Anda di halaman 1dari 3

‫رمضانيات‬

Rahim yang Sama

Syariat puasa sudah ada sejak dulu, seperti dalam ayat.

Tapi bagaimana dengan Bulan Ramadhan?

Dengarkan kalimat Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu anha sebagaimana dalam Shahihain:

“Awal permulaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan wahyu adalah peristiwa ar ru’ya
ash shalihah/mimpi yang benar, yang dilihatnya dalam tidur; tidaklah beliau bermimpi kecuali ia benar-
benar hadir seperti cahaya pagi. Kemudian beliau mulai suka menyendiri. Beliau menyendiri di Gua
Hira’ bertahannuts (yaitu beribadah) beberapa malam, sebelum kembali ke keluarganya dan
mengambil bekal untuk hal tersebut, kemudian kembali ke Khadijah (lagi) untuk membawa bekal yang
semisal, (begitulah) sampai datanglah kebenaran (wahyu) saat beliau ada di Gua Hira’.”

Apa hubungan kalimat Aisyah radhiallahu anha di atas dengan pertanyaan?

Hubungannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dalam Kitab Sirohnya dari Ibnu Ishaq:

Ubaid berkata: Rasulullah berdiam di bulan itu setiap tahunnya, memberi makan orang miskin yang
mendatanginya. Jika Rasulullah selesai berdiam di bulan tersebut, yang pertama beliau lakukan saat
pulang adalah ke Ka’bah sebelum masuk ke rumahnya, beliau bertawaf sebanyak 7 kali atau terserah,
kemudian barulah pulang ke rumahnya. Hingga sampailah bulan yang Allah berkehendak mengutus
beliau (sebagai Nabi) padanya. Dan bulan itu adalah BULAN RAMADHAN.

Belum terjawab tuntas pertanyaan di atas, apakah umat terdahulu juga memuliakan Bulan Ramadhan
dengan ibadah?

Baiklah.

Rasulullah mempunyai kesukaan baru setelah bermimpi dengan mimpi yang benar; di mana yang
beliau lihat dalam mimpi terjadi persis di dunia nyata sejelas cahaya pagi. Mimpi seperti itu
berlangsung selama 6 bulan, seperti yang disampaikan dalam kitab Ar Rahiq Al Makhtum. Kesukaan
baru itu adalah beribadah menyendiri di Gua Hira’. Dan hal itu beliau lakukan di Bulan Ramadhan.

Apa yang dilakukan Muhammad shallallahu alaihi wasallam di dalam gua?

Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha singkat menyebutnya dengan (‫يتحنث‬/tahannuts) yang
dijelaskan oleh Az Zuhri rahimahullah dengan: ibadah. Untuk lebih lanjut Al Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah menjelaskan kata tersebut dalam Fath Al Bari dengan dua makna:

“Maknanya adalah (‫ )يتحنف‬kata ini berasal dari kata hanifiyyah yang merupakan ajaran Nabi Ibrahim
alaihis salam; huruf fa’ diganti dengan tsa’ dan ini banyak di bahasa mereka. Yang mendukung hal
tersebut adalah riwayat Ibnu Hisyam dalam Sirohnya ( ‫)يتحنف‬. Atau ia berasal dari kata (‫ )الحنث‬yang
artinya dosa. Sehingga (‫ )التحنث‬artinya adalah membuang dosa.”

Jelas sudah bahwa kesukaan baru beliau adalah melakukan ibadah menyendiri dalam Gua Hira’ dengan
tujuan untuk membuang dosa. Dan ibadah ini adalah merupakan kebiasaan ibadahnya sekelompok
kecil yang disebut Hanifiyyah (penganut ajaran Ibrahim).
Di Mekah sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi, ada kelompok minoritas orang-orang
Quraisy yang menolak keras peribadatan dan keyakinan masyarakatnya. Kelompok inilah yang disebut
dengan Hanifiyyah. Mereka tidak mau menyembah berhala, tidak mau melakukan dosa yang biasa
dilakukan oleh masyarakatnya berupa memakan persembahan untuk berhala, zina, mabuk dan
sebaginya.

Mereka tidak mempunyai panduan kitab suci atau ahli ilmu yang dijadikan rujukan. Mereka telah
berusaha untuk mencarinya, di mana sebagian mereka melakukan perjalanan jauh ke pusat agama
samawi yaitu Negeri Syam dan menemui tokoh-tokoh agama dari kalangan Yahudi dan Nasrani untuk
bertanya tentang ajaran Nabi Ibrahim, ternyata tidak ada satu pun yang tahu dan malah mengajak
untuk masuk ke agama mereka yang sesat.

Akhirnya mereka melakukan peribadatan dengan mengikuti nurani yang bersih dan logika yang jernih.
Salah satu dari mereka adalah Zaid bin Amr bin Nufail, ayah dari Said bin Zaid satu dari sepuluh
shahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Zaid sendiri disebut Nabi merupakan ahli surga.

Salah satu ibadah kaum Hanifiyyah adalah tahannuts di Bulan Ramadhan, dengan serangkaian kegiatan
ketaatan seperti dalam riwayat di atas.

Dalam syariat Nabi Muhammad, kewajiban puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah kurang lebih 15
tahun beliau mengemban amanah kenabian dan setelah beliau 2 tahun tinggal di Kota Madinah. Dan
beberapa panduan syariat beliau tentang Ramadhan sama dengan saat beliau meniru kebiasaan
ibadah kelompok Hanifiyyah menjelang beliau jadi Nabi.

Fokus beribadah. Membersihkan dosa. Memberi makan orang miskin.

Pelajaran berikutnya yang sangat mahal adalah bahwa ini bukti kebenaran ajaran syariat yang beliau
bawa. Kesamaan dan ketersambungan ajaran antara Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. Karenanya
Allah meminta beliau untuk berkata:

ُّ ‫نت بِ ْد ًعا ِم َن‬


‫الر ُس ِل‬ ُ ‫قُ ْل َما ُك‬

Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul (Qs. Al Ahqaf: 9)

Rasulullah sendiri pernah membuatkan ilustrasi tentang hubungan beliau dengan para Nabi
sebelumnya:

“Perumpaan aku dan para nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun bangunan, ia
perbagus dan percantik, kecuali ada satu lubang sebesar bata di sebuah pojok. Orang-orang
mengelilingi bangunan itu dan terkagum-kagum sambil berkata: Andai diletakkan satu bata di sini.

Dan Akulah bata tersebut, aku adalah penutup para nabi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selanjutnya, mari bergerak ke arah kita sekarang. Para ahli ilmu yang benar bersumber sama; yaitu dari
Rasulullah. Karenanya para ahli ilmu memiliki ungkapan luar biasa:

‫العلم رحم بني أهله‬


“Ilmu adalah rahim bagi para ahlinya”

Ini pendekatan yang dahsyat andai kita bisa memaknainya dengan dalam. Bahwa ilmu itu adalah rahim.
Rahim yang melahirkan berbagai ahli ilmu. Berbagai keahlian, bukan saja ilmu agama, tapi juga ilmu
umum yang rahimnya adalah ilmu Allah dan Rasul Nya.

Ilmu adalah rahim terkuat. Ia tidak pernah lelah mengandung dan melahirkan para ahli di setiap zaman.

Dan sesungguhnya Rasul telah memberikan pendekatan itu di hadapan para shahabatnya saat
mengajarkan ilmu:

‫إمنا أان لكم مبنزلة الوالد أعلمكم‬


“Sesungguhnya aku ini bagi kalian seperti ayah yang sedang mengajarkan ilmu kepada kalian.” (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dan para ulama pun telah menyadarkan kita dengan pendekatan yang sama. Lihatlah contohnya Imam
An Nawawi rahimahullah. Berkali-kali beliau dalam menjelaskan tentang biografi ulama menggunakan
pendekatan ini. Dalam kitabnya Tahdzib Al Asma’ Wa Allughot, An Nawawi bicara pentingnya biografi
ulama: “Sesungguhnya mereka adalah para imam kita dan salaf kita, seperti kedua orangtua bagi
kita.”

Dalam kitabnya yang lain Al Majmu’, An Nawawi berkata saat menyebutkan nama Imam Abul Abbas
bin Suraij: “Dia adalah salah satu kakek kita dalam rangkaian ilmu fikih.”

Akhirnya, setelah ini semua, muncul pertanyaan sangat penting dan genting!

Atas dasar apa para ahli ilmu bertikai sampai memutus silaturahim dengan para ahli ilmu lain?

Bukankan mereka yang dilahirkan dari rahim yang sama tidak mesti harus sama?

Kalau benar mereka berasal dari ilmu yang sama, bukankan rahim tidak boleh diputus dan harus dijaga
dan wajib disambung?

Atau...

Jangan-jangan mereka tidak dari rahim yang sama?

Situdaun, 4 Ramadhan 1445 H

Yang mencitai karena DIA

Anda mungkin juga menyukai