Ahsan Ghozali
Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadlan.
Siapa yang berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia
akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadlan.
Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang
banyak (yatasya’abu minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata
Syi’b, yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan. Dalam bulan ini terdapat banyak
kejadian dan peristiwa yang patut memperoleh perhatian dari kalangan kaum muslimin.
Pindah Qiblat
Pada bulan Sya’ban, Qiblat berpindah dari Baitul Maqdis, Palistina ke Ka’bah, Mekah al
Mukarromah. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam menanti-nanti datangnya
peristiwa ini dengan harapan yang sangat tinggi. Setiap hari Beliau tidak lupa menengadahkan
wajahnya ke langit, menanti datangnya wahyu dari Rabbnya. Sampai akhirnya Allah
Subhanahu Wata’ala mengabulkan penantiannya. Wahyu Allah Subhanahu Wata’ala turun.
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah;
144)
Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu
karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak
ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan pengertian bid’ah
secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian
secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun
ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah
Rasulullah wafat yang terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i
dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).
Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal
yang baru datang setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam itu dilarang. Tetapi
yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan dengan
sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu
terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.”
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika
dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh
syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan
menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa
bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.
Syeh Ibnu Taimiyah berkata, “Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang
keutamaan malam Nisyfu Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat
pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan
sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu,
dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam
tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan
ketaatan dan ibadah.
Walhasil, sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah
itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun
ragam ibadah pada malam itu
dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al
Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau
berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain.
Malam Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat
bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat
yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam
amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka sungguh tepat
bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa kepada Allah Subhanahu
wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam mengatakan, “Doa adalah senjatanya
seorang mukmin, tiyangnya agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim). Nabi
Muhammad Shollallahu alaihi wasallam juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa
-selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah Subhanahu
wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan mengabulkan
doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah
akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad
dan Barraz).
Tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa yang
khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah
bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan
beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.
Adapun kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin tiga kali, dengan
berbagai tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan diberi
pertolongan dapat selalu taat kepada Allah. Kedua, bertujuan mendapat perlindungan dari
mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga, memperoleh khusnul khatimah
(mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang melarang, meskipun ada beberapa
kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah yang salah dan batil.
Dalam hal ini yang patut mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan Nabi
tentang sholat di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak berasal dari beliau.
Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah sebuah riwayat dari Sayyidina Ali,
“Bahwa saya melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya’ban melakukan sholat empat belas
rekaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14 x), Surah Al Ikhlas (14 x), Surah Al Falaq
(14 x), Surah Annas (14 x), ayat Kursi (1 x), dan satu ayat terkhir Surat At Taubah (1 x).
Setelahnya saya bertanya kepada Baginda Nabi tentang apa yang dikerjakannya, Beliau
menjawab, “Barang siapa yang melakukan apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan
mendapatkan pahala 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu dia berpuasa,
maka ia seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Dan
masih banyak lagi Hadits-Hadits palsu lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum
muslimin. (Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al
Maliki, Muhadditsul Haromain).
* Staf pengajar PP. Langitan Widang Tuban. Alumni Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
Makkah