ke

Jakarta dan juga biaya med-chek sebesar 1.200.000.

Setelah semua proses itu selesai. Visa granted dan tinggal siapin diri untuk pergi ke

Australia.
Biaya kuliah di CDU

Tahun 2017 persemester bayaranya sebesar $7000. Di semester kedua mengalami kenaikan

menjadi $7400. Biaya kuliah bisa dilihat di website sekolah.

Biaya kuliah itu sudah termasuk semua bahan baku praktek dan semua resources

perkuliahan. Aku hanya perlu membeli satu set pisau dan seragam.

Terima kasih kepada Kharis Kurniadi, senior whv yang juga melanjutkan kuliah di CDU yang

telah menyumbangkan beberapa seragam.

Biaya kuliah di Australia memang terkesan mahal. Tapi, coba hitung atau pertimbangkan

kembali tentang keuntungan yang bisa didapat. Menurut aku sekalipun biayanya ratusan juta

pertahun. At least setiap bulan aku masih bisa nabung dan jauh lebih besar dari pada aku

kerja dengan posisi bagus di Indonesia.

“sudah cape-cape kerja, duitnya dipake bayar kuliah.” Pemikiran ini selalu ada dalam otak

aku. Karena gaji yang harusnya bisa disimpan, harus dipake untuk biaya kuliah. Sayang

banget kan.

Kalau pemikiran selalu seperti itu, ya sampai kapanpun semua niat sekolah gak akan

terwujud. Memang biayanya mahal, tapi menurut aku cukup masih menguntungkan

ketimbang tinggal di Indonesia. Dengan upaya yang sama, belum tentu mendapatkan hasil

yang sama. Bahkan sisa semua biaya yang sudah dikeluarkan untuk sekolah dan hidup,

masih bisa menabung yang mungkin nilai sebanyak itu jauh lebih sulit dikumpulkan ketika

tinggal di Indonesia.

Kuliah di Australia juga memungkinkan kita mendapatkan sertifikasi atau ijazah dari luar

negri yang memungkinkan kita bisa bekerja australia atau di berbagai negara. Bagus kan.
Biaya Hidup

Dengan student visa yang sudah di tangan dan tujuan sekolah sudah ada. Aku langsung

mencari penerbangan yang cukup affordable. Aku berkunjung ke Sydney terlebih dahulu,

untuk berlibur dan ingin bertemu dengan Nona dan kawan-kawan. Setelah seminggu liburan,

aku terbang ke Kota Darwin. Kota yang sebelumnya pernah aku tinggali juga selama setahun,

saat work and holiday pada 2016.

Akomodasi

Di Darwin atau bisa juga secara general. Biaya penginapan mulai dari $100-150 perminggu

dan mostly share room, dengan biaya segitu. Ada juga yang dapat private, namun jarang

sekali. Aku sendiri tinggal di sebuah flat yang disewa oleh Bobby (Student juga). Ada ruang

tamu yang dapat disekat dan separately bisa dijadikan kamar.

Ruangan tersebut sangat luas untuk menampung semua barang-barang aku yang seabreg-

abreg. Perminggu aku harus membayar $100. Kamarnya tidak memiliki AC, hanya sebuah

fan. Tapi aku bukan tipe anak rujit, jadi fine-fine saja.

Setahunan aku tinggal bareng bobby dan memutuskan pindah ke city shared room bareng

orang lain. Kalau sendiri harganya 160-180 exclude power bill (setiap 3 bulan bayar, totalnya

akan di split ke semua penghuni) atau 200-230 all included. Sedangkan harga berdua bisa

jadi 260-300 aja all included or some places are excluded all bills.

Transportasi a

Aku menyadari bahwa mobilitas aku bakal cukup padat. Posisi rumah juga membuat aku

harus consider tentang transportasi publik. “aku harus naik beberapa kali bus, aku juga

harus persiapan beberapa puluh menit sebelumnya ketika ambil bus.” Ditambah aku juga

harus kerja untuk bayar kuliah.


Akhirnya aku membeli mobil teman seharga $6000. Toyota yaris hatchback keluaran tahun

2009. Bukan aku belagu beli mobil yang agak mahalan. Aku pernah punya mobil ford tahun

1991 (mobilnya dikeluarkan sama seperti saat aku dilahirkan). Harga beli mobilnya dan

perbaikan saat rusak, jatohnya jadi mahal. Sedangkan saat dijual kembali tentu aja harganya

gak bisa seharga total yang sudah aku keluarkan, belum lagi modelnya udah jadul. “Asu

banget kan.”

Kalau punya kendaraan di Autralia, pemilik diharuskan membayar regristrasi kendaraan.

Bisa dibaya per enam bulan ataupun pertahun. Nah setahun sekali sebelum bayar tagihanya.

Si mobil harus lulus uji kelayakan dari bengkel. Artinya mobil harus masuk ke bengkel yang

mau mengeluarkan surat pernyatan layak itu. Kelayakan ini juga tergantung dari kondisi

kendaraan. Iya kalau bengkelnya baik, kalau nggak. Kita diminta memperbaiki ini itu. Udah

mah bayar bengkel, ditambah lagi bayar rego. Ini yang kadang jadi dilema.

Jika sebuah mobil belum berusia 10 tahun, masih dinyatakan layak. Jadi tinggal membayar

regonya saja. Jadi aku gak perlu masukin mobil ke bengkel untuk minta suratnya sampai

2019 nanti.

Grocery

Seminggu sekali setidaknya belanja kurang lebih $100. Harga-harga kebutuhan sebenarnya

affordable dan gak jauh beda dengan harga di indonesia. beras, susu, roti, telur dan lainya.

Mungkin yang mahal adalah harga sayuran dan buah aja. Maklum kalau di sini belanja gak

bisa diketeng.

Untuk berhemat, kamu bisa ambil makanan di tempat kerja. Kalau closing banyak makanan

sisa atau beberapa tempat kerja memperbolehkan kamu makan apapun yang dimau. Nah ada

beberapa bulan saking sibuknya aku pengen nasi pun ambil dari tempat kerja. Hampir gak

pernah masak.
Regulasi bekerja

Dalam dua minggu kita diperbolehkan bekerja selama 40 jam. Misalnya begini, minggu

pertama kerja 15 jam, di minggu kedua kita boleh kerja 25 jam, namun di minggu ketiga harus

kembali bekerja 15 jam dan minggu berikutnya 25 jam. Jadi akumulasi perdua minggunya

harus 40 jam.

Agar lebih mudah, setiap minggu dihitung 20 jam saja. Hal ini berlaku untuk semua student.

Aku diperbolehkan kerja sebanyak-banyaknya tanpa limitation, saat ada libur kuliah

nasional. Setiap wilayah bagian Australia memiliki rule yang berbeda.

Seperti halnya work and holiday, kerjaan yang banyak diambil adalah kerjaan casual; waiter,

cook, housekeeping, cleaning, dan lainya. Bahkan ada yang bisa magang di bidang yang relate

sama perkuliahan.

Mendapatkan pekerjaan juga hanya dengan selembar CV saja. Karena aku memiliki

pengalaman tinggal di Darwin, tempat kerja aku yang sebelumnya. Mau menerima kembali

aku untuk bekerja. Aku akan membahas khusu kenapa aku bertahan bekerja di sana.

Tidak semua student beruntung mendapatkan pekerjaan. Banyak sekali aku mendengar

tentang bagaimana strugelnya beberapa teman kuliah dalam mendapatkan pekerjaan.

Menurut aku ini tergantung diri masing-masing, ada yang mungkin belum menemukanya, ada

juga yang tidak bisa mengikuti tuntuntan cara kerja Australia dan mungkin melihat attitude

diri ketika bekerja.

Pekerjaan itu terkadang gampang dicari, namun bisa lama atau tidaknya di suatu pekerjaan

adalah karena upaya kita. Jika upaya kita sudah maksimal dan benar-benar memuaskan, bos

mana yang gak suka, manajer mana yang gak suka, rekan kerja mana yang gak suka. Dan itu

berlaku sebaliknya. Ketika kita kurang mendapatkan sesuatu, berarti ada hal yang perlu

ditingkatkan dalam diri kita.


Kenapa ambil Certificate III commercial cookery

Ada yang namanya SOL (occupation list) yang menjadi patokan kenapa student mengambil

jurusan tersebut. Pasti pada akhirnya mereka yang kuliah di NT menginginkan Permanent

Residence. Aku juga tidak memungkiri kalau menjadi PR tentu akan menguntungkan. Namun,

aku lebih ke Nothing to lose aja lah ya.

Asalkan aku bisa bertahan di Australia beberapa tahun lagi, menabung dan mengunmpulkan

uang untuk modal dalam beberapa tahun.

Gaya hidup aku juga akan terpenuhi dengan tinggal di luar negri. Sekalipun ada beban bayar

kuliah, rasanya aku masih bisa nabung banyak untuk traveling ke luar negri, ngegym, koleksi

peralatan masak, dan membeli tanah di kampung halaman. Untuk urusan hobi pun bisa mulai

aku seriuskan seperti vlogging, writting, dan singing. Hahahhaa

Bagaimana aku gak bersyukur dengan apa yang aku alami sekarang ini.

Aku juga gak akan menyangka kalau sudah melangkah sejauh ini. Untuk bermimpi sekolah

di Australi pun tidak ada sema sekali. Sampai work and holiday menjadi batu loncatan aku

untuk menabung dan akhirnya mendapatkan modal untuk kuliah.

Aku selalu yakin kalau upaya diri dalam berusaha meningkatkan kemampuan bisa

memberikan rasa exited dan antusias untuk mencari tahu. Proses ini yang akan

membukakan dan mengarahkan jalan tersebut.

Bukan aku tidak mengakui ada jasa orang tua. Aku hanya ingin memberikan gambaran ke

kalian bahwa 100 persen yang aku lalui ini tanpa orang tua ketahui, bahkan sama sekali tidak

membebani pikiran mereka tentang keinginan aku. Mereka tak pusing mikirin biaya kuliah,

bagaimana apply visa aku, bagaimana aku dapat kerjaan. Semua itu aku coba usaha sendiri.

Jika aku bisa, kalian juga pasti bisa.


Proses Belajar

Belajar tidak hanya praktik, tapi juga theory. Proporsinya bisa 20-30 persen theory dan

sisanya praktik.

Kuliah akan dimulai dari jam 8.30 am hingga 4.30 pm. Terkadang lebih dari jam 4.30 pm jika

banyak item yang harus dibuat.

Certificate III commerial Cookery ditempuh selama 2 semester atau satu tahun. Gak terasa

sama sekali kalau dalam setahun aku sudah menyandang status sebagai Cook. Jika

dipadatkan, sebanarnya kuliah masak ini sangat singkat sekali. Bayangkan dua minggu

kuliah, dua minggu off. Dalam satu minggu hanya digunakan 5 hari, senin sampai jum’at.

Berati dalam sebulan di kampus hanya 10 hari. Jadi dalam satu semester totalnya 60 hari

saja. (cek suka dan duka)

Dosen aku seorang chinese yang masa kecilnya mengenal bos aku sekarang. Antonio begitu

well prepare dan bersih ketika mendemokan masak. Dia juga seorang yang memiliki value

hidup bagus, memiliki banyak pengalman, sehingga ketika dia mengatarkan materi ada

value-value yang disampaikan dan bisa berpengaruh terhadap apa yang student akan

rasakan di masa depan.

Di awal-awal ada Jacob yang baru mengajar. Beberapa student mengeluh tentang caranya

mengajar. Aku sih santai saja dan selalu berusaha melihat dia dari sisi positif. Dia kenapa

bisa jadi dosen, tentunya sudah memiliki banyak pengalaman di industri ini. Sehingga aku

selalu mendapatkan respon baik denganya.

Dosen favorit katanya Jason. Lebih santai belajarnya. Sayangnya dia tidak mengajar di kelas

kami.
Setiap materi perkuliahan akan dibagi berdasarkan block-block unit. Aku sebagai student

yang biasa aja gak pernah tahu saat ini ada block apa, unit apa? Pokoknya asal semuanya

lancar. Yasudah lah ya.

Sebelum masuk ke materi baru misalnya dari poultry ke meat. Kita akan diberikan beberapa

dokumen yang telah di print tentang materi tersebut. Sebagian materi akan dibahas setelah

kegiatan praktik atau ada hari khusus membahas materi tersebut.

Materi tambahan lainya seperti tentang healts and safety work yang menjelaskan bagaimana

kerja sehat dan aman, work with others, how to be coach, dan lainya.

Jangan ditanya kalau aku pinter mengenai teory. Aku banyak mengalami strugle ketika

menghadapi teori. Makanya di setiap

teory test pasti aku selalu ngulang.

Namun saat praktek lancar-lancar aja.

gampang kok belajarnya. Asal kuliah,

asal mau dengerin, pasti lulus.

Sebelum tes dimulai, hari sebelumnya

dosen membahas pertanyaan yang

akan muncul. Semua jawaban untuk

ujian besok itu ada di kertas-kertas

yang seperti aku lampirkan itu.


Peralatan Sekolah

Sekolah memberikan semua fasilitas dan bahan perkuliahan. Akan tetapi student harus

membeli peralatan dasar sendiri seperti satu set pisau dan juga uniform kuliah.

Saat masa orientasi, ada beberapa toko yang menjual peralatan dapur membuka stand di

kampus. Mereka menawarkan semua kebutuhan sekolah. Harganya pun tak jauh beda,

tergantung dari isi paketnya. Sepatu dan seragam dijual terpisah. Tinggal menyesuaikan

berapa banyak yang kamu butuhkan.

Suatu ketika ada temen aku kancingnya bajunya warna hitam. Dosen aku kasih tau kalau

semua student hanya boleh menggunakan seragam putih, seragam hitam digunakan oleh

quliafied chef aja.


Practical

Masih banyak yang berpikiran bahwa kuliah aku ini sangat mahal. Padahal jika dibandingkan

dengan jurusan lainya, justru paling terjangkau. Banyak teman aku yang mengambil jurusan

dengan biaya kuliahnya mahal, bahkan dua kali lipat.

Jika dilihat dari kegiatan kuliah yang kebanyakan praktek. Aku bisa mengatakan kalau kuliah

aku ini masih sangat murah. Bayangkan semua bahan baku untuk memasak sudah

disediakan, peralatan memasak pun lengkap. Setelah memasak, makanan boleh dibawa

pulang atau dibuang. Dalam sehari bisa memasak tiga atau empat menu makanan.
Theory

Dosen juga menjelaskan banyak hal

ketika mendemokan sebuah menu

masakan saat praktik. Apabila masih

ada waktu tersisa, biasanya

digunakan untuk mengulas teori.

Terkadang dalam satu minggu ada 1-

2 assesment teori dan praktik.

Sebelum assesment, dikelas ada

semacam membahas apa saja yang

akan keluar di pertanyaan esok

harinya. Cukup mudah memang,

karena pertanyaan yang dibahas

saat ini hampir mirip dengan

pertanyaan yang akan keluar di

kertas assesment.

Cuma, saking begonya aku dan gak mau banyak belajar pasti banyak yang salah jawab. Jika

salah beberapa pertanyaan atau kurang komplit, dosen akan memanggil satu persatu lalu

mencoba menjelaskan dan bertanya kembali. Si mahasiswa diminta unutk mengkoreksinya.

Sama sekali tidak sulit sebenarnya. Ini tergantung masing-masing orang yang mau belajar

atau tidak.
Suka dan duka

Aku jarang kumpul extra bareng temen. Pertemanan yang terjalin hanya sebatas di kelas

dan social media. Jarang sekali ada suka dukanya tentang pergaulan ini.

Dalam masa belajar yang paling aku sesali adalah tidak mencurahkan waktu untuk benar-

benar belajar teori. Sekalipun semua ujian telah aku lewati, namun tetap merasa lack of

knowledge. Di setiap assesment teori aku gak pernah mendapatkan hasil 100 persen. Selalu

ada yang perlu dikoreksi, bahkan sampai ada yang harus mengulang ujian. Padahal

pertanyaanya sama sekali tidak sulit.

Assesment practical sendiri dilalui dengan baik. Satu kali saja aku harus mengulang karena

Bread Roll yang over propped. Sehingga tidak mengembang saat proses pengovenan.

Setiap berangkat ke kampus aku selalu terkantuk-kantuk di jalan. Belum lagi demo masak

yang diberikan dosen memakan waktu lebih panjang, karena ada beberapa penjelasan

tambahan yang muncul saat proses memasak. Sepanjang hari harus berdiri mendengar dan

menyaksikan dosen mendemokan masakan. Badan jauh lebih capek jika dibandingkan

bekerja di restoran meski banyak mengangkat beban.

Sedikit duka juga ketika ada project grup dimana aku diberi teman-teman yang memiliki

attitude kurang baik. Menjelang akhir kuliah ada yang namanya restoran service dimana

sekolah akan menerima tamu beneran untuk menikmati masakan. Aku mendapati dua teman

pria yang setiap saat sering kena omel dosen. Bayangkan!! Kisah selanjutnya akan aku tulis

terpisah.

Suka lainya adalah bertemu dengan orang lain dari berbagai kelas. Ada kelas international

dan lokal.

Jadwal kuliah yang telah aku jelaskan di atas mengenai 2 weeks study and 2 weeks off

menjadi duka sebenarnya. Ketika off tidak banyak yang bisa dilakukan karena student juga
dibatasi jam kerajanya. Selain itu tidak banyak tempat kerja yang bisa memberikan kerja di

beda-beda roster atau jadwal. Misalnya ketika off diperbolehkan kerja pagi, sedangkan kalau

ada kuliah ya kerja malam.

Tapi bisa menjadi suka juga sebenarnya, karena batas kerja yang diperbolehkan itu 40 jam

per dua minggu. Sehingga saat kuliah gak harus banyak kerja dan kerja banyak saat tidak

ada kuliah. Kembali lagi, ada gak perusahaan yang fleksible mau memberikan roster

semacam itu.

Sepengalaman aku, tempat kerja juga mau mempertimbangkan tetang kondisi kamu ini jika

kamu memang bisa diandalkan.


Advantages and disadvantage

Paling jelas sih aku bisa apply

graduated visa selama jenis

pekerjaan aku ini masih ada di

occupation list. 1.5 tahun setelah

kuliah bisa kerja unlimitedly. Jangka

panjangnya bisa apply permanent

residence visa.

Menurut aku sekalipun gak

mendapatkan permanent residence

setidaknya bisa coba peruntungan

mendapatkan work visa yang berarti bisa tinggal di Australia selama dua sampai empat

tahun lagi. Certificate yang dimiliki juga MUNGKIN bisa digunakan untuk mendapatkan

pekerjaan di negara lainya.

Bagi kamu yang suka traveling dan suka pekerjaan casual, menjadi chef bisa menjadi pilihan

yang cukup asik. Bisa kerja di berbagai negara.

Kehidupan yang dijalani di Australia juga jauh lebih menyenangkan dengan difasilitasi banyak

hal. Sebagai student tentu gak bisa nabung banyak seperti halnya orang yang mendapatkan

work and holiday visa atau work visa. Tapi jauh lebih baik dan masih bisa menabung dari

pada kerja di Indonesia dengan upaya yang sama.

Kesempatan tinggal di Australia memberikan keleluasaan untuk bergaul dengan banyak

orang dari berbagai negeri.


Penutup

Terima kasih kepada ALLAH SWT yang telah memberikan aku banyak kesempatan baik dalam

hidup ini. Kemudian kepada orang tua yang financially gak bisa mendukung banyak, namun

aku tau kalau setiap nafasnya selalu ada suport berupa doa baik.

Terima kasih kepada orang-orang yang selalu membagikan kebaikan dalam hal apapun.

Sharing hal-hal yang bisa membuat orang lain terinspirasi. Tak ada kata kecil atau besar,

bisa jadi hal apapun dapat mengubah hidup orang.

Terima kasih kepada kalian yang mau meluangkan waktu membaca. Jika ada tulisan yang

dianggap menyombongkan diri atau obviously kurang baik. Mohon dimaafkan karena that is

no on my purpose. Aku sangat outspoken. Jika berkenan silahkan kirim masukan dan

kritikan, bisa dikirim melalui media social atau email aripudin45@gmail.com

Tulisan ini belum berakhir, akan ada tulisan lagi dimana aku akan membahas perkuliahan

yang aku lalui.

Mohon doanya agar tidak malas dalam pembuatanya.

Semoga kalian juga memaksimalkan apapun kesempatan yang ada. terus menggali potensi

diri dimanapun, di daratan manapun. Semoga segalanya menjadi kebaikan buat banyak

orang.

Inget ya, peraturan selalu berubah, dokumen yang diminta untuk student visa selalu ada

tambahan baru, diskusi sama agent pendidikanya ya dan lengkapi semua yang diminta. Don’t

be silly and wasting time, kalau gak sungguh-sungguh bisa menuhi semua dokumen mending

gak usah nanya.

Terima kasih guys!!!!


ANAK RANTAU
WORK AND HOLIDAY IN AUSTRALIA

Work and holiday visa merupakan cara legal yang diberikan pemerintah
Australia sebagai bentuk kerja sama dalam bentuk pertukaran budaya. Kesempatan
ini diberikan kepada 1000 pemuda Indonesia setiap tahunya dan dilaksanakan tanpa
seleksi rumit.
Buku ini berisi cerita pendek dari beberapa orang yang memiliki pengalaman
tinggal di benua baru, merasakan perjuangan hidup dengan bekerja di berbagai
bidang dan berbaur dengan budaya baru serta menanamkan kemandirian hidup.
Australia tidak hanya menjanjikan dollar yang dapat dengan mudah
didapatkan. Kemudahan, keamanan, dan gaya hidup bisa membuat siapa saja merasa
betah tinggal disana. Bagi perantau seperti kami, work and holiday visa merupakan
batu loncatan untuk menabung dan meraih impian selanjutnya.
Banyak jalan menuju sukses. Ambilah setiap kesempatan yang hadir di
depanmu dan teruslah belajar banyak hal. Semoga buku ini bisa memberikan
inspirasi.
No agent, No Calo!!
Terima kasih kepada semua teman-teman yang telah meluangkan waktu demi
terselesaikannya karya ini.
Kami meminta maaf apabila tulisan dalam buku ini kurang sesuai ekspektasi.
Kritik dan saran yang membangun akan senantiasa kami terima demi terciptanya rasa
puas di hati pembaca.
NICKY CEMPAKA KARTAWIHARJA KUSUMA

“Success begins at the end of your comfort zone”. Itulah tulisan yang terpaksa
banget mesti gue baca tiap kali gue jalan menuju tempat les Bahasa Inggris di Jalan
Cimanuk Kota Bandung, dua tahun silam. Tulisan itu tertera di dalam sebuah
spanduk iklan yang gue sendiri lupa iklan apa. Saat itu gue lagi berdarah-darah
ngambil les IELTS intensif selama satu bulan demi mengejar score 4,5 untuk apply
Work and Holiday Visa (WHV), mengingat kemampuan berbahasa Inggris gue yang
terbilang cukup parah. Dan barangkali tulisan itu benar adanya. Setidaknya cocok
buat gue yang memang harus melewati berbagai batu sandungan yang tidak nyaman
untuk dapat meraih mimpi.
Tahukah Anda? Saking ngga punya duitnya saat itu, untuk bisa bikin passport
aja gue mesti kerja ngambil upah nyikatin WC di sebuah gedung instansi milik
pemerintah. Belum lagi urusan show money WHV yang hampir bikin nyokap gue mati
berdiri. Dan yang paling menguras kesabaran, gue mesti nungguin granted-nya tuh
visa kurang lebih setahun sejak tanggal gue lodge karena saat itu ada peralihan quota
dari 100 ke 1000. Jadi lucky banget tuh kalian-kalian yang apply WHV pas kuotanya
udah gendut begitu, mana granted-nya bentar banget pula... Wakakakak sirik juga
gue...
Baiklah tanpa perlu berlama-lama, singkat kata visa gue granted juga dan
dimulailah petualangan paling seru selama setahun menjelajahi Terra Australis
Nandum Cognita ini. Nah, selama di Australia bisa dibilang gue menghabiskan 95%
kehidupan gue di daerah outback dengan bekerja secara casual di berbagai farm. Secara
keseluruhan, hanya ada tiga tempat yang membekas paling dalam di hati gue selama
mengadu nasib disana. Tiga tempat itu Brisbane, Gatton, dan Ballina. Gue akan
bercerita lebih banyak tentang pengalaman hidup gue di tempat-tempat tersebut.
BRISBANE
Pada tanggal 25 Oktober 2013 adalah pertama kalinya gue menginjakkan kaki
di negeri kangguru. Saat itu gue hanya berbekal uang $400 atau sekitar Rp.5.000.000
dan sekardus makanan instan yang dibekali nyokap. Well, sebenarnya gue dibekali
lebih dari $400, tapi setelah gue menyadari bahwa gue tidak bisa hidup tanpa
smartphone di antah-berantah kota yang super hectic itu. Akhirnya gue memutuskan
untuk membeli sebuah smartphone yang menghabiskan setengah dari uang bekal.
Alhasil dalam sebulan pertama, gue harus hidup super hemat dengan hanya
mengandalkan makanan instan dari nyokap. Beruntung saat itu gue langsung
diterima bekerja di sebuah restoran Asia sebagai kitchenhand yang memfasilitasi gue
makan siang dan makan malam gratis.
Masa-masa awal hidup di Australia dengan modal yang pas-pasan tidaklah
mudah kalau tidak bisa dibilang pahit. Gue sendiri sempat merasakan yang namanya
shock culture sampai rasa frustrasi karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Kenapa gue memilih Brisbane? Karena saat itu, ada teman dari teman gue yang
menawarkan sebuah pekerjaan di Griffith. Ketika gue menanyakan dimana letak
Griffith itu, dia menjawab di Brisbane, dan sesampainya di kota itu barulah gue sadari
bahwa “Griffith” yang dia maksud berada di New South Wales (sebab Griffith yang
ada di Brisbane adalah Griffith University)... Wakakakak...
Hari itu gue yang baru aja nyampe Brisbane dengan kondisi masih jet lag, shock,
dan banyaknya gembolan di tangan langsung dibuat stress karena gue nggak tahu
kemana harus melangkah. Jarak antara Brisbane ke Griffith di NSW lumayan jauh dan
akan menghabiskan banyak biaya yang membuat gue harus berpikir ulang untuk
kesana. Sekian jam lamanya gue terlunta-lunta di kota itu tanpa tahu arah dan tujuan.
Belum lagi udara malam Brisbane yang sangat dingin membuat badan gue menggigil
karena harus menunggu di halte bus. Gue menangis malam itu. Meratapi nasib
sendiri yang terlunta-lunta di negeri selatan yang jauhnya ribuan kilometer dari
rumah. Melihat bule-bule Aussie lalu-lalang, berjalan berpasang-pasangan dengan
pakaian terbaik mereka sambil menenteng sebotol dua botol wine di tangan dan
tampak sangat berbahagia. Sementara gue kelaparan dan kedinginan, dan mulai
merindukan kampung halaman. Merindukan nyokap dan daster lusuhnya.
Merindukan pacar, kaos rombeng, dan sandal jepitnya. Hiks...
Beruntungnya di Brisbane ada seorang teman sesama WHV holder yang sangat
berjasa membantu gue melewati masa-masa sulit itu. Dari mulai nyariin share house,
buka bank account, beli Go Card dan kartu perdana, bahkan bantuin apply TFN alias
Tax File Number yang kelak akan sangat berguna di sepanjang “karir” gue di Aussie.
Tapi sayang, keberadaan gue di kota ini nggak berlangsung lama. Pekerjaan gue di
restoran Asia as a kitchenhand itu hanya sanggup gue lakoni dalam seminggu karena
gaji yang dibayarkan tidak manusiawi dengan standar upah di sana. Lagipula gue
kurang menyukai pekerjaan indoor dan kurang betah tinggal di kota besar. Akhirnya
gue memutuskan untuk menyingkir dari Brisbane. Dibantu teman gue yang super
baik itu, gue pun nekad melangkah ke Gatton. Sebuah kota kecil yang berjarak kurang
lebih 90 km di sebelah barat Brisbane city. Dari sini, petualangan sebagai “anak farm”
pun dimulai.

GATTON
Banyak orang bilang Gatton adalah suburb yang kecil, gue setuju. Tapi jika
dibilang Gatton adalah kota yang sepi, gue gak sepenuhnya setuju. Mengapa? Karena
kota ini akan sangat ramai di subuh hari, dipenuhi kelompok-kelompok multi etnis
yang lagi nungguin dijemput juragannya (alias kontraktor) untuk pergi ke farm.
Gatton adalah salah satu surganya para backpacker yang mencari pekerjaan secara
casual di bidang pertanian dan peternakan. Konon katanya, daerah Lockyer Valley ini
termasuk satu dari lahan pertanian tersubur di dunia.
Pengalaman gue di Gatton di mulai dengan mendatangi Caravan Park yang
terletak di mulut kota Gatton. Di sinilah basecamp tempat berkumpulnya para
backpacker yang hendak mengadu nasib sebagai pekerja farm. Suasana country di
Gatton memang cukup kental dengan rumput alam berwarna kuning dan aneka
ternak yang digembalakan. Saat itu gue dan teman gue mendatangi Caravan Park
untuk memperoleh informasi tentang nomor-nomor kontraktor farm di Gatton yang
bisa dihubungi. Tak dinyana, seorang backpacker asal Italia berbaik hati mau
memberikan list nomor-nomor tersebut tanpa pamrih apapun. Akhirnya gue
mencoba menghubungi satu-persatu nomor-nomor tersebut. Dari sekian banyak yang
gue hubungi, satu orang mengatakan “ya”. Akhirnya tanpa pikir panjang, keesokan
harinya gue hijrah dari Brisbane ke Gatton menggunakan kereta. Kali ini seorang diri.
Sesampainya di Gatton, gue langsung mengubungi kontraktor asal Iran
tersebut. Dia menawarkan gue pekerjaan dengan syarat gue harus tinggal di share
house miliknya yang rate-nya sebenarnya sedikit lebih mahal dari share house-share
house di Gatton pada umumnya. Tapi gue menyetujuinya karena dia menjanjikan gue
untuk langsung bekerja di keesokan harinya.
Esok paginya, pukul 04.00 subuh gue sudah siap di halaman rumah bersama
puluhan orang lainnya yang juga menunggu jemputan. Mobil-mobil jemputan itu
membawa orang-orang ke berbagai destinasi yang berbeda. Ada yang pergi ke farm
onion, ada yang diantarkan ke farmshallot, dll. Tapi tunggu punya tunggu, sampai
pukul 06.00 gue nggak dijemput juga. Alasannya mereka kekurangan mobil untuk
memfasilitasi semua pekerja. Akhirnya dengan berat hati, sebagian pekerja terpaksa
pulang lagi ke rumah termasuk gue. Tapi satu kebodohan pun terjadi. Saat itu gue
baru menyadari bahwasanya gue lupa meminta kunci rumah sama kontraktor gue.
Padahal saat itu semua penghuni share house sudah berada di farm, kecuali gue.
Akhirnya dengan terpaksa gue harus menunggu orang-orang itu datang sambil
berjemur di depan rumah. Kira-kira pukul 10.00 ada satu orang penghuni share house
yang pulang dari farm. Tentulah saat itu gue sangat senang dengan kedatangan dia
setelah berjam-jam kedinginan menunggu di luar tanpa melakukan apapun.
Akhirnya gue pun masuk ke dalam rumah bareng dia tanpa ada kecurigaan apa-apa.
Mulanya biasa aja, dia ngajak gue ngobrol ngalor-ngidul tentang hal-hal umum
yang lama-kelamaan obrolan tersebut menjurus ke hal-hal yang bersifat pribadi.
Singkat kata dia ngajakin gue kawin dengan iming-iming ini itu. Feeling gue mulai
nggak enak dan gue mulai berusaha menghindar dengan gesture sehalus mungkin.
Tapi kemudian dia merangsek masuk ke dalam kamar dan berusaha melakukan
kontak fisik yang tidak sepantasnya dilakukan kepada gue. Untung saat itu pintu
kamar masih terbuka sehingga gue dapat dengan sigap mengambil tas dan berlari ke
luar rumah.
Di sepanjang jalan keluar dari rumah itu gue menangis tersedu-sedu. Gue
menelepon pacar di tanah air dan menceritakan apa yang baru saja terjadi, lalu ia pun
sibuk menenangkan gue. Gue meminta dia untuk tidak menceritakan hal ini kepada
nyokap karena gue tau nyokap pasti akan sangat khawatir. Akhirnya seharian itu gue
hanya duduk-duduk di taman sambil memikirkan baik-baik langkah gue selanjutnya,
karena gue tidak mungkin kembali lagi ke rumah itu. Tiba-tiba gue teringat akan
sosok ibu yang gue kenal di dalam bus saat menuju Gatton. Ibu itu adalah seorang
student asal Lombok yang sedang mengambil Master di jurusan Agriculture,
University of Queensland di Gatton. Ibu tersebut tampak khawatir dengan kenekadan
gue menjelajah Gatton sendirian mengingat gue adalah anak perempuan bertubuh
kecil dan mungil. Dan sebelum berpisah, dia sempat ngajak gue untuk tinggal secara
gratis di rumahnya dan menawarkan bantuan kapanpun gue membutuhkannya.
Namun saat itu gue tolak karena merasa tidak enak. Akhirnya gue menghubungi ibu
yang baik hati tersebut dan menerima tawarannya. Sungguh pertolongan Tuhan ada
dimana-mana.
Singkat kata gue akhirnya tinggal di rumah ibu tersebut selama kurang lebih
satu bulan. Dari sanalah gue akhirnya mulai mengenal komunitas orang-orang
Indonesia lainnya yang juga tinggal dan menetap di Gatton. Luar biasa, ternyata
persaudaraan dan kekeluargaan antara sesama orang Indonesia di kota ini sangat
erat. Mereka saling mengunjungi satu sama lain kapanpun ada kesempatan dan
berbagi banyak hal. Dari sini akhirnya gue mengenal orang-orang yang membantu
gue memperoleh pekerjaan di Gatton.
Sehari-hari di rumah itu kebanyakan gue habiskan dengan bekerja di farm.
Sisanya membantu sang ibu menyelesaikan tanggung jawab rumah tangganya seperti
menjemput anak-anak sepulang sekolah, memasak, menyapu, mengepel, cuci piring,
dll sebagai balas jasa gue atas budi baiknya yang luar biasa (semoga Tuhan
membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik). Selama di Gatton, gue mengerjakan
apapun yang bisa gue kerjakan, dari mulai planting lettuce, picking onion, shallot,
sampai pickingcherry tomatoes. Untuk onion dan shallot, gue hanya mampu melakoni
pekerjaan tersebut selama beberapa hari saja karena pekerjaan itu tergolong berat jika
dikerjakan sendirian oleh seorang perempuan. Ukuran tangan gue yang kecil sangat
menghambat gue untuk dapat meraup bawang dalam jumlah yang banyak.
Sementara pekerjaan tersebut bersistem kontrak yang artinya, penghasilan yang akan
kita dapatkan berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas bawang yang berhasil
kita kerjakan. Belum lagi gue mesti mengangkat sendiri bawang-bawang tersebut ke
dalam bin-bin berukuran besar. Dengan demikian, seringnya dalam sehari gue hanya
mampu mengantongi $40 karena gue hanya mampu menyelesaikan 1 bin seorang diri.
Itu pun dengan sangat bersusah payah.
Lain halnya dengan lettuce, sebenarnya di farm ini gue bisa menghasilkan
banyak uang dalam sehari karena sistem kerja yang ditawarkan dihitung berdasarkan
jam atau perhour. Saat itu satu jam kerja dihargai $18 cash in hand alias bersih diterima
langsung di tangan tanpa potongan pajak. Sementara dalam sehari gue mampu
bekerja lebih dari 12 jam walaupun pekerjaan itu bisa bikin pincang kaki dan bikin
encok pinggang gue di keesokan harinya karena harus terus-terusan membungkuk.
Namun sayang, permintaan kerja di farm tersebut tidak berlangsung setiap hari
sehingga pendapatan yang masuk tidak stabil.
Beruntungnya saat itu ada teman WHV asal Taiwan yang menawarkan
pekerjaan lain yang lebih cocok untuk gue lakoni dengan penghasilan yang lebih
stabil, yakni picking cherry tomatoes. Walaupun upahnya tidak terlalu bagus, tapi
setidaknya di farm ini gue bisa memaksimalkan kemampuan gue untuk bekerja
karena tidak terhambat oleh apapun kecuali cuaca summer yang sangat panas
sehingga gue bisa memperoleh penghasilan yang lebih baik daripada mengerjakan
onion dan shallot. Sama halnya seperti onion dan shallot, sistem pickingcherry tomatoes
juga berdasarkan sistem kontrak. Saat itu satu bucket tomat dihargai sekitar $9. Dalam
sehari gue mampu mengumpulkan 10-15 bucket yang berarti gue beroleh penghasilan
sekitar $100 lebih. It’s better than doing onion.
Satu hal yang sangat berkesan dari farm ini adalah rasa pertemanan yang erat
antar sesama pekerja farm. Setiap harinya, hampir selalu ada teman-teman backpacker
yang datang dan pergi dan ada pula yang menetap lama di farm ini sampai
menghabiskan 2nd year visanya dia. Orang-orang yang menetap lama tersebut
biasanya adalah orang-orang yang picking tomatnya patas banget, yang setiap harinya
mampu menghasilkan 50-100% lebih banyak dari tomat yang gue hasilkan. Padahal
sebenarnya, kemampuan picking gue juga nggak bisa dibilang lambat. Bisa
dibayangkan kan cepatnya mereka? Dan mereka ini adalah anak-anak muda asal
Taiwan yang aslinya cakep-cakep, tapi mereka sangat tahan banting di lapangan.
Terlebih lagi ketika kita semua harus menghadapi kontraktor yang galak dan cranky-
nya minta ampun. Tapi yang paling berat dari farm ini selain cuaca adalah kita harus
memanggul sendiri bucket-bucket berisi tomat yang full itu dan berjalan sepanjang
kurang lebih 200 m untuk mengumpulkan tomat-tomat tersebut ke dalam bin-bin
yang forklift-nya ditarik sendiri oleh kontraktor gue.
Pernah pada suatu hari ketika temperatur Gatton mencapai 41ºC, saat itu gue
kebagian picking di line yang paling pojok, yang nggak ada kebun apa-apa lagi di
sampingnya. Luar biasa panas. Matahari jam 12 siang nyemprot langsung ke kepala
dan punggung gue. Bikin otak dan tangan kram nggak bisa mikir dan ngapa-ngapain
lagi. Terus gue minta ke kontraktor gue untuk pindah ke sisi yang ada bayangannya
tapi nggak dibolehin sama dia. Akhirnya gue balik picking lagi sambil nangis. Melihat
gue mewek begitu kontraktor gue akhirnya luluh juga dan nyuruh gue tukeran
tempat sama partner gue dan meminjamkan topi yang lebih lebar. Sumpah baru kali
itu gue nangis karena matahari.
Kerja farm pas lagi hot hot-nya summer tuh sebenarnya nggak banget. Belum lagi
kalo pas di tengah-tengah kerja tiba-tiba pengen poop, gue mesti poop di semak-semak
tanpa air. Hanya berbekal tissue basah dan kantong kresek doang.Dan yang paling
menyedihkan adalah ketika jari-jemari gue kram nggak bisa digerakin lagi saking
kebanyakan picking. Sampai-sampai ngolesin selai ke roti aja gue udah nggak mampu
lagi, dan itu baru benar-benar sembuh setelah berbulan-bulan kemudian.
Pada pertengahan Januari 2014, gue memutuskan quit dari farm tomat ini
karena upah yang gue peroleh setiap bulannya tidak mencapai target gue. Selain itu,
di saat yang sama, gue juga memperoleh tawaran kerja di farm timun dari sesama
teman WHV di Ballina yang menjanjikan penghasilan yang lebih baik dan stabil. Well,
saat itu rasanya berat untuk meninggalkan kota Gatton mengingat gue sudah
memiliki banyak teman dan keluarga yang begitu baik di sana. Tapi apa boleh buat,
kesempatan baik tak boleh ditolak bukan?

BALLINA
Sama halnya dengan Gatton, Ballina adalah sebuah kota kecil yang berada di
dekat perbatasan antara Queensland dan New South Wales. Jika kamu mengenal
Gold Coast sebagai tempat wisata terkenal di Queensland, maka untuk mencapai
Gold Coast dari Ballina hanya diperlukan waktu satu sampai dua jam saja dengan
naik mobil. Dan jangan lupa, di antara Ballina dan Gold Coast, ada Byron Bay tempat
wisata terkenal yang juga tak kalah indah.
Ballina adalah kota pantai yang terkenal dengan patung udangnya yang besar,
The Big Prawn. Tempat kerja gue sendiri sebenarnya terletak di Wardell, 15 menit
perjalanan darat dari Ballina City. Sepengetahuan gue, tidak ada public transportation
yang menghubungkan Ballina dan Wardell kecuali bus-bus sekolah. Maka dari itu,
kehidupan gue selama berbulan-bulan di Wardell bisa dibilang agak “terbelakang”
karena mobilitas gue yang terbatas. Gue cuma bisa pergi ke Ballina seminggu sekali
dengan mobil van yang biasa dipakai untuk mengantarkan para pekerja ke farm.
Itupun hanya untuk berbelanja sembako untuk kebutuhan hidup selama seminggu.
Jika dibandingkan dengan dua kota sebelumnya, Ballina adalah kota yang paling
lama gue tinggali selama gue di Aussie. Kurang lebih sembilan bulan gue habiskan di
tempat ini dan tentunya banyak sekali kenangan suka dan duka yang gue alami
selama menjajaki peruntungan di farm ini.
Wardell sendiri adalah sebuah tempat yang sangat indah. Share house yang gue
tempati menghadap langsung ke sebuah sungai yang bernama Richmond River yang
setiap pagi dan sore harinya akan berkilau keperakan karena tertimpa cahaya
matahari. Setiap pagi, gue dan teman-teman WHV lainnya akan naik sepeda beramai-
ramai menyusuri sungai ini untuk pergi ke farm yang jaraknya 10-15 menit dari
rumah, sementara yang lain memilih naik mobil pribadi, atau beramai-ramai
dijemput dengan van.Dalam perjalanan itu, gue akan melewati kebun-kebun tebu
yang sangat luas, kebun sayur-mayur, atau padang-padang rumput dengan sesekali
diserang burung Magpie saat musim kawin tiba. Teman-teman yang bekerja di farm
ini pun beragam, mulai dari Australian sendiri, orang-orang Tonga dan Tuvalu dari
Pacific Ocean, anak-anak Taiwan, Hongkong, Ireland, Germany, dan tentu saja
Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, timun membutuhkan cuaca yang panas dan cahaya
matahari yang cukup untuk dapat tumbuh subur. Itulah sebabnya farm industry ini
didirikan di kawasan dekat pantai. Perusahaan tempat gue bekerja ini adalah salah
satu suplier utama Coles untuk timun di Australia. Itulah yang menyebabkan kita
semua sangat sibuk setiap harinya, 7 hari berturut-turut dalam seminggu tanpa libur
di sepanjang tahun kecuali saat natal,tahun baru, dan winter. Farm yang sangat luas
ini terbagi atas dua blok yang berbeda, blok lama dan blok baru. Di blok yang lama
saja, kami memiliki 12 shed yang masing-masing shed-nya terbagi-bagi lagi menjadi 4
house. Ada tiga jenis timun yang kami hasilkan setiap harinya di farm ini dan harganya
cukup mahal di pasaran yakni continental, green, dan lebanese.
Pekerjaan di farm ini pun sangat banyak jenisnya dan kita dituntut untuk
menguasai hampir semua jenis pekerjaan karena pembagian job yang terkadang
random meskipun pada dasarnya masing-masing orang memiliki main job tersendiri.
Dalam satu masa tanam, pekerjaan tersebut dilakukan secara sistematis mulai dari
pembibitan, penanaman, peng-clip-an, pemutaran pucuk tanaman (twist),
pembabatan, pembasmian hama, pemetikan, pemotongan daun, sampai
pengepakan/pengemasan. Gue sendiri memiliki tanggung jawab di packhouse alias
pengepakan. Baru setelah main job gue selesai, gue dan teman-teman lainnya yang
bertugas di pack house akan “dilempar” ke outside untuk bergabung dengan yang lain
mengerjakan pekerjaan selanjutnya.
Sama halnya seperti lettuce, farm ini juga memberlakukan sistem upah per hour
untuk para pekerjanya dengan rate $20/hour termasuk tax dan super annuation yang
kelak bisa diklaim kembali di akhir financial year atau saat kita sudah kembali ke tanah
air untuk super. Jadi jangan takut membayar pajak di Australia karena uang tersebut
tidak akan hilang, alih-alih menjadi tabungan kita sendiri. Nah, karena permintaan
yang besar, di musim-musim yang normal seringkali kami sangatlah sibuk, terlebih
lagi di waktu summer. Dalam satu hari, di pack houses aja kami bisa mengerjakan 5-10
pallet timun. Itulah sebabnya, kecepatan dan ketangkasan menjadi skill yang mahal di
industri ini karena mereka membayar tenaga kita per jam. Lain halnya dengan sistem
kerja kontrak dimana kita dapat menyesuaikan tingkat kecepatan sesuai dengan
kemauan dan kemampuan kita sendiri. Dalam sistem kerja per hour, “lambat” bisa
berarti “dipecat” karena “time” benar-benar berarti “money” bagi mereka. Belum lagi
kendala bahasa yang terkadang bikin frustrasi karena intruksi-intruksi datang dalam
bahasa Inggris yang cepat dan sangat nggak jelas.
Sebenarnya gak banyak yang bisa gue ingat dan gue ceritakan tentang Ballina
selain kehidupan yang sangat damai sekaligus sangat sibuk setiap harinya.
Kehidupan sehari-hari kami disini hanya berkutat di dua tempat saja, yakni rumah
dan farm. Selebihnya, jika ada waktu luang, kami akan pergi ke pantai yang terletak
di belakang farm. Atau sekedar nongkrong-nongkrong di small shop sambil ngeliatin
orang-orang yang lagi pada mancing. Atau sesekali ke bar nemenin teman gue main
cassino. Tapi kalau gue boleh jujur, sebenarnya gue sangat mencintai tempat ini
dibanding tempat-tempat lainnya selama gue di Aussie. Gue merasa, di tempat inilah
kerja keras dan loyalitas gue dihargai dengan baik, lebih dari sekedar uang.
Bayangkan, saking baiknya bos-bos gue di farm, di malam perpisahan gue,
manager, owner, dan istri-istri mereka mengundang gue dan teman gue untuk dinner
bareng mereka. Mereka mengundang kita makan sebagai bentuk terima kasih mereka
atas kinerja orang-orang Indonesia di farm. Nggak nyangka banget saat itu mereka
jemput kita berdua pakai limousine, traktir makan di restoran bagus, dan mau share
makanan bareng-bareng sama kita. Sungguh malam yang hangat. Dan yang bikin gue
salut, betapa besarnya apresiasi mereka terhadap kerja keras. Padahal gue di sana
nggak lebih dari sekedar kuli kasar.
Well, demikian sekelumit cerita gue tentang Aussie. Salah satu pengalaman
paling berharga yang pernah gue jalani dalam hidup ini dan sangat gue syukuri. Gue
berharap suatu hari nanti gue bisa pergi ke sana lagi, mungkin untuk benar-benar
berlibur karena dalam WHV ini gue sadar kalau gue terlalu menganaktirikan si “H”
saking fokusnya sama si “W” hehehehe... (maklum orang miskin). Tapi gue nggak
nyesel kok, setidaknya dari penghasilan yang gue tabung selama setahun di sana,
akhirnya gue bisa mewujudkan impian nyokap gue untuk membeli sebuah rumah.
Alhamdulillah...

FAATIH NATASHA

Satu Tahun yang Merubahmu


Prof Kim dari Seoul National University menyampaikan bahwa ada dua tipe
anak muda yang mudah untuk dikenali, yaitu tipe anak panah dan tipe perahu kertas.
Tipe anak panah adalah pemuda yang fokus dan gigih untuk mencapai mimpi
besarnya. Biasanya mereka sudah menyusun rencana-rencana yang rapih, detail, dan
jelas sebagai panduan untuk bisa meraih mimpinya. Salah satu contohnya adalah
teman saya yang bermimpi sebagai petinggi salah satu bank asing di Indonesia.
Berdasarkan rencana yang ia punya, ia telah berada pada track yang sesuai untuk
meraih mimpinya. Mendapatkan gelar sarjana ekonomi, merintis karir di dunia
perbankan, dan sekarang menikmati masa mudanya sebagai banker muda di
Indonesia. It sounds like his life is going smooth, and he looks enjoy it.
On the other hand, tipe perahu kertas dikenal sebagai pemuda yang lebih
terbuka dengan opportunities yang mereka temui selama masa mudanya. Tak heran
kalau si perahu kertas memiliki lebih banyak mimpi dan terkadang berubah-ubah.
Karena banyaknya pengaruh dan kesempatan baru yang mereka temui selama masa
mudanya. Tipe anak panah mungkin paling tepat diasosiasikan dengan perjalanan
masa muda saya.
Setelah lulus kuliah, saya memutuskan untuk tidak berlama-lama membangun
karir di Jakarta. Penatnya Kota Jakarta saat itu, serta cerita keluhan teman-teman
dekat saya dengan pekerjaan serta kehidupan mereka membuat saya merubah semua
rencana. Rencana bisnis yang telah saya mulai dengan salah satu sahabat terbaikku
saat saya masih kuliah di UI harus ditunda. Hati saya berkata lain, saya begitu yakin
bahwa hasrat untuk melihat dunia yang lebih luas menjadi keputusan paling tepat
saat itu. Ya, travelling ke Australia sepertinya lebih menarik bagi saya. Padahal dulu
saya justru tidak pernah menjadikan Australia sebagai salah satu negara seksi untuk
dikunjungi. Itulah mengapa saya lebih cocok dikategorikan si tipe perahu kertas.

Sang “WHV” ers yang kutemui


Special thanks to Arek from Poland, Matthew from Holland, and Karim from
Argentina. Inilah mungkin yang dibilang selalu ada alasan dan connection dengan
siapa kamu bertemu. Ketiganya adalah para travelers yang datang ke Australia
dengan work holiday visa. Saya dan sahabatku Friska bertemu mereka di waktu yang
tidak bersamaan, dan berasal dari belahan dunia yang berbeda-beda pula. Namun
ketiganya berbagi pengalaman dan bercerita tentang program yang sama yaitu work
and holiday visa di Australia. Arek resigned dari pekerjaanya sebagai IT programmer
di Warsaw karena ia tidak menyukai pekerjaanya, dan hasratnya yang tinggi untuk
berkeliling dunia. Tidak jauh berbeda dengan Matthew yang berhenti menjadi
pasukan angkatan laut Belanda karena penasaran dengan keunikan benua Asia.
Sementara Karim yang hampir sama dengan saya, setelah lulus kuliah ingin
menikmati keindahan dunia sejenak sebelum kembali ke rutinitas normal yang sangat
membosankan katanya. Pengalaman mereka yang saya share ini, bukan untuk
meminta kamu keluar dari pekerjaanmu ya, tapi saya ingin berbagi cerita travelling
ala WHV. Program ini bisa jadi opsi lain buatmu. It’s never too late to start over. If you
weren’t happy with yesterday, try something different today.
Yap, terlihat sungguh menarik saya pun membuat rencana besar untuk
travelling ke Australia dengan visa ini. Mark Twain pernah bilang bahwa “ twenty
years from now you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the
ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade
winds in your sails. Explore. Dream. Discover.” Kapan lagi bisa berlibur, belajar, tinggal,
dan bekerja di Australia selama setahun pikirku saat itu.

Orang tuamu setuju?


Rencana working holiday ini mengejutkan ayah pada saat itu. Satu tahun di
Australia adalah waktu yang sangat lama pikirnya hanya untuk berlibur ke Australia.
Namun ibu terlihat lebih berbeda, beliau begitu yakin bahwa rencana ini adalah
rencana yang baik sebagai pembelajaran hidup selagi masih muda pikirnya. Ibu
merasa bahwa pengalamanku kelak di Australia bisa jadi bekal hidup yang baik
untuk saya. Sambil bergurau ia berkata, siapa tau jodohmu ada di Australia hehe..
Alasan yang saya sampaikan pada ayah saat itu adalah akan sangat baik
bagiku untuk belajar bahasa Inggris dengan tinggal di Australia, jauh lebih murah
daripada aku harus les di Jakarta dengan biaya yang sudah tidak masuk dalam
logikaku. Apalagi dengan kemampuan Bahasa Inggrisku saat itu, masih butuh waktu
yang lama untuk bisa lancar seperti halnya native speaker. Selagi masih muda saya
ingin melihat banyak peluang yang lebih luas lagi diluar sana. Peluang-peluang yang
mungkin bisa membuat saya lebih baik. Saya juga bilang bahwa saya ingin
beristirahat sebentar dari hiruk-pikuk kehidupan Kota Jakarta kala itu dengan
bermimpi untuk dapat berkeliling melihat si Australia dan bertemu orang-orang baru
yang lebih beragam lagi.
Kalau sekarang ayah bertanya kembali apa yang telah saya dapatkan selama
work and holiday di Australia, bisa jadi beliau mungkin tersenyum jika mengingat
segala ketakutannya saat itu. Sekarang justru ayah yang semangat untuk mendorong
kedua adikku mengikuti work and holiday di Australia.
Welcome to Straya, and the people are..
Kanguru, koala, daratan yang luas, opera house, Sydney, Melbourne, Tony
Abbott, Aboriginal people itulah yang ada di benak saya mengenai Australia saat itu.
Namun ternyata Australia is greater dari yang kubayangkan. Sama halnya dengan
negara maju lainnya, transportasi yang sangat modern, fasilitas umum yang sangat
baik, tata kota yang indah dan rapih, design gedung-gedung megah yang cantik,
aturan yang harus dipatuhi, semuanya melengkapi Australia sebagai negara yang
sangat menarik buatku. Tingkat kesejahteraan dan kedisiplinan disini sangatlah
tinggi, mulai dari aturan berlalu lintas maupun menggunakan fasilitas umum. Disini
ada yang namanya speed camera atau red light. Jadi, di beberapa bahu jalan biasanya
dipasang sign speed camera yang artinya tidak boleh berkendara melebihi maximum
kecepatan yang telah ditentukan di area tersebut. Dan jika melebihi batas maximum
yang telah ditentukan akan dikenai denda yang sangat besar. Karena kecerobohan
sebagai pendatang baru kala itu, akhirnya saya pun telah menyumbangkan kurang
lebih 1000 AUD kepada pemerintah Australia karena lebih dari 3 kali tertangkap speed
camera. Untungnya kejadian ini tidak pernah terulang lagi dan justru membuat saya
menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan apa saja disini. 1000 AUD untuk
ketidaksiplinan itu rasanyaaa..wow !
Beragamnya orang-orang yang tinggal di Australia, menjadikan negara ini
seperti jendela dunia bagi saya. I like to see the world by the eyes of others. It’s simply thing
because everyone has something special and has something to tell. Bertemu teman-teman
dari berbagai belahan dunia membuat pengalaman working holiday ini sangatlah
berwarna. Bahkan saya memiliki teman yang berasal dari salah satu bagian di Afrika
yang nama negaranya pun tak pernah kutahu sebelumnya. Satu hal yang saya pelajari
dari beragamnya teman-teman yang kutemui ini adalah kita tidak dapat
mengeneralisir karakteristik atau personality seseorang hanya berdasarkan dari mana
mereka berasal. Dengan bertemu teman-teman baru ini lebih memberi saya perspektif
luas mengenai dunia yang sebenarnya ada di depan mataku. Bertemu orang-orang
baru disini terkadang seperti lembaran baru buat saya, rasanya seperti lahir kembali
dan menentukan kepribadian seperti apa yang paling baik buatku. Bertukar cerita,
ide, saling bantu, having fun hampir semuanya kudapatkan dengan mudah di
Australia. Namun bukan berarti tiada dukanya yaa. Mungkin paling tepat jika
kukatakan, saya telah teredukasi dan juga ikut serta mengedukasi sekeliling dari
pertemuan dengan beragam teman-teman baru ini. Membuka pemikiranku terhadap
keberagaman, toleransi, dan juga menjadi tempat paling baik untuk memberi
informasi yang kupahami.
Tak heran, jika masih ada beberapa teman yang masih bingung tentang
Indonesia dan Bali (seperti : I am going to Bali soon, but wait If I have time, I will come to
your country (Indonesia) as well. Zzz Bali is part of Indonesia mate), atau tentang beberapa
kabar buruk yang mereka lihat dari media (She said “Indonesia? Ahhh I found so many
kids are smoking with their dads”. And I was like, whaat?). Hal-hal seperti ini justru
menjadi kesempatan baik buatku untuk menjelaskan, bertukar, dan memberikan
informasi yang benar dan baik tentang Indonesia. Namun, ternyata banyak juga yang
sangat mengagumi Indonesia disini (hal simple seperti : “Well, the best food ever is
Tempe Mendoan” one of friend from French said that. Or I do love your country, dangdut, yes
I love it). Well, bikin makin bangga sama Indonesia.
Rasa toleransi dan kebiasaan mengapresiasi sangatlah common di Australia.
Disini hal-hal kecil di sekitar kita perlu untuk diapresiasi sebagai bentuk kesadaran
diri kita akan anugerah Tuhan yang luar biasa. Be grateful for the little things, and watch
the big changes happen in our life. Apalagi toleransi beragama, saya merasa sangat
beruntung disini.
Well, I did aupair, volunteer di child care, bekerja di perkebunan pohon cendana,
cleaning offices and houses regularly, bekerja di mining camp, membersihkan hostels, tim
penolong masyarakat yang moving house, dan jalan-jalan.
Sepertinya terlalu panjang jika saya menjelaskan semua detail pekerjaan yang
telah saya lakukan di Australia. Oke, aupair? Kamu seperti kakak asuh untuk anak-
anak di sini. Program aupair sangatlah popular dibelahan benua Eropa seperti Jerman
dan Perancis. Tujuan utamanya untuk merasakan bagaimana tinggal dengan host
family dari kebudayaan yang sangat berbeda dengan budayamu. Oiya, program
aupair juga dijadikan sarana untuk belajar bahasa asing bagi para peminatnya. Kamu
tinggal setiap hari dengan native speaker yang memaksamu untuk berkomunikasi
dalam bahasa tersebut, dan juga tidak sedikit host family yang juga membiayai para
aupairnya untuk mengikuti course bahasa tersebut. Dulu host familiku adalah warga
Australia asli dari NSWyang menetap di kota Coffs Harbour yang terkenal dengan
rentetan pantai-pantai indahnya. Ayahnya adalah seorang dosen IT dan ibunya
adalah seorang pengacara, dengan 3 anak-anak lucu, Claire 11 yang hobinya menjahit
dan bermain net ball, Alexis 7 yang hobinya menggambar dan bernyanyi, dan juga
Aiden 6 yang hobinya bermain soccer dan mengumpulkan koleksi apa saja terkait
Rusia, he loves this country so much.
Oiya, saya memilih untuk tinggal dengan keluarga ini karena Alexis adalah
gadis lucu dengan kebutuhan khusus, ia tidak dapat berjalan normal, tubuhnya
lemas, ia juga tidak dapat berbicara normal seperti anak-anak pada umunya. Tapi dia
sangat istimewa, penyayang, dan sangat perhatian pada saya. Ternyata keputusan
saya memilih keluarga ini sangatlah tepat, banyak sekali hal yang saya pelajari di
keluarga ini. Belajar bagaimana keluarga ini sangatlah mengapresiasi apapun yang
mereka capai, belajar tenang dan sabar mendidik Alexis dengan kebutuhan
khususnya, belajar dan memahami betapa bertanggung jawabnya pemerintah
Australia dalam membantu anak-anak berkebutuhan khusus disini. Oiya, keluarga
ini memilih saya, karena mereka ingin anak-anaknya belajar toleransi beragama dan
menghadapi semua perbedaan yang ada. Mereka adalah pemeluk Christian sejati,
namun kami tidak pernah ada masalah terkait perbedaan agama ini. Justru semua
perbedaanya terlihat sangat indah dan bermakna. Bahkan Aiden adalah yang paling
rajin bertanya dan mengingatkanku untuk sholat, well done kids.
Tingginya angka anak-anak yang dititipkan di child care membuat bisnis ini
sangat potensial di Australia. Di “Little Hands Child Care” ini saya bekerja dengan
Samantha yang merupakan ownernya, Vanessa yang merupakan warga local Coffs
harbour dan juga Ale dari Brazil. Anak-anak di child care ini pada umumnya sangatlah
mandiri, mulai dari bermain, makan, ke toilet, dan juga tidur siang.
Disini saya mengajarkan beberapa kebudayaan Indonesia (request khusus dari
Samantha) seperti membatik, membuat wayang-wayangan, bernyanyi, dan juga
bercerita mengenai kebudayaan Indonesia. Salah satu hal yang lucu adalah ketika
saya menunjukkan peta Indonesia yang sangat dekat dengan Australia, Jacob (3 yo)
bilang bahwa sore itu setelah his mom pick him up, dia akan main ke Indonesia karena
ternyata dekat sekali lokasinya . Yang menarik lagi, di child care ini diberikan sesi
pemahaman mengenai perbedaan-perbedaan yang ada salah satunya tentang hijab
yang saya kenakan. Anak-anak lucu disini ada yang bertanya (Apakah rambutmu
basah? atau apakah kamu memakai hijab ketika tidur? Or my grandma has some scarfs
at home, do you want one Natasha? Menghabiskan waktu bersama anak-anak memang
tidak pernah membosankan, selalu saja ada cerita baru tentang imaginasi dan tingkah
lucu mereka. Dari pengalaman disini, saya merasa bahwa sportivitas,
kemandirian,dan keberanian individu untuk menyuarakan pendapat mereka telah
diajarkan sejak mereka kecil.
Selanjutnya saya bekerja sebagai catering utility di mining camp di Darwin.
Kurang lebih ada 3000 pekerja mining yang tinggal di camp ini, yang mana catering
service tempat saya bekerja menyediakan sarapan, lunch, dan dinner buat mereka
semua. Kebayangkan bekerja untuk jumlah orang yang sangat banyak rasanya seperti
apa? Baiknya bekerja disini adalah, semua prosedur, system, production process sudah
ada dan sangat teratur. Pihak management di tempat saya bekerja ini (Compass
Group) sangatlah bertanggung jawab dan peduli terhadap semua karyawannya.
Sebagai tambahan karena mayoritas para pekerja mining ini adalah kaum
adam yang masih muda, jadi tidak heran jika saya dan beberapa rekan selalu
bersemangat untuk kerja setiap harinya. Ditambah, keramahan orang-orang Australia
membuatmu merasa senang meski pekerjaanmu melelahkan. Menariknya di
Australia, kamu yang hanya seorang pelayan bisa duduk dan ngobrol asik dengan
bosmu, karena memang kebanyakan orang disini menganggap bahwa all of us is
equal ☺

Do what you want to do !


Sebagai minoritas di Australia tentu memiliki poin yang baik dan buruk. Point
buruknya adalah bisa jadi kamu mendapatkan beberapa pengalaman yang kurang
nyaman dari orang lain yang dikenal dengan “racism”. Ada sekitar 3 kali pengalaman
seperti ini yang saya dapatkan selama tinggal di Australia. Salah satunya adalah
ketika berkunjung ke Opera House, seorang pria datang kepadaku dan berkata “Your
religion is s**t, back to your country. And you, your people are terrorist”. Saya pun bingung
dan sedih pada saat itu, lebih merasa kaget dan tidak percaya kok bisa ya di Australia
ada orang seperti itu.
Well, they are everywhere, not only in Australia. Berhijab di negara multiculture
seperti Australia atau negara-negara lainnya adalah tantangan untuk saya, jadi justru
pengalaman-pengalaman seperti ini malah menguatkan saya dengan apa yang saya
percaya dan yang saya jalankan. Just show them that you care to listen what they are saying,
and respond it with love.
Suatu hari, selesai makan siang di Darwin CBD saya bergegas menuju mobil.
Seorang wanita Australian yang cantik dengan penampilan professional yang
menunjukkan ia bekerja di salah satu kantor disana tiba-tiba menghentikan langkah
saya. Dia tersenyum dan kemudian menyentuh dengan lembut hijab yang saya
kenakan. Dan dia berkata dengan sangat tenang “Kamu sangat cantik sekali dengan
hijabmu ”, dan saya tersenyum malu saat itu. Dia juga berpesan ”Don’t let anyone look
down on you, do whatever you want to do, wear whatever you want to wear”. Wanita ini
seperti menguatkan saya atas rights yang saya miliki, dan juga membuka mata saya
bahwa banyak sekali orang-orang positif yang juga baik disekitarmu.
Yuk selagi masih muda !
Well, pereferensi kamu pergi ke Australia, Amerika, Eropa bukanlah menjadi
masalah. Selagi kamu yakin bahwa banyak sekali hal-hal positif yang bisa kamu
lakukan selagi masih muda. Jangan lupa ya, kalau masa muda itu cuma sekali, dan
lakukanlah apa yang memang kamu ingin lakukan. Kalaupun gagal, kamu juga masih
ada waktu untuk bangkit dan berubah. Keep positive thinking guys.
Siapa tahu satu tahun berada di Australia bisa membantu kamu untuk
menentukan masa depan. Bisa membantu kamu untuk lebih menikmati hidup, belajar
banyak hal baru, membuatmu lebih memaknai hidup, lebih bersyukur dengan segala
yang kamu miliki, bertemu orang-orang baru, dan juga bisa membantu kamu
meningkatkan angka tabunganmu.
NONA FITRIA

My WHV Story
Sebenarnya saya sudah tahu tentang WHV dari tahun 2010, karena waktu saya
bekerja di Bali dan bekerja untuk sebuah agen migrasi Australia terdaftar dari tahun
2008 yang memiliki kantor pusat di Perth, WA. Waktu itu kuota masih 100 orang saja,
dan saya sangat tertarik untuk mengikutinya. Namun keinginan itu harus saya
pendam.
Pada tahun 2012, saya bersama sahabat saya tertarik untuk ikut program ini
karena kita ingin berkeliling Australia dengan campervan, menggantungkan “dream
catcher”di spion depan, berkemah ala pocahontas dan wuzzzzzzz keliling benua
kanguru didalam VW combi warna pink. Mungkin dia tidak sepinky saya, sudahlah
biasanya Tianri mau-mau aja hehe.
Saya ingat malam itu akan ada final piala sepak bola entah eropa apa dunia,
saya mengambil pesawat pagi jam 6 dari Bali, pesawatnya Mandala. Gak tau masih
hidup apa tidak itu penerbangan. Pagi itu hanya segelintir orang di dalam pesawat,
lebih banyak mbak-mbak pramugari dari pada penumpangnya. Saya terlelap sejam
kemudian sudah sampai di Jakarta, saya asing dengan kota ini karena tidak sering
main kesini, paling mengantar klien saja itupun tidak bisa berlama-lama. Saya
mengambil bis damri ke Blok M dan kemudian mengambil taxi ke Kuningan. Saya
sarapan di Mall depan kantor imigrasi, mencuci muka dan menelepon teman-teman
siapa tahu ada yang bisa diajak ketemuan.
Saya membantu teman saya untuk apply visa ini beberapa tahun lalu, dan dia
sudah kembali ke Melbourne untuk belajar. Dia bernama Erik. Saya menelepon dia
karena ingin bertanya dimana hotel terdekat untuk saya menginap. Saya bilang
bahwa saya sedang berada di seberang kantor imgrasi karena keesokan harinya saya
ingin antri pagi-pagi. Karena waktu itu kuota masih 100, jadi kalau tidak pagi nanti
ga kebagian, rugi dong udah terbang dari Bali. Erik bilang, ga usah cari-cari hotel mau
nginep! Temen-temenku yang dari Jakarta udah pada antri dari hari ini! Sana cepat
nyebrang dan ikut antri! Saya pun langsung samber tas dan tiba-tiba jadi pelari cepat,
naik jembatan penyebrangan dengan deru debu yang mengikuti dari belakang. Satu
jembatan pun bergoyang hebat karena saya larinya heboh. Sesampai disana memang
benar sudah ada beberapa teman yang mengantri, saya pun ikut panik dan bertanya
bagaimana prosedurnya tahun ini.
Mereka membuat daftar antrian, menulis nama mereka dan saya pun ikut
menuliskan nama saya dan duduk gemetar karena catching up my breath. Saya
berkenalan dengan mereka dan berteman baik sampai sekarang. Saya bertemu Citra,
Marisa, Melia, Bang Ijo, dan beberapa teman lainnya. Saya juga langsung
menghubungi sahabat saya untuk segera datang mengantri karena semakin sore
semakin banyak yang datang dan menulis nama. Beberapa jam kemudian sahabat
saya datang dan saya girang bukan kepalang, wah akhirnya kesampaian nih kita nanti
road trip keliling Australia.
Ternyata kabar antrian ini semakin berantai, gone viral, menjadi trending topic,
sehingga semakin malam semakin ramai yang datang sampai ratusan sampai hampir
terjadi keributan. Karena kertas yang tempat kami tulis nama tidak cukup
menampung nama kita semua. Banyak yang complain mengapa antri kok dari hari
sebelumnya, padahal pintu belum dibuka. Sampai akhirnya ada ibu-ibu yang datang
dan mensahkan kertas antrian sebagai urutan interview besok.
Malam itu sangat horror, seperti TKI di penampungan, ada yang membawa
tikar dan kardus untuk rebahan, ada yang ditemanin mamanya yang siap mensuplay
makanan, selimut dan kasih sayang. Kami mencoba membunuh waktu dengan
bermain kartu dan bercanda riang. Saya tentu saja tidak membawa apa apa, rebahan
di lantai depan kantor imigrasi berbantalkan ransel dan berteman dengan nyamuk
mencoba terlelap meski perut bernyanyi rap. Pak petugas keamanan menjadi
penyelamat, beliau memberikan nasi kotak sisa tahanan imigrasi yang ditahan di
ruang penjara imigrasi. Saya pun menyantapnya dengan khidmat.
Ketika pagi menyapa, petugas kebersihan dan keamanan menghalau kami dari
depan kantor imigrasi karena staff imigrasi mulai berdatangan dan perlu
menggunakan pintu yang dari tadi malam kita dudukin dan tidurin untuk akses
masuk ke kantor mereka. Kami dikumpulkan di lapangan belakang seperti mau
upacara apel senin pagi. Selang beberapa menit, staff imigrasi memberikan
pemberitahuan mengenai jadwal interview SRPI, dan saya bersyukur saya berada
dalam jadwal interview hari ini bersama sahabat saya. Saya melihat banyak muka-
muka yang kecewa dengan keputusan ini karena mereka tidak bisa interview pagi ini
atau nama mereka sudah lewat dari angka 100, saya berharap kuotanya dinaikkan
sehingga semua bisa pergi ke Australia.
Interview berjalan lancar dan saya bersama Tianri pulang ke rumahnya di
Bekasi. Tianri berkata bahwa rumahnya dekat, tapi ternyata jauh banget, sampai saya
ketiduran berjam-jam. Oh ini rasanya tinggal di kota besar, macet mulu. Begitu
bangun, sampai dirumah dan menonton tv, ada berita di TV tentang kemungkinan
kenaikan kuota. Wah semoga keajaiban ini benar-benar terjadi!
Setelah itu saya kembali pulang ke Bali keesokan harinya dan H2C menunggu
SRPI, seminggu berlalu, sebulan berjalan, dua bulan lewat, tiga bulan lewat lagi,
empat bulan menguap… lima bulan patah semangat. Sudah ah ga usah dipikirin. Saya
pun membuat rencana lain. Namun akhirnya di bulan Maret 2013 tepat setelah 8
bulan penantian, SRPI itu datang! Saya girang bukan kepalang. Saya pun mengajukan
aplikasi visa WHV ini dan aplikasi dikabulkan ada bulan Mei 2013. Bukan berarti saya
bisa langsung capcuzcin, saya masih punya komitmen dan janji di Bali yang harus saya
tepati. Saya pun menunggu sampai masa pengaktifan visa habis.
Saya berangkat WHV pada bulan Mei 2014 dan bertahan di belantara Kota
Sydney setahun penuh! Kenapa sih saya menjadikan Sydney kota impian saya?
• Sydney adalah pusat dimana everything is happening in Australia,
hustle bustle life for a busy bee like me!
• Sydney memiliki banyak Universitas, College dan sekolah paling
lengkap di Australia yang menawarkan program untuk siswa
international. Karena saya ingin berkarir dibidang pendidikan, saya
pilih Sydney karena ingin mengenal lebih dekat kampus-kampus di
kota ini. Membuka jaringan baru dan mencicipi rasanya sekolah di
salah satu kota paling keren sedunia.
• Sydney itu kota pelabuhan yang cantik, semua sudut kota ini
instagramable! Siangnya menggoda, malamnya menggairahkan.
• Sydney menawarkan 4 musim yang ciamik for a full luar negeri
experience bagi orang udik seperti saya. Cuaca bersahabat dan gak
labil-labil amat, summer nan hangat, autumn nan romantic, winter nan
dingin, dan spring yang cantik. Bisa kekinian pakai boots dan ganjen
pakai coat in the right time pastinya ya. Dan good mix between laid back
style dan smart casual. Karena saya mengincar pekerjaan kantor tapi
yang tidak strict banget aturannya.
• Sydney punya tempat-tempat keren yang bisa dikunjungi di satu
state. Mau salju ada Snowy Mountain dengan pilihan resort seperti
Mt. Selwyn, Thredbo dan Perisher. Kalau mau gurun sahara di Port
Stephen atau Anna Bay, mau air terjun dan caving ada Blue
Mountain, bahkan mau ke tebing khas kue pernikahan ada di
wedding cake rock yang fenomenal itu. Berendam di Figure Eight
Pool untuk weekend ini, atau mandi di kolam tepi pantai di Bondi
minggu depan. Saya sering bingung mau kemana karena saking
banyaknya pilihan.
• Tiap minggu selalu ada festival, minggu sebelumnya ada night
noodle market, minggu lalu ada wine cellar door festival, minggu
depan ada mardi grass. Minggu depannya lagi ada apa ya?
• Mau makanan Indonesia ada semua, dari yang rumahan, café,
warung, sampai restoran fine dining siap meredam gairah
kekangenan akan masakan bunda dan nusantara.
• Sydney memiliki tingkat multicultural paling tinggi di Australia,
setidaknya kalau saya belum bisa ke Bangladesh saya bisa ke
Rockdale dulu, atau kalau belum pernah ke Perancis kita bisa
mampir ke Leura di Blue Mountain. Mau ke China? Yuk ke
Hurstville! Sydney bener-bener merupakan kota di antara kota-kota
di dalam kota!
• Sydney menawarkan malam tahun baru paling megah dan meriah
sedunia! Sydney is the city of fireworks! Absolutely stunning night you
won’t forget, where all the blasting colours fill up our skies, the energy…the
passion we put into it, definitely will make you feel the multiple
fireworkgasm.
• Street musician and artist yang keren-keren bisa kita lihat di titik-titik
strategis seperti depan three wise monkeys, pojokan hydepark dan
starbuck, sepanjang sisi pelabuhan cirqular quay, sepanjang lorong
station central. Pastinya menambah romansa cinta bersemi di
Sydney. Lebay.
• Last but not least, bertemu banyak teman seperjuangan disini dan
kalian adalah kado terindah dari WHV

Sepertinya itu alasan-alasan utama saya memilih Sydney. Kok kayaknya cuma
ada bagus-bagusnya aja ya….sebenarnya ga mau bilang sih hihihhi.
• Sydney ga banyak bulenya hahaha, mental inlander banget seh.
Lebih banyak Asianya. Sering saya ditempat kerja kalau naik turun
lift penuh banget ada 12 orang di dalam. Bulenya cuma satu.
Akomodasi di Sydney mahal. Memang benar! Kalau mau hemat
harus berdempet-dempet sekamar berempat. Tidak ada komen
selanjutnya. Pindah suburb kalau mau murah.
• Air minum dari keran rasanya aneh kayak air kolam renang, sering
dulu minum air kolam waktu belajar renang jadi tahu rasanya,
terutama yang di city ya. Tapi yang disuburb okelah masih seger.
• Gaji di Sydney kecil! Yes, sad but true. Saya pikir itu karena
banyaknya tenaga kerja yang ada dan persaingannya ketat banget.
Tapi jangan lose hope, banyak WHV Sydneysiders yang dapat gaji
gede kok! Tergantung usaha, doa dan keberuntungan ya.
• Saya ingin punya kebebasan kemana aja tinggal naik motor, helm
pake ga pake, ke Indomaret pun kalau bisa naik motor hehe eh ga
da indomaret disini tapi ada seven eleven lah. Sayangnya biaya
motornya mahal, pajak, asuransi, dan aku gak begitu paham
aturan berkendara. Kebiasaan buruk nih! Pernah punya motor
beberapa bulan tapi takut ditilang, lebih sering dipinjemin ke
temen-temen motornya. Yah jadinya bergantung sama public
transport. Keretanya okelah tepat waktu tapi klo weekend suka ada
trackwork. Ngeselin deh. Jadwal bisnya juga suka ga jelas, kadang
ada banyakan tiada harapan. Pernah suatu malam kami nonton
film di suburb ga bisa balik ke city dong. Karena udah gak ada bis!
Harus jalan yang super jauh untuk dapatin bisnya. Sepanjang jalan
mengutuk diri sendiri!
• Rasisme itu ada. Jujur saya belum pernah dirasisin secara langsung
tapi lewat telepon pernah. Saya mengangkat telepon di kantor dan
kadang ada telepon salah sambung, sayangnya kadang mereka
tidak memahami Bahasa Inggrisku hehe. Mereka bilang ngapain
kamu kerja disini tapi ga bisa Bahasa Inggris, pulang sana! Mulai
nanya-nanya nama asliku, darimana asalku! Ah biarin aja gak liat
mukanya ini. Oh ya aku punya nama panggung macam artis, eh
nama English ding – Victoria biar mereka gampang ngertinya dan
aku tak perlu mengeja ; Fitria. Aku juga sering dengar di berita.
Ibu-ibu yang suka marah-marah di kereta dan menyerang orang-
orang yang tidak berkulit putih. Anak-anak muda yang
bergerombol dan menghina orang tua yang bermata sipit.
• Sydney is the capital of douchebags! Teman bilang, kita itu traveling
karena lari dari sesuatu/seseorang atau mengejar
sesuatu/seseorang. Well, tidak munafik aku ingin menemukan
cinta juga di Sydney. Dengan banyaknya pilihan pria saya jadi
bingung mau yang mana, halah kayak mereka mau sama kamu aja
non! I used to live with 2 other students from Malaysia and Vietnam, we
were once tinderellas, online platform made it easy for us to meet new
people. It turned out none of us lucky enough to meet the right person,
most of us came back with the same story – they are all douchebags! Lagi
apes kali ye…And my journey come to an end when one of my matches is
actually someone I know. Damn it! Kami bertiga waktu itu
mencanangkan Sydney adalah the capital of douchebag saking
keselnya dengan kehidupan asmara kami yang payah! Kita
kemudian mencari jodoh dengan cara orthodox, kenalan langsung
aja ya hahaha. Akhirnya saya bertemu seseorang yang merupakan
klien saya di kantor, saya bisa melihatnya secara langsung, tidak
perlu swipe kiri or kanan, langsung cipika cipiki aja. Plak! PS :
mungkin ada yang ketemu soulmate di online platform ya, good
on ya! Maaf gak bermaksud menyinggung.
• Gumtree pervert alert! Aku adalah pengguna gumtree sejati,
kerjaaan pertamaku kudapat dari gumtree, kerjaan sampingan
yang aku dapat dengan menjual diri, eh mengiklankan diri
hahahah macam ngajar, jaga toko keju, sampai kerjaan cleaning
dan baby sitting aku dapat dari gumtree! Tapi tidak semua respon
positif aku dapat dari sini. Selalu ada telepon atau sms yang super
aneh, biasanya diawali dengan ; Are you open minded? Do you want
to be my part time girl friend? Do you want to have fun and get paid? Do
you want to do a special cleaning job? – Yeah like only wearing a g-string
and stilettos?
• Ini yang terakhir yang saya ga suka banget – banyak orang aneh di
jalan-jalan pusat kota Sydney. Ada yang nungging ber-jam jam
sambil pegang botol kosong minta duit. Ada yang menggunakan
anjing untuk manipulasi belas kasihan (menurutku mereka ga
mungkin gendong anak-anak dan minta uang di lampu merah)
jadi sebagai gantinya mereka bawa anjing. Kasihan anjingnya
kan?
Udah ah kira-kira itu semua yang gak saya suka dari Sydney kalau banyak-
banyak nanti kalian maalah gak mau ke Sydney hihi. Tapi ya gini love and hate
relationship itu yang bikin saya betah disini. Dulu waktu WHV dan waktu balik ke
Australia juga pilih balik ke Sydney! Saat ini saya tinggal di Suburb sekitar 20 menit
dari pusat kota. Home sweet home, always welcome untuk siapa saja yang baik baik dan
ga rese. Yang mau crash on beberapa hari sambil nyari tempat yang lebih permanen
bisa hubungi saya ya sapa tahu pas ada yang kosong atau ga keberatan di sofa– lewat
couch request! *wink
Sampai jumpa di Sydney!

KHARIS KURNIADY

Sobat WHV-ers dimana pun anda berada, nama saya Kharis Kurniady dari
Bandung. Profesi saya sebagai juru masak di Indonesia sejak tahun 2011 saat saya
menjalani masa training dari perkuliahan perhotelan di Bandung. Beberapa kegiatan
lain yang saya senangi adalah travelling walau belum terlalu banyak tempat yang saya
kunjungi. Saya juga punya hobi berkenaan dengan sepeda motor dan touring.
Pertama saya tahu WHV dari kaskus tahun 2011, waktu itu kuotanya maksimal
100 peserta per tahun. Saya berencana mengajukan whv ini tahun 2012, tapi karena
satu dan lain hal saya tidak jadi mengajukan visa pada waktu itu. Setelah melihat
kondisi pada saat itu untuk pengeluaran surat rekomendasi dari imigrasi tak kunjung
keluar hingga sampai akhir tahun sempat tidak terpikir untuk mengajukan whv lagi.
Setelah februari 2013 ternyata ada kabar dari teman saya yang mendapat surat
rekomendasi dari imigrasi dan dinyatakan kuota per tahun untuk Indonesia naik
menjadi 1000 peserta. Setelah mendengar kabar tersebut langsung saya membuat
persiapan untuk mengajukan visa ini, dimulai dari uang jaminan dan segala bentuk
transkrip nilai dari kampus. Singkat cerita bulan juni 2013 saya mengajukan dan
granted bulan agustus 2013.
Mei 2014, Sydney adalah kota pertama yang saya datangi sampai akhir masa
whv selesai. Saya datang saat winter baru mulai yang kata orang lagi sepi kerjaan, tapi
yang namanya rejeki, kerjaan itu tetap bisa didapat selama usaha dan pantang
menyerah.
Minggu pertama saya dapat kerjaan di cafetaria sebuah kampus ternama di
Sydney sebagai juru masak. Sebuah pengalaman yang menarik karena di tempat ini
menjadi pembuka mata pertama kali yang menunjukkan perbedaan kualitas hasil
pekerjaan yang diminta oleh seorang bos di Australia. Walau pun saya memiliki
pengalaman bekerja di dapur profesional di Indonesia, tetapi saya cukup terkejut saat
masuk ke dapur sebuah cafetaria yang notabene dapurnya cukup mungil. Tidak
bertahan lama di tempat tersebut saya keluar di hari ketiga bekerja dan tentunya
tanpa upah. Saya ambil sebagai harga saya belajar pertama kali.
Setelah itu mencoba peruntungan di tempat lain lagi. Saya melamar pekerjaan
secara online ataupun drop resume ke tempat – tempat yang dinilai potensial, tetapi
nihil hasil. Pernah satu kali saya mendapat panggilan lewat telepon, disini
kemampuan bahasa Inggris saya ternyata konyol sekali, pertama yang saya tidak
perhatikan adalah, karena terlalu banyak lamaran yang saya kirim, saya tidak tahu
tempat mana yang menelepon saya dan kedua saya tidak bisa menangkap apa yang
mereka katakan di telepon sama sekali. Alhasil tolakan lagi yang saya dapatkan dan
dari situ saya mulai belajar mendengar via telepon melalui call center kartu sim.
Selama menunggu saya kerja serabutan, cleaning apartemen, removal, tentu
saja sambil drop resume ke beberapa tempat. Satu hari saya tiba di daerah Darling
Harbour, saya mulai drop resume. Saat saya masukan resume ke salah satu restoran,
saya keluar dari restoran tersebut, ada seorang pramusajinya berlari keluar
memanggil saya, dia bilang Executive Chef nya ingin bertemu, saya langsung
bersemangat, dan puji Tuhan setelah wawancara, saya dapat kesempatan trial satu
hari dan akhirnya saya dapat pekerjaan di tempat tersebut selama lima bulan sebagai
line cook.
Pekerjaan yang kedua saya di Novotel Sydney Central sebagai seorang commis
chef, saya dapat rekomendasi dari teman yang bekerja disana pada waktu itu yaitu
Benz Satrio Utomo. Saya bekerja selama 6 bulan di tempat ini sampai visa saya
seminggu sebelum kadaluwarsa. Pengalaman yang tak akan pernah terlupa di tempat
ini, saya bekerja sebagai breakfast chef. Pada saat bulan desember bisa dikatakan
sedang high season, okupansi hotel tinggi. Setiap hari ada sekitar 600-800 pax tamu
yang datang untuk breakfast, hanya saya dan Benz yang mengerjakan semua itu.
Terlebih saat malam tahun baru, kami pergi menonton acara kembang api, karena
memang kota Sydney terkenal dengan new year eve firework-nya. Kami menonton
hingga subuh dan kami harus mulai kerja jam 5 pagi.
Selama whv ini saya berkesempatan mengunjungi kota Canberra
menggunakan bus antar kota saat winter. Kota ini dingin banget, waktu malam bisa
sampai -7'C. Saya juga pergi ke Melbourne menggunakan sepeda motor, jaraknya
kurang lebih 1000 km, ditempuh dalam waktu 12 jam, berangkat pagi sampai sore,
karena tidak direkomendasikan berkendaraan saat malam hari. Lalu saya pergi ke
Darwin menggunakan pesawat, pertama menginjak kota ini terasa seperti tidak di
Australia, iklim dan kondisi kotanya jauh berbeda dengan daerah selatan. Kemudian
saya ke Gold Coast dan Brisbane menggunakan mobil bersama teman-teman, kita
sewa mobil beramai-ramai, dikenal dengan rute East Coast-nya, Sydney – Coffs
Harbour - Gold Coast – Brisbane. dan cukup banyak tempat di Sydney yang bisa
dikunjungi.
Ada suka duka yang saya dapat dari work and holiday ini. Pertama, gue dapat
pengalaman yang benar-benar baru baik secara pekerjaan, pergaulan dengan orang-
orang dari seluruh dunia, dan petualangan baru. Kedua, rekening tabungan terisi
secara signifikan. Ketiga, mendapat teman-teman baru dari tanah air tercinta maupun
dari negeri orang. Untuk dukanya, yang pasti jauh dari keluarga dan sangat terasa
saat jatuh sakit.
Bagi kalian yang baru memulai petualangan whv-nya, ada beberapa anjuran
nih dari saya, tetapkan dulu tujuan mengikuti program ini untuk apa, dari sini kita
bisa memilih kota dan kapan berangkat ke negeri kangguru ini. Untuk yang mungkin
tidak punya kerabat di negeri kangguru jangan khawatir karena sekarang di setiap
tempat bisa dibilang selalu ada komunitas whv, apalagi di kota-kota besar di
Australia.
Untuk memilih kota, disarankan untuk mengetahui cuaca , kapan low/high
season, sistem transportasi dan biaya hidupnya. Untuk yang berencana punya
kendaraan atau mau sewa untuk road trip sebaiknya membuat SIM internasional di
Jakarta.
Pengaruh whv untuk saya pribadi cukup besar, pengalaman di Australia
cukup membuka mata saya bagaimana satu negara bisa menjadi besar karena
ketertiban, pembangunan dan disiplin yang mereka terapkan di negeri mereka. Saya
bekerja menjadi lebih disiplin karena tidak bisa bermalas-malasan / curi-curi waktu
untuk istirahat karena bayaran disini per jam, saya bekerja lebih efektif, menghargai
hukum dan lebih waspada di tempat kerja. Membuka relasi dan wawasan ketika
memiliki teman dari negara lain tentang budaya mereka.
Terima kasih, sekian sepenggal cerita dari kisah whv saya.

Kharis Kurniady ( 8 Mei 2014 – 7 Mei 2015 )

EFI YANUAR
Panggil saya Efi. Sebelum berangkat ke Australia dengan Work and Holiday
Visa (WHV) saya bekerja di sebuah media ekonomi berbasis di Jakarta. Setelah
beberapa tahun bekerja kejenuhan pun timbul. Penyebab utamanya adalah gaya
hidup yang terlampau monoton.
Informasi mengenai WHV saya dapatkan dari seorang teman pada awal 2013.
Sekilas saya memahami tentang program ini. Setelah mencari tahu lebih lanjut saya
teringat akan seorang pejalan muda yang pernah bersinggungan jalan di Thailand.
Dia pernah ke Australia dengan WHV dan saat itu ia sedang menikmati jerih
payahnya dengan berkeliling Thailand.
Dengan segala informasi yang saya dapat akhirnya keputusan pun dibuat:
WHV adalah jalan buat saya untuk keluar dari zona kejenuhan. Selain itu, program
ini memungkinkan saya untuk menjadi perantau garis miring ekspatriat di negara
orang. Kesempatan ini tentunya tidak akan disia-siakan begitu saja.
Ibu tidak terlalu senang dengan pilihan yang saya buat. Rezeki ada di mana
saja tidak hanya di Australia, respon beliau atas alasan saya mau mencari uang lebih
di benua kangguru tersebut. Beliau benar juga, tapi, toh, hidup yang saya jalani adalah
milik saya sendiri jadi, ya, dilanjutkan saja niatnya.
Jauh sebelum mengajukan visa, ibu kembali mempertanyakan apa yang akan
saya lakukan untuk bertahan hidup. Dengan "nakal" saya menjawab menjadi tukang
cuci piring, tukang bersih-bersih, tukang pel, tukang buang sampah, sampai jadi
pengasuh bocah. Kenakalan saya tersebut membuat muka ibu berubah menjadi
masam. "Aduuuhhh, nanti apa kata orang? sarjana, kok, kerjanya kayak begitu. lebih enak di
sini, kan?"
Tanpa disadari oleh ibu saya pernyataannya di ataslah yang memantapkan niat
saya untuk merantau. Menempatkan pandangan orang lain (yang biasanya selalu
negatif) sebagai salah satu faktor pertimbangan mengambil keputusan adalah hal
yang bodoh. Saya sudah hapus hal itu dari kehidupan saya. Tidak ada satu orang pun
yang bertanggung jawab atas hidup saya kecuali saya sendiri.
Terlahir dalam keluarga berdarah minang, mau tidak mau saya dekat dengan
istilah merantau. Kakek saya merantau sejak usia muda ke Jakarta dari desanya yang
sekarang hanya berjarak tiga jam dari ibu kota provinsi Sumatera Barat. Ia bertahan,
bahkan mampu menghidupi keluarga kecilnya dengan layak. Ayah saya pun
merantau saat bertugas menjadi abdi negara. Sepupu-sepupu saya pun tidak
ketinggalan merantau sejak usia awal 20-an yang pada saat itu saya masih meminta
uang bulanan untuk kuliah.
Pasangan saya pun seorang perantau. Sudah bertahun-tahun ia hidup di tanah
orang. Rintangan yang dihadapinya di jalan membentuk dirinya menjadi seorang
pribadi yang menarik. Melihat banyaknya pengaruh tersebut, saya pun ingin
menyandang status perantau. "Merantau itu urusan laki-laki," kata ibu saya. Sekali
lagi dia menambahkan "bensin" sehingga niat merantau justru makin berkobar
menyala.
Sebesar apapun niat yang saya punya, rasa was-was tetap saja timbul. Sempat
khawatir apakah saya bisa bertahan. Kekhawatiran saya saat itu karena jumlah uang
tunai di kantong sangat minim. Saya takut kelaparan. Rupayanya saya bernasib baik,
semesta mendukung harapan, tidak pernah sekalipun saya kelaparan. Setiap hari
saya selalu bisa makan walau hanya berbekal makanan hampir kadaluarsa yang
dijual di jaringan supermarket dengan harga sangat murah.
Selama masa perantauan di Australia saya banyak menghabiskan waktu
bekerja di sektor perkebunan. Pengetahuan saya tentang berkebun garis miring
bertani tidak ada. Hanya tahu nama segelintir tanaman gara-gara sering belanja ke
pasar. Itu sudah. Tetapi peluang bekerja di sektor ini tidak bisa dipandang sebelah
mata, mengingat pertanian termasuk salah satu penyokong perekonomian Australia.
Melihat pengaruh eknominya yang cukup besar, maka tidak heran kalau sektor ini
diusahakan untuk selalu bertahan dalam kondisi apapun.
Salain itu, yang menarik dari sektor pertanian adalah kebutuhannya akan
sumber daya manusia yang tidak sedikit terutama pada masa panen. Jumlah
penduduk Australia yang tidak banyak ditambah penduduknya yang tidak begitu
tertarik berlelah-lelahan bekerja di sektor ini (sama saja seperti di negara manapun)
maka peluang bagi pemegang WHV untuk mendapatkan pekerjaan cukup besar.
Maka dari itulah saya terus-terusan berkutat dengan tanah, debu, dan matahari.
Sudah menjadi rahasia umum kalau bekerja di Australia memberikan peluang
untuk membengkakkan rekening tabungan. Duit adalah salah satu penguat mental
saya untuk bertahan di Australia. Kebetulan saya memiliki sebuah proyek jangka
panjang yang membutuhkan modal tidak sedikit. Saya hanya bekerja sembilan bulan
di tempat yang memberikan upah menarik, meski demikian target nominal dapat
terlampaui.
Pertemuan pertama saya dengan industri perkebunan Australia adalah dengan
memetik cherry. Waktu kedatangan saya yang berdekatan dengan musim panen
cherry membuat saya bisa dikatakan mudah mendapatkan pekerjaan. Minggu ketiga
di Australia saya memutuskan untuk pergi ke pusat cherry Australia yaitu Young,
NSW. Saya bekerja hanya sebulan karena memang hanya selama itulah musim panen
cherry.
Minggu pertama bekerja saya rasanya mau menyerah. Musim panas Australia
bukan sebuah lelucon, kadang mencapai 40 derajat celcius. Dalam kondisi sepanas itu
saya harus berada di kebun memetik cherry, belum lagi ditambah keranjang yang
harus dipanggul untuk menampung cherry petikan. Kadang saya terbayang adegan
film 12 YEARS A SLAVE soal buruh yang berpanas-panasan memetik kapas.
Selesainya musim cherry saya pun mengucapkan salam perpisahan kepada
Young. Mobil saya pacu ke titik perkebunan Australia lainnya, Griffith, NSW. Nasib
baik belum berpihak pada saya. Gara-gara saat itu berdekatan dengan perayaan natal,
jadilah banyak perkebunan yang libur panjang sampai akhir tahun. Ketika
mengetahui masa liburan telah selesai, saya pun melancarkan strategi jemput bola
dengan berkeliling Griffith mengetuk setiap pintu perkebunan berharap mereka
membutuhkan pekerja. Nihil.
Proses pencarian peruntungan pun lakukan saat berkumpul dengan pejalan
yang saya temui. Selama sebulan pertama di Griffith saya mendirikan tenda area
perkemahan gratis yang dipenuhi banyak pejalan yang juga mencari pekerjaan.
Biasanya ketika malam tiba saat banyak dari mereka yang sudah pulang bekerja dan
berkumpul. Saya pun ikut nimbrung, bukan sekadar mengobrol sambil makan malam
tetapi pertemuan ini biasanya diisi dengan bursa transfer pekerjaan.
Begini, sektor perkebunan memiliki turn over pegawai yang cukup tinggi.
Pejalan yang bekerja di satu tempat tingkat loyalitasnya terkadang sebatas seberapa
besar bayaran yang bisa mereka dapatkan. Jadi kalau saya mendapat pekerjaan yang
memberikan upah lebih menarik pasti akan melepaskan apa yang dipunya saat ini
dan biasanya pekerjaan lama itu akan saya tawarkan kepada teman-teman. Nah, saya
pun berharap mendapat limpahan pekerjaan juga. Beberapa kali saya mendapatkan
peruntungan dari pertemuan ha-ha-hi-hi itu.
Tidak hanya itu, kadang saya juga mendapat tips untuk mendapatkan
pekerjaan. Seorang pejalan asal Perancis pernah menyarankan untuk menulis
BACKPACKER NEEDS JOB CONTACT 0405xxxxx pada selembar kertas dan
tempelkan di kaca mobil. Kemudian parkirlah mobil di pusat kota seperti, taman,
perpustakaan, juga supermarket di mana banyak orang berseliweran. Cara tersebut
bekerja untuknya, tetapi tidak buat saya.
Saya pun disarankan untuk datang ke working hostel. Biasanya penyedia jasa
akomodasi ini bekerja sama dengan pemilik kebun sebagai penyuplai tenaga kerja.
Pucuk dicinta ulampun tiba, saya mendapatkan pekerjaan untuk tiga bulan di pabrik
beras.
Bosan menyandang predikat pekerja musiman, saya bertekad mendapatkan
pekerjaan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Bisikan saya didengar semesta,
setelah musim panen beras selesai saya mendapatkan pekerjaan di kebun ubi.
Menariknya di kebun ini saya bisa bekerja dalam musim apapun. Saya berhenti hanya
karena masa berlaku visa habis.
Pengalaman bekerja di perkebunan membuat saya lebih disiplin dan awas
dalam bekeja. Dikarenakan kami bekerja dengan sistem bayar per jam maka ada
standar tertentu yang harus dicapai sesuai dengan upah yang didapat. Kalau saja
kami terlampau lambat maka tidak segan-segan pak bos akan memberi kata-kata
"cinta" seperti, "hari ini terakhir kamu kerja di sini ya!". Nah, ketakutan akan dipecat
inilah yang membuat saya harus bekerja sungguh-sungguh. Makanya tidak heran
kalau banyak pekerja perkebunan yang hanya memiliki tingkat adaptasi tinggi.
Diajari sebentar langsung bisa.
Bagi saya sendiri, pelajaran terpenting dari bekerja di sektor pertanian adalah
betapa "kejam" hidup ini. Terkadang sebaik apapun pribadi kita tetapi bisa saja
dinomorduakan gara-gara penampilan fisik yang dianggap kurang sedap dipandang
mata.
Pernyataan saya itu memiliki alasan yang kuat loh. Selain bekerja memanen
saya juga pernah bekerja di tempat penyortiran dan pengepakan hasil pertanian.
Tempat pengepakan adalah tempat yang kejam bagi produk pertanian "buruk rupa".
Bagaimana tidak, saat mengepak kami harus benar-benar jeli memisahkan
hasil pertanian yang busuk dengan tidak. Bukan hanya itu, tetapi kami juga harus
menyortir produk yang layak masuk katagori kelas satu (premium) dan kelas dua.
Biasanya pembagian kelas ini dikarenakan bentuk buah atau sayur yang ajaib, warna
yang tidak sempurna, dan atau ukuran yang abnormal.
Terkadang saya tertawa melihat para pemegang predikat kelas dua tersebut.
Penampakan mereka terlampau lucu bagi saya.Sayangnya, bentuk yang lucu tersebut
tidak membuat mereka mearik dari segi ekonomi. Kenapa? karena mereka dianggap
tidak laku di pasaran gara-gara mereka aneh. Tidak jarang, gara-gara penampilan
mereka tersebut mengakibatkan nasib mereka terhenti di tempat sampah.
Saya pernah berkomentar kepada teman kerja, “loh walau bentuk mereka aneh
begitu, mereka, kan, tetap saja makanan. Sayang sekali kalau sampai dibuang!”
Tahu kah apa yang dijawab teman kerja saya saat itu?
“Oke! Coba sekarang kamu ke supermarket, pasti kamu akan menyeleksi
sebelum membeli. Kamu pasti mempertimbangkan bentuk sayuran yang kamu mau
beli. Kalau aneh sedikit saja pasti tidak kamu beli. Orang lain pun seperti itu.”
Tidak hanya di dunia manusia, ternyata penampilan memainkan peranan
penting di dunia pertanian. Dan, kita-kita jugalah yang menjadi penyebabnya. Oh iya,
terkadang ada yang menjual komoditas pertanian yang berbentuk aneh itu loh. Tentu
saja dijual dengan harga murah.
Gara-gara pekerjaan ini, saya pun bertekad untuk tidak terlalu kejam saat
meyeleksi produk pertanian saat belanja untuk konsumsi pribadi. Kecuali mereka
busuk, saya tidak peduli dengan bentuk dan penampakan luar lainnya karena mereka
pada hakikatnya adalah buah dan sayuran yang layak dimakan.
Sebagai pekerja lapangan sudah tentu banyak energi yang harus dikeluarkan.
Pengalaman saya dengan sektor perkebunana ini juga membuat saya lebih menaruh
empati pada petani, lebih khususnya yang ada di Indonesia. Sebatas pengetahuan
saya masih banyak petani yang bekerja secara tradisional tanpa bantuan mesin
pertanian yang mapan seperti di Australia. Sudah pasti tenaga yang mereka harus
keluarkan lebih besar dari apa yang sudah saya habiskan.
Rasa salut saya seketika meroket saat saya bekerja di kebun bawang bombay.
Masih dalam musim panas yang mencapai 40 derajat celcius di pedalaman NSW, saya
hanya sanggup bekerja dua hari. Apa pasal? Sungguh pekerjaan yang terlihat hanya
mencabut bawang dan memotong akar serta pucuk daunnya itu bukan hal mudah.
Prinsip saya adalah seberat apapun pekerjaannya akan dipertahankan asal
bayarannya menarik. Memanen bawang sangat jauh dari prinsip saya tersebut.
Setelah berlelah-lelahan selama sembilan jam saya hanya mengontongi AUD 50.
Kejadian itu membuat saya menahan tangis. Sedih tidak hanya karena saya
menghasilkan sedikit uang, tetapi juga teringat akan para petani bawang di Indonesia.
Sudah pasti mereka lebih sedih dari saya saat harga jual bawang yang terpuruk,
sementara mereka sendirilah yang bekerja menanam, merawat, dan juga memanen.
Angkat topi untuk para petani yang terus bekerja dalam kondisi apapun.
Sekarang, setelah perantauan di Australia selesai, saya berterima kasih pada
diri sendiri yang telah membuat keputusan tepat dan tidak menyia-nyiakan
kesempatan yang berlaku sekali seumur hidup tersebut. Saya bahagia karenanya.
Benar itu apa kata si pembuat pernyataan "lakukan apa yang bisa kamu lakukan sekarang,
karena bertahun-tahun yang akan datang kamu akan menyesali karena tidak pernah
melakukannya". Hidup pun cuma sekali, toh?
Selamat membuat keputusan dan menikmati konsekuensinya!
Work and Holiday Visa or Working Visa

ARIP HIDAYAT
Aku mengetahui WHV pada tahun 2010 dari grup Backpacker Dunia. Namun,
Aku tidak optimis untuk mendapatkanya karena syarat harus memiliki tabungan
uang sebesar lima puluh juta rupiah dirasa terlalu berat. Akan tetapi aku ingin
mencoba, maka dari itu aku berusaha keras mengumpulkan uang dengan cara kuliah
sambil bekerja sebagai pencetak kerupuk sekaligus kasir di usaha bapak. Dari situ aku
belajar mengelola uang dan bisa menabung sedikit demi sedikit. Selain itu, bahasa
inggris menjadi tantangan cukup berat, dua kali tes Toefl hasilnya jelek. Pada tes
ketiga lah, aku berhasil mendapatkan nilai yang lumayan. Beruntungnya gelombang
55 masih boleh menggunakan TOEFL sebagai syarat memiliki kemampuan bahasa
inggris, jadi biaya tes tidak terlalu mahal.
Dukungan dari orang tua tidak sepenuhnya kudapatkan. Bapak sepertinya
tidak suka dengan keputusan ini. Sebagai anak pertama, aku diminta mengurus
pabrik kerupuknya setelah lulus kuliah, tapi aku berpikir lebih baik aku belajar
banyak hal terlebih dahulu di negara maju seperti Australia.
Aku yakin work and holiday ini merupakan kesempatan bagus yang tidak
boleh dilewatkan untuk perkembanganku di kemudian hari. Apalagi jika aku terjun
sebagai entrepreneur “Akan kujadikan kesempatan ini untuk menggali ilmu dan aku
ingin melihat seberapa mampu aku bekerja dengan baik dibawah pimimpian seorang
bos.” Oleh karena itu, aku memutuskan untuk bekerja selama setahun di Australia.
Pada tanggal 10 agustus 2015 aku berangkat ke Darwin, Northern Territory,
Australia. Aku memilih Darwin karena tiketnya lebih murah, rate gajinya tinggi, bisa
bekerja di farm dan persainganya tidak terlalu ketat.

Darwin, Northern Territory


Mencari pekerjaan di Darwin susah-susah gampang. Katanya, jika datang saat
wet season, harus lebih bersabar untuk mendapatkan pekerjaan dan jam kerja yang
diberikan tidak akan sebagus saat dry season yang biasanya antara bulan Mei-Oktober.
Kehidupan awalku di Darwin banyak dibantu oleh Pak Rudi, warga negara
Indonesia yang aku kenal lewat grup WHV Indonesia. Beliau menawarkan tempat
penginapan, memberi pekerjaan cleaning rumah dan tempat gym. Jadi cukup untuk
menutup kebutuhan awalku. Aku juga diajak bantu-bantu event konsulat dalam
rangka memperingati kemerdekaan NKRI.
Setelah sepuluh hari aku baru mendapatkan pekerjaan di restuarant sebagai
kitchen hand atau pencuci piring dari website Gumtree. Bagaikan doaku dikabulkan,
Tempat ini sangat berkesan untuku karena di sana aku begitu dididik untuk bisa
melakukan banyak hal, budaya kerjanya bagus, dan belajar dari worker behaviour.
Bosku seorang Asian yang tak pernah ragu untuk mengajariku banyak hal,
workmateku juga kebanyakan Asian yang menyenangkan, setiap hari aku bahagia
bekerja dengan mereka.
Restaurant berada di CBD Darwin, dimana selalu sibuk saat breakfast and lunch,
setiap harinya buka dari jam 6 pagi – sore. Biasanya aku kerja mulai dari jam 9 pagi –
closing atau kadang sesuai permintaan. Seminggu aku kerja selama 5 atau 6 hari.
Jarang sekali aku mendapatkan libur pada hari Jum’at karena pada hari itu hampir
semua restaurant akan sibuk oleh pengunjung.
Bekerja di Australia dibayar perjam, maka setiap detiknya harus berguna.
Meski begitu ternyata bekerja di Australia itu menyenangkan. Dari mulai hal
sederhana, seperti ketika tiba di tempat kerja. Para pekerja biasanya saling menyapa ,
"hi happy boy, morning happy boy, how are you today, do you want coffee?".
Saling menyapa ini membuat suasana hati lebih nyaman dan dapat
berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Contoh lainya ketika aku terlihat sibuk atau
kesusahan mengerjakan sesuatu, teman kerja sering bertanya, "Are you alright? Are
you ok?" Itu semua terasa seperti basa-basi, namun bagus untuk mencairkan suasana.
Pekerjaan utamaku adalah mencuci piring. Bedanya bekerja dengan Asian
yaitu kalau bisa bekerja dengan cepat dan mampu mengerjakan banyak hal, mereka
bisa jatuh cinta. Disela-sela mencuci piring yang begitu banyak, aku sering diminta
mengupas kulit bawang bombai, kulit wortel, kulit pepaya, kulit telor, kulit boiled
prawn, kulit jeruk, slice ham, memotong pig leg, packing barang yang datang, belum
lagi kalau closing, termasuk membereskan meja dan kursi di luar dan terakhir ikut
membersihkan dapur.
Dalam seminggu ada hari-hari dimana café tidak begitu ramai pengunjung,
sehingga headchef selalu memintaku pulang lebih awal. Aku tak bisa menolak karena
statusku adalah pekerja casual. Sedangkan kalau kapal pesiar datang ke Darwin,
seharian aku akan sibuk hanya mencuci piring.
Aku bersyukur karena aku tak pilih-pilih kerjaan, bahkan pekerjaan rendahan
sekalipun pernah aku lakukan. Bedanya di Australia ini memungkinkan untuku
belajar dari dasar mengenai bisnis di Negara maju karena digaji dengan sangat baik.
“Sepertinya aku kuat untuk kerja malam.” Kemudian aku mencari lowongan
pekerjaan di Gumtree. Lagi-lagi pekerjaan yang kudapat adalah kitchen hand di
sebuah Resort. Restoranya tidak terlalu sibuk dan pekerjaanya jauh lebih mudah. Cuci
piring, membuat garlic bread dan cleaning area kitchen.
Semakin hari jam kerjaku berkurang banyak saat wet season datang. Setelah
berpikir keras, Aku memutuskan pergi ke farm. Aku mendengar bahwa aku bisa
bekerja 6 hari dalam seminggu dan jam kerjanya bagus.
Aku berpamitan ke semua pegawai di tempat kerja pertamaku, tapi aku kabur
tanpa berita di tempat kerja keduaku. Sampai headchefnya memaki-maki diriku di
telpon.

Pekerjaan Farming Begitu Menantang


Singkat cerita aku tiba di Kota Katerine yang berada di selatan kota Darwin.
Sore hari aku dijemput para pekerja farm yang baru pulang bekerja. Aku
mendapatkan sebuah kamar. Malam harinya orang-orang sibuk di dapur sedang
memasak. Aku pergi ke sana karena sudah lapar. Kebanyakan dari mereka adalah
orang Timor-timor yang bisa mendapatkan seasonal visa, semacam visa yang
diberikan kepada mereka untuk bekerja di bidang pertanian saat panen apapun.
Tentu saja beberapa dari mereka adalah orang Indonesia.
Ternyata semakin larut malam, aku sudah tak bisa sabar lagi. Esok hari adalah
hari pertama aku bekerja dan harus mempersiapkan bekal. Untuk masak nasi saja luar
biasa lamanya. Setiap orang ngantri menunggu giliran. Beberapa kali lampu padam
karena dua microwave digunakan berbarengan untuk memasak nasi. Aku sudah agak
jengkel.
Subuh, mandi dan mempersiapkan bekal. Dibutuhkan satu jam perjalanan
menuju perkebunan yang saat itu akan digarap. Pekerjaanya adalah memasang irigasi
dengan cara merapikan dan mengunci selang air agar tidak berpindah-pindah dengan
menancapkan besi yang berbentuk seperti kail pancing ikan. Pekerjaan ini
menuntutku untuk berdiri, memindahkan ranting yang berserakan, berpindah line,
dan berjongkok memasangkan besi di tanah yang keras. Awalnya aku bisa mengikuti
ritme kerja, menjelang smoko atau sarapan pada jam 10 pagi, rasa haus begitu tak
tertahankan lagi. Sedangkan air minum berada di mobil yang selalu mengikuti
pekerja dari batas sisi perkebunan, cukup jauh dengan posisiku. Begitu ada
kesempatan aku lari sekencang-kencangnya dan minum sebanyak-banyaknya,
hingga aku sesak dada dan muntah air.
Semakin siang udara terasa semakin panas, jika dilihat di layar handphone
suhu mencapai 39 derajat. Tenggorokan begitu kering, bukan hitungan menit tapi
detik. Rasanya saya ingin menggendong tabung air dan menghisapnya terus
menerus. Cuaca kala itu membuatku merenung dan berpikir keras tentang
perjuangan hidup.
Ketika sedang bekerja teman kerja di resort menghubungi dan menceritakan
tentang headchef yang marah. Aku meminta maaf dan menjelaskan bahwa aku hanya
memiliki kesempatan setahun di Australia, aku ingin banyak menabung uang. Aku
bertanya jika aku kembali ke Darwin, apakah bisa bekerja kembali. Tak lama
kemudian dia memberi kabar kalau aku diperbolehkan kembali bekerja.
Setelah berpikir keras, akhirnya aku memutuskan untuk kabur dari farm pada
esok harinya.

Memulai Kembali
Aku menghilangkan rasa malu ketika kembali kerja malam di resort, headchef
menyambut kedatangan dengan candaan. Aku juga meminta jadwal lagi ke restaurant
dan mencoba mencari pekerjaan lain.
Temanku Didik memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya di Tenant
Creek dan datang ke Darwin. Banyak sekali pekerjaan yang dia lamar, membuahkan
hasil. Salah satunya, ketika dia melamar pekerjaan sebagai sushi chef, dia diminta
datang wawancara dan membawa orang Indonesia lainya. Setelah mendengar itu,
aku pun ikut denganya untuk melakukan wawancara. Padahal sebelumnya aku
sudah melamar pekerjaan itu juga.
Manajer yang mewancarai kami adalah orang Indonesia. Dia menjelaskan
bahwa status pekerjaan yang ditawarkan adalah casual worker, gaji yang diterima
$23.6 pada weekdays, $28 pada hari sabtu, $35 pada hari minggu dan 2 kali lipat saat
public holiday. Siapa yang tak tergoda dengan semua itu? Apalagi pekerjaan ini
membuat sushi, artinya ada skill yang akan kudapat.
Pada 14 desember 2015 merupakan hari pertamaku menjadi sushi chef. Aku
sama sekali tidak memiliki pengalaman mambuat sushi bahkan tidak pernah makan
sushi sebelumnya. Sushi Izu merupakan sushi bar yang berada di dalam supermarket
Woolworth yang tersebar di Australia. Sushi bar ini baru meluaskan pasarnya ke NT
pada tahun 2015 dan kebetulan saat itu wet season (sepi kerjaan) jadi aku beruntung
sekali mendapatkan pekerjaan ini.
Seminggu training aku banyak banget melakukan kesalahan karena grogi,
sampai aku menjatuhkan pisau dan mata pisaunya menusuk kaki. Setelah pulang ke
rumah aku melihat darah kering dan luka tusukan yang sedikit dalam. Dalam
membuat sushi, pisau tajam merupakan hal yang sangat penting, jadi jangan ceroboh
dengan yang namanya pisau. Aku hampir menyerah dan ingin berhenti. Namun,
setelah training usai, aku merasa lebih baik karena bekerja dengan seorang leader dan
4 pekerja yang semuanya termasuk karyawan baru.
Di sisi lain Didik tidak menerima pekerjaan ini karena alasan tertentu. Dua
minggu kemudian dia memutuskan untuk pindah ke kota lain, dia juga memberikan
pekerjaan malam sebagai kitchen hand di Aiport Tavern yang lokasinya tak jauh dari
rumahku. Setiap harinya Airport Tavern membutuhkan seorang kitchen hand. Ada
seorang student yang hanya bisa bekerja empat hari karena tidak boleh bekerja lebih
dari 20 jam. Kutawarkan diri untuk bekerja pada weekdays dan dia dapat bekerja
pada weekend yang rate gajinya berbeda, tentu dia senang mendengarnya.
Bagaimana dengan pekerjaanku di resort sebelumnya? Karena wet season aku
menawarkan bekerja saat weekend dan headchefku setuju karena yang aku lihat
restaurantya hanya rame saat weekend. Aku hanya bisa berusaha memberikan jalan
keluar yang terbaik. Aku selalu mencoba berpikir bagaimana jika aku berada di posisi
dia. Aku tahu sangat susah mengatur jadwal dan bekerja di saat sepi pengunjung itu
bagiku serba salah.

Bekerja di 3 Hingga 4 Restaurant


Sejak desember aku bekerja di tiga tempat, jika dihitung dalam seminggu
pekerjaan malam sebanyak 20 jam dan di Sushi aku selalu mendapatkan 38 jam kerja,
kadang lebih. Sushi chef adalah pekerjaan utama yang tidak mau aku lepas. Dua
bulan jadwal kerjaku selalu mulai dari jam lima pagi dan selesai jam dua siang.
Kerja jam lima pagi artinya paling pertama datang ke toko. Hal pertama yang
harus aku lakukan adalah mencuci beras dan memasak nasi di dua rice cooker besar.
Selama menunggu aku harus memasak tempura prawn, chicken katsu, crab,
menghitung sushi yang tak terjual dan membuangnya, mengecek suhu penyimpanan
barang, menyiapkan coaping board, menata sushi ingredient, menata meja kerjaku,
melapisi bamboo math dengan pelastik wrap, mengatur alat pengecek PH, membuat
cairan sanitaizer dan semua pekerjaan itu harus selesai kurang lebih satu jam, hasilnya
harus kutuliskan di form perusahaan.
Sejam kemudian pekerja kedua datang dan nasi matang, lalu dipindahkan ke
wadah besar dan dicampur dengan vinegar (vinegar yang sudah diracik perusahaan).
Akupun harus memasak nasi sebanyak 2 rice cooker lagi. Tiga puluh menit kemudian
aku harus mengecek PH nasi untuk mengetahui kadar vinegar yang bercampur
dengan nasi apakah sesuai ketentuan atau tidak agar tidak mudah terkontaminasi
bakteri dan hasilnya dituliskan ke dalam form. Jika tidak dan diketahui orang
perusahaan, maka semua sushi bisa dibuang.
Pekerja kedua sudah mulai membuat sushi dari brown rice, sedangkan aku
mulai membuat menu salad. Salad itu dinamakan summer roll, bentuknya seperti
spring roll tapi ukuranya lebih besar. Awalnya membuat summer roll begitu sulit,
semakin lama aku semakin tahu teknik membuatnya agar lebih gampang. Aku
bertanggung jawab terhadap urusan nasi, dua pekerjaan aku harus lakukan
berbarengan. Jika summer roll selesai, maka aku berpindah membuat sushi.
Selama dua bulan pekerjaanku selalu seperti itu. Bulan-bulan berikutnya,
karena manejerku mendapatkan laporan kalau kerjaku cepat, maka aku selalu mulai
kerja jam 6 pagi dan khusus membuat sushi. Perusahaan akan memberikan jadwal
jam 5 pagi kalau ada pekerja baru. Aku harus mentrainingnya, karena aku dinilai
mampu melakukan semua tugas.
Aku tidak mau dibilang bahwa aku lebih baik dari mereka. Aku justru senang
karena dari situ aku dapat mengerti bahwa semua orang itu punya kapasitas masing-
masing. Aku sudah terbiasa bekerja cepat di rumah dan aku melakukan yang terbaik
untuk diriku sendiri. Secara tidak langsung, aku pun mendapatkan hasilnya. Manajer
selalu memberikanku jadwal weekend dan public holiday.
Kerja di suhsi bar kadang ribet juga, aku dituntut untuk memperhatikan
kebersihan. Pernah suatu ketika, aku ke toilet untuk buang air kecil. Ketika selesai
dari toilet, si Top Manajer supermarket keluar dari toilet dan melihat aku jalan keluar.
Beberapa menit kemudian leaderku menegurku “Arip, lain kali kalau kamu ke toilet itu
setelah melakukan apapun harus cuci tangan.” Aku merasa malu dengan kejadian itu.
Sebenarnya sebelum masuk area toko, pekerja diwajibkan cuci tangan sebelum
mengerjakan sesuatu, jadi kupikir aku tak perlu cuci tangan dua kali; di toilet dan di
toko. Kejadian ini kadang menjadi ejekan buat temen lainya.
Bisa dikatakan aku memiliki hari yang menyenangkan bersama workmate di
sushi, bahkan kami sudah seperti keluarga. Mereka mengatakan aku ini gila, konyol,
lucu dan banyak mengetahui berbagai hal. Jika aku mengobrol dengan teman dari
jepang ya seputaran kartun, soundtrack kartun, bahkan kami suka bernyanyi lagu
Doraemon ketika membuat sushi. Teman dari korea kaget karena aku banyak tau
tentang korea gara-gara drama. Teman dari Taiwan malah heran aku bisa tahu
beberapa kata dari bahasa daerah. Sampai saat ini komunikasi kami masih terjaga
dengan baik dan itu merupakan suatu keberkahan untukku.
Bulan april tiba-tiba bosku di restaurant mengirimkan pesan melalui whatsapp,
dia menanyakan kapan aku mau balik lagi ke tempatnya. Awalnya aku jawab
kemungkinan tidak bisa, kemudian aku tulis pesan baru, kalau aku bersedia kerja dua
hari dalam seminggu. Ternyata dia pun setuju dengan hal itu.
Aku kembali bekerja di restaurant, aku merasa beban kerjaku banyak sekali
melebihi sebelumnya. Apalagi beberapa minggu lagi sudah termasuk dry season. Dari
mulai cleaning besar-besaran, merapikan stok barang datang, dan diajari pekerjaan-
pekerjaan lainya.
Hal yang paling memuakan adalah giliran closing kitchen, aku harus mencuci
piring kotor ditambah dengan peralatan masak besar-besar dan banyak. Mencuci dan
menata atau mengembalikan barang ke tempatnya. Setelah itu harus membersihkan
mesin cuci piring dan lantai. Kantong-kantong sampah yang besar dan berat harus
dibuang, lantai yang banyak makanan dan kotoran lain pun harus dibersihkan,
pekerja yang lain sudah pulang, aku sendiri dalam sepi dan kelelahan.
Tiga bulan aku bekerja tanpa day off, terkadang aku mengeluh tapi aku pun
sayang melepasnya. Aku berusaha menyemangati diri dengan mengatakan “ah, ini
cuma beberapa bulan sebelum pulang. Aku harus kuat!” bisa dikatakan aku sudah
mencapai titik kebosanan dalam bekerja. Seringkali aku meminta pulang lebih awal
atau ngedumel ketika bekerja. Rasanya sudah malas memegang air lagi.
Aku sering merasakan tangan merekah akibat banyak main air di sink yang
bentuknya sudah seperti kuah soto lemak, mendapati luka-luka kecil di tangan seperti
luka gores dan luka irisan pisau sudah biasa. Terkadang disela-sela kuku terasa sakit
ngilu kemudian mengeluarkan nanah, rasanya gatal dan sakit. Setiap hari menyentuh
air dan menata peralatan yang masih panas (60-90 derajat) sehingga tanganku pun
menjadi kebal.
Setelah enam bulan aku kerja di sushi, aku memohon untuk bekerja sampai
visa berakhir yaitu sampai satu setengah bulan berikutnya (14 Desember 2015 – 30 Juli
2016). Aku tidak mau kerja full seminggu sebagai tukang cuci piring lagi. Aku
memohon dan akhirnya karena manajernya orang Indonesia, aku pun diperbolehkan
bekerja sampai akhir July.
Bulan juli pula aku diliputi kebingungan, restaurant ingin memberikan
sponsor. Bosku membuatkan janji agar aku bisa mengobrol dengan pengacaranya.
Bosku kecewa dan marah karena aku gampang sekali berubah pikiran, hari ini iya,
lima menit kemudian bisa tidak. Seminggu sebelum pulang aku menemuinya,
bagaimanapun dia sangat menginspirasiku. Aku ingin menjalin hubungan yang baik,
siapa tahu jika aku nanti kembali untuk sekolah, aku bisa mendapatkan pekerjaan
darinya.
Social Life
Kehidupan whv di Darwin salah jika dikatakan tidak menikmati hidup karena
kebanyakan untuk bekerja. Semakin lama banyak anak-anak yang mendapatkan whv
memilih Darwin. Ada 7 orang tinggal satu kosan, jadi rame banget. Kita sering
undang teman-teman lainya. Masak, makan, hang out, dan tertawa terbahak-bahak
sampai jadi pusat perhatian orang lain rutin dilakukan. Di Darwin juga aku pergi ke
clubbing beberapa kali untuk mengetahui bagaimana kehidupan malam. Jika
berkumpul dengan anak WHV obrolanya kerjaan terus; berapa jam kerja, sharing
kerjaan, persoalan di tempat kerja atau drama-drama di tempat kerja yang kadang
lebih menarik dari sinetron India. Ketika ada kesempatan untuk berlibur, kami sering
pergi ke Litchfield National Park dan Berry Spring atau nongkrong di Casuarina
Shoping Centre.
Aku salut sama teman dan diriku sendiri, kerja 8 jam lebih masih bisa hangout
gila-gilaan. Pernah aku pulang clubbing jam 2 pagi, sedangkan jam 4.30 pagi aku
harus berangkat kerja hingga jam 2 siang. Sorenya jam 6 aku harus bekerja lagi hingga
jam 10.

Advice
Selama kita mampu berbuat yang terbaik, lakukan! Jangan merasa rugi, karena
jika hari ini kamu tidak dibayar untuk itu, banyak cara Tuhan melebihkan rezekimu
dengan cara yang lain. Bekerja dengan baik, menciptakan nilai dirimu dan petik
hasilnya kemudian.
Jangan berpikir mereka memanfaatkan atau mengeksploitasi tenagamu,
selama tugas itu membuatmu belajar hal baru, lakukan! Karena bos ataupun rekan
kerja akan senang mengajarimu skil lainya.
Bermimpilah yang mulia dan berdoa. Percaya bahwa Tuhan akan
mengarahkan jalan untuk meraihnya. Segala rintangan dan kejadian membuat kita
menemukan impian itu. Jangan berkecil hati terhadap kejadian-kejadian yang tidak
enak, bisa jadi kamu tidak berjodoh pada sesuatu hal atau waktu belum berpihak
kepadamu. Kejadian itu hanya menunda kamu agar kamu bisa menemukan hal yang
tepat di kemudian.
Sebisa mungkin jauhkan sikap iri hati, jika kamu tidak mendapatkan seperti
yang orang lain dapatkan pada kesempatan ini. Kamu bisa mendapatkanya pada
kesempatan yang lain. Berusaha terus mengembangkan potensi diri.

DIDIK SYAMSUDIN

Perkenalkan nama saya Didik Syamsuddin. Sebelumnya saya adalah guru


tetap yayasan di madrasah ibtidaiyah. Jadwal mengajar hanya empat hari dalam
seminggu dan mengajar dari jam 7 sampai 12 siang, perdatang Rp. 10.000. Jadi
seminggu pendapatan saya dari mengajar adalah 40 ribu. Biaya bensin motor
seminggu lebih dari Rp. 50.000. hehe. Tapi alhmdulillah saya menikmati pekerjaan
tersebut karena bagi saya mengajar adalah kewajiban bagi orang yang berilmu.
meskipun saya hanya berilmu sedikit sekali, saya tergerak untuk mengajar dan tidak
melihat berapa banyak uang yang saya dapat. Selain mengajar saya juga seorang
petani dan peternak, kesibukannya sama seperti sebagian besar masyarakat desa
yaitu mengurus sawah, sapi dan lain-lain. Hidup sederhana dan tenang di lingkungan
desa. Tapi. Semua berubah semenjak monster luar angkasa menguasai desa. Dan
ultraman tidak sanggup mengusirnya. Hahaha..
Takdir membawa saya untuk berpetualang di Australia. Pertamanya saya
hanya ingin backpackeran keliling Indonesia. Menjelajahi indahnya alam Indonesia
dengan tanpa modal. Untuk biaya hidup, saya pikir bisa didapat dengan bekerja apa
saja asal halal di tempat yang saya singgahi di Indonesia. Manusia sudah terlahir
dengan garis nasib dan rezekinya masing-masing. Ayam saja tidak berpendidikan
tapi masih bisa hidup setiap hari tidak pernah merasa kelaparan, apalagi saya yang
sudah memakan bangku sekolah dasar sampai sarjana, masak harus takut kelaparan
karena tidak medapatkan rezeki.
Saya suka jalan-jalan ke tempat baru yang belum pernah disinggahi, dan
keinginan ini semakin kuat setelah saya menghadapi masalah rumah tangga yang
rumit dan berakhir dengan perceraian. Sebelum hasil sidang perceraian diputuskan,
keinginan saya semakin kuat untuk mbambong (berkelana) dengan mantan istri yang
waktu itu masih berstatus istri. Terlalu rumit dan mbulet. Bangun tidur pagi hari itu
sudah beda dengan hari-hari sebelumnya karena saya sudah berstatus cerai. Takdir
berkata lain. Apa boleh buat, manusia hanya berkewajiban berusaha dan Tuhan yang
berhak menentukan. Singkat cerita pas saya baca-baca di internet tentang jalan-jalan
keliling Indonesia sambil bekerja, saya masuk ke sebuah artikel yang berisi tentang
jalan-jalan sambil bekerja di Australia yang ditulis oleh Pratiwi Hamdana. Cling! Otak
saya mulai berpikir lebih keras, ini nih yang saya cari. Jalan-jalan sambil bekerja di
Australia. Informasi yang lebih top markotop dari apa yang saya harapkan
sebelumnya yang hanya jalan-jalan di Indonesia. Waktu kuliah saya memang bercita-
cita kuliah di Australia. WHV ini beda dengan beasiswa kuliah, kita tidak harus ribet-
ribet ‘belajar.' Sayang dilewatkan, ibarat sayur tanpa garam. Hidup kalian terasa
hambar tanpa merasakan sensasi whv-an di Australia dimana kesempatan ini hanya
bisa kalian peroleh sekali seumur hidup.
Saya berangkat ke Australia hanya bermodal $AUD 1000. Bisa dibilang pas-
pasan. Kos-an aja minimum $AUD 100 seminggu. Namun waktu menginjakkan kaki
di darwin saya langsung cari kerja, apa aja asal halal dan bisa menutupi biaya hidup
di Darwin. Pekerjaan pertama saya adalah cleaner di gym. Setelah dua kali bekerja
atau tepatnya setelah seminggu di Darwin, saya mendapatkan pekerjaan dan harus
pindah ke Tennant Creek. Remote area yang berjarak sekitar seribu kilometer dari
Darwin. Saya bekerja sebagai allrounder di outback caravan park. Allrounder itu
kerjanya menjaga caravan park, apa saja yang terjadi di caravan park itu menjadi
tanggung jawab saya. Apapun yang bos suruh, saya harus lakukan meski kadang
kerjanya bukan di caravan park. Kebetulan yang punya caravan park bisnisnya
banyak, si suami punya perusahaan kontraktor membuat beton dan perpagaran di
NT dan si istri yg punya airport mini di kota ini.
Dua bulan berlalu dan saya dapat tawaran jadi tukang jagal sapi di perusahaan
daging halal Queensland. Tiket pesawat dan lain-lain ditanggung agent penyalur
kerja, asik dong pikirku. Berhentilah aku dari caravan park dan pindah ke Darwin
untuk mendapatkan berkas yang harus saya bawa ke Charleville, Queensland.
Sebulan di Darwin saya mengikuti serangkaian jadwal dan proses pemeriksaan
dokter, menguras tenaga dan biaya yang juga tidak sedikit. Sebulan tanpa
pemasukan dan hanya pengeluaran di Australia, bisa dibilang tekor. Saya pun
berangkat ke Queensland. Tiket pesawat dan biaya mendapatkan berkasnyapun
diganti oleh si agen penyalur tenaga kerja, sekitar $AUD 1000.
Ketika tiba di Charleville, Queensland di rumah temannya si agen tadi, dia
bilang kalau saya belum bisa kerja, harus menunggu sertifikat dari dokter dan
meskipun bisa kerja itupun hanya seminggu karena segala aktiftas perusahaan akan
diliburkan selama sebulan dalam rangka natal dan tahun baru. Duaaarrr....
Hancur hatiku berkeping-keping, jadi artinya saya harus menunggu bulan
berikutnya untuk bekerja. Sedangkan uang saya sudah running out. Lowongan
pekerjaan di sinipun sulit karena remote area, dimana penduduknya sama sedikitnya
dengan penduduk di Tenant Creek. Ya sudahlah, mungkin bukan rezeki.
Dengan penuh drama akhirnya saya kembali ke Darwin menggunakan uang
sendiri. Kenapa saya bilang penuh drama, karena di saat itu saya tidak punya apa-
apa. kerjaan gak ada, uang juga tidak ada. Sedangkan saya ada di kota kecil antah
berantah. Tapi Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan menolong saya melalui tante Rika
dan Arip yg meminjamkan uang untuk tiket pesawat dan lain-lain. Sekembalinya dari
Quenslands, di Darwin saya mendapatkan pekerjaan sebagai kitchen hand di Airport
Tavern. Pemasukan mingguan saya anggap kurang karena jamnya sedikit dan saya
kesulitan mencari second job di bulan desember. Akhirnya saya putuskan mencoba
bekerja farming di Katherine.
Drama kedua setelah halal meat company dimulai. Kerja di farm NT pada
bulan desember panas banget, dan kerja di farm itu benar-benar di porsir kerja kita
tiap detiknya. Di hari pertama kerja saya sudah separuh mati, berat banget jenderal.
Bener kata temenku, farm itu kerjaan nomer sekian jika sudah tidak menumukan
pekerjaan lain lagi. Penyesalan pun datang karena waktu itu saya sudah ada
penghasilan mingguan dari restoran, karena merasa kurang sayapun mencoba
peruntungan di farm ini yang menjanjikan jam banyak. Bener jam kerjanya banyak,
tapi saya tidak kuat berpanas-panasan sambil bekerja rodi. Gajinya pun lebih kecil
dari kerjaan saya yang sebelum-belumnya. Hanya karena jam kerjanya banyak saya
mau kerja di sini. Malam harinya setelah hari pertama kerja saya telpon Arip (my
guardian angel). Curhat ngalor-ngidul dan saya bilang gak ada uang dan terpaksa
kerja gini, mau berhenti kerja tapi baru sehari. Ya sudah, saya ikuti saja apa yang
takdir kehendaki.
Besoknya sepulang kerja, bos bilang kalo saya suruh siap-siap mau
dipulangkan ke Darwin. Artinya saya dipecat. Inilah pemecatan
yang mengbahagiakan. Doa saya terkabulkan. Saya tidak ingin lagi kerja rodi
ginian, cukuplah dua hari kerja farming meski tanpa gaji. Bersyukur kepada Allah
karena saya telah dikeluarkan dari tempat yg terkutuk itu (lebay. hahaha)...
Saya pun tiba di Darwin lagi, dan saya pulang ke Indonesia untuk istirahat dari
dua hari perang di farm yang sangat tidak enak sekali. Rasanya seperti dua hari di
neraka. “Ya allah.. hamba tidak sanggup berada di nerakanya dunia ini, apalagi di neraka
yang sesungguhnya di akhirat kelak. Tapii hamba juga tidak pantas berada di surga-mu. Oleh
karena itu pantaskan hamba berada di surga. amin...”
Setelah dua bulan di Indonesia. Saya kembali ke Sydney, Australia. Konon
kabarnya banyak kerjaan di sana. Bener apa yg konon dikatakan. Kerjaan di Sydney
banyak, tapi gaji perjamnya bikin ngelus dada. Sudah biasa dapat di atas 20$/jam, di
Sydney hanya 17.26$/jam. Itupun sudah lumayan dari pada temen-teman lain yg
kerja dibayar 10-14$/jam. Setidaknya lumayan lah dari pada kerja di farm.
Seminggu di Sydney, Jane yaitu bos saya yang memiliki caravan park atau
tempat saya bekerja sebelumnya menelpon, kala dia lagi butuh org. tanpa banyak
bicara saya mengajukan diri bagaimana jika saya aja kembali bekerja di sana. Diapun
mngatakan iya dan meminta saya datang secepatnya jika ingin bekerja kembali.
Empat bulan saya tinggalkan dan awal maret 2016 saya kembali bekerja di Tenant
Creek sampai visaku berakhir. Gaji 23$/jam, free akomodasi/transportasi dan jam
panjang. alhmadulillah banyak dolar yg sy dapat di sini.
Saya tidak pernah secara sengaja berlibur di Australia, karena saya ingin fokus
mencari uang. Tapi alhamdulillah karena drama yang terjadi saya jadi tahu
Katherine, Charleville, Brisbane dan Sydney.
Buat calon whv, tidak usah khawatir berapa banyak bekal ke Australia, tapi
perbanyaklah bekal doa tulus orang tuamu.
ZAM ZAM SUGIRA - MAKASSAR

Ujian sejarah akan mulai sebentar lagi, pagi itu sudah aku siapkan sebaik-
baiknya. Beruntung Tuhan beriku bekal ingatan kuat, hampir tiap baris kuingat
semuanya. Sambil melewati kebun dan sawah warga, aku menuju sekolah. Saat itu
aku duduk di SMP kelas 2, aku tinggal di desa kecil, tiap hari harus berjalan kaki
menuju sekolah, tidak jauh hanya 30 menit. Banyak yang membahagiakan hati tinggal
di desa, namun jika aku ingat lagi, hal-hal baru yang bisa aku dapatkan atau pelajari
jika aku tinggal di kota mungkin akan lebih banyak dan akan lebih cepat kuketahui.
Aku merasa beruntung punya kesempatan dalam hidup dilahirkan di desa,
kalau tidak, mungkin saja aku tak mampu memiliki mimpi yang tinggi seperti
sekarang. Keterbatasan keadaan yang pernah kutemui adalah pemicu besar untuk
membuat dan merilis mimpi-mimpi yang kupunya. Lahir dari keluarga yang
sederhana membuatku harus sedikit bersabar dengan yang namanya bersenang-
senang. Orang tua tidak punya agenda tahunan untuk liburan, hidupku tak se-fun itu.
Dari kecil aku ingin sekali naik pesawat. Aku sangat pandai berimajinasi
sambil memikirkan hal-hal yang ingin kulakukan di kemudian hari. Beranjak besar,
kuliah hingga kerja, ternyata Tuhan belum mau mengabulkan mimpiku untuk
berkendara dengan pesawat, padahal aku akan senang walau hanya 45 menit saja.
Makassar adalah kota dimana kuhabiskan banyak waktu, bekerja, komunitas,
bergaul, pacaran, ini dan itu. Aku sangat sibuk dengan rutinitas. Pagi hingga malam.
Mencari uang hingga lupa jalan-jalan.
Semesta bagiku adalah kawan abstrak yang begitu dekat. Jangan sebut aku gila
jika sempat kau lihat aku bicara sendiri. Mungkin aku sedang curhat dengan semesta.
Dia adalah pendengar yang baik dan juga penyemangat. Dan mungkin dukungan
semesta sebenarnya adalah aku sendiri dari alam bawah sadar.
Mengetahui program Working Holiday Visa di Australia di tahun 2013, oleh
postingan rekan di social media. Segera ku japri temanku itu. Bertanya ini dan itu,
hingga aku memulai mencari-cari beberapa artikel di internet. Ternyata masih banyak
hal yang perlu dilengkapi, salah satu yang terberat adalah bukti kepemilikan dana
sebesar AUD 5000 untuk proses pembuatan visa. Aku ingin, semua proses adalah
hasil usahaku sendiri. Setelah menghitung-menghitung uang tabungan yang bisa
kupunya dari gaji bulanan kala itu. Akhirnya target yang kutentukan adalah bisa
berangkat ke Australia di tahun 2017,
Namun Tuhan dan semesta ingin aku merilis mimpi ini lebih awal, di agustus
2015 akhirnya aku memegang Visa bekerja dan berlibur. Ibu membantu untuk
kebutuhan dana yang diperlukan, hanya curhat saja dengan ibu saat itu dan beliau
dengan cepatnya mendukung dan membantu kekurangan biaya.
Pertama kali merasakan naik pesawat yaitu saat ke Jakarta untuk kebutuhan
interview visa, well this is the fact.. it sounds so udik, Kadang aku merasa poor untuk hal
ini tapi aku punya kesyukuran yang besar dari apa yang telah aku punya. Aku sudah
punya alasan kuat untuk bisa resign dari tempat kerja yang setelah dua kali pengajuan
pengunduran diri sebelumnya ditolak oleh atasan. Kutetapkan berangkat di tanggal
tiga November 2015 setelah usai bergabung di sebuah event literasi di Ubud, Bali. Aku
habiskan waktu seminggu di Ubud, dan kusebut itu adalah bukan transit biasa.
Kota pertama yang aku tempati dalam perjalanan ini adalah Perth, Australia
Barat. Aku yang bukan traveler hanya modal berani, bahasa Inggris seadanya,
beberapa dollar uang dan juga teman yang sudah siaga di bandara menjemput,
Umroh Rani namanya, kami memegang jenis visa yang sama. Ia juga telah membantu
mencarikan kamar kost, kebetulan yang punya kontrakan juga dari Indonesia.
Letaknya sedikit jauh dari Perth CBD namun lokasinya juga bagus untuk mencari
kerja.
Perfeksionis adalah sifat yang aku bawa sejak dulu, semuanya harus tampil
diatas standar, mengerjakan sesuatu penuh totalitas, memukau dan melakukan
apapun harus sempurna. Selain perfeksionis, aku juga mudah merasa anxious, worry
too much yang bikin aku gampang sakit kepala. Karena melihat uang yang aku punya
perlahan keluar untuk kebutuhan makan dan kontrakan sedangkan sampai hari
kelima pun aku belum temukan sebuah sinyal tempat kerja perdana. Khawatir
dengan kehidupan aku selanjutnya di negeri orang seperti apa, hidup sudah sehemat
mungkin, makan pagi siang malam hampir sama, nasi dan abon yang kubawa dari
Indonesia seberat 2 kg. Berjalan dari ujung ke ujung Victoria Park menyebar CV dari
toko, café, resto dan segala macam. Hari ke tujuh pun aku bertolak ke daerah
Northbridge untuk menyebar CV. Northbridge bisa dikatakan sekumpulan orang
Asia ada disana, restaurant Chinese, Thailand, dan Indonesia ada disana. Dan
akhirnya aku bertemu dengan Manise Café, café yang menyuguhkan aneka minuman
dingin dan juga makanan ala Indonesia Timur. Aku disambut hangat oleh Ci Susi dan
juga Ko Ben, tepat hari itu aku di minta untuk datang besok hari untuk mulai kerja.
Aku bekerja di bagian belakang, keterbatasan bahasa buatku belum percaya
diri untuk berbicara dengan customer yang datang. Akhirnya kumemilih menjadi
kitchen staff, mencuci piring dan juga bantu Ko Ben masak. Lumayan kerja di tempat
itu, setiap pulang bisa bawa satu menu makanan. Tubuh yang biasanya kerja kantoran
kemudian langsung nyebur ke kerjaan yang lebih mengandalkan otot, badan serasa
remuk tiap saat setiba rumah. Walau sudah bekerja di Café itu, aku pun tidak berhenti
mencari pekerjaan yang lebih baik di situs www.gumtree.com.au, sebuah one stop
website yang punya banyak pilihan, salah satunya bisa untuk mencari kerja di
Australia.
Tak jarang adegan drama menghiasi hidup di awal-awal perjalananku ini.
Pertanyaan batin “kenapa gue ngelakuin ini?” selalu muncul, kadang juga bingung
kenapa aku mau memilih hidup seperti ini, setelah itu menertawakan diri sendiri.
Niat utama ke Australia dengan Visa Bekerja dan Berlibur adalah aku ingin
mencari uang, mengumpulkannya dan kembali ke Indonesia untuk membuka sebuah
bisnis kecil-kecilan, sudah malas menjadi karyawan di Indonesia. Hidup serasa habis
di kantor, penghasilan kecil, dan waktu berkualitas bersama orang terdekat sangat
minim.
Di hari ke-tujuh aku bekerja di Manise café, membuat aku drop. Tiba-tiba
vertigo muncul dan tidak bisa berjalan seimbang, kepala pusing dan akhirnya
memutuskan untuk tidak ke tempat kerja. Pagi itu aku memilih istirahat, dan tak lama
kemudian telepon berbunyi dari nomor yang tidak dikenali, ternyata itu adalah
panggilan kerja dari pemilik hotel di Margaret River, WA sebuah kota kecil bagian
selatan yang berjarak 270 km dari Perth. Tempat ini adalah surga bagi para peselancar.
Si owner inginku berangkat besok dan akan dijemput setiba disana. Dibantu
oleh kawan membeli tiket di stasiun akupun berangkat esokan harinya, pekerjaan di
Manise Café aku tinggalkan begitu saja dengan mengirim pesan singkat untuk ci Susi,
sangat tidak sopan memang, namun seperti ini yang harus kupilih untuk
keberlangsungan hidup. Selama kurang lebih lima jam dalam bus sore itu, was-was
setiba di Margaret River, tidak ada kenalan, namun sang owner, Justin ternyata
menepati janji menjemputku di halte. Perkenalan singkat, aku dibawanya melihat
hotel dan diantar menuju hostel terdekat. Aku akan bekerja di dua posisi, sebagai
kitchen hand dan juga housekeeper.
Saat itu aku masih vertigo, Margaret River juga begitu dingin. Sebuah
sambutan yang cukup dramatis. Training kerja yang padat sambil menahan rasa
pusing adalah tekanan yang besar buatku saat itu, mulai kerja pukul 06.30 dan
berakhir pukul 23.00 dengan jeda tiga jam istirahat diantaranya. Sambil bekerja, aku
juga terus mengonsumsi buah-buahan agar vertigoku cepat menghilang. Ada satu
momen yang masih sangat dalam sampai sekarang, mungkin akan aku kenang
selamanya. Sepulang kerja aku jalan menuju hostel, dihampiri angin sepoi dingin
Margaret River, sekiranya 10 derajat. Badan sudah sangat capai tak tertahan, remuk
dari atas sampai bawah, apalagi vertigo yang belum hilang. Sudah tidak bisa
terbendung sedihnya, akupun menangis diatas kasur, meratap begitu dramatis
sambil membatin “gue ngapain sih disini?!”.
Hotel ini adalah hotel bintang empat, dapurnya luas seperti dua kali lapangan
bulu tangkis sepertinya. Aku bekerja menggunakan commercial dishwasher, piring-
piring kotor terlebih dahulu dibilas dengan air panas, belum lagi entrée menu adalah
tanggung jawabku. Multitasking dan energy banyak adalah kuncinya. Buatku,
pekerjaan kitchen hand lebih berat dibandingkan dengan membersihkan kamar hotel,
paling tidak tekanan yang didapatkan tidak sebesar jika bekerja dibawah pengawasan
head chef yang begitu teliti. Belum lagi jika shift malam aku harus mengepel lantai
dengan tiga kali bilasan air panas.
Selain fokus dengan mempelajari semua hal dengan pekerjaan baru, aku juga
harus menemukan rumah kontrakan secepatnya, tinggal di hostel lumayan mahal,
aku harus mengeluarkan AUD 29 per malam. Akhirnya aku menemukan rumah
kontrakan berjarak tujuh menit dari tempat kerja. Martina adalah pemilik rumah, dia
pernah tinggal lama di Sumbawa dan pernah berpacaran dengan orang Sumbawa
ketika Ia masih muda. Dia adalah land lord yang baik hati namun lumayan cerewet
mengenai kebersihan apalagi masalah environment.
Aku tinggal sekamar dengan Chacha, visa kami juga sama. Dia dari Bali dan
bisa dikatakan dia sudah seperti saudara sendiri. Ada banyak traveller keluar dan
masuk selama aku tinggal disana tiga bulan, ada tiga sekawan dari Jerman yang
tinggal bersama kami beberapa minggu. Martin si cowok cuek dari Denmark, dia
kerja di pabrik susu. Ada kenangan manis juga sama dia, pernah diajak ke pantai pas
di hari valentine kemudian tiba-tiba dibawa kabur ke Cape Leeuwin, Augusta yang
berjarak kurang lebih 51km dari Margaret River. Namun hubungan yang kami
bangun hanya sampai sebatas saudara saja, bukan hanya itu, Ia pernah mengajakku
ke dairy farm tempatnya bekerja pada pukul lima pagi, merasakan memerah susu sapi,
memberi vaksin, dan juga minum susu sapi langsung untuk pertama kalinya. Lelah
juga, namun cukup berkesan. Bukan hanya Martin yang ada di rumah itu, ada Valerio
dari Italy, dia chef handal dan paling sering aku tagih masakan Italia. Ia bersama
Chacha pernah memberi dinner romantis di hari ulang tahunku yang ke-26, saat itu
Bang Martin sepertinya sudah tertidur. Sayang yah
Banyak hal yang terjadi di Margaret River, beberapa traveller yang aku temui,
pernah ber-argue dengan Martina si pemilik kamar kontrakan yang akhirnya aku dan
Chacha juga harus pindah dan tidak mengambil uang bond total AUD 500. Namun
kami ikhlaskan saja.
Di bulan Februari 2016, kerjaan di hotel sangat sepi, kadang hanya kerja dua
jam sehari, seperti menghabiskan waktu saja, akhirnya aku memutuskan untuk
pindah ke daerah lain. Kuundang Audrey dan Jennifer untuk makan malam di
kontrakan baru dan bercengkrama sebelum aku bertolak ke Perth, sebagai perpisahan
kecil-kecilan. Audrey dari Prancis dan Jennifer dari Italy, mereka adalah rekan kerja
di hotel. Kami bercengkrama panjang hingga larut malam, Audrey mengabarkan jika
lusa ia dan kekasihnya akan berangkat roadtrip ke daerah selatan Australia Barat
selama sepekan, kebetulan masih ada space untuk satu orang di dalam mobil. Ia
mengajakku sebelum pindah ke Perth, akhirnya aku dengan senang hati berangkat
bersama.
Chacha saat itu lumayan khawatir dengan keberangkatanku untuk roadtrip
sepekan, belum lagi Audrey adalah orang yang belum lama ini kukenal, kekasihnya
pun aku belum pernah bertemu. Namun aku yakin semua akan baik-baik saja.
Audrey menyiapkan segalanya, mulai dari tenda kecil untukku tidur, selimut, kulkas
kecil, kompor, hammock, kursi, dan beberapa peralatan camping lainnya, pokoknya
aku hanya bawa diri dan perentilan kecil.
Perhentian pertama yaitu di Gloucester National Park, Pamberton. Ada tiga
pohon Karri raksasa yang bisa kami panjati hingga ke atas. Tangganya terbuat dari
tongkat baja yang ditancapkan ke dalam pohon, disekelilingnya dipasang besi kawat
untuk menahan badan, namun ini bukan garansi bahwa kita akan baik-baik saja jika
memanjat. Audrey dan kekasihnya yang memang sudah terbiasa dengan hal-hal
beradrenalin, tampak Audrey melaju ke atas dengan cepat kemudian turun lagi,
memberiku support agar yakin bisa sampai ke atas, akhirnya aku memulai pijakan
pertama, menghitung satu per satu anak tangga namun sampai diatas sudah tak tau
ada berapa anak tangga yang terlewati. Di atas ada rumah singgah untuk melihat-
lihat, disitu kami menyempatkan makan dari bekal sepagi tadi yang dibuat sebelum
berangkat. Pohon yang kami naiki ada dua yaitu Gloucester tree dan Bicentennial tree
karena yang satunya sangat licin terkena air hujan. Konon tiga pohon ini adalah yang
tertinggi di jejerannya, di tahun 1947 digunakan untuk melihat dan memantau kondisi
jika terjadi kebakaran hutan.
Jelang malam hari, Oliver, kekasih Audrey berusaha mencari-cari tempat
gratis untuk parkir dan membangun tenda. Kami menghindari menyetir di malam
hari, sangat berbahaya. Kanguru berkembang liar di Australia, mereka menyebrangi
jalan tiba-tiba. Badan mereka penuh otot, ekornya saja bisa mereka gunakan untuk
berdiri, jika tertabrak, mobil bisa masuk ke dalam, penyok bertubi-tubi dan kadang
kanguru masih saja hidup. Setelah mengikuti petunjuk peta, akhirnya kami
menemukan lokasi gratis untuk makan malam dan tidur hingga esok pagi. Australia
begitu ketat, banyak papan dipasang untuk tidak memarkir mobil sembarangan
sepanjang malam, karena juga disediakan tempat murah berbayar namun traveler
juga kadang berfikir untuk mengeluarkan uang bahkan jika hanya $10 saja.
Tidak jarang kami melanggar aturan, kami sempat tidur sepanjang malam
diatas mobil di bawah bulan dengan mata terbuka sebelah, memantau jika ada ranger
yang datang untuk memberi tilang. Ranger adalah mereka yang melakukan
pengawasan di kawasan tertentu. Mereka kadang melakukan patroli, kalau sedang
tidak beruntung, pasti akan kedapatan dan kena denda.
Perjalanan dilanjutkan melewati Walpole, Denmark, Albany, semuanya adalah
pemandangan pantai. Cuaca kurang mendukung, mendung dan dingin. Di antara
Denmark dan Albany kami beristirahat semalaman, tiba-tiba aku datang bulan
berbeda dengan prediksiku, saat itu kami berada di tengah hutan, jarak ke kota
selanjutnya lumayan jauh tak mungkin aku kesana merepotkan Oliver, khawatir akan
tembus kemana-mana terpaksa kain scarf kulipat-lipat sebagai pertolongan pertama
pengganti pembalut. Aku sebenarnya agak malu menceritakan ini namun juga bisa
jadi pembelajaran bagi perempuan traveler untuk “bawa terus pembalutmu
kapanpun! Di manapun!”.
Setelah beberapa hari disuguhi pemandangan pantai, kami membatalkan
rencana menuju Esperance dimana Pink Lake berada, kami bertolak menuju utara ke
kawasan Stirling Range National Park. Jejeran gunung di depan mata, sudah cukup
lama tidak melihat gunung selama di Australia. Kami melakukan pendakian pertama
di Talyuberlup Peak, tidak begitu tinggi, bagi yang biasa mendaki bisa berlari sampai
ke atas. Pemandangannya lumayan indah namun menurutku gunung di Indonesia
masih lebih indah.
Setelah turun, kami menuju ke bawah untuk memasang tenda, kami harus
membayar $10 untuk satu malam, dengan fasilitas toilet umum dan juga bisa
memasak. Audrey memasang dua hammock, setelah diajar Oliver akhirnya aku juga
bisa membuat tendaku sendiri. Ternyata Oliver masih ingin melanjutkan
perjalanannya untuk mendaki gunung selanjutnya, aku dan Audrey kehabisan tenaga
untuk melakukan pendakian lagi.
Audrey adalah perempuan lincah, tenaganya seperti selalu ada, Ia pun tampak
memiliki prinsip yang kuat dalam dirinya, namun ternyata dia juga begitu lembut,
sore itu Ia mempersilahkanku duduk di dalam hammock, memberiku bantal dan
selimut sambil berkata “you are my little baby sister”, aku terharu.
Malam demi malam kami lalui, perjalanan ini juga memberikan rasa yang
dalam, memaknai orang-orang baru yang kukenal, berjalan bersama dan bergembira.
Aku belajar untuk mengurangi rasa khawatir di esok hari. Bahwasanya akan baik-
baik saja jika kita terus melakukan yang terbaik.
Selain kesehatan, hal yang perlu dijaga saat roadtrip adalah mood, sebenarnya
aku juga selalu berperang dengan yang satu ini, memiliki karakter ekstrovert dan
introvert dalam jiwa yang sama kadang memberi rasa yang kurang menyenangkan
hati. Perjalanan berhari-hari dan tidak sendiri itu menuntut agar mood kita selalu di
tempat yang wajar. Karena jika tidak, tentu akan mengganggu partner travelling.
Memutuskan untuk mengikuti sebuah rute perjalanan dan bersama dengan orang
lain, kita harus menurunkan ego. Boleh jika kita ingin berpencar namun tentu waktu
berpencar juga pasti ditentukan agar tidak membuang waktu lama untuk menunggu
satu sama lain.
Tempat favorit yang paling menyenangkan di perjalan ini adalah di Castle
Rock, sebuah tumpukan batu di atas gunung dengan pemandangan perkebunan
dibagian bawah, angin kencang serasa ingin menerbangkan kita membuat degup
jantung mengencang. Sebelum menuju Castle Rock kami mampir semalam di daerah
Hyden, untuk melihat Wave Rock. Wave Rock adalah sebuah batuan besar semirip
ombak laut dengan tinggi sekitar 15 meter dan panjang 110 meter, ini adalah bagian
dari Hyden Wildlife Park.
Wave Rock adalah destinasi terakhir kami dan kemudian menuju kembali ke
Margaret River, sebuah memori yang sangat manis bersama Audrey dan Oliver, aku
tidak pernah merasa seperti obat nyamuk di tengah pasangan ini, Audrey sangat bisa
menetralkan keadaan dan membuatku nyaman selama diperjalan.
Mereka mengantarku ke rumah kontrakan, Audrey memeluk erat diriku
seperti tidak bisa bertemu lagi. Yah, itu adalah pertemuan terakhirku dengan Audrey
sebelum ke Perth mencari perjalanan baru. Audrey mencium pipiku berkali-kali,
“Can I kiss you again?” begitu permintaannya. Dan aku mengangguk berkaca-
kaca.
Audrey mendekapku erat dan ada rasa yang begitu besar. Mereka sangat
pandai menikmati ke-lebay-an. Sementara aku dan beberapa temanku berusaha
menghindari momen lebay sehingga sudah sukar merasakan hal-hal seperti ini. Lebay
yang kumaksud adalah ekspresi yang muncul untuk mengapresiasi momen-momen
tertentu. Lebay dianggap hal yang tidak baik sehingga orang yang sebenarnya ingin
berekspresi namun tertahan karena tidak ingin mendapat penghakiman dari sekitar.
Kami bertiga berharap bisa bertemu kembali di Eropa, namun aku butuh
beberapa tahun lagi untuk bisa kesana. We will see what will happen.
Setelah meninggalkan Margaret River, meninggalkan Chacha, yang sangat
doyan membuatkan breakfast sehat, segelas smoothie dan seledri yang di cocol ke dalam
nutella, dan juga keluarga baru di Margaret River yang aku di pertemukan dengan
mereka disana, selalu merindukan undangan makan-makan gratis di sore hari.
Saat itu aku menumpang di mobil Mbak Ayu menuju Perth, aku diberi
tumpangan gratis dan juga mampir lunch di Mandurah. Bagi traveler seperti aku, hal
yang didapatkan cuma-cuma adalah pertolongan Tuhan yang begitu besar. Femi telah
menyiapkan kamar baru untukku selama dua minggu di Perth, Femi adalah salah
satu anak WHV yang sempat mampir di Margaret River beberapa bulan lalu dan kami
berencana bersama-sama traveling ke utara Australia.
Setelah seminggu mencari tumpangan di situs www.gumtree.com.au dan
beberapa grup traveller di facebook akhirnya kami mendapatkan sebuah travel bus
namanya Why Not Bus, sebuah bisnis kecil-kecilan anak muda Australia yang cukup
menyenangkan, dikelola oleh Oliver dan Leo. Leo bertugas sebagai driver dan juga
yang mengelola semua perjalan, sedangkan Oliver untuk sesi dokumentasinya.
Kebetulan arah yang kami inginkan sama dengan rute bus ini yaitu menuju utara
Australia Barat dari Perth ke Exmouth dan kembali ke Perth lagi. Harga yang mereka
pasang adalah AUD 400 untuk dua rute, kami menawar dengan harga dibawahnya
untuk satu rute saja, namun mereka tidak bisa memberikan. Karena kami tidak ingin
membuang waktu lama di Perth, akhirnya kami memutuskan untuk ikut dalam
perjalanan why not bus. Sebelum berangkat, diadakan meeting bersama traveler lain
yang akan ikut, kami ber-12 dan melakukan perjalanan menuju Exmouth selama 10
hari.
Ada banyak kejutan-kejutan yang kudapatkan selama perjalanan, kami
berpindah dari kota satu ke kota berikutnya di saat ada matahari dan menghabiskan
malam di lokasi-lokasi perkemahan. Meminimalisir untuk menggunakan kendaraan
di malam hari untuk mengurangi resiko yang bisa saja terjadi, apalagi banyak
kanguru liar yang sering menyebrang jalan.
Aku termasuk orang yang butuh waktu untuk berbaur dengan lingkungan
baru namun bisa menjadi gila jika sudah berada di dalamnya. Seringkali mereka
menawarkan minuman keras namun kutolak. Mungkin karena bukan kebiasaan dan
aku lebih suka meminum minuman yang lebih manis.
Perjalanan dengan banyak orang memiliki tantangan dan kesenangan yang
berbeda, tentu saja banyak hal yang dapat dipelajari dari karakter-karakter yang
kutemui. Mulai dari makanan, selama perjalanan kami memasak sendiri seadanya,
kami mengumpulkan uang dihari pertama untuk membeli persiapan makan untuk
beberapa hari, setiap hari kami bergotong royong untuk menyiapkan makanan, tiga
kali sehari.
Ada beberapa di antara mereka yang begitu curious kenapa aku tidak memakai
bikini, kenapa menggunakan baju biasa di pantai, mengapa tidak minum alkohol,
makan babi dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Mereka menganggap ini hal yang
aneh. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah seringkali kutemui, ada yang kujawab
dengan sebaik-baiknya kadang pun aku tidak ingin memperpanjang pembicaraan.
Namun, dalam perjalanan ini aku berusaha menjelaskan se-simple mungkin agar
waktu yang ada kami nikmati untuk hal-hal yang ringan saja.
Di perjalanan ini aku belajar banyak tentang toleransi dan beberapa hal yang
berhubungan dengan emosi. Belajar menghargai karakter orang lain, pendapat orang
lain, bagaimana menjadi pendengar, kapan dan bagaimana harus berpendapat. Aku
yang begitu perfeksionis kini belajar menjadi seorang yang lebih memiliki sifat
kompromi dan tentu saja perjalanan yang begitu bebas ini mengajakku jauh lebih
dalam mengenal diri sebenarnya seutuhnya. Di mana kelebihan, kekurangan, dan
juga apa batasan-batasan yang bisa kulakukan dan bisa kuterima.
Hal-hal haru juga sering kudapatkan dalam perjalanan ini, salah satunya ketika
Maud salah seorang traveler dari Prancis ingin memasak makan malam untukku,
karena frying pan yang digunakan hanya satu dan bekas penggorengan babi, maka ia
mencucinya terlebih dahulu sebelum ia pakai untuk menggoreng telur untukku. Hal
ini sangatlah simple namun ini begitu menyentuh. Betapa kami bisa menyatu dalam
perbedaan.
Aku sangat ingat momen-momen gila yang kami lalui di perjalanan ini, setiap
malam kami malakukan games yang penuh dengan canda, dan juga membangun
kedekatan kami. Mulai dari truth or dare, permainan cards against humanity, war wolf,
dan juga beberapa permainan lain yang cukup diluar batas bagi budaya orang timur
yang aku punya.
Dari sekian games yang kami lakukan, truth or dare adalah games paling favorit
selama perjalanan, di sini aku melihat betapa mereka melakukan games ini begitu
total, hingga permainan ini berubah menjadi dare saja tanpa ada truth, karena
kebanyakan memilih posisi aman. Tantangan-tantangan yang dilakukan kebanyakan
hal yang ekstrim. Kami serasa berada di dunia yang kami bangun sendiri dan tidak
ada gangguan dari orang lain.
Sembari berjalan ke utara, aku tidak lupa selalu memasukkan lamaran kerja
dimana pun perhentian kami, aku berniat agar bisa mendapat pekerjaan di sebuah
road house, road house biasanya berada di pedalaman Australia, semacam tempat
peristirahatan, ada motel, restaurant,café, public toilet, dan mini market. Jam yang di
tawarkan jika bekerja di road house sangat berlimpah dan kebanyakan menyediakan
akomodasi dan makanan gratis bagi karyawannya, jadi gaji yang diterima murni bisa
ditabung, karena kurangnya tempat hiburan atau perbelanjaan di lokasi tersebut.
Sudah beberapa kali aku memasukkan lamaran selama perjalanan tersebut,
namun sepertinya dari firasatku, akan tidak ada panggilan dari mereka. Hingga kami
tiba di sebuah tempat wisata bernama Coral Bay, sebuah teluk yang sangat indah, saat
itu cuaca sangat cerah dan benar-benar aura pantainya membuatku tidak ingin
beranjak.
Teman-teman yang lain berenang, berjemur, dan aku memilih masuk ke dalam
resort, membawa selembar kertas yang sudah lumayan terlipat-lipat setelah beberapa
hari perjalanan. Ini ada CV yang sudah kusiapkan dari Indonesia, aku hanya
menambahkan dengan tulisan pulpen untuk pengalaman kerja yang telah
kudapatkan selama di Margaret River sebelumnya. Kuberanikan masuk ke dalam
receptionist dan memasukkan lamaran. Aku berpesan jika mereka tertarik untuk
memperkerjakanku, mereka bisa menghubungiku setelah dua hari, estimasi aku
sudah berada di Exmouth dengan sinyal yang baik.
Setelah meninggalkan Coral bay, kami menghabiskan dua hari di sebuah tepi
pantai yang begitu indah, tepatnya di Camp 14 Mile Beach di Warrorra, perjalanan ini
bagai musik iringan DJ jika aku bayangkan. Ada awalan dengan beat yang biasa saja
kemudian meningkat, meningkat lagi hingga klimaks kemudian turun slow down,
kemudian berdegup kencang lagi dengan putaran seperti itu. Di tempat ini, kami
melakukan hal yang sedikit cooling down, menikmati sunset dan membayangkan
beberapa hari terakhir yang telah kami lalui bersama, menyaksikan kanguru dan
mengejarnya, kami mengangkat tikar dan kursi ke atas bukit untuk menikmati senja
yang begitu menenangkan hati. Kami merasakan nyamannya sebagai keluarga baru.
Keesokannya kami mengemas semua barang-barang dan meninggalkan lokasi
tersebut menuju Exmouth. Masih ada destinasi terakhir di sana yaitu mengunjingi
Cape Range. Setelah itu, Femi berhenti di Exmouth dan melanjutkan perjalanannya
menuju Darwin. Aku kembali ke Coral Bay setelah diterima bekerja di Resort. Dan
teman-teman lain melanjutkan perjalanan ke Perth.
Enam bulan aku habiskan waktu di Coral Bay, bekerja sangat santai hanya
sekitar enam sampai tujuh jam sehari. Aku bekerja sebagai Housekeeper, di bulan
kedua aku bertugas menjadi laundry attendant, kemudian di bulan ke empat aku
diangkat menjadi housekeeping supervisor. Aku memilih untuk tidak begitu bekerja
hingga malam selama di sini. Bekerja pagi sudah sangat cukup untuk keuanganku.
Niatan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya berubah menjadi sebuah
hal yang bukan prioritas lagi. Namun ketika aku bertugas sebagai supervisor, upah
yang kudapat lumayan besar namun memang dengan tanggung jawab yang besar
pula.
Coral Bay adalah tempat yang begitu indah, aku satu-satunya orang Indonesia
di kota kecil ini. Bisa melihat sunset kapanpun. Di sini juga aku bertemu dengan
sahabat-sahabat baru. Kami sering habiskan waktu melihat senja di Hippie hill,
sebuah bukit kecil yang tersedia jok mobil bekas yang kami bisa duduk sambil
bermain gitar dan bernyanyi. Aku tinggal selama dua bulan di dalam caravan yang
sangat komplit, ada kasur yang enak, air conditioning, dapur, toilet, dan kamar
mandi. Setelah itu aku meminta pindah ke akomodasi yang lebih bagus yaitu tinggal
disebuah container, di dalamnya ada sofa, TV, dapur luas, kamar tidur luas, serta
kamar mandi yang bagus, dan yang terpenting adalah hanya aku didalamnya.
Di sini aku bertemu dengan Naomi, sahabatku. Dia mengajarkanku banyak hal
tentang sisi-sisi kehidupan, kami saling menguatkan dengan masalah-masalah yang
kami hadapi dan tentu saja, dia bisa menerima kebiasaan-kebiasaan khas orang timur
yang aku punya. Ia juga pernah menemaniku buka puasa, kami sering ngobrol hingga
larut malam. Namun, ia memutuskan meninggalkan Coral Bay begitu cepat, kami
hanya enam minggu bersama. Tapi kami berjanji bisa bertemu di tempat lain.
Setelah enam bulan bekerja dan hidup di Coral Bay, aku bertolak ke Sydney
selama seminggu sebelum visaku habis. Hanya ingin melihat kota dan juga Opera
House. Sebenarnya jika aku punya waktu banyak aku ingin roadtrip lagi hingga ke
Sydney namun sisa visa hanya seminggu jadi aku menggunakan pesawat menuju ke
sana.
Work and holiday adalah visa yang sangat menyenangkan, aku sangat
sarankan agar anak muda Indonesia merasakan visa ini. Banyak hal bisa di rasakan
dan pelajari, terutama hal-hal tentang kepribadian kita. Sangat baik juga untuk
melatih skill berbahasa inggris juga tentunya bisa merasakan bekerja dengan tekanan
yang ada di Negeri Kanguru ini.

FARA MUHAMMAD

Nama saya Fara, saya berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya saya
bekerja sebagai bidan atau nama kerenyaa Midwife (hohoho) selama hampir tiga
tahun. Ketika masih kuliah, paman yang berada di Australia selalu mengajak saya
untuk datang dan bekerja di sana. Tapi kendalanya saya tidak mengetahui bagaimana
proses ke Australia dengan niat bisa bekerja (bukan hanya holiday).
Saya mencoba mencari tahu studi tentang midwife di Australia, namun
melihat biayanya yang begitu besar akhirnya saya urungkan niat untuk ke Australia.
Selang berjalanya waktu, saya masih memiliki keinginan untuk ke Australia. Saya
kembali bertanya kepada keluarga yang sedang studi di Australia, dia memberikan
saran untuk bertanya kepada temanya yang merupakan seorang pengacara di
Australia. Saya menceritakan keinginan untuk bekerja di Australia sebagai midwife.
Dia mengatakan bahwa saya bisa bekerja sebagai midwife dengan syarat harus
mengikuti tes IELTS dengan skor 7 for each band. Saya mencoba mengikuti IELTS
preparation tapi skornya jauh dibawah 7 dan berat sekali untuk mendapatkan skor
tersebut. Akhirnya, dia memberikan saran untuk berangkat menggunakan work and
holiday visa sub class 462.
Ada sedikit pro kontra diantara keluarga dengan rencana saya berangkat ke
Australia. Sebagian keluarga mengatakan "apakah kamu tidak menyesal meninggalkan
profesi kamu sebagai bidan di Indonesia. Di Australia kamu tidak akan bekerja sebagai bidan,
mungkin harus cici piring atau bersih-bersih seperti pembantu." Sebenarnya berat juga
meninggalkan semua yang sudah kucapai, tapi saya berpikir selama itu halal dan gaji
yang bisa saya dapat melebihi gaji profesi saya sebagai bidan. Kenapa tidak? Saya pun
ingin mencoba sesuatu yang baru dan saya percaya apa yang saya perjuangkan
selama ini, insya allah akan memudahkan semua urusan saya.
Setelah resign dari rumah sakit tempat saya bekerja, akhirnya saya berangkat
ke Australia. Tujuan pertama yaitu Darwin, di Utara Australia. Alasanya karena saya
memiliki nenek (tante mama) yang tinggal sendirian di sana. Selain karena Darwin
dekat dengan Indonesian saya pikir peluang mendapatkan pekerjaan lebih besar di
sana, karena Darwin merupakan kota sepi, hehehhee. Sekaligus ingin menemani
nenek.
Setelah tiba di Darwin, saya mencoba melamar pekerjaan. Sulit bagi saya
menemukan pekerjaan, ketika dipanggil untuk wawancara sebanyak dua kali, mereka
keberatan dengan hijab yang saya kenakan. Mereka ingin saya melepaskan hijab dan
diganti dengan topi. Saya tahu Australia bukan negara Islam, tapi saya ingin menjaga
agama dan menjaga hijab saya dimanapun berada.
Hampir dua bulan lamanya, saya tidak mendapatkan pekerjaan, akhirnya saya
putuskan untuk pindah ke Sydney, ke tempat tinggal paman. Saya bersyukur punya
keluarga di Australia, ada yang look after dan tidak perlu menyewa tempat tinggal,
selain itu tujuan utama saya pergi ke Australia adalah mengunjungi keluarga.
Di Sydney saya mendapatkan pekerjaan house keeping hanya dalam beberapa
hari sejak saya tiba. Kebetulan saya juga mengambil short course (certificat III in aged
care) dengan harapan bisa bekerja sebagai assistant nurse. Banyak suka duka bekerja
sebagai house keeper, sudah pasti capeknya bukan main. Tapi kalau lihat hasil duitnya,
jadi tidak perduli sama sekali dengan capeknya. Karena saya mengambil course dan
juga bekerja, tiga bulan pertama benar-benar menjadi bulan tercapek.
Saya banyak menemukan hal baru dalam pekerjaan ini, jadi tahu bagaimana
membersikan noda membandel dan itu bisa dipraktekan ketika di rumah sendiri.
Selama bekerja saya bertemu dengan teman seperjuangan, WHV holder dari Indonesia
yang sudah permanent resident. Saya juga bertemu dengan beberapa teman kerja dari
satu bangsa, namun kurang cocok dengan mereka. Tapi itu tidak menjadi kendala
buat saya selama saya masih bisa bekerja dan dapat uang tentunya. Mungkin bisa
dikatakan rezeki saya ada di Sydney bukan di Darwin.
Pada masa awal-awal bekerja, saya bertekad ingin mengumpulkan uang untuk
melanjutkan studi agar saya bisa tetap tinggal di Sydney, selain itu saya sudah berniat
bahwa gaji pertama yang saya peroleh akan saya kirimkan ke mama di Indonesia.
Saya ingin mama berangkat umroh dengan gaji tersebut. Karena mama sudah
lumayan berumur, saya ingin adik saya menemani mama ketika umroh. Saya
menceritakan hal ini bukan bermaksud riya (menceritakan amal kebaikan yang sudah
kita lakukan dengan maksud ingin dipuji). Tapi saya ingin menjadi inspirasi buat
teman-teman semua tentang keajaiban sedekah dan bisa mengambil hikmah dari
kisah hidup saya. Akhirnya setelah tiga bulan bekerja, saya berhasil mengumpulkan
separuh biaya umroh mama dan adik untuk deposit, sisanya akan saya kirimkan
bulan berikutnya.
Setelah saya mengirimkan uang, keesokan harinya saya diperkenalkan dengan
seorang citizen Australia yang berasal dari Lebanon. Di akhir bulan December kita
kenal, dan minggu berikutnya dia datang ke rumah paman untuk nadzor (proses
melihat calon pengantin, istilah dalam islam). Setelah itu kita ta'aruf dan
alhamdulillah dia cocok sama saya dan mengajak menikah di bulan berikutnya. Saya
sempat keberatan waktu itu karena saya merasa terlalu cepat tapi memang yang benar
dalam Islam adalah seperti itu.
Saya ingin keluarga hadir dalam pernikahan itu. Alhamdulillah tepat tanggal
11 Maret 2016 kami melangsungkan pernikahan dan dihadiri semua keluarga inti
kecuali saya kakak saya. Sekarang saya tinggal bersama suami, dia sangat mencintai
saya, bahkan sekarang saya sudah berhenti dari pekerjaan sebagai housekeeper.
Karena suami tidak memperbolehkan saya bekerja, kecuali jika bekerja sebagai
midwife. Dia ingin saya meneruskan studi sebagai midwife dan setelah visa saya
keluar.
Lihat! Betapa Maha Murahnya Allah menggantikan yang lebih banyak dari
sedekah yang kita keluarkan, apalagi khusus untuk orang tua kita. Saya tidak hanya
bisa tetap tinggal di Australia, tapi saya juga berkesempatan melanjutkan studi
sebagai midwife yang saya cita-citakan selama ini. Mudah-mudahan Allah
memudahkan urusan dari setiap kendala atau masalah yang terjadi nantinya,
insyaallah.
Saya suka dengan Kota Sydney, orangnya ramah-ramah, banyak orang
Indonesia juga, dan yang paling penting kebebeasan berhijab di kota ini. Mereka
respect dengan culture yang ada.
Semoga kisah nyata dari kehidupan saya bisa memberikan inspirasi untuk
teman-teman. Jangan pernah menyerah, sebelum melakukan sesuatu karena hidup
ini memang butuh perjuangan dan janganpernah pelit dengan uang, karena takut
uang kita habis jika diberikan kepada orang lain. Allah akan menggantikan yang jauh
lebih dari sebelumnya dan dengan cara yang kita tidap pernah duga sebelumnya.
Allah punya cara tersendiri bagi hamba-Nya yang senantiasa selalu mengingat dan
bertakwa pada-Nya.
CERITA WHV ALA RINI

Nama saya Rini Ristiani, biasa dikenal di social media dengan nama Rien Asagi.
Saya lulusan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris dan sudah mengajar ngalor-ngidul dan pindah-pindah dari satu kota ke kota
lainnya, kurang lebih 5 tahunan.
Tentunya untuk orang seperti saya, yang sudah bergelut dengan bahasa
Inggris di kegiatan sehari-harinya, saya memimpikan untuk bisa tinggal di negara
berbahasa Inggris agar saya bisa sedikit begaya ngomong cas cis cus layaknya bule.
Awalnya gak pernah terpikir buat tinggal di Australia, karena menurut gossip yang
saya dengar, orang Australia itu gak sopan, arogan dan urakan. Australia, waktu itu,
satu-satunya negara berbahasa Inggris yang tidak mau saya kunjungi.
Tahun 2013, salah seorang teman memberitahu saya tentang program Work
and Holiday Visa. Saat itu saya belum tertarik karena alasan di atas tadi dan alasan
lainnya adalah karena saya orangnya belum berani ambil resiko untuk tinggal di
Negara orang tanpa adanya pekerjaan yang jelas. Sayapun urungkan niat untuk
berpartisipasi dalam program ini.
Tahun 2014, saya mendapatkan kesempatan untuk sekolah singkat di salah
satu negara di Eropa sana. Saya berada di sana selama 3 bulan dan saat itu saya
mencoba peruntungan untuk bekerja sebagai Aupair (nanny). Saya mendapatkan
email dari beberapa keluarga di Eropa sana namun ternyata syarat visa yang tidak
memungkinkan dan memang mungkin belum jodohnya aja. Sampai suatu hari, saat
saya masih berada di Eropa sana, saya mendapatkan email dari salah satu keluarga
di Canberra sana yang menginginkan saya untuk menjadi aupair mereka.
What Canberra? Setahu saya Canberra itu ibukotanya Australia, dan setelah
saya baca-baca persyaratannya, ternyata saya harus menggunakan WHV ini untuk
bekerja sebagai aupair di Australia.
Mau gak mau akhirnya saya memutuskan untuk registrasi WHV ini via
website-nya imigrasi Jakarta. Jujur saja, awalnya saya pusing dengan syarat-syarat
WHV ini, tapi setelah tanya-tanya dan baca-baca postingan di grup WHV, saya pun
sedikit demi sedikit mengerti tentang proses yang harus dijalani.
Proses WHV ini sangatlah tidak mudah dan tidak cepat. Saya harus
menjelaskan kepada host family saya kalau saya tidak mungkin datang cepat-cepat ke
sana karena harus menunggu jadwal interview dan segala macamnya. Saya sempat
takut juga kalau hostfam saya berubah pikiran, tapi syukurnya mereka mau
menunggu sampai visa selesai.
Kenapa akhirnya saya memutuskan untuk ikutan WHV ini? Jawabannya sih
simple, karena waktu itu saya sudah punya host family yang mau menampung saya.
Jadi saya tidak khawatir dengan akomodasi ataupun makan karena semuanya
diprovide dan saya pun mendapatkan pocket money, walaupun tidak banyak tapi cukup
lah buat saya sendiri.
Kenapa ke Canberra? Ya karena host family saya tinggal di sana. Saya akui tidak
banyak anak WHV yang tertarik untuk tinggal di Canberra karena walaupun ibukota,
kota ini adalah kota kecil layaknya kampung yang hanya dihuni oleh sekitar 350
ribuan penduduk.
Bagi saya, saya selalu tertarik untuk tinggal di ibukota suatu negara. Makanya
saya tidak keberatan ketika host family saya meminta saya untuk datang dan memang
ternyata keputusan tersebut sudah tepat.
Selama 6 bulan pertama, saya menikmati pekerjaan sebagai aupair. Bagi yang
belum paham tentang aupair, saya akan memberikan gambaran sedikit tentang
pekerjaan apa saja yang saya lakukan.
Aupair itu sendiri dianggap sebagai cultural exchange di mana kita tinggal
bersama satu keluarga dan kita diharuskan untuk menjaga anak-anak mereka saat
mereka bekerja ataupun bepergian. Aupair ini bisa dikatakan sebagai unexperienced
nanny karena kita tidak diwajibkan untuk memiliki certificate nanny atau
semacamnya.
Tugas seorang aupair biasanya mencakup hal-hal yang dibutuhkan anak
seperti antar jemput sekolah, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam
(kadang-kadang), mengantar anak swimming class atau football, dan sebagainya.
Untuk saya sendiri, tugas saya hanyalah menemani si anak asuh ketika orang
tuanya tidak ada di rumah. Kebetulan anak asuh saya berumur 12 tahun jadi saya
tidak kerepotan untuk ganti popok ataupun menyuapi makan. Saya bisa katakan
tugas aupair saya sangat ringan.
Setelah 6 bulan focus di aupair, saya merasa jenuh juga hanya bekerja di satu
bidang saja. Awalnya saya ingin pindah state dan mencari family lain, tapi hostmom
saya meminta untuk tinggal satu tahun dan setelah saya pikir-pikir saya pun
memutuskan untuk menjadi aupair di family ini selama satu tahun.
Saya mulai mencari-cari pekerjaan sampingan karena jujur saya butuh uang
lebih untuk traveling dan setidaknya untuk kirim-kirim ke orangtua. Maklum,
ekspektasi orangtua ketika tahu saya bekerja di luar negeri adalah bahwa saya
berpenghasilan super dan berkewajiban untuk men-supply mereka.
Saya selalu tertarik untuk bekerja di bidang hospitality dan sayapun melihat
banyak teman-teman WHV yang menggeluti bidang tersebut.
Saya mencari job vacancies via Gumtree dan mendapatkan beberapa tawaran
pekerjaan. Saya mengirim email ke beberapa perusahan tersebut dan berharap agar
mendapatkan pekerjaan sesegera mungkin. Selang beberapa hari setelah saya submit
email, saya mendapatkan panggilan telepon dari AHS Hospitality dan meminta saya
untuk datang keesokan harinya untuk interview. Kebetulan saat itu sedang school
holidays dan hostmom saya libur kerja jadi saya punya waktu untuk interview. Mungkin
memang sudah jodohnya, sayapun diterima bekerja sebagai room attendant di Hotel
Realm, Canberra.
AHS Hospitality ini adalah sebuah agent di bidang perhotelan. Agent ini
lumayan famous di kalangan anak-anak WHV karena banyak di antara mereka yang
bekerja di bidang ini via agent tersebut.
Setelah itu, pekerjaan saya jadi rangkap dua. Pagi hari setelah mengantar anak
sekolah, saya bekerja sebagai room attendant di hotel dan selesai sekitar pukul 2 siang
karena saya harus jemput anak pukul 3 sore.
Ke-hectic-an selalu terjadi di pagi dan sore hari. Saya harus memulai pekerjaan
di hotel jam 9 pagi sedangkan 30 menit sebelumnya harus mengantar anak sekolah.
Jarak rumah dan hotel sekitar 20 menit by bus. Tapi jangan bayangkan bus di sini
layaknya metro mini di Jakarta yang bisa di-stop kapan saja dan bisa kebut-kebutan
sesuka hati. Di Canberra ini, bus tersedia setiap 20 menit sekali ketika jam sibuk dan
30 menit sekali di luar itu. Saya harus lari-lari kejar bus supaya tidak ketinggalan yang
artinya jika telat saya akan telat masuk kerja dan akan terkena omel sang manager.
Kerja di hotel itu sungguh pekerjaan yang paling melelahkan yang pernah saya
lakukan, sialnya, saya merasa lelah jiwa raga. Room attendant sendiri bertanggung
jawab untuk bersih-bersih kamar hotel yang dalam sehari bisa mencapai puluhan
kamar yang harus dibersihkan. Di awal-awal bekerja, saya rasanya tidak sanggup
menahan rasa lapar dan haus padahal baru 2 jam bekerja, plus, karena saya
perempuan berhijab satu-satunya, kadang kala saya capek dengar omongan partner
saya yang mempertanyakan kenapa saya berhijab. Beberapa di antara mereka yang
hanya sekedar bertanya, ada pula sebagian yang men-tease saya untuk buka jilbab.
“This is Australia, open your headscarf and put it back when you reach your home
country”. Ada lagi yang bilang “I want to see your hair, just open it”. Duh, kadang risih
banget saya dengernya. Kayaknya sudah berbagai alasan saya utarakan ke mereka.
Padahal Canberra itu multicultural, di hotel pun yang kerja rata-rata dari berbagai
negara dan harusnya mereka memahami artinya perbedaan. Katanya Negara bebas,
tapi kenapa saya sedikit “berbeda” aja dipertanyakan. Untungnya sih saya orangnya
cuek, saya cuma dengerin aja, toh kalau mereka capek ngomong juga berhenti sendiri
kok.
Walaupun banyak suka duka kerja di hotel ini, yang terpenting buat saya
adalah bisa mendapatkan tambahan uang untuk jalan-jalan. Hehehe. Selama di
Australia, saya hanya berkesempatan mengunjungi 3 states aja; Victoria (Melbourne),
New South Wales (Sydney dan Newcastle) dan Tasmania.
Berikut saya tuliskan catatan traveling saya:
1. Saya mendarat tanggal 28 Juli 2015 di Melbourne dan hanya
menghabiskan satu malam saja hanya untuk menikmati malam di
Melbourne dan pagi harinya jalan-jalan cantik di sekitar Federation
Square.
2. Pada tanggal 29 Juli 2015, saya berangkat ke Canberra by bus
Greyhound dari Melbourne, menempuh perjalanan sekitar 8 jam.
Tiket bus bisa dipesan via greyhound.com.au
3. Pada Agustus 2015 (lupa tanggal berapa), saya pergi ke Snowy
Mountains bersama teman-teman PPIA (Persatuan Pelajar Indonesia
Australia) Canberra karena waktu itu belum ada anak WHV selain
saya, jadi saya sok kenal saja bareng anak-anak mahasiswa.
4. Tanggal 23-25 October 2015, untuk pertama kalinya saya pergi ke
Sydney bersama hostmom dan anak asuh saya. Hostmom nyetir sekitar
3 jam dari Canberra. Dia harus menghadiri conference selama 2 hari
di sana.
5. November 2015, saya diajak hostmom ke Hobart karena beliau
menghadiri conference selama seminggu di sana. Selama di sana, saya
bisa jalan-jalan sekitar Hobart tapi tetep harus ngasuh si bocah.
Hostmom membawa saya ke beberapa tempat di Tasmania seperti
Launceston dan Bruny Island. Buat saya, Tasmania adalah tempat
yang paling saya sukai selama traveling di Australia.
6. Pada tanggal 31 December 2015, saya pergi ke Sydney karena saya
memiliki 2 minggu off dan waktu itu itinerarynya adalah Sydney dan
Melbourne. Saya berencana menghabiskan 2 minggu di 2 kota itu tapi
kenyataannya hanya 10 hari saja.

Saya rasa liburan Sydney-Melbourne ini adalah yang paling berkesan buat
saya. Kenapa? karena saat itu saya benar-benar merasakan traveling dengan budget
yang pas-pasan bahkan bisa dibilang sedikit.
Saya menghabiskan minggu pertama liburan di Sydney. Saya rent room selama
seminggu dan tinggal bersama teman WHV Sydney. Saya sangat well-prepared saat
itu. Nah, kebetulan saya booked kereta dari Sydney-Melbourne tanggal 7 Januari 2016
dan saya tidak booked hostel sama sekali karena teman aupair saya di Melbourne
bersedia meng-accommodate selama di sana. Jadi, singkat cerita saya santai-santai saja,
padahal saat itu saya hanya mengantongi uang $70. Waktu itu saya belum bekerja
sebagai room attendant, dan hanya mengandalkan pocket money yang hanya
$220/week. Saya pikir uang $70 cukuplah buat beli myki (transport card Melbourne)
dan sisanya buat makan sehari. Saya berangkat ke Melbourne hari Kamis dan hostmom
biasanya transfer pocket money hari Jumat malam. Oiya, walaupun saya liburan tapi
saya tetep dibayar lho karena dari awal hostmom sudah menjanjikan bahwa saya
mendapatkan libur selama 2 minggu dan tetap mendapatkan salary.
Lanjut cerita…
Perjalanan Sydney-Melbourne by train memakan waktu kurang lebih 12 jam.
Kalau saya bisa ngasih saran sih, gak usah traveling pake kereta deh, sungguh
membosankan. Biasanya pake kereta lebih lambat daripada pake bus plus susah
sinyal karena kereta menyusuri outback. Saya memutuskan naik kereta karena waktu
itu dapet sale tiket kereta via nswtrainlink.
Sewaktu di jalan saya mendapatkan kabar kalau teman aupair saya gak bisa
mengacommodate saya selama di sana karena tiba-tiba dia memiliki acara. Duh,
sayapun kelimpungan nyari cara bagaimana agar saya ada yang nampung. Saya cek-
cek hostel rata-rata per night nya $40an, dan saya cuma punya duit $70. Sumpah, saya
gak tahu lagi harus minta tolong sama siapa. Sayapun memberanikan diri untuk sms
hostmom saya dan minta beliau men-transfer uang jajan saya minggu itu, walaupun
sebenernya belum waktunya karena saat itu masih Kamis malam. Percakapan di
Whatsapp antara saya dan hostmompun terpotong-potong karena sinyal yang timbul
tenggelam. Saya bilang saya butuh uangnya malam itu juga tapi ternyata sms saya
telat sampainya.
Pukul 6.30 pagi saya sampai di stasiun Southern Cross Melbourne dengan
keadaan yang masih luntang lantung gak tahu arah tujuan. Untungnya, setiap kali
traveling saya selalu menyediakan bekal makanan supaya saya gak kelaperan. Dan
Alhamdulillahnya pagi itu saya bisa sarapan dengan bekal yang saya punya, ya hanya
sekedar roti lapis selai kacang dan pisang.
Waktu itu saya teringat akan satu teman saya yang saya kenal lewat Instagram.
Kebetulan dia tinggal di Melbourne karena suaminya sedang studi S2. Lalu saya pun
memberanikan diri untuk me-whatsapp dia dan menceritakan apa yang sedang saya
alami. Awalnya, saya bertanya apakah saya bisa “nebeng” di tempat dia, namun
ternyata kondisi yang tidak memungkinkan jadilah tidak bisa. Syukurnya, si Teteh ini
menawarkan apakah saya mau tinggal di rumah mahasiswa Indonesia yang
kebetulan mahasiswa tersebut sedang berada di Indonesia dan kamarnya biasanya
disewain. Akhirnya saya meng-iya-kan karena harga sewa yang relative murah, hanya
$25/night dan saya hanya bayar untuk 2 malam saja aka $50. Yup, uang saya jadi sisa
$20 untuk beli Myki. Hahahaha
Dari Southern Cross ke tempat yang dituju lumayan agak jauh dan saya harus
dorong-dorong koper gede yang beratnya mungkin sekitar 15kg. Saya anaknya
emang agak rempong ya, bukan anak backpacker, jadi harus gerek-gerek koper ke
mana-mana.
Tempat tinggal mahasiswa tersebut di daerah Brunswick, kurang lebih 30
menit dari city. Akhirnya setelah menempuh jarak beberapa kilo dari Southern Cross,
saya sampai juga di rumahnya. Waktu itu, saya benar-benar gak punya duit dan mikir
liburan macam apa ini. Hahahaha
Setibanya di rumah saya memutuskan untuk tidur karena saya lelah jiwa raga.
Sekitar pukul 3 sore saya bangun dan cek rekening dan dengan senangnya saya
tersenyum lebar karena hostmom saya sudah transfer uang. Yeay….
Akhirnya saya jadi liburan dan gak kelaparan di kampung orang.
Saya mandi dan siap-siap menyusuri kota Melbourne nan cantik jelita. Waktu
itu masih Summer dan saya menikmati waktu siang yang agak panjang di sepanjang
Yarra River dan Flinders Station. Yes, saya traveling sendirian dan waktu itu untuk
kedua kalinya saya mengunjungi Melbourne.

7. Bulan Maret 2016, saya pergi ke Sydney untuk bertemu temen Aupair
saya di sana. Kebetulan waktu itu libur Paskah yang cukup lama jadi
saya punya waktu off beberapa hari.
8. Bulan May 2016, tepatnya sekitar tanggal 28, saya kembali pergi ke
Sydney karena kebetulan ada festival Vivid. Saya selalu interested
dengan festival apapun itu dan mengusahakan untuk pergi kalau
saya ada waktu off. Saya hanya menghabiskan 2 malam saja dan
hanya bisa menyaksikan Vivid Sydney di sekitar Opera House dan
Harbour Bridge.
9. Bulan July 2016, beberapa hari sebelum kepulangan saya ke
Indonesia, saya pergi ke Snowy Mountains, Perisher, sekitar 3 jam
dari Canberra, bersama teman-teman WHV dan student dari
Sydney. Untuk kedua kalinya saya pergi ke Snowy Mountain dan
saya sangat merasakan kenikmatan bermain salju yang tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Saya termasuk orang yang sangat
cinta dengan musim dingin (Winter) dan orang yang doyan main
salju. Maklum, di Indonesia gak ada.
Awalnya saya berniat untuk travel ke Brisbane, Perth dan New Zealand, tapi
karena saya harus menabung untuk traveling ke negara yang lebih jauh, jadi saya
urungkan niat itu. Bagi saya, New South Wales, Victoria dan Tasmania sudah cukup
mewakili keingintahuan saya tentang Australia.

Suka Dan Duka WHV


Setiap perjalanan pasti ada senang dan sedihnya, begitupun dengan WHV ini.
Mungkin bagi saya WHV ini banyak senangnya karena saya orangnya cinta dengan
yang namanya tinggal di luar rumah apalagi di luar negeri. Walaupun Australia ini
bukan negara yang saya damba-dambakan, tapi setelah WHV ini berakhir, sayapun
merasakan jatuh cinta yang mendalam untuk Australia.
Suka yang saya dapatkan adalah saya bisa bekerja dan mendapatkan uang
yang banyak yang gak pernah saya dapatkan di Indonesia sebelumnya. Saya bisa
traveling dan menyaksikan kehidupan bule-bule Australia yang ternyata beda jauh
dari apa yang saya dengar sebelumnya, dan tentunya saya mendapatkan banyak
teman baru, baik dari Indonesia sendiri ataupun dari negara-negara lainnya.
Sedangkan rasa dukanya hanya sedikit dibanding sukanya. Yang paling terasa sih
mungkin saat saya homesick dan jenuh dengan kehidupan aupair saya, muak dengan
tingkah laku si anak asuh dan mungkin yang paling paripurna adalah kangen
masakan Indonesia yang jarang banget ditemui di Canberra.
Saya harap WHV ini terus berlanjut sampai waktu-waktu yang tak terhingga
dan semakin banyak kuota yang tersedia untuk anak-anak muda Indonesia berkelana
di negeri Kangguru, interview dan surat rekomendasi yang tidak terlunta-lunta dan
semakin banyak promosi tentang program ini sehingga WHV ini terkenal di seluruh
negeri. Untuk calon-calon WHV, mungkin syarat IELTS yang jadi momok
menakutkan, tapi semua itu terbayar ketika kalian sudah berada di Australia.
Walaupun katanya bisa pake bahasa isyarat, tapi banyak kerjaan yang menuntut
kalian untuk berbahasa Inggris dengan cukup baik. Jadi persiapkanlah matang-
matang bahasa Inggris kalian, toh gak ada ruginya kok.

Pengaruh WHV Terhadap Kehidupan


Setiap pergi ke luar negeri, saya pasti mendapatkan banyak hal yang
mempengaruhi hidup saya kedepannya, begitu pula dengan WHV ini. Saya memulai
WHV ini dengan bekerja sebagai aupair di mana saya tinggal dengan sebuah keluarga
dari negara yang berbeda dan dengan kebudayaan yang berbeda pula. Di sana saya
belajar bagaimana menjadi orang yang lebih toleran terhadap perbedaan, menjadi
orang yang tidak terlalu ikut campur dengan kehidupan orang lain, bukan berarti
cuek tapi hanya membatasi diri, dan menjadi orang yang lebih bertanggung jawab
terhadap apa yang saya lakukan.
Saya menjadi lebih open-minded dan lebih receptive terhadap perbedaan pola
pikir ataupun gaya hidup dan yang pasti saya mendapakan banyak pengetahuan
tentang western life dan bagaimana menyikapinya sekembalinya saya ke Indonesia.
Jujur saya senang tinggal di negara barat tapi buka berarti saya melupakan kodrat
saya sebagai orang Indonesia. Saya tetap cinta keramah-tamahan orang Indonesia dan
pastinya masakannya.
Sesampainya di rumah, banyak orang yang beranggapan saya menjadi orang
yang ke-barat-baratan, dan memandang level hidup saya yang menjadi lebih tinggi.
Saya bisa pastikan bahwa saya masih menyukai ikan asin dan lalapan ketimbang
steak atau pizza, dan saya masih bisa berbicara bahasa Indonesia terlebih bahasa
Sunda dengan baik dan benar. Jadi, saya bisa pastikan tidak ada pengaruh negative
yang saya dapatkan selama tinggal di Australia.
Jujur, saya bukanlah orang yang suka membuka pengalaman pribadi untuk
umum, dalam bentuk apapun. Namun, setelah saya mendengar kalimat dari seorang
hairdresser di akun facebook saya yang mengatakan, “I have to give it away to keep it
“, saya sedikit tersadar bahwa tidak ada salahnya untuk sedikit berbagi kepada orang
lain dengan harapan dapat memberikan inspirasi dan motivasi di kemudian hari.
Bukan hanya untuk mereka, melainkan juga untuk diri saya sendiri. Disini saya ingin
berbagi tentang pengalaman pribadi saya sampai saat ini menuntut ilmu di negeri
orang dengan sejauh ini menggunakan uang hasil jerih payah saya sendiri.
Semua ini berawal dari tahun 2013, di tahun kedua saya bekerja sebagai quality
control staff di salah satu perusahaan farmasi jepang di Indonesia, sekaligus 2 tahun
setelah saya menyelesaikan Pendidikan Diploma 3 saya di jurusan Teknik Kimia
Politeknik Negeri Malang. Di tahun tersebut tante saya yang kebetulan seorang
permanent resident di Australia menginginkan saya untuk melanjutkan studi saya di
negara tersebut. Namun, ketika itu saya masih sangat bersemangat untuk
mengembangkan pengalaman kerja di perusahaan tersebut. Ketika itu saya hanya
berfikir untuk bekerja dan mengumpulkan uang.
Pada tahun 2014, saya mulai merasakan bosan dengan rutinitas saya selama 3
tahun. Saat itulah saya memutuskan untuk melanjutkan studi saya ke Australia.
Namun, kenyataan tidak pernah semudah apa yang direncanakan. Meskipun saya
bekerja untuk perusahaan asing, kemampuan bahasa Inggris saya kurang mumpuni
untuk bisa memenuhi persyaratan masuk universitas di Australia, tepatnya Charles
Darwin University. Persyaratan IELTS untuk program Bachelor of Engineering
adalah total 6 dengan each band min 6. Ketika itu IELTS saya hanya 5.5. Saya tidak
tahu apa yang harus saya lakukan ketika itu.
Tahun 2014 pun berlalu dengan saya yang masih tak tahu arah mana yang
harus saya tempuh. Di awal tahun 2015 saya memutuskan untuk mengikuti
bimbingan IELTS test selama 3 bulan. Namun setelah itu tante saya mengusulkan
untuk saya belajar bahasa Inggris langsung di negara native speaker, dalam kasus ini
adalah Australia dengan menggunakan working holiday visa. Ketika itu saya berfikir
bahwa saran itu cukup baik untuk diperhitungkan. Maka saat itu pun saya
mengajukan visa tersebut dengan waktu tunggu yang cukup lama. Saya masih ingat
pada saat itu proses yang saya lalui hingga visa saya granted adalah kurang lebih 9
bulan. Saya sangat bersyukur memiliki keluarga yang sangat mendukung saya dalam
hal ini, terutama ibu saya. Wanita terhebat dalam hidup saya. Mulai dari mengurus
passport pada tahun 2014, apply visa hingga granted beliau tidak pernah lelah dan
megeluh untuk mendampingi dan memberikan semangat serta doa untuk saya.
Mei 2016 saya berangkat ke negeri kanguru sebagai working and holiday visa
holder yang pada kenyataannya adalah working the whole year untuk biaya kuliah saya
tahun berikutnya. Selama 1 tahun penuh di Australia saya hanya bekerja, ketika
teman – teman whv lain menikmati liburan mereka diwaktu senggang. Saya bekerja
dan mempersiapkan diri saya untuk IELTS test saya selanjutnya yang saya tempuh
pada desember 2016, namun hasilnya masih dibawah persyaratan minimal. Ketika itu
om menyarankan kepada saya untuk tidak bekerja full time agar bisa mempersiapkan
test lebih matang lagi. Tetapi, di sisi lain saya tidak bisa melepaskan pekerjaan saya
yang pada saat itu memiliki rate salary yang cukup tinggi. Saya bernegosiasi dengan
om, saya mengusulkan untuk merubah status employee menjadi casual yang notabene
hanya bekerja 4 hari dalam 1 minggu. Saya melakukan re test pada bulan januari 2017,
namun saya masih tetap gagal dalam writing. Pada akhirnya om saya memaksa saya
untuk cuti dari pekerjaan saya selama 1 bulan untuk benar-benar berkonsentrasi
mempersiapkan IELTS. Saya menuruti beliau pada saat itu, dan saya mengikuti
bimbingan IELTS yang diselenggarakan oleh CDU dengan durasi 1 minggu. Pada saat
itu saya juga melakukan konsultasi dengan international student consultant di CDU dan
mereka menyarankan saya untuk mengambil navitas yang merupakan sekolah
bahasa selama 10 minggu dengan biaya 10 kali lipat biaya IELTS test. Ketika itu saya
menolak saran mereka, saya memutuskan untuk melakukan test IELTS sekali lagi
dengan resiko yang cukup besar. Saya belajar dengan om saya yang kebetulan juga
merupakan guru bahasa Inggris. Dan setelah persiapan yang cukup melelahkan,
akhirnya saya menjalani test pada bulan Maret yang merupakan deadline karena visa
saya expired pada bulan Mei. Disinilah titik yang menentukan apakah saya dapat
lanjut study ditahun ini atau tidak. Setelah menunggu selama 2 minggu dengan
perasaan yang campur aduk, hasil pun keluar dan Alhamdulillah berkat kerja keras,
percaya diri dan doa dari ibu, saya mendapatkan 6.5. Yes!!!!.
Setelah mendapatkan hasil IELTS sesuai persyaratan, perjuangan pun tidak
semerta-merta berhenti. Saya mendaftarkan diri untuk Bachelor of Engineering dan
mengajukan credits exemption agar bisa menempuh pendidikan selama kurang dari
4 tahun. Dari sinilah saya harus berjuang untuk memenuhi persyaratan tersebut,
mulai dari checklist mata kuliah yang sudah saya tempuh di Indonesia hingga surat
keterangan pengalaman kerja dari perusahaan tempat saya bekerja di Indonesia
beserta list responsibilities saya di perusahaan tersebut. Semua itu harus dalam bahasa
Inggris. Saya melakukan checklist mata kuliah saya sendiri selama 1 minggu dan
melakukan pengajuan penerbitan surat keterangan kerja dalam bahasa Inggris
kepada perusahaan yang saya dapatkan 1 bulan setelah pengajuan. (-.-), itupun
setelah saya menghubungi HRD dan Manager saya beberapa kali.
Setelah semua persyaratan saya dapatkan, saya langsung submit ke CDU.
Dalam 2 minggu mereka masih tidak memproses credits exemption saya. Akhirnya
salah satu teman saya menyarankan untuk memakai jasa agent yang pada saat itu saya
menggunakan jasa mbak Nona Fitria yang berdomisili di Sidney. Bertepatan dengan
habisnya visa working and holiday saya. Pada bulan Mei 2017 saya kembali ke
Indonesia dengan proses enrolling saya yang masih berlanjut di Australia. Singkatnya,
saya mendapatkan CoE saya dari CDU pada akhir juni dan sayangnya credits
exemption saya ditolak dengan beberapa alasan dari CDU sehingga saya harus
menempuh 4 tahun untuk pendidikan tersebut. God…saya benar-benar kecewa dan
sempat ingin menyerah pada saat itu. Namun ibu saya bekata kepada saya, ”itu semua
keputusan kamu, tapi saran mama, jangan biarkan usaha kamu selama ini sia-sia, coba
konsultasi sama tante kamu, siapa tahu dia punya jalan lain”.
Setelah kurang lebih satu minggu saya berfikir, akhirnya saya mengumpulkan
saran dari orang-orang terdekat dan juga agent, dan saya memutuskan untuk mencari
jurusan lain yang bisa saya tempuh selama 3 tahun, mulai dari opsi untuk belajar di
college yang ditolak mentah-mentah oleh tante saya hingga jurusan nursing di CDU
yang seluruh keluarga saya sangat setuju terutama ibu saya. Jujur, saya pribadi tidak
begitu suka dengan bidang sosial dan kesehatan. Tapi, ibu saya memang sangat
menginginkan saya menjadi seorang perawat sejak saya lulus SMA.
Pada saat itu saya berfikir, tidak ada salahnya untuk mencoba mengabulkan
apa yang diinginkan oleh ibu saya dari dulu, saat itu saya memutuskan untuk
mendaftar di 2 jurusan, IT dan Nursing. Saya menulis 2 surat permohonan enrollment
kepada CDU dan menunggu hasilnya, surat permohonan yang mendapatkan balasan
tercepat, jurusan itulah yang akan saya ambil. Ibu saya sangat senang pada saat itu,
karena paling tidak saya memperhitungkan nursing, dan benar saja hanya dalam
waktu sehari, yaitu keesokan harinya saya langsung mendapatkan CoE untuk
nursing. Disitulah saya menyadari betapa mudahnya jalan hidup kita apabila kita
menuruti apa yang diinginkan oleh seorang ibu selama itu hal yang baik. Kekuatan
doa beliau tidaklah main-main. Mendengar berita itu ibu saya sangat senang dan
tidak sabar menunggu keberangkatan saya ke Australia (lagi) untuk menuntut ilmu.
Setelah saya mendapatkan CoE pada awal juli, saya langsung apply student visa yang
waktunya amat sangat mepet dengan CDU’s orientation week yang jatuh pada
pertengahan Juli. Proses visa saya memakan waktu kurang lebih 2 minggu dan saya
langsung terbang ke Australia 3 hari setelah visa saya granted. Ya, benar saya tidak
mengikuti orientation week karena saya datang ke Darwin setelah orientation week.
Disinilah perjuangan baru hidup saya dimulai, yaitu sebagai seorang student
yang juga harus bekerja untuk biaya kuliah saya selama 3 tahun kedepan. Perjuangan
masih terus berlanjut, dan saya yakin, saya bisa melalui semua ini, demi ibu saya.
Selama ada keinginan saya tidak akan pernah berhenti. Seperti moto hidup saya,’I
don’t stop when I am tired, I stop when I am done!’.
Selelah apapun kita menghadapi kenyataan hidup ini, jangan pernah berhenti,
terus berusaha dan berdoa. Saya tahu dan sangat mengerti bagaimana beratnya hidup
ini dan tidak memungkiri bahwa seringkali saya lelah dan hancur, namun saya selalu
mengingatkan diri saya untuk tetap berusaha, meskipun satu-satunya tujuan hidup
saya selama ini diambil untuk selamanya. Yup, ibu saya meninggal sebulan setelah
saya kembali ke Australia. Dalam waktu satu bulan itu pula saya bolak-balik Darwin-
Indonesia. Disela-sela banyaknya tugas dan kuis dari semua mata kuliah, karena ibu
saya sempat koma selama 10 hari, setelah akhirnya menyerah. Tidak dapat saya
pungkiri, saya sangat putus asa dan tidak bersemangat untuk belajar. Saya sering
bertanya-tanya, kenapa hal tersebut terjadi diawal perjuangan saya untuk
membahagiakan beliau, disaat dukungan dari beliau yang benar-benar saya
butuhkan. Saya merasa dipermainkan oleh kenyataan. Jujur, saya masih belum
sepenuhnya pulih dari semua kenyataan ini, karena mimpi saya dari awal adalah
membawa ibu saya tinggal di sini setelah saya menyelesaikan studi saya. Tapi,
kenyataan merampas semua mimpi itu dari saya. Yup sekejam itulah kenyataan.
Namun, Saya tidak akan berhenti di sini, yeah.. life must be go on, right? Tetap semangat
dan selasaikan apa yang harus saya selesaikan. Itulah satu-satu nya hal yang saya jaga
hingga saat ini. Like what I said, I will never stop till the end. Let’s keep fighting. Never give
up, no matter how hard and big obstacles in front of us. We can fall so many times, but as long
as we have these feet to stand up again, don’t be tired to do so.
MUHAMMAD GHIBRAN PASADJO

Hai…
Nama Lengkap gue Muhammad Ghibran Pasadjo panggil aja IBEL. (gak usah
dibahas kok bisa nyambung ke IBEL). Lahir di Luwu Utara 20 Juni 1986. Gue seorang
Sajarana Ekonomi bidang Akuntansi di salah satu Sekolah Tinggi Swasta di Makassar
– Sulawesi Selatan. Gue seorang akuntan di salah satu perusahaan BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) Bidang Pertanian selama 8 tahun. Gue udah bergabung di
perusahaan tersebut dari jaman masih kuliah dan status kepegawaian gue mulai dari
tenaga honor sampai jabatan terakhir gue adalah Kepala Sub Bagian Akuntansi
Wilayah Indonesia Timur.
Suatu hari gue ketemu sahabat dan dia menceritakan tentang Work and
Holiday Visa, dimana program ini merupakan kerjasama Pemerintah Indonesia dan
Australia. Setelah mendengar semua penjelasan tersebut akhirnya gue mencoba
searching apapun di Mbah Google yang berhubungan dengan Program WHV ini.
Setelah 3 minggu gue mencoba mengulik semuanya, akhirnya sahabat gue
memberitahukan kalau ada Group Facebook yang didalamnya berisi semua hal yang
berhubungan dengan WHV mulai dari Senior yang udah lulus, masih berjuang
ataupun teman-teman yang sedang bimbang memulai langkah WHV ini.
Alasan gue ikut WHV karena ingin melepas penat dari kegiatan gue yang
monotan selama hampir 10 tahun. Tidak mudah buat gue untuk ikut WHV, mulai
dari harus siapin mental buat resign di perusahaan yang secara langsung udah
memberikan gue banyak hal. Mengingat bahasa Inggris gue yang amburadul hingga
gue memutuskan pergi ke Pare (Kampung Inggris) untuk belajar disana selama
sebulan dan juga meminjam duit untuk memenuhi persyaratan 5.000 AUD sebagai
salah satu syarat WHV.
Setelah semua persyaratan bisa gue penuhin akhirnya gue mendaftarkan diri
ikut WHV Oktober 2014 dan VISA Granted 27 April 2015. Setelah granted dan setelah
diskusi dengan beberapa teman akhirnya 11 Agustus 2015 gue menuju Sydney –
Australia. Sydney menjadi tujuan pertama, karena sahabat gue memilih ke Sydney
jadi setidaknya gue yang tidak mengenal siapa-siapa di sana masih ada yang bisa
bantu. Yang menjadi dasar pertimbangan gue, kota ini udah sangat familiar di otak
gue dari kecil.
Tiba di Sydney gue gak langsung dapat kerjaan dan itu berlangsung selama 2
minggu. Segala cara sudah dicoba mulai dari keliling lingkungan sekitar menyebar
CV ataupun mencoba secara online. Tapi yang namanya usaha gak akan pernah sia-
sia. Untungnya gue ke Sydney gak sendiri tapi bareng sahabat gue. Karena Informasi
dari teman ke teman akhirnya gue mendapatkan kerjaan sebagai room attendant di
salah satu Hotel, dan di hari yang sama gue juga dapat kerjaan sebagai kitchen hand di
salah satu Indian Resto daerah Pyrmont (Kebayang ga ini lelah nya gue ketiban 2
kerjaan di hari yang sama).
Sebenarnya kerjaan fisik seperti ini tidak membuat gue kaget karna gue udah
terbiasa dengan jenis kerjaan ini. Hanya saja intensitas kerjanya saja yang harus cepat
di adaptasikan. Gue ga akan banyak bercerita seputar dunia housekeeping dan kitchen
hand karena gue yakin banyak orang yang bisa sharing akan hal ini. Gue menjalani
double kerjaan ini selama kurang lebih 4 bulan.
Suatu hari gue mendapat tawaran kerja dari roommate gue di salah satu pabrik
tahu dan tempe daerah Eastgarden. Hmm…. Ini yang bikin gue excited ….. “ada gitu
ya pabrik tahu tempe di Australia” hahahaha. Dan yang paling menggiurkan adalah
jam kerjanya yang panjang (good money di jaman gue).
Hari pertama bergabung di perusahaan ini gue diposisikan sebagai Machine
Operator Tofu. Hallloo…. Ini tuh kasarnya gue di suruh jadi penjaga mesin, dimana
jenis kerjaan ini menjadi pengalaman pertama bagi gue. Kerjaan ini sich lumayan
menguras waktu, gue harus bangun jam 5 pagi demi mengejar bus jam 5.50 Pagi (telat
dikit bisa bablas) tiba di pabrik jam 6.35 gak bisa langsung kerja. Hal yang pertama
gue siapin ganti pakaian dulu (setiap pabrik punya seragamnya masing-masing) abis
itu bekal yang gue bawa tiap hari harus dimasukin ke Freeze biar gak basi (kebayang
kan ini udah makan waktu berapa menit).
Tepat jam 7 pagi adalah jam operasional pabrik, berhubung gue ga mau buang-
buang waktu biasanya sebelum jam 7 gue dah finger print dan sudah mengoperasikan
mesin. Kerjaan gue ini di bilang mudah ya mudah banget, di bilang capek ya mungkin
capek banget. Pagi gue nyalain mesin, ambil kacang di container (ini untuk persiapan
keesokan harinya), siangnya cuma menjaga kestabilan mesin sambil tiap per 40
sampai 50 menit mengganti karung ampas tahu yang udah penuh. Dan ini terjadi tiap
hari sampai closing. Yang membuat gue lelah adalah kerjaan yang membosankan
untuk menunggu dan menahan ngantuk dan yang paling memporsir tenaga adalah
cleaning mesin.
Yah… cleaning…. Ini yang memporsir tenaga, gak semudah yang gue
bayangin. Proses cleaning ini ada beberapa tahap, tapi gue gak bakalan memporsir
pikiran kalian untuk hal cleaning mesin. Hahahaha Australia salah satu negara yang
mempunyai aturan yang sangat ketat tentang higenitas di pabrik. Dalam setahun bisa
2 sampai 3 kali mengadakan inspeksi ke setiap pabrik untuk mengecek kelayakan
operasional.
“Pembuat Tahu” yah inilah julukan gue selama kerja di pabrik. Proses
pembuatan tahu ini di kerjakan 80 persen oleh mesin gue cuma menyiapkan kacang
kedelainya dari gudang kacang sampai akhirnya berada di bak pengelolahan kacang.
Di pabrik ini gue diajarin cara pakai forklift juga biar mudah ambil kacang ataupun
buang ampas tahu “secara satu karung itu mungkin 300 kilo lebih”. Jam kerja panjang
adalah satu-satunya alasan gue memilih kerjaan ini. Start kerja jam 7 pagi dan pulang
kadang jam 9 atau jam 11 malam. Untuk 8 Jam pertama dibayar sesuai upah minimum
kota Sydney selebihnya di bayar Overtime. Untuk 2 bulan pertama gue kerja dari
Senin sampai Sabtu dan Sabtu itu hitungannya overtime karna normal kerja pabrik
Senin sampai Jumat. Overtime biasanya terjadi apabila adanya lonjakan permintaan
dari konsumen.
Selama WHV gue gak selamanya hidup dengan bekerja. Tiap day off gue
sempatin jalan-jalan mau di City atau pun beberapa daerah sekitar Sydney yang
notabene banyak tempat alam yang mudah di jangkau dengan transportasi umumnya
yang sangat sangat membantu. Work and Holiday hal ini yang selalu di benak gue,
kerja sambil liburan bukan kerja sambil kerja. Gue ga maksain diri untuk bekerja
selama setahun penuh karena itu sama aja bohong. Lepas penat di Indonesia malah
kerja keras di negeri orang.
Melbourne dan Canberra menjadi tujuan berlibur gue selain mengelilingi
daerah seputaran Sydney. Sesuatu pengalaman yang boom bagi gue adalah saat ke
Snowy Mountain, amazing bagi gue yang pertama kali lihat salju, dan beruntungnya
lagi gue tiba di saat saljunya turun.
Hal yang gue sesalkan selama WHV adalah pergi tanpa insurance. Insurance
menurut gue hal sangat penting karena kita gak bakalan tau apa yang akan terjadi
selama WHV. Di pabrik gue ngalamin kecelakaan kerja untungnya seluruh biaya di
tanggung oleh perusahaan. Coba kalo ga… bisa terkuras banyak duit gue buat
perawatan kecelakaan kerja. Hal lain yang gue pelajari selama WHV “say NO”. Dunia
kerja emang penuh eksploitasi ini terjadi dimana saja, akan tetapi untuk di Australia
kalian harus belajar untuk mengatakan tidak “apabila” hal itu tidak mendatangkan
keuntungan bagi kalian. Hal ini bukan sesuatu yang tabu kok untuk Australia justru
ini adalah hal yang harus kalian terapkan di dunia kerja.
Cash in Hand. Kerjaan ini harus hati-hati ya. Pastikan jam kerja kalian harus di
catat. Setiap gajian di Re-Check. Kalo udah ada 2 kali kekurangan gaji, saran gue
mending kalian cari kerjaan lain aja apalagi kerjanya sama orang Asia.
Bagi kalian yang ingin sekolah di Australia sebaiknya nyambi cari kerjaan yang
sesuai dengan background pendidikan kalian, gak ada yang gak mungkin kok. Take a
short course ataupun ikut komunitas karena terkadang mengorbankan waktu untuk
mencari duit bisa mendatangkan rejeki.
Work and Holiday VISA (WHV) bagi gue suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk melangkah satu step kedepan. Mengetahui kebiasaan-kebiasaan
orang lain yang pada dasarnya jauh dari kebiasaan kita. Dan ini semua tidak
menghabiskan banyak biaya. Kesempatan yang ada bisa membuka banyak peluang
pekerjaan, pertemanan, informasi, petukaran budaya dan masih banyak lagi. Yang
udah selesai WHV bisa balik lagi dengan beberapa opsi, yang gak memih untuk
kembali bisa memanfaatkan pundi yang telah di kumpulkan untuk melanjutkan
karirnya, membuka usaha di Indonesia ataupun pergi traveling ke beberapa Negara
lainnya.

AHMAD ADIB

Akhirnya, kedua kaki ini telah sampai di Melbourne. Dengan sebuah nafas
panjang, kuyakinkan diri untuk mencoba sebuah peruntungan baru. Memulai
segalanya dari nol. Karir ataupun pendidikan yang sudah kuidamkan semenjak lama,
harus kusingkirkan sejenak. Aku yakin, rencana Tuhan jauh lebih baik dibandingkan
rencanaku sebagai seorang hamba yang kecil. Dan ternyata, ini benar bukan?
Selepas lulus dari sebuah kampus negeri di bilangan Depok, aku mantapkan
diri ini untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di sebuah negara yang sudah
kuidam-idamkan semenjak lama, Inggris. Selama tiga bulan lebih, aku melakukan
persiapkan dengan pergi merantau ke sebuah kampung yang dimana ada nama
negara idamanku, “Kampung Inggris.” Namun, Tuhan memberiku sebuah kegagalan
dipercobaan pertamaku. Pada waktu itu, aku berpikir untuk menyudahi saja
mimpiku. Kukubur dulu dan akan kugali-gali pada saat yang lebih tepat. Janjiku,
pada diri sendiri.
Selanjutnya, aku pun bekerja di sebuah kementrian yang didalamnya terdapat
sebuah lembaga yang menyediakan beasiswa pendidikan tinggi lanjutan bagi anak
terbaik negeri. Lembaga ini sangat dikenal di kalangan pelajar Indonesia tentunya,
bahkan dapat dikatakan sebagai lembaga pemberi beasiswa yang paling dikenal di
Indonesia saat ini. Pekerjaanku selama kurang dari satu tahun disana berjalan dengan
sangat lancar dan baik. Aku diberikan sebuah tugas yang membuatku terbiasa
bertemu dengan tokoh nasional dengan reputasi baik, terlebih riwayat
pendidikannya. Selain itu, para awardee yang setiap minggunya berganti juga tak
kalah hebatnya, karena kepada merekalah Indonesia berinvestasi sangat besar,
bukan?
Ditengah nyamannya bekerja, aku pun tersadar dengan sebuah surel yang
masuk mengingatkanku pada jadwal wawancara visa bekerja dan berlibur Australia,
atau yang biasa disebut WHV (Work and Holiday Visa). Selepas wawancara dan tes
kesehatan, aku pun kembali mendapatkan surel bahwa sudah diterimanya visaku.
Dengan kegundahan karena akan melepas pekerjaan yang sudah kunikmati, aku
memutuskan untuk siap bertualang ke Australia.
Bersamaan dengan Tante Emil yang merupakan teman baik ibuku yang ingin
menjenguk anaknya di Melbourne, aku pergi pada pertengahan Maret 2016 menuju
kota dengan julukan “The Most Liveable City in the World” ini. Selama hampir satu
bulan lamanya, aku mencari pekerjaan di Melbourne. Ini merupakan saat-saat tersulit
selama berada di Australia. Aku merasakan bagaimana tidak mudahnya mencari
pekerjaan disini, pintu demi pintu restoran, toko, maupun swalayan aku hampiri
untuk sekadar memberikan curriculum vitae-ku. Sudah banyak pula surel yang aku
kirimi untuk melamar pekerjaan. Ada beberapa balasan dari surel yang menyatakan
penolakan, pemberian jadwal interview, namun sebagian besar tidak ada respon sama
sekali. Aku sangat gundah, aku sangat teramat gundah.
Australia, sebagai salah satu negara dengan biaya hidup tertinggi di dunia,
tentunya akan sangat membutuhkan banyak uang untuk dapat bertahan hidup. Aku
pada saat itu tinggal bersama anaknya Tante Emil di sebuah house sharing bersama
dengan dua temannya dari Nepal. Mereka sangat baik kepadaku dengan memberikan
penginapan gratis selama hampir satu bulan tinggal disana, bahkan juga memberikan
makanan kepadaku. Mereka bertiga merupakan mahasiswa yang juga bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup selama disini. Aku merasa sangat tidak nyaman untuk
terus bersama mereka, aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Sesegera mungkin.
Ada salah satu email yang menerimaku untuk bekerja sebagai kitchenhand di
sebuah restoran China, namun aku merasa sedikit kurang nyaman dengan isi email
yang menanyakan apakah aku mau bekerja dengan restoran yang menyajikan babi.
Aku menyadari bahwa di negara dengan minoritas muslim seperti Australia ini akan
sangat sulit sekali mencari pekerjaan yang moslem friendly. Aku termenung, bingung
harus berbuat apa. Walaupun beberapa orang menyarankanku untuk mengambil saja
pekerjaan tersebut dan tetap mencari pekerjaan lainnya, aku putuskan untuk tidak
mengambilnya. Aku tidak ingin pekerjaan yang tidak berkah dan dan bertentangan
dengan agama yang kuyakini.
Salah satu usaha yang aku lalu adalah mencari pekerjaan di tempat lain, tidak
hanya di Melbourne, termasuk state lainnya. Aku terpikir untuk pergi ke Perth yang
dimana ada tanteku yang menyatakan akan menyediakan kamar untukku, ke Darwin
dimana ada temanku yang mengenalkanku akan WHV yang banyak membantuku
selama proses WHV bahkan hingga saat ini, dan juga Sydney sebagai salah satu kota
terramai di Australia. Aku terus berikhtiar, aku yakin Allah selalu bersama hamba-
Nya.
Allah terlalu hebat dari apa yang bisa kita bayangkan. Aku sangat bersyukur
bahwa aku akhirnya mendapatkan interview pekerjaan di dua buah agen housekeeping
dan sebuah restoran Jepang yang keduanya berada di Sydney. Aku yakin, setidaknya
ketiga calon pekerjaanku ini memiliki peluang yang cukup besar. Aku pun membeli
tiket kereta dari Melbourne menuju Sydney pada hari Senin, 4 April 2016. Satu hari
sebelum keberangakatanku, pada waktu solat ashar, aku berdoa kepada Allah
semoga terus membimbingku dan menunjukkan jalan yang terbaik yang harus aku
lalui selama disini. Tepat pada waktu itu, aku mendapatkan kabar dari Tante Yela
yang merupakan adik dari Tante Emil yang sudah menjadi Permanent Resident di
Melbourne, bahwa ada sebuah pekerjaan di Warrnambool.
Sebelumnya, aku juga sudah mendaftar untuk bekerja di pabrik daging halal
ekspor di Warrnambool melalui agen yang kudapat dari temanku sesama WHV
Indonesia yang sudah terlebih dahulu bekerja disana. Namun agen tersebut
menyatakan bahwa tunggu 2-3 minggu karena sedang banyak orang yang mendaftar
pekerjaan. Maka, kuurungkan saja niatku untuk bekerja disana. Namun Tante Yela
melalui kenalannya disana mengatakan bahwa ada lowongan pekerjaan di pabrik
yang sama namun melalui agen yang berbeda. Kutanyakan kepada temanku yang
sudah disana bukanlah besarnya gaji, namun apakah ada waktu solat yang diberikan
karena aku tahu waktu kerja di pabrik sangatlah padat. Dia menyatakan tidak tahu,
namun ada sebuah masjid perusahaan yang biasa digunakan bagi muslim.
Mendengarnya saja aku merasa sangat lega. There will be something bigger and better
coming, I believe it.
Keesekoan harinya, aku langsung membeli tiket menuju Warrnambool untuk
hari Selasa, 17 April 2016. Warrnambool merupakan salah satu KotaVictoria yang
berada sekitar 300 km dari Melbourne. Sebagai country side, sangat sulit mendapatkan
penginapan di Warrnambool. Namun berkat bantuan Tante Yela lagi, aku
mendapatkan kontak sebuah keluarga Indonesia muslim yang tinggal di
Warrnambool yang akan menjadi land lord-ku.
Selepas sampai di Warrnambool, aku dijemput oleh Tante Heni, yang
merupakan teman sekolah Tante Emil dulu ketika di Indonesia, aku langsung diantar
di pabrik daging tersebut. Aku bertemu dengan Pak Khairul, orang Indonesia yang
akan menjadi land lord-ku yang juga bekerja di pabrik daging tersebut. Kami sempat
berbicara sebentar dan aku langsung dipertemukan dengan agen untuk mengurus
pendaftaran bekerja. Selama satu minggu, terdapat beberapa tes sebelum bekerja,
yaitu tes tertulis dan tes kesehatan yang terdiri dari tes kulit, telinga, dan Q-Fever.
Apabila semua tes telah usai, maka kita akan ditempatkan di waiting room untuk
menunggu pos mana yang membutuhkan pekerja baru. Jadwal menunggu ini bisa
berbeda-beda, bisa satu hari, dua hari, satu minggu, dua minggu, satu bulan, atau
bahkan lebih.
Pada pelaksaan tes kulit, saya ditanya oleh salah satu orang disana yang saya
kira merupakan dokter, dari mana aku berasal dan agama apa yang kuanut. Aku
jawab bahwa aku orang Indonesia yang juga seorang muslim. Selepas itu, aku kembali
mengantri untuk tes telinga, namun orang yang menanyakan padaku tadi yang
ternyata merupakan salah seorang manajer perusahaan disana, kembali menemuiku
dengan seorang pria yang tidak terlihat seperti orang Australia, namun seperti India.
Dia menyatakan bahwa aku harus disegerakan untuk tes telinga dan setelah itu
ditunggu untuk masuk ke sebuah ruangan yang bertuliskan “Halal Meat Supervisor.”
Selepas tes telinga, aku masuk ke ruangan tersebut dan ditanyakan oleh orang
berparas India tersebut yang merupakan Moslem Supervisor disana, mengenai solat,
Al-Qur’an, dan beberapa pertanyaan dasar agama Islam. Dia menanyakan kepadaku
apakah tertarik untuk menjadi moslem slaughter man atau penyembelih muslim. Dia
menerangkan bahwa pekerjaan ini harus seorang muslim dengan pengetahuan
muslim yang baik, tidak melakukan hal yang dilarang agama yang mendapatkan
spesial perlakuan dari perusahaan dengan diberikan waktu solat, dan dapat diberikan
sponsor dari perusahaan sebagai PR. Dengan senang hati dan sumringah, saya
menyatakan bersedia.
Selama berkerja di perusahaan yang bernama The Midfield Group ini, aku
diajarkan dari dasar bagaimana caranya menyembelih dengan benar dan cepat.
Kenapa harus dengan cepat? Karena dalam satu menit, harus menyembelih sebanyak
7 – 10 ekor kambing atau 1 – 2 sapi dengan satu kali potongan. Terdapat empat chains
pemotongan, dua untuk small stock yang terdiri dari lamb, mutton, dan small chalf dan
dua lagi untuk cow dan bull. Di setiap chain, terdapat dua orang yang menjadi moslem
slaughter man untuk 5000 - 7000 small stock dan 700 – 1000 cow dan bull setiap harinya.
Kami para slaughter men mendapatkan giliran 30 menit memotong dan 30 menit
mengasah pisau sekaligus cek kehalalan hewan potongan. Selain itu, aku pun belajar
bagaimana cara mengasah yang sesuai agar dapat menghasilkan pisau yang sangat
teramat tajam. Selain itu, aku juga diajarkan bagaimana menjaga kehalalan kambing
dan sapi sebelum dipasarkan. Salah satunya adalah apabila terdapat sapi yang mati
sebelum disembeli dahulu, maka harus ditempelkan label “Non Halal” dan terus
dipantau oleh moslem slaughter man pada semua proses produksi.
Hal yang menurutku sangat tidak terhingga adalah, kami diberikan waktu
untuk tetap beribadah ketika bekerja. Seperti setiap pagi yang dimulai sebelum
berkumandangnya adzan shubuh, maka satu orang bekerja dan satu orang bersiap
solat dan setelah orang pertama solat subuh, maka orang kedua pun bergantian solat
shubuh. Namun, keduanya tetap dihitung waktu penuh dalam bekerja. Begitupun
ketika solat dzuhur. Bahkan, ketika pelaksanaan solat Jumat yang membutuhkan
waktu sekitar satu jam, salah satu Moslem Slaughter man dari setiap chain mendapatkan
waktu solat dan ini bergiliran setiap minggunya.
Aku merasa sangat bersyukur dapat bekerja disini. Salah satu kenikmatan
untuk tetap beribadah adalah ketika bulan Ramadhan. Kami para Moslem
slaughtermen terbiasa untuk mengaji ketika smoko time atau waktu istirahat pada saat
bekerja. Dimalam harinya, kami melaksanakan solat tarawih berjamaah dan beberapa
kali berbuka puasa bersama pula. Pada saat perayaan lebaran lalu, walaupun tidak
diberikan hari libur, karena bukan termasuk hari libur nasional di Australia, proses
produksi di semua chain diberikan waktu istirahat selama satu jam untuk memberikan
waktu bagi para muslim untuk solat ‘ied. Ternyata, muslim yang bekerja tidak hanya
bekerja sebagai moslem slaughter man, namun juga bagian lainnya. Masjid sebagai
tempat dimana kami biasa solat yang juga menjadi Islamic Center of Warrnambool yang
merupakan sebuah working space yang diberikan dari pihak perusahaan. Alhamdulillah
‘ala kulli haal
Australia, sebagai negara minoritas muslim, bukanlah hal yang mudah bagi
muslim untuk tetap hidup berdampingan namun bisa tetap beribadah dengan baik.
Namun, satu hal yang akan terus kuyakini bahwa Allah selalu bersama hamba-
hamba-Nya, termasuk aku. Perjalananku selama beberapa bulan di Australia ini
menjadi salah satu perjalanan yang membuka mataku lebih lebar akan kuasa-Nya.
Dahulu, langkah kaki yang kian terasa berat, senyuman yang kian memudar, dan air
mata yang kian banyak menetes, semua hilang disetiap doa yang dicurahkan. Kita
ialah makhluk yang terlalu resah ditengah rahasia Tuhan yang begitu dahsyat.
Bahkan, apakah kamu tahu, bahwa kini aku tidak lagi di Warrnambool?
Darwin, 12 Agustus 2016 pukul 01.01am
ALFI BAQIATUS SHOFI

Latar Belakang Ikut Whv


Nama saya Alfi Baqiatus Shofi, perempuan berusia 24 tahun yang berasal dari
Kabupaten Jombang, sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur. Saya lulusan Teknologi
Pertanian, Universitas Gadjah Mada angkatan 2011. Saya lulus di tahun 2015 dan
sempat bekerja sebagai petugas lapangan dalam program peningkatan produksi hasil
pertanian oleh pemerintah di Yogyakarta selama satu minggu. Ya, hanya satu minggu
saja dan kemudian saya memutuskan untuk resign. Alasan utama saya resign adalah
karena saya tidak bisa membendung hasrat saya untuk kuliah di luar negeri. Hasrat?
Ya, bukan sekedar keinginan tapi hasrat untuk melihat dunia lebih jauh.
Setelah itu saya memutuskan untuk belajar di kampung Inggris Pare, Kediri,
Jawa Timur. Di tempat inilah saya belajar IELTS selama 3 bulan dan kemudian
memutuskan untuk mengambil tes pada bulan Maret 2016 secara terburu-terburu
karena deadline pengajuan beasiswa sudah sangat dekat. Hal yang pada awalnya saya
sesali namun pada akhirnya saya syukuri. Dua minggu setelah tes, hasil pun
diumumkan melalui website. Hasil yang sangat tidak saya harapkan dan akhirnya
membuat saya urung untuk meneruskan aplikasi beasiswa saya. Satu minggu
setelahnya saya memutuskan untuk kembali belajar writing IELTS di Pare secara
private. Di tempat kursus inilah saya bertemu dengan seorang teman, mbak Delta
Mentang. Ia berencana untuk mengambil tes IELTS General dan menggunakan hasil
tes tersebut untuk mendaftar Working Holiday Visa di Australia. Saat itu saya tidak
tertarik dan saya juga tidak mencari tau lebih jauh dengan prgoram tersebut. Sebulan
setelah perbincangan saya dengan Mbak Delta, saya memutuskan untuk kembali ke
Jombang dan belajar mengenai grammar di sebuah tempat kursus di Jombang.
Beberapa waktu kemudian, saya mendengar beberapa teman saya berhasil
mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di luar negeri. Belanda, Australia, Jepang,
Inggris, dan California. Di saat yang bersamaan, kekasih saya juga sedang menempuh
study di Australia. Hal tersebut membuat saya senang dan sedih di saat bersamaan.
Hal tersebut juga yang membuat saya memutuskan untuk mengikuti program
Working Holiday Visa di Australia sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan saya
terhadap diri saya sendiri karena kelemahan saya di Bahasa Inggris. Pertimbangan
lain adalah dengan mengikuti program ini saya bisa belajar bahasa Inggris di negara
yang sehari-hari menggunakan bahasa Inggris, sambil saya juga bisa menabung dan
berlibur. Setelah saya menghubungi mbak Delta untuk mencari tahu lebih lanjut
tentang program ini, saya bergabung dengan group WHV di Facebook. Dari group
tersebut saya meluncur ke website imigrasi dan mempelajari lebih dalam lagi.
Pada tanggal 26 Juni 2016 saya mendaftar online di website imigrasi kemudian
visa saya dinyatakan granted pada 25 Agustus 2016. Perjuangan yang tak mudah dan
juga membutuhkan biaya dan waktu yang tak sedikit. Saya memutuskan untuk
berangkat ke Australia bulan Desember mengingat kekasih saya yang juga sedang
study di Brisbane, Australia akan mengikuti wisuda bulan Desember 2017 (kalau
lulus, dan alhamdulillah lulus tepat waktu). Hal ini juga yang membuat saya
memutuskan Brisbane sebagai tempat persinggahan pertama saya dan Australia
menjadi negara pertama selain Indonesia yang akan saya pijak.

Pengalaman Bekerja di Australia


Tanggal 17 Desember 2016, saya sampai di Brisbane. Cuaca yang sangat panas
dan saat musim libur membuat saya kesulitan mencari pekerjaan. Sangat sedikit
sekali informasi lowongan kerja casula/temporary yang bisa saya apply. Setelah
sekitar 2 minggu menunggu, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan
aplikasi Airtasker. Dari aplikasi inilah saya mendapatkan pekerjaan pertama saya
sebagai babysitter sehari. Saya hanya bekerja menemani dua anak bermain di tempat
bermain di sebuah mall sambil menunggu sang ibu selesai berbelanja. Pekerjaan ini
tidak sulit tapi cukup melelahkan. Setelah itu saya mendapatkan pekerjaan sebagai
forthrightly cleaner di sebuah unit. Saya bekerja membersihkan toilet dan kamar satu
kali dalam dua minggu saat akhir pekan. Pekerjaan ini tidak terlalu melelahkan
karena si pemilik room bekerja di luar kota dan hanya menggunakan kamar tersebut
sesekali dalam beberapa minggu.
Gaji sebagai cleaner hanya cukup untuk kebutuhan makan dan transportasi.
Saya harus menggunakan uang tabungan saya untuk membayar sewa kamar setiap
minggunya. Saya berjuang untuk mendapatkan pekerjaan part time/full time/casual
selama 2 bulan. Hal yang tidak saya duga sebelumnya, begitu sulit mencari pekerjaan
di Brisbane. Alasan-alasan umum yang saya dapatkan saat employee menolak aplikasi
saya adalah karena saya berhijab dan status saya yang hanya temporary. Februari 2017,
saya memutuskan untuk menyerah dan kembali ke Indonesia karena uang tabungan
saya sudah menipis dan ibu kekasih saya meninggal dunia. Sangat berat hidup sendiri
di Brisbane tanpa pekerjaan.

Panasnya Brisbane di musim Banyak hewan liar, kadal, burung,


panas posum, ayam, bakan kangguru

Maret 2017, angin segar pun datang. Saya memutuskan kembali ke Brisbane
untuk bekerja di farm di daerah Gatton. Pekerjaan yang saya hindari karena kondisi
fisik saya yang tak cukup kuat untuk bekerja di bawah sinar matahari Australia yang
sangat tidak bersahabat. Beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Gatton (saya
mendapatkan job dari sunqld.com dan gatton backpackers website), saya mendapat
panggilan wawancara di sebuah restoran sebagai dishwasher dan di sebuah hotel
sebagai casual cleaner (kedua lowongan pekerjaan ini saya temukan di sunqld.com). Hal
yang masih saya sesali adalah saya langsung menerima pekerjaan sebagai dishwasher
karena restoran tersebut lebih dekat dengan tempat tinggal saya. Seharusnya saya
bisa mendapatkan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu bersamaan. Nasi sudah
menjadi kotoran, mau apalagi…. Pada akhirnya dishwasher adalah pekerjaan long
hours dan long times saya selama di Australia. Dari pekerjaan saya ini saya belajar
mengenai food chain dan management restaurant meski secara fisik dan mental saya
sangat lelah. Bekerja dari pukul 11 pagi hingga pukul 11 malam dengan jam istirahat
2 jam selama lima setengah hari setiap minggunya, membuat saya lupa dengan tujuan
awal saya untuk improve IELTS. Semua rencana saya untuk mengikuti kelas IELTS
dan kelas food safety selama di Australia hanya menjadi rencana karena kondisi fisik
saya yang terlalu lelah dan lemah. Payah! Selama bekerja sebagai dishwasher saya juga
mencoba untuk mendaftar pekerjaan melalui Seek, JobActive, Spotless, MLKA, Compass,
bahkan saya juga mendatangi langsung kantor AHS dan beberapa agen lainnya
namun mereka menyarankan saya untuk mendaftar melalui Seek. Beberapa agen
pencari kerja memberi alasan aplikasi ditolak, adalah karena saya tidak memiliki
driving license (mobil).
Saya juga pernah mencoba mendaftar beberapa perusahaan makanan,
perkebunan, dan penelitian namun mereka hanya membutuhkan seseorang yang
dapat bekerja minimun satu tahun kontrak. Saya sudah mendaftar lebih dari 100
lowongan pekerjaan, namun sebagian besar alasan saya ditolak adalah karena saya
memakai hijab. Hijab tidak safety bagi beberapa restoran bahkan mengurangi
keoriginalitasan restoran. Meskipun posisi yang dibutuhkan hanya sebagai kitchen
staff bukan front staff. Seringkali saya ditelpon untuk datang wawancara namun ketika
saya konfirmasi kembali bahwa saya menggunakan hijab, employee/manager seketika
membatalkan wawancara yang akan saya hadiri dengan alasan sudah mendapatkan
staff yang baru. Hari-hari yang berat dan menyenangkan saya lalui di Brisbane.
Oktober 2017, saya mendapatkan second job sebagai housekeeper di sebuah keluarga
muslim di Brisbane (saya mendapatkan pekerjaan ini dari group Muslim Brisbane di
Facebook). Pekerjaan yang saya lakukan hanya mencuci, menyetrika, dan melipat
pakaian di akhir pekan. Pasangan suami istri tempat saya bekerja tersebut (suami
Australian, istri Canadian) sangat baik dan sering berdiskusi dengan saya mengenai
hidup di Australia sebagai muslim.
Co-workers Break time mampir cucu mata di
taman

Asik, Seru, Suka, dan Duka Kehidupan di Australia, Trust me, It is worth to try!!!

Pengalaman sebagai Working Holiday Visa holder adalah pengalaman yang


paling berkesan selama hidup saya, saya mengalami banyak hal baru dalam hidup
saya yang saya anggap sebagai bagian dari pendewasaan diri saya. Bekerja sebagai
dishwasher di sebuah restoran Asia, membuat saya harus ekstra dalam pengendalian
diri. Saya sering disebut bodoh oleh salah seorang koki di tempat saya bekerja
(memang dia menyebut semua orang itu bodoh) karena kekurangan di bahasa Inggris
saya dan banyak lagi drama yang saya pikir tidak akan saya temui lagi hal-hal seperti
ini di Australia. Namun sepertinya saya salah. Sikap-sikap judgemental, bullying, dan
lain sebagainya, muncul dimana pun kita berada, bukan faktor di mana negaranya,
tapi seperti apa pola asuh dari sebuah keluarga.
Di Australia, saya juga belajar, manusia kaya, manusia pintar, semua hal
tersebut tidak menentukan kualitas seseorang namun pola asuh kelaurga sangat
berperan dalam pembentukan karakter seseorang. Saya juga belajar tentang ilmu
parenting dan pola pendidikan anak dari beberapa teman yang bekerja dan memiliki
anak yang bersekolah di daycare. Termasuk betapa asyiknya mengajak anak-anak
belajar dan mencintai museum. Lebih dalam lagi, sebagai seorang muslim, saya harus
mengatur waktu bekerja saya dengan sholat saya. Di sini lah saya sangat bersyukur,
saya masih diperbolehkan sholat meski belum waktunya istirahat. Saya juga belajar,
bagaimana tetap bisa travelling dan bisa melaksanakan sholat. Beruntung, di tempat-
tempat terbuka terdapat keran air yang bisa digunakan untuk minum dan wudhu lalu
dapat melakukan sholat di tempat umum asal tidak mengganggu orang lain.

Sea Life Sydney, menambah University of Queensland, memiliki


wawasan tentang fauna laut banyak spot foto yang tak akan ada habisnya

Saya bertemu orang-orang yang tidak respect terhadap saya bahkan menghina
saya karena saya berhijab. Namun di saat yang bersamaan saya juga menemui banyak
orang yang menghargai saya sebagai muslim yang berhijab. Contoh, saya
diperbolehkan sholat di garasi mobil pemilik cafe sebelah tempat kerja saya. Sang
pemilik cafe adalah seorang perempuan Australia, bertato, dan perokok. Namun kami
sering bercerita dan bercanda tanpa memandang perbedaan kami adalah sebuah
batasan dalam berteman. Bapak kos seorang Australia yang sangat baik dan
menganggap saya sebagai teman baik bahkan mengurus keperluan claim tax saya
juga adalah contoh nyata masih ada orang-orang yang baik terhadap saya. Bagi saya,
berbuat baik kepada sesama adalah pengenalan Islam yang sesungguhnya terlepas
dari masih banyak orang yang memandang negatif perempuan berjilbab dan Islam.
Sebagai muslim, saya menunjukkan kepada teman-teman yang hanya mendengar
mengenai umat muslim melalui media, bahwa muslim sebenarnya adalah muslim
yang mengasihi sesamanya, mengasihi alam.
Sholat di tempat umum Perayaan HUT RI 2017 di Brisbane

Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah saya dapatkan, WHV sangat


menguntungkan bagi kalian yang ingin hidup mandiri di luar negeri, belajar bahasa
Inggris lebih intensif, mengenal budaya-budaya lain, memperkenalkan budaya
Indonesia, belajar lebih ekstra sabar dengan segala perbedaan, mendapatkan gaji
banyak (haha), dan mengenal siapa diri kita sebenarnya.

Tips Untuk Teman-Teman…..


Terakhir, saran untuk teman-teman yang akan berangkat WHV, siapkan
driving license (mobil), rajin-rajin olah fisik supaya kuat, dan belajar idiom-idiom juga
slang Australi (biar kalo diajak ngobrol/becanda nyambung). Pilih pekerjaan yang
sudah pasti sebelum berangkat, misalnya mendaftarkan diri ke Agrilabour. Semoga
cerita saya menjadi motivasi dan pembelajaran bagi teman-teman, terutama
muslimah berhijab. Stay strong :)
DINA ARIYANTI

Bismillahirohmanirohim. Perkenalkan nama saya Dina Ariyanti, lahir dan


besar di lampung, dan asli suku lampung juga selama 23 tahun hidup di Bandar
Lampung. Pernah dan lulus kuliah hingga sarjana dari Universitas Lampung. Setelah
lulus kuliah sempat memiliki pekerjaan sebagai marketing di salah satu bank BUMN
di Indonesia selama kurang lebih 15 bulan dengan gaji lumayan (ketika capai target)
tapi status kontrak kerja tidak jelas (bukan pegawai tetap). Ketika kuliah selalu
terlintas pikiran untuk keliling dunia secara gratis dan dapat uang lalu berselancar
melalui dunia maya sampai menemukan cerita tentang Work and Holiday Visa di
Australia. Selesai kuliah, mimpi Whv di sematkan sebagai impian dengan beberapa
persyaratan yg lumayan sulit jika hanya di fikirkan tapi akan mudah jika di usahakan
dengan niat yg baik (WHV di tujukan buat saving money untuk membahagiakan
keluarga dan lanjut kuliah Aamiin).
Australia adalan negara pertama yang saya kunjungi untuk traveling di negara
lain. Negara yang besar dan nyaman untuk tinggal dan hidup dengan keluarga
(berasa sedih kalo gak ada keluarga, jadi ga cocok sendiri disini hahahaha).
Pertama sampai di Australia, saya memilih langsung tinggal dan cari kerja di
Australia bagian Utara, tepatnya di Darwin, Kota Panas tapi menenangkan dan
membosankan. Mencari keberuntungan dan punya teman seperjuangan untuk
mencari kerja bersama dari awal hidup di Aussie (Dita, namanya). Kita dapat kerja
sebagai cleaning office dengan boss yang berasal dari Indonesia juga. Mendapat
pengalaman kerja cleaning dan survive dengan skill cleaning di Darwin sampai
sekarang.
Sebenarnya banyak sekali tantangan dan kebahagian dengan hidup merantau
di negara lain. Apalagi ini pengalaman pertama saya jauh dari orangtua. Shock culture,
pertemanan yang tidak sesuai ekspektasi dan home sick. Yang lebih khusus saya
rasakan disini, kita sangat hidup mandiri, bertahan hanya sendiri, jadi saya pun
sebenarnya sangat tidak suka pada bagian hidup di negara maju seperti ini,
Individualis. Dan lainnya homesick, rindu keluarga padahal tinggal pulang, tapi
beberapa dan kebanyakan anak WHV lebih senang kerja di bandingkan pulang
menemui orangtua (hanya pendapat saya hahahaha).
WHV adalah salah satu hal yg harus kamu coba, karena jika kamu ingin
merasakan tantangan hidup, saving money, kamu bisa peroleh dengan visa ini. Tapi
semua tergantung tujuan dari awal, karena kamu akan menemui banyak
kebingungan jika tidak tau arah apa yang kamu ingin dapatkan dari WHV ini. Jika
kamu tidak punya tujuan ketika mendapatkan visa ini, bisa jadi kamu hanya akan
melewatka 2 tahun dengan kebanyakan liburan dan pulang ke indonesia tanpa
membawa uang tabungan, jadi tentukan arahmu dari sekarang sebelum memulai
perjalananmu di Aussie. Sampai jumpa di Australia. Tetap ingat Indonesia, dan tetap
cintailah negaramu sendiri, karena kamu tidak akan pernah tau bahwa beberapa dari
kalian akan mungkin sangat mencintai Australia ketika meraskan nyaman hidup di
sini. Semangat!

NURDIAH AMALIA

@nurdiahamaliasam akun instagram tersebut sering wara-wiri dengan


#whvindonesia setelah keberangkatan saya ke Australia. Orang-orang lebih
mengenal saya dengan manusia tukang posting dan pamer, apalagi setelah
menginjakkan kaki ke Australia. Sejujurnya bukan pamer, saya hanya ingin
menunjukkan bahwa anak pesisir pantai Bulukumba (Sulawesi Selatan) yang dari
keluarga sederhana bisa jalan-jalan di Australia tanpa membebani orang tua.
Perjalanan saya mengikuti Program Working Holiday Visa berawal dari
keisengan bertanya dengan teman yang sudah lama di Australia. Waktu itu saya baru
saja lulus Kuliah dengan status magang di salah satu perusahaan sertifikasi di Jakarta.
Teman tersebut menyarankan untuk mengikuti program Working Holiday Visa lebih
dulu di bandingkan dengan daftar kuliah di Australia. Karena WHV hanya di
dapatkan 1 kali dan harus berada di bawah umur 30 tahun.
Dari informasi teman tersebut saya mulai daftar dengan asumsi di panggil
interview oleh imigrasi entah kapan dan pasti lama. Ternyata Tuhan berkehendak
lain, dalam kurung 3 hari email panggilan inteviewpun datang. Dramapun di mulai,
telpon ayah dan ibu menjelaskan program tersebut.
Saya bersyukur karena orang tua tidak bertanya panjang lebar dan justru
mendukung dan percaya bahwa saya tidak mungkin menyalah gunakan izinnya. Hal
terberat yang saya rasakan bahwa saya harus meninggalkan pekerjaan dan harus
memulai zona baru yang belum ada jaminannya. Parahnya, ini adalah perjalanan saya
keluar negeri.
Pesam saya jangan mengambil WHV jika ingin hidup tanpa jaminan. Karena
di WHV semua harus di usahakan sendiri. Seperti pekerjaan, akomodasi, state yang
akan di tujuh. Semuanya harus di urus sendiri. Modalnya cuman satu yaitu yakin dan
percaya.
Sydney adalah tujuan pertama saya, karena teman yang menginformasikan
mengenai WHV ada di sini. Hal itu menjadi salah satu pertimbangan saya, mengingat
ini kali pertama saya keluar negeri. Teman yang baik ini pula yang menyiapkan
akomodasi dan menjemput saya di bandara.
Pekerjaan saya pertama kali yaitu sebagai waitress di warung sushi.
Pekerjaannya gampang-gampang susah. Gampangnya karena kalian hanya melayani
tamu, susahnya factor bahasa. Ternyata bahasa Inggris orang Australia agak sedikit
beda dengan bahasa Inggris yang sering kita dengar di movie. Cara mereka berbicara
sangat lancar sehingga kadang saya harus meminta maaf dan meminta mereka untuk
mengulang perkataan mereka. Pekerjaan ini saya lakoni hanya 2 minggu karena gaji
yang kata orang-orang sangat rendah yaitu $12 perjam dan tidak memenuhi syarat
minimum wages Australia.
Alasan kedua karena saya harus berdiri kurang lebih 10 jam. Pekerjaan tersebut
saya dapatkan dari keluarga yang kuliah di sini. Saran saya, ketika kalian pertama
kali ke Australia jangan memilih-milih pekerjaan. Setidaknya kalian harus punya
pengalaman terlebih duhulu sebagai pertimbangan pekerjaan kalian selanjutnya.
Menjadi WHV tidak selamanya bahagia seperti yang kalian lihat di
#whvindonesia. Khususnya ketika mereka mengejar second year visa. Kit hrus rela
bekerja di bidang yang telah di tentukan oleh pemerintah Australia. Pekerjaan yang
saya ambil ketika mengejar second year yaitu dibidang hospitality.
Saya bekerja sebagai all arounder di salah satu motel terbesar di Darwin. Di
tempat inilah saya belajar arti perjuangan dan kesabaran. Tapi di motel inilah saya
merasa bahwa kemampuan bahasa inggris saya meningkat. Dibayar layak dan di
hargai. Tapi, sebelum mendapatkan pekerjaan ini, saya juga pernah bekerja sebagai
picker buah selama 2 minggu di daerah Katherine NT. Beliave me, duitnya banyak tapi
siksanya tak tertahankan. Saya kagum dengan teman-teman yang bekerja di bidang
tersebut dan cukup lama.
WHV bagiku adalah perjalanan hidup yang mengajarkan cara bersyukur dan
menghargai orang lain. Dibayar selayaknya sesuai kemampuan kalian. Di Australia
saya belajar menghargai semua pekerjaan. Di Australia saya belajar mengenai
penyamarataan pekerjaan. Di Australia saya melihat BOS banting tulang dibanting
bawahannya.
Tapi, jangan harap semua anak WHV sama. Setiap orang datang kesini punya
tujuan yang berbeda. Ada anak WHV yang ke Australia jalan-jalan. Ada yang datang
ke Australia kerja keras untuk dapat uang bayar hutang di Indonesia. Ada yang
datang untuk modal kuliah lagi. Ada yang datang untuk cari modal nanti ketika balik
kekampung. Ada yang datang main judi hingga di jadi buronan.
Benefit ke Australia menggunakan WHV yaitu syarat yang tidak terlalu berat
dan kalian bias jalan-jalan kesemua state dan yang paling asyik kalian bisa bertemu
WHV dari seluruh dunia. So, sebelum ke australia melalui WHV perbaiki niat kalian.
Jangan sampai Australia menaklukkanmu, tapi buat Australia takluk padamu.
Berikut beberapa foto hasil perjalanan saya yang mungkin akan memotivasi
kalian untuk ke Australia,

My WHV Story
Explore, Dream, Discover!

Enlik Tjioe

Pengenalan Pribadi
Hai pembaca, nama saya Enlik Tjioe, saya berasal dari Pontianak, Kalimantan
Barat, namun saya tumbuh besar di Bekasi, Jawa Barat. Saya kuliah di Universitas
Gunadarma kampus Kalimalang, mengambil jurusan S1 Teknik Informatika, dari
tahun 2009-2013. Lulus dari salah satu kampus swasta terbaik tersebut, saya bekerja
sebagai Game Programmer di perusahaan game developer asal Jakarta, Touchten
Games, selama kurang lebih tiga tahun. Saya bersama tim Touchten mengembangkan
game-game mobile untuk platform Android dan iOS. Pengembang mobile game asal
Jakarta ini menjadi tempat terakhir saya berkarir profesional sebelum memulai
petualangan baru saya bekerja casual (baca: kerja kasar) di Australia dengan Work and
Holiday Visa.
Berkunjung ke booth Nintendo di PAX Australia 2017

Alasan Memulai WHV


Saat itu, bulan Agustus 2016, saya sedang dilanda rasa galau, berada di titik
jenuh menjadi karyawan penuh waktu di Jakarta selama kurang lebih tiga tahun. Saya
mulai mencari informasi tentang bagaimana saya bisa bekerja di Australia, dan
dipertemukanlah saya dengan yang namanya Work and Holiday Visa. Saya pun
mengikuti meetup bulan Agustus dari grup WHV Indonesia. Pada meetup saat itu
hadir kak Irene, Arip Hidayat, Adhi Sappareng, dan beberapa alumni WHV lainnya,
yang semakin menguatkan tekad saya untuk berangkat ke Australia, terima kasih
kakak-kakak alumni. Kemudian saya menghubungi kakak sepupu di Sydney,
menceritakan niat saya ini pada kedua orang tua, dan juga mempersiapkan hati untuk
keluar dari Touchten Games, tempat saya bekerja. Saya memutuskan untuk keluar
dari comfort zone saya dan mencoba bertahan hidup di negeri yang asing bagi saya ini.
Inilah awal mulai perjalanan Work and Holiday saya di Australia.
Meetup WHV di Jakarta pada bulan Agustus 2016

Pekerjaan Pertama di Australia


Tanpa pengalaman bekerja casual (baca: kerja kasar) sebelumnya di Indonesia,
proses pencarian kerja di Australia menjadi tantangan tersendiri. Ijazah, sertifikasi,
dan berbagai dokumen legal dari Indonesia lainnya, sebagian besar hanya menjadi
selembar kertas yang tidak ada pengaruhnya sama sekali. Apa yang kebanyakan
employer harapkan dari pegawai barunya adalah sebuah pengalaman kerja nyata di
Australia khususnya di bidang hospitality, bidang pekerjaan yang paling banyak
lowongannya di negeri kangguru ini.
Beruntungnya, saya punya keluarga yang begitu mendukung selama di
Sydney. Pekerjaan pertama saya adalah menjadi seorang kitchen hand di Google
Sydney lewat perusahaan hospitality bernama Compass Group. Kakak sepupu saya
dan teman baiknya (Chef di Google) menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk
menolong saya yang kesulitan mencari pekerjaan saat itu. Tidak tanggung-tanggung,
rancanganNya jauh melebihi apa yang saya bayangkan sebelumnya, bekerja di
restoran internal Google rasanya seperti Dreams Come True!
Bekerja sebagai kitchen hand menjadi tantangan tersendiri bagi saya, kerja super
berat, back pain, bangun pagi-pagi buta, sambil kejar-kejaran dengan bus,
pengalaman-pengalaman fisik dan mental lainnya sudah saya rasakan lewat
pekerjaan ini. Sebelum saya meninggalkan pekerjaan ini, Sous Chef Google yang saya
kagumi, mengingatkan bahwa saya harus selalu fokus di dapur dan berusaha
memberikan yang terbaik, "tidak semua rekan kerja di luar sana seenak di sini, kamu harus
siap menghadapi segala situasi", kata beliau. Pesan tersebut selalu saya ingat sampai
sekarang, dan menjadi modal berharga ketika saya bekerja selepas dari Google
nantinya.

Foto bersama seluruh rekan kerja Google Food Team

Bekerja di Alseasons Hospitality Agency Sydney


Satu bulan sebelum masa kerja maksimal 6 bulan saya selesai di Google, saya
mulai mencari pekerjaan secondary sebagai upaya mengurangi masa jobless nanti. Saya
memilih Alseasons, sebuah agency bidang hospitality di mana saya memiliki
kesempatan untuk bekerja di berbagai tempat yang berbeda. Saya apply pekerjaan
langsung dari website resminya, cukup upload CV dan isi biodata beserta
pengalaman kerja. Beberapa hari kemudian saya pun ditelpon untuk interview. Karena
pengalaman saya sebelumnya adalah sebagai kitchen hand, diterimalah saya sebagai
casual staff dengan posisi yang sama. Sebagai seorang kitchen hand, saya diwajibkan
untuk menyelesaikan Food Handling online course (bayar sekitar $15), Police Check ($49),
dan membeli seragam khusus Kitchen Hand dari Alseasons. Saya juga diberi opsi
untuk mendapatkan Working with Children card supaya tawaran pekerjaan lebih
banyak, namun tidak saya ambil karena saya akan segera meninggalkan Sydney
dalam waktu dekat. Waiter/Waitress, Chef, F&B Assistant, Event Attendant juga
merupakan pekerjaan yang tersedia lewat salah satu agency terbesar di Sydney ini.
Sistem bekerja di agency adalah kamu akan menerima telp/sms penawaran
kerja yang bisa kamu terima atau tolak tergantung ketersediaan waktumu. Lalu,
setiap kali selesai bekerja kamu harus mengisi timesheet secara online. Di Alseasons,
semua sistematis tersebut tersedia lewat sebuah aplikasi berbasis web bernama
Alseasons eRoster. Kamu akan mempelajarinya saat induction pertama kali di Alseasons.
Pekerjaan pertama saya lewat Alseasons adalah kitchen hand di sebuah
restoran Prancis dalam gedung megah AMP Sydney. Saya nervous dan kurang
maksimal dalam hari pertama bekerja ini, saya dianggap lambat di hari pertama
bekerja oleh bos saat itu. Alhasil, saya hanya bekerja di hari itu saja dimana
seharusnya saya mendapat shift empat hari kerja di tempat tersebut. Saya langsung
berpikir, benar saja apa yang pernah dibilang oleh Sous Chef Google beberapa hari
sebelumnya, saya langsung mengalaminya di hari pertama bekerja selepas dari
Google. Saya pun mendapat telpon dari Alseasons bahwa client tersebut memberikan
feedback negatif tentang performa kerja saya. Saya pun berusaha meyakinkan
Alseasons bahwa memang saya nervous, namun saya berjanji akan memberikan yang
terbaik di pekerjaan baru selanjutnya. Bersyukur saya tidak dipecat langsung oleh
Alseasons, dan masih diberi kesempatan untuk pekerjaan-pekerjaan selanjutnya.
Pekerjaan kedua, saya bekerja di sebuah sekolah swasta khusus anak laki-laki,
menjadi seorang Kitchen Hand di dining room internal sekolah. Saya berusaha untuk
tidak nervous lagi, dan mencoba beradaptasi di lingkungan kerja baru sebaik
mungkin. Di tempat ini juga pertama kalinya saya melihat kitchen hand seorang
perempuan, wow dia sungguh luar biasa menghadapi pekerjaan berat ini. Saya
bekerja shift siang hingga malam dan kali ini saya lebih percaya diri menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan. Pulang larut malam hingga ketinggalan bus pertama
kalinya saya alami di sini.
Pekerjaan ketiga saya bekerja di Aged Care alias panti jompo. Yang
menyebalkan adalah Alseasons menelepon saya 1 jam sebelum pekerjaan saya
dimulai, dengan lokasi yang cukup jauh dari rumah dan masih asing bagi saya. Saya
cukup nekat untuk menerima pekerjaan tersebut, dan akhirnya saya telat 30 menit
namun pihak Aged Care masih bisa memaklumi alasan saya, beruntungnya saya. Hal
lainnya yang membuat saya jengkel bekerja di sini adalah rekan kitchen hand saya,
seorang emak-emak Pinoy, berisiknya minta ampun, semua serba terburu-buru
karena ocehannya tersebut, rasanya seperti dikejar kaleng Pepsi raksasa dalam game
Pepsiman Playstation. "Gak apa-apa lah, itung-itung nambah pengalaman kerja under
pressure dan pahalanya juga besar bantu di panti Jompo, dibayar lagi", pikir saya saat itu.

Pekerjaan selanjutnya, saya bekerja di dapur internal sebuah perusahaan


majalah, Bauer Media. Kali ini rasanya sungguh ringan, cucian tidak terlalu banyak,
dapur kecil, bahkan saya ditawari untuk mencicipi makanan yang sedang mereka
riset untuk dijadikan menu dalam sebuah rubrik makanan di majalah terbitan mereka.
Feedback positif pun saya dapatkan dari Alseasons karena client puas dengan kualitas
bekerja saya di sana, yang padahal menurut saya malah terlalu santai. Memang benar
kata R.A. Kartini, “habis gelap terbitlah terang”. Untuk merasakan kebahagiaan, kamu
harus merasakan bagaimana rasanya menderita terlebih dahulu.
Seragam Kitchen Staff di Alseasons

Bekerja di Emirates One&Only Wolgan Valley


Wow! Amboii! Aduhaii! Betapa bahagianya saya saat itu ketika mendapatkan
shift kerja 10 hari dari Alseasons di sebuah resort mewah bernama Emirates
One&Only Wolgan Valley di kawasan Blue Mountain, 3 jam dari Sydney. Dengan rate
yang sangat bagus + 1 hari rate public holiday saat itu (Queen's Birthday awal Juni
2017), saya merasa inilah momen perpisahan yang pas dengan Sydney sebelum saya
pindah ke Northern Territory. Infonya, ada sepasang orang kaya dari Tiongkok yang
melangsungkan pernikahan mereka di resort mewah ini selama kurang lebih 10 hari.
Bekerja selama 10 hari di sini dengan akomodasi gratis dan fasilitas mewah
seperti kamar privat, internet super cepat, ruang tamu dengan konsol game dan TV,
rasanya it's to good to be true. "Thanks God, how blessed i am", pikir saya saat itu. Bekerja
sebagai Kitchen Hand di sini juga relatif mudah, plus bonus saya mendapatkan
banyak teman baik baru baik sesama pekerja dari Alseasons maupun para pekerja full
time di resort ini. Di waktu luang, saya bisa melakukan bushwalking di kawasan resort
yang super luas. Kangguru dan wombat menjadi rekan-rekan yang saya temui di
sepanjang proses trekking saya di sini. Indahnya Wolgan Valley, it's truly Work and
Holiday for me.
Sekawanan kangguru di depan penginapan Wolgan Valley, menggemaskan
sekali ya!

Petualangan Baru di Northern Territory


Kurang lebih 7.5 bulan saya menghabiskan working holiday di Sydney, saya
mencoba peruntungan mendapatkan second year di Darwin. Rencana Tuhan memang
luar biasa, belum juga saya tiba di Darwin, saya sudah diterima bekerja sebagai
Kitchen Hand di sebuah daerah pertambangan manganese di kawasan Tennant Creek.
Kurang lebih dua minggu saya bekerja di sini, sebelum kembali ke Darwin untuk
mendapatkan pekerjaan Kitchen Hand lainnya.
Saya sempat drop CV di beberapa hotel-hotel Darwin, namun rasanya
memang jodoh saya di dapur, benar-benar tidak ada panggilan untuk bekerja sebagai
Housekeeper di Hotel. Selama kurang lebih empat bulan, saya bekerja sebagai Kitchen
Hand di tiga restoran yang berbeda di Darwin.
Bersama housemate, rekan-rekan WHV di Darwin
Suka Duka WHV
Mencari pekerjaan tanpa pengalaman di Australia memang beresiko sekali.
Kamu harus siap uang untuk bertahan hidup tanpa penghasilan selama beberapa
waktu, menerima gaji underpaid di masa-masa awal bekerja, bermasalah dengan rekan
kerja atau bos, dan lain sebagainya. Mental kamu akan sungguh-sungguh diuji di
Australia. Jangan kira semua yang Working Holiday itu hidupnya senang-senang saja
seperti yang biasa kamu lihat di social media. Di balik semua itu, ada harga yang harus
dibayar mahal. Bekerja di hari libur, Sabtu/Minggu, kerja hingga larut malam bahkan
sampai pagi, gaji tidak dibayar, kena penyakit, dan banyak lainnya. Tapi kalau kamu
bisa bertahan dari semua itu, percaya deh kamu akan lebih bahagia melihat dirimu
yang level up setelah merasakan semua itu.
Benefit WHV
Ini salah satu visa terbaik untuk bekerja secara legal di luar negeri. Bukan
rahasia lagi, kalau Australia adalah negara dengan upah minimum tertinggi di dunia.
Upah minimum per jam di sini secara legal adalah sekitar $17 (kurang lebih 170 ribu
Rupiah). Jangan heran kalau kalian melihat para buruh yang bekerja di Australia, bisa
traveling ke luar negeri setiap tahunnya.
Selain penghasilan yang jauh lebih besar dibanding negara kita tercinta, benefit
lainnya dari WHV adalah kita bebas keluar masuk Australia, jalan-jalan keliling kota-
kota di Australia, tanpa batas. Visa ini tidak menuntut kita untuk menetap di satu
kota untuk jangka waktu tertentu, kita bebas pindah sesuka hati. Kita juga bisa pulang
kampung ke Indonesia kapanpun kita mau selama satu tahun visa ini berlaku.
Mulai akhir November 2016, WHV subclass 462 sudah resmi bisa diperpanjang
untuk tahun kedua, dengan syarat kita harus bekerja di daerah remote Australia
selama minimum 88 hari. Tentu sebuah kesempatan berharga bagi mereka yang ingin
memperpanjang masa tinggal mereka di Australia dengan visa ini.
Pemandangan Sydney Opera House dari kolong Harbour Bridge.

Tips Dan Saran Sebelum Memulai WHV


Berdasarkan pengalaman saya selama setahun WHV ini, sangat disarankan
kalian untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum memutuskan untuk memulai
WHV di Australia. Kenapa? Sederhana saja, hidup di Australia ini sangat keras. Tiap
orang punya cerita dan pengalaman yang berbeda-beda, ada yang dapat kerja dalam
waktu singkat, ada juga yang jobless mingguan hingga bulanan. Ada yang WHV nya
aman-aman saja, ada yang merasakan kena tipu orang, gaji tidak dibayar, bahkan
yang paling parah hingga kematian, karena fisik dan mental tidak kuat.
Sebelum memulai WHV, pertimbangkan baik-baik keputusan kalian dengan
kondisi saat ini. Jika sudah bekerja, perkirakan jangka waktu dari resign sampai visa
granted, karena semenjak tahun 2017, visa ini semakin sulit didapat karena
kertebatasan kuota. Jika kalian masih kuliah, fokus lanjutkan kuliah kalian terlebih
dahulu sampai mendapat kepastian visa. Faktanya, kalau WHV sudah granted, kalian
masih diberi waktu hingga 1 tahun untuk berangkat ke Australia. Dan yang
terpenting, rajin-rajinlah Googling tentang persiapan apply WHV dan berangkat ke
Australia. Bergabung lah dengan grup Facebook WHV Indonesia, dan baca pinned post
nya, sangat lengkap informasinya di situ.
Setibanya di Australia, segeralah buat TFN, akun bank, dan beli no. HP
Australia. Siapkan resumemu dan kirimkan ke restoran-restoran baik secara offline
(drop langsung) atau online (via Gumtree, Indeed, Seek, dan sebagainya).
Bergabunglah dengan komunitas orang Indonesia di Australia (misalnya di Sydney,
ada The Rock) dan juga komunitas lokal untuk menambah jejaringmu di Australia.
Faktanya, banyak orang yang diterima bekerja karena rekomendasi orang-orang yang
dikenalnya. Dan yang terpenting, selalu ingat motivasi mu berangkat ke Australia,
minta doa restu keluarga dan teman-teman terdekat, sehingga kamu tidak akan
homesick maupun feel lonely selama berada di negeri yang asing ini. If i can survive, you
also can survive, you can do it!
Penutup
Bagi saya, Working Holiday membuka mata saya lebar-lebar melihat dunia
lewat Australia sebagai negara multikultural. Sebuah kesempatan berharga untuk
berkenalan dengan teman-teman baru dari mancanegara di satu tempat. Saya juga
belajar bagaimana Australia mencoba berdamai dengan masa lalu mereka yang
kelam, khususnya dengan kaum indigenous. Pemerintah berusaha sebaik mungkin
untuk melakukan 'Rekonsiliasi' dengan mereka, sebuah pelajaran berharga untuk
Nusantara kita, yang beberapa waktu belakangan ini kembali terpecah belah.
Lewat pekerjaan yang dianggap 'remeh' oleh kebanyakan orang, saya juga
belajar untuk melakukan hal yang kecil dengan cinta yang besar. Do what you love and
love what you do, itu mantra saya untuk bertahan selama bekerja di Australia ini.
Mungkin masa-masa awal di Australia kamu akan merasakan pahitnya terlebih
dahulu. Tapi seperti kata pepatah, rasa senang atau bahagia akan datang kemudian.
Buang rasa gengsimu, dan selalu tanamkan semangat untuk 'terus belajar', selalu
bersyukur, karena kamu akan menemukan 'harta terpendam Australia' di kemudian
hari. Explore, Dream, Discover!

Setahun Enam Babak


“Saya nggak suka Bali. Terlalu banyak turis. Dan pedagang kaki lima itu juga
kelewatan maksa. Dipikirnya karena kita bule, pasti punya uang banyak,” kata
seorang perempuan kelahiran Adelaide, Australia, yang kira-kira usianya 50an.
Tangan kanannya memegang kendali setir mobil Van. Sementara tangan
kirinya menggenggam muffin blueberry. Sambil sesekali mengunyah muffin, dia
berujar. “Don’t take it personally, mate. Tapi Indonesia itu, negaramu, ya ampuuuun,
sering dikasih funding sama pemerintah Australia. Buat apa coba? Buat
pengembangan tourism Indonesia. Bagi saya, yang orang Australia ini nggak masuk
akal!”
Saya tersenyum saja mendengar pendapatnya tentang Indonesia. Rose, nama
panggilan perempuan ini, adalah tipikal orang yang asik diajak ngobrol. Apalagi, dia
memberikan tumpangan gratis dari Katherine menuju Darwin, Northern Territory.
Selama dua setengah jam perjalanan melintasi Stuart Highway, obrolan kami
berdua tidak jauh-jauh mengenai hubungan Australia Indonesia. Sesekali kami juga
menyinggung arti hidup dan makna traveling. Temperatur udara di pertengahan
November itu sekitar 38 derajat celcius. Pengap. Roadtrip sepatutnya membutuhkan
obrolan menarik guna membunuh rasa kantuk.
Bagian kalian, pembaca cerita ini, yang mencoba memahami apa yang
sebenarnya terjadi pada saya, mari mundur ke Oktober 2016. Periode dimana ide
Working Holiday Visa ini muncul dalam benak saya.
Menjelang akhir tahun 2016, sebenarnya, kehidupan saya di Depok-Jakarta
stabil baik-baik saja. Gaji dari pekerjaan sebagai reporter koran bisnis selama empat
tahun tidak membuat saya bergelimang harta, tapi juga tidak melarat-melarat amat.
Selalu ada teman yang senang diajak hang-out tiap akhir pekan. Hidup serumah
bersama orang tua juga sepertinya ringan tanpa beban. Selain itu, dua keponakan saya
masih imut dan lucu-lucu. Namun, sejatinya itu yang terlihat. Nyatanya tidak sama
dengan apa yang dirasa
Deadline pekerjaan wartawan begitu ketat. Meski lagi ngopi-ngopi bareng
teman, laptop tidak pernah ketinggalan. Tak ketinggalan, masih harus ngasih kabar
ke orang tua, jika mau pulang pagi.
Sementara itu, Jakarta, dilihat dari sisi manapun, kian sumpek. Selalu ada
drama di jalanan. Intinya saya mau rehat sejenak dari kegilaan ini. Lalu, saya
mendengar kisah beberapa teman yang telah menamatkan satu tahun WHV di
Australia.
Dipikir-pikir, kok pengalaman mereka lumayan mengagumkan. Sepertinya
mereka bawa banyak duit abis kerja di perkebunan. Australia kan gede banget. Pasti
menjadi sebuah petualangan seru bisa berada di tengah-tengah gurun.
Singkat cerita, visa saya lolos pada 7 November 2016. Berikutnya, saya giat
mencari informasi sebanyak-banyaknya soal peluang kerja di Australia. Bagi saya,
kota atau state pertama yang saya kunjungi harus menjadi pondasi kuat. Kata lainya,
modal saya cekak. Saya butuh uang di awal perjalanan ini.
Tassie has taken my heart. Sampai kapan jua, saya akan mengenang Tasmania
(Tassie) sebagai tempat yang ‘hangat’, meski cuacanya hampir selalu dingin. Atas
rekomendasi seorang kawan, saya mengirimkan CV ke agen tenaga kerja Agrilabour
Pty Ltd pada awal Desember 2016. Ketika itu, ada lowongan pekerjaan di pabrik
sebagai pengepak sayuran.
Setelah mendapat kepastian diterima bekerja di pabrik sayuran milik Harvest
Moon, saya mendarat di Tasmania pada 2 Januari 2017. Area tempat daerah saya
tinggal bernama Forth. Desa yang begitu hijau. Kota terdekatnya adalah Devonport.
Pelan-pelan, saya belajar bagaimana iklim bekerja orang Australia. Karena
dibayar per jam, maka efisiensi bekerja adalah kunci utama. Tapi, fokus saya juga
tidak melulu soal duit. Tassie punya taman nasional yang khas. Di luar kehindahan
alam, saya berani bilang museum terbaik di Australia berada di Hobart, kota terbesar
Tassie. Tempat itu bernama Museum of Old and New Art (MONA).
Pertengahan April, saya memutuskan untuk pindah state. Ini karena Tassie
semakin hari semakin dingin. Hah. Tapi serius, musim panen buncis sudah selesai.
Tak banyak lagi pekerjaan di Harvest Moon. Saat itu musim gugur. Dan saya tidak
sabar untuk kembali mencicipi kehidupan sebuah kota besar.
Melbourne menjadi pilihan petualangan berikutnya. Ini lantaran saya
kemakan omongan para backpacker. Setiap backpacker yang pernah mengunjungi
Melbourne dan saya minta pendapatnya, mereka selalu bilang, “Ada sesuatu tentang
Melbourne, yang akan kamu rasakan sendiri, kalau kamu sudah di sana,”
Yang saya rasakan adalah tingkat kompetitif yang begitu tinggi. Selama dua
pekan, saya rajin menyebar CV ke restoran dan Café. Selama itu pula saya
menganggur.
Pada pekan ketiga saya di Melbourne, barulah saya mengatongi pekerjaan
sebagai kitchen hand di salah satu restoran cepat saji bergaya jepang. Mayoritas pekerja
di restoran ini memang orang Asia. Kemungkinan, hampir 70% pekerja adalah orang
Indonesia.
Tapi jelas, saya tidak akan menyesal pernah tinggal di kota yang mendapat
predikat Most Liveable City in the World. Kini saya mengerti apa yang orang-orang
katakan.
Warga Melbourne sangat menikmati hidup. Anak-anak muda yang
menghargai seni. Tak ketinggalan, transportasi yang sungguh efisien. Meski saya
memutuskan pergi, dalam hati ada keyakinan, kelak saya bakal kembali ke
Melbourne.

Butiran Debu
Pada Pertengahan Juni, saya memutuskan hijrah ke Northern Territory (NT).
Motivasinya adalah mengumpulkan syarat 88 hari kerja untuk meraih yang namanya
WHV Tahun Kedua di Australia.
Saya melakukan road trip selama satu minggu dari Melbourne menuju Alice
Springs. Perjalanan ini saya lakukan bersama dua orang teman backpacker asal Chilie
dan Jerman.
Akhirnya, saya merasakan juga perjalanan melintasi Stuart Highway. Sebuah
jalan tol yang lurus membelah gurun bersemak. Ada perasaan asing sekaligus
letupan-letupan gairah saat menjejakan kaki di NT. Pasalnya, selain jauh dari mana-
mana, NT bisa dibilang salah satu state paling menantang. Mulai dari peluang kerja
serta suhu udara yang ekstrem.
Saya membagi kisah NT dalam tiga babak. Pertama, pengalaman bekerja
selama tiga minggu di tempat istirahat dan isi bensin. Orang Australia mengenalnya
dengannama roadhouse. Kita sebut saja Koala Roadhouse. Letaknya ada di Lasseter
Highway. Jalan tol yang menghubungkan kota kecil Yulara dengan sejumlah kawasan
wisata terkenal seperti Uluru, dan Kata Tjuta.
Daerah sekitar Lasseter Highway ini terkenal dengan tanah yang merah serta
langit membiru. Saya mendapatkan pekerjaan ini cukup mudah. Yakni dengan
mendatangi langsung Koala Roadhouse. Mungkin lantaran gampang meraihnya,
maka melepasnya juga seperti menjentikkan jari.
Setelah bekerja selama tiga minggu, Saya diberhentikan dengan alasan “not
being good enough.” Sempat kecewa sama diri sendiri. Roadhouse ini sebenarnya tempat
yang sangat menarik bagi backpacker yang ingin merasakan kehidupan antah berantah
di Australia. Kita kerap mengenal the real Australian Outback dari buku ataupun film-
film. Bukankah hal yang seru bisa mengenal lebih dekat secara langsung. Apalagi, gaji
yang ditawarkan pengelola Koala Roadhouse ini lumayan menjanjikan.
Angin gurun tetap bertiup. Perjalanan saya harus berlanjut. Persinggahan saya
berikutnya adalah Alice Springs. Sungguh, kota kecil di tengah gurun ini
menawarkan hal-hal di luar ekspektasi orang-orang.
Penduduk Alice Springs sekitar 30.000 jiwa. Kota ini seperti dibangun dengan
cukup efisien yang dipadu megahnya bukit bebatuan. Dari sebuah bukit di tengah
kota bernama Anzac Hill terlihat bagian pusat kota yang terkotak-kotak. Saat
matahari terbenam, perbukitan MacDonnell Ranges yang membelah timur dan barat
kota akan terlihat menguning kemerah-merahan.
Itu baru soal alamnya. Lantas, bagaimana dengan peluang kerja? Seminggu
saya menyebar CV di sejumlah café dan hostel. Sejujurnya, ada periode dimana otak
ini berpikir, “where am I? what am I gonna do,?”. Ini biasanya terjadi seditik dua detik
setelah bangun tidur. Apalagi, kalau bangunnya di hostel.
Marilah tegar menghadapai kenyataan. Hari kedelapan saya di Alice, saya
mendapat panggilan kerja di salah satu café paling sibuk. Sebagai kitchen
hand. Hampir dua bulan saya bekerja di café ini.
Namun, tanpa ada tanda apa-apa, pada sebuah pagi, saya mendapat SMS
pemecatan dari salah seorang chef café tersebut. Isi SMSnya persis begini : “Hey, farid
we decided that you not work for us anymore you got slow again and again and I told you
many times. Sorry,”
Semacam kesel juga karena berasa diputusin pacar via SMS. Saya mampu
nerima kalau hal-hal seperti ini diungkapkan secara verbal. Tentu saja, saya datang
menghadap manajer. Semula, saya bersemangat ingin mengkonfrontasi kenapa
mereka seenaknya mecat-mecat orang. Namun, pada akhirnya saya hanya memasang
muka lempeng karena apapun yang saya katakan, keputusan manajer tidak akan
berubah.
Babak ketiga cerita saya di NT berujung pada Katherine. Pindah dari Alice ke
Katherine bukan tanpa alasan. Pasalnya, saya tergiur dengan peluang kerja di pabrik
mangga. Ketika itu, saya pindah ke Katherine pada Agustus 2016.
Jika suhu cuaca di Alice masih bisa ditoleransi menjelang akhir September
lantaran tidak melebihi 35 derajat celcius, maka cuaca di Katherine bagaikan
gabungan antara Surabaya, Jakarta, dan Pontianak. Titik panasnya selalu mencapai
38 derajat celcius. Dan tingkat kelembabannya begitu tinggi.
Jujur, saya tidak melihat ada yang menarik dari kota ini. Namun, Katherine
menawarkan banyak pekerjaan di sektor perkebunan bagi para backpacker. Pekerjaan
ini pun tergantung musim.
Ketika saya pindah ke Katherine belum ada kepastian dari pihak Job Shop
terkait pekerjaan di pabrik mangga. Perlu diketahui, Job Shop merupakan agen tenaga
kerja yang legit untuk para backpacker yang ingin mendapatkan pekerjaan di bidang
perkebunan serta hospitality.
Pikir saya, kala itu, jika saya sudah di Katherine, maka peluang untuk
mendapat kerjaan di pabrik manga bakal lebih besar. Beresiko memang. Apalagi, saya
punya pengalaman kerja di pabrik (Tasmania) sebelumnya. Datanglah saya dengan
begitu percaya dirinya ke Katherine.
Kenyataannya, saya menganggur tiga minggu selama di Katherine. Ini
lantaran pabrik terdekat dengat tempat tinggal saya di Katherine butuh waktu lebih
lama untuk memulai produksi secara masal. Sebenarnya ada pabrik lain di sekitar
Katherine yang produksinya lebih awal. Namun, lantaran saya tidak punya
kendaraan, maka pihak Job Shop lebih memilih pekerja yang memiliki mobil.
Pertengahan Oktober pabrik manga Sevenfield berproduksi. Betul saja, mereka
tak menyia-nyiakan musim manga ini. Jam kerja per hari rata-rata 11, 12 hingga 13
jam. Kerjanya seminggu penuh tanpa hari libur.
Inilah pekerjaan yang paling menyita energi saya di Australia. Dengan jam
kerja panjang itu, para pekerja dituntut mengepak manga dengan kecepatan yang
stabil dan wajah yang antusias. Masuk akal? Ya mungkin saja kalau pekerjanya
robot.
Konsekuensi dari jam kerja panjang itu adalah pundi-pundi dollar yang,
alhamdulliah, mendongkrak tabungan. Kegirangan ini diimbangi dengan badan yang
pegel-pegel.
Sayangnya, euforia ini dipatahkan, lagi-lagi dengan SMS pemecatan. Kali ini
tanpa penjelasan yang berarti. Hanya dua minggu saya bekerja di Sevenfield. Pihak
Job Shop pun tidak memberikan keterangan kenapa saya diberhentikan. “They said,
they just don’t need you anymore.”
Patah hati. Rasanya pingin makan rendang, nasi uduk, sambel pedas, lalu tidur
pulas. Tuhan sepertinya punya rencana lain. Ketika dihitung ulang, saya menyadari
sudah punya 14 payslip gaji dari tiga pekerjaan di NT. Dan ini cukup menjadi bekal
mendaftar WHV tahun kedua.
**********
Lalu apa yang terjadi berikutnya?
“So what it’s your plan, mate?” tanya Rose. Pertanyaan ini membuyarkan pikiran
saya yang tengah kilas balik hidup selama 10 bulan di Australia. Jujur saja, saya tidak
punya rencana pasti. Yang saya mengerti kalau mendengarkan kata hati, pasti kaki
ini akan tahu kemana mesti melangkah.
Rose menurunkan saya di Palmerston, area di pinggiran Darwin. Dia tidak
menikah, dan memilih untuk tidak punya keturunan. Rose menolak sejumlah dolar
yang saya tawarkan atas jasanya mengantar saya. Dia melambaikan tangan,
tersenyum dan berucap singkat, “Enjoy your journey.”
Ucapan itu kembali mengingatkan saya. Betapa sederhana sebetulnya konsep
menikmati sebuah perjalanan. Sayangnya, rasa nikmat bisa menguap kala kita lupa
akan rasa bersyukur.
Saya hanya singgah beberapa hari di Darwin, untuk selanjutnya bertolak ke
Sydney. Cerita ini saya tulis di tengah hiruk pikuk kota menjelang musim panas
sambil menyeruput es kopi seharga $8.
Saran yang dapat saya berikan bagi yang akan datang ke Australia melalui
WHV adalah terbukalah dengan berbagai kemungkinan. Rencana bolehlah kalian
susun matang dan rapi jali. Namun jangan lupa bakal ada kejutan di tiap babak. Kala
itu terjadi, biarkan hidup mengejutkan kita.

ALDINO TANZA

Pengalaman yang Tak Terlupakan di Australia


Hallo, perkenalkan nama saya Aldino Tanza, biasa dipanggil Tanza. Saya lahir
dan besar di Ibukota, berdomisili di kawasan Jakarta Timur. Saya lulusan dari 2 (dua)
kampus yang berbeda. Yang pertama D3 Bahasa Inggris di Universitas Darma
Persada, Jakarta. Setelah lulus D3 saya bekerja di salah satu perusahaan swasta di
Jakarta, hingga 2,5 tahun. Kemudian saya melanjutkan kuliah program ekstensi D3 ke
S1 selama 1 (satu) tahun. Kampus yang kedua ini adalah STIBA-IEC, Jakarta. Saya
mulai kuliah disini pada tahun 2010-2011. Setelah lulus kuliah dan menjadi sarjana,
pekerjaan tidak kunjung saya dapatkan. Akhirnya saya buka usaha Counter Pulsa di
depan rumah Ibu saya. Selama berdagang, saya bersama dengan Ibu dan adik dalam
menjaga dan mengelola Counter pulsa tersebut. Karena tidak kunjung mendapat
pekerjaan, saya mencari kesibukan lain selain berdagang, yaitu dengan mengikuti
program kuliah D1 Kapal Pesiar di PT. Meranti Magsaysay, Jakarta. Sejak kecil, saya
memiliki banyak impian, salah satunya adalah mimpi untuk bisa jalan-jalan keluar
negeri.
Di awal tahun 2012, saya menjalani program kuliah ini. Selama 4 bulan training
di kelas, mulai dari belajar Bahasa Inggris, kemudian belajar kuliner dasar, belajar
F&B Service, dan belajar hospitality. Setelah itu saya mengikuti magang di hotel
selama 6 bulan. Rampungnya program perkuliahan kapal pesiar ini adalah 4 bulan
training dikelas + 6 bulan magang di hotel = 10 bulan. Setelah saya mendapatkan
sertifikat, saya langsung melamar kerja di kapal pesiar.
Pengalaman kerja saya beragam, dulu sewaktu baru lulus kuliah D3, saya
pernah bekerja sebagai guru pengganti setingkat SMP dan SMA pada salah satu
sekolah negeri di Indonesia. Saya bekerja selama setahun. Setelah lepas dari itu, saya
bekerja di kantor sebagai Customer Service Representative selama 2,5 tahun. Setelah
itu saya mengajukan resign karena ingin melanjutkan kuliah dari D3 ke S1 tersebut.
Setelah lulus kuliah, saya mengikuti program pelatihan kapal pesiar di Indonesia.
Lulus dari pelatihan, saya langsung melamar kerja di kapal pesiar AIDA, yang
merupakan salah satu anak cabang dari perusahaan Carnival. Diakhir tahun 2013,
saya berangkat untuk bekerja di kapal pesiar AIDA. Masih teringat, di bulan
November tahun 2013 saya join di Funchal-Madeira, Portugal. AIDA STELLA nama
kapalnya. Selama 9 bulan 2 minggu saya berlayar dengan kapal AIDA, bertemu
dengan teman-teman baru selain Indonesia dari berbagai belahan dunia ada dari
Jerman, Philipina, India, dll. Setelah habis kontrak, di bulan Agustus 2014 saya
kembali ke tanah air, melanjutkan berdagang.
Kemudian sambil melamar CPNS, tapi tidak dapat-dapat. Saya telah mencoba
melamar CPNS sejak bulan September 2007, setiap kali ada buka lowongan, saya
hampir tidak pernah absen. Tapi selalu gagal tembus. Ya sudah, saya lanjut saja
kontrak kedua di kapal pesiar. Sebenarnya kembali ke kapal pesiar adalah opsi
terakhir saya. Jujur, saya tidak ingin kembali ke kapal pesiar. Memang benar jalan-
jalannya mengasyikkan, bisa travelling ke berbagai negara-negara yang berbeda, ke
negara-negara Eropa, Asia, Afrika, Benua Amerika, dll. Salah satu impian saya pun
jadi terwujud karena bekerja di kapal pesiar ini, gajinya pun cukup besar jika
dibandingkan dengan gaji pekerja di Indonesia cukup signifikan perbedaannya.
Tetapi, saya jadi jauh dari keluarga dan disana kita bekerja seharian. Full selama 7
hari dalam seminggu dan minimal kerja adalah 10-13 jam setiap harinya. Break setiap
3-4 jam bekerja. Durasi breaknya pun bervariasi dari minimal 1 jam-10 jam, biasanya
suka terpotong-potong istirahatnya. Nah, di kontrak kedua ini saya Join kapal AIDA
BELLA. Sewaktu saya join, kapal ini sedang berada di Santo Domingo, Republik
Dominika. Saya kontrak kerja di kapal pesiar ini sejak bulan Februari 2015 - Desember
2015. Disinilah saya mengetahui WHV Visa Australia ini. Awalnya saya punya
keinginan setelah habis kontrak dari Aida Bella ini, saya ingin mencari kerja di darat
luar negeri. Dimanapun itu. Pada waktu itu, saya tidak terpikir ingin ke Australia.
Kebetulan teman saya yang bekerja di Aida Bella juga, dia bilang bahwa pacarnya
akan join disini juga, sebelumnya pacarnya itu pernah kuliah di Australia, kata teman
saya itu. Sejak itu, saya mencari-cari visa Australia mulai dari visa studi sampai ke
visa bekerja. Sejak SMA, saya juga memiliki impian ingin sekolah di luar negeri,
namun belum kesampaian hingga saat ini.
Singkat cerita, saya dapat visa yang persyaratannya cukup mudah, yaitu visa
bekerja dan berlibur / Work and Holiday Visa (WHV). Masih saya ingat, ketika itu
kapal sedang bersandar di Southampthon, Inggris. Saya browsing, dapat informasi
ini. Tapi persyaratan yang menurut saya agak sulit adalah Skor IELTS, karena saya
belum pernah tes IELTS sebelumnya. Juga bukti finansial sejumlah minimal AUD
$5000 atau yang setara. Hari demi hari saya lewati di kapal pesiar, keliling-keliling
Eropa saya lalui dengan kapal pesiar. Sampai pada suatu ketika, disaat kapal
bersandar di pelabuhan sekitar Hamburg, Jerman. Hari itu tanggal 15 Juli 2015 saya
memberanikan diri registrasi dan mengajukan Surat Rekomendasi Pemerintah
Indonesia (SRPI) melalui online, di www.imigrasi.go.id
Saya dapat panggilan wawancara pada bulan Oktober 2015. Saat itu saya masih
terikat kontrak dan bekerja di kapal pesiar, saya abaikan panggilan wawancara
tersebut karena masih bekerja di kapal. Sampai pada tanggal 4 Desember 2015 saya
pulang ke tanah air, karena habis kontrak. Dua hari kemudian, saya mencoba
mendaftar online untuk tes IELTS, dan searching lembaga penyelenggara resmi, saya
mendapatkan 3 nama pada waktu itu, yaitu IALF, British Council, dan IDP. Diantara
ketiga lembaga itu yang paling cepat jadwal pelaksanaannya adalah IALF, lokasinya
pun tidak terlalu jauh dari rumah, yaitu di Kuningan, Jakarta Selatan. Tanggal 16
Desember 2015 saya tes IELTS, empat hari setelah itu atas saran dari Ibu saya, untuk
mendatangi kantor Ditjen Imigrasi guna meminta reschedule jadwal interview SRPI.
Saya bersama dengan Ibu bertemu dan Pak Teguh. Saya bilang bahwa saya ingin
mendapatkan perubahan jadwal interview. Alhamdulillah di approve oleh pak Teguh.
Pada tanggal 28 Desember 2015, hasil tes IELTS keluar, dan syukurlah nilai saya
memenuhi syarat, diatas dari persyaratan yang dibutuhkan oleh pihak imigrasi. Pada
tanggal 27 Januari 2016, saya dapat jadwal wawancara SRPI, dan ternyata saya harus
melakukan interview pada tanggal 28 Januari 2016, yaitu keesokan harinya. Jadi saya
menyiapkan berkas pada hari itu juga, termasuk bukti finansial di bank, saya buat
pada hari itu juga, untungnya saya sudah menyiapkan berkas-berkas yang lain seperti
Ijazah, Transkrip Nilai, dan IELTS dari jauh hari sebelum jadwal interview. Adapun
untuk bukti finansial saya dapatkan dari hasil bekerja di kapal pesiar. Proses
interview berjalan dengan lancar, masih saya ingat waktu itu diinterview oleh mbak
Fidelia dan mba Dely sebagai pemeriksa dokumen. Saya ditanya seputar pekerjaan
yang sekarang dijalani, lalu apakah ada saudara atau kerabat yang saat ini tinggal
disana. Kemudian saya di tes conversation dalam bahasa Inggris. Saya tidak merasa
kesulitan, mengingat latar belakang pendidikan saya adalah Sastra Inggris, saya juga
terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Inggris sewaktu bekerja di kapal pesiar.
Setelah interview selesai, saya menunggu kabar dari pihak imigrasi, Akhirnya,
pada pada hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 saya mendapat email dari Ditjen
Imigrasi, tepatnya dari bagian Direktorat Lintas Batas, yang berisikan surat
rekomendasi pemerintah Indonesia (SRPI). Di hari senin, tepatnya tanggal 29 Februari
2016, langsung saya melakukan pengajuan visa bekerja dan berlibur atau Work and
Holiday Visa melalui AVAC (Australia Visa Application Centre).
Ada 2 cara untuk Lodge visa, yaitu: datang langsung dan via kurir. Kebetulan
saya tinggal di Jakarta, saya memilih untuk datang langsung ke kantor AVAC, di
wilayah Kuningan, Jakarta Selatan dengan membawa segala kelengkapan
dokumennya, dan membayar visanya langsung juga. karena kebetulan lagi sepi, Jadi
cuma 10 menit selesai semua proses pengajuannya. Setelah 2 hari berselang, yaitu hari
Rabu, 2 Maret 2016, pukul 09.00 pagi dapat
email dari jakarta.students@dfat.gov.au isinya adalah HAP ID utk medical dan dan
list rumah sakit & dokter yang ditunjuk dari seluruh Indonesia, untuk melaksanakan
medical.
Hari Kamis 3 Maret 2016 Medical Examination, dari jam 08.00 WIB terlebih
dahulu menelpon RS untuk making appointment, saya pilih RS Premier Jatinegara
alasannya karena dekat dari tempat saya tinggal. Dapat jadwal jam 10.00 WIB nanti
ketemu dengan dokter Jenly. Jam 09.30 WIB langsung datang ke RS yang telah
ditunjuk Kedutaan, saya bersama dengan Ibu saya (info dari yang saya dengar kalau
yang RS Bintaro terus diantar oleh Ibunya hasilnya bisa lebih cepat, malah ada yang
cuma 2 jam). Klo di RS Jatinegara ternyata gak pengaruh, memang siy dokternya
ngobrol ama Ibu saya, tapi tetap aja hasilnya gak hari itu juga. Dokter bilang hasilnya
2 hari. Tapi besok udah bisa ditanyakan tentang hasil rontgen dadanya.
Hari Jumat 4 Maret 2016 jam 13.00WIB siang, saya menelpon RS Premier
Jatinegara. katanya hasilnya bagus. Dan akan dikirim ke pihak kedutaannya
langsung. Jadi saya tidak usaha mengambil hasil apa-apa dari Rumah Sakit. Udah
dikirim langsung dari Pihak RS ke kedutaan. Hari Senin 7 Maret 2016 jam 13.00WIB
Visa Granted. Thank's God Alhamdulillah.
Salah satu alasan kenapa saya memilih Australia adalah, karena saya belum
pernah ke negara tersebut, jadi saya ingin mencobanya. Selama 2 kontrak saya bekerja
di kapal pesiar, saya telah mengunjungi dan berkeliling berbagai negara dan benua,
mulai dari benua Eropa, Asia, Afrika Utara, Amerika Utara. Saya belum pernah
menginjakkan kaki di benua Australia sebelumnya, Dan alasan yang paling mendasar
kenapa saya memilih Australia adalah, karena saya ingin sekali bekerja di darat luar
negeri. Saya pernah bilang sama salah satu teman berkewarganegaraan India,
sewaktu saya sedang bekerja di kapal pesiar. Saya bilang sama dia, sehabis kontrak
ini, kedepannya pengen banget bekerja di darat tapi diluar negeri, dan belum tahu
dimananya, intinya saya tidak berkeinginan kembali kerja di kapal pesiar.
Kota pertama yang saya kunjungi adalah Sydney-New South Wales. Disini
saya tinggal dengan orang Indonesia juga, nama pemilik rumahnya Om Agus dan
tante Wati. Saya dapat informasi tempat tinggal (yang bisa dibilang kost-kostan) dari
Om Aam, beliau adalah teman dari bapak saya di Indonesia. Om Aam ini dulunya
tinggal di Australia, nah teman-temannya masih tinggal di sana, salah satu teman om
Aam adalah om Didi, om Didi memiliki adik perempuan, dialah tante Wati itu, tidak
lain dan tidak bukan merupakan ibu kost tempat saya tinggal. Selama tinggal disana,
saya sering diajak jalan-jalan oleh om Djudju, beliau adalah salah satu orang yang kost
di tempat om Agus & tante Wati. Setiap hari selama belum dapat kerja, saya jalan-
jalan dengan om Djudju, sekalian explore Sydney lebih jauh lagi. Nah, dihari ke
sembilan, saya mulai dapat kerja di pabrik Jewel of India, saya dapat info kerjaan ini
dari temannya om Agus, yang bernama om Endi Dharma. Om Endi adalah salah satu
pemilik distributor ayam potong yang terletak di wilayah Mascot, Sydney. Om Endi
mendistribusikan ayamnya ke pabrik Jewel of India ini.
Om Endi turut membantu saya, dengan mengantarkan saya ke pabrik Jewel of
India ini, dan bertemu dengan HRD atau perekrutannya. Berkat usaha dari om Agus,
bertanya kepada om Endi lah, dan bantuan dari om Endi juga, Alhamdulillah saya
dapat pekerjaan pertama di pabrik ini, belakangan namanya menjadi Jewel Fine
Foods, pabrik ini sekarang pindah ke tempat yang lebih besar. Tugas saya disini
adalah sebagai Packer, saya mengemas sup-sup yang akan di kirimkan ke
supermarket Coles dan supermarket jenis lainnya. Selain mempacking, saya juga
bekerja di bagian production, dengan memindahkan kemasan sup yang telah diisi
dengan bantuan mesin tersebut, ke krat melalui rel berjalan, lalu setelah dari krat,
ditaruh di chiller, sebagai pendingin. Saya juga membantu pada bagian preparation,
atau persiapan dalam memasak sup, terkadang saya juga membantu menempelkan
stiker pada kemasan sup tersebut. Selama 6 bulan penuh, saya bekerja di pabrik ini.
Kebetulan rekan kerja saya adalah sesama orang indonesia, yang bernama Nidhal.
Dia datang ke Sydney dengan visa student, dan sekarang dia sudah dapat visa
sponsor kerja dari perusahaan.
Pekerjaan kedua saya adalah di Soul Origin (SO). Soul Origin juga merupakan
pabrik, lokasinya di dekat stasiun Sydenham, tapi saya dengar saat ini juga sudah
pindah ketempat yang lebih besar. Pabrik ini memproduksi bermacam-macam ada
sayuran yang di kemas didalam plastik, seperti kembang kol. Ada juga pasta, ada juga
dada ayam rebus yang belum dibumbui, ada juga paha ayam yang sudah di oven dan
dibumbui, semuanya dimasukkan kedalam plastik yang di press, kemudian di kirim
ke kedai kopi yang bernama Soul Origin. Makanan yang kami produksi nantinya akan
diproses menjadi sandwich, dll. Saya bekerja di pabrik ini atas informasi dari rekan
kerja sewaktu di pabrik pertama, yaitu Jewel of India, rekan kerja saya yang bernama
Nidhal. Saya keluar dari pabrik pertama karena salah satu larangan pada visa yang
saya miliki, yaitu bekerja tidak lebih dari 6 bulan pada satu perusahaan yang sama.
Seperti yang kita ketahui, visa yang saya miliki adalah Work and Holiday Visa 462
(WHV). Di pekerjaan yang kedua ini saya hanya bekerja selama sebulan saja, yaitu
dari bulan Oktober 2016-November 2016.
Pekerjaan ketiga saya adalah sebagai buruh tani di Katherine-Northern
Territory. Disini saya bekerja pada kontraktor yang bernama Andrew Dalglish, Beliau
mendirikan A&A Mango Contracting. Saya mendapat informasi tersebut dari
teman sesama WHV yang benama Dimas. Disini saya bekerja selama 94 hari.
Pekerjaan saya, memberi pupuk, mencabut tanaman-tanaman liar, menanam dan
menggunting pohon cendana, memotong dan merapihkan batang pohon mangga,
menyiram pestisida disekitar pohon cendana. dll.
Suka duka di Aussie. Lebih banyak sukanya, terutama ketika gajian tiba dan
ketika hari libur. Terkait homesick, saya sudah terbiasa jauh dari rumah. Karena
sebelumnya saya bekerja di kapal pesiar selama 2 kontrak. 1 kontraknya selama
minimal 9 bulan. Tapi tetap saja, saya selalu kangen akan orang tua dan adik-adik
dirumah.
Whv ini begitu mengasyikan, karena ini adalah salah satu impian saya, yaitu
bekerja di darat luar negeri. Benua Australia juga merupakan pertama kalinya saya
kunjungi. Sebelumnya, sewaktu bekerja di kapal pesiar, saya tidak pernah
mengunjungi negara ini. Sewaktu pertama kali datang ke Aussie, Sydney adalah kota
pertama yang saya kunjungi. Saya mengeksplore kota ini bersama dengan teman-
teman whv lainnya. tempat yang sudah saya kunjungi adalah:
Opera House
Harbour Bridge
Darling Harbour
Snowy mountain, kira2 5 jam dari Sydney dengan perjalanan darat
menggunakan bis.
Blue Mountain
Wedding Cake Rock, menggunakan kereta dan naik Kapal Ferry.
Morriset Park, kira-kira 2 jam dari Central Station, menggunakan kereta.
Eight Pools, menggunakan kereta ke stasiun Otford.
Canberra Floriade Flower Festival.
Darwin
Katherine
Saat ini saya sudah menikah, dan tinggal di Jakarta bersama istri.
Alhamdulillah, saat ini istri sedang mengandung anak pertama kami. Saya menikah
4 bulan sepulang dari Australia, saya senang sekali dapat membiayai pernikahan
dengan biaya sendiri, tanpa meminta pada orang tua. Thanks to Allah, satu persatu
impian-impian saya terwujud.
Dengan work and holiday visa (WHV) teman-teman dapat mengeksplore
Australia lebih jauh lagi. Kalian akan merasakan sendiri bagaimana susah dan
senangnya tinggal di Aussie (kebanyakan senangny siy.. hhe).
Untuk informasi mengenai cara mendapatkan visa bekerja dan berlibur atau
WHV versi saya, teman-teman bisa cek pada blogku, di situs: www.tanzamiloen.com
Untuk foto jalan-jalannya ada di Instagram saya: @aldinotanza
Facebook: Aldino Tanza Diningrat Miloen
Twitter: @aldinotanza
Terima kasih dan semoga bermanfaat
CHYNTIA ROSMANIAR

Umpan Besar = Ikan Besar


Setelah menyelesaikan studi S1 di daerah Jawa Tengah, saya, Chyntia
Rosmaniar, memutuskan untuk kembali ke rumah di Bekasi. Saya adalah scholarship
hunter yang selama satu setengah tahun mendaftar berbagai beasiswa untuk studi
lanjut S2 di luar negeri. Saya bukan dari kalangan keluarga dikategorikan “tidak-bisa-
keluar-negeri-kapan-saja“sehingga beasiswa adalah sala satu cara untuk bisa
mencoba kehidupan luar negeri. Namun, setelah satu setengah tahun berjuang
dengan beasiswa dan mengalami kegagalan dimanapun, akhirnya memutuskan
untuk kerja kantoran. Perlu diketahui, sebelum kerja kantoran, saya mengikuti
kegiatan pemerintah yang tidak terikat namun tidak gaji tidaklah seberapa.
Setelah mendapatkan pekerjaan sebagai admin di suatu perusahaan swasta di
daerah Kemang-Jakarta, sayapun merasakan kehidupan pegawai kantoran. Dengan
bertempat tinggal di Bekasi dan harus menempuh perjalanan minimal (minimal loh
!!) dua jam perjalanan sampai kantor dilalui setiap harinya. Berangkat pukul 5.30 dan
sampai rumah sekitar pukul 9 malam hari. Awalnya saya semangat kerja karena
pekerjaan baru dan tantangan baru. Setelah menjalani pekerjaan ini selama 4 bulan,
saya merasa sangat lelah baik fisik maupu mental. Dan didukung dengan masalah
keluarga yang mengharuskan saya mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam
waktu singkat, akhirnya saya bercerita pada teman saya dan mengusulkan untuk
daftar Work and Holiday Visa (HWV). Saya mencari tahu apa itu WHV dan apa saja
persyaratannya, dan akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar. Karena
sebelumnya saya sudah mempunyai IELTS, jadi hamper semua persyaratan sudah
saya kantongi.
Tidak seperti pejuang WHV lainya, proses yang ditempuh untuk mendapatkan
visa cukup singkat hanya sekitar 3 bulan. Begitu Visa granted, saya langsung
mengajukan resign dan book tiket menuju Darwin. Sebelum resign, saya masih
mencoba keberuntungan untuk mendaftar beasiswa untuk S2 di Jerman. Lalu
mengapa Darwin? Mungkin ada jodoh saya di Darwin (kidding), karena Darwin
mempunyai rate per hour lebih tinggi dibandingkan negara bagian lainnya di Autralia.
Sebelum berangakat, saya sudah mencari kamar untuk tempat tinggal selama disana.
Pertengahan November saya berangkat menuju Darwin. Tanpa mengetahui
sebelumnya, bahwa november adalah wet season yang peluang untuk mendapatkan
pekerjaan terbilang kecil.

Gambar 1. Waterfront, Darwin


Sesampainya di Darwin, saya merasa sangat kaget karena di rumah tersebut
tidak ada pejuang WHV perempuan selain saya (perempuan dan lelaki di gedung
terpisah), sehingga saya tidak ada teman untuk sharing pekerjaan secara langsung
walaupun ada teman yang dapat ditanya melalui alat komunikasi. Pencarian
pekerjaan pun dimulai, baik melalui aplikasi maupun dengan menyebarkan resume
dari café, toko hingga hotel. Saya menyebar resume dari pagi hingga siang hari,
sehingga saat waktu solat saya akan stay di masjid untuk dua waktu solat dan
sesampainya di rumah sore hari. Dua minggu pun berlalu, saya mulai gelisah karena
belum dapat pekerjaan dan juga tidak ada teman untuk sekedar mengobrol
menghilangkan rasa lelah. Alhamdulillah, setelah penantian panjang saya
mendapatkan telpon dari agent untuk bekerja sebagai housekeeper dan ditambah lagi
saya sudah mendapatkan teman kamar sehingga saya tidak lagi merasa kesepian.

Housekeeper(1)
Saya bekarja sebagai housekeeper di hotel daerah bandara dimana sedikit sekali
bus yang menuju arah sana. Awalnya, saya diantar oleh ibu kos atau teman kos setiap
paginya, namun saat pulang saya menunggu teman housekeeper. Pada dasarnya,
housekeeper adalah pekerjaan untuk membersihkan kamar, mulai dari kasur, kamar
mandi, balkon. Selama seminggu training, jam kerja saya lebih cepat dibandingkan
dengan rekan kerja yang lain, hingga membuat saya harus menunggu sejam atau dua
jam agar bisa mendapatkan tumpangan hingga halte bus terdekat. Bahkan pernah
saya pulang dengan jalan kaki dengan menempun kurang lebih satu jam setengan
dengan suhu 37 – 38 0 C. Ini adalah masa-masa tersulit dimana saya masih belum
nerima kenyataan kalau saya bekerja sebagai pengosek kamar mandi.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai sebagai housekeeper. Akan tetapi, akhir
bulan desember, waktu kerja sering kali di-cancel. Hal ini sangat wajar dikarenakan
sedikit turis yang datang dan “anak bawang” akan menjadi orang pertama yang akan
di cancel. Bukan hanya di hotel saya, teman-teman saya pun banyak yang mengalami
peng-cancel-an. Hamper dua minggu tidak ada pekerjaan dan akhirnya saya dan
teman saya mencoba-coba untuk melamar pekerjaan lainnya.
Karena terlalu gelisah dengan tidak ada pekerjaan, saya dan teman saya
memberanikan diri dengan bermodal GPS berangkat ke Katherine. Katherina adalah
kota kecil yang berjarak sekitar 300 km dari Darwin. Kami sangat bersemangat
sepanjang perjalanan, semakin jauh semakin sedikitnya rumah-rumah dan sinyal
kami pun hilang. Karena panasnya matahari, membuat salah satu ban mobil bocor.
Kamipun sangat panik, pasalnya kami berada di tengan antah berantah dan tidak ada
sinyal, harus menganti ban mobil kami yang bocor.
Setelah setengah jam menepi, kami aja diam dan saling pandang. Hingga
akhirnya kami memberanikan diri untuk memberhentikan mobil yang lewat untuk
meminta tolong. Penolong pertamapun dengan baiknya datang dan bersedia
memperbaiki ban mobil kami, namun karena mobil yang kami terlalu tua, sehingga
tidak ada spare-part yang cocok untuk mobil kami, sehingga akhirnya merekapun
menyerah. Dengan keputusasaan, kami mencoba solat dipinggir jalan dan
(alhamdulillah, memang kuasa Allah) penolong kedua menghampiri (tanpa kami
berhentikan) dan mencoba menganti ban kami yang bocor dan ini berhasil. Hari pun
hampir larut malam, kami memutuskan kembali ke Darwin.
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, teman saya menawarkan untuk
mencoba melamar pekerjaan di Katherine melalui agent. Tanpa disangka, saya pun
diterima bekerja di Kebun lemon selama 3 minggu sebagai picker untuk panen. Atas
usulan teman saya, saya mengajukan unpaid leave untuk 3 minggu dari hotel.

Picker
Pekerjaan di kebun adalah salah satu pekerjaan yang didambakan oleh para
pejuang WHV, karena mempunyai jam yang panjang dan rate per hournya cenderung
tinggi. Meskipun banyak berita simpang siur mengenai pekerjaan di kebun, tapi saya
tetap ingin mencoba bekerja disini. Kebun lemon ini mempunyai pekerja tetap yang
berasal Pulau Solomon dan hanya merekrut 9 part-timer, 5 wanita dan 4 pria, untuk
membantu panen. Sesampainya di Katherine, saya di jemput oleh agent
memperlihatkan akomodasi dan kebun.
Sesampainya di akomodasi, saya sendiripun sangat kaget. Biasanya akomodasi
yang disediakan berada di tengan kebun dan jauh dari kota. Akomodasi yang saya
tempati tidak bisa dikatakan layak untuk ditempati, ruang kamar sangat berdebu,
dapur banyak lalat berterbangan dan kamar mandi yang berada di luar sangat kotor.
Pertama kali kami menginjak akomodasi disana, kami bergotong-royong untuk
membersihkan dapur dan kamar mandi agar membuat kami “nyaman” tinggal
disana.
Bekerja di kebun pun dimulai dari jam 6 pagi hingga jam 3 sore dengan 30
menit istirahat pada saat makan siang. Beruntungnya bekerja di kebun ini, jam bekerja
menetap sehingga saya dapat melaksanakan shalat. Pekerjaannya sederhana,
mengambil lemon yang sudah matang dan ditaruh diwadah besar dimana wadah
tersebut dapat menampung 2 atau 3 orang. Sistem bekerjanya secara berkelompok
dan yang terdapat 4 atau 5 orang. Awal bekerja sebagai picker, hampir sekujur tubuh
terluka karena duri sangat panjang dan tajam. Sehingga dengan suhu yang panas kita
harus tetap menggunakan double pakaian agar terhindar dari duri. Meskipun sangat
capai, tapi saya lebih menyukai bekerja di kebun dari pada menjadi housekeeper.
Gambar 2. Lemon Farm, Katherine
Kami mempunyai libur pada hari jumat, biasanya pada malam jumat
waktunya para pekerja tetap berpesta hingga mabuk. Apabila pesta sudah
berlansung, kami para wanita akan berdiam diri di kamar hingga esok pagi agar
menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Lalu, pada hari jumat hampir seluruh
pekerja akan pergi ke pusat kota untuk membeli bahan makanan untuk seminggu
kedepan dan mencari WiFi gratis. Pada jumat pertama saya menerima berita terkait
diterimanya pengajuan beasiswa saya (alhamdulillah, akhirnya dapat juga !!!) dan
bekerja sebagai picker pun berlanjut.
Hingga akhir di minggu kedua, kami diinfomasikan bahwa tidak ada
pekerjaan lagi bagi kami. Dapat dikatakan pemecatan secara halus, karena kami
mempunyai kontrak tiga minggu namun kami hanya bekerja dua minggu. Akhirnya,
saya beserta 3 teman sekamar saya memutuskan untuk kembali ke Darwin. Karena
saya masih mempunyai satu minggu sebelum bekerja sebagai housekeeper, saya
mencoba menjadi cleaner untuk rumah.

Cleaner
Pekerjaan cleaner yang saya tekuni yaitu membersihkan dari rumah satu ke
rumah lainnya setiap harinya. Rumah-rumah yang dibersihkan ini merupakan
pelanggan reguler yang mempunyai jadwal setiap minggunya. Rumah yang
dibersihkan sangatlah besar (seperti di sinetron-sinetron televisi) dan minimal 3
rumah setiap harinya. Pekerjaan ini dimulai dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore bahkan
sampai jam 7. Mengapa perkerjaan ini membutuhkan waktu cukup panjang? Karena
sebagian besar waktu yang digunakan untuk menempuh perjalanan dari satu rumah
ke rumah lainnya. Sehingga saat membersihkan rumah, kami dipaksa untuk sangat
cepat dan teliti. Lebih cepat dibandingkan membersikan ruangan di hotel.
Dapat dikatakan, cleaner merupakan pekerjaan terberat yang saya lakukan
selama di Darwin. Disamping tidak adanya waktu untuk istirahat pasti (kami hanya
beristirahat saat dalam perjalanan), ditambah hampir setiap rumah memelihara
anjing di dalamnya. Beruntungnya saya, selama saya bekerja sebagai cleaner (5 hari)
bertepatan dengan waktu PMS saya. Hal ini menjadi salah satu keputusan saya untuk
tidak melanjutkan pekerjaan sebagai cleaner. Walaupun gaji yang di dapat sebagai
cleaner lebih besar dibanding sebagai housekeeper.

Housekeeper…(2)
Setelah serangkaian kejadian diatas, untuk pertama kalinya saya bersyukur
bekerja sebagai housekeeper (lama banget yah bersyukurnya). Bekerja sebagai
housekeeper di bawah agent di Darwin, ratenya sangat kecil. Mungkin rate saya
merupakan rate terkecil diantara pejuang WHV di Darwin. Sekembalinya menjadi
housekeeper, manager saya ganti menjadi lebih tegas dan teliti. Manager baru ini
membuat beberapa peraturan baru yang sangatlah tidak wajar, seperti memotong
waktu untuk membersihkan kamar check-out (regular) dari 22 menit menjadi 18 menit.
Di dunia per-housekeeping-an, semenit pun sangat berharga. Ditambah lagi, hotel kami
berbeda dengan hotel lainnya dimana hotel lainnya terdapat houseman yang bertugas
membantu untuk memenuhi perlengkapan ruangan disaat storeroom kosong. Apabila
di hotel kami, tedapat satu barang yang tidak ada (contoh: sarung bantal) kami harus
mencari sendiri ke area lain (karena hotel kami sistemnya outdoor, sehingga area satu
dengan lainnya berjauhan) sehingga ini sangat memakan waktu.
Walaupun dengan peraturan-peraturan aneh, rate kecil, hotel yang susah
sekali dijangkau dengan angkutan umum, tapi saya sangat menikmati sekali
pekerjaan sebagai housekeeper (emang kalau sudah beryukur, mengerjakan apapun
menjadi lebih mudah) dan yang paling penting pekerjaan ini tidak menganggu waktu
solat. Semakin bertambahnya waktu, sayapun sudah mulai terbiasa bekerja disini,
bahkan saya bisa menyelesaikan satu kamar regular hanya dengan 14 menit dan
akhirnya saya mendapakan jatah weekend, dimana weekend rate lebih besar
dibandingkan weekday.
Ditambah lagi, semakin banyak para pejuang WHV yang diterima di hotel saya
yang membuat saya semakin betah bekerja di hotel ini. Sebenarnya, para housekeeper
baru yan diterima di hotel merupakan teman satu rumah. Bayangkan 5 dari 8
penghuni rumah (yang perempuan) bekerja di tempat yang sama. Disini saya
merasakan indahnya berbagi, karena semua penghuni rumah mempunyai waktu
kerja yang sama (pagi hari) sehingga kami harus berbagi kamar mandi. Kami
mempunyai jadwal waktu mandi mulai jam 5.15 hinggal 6.45 dengan jenjang waktu
mandi 10 menit per orang. Hari-haripun terasa menyenangkan, siang harinya kami
bekerja dan malam harinya kami habiskan (biasanya) makan malam bersama dan
sisanya mengobrol terkait permasalahan yang kami hadapi. Percaya deh, ngobrol
ngalor-ngidul dengan teman (face to face) itu healing time banget. Karena saya pernah
merasakan sendirian di awal perjalanan dan itu sangat membuat merasa cepat putus
asa.
Setelah enam bulan berkerja di Hotel yang sama, maka sayapun mengajukan
perpanjangan waktu kerja. Sebagai pejuang WHV, kita hanya dapat bekerja paling
lama enam bulan di satu tempat. Terkecuali di bagian Utara Australia, kita dapat
memperpanjang kerja waktu kerja kita lebih dari 6 bulan. Nasib berkata lain, agent
saya tidak mengijinkan saya untuk tetap bekerja di hotel yang sama. Akhirnya, saya
dipindahkan di hotel di sekitar city dimana hotel ini lebih kecil dibandingkan hotel
sebelumnya dan jam kerjanya pun lebih sedikit. Kehidupan menjadi anak bawang
terulang kembali. Saya hanya mendapatkan jatah di weekday dan apabila kamar yang
dibersihkan sedikit, orang yang di cancel pertama adalah saya.
Dengan keadaan seperti ini, bisa saja saya pindah state untuk mencari
pekerjaan baru. Karena sebagian besar pejuang WHV bekerja (minimal 88 hari) di
Darwin hanya untuk memenuhi syarat mendapatkan visa tahun kedua. Namun, saya
lebih memilih untuk tetap tinggal di Darwin. Selain waktu saya yang tersisa hanya
tiga minggu (karena saya harus balik ke Indonesia untuk mempesiapan studi saya)
ditambah lagi para WHV Darwin mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi.

Kitchen hand di warung laksa


Ditengah kegelisahan karena dipindahkan ke hotel baru, saya mendapatkan
pekerjaan baru yaitu kithchen hand. Ini pekerjaan paling menyenangkan selama saya
di Darwin. Warung laksa (hanya melayani take-away) ini dibuka setiap sabtu di Parap
market. Warung laksa ini sangat digemari oleh penduduk Darwin, pasalnya warung
ini sudah dibuka sejak 20 tahun lamanya. Kebayang kan betapa enaknya laksa di
warung ini sehingga dapat bertahan selama dua decade. Selama tiga pekan terakir
saya tingal di Darwin mempunyai dua pekerjaan.
Pekerjaan yang saya lakukan membantu segala pesiapan (mulai dari potong
memotong, menyaiapkan air dan membuka warung) dan melayani pelangan.
Pekerjaanya mulai dari 8 pagi hingga 2 siang. Memang gaji yang didapat tidak besar
seperti pekerjaan lainnya, tapi apabila ada sisa dari penjualan laksa (walaupun hanya
kuahnya) kami diperbolehkan membawa laksanya pulang (ini kesenangan tersendiri
bagi saya dan teman satu rumah saya). Di lain pihak, Ibu penjual laksa sangat baik,
pernah satu ketika saya dan teman serumah saya ingin piknik ke Litchfield, Beliau
bersedia membuatan bekal untuk perjalanan kami. Disini saya sadar, gaji besar
bukanlah yang terpenting melainkan situasi dan rekan kerja yang terpenting.

Penghasilan tambahan
Saya mempunyai dua roommates yaitu Nurdiah Amalia Sam dan Elisabeth
Octiana Satiti. Kami sepakat untung berbagi makanan bersama-sama. Sehingga
kamipun mempunyai uang kas untuk membeli kebutuhan makanan kami. Uang kas
yang kami kumpulkan bukanlah bentuk dari penyisihan gaji kami sebagai kerja
housekeeper, melainkan kami melakukan aktivitas lain. Seperti membagikan pamphlet
dan mengumpulkan botol. Pembagian pamphlet dilakukan, mulai dari mengambil
pamphlet di tempat percetakan, mengepak menjadi satu eksemplar dan
membagikannya dari rumah ke rumah pada hari rabu dan kami menerima gaji di
minggu berikutnya.
Jadwal pengambilam sampah di daerah rumah kami yaitu hari selasa, sehingga
setiap warga akan mengeluarkan sampah pada sore harinya. Setiap sore hari, kami
berkeliling untuk mengumpulkan botol bekas (ini beneran mengambil botol bekasnya
dari tong sampah loh). Setelah botol terkumpul lalu dibersihkan dan dipisahkan
sesusai jenisnya. Satu botol bekas bernilai 10 cent, pengumpulan botol lebih banyak
menghasilkan uang dibandingkan dengan penyebaran pamphlet. Ditambah lagi,
kami beberapa kali memenemukan alat masak masih berfungsi dengan baik. Alat-alat
masak yang kami temukan, kami bersihkan kembali dan kami jual melalui facebook
(menguntungkan bukan ?). Pernah suatu ketika, kami menemukan laptop kecil yang
masih berfungsi dengan baik hanya membutuhkan charger baru untuk
mengoperasikannya kembali.
Hal-hal seperti diatas mengajarkan saya bahwa apapun pekerjaanya sangat
patut dihargai. Yang biasanya kita selalu meremehkan pekerjaan pemulung, tukang
bersih-besih atau apalah itu, tapi dengan mengikuti WHV kita bisa mengetahui,
bahwa setiap pekerjaan mempunyai andil tersendiri dalam siklus kehidupan. Apabila
kamu merasa hebat, coba deh ikut WHV apakah hebat yang kamu maksud sama
dengan hebat dengan orang lain maksud. Setidaknya dengan mengikuti WHV, kamu
tidak akan mempunyai ego tinggi dan mengatakan“saya lebih hebat dibandikan yang
lain“. Karena dari sini saya belajar semua orang itu hebat di bidangnya masing-
masing.
Jangan takut tidak ada teman, saya yang awalnya merasakan kesepian pada
akhirnya mendapatkan teman-teman yang layaknya keluarga di akhir pengunjung
WHV. Terlebih lagi jangan takut dengan hal-hal yang belum tentu terjadi, seperti;
kalau nanti ga betah gimana? kalo nanti ga gabisa imbangi pekerjaan sini gimana?
kalo nanti makanan ga cocok gimama? Jangan kebanyakan berpikir buruk, bukannya
prasangka Allah itu prasangka hambanya ☺
Gambar 4. Perpisahan

Saat ini saya sedang berjuang meraih master saya di Jerman (minta doanya yah
teman-teman untuk kelancaran studi saya). Akan tetapi, hingga saat ini saya masih
jatuh cinta dengan segala sistem yang dianut oleh Australia. Keinginan saya setelah
menyelesaikan studi adalah melanjutkan WHV. Beruntungnya, saya sudah
menyelesaikan persyaratan untuk mengajukan 2nd year visa. Pasti kalian akan
bertanya, apakah saya tidak sayang dengan ilmu master saya? Jawabannya tidak,
karena impian saya menjadi pengusaha. Sudah susah-susah belajar masa masih harus
kerja kantoran lagi (kapok saya kerja kantoran). Lebih baik membuka usaha dan
bekerja untuk diri sendiri dibandingkan menjadi bawahan orang lain. Tidak ada
salahnya mengorbankan satu tahun saya untuk bekerja banting tulang kembali.
Bukankah untuk mendapatkan ikan yang lebih besar kita membutuhkan umpam
yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai